Volume 04 | Januari - April 2012
OPINIO JURIS
MEMAHAMI ARTI UNDANG-UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DI INDONESIA Dr. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M., LL.M. Pendahuluan Dalam filosofi pengintegrasian perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional, baik Montesqiueu maupun L. Friedman menganasirkan bahwa ada hubungan kasualitas antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Dalam teori pemisahan kekuasaan, Montesqiueu dengan tegas memisahkan antara tugas legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun, di dalam praktik ketatanegaraan, teori ini tidak dapat diimplementasikan secara murni karena berbagai hal terkait dengan kepentingan-kepentingan nasional yang strategis dan kekuasaan. Terkait dengan perjanjian internasional, ada pembagian kewenangan yang nyata antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, di mana lembaga eksekutif yang diwakili oleh Presiden atau Perdana Menteri memiliki kewenangan dalam hal external affairs, sedangkan lembaga legislatif/parlemen lebih memiliki kewenangan di bidang internal affairs. Dengan kata lain, Presiden atau Perdana Menteri memiliki kewenangan untuk membuat dan meratifikasi perjanjian internasional, sedangkan untuk lembaga legislatif/parlemen berwenang untuk menyetujui atau menyetujui dengan syarat atau menolak perjanjian internasional
yang dibuat dan telah diratifikasi oleh Presiden atau Perdana Menteri. Teori Montesquieu ini sejalan dengan pemahaman sistem hukum yang diungkapkan oleh L. Friedman, yang mana ia menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dari tiga komponen, yaitu substansi, struktur dan kultur1. Hukum internasional pun merupakan sebuah sistem hukum yang terdiri dari tiga komponen di atas. Hubungan kasualitas antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif/parlemen dalam kaitannya dengan perjanjian internasional terimplikasi dalam komponen kedua, yaitu struktur, di mana secara struktur hukum internasional dan hukum nasional memiliki kedudukan yang sejajar atau ko-ordinasi, bukan sub-ordinasi, sehingga setiap perjanjian internasional yang dibuat oleh lembaga eksekutif tidak serta merta dapat berlaku di dalam sistem hukum nasional suatu negara sebelum mendapat persetujuan dari lembaga legislatif/parlemen2. Di Indonesia, jika mengacu pada UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, pengintegrasian perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional Indonesia melalui proses transformasi, di mana Pasal 9 Ayat 2 UU ini menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-
1 1
Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, hlm. 16. 2 Hasil analisis penulis setelah berdiskusi dengan para ahli hukum terkait dengan permasalahan filosofi hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional dikaitkan dengan pendapat dari L. Friedman.
18
OPINIO JURIS
undang atau keputusan presiden [baca: peraturan presiden]. Secara filosofis, aplikasi UU ini merupakan kelanjutan dari Surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang Pembuatan Perjanjian-Perjanjian dengan Negara Lain. Hal yang janggal dari Surat Presiden ini adalah di dalam beberapa literatur hukum tata negara maupun hukum internasional ditegaskan bahwa Surat Presiden ini merupakan hasil intepretasi hukum atas Pasal 11 UUD 1945. Hal ini tentu saja sangat mengganggu karena secara substansial menyalahi tatanan yang berlaku di dalam teori Montesqiueu di mana kewenangan untuk menginterpretasikan dan mengaplikasikan peraturan hukum baik nasional maupun internasional adalah lembaga yudikatif. 3 Lepas dari ketidakjelasan ini, dalam pengintegrasian perjanjian internasional di Indonesia, dari sisi implementasi, khususnya di pengadilan, masih banyak hakim yang belum paham atau mungkin tidak mengerti apakah perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dapat digu-
Volume 04 | Januari - April 2012
nakan di pengadilan atau tidak. Pendapat dari Hj. Suparti Hadhyono dalam artikelnya yang berjudul Praktik Penerapan Perjanjian Internasional dalam Putusan Hakim menjelaskan bahwa hakim tidak terikat secara mutlak oleh perjanjian internasional bila tidak sesuai dengan kondisi Indonesia, tidak sesuai dengan tertib hukum Indonesia maupun tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia.4 Di dalam tulisan ini ada beberapa hal yang dibahas dan sekaligus meluruskan beberapa persepsi yang [mungkin] keliru terkait arti undang-undang pengesahan perjanjian internasional yang dibuat oleh Presiden bersama-sama dengan DPR melalui undang-undang, atau yang dibuat oleh Presiden saja melalui keputusan presiden [baca: peraturan presiden], apakah undang-undang pengesahan ini secara ipso facto membuat perjanjian internasional yang bersangkutan berlaku di Indonesia atau tidak. Selain itu, pembahasan ini juga berusaha menjawab kebingungan para hakim terhadap eksistensi hukum internasional di Indonesia, apakah dapat digunakan secara langsung ataukah seke-
1 3
Pendapat penulis setelah membaca beberapa makalah termasuk disertasi hukum milik Dr. Harjono M.C.L. dari Universitas Airlangga di mana beliau memuat kata-kata “...lembaga eksekutif menafsirkan Pasal 11 UUD 1945...” 4 Hj. Suparti Hadhyono, “Praktek Penerapan Perjanjian Internasional dalam Putusan Hakim, diambil dari http://www.scribd.com pada tanggal 21 Juni 2010. Kelemahan dari hakim-hakim di Indonesia adalah kata-kata seperti tidak sesuai dengan kondisi Indonesia, tidak sesuai dengan tertib hukum Indonesia dan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia, tidak didukung oleh kasus-kasus yang konkrit yang menunjukkan bahwa ini tidak sesuai dengan ini dan seterusnya. Kelemahan ini akhirnya digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu seperti melanggengkan kekuasaan atau tidak mematuhi kewajiban-kewajiban yang menjadi beban suatu pihak dengan menggunakan salah satu alasan tersebut di atas. Dengan tidak adanya contoh konkrit maka kriterianya menjadi subyektif dari hakim sehingga dapat memunculkan konspirasi di antara para pihak dengan hakim-hakim. Berbeda dengan di Amerika Serikat, kasus Laminoirs-Trefileries-Cableries de lens v. Southwire Company, pengadilan Georgia memutus bahwa bunga bank sebesar 14,5% dan 15,5% per tahun adalah melanggar ketertiban umum di negara bagian Georgia dan tidak dapat dilaksanakan karena nilai bunga bank yang diakui di negara bagian Georgia adalah 9,5% dan 10,5%. 19
Volume 04 | Januari - April 2012
dar a help tool bagi para hakim untuk menginterpretasikan peraturan hukum nasional. Ketiadaan Pengaturan Kedudukan Perjanjian Internasional di dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Lainnya Mencirikan Ke-dualisme-an Indonesia Dua aliran yang seringkali berdebat dalam pembahasan perjanjian internasional adalah aliran monisme dan aliran dualisme. Pembahasan kedua aliran ini hingga saat ini belum berakhir, bahkan semakin melebar. Dr. Melda Kamil dari UI berpendapat bahwa Indonesia adalah negara monisme karena di dalam UU Pengesahan selalu dilampirkan perjanjian internasionalnya sehingga perjanjian internasional tersebut dapat digunakan oleh para hakim di pengadilan sebagai sumber hukum formal dalam menyelesaikan perkara5. Berpendapat sama tetapi berbeda pertimbangan, Dr. Damos Dumoli Agusman dari Kementerian Luar Negeri, beliau melihat beberapa hakim secara berani menggunakan kaidah-kaidah hukum internasional sebagai dasar hukum untuk memutus perkara6. Pernyataan menarik ditegaskan oleh Dr. Eddy Pratomo, Duta Besar Indonesia untuk Jerman,
OPINIO JURIS
menyampaikan teori kombinasi antara teori monisme dan dualisme karena beliau menganggap tidak ada negara yang secara murni mengaplikasikan teori-teori tersebut dengan baik.7 Jika melihat praktik di negara-negara lain, pada kenyataannya negara-negara tidak melaksanakan faham yang dianut secara kaku tetapi lebih disesuaikan dengan situasi dan kondisi nasional dan kepentingan rakyat serta tradisi hukum yang telah berkembang lama di negara-negara tersebut. Amerika Serikat selalu menganggap dirinya sebagai negara monisme karena Pasal 6 Konstitusi Amerika Serikat menentukan bahwa “...all Treaties... shall be the supreme law of the land.” 8 Namun demikian, dalam kondisi praktiknya, Amerika Serikat cenderung dualisme karena ketika menyetujui keinginan Presiden untuk meratifikasi perjanjian internasional, Senat selalu mencantumkan RUDs yang mana salah satunya menyatakan bahwa perjanjian internasional tersebut bersifat non-self-executing sehingga tidak dapat berlaku di pengadilan nasional Amerika Serikat9. Hal ini dilakukan untuk melindungi peraturan-peraturan federal yang telah dibuat sebelumnya dan menjaga tradisi hukum yang
1 5
Diungkapkan kepada penulis dalam sebuah diskusi kecil di Fakultas Hukum Universitas Surabaya pada tahun 2009. 6 Diungkapkan kepada penulis dalam beberapa diskusi di Surabaya, termasuk pada pertemuan Kelompok Ahli tentang “Kajian Posisi Dasar Kebijakan Luar Negeri terkait Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional dan Tantangan Globalisasi”, di Hotel Novotel, Surabaya, pada 25 Nopember 2011. 7 Diungkapkan kepada penulis pada saat pertemuan Kelompok Ahli tentang “Kajian Posisi Dasar Kebijakan Luar Negeri terkait Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional dan Tantangan Globalisasi”, di Hotel Novotel, Surabaya, pada 25 Nopember 2011. 8 Jordan J. Paust, Joan M. Fitzpatrick & Jon M. Van Dyke, 2000, International Law and Litigation in the U.S., West Group, U.S.A., hlm. 219-220. 9 Pendapat penulis setelah melakukan penelitian tentang implementasi perjanjian internasional di pengadilan nasional Amerika Serikat dengan menelaah filosofi dari Pasal 6 Konstitusi Amerika Serikat.
20
OPINIO JURIS
telah berkembang lama di Amerika Serikat.10 Sebagai contoh adalah ICCPR di mana pada saat Senat menyetujui keinginan Presiden untuk meratifikasi ICCPR, Senat mengajukan reservasi terhadap Pasal 6 Ayat 5 agar Pemerintah Amerika Serikat tetap dapat mengeksekusi mati pelaku kejahatan di bawah umur. Selain itu, Senat juga melampirkan sebuah deklarasi yang menyatakan bahwa “[t]o clarify that the Covenant will not create a private cause of action in U.S. courts.” Makna dari deklarasi ini adalah bahwa ICCPR tidak dapat digunakan secara langsung oleh hakim-hakim di pengadilan-pengadilan Amerika Serikat sebelum Kongres membuat implementing legislation yang berupa peraturan hukum federal terkait dengan ketentuan-ketentuan yang ada di ICCPR.11 Perancis dan Belanda juga merupakan negara-negara monisme karena kedudukan hukum internasional dengan jelas diatur di dalam konstitusi-konstitusi negara mereka. Pasal 55 Konstitusi Perancis 1958 menentukan “Treaties or agreements duly ratified or approved shall upon publication, prevail over Acts of Parliament,...” Selanjutnya, Pasal 94 Konstitusi Belanda (Grundwet) menyatakan “Statutory legislations in force within the Kingdom shall not be applicable if such application is in conflict with provisions of the treaties that are binding on all persons or resolutions by international organizations.” Demikian pula dengan Konstitusi Rusia, di mana Pasal 15 Ayat 4 menetapkan bahwa: “The general recognized principles and norms 1
Volume 04 | Januari - April 2012
of international law and the international treaties of the Russian Federation shall constitute part of its legal system. If an international treaty of the Russian Federation established other rules than those stipulated by the law, the rules of international treaty shall apply.” Dari keempat contoh negara-negara di atas, dari sisi teori dapat ditarik garis lurus bahwa ke-monisme-an keempat negara tersebut terlihat dari adanya pengaturan kedudukan hukum internasional di dalam konstitusi masing-masing negara, yang mana keutamaan diberikan pada hukum internasional. Sebaliknya, ada negara-negara yang memang tidak mengatur hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional di dalam konstitusi-konstitusi negara mereka karena keutamaan diberikan kepada hukum nasional, seperti Australia, Kanada dan Jerman, namun hakim tetap diberi keleluasaan menggunakan kaidah-kaidah hukum internasional sebagai alat bantu untuk menginterpretasikan peraturan hukum nasional yang secara substansial tidak jelas atau bertentangan dengan maksud dan tujuan yang ingin dicapai oleh perjanjian internasional yang telah diratifikasi. Bagi negara-negara ini, pemberlakuan perjanjian internasional yang telah diratifikasi harus melalui proses transformasi, di mana hukum internasional ditransformasikan ke dalam hukum nasional terlebih dahulu sebelum dapat digunakan di pengadilan. Istilah lain yang sering digunakan adalah pemberlakuan-
10
Lori Fisler Damrosch, 1991, “The Role of the U.S. Senate concerning “Self-Executing and Non-SelfExecuting” Treaties”, 67 Chi-Kent L. Rev., hlm. 520. 11 Chrissy Fox, 2003, Implication of the U.S.’ Reservations and NSE Declaration to the ICCPR for Capital Offenders and Foreign Relations, Comments, 11 Tul. J. Int’l & Comp. L. 303, Tulane Journal of International and Comparative Law, hlm. 304-308. 21
Volume 04 | Januari - April 2012
nya harus menggunakan implementing legislation. Makna implementing legislation itu sendiri berupa peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga legislatif/parlemen yang merupakan hasil dari proses transformasi perjanjian internasional ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. Baik di Australia, Kanada dan Jerman, hasil transformasi dari perjanjian internasional yang telah diratifikasi dan disetujui oleh lembaga legislatif/parlemen adalah berupa peraturan hukum federal. Secara umum, keutamaan hukum di ketiga negara ini adalah hukum nasional, bukan hukum internasional, sehingga hukum internasional tidak dapat digunakan oleh para hakim sebagai sumber hukum langsung dalam memutus perkara, kecuali ada implementing legislation-nya.12 Proses transformasi dan penggunaan implementing legislation tersebut merupakan ciri khusus dari ke-dualisme-an negara-negara tersebut di atas. Selain itu pula, ketiadaan pengaturan hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional di dalam konstitusi-konstitusi negara mereka juga menjadi ciri lain dari sifat dualisme ketiga negara tersebut. Penjelasan lain seringkali dapat ditelaah dari putusanputusan pengadilan ketika hakim memutuskan konflik antara hukum internasional dan hukum nasional dalam kasus-kasus, seperti kasus P.P.
OPINIO JURIS
v. Wah Ah Jee13 di Malaysia, di mana Pengadilan menyimpulkan bahwa “The Courts here must take the law as they find it expressed in the Enactment. It is not the duty of a judge or magistrate to consider whether the law so set forth is contrary to international law or not.” 14 Di Indonesia pernah terjadi kerancuan dalam memahami istilah implementing legislation, dan anehnya yang tidak paham arti implementing legislation adalah Mahkamah Agung sendiri ketika menangani kasus PT. Nizwar v. NMB pada tahun 1981. Ketika Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyetujui sita eksekutorial yang diajukan oleh NMB atas putusan Pengadilan Arbitrase London, Pengadilan mendasarkan pada pertimbangan bahwa Konvensi Jenewa 1927 yang diratifikasi oleh Pemerintah Belanda, juga berlaku di Indonesia. Kemudian, PT. Nizwar mengajukan kasasi dan Mahkamah Agung menganulir putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan menyatakan “Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tidak serta merta membuat Konvensi New York 1958 berlaku di Indonesia sebelum ada peraturan pelaksananya (implementing legislation).”15 Pembentukan implementing legislation atau peraturan pelaksana menjadi kewenangan penuh dari lembaga legislatif/parlemen
1 12
Hasil penelitian penulis ketika menulis disertasi hukum yang berjudul “Perjanjian Internasional Self-Executing dan Non-Self-Executing di Pengadilan Nasional” di Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 13 Lihat: P.P. v. Wah Ah Jee, FMS Supreme Court (1919) 2 FMSLR 193. 14 Abdul Ghafur Hamid & Khin Maung Sein, “Judicial Application of International Law in Malaysia: A Critical Analysis”, The 2nd Asian Law Institute (ASLI) Conference, Chulalongkorm University, Bangkok, Thailand, tanggal 26-27 Mei 2005, hlm. 8. 15 Sudargo Gautama, 1992, Indonesia dan Arbitrase Internasional, Alumni, Bandung, hlm. 68-71.
22
OPINIO JURIS
karena peraturan pelaksana selalu berupa undang-undang atau Acts of Parliament. Sebenarnya Mahkamah Agung telah benar ketika menyatakan bahwa Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 bukan peraturan pelaksana dari Konvensi New York 1958 karena fungsi dari UU Pengesahan tersebut bukan untuk membuat Konvensi New York 1958 berlaku di Indonesia, tetapi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga tidak keliru karena Pengadilan menggunakan Konvensi Jenewa 1927 dan Konvensi New York 1958 sebagai alat bantu untuk menginterpretasikan peraturan hukum nasional dan memahami kewajiban-kewajiban internasional yang diemban oleh Indonesia melalui kedua perjanjian internasional tersebut. Kekeliruan Mahkamah Agung adalah membuat PERMA Nomor 1 Tahun 1990 dan menyatakannya sebagai peraturan pelaksana dari Konvensi New York 1958 karena pembentukan peraturan pelaksana atau implementing legislation bukan kewenangan dari Mahkamah Agung, melainkan kewenangan dari DPR. Di Indonesia, Pasal 11 UUD 1945 sama sekali tidak memberikan pernyataan apapun terkait dengan kedudukan hukum internasional di dalam sistem hukum nasional dan konflik di antara kedua sistem hukum tersebut. Pasal 11 UUD 1945 hanya mengatur tentang hubungan antara Presiden dan DPR dalam hal membuat perjanjian internasional dengan negara lain, di mana Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR ketika membuat perjanjian internasional dengan negara-negara lain. Penjelasan lebih lanjut mengenai perjanjian internasional seperti apa yang harus mendapat persetujuan dari DPR
Volume 04 | Januari - April 2012
diatur di dalam Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dan dilanjutkan dengan Pasal 11 terkait dengan perjanjian-perjanjian tertentu yang boleh melalui keputusan presiden [baca: peraturan presiden] seperti yang diatur di dalam Pasal 9 Ayat 2 UU ini. Selanjutnya, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan juga tidak mencantumkan hukum internasional di dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang mana Pasal 7 dari UU ini hanya menetapkan UUD 1945, Tap MPR, UU/PERPPU, PP, Perpres, Perda Propinsi dan Perda kabupaten/kota. Ketidakhadiran hukum internasional secara eksplisit di dalam UUD 1945 maupun UU sebenarnya menjelaskan ke-dualisme-an Indonesia karena keutamaan hukum yang digunakan sebagai sumber hukum formal bagi hakim adalah hukum nasional, bukan hukum internasional. Jika banyak komentar dari berbagai pihak bahwa hukum internasional tidak berlaku di Indonesia karena tidak pernah atau jarang digunakan oleh hakim sebagai dasar hukum dalam memutus perkara adalah tidak benar. Kondisi ketatanegaraan di Indonesia, menurut penulis, adalah sangat unik karena Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan secara murni tetapi juga tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan secara checks and balances. Indonesia punya model sistem pemisahan kekuasaan tersendiri yang jika ditelaah secara mendalam, model tersebut agak “melenceng” dari model yang ada dan dianut di berbagai negara.16 Sebagai contoh perbandingan adalah Kanada di mana negara ini menggunakan sistem pe-
1 16
Kata “melenceng” dari penulis merupakan penekanan atas fungsi tiga (3) lembaga tinggi negara yang saling tumpang tindih dalam melaksanakan kewenangannya, yang mana Pemerintah Eksekutif melakukan penafsiran hukum, DPR melakukan fungsi layaknya Pemerintah Eksekutif, dan Pengadilan membuat peraturanperaturan hukum seperti DPR. 23
Volume 04 | Januari - April 2012
misahan kekuasaan secara murni, yang mana kewenangan untuk membuat dan meratifikasi perjanjian internasional atau persetujuan-persetujuan lain selain perjanjian internasional dimiliki oleh Pemerintah Federal tanpa sedikitpun keterlibatan Parlemen Federal. Namun demikian, Pemerintah Federal tidak dapat memaksakan perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi untuk diberlakukan di wilayah Kanada tanpa adanya persetujuan dari Parlemen Federal atau Propinsi jika menyangkut kepentingan-kepentingan wilayah propinsi.17 Berbeda dengan Amerika Serikat yang menggunakan sistem pemisahan kekuasaan checks and balances, di mana Presiden hanya sampai tahap membuat perjanjian internasional atau persetujuan internasional lainnya selain perjanjian internasional, namun pada saat tahap ratifikasi, Presiden harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Senat, jika itu perjanjian internasional (treaty), dan mendapat persetujuan dari Kongres, jika itu executive agreements18. Indonesia kurang lebih mirip dengan Amerika Serikat dalam proses tahap awal, yaitu persetujuan dari DPR ketika Presiden akan meratifikasi perjanjian internasional, tetapi agak kehilangan checks and balances-nya ketika proses persetujuannya menggunakan keputusan presiden [baca: peraturan presiden] karena tidak ada proses kontrol di awal dari DPR meskipun dalam penjelasan Pasal 11 UU Nomor 24 tahun 2000 memberikan kewenangan kepada DPR untuk meminta pembatalan dari perjanjian internasional yang dipandang
OPINIO JURIS
merugikan kepentingan nasional, dan Pasal 18 huruf (h) UU yang sama. Akan tetapi, ini adalah hal yang sulit untuk dilakukan apalagi jika perjanjian internasional tersebut telah berlaku karena pembatalan secara unilateral suatu perjanjian internasional merupakan pelanggaran prinsip pacta sunt servanda dan dapat memunculkan pertanggungjawaban negara. Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional dan Keputusan Presiden [baca: Peraturan Presiden] bukan merupakan Landasan Hukum bagi Berlakunya Perjanjian Internasional di Indonesia Keunikan dari sistem ketatanegaraan Indonesia terkait dengan pengintegrasian perjanjian internasional adalah terletak pada UU Pengesahan Perjanjian Internasional di mana UU Pengesahan ini, menurut banyak pakar, baik hukum tata negara maupun hukum internasional, merupakan landasan hukum bagi berlakunya perjanjian internasional di Indonesia, meskipun dalam kenyataannya ternyata tidak. Jika menelaah Pasal 9 Ayat 2 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, pengesahan perjanjian internasional dapat dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden [baca: peraturan presiden], maka keputusan presiden [baca: peraturan presiden] pun juga bukan merupakan landasan hukum bagi berlakunya perjanjian internasional di Indonesia. Penjelasan filosofis untuk keputusan presiden [baca: peraturan presiden] ini agak sulit karena keberadaan keputusan presiden [baca:
1 17 18
George Slyz, 1997, “International Law in National Courts”, 28 N.Y.U. J. Int’l. & Pol. 65, hlm. 77-82. Jordan J. Paust, Joan M. Fitzpatrick & Jon M. Van Dyke, loc. cit.
24
OPINIO JURIS
peraturan presiden] ini sama sekali tidak sesuai dengan sistem checks and balances seperti yang berlaku di Amerika Serikat. Dalam Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 hanya menjelaskan mengenai perjanjian-perjanjian yang dianggap penting (treaties) yang memerlukan persetujuan dari DPR, sedangkan perjanjian-perjanjian yang dianggap tidak penting (agreements) akan disampaikan kepada DPR untuk diketahui. Substansi yang ditulis di dalam Surat Presiden tersebut sebenarnya tidak benar juga karena dalam diskusi dengan Dr. Damos Dumoli Agusman, yang namanya perjanjian internasional itu tidak dapat dilihat sampul mukanya saja atau nomeclature-nya tetapi harus melihat isinya atau merit-nya sehingga persetujuanpersetujuan (agreements) atau risalah-risalah rapat (agreed minutes) atau yang lainnya pun bisa dianggap perjanjian internasional jika substansinya memberikan hak dan kewajiban kepada negara-negara. Sebagai contoh adalah kasus antara Qatar v. Bahrain pada tahun 1990 di mana dalam risalah rapat yang ditandatangani oleh para Menteri Luar Negeri negara Qatar, Bahrain dan Arab Saudi menyetujui bahwa Qatar dan Bahrain setuju untuk melanjutkan good offices dari Arab Saudi atas sengketa dua Masjid Suci sampai dengan bulan Mei 1991. Selanjutnya, setelah masa tenggang waktu good offices selesai maka para pihak setuju untuk memasukkan permohonan kepada ICJ. Setelah Mei 1991, Qatar memasukkan permohonan kepada ICJ tetapi ditolak oleh Bahrain karena Bahrain menganggap bahwa Risalah Rapat (Minutes) 1990 tidak dapat dikategorikan sebagai instrumen internasional yang bersifat mengikat negara, dengan bersikap bahwa “Bahrain maintains that the 1990 Minutes do not
Volume 04 | Januari - April 2012
constitute a legally binding instrument. It was no more that a simple record of negotiations… did not rank as an international agreement.” Namun, ICJ menolak sikap Bahrain dengan merujuk pada kasus Aegean Sea Continental Shelf pada tahun 1978 dengan menyatakan: “…The Minutes are not a simple record of a meeting; they do not merely give an account of discussion and summarize points of agreement and disagreement. They enumerate the commitments to which the Parties have consented. They thus create rights and obligations in international law for the Parties. They constitute an international agreement.” Pada akhirnya, ICJ berkesimpulan bahwa “the Minutes of 25 December 1990, like the exchange of letters of December 1987, constitute an international agreement creating rights and obligations for the parties.” Kasus yang menarik terkait dengan UU Pengesahan perjanjian internasional di Indonesia adalah ketika Pemerintah RI c.q. Kementerian Luar Negeri RI digugat oleh beberapa LSM di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Pemohon tertarik untuk mengajukan constitutional review terhadap UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN karena, menurut pemohon, keberadaan UU Pengesahan ini telah membuat norma-norma hukum di dalam Piagam ASEAN telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Pengajuan constitutional review terhadap UU Pengesahan ini menjadi bukti adanya ketidakpahaman dari pihak-pihak tertentu atas status hukum dari UU Pengesahan Perjanjian Internasional. Selain itu, permohonan ini juga mengindikasikan mengenai ketidakpahaman pihak-pihak tertentu tersebut terhadap mak25
Volume 04 | Januari - April 2012
na dari Pasal 11 UUD 1945 dan keberadaan UU Pengesahan Perjanjian Internasional ini di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.19 UU Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia sama sekali tidak berhubungan langsung dengan pemberlakuan norma-norma hukum internasional ke dalam bagian hukum nasional Indonesia karena UU Pengesahan ini hanyalah merupakan, jika kita melihat Pasal 11 UUD 1945 juncto Pasal 9 Ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2000, bentuk formal dari persetujuan DPR kepada Presiden dalam kaitannya dengan treaty-making power, bukan Pasal 20 UUD 1945 dalam hal legislative power. Kewenangan untuk membuat dan meratifikasi perjanjian internasional mutlak dimiliki oleh Presiden, tetapi ketika Presiden akan meratifikasi, Presiden wajib mendapat persetujuan dari DPR. Persetujuan ini memiliki implikasi yang besar karena DPR pasti tidak hanya menyetujui keinginan Presiden begitu saja, namun DPR dapat mengajukan persetujuan dengan syarat, seperti reservations, understandings dan declarations, atau bahkan DPR dapat menolak keinginan Presiden tersebut. Prosedur pendaftaran dan penyimpanan dokumen ratifikasi, seperti yang diatur di dalam Pasal 102 Piagam PBB, tidak serta merta dapat membuat perjanjian internasional berlaku di 1
19
OPINIO JURIS
negara yang bersangkutan karena ada kalanya pendaftaran dan penyimpanan tersebut hanya untuk membuat perjanjian internasional tersebut entry into force atau istilah lainnya ratification in international sense, namun bisa juga pendaftaran dan penyimpanan dokumen ratifikasi tersebut merupakan awal berlakunya perjanjian internasional tersebut di negara yang bersangkutan, kecuali ditentukan lain, seperti adanya deklarasi non-self-executing treaty atau kewajiban untuk mempublikasikan terlebih dahulu pada lembaran negara dan sebagainya20. Substansi dalam UU Pengesahan perjanjian internasional di Indonesia sangat singkat, hanya terdiri dari dua (2) pasal, kemudian di dalam UU Pengesahan tersebut terdapat lampiran berupa perjanjian internasional. Hal yang menarik di dalam UU Pengesahan ini adalah substansi Pasal 2 yang menyatakan bahwa UU ini berlaku pada saat tanggal diundangkan. Kata “berlaku” di sini menimbulkan berbagai macam interpretasi akademik di kalangan akademisi, khususnya hukum tata negara dan hukum internasional. Ada yang beranggapan bahwa kata “berlaku” menunjukkan bahwa UU Pengesahan ini yang memberikan kekuatan hukum pada perjanjian internasional sehingga dengan dilampirkannya perjanjian internasional di dalam UU Pengesahan tersebut maka hakim-hakim dapat
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah Sidang Perkara Nomor 33/PUU-IX/2011 perihal Pengujian UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) terhadap UUD 1945. 20 Praktik di Perancis dan Belanda di mana perjanjian internasional yang telah disetujui oleh Parlemen dan didaftarkan untuk disimpan di Sekretariat Jenderal PBB atau di tempat yang ditentukan, tetap tidak dapat diterapkan oleh hakim-hakim sebelum dipublikasikan di dalam lembaran negara di masing-masing negara. Demikian pula praktik di Amerika Serikat, jika Senat menyatakan bahwa perjanjian internasional tersebut bersifat non-self-executing maka hakim-hakim di Amerika Serikat tidak dapat menggunakannya sebelum adanya implementing legislation yang berupa peraturan hukum federal yang dikeluarkan oleh Kongres.
26
OPINIO JURIS
menggunakan perjanjian internasional tersebut sebagai dasar hukum untuk memutus perkara, dengan kata lain, Indonesia adalah negara monisme. Selanjutnya, kata “berlaku” ada yang memaknai bahwa UU Pengesahan ini baru berlaku bagi Presiden untuk membuat dokumen ratifikasi pada tanggal yang ditetapkan tersebut, dengan kata lain, setelah disahkan maka UU Pengesahan tersebut dijadikan legal basis bagi Presiden untuk membuat dokumen ratifikasi. Filosofi sistem ketatanegaraan Indonesia dalam hubungannya dengan perjanjian internasional sebenarnya sangat jelas dan tegas bahwa praktik yang dianut oleh Indonesia adalah sistem dualisme sehingga perjanjian internasional apapun yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia tidak dapat diberlakukan secara langsung oleh hakim di pengadilan karena harus ditransformasikan terlebih dahulu ke dalam bentuk peraturan perundangundangan yang diakui di Indonesia, dalam hal ini adalah undang-undang. Dengan kata lain, semua perjanjian internasional bersifat non-self-executing sehingga pemberlakuannya harus menggunakan implementing legislation yang berupa undang-undang. Dengan demikian, kata “berlaku” yang terdapat
1
Volume 04 | Januari - April 2012
di dalam Pasal 2 UU Pengesahan sebenarnya ditujukan kepada Pemerintah dan DPR, yang mana ketika kedua lembaga tinggi negara ini berkolaborasi dalam pembuatan rancangan undang-undang, mereka harus mengingat kembali dan melihat bahwa ada norma-norma hukum internasional yang telah mereka setujui bersama yang harus diberlakukan di Indonesia21. Sebagai contoh adalah ketentuan-ketentuan dari Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works yang disahkan melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997 yang kemudian dijabarkan di dalam UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dan materi-materi dalam UN Convention on Climate Change yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 6 Tahun 1994 mulai berlaku efektif setelah diundangkan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.22 Dari kedua contoh tersebut maka semakin jelas ke-dualisme-an Indonesia bahwa perjanjian internasional tidak dapat digunakan secara langsung di pengadilan tetapi implementing legislation-nya yang digunakan oleh para hakim untuk memutus perkara. Meskipun demikian, kaidah-kaidah hukum internasional tetap boleh
21
Pemahaman penulis saat menelaah substansi undang-undang pengesahan dan keputusan presiden [baca: peraturan presiden] terkait dengan pengesahan perjanjian internasional dikaitkan dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia, khususnya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam hukum internasional dikenal dengan istilah transformasi soft dan hard, dan praktik Indonesia lebih mengarah pada transformasi hard karena kewenangan untuk membuat peraturan-peraturan hukum di tangan DPR, meskipun inisiasi pembentukannya juga bisa dilakukan oleh Pemerintah. Ini merupakan salah satu penemuan hukum penulis ketika menulis disertasi hukum di Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 22 Contoh-contoh ini disampaikan dalam slideshow powerpoint di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai Keterangan Ahli yang mewakili Pemerintah c.q. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Pemahaman ini juga merupakan hasil diskusi dengan Bapak Abdul Kadir dan Bapak Rahmat Budiman di Direktorat Perjanjian Internasional di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. 27
Volume 04 | Januari - April 2012
digunakan oleh hakim-hakim sebagai alat bantu untuk melakukan interpretasi hukum terhadap pasal-pasal dalam undang-undang yang dianggap tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dari perjanjian internasional, seperti masalahmasalah yang terkait dengan hukuman atas pelanggaran perikanan di ZEE negara pantai, di mana pasal 73 Ayat 3 UNCLOS 1982 menentukan bahwa “Coastal State penalties for violation of fisheries laws and regulations in the EEZ may not include imprisonment, in the absence of agreements to the contrary by the States concerned, or any other form of corporal punishment.” Namun, jika peraturan hukum dari suatu negara terkait dengan pelanggaran perikanan tersebut memberikan sanksi pidana kurungan atau penjara, maka hakim dapat menggunakan UNCLOS 1982, jika mau, sebagai a help tool untuk menginterpretasikan peraturan hukum nasional yang tidak sesuai tersebut.23 Implementasi Kaidah-Kaidah Hukum Internasional di Pengadilan Nasional Indonesia: Hukum Internasional sebagai A Help Tool bagi Hakim-Hakim untuk Melakukan Interpretasi Hukum Berbicara implementasi kaidah-kaidah hukum internasional di Indonesia sebenarnya tidak terlalu menjadi beban bagi para hakim di Indonesia karena para hakim memang tidak diwajibkan untuk menggunakan hukum internasional sebagai salah satu sumber hukum yang dipakai untuk memutus perkara karena tidak dikenal dalam hirarki peraturan perundangundangan di Indonesia, khususnya di dalam
OPINIO JURIS
Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun, jika hakim-hakim mau, hukum internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia tetapi belum ditransformasikan ke dalam bentuk undang-undang, mereka dapat menggunakan pasal-pasal di dalam perjanjian internasional tersebut sebagai alat bantu untuk menginterpretasikan peraturan hukum nasional yang tidak linier dengan kewajibankewajiban internasional yang diatur dalam perjanjian internasional tersebut. Jika tidak mau, maka kaidah-kaidah hukum internasional tersebut tidak mungkin dapat diterapkan dan tentu saja tidak berlaku secara efektif di pengadilan-pengadilan nasional Indonesia. Yang menjadi ironi adalah pengetahuan hakim-hakim tentang perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, khususnya bagi mereka yang berada jauh sekali dari pusat pemerintahan, apakah mereka memahami tentang kewajibankewajiban internasional yang diemban oleh Indonesia sebagai konsekuensi dari peratifikasian perjanjian-perjanjian internasional tersebut. Tugas hakim adalah tugas yang sangat mulia karena seluruh pertanggungjawaban atas putusan-putusannya kepada Tuhan. Bahkan ada adagium yang mengatakan bahwa putusan hakim tidak pernah salah alias selalu benar karena hakim berusaha mendapatkan kebenaran yuridis, bukan kebenaran empiris, sehingga yang dapat menganulir putusan hakim adalah hakim yang memiliki kedudukan lebih tinggi, bukan pendapat masyarakat. Namun demikian, fungsi
1 23
Hasil diskusi dengan Prof. Craig Allen, University of Washington Law School, Seattle, W.A. – U.S.A.
28
OPINIO JURIS
hakim tidak hanya untuk menegakkan hukum saja, tetapi juga menegakkan keadilan24. Profesor Satjipto Raharjo berpendapat bahwa hukum itu tidak berada pada ruang yang hampa25. Orang mencuri pasti ada alasannya sehingga konstruksi berfikir dalam menegakkan hukum tentu saja sangat berbeda dengan konstruksi berfikir dalam menegakkan keadilan, jika konstruksi berfikir menegakkan hukum melihat dari sisi perbuatan, sedangkan konstruksi berfikir menegakkan keadilan menelaah dari sisi alasanalasan mengapa perbuatan tersebut dilakukan26. Hakim dalam memutus perkara harus mendasarkan pada konstruksi berfikir hukum yang obyektif, bukan pada ketenaran atau kepentingan pribadi. Seringkali ketika hakim-hakim di Indonesia harus memberi vonis hukuman mati kepada terdakwa, mereka selalu mengatakan bahwa kami sangat berhati-hati memutus dan telah menjalankan sholat tahajud dan istiqarah semalaman. Bagi saya, hal tersebut sama sekali sekali tidak ada kaitannya dengan putusan hukum mati karena saya yakin bahwa Tuhan tidak akan datang dan membisikkan sesuatu kepada hakim-hakim tersebut. Tanpa harus menjalankan ibadah seperti itu, hakim-hakim sah-sah saja memberikan putusan mati kepada seorang terdakwa, jika putusan tersebut obyektif dan mem-
Volume 04 | Januari - April 2012
pertimbangkan dan menelaah putusan-putusan hakim dalam kasus-kasus sebelumnya yang serupa sehingga vonis mati tersebut memang pantas dan tidak melanggar rasa keadilan. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat semua kategori first degree murders pasti akan mendapatkan hukuman mati meskipun pelakunya adalah anak-anak karena Pasal 6 Ayat 5 ICCPR telah direservasi oleh Senat Amerika Serikat ketika memberikan persetujuan kepada Presiden saat akan meratifikasi Kovenan tersebut. Kasus Suresh27 di Kanada menunjukkan bahwa hakim memiliki peran yang sangat vital dalam mengimplementasikan norma-norma hukum internasional dan memiliki kebebasan dalam membuat interpretasi hukum sehingga peraturan-peraturan hukum nasional Kanada yang substansinya tidak sesuai dengan hukum internasional dapat dianulir dan dinyatakan tidak berlaku oleh hakim28. Demikian pula di Perancis, dalam kasus Cinar, ketika ada peraturan hukum nasional yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai dalam hukum internasional, hakim di Pengadilan Kasasi Perancis (Counseil d’Etat) tidak segan-segan menganulir putusan pengadilan di bawahnya karena tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang diatur di dalam Pasal 3 Ayat 1 Konvensi
1
Antonius Sudirman, 2007, Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence)-Kasus Hakim Bismar Siregar, Citra Aditya Sakti, Bandung, hlm. 44-45. 25 Ibid., hlm. 51-53. 26 Pemahaman penulis setelah membaca berbagai macam literatur hukum yang membahas sociological legal jurisprudence dan pure legal theory. 27 Lihat: Suresh v. Canada, 2002, SCC 1. File No. 27790. 28 Hugh M. Kindred, The Challenge of Internalizing International Convention Law: The Expereince of Australia, England and Canada with Ratified Treaties, dalam Christopher P.M. Waters (Ed.), 2006, British and Canadian Perspectives on International Law, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden/Boston, hlm. 402-403. 24
29
Volume 04 | Januari - April 2012
Hak Anak, khususnya pada bagian “the best interest of the child”29 Selanjutnya, dalam beberapa kasus di Australia, beberapa hakim menolak menggunakan hukum internasional, seperti kasus Chow Hung Ching 30 di mana hakim Dixon mengatakan bahwa “International law is not part but is one of the source of our law.”31 Kemudian kasus Chung Chi Cheung32 di mana hakim Starke menyatakan bahwa agar peraturan hukum internasional menjadi sah sebagai bagian dari hukum nasional maka peraturan hukum internasional tersebut harus “be accepted and adopted by our domestic law.”33 Ke-dualisme-an Australia ini diulang oleh hakim Kirby dalam kasus Jago 34 dan kasus Chacia35, di mana ia berpendapat hukum bahwa: “It would be an “error” to incorporate international human rights law, as such, into Australian domestic law, it was appropriate to use statements of international law as a “source” of filling a lacuna in the common law of Australia or for guiding the courts as to practice of Australian courts as to proper construction of the legislature provision in question.” 36 Namun, dengan ke-dualisme-an Australia 1
OPINIO JURIS
tersebut tidak berarti bahwa hukum internasional tidak berkembang dengan baik karena hukum internasional tetap menjadi rujukan bagi hakim untuk menginterpretasikan peraturan-peraturan hukum di Australia. Salah satu kasus yang cukup menarik terkait dengan hukum internasional adalah kasus Teoh37 pada tahun 1995 di mana hukum nasional Australia diinterpretasikan oleh hakim Mason dan hakim Deane linier dengan Konvensi Hak Anak, dengan pertimbangan bahwa hukum keimigrasian Australia harus sesuai dengan ketentuanketentuan hukum internasional yang telah disetujui dan diterima oleh Pemerintah Commonwealth Australia meskipun Konvensi Hak Anak belum disetujui oleh Parlemen Commonwealth Australia dan ditransformasikan ke dalam peraturan hukum federal Australia. 38 Adapun alasan-alasan hukum dari High Court dalam kasus tersebut antara lain: “(1) Where a statute or sub-ordinate legislation is ambigious, the courts should favor that construction which accords with Australia’s obligations under a treaty or international convention to which Australia is a party, dan (2) The provisions
Roger Errera, 1997, “Convention on the Rights of the Child-Distinction between Self-Executing and NonSelf-Executing Articles”, Case Comment, P.L. 1997, Win, 723-725, hlm. 723-724. 30 Lihat: Chow Hung Ching v. R., (1948) 77 CLR 449. 31 Rosaline Balkin, International Law and Domestic Law, dalam Sam Blay, Ryszard Piotrowicz & Martin Tsamenvi (Ed.), 2005, Public International Law: An Australian Perspective, Second Edition, Oxford University Press, Victoria, hlm. 117-118. 32 Lihat: Chung Chi Cheung v. R., (1938) AC 160. 33 Rosaline Balkin, op. cit., hlm. 118. 34 Lihat: Jago v. NSW, (1989) 168 CLR 23. 35 Lihat: Cachia v. Hanes, (1991) 23 NSWLR 304. 36 Rosaline Balkin, op. cit., hlm. 119. 37 Lihat: Teoh v. Commonwealth, (1995) 128 ALR 353. 38 Michael Legg, 2002, “Indigenous Australians and International Law: Racial Discrimination Genocide and Reparations”, 20 Berkeley J. Int’l L. 387, hlm. 392. 29
30
OPINIO JURIS
of an international convention to which Australia is a party, especially one which declares universal fundamental rights, may be used by the courts as a legitimate guide in developing the common law.” 39 Sistem peradilan nasional Indonesia harus berubah dan berkembang ke arah yang lebih baik karena saat ini batas antar negara sudah semakin terbuka, artinya bahwa keluar masuknya barang, jasa dan orang dari satu negara ke negara lain semakin mudah sehingga memerlukan hakim-hakim yang mampu dan memiliki pengetahuan hukum yang berdimensi internasional. Hakim-hakim di Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan peraturan-peraturan hukum nasional karena kasus-kasus yang berdimensi internasional yang ada di Indonesia semakin banyak, apalagi Indonesia terlibat dalam komunitas ASEAN, AFTA dan GATT serta berbagai kerjasama internasional lainnya. Oleh karena itu, hakim-hakim harus memperkaya diri mereka dengan kemampuan hukum internasional dengan mengetahui perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia sehingga para hakim juga memahami kewajiban-kewajiban internasional yang harus diemban oleh Indonesia sebagai negara pihak dari perjanjian-perjanjian tersebut. Kesimpulan Ke-dualisme-an Indonesia tercermin dari tidak diaturnya kedudukan hukum internasional di dalam UUD 1945 dan UU sehingga ini secara tidak langsung mendudukkan hukum nasional sebagai primat utama dalam sistem 1
Volume 04 | Januari - April 2012
peradilan nasional di Indonesia. Lebih lanjut, ke-dualisme-an Indonesia terlihat dari sumber hukum formal bagi hakim-hakim di Indonesia untuk memutus perkara yang terdapat dalam Pasal 7 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada akhirnya, ke-dualisme-an Indonesia tampak dari pentransformasian perjanjian internasional ke dalam peraturan hukum nasional melalui metode hard transformation. UU Pengesahan perjanjian internasional bukan bentuk dari transformasi perjanjian internasional ke dalam peraturan hukum nasional di Indonesia karena fungsi dari UU Pengesahan tersebut hanya sebagai bentuk persetujuan DPR kepada Presiden yang akan meratifikasi perjanjian internasional. Selain itu, dengan UU Pengesahan ini, Presiden dapat memanfaatkannya sebagai legal basis untuk membuat dokumen ratifikasi. Kata “berlaku” yang selalu tercantum pada Pasal 2 UU Pengesahan memiliki makna, bukan bagi rakyat atau lembaga yudikatif, bagi Pemerintah dan DPR bahwa ada perjanjian internasional yang telah mereka setujui bersama yang mana ketentuan-ketentuannya harus ditransformasikan ke dalam sebuah peraturan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, permohonan pembatalan terhadap UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN di Mahkamah Konstitusi adalah tidak benar karena UU Pengesahan ini merupakan praktik dari treaty-making power antara Presiden dengan DPR yang diatur di dalam Pasal 11 UUD 1945, bukan Pasal 20 UUD 1945 dalam kaitannya dengan legislative power. Ketidakhadiran ketentuan-ketentuan hukum
39
ibid.
31
Volume 04 | Januari - April 2012
internasional di dalam sistem peradilan nasional Indonesia bukan berarti mengurangi arti peratifikasian Pemerintah Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional karena sebagian besar peraturan-peraturan hukum internasional telah digejahwantahkan ke dalam berbagai macam undang-undang. Namun demikian, bagi ketentuan-ketentuan hukum internasional yang belum ditransformasikan ke dalam bentuk
32
OPINIO JURIS
undang-undang, adalah menjadi kewenangan hakim-hakim Indonesia, jika mau, sebagai a help tool untuk melakukan interpretasi hukum atas semua peraturan hukum nasional yang substansinya tidak sesuai dengan maksud dan tujuan awal dari perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi. Jika tidak mau, maka ketentuan-ketentuan hukum internasional tersebut menjadi tidak dapat diterapkan (inapplicable).