Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
MELANJUTKAN SEMANGAT DAKWAH RASUL Oleh: Syarif Nurhidayat, SH., MH*
Muqaddimah Beribu tulisan telah mengulas kehidupan Sang Nabi yang agung dari berbagai perspektif. Bahkan, hampir-hampir tidak ada lagi tersisa dari sisi kehidupan beliau yang belum pernah dikisahkan. Kehidupan keluarganya, sosialnya, politiknya, keagamaannya, kekuasaannya, dan semua aspek hidupnya telah habis dikisahkan. Namun hal itu tidak berarti Muhammad telah habis. Berapa kali pun dikisahkan, sosok Muhammad selalu menarik untuk disimak. Ada rasa rindu yang terus saja menderu begitu disebut nama Beliau. Salah satu aspek menarik dan itu menjadi perhatian manusia sedunia adalah tentang pengaruh beliau yang sangat besar pada kehidupan manusia pada masa hidup dan setelahnya. Kita selalu dibuat geleng-geleng kepala seolah tidak percaya bahwa satu orang anak manusia dapat merubah budaya dan karakter masyarakat secara radikal dalam waktu yang teramat singkat. Enam puluh tiga tahun, itu jika kita menghitung dari umur beliau. Sebuah durasi waktu yang sangat singkat untuk merubah dasar pemikiran dan karakter manusia yang berimplikasi pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Coba saja bandingkan dengan durasi panjang revolusi industri di Inggris yang disebut-sebut sebagai tonggak perubahan masyarakat Barat menuju kehidupan yang rasional. Dapat dikatakan bahwa revolusi Inggris benar-benar berjalan dalam durasi waktu sekitar 100 tahun yaitu 1760 sampai dengan 1860. Selain pada durasi waktu, perbedaan mendasar dari proses perubahan yang diusung Muhammad dan gerakan Revolusi Industri adalah bahwa Muhammad melakukan perubahan dengan memulai merubah pola pikir dan keyakinan manusia. Manusia harus memiliki dasar keyakinan yang benar yaitu aqidah Islamiyah, yang akan membawa manusia dalam kehidupan yang seimbang baik di dunia dan di akhirat. Sementara Revolusi Industri, hadir dalam sebuah gerakan masyarakat dalam bidang produksi ekonomi yang baru kemudian memberikan pengaruh kepada pola pikir dan kehidupan masayarakatnya. Pengaruh Muhammad yang luar biasa pada masyarakat Arab pada masa hidupnya dan pada dunia dimasa berikutnya, tidak terlepas dari karakter dan strategi dakwah yang dilakukan oleh Rasûlullâh. Sebuah paduan yang luar biasa, sehingga bisa “menaklukkan” masyarakat Arab yang terkenal sebagai masyarakat yang keras dan tak kenal kompromi. Hal inilah yang menjadikan Michael H. Hart menempatkan sosok Muhammad sebagai seorang tokoh yang paling berpengaruh di muka bumi ini. Muhammad dinilai telah mampu menjadi perubah
1 / 16
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
peradaban Arab dan daerah sekitarnya dalam jangka waktu hidupnya yang sangat singkat. Bahkan pengaruhnya masih begitu kuat sampai saat ini, mengingat Islam menjadi agama ke dua terbanyak penganutnya setelah Nasrani. Karakter dan Strategi Rasul ini menjadi selalu menarik untuk diulas terus menerus mengingat masalah yang dihadapi oleh Rasûlullâh dan ummat Islam sekarang tidaklah jauh berbeda dengan kondisi masyarakat yang dihadapi Rasul. Dengan demikian, kita akan selalu tertuntut untuk menengok ke belakang, bagaimana Rasûlullâh melakukan pendekatan dan memasukkan nilai-nilai dasar Islam kepada masyarakat yang disebut jahiliyah. Dengan bercermin kepada Rasul, diharapkan diperoleh sebuah metode atau strategi yang efektif, mengingat beliau telah berhasil dengan hasil gemilang dalam waktu yang sangat singkat. Dalam naskah ini, penulis berusaha memaparkan secara singkat tentang kondisi jahiliyah masyarakat Arab yang menjadi hambatan dan tantangan. Dari sini kemudian penulis melanjutkan tentang strategi Rasul untuk “menaklukkan” masyarakat Arab. Pada akhirnya, penulis memaparkan tentang problematika dakwah di era modern yang kemudian mencoba mendekatinya dengan strategi yang dilakukan oleh Rasûlullâh sebagai solusinya, mengingat Rasûlullâh adalah teladan utama Umat Islam dalam menjalankan hidup dan kehidupannya, untuk kepentingan dunia dan akherat.
Masyarakat Jahiliyah Seberapa beratkah tantangan Muhammad ketika diutus sebagai Rasul? Masyarakat macam apakah yang beliau hadapi? Islam yang diajarkan Nabi bukannya sebuah kue tart yang kehadirannya selalu disambut dengan gegap gempita kegembiraan. Islam mendapat banyak penolakan dan pertentangan dari berbagai kalangan pembesar masyarakat Quraisy Arab waktu itu. Adanya penolakan tentu sebuah kewajaran, mengingat Islam sebuah ajaran baru yang tentu saja berbeda dengan keyakinan yang sudah lama dianut oleh masyarakat Arab waktu itu. Dalam banyak literatur, disebutkan bahwa masyarakat Arab pada waktu itu disebut dengan masyarakat Jahiliyah. Apa maksud daripada jahiliyah itu sendiri? Keterangan tentang jahiliyah sendiri sangat tepat jika kita ambil dari keterangan Ja’far bin Abî Thâlib, seorang penduduk asli Makkah bercerita tentang masyarakat jahiliyah kepada Raja Najasyi (Raja Negus) ketika meminta perlindungan dari kaum Qurays Makkah, “Wahai baginda, dahulu kami adalah kaum jahiliyah, kami menyembah berhala, makan bangkai, dan melakukan perbutan keji, kami memutus hubungan keluarga, bersikap masa bodoh kepada tetangga, dan yang kuat diantara kami memakan yang lemah.”[1] Keterangan Ja’far ini sudah cukup memberikan gambaran tentang masyarakat Jahiliyah waktu itu. Sistem kepercayaan dan keberagamaan yang keliru. Kehidupan sosial yang tidak tertata dan jauh dari estetika. Sikap individual sangat kental, artinya orientasi dasarnya adalah untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Bahkan ikatakan keluarga tidak memiliki nilai yang penting sama sekali. Dan terakhir, masyarakat jahiliayah adalah masyarakat yang di dalamnya terjadi banyak sekali kedzaliman. Dengan gambaran demikian, dapat kita tunjuk, siapa yang
2 / 16
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
diuntungkan dalam kondisi seperti itu. Siapa yang akan mati-matian berusaha untuk menjaga keadaan seperti itu selain para tokoh-tokoh yang dituakan, konglomerat dan penguasa kabilahkabilah besar? Maka merekalah lawan utama dari dakwah Islam Nabi, yaitu kekuasaan dan kapital setelah sistem kepercayaan. Meski gambaran masayarakat jahiliyah sedemikian luar biasa buruk, Menurut Karen Amstrong, Islam datang pada waktu yang sangat tepat.[2] Paling tidak, tatanan masyarakat kota sudah mulai terbentuk di Makkah. Sebelumnya bangsa Arab hidup secara nomaden untuk bertahann dari ancaman alam yang keras. Mereka membentuk kabilah-kabilah yang memiliki aturan dan struktur hubungan dengan persekutuannya dengan ikatan-ikatan khusus. Mereka dituntut untuk loyal kepada skutu, sehingga tidak jarang sebuah kabilah yang kaya hari ini, besok harinya menjadi miskin karena kedermawanan yang buta tersebut. Dalam kondisi seperti ini, ketergantungan antar kabilah sangat tinggi. Di tengah kehidupan gurun yang ganas, keamanan dan terjaminnya kecukupan pangan adalah sesuatu yang mutlak diusahakan. Sehingga hubungan persekutuan itu begitu kuat dipertahankan. Jika ada penyerangan dari luar sekutu, maka sudah menjadi kewajiban semua kabilah untuk membantu secara bersama-sama. Dalam sistem kabilah ini tidak dikenal dengan hak individu. Individu bernilai sama dengan keseluruhan kabilah, sehingga jika ada seorang anggota kabilah yang mati diserang musuh, maka seluruh kabilah harus menuntut balas dengan jumlah yang sama. Pertanggungjawaban individu sama sekali tidak ada. Kejahatan yang dilakukan oleh seorang anggota kabilah, harus dipertanggungjawabkan oleh seluruh anggota kabilah tersebut. Dalam kondisi persaingan kabilah yang sangat ketat, kekuatan fisik kabilah untuk berperang menjadi sangat penting. Sehingga keberaaan orang laki-laki yang kuat menjadi aset yang bernilai tinggi. Hal ini sekaligus menjadikan nilai seraoang perempuan tidak berarti. Namun karena sistem pewarisan masyarakat waktu itu mengikuti garis perempuan, maka perempuan tinggal memiliki nilai ekonomis. Akibatnya, laki-laki dalam satu kabilah dapat menikahi banyak wanita hanya dengan tujuan untuk mendapatkan harta warisannya. Pada abad ke enam, bangsa Arab mulai hidup menetap dan merintis usaha perdagangan tradisional. Dengan keberadan kota Makkah yang sangat strategis yang setiap tahunnya di datangi banyak orang luar untuk berhaji, maka mereka menjadi kabilah yang kaya raya. Sebuah keadaan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Secara alami, uang menjadi nilai yang sangat penting melebihi agama. Loyalitas kabilah terhadap sekutu berkurang bahkan saling bersaing. Perhatian kepada anggota kabilah yang lemah pun sudah jauh memudar, bahkan para janda dan orang lemah malah jadi bahan eksploitasi. Terkait dengan kepercayaan, beberapa literartur menjelaskan bahwa masyarakat Arab menganut paganisme. Beberapa tuhan besar yang mereka ciptakan seperti Latta Uza, Mannat, serta Hubal. Namun ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa masyarakat Arab sebenarnya masih memiliki kepercayaan yang kuat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka menyebutnya Tuhan Langit. Hal inilah yang menyebabkan kehadiran Islam yang dibawa Muhammad e, secara teologis relatif cepat diterima. Meski demikian, usaha mengenalkan agama dalam sistem kepercayaan baru, bukanlah persoalan mudah sama sekali.
3 / 16
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Pada permulaan Islam mulai dianut oleh bebrapa orang Makkah, reaksi keras langsung muncul. Makkah ketika itu dikuasai oleh kekuatan ketika kaum Quraisy tidak sanggup menyerang langsung Muhammad karena perlindungan Abû Thâlib, mereka melakukan ancaman dan sisksaan kepada para pengikut Muhammad yang lemah. Dari penelantaran, sampai siksaan bahkan pembunuhan. Selain itu mereka melakukan fitnah besar kepada Muhammad menjelang kedatangan kaum-kaum dari luar yang hendak mengadakan haji di Ka’bah. Al-Walid bin Mughirah menghembuskan issu kepada para pendatang dengan menyatakan, “Muhammad adalah seorang penyihir yang datang dengan sihirnya. Ia hendak memisahkan antara anak dengan ayahnya, seseorang dengsa saudaranya, seseorang dengan istrinya atau seseorang dengan keluarganya.”[3] Tidak ada kemunafikan di Makkah. Tidak ada yang mau menerima Islam, kecuali orang-orang yang benar-benar siap untuk mempertaruhkan kehidupan dan masa depannya di dunia. Hal ini sangat wajar karena ketika di Makkah adalah masa paling sulit, karena umat Islam di sana dalam keadaan lemah dan tertindas. Kaum munafik mulai muncul dalam periode Madinah dan Fathul Makkah. Hal ini wajar karena kemunafikan (hipokrit) akan segera muncul pada lingkungan yang mempertemukan dua misi yang bertentangan dan berhadapan dalam keadaan yang seimbang. [4]
Strategi Jitu Rasûlullâh Menyebarkan Islam Menghadapi masyarakat Jahiliyah, berdasarkan sejarah kehidupan beliau yang banyak dituliskan, Nabi memiliki dua strategi dasar, yaitu pertama, dakwah secara sembunyi. Kedua, Nabi melakukan dakwah secara terbuka. Secara tersembunyi dilakukan oleh Rasul dengan mendekati keluarga terdekat untuk mendapatkan dukungan. Hal ini merupakan langkah yang paling penting, bahwa untuk melakukan suatu gerakan perjuangan, mesti mendapat dukungan kuat, minimal dari lingkungan terkecilnya, yaitu keluarga dan sahabat terdekat. Usaha secara sembunyi ini dilakukan Rasul selama kurang lebih tiga tahun, dan mendapat sekelompok kecil pengikut yang disebut al-sabiqun al-awwallun. Pada fase kedua, ketika Allâh telah menurunkan surat al-Syu’arâ ayat 214, “dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat”, Nabi mulai menyampaikan risalah Islam secara terbuka. Semangat dakwah Rasul semakin kuat ketika firman Allâh turun “Maka sampaikanlah olehmu segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik” (QS al-Hijr [15]: 94). Dengan turunnya ayat tersebut, Rasûlullâh semakin gencar mendakwahkan Islam baik secara sembunyi maupun terang-terangan. Bahkan beliau telah mendemonstrasikan shalat di dekat Ka’bah, sehingga setiap orang yang melintas dapat menyaksikannya. Sehingga terjadilah peristiwa Uqbah bin Abî Mu’ith menginjak tengkuk Nabi ketika beliau bersujud sehingga hampirhampir keluar kedua biji matanya.[5] Tidak itu saja, usaha untuk menyakiti Nabi terus saja muncul. Sebuah riwayat Ibnu Ishaq dari Abdullâh bin Amr bin al-Ash, yang menceritakan bahwa ketika Rasul bertawaf mengelilingi
4 / 16
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Ka’bah dan di dekat Hijr Ismail berkumpul orang-orang Quraisy. Setiap berjalan melewati dekat mereka, mereka menghina Nabi, hingga pada putaran berikutnya Nabi menghampiri mereka seraya berkata, Sudikah kalian mendengarkanku, wahai kaum Quraisy! Demi Allâh Yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku datang membawakan sembelihan untuk kalian.” Mendengar kalimat beliau mereka hanya terdiam. Pada keesokan harinya, mereka berkumpul lagi, dan ketika Nabi datang, mereka langsung mengerubuti Nabi Muhammad dan salah seorang mencengkeram bagian kerah jubah beliau. Kemudian datang Abû Bakar segera membela, ‘apakah kalian akan membunuh seseorang lantran dia berucap ‘Rabbku adalah Allâh I!’ kemudian merekapun berlalu.[6] Ada banyak peristiwa tekanan, hinaan bahkan perlakuan kasar pada Nabi, hingga akhirnya beliau atas petunjuk Allâh melakukan perjalanan hijrah ke Madinah. Langkah pertama Nabi begitu sampai di Madinah sebagai sebuah titik mula dakwah adalah mendirikan Masjid. Di Madinah, Nabi mendapat sambutan baik dan memiliki kesempatan untuk membangun masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Ketika sudah memiliki kekuatan yang besar, mereka kembali ke Makkah dan terjadilan Fathu al Makkah. Sebuah kemenangan yang manis tanpa pertumpahan darah. Sebuah jalan luas yang terbuka sebagi janji Allâh akan menganugerahkan pertolongan dan kemenangan pada usaha dakwah Rasûlullâh. Berdasarkan sejarah singkat dakwah nabi dan para shahabat setelahnya, secara konseptual, Muhammad Ghazali mengemukan tiga tahap dakwah, yaitu 1) proses menyadarkan pikiran, 2) menumbuhkan keyakinan, dan 3) membangun sistem (organisasi). Jika dikontekskan pada langkah-langkah dakwah Nabi, maka Periode Makkah merupakan proses penyadaran dan menumbuhkan keyakinan masyarakat. Menyadarkan bahwa agama mereka batil dan cara bertuhan mereka sesat. Setelah itu, Rasul menawarkan satu sistem kepercayaan dan aqidah dan beribadah yang murni bersih dan lurus yaitu Islam. Kemudian periode Madinah merupakan periode membangun tatanan sistem sosial yang bernafaskan Islam, dari sistem ekonomi hingga kekuasaan kenegaraan.[7] Model dakwah sebagaimana di ataslah yang kemudian dilanjutkan oleh para sahabat hingga kini oleh generasi yang terakhir. Tentu ini dengan sekian modifikasi teknik yang terus berkembang seiring dengan perkembangan media dan teknologi. Dengan tiga tahap tersebut, Islam sebagai sebuah satu sistem yang lengkap, dari aqidah, syariah dan juga hubungan kemasyarakatan (mua’amalah), yang dirangkum dalam koridor akhlaqul karimah, mampu ditransformasikan kepada banyak sekali kelompok masyarakat yang berada jauh dari lokasi maupun masa hidup Rasûlullâh SAW. Salah satu buktinya adalah dianutnya Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Indonesia sekarang ini, yang nota bene berada jauh dari negeri Asal Islam dan hidup dalam rentang waktu yang lama dari masa hidup Nabi dan para sahabat.
Modal Dasar Dakwah Nabi Rasûlullâh e memiliki paling tidak tiga modal dasar yang menjadi bekal berdakwah. Tanpa modal tersebut, sangat sulit mencapai sebuah keberhasilan yang gemilang. Tiga modal dasar tersebut adalah, al-Qur’ân sebagai Mu’jizat, karakter pribadi yang tidak tercela, dan
5 / 16
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
konsistensi dan semangat membaja pantang menyerah. Diantara modal dakwah Rasûlullâh SAW adalah; a.
Al-Qur’ân sebagai Mu’jizat
Nabi Muhammad SAW diutus adalah untuk menyampaikan risalah Islam sebagai penyempurna risalah agama-agama sebelumnya. Sebagaimana Nabi dan Rasul yang lain, Muhammad dibekali dengan banyak sekali Mu’jizat atau alat untuk melemahkan dan menundukkan musuhmusuh dakwahnya. Yang unik dari Nabi Muhammad SAW adalah bahwa beliau diberi tugas untuk menyampaikan al-Qur’ân yang sekaligus adalah mu’jizat yang menjadi bekal dakwahnya. Sehingga, banyak riwayat yang menyebutkan ketertarikan masyarakat jahiliyah kepada Islam adalah bukan saja kepada cara Muhammad menyampaikan, namun lebih kepada apa yang disampaikan. Tidak jarang, orang yang menyatakan beriman begitu mendengar sidikit saja dari ayat-ayat al-Qur’ân. Hal ini tapak jelas pada peristiwa kedatangan Abul Walid menemui Rasul untuk bernegosiasi dalam rangka menawarkan harta, kedudukan serta kekuasaan, dan bahkan kesembuhan jika Nabi merasa terbelenggu oleh Jin, asalkan Rasul mau menghentikan dakwahnya, dan tidak mengganggu kaum Quraisy. Rasul menyambul Abul Walid tidak dengan banyak argumentasi dan wacana, melainkan membacakan kepada Abul Walid bagian dari al-Qur’ân, yaitu surat Fushshilat: “Hâ mîm. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. Yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (daripadanya); maka mereka tidak (mau) mendengarkan. Mereka berkata, ‘hati kami berda dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya...’” (QS Fushshilat [41]: 1-5). Nabi membaca surat tersebut sampai pada ayat sajdah dan beliau bersujud. Kemudian berkata kepada Abul Walid, “Wahai Abul Walid, engkau telah mendengarkan apa yang telah engkau dengar tadi. Sekarang terserah padamu.” Setelah mendengar perkataan Rasul, Abul Walid keluar dan menemui kaumnya kemudian berkata, “aku telah mendengar perkataan yang –demi Allâh- belum pernah sama sekali aku dengar semisalnya. Demi Allâh! Ia bukan syair, bukan sihir dan bukan pula tenung! Wahai kaum Quraisy! Patuhilah aku, serahkan urusan itu kepadaku serta biarkanlah orang ini melakukan apa yang dia lakukan. Menjauhlah dari urusannya! Demi Allâh! Sungguh ucapannya yang telah aku dengar itu, akan menjadi berita besar. Jika orang-orang Arab bisa mengalahkannya, maka kalian telah membereskannya tanpa campur tangan; dan jika dia berhasil mengalahkan mereka, maka kerajaannya adalah kerajaan kalian juga, keagungannya adalah keagungan kalian juga; mka dengan begitu kalian akan menjadi orang yang paling bahagia.” Atas pernyataan tersebut, oleh kaumnya Abul Walid dituduh telah terkena sihir Muhammad e. Namun dengan tegas Abul Walid menyatakan, “Inilah pendapatku terhadapnya, terserah apa yang ingin kalian lakukan.”[8] Selain kisah Abul Walid, riwayat tentang masuknya Umar bin Khaththab juga diawali dengan diperdengarkannya sebagian dari ayat-ayat al-Qur’ân. Hal ini menunjukkan bahwa al-Qur’ân telah menjadi magnet terbesar bagi masyarakat Arab sekaligus menjadi “hantu” bagi para musuh dakwah Nabi.
6 / 16
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Dibekalinya Muhammad SAW dengan al-Qur’ân yang menjadi mu’jizat, tidak berarti tugas Rasul menjadi ringan. Gambaran masyarakat jahiliyah yang menolak dan merasa terancam dengan tatan baru yang diusung Muhammad e melalui Islam merupakan tantangan yang tidak ringan. Bahkan Nabi SAW kemudian ‘terpaksa’ untuk melakukan hijrah ke Madinah dalam rangka menghindari tekanan dan sekaligus memperluas wilayah dakwah. b.
Karakter Pribadi yang Agung
Sejak berada di dalam kandungan, Muhammad SAW telah menunjukkan keistimewaan. Begitu pula ketika beliau masa kanak-kanak dan remaja. Muhammad e tidak pernah merasakan dekapan ayahnya, karena telah meninggal sebelum beliau lahir. Kemudian diasuh oleh Halimah di desanya kaum Sa’ad di Thaif. Setelah usia sekitar lima tahun Muhammad e dikembalikan kepada Ibunya, Aminah. Halimah merasa khawatir karena Muhammad ditemukan tengah dibedah oleh sosok malaikat ketika asik bermain. Diasuh oleh Ibunya sebentar, kemudian Ibunya meninggal dunia. Kakeknya, Abdul Muthalib mengambil alih kepengasuhan, namun lagilagi kakek beliau meninggal dunia dan kepengasuhan diamanatkan kepada paman Nabi, yaitu Abû Thâlib. Abû Thâlib-lah yang kelak menjadi perisai yang selalu melindungi Muhammad sepanjang dakwah beliau di Makkah dari gangguan dan serangan kaum kafir. Ketika remaja, Muhammad karakter Muhammad digembleng melalui praktek menggembala kambing. Dimana pada fase ini secara alamiah Muhammad disebut oleh para sejarahwan belajar tentang kepemimpinan. Kemudian, ketika sudah dewasa, beliau diamanahi menjadi pedagang oleh Khotijah dan sukses besar. Mulailah dari kesuksesan ini, Muhammad SAW dikenal banyak masyarakat Arab karena kejujurannyad dalam berdagang, sehingga dikenal sebagai al-Amin. Tempaan alam dan kehidupan yang begitu keras, menjadikan karakter Muhammad SAW tumbuh dengan matang. Tidak mudah goyah, tegas dalam bersikap dengan konsistensi yang luar biasa. Karakter Muhammad yang agung nan mempesona inilah yang kemudian mampu menarik begitu banyak simpati dalam masyarakat Arab. Bahkan ketika terjadi peristiwa penempatan hajar aswad, Rasul mendapatkan kepercayaan untuk menjadi penengah dan disetujui solusinya oleh semua suku. Namun, begitu Nabi SAW hadir membawa Islam, masyarkat Arab ramai-ramai menentangnya. Banyak fitnah yang diarahkan kepada beliau, namun, kemuliaan akhlaqnya, dan dengan karakter agung yang matang, Rasul tetap berperilaku lemah lembut.[9] Karakter beliau yang agung ini, telah banyak menggiring orangorang Quraisy untuk bersimpati dan kemudian memeluk Islam. c.
Konsistensi dan Semangat Membaja Pantang Menyerah
Konsistensi dengan pilihan sikap dan tindakan berdasarkan keyakinan yang benar, merupkan modal utama Muhammad SAW untuk bisa bertahan dalam berbagai tekanan. Hal ini tampak ketika beliau sudah diserang habis-habisan oleh kaum Quraisy, dan paman beliau Abû Thâlib sudah hampir saja menyerah untuk tidak lagi melindunginya dalam berdakwah, Muhammad r menyatakan: “wahai paman, demi Allâh SWT, sendainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan ini, niscaya aku tidak akan meninggalkannya hingga Allâh memenangkan atau aku binasa.”[10]
7 / 16
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Kondisi Islam awal di Makkah benar-benar memprihatinkan. Abû Thâlib akhirnya tidak tega melepaskan Muhammad SAW. Maka jadilah Abû Thâlib sebagai pelindung Muhammad SAW dan umat Islam yang masih lemah dan tidak berdaya untuk perang. Mereka tidak mungkin melawan Quraisy yang punya kekuasaan, harta, juga persiapan dan jumlah manusia yang begitu besar. Umat Islam waktu itu benar-benar tidak memiliki apa-apa kecuali kebenaran yang mereka yakini.[11] Modal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat keimanan. Hal ini tergambar dalam pernyataan Rasul di atas, ketika ditemui pamannya Abû Thâlib, bahwa jalan dakwahnya tidak bisa ditukar dengan apapun, meski jagat raya dan seluruhnya sebagai ganti. Bahkan, jika pun harus mempertaruhkan nyawa tidak masalah. Dengan keyakinan bahwa Allâh SAW akan senantiasa hadir memberikan pertolongan dan kemenangan, menjadikan tekad langkah dakwah Nabi begitu kuat tanpa ada keraguan. Sebuah totalitas.
Problematika Dakwah di Era Modern Setelah kita menengok pada sejarah tentang bagaimana semangat dan strategi dakwah Nabi, maka tidak boleh tidak harus segera kembali ke masa kini dan kemudian menatap masa depan. Apa kabar dakwah Islam sekarang? Agar bisa melihat peta masalah dakwah bisa ditelusuri melalui periodesasi perkembangan Islam, sehingga bisa diketahui sampai dimana perkembangan terakhir. Jika ditilik secara makro perkembangan sejarah Islam, maka akan ditemui tiga babak besar.[12] Pertama, periode penaklukan dan asmililasi. Islam hadir dan diterima sebagai kenyataan yang memberikan pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat. Masa ini dikenal sebagai masa keemasan Islam. Kedua, masa reaksi dengan terhapusnya motif-motif duniawi yang sejak akhir abad sebelas, ketika beranjak pada abab empat belas telah bisa dikatakan menyeluruh. Perkembangan pemikiran dan sebaran agama Islam, menjadikan Islam bergesekan dengan begitu banyak masalah dan beragam masyarakat, hal ini menjadikan terjadi upaya pemurnian Islam dan penyempitan yang semakin membatasi wailayah agama dengan mengambil jarak pada motif duniawi. Pada babak ketiga, terjadi sejak akhir abad kedelapan belas, ketika terjadi kontak antara Islam dan Eropa yang mengakibatkan munculnya kembali motif-motif duniawi, dengan akibat rusaknya keseimbangan. Kenyataan bahwa Eropa muncul sebagai tatanan kekuatan kekuasaan yang lebih kuat dan maju bersama dengan revolusi industri, menggeliatkan kembali pemikiran Islam yang meluas. Para pemikir Islam seperti tersadarkan, bahwa telah terjadi ketidak seimbangan yang luar biasa ketika Islam “disimpan” saja di balik jubah dalam bentuk sikap asketik dan menutup diri dari perkembangan duniawi. Pada fase ketiga inilah sekarang umat Islam berada. Tiba-tiba gagap terhadap suasana riuh dunia ketika diketahui bahwa Eropa atau negeri-negeri barat telah jauh meninggalkan peradaban umat Islam. Jika mau jujur, maka pandangan mata kita akan berlinang air mata kesedihan karena masyarakat yang dibangun dan cita-citakan Nabi SAW jauh panggang dari
8 / 16
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
api dalam kehidupan modern sekarang ini. Masyarakat Islam begitu lemah bahkan terpinggirkan. Pertanyaan yang sudah lama mencoba dijawab adalah mengapa bisa demikian? Von Gruneboum menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan karena Eropa telah memperkuat dengan Platonisme dan semangat penyelidikan bebas, sedangkan orang-orang Arab (Islam) telah membeku dalam Aristotelianisme yang kaku.[13] Terlepas pada apakah ada penyederhanaan masalah dalam melihat kenyataan Islam kekinian, pemaparan di atas jelas mengantarkan pembaca pada suatu situasi yang kompleks. Bukan saja masalah keagamaan (ibadah) ansich, melainkan juga masalah sosial kemasyarakatan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Langkah kemudian adalah bagaimana upaya kembali megangkat Islam ke permukaan.
Memaknai ulang Dakwah Islamiyah Penulis belum memiliki data berapa jumlah masjid di Indonesia. Berapa kali pengajian agama digelar setiap harinya. Meski belum memiliki data, tetapi penulis berasumsi bahwa ada ribuan masjid, dan ribuan pula pengajian digelar setiap harinya. Artinya, sebenarnya nuansa pendidikan dan syiar Islam sudah sedemikian kuat. Namun demikian, Islam tetap stagnan berjalan ditempat, ada apakah sebenarnya? Jangan-jangan ada masalah dalam Dakwah Islamiyah itu sendiri selama ini. Pada tahun 1983 di Yogyakarta pernah digelar Seminar dan Diskusi mengenai dakwah dan perubahan sosial. Di dalamnya ada upaya mewacakan dakwah dengan pendekatan sistem. Di dalamnya Amrullâh mendefinisikan dakwah Islamiyah merupakan aktualisasi imani (teologis) yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosiokultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan mengunakan cara tertentu.[14] Pada masa kekinian pengertian dakwah paling tidak dipahami dengan dua prespektif dasar,[15] pertama perspektif yang sempit, dimana dakwah dimaknai sebatas tabligh, penyiaran atau penerangan tentang agama. Pandangan ini sangat mudah terjerumus pada pelembagaan dakwah hanya sebatas ceramah di mimbar-mimbar. Konsekuensi selanjutnya, akan ada kriterai dai haruslah orang yang bisa berceramah di muka umum, sementara orang-orang yang konsisten dengan penyebaran nilai melalui lembaga-lembaga lain menjadi tidak bisa disebut sebagai kegiatan dakwah. Pandangan yang kedua melihat dakwah sebagai usaha mewujudkan ajaran Islam dalam semua segi kehidupan, bukan sebatas tabligh saja. pengertian ini dirasa terlalu luas, karena tidak bisa memberikan batasan yang jelas, pada wilayah mana suatu perbuatan tidak lagi tidak bisa disebut dakwah, sehingga bisa dibedakan dengan kegiatan yang lain. Masalah pengertian dakwah tidak perlu diperpanjang luaskan, agar tidak terlalu sempit hanya
9 / 16
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
sebatas tabligh, atau terlalu luas di semua aspek kehidupan, maka kita harus merujuk kepada dalil dasar perintah berdakwah. Sebuah dalil yang sangat populer adalah QS Ali Imran ayat 104, ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan kepada yang ma’ruf [16] dan mencegah dari yang mungkar.” Melalui dalil ini jelas bahwa penekakan dakwah adalah pada aspek menyeru kepada kebaikan memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Selama ada konten ketiga hal tersebut, maka itu menjadi bidang garapan dakwah. Dari dalil tersebut juga bisa dipahami bahwa dakwah adalah sebuah kewajiban kifayah yang bersifat kolektif. Dengan demikian dakwah harus digarap secara bersama-sama, terorganisir dan terlembaga. Dakwah harus digarap dengan serius, dimana ketika ada lembaga dakwah di sana harus memiliki basis data dan sumberdaya dan metodologi terkait dengan perubahan sosial dan keagamaan. Namun dalam kenyataan sekarang, adanya lembaga-lembaga dakwah hanya digarap setengah-sengah dengan sisa-sisa tenaga sampingan. Ace Partadiredja merumuskan bahwa dalam dakwah ada empat hal penting yang harus diperhatikan yaitu, sasaran dakwah, pelaku dakwah, media dakwah, dan materi dakwah.[17] Keempat aspek itu mesti selalu berisifat dinamis saling menyesuaikan sehingga sampai pada maksud dari dakwah itu sendiri. Ketika membangun sistem dakwah, harus disesuaikan antara keempat aspek tersebut. Media dakwah orang di kota, jelas berbeda dengan media dakwah masyarakat di desa. Materi dakwah untuk kelompok terdidik harus berbeda dengan kelompok awam dan seterusnya. Nabi SAW bahkan telah menginstruksikan melalui sebuah hadits, “berbicaralah dengan manusia menurut takaran akal pikiran mereka.” Dengan prinsip ini, diharapkan dakwah akan bersifat fleksibel dan mudah diterima oleh sasaran dakwah.
Kondisi Masyarakat Masyarakat Muslim di Indonesia, telah terjangkiti penyakit materialisme, dimana ukuran segala hal adalah materi dan uang. Dalam bahasa yang kritis, Bpk Zaini Dahlan mengungkapkan bahwa hakekat agama sudah tidak lagi diminati,[18] “Hati nurani yang bersih, wahyu al Qur’ân, air sumur yang tak berasa dan tak berbau, siapa yang sudi menganggapnya sebagai karunia? Semua perhatian terkunci mati bahwa hanya: harta, harta, harta. Rumah gedung, mobil mewah, jabatan itulah yang harus diburu, dengan cara apapun. Harus aman sampai anak cucu. Hanya harta yang dianggap bisa menolong manusia. Tuhan, cukup disebut dalam doa saja. Tuhan hanya dalam doa, tapi dalam action hartalah Tuhan sejati.” Sementara itu, dalam kajian filsafat modern, Frans Magnis Susseno menyatakan bahwa sejatinya manusia sebagai persona adalah pribadi yang mulia lagi luhur berakal budi. Namun dalam dunia modern saat ini telah melahirkan tiga paham yang merusak eksistensi kebaikan persona manusia, yakni kerakusan Kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme[19] yang bersifat global. Manusia modern cenderung liberal, artinya mereka semakin manjadi individu yang egois, dan tidak memperdulikan lingkungan dimana dia hidup. Baik lingkungan secara fisik
10 / 16
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
maupun moral. Dalam bahasanya Prof. T Jacob, masyarakat yang dominan di dunia sekarang adalah masyarakat mubadzir. Masyarakat mubadzir adalah masyarakat pervers, abnormal, terjungkir balik, menyimpang dari hukum alam. Dalam sebagian sejarahnya manusia tertuju memenuhi kebutuhan pokoknya untuk bertahan hidup. Tetapi sejak revolusi industri, tujuan itu berubah menjadi mencari laba, dan ekonomi melepaskan diri dari kebudayaan. Suatu usaha dinilai dari ukuran menghasilkan laba dari pada manfaat sosialnya. Masyarakat mubadzir ini tercipta oleh hiperproduksi, hiperkonsumsi, dengan seluruh keluarga mencari makan yang menyebabkan pecahnya keluarga. Disintegrasi terjadi akibat pengangguran, devaluasi mata uang, dan kejahatan. Perbedaan etnis makin merupakan perbedaan sosial ekonomi.[20] Gambaran di atas menggiring kita kembali kepada kondisi masyarakat jahiliyah dahulu. Sebuah kondisi yang dikendalikan bukan dengan kesadaran akal budi dan tatanan moralitas yang luhur, namun dikuasai kapital dan kekuasaan buta. Kezhaliman menjadi tidak terkendalikan dan lestari, yang lemah ditindas, yang kuat menindas. Agama, hanya dijadikan sebatas identitas, bukan semangat kebenaran. Meski kondisi masyarakat kini begitu memprihatinkan, Sayyid Qutb tetap optimis, dan menyatakan hanya Islam yang bisa menjadi jalan keluar. Tentu bukan Islam yang hanya sebatas identitas di kartu tanda kependudukan, namun Islam yang memiliki karakter yang khas. Beliau menyatakan bahwa Islam berjuang tanpa senjata, karena faktor kekuatannya tersembunyi di balik hakekatnya yang unggul, yaitu, kesederhanaan, kejelasan dan kelengkapannya, keserasian dengan fitrah manusia dan dalam kesanggupannya memenuhi kebutuhan manusia yang hakiki. Kekuatan tersebut tersembunyi di balik penentangannya terhadap penghambaan diri terhadap manusia dan memilih penghambaan diri kepada Allâh SWT semata.[21] Sebuah rangkaian karakter yang lengkap jika kita mau bercermin kepada pribadi Rasûlullâh SAW. Dengan keteladanan Rasul telah membuktikan kedahsyatan dakwah yang mampu mempengaruhi bukan saja pada orang yang pernah menyaksikan sendiri diri beliau, namun sampai kita saat ini yang tidak pernah bertemu dengan Rasul, selalu merasa dekat karena keteladanan beliau. Oleh karena itu, untuk menanamkan akhlaq dan nilai-nilai esoteris Islam di semua bidang kehidupan sangat tepat jika dilakukan dengan keteladanan. Sebagai seorang pelaku dakwah, harus mengasah diri terlebih dahulu baik dalam hal keilmuan maupun amalan, sehingga mampu menampilkan sosok diri yang unggul dan dapat dicontoh oleh sasaran dakwah. Allâh SAW menegaskan dalam ayat berikut, “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allâh bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS al-Shâf [16]: 2-3) Ikhtitâm Strategi dakwah Nabi Sallallah 'alaihi wasallam yang dilanjutkan oleh para sahabat dan generasi berikutnya, selalu berkembang sesuai dengan tantangan, situasi dan kondisi
11 / 16
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
masyarakat. Meski begitu semangat dan modal dasar dari dakwah yang telah dicontohkan oleh Rasûlullâh Sallallah 'alaihi wasallam dalam mengajarkan dan menyebarkan Syariat Islam. Melakukan dakwah dengan tersistem dan terorganisir akan mampu memberikan kontribusi lebih dibandingkan dengan model secara individu. Garap dakwah juga harus diperluas, tidak sekedar tabligh semata. Karena esensi dakwah adalah mengubah dan memberikan arah pada perubahan. Mengubah masyarakat dan budaya dari kedzaliman ke arah keadilan, dari kebodohan ke arah kemajuan/kecerdasan, kemiskinan ke arah kemakmuran, keterbelakangan ke arah kemajuan dan seterusnya. Modal dasar dakwah Islamiyah yang dicontohkan Rasûlullâh Sallallah 'alaihi wasallam harus dimiliki pula oleh stiap Muslim. Pertama, keimanan atas wahyu Allâh Ta'ala yang termaktub dalam al-Qur’ân. al-Qur’ân akan membuktikan kebenarannya sendiri, melawan semua opini sesat musuh Islam. Kedua, pelaku dakwah harus memiliki karakter yang unggul dan menjadi suri tauladan bagi masyarakat. Jangan sampai seseorang hanya bisa bicara tanpa mampu memberikan contoh konkret. Ketiga, konsistensi dan semangat baja dengan tidak mudah menyerah menghadapi kendala dan rintangan. Semoga setiap usaha kita dalam menuju kebaikan, terhitung sebagai sebuah tindakan yang bernilai ibadah. Âmîn.[]
MARÂJI’ Al-Qarni, ‘Aidh bin ‘Abdullâh. 2006. Visualisasi Kepribadian Muhammad e, (terj), Bandung: Irsyad Baitus Salam. Al-Nadwi, Abul Hasan ‘Ali al-Hasani. 2006. Sirah Nabawiyah; Sejarah Lengkap Nabi Muhammad e., Cet. Ke-2. Yogyakarta: Mardiyyah Press. Maarif, Ahmad Syafii. 2009. “Perpaduan Kekuatan Zikir dan Fikir”, salah satu tulisan dalam Edy Suandi Hamid (ed.), Zaini Dahlan: Sang Guru. Yogyakarta: UII Press. Ahmad, Amrullâh (ed). 1985. Dakwah Islam dan Perubahan Sosial. Yogyakrta: PLP2M. Suseno, Franz Magnis. Berfilsafat dari Konteks. Jakarta: PT. Gramedia Utama. Guillemin, Jacques Duchesne-, dalam Gustave L. Von Grunebaum. 1983. Islam; Kesatuan dalam Keragaman. (terj). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Armstrong, Karen. 2007. Sejarah Muhammad; Biografi Sang Nabi. (terj). Cet.Ke-3. Magelang: Pustaka Horizona. Haikal, Muhammad Husain. 2008. Sejarah Hidup Muhammad. Cet. Ke-37, Jakarta: Lentera Antar Nusa. Qutb, Sayyid 1981. Masa Depan di Tangan Islam. Malaysia: International Islamic Federation of Student Organizations.
12 / 16
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahmân. 2001. Perjalanan Hidup Rasul Yang Agung Muhammad e; Dari Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir. Jakarta: Kantor Atase Agama Kerajaan Saudi Arabia. T. Jacob. 2004. Tragedi Negara Kesatuan Kleptokrasi; Catatan di Sejakala. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
* Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
[1] Abul Hasan ‘Ali al-Hasani an-Nadwi, Sirah Nabawiyah; Sejarah Lengkap Nabi Muhammad e., Cet. Ke-2, (Yogyakarta: Mardiyyah Press, 2006), hlm. 92
[2] Karen Armstrong, Sejarah Muhammad; Biografi Sang Nabi, (terj), Cet.Ke-3, (Magelang: Pustaka Horizona, 2007), hlm. 75-104
[3] Abul Hasan ‘Ali al-Hasani an-Nadwi, Sirah Nabawiyah;, hlm: 135
[4] Ibid., hlm: 228-229
[5] Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Perjalanan Hidup Rasul Yang Agung Muhammad e; Dari Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir, (Jakarta: Kantor Atase Agama Kerajaan Saudi Arabia, 2001), hlm. 131
13 / 16
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[6] Ibid., hlm. 131-132
[7] Amrullah Ahmad (ed), Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, (Yogayakarta: PLP2M, Yogyakarta, 1985), hlm. 4-5
[8] Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Perjalanan Hidup Rasul., hlm. 141-145
[9] ‘Aidh bin ‘Abdullâh Al-Qarni, Visualisasi Kepribadian Muhammad e, (terj), (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006), hlm. 32-36
[10] Abul Hasan ‘Ali al-Hasani an-Nadwi, Sirah Nabawiyah; Sejarah Lengkap Nabi Muhammad e. Cet. Ke-2, (Yogyakarta: Mardiyyah Press, 2006), hlm. 127-129
[11] Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, Cet. Ke-37, (Jakarta: Lentera Antar Nusa, 2008), hlm. 99
[12] Jacques Duchesne-Guillemin, dalam Gustave L. Von Grunebaum, Islam; Kesatuan dalam Keragaman, (terj) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1983), hlm. 8
14 / 16
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[13] Gustave L. Von Grunebaum, ibid., hlm. 6-7
[14] Amrullah Ahmad (ed), Dakwah Islam., hlm. 2
[15] Ibid., hlm. 6-8
[16] Ma'ruf yang dimaksud adalah segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allâh, sedangkan munkar adalah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
[17] Ace Partadiredja, “Dakwah Islam Melalui Kebutuhan Pokok Manusia; Medium Lisan Cocok untuk Kelas Menengah”, dalam Ibid., hlm. 116
[18] Ahmad Syafii Maarif, “Perpaduan Kekuatan Zikir dan Fikir”, salah satu tulisan dalam Edy Suandi Hamid (ed.), 2009, Zaini Dahlan: Sang Guru, (Yogyakarta: UII Press), hlm. 3
[19] Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dari Konteks, ( Jakarta: PT. Gramedia Utama, 1992), hlm. 91
15 / 16
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[20] T. Jacob, Tragedi Negara Kesatuan Kleptokrasi; Catatan di Sejakala, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), hlm. 121-122
[21] Sayyid Qutb, Masa Depan di Tangan Islam, (Malaysia: International Islamic Federation of Student Organizations, 1981), hlm. 152
16 / 16 Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)