PEMBAHASAN UMUM Pengembangan konsep pemuliaan pepaya tahan antraknosa adalah suatu kegiatam dalam upaya mendapatkan genotipe tahan.
Salah satu metode
pengendalian yang aman, murah dan ramah lingkungan adalah dengan penggunaan genotipe tahan. Pengendalian penyakit antraknosa pada pepaya yang sering dilakukan saat ini adalah dengan menggunakan fungisida, perendaman air panas, pengendalian biologi. Namun metode pengendalian yang dilakukan belum efektif dan dapat berdampak negatif. Oleh karena itu kegiatan pemuliaan untuk memperoleh varietas yang tahan antraknosa sangat diperlukan. Kegiatan pertama dalam pemuliaan tanaman adalah mengkoleksi plasma nutfah baik dari dalam maupun dari luar negeri, kemudian dilakukan karakterisasi untuk mengetahui keragaman genetik pada koleksi plasmah nutfah yang ada. Kegiatan selanjutnya adalah mencari informasi tentang parameter genetik yang berkaitan dengan ketahanan pepaya terhadap antraknosa. Informasi parameter genetik sangat diperlukan untuk kegiatan seleksi dan penapisan Seleksi karakter ketahanan pepaya terhadap antraknosa dapat dilakukan dengan mengetahui karakter yang berkaitan dengan ketahanan terhadap antraknosa, mencari penanda genetik dengan uji korelasi antar karakter (sifat), pendugaan heritabilitas dan aksi gen yang berperanan dalam mengendalikan sifat ketahanan antraknosa pada pepaya. Karakter ketahanan antraknosa pada pepaya bersifat kuantitaif (poligenik) atau dikendalikan oleh banyak gen. Gen pengendali dari karakter ketahanan antraknosa pada pepaya minimal terdiri dari tiga kelompok gen. Sifat kuantitatif ini dapat terlihat dengan tidak ada perbedaan yang diskrit antara genotipe yang tahan yaitu IPB1 dan PB000174 dengan genotipe yang rentan yaitu IPB 10, STR64 dan IPB5. Selanjutnya tidak ada gejala hypersensitive respons, yang merupakan gejala khas untuk karakter yang bersifat kuantitatif, serta dari hasil pengujian pada lokasi yang berbeda terlihat adanya penurunan tingkat ketahanan. Hal ini menunjukkan bahwa sifat ketahanan antraknosa bersifat kuantitatif, dimana pengaruh lingkungan sangat besar. Seleksi ketahanan antraknosa pada pepaya dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Seleksi langsung dapat dilakukan dengan
85 melakukan inokulasi langsung pada buah pepaya selanjutnya mengamati karakter yang berhubungan dengan ketahanan, diantaranya masa inkubasi, diameter gejala, kejadian penyakit, persentase serangan dan tingkat keparahan penyakit. Dari data yang diperoleh kita bisa memisahkan antara genotipe yang tahan dengan genotipe yang rentan.
Seleksi dapat juga dilakukan dengan uji korelasi baik karakter
kualitatif dan karakter kuantitatif terhadap karakter ketahanan penyakit. Hasil uji korelasi dan sidik lintas diperoleh informasi bahwa karakter yang berkorelasi nyata terhadap ketahanan adalah kekerasan buah dan padatan total terlarut. Kedua karakter tersebut memberikan pangaruh langsung dan tidak langsung terhadap ketahanan antraknosa. Pemilihan suatu karakter dalam proses seleksi dalam pemuliaan selain berkorelasi nyata,
diperlukan juga informasi tentang
heritabilitas. Pendugaan heritabilitas bermanfaat untuk mengetahui seberapa besar suatu karakter dapat diwariskan. Heritabilitas adalah perbandingan antara besaran ragam genotipe dengan besaran total ragam fenotipe dari suatu karakter.
Nilai
heritabilitas arti luas untuk karakter padatan total terlarut (tinggi), kekerasan buah (sedang) dan ketahanan antraknosa termasuk tinggi. Sehingga ketiga karakter ini memiliki peluang besar dapat diturunkan secara genetik. Nilai duga heritabilitas arti luas (h2bs) untuk karakter ketahanan, padatan total terlarut dan kekerasan buah tergolong tinggi dan heritabilitas arti sempit (h2ns) tergolong sedang untuk karakter ketahanan dan padatan total terlarut namun tergolong rendah untuk kekerasan buah Aksi gen yang berperan dalam mengendalikan karakter terhadap antraknosa adalah gen aditif. Informasi ini dapat diketahui dengan melakukan pendugaan parameter genetik dengan menggunakan pendekatan analisis silang dialel. Hasil analisis silang dialel baik dengan pendekatan metode Hayman (1954) maupun Griffing (1956) menunjukkan bahwa pengaruh aditif berperan sangat nyata pada karakter ketahanan antraknosa, padatan toal terlarut dan kekersan buah. Pengaruh aditif lebih besar dibandingkan pengaruh dominan untuk karakter ketahanan namun sebaliknya untuk karakter padatan total terlarut dan kekerasan buah. Gen pengendali ketahanan antraknosa pada pepaya adalah gen resesif, derajat dominansi dikategorikan sebagai resesif tak sempurna. Sedangkan padatan
86 total terlarut dan kekerasan buah dikendalikan oleh gen dominan dengan derajat dominansi dikategorikan sebagai over dominan. Berdasarkan hasil uji ketahanan
penyakit antraknosa pada pepaya
diperoleh dua genotipe yang tahan yaitu IPB1 dan PB000174. Tingginya nilai DGU dibandingkan DGK pada analisis dialel menunjukkan bahwa peran gen aditif lebih besar dibandingkan non aditif. Genotipe yang memiliki nilai DGU negatif yang menunjukkaan sifat ketahanan terhadap antraknosa adalah IPB 1 dan PB000174, keduanya memiliki potensi sebagai donor gen ketahanan terhadap antraknosa pada pembentukan hibrida. Genotipe persilangan yang menunjukkan nilai heterosis ketahanan tertinggi adalah IPB5 x PB000174 di kedua lokasi, bahkan di Gunung Geulis persilangan ini menunjukkan ketahanan lebih tinggi dibandingkan dengan tetua terbaik. Ketiga genotipe yang tahan terhadap antraknosa yaitu IPB1, PB000174 dan IPB5 x PB000174 memilik padatan total terlarut yang tinggi. Padatan total terlarut pada semua genotipe menunjukkan nilai oBrik yang lebih tinggi pada percobaan di Tajur dibandingkan dengan percobaan di Gunung Geulis, demikian juga dengan tingkat ketahanan terhadap penyakit antraknosa. Seleksi akan efektif apabila diperoleh genotipe pepaya yang memiliki sifat yang distinc. Informasi ini dapat diperoleh dengan melakukan kegiatan penapisan yang tepat.
Penapisan dapat berjalan efektif apabila memperoleh informasi
tentang patogen penyebab, kondisi yang optimum dalam proses penapisan, dan metode inokulasi yang tepat dan efisien. Hasil kegiatan studi antraknosa pada pepaya menunjukkan bahwa patogen penyebab antraknosa pada buah pepaya adalah cendawan Colletotrichum gloeosporioedes. Pengamatan morfologi dari gejala di buah menunjukkan gejala antraknosa dan spot coklat, dengan warna masa konidia merah muda ,orange dan abu-abu dengan bentuk konidia silindris dan lurus yang memiliki ujung yang tumpul. Hasil identifikasi ini diperkuat lagi dengan responnya terhadap suhu yaitu ada perbedaan yang nyata antara C. gloeosporioides dari buah pepaya (TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG1,GG2) dan isolat dari buah cabai (BGR11) dibandingkan dengan isolat C. capsici (GGc).
Isolat C. gloeosporioides menunjukkan
87 pertumbuhan optimum pada suhu 280C sedangkan C. capsici mencapai pertumbuhan optimum pada suhu 320C . Hal ini didukung hasil yang sesuai dengan laporan penelitian AVRDC (1988) menunjukkan bahwa pertumbuahan C. gloeosporioides asal cabe mencapai optimum pada suhu 280C dan C. capsici tumbuh optimum pada suhu 28-320C. Uji patogenisitas dengan postulat koch pada buah pepaya dilakukan untuk memilih isolat yang akan digunakan dalam kegiatan selanjutnya. Isolat yang dipilih adalah TJR1 di dasarkan kepada uji patogenisitas positif, masa inkubasi pendek dan diameter gejala yang besar serta yang terpenting adalah pertumbuhan optimal pada suhu 280C.
Pemilihan didasarkan pada kondisi percobaan
selanjutnya, karena pengujian dilakukan dilaboratorium pada suhu kamar yaitu antara 27-280C Banyak inang yang rentan terhadap C. gloeosporioides, hal ini perlu diketahui terutama untuk budidaya tumpang sari. Hasil percobaan delapan isolat Colletotrichum dari pepaya dan cabai yang diinokulasikan ke buah cabai dan pepaya menunjukkan bahwa semua isolat menghasilkan gejala antraknosa. Hal ini menunjukkan bahwa patogen penyebab antraknosa yang menyerang pepaya dapat juga menyerang pertanaman cabe dilapangan dan sebaliknya. Menurut Mahfud (1986) C. gloeosporioides penyebab antraknosa pada cabai dapat menyebabkan antraknosa pada pepaya sedangkan cendawan antraknosa dari pepaya dapat menginfeksi cabai, mangga, pisang dan ubi kayu. Penapisan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penapisan dengan infeksi alami dan infeksi buatan di laboratorium.
Metode inokulasi yang
dapat
disarankan untuk kegiatan penapisan genotipe pepaya adalah penempelan biakan dan pelukaan jaringan (TP) dan penyemprotan konidia tanpa pelukaan (SL). Kelebihan metode inokulasi penempelan biakan dan pelukaan jaringan (TP) dalam mengamati diameter bercak, sementara kelebihan metode inokulasi penyemprotan biakan tanpa pelukaan jaringan (SL) akan dirasakan bila kegiatan penapisan genotipe melibatkan jumlah aksesi yang besar. Hasil evaluasi ketahanan pepaya terhadap antraknosa dengan infeksi alami menunjukkan bahwa semua genotipe pepaya terinfeksi secara alami oleh patogen penyebab antraknosa di lapangan. Dari hasil evaluasi tersebut diperoleh genotipe
88 yang tahan yaitu, PB000174. Untuk menghindari adanya periode laten maka evaluasi dilakukan di laboratorium dengan metode inokulasi buatan dengan patogen yang memiliki konsentrasi yang sama yaitu 106spora/ml pada kondisi yang optimum untuk pertumbuhan patogen penyebab antraknosa. Berdasarkan peubah masa inkubasi dan diameter gejala genotipe IPB 1 dapat dikategorikan tahan karena memiliki masa inkubasi yang sama dengan PB000174 dan diameter gejalanya kecil. Ketahanan
antraknosa
pada
pepaya
yang
disebabkan
cendawan
C. gloeosporioides dikendalikan oleh gen poligenik sehingga untuk membentuk tanaman yang resisten memerlukan waktu yang lama. Seleksi sebaiknya dilakukan didataran rendah terlebih dahulu sampai gen ketahanan benar-benar terfiksasi pada suatu genotipe. Hal ini dapat dibuktikan dari kegiatan seleksi di Gunung Geulis dengan ketinggian 550 dpl menunjukkan seluruh genotipe baik tetua maupun perslinagan menunjukkan penurunan ketahanan. Hal yang menarik dari kegiatan ini adalah bahwa karakter rasa manis bersifat overdominan dan diperoleh pada genotipe yang tahan. Hal ini sangat menguntungkan apabila kita melakukan seleksi rasa manis maka secara langsung maupun tidak langsung kita memperoleh penambahan karakter ketahanan terhapa antraknosa pada pepaya.
89