[Me]lanjutkan untuk Melanggar:
Laporan situasi hak asasi manusia di Indonesia caturwulan pertama 2012
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat [Elsam] Mei, 2012
[Me]lanjutkan untuk Melanggar:
Laporan situasi hak asasi manusia di Indonesia caturwulan pertama 2012
Published in Indonesia in 2012 by Institute for Policy Research and Advocacy [ELSAM] Jl. Siaga II No.31, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan 12510 Tel: +62 21 7972662, 79192564, Fax: +62 21 79192519 surel:
[email protected], laman: www.elsam.or.id t. @elsamnews - @ElsamLibrary
Except where otherwise noted, content on this report is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 License Some rights reserved. pg. 2
Daftar Isi A. Pengantar
............................................................................
3
B. Peristiwa-peristiwa terkait dengan pelanggaran HAM
............................................................................
3
............................................................................
3
............................................................................
5
............................................................................
8
............................................................................
13
............................................................................
17
............................................................................
18
............................................................................
21
1. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu jalan di tempat 2. Penyiksaan dan perbuatan kejam, warisan masa lalu yang tak kunjung hilang 3. Wajah perlindungan kebebasan beragama/berkeyakinan yang kian suram 4. Konflik lahan kian marak, kebijakan yang adil tak kunjung datang 5. Berlanjutnya kekerasan, pembungkaman ekspresi politik dan macetnya pertanggungjawaban pelanggaran HAM di Papua 6. Perlindungan HAM setengah hati dalam pembentukan kebijakan C. Penutup dan rekomendasi
pg. 3
A.
Pengantar
Buruknya situasi pemenuhan hak asasi manusia sepanjang tahun 2011 sepertinya belum menjadi refleksi dan pertimbangan utama pemerintahan Yudhoyono untuk segera mengambil langkah perbaikan. Situasi ini tergambar dari masih tingginya praktik pelanggaran hak asasi manusia selama periode Januari-April 2012. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang belum menemukan titik terang, kebebasan beragama dan berkeyakinan yang belum mendapatkan perlindungan memadai, hingga maraknya penyiksaan tahanan. Konflik masyarakat melawan perusahaan untuk memperebutkan lahan pun terus berkecamuk, dan kian lengkap dengan masih tingginya peristiwa kekerasan di Papua. Kuatnya jaminan perlindungan hak asasi manusia yang diberikan konstitusi, tak dibarengi dengan keseriusan pemerintah dalam mengimplementasikan pementuhan hak asasi. Lengkapnya instrumen hukum nasional yang secara khusus mengatur mengenai bagaimana negara harus memajukan, melindungi dan memenuhi hak asasi, pun nampak tidak memiliki makna. Sehari-hari bisa dengan mudah kita saksikan terjadinya beragam pelanggaran, baik secara langsung [by commission], maupun tindakan pembiaran [by omission], dan kegagalan negara untuk bertindak secara layak [failure to act] dalam melindungi HAM. Kuatnya otoritas yang dimiliki organ-organ negara tidak didayagunakan sedemikian rupa untuk melindungi hak-hak warga negara, khususnya mereka yang rentan dan minoritas. Aparat negara acapkali bertindak atas desakan kelompok mayoritas, yang melahirkan praktik-praktik diskriminatif, karena tidak mempertimbangan kepentingan kelompok yang minoritas. Dalam reproduksi kebijakan legislasi, meski ada beberapa yang patut mendapatkan apresiasi, namun pada sisi lain juga masih bermuculan produk legislasi yang sepenuhnya tak sejalan hak asasi. Pembentukan regulasi di ranah legislatif seringkali masih dimaknai sebagai formalitas dari rutinitas legislasi, tanpa secara khusus mempertimbangan paramater hak asasi sebagai substansi. Laporan ini membabarkan situasi hak asasi manusia dalam empat bulan pertama tahun 2012, tentang bagaimana negara menjalankan kewajiban memajukan, melindungi dan memenuhi hak asasi. Di dalamnya dipaparkan beberapa isu utama, yang selama ini menjadi fokus kegiatan dan advokasi Elsam. Informasi yang disajikan dalam laporan ini berasal dari sumber primer yang di dapat Elsam selama proses advokasi, investigasi pelanggaran, maupun laporan dari jaringan Elsam di daerah. Pemberitaan media massa yang secara teratur memberitakan setiap kali terjadi peristiwa pelanggaran, juga menjadi instrumen penting dalam penyusunan laporan ini. B.
Peristiwa-peristiwa terkait dengan pelanggaran HAM 1. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu jalan di tempat
Selama Januari–April 2012, belum ada perkembangan penting dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. 1 Tidak ada satu pun kasus yang telah diselidiki Komnas HAM, seperti kasus Trisaksi, Semanggi I dan II, Kerusuhan Mei 1998, Talangsari 1989, dan Penghilangan Paksa 1997-1998, yang diajukan ke pengadilan HAM adhoc. 2 Mekanisme penyelesaian lainnya, misalnya melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi (KKR), pun nampak belum perkembangannya. 3
1 2 3
Istilah Pelanggaran HAM masa lalu ini merujuk pada kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum tahun 2000. Lihat UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Lihat Pasal 43 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum tahun 2000 diadili di pengadilan HAM adhoc. Pada tahun 2004 muncul UU 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). UU tersebut pada tahun 2006 dibatalkan oleh MK karena dianggap bertentangan dengan hukum HAM Internasional. Setelah itu ada upaya untuk membentuk kembali UU KKR oleh Kementrian Hukum dan HAM, yang sampai saat ini tidak jelas keberlanjutannya.
pg. 4
Kasus penghilangan paksa 1997-1998 yang merupakan kasus yang paling mungkin diajukan ke pengadilan HAM adhoc, karena sudah mendapatkan rekomendasi DPR, hingga kini belum menunjukkan adanya tanda-tanda akan dibawa ke pengadilan. Dari empat rekomendasi DPR, pemerintah hanya menjalankan rekomendasi ke empat, dengan mempersiapan ratifikasi konvensi anti-penghilangan paksa, sebagaimana diagendakan dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia [RANHAM] 2011-2014. 4 Berbagai kemandegan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, merupakan dampak dari kelambanan Presiden Yudhoyono dalam menegakkan hukum dan membuat kebijakan yang diperlukan. Presiden terus bersikap diam untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM dan rekomendasi DPR terkait dengan kasus penghilangan Paksa 1997-1998. Padahal, berdasar UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Presiden harus segera mengeluarkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM adhoc setelah adanya rekomendasi DPR. Demikian pula dengan upaya penyelesaian di luar jalur hukum, misalnya pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi, tak kunjung terealisir karena tidak jelasnya keberlanjutan pembahasan RUU KKR yang diinisiasi oleh Kementrian Hukum dan HAM. Tim Kecil di Kementrian Politik Hukum dan Keamanan, yang diperintahak oleh Presiden untuk merumuskan format penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, sampai dengan akhir Maret juga belum menunjukan hasil apappun. 5 Menkopolhukam Djoko Suyanto beralasan, lambatnya kerja tim ini merupakan konsekuensi dari beratnya kasus-kasus yang harus diselesaikan, mengingat panjangnya rentang waktu, jamaknya kategori kejadian, kriteria korban, dan bentuk penyelesaian yang bermartabat. Upaya yang sama juga dilakukan oleh, Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum dan HAM, Dr. Albert Hasibuan, yang tengah menyusun rekomendasi kepada presiden untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Wantimpres melakukan sejumlah pertemuan dengan tokoh, ahli hukum, dan organisasi masyarakat sipil, termasuk korban, untuk memberikan masukan tentang konsep penyelesaian. Dalam sejumlah kesempatan Albert Hasibuan menyatakan, Presiden berkeinginan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat dalam masa pemerintahannya, dan Wantimpres hendak mengkonkritkan keinginan Presiden tersebut, sehingga tidak menjadi beban sejarah di masyarakat. Disebut-sebut, Presiden bersedia meminta maaf atas nama negara dan pemerintah kepada masyarakat, sebagai simbol usaha menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. 6 Dr. Albert Hasibuan menyatakan akan mengusahakan permintaan maaf Presiden pada Agustus 2012. Hingga akhir Maret, konsep dari Wantimpres tersebut masih terus disusun, belum jelas kapan konsep ini akan diselesaikan dan diserangkan kepada Presiden. Belum jelas hubungan antara Tim di Menkopolhukan dengan Wantimpres, bagaimanya senerginya dan upaya menyeleraskan konsep yang disusun keduanya. Namun sejauh ini proses perumusan kebijakan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu oleh Wantimpres tampak lebih maju dibanding Tim di Kemenpohukam. Komnas HAM juga belum merampungkan penyilidikannya atas sejumlah peristiwa masa lalu, yang mengindikasikan adanya pelanggaran hak asasi manusia. Laporan penyelidikan terhadap peristiwa Pembunuhan Misterius (Petrus) sampai dengan saat ini belum dirilis Komnas HAM. Sorotan tajam diberikan terhadap penyelidikan peristiwa 1965 dan setelahnya, yang telah berjalan selama kurang lebih 3 tahun. 4 5
6
Lihat Kertas Posisi Keadilan Transisional ELSAM, “Menyangkal Kebenaran, Menunda Keadilan: Berlanjutnya Penyangkalan Negara atas Hak-Hak Korban, Mandegnya Penuntasan Kasus Penghilangan Orang secara Paksa Periode 1997-1998”, 17 Februari 2012. Dokumen dapat diakses di www.elsam.or.id. Tim Kecil Penanganan kasus pelanggaran HAM yang berat di Menkopolhukan ini dibentuk setelah adanya pertemuan antara Presiden dengan Komnas HAM pada 13 Mei 2011. Tim ini akan berfokus pada 2 hal yakni penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat masa lalu dan konflik sumber daya alam. Tim ini terdiri dari kementrian terkait dan lembaga-lembaga lainnya diantaranya Kejaksaan Agung dan Komnas HAM. Hasil dari Tim Kecil ini akan diserahkan kepada Presiden. Lihat “SBY Janji Selesaikan Kasus HAM Sebelum 2014”, http://www.beritasatu.com/mobile/nasional/35457-sby-janjiselesaikan-kasus-ham-sebelum-2014.html, diakses pada 1 Mei 2012.
pg. 5
Kondisi ketidakjelasan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu berbanding terbalik dengan kondisi para korban, yang semakin tua, sakit-sakitan dan kian banyak yang meninggal. Namun demikian mereka tetap menuntut adanya penyelesaian atas serangkaian peristiwa yang dialami di masa lalu, sehingga hak keadilan dan pemulihan bisa didapatkan. Mencermati kondisi para korban tersebut, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban [LPSK] telah mengambil langkah penting dengan membuka peluang bagi korban untuk mengajukan permohonan bantuan baik medis maupun psikososial. 7 LPSK memberikan bantuan kepada korban berdasakan kewenangannya sesuai Pasal 34 PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada saksi dan korban. Dalam ketentuan tersebut ditegaskan, korban pelanggaran HAM berat berhak memperoleh bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial. 8 Meski masih terbatas, langkah ini merupakan proses penting untuk mendukung para korban pelanggaran HAM masa lalu. Di tengah kemandegan penyelesaian dari negara, para korban juga melakukan upaya-upaya gugatan hukum baik kelompok maupun perseorangan. Tahun 2011 sejumlah korban dan organisasi masyarakat sipil mengajukan uji materiil ke Mahkamah Agung atas Keppres No. 28 Tahun 1975 mengenai perlakukan diskriminatif atas mantan tahanan politik tragedi kemanusiaan tahun 1965/1966. Hingga kini permohonan tersebut belum diputus oleh MA. Sementara itu, Nani Nurani -mantan penari di Istana Cipanas era Presiden Soekarno- yang pada masa lalu dituduh terlibat PKI dan ditahan secara sewenang-wenang, telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 9 Akan tetapi, dalam putusannya Majelis Hakim menilai gugatan tersebut tidak tepat. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang mendampingi Nani Nurani menyatakan Majelis Hakim telah keliru dalam melihat secara menyeluruh dan seksama akan duduk soal Gugatan Nani Nurani. Hal ini akan memberikan preseden buruk bagi pengungkapan kebenaran dan pencarian keadilan bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu. Dalih formalitas akan mengganjal segala upaya penuntutan hak dan pengungkapan kebenaran para korban pelanggaran HAM masa lalu. 10 Meskipun ada insiatif, namun tiadanya capaian yang signifikan dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, menujukkan adanya pengabaian atas kewajiban negara, terkait dengan pelanggaran HAM yang telah terjadi. Negara gagal dalam memberikan hak-hak korban yang mencakup hak atas kebenaran (the right to know the truth), hak atas keadilan (the right to justice), maupun hak atas pemulihan (the rights to reparations). 2. Penyiksaan dan perbuatan kejam, warisan masa lalu yang tak kunjung hilang Dalam kurun waktu empat bulan, Januari-April 2012, Elsam mencatat sedikitnya terjadi 22 kasus penyiksaan, penganiayaan, perlakukan yang kejam dan tidak manusiawi, yang terjadi di tempat-tempat penahanan. 11 Tindakan yang tidak manusiawi ini terjadi baik pada saat penangkapan, interogasi, maupun selama dalam penahanan. Kecenderungannya pun terus mengalami kenaikan, dari 4 kasus di bulan Januari, naik menjadi 6 kasus pada bulan Februari, menurun kembali pada Maret menjadi 5 kasus, dan naik lagi menjadi 7 kasus di bulan April. 7 8 9
10 11
Lihat Siaran Pers LPSK, “LPSK Berikan Bantuan Korban Pelanggaran HAM Tanjung Priok”, 30 April 2012. Lihat http://berita.liputan6.com/read/395249/lpsk-berikan-bantuan-medis-korban-ham-tanjungpriok, diakses pada 1 Mei 2012. Gugatan Nani Nurani diajukan sejak Jumat, 28 Oktober 2011 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan sidang perdana Gugatan Nurani digelar pada 21 November 2011. Dalam gugatannya dengan nomor perkara 439/PDT.G.BTH.PLW/2011/PN.JKT.PST. Kasus Nani Nurani dan perkembangan gugatan ini secara berkala telah didokumentasikan dalam Bulletin Asasi ELSAM. Dokumen dapat diakses di www.elsam.or.id Lihat “Putusan Nani Nurani: Mengganjal Upaya Korban Pelanggaran HAM Masa Lalu Dalam Mencari Keadilan”, 12 April 2011. Sumber: http://elsam.or.id/new/index.php?id=1846&lang=in&act=view&cat=c/302. Sementara merujuk pada laporan LBH Jakarta, yang dirilis pada April 2012, menyebutkan hampir semua tahanan anak mengalami kekerasan, bahkan pelecehan seksual, sebelum sampai di persidangan. Sebanyak 98 persen anak mengaku disiksa saat menjalani pemeriksaan, 97 persen mengaku dipukuli ketika penangkapan, dan 74 persen dihajar saat di dalam tahanan.
pg. 6
Jumlah Kasus
Diagram 1: Kasus penyiksaan Januari-April 2012 8 7 6 5 4 3 2 1 0
April (7)
Februari (6)
Maret (5)
Januari (4)
0
1
2
3
4
5
Bulan
Peristiwanya pun menyebar, hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia, termasuk DKI Jakarta yang pengawasannya relatif ketat dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya. Dalam caturwulan pertama 2012 terjadi dua kasus penyiksaan di Jakarta, sejajar dengan Jatim, Jateng, Jabar, Lampung, dan Sumatera Utara. Diagram 2: Persebaran kasus penyiksaan 2,5 Jatim (2)
Jumlah Kasus
2
0,5
Lampung (2)
Jateng (2) Sumut (2) DKI Jakarta (2)
1,5 1
Jabar (2)
Kepri (1)
Maluku (1)
Malut (1)
NTT (1) Sulsel (1) Kalbar (1) Sulbar (1)Sultra (1) Bali (1) Sumbar (1)
0 0
5
10
15
20
Wilayah
Sementara pelakunya, anggota Polisi masih menduduki peringkat pertama pelaku penyiksaan. 55% kasus penyiksaan atau 12 kasus dari 22 kasus penyiksaan, pelakunya diduga kuat adalah polisi. Petugas Rutan/Lapas menduduki peringkat kedua pelaku dengan 5 kasus (23%), dan 4 kasus dilakukan oleh tahanan lain, serta 1 kasus dilakukan oleh petugas imigrasi. Sedikitanya 30 anggota polisi dan 11 petugas Rutan/Lapas diduga terlibat dalam kasus penyiksaan, beberapa diantaranya sudah dilakukan proses hukum. Sedangkan tahanan yang terlibat penganiayaan sedikitnya ada 42 orang. Di Bekasi, seorang tahanan tewas akibat dianiaya oleh tahanan lain. Dari 22 kasus penyiksaan selama periode Januari hingga April 2012, korbannya mencapai 30 orang, 10 orang diantaranya tewas dan 20 orang luka-luka. Di Jawa Barat dua tahanan tewas, satu dianiaya tahanan lain, seorang lainnya diduga kuat disiksa oleh Polisi, setelah ditangkap tanpa adanya surat penangkapan. 12
12
Lihat http://www.detiknews.com/read/2012/02/06/121709/1835048/10/sopir-angkot-meregang-nyawa-di-tahanan-polisidepok?9911012, diakses pada 1 Mei 2012.
pg. 7
Diagram 3: Pelaku penyiksaan Petugas Imigrasi 1 Tahanan kasus (4%) Lain 4 kasus (18%)
Petugas Rutan 5 kasus (23%)
Polisi Petugas Rutan/Lapas
Polisi 12 kasus (55%)
Diagram 4: Korban penyiksaan
Korban tewas 10 orang (33%)
Korban lukaluka 20 orang (67%)
Tewas Luka-Luka
Aparat penegak hukum seperti tidak pernah memetik pelajaran, untuk tidak lagi menggunakan praktik penyiksaan dalam mengorek informasi dari tersangka. Mengulang peristiwa yang terjadi Sijunjung, ketika kakak-beradik, Faisal Akbar (14) dan Budri M Zain (18) harus meregang nyawa di tahanan pada Desember 2011, pada Maret 2012, seorang lagi tahanan, Erik Alamsyah (21), tewas di Sumatera Barat. Data yang diperoleh Komnas HAM menyebutkan, korban tewas setelah 4 jam ditangkap. 13 Hasil investigasi LBH Padang dan Komnas HAM Perwakilan Sumatera Barat menyebutkan bahwa para saksi juga mengalami penganiayaan. Erik dan dua saksi mengalami pemukulan pada saat pemeriksaan. 14 Dari tubuh korban ada bekas luka lebam di bagian kepala, pelipis mata, leher, pundak yang robek, dan bagian lutut luka akibat pukulan dari ikat pinggang besi polisi. Polda Sumatera Barat kemudian memeriksa enam polisi atas tewasnya Erik Alamsyah tersebut. 15 Kasus lain terjadi di Semarang, Jawa Tengah. Suryo (48), warga Mijen, Semarang, meninggal di tahanan pada 3 Februari 2012. Suryo ditangkap di rumahnya tanpa surat penangkapan dan langsung dijebloskan di sel tahanan Mapolda Jateng. Ketika keluarga besuk tersangka dalam keadaan sehat, namun keesokan harinya tersangka tewas dan dinyatakan terkena serangan jantung. Dari tubuh korban terlihat adanya luka memar di bagian punggung dan kepala. Pihak
13 14 15
Lihat http://nasional.vivanews.com/news/read/301140-empat-jam-ditangkap-polisi--tersangka-tewas, diakses pada 1 Mei 2012. Lihat http://us.nasional.vivanews.com/news/read/314539-tahanan-tewas-disiksa--lpsk-lindungi-saksi, diakses pada 20 Mei 2012. Lihat http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/04/03/182167/Tersangka-Tewas-Enam-PolisiDiperiksa, diakses pada 1 Mei 2012.
pg. 8
keluarga korban kemudian membawanya ke RS Wira Bhakti Tamtama, Semarang, untuk dilakukan visum ulang. Pihak keluarga juga melaporkan kasus tersebut ke Polda Jawa Tengah. 16 Masih maraknya kasus-kasus penyiksaan menunjukkan tidak efektifnya pencegahan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, meski ada upaya untuk mengukum para pelakunya. Dari berbagai kasus yang terajdi, terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi terus berlangsungnya kasus-kasus penyiksaan, dan perlakukan kejam kepada para tahanan, diantaranya: pertama, belum berubahnya kultur masa lalu dimana praktik interogasi kepada para tersangka seringkali dilakukan dengan cara-cara menyiksa dan melakukan tindakan kejam untuk mendapatkan pengakuan. Minimnya anggaran dan penggunaan teknologi dalam mengumpulkan bukti-bukti, melegitimasi terus terjadinya praktik penyiksaan. Kedua, seringkali pelaku penyiksaan dihukum ringan dan tak jarang pula hanya dikenai hukuman disiplin, yang menjadikan ketiadaan pelajaran dan peringatan bahwa pelaku penyiksaan akan dihukum dengan setimpal. Penolakan-penolakan atas dugaan adanya praktik penyiksaan yang dilakukan institusi kepolisian juga memberikan dampak pada upaya perlindungan bagi para oknum polisi yang melakukan penyiksaan. Apabila ada tahanan yang meninggal, langsung disimpulkan karena sakit, langsung dikuburkan tanpa adanya autopsi yang memadai, guna mengetahui sebab-sebab kematian. Praktik penyiksaan baru terungkap ketika organisasi-organisasi HAM melakukan penelurusan dan menyuarakan adanya praktik penyikaan di tempat penahanan, yang sebelumnya disanggah oleh pihak kepolisian. Ketiga, hukuman ringan itu juga tidak terlepas dari lemahnya instrumen hukum pidana terkait dengan kejahatan penyiksaan. KUHP yang selama ini menjadi landasan penghukuman bagi kejahatan penyiksaan, masih mendasarkan pada delik penganiayaan dan delik-delik lainnya, dan belum sesuai dengan pengertian penyiksaan sebagaimana yang didefinisikan dalam Konvensi Anti Penyiksaan. Dalam berbagai kasus penyiksaan yang dilakukan oleh oknum TNI, proses peradilan dengan melalui peradilan militer juga menyumbang kegagalan untuk melakukan pengukuman yang memadai bagi terjadinya kejahatan penyiksaan dan perlakuan kejam lainnya. Keempat, lemahnya sistem pengawasan di tempat-tempat penahahan telah menyuburkan praktik-praktik penyiksaan dan perlakuan kejam terhadap para tahanan. Tindakan penyiksaan, penganiayaan, perlakuan kejam, dan tidak manusiawi seringkali bukan hanya dilakukan oleh oknum kepolisian selama proses interogasi, tetapi dilakukan oleh sipir penjara karena berbagai alasan. Ketiadaan sanksi bagi atasan pelaku penyiksaan di tempat-tempat penahanan, menjadikan para atasan tidak secara serius melakukan kontrol dan mengawasi perilaku anak buanya yang berpotensi melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum. 3. Wajah perlindungan kebebasan beragama/berkeyakinan yang kian suram Jaminan kebebasan beragama atau berkeyakinan terus memburuk, melanjutkan beragam peristiwa pada tahun sebelumnya. Kasus pendirian rumah ibadah yang telah berlangsung sejak tahun 2011, masih berlanjut tanpa adanya penyelesaian yang tuntas. Sedikitnya 21 kasus yang terkait dengan jaminan kebebasan beragama terjadi antara Januari hingga April 2012. Varian kasusnya pun beranekaragam, Elsam mencatat ada 11 varian pelanggaran terhadap jaminan kebebasan beragama dalam periode tersebut. Penutupan tempat ibadah dan krimalisasi keyakinan menduduki peringkat pertama pelanggaran, masing-masing empat kasus. Berikutnya berupa tindakan kekerasan, pengrusakan tempat ibadah, penyerangan aktivitas peribadatan, dan pembubaran kelompok kepercayaan masing-masing dua kasus. Selanjutnya masing-masing satu kasus berupa pelarangan pendirian
16
Lihat http://metrotvnews.com/read/news/2012/02/04/80887/Tahanan-Polda-Jateng-Tewas-Keluarga-Curiga-Dianiaya/6, diakses pada 1 Mei 2012.
pg. 9
tempat ibadah, pelarangan keyakinan, pengusiran karena tuduhan sesat, pembubaran aktivitas keagamaan, dan pelarangan aktivitas. Diagram 5: Bentuk pelanggaran kebebasan beragama
1 kasus (5%) 2 kasus (10%)
1 kasus (5%)
4 kasus (19%) 2 kasus (9%)
Pengrusakan tempat ibadah Kriminalisasi keyakinan Pelarangan pendirian tempat ibadah Penyerangan aktivitas peribadatan Pelarangan keyakinan
1 kasus (5%)
1 kasus (5%) 2 kasus (9%) 2 kasus (9%)
Penutupan tempat ibadah Tindakan kekerasan
1 kasus (5%)
Pengusiran karena tuduhan sesat Pembubaran kelompok kepercayaan Pembubaran aktivitas keagamaan Pelarangan aktivitas
4 kasus (19%)
Persebaran kasusnya pun kian meluas, jika sebelumnya terkonsentrasi di Jawa khususnya bagian barat, sekarang kasus serupa mulai menyeruak di wilayah-wilayah lain. Kasus GKI Yasmin di Bogor masih belum terselesaikan, sekarang muncul kasus serupa di Tambun, Bekasi. Penolakan dan penutupan tempat ibadah juga terjadi di beberapa wilayah yang lain, seperti Jambi dan Riau. Penutupan dilakukan oleh Satpol PP, berdasarkan perintah dari kepala daerah. Pola-pola pelanggaran pun tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Penutupan rumah ibadah dilakukan dengan alasan periijinan dan ditolak masyarakat setempat. Pengerahan massa terorganisir selalu dilakukan dalam mendukung upaya penutupan, setelah sebelumnya didahului dengan pertemuan para pihak dengan suasana intimidatif, dan upayaupaya untuk mengganggu jalannya ibadah. Dari segi kuantitas pelanggaran, seperti periodeperiode sebelumnya, Jawa Barat menduduki peringkat pertama pelanggaran, dengan 9 kasus, diikuti Jawa Tengah dengan 4 kasus, serta 2 kasus di DI Yogyakarta. Pemerintah Pusat tak pernah bersikap untuk menyelesaikan polemik yang terkait kebebasan beragama, dan malah menyerahkan penyelesaiannya ke pemerintah daerah. Padahal masalah utama sesungguhnya ada di pemerintah daerah, yang gagal melindungi kelompok minoritas. Kasus GKI Yasmin di Bogor 17 dan HKBP Filadelfia di Bekasi menjadi bukti gagalnya pemerintah 17
Pada tanggal 22 Januari 2012, ratusan orang yang tergabung dalam warga Curug Mekar, Forum Komunikasi Muslim Indonesia, dan Gerakan Reformasi Islam menggelar unjuk rasa menolak pelaksanaan ibadah jemaat GKI di Taman Yasmin, Bogor, Jawa Barat. Kelompok ini mengepung sebuah rumah yang menjadi tempat ibadah GKI Yasmin di Jalan Cemara Raya nomor 9, Kompleks Taman Yasmin. Kelompok ini berunjuk rasa dan mengancam ke arah jemaat yang sedang beribadat setelah menembus blokade berlapis aparat keamanan. Peristiwa ini baru berakhir setelah jemaat GKI Yasmin membubarkan diri dan tidak melaksanakan ibadah. Hingga kini, penyelesaian di tingkat lokal belum berhasil dan berharap pemerintah pusat turun tangan untuk menyelesaian. Namun, justru respon Presiden SBY menyerahkan seluruh penanganan GKI Yasmin pada pemerintah daerah Bogor, Gubernur Jabar, dan dibantu beberapa menteri yang terkait. Padahal, pihak-pihak tersebut justru mrupakan pihak yang bermasalah, diantaranya terlihat dari sikap menteri Agama Suryadharma Ali yang tidak jelas, dan
pg. 10
daerah untuk melindungi kelompok minoritas, serta kegagapan pemerintah pusat untuk menyelesaikan sengketa yang terkait dengan kebebasan beragama.
Jumlah Kasus
Diagram 6: Persebaran kasus pelanggaran kebebasan beragama 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Jabar (9)
Jateng (4)
Riau (1) Sumbar (1) Banten (1) Jambi (1)
DIY (2) Jatim (1) DKI (1)
0
2
4
6
8
10
Dalam kasus HKBP Filadelfia, intimidasi dan teror selalu menyertai pelaksanaan ibadah jemaah ini. Pada 22 April 2012, Jemaah HKBP Filadelfia yang hendak beribadah dibubarkan oleh sekelompok orang. Jalan menuju gereja diblokir oleh massa yang berjumlah sekitar 500 orang. Mereka berusaha menyerang pelaksanaan ibadah HKBP Filadelfia, namun berhasil dihalau pihak keamanan. Pada ibadah sebelumnya, Minggu, 15 April 2012, pimpinan gereja sempat diancam dibunuh oleh kelompok intoleran ini, akibatnya dia terpaksa mengosongkan rumahnya di Perumahan Villa Bekasi Indah 2. 18
18
berpandangan bahwa GKI Yasmin bukan urusan agama, tapi urusan hukum. Persoalan ini juga telah diupayakan penyelesaiannya oleh DPR, yang dalam dalam Rapat gabungan yang diikuti oleh Komisi II, III, VIII DPR, Pemerintah pusat dan daerah, Ombusman RI, dan pengurus GKI Yasmin memutuskan kepada Pemerintah Pusat dan Daerah untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Komisi Ombudman Republik Indonesia juga telah merekomendasikan Walikota Bogor untuk menjalankan putusan Mahkamah Agung, termasuk membuka segel gereja GKI Yasmin di Bogor Jawa Barat. Komisi Ombudsman dengan tegas menyatakan bahwa kunci penyelesaian kasus ini ada di Pemerintah Pusat, karena Walikota Bogor tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman. Upaya penyelesaian juga diusahakan oleh Dewan Pertimbangan Presiden dan Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas). Wantimpres dan Wantanas mengusulkan sejumlah opsi terkait dengan penyelesaian kasus GKI Yasmin, diantaranya usulan tentang adanya pendirian masjin disamping Gereja GKI Yasmin. Dalam pertemuan mediasi pertama 19 April, Wantanas mengusulkan proyek kerukunan umat beragama dalam menyelesaikan kasus ini, diantaranya dengan dengan membangun masjid dan/atau tempat peribadatan lain di sekitar lokasi GKI Yasmin. Wantanas, yang difasilitasi Dewan Pertimbangan Presiden mengajukan dua solusi atas kisruh GKI Yasmin, yakni pertama, Wali Kota Bogor disarankan mematuhi keputusan Mahkamah Agung dan Ombudsman RI atas bangunan gereja dan solusi kedua adalah dibangunnya masjid dekat bangunan gereja sebagai simbol tolerasi antarumat beragama. Perkembangan terakhir mengindikasikan, Walikota Bogor setuju dengan adanya pembangunan Masjid dekat dengan lokasi pembangunan Gereja GKI Yasmin. Walikota Bogor, Jawa Barat Diani Budiarto dan Jemaat GKI Yasmin bersepakat untuk menyelesaikan konflik, dengan jalan keluar membangun masjid di sebelah gedung gereja. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum dan HAM Albert Hasibuan menyampaikan hal ini dalam pertemuan membahas kasus GKI Yasmin bersama jemaat dan Dewan Ketahanan Nasional yang tidak dihadiri Walikota Bogor. Dalam surat yang ikut ditembuskan ke Presiden dan Menteri Dalam Negeri ini, Walikota Bogor mengungkapkan kemungkinan persetujuan karena kesamaan pandangan yang sama dengan usulan Wantanas terkait penyelesaian kasus ini. Dalam butir ke 5 surat Wali Kota Bogor bernomor 452.2/1143-HUK dan tertanggal 30 April 2012, usulan yang disampaikan Wantanas sesuai dengan Walikota, yakni pendirian masjid di dekat GKI Yasmin sebagai jalan tengah. HKBP Filadelfia berada di Kampung Jalen, Desa Jejalen, Kecamatan Tambun Utara Kabupaten Bekasi Jawa Barat. Hambatan kegiatan ibadah terhadap jemaat Filadelfia telah terjadi sejak pendiriannya pada tahun 2000, dan pada awal tahun 2012 terjadi eskalasi intimidasi terhadap jemaah, yang telah mengarah pada kekerasan fisik yang melakukan ibadah di sekitar lokasi pembangunan gereja. Kronoligisnya bermula pada 2007, ketika Jemaah HKBP Filadelfia mencari lahan tempat pendirian gereja, dan melakukan upaya mencari dukungan dari masyarakat setempat sesuai dengan peraturan, yang akhirnya mendapatkan tandatangan dan KTP. Kepala Desa Jejalen Jaya juga mengeluarkan rekomendasi Persetujuan untuk mendirikan Gereja HKBP Filadelfia dan mengajukan Permohonan Rekomendasi izin Pendirian Gedung Gereja HKBP Filadelfia kepada Bupati Bekasi, Departemen Agama Kabupaten Bekasi, dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kab. Bekasi dan Camat Tambun Utara. Pada Oktober 2009 Panitia Pembangunan HKBP Filadelfia sepakat untuk melaksanakan ibadah di lokasi tanah gereja yang dimohonkan. Pada Ibadah pertama saat hari Natal, 25 Desember 2009, didemo massa, demikian pula engan ibadah kedua pada 27 Desember 2009. Ibadah-ibadah selanjutnya terus mengalami gangguan, yang pada 3 Januari 2010, sejak pukul 06.00, massa telah menduduki lokasi tanah gereja serta memblokir jalan menuju lokasi, yang akhirnya jemaat beribadah di Balai Desa Jejalen Jaya, namun perwakilan massa juga bermaksud menghentikan ibadah tersebut. Sekitar pukul 15.00, HKBP Filadelfia menerima
pg. 11
Kecenderungan pelanggaran terhadap kebebasan beragama pun terus mengalami peningkatan, sejak Januari hingga April 2012. Jika pada Januari hanya terjadi 3 kasus, Februari meningkat menjadi 4 kasus, melonjak di bulan Maret menjadi 7 kasus, dan pada April terjadi 7 kasus. Diagram 7: Pelanggaran kebebasan beragama Januari-April 2012 10 8 April; 7
Maret; 7
6 4
Februari; 4
Januari; 3
2 0 0
1
2
3
4
5
Diagram 8: Pelaku pelanggaran kebebasan beragama Warga Sipil 2 kasus (12%)
Kelompok Intoleran 11 kasus (52%)
Polisi 2 kasus (12%)
Pemda 5 kasus (24%) Polisi Pemda Kelompok Intoleran Warga Sipil
Surat Bupati Bekasi No 300/675/KesbangPollinmas/09 yang berisikan penghentian kegiatan pembangunan dan penghentian kegiatan ibadah di lokasi gereja HKBP Filadelfia tertanggal 31 Januari 2009. Terdapat sejumlah pertemuan untuk menyelesaian, diantaranya pada 8 Januari 2010 di Kantor Kepala Desa Jejalen Jaya yang memutuskan bahwa balai desa tidak bisa dipakai untuk tempat ibadah. Selain itu juga menolak kegiatan kebaktian di balai desa dan menolak kegiatan ibadah di lokasi rencana pembangunan gereja HKBP Filadelfia, tanpa adanya kehadiran pihak HKBP Filadelfia. Pada 10 Januari 2010, dengan terpaksa ibadah diadakan kembali di lokasi gereja karena tidak ada solusi yang diberikan oleh pemerintah setempat sesuai dengan Peraturan Menteri Bersama 2006, yakni bila suatu upaya mendirikan rumah ibadah dapat halangan maka pemerintah harus menyediakan lokasi ibadah. Ibadah Minggu ini juga di demo massa. Pada 12 Januari 2010, Pemda Bekasi menyegel lokasi Gereja dengan dasar pertimbangan Perda No 7 tahun 1996, tanpa ada pemberitahuan, padahal hari itu akan diadakan pertemuan. Pada 14 Januari 2010, HKBP Filadelfia mengirimkan Surat kepada Bupati Bekasi No 06/SPI/HF/RDJ/DXIX/01/10 berisikan Permohonan Izin Tempat Beribadah Jemaat HKBP Filadelfia. Pada 15 Januari 2010, HKBP Filadelfia menerima tembusan surat Komnas HAM yang ditujukan kepada Bupati Bekasi No. 242/K/PMT/I/10 dan Kapolres Bekasi No. 243/K/PMT/I/10. Pada 17 Januari 2010, ibadah terpaksa dilakukan di depan pagar gereja, beralaskan koran dan beratapkan langit karena tak ada tempat beribadah karena Gereja telah disegel. Ibadah pada Minggu 24 Januari 2010 dan setelahnya ibadah terpaksa dilakukan di depan pagar gereja. Pada Maret 2010 pihak HKBP Filadelfia mengadakan gugatan ke PTUN Bandung. Pada 30 September 2010 gugatan HKBP Filadelfia dimenangkan PTUN Bandung dengan empat keputusan; 1) Mengabulkan gugatan gereja seluruhnya, 2) Menyatakan batal SK Bupati Bekasi No: 300/675/Kesbangponlinmas/09, tertanggal 31 Desember 2009 perihal Penghentian Kegiatan Pembangunan dan Kegiatan Ibadah, gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia, di RT 01 RW 09 Dusun III, Desa Jejalen Jaya, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, yang diterbitkan oleh tergugat, 3) Memerintahkan kepada tergugat untuk mencabut SK Bupati Bekasi No: 300/675/Kesbangponlinmas/09, tertanggal 31 Desember 2009, perihal Penghentian Kegiatan Pembangunan dan Kegiatan Ibadah, gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia, di RT 01 RW 09 Dusun III, Desa Jejalen Jaya, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, yang diterbitkan oleh tergugat, dan 4) Memerintahkan tergugat untuk memproses permohonan izin yang telah diajukan Penggugat serta memberikan izin untuk mendirikan rumah ibadah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada 5 Mei 2011, HKBP Filadelfia dimenangkan PT TUN Jakarta dengan keputusan menguatkan hasil PTUN Bandung. Bupati kasasi ke Mahkamah Agung. Pada 28 Juni 2011, kasasi Bupati Bekasi ditolak Mahkamah Agung dan menguatkan putusan PTUN Bandung. Bupati tidak mengadakan upaya hukum lagi yang berarti Bupati Bekasi menerima putusan PTUN Bandung, PT TUN Jakarta dan Mahkamah Agung. Putusan sudah berkekuatan tetap tersebut harus dieksekusi Bupati Bekasi 90 hari kerja sejak dikeluarkan putusan dari Mahkamah Agung.
pg. 12
Pelaku pelanggaran jika di tahun 2011 didominasi oleh aparat pemerintah daerah, dalam periode Januari-April 2012 pelanggaran paling banyak dilakukan oleh kelompok intoleran, 19 dengan 11 kasus pelanggaran (52%), sementara Pemda terlibat dalam lima kasus pelanggaran (24%). Polisi pun masih terlibat dalam pelanggaran, meski tercatat hanya dua kasus (12%), dan dua kasus lainnya dilakukan oleh warga sipil (12%). Sementara korbannya, jika pada tahun 2011 paling banyak mengalami pelanggaran adalah kelompok Ahmadiyah, di caturwulan pertama 2012 kelompok Kristen paling banyak menjadi korban pelanggaran, sedikitnya 8 kasus pelanggaran dialami mereka (38%). Kelompok kepercayaan menduduki peringkat kedua sebagai korban pelanggaran (19%), sedangkan Ahmadiyah menjadi korban terbanyak ketiga dengan 3 kasus pelanggaran (14%). Diagram 9: Korban pelanggaran kebebasan beragama
Kelompok Kepercayaan 4 kasus (19%)
Kelompok Syiah 2 kasus (10%) Ormas 1 kasus (5%) Kelompok Ahmadiyah 3 kasus (14%)
Kelompok Ahmadiyah Kelompok Kristen Warga Sipil Kelompok Kepercayaan Kelompok Syiah
Warga Sipil 3 kasus (14%)
Kelompok Kristen 8 kasus (38%)
Ormas
Persekusi yang dialami Ahmadiyah seperti tak pernah ada kata akhir, kasus Cikeusik yang sudah setahun berlalu, sampai hari ini masih menyisakan sejumlah persolan. Tiga anggota kepolisian yang dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus Cikeusik, sampai saat ini belum dilanjutkan proses hukumnya. Sejumlah pelaku yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang [DPO] dalam peristiwa tersebut, juga belum jelas keberadaannya. Sedangkan para korban, tidak dapat kembali ke tempat kediaman mereka di Cikeusik. 20 Di tahun 2012, kekerasan juga masih dialami oleh jemaat Ahmadiyah. Pada 17 Februari 2012, ratusan orang menyerang Masjid Nurhidayah milik Jemaat Ahmadiyah di Jalan Raya Ciranjang, Kampung Cisaat, Kec. Haurwangi, Cianjur, Jawa Barat. Massa sekitar 200 orang terlebih dahulu merobohkan dinding bagian belakang masjid. Kemudian, para pelaku melempari atap bangunan dengan batu yang mengakibatkan Masjid itu mengalami kerusakan yang cukup parah. Genteng, pintu dan jendela kaca hancur berantakan. Tak hanya di luar, bagian dalam masjid juga tak luput dari perusakan. Aksi perusakan itu sudah ditangani aparat Kepolisian Resor Cianjur. 21 Polres Cianjur
19 20
21
Kelompok intoleran adalah kelompok yang seringkali mengatasnamakan agama tertentu (mayoritas) untuk menekan eksistensi/kehadiran kelompok lain (minoritas). Dalam aksi-aksinya seringkali mereka menggunakan aksi-aksi kekerasan. Lihat http://www.mediaindonesia.com/read/2012/02/06/296553/284/1/Setahun-Cikeusik-masih-Sisakan-Duka, diakses pada 1 Mei 2012. Akibat peristiwa tersebut anggota Jemaat Ahmadiyah yang mengungsi dan keluar dari Cikeusik berjumlah 36 (tiga puluh enam) orang, diantaranya 5 (lima) orang sudah kembali ke Philipina, 9 orang tidak mau kembali karena sudah ada ikatan kerja diluar Cikeusik dan lebih memilih untuk tinggal di luar Cikeusik, sisanya lebih memilih untuk tinggal bersama keluarga di luar Cikeusik. Masih ada 9 orang yang ingin kembali ke Cikeusik karena harta benda mereka berada di wilayah tersebut. terdapat 2 kali upaya korban dari Jemaat Ahmadiyah mencoba untuk datang kembali ke Cikeusik, namun ditolak oleh masyarakat setempat dan akhirnya mereka kembali lagi ke tempat pengungsian. Lihat http://nasional.vivanews.com/news/read/289191-masjid-jemaah-ahmadiyah-dirusak-massa, diakses pada 1 Mei 2012.
pg. 13
menetapkan 15 orang sebagai tersangka. Belasan tersangka itu merupakan warga dari tiga rukun warga (RW) di Kampung Cisaat, Desa Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi. 22 Kelompok baru yang menjadi korban dari lemahnya negara dalam memberikan perlindungan atas kebebasan beragama adalah syiah di Sampang, Madura. Setelah pada 2011 mengalami penyerangan secara fisik, di awal 2012 pemimpin Syiah setempat, Ustadz Tajul Muluk dikenakan pidana penodaan agama, dengan tuduhan melakukan penyebaran aliran sesat. 23 Padahal Tajul Muluk dan keluarganya adalah korban yang menuntut keadilan atas tindakan para penyerang, yang telah membakar rumah dan tempat ibadah mereka. Sementara banyak para pelaku pembakaran dan penyerangan yang terekam baik oleh media cetak maupun elektronik, masih bebas berkeliaran. 24 Pada tanggal 12 April 2012, bersamaan dengan selesainya pemberkasan perkara di Polisi (P21), Tajul Muluk ditahan oleh Kejaksaan. Tajul Muluk didakwa melakukan perbuatan yang melanggar Pasal 156a terkait dengan penistaan dan penodaan agama dan pasal 335 ayat (1) KUHP. 25 Diduga penetapan korban sebagai terdaka ini merupakan desakan dari pihak-pihak yang selama ini tidak setuju dengan adanya komunitas syiah di Sampang. 26 4. Konflik lahan kian marak, kebijakan yang adil tak kunjung datang Awal tahun 2012 ditandai dengan selesainya masa kerja dan penyerahan Laporan Akhir dari Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa (TPF) Mesuji. Meskipun tim ini dibentuk secara khususu untuk melakukan investigasi dan pencarian fakta atas peristiwa konflik lahan yang berujung kekerasan di Mesuji, Lampung, namun dalam laporanannya tim juga memberikan rekomendasirekomendasi umum guna penyelesaian konflik-konflik pertanahan yang marak terjadi. Laporan dari tim ini diharapkan bisa menjadi titik awal bagi upaya penyelesaian ribuan sengketa pertanahan yang terjadi sejak masa lalu dan belum ada penyelesaiannya. Sejumlah rekomendasi penting yang diberikan tim ini antara lain: (1) mendorong Presiden membentuk Inpres tentang Aksi Nasional Reformasi Agraria yang dalam pelaksanaannya dipantau oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), dan membentuk badan ad hoc khusus untuk menyelesaikan konflik agraria nasional, sebagai realisasi dari mandat Tap MPR No. IX Tahun 2001 (2) rekomendasi kepada kementeriankementerian untuk adanya peninjuaan izin-izin perkebunan yang bermasalah, khususnya sektor 22
23
24 25 26
Lihat http://www.republika.co.id/berita/regional/jawa-barat/12/02/20/lzopk5-tempat-ibadah-ahmadiyah-dirusak-15warga-jadi-tersangka, diakses pada 1 Mei 2012. Peristiwa serupa terjadi pada 20 April 2012 sekitar pukul 11.00 WIB, Masjid Baitul Rahim yang didirikan di Kampung Babakan Sindang, Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya menjadi saksi kebrutalan sekelompok massa. Saat itu, ± 70 (tujuh puluh) orang hadir membawa atribut sebuah ormas dan membawa pentungan dalam aksi tersebut. Kurang dari waktu setengah jam, massa merusak Masjid Baitul Rahim, diantaranya dengan memecahkan kaca, membakar karpet dan merusak perlengkapan lain dari Masjid yang sudah didirikan sejak tahun 1925. Aparat kepolisian dari pasukan Dalmas dengan kendaraan 2 (dua) buah truk yang sudah berjaga – jaga sejak pukul 08.00 WIB di pintu masuk Gapura Cipasung sama sekali tidak melakukan upaya perlindungan terhadap rumah ibadah Jemaat Ahmadiyah Singaparna ini. Akibatnya, Jemaat Ahmadiyah harus beribadah di dalam Masjid yang sudah rusak dengan karpet yang terbakar. Ancaman terhadap aktivitas ibadah Jemaat Ahmadiyah Masjid Baitul Rahim bukan pertama kali ini terjadi. Pada Kamis, 12 April 2012 lalu, sekelompok massa sudah menutup paksa dan melarang aktivitas peribadatan di Masjid Baitul Rahim dengan alasan bahwa aktivitas Jemaat Ahmadiyah di Masjid Baitul Rahim telah melanggar SKB 3 Menteri dan Pergub Jawa Barat. Selengkapnya lihat Siaran Pers Elsam, “Perusakan Masjid Singaparna: Pelanggaran serius terhadap Kewajiban Perlindungan Hak Konstitusional “, 20 April 2012. Pada tanggal 29 Desember tahun lalu, ratusan massa dari berbagai desa di Kecamatan Omben dan Karang Penang menyerbu Pusat Islam Syiah di Madura. Sambil mengumandangkan takbir, massa membakar mushala, madrasah, asrama, dan rumah pemimpin Syiah Sampang, Ustad Tajul Muluk. Penyerangan yang tersebut sebelumnya telah diketahui oleh pihak kepolisian dan diinformasikan kepada pengelola/pimpinan Pusat Islam Syiah di Madura tersebut. Pada awalnya polisi berjanji untuk melakukan pencegahan, namun pada saat penyerangan terjadi polisi tidak cukup melakukan pengamanan dan terkesan melakukan pembiaran penyerangan tersebut. Para pelaku pembakaran diduga merupakan aktor-aktor yang sama yang pernah melakukan penyerangan di Nangkrenang pada tahun 2006 dan April 2011, serta pihak-pihak yang selama ini anti terhadap jamaah Syiah sejak 2004. Polisi telah menetapkan satu orang tersangka dalam peristiwa tersebut. Lihat Siaran Solidaritas Sampang, “Ancaman Kemerdekaan Beragama terkait Kriminalisasi KH. Tajul Muluk”, 25 Maret 2012. Lihat Surat Dakwaan No.REG. PERKARA: PDM-34/SAMPG/04/2011 Saat ini persidangan tengah berlangsung di Pengadilan Negeri Sampang. Sejumlah organisasi masyarakat sipil sebelumnya telah meminta ke Mahkamah Agung agar dilakukan pemindahan lokasi sidang, namun permintaan tersebut tidak dikabulkan. Padahal proses persidangan di PN Sampang sangat rentan adanya intimidasi kepada terdakwa dan penasehat hukum, yang dilakukan oleh pihak-pihak yang selama ini memusuhi Tajul Muluk. Komisi Yudisial melakukan pemantauan secara khusus terhadap proses persidangan ini.
pg. 14
perkebunan kelapa sawit, memperluas akses pengelolan hutan bagi rakyat, sebagaimana diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, izin-izin HPHTI yang bermasalah, mengefektifkan pengawasan dan pemberian sanksi kepada perusahaan pemegang izin HPHTI yang bermasalah, dll; (3) rekomendasi kepada Kepolisian untuk meningkatkan kapasitasnya dalam penanganan konflik, termasuk membuat aturan yang lebih jelas mengenai mobilisasi personil yang sesuai dengan prinsip-prinsip HAM, dan Pimpinan Polri menerbitkan kebijakan untuk melarang penerimaan dana dari pihak ketiga untuk mendukung tugas pengamanan, guna menjaga netralitas dan profesionalitas kerja. 27 Namun hingga kini, belum ada kejelasan tindak lanjut dari pemerintah, khususnya Menkopolhukam sebagai penanggung jawab pekerjaan TGPF, mengenai kelanjutan dari rekomendasi TGPF Mesuji. Sejumlah instansi juga menyatakan belum menerima hasil laporan TGPF. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengatakan bahwa mereka belum menerima hasil rekomendasi TGPF Kasus Mesuji, yang meminta KLH untuk melakukan audit terhadap dokumen kelayakan lingkungan dan praktik pengelolaan limbah milik kedua perusahaan di Mesuji. 28 Sejumlah kasus terkait dengan peristiwa di Mesuji, misalnya soal penegakan hukum terhadap aparat yang melakukan kekerasan, juga tidak terlihat perkembangannya. 29 Di tengah kelambanan upaya-upaya penyelesaian berbagai konflik agraria, dan belum selesainya konsep reforma agraria yang lebih sistematis, konflik berlatar sengketa lahan terus terjadi sepanjang caturwulan pertama 2012. Diagram 10: Konflik lahan Januari-April 2012
Jumlah Konflik
10
Maret (9)
Januari (8)
8
April (8)
6 4
Februari (5)
2 0 0
1
2
3
4
5
Elsam mencatat dalam periode tersebut sedikitnya terjadi 30 konflik berlatar sengketa agraria, antara masyarakat melawan korporasi. Perusahaan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan mendominasi konflik-konflik ini. Dalam bulan Januari tercatat ada 8 kasus, Februari 5 kasus, Maret 9 kasus, dan pada bulan April terjadi 8 kasus. Sementara lokasinya, tidak mengalami perubahan dari periode-periode sebelumnya, terkonsentrasi di Sumatera, Kalimantan dan 27 28 29
Lihat Ringkasan Ringkasan Eksekutif Laporan TGPF Kasus Mesuji, Januari 2012. Liht http://www.beritasatu.com/nasional/34196-klh-belum-terima-rekomendasi-tpf-mesuji.html, diakses pada 1 Mei 2012. Pemerintah mengaku, saat ini tengah membahas masalah-masalah reforma agraria termasuk membahas sejumlah rekomendasi dari TGPF. Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) saat ini telah mengkaji secara mendalam soal langkah-langkah penyelesaian konflik agraria di Indonesia, dan membentuk tim kecil yang merumuskan langkah-langkah tersebut, untuk kemudian diajukan ke Presiden. Sejumlah rekomenasi dari hasil kajian tersebut diantaranya; 1) mendudukkan penanganan konflik-konflik agraria sebagai bagian tak terpisahkan dari reforma agraria, dengan 6 agenda reforma agraria; 2) pembentukan Komite Penyelesaian Konflik dan Reforma Agraria (KPA RA), sebagai badan yang bertugas melaksanakan dan mengkoordinasikan seluruh rekomendasi, mulai dari penyelesaian konflik hingga melaksanakan distribusi/redistribusi tanah; dan 3) menyusun peta jalan (road map) Pembentukan Komite Penyelesaian Konflik dan Reforma Agraria. Pembentukan KPA RA ini juga berdasarkan ketentuan TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (mengamanatkan perubahan peraturan, pelaksanaan land reform, penyelesaian konflik agraria, penguatan kelembagaan); dan juga TAP MPR No. V/2003 tentang Saran Kepada Presiden dan DPR Bagi Pelaksanaan Reformasi Agraria (mengusulkan pembentukan lembaga/institusi independen untuk menyelesaikan konflik serta mempercepat perbaikan peraturan).
pg. 15
Sulawesi. Sumatera Utara dan Riau menduduki posisi teratas, dengan 6 konflik lahan antara masyarakat melawan perusahaan dalam periode Januari-April 2012. Lampung di posisi kedua dengan 5 kasus konflik lahan, 30 diikuti Jambi, Kalbar dan Kalteng dengan masing-masing 2 kasus. Peta 1: Persebaran konflik lahan Januari-April 2012
Bentuk-bentuk peristiwa akibat sengketa lahan tersebut diantaranya bentrokan, demontrasi massa, perampasan lahan, penembakan, pembakaran, pendudukan lahan, dan kriminalisasi terhadap warga. Tercatat, 25 warga mengalami luka-luka, sementara dari pihak perusahaan baik buruh, pam swakarsa maupun pengamanan perusahaan terdapat korban tewas 3 orang dan 32 luka-luka, dan dari aparat keamanan 7 orang mangalami luka-luka. Dalam berbagai peristiwa tersebut juga terjadi perusakan terhadap properti. Sebanyak 25 warga juga mengalami kriminalisasi akibat berbagai peristiwa yang terjadi. Dampak dari berbagai peristiwa yang berbasiskan sengketa lahan tersebut, selain adanya korban baik tewas maupun luka-luka di kedua belah pihak, yang paling utama adalah hilangnya sumber-sumber penghidupan warga karena perampasan lahan, penyerobotan tanah ulayat, perbedaan mengenai luas lahan yang menjadi hak perusahaan dan tanah warga, menggusur lahan garapan warga tanpa ganti rugi yang layak, penyerobotan pemanenan hasil perkembunan oleh perusahaan yang masih dalam sengketa dengan warga, penyerobotan hutan adat oleh perusahaan, dan operasi usaha perkebunan yang belum memiliki ijin. Warga yang menggantungkan kehidupannya dari tanah adat misalnya, dengan berkebun karet, harus kehilangan mata pencaharian karena perusahaan menebangi pohon-pohon tersebut untuk dijadikan perkebunan sawit. Terus berlanjutnya sengketa tanpa penyelesaian yang adil, 30
Salah satu kasus di Lampung adalah kasus di Mesuji, lokasi beroperasinya PT. BSMI yang kasus yang tak kunjung mengalami perubahan berarti. Paska keluarnya rekomendasi TPF Mesuji belum ada perubahan di lapangan. Pada 25 Februari 2012, warga yang diduga berasal dari 3 Desa, yakni Desa Sri Tanjung, Desa Nipah Kuning, dan Desa Kagungan Dalam membakar kantor dan mess karyawan PT. BSMI. Hal ini dipicu persoalan bahwa warga mengklaim berhak atas tanah ulayat dan menagih janji untuk dijadikan petani plasma yang tak kunjung dipenuhi.
pg. 16
mengakibatkan terdegradasinya kehidupan masyarakat yang merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Sedikitnya 30 perusahaan yang beroperasi di bidang perkebunan dan pertambangan terlibat dalam konflik ini, tiga perusahaan plat merah (PTPN) dan sisanya swasta. Korporasi swasta yang terlibat konflik lahan dengan masyarakat tidak hanya perusahaan nasional, tetapi juga penanaman modal asing, seperti PT BSMI dan PT KCMU di Lampung, yang merupakan group dari the Incasi Raya, sebuah group perusahaan Malaysia. Swasta nasional, 4 perusahaan yang berafiliasi dengan Sinar Mas Group juga terlibat konflik dengan masyarakat. Diagram 11: Perusahaan terlibat konflik lahan dengan masyarakat Incasi Raya
8
Astra Surya Dumai
1
Sungai Budi Lambang Jaya Sampoerna RAPP
1 6 2
4
4
1
2
1 1
0
2
Sinar Mas Duta Palma
1
Vale
1 1
1
Bridgeston Corporation Bakrie Sumatera Plantations
1
1
3 1 7
PTPN Halaman Semesta Provident Agro
Non Group Panca Logam
Sengketa yang terjadi umumnya diakibatkan karena adanya kemacetan dan berlarut-larutnya penyelesaian. Sejumlah kasus sengkata lahan yang terjadi, merupakan kelanjutan dari sengketa yang belum terselesaikan selama bertahun-tahun, bahkan ada yang terjadi sejak masa Orde Baru berkuasa. Permohonan warga agar dilakukan peninjuan terhadap berbagai perijinan terhadap perusahaan tidak cukup direspon memadai oleh instansi-instansi yang mengeluarkan ijin, akibatnya warga melakukan aksi sendiri, baik gugatan hukum maupun demostrasi, yang tak jarang berakhir bentrok dengan pihak keamanan perusahaan. Dalam kasus-kasus dimana terjadi bentrok dan tindakan-tindakan lain yang dilakukan oleh warga, polisi jutru terus menerus melakukan krimininalisasi terhadap warga yang hendak menuntut kembali hak-haknya. Sorotan tajam diberikan terhadap konflik yang berujung bentrok antara warga dengan pihak pengamanan perusahaan, khususnya perusahaan yang menggunakan jasa pengamanan pamswakarsa. Dalam sejumlah peristiwa, justru pamswakarsa berkolaborasi dengan kepolisian untuk menghadapi warga. Sementara TNI, peranannya hanya diperbantukan jika kepolisian tidak cukup mampu menghadapi warga. Hingga kini belum ada laporan terkait prosedur pengamanan yang dilakukan oleh kepolisian, atau evaluasi kebijakan internal kepolisian tentang adanya danadana pengamanan dari perusahaan untuk menjaga netralitas aparat keamanan. Evaluasi terhadap keberadaan pengamanan perusahaan, misalnya penggunaan pamswakarsa, juga belum dilakukan secara memadai. Diprediksikan, tanpa adanya kebijakan yang lebih sistematis terkait dengan penyelesaian konflik agraria ini, berbagai peristiwa yang menimbulkan korban jiwa, luka-luka dan kerugian materiil lainnya akan terus terjadi. Berbagai rekomendasi dari TGPF Mesuji seharusnya menjadi langkah awal untuk segera diimplementasikan guna mencegah meluasnya konflik.
pg. 17
5. Berlanjutnya kekerasan, pembungkaman ekspresi pertanggungjawaban pelanggaran HAM di Papua
politik
dan
macetnya
Serentetan peristiwa kekerasan terjadi di Papua sepanjang Janurai-April 2012. Setidaknya terjadi sembilan kali peristiwa penembakan dari orang tak dikenal dan kontak senjata antara pihak keamanan dengan kelompok tak dikenal. Tercatat, 8 orang tewas akibat peristiwa tersebut, 6 diantaranya warga sipil, 2 anggota kepolisian, dan 1 orang anggota TNI. Selain itu 8 orang menderita luka-luka akibat serangkaian peristiwa tersebut. Aparat keamanan, dalam hal ini kepolisian mengakui kesulitan dalam mengungkap berbagai peristiwa penembakan yang terjadi. 31 Terus berlangsungnya kekerasan ini mendapatkan perhatian dari Komnas HAM, yang mendesak adanya penuntasan kasus-kasus penembakan tersebut karena tindak kekerasan telah merampas hak hidup dan melukai korban. Komnas HAM juga menghimbau agar dalam rangka menemukan para pelaku penembakan, aparat keamanan tetap memberikan rasa aman kepada penduduk. Secara umum Komnas HAM menghimbau adanya kepemimpinan yang jelas dan segera membangun dialog yang bermartabat dengan semua elemen masyarakat di Papua, serta mencari solusi penyelesaian berbagai permasalahan yang terjadi. 32 Berbagai upaya penyelesaian masalah di Papua, termasuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua musti menjadi prioritas utama pemerintah, guna mewujudkan Papua damai. Penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua, misalnya terkait kasus Wasior-Wamena yang terjadi pada tahun 2001-2003 sampai saat ini belum memperlihatkan titik terang. 33 Dalam peristiwa tersebut, Komnas HAM telah melakukan penyelidikan pro-justisia dan menyimpulkan adanya dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan. 34 Namun, sejak Komnas HAM menyerahkan Laporan kepada Kejaksaan Agung pada Desember 2004, hingga kini Kejaksaan Agung belum menindaklanjutinya ke tahap penyidikan dan penuntutan. 35 Kegagalan penghukuman dalam Kasus Abepura tahun 2000, juga masih menyisakan persoalan keadilan bagi pada para korban dalam peristiwa tersebut hingga kini. 36 Persoalan HAM di Papua lainnya adalah mengenai tahanan politik yang saat ini masih berada dalam berbagai penjara. Setidaknya ada sekitar 130 tahanan politik di Papua yang ditahan karena memperjuangkan kebebasan dari ketertindasan dan kemiskinan yang melanda masyarakat Papua. 37 Sebelumnya, pada Desember tahun lalu, Pemerintah melalui Menkopolhukam Djoko Suyanto, ketika bertemu dengan Amnesty Internasional menyatakan 31 32
33
34 35
36 37
Lihat http://news.detik.com/read/2012/04/09/141039/1887896/10/polri-akui-sulit-ungkap-kasus-penembakan-di-papua, diakses pada 1 Mei 2012. Lihat, http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/04/13/115322/Komnas-HAM-Desak-Polri-UsutTuntas-Penembakan-Di-Papua, diakses pada 1 Mei 2012. Upaya untuk menyelesaian persoalan di Papua telah disuarakan berbagai kalangan. Akhir tahun lalu, Kelompok Jaringan Damai Papua berencana menggelar dialog damai Jakarta- Papua sebelum Juni tahun 2012. Rencana ini merupakan kelanjutan dari diskusi damai tanah Papua yang digelar, yang berdasarkan keterangan Koordinator Kelompok Jaringan Damai Papua (JDP), Neles Tebay, dialog ini sebagai ruang bagi masyarakat Papua untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutannya kepada pemerintah pusat. JDP mengusulkan sembilan aktor yang berpartisipasi dalam dialog damai Jakarta-Papua yaitu orang asli Papua, orang luar Papua di Papua, polisi, tentara, pemerintah daerah, pemerintah pusat, perusahaan-perusahaan eksploitasi sumber daya alam, Organisasi Papua Merdeka dan Tentara Papua Merdeka, serta orang Papua di luar negeri. Sementara para pimpinan gereja-gereja di juga Papua mendukung inisiatif pemerintah pusat untuk mencari solusi dan langkah terbaik bagi masalah Papua melalui dialog terbuka dengan rakyat Papua. Dalam peristiwa Wasior empat warga sipil tewas, sebanyak 39 orang disiksa, lima orang dihilangkan secara paksa, dan satu orang diperkosa. Sedangkan dalam peristiwa Wamena, sembilan orang warga sipil dibunuh dan 38 orang disiksa. Juga ditemukan adanya pemindahan penduduk secara paksa dari 25 kampung dan desa dan pada saat pemindahan paksa itu, 42 orang meninggal dunia di pengungsian. Komnas HAM telah menyerahkan berkas Hasil Penyelidikan kasus Wasior (2001-2002) dan Wamena (2003) melalui surat Nomor: 290/TUA/IX/2004 untuk dilanjutkan dengan proses penyidikan oleh Kejaksaan Agung. Antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung terjadi perbedaan pendapat tentang hasil Penyelidikan, dimana Kejaksaan Agung menganggap penyelidikan Komnas HAM kurang lengkap dan belum memenuhi unsur-unsur kejahatan kemanusiaan sebagaimana dalam UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Lihat Surat Nomor R-209/A/F.6/11/2004 Jaksa Agung menyatakan bahwa hasil penyelidikan Komnas HAM masih dianggap kurang lengkap. Mengenai proses persidangan kasus Abepura yang diperiksa di Pengadilan HAM di Makassar lihat Buku. “Pengadilan Pura-Pura: Eksaminasi Publik atas Putusan Pengadilan HAM Abepura”, ELSAM, Desember 2007. Lihat http://www.mediaindonesia.com/read/2011/12/15/284338/284/1/Fenomena-Tapol-masih-Ada-di-Papua, diakses pada 1 Mei 2012.
pg. 18
tidak ada tawanan politik dan yang ditangkap karena melakukan tindakan kriminal bukan politik. 38 Pada 5 Maret 2012, hal senada disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM di Jayapura yang menyatakan tidak ada tahanan politik di Papua. 39 Pernyataan Menteri ini bertolakbelakang dengan data resmi yang dikeluarkan oleh Kakanwil Hukum dan HAM Provinsi Papua, Nazarudin Bunas. Pada tahun 2010, Kanwil Hukum dan HAM resmi mengeluarkan 25 orang Daftar Narapidana Politik se-Papua. Selain itu, organiasai HAM di Papua juga menyatakan bahwa pada tahun 2011, terdapat 5 orang tahanan politik yang sedang menjalani proses persidangan yakni; Forkorus Yaboisembut, Edison Kladeus Waromi, Augus Makrawen Sananai Kraar, Dominikus Surabut, dan Selpius Bobii. 40 Dari beragam persoalan di Papua, upaya dialog damai yang digagas perlu dilakukan segera, guna menemukan solusi dari beragam masalah yang ada. Keseriusan pemerintah untuk mengupayakan dialog damai harus disertai dengan adanya penegakan hukum dan pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang terjadi, baik yang dilakukan oleh Polisi, TNI maupun warga sipil. Penghentian kekerasan yang terus terjadi, pertanggungjawaban pelanggaran HAM misalnya dalam kasus Wasior Wamena, dan pelepasan tahanan politik tampaknya menjadi prioritas utama yang harus dilakukan segera, untuk menunjukkan adanya proses penyelesaian yang jujur, adil, dan terbuka. 6. Perlindungan HAM setengah hati dalam pembentukan kebijakan Dalam Rapat Paripurna DPR, 16 Desember 2011, 64 RUU ditetapkan sebagai prioritas legislasi tahun 2012, beberapa diantaranya adalah RUU yang sudah dibahas dalam persidangan periode sebelumnya, seperti RUU Keamanan Nasional dan RUU Penanganan Konflik Sosial. Selama periode Januari-April 2012, DPR berhasil mengesahkan 6 undang-undang, namun demikian hanya dua undang-undang yang merupakan prioritas legislasi tahun 2012, yakni UU Penanganan Konflik Sosial dan UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sedangkan sisanya, tiga merupakan pengesahan perjanjian internasional dan satu pengesahan APBN-P 2012. Pengesahan Konvensi Internasional tentang Perlindungan terhadap Semua Buruh Migran dan Keluarganya 1990 (the Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families), pada 12 April 2012, menjadi satu hal yang patut diapresiasi dari DPR. Pengesahan ini akan memperkuat jaminan perlindungan HAM khususnya bagai pekerja migran dan keluarganya, dan pemerintah Indonesia memiliki standar baku bagi perlindungan 38 39
40
Lihat http://www.kbr68h.com/berita/nasional/16397-menkopolhukam-tak-ada-tahanan-politik-di-papua, diakses pada 1 Mei 2012. Pernyataan Menteri Hukum dan HAM ini tersebut dikiritik oleh aktivis HAM sebagai kebohongan. Markus Haluk, salah satu aktivis di Papua jumlah total tahanan Politik di Papua antara tahun 2003-2012 terdapat sekitar 72 orang, yang dari jumlah tersebut, sebagian telah menjalani proses hukum dan dibebaskan namun sebagian besarnya masih menjalani proses hukum sebagai Narapidana Politik sampai dengan saat ini. Antara 2008-2010 di Manokwari ditahan dan diproses hukum 16 orang tahanan politik, di Kabupaten Fak-fak 6 orang, 15 orang di Kabupaten Nabire, Kabupaten Mamberamo (Peristiwa Kapeso) 4 orang, Kabupaten Biak 1 orang, Abepura Jayapura 4 orang tahanan Politik, Kabupaten Timika 6 orang tahanan Politik. Jumlah keseluruhan tananan politik sejak 2008-2011, 67 orang. Selain jumlah ini, sekitar 10 orang tahanan Politik kasus pembobolan gudang senjata di Wamena 2003 yang sedang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IB Nabire dan Biak. Markus juga menyinggung Filep Karma, yang divonis 15 tahun penjara dan ditahan sejak 2004. Selama Januari-April 2012 memang terjadi proses persidangan terhadap Forkorus Yaboisembut dan aitu Dominikus Surabut, Edison G. Waromi, Agus M. Sananay Kraar, dan Selfius Bobii. Mereka diajukan ke pengadilan atas dakwaan kasus makar, dan didakwa antara lain melanggar Pasal 106 KUHP yaitu upaya memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Forkorus Yaboisembut dan rekan-rekannya ditangkap oleh polisi saat pembubaran Kongres Rakyat Papua III, 19 Oktober 2011 lalu. Dalam acara yang digelar di Lapangan Zakheus, Abepura itu, Forkorus mendeklarasikan pembentukan Negara Republik Federal Papua Barat. Dalam kasus tersebut juga telah disidangkannya tujuh perwira polisi dalam sidang disiplin di Polres Jayapura dan Polda Papua. Namun, mereka yang terbukti bersalah dalam sidang itu hanya mendapat teguran tertulis dan mutasi. Pada 16 Maret, Forkorus Yaboisembut, Edison Kladeus Waromi, Dominikus Surabut, August M Sananai Kraar, dan Selpius Bobii divonis 3 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura, Papua Barat. Mereka dinyatakan bersalah dalam perbuatan makar dan melanggar Pasal 106 KUHP. Forkurus dkk kemudian mengajukan banding, dengan menilai dakwaan pasal makar terhadap Forkorus tidak terbukti. Kuasa hukum Forkorus dkk menyebutkan bahwa dari 69 alat bukti yang disebutkan, hanya satu yang ditunjukkan dalam persidangan yaitu spanduk. dari fakta persidangan tidak menujukkan bahwa tidak saksi yang menerangkan soal peranan mereka. Kuasa hukum juga pernah menjelasan bahwa yang terjadi adalah proses demokrasi yang sedang berjalan, karena dalam acara tersebut ada surat pemberitahuan, kemudian ada ijin dari Sesmenkopolhukam dan sebagainya.
pg. 19
hak-hak pekerja migran. Konvensi ini juga akan membuka cara pandang baru terhadap pekerja migran, tidak hanya dilihat sebagai entitas khusus tenaga kerja, namun sebagai manusia utuh dan bermartabat, termasuk anggota keluarganya. 41 Catatan miring datang pada pengesahan RUU Penanganan Konflik Sosial. RUU tersebut terkesan dipaksakan untuk disahkan di tengah penolakan masyarakat sipil, karena adanya beberapa pasal yang kontroversial, diantaranya terkait dengan kewenangan TNI dalam Penanganan Konflik Sosial, ketidak jelasan status darurat konflik yang membuka ketidakpastian hukum, serta sejumlah masalah-masalah krusial lainnya. 42 Sebelum pengesahan, elemen masyarakat sipil meminta kepada DPR untuk menunda pengesahan dan melakukan pembahsan kembali secara lebih mendalam, 43 namun DPR akhirnya tetap melakukan pengesahan setelah melalui proses lobby antar fraksi. Atas pengesahan tersebut, sejumlah organisasi masyarakat sipil berencana untuk melakukan uji materiil terhadap UU PKS tersebut. Disahkannya RUU PKS menjadi UU memperlihatkan, meskipun pembentuk undang-undang menempatkan secara formal norma-norma HAM sebagai salah satu prinsip dan asas di dalam RUU yang dibahas, namun secara substantif, undang-undang yang bersangkutan justru gagal dalam membangun perlindungan HAM, sebagaimana terumuskan di dalam sejumlah pasal-pasal yang mengatur halhal tertentu. Situasi ini mengingatkan berbagai produk UU yang dihasilkan sebelumnya, misalnya UU Intelijen Negara, yang dalam asasnya mencantumkan prinsip-prinsip HAM, namun dalam pengaturan-perngaturan selanjutnya malah menghadirkan pasal-pasal yang melanggar HAM. Temuan ini juga sekaligus memperkuat simpulan bahwa DPR belum memiliki parameter untuk menilai apakah sebuah produk legislasi, sejalan atau tidak dengan HAM. 44 Berbeda dengan pembahasan RUU PKS, dalam pembahasan RUU Keamanan Nasional masyarakat sipil berhasil membendung kelanjutan pembahasan RUU Kamnas, yang materinya banyak tidak sejalan dengan HAM. Masyarakat Sipil mengkritik RUU Kamnas yang diajukan oleh Pemerintah karena berbagai pengaturannya berupaya mengembalikan corak pendekatan 41
42
43 44
Lihat Siaran Pers Komnas Perempuan, “Komnas Perempuan Mendukung Pengesahan Ratifikasi Konvensi Migran 1990 sebagai Dasar Perlindungan bagi Pekerja Migran”, 11 April 2012. Sumber: http://www.komnasperempuan.or.id/2012/04/siaran-perskomnas-perempuan-komnas-perempuan-mendukung-pengesahan-ratifikasi-konvensi-migran-1990-sebagai-dasarperlindungan-bagi-pekerja-migran/, diakses pada 1 Mei 2012. Lihat Critical Review ELSAM tentang RUU PKS, “RUU Penangan Konflik Sosial:Desentralisasi Masalah, Nihilnya Penegakan Hukum, dan Kembalinya Militer dalam Ruang Sipil”, April 2012. Dokumen dapat diakses di www.elsam.or.id. Dalam catatan Elsam, sedikitnya terdapat tiga persoalan utama dalam perumusan norma UU PKS, yang dikhawatirkan pada kemudian hari akan memicu konflik-konflik baru dalam pelaksanaannya. Pertama, undang-undang ini telah mendesentralisasikan sebagian urusan keamanan yang mutlak menjadi urusan pemerintah pusat, kepada pemerintah daerah. Hal ini jelas berseberangan dengan Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemberian wewenang keamanan kepada pemda potensial akan memicu munculnya konflik baru, karena memungkinkan bagi pemda untuk berinisiatif sendiri menggunakan pendekatan keamanan dalam penyelesaian konflik di daerahnya. Padahal dari banyak kasus yang terjadi selama ini, munculnya konflik di suatu daerah adalah sebagai akibat dari keluarnya suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah itu sendiri. Dengan metode ini pula, pemerintah pusat terkesan mau cuci tangan dalam tanggungjawab penyelesaian konflik, dan menyerahkan sepenuhnya pada pemerintah daerah, dengan memberikan seperangkat kewenangan, termasuk pengerahan kekuatan operesif negara. Kedua, meskipun salah satu alasan pembentukan undang-undang ini adalah untuk memperjelas proses penegakan hukum, yang selama ini kurang efektif dalam penyelesaian konflik, akan tetapi undang-undang ini justru sama sekali menihilkan peluang bagi proses penegakan hukum dalam penyelesaian konflik. Lebih jauh undang-undang ini telah menutup akses bagi warganegara, khususnya korban suatu konflik, terhadap hak atas kepastian hukum yang adil, sebagaimana ditegaskan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketidakjelasan status penerapan hukum dalam situasi konflik juga telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Muncul pertanyaan apakan dalam situasi konflik tetap diberlakukan status tertib sipil (normal) ataukah darurat sipil? Di sini terlihat ketidakselarasan antara UU PKS dengan UU No. 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Darurat. Ketiga, undang-undang ini telah memberikan peluang bagi masuknya militer dalam ruang sipil, dengan alasan penyelesaian konflik, yang dibungkus dengan operasi militer selain perang. Meskipun dalam pengerahan kekuatan dan bantuan TNI harus meminta kepada pemerintah pusat, tetap saja pengerahan TNI dalam konflik-konflik sipil telah memberikan peluang bagi militer untuk masuk kembali dari urusan-urusan sipil, termasuk diantaranya politik. Pengaturan ini jelas telah keluar dari semangat awal reformasi TNI yang menghendaki TNI menjadi kekuatan militer yang professional, terbebas dari segala urusan politik. Munculnya aturan ini juga telah menghianati perjuangan reformasi yang menginginkan kuatnya supremasi sipil dalam penyelenggaraan negara. Jelas bahwa UU PKS tidaklah sejalan dengan semangat serta mandate dari UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Lihat Siaran Pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, “Menolak Pembahasan dan Pengesahan RUU Penanganan Konflik Sosial”, 5 April 2012. Dokumen dapat diakses di www.elsam.or.id Dalam setiap proses pembentukan undang-undang, DPR belum terlihat melakukan internalisasi norma-norma hak asasi manusia secara baik, hal ini terlihat dari perdebatan yang mengemuka dalam setiap proses pembahasan undang-undang. Perdebatan lebih banyak menyoal permasalahan redaksional, dan kurang menyentuh substansi dari materi muatan undangundang, kecuali pada pembentukan undang-undang yang dianggap memiliki nilai strategis tinggi bagi mereka.
pg. 20
keamanan yang berlebihan. RUU tersebut akhirnya oleh DPR dikembalikan kepada pemerintah untuk diperbaiki karena banyaknya materi yang bermasalah. Pada tanggal 20 maret 2012, dalam rapat internal, Panitia Khusus (Pansus) RUU Kamnas memutuskan untuk mengembalikan RUU tersebut ke pemerintah. 45 Masalah berikutnya datang dari pengesahan RUU Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Salah satu frasa dalam undang-undang tersebut potensial mengabaikan hak-hak politik warga negara. Pemberlakuan ambang batas (Parliamentary Thershold) secara nasional dalam Pasal 208 UU ini, potensial menganulir pilihan rakyat, khususnya dalam memilih anggota DPRD Propinsi dan Kabupaten, karena alat ukur yang digunakan justru perolehan suara keseluruhan di tingkat nasional. Padahal pilihan pemilih untuk diwakili dalam lembaga perwakilan (baik DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota) tidak selamanya sama dengan pilihan di tingkat pusat (DPR). Karena itu, pemberlakuan ambang batas secara nasional nyata-nyata telah menganulir kedaulatan rakyat. Pilihan rakyat dalam suara terbanyak dianulir oleh aturan yang diberlakukan secara diskriminatif. Dalam proses legislasi, titik terlemah berada pada pihak pemerintah, yang terlihat tidak serius dalam menyusun dan menyelesaikan berbagai naskah akademis dan RUU yang telah disepakati dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Berbagai RUU penting guna memperkuat jaminan perlindungan HAM, sampai hari ini belum diserahkan ke DPR untuk segera dilakukan pembahasan, seperti RUU KUHAP, RUU KUHP dan RUU Pekerja Rumah Tangga. RUU KUHAP dan KUHP merupakan dua RUU yang sangat penting dan relevan guna segera diperbaharui. Di tengah persoalan penegakan hukum, khususnya hukum pidana, dan berbagai tuduhan perekayaan kasus, dan juga tumpang tindihnya peraturan terkait dengan hukum acara pidana. Termasuk juga dalam upaya perlindungan dan pencegahan praktik-praktik penyiksaan yang terus berlangsung hingga kini. 46 Demikian pula dengan sejumlah rencana untuk melakukan pengesahan instrumen HAM internasional sebagaimana dinyatakan dalam RANHAM 2010-2014, masih belum ada perkembangan yang berarti. Berbagai instrumen internasional yang direncakan untuk diratifikasi diantaranya Konvensi Internasional tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (the International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance), Protocol Tambahan untuk Konvensi Anti Penyiksaan (Optional Protocol to the International Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment), Statuta Roma 1998 (Rome Statute 1998), dan dua Protokol Tambahan untuk Konvensi Hak-Hak Anak (Optional Protocols to the Convention on the Rights of the Child). 47 Selain pembentukan regulasi di tingkat nasional, catatan khusus terhadap munculnya berbagai regulasi di tingkat lokal yang mengancam jaminan HAM. Sejumlah regulasi tersebut khususnya 45 46
47
Tercatat tujuh fraksi berpandangan RUU Kamnas harus dikembalikan ke pemerintah yakni PDI-P, Golkar, PKS, PPP, PAN, PKB, dan Partai Hanura. Lihat http://nasional.kompas.com/read/2012/03/20/17471815/Pansus.Kembalikan.RUU.Kamnas.ke. Pemerintah, diakses pada 1 Mei 2012. Sejumlah RUU penting bagi perlindungan HAM saat ini juga tengah dirumuskan untuk direvisi, diantaranya adalah Perubahan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Revisi UU No. 13 Ttahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Komnas HAM telah merancang perumusan perubahan UU No. 39/1999 dan merencanakan untuk mengusulkan pemisahan antara UU Hak Asasi Manusia dan UU Komnas HAM. Dalam upaya perubahan UU HAM tersebut, masyarakat sipil mengusulkan bahwa dalam naskah RUU Komnas HAM, perlu memberikan kewenangan tambahan terkait dengan perlindungan terhadap para pembela HAM (Human rights defenders). Sebelumnya, RUU Pembela HAM berdasarkan pada Prolegnas 2010-2014, merupakan RUU yang disiapkan tersendiri. Sementara terkait dengan revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban, naskah akademis dan RUU perubahannya disiapkan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), namun belum masuk dalam Prolegnas sehingga kemungkinan besar tahun ini belum bisa dibahas di DPR. Kementrian Luar Negeri dan Kementrian Hukum dan HAM belum memperlihatkan kejelasan penyelesaian Naskah Akademis maupun RUU, serta kapan akan diserahkan kepada DPR. Padahal, dalam berbagai kesempatan perwakilan pemerintah menyatakan akan menyelesaikan Naskah Akademis dan RUU dan segera menyerahkan ke DPR. Sebelumnya, disebut-sebut yang akan segera dibahas adalah Konvensi Internasional tentang Perlindungan Semua Orang dari penghilangan paksa karena Naskah Akademis dan RUU nya telah disiapkan oleh Pemerintah. Lihat juga Pidato Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa di Sesi ke 19 Dewan HAM PBB tanggal 28 Februari 2012, menyatakan bahwa pada tahun 2012, Indonesia akan meratifikasi dua protokol tambahan untuk Konvensi Hak-Hak Anak (Optional Protocols to the Convention on the Rights of the Child), the International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance, dan the Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families.
pg. 21
yang melanggar jaminan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan. 48 Selama tahun 2011, tercatat 15 berbagai macam peraturan ditingkat lokal yang melarang Ahmadiyah, yang bukan saja melampaui pengaturan dalam SKB, tetapi nyata-nyata bertentangan dengan Konstitusi. Peraturan-peraturan tersebut telah berdampak pada terjadinya pelanggaran terhadap Jemaat Ahmadiyah, dan menjadi legitimasi kelompok-kelompok masyarakat tertentu untuk melakukan kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah maupun propertinya. Kementrian Dalam Negeri, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan peninjauan dan koreksi terhadap perda-perda yang bermasalah, 49 meski menyatakan akan melakukan pengkajian, justru sejak awal cenderung menyatakan perda-perda pelarangan Ahmadiyah tidak melanggar konstitusi. Padahal Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi juga menyatakan Pemerintah Daerah boleh mengeluarkan aturan sepanjang masih dalam koridor surat keputusan bersama (SKB) Tiga Menteri dan Jaksa Agung, dan aturan tidak boleh melebihi batas itu. Hingga kini belum ada hasil evaluasi dari Kementrian Dalam Negeri terkait dengan Perda-perda yang bermasalah tersebut dan disampaikan kepada publik. Diprediksikan Pemerintah Pusat tidak akan melakukan koreksi dan pembatalan berbagai Perda yang bermasalah tersebut, padalah Perda-perda itulah yang selama ini justru menjadi justifikasi kelompok-kelompok masyarakat yang tidak setuju terhadap Ahmadiyah, untuk melakukan tindakan kekerasan dan perusakan terhadap properti Jemaaat Ahmadiyah. Sejak awal kalangan masyarakat sipil dan organisasi HAM, menyatakan bahwa Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri dan Jaksa Agung terkait Ahmadiyah telah melanggar Konstitusi. Pelanggaran ini kemudian diperparah dengan munculnya sejumlah perda-perda yang keluar dari batas aturan dalam SKB tersebut. Harapan untuk adanya pembatalan perda-perda tersebut, tampaknya hanya mendasarkan pada adanya gugatan kepada Mahkamah Agung. C.
Penutup dan rekomendasi
Periode Januari–April 2012 ditandai dengan menurunnya upaya penegakan dan perlindungan HAM. Lembaga-lembaga negara yang seharusnya mampu memberikan perlidungan yang memadai, jsutru menampakkan kemandulannya dalam periode ini. Hal ini juga tercermin dari sikap pejabat publik yang masih diskriminatif, tidak mampu bersikap tegas untuk menegakkan hukum dan HAM. Mereka masih memberikan toleransi terhadap berbagai tindakan kelompok anti-HAM, yang terus mendesak dan memaksa organ-organ negara untuk melanggar HAM. Kegagalan lembaga-lembaga dan aparatnya dalam menegakkan HAM, seharusnya disikapi serius oleh Presiden untuk memberikan arah yang jelas tentang kebijakan penegakan hukum dan HAM. Namun, Presidan justru seringkali melemparkan kembali persoalan tanpa adanya kejelasan solusi. Kewenangan besar yang dipunyai Presiden untuk mengeluarkan kebijakan tidak menjadikan munculnya kebijakan yang diperlukan, seperti halnya yang terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dan menyelesaian konflik-konflik agraria. Aparat negara di tingkat lokal, terkesan tunduk pada kelompok-kelompok yang seringkali melakukan tindakan-tindakan pemaksaan, dan gagal melindungi segenap warga negara. Kebijakan yang diskriminatif terus bermunculan terkait dengan jaminan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan. Tindakan-tindakan sejumlah kepala daerah yang tidak taat hukum, misalnya terhadap keputusan lembaga yudisial, kecenderungannya terus menguat, dan kian menjadi preseden buruk yang mengancam tegaknya negara hukum dan mengancam prinsip-prinsip rule of law. 48 49
Lihat Laporan HAM Elsam 2011, “Menuju Titik Nadir Perlindungan HAM”, Desember 2011. Desember 2011. Dokumen dapat diakses di www.elsam.or.id. Berdasakan UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, Perda yang dibentuk dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangan yang lebih tinggi, dan jika bertengan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 hari sejak diterimanya Perda tersebut oleh Pemerintah.
pg. 22
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, untuk memperkuat perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak asasi manusia, Elsam merekomendasikan: 1. Terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu : a. Presiden sebagai kepala negara harus memastikan adanya penegakan hukum dan jaminan adanya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dengan segera mengeluarkan kebijakan untuk mendorong penyelesaian. Secara khusus presiden juga harus: (1) membuat Keppres tentang pembentukan Pengadilan HAM adhoc terkait dengan kasus penculikan aktivis 1997-1998; (2) memberikan arahan kepada Jaksa Agung untuk melanjutkan proses penyelidikan berbagai kasus pelanggaran HAM yang berat yang telah diselesaikan oleh Komnas HAM. b. Menkopolhukam harus segera menyelesaikan rumusan format penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu sebagaimana dimandatkan oleh Presidan, dengan menjunjung transparansi dan akuntabilitas dalam prosesnya. c. Wantimpres yang berupaya merumuskan konsep penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu harus segara merampungkan naskah tersebut dan segera merekomendasikan kepada Presiden. d. Komnas HAM untuk segera menyelesaikan penyelidikan berbagai kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang masih dalam proses finalisasi. e. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terus memberikan bantuan kepada korban pelanggaran HAM yang berat berdasarkan kewenangan yang dimilikinya, khususnya pemberian bantuan medis dan rehabilitasi psiko-sosial. f. DPR melakukan pengawasan terhadap pemerintah dalam implementasi penyelesiaan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, dan berperan aktif dalam memberikan solusi penyelesaiannya. 2. Terkait dengan pencegahan praktik-praktik penyiksaan: a. Pemerintah terus-menerus melakukan peningkatan kapasitas anggota kepolisian melaluai pelatihan, agar mampu melaksanakan tugasnya dalam penegakan hukum yang sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi dan tidak menggunakan cara-cara penyiksaan dan perlakukan kejam. Pelatihan tersebut haruslah sampai pada tingkat yang paling teknis, misalnya cara-cara interogasi, pencarian fakta-fakta dan penggunaan teknologi tanpa menggunakan cara-cara penyiksaan; b. Penguatan sistem hukum untuk mencegah dan menghapus terus berlangsungnya praktik penyiksaan. Pemerintah segera merampungkan Naskah Akademis dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), KUHP dan Ratifikasi Protocol Tambahan Konvensi Menentang Penyiksaan (Optional Protocol to the Convention Against Torture); c. Adanya penegakan hukum yang adil dan konsisten terhadap setiap terjadinya tindakan penyiksaan, perlakukan kejam dan tidak manusiawi, yang dilaukan oleh aparat negara, khususnya yang terjadi di tempat-tempat penahanan. 3. Terkait dengan jaminan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan: a. Presiden harus proaktif melakukan upaya perlindungan jaminan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan. Dalam kasus-kasus yang tidak dapat diselesaikan di tingkat lokal, Presiden harus mengambil alih tanggungjawab perlindungan semua warga negara berdasarkan konstitusi dan hukum yang berlaku; b. Presiden harus memberikan arahan yang tegas kepada kepada Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri untuk melaksanakan tugasnya berdasarkan konstitusi dan hukum, tidak bersikap diskriminatif, dan berperan aktif dalam melakukan penyelesaian kasuskasus yang terjadi; c. Presiden perlu memberikan arahan tegas kepada Kepolisian Republik Indonesia untuk melaksanakan tugasnya dengan adil, tanpa terpengaruh pada desakan kelompok tertentu, profesional dan tidak diskriminatif;
pg. 23
d. Pengadilan perlu memertimbangkan untuk memberikan putusan kasus-kasus yang berbasiskan agama dengan memberikan pembobotan putusan yang layak, karena terbukti para pelaku kekerasan yang telah dijatuhi pidana tidak jera melakukan berbagai tindakan yang sama; e. DPR perlu melakukan pengawasan yang serius terkait dengan kinerja pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya dalam melindungi hak-hak konstitusional warga negara, dan DPR juga harus mulai membahas berbagai masalah yang terkait dengan perlindungan kebebasan beragama, termasuk meninjau berbagai regulasi yang bermasalah dan diskrminatif. 4. Terkait dengan penyelesaian konflik agraria: a. Presiden segera melakukan reformasi di sektor agraria dengan membentuk Inpres tentang Aksi Nasional Reformasi Agraria yang dalam pelaksanaannya dipantau langsung oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan membentuk badan adhoc khusus untuk menyelesaikan konflik agraria nasional, sebagai realisasi dari mandat Tap MPR No. IX Tahun 2001; b. Kementrian-kementrian terkait melaksanakan rekomendasi dari TGPF Mesuji, diantaranya melakukan peninjuaan izin-izin perkebunan yang bermasalah, khususnya sektor perkebunan sawit, memperluas akses pengelolan hutan bagi rakyat, sebagaimana diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, izin-izin HPHTI yang bermasalah, mengefektifkan pengawasan dan pemberian sanksi kepada perusahaan pemegang izin HPHTI yang bermasalah; c. Kepolisian meningkatkan kapasitasnya dalam penanganan konflik, termasuk membuat aturan yang lebih jelas dan mendetail mengenai mobilisasi personil yang sesuai dengan prinsip-prinsip HAM, dan Pimpinan Polri menerbitkan kebijakan untuk melarang penerimaan dana dari pihak ketiga untuk mendukung tugas pengamanan, guna menjaga netralitas dan profesionalitas kerja. 5. Terkait dengan Penyelesaian Masalah di Papua: a. Presiden agar sungguh-sungguh mengupayakan dialog damai yang jujur, adil dan terbuka bersama dengan segenap eleman masyarakat di Papua; b. Pemerintah mengupayakan adanya pertangungjawaban berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, misalnya pembentukan pengadilan HAM untuk kasus Wasior dan Wamena. Termasuk juga pembebasan tahanan politik di Papua; c. Kepolisian harus bersungguh-sungguh untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat dengan melakukan tindakan-tindakan yang mampu mencegah adanya kekerasan dan penembakan yang terus terjadi. Kepolisian dalam operasi penegakan hukum harus tetap memperhatikan jaminan hak asasi manusia. 6. Terkait dengan proses legislasi: a. Pemerintah dalam hal ini, Kementrian Hukum dan HAM agar segera menyelesaian berbagai rencana penyusunan naskah akademis dan RUU yang telah diprioritaskan dalam Prolegnas maupun sejumlah instrumen internasional HAM yang akan diratifikasi sesuai dengan rencana dalam RAHHAM; b. Pemerintah dalam hal ini Kementrian Dalam Negeri, agar melaksakan fungsinya terkait dengan peninjauan terhadap berbagai peraturan daerah yang berpotensi melanggar HAM atau bertentangan dengan konstitusi; c. DPR menjadikan perspektif hak asasi manusia dan internalisasi norma-norma hak asasi manusia sebagai salah satu landasan pertimbangan penyusunan legislasi dalam periode mendatang, untuk menjamin terpenuhi serta terlindunginya hak-hak warga negara. d. DPR mengoptimalkan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan terhadap kebijakankebijakan pemerintah maupun merespon berbagai persoalan HAM yang muncul di masyarakat.
*** pg. 24