MELACAK MAKNA OBSERVASI DALAM TAFSIR RÛH AL- MA‘ÂNI (Kajian Atas Ra`â Dan Nazara Pada Juz 30)
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud.)
Oleh: Sopiyanul Arifin Nim:105034001223
JURUSAN TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011
MELACAK MAKNA OBSERVASI DALAM TAFSIR RÛH AL-MA‘ÂNI (Kajian Atas Ra`â dan Nazara Pada juz 30)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjan Ushuluddin (S.Ud.)
Oleh: Sopiyanul Arifin NIM 105034001223
Pembimbing
Dr.Yusuf Rahman, M.A. NIP: 196702131992031002
JURUSAN TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skipsi dengan judul: Melacak Makna Observasi Dalam Tafsir Rûh al-Ma‘âni: Kajian Atas Ra`â Dan Nazara dalam juz 30 yang ditulis oleh Sopiyanul Arifin, NIM: 105034001223, telah diujikan dalam sidang Munaqosyah di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 14 Maret 2011, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gekar Sarjana Ushuluddin(S.Ud.) pada program studi Tafsir Hadis.
Ciputat, 14 Maret 2011
SIDANG MUNAQASYAH
Ketua Merapat Anggota
Sekertaris Merapat Anggota
Dr. M. Suryadinata, MA
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA
Nip: 19600908 198903 1005
Nip: 19711033 199903 2001 Anggota
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA
Muslih, Lc, MA
Nip: 19711033 199903 2001
Nip: 19721024 200312 1002 Pembimbing
Dr. Yusuf Rahman, M.A NIP:19670213 199203 1002
ﺑِﺴْــــــــﻢِ اﻟﻠﱠــــــﮫِ اﻟﺮﱠﺣْﻤَــــــــﻦِ اﻟﺮﱠﺣِﯿــــــــﻢ
KATA PENGANTAR Segala puji hanya milik Allah, Tuhan sekalian alam. Yang telah menganugerahkan hidayah dan taufik-Nya kepada penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan hasil yang cukup memuaskan. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpah curah atas insan ma’shum yang telah diampuni segala dosa dan kesalahannya baik yang telah lalu maupun yang akan datang, namun beliau tetap konsisten melaksanakan rangkaian amal yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Tentunya penulis sadari bahwa tidak mudah untuk menyelesaikan pembuatan skripsi ini, banyak sekali hambatan yang penulis hadapi dalam proses penggarapan karya ilmiah ini. Akan tetapi, Alhamdulillah dengan dukungan dari semua pihak, akhirnya penulis bisa menyelesaikan proses pembuatan skripsi tersebut dengan hasil yang cukup memuaskan. Tentunya semua ini berkat dukungan dari orang-orang disekitar penulis. Oleh karena itu, penulis ingin memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan skripsi ini,baik dalam bentuk dukungan materi, tenaga, moral, ide atau pun gagasan. Secara khusus, penulis ingin memberikan apresiasi kepada ibunda tecinta Umi Sahaya sareng ayahanda tercinta Ama Djazuli selaku orang tua penulis, rayi abdi anu dipikageugeut kakak Endin Saprudin dan teh Sofi, serta kakak Khaerudin dan teh Uju, tidak lupa adik tercinta penulis Siti Nurhayati.
iv
Selain itu juga, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Zainun Kamal, M.A., selaku Dekan Fakultas Usuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta segenap pembantu Dekannya. 3. Dr. Bustamin, M.Si., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis. 4. Dr. Lilik Umi Kalsum, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis. 5. Seluruh dosen dan staf pengajar pada program studi Tafsir Hadis (TH) atas segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan, dan pengalaman yang mendorong penulis selama menempuh studi.. 6. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan FU, UIN Syarif Hidayatullah. 7. Dengan kerendahan hati dan rasa terima kasih saya kepada Dr. Yusuf Rahman, M.A yang telah membimbing dan membantu saya dari mulai merumuskan penilitian, sampai terselesaikannya skripsi ini. 8. Ucapan terima kasih dan teriring do'a kepada Bapak Kiyai Mamin pimpinan pondok pesantren salafi Daaru At-Taufiqiyah yang telah mendidik penulis sehingga mengenal ilmu-ilmu agama. Alhamdulillah, hasil didikan beliau menjadi bekal dasar penulis untuk melanjutkan jenjang pendidikan di UIN Jakarta. Semoga pendidikan Beliau dapat berguna bagi Agama dan Bangsa ini, amin. 9. Terima kasih buat teman-teman penulis di TH Angkatan “2005”, Rasa berhutang budi saya terutama, Agus Gunawan al-Muntaha yang telah
v
memberikan ide-ide yang bermanfaat dalam penyusunan skripsi ini. Nur Abdillah Sudrajat al-Hasani dan Arif Budiman al-Nashiri yang mendukung penerjemahan bahasa asing. Rizki Cakra Munggaran yang telah membantu dalam kaidah penulisan dan pencarian buku. Dan teman-teman yang senantiasa ceria dan tak henti menyemangati penulis :(Imam, Hendi, Jurjani, bang Dedi, bang Jhon,). Kawan-kawan di IMALA (Ikatan Mahasiswa Lebak): Ajute, Ajuba, Firman, Rangga, Acep, Uci, Dede Uwes, Ade Suryadi. Ida, Elis, Husna, Ucu, Lilis, Linda Arini, Lesti dan Yulia. Penghuni Kos Antala'la: Bang Oji, Geri, Andri, Jedril, A. Deni Romdhoni (Alm), Hendra, Alex, Anam, Didi Toing, Rohim. Thanks so much for your supporting and praying for me. Akhirny penulis berharap bahwa skripsi yang berjudul " Melacak Makna Observasi Dalam Tafsir Rûh Al-Ma‘Âni: Kajian Atas Ra`Â Dan Nazara pada juz 30)" bisa bermanfa'at bagi semua pihak, terutama untuk penulis sendiri.
Ciputat, 30 April 2011
Penulis
vi
OUT LINE SKRIPSI
HALAMAN JUDUL............................................................................................
i
PENGESAHAN PEMBIMBING .......................................................................
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ....................................................................
iii
KATA PENGANTAR..........................................................................................
iv
DAFTAR ISI........................................................................................................
vii
PEDOMAN TRANSLITASI ...............................................................................
ix
BAB I: PENDAHULUAN....................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .....................................................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...............................................................
9
D. Kajian Pustaka.......................................................................................
10
E. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan ................................................
11
F. Sistematika Penulisan.............................................................................
12
BAB II: BIOGRAFI IMAM AL-ALÛSI DAN TAFSIRNYA ............................
14
A. Riwayat Hidup dan Karir Intelektual......................................................
14
B. Karya-Karyanya.....................................................................................
17
C. Sekilas Tentang Kitab Tafsir Ruh Al-Ma`âni..........................................
18
D. Metode dan Corak Tafsir al-Alûsi..........................................................
21
vii
BAB
III:
OBSERVASI:
LANGKAH
MENDAPATKAN
PENGETAHUAN ................................................................................................
23
A. Pengertian Observasi .............................................................................
26
B. Metode Ilmu Pengetahuan......................................................................
28
1. Demonstratif...........................................................................
29
2. Argumentatif ..........................................................................
30
3. Intuitif ....................................................................................
33
E. Objek dan Subyek Observasi Dalam al-Qur’an: Penggunaan Kata Ra`â dan Nazara ..........................................................................
36
BAB IV: RA’Â DAN NAZARA PADA JUZ 30 DALAM TAFSIR RÛH AL- MA‘ÂNI .............................................................................
39
A. Pengertian Ra`â .....................................................................................
39
B. Penafsiran Ra`â pada Q.S al-‘Alaq 9,11,13. Q.S Al-Fîl 1. Dan Q.S Al-Fajr 6..................................................................................
41
C. Pengertian Nazra ..................................................................................
52
D. Penafsiran al-Alûsi dalam Surat al-Ghasiyah Ayat 17 ...........................
54
BAB V: PENUTUP ..............................................................................................
61
A. Saran .....................................................................................................
61
B. Kesimpulan............................................................................................
64
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Konsonan أ ب ت ث ج ح خ د ذ ر
=a =b =t = ts =j =h = kh =d = dz =r
ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف
=z =s = sy =s =d =t =z =‘ = gh =f
ق ك ل م ن و ه ء ي
=q =k =l =m =n =w =h =` =y
2. Vokal Vokal (a) panjang = â, contoh: َ = ﻗَﺎلQâla Vokal (i) panjang = î, contoh: َ = ﻗِﯿْﻞQîla Vokal (u) panjang = û, contoh: َ = دُوْنDûna 3. Diftong َْ و
= au
َْ ي
= ai
4. Syaddah
Tanda syaddah ditransliterasikan dengan mengulang huruf yang diberi tanda tasydid. Misalnya madda.
ix
5. Kata Sandang Kata sandang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, ال. Transliterasinya dibedakan antara huruf syamsiyah dengan qomariyah.
a. Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah ditransliterasikan sesuai bunyinya, yaitu huruf "L" diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu. Misalnya al-Syamsu, al-Nûr.
b. Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyah Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyah ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan didepan dan sesuai bunyinya. Misalnya al-Badru, al-Watan.
5. Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksrakan menjadi huruf /h/. Hal yang sama juga berlaku bila ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t). Namun, jika ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksrakan menjadi huruf /t/.
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Al-Qur`an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril selama 22 tahun lebih secara berangsur-angsur. Umat Islam meyakini, bahwa siapa pun yang membacanya dinilai sebagai suatu ibadah di sisi Allah SWT. Kitab suci ini sangat multitafsir dan multiinterpretatif,1 para pembacanya selalu saja ingin mengutip dan menafsirkan, Karena itu lahirlah beragam buku, komentar tentang makna yang terkandung dalam ayat-ayat alQur`an. Abdullah Darraz yang dikutip M. Quraish Shihab, menulis : “Apabila anda membaca al-Qur`an, maknanya akan jelas dihadapan anda. Tetapi apabila anda membacanya sekali lagi, akan anda temukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna-makna sebelumnya. Demikian seterusnya, sampai-sampai anda (dapat) menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti bermacam-macam, semuanya benar atau mungkin benar. (Ayat-ayat al-Qur`an) bagaikan intan, setiap sudut memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak ketimbang apa yang anda lihat.”2 Di antara pembicaraan al-Qur`an yang menarik untuk dijadikan kajian adalah pengertian dari makna Ra`â dan Nazara. Meskipun memiliki arti yang sama sebagai arti “melihat,” namun kedua istilah ini sarat dengan muatan makna. 1
Salah satu ciri bahwa agama itu selalu hidup dan tak pernah mati, adalah bahwa kitab suci agama tersebut tidak pernah berhenti ditafsirkan sampai kapan pun. Dalam hal ini, al-qur’an termasuk kitab suc yang tidak pernah berhenti untuk ditafsirkan, setiap waktu selalu muncul penafsiran yang dibutuhkan oleh zamannya. Selengkapnya lihat Ulil Abshar Abdalla, Makna kelengkapan dan kesempurnaan al-Qur`an dalam islam liberal.com (http://Islam Liberal.com/id/Artikel/epistemologi-islam). 2 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), h. 16
1
2
Istilah ini sering dijumpai dalam al-Qur`an misalnya dalam surat al-‘Arâf ayat 143:
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya Menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata: "Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman".3 Menurut kaum Mu‘tazilah ayat di atas termasuk ke dalam ayat Muhkam sehingga mempunyai isi yang tegas dan lugas, padahal kedua ayat di atas menginformasikan penolakan tentang Tuhan dilihat dengan mata kepala. Kaum Mu‘tazilah pun berpendapat ayat-ayat lain yang berlawanan dengan kedua ayat itu harus dita`wilkan dan diinterpretasikan. Ayat-ayat itu mereka sebut ayat mutasyabihât.4 Selain itu, juga dalam al-Qur`an disebutkan dalam surat al-Mâ‘ûn ayat 1, sebagai berikut :
3
Departemen Agama RI, al-Qurʹan dan Terjemahnya (Bandung : CV Penerbit J-ART, 2005), h. 168 4 Ahmad Taufik Konsep Eskatologi Nurdin Ar-Kaniri (Jakarta: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), h.120
3
“Apa engkau telah melihat orang yang mendustakan hari kemudian?”5
Pertanyaan yang diajukan pada ayat di atas bukan untuk diajukan demi memperoleh jawaban, karena Allah maha mengetahui, tetapi bermaksud untuk menggugah hati dan pikiran mitra bicara agar memperhatikan kandungan pembicaraan berikut. Dengan pernyataan ini ayat di atas mengajak manusia untuk menyadari salah satu bukti utama kesadaran beragama yang tanpa itu keberagamaannya dinilai sangat lemah, kalau enggan berkata nihil.6 Ayat di atas menyebutkan mengenai pentingnya mendapat pengetahuan. Tentu saja, pengetahuan yang diperoleh harus melalui pengamatan, yang dalam hal ini berarti melihat atau lebih tepatnya mengobservasi. Juga surat al-Ghasiyah ayat 17, berikut :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Unta itu diciptakan?” 7 M. Quraish Shihab mengatakan bahwa makna kata Nazâra yang tertera dalam ayat di atas, adalah melihat atau memperhatikan untuk mendorong setiap orang melihat sampai batas akhirnya, hingga pandangan dan perhatian benarbenar menyeluruh, sempurna dan mantap agar dapat menarik darinya sebanyak
5
Departemen Agama RI, al-qur’an dan Terjemahnya , h 603 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah : jilid 15 halaman 546. Lihat juga, Muhammadiyah Amin, “Ra’y”, dalam M. Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-qur’an : Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 800. 7 Departemen Agama RI, al-Qurʹan dan terjemah, h 593 6
4
mungkin bukti tentang kuasa Allah dan kehebatan ciptaan-Nya.8 Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya, untuk memperhatikan kepada makhluk ciptaan-Nya, yang semua itu menunjukan kekuasan dan kebenaran-Nya.9 Sementara itu, Zainuddin al-Razi, sebagaimana yang dikutip Fauz Noor mengartikan Nazara sebagai “melihat dengan mata ragawi,” sedangkan Ra`â dimaknai dengan “melihat secara empirik, imaginatif atau non ragawi”10 Akan tetapi, dalam beberapa tafsir yang populer di Indonesia, misalnya Tafsir Depag RI, memaknai kedua kata tersebut dengan pengertian yang sama, melihat.11 Kondisi seperti ini jelas akan membuat pembaca al-Qur`an tidak bisa mendapatkan pengertian yang sesungguhnya, terutama dalam ayat-ayat yang terdapat kedua ayat tersebut yang ada dalam al-Qur`an. Adapun kata أرﻧﻲarinî “nampakanlah kepadaku” yang terdapat dalam ayat 143 surat al-‘Araf di atas tentang ucapan Nabi Musa as. أرﻧﻲ أﻧﻈﺮاﻟﯿﻚarinî anzur ilaika nampakanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat kepada-Mu, bukan berarti penampakan yang berbentuk rohani di satu tempat tertentu, dengan menggunakan pandangan mata. Kata “nampakanlah” yang beliau (Nabi Musa) maksud pastilah bukan nampak dalam wujud nyata, dan memang kata yang beliau
8 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-qur’an) cet. 1 : lentera hati th 2002 jilid 15 h 233 9 Ibn Katsir Tafsir Juz ‘Ama cet,11 (Jakarta: Pustaka Azzam,2007), h. 235 10 Dalam Al-Qur`an, begitu banyak kata Ra’a yang diterjemahkan dengan “mengetahui”, sedangkan “mengetahui” adalah penglihatan akal, bukan penglihatan mata, seseorang bermimpi misalnya, ia “mengetahui” mimpinya, ia pun bisa menceritakan “penglihatan” nonempirikan dalam mimpinya itu dengan kata-kata yang jelas. Lihat Fauz Noor, Berpikir Seperti Nabi : Perjalanan Menuju Kepasrahan (Yogyakarta : LKiS, 2009), h.305 11 Allah menyuruh mereka memperlihatkan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaa-Nya yang ada dilangit dan dibumi seperti meneliti keadaan unta, binatang peliharaan mereka yang oleh mereka dimanfaatkan tenaganya, dagingnya, susunya, kulitnya, bulunya dan lain-lain. Demikian pula mereka disuruh memperhatikan gunung-gunung yang dapat dijadikan petunjuk dalam melakukan perjalanan.
5
gunakan dan diabadikan oleh ayat ini digunakan oleh al-Qur`an dan bahasa arab dalam banyak pengertian.12 Berbeda dengan Nazara, selain mempunyai makna “melihat”, kata Ra`â juga mempunyai arti “mimpi.” Dari sini bisa diketahui bahwa makna “melihat” dari kata Ra`â bukanlah “melihat secara empirik atau ragawi”, melainkan “melihat secara imajinatif atau khayali atau aqli atau nonragawi”, sebagaimana “penglihatan” kita dikala bermimpi juga berada di luar realitas empirik. Bila penulis cermati tentang pengertian dari kedua kata tersebut, maka akan didapatkan sebuah pengertian baru terkait dengan kedua kata tersebut, yakni observasi. Observasi atau mengamati merupakan langkah awal untuk memperoleh pengetahuan, dan pengetahuan mutlak harus dimiliki oleh manusia. Memang dalam al-Qur`an tidak ditemukan kosakata khusus untuk pengertian observasi. Akan tetapi, bila memahami ayat-ayat yang menjelaskan tentang pengertian kedua lafaz di atas, maka akan ditarik sebuah kesimpulan bahwa kedua kata tersebut, khususnya Nazara lebih tepat untuk dimaknai sebagai obeservasi. Istilah observasi berasal dari bahasa Latin yang berarti ”melihat” dan “memperhatikan”.13 Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut.14 Observasi menjadi bagian dalam penelitian berbagai disiplin ilmu, baik ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu
12
Fauz Noor, Berfikir Seperti Nabi. h. 306 Jocob Vredenbregt Metode Dan Teknik Penelitian Masyarakat (Jakarta : Gramedia, 1978), h. 72. Mengenai pengertian observasi secara mendetail, akan dibahas pada bab selanjutnya. 14 Ign, Masidjo, Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa di Sekola (Bandung : Kanisius Anggota IKAPI, 1995), h.59 13
6
social. Observasi dapat berlangsung dalam konteks laboratoriurn (experimental) maupun konteks alamiah Observasi yang berarti pengamatan bertujuan untuk mendapatkan data tentang suatu masalah, sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai alat pembuktian terhadap informasi/keterangan yang diperoleh sebelumnya. Sebagai metode ilmiah observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan fenomena-fenomena yang diselidiki secara sistematik. Dalam arti yang luas observasi sebenarnya tidak hanya terbatas kepada pengamatan yang dilakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengamatan tidak langsung misalnya melalui questionnaire dan tes. Dalam suatu penelitian seseorang tidak akan pernah bisa mendapatkan hasil yang akurat dan sempurna bila mengabaikan peran observasi. Misalkan, suatu penelitian tentang penentuan awal dan akhir bulan qomariyah, akan bisa diketahui setelah melakukan observasi terhadap segala hal yang berkaitan dengan peredaran bulan. Begitu pun untuk penelitian agama lainnya, mutlak diperlukan sebuah observasi untuk mendapatkan data, pengetahuan dan hasil yang maksimal. Namun, lagi-lagi permasalahannya adalah apakah dalam al-Qur`an diungkapkan secara terperinci tentang observasi termasuk ruang lingkupnya. Dari sinilah penulis menganggap permasalahan ini begitu pokok dan penting, sehingga penulis bermaksud meneliti permasalahan ini ke dalam sebuah penulisan skripsi dengan judul “Melacak Makna Observasi Dalam Tafsir Rûh Al-Ma‘Âni: Kajian Atas Ra`â Dan Nazara Pada juz 30 ”
7
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah Sebelum membahas pada rumusan masalah yang akan diteliti, penulis telah melacak dan mengklasifikasikan kata Ra`â dan Nazara dalam al-Qur`an. di dalam al-Qur`an terdapat 448 kata Ra`â dan Nazara, dengan jumlah masingmasing 319 kata Ra`â dan 129 kata Nazara. Hanya
,
, dan
Kemudian setelah melacak dan mengklasifikasikan kata Ra`â dan Nazara dalam al-Qur`an. Penulis dapat menemukan beberapa permasalahan yang harus diidentifikasi, di antaranya : 1. Apa perbedaan prinsipil antara Ra`â dan Nazara ? 2. Dalam konteks apa masing-masing dari kedua kata itu digunakan, sehingga kedua kata tersebut merupakan sebuah kerangka awal yang digunakan untuk mendapat pengetahuan? 3. Siapa saja (baik Subjek maupun Objek) yang mempergunakan katakata itu dalam al-Qur`an ? 4. Ayat mana saja dari al-Qur`an yang memberikan makna yang komprehensif dari kedua makna tersebut? 5. Siapa mufassir yang mengkaji kedua kata itu secara mendetail? Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak melebar ke tema yang tidak perlu, tapi lebih terarah pada tema yang diharapkan, maka penulis membatasi pembahasan dalam skripsi ini pada ayat-ayat yang hanya terdapat kata Ra`â dan Nazara yang terdapat dalam al-Qur`an. Kemudian, karena ayat yang terdapat kata Ra`â dan Nazara juga dapat ditemukan diberbagai tempat dalam al-Qur`an, maka penulis membatasinya pada surat-surat yang terdapat dalam juz 30 dari al-Qur`an.
8
Itu pun yang digunakan dalam bentuk istifham. Selain itu, penulis juga hanya memfokuskan pada ayat-ayat yang didahului dengan kata tanya, seperti
, dan
,
. Pembatasan tersebut dipilih dengan alasan sebagai berikut :
1. Setelah melakukan pengklasifikasian terhadap ayat-ayat al-Qur`an yang terkait dengan penggunaan kata “melihat” dalam al-Qur`an, maka penulis berkesimpulan bahwa pada juz 30 kata Ra`â dan Nazara cukup mewakili terhadap ayat-ayat yang ada pada juz lainnya yang telah diklasifikasikan tersebut, yang membahas tentang pengertian kata “melihat” dalam alQur`an. 2. Karena juz 30 tersebut yang paling banyak terdapat kata Ra`â dan Nazara dalam al-Qur`an serta paling dominan dikaji oleh para mufassir dibandingkan dengan juz lainnya yang terdapat dua kata tersebut, sehingga akan memudahkan penulis untuk meneliti makna kedua kata tersebut yang ada hubungannya dengan observasi. 3. Masing-masing objek dari kedua kata tersebut yang terdapat dalam juz 30 sudah cukup jelas. Dengan demikian, akan mudah dibedakan mana yang paling tepat untuk dimaknai sebagai pengertian observasi. Selain itu, karena penelitian penulis terfokus pada makna dari kedua kata tersebut, sedangkan dalam literature tafsir yang paling mendetail menjelaskan arti kosakata bisa ditemukan dalam tafsir bercorak sufi. Dalam hal ini, penulis menggunakan tafsir Rûh al-Ma‘âni karya al-Alûsi. Pembatasan ini dipilih karena
9
penjelasan tentang term Ra`â dan Nazara dalam tafsir tersebut cukup komprehensif dibanding dengan tafsir yang lainnya. Adapun mengapa penelitian ini hanya difokuskan pada ayat-ayat yang diawali dengan kata tanya karena sebagaimana mengambil pernyataan Adelbert Snijders15 bahwa pertanyaan dimungkinkan terjadi karena adanya prapengetahuan, sehingga jika seseorang bertanya, maka seseorang telah melakukan suatu observasi untuk memasuki sebuah pengetahuan yang akan dialaminya.16 Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu : Bagaimana term Araita, Alam Tarâ dan Afalâ Yanzurûna menjadi bagian dari observasi Qur`ani dalam perspektif Tafsir Rûh al-Ma`âni karya al-Alûsi yang terdapat dalam juz 30?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Ayat yang penulis teliti dalam masalah ini hanya ayat-ayat yang terdapat kata Ra`â dan Nazara yang terdapat dalam juz 30. Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini diharapkan bisa menemukan makna utuh dari pengertian kedua kata tersebut dalam al-Qur`an. Terutama kaitannya untuk menemukan makna observasi sebagai langkah untuk mendapatkan pengetahuan. Sedangkan manfaat dari penelitian ini, dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori. Yaitu kategori teoritis dan praktis. Pada tataran teoritis, penelitian ini diharapkan bisa menjadi tolak ukur bagi penelitian selanjutnya untuk mencari
15
Dosen filsafat di Philosophicum Ordo Kapusin, Helmond, Belanda dan di Fakultas Filsafat Agama, Universitas Katolik St. Thomas, Medan. 16 Adelbert Snijders, Manusia dan Kebenaran : Sebuah Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 26.
10
kata yang tepat sebagai terjemahan dalam al-Qur`an dalam kosakata lainnya. Adapun pada tararan praktis, penelitian ini diharpakan bisa memberikan sumbangan bagi khazanah penafsiran al-Qur`an terutama dalam bidang kajian tafsir.
D. Kajian Pustaka Sudah banyak karya tulis, makalah ataupun buku yang membahas masalah kata Ra`â dan Nazara. Di antara karya-karya tersebut, yang berhasil penulis temukan adalah buku Berfikir Seperti Nabi karya Fauz Noor.17Dalam buku ini, diulas sedikit tentang pengertian dari kata Ra`â dan Nazara, serta dibedakan mengenai penggunaan masing-masing kedua ayat tersebut dalam al-Qur`an. Hanya saja dalam buku ini, ayat-ayat yang terkait langsung dengan kedua kata tersebut tidak dibahas secara luas, sehingga dapat menyebabkan pemahaman yang tidak representatif terhadap kedua kata tersebut. Kemudian buku Biarkan Hatimu Bicara18 yang diterjemahkan dari buku Bayan al-Farq al-Sadar Wa al-Qalb, Wa al-Fu`ad, Wa al-Lubb karya ‘Abd Allah Ibn ‘Ali al-Hakim al-Tirmizi. Dalam buku ini pun diulas tentang pengertian dari kedua kata yang menjadi fokus kajian penulis dalam skripsi ini, akan tetapi dalam buku ini hanya menjelaskan pengertian kedua kata tersebut tanpa menyebutkan ayat-ayat yang terkait langsung.
17
Fauz Noor, Berfikir Seperti Nabi: Perjalanan Menuju Kepasrahan (Yogyakarata: LKiS
2009) 18 ‘Abd Allah Ibn ‘Ali al-Hakimal-Tirmizi Biarkan Hatimu bicara Bayan al-Farq alShadr Wa al-Qalb, Wa al-Fu’ad, Wa al-Lubb, Penerjemah Fauzi Faisal Bahreisy (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005) h, 59
11
Kemudian dalam buku Sepuluh Peristiwa Besar Menjelang Kiamat Kubra (Berdasarkan Al-Qur`an dan Keterangan Ulama) karya Ariskum Al-Mashudi dan Arif Nuryadi, dalam buku ini diungkapkan tentang pengertian melihat Allah. Baik di dunia maupun di akhirat kelak. Term yang digunakan untuk objek melihat dalam buku ini banyak menggunakan kata Ra`â dan Nazara. Akan tetapi, lagi-lagi dalam buku ini hanya membahas segi kosakatanya saja tanpa menyertakan ayatayat al-Qur`an yang berkaitan langsung.19
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan Sebagai kajian di tingkat wacana, maka metodologi penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan referensi primer berupa karya ilmiah dari Syihâb al-Dîn al-Sayyid Mahmud alFandi al-Alûsî, yaitu tafsir Rûh al-Ma`âni.20 Referensi primer itu didukung oleh referensi sekunder untuk melacak makna dari kedua kata yang penulis jadikan kajian, di antaranya Tafsir alMishbah21, Tafsir al-Azhar22 serta referensi lain dari buku dan artikel yang mengulas makna kedua kata tersebut di antaranya buku Berfikir Seperti Nabi.23
19
Ariskum Al Mashudi dan Arif Nuryadi, Sepuluh Peristiwa Besaar Menjelang Kiamat Kubro (Jakarta :Al-Ihsan Media Utama, 2006), h. 157-158 20 Manni’‘Abd al- Halim, Manâhij al-Mufasirîn (Bairut: Dâr al-Kitâb al-Hanâni, 1976). 21 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan Kesan dan Keserasian al-qur’an (Jakarta : Lentera Hati, 2003). 22 Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1984). 23 Fauz Noor, Berfikir Seperti Nabi : Perjalanan Menuju Kepasrahan (Yogyakarta : LKiS, 2009).
12
Penelitian kepustakaan ini akan disajikan dengan pendekatan deskriptifanalitis agar perangkat teoritik yang tersedia dalam referensi sekunder tadi dapat berkorelasi dengan data-data yang ditemukan dalam referensi primer. Adapun tehnik penulisan skripsi ini merujuk pada
buku “Pedoman
Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi” yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press pada tahun 2007.24
F. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisannya, penulis membagi skripsi ini dalam lima bab dengan perincian sebagai berikut: Bab pertama berisi pendahuluan. Di dalamnya dikemukakan mengenai latar belakang masalah yang merupakan alasan pemilihan judul skripsi ini, kemudian batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kemudian kajian pustaka yang di dalamnya penulis menjelaskan beberapa karya ilmiah yang hampir sama dengan skripsi ini, selanjutnya metodologi penelitian serta metode dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi seputar biografi al-alûsi dan tafsirnya yang berisikan tentang latar belakang riwayat hidup, karya-karya, sekilas tentang kitab Tafsir Rûh al-Ma‘âni metode dan corak. Bab ketiga secara khusus penulis akan menjelaskan tentang pengertian dari lafaz Ra`â dalam Tafsir Rûh al-Ma‘âni, terutama sebagai langkah untuk mendapat ilmu pengetahuan. Pembahasan ini meliputi, klasifikasi lafadz Ra`â 24
CeQDA UIN Syarif Hidayatullah jakarta, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi),2007.
13
dalam al-Qur`an juz 30, dan Proses mendapatkan ilmu dengan Ra`â penulis secara khusus penulis akan menjelaskan tentang seputar observasi, terutama kaitannya dengan proses mendapat pengetahuan. Pembahasan ini meliputi : pengertian observasi dan ruang lingkup observasi. Bab keempat secara khusus penulis akan membahas bagian paling penting dari penulisan skripsi ini, yakni mengungkap makna Ra`â dan Nazara pengertian Ra`â dan Nazar beberapa objek dan subjek observasi yang terdapat dalam alQur’an.dalam pandangan tafsir Rûh al-Ma'âni. Bab kelima, merupakan penutup dari penulisan skripsi ini yang mencakup kesimpulan dan saran.
14
BAB II BIOGRAFI AL-ALÛSI
A. Riwayat Hidup Al-Alûsi Nama lengkapnya adalah Syihâb al-Dîn al-Sayyid Muhammad Ibn ‘Abd Allah Ibn Mahmud al-Alûsi. Ia dilahirhan pada hari jum`at, tanggal 15 Sya`ban 1217 H. di pinggiran kota Kurkh, Baghdad, Irak.1 Al-Alûsi meninggal pada tahun 1270 H, tepatnya pada hari jum'at 25 Dzu al-Qa`dah. Ia dimakamkan di Pemakaman keluarga yaitu di Kurkhi berdampingan dengan syaikh Ma`ruf alKurkhi.2 Nama al-Alûsi diambil dari nama sebuah keluarga, yang mana dari marga ini telah banyak menjadi intelektual-intelektual (ulama) terkemuka di Baghdad pada abad 19 dan 20. Pada awalnya penamaan tersebut adalah dinisbatkan dari nama salah satu daerah, yakni al-Alûsi yang berada di tepi Barat sungai Eufrat antara Abu Kamal dan Ramadi.3
1 Hasan Yunus ‘Abidu, Dirasat Wa Mabâhits fi al-Tafsir Wa Manahij al-Mufassîr (Kairo: Markaz Kitab al-Nasyr, 1991), h. 140. 2 Manni’‘abd al- Halim, Manâhij al-Mufasirîn (Bairut: Dâr al-Kitâb al-Hanâni, 1976), h 282. Nama lengkanya syaikh Ma’rûf al-Karakhî adalah Abû Mahfûz Ma’rûf Ibn Fayrûz alKarakhî, ia berasal dari persia, namun hidupnya lebih lama di Baghdad, yaitu pada masa pemerintahan khalifah harun al-Rasyîd. Kemudian, Dia meninggal dunia di kota ini pada 200H/815M pada usia 78 tahun. Ma’rûf al-karakhî dikenal sebagai seorang sufi yang selalu diliputi rasa rindu kepada allah sehingga ia digolongkan kedalam kelompok awliâ. Berkenaan dengan ini, salah seorang muridnya, sârî al-Saqatî (w.253H/867M) menceritakan,”dalam tidurku aku telah melihat Ma’rûf al-karakhî berada di atas Arasy”. Pada waktu itu Allah bertanya pada para malaikat: “siapa Dia?” para malaikat menjawab: “engkau lebih mengetahui daripada kami, Wahai, Allah”. Maka Allah pun berfirman “orang itu adalah Ma’rûf al-karakhî yang sedang mabuk cinta pada-Ku. Lihat slengkapnya Azyumardi Azra dkk Ensiklopedi tasawuf (Bandung:Angkasa 2008 Cet I Jilid 2) h.808 3 Muhammad Husain al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirûn (Kairo: Maktabah Wahbah, 1416 H), h. 352. Bisa juga dilihat pada Muhammad al-Sayyid Jibril, Madkhal Manâhij alMufassirîn (Kairo: Maktabah al-Risalah, 1987), h.215.
15
Pada usia mudanya, ia dibimbing oleh orang tuanya sendiri, yaitu Syekh al-Suwaidi dan juga berguru kepada Syeikh al-Naqsabandy. Pada guru yang terakhir ini ia banyak belajar tasawuf, sehingga wajar pada saat menulis tafsir, dia sering memasukan uraian-uraian sufistik sebagai upaya untuk menguak maknamakna (esoteris)4 Al-Alûsi termasuk orang yang masyhur pada masanya. Keterangannya merupakan hal yang logis sebab al-Alûsi memiliki kepastian keilmuan yang luas, Ia juga dikenal sebagai muhaddits fuqaha, dan mufassir dari Irak. Ketika al-Alûsi berusia 13 tahun, kegiatan-kegiatan ilmiahnya begitu marak. Dia belajar di sejumlah madrasah. Selain itu, ia juga rajin dalam menyampaikan ilmu yang ia miliki kepada para pelajar. Dia dikenal sebagai seorang pendidik yang memiliki wawasan yang luas dan mendiktekan penjelasan-penjelasannya dengan cara yang sangat mudah ditangkap dan mengemukakan perumpamaan-perumpamaan dalam kuliahnya.5 Ia dikenal sebagai orang yang gigih dalam menuntut ilmu dan memberi ilmu kepada pelajar pada waktu yang lain. Pada suatu saat ia menulis syair, di antara syair al-Alûsi yang masyhur adalah: “Begadangku, aku gunakan untuk kajian ilmu yang bermanfaat, untuk memperoleh kemampuan dan kebaikan ilmu." Ia merupakan ulama yang mengetahui dan mendalami berbagai perbedaan pendapat mazhab. Ia menganut akidah salafi tetapi di dalam berbagai masalah, ia banyak sependapat dengan Imam Hanafi dan tetapi bermazhab Syafi’i dalam
4 5
Abdul Mustaqim, Studi Kitab Tafsir (Depok: Teras, 2004), h. 154. Kafrawi Ridwan, dkk, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996), h 130.
16
berbagai masalah, sementara dalam bidang akidah mengikuti mazhab Salafiyah, ia banyak sependapat dengan Imam Hanafi, namun ia juga memiliki kecenderungan untuk berijtihad dalam beberapa hal dan bersifat inklusif terhadap pandangan yang lain.6 Al-Alûsi memiliki pengetahuan yang luas, sehingga ia dikenal sebagai ‘Allamah (ulama besar), baik dalam bidang ilmu naqli (berdasarkan al-Qur’an alHadis) maupun 'aqli (berdasarkan akal), dengan apresiasi yang dalam setiap cabang dan dasar kedua bidang tersebut. Sejak muda ia sudah giat mengajar dan mengarang. Ia mengajar di berbagai perguruan. Selain di negeri ia tempat belajar, murid-muridnya berasal dari berbagai negeri yang jauh. Banyak anak didiknya yang menjadi tokoh di negerinya masing-masing. Al-Alûsi tercatat sebagai penanggung jawab wakaf Madrasah Marjaniyah sebuah yayasan pendidikan yang mensyaratkan penanggung jawabnya harus seorang tokoh ilmuan di negeri itu.7 Al-Alûsi
juga
dikenal
sebagai
seorang
pendidik
yang
sangat
memperhatikan sandang, pangan, dan perumahan bagi anak didiknya. Ia memberi mereka pedoman yang lebih baik dari tempat tinggalnya sendiri. 8 Mengenai kualitas pribadinya dalam nilai-nilai spiritual, ia sudah sejak kecil berusaha untuk menemukan rahasia kebesaran Tuhan. Di kala teman-teman sebayanya asik bermain, ia justru asik dalam pencariannya terhadap ilmu-ilmu Allah. Al-Alûsi juga rela meninggalkan kesenangan nafsunya bermain dan bersenda gurau dengan menggantinya kepada pencarian jati dirinya di hadapan 6
Kafrawi Ridwan, dkk, Ensiklopedi Islam, h. 130. Namun dalam keterangan lain, al-Alûsi lebih menekankan pada mazhab Hanafi. Lihat Harun Nasution (ed), Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Jambatan,1992), h. 109. 7 Ridwan Kartawi,dkk, Ensiklopedi Islam, h. 130. 8 Manni ‘Abd al- Halim¸ Manâhij al-Mufasirîn, h.282.
17
Allah. Kesenangan dan kegembiraan teman-temannya dalam bermain tidak mampu menggodanya dalam kesyahduan dan munajat kepada Allah untuk mencapai hakikat-hakikatnya.9 Ia dikenal sebagai orang yang gigih dalam menuntut ilmu dan memberi ilmu kepada pelajar pada waktu yang lain. Ia juga dikenal sebagai seorang tokoh yang bekerjasama dengan pemerintah. Ia menduduki jabatan-jabatan penting di antaranya: Ia diangkat menjadi pemimpin bagian wakaf pada perguruan alMarjaniyah, jabatan yang hanya diberikan kepada orang-orang yang terpandai di dalam Negeri. Beberapa bulan kemudian Ia diserahi jabatan sebagai Mufti besar Mazhab Hanafi di Baghdad. Kemudian Ia membulatkan perhatian untuk menyelesaikan tafsirnya.10
B. Beberapa Karya-Karya Al-Alûsi Adapun karya-karya al-Alûsi tidak hanya pada tafsir saja, namun juga mencakup mengenai beberapa disiplin lainnya. Di antara karya-karyanya adalah: 1. Hasyiah ‘Ala al-Qathri Fi al-Nahwu. Yaitu suatu karya dalam bidang gramatika bahasa Arab (Nahwu). Kitab tersebut hanya sempat dia selesaikan pada pembahasan “Hal” dan setelah ia wafat anaknya al-Sayyid Nu’man Alûsi menyempurnakan kitab tersebut. 2. Dalam bidang Tasawuf ia mengarang sebuah kitab yang dinamakan “Durrat al-Ghawas Fi Awham al-Khawas”.
9
Syihab al-din al-Alûsi, Rûh al-Ma’âni, (Beirut : Ihya` al-Turâts al-‘Arabiy,tt), jilid I, h.
4. 10
Ridwan Kartawi,dkk, Ensiklopedi Islam, h. 86.
18
3. Dalam bidang sastra dia telah menyusun sebuah kitab yaitu “al-Fawa’id al-Saniah Fi Adab al-Bahts”.11 Itulah beberapa karya al-Alûsi selain kitab Tafsir, dan masih banyak tulisan-tulisannya yang masih terpisah-pisah yang tidak dalam bentuk sebuah kitab sendiri.
C. Sekilas Tentang Kitab Tafsir Rûh Al-Ma‘âni Agar lebih mengetahui kepiawaian al-Alûsi dalam ilmu-ilmu yang dimilikinya, maka dengan sedikit banyak menelaah kitab tafsirnya akan di temukan beberapa jawaban yang cukup membuka pada pembuktian kelebihan alAlûsi. Dalam kitab Rûh al-Ma‘âni” metode yang ia gunakan dalam penulisan maupun pembahasan cukup jelas dan luas yaitu: 1. Al-Alûsi memadukan antara cara ulama salaf dengan ulama khalaf dengan penuh kehati-hatian. Hal ini diketahui dengan adanya beberapa ringkasan tafsir dari beberapa ulama tafsir lainnya yang dikumpulkan oleh al-Alûsi dalam kitab tersebut. Di antara tafsirnya yang diangkat oleh al-Alûsi dalam kitabnya yaitu: Tafsir Ibnu ‘Atiah, tafsir Ibnu Hayyan, Tafsir alKasyaf, Tafsir Abu Su’ud, Tafsir al-Baydhawi, dan Tafsir Fakhr al-Razi.12 2. Cara penukilan terhadap orang lain, ia menggunakan beberapa istilah yaitu apabila menukil dari Abu Su’ud maka ditulis dengan ﻗﺎل ﺷﯿﺦ اﻻﺳﻼم, bila dari al-Baydhawi ditulis dengan ﻗﺎل اﻟﻘﺎﺿﻲbila menukil dari al-Fakhr al11
Manni’‘Abd al- Halim, Manâhij al-Mufasirîn, h. 282. Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir Wa al-Mufassirun (Kairo: Dar al-Kutub alHadits 1976), h. 356. 12
19
Razi ditulis dengan ﻗﺎل اﻻﻣﺎمdan terkadang al-Alûsi mengutip tanpa laqab tertentu. 3. Pembahasan mengenai kalam dan akidah, al-Alûsi menggunakan ‘aqidah ahl al-sunnah wa al-jama`ah, sebab, dia bermazhab salaf dan beraqidah sunni. 4. Pembahasaan ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah fiqih, al-Alûsi mengumpulkan pendapat berbagai mazhab tentang ayat-ayat tersebut, lalu mentarjih-nya untuk mengetahui yang lebih kuat tanpa didasari fanatisme terhadap mazhab tertentu. 5. Dalam hal qira’at, munasabah al-ayat dan asbab al-nuzul, al-Alûsi banyak mengupasnya termasuk nâsikh al-mansûkh.13 6. Al-Alûsi juga dalam kitab tafsirnya banyak berbicara tentang tafsir Isyari. Hal tersebut dilakukan setelah beliau menafsirkan ayat secara dzahir dengan berbagai aspeknya. Lalu beliau mencoba mengangkat makna isyarat yang dimiliki ayat tersebut. Itulah hal-hal yang diangkat oleh al-Alûsi sebagai metode dan caranya dalam mengupas ayat-ayat al-Qur’an yang termasuk dalam kitab tafsirnya Rûhul Ma‘âni. Sedangkan keadaan fisik dari kitab tafsir al-Alûsi terdiri atas 15 jilid besar yang berisi tafsir al-Qur’an 30 juz. Di dalamnya dilengkapi dengan keterangan sumber-sumber pemikiran. Pada jilid pertama di halaman muka, al-Alûsi menulis muqaddimahnya dengan memaparkan beberapa peristiwa hidup yang dialaminya, 13
Hasan Yunus ‘Abidu, Dirasat Wa Mabâhits Fi al-Tafsir Wa Manâhij al-Mufasiriîn (Kairo: Markaz Kitab al-Nasyr, 1978), h. 140.
20
baik ketika kecil maupun ketika setelah dewasa dan pengalaman-pengalaman batin tatkala menyusun tafsirnya tersebut. Al-Alûsi menulis tafsirnya yaitu pada malam ke 16 bulan Sya‘ban tahun 1263 H, dan selesai pada malam Selasa tanggal 4 di bulan Rabi‘ul Akhir, tahun 1267 H. sedangkan nama “Rûh al-Ma’âni Fi Tafsîr al-Qur’ân al-Azim wa al-Sab’ al-Matsani” diberikan oleh Ali Ridha Pasha.14
D. Metode dan Corak Tafsir Al-Alûsi Tafsir ini termasuk pada penggunaan metode tahlilî, di sini beliau menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur`an dari seluruh aspeknyam, dengan memberikan dan menguraikan arti kosakata serta lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki saran yang dituju dari kandungan ayat yaitu unsur I‘jaz,balâghah, dan keindahan susunan kalimat. Menjelaskan apa yang diinstinbatkan dari ayat yaitu hukum fiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, aqidah atau tauhid, perintah atau larangan, janji dan ancaman, haqiqat, majaz,
14
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, h. 335. Ali al-ridha adalah ia lahir d Madinah pada 11dzulqa’dah 148H/765M) namun menurut Syaikh Sadûd (w,381H/991M) dalam kitab Uyûn al-Akhbâr al-ridhâ Alaihim al-Salâm disebutkan, bahwa ia lahir pada kamis, 11 Rabiul awal 153h/770M, lima tahun setelah wafatnya Imam ja’far al-Sâdiq, dan meninggal dunia pada 203H/817M. Ayahnya adalah Imam Mûsâ al-kâzim, sedangkan ibunya Taktamm, putri seorang budak yang dibeli ibu Mûsâ al-Kâzim. Ibu mûsâ sangat kagum kepada budaknya. Suatu hari ia berkata kepada putranya, “wahai anakku, sesungguhnya aku tidak pernah melihat seorang budak perempuan yang lebih utama daripada tahtamm ini, dan aku tidak merasa ragu bahwa Allah akan mengeluarkan nketurunannya jia dia (ditakdirkan) mempunyai keturunan. Aku telah melah memberikan kepadamu maka berwasiatlah dengan kebaikan kepadanya”. Lihat selengkapnya Azyumardi Azra dkk Ensiklopedi Tasawuf (Bandung:Angkasa 2008 Cet I Jilid I) h.219.
21
kinayah,isti’arah,serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surah sebelumnya.15 Kesamaan itu, dijelaskan dengan cara yang mudah dipahami dan dalam ungkapan Balaghah yang menarik berdasarkan syair-syair (puisi-puisi) ahli balaghah terdahulu, ucapan-ucapan ahli hikmah yang ‘arif, teori-teori ilmiah modern yang benar, kajian-kajian bahasa, atau berdasarkan pemahamannnya, dan hal yang lain yang dapat membantu untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an. Metode tahlily adalah metode yang dipergunakan oleh kebanyakan para ulama pada masa dahulu. Kebanyakan para penafsir tahlily biasanya ada yang terlalu bertele-tele dan adapula yang sebaliknya, yang sederhana dan ringkas. Sedangkan coraknya, dalam kitab tafsir ini
al-Alûsi, mengemukakan
bahwa apa yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sufi tentang al-Qur`an adalah termasuk pada bab isyarat terhadap pengertian-pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh orang-orang yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah dan pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-pengertian
tekstual
yang
dikehendaki.16
Hal
ini
termasuk
kesempurnaan iman dan pengetahuan yang sejati, corak tafsir al-Alûsi adalah merupakan bagian dari tafsir sufi yang sarat dengan tafsir isyari, dimana tafsir ini menginginkan dan menghendaki maknanya makna batin.17
15
Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu’I,(Jakarta:PT. Raja Garfindo Persada, 1996), Cet Ke-2, h.12 16 Ali Hasan al-‘Aridl Pengantar Ilmu Tafsir,(Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992) Cet-2, h.55 17 Ali Hasan al-‘Aridl Pengantar Ilmu Tafsir, h.56
22
Lebih jauh lagi al-Alûsi berkata:”tidaklah seyogyanya bagi orang yang kemampuannya terbatas dan keimanannya belum mendalam bahwa al-Quran mempunyai bagian-bagian bathin yang dilimpahkan oleh Allah yang Maha pencipta dan maha melimpah kepada bathin-bathin hamba-Nya yang dikehendaki. Maka tak salah bahwa corak yang mewarnai tafsirnya merupakan bagian dari tafsir Sufi seperti apa yang penulis kemukakan di atas. Hal ini relevan dengan tafsirnya yang syarat dengan tafsir Isyari yang menginginkan adanya makna bathin dalam tafsir beliau.
BAB III OBSERVASI : Langkah Mendapatkan Pengetahuan
Membicarakan pengetahuan sebagai hal yang sangat penting, sebenarnya sudah cukup jelas. Manusia tidak dapat hidup sebagai manusia tanpa pengetahuan. Agar manusia hidup sebagai manusia, maka ia memerlukan pengetahuan. Baik pengetahuan praktis maupun teoritis, baik pengetahuan sehari-hari yang masih bersifat pra-ilmiah maupun pengetahuan ilmiah. Manusia tidak dapat hidup di dunia ini hanya berdasarkan instingnya saja. Pada manusia, pengetahuan yang didasarkan atas insting amatlah terbatas. Seandainya manusia hanya hidup dari instingnya, maka manusia akan menjadi binatang paling malang di dunia ini. Tetapi berkat akal budinya, manusia dapat memperoleh dan mengembangkan pengetahuan tentang segala macam hal, dan hal itu amat berpengaruh terhadap cara beradanya sebagai manusia.1 Dengan demikian, maka manusia perlu untuk mencari pengetahuan, selain dengan menggunakan indera dan potensi akalnya, juga dengan menggunakan akal budinya. Tetapi, itu semua perlu sebuah tindakan observasi atau penelitian sebagai langkah awal mendapat pengetahuan.
1
J. Sudarminta, “Epistemologi : Masihkah Kita Perlukan?”, dalam Diskursus : Jurnal Filsafat dan Teologi-Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Vol. 8, No. 2. Oktober 2009, (Jakarta: Lembaga Penelitian Filsafat dan Teologi, 2009), h. 151. Bandingkan dengan pendapat Nurcholish Madjid, menurutnya manusia memerlukan sesuatu yang lebih dari pada ilmu pengetahuan, yaitu ajaran-ajaran moral atau kalimat dari Tuhan yang bila diikuti akan menghindarkan manusia dari kemungkinan terjatuh pada kesesatan dalam hidup. Lihat, Nurcholish Madjid, “Ilmu Pengetahuan Bukan Jaminan,” dalam Ahmad Gaus AF, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, jilid 2 (jakarta : Paramadina, 2006), h. 1003.
23
24
Dalam kerangka Epistemologi Islam, pengetahuan dapat diperoleh melalui dua cara: pertama melalui pemberian yang berupa wahyu, pengenalan langsung (ma‘rifah), penyingkapan spiritual (kasyf) dan kearifan spiritual (ilmu Alladuniyy). Sedangkan cara yang kedua melalui usaha manusia dengan instrumen yang dimilikinya, seperti indra, akal, dan intuisi. Dengan alat-alat tersebut manusia melakukan pengamatan, penyelidikan, pemikiran, perenungan dan penyelaman hingga bisa memperoleh berbagai jenis pengetahuan dan kebenaran walaupun sifatnya nisbi dan relatif.2 Epistemologi merupakan sub system filsafat, pengertian epistemologi memiliki keragaman pandangan yang berbeda ketika mengungkapannya, sehingga menghasilkan pengertian-pengertian yang berbeda pula, bukan saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi persoalannya. Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa di abaikan. Pengertian epistemologi memperlancar pembahasan. Seluk beluk yang terkait dengan epistemiologi itu. Mujamil Komar mengungkapkan beberapa pengertian epistemologi yang di ungkapkan para ahli yang dapat dijadikan dasar untuk menangkap pengertian epistemologi, seperti: 1. P. Hardono Hadi mengetakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope
2
S. Hamdani, “Epistemologi Islam Sebagai Epistemologi Alternatif” : Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan vol. 4, no. 2 desember 2002), h. 70.
25
pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang di miliki.3 2. D.W. Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang bernuansa dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal itu dapat di andalkan sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.4 3. Dagobert D. Runes, mengatakan bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas sumber stuktur , metode dan validitas pengetahuan.5 4. Azumardi Azra memberi pengertian tentang epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, stuktuir, metode dan validitas ilmu pengetahuan.6 Dari pengertian-pengertian epistemologi di atas bisa di ambil kesimpulan bahwa epistemologi intinya adalah mengkaji pengertian secara mendasar dan mengkomprehensip baik subtansi pengetahuan maupun metode serta stukturnya sehingga mendapatkan teori pengetahuan yang utuh. Pengertian-pengertian epistemologi yang disebut di atas dapat menemukan benang merah tentang ruang lingkup epistemologi meliputi hakikat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlar Achmad merinci ruang lingkup epistemologoi menjadi enam aspek yaitu: hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan.7
3
P.Hardono Hadi Epistemologi Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta Kanisius, 1994), h. 5 D.W Hamlyn History Of Epistemology, dalam Paul Edwars, The Encylopedia Of Philosophy, vol.3 1967, h. 8-9. 5 Dagobert D. Runes, Dictionary Of Philosophy, (New Jersey: Little Field Adams & CO, 1963), 49 6 Azumardi Azra Pendidikan Islam Tradisi Dan Moderenisasi Menuju Milinium Baru, (Bandung:Trigenda Karya,1994), 61 7 Mudlar Achmad Ilmu Dan Keinginan Tahu, (bandung: trigenda karya, 1994), h 61 4
26
Dari penjelasan epistemologi tersebut ternyata kajian sangat luas sekali untuk mendapatkan pengetahuan sehingga teori pengetahuan yang meliputi hakikat, keorisinilan, sumber, stuktur metode, validitas, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar, pengandaian, kodrat, peranggungjawaban dan skope pengetahuan.
A. Pengertian Observasi Istilah observasi berasal dari bahasa Latin yang berarti ”melihat” dan “memperhatikan”. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Observasi menjadi bagian dalam penelitian berbagai disiplin ilmu, baik ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu sosial, Observasi dapat berlangsung dalam konteks laboratoriurn (experimental) maupun konteks alamiah.8 Observasi yang berarti pengamatan bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi tentang suatu masalah, sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai alat dan pembuktian terhadap informasi/keterangan yang diperoleh sebelumnya. Sebagai metode ilmiah observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan fenomena-fenomena yang diselidiki secara sistematik. Dalam arti yang luas observasi sebenarnya tidak hanya terbatas kepada pengamatan yang dilakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengamatan tidak langsung misalnya melalui questionnaire dan tes.
8
Iin Tri Rahayu dan Tristriadi Ardi Ardiani, Observasi dan Wawancara (Malang : Bayu Media Publishing, 2004 ), h. 1.
27
Metode observasi berkaitan dengan pengamatan indrawi, dan cocok digunakan untuk meneliti objek-objek fisik. Untuk memeperoleh pengetahuan yang objektif tentang objek-objek ini diperlukan cara-cara dan alat bantu bagi indera. Ibn
Haitsam,
sebagaimana
dikutip
oleh
Mulyadhi
Kartanegara
menyebutkan bahwa observasi memerlukan alat bantu bagi indera, karena ia sangat menyadari kelemahan pengamatan indrawi khususnya pengamatan mata. Lanjut Ibn Haitsam dalam karyanya Al-Manâzhir, ia menunjukan kelemahan pandangan mata dengan menunjukan secara terperinci kekeliruan pandangan mata yang ditimbulkan oleh beberapa faktor, seperti jarak, posisi, tranparansi, keburaman, lamanya memandang, dan kondisi mata.9 Di sisi lain, observasi pun disempurnakan oleh para astronom muslim dengan menggunakan alat bantu berupa observatorium untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat tentang benda-benda angkasa termasuk ukurannya daripada gambaran yang bisa diperoleh dari pengamatan langsung indra.10 Al-Biruni, seorang ensiklopedi muslim menggunakan metode observasi dan ekperimen dalam penelitiannya. Sebagaimana dikatakan Mulyadhi, al-Biruni berusaha untuk mengukur keliling bumi. Namun, karena pengadaan pelayaran keliling dunia hampir mustahil dilakukan pada saat itu serta biaya tidak
9
Mulyadhi Kartanegara Epistemologi Islam (Jakarta: Serambi 2005), h, 53 Kartanegara, Menebus Batas Waktu Panoramafilsafat Islam (Bandung Mizan Media Utama, cet II 2005), h 96 10
28
terjangkau, maka dia melakukan eksperimen dengan menggabungkan metode observasi dalam teori-teori, terutama apa yang disebut trigonometri.11
B. Metode Ilmu Pengetahuan Islam memberi motivasi kepada akal dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan menyingkap bentangan kejadian alam di hadapannya. Sebagaimana al-Qur`an telah mengajak akal untuk merenungkan apa yang ada di Langit dan di Bumi. Tidak ada satu pun kejadian yang ditutup oleh Allah dihadapan akal. Dalam al-Qur`an Allah Swt, menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan mempunyai cakrawala yang sangat luas :
Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.al-lukman ayat 27).12 Dalam pembahasan ini, penulis akan memaparkan mengenai metodemetode ilmiah yang digunakan untuk mendapat ilmu pengetahuan. Metode ilmiah ini, harus sesuai dengan sifat dasar dan objek-objeknya. Sebab, objek-objek ilmu memliki sifat dasar, karakter dan status ontologis yang berbeda, maka metode
11
Untuk mengetahui observasi yang dilakukan oleh al-Biruni, lihat selengkapnya dalam Kartanegara, Epistemologi Islam h 55 12 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung : CV Penerbit J-ART, 2005), h. 414
29
ilmiah juga beragam sesuai dengan objek-objeknya. Selama ini, dapat ditemukan dalam dunia Islam beberapa metode ilmiah, yakni metode observasi (sebagaimana telah dijelaskan di atas), metode logis dan metode intuitif.
1. Argumentatif Objek ilmu dalam tradisi ilmiah Islam tidah di batasi hanya pada objek-objek fisik, tapi juga pada objek-objek non fisik, Al-Ghazali mengatakan bahwa indra tidak bisa menjangkau objek-objek non-fisik, karenanya untuk memahamin objek-objek non- fisik itu membutuhkan sebuah metode yang tepat untuk melakukan penelitian yang tidak mampu dijangkau oleh metode observasi dan ekperimental, dalam hal ini alat yang di maksud adalah akal.13 Al-Ghazali memberikan perincian yang menarik tentang kelebihan akal dibanding dengan indra, khususnya mata. Pertama, tidak seperti mata yang tidak bisa melihat pada dirinya, akal mampu melihat, dalam arti memahami, bukan hanya objek-objek yang lain tapi juga dirinya sendri. Kedua sementara mata tidak dapat melihat apa yang terlalu jauh ataupun yang amat dekat dengannya, akal mampu mempresepsinya, karena jauh dan dekat tidak berpengaruh bagi akal, atau sama saja bagi akal, Ketiga, sementara mata tidak bisa melihat apa yang ada dibalik cadar atau tembok, akal dapat dengan bebas bergerak sekitar ‘Arasy, yang terletak di balik berbagai hijab langit-langit, seperti juga ia dapat bergerak bebas seputar 13
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta Kanisius,2002 cet 10), h 23
30
dunianya bahkan tubuhnya sendiri, Keempat, sementara mata tidak bisa melihat dimensi batin sebuah objek, akal dapat menembus dimensi batin dan rahasia benda-benda, melihat realitas mereka dan ruh-ruh mereka, Terakhir sementara mata hanya bisa melihat yang lahiriah, akal mampu melihat hal-hal yang tersembunyi, seperti sifat-sifat batin jiwa, seperti rasa senang, bahagia, sedih, cinta, kekuasaan, pengetahuan dan lain sebagainya.14
2. Demonstratif Metode demonstratif dipandang sebagai metode yang paling ilmiah, yang diharapkan dapat menangkap realitas, objek-objek yang ditelitinya dengan tepat, karena telah terhindar dari kekeliruan-kekeliruan logis. Metode demonstratif pada dasarnya adalah metode logika atau penalaran rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari sebuah pernyataan atau teori-teori ilmiah dan filosofis dengan cara memperhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah. Dalam hal ini bisa dilakukan dengan memperhatikan validitas pernyataan-pernyataan yang ada dalam premis-premis mayor atau minornya, serta ada atau tidaknya middle term yang sah untuk menjembatani kedua premis tersebut.15
14 15
Mulyadhi Kartanegara Tadris Ilmiah Islam (Serambi 2005) h. 209 Hemat penulis, metode ini dalam ilmu logika disebut silogisme. (al-Qiyâs)
31
Sebagai bagian terpenting dari logika, metode demonstratif memiliki tujaun yang dapat digambarkan sebagai berikut. Pertama, metode demonstratif digunakan untuk mengatur dan menuntun akal ke arah pemikiran yang benar dalam hubungannya dengan setiap pengetahuan yang mungkin salah, Kedua, selain mengatur dan menuntun juga untuk melindungi pengetahuan tersebut dari kemungkinan salah, dan Ketiga, untuk memberi sebuah alat bantu dalam menguji dan memeriksa pengetahuan yang mungkin tidak bebas dari kesalahan.16 Bentuk formal metode demonstratif ini adalah silogisme. Yakni pengambilan kesimpulan dari premis premis mayor dan minor yang keduanya mengandung unsur yang sama, yang disebut middle term. Sebuah silogisme bisa dikatakan demonstratif bila premis-premisnya didasarkan bukan pada opini, melainkan pada kebenaran-kebenaran yang telah teruji atau kebenaran-kebenaran yang utama. Apabila premispremisnya benar, kesimpulannya dapat dipastikan benar, namun, bila premis-premisnya didasarkan pada kebenaran yang teruji, kesimpulannya juga akan meragukan bahkan bisa keliru. Dalam hal ini Imam al-Ghazali telah memberikan sebuah perumpamaan yang ia simpulkan dari satu ayat al-Qur`an surat al-Baqarah ayat 106:
16
Mulyadhi Kartanegara, Epistemologi Islam, h.57
32
Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.17 Dari ayat tersebut dapat diambil sebuah pengetahuan berdasakan metode demonstratif. Pertama, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, Kedua,
diantara
segala
sesuatu
itu
adalah
memunculkan
dan
menenggelamkan matahari, sebagaimana yang tertulis dalam surat alBaqarah ayat 258:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) Karena Allah Telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan".Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah dia dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.18
17
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung : CV Penerbit J-ART, 2005), h.17 18 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h.44
33
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa Allah yang Memunculkan dan Menenggelamkan matahari.19 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa logika adalah alat atau metode berfikir yang termasuk di dalamnya metode demonstratif. Tentu saja, logika dapat digunakan tidak hanya dalam bidang filsafat tapi juga dalam bidang empiris. Oleh karena itu, para ilmuan banyak menggunakan metode demonstratif ini dalam menganalisis data-data inderawi yang diperoleh lewat observasi maupun ketika menelaah premis-premis atau proposisi filosofis.20 Ada perbedaan antara metode demonstratif dan metode observasi. Metode demonstratif tidak secara langsung menangkap objeknya, dengan kata lain, dengan metode demonstratif manusia tidak hanya mengetahui objek-objek fisik, tetapi juga non fisik seperti Tuhan dan entitas-entitas immateril yang lain, termasuk ide-ide dan malaikat.21 3. Intuitif Apabila metode observasi berkaitan dengan pengamatan inderawi, metode demonstratif dengan akal, maka metode intuitif melibatkan hati (qalb). Dalam mistisisme Hindu, intuisi disebut prajna atau pratiba. Pra artinya adalah sebelum, dan jna berasal dari kata jnana yang berarti pengetahuan mendalam atau makrifah. Dari kata ini lahirlah sebuah
19
Al-Ghazali menggunakan metode ini dengan berbagai perumpamaan yang sangat banyak yang ia ambil sendiri dari ayat-ayat al-Qur’an. Untuk mengetahui perumpamaanperumpamaan yang ia ambil dalam ayat al-Qur’an tersebut, bisa dilihat selengkapnya dalam, alGhazali, Meretas Jalan Kebenaran: di Belantara Pertentangan Pemikiran dan Madzhab. Penerjemah. Masyhur Abadi dan Ahmad Frenk (Surabaya: Pustaka Progresif, 2003), h. 67-77. 20 Mulyadhi Kartanegara, Epistemologi Islam. (jakarta: serambi 2005)h. 57. 21 Mulyadhi Kartanegara, Epistemolgi Islam, h. 59. lihat juga, Kartanegara, Panorama Filsafat Islam, h. 132.
34
pengertian yang berarti sebagai kemampuan terpendam dalam jiwa yang ada pada setiap orang dan muncul melalui proses pencerahan batin. Kemudia kesadaran tersebut menerangi pikiran, nalar, akal dan intelegensia, dan hasilnya ialah kemampuan melihat objek secara mendalam.22 Persamaan metode intuitif dengan metode observasi adalah bahwa kedua metode itu menangkap objeknya secara langsung. Mata, misalnya dapat menangkap langsung objek yang dilihatnya, telinga juga dapat menangkap secara langsung suara yang didengarnya. Demikian pula dengan metode intuitif dapat menangkap objeknya secara langsung, akan tetapi sifat objeknya yang berbeda. Observasi berhubungan dengan objekobjek fisik sedangkan objek instuisi bersifat lebih abstrak, seperti rasa cinta, benci, kecewa dan bahagia. Sedangkan perbedaan dengan metode demonstratif, bersifat tidak langsung karena menangkap objeknya melalui penarikan kesimpulan dari premis-premis yang telah diketahui sebelumnya, dan karena itu secara jelas berbeda dengan metode intuitif yang bersifat langsung.23 Dalam menangkap objeknya, metode intuitif memiliki ciri khas yang bisa dibedakan dengan metode yang lain, Pertama, metode intuitif
22
Abdul Hadi W.M, Hermeneutika, Estetika, dan Religiusutas: Esai-Esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa (Yogyakarta: Matahari, 2004), h. 168. 23 Mulyadhi Kartanegara, Epistemologi Islam, h. 60
35
bisa dicapai melalui pengalaman, yaitu dengan mengalami sendiri objeknya. Hal ini bukan penalaran seperti yang dilakukan oleh akal.24 Kedua, sifat langsung pengetahuan intuitif bisa dilihat dari apa yang sering disebut sebagai ‘Ilm hudhûrî.25 Yakni objek pengetahuan dicapai tanpa melalui perantaraan apapun, baik itu berupa simbol, konsep maupun representasi, dan ini berbeda dengan pengenalan yang lain yang disebut ilmu husuli atau pengetahuan melalui pencapaian, di mana pengenalan bisa berkorespondensi secara positif atau negatif, dan karena itu bisa benar atau salah.26 Ketiga, pengetahuan intuitif adalah pengetahuan “eksperiensial” atau pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman. Ia mengerti “manis” bukan dari kata orang ataupun melalui bacaan, melainkan justru dengan mencicipinya dan merasakannya. Pengenalan instuisi sebagai metode untuk mendapat pengetahuan ini membuat pengenalan intuitif lebih akurat dan
langsung
menyentuh
objek-objek
partikular
dengan
segala
karakteristik dan keunikannya.27
24
Misalnya, seseorang tidak akan mengetahui atau memahami cinta semata dengan membaca literatur tentang cinta, tetapi dengan mengalaminya. Lihat Kartanegara, Epistemologi Islam, h. 60. 25 Istilah ilmu hudhûrî, dikenal dari tradisi filsafat iluminasi atau al-hikmah alIsyrâqiyyah. Ilmu ini di perkenalkan oleh Suhrawardi, menurutnya semua pengetauhuan seseorang semuanya diterangi oleh prinsip-prinsip dan kekuatan-kekuatan yang terletak di atas dan di balik kita. Lihat Tholhatul Choir, “Epistemologi Ilmu Hudhûrî Mehdi Ha’iri Yazdi” ed. Nawawi Abdul Azis, dalam an-Nûr : Jurnal Studi Islam vol. 1, no. 1, September 2004. (Yogyakarta : Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur’an An-Nur, 2004), 64. 26 Mulyadhi Kartanegara, Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta: Serambi, 2005), h. 217. 27 Mulyadhi Kartanegara Epistemologi Islam, h. 62.
36
Demikian ketiga sifat yang menjadi ciri khas dari metode dan pengenalan intuitif yang bisa dibedakan dengan pengenalan inderawi maupun pengenalan rasional.
C. SUBJEK DAN OBJEK OBSERVASI DALAM AL-QUR`AN: Penggunaan Kata Ra`â dan Nazara Kata Ra`â dan Nazara banyak tersebar dalam surat-surat al-Qur`an. Setelah penulis mengadakan penelitian dalam mu‘jam al-mu’fahras:Liâlfadi alQur`an Al-Karim karya Muhammad Fu`ad Abd al-Bâqi, maka dapat ditemukan kata Ra`â dan Nazara di dalam al-Qur`an terdapat 448 kali, dengan jumlah masing-masing 319 untuk kata Ra`â dan 129 untuk kata Nazara.28 Kata/ra`â(
) yang berdiri sendiri dalam satu redaksi terulang hanya dua
kali yaitu pada surat Âli Imran ayat 13 dan Q.S Hûd ayat 27, kata ri’yan (
)
terdapat pada Maryâm ayat 74yang merupakan satu-satunya di dalam al-Qur`an. Pada sisi lain kata al-ru`yâ (
) yang terulang empat kali yang digunakan dalam
arti mimpi itu terlihat pada surat Q.S Yusuf ayat 43. Penggunaan kata ra`â ( ) itu terdapat 13 kali yang d artikan sebagai “melihat dengan mata” hal ini terlihat pada al-An`âm ayat 76,77,dan 78. Kata ‘ra`âita/ra’aitu (
) terdapat 18 kali
dalam kaitan ini sepuluh kata tersebut di tulis dengan di awali hamzah yang d baca “a” ( )أhuruf ini berfungsi sebagai pertanyaan sehingga para mufasir 28
Muhammad Fu’ad Abd Baqi Mu‘jam al-Mu’fahras:Liâlfadi al-Qur`an Al-Karim (Indonesia: Maktabah dahlan), h. 356
37
memahami sebagai “taukah kamu”. Demikian juga dengan tarâ ﺗﺮىberjumlah 31 kali dan kesemuanya diawali dengan kata `alam أﻟﻢyang juga mengandung pertanyaan sehingga bias di artikan “tidakah kamu perhatikan” sedangkan kata tarâ yang tidak di awali dengan kata alam tarâ itu berlangsung 36 kali dalam alQur`an29 Sedangkan kata “nazara” belum tentu bermakna “melihat”, tapi bisa juga mempunyai makna lain yaitu “menunggu”, “tafakkur” dan lain-lain. Bantahan terhadap mereka adalah bahwa memang kata “nazara” dapat memiliki beberapa makna,
tetapi
kita
dapat
mengetahui
makna
yang
dimaksud
dengan
memperhatikan “huruf bantu”nya 1.
Jika kata “nazara” disebutkan tanpa huruf bantu, maka bermakna “menunggu” Seperti ayat Allah:
Maka tunggulah (azab itu), Sesungguhnya Aku juga termasuk orang yamg menunggu bersama kamu".(Q.S al-A‘raf 71 30 2.
Jika kata “nazara” disebutkan dengan huruf bantu “fie”, maka bermakna tafakkur dan mengambil pelajaran. Seperti dalam firman-Nya:
... Apakah mereka tidak memperhatikan/tafakkur terhadap kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah…? (al-A‘raaf: 185).31 29
M. Qurish Shihab Dkk Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata (Jakarta Lentera Hati cet I 2007) h. 800 30 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung : CV Penerbit J-ART, 2005), h.540 31 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya. h.175
38
3.
Adapun jika kata “nazara” disebutkan dengan huruf bantu “ila”, maka maknanya adalah “melihat dengan mata”. Seperti ayat Allah:
... Lihatlah kepada buah-buahan di waktu pohonnya telah berbuah… (alAn’aam: 99).32
32
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya. h.142
39
BAB IV RA`Â DAN NAZARA PADA JUZ 30 DALAM TAFSIR RÛH AL-MA’ÂNI
A. PENGERTIAN RA`Â Al-Qur`an bagaikan batu kristal, apabila disinari cahaya dari berbagai sisi sudutnya akan memancarkan kilaun cahaya yang indah. Perumpamaan M. Quraish Shihab akan al-Qur`an itu yang akan penulis buktikan pada bab ini, penulis akan mengungkap kata ra`â dari segi bahasa menurut tafsir sufi. Secara etimologis, kata yang berakar dengan huruf ra`â () رأى, hamzah ( ) ھﻤﺰة, dan ya’ ( ) ﯾﺎءini bermakna “memerhatikan atau memandang” dengan mata atau dengan pikiran. Sebagian pakar ada yang memperhatikan kata ra`â () رأى dengan memperhatikan dengan mata, meyakini dengan akal, dan memperhatikan dengan pandangan hati. Sebagian lainnya memberi makna untuk kata ra`â dengan “melihat” baik dengan mata kepala maupun dengan mata hati.1 Dari maknamakna ini maka kata ra`â ( )رأىmengandung arti pandangan atau pendapat dan juga mimpi. Penggunaan kata ra`â ( )رأىdalam al-Qur`an berarti melihat dengan mata. Hal ini bisa terlihat dalam al-Qur`an surat al-An`am ayat 76-78. Ketiga ayat ini menyangkut cara Nabi Ibrahim as. memimpin kaumnya kepada agama tauhid, agar meninggalkan penyembahan terhadap bintang, bulan atau matahari, karena
1
Selain memiliki makna ‘melihat’, kata raʹâ juga memberi arti ‘mimpi’. Dalam alQur`an banyak kata raʹâ yang diterjemahkan dengan ‘mengetahui’, sedangkan mengetahui adalah pandangan akal, bukan penglihatan mata. Seseorang bermimpi, misalnya, ia ‘mengetahui’ mimpinya, ia pun bisa menceritakan ‘penglihatan’ nonempirikal dalam mimpinya itu dengan katakata yang jelas. Lihat Fauz Noor, Berpikir Seperti Nabi: Perjalanan Menuju Kepasrahan (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 304-305.
40
setelah terlihat dengan mata kesemuanya lalu tenggelam dan terbenam. Selain itu kata ra`âita/raʹâitu, juga diartikan sebagai melihat dengan mata. Demikian pula, kata tara yang kebanyakan diawali dengan kata alam, misalnya dalam surah alFajr ayat :89, surah al-Fîl ayat 1, bermakna mengandung sebuah pertanyaan, sehingga kata alam tarâ berarti ‘tidakkah kamu perhatikan’?2 Di samping itu, kata tarâ terkadang pula digunakan dalam arti ‘melihat dengan mata’ misalnya surah al-Mâidah ayat 80. Ayat ini berbicara tentang sebabsebab kutukan Allah terhadap orang-orang Yahudi. Terkadang pula dengan makna ‘pandangan atau pendapat, seperti surah al-Sâffât ayat 102, yang berbicara tentang kisah Nabi Ibrahim as. dan penyembelihan putranya Ismail as. Dengan demikian, kata ra`â dengan berbagai bentuknya dalam al-Qur`an dipahami dengan makna ‘melihat atau memandang dengan mata,’ mimpi, dan juga pandangan atau pendapat. Di samping itu, bila kata tersebut diawali dengan huruf hamzah seperti ara`âita dan yang diawali dengan kata alam seperti alam tarâ, maka berarti ‘tidakkah kamu perhatikan.’ Kedua makna tersebut merupakan pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban, tetapi hanya untuk meminta perhatian orang yang diajak bicara terhadap hal-hal yang menarik.3
2
Pertanyaan ini bukan dimaksudkan meminta informasi, mengingat Allah Maha Mengetahui, melainkan untuk menarik perhatian pendengarnya, menyangkut suatu hal yang menarik dan ajaib. Lihat. Muhammadiyah Amin, “Ra’y”, dalam Ensiklopedia al-Qur’an : Kajian Kosakata, ed. M. Quraish Shihab (Jakarta : Lentera Hati, 2007), jilid. 3, h. 800. 3 Muhammadiyah Amin, Ensiklopedia al-Qur’an “Ra’y”, jilid 3 hal 80
41
B. Penafsiran Ra`â Pada Q.S al-‘Alaq Ayat 9,11,13. Q.S Al-Fîl Ayat 1, Dan Q.S Al-Fajr Ayat 6 Dalam kerangka epistimologi islam, pengetahuan dapat diperoleh melalui dua cara : pertama melalui pemberian yang berupa wahyu, pengenalan langsung (makrifah), penyingkapan spiritual (kasyf) dan kearifan spiritual (ilmu alladuniyy). Sedangkan cara yang kedua melalui usaha manusia dengan intrumen yang dimilikinya, seperti indra, akal, dan intuisi. Dengan alat-alat tersebut manusia melakukan pengamatan, penyelidikan, pemikiran, perenungan dan penyelaman hingga bisa memperoleh berbagai jenis pengetahuan dan kebenaran walaupun sifatnya nisbi dan relatif.4 Islam adalah agama yang memperhatikan bahkan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Terdapat banyak ayat-ayat al-Qur`an yang memposisikan ilmu dan ahli ilmu pada tempat yang mulia dan agung. Di samping itu, juga terdapat banyak ayat yang memotivasi umat islam untuk menuntut ilmu pengetahuan. Kedatangan islam di bumi ini, dengan diutusnya Nabi Muhammad Saw. telah membuka mata manusia untuk beranjak dari kemunduran dan keterbelakangan kehidupannya menuju kepada peradaban yang ideal. Keberhasilan umat Islam meraih peradaban ideal tersebut tidak terlepas dari ajaran Islam kepada umatnya agar selalu menggunakan instrumen ilmu pengetahuan untuk mencapai kemajuan. Kata ilmu, yang sudah menjadi bahasa Indonesia, bukan hanya sekedar bahasa Arab, tetapi juga tercantum di dalam al-Qur`an. Dalam bahasa Arab 4
S. Hamdani, Epistemologi Islam Sebagai Epistemologi Alternatif, Dakwah : Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan vol. 4, no. 2 desember 2002), h. 70.
42
sehari-hari sebelum turunnya al-Qur`an, ilmu hanya bermakna pengetahuan biasa. Akan tetapi, melalui ayat al-Qur`an yang turun tahap demi tahap, kata ini berproses dan membentuk makna dan penegrtian tersendiri yang terstruktur. 5
Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang (9) Seorang hamba ketika mengerjakan shalat (Al-‘Alaq: 9-10)6 Ibn ‘Atiyah berkata: Ulama sepakat bahwa yang dimaksud hamba yang sedang shalat pada ayat ini adalah Rasulullah saw. dan orang yang melarang adalah Abu Jahal. Diriwayatkan dari Ahmad dan Muslim dan Nasa`i dari Abu Hurairah bahwa Abu Jahal bersumpah demi Latta dan Uzza. Isi sumpah tersebut adalah jika aku melihat Rasulullah shalat, maka aku akan menginjak kedua lututnya dan melumuri wajahnya dengan debu. Lalu Abu Jahal mendatangi Rasulullah untuk melakukan apa yang telah ia sumpahkan tadi. Ketika itu Abu Jahal langsung mendapati Rasulullah sedang mengerjakan shalat. Akan tetapi kenyataannya berbeda. Abu Jahal tiba-tiba mundur dalam keadaan ketakutan. Salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah, apa yang terjadi dengan engkau ya Rasulullah? Maka Rasulullah pun bersabda, sesungguhnya ketika itu antara aku dengan Abu Jahal ada parit besar yang penuh dengan api dan sayap yang 5
Pada umumnya, kata ilmu bisa diartikan sekadar sebagai pengetahuan. Akan tetapi bukan sembarang pengetahuan, melainkan pengetahuan yang diperoleh dengan cara-cara tertentu, berdasarkan kesepakatan di antara para ilmuwan. Lihat, M Dawam Rahardjo, “’Ilm,” dalam Ensiklopedi al-Qur`an : Tafsir Sosial berdasarkan Konsep-Konsep Kunci (Jakarta : Paramadina,1996), h 527 6 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h.598
43
menakutkan. Jika Abu Jahal tetap mendekatiku ketika itu maka satu persatu anggota badannya akan disambar oleh Para Malaikat.7 Dalam riwayat lain, ayat ini turun ketika Umayyah bin Khalaf melarang Salman untuk mengerjakan shalat. Riwayat ini hampir tidak bisa dibenarkan. Karena ayat ini tergolong kategori makiyyah sedangkan Salaman masuk Islam ketika periode Madinah (setelah Hijrah). Memang hukum ayat ini adalah Umum. Jika kisah Umayyah ini benar maka ayat ini juga mencakup peristiwa Umayyah dan Salman ini. Adapun Shalat yang dimaksud di sini menurut Abu Hayyan adalah shalat dzuhur. Diriwayatkan juga bahwa shalat ini adalah shalat jama’ah pertama yang dilakukan. Hadir juga bersama Rasulullah ketika itu Abu Bakar dan Ali. Kemudian Abu Thalib (Bapak Ali) lewat bersama anaknya, Ja`far. Abu Talib berkata: wahai anakku sambunglah (bergabunglah) dengan saf anak pamanmu (Rasulullah). Tapi riwayat ini harus dianalisa kembali, karena ulama sepakat bahwa kewajiban shalat diturunkan di malam Isra’. Dan menurut Ibnu Hazam para ulama berijma’ bahwa Isra’pun terjadi 1 tahun sebelum Hijrah (ke Madinah). Sedangkan Abu Thalib wafat 3 tahun sebelum hijrah, berselang 3 atau 5 hari sebelum wafatnya Khadijah. Khadijah pun Wafat 10 tahun setelah kenabian. Maka Abu Talib ketika itu tidak mendapati kewajiban Shalat.8 Kesimpulan ayat ini menurut pandangan penulis bahwa urutan peristiwanya adalah, Rasulullah dianggkat menjadi Nabi pada umur 40, yakni 10
7
Syihab al-Din al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, (Beirut : Ihya` al-Turâts al-‘Arabiy,tt), jilid 15,
8
Syihab al-Din al-Alûsi, Rûh al-Ma`âni, h.415
h.414
44
tahun setelah itu Abu Thalib wafat, 3 atau 5 hari setelah wafatnya Abu Thalib, Khadijah pun juga wafat. 2 tahun setelah wafatnya Abu Talib dan Khadijah, terjadi peristiwa Isra’. 1 tahun setelah itu baru terjadi Hijrah ke Madinah. Dari analisa tersebut, maka riwayat yang mengatakan ini adalah awal shalat jama’ah adalah tidak bisa dibenarkan. Kata yanhâ disini bermakna al-Man`u. kata yanhâ dipakai untuk menunjukkan ketidakmampuan Abu Jahal. Dalam sebuah riwayat, bahwa kata (yanhâ) disini adalah bersifat lafaz. Artinya Abu Jahal melafazkan pelarangannya tersebut. Sebagaimana dalam riwayat Ahmad dan Turmuzi dari Ibnu Abbas berkata: Suatu ketika Rasulullah sedang mendirikan shalat, lalu Abu Jahal datang dan berkata; bukankah saya telah melarang engkau mengerjakan shalat? (alâ anhaka ‘an hadza). Kalimat ini berfungsi untuk masa yang akan datang dengan memunculkan masa yang bentuk masa yang lalu. Sehingga ra`â disini bermakna (qalbiyyah) atau hati bukan bermakna melihat secara indra ragawi. Begitu juga dalam ayat selanjutnya (ara`âita in kâna ‘âla al-hudâ aw amarâ bi al-taqwa) dan ayat (ar`âita in kadzaba wa tawalla). Kata ra`â dalam ketiga ayat tersebut bukan melihat secara ragawi, tapi melihat dengan hati (qalbiyyah). Yang dimaksud dengan ( أرأﯾﺖara`âita) adalah (akhbirni); beritakan kepadaku. Jadi jika kata al- ru`yah merupakan salah satu cara untuk mendapatkan ilmu, maka bentuk (istifham) atau pertanyaan harus dimaknai (al-Istikhbar); minta info/berita/pengetahuan. Dan inilah pemahaman yang dihasilkan dari sebagian para imam.
45
Pada ayat ( رءﯾﺖ اﻟﺬى ﯾﻨﮭﻰra`âitalladzi yanha) pertama, Allah mencela orang-orang yang telah melarang (al-nahi) karena kesalahan mereka melarang hamba-Nya untuk mengerjakan shalat. Dan Allah memberikan janji azab kepadanya. Jadi maknanya "beritahukan kepadaku wahai manusia tentang orang yang melarang hamba-Nya untuk mengerjakan shalat. Apakah mereka tidak menyadari bahwa Allah melihat dan akan membalasi perbuatannya?".
Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran. (Al-‘Alaq: 11)9 Kemudian pada ayat setelahnya, Allah untuk kedua kalinya mencela orang yang melarang tersebut dengan menyatakan bahwa sesungguhnya orang yang dilarang tersebut berada dalam petunjuk-Nya. Adapun makna ayat tersebut adalah “beritahukan kepada ku, tidakkah orang yang melarang tersebut menyadari bahwa semua perbuatannya akan dibalasi oleh Allah jika ternyata memang orang yang dilarang berada dalam petunjuk Allah.”10
Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling? (Al-‘Alaq: 13)11
Kemudian pada ayat selanjutnya, Allah untuk ketiga kalinya mencela orang yang melarang. Dengan menyatakan bahwa Allah melihat segala upaya 9
Departemen Agama RI, al-Qur`an dan Terjemahnya, h.598 Syihab al-Din al-Alûsi, Rûh al-Ma`âni, (Beirut : Ihya` al-Turâts al-‘Arabiy,tt), jilid 15,
10
h.405 11
Departemen Agama RI, al-Qur`an dan Terjemahnya , h.598
46
dusta yang dilakukannya. Adapun makna ayat tersebut adalah, beritahukan kepada ku tentang orang yang melarang, apakah dia tidak menyadari bahwa semua upaya yang dilakukannya adalah mendustakan kebenaran shalat akan dilihat oleh Allah dan akan ditampilkan oleh Allah (dihari Pembalasan nanti didepan semua umat manusia). Dari dua ayat tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa dalam lafazh أرءﯾﺖ (ara`âita) pada ketiga ayat di atas walaupun hanya dalam bentuk pertanyaan atau (istifham) yang biasanya pertanyaan merupakan suatu kalimat yang dilontarkan oleh seseorang yang tidak mengetahui kepada orang yang mengetahui, akan tetapi pada ayat ini tidak seperti itu (kebalikannya). Kalimat ( أرءﯾﺖara`âita) dalam bentuk istifham ini dilontarkan oleh penanya yang telah mengetahui yaitu Allah, dan dia akan memberitahukan sesuatu kepada orang yang ditanya (manusia). Jadi bentuk kalimat ara`âita ini tersirat makna ada pengetahuan yang ada dibalik kalimat tersebut. Makna ( أرءﯾﺖara`âita) bukan melihat secara ragawi tetapi melihat kandungan makna dan pengetahuan yang ada dibalik semua hal tersebut dengan cara menggambarkan (tasawwur) atau memikirkannya di dalam hati (‘aqliy). Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah12.(al-Fîl: 1)13
12
Yang dimaksud dengan tentara bergajah ialah tentara yang dipimpin oleh Abrahah Gubernur Yaman yang hendak menghancurkan Ka'bah. sebelum masuk ke kota Mekah tentara tersebut diserang burung-burung yang melemparinya dengan batu-batu kecil sehingga mereka musnah. 13 Departemen Agama RI, al-Qur`an dan Terjemahnya , h.602
47
Khithab disini adalah Rasulullah SAW. Adapun Makna Hamzah adalah untuk menguatkan pandangan Rasulullah. Ru‘yah disini bisa bermakna (bashariyah) atau secara ragawi, dan juga ada yang memaknainya dengan (ilmiyah). Sedangkan (alam tara) disini dalam bentuk istifham atau kata Tanya. Kalimat dalam ayat ini butuh kepada 2 maf`ul. Kata ( اﻟﻢ ﺗﺮmelihat) disni berarti mengetahui, al-Asy‘arawi menjelaskan bahwa itu karena ketika Allah SWT, menyampaikan hal tersebut bermaksud menyatakan bahwa, “bila aku menyampaika kepadamu suatu berita, maka ketahuilah bahwa aku lebih benar dari matamu sendiri”. Berita Allah tidak sama dengan berita dari manusia yang bias jadi benar dan bias jadi bohong atau keliru. Berita yang bersumber dri Allah pasti benar. Pandangan matamu buisa menipumu, emgkau boleh jadi lengah sehingga tidak melihat kebenaran. Ini berbeda dengan pemberitahuan Allah SWT. Ketika itu, apa yang diberitaukannya seakan-akan tampak dengan jelas di hadapan matamu. Demikian terlihat tingkat-tingkat pembertaan. Berita dari manusia yang bias jadi benar dan salah, selanjutnya berita dari makhluk yang bias jadi hanya melihat atau mengetahui beberapa sisi saja, dan berota dari al-Khaliq Yang Maha mengetahui segala sesuatu tentu saja berita yang dari sumbernya demikian, adalah berita yang paling benar. Dan dalam ayat ini alalûsi menjelaskan sma dengan ayat yang di atas tadi.14
14
h.464
Syihab al-Din al-Alûsi, Rûh al-Ma`âni, (Beirut : Ihya` al-Turâts al-‘Arabiy,tt), jilid 15,
48
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Âd (al-Fajr: 6)15 Kaum ‘Âd adalah sekelompok masyarakat Arab yang terdiri dari sepuluh atau tiga belas suku, kesemuanya telah punah. Nenek moyang mereka yang bernama ‘Âd, merupakan generasi kedua dari putra nabi Nuh as, yang bernama Sâm. Mayoritas sejarawan mengatakan bahwa ‘Âd adalah putra Iram, putra Sam putra Nuh. Suku ‘Âd bermukim di satu daerah yang bernama al-Syihr, atau alAhqaf di Yaman, yang terletak antara Aden dan Hadhramaut. Kaum ‘Âd terletak di ahqaf, yang maknanya ‘padang pasir’. Namun alQur’an tidak menjelaskan lokasinya dimana, namun para sejarawan menjelaskan bahwa lokasinya berada di ntara Yaman dan Oman. Al-Qur`an menginformasikan bahwa kaum ‘Âd membangun kota yang bernama Iram, al-Qur`an menjelaskan kota ini cukup besar dan tidak ada tandingannya dinegeri itu. al-Fajr ayat 6-8. Kaum ‘Âd menyembah tiga berhala : Suda‘, Tsamud, dan Haba.16 Kaum ‘Âd terkenal dengan pembuatan banguna-banguna yang megah dan istana yang mewah dan membanggakan. Kaum ‘Âd melakukan maksiat kepada Allah sehingga mereka dihukum dengan dikirimnya berupa angin yang berhembus kencang yang dipenuhi debu dan tanah liat. Angin inilah yang mengubur mereka hidup-hidup dan menghabisi riwayat hidup mereka. Ayat tersebut meminta kesaksian kepada Nabi Muhammad SAW, dengan pengetahuannya tentang azab yang ditunjukan kepada kaum ‘Âd. Dalam ayat
15
Departemen Agama RI, al-Qur`an dan Terjemahnya , h.594 Hisham Talbah dkk. “Kaum ‘Âd: Penemuan Pemukiman Kaum ‘Âd” ed. Syarif Hade Masyah, dalam Ensiklopedia Mukjizat al-Quran dan Hadis, jilid 1. Penerjemah. Syarif Hade Masyah, dkk. (Jakarta: Sapta Sentosa, 2008), h. 35-38. 16
49
tersebut diperuntuhkan kepada kaum musyrikin yang lain dan berbuat kerusakan, untuk memperingatkan kaum Rasulullah saw. Abu Hayan berpendapat bahwa yang jelas itu sesungguhnya tersembunyi (mahzuf) menunjukan kepada ayat sebelumnya. Ibnu Muzir mengeluarkan hadits dari ibn mas’ûd radiallah anhu: sesungguhnya ibn Mas’ud membaca ayat sampai
. dan ia berkata bahwa sumpah ini sesungguhnya tuhanmu
menunjukan jalan dan sesungguhnya ia yang maha menyumpah ayau disumpah, pendapat ini dari Ibnu Anbary. Muqatil berpendapat bahwa “apakah ayat itu bermakna batil riwayat atau dirayat jika ada sumpah dan tidak ada yang bersumpah. Dan yang dimaksud dengan kaum ‘Âd adalah keturunan dari ‘Âd bin Ash bin A’m bin Syam bin Nuh AS. Kaum Hud AS diberi nama dengan nama ayahnya (leluhur yang lahir), seperti penamaan bani hasyim dengan Hayim dan memastikan nama ayah kepada keturunannya merupakan majaz yang sudah tersiar atau terkenal sehingga keturunan dipastikan benar. Imam Imaduddin bin katsir berpendapat bahwa kaum Ad dalam al-Qur`an adalah kaum priode awal, kecuali kaum ‘Âd yang disebutkan dalam surat alAhqaf:
50
Dan dikatakan juga bahwa Irm adalah nama kaum ‘Âd juga dari nama kakek dan penggunaan nama dengan nama kakek terkenal atau tersiar juga, dan itu adalah nama khusus pada kaum priode pertama.17 Kata `( اﻟﻢ ﺗﺮalam tarâ), secara harfiah berarti tidakah kamu melihat? Jika pertanyaan “apakah engkau tidak melihat” menyangkut sesuatu peristiwa peristiwa pada masa mitra bicara dan dalam jangkauan penglihatannya, maka kata melihat dikaitkan dengan mata kepala. Tapi jika ia telah merupakan peristiwa lampau atau akan dating dan berada di luar jangkauan pandangan mata mitra bicara, maka kata “melihat” berarti “mengetahui” Jadi menurut saya bahwa pada ayat ini menjelaskan bahwa Rasulullah menyuruh para sahabat untuk mengambil pelajaran dadi kaum ‘Âd (umat Nabi Hud AS) yang di azab oleh Allah karena memusyrikan mereka terhadap Allah SWT, dan tindakan mereka yang sering yang membuat kerusakan.
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?(Al-Ma’ûn: 1)18
Istifham (permintaan pemahaman). Keinginan yang sangat besar untuk mengetahui pembohong, dan sesunggunhnya (kalimat itu) untuk mewajibkan kepada orang-orang muttadiin, agar terhindar dari kebohongan dan perbuatan demikian(bohong).
17
Syihab al-Din al-Alûsi, Rûh al-Ma`âni, (Beirut : Ihya` al-Turâts al-‘Arabiy,tt), jilid 15,
18
Departemen Agama RI, al-Qur`an dan Terjemahnya , h 603
h.337
51
Ayat itu juga mengejutkan Rasulullah SAW, atau setiap orang-orang yang membenarkan Beliau, Dan maksud dari pertanyaan itu, untuk menunjukan ‘makrifat’ yang membutuhkan objek yang satu. Al-Haufi berkata: ayat tersebut boleh dijadikan Basirah19, dan dalam dua segi dapat dikaitkan dengan kabar, maka maknaya adalah “Bagaimana kamu melihat?” kabarkanlah pada saya.
Dan hal tersebut menjadi muta’adi
(membutuhkan objek (maf‘ul bih). Terhadap kedua pertanyaan itu. Kedua pertanyaan
itu mahdzuf (tersembunyi) taqdiruhu “(seolah-olah kalimat yang
tersembunyi itu adalah) “ siapa dia”. Atau bukan seorang yang tidak berhak menerima azab (belum diketahui). Perkataan (makna) yang sesungguhnya bukan seperti yang dikaitkan itu,, kecuali bermakna Basirah, di dalamnya melihat, seperti inilah pernyataan yang mutlak, karena huruf kaf khitab tidak menggambarkan makna Basirah. Seperti perkataan Abdullah (
) dengan kaf khitab tambahan untuk men-ta’kid-kan
huruf ta.”20 Makna addin adalah pembalasan dan itu salah satu maknanya mengingkari hari pembalasan, makna dari pendapat mujahid adalah perhitungan atau islam sebagaimana yang telah masyhur dan semoga itulah tafsir yang dimaksudkan alQur`an.
19
Kata basirah dimaksudkan menggugah hati dan pikiran, lihat M Quraish Shihab Tafsir Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir Atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutannya Wahyu (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997) c. I, h. 613 20 Syihab al-Din al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, (Beirut : Ihya` al-Turâts al-‘Arabiy,tt), jilid 15, h.474
52
Al-Kasa’i membaca (
) dengan menyembunyikan huruf hamzah,
seakan-akan fiil madi itu yang menghilangkan/menyembunyikan huruf hamzah tersebut, atas mudhari’i-nya yang terus menerus menyembunyikanya. Ini seperti yang didikuti objek dalam i’lal. Semoga masdar/dasar fiil disini hamzah istifham itu. Kemudahan dalam hal hadzfi yang disembunyikan untuk lafaz mudhari‘ yang diawali dengan hamzah (maksudnya kalo buat fiil mudhar`i lebih baik disembunyikan/hazf huruf hamzahnya). Al-alûsi berpendapat bahwa makna ra’a pada ayat ini bermakna basirah, artinya melihat dengan cara basara (mata batin). Adapun kaidah bahasa hanya menguatkan penggunaan hamzah istifham yang dalam hal ini tidak perlu menggunakan maf’ul bih, dan fiil mudhari‘.
C. Pengertian Nazara Kata nazara dapat diartikan dengan melihat atau memperhatikan. Jadi salah satu cara untuk mengetahui kebenaran adalah dengan melihat atau memperhatikan.’melihat’ (dengan kasap mata) tentunya menggunakan indera mata, adapun ‘memperhatikan’ maknanya lebih luas, bisa dilakukan dengan mata atau dengan indra yang lain seperti telinga fungsinya untuk mendengar. Seorang astronom Prancis, Pierre Simon Laplace menyatakan I mistrust anything but the direct result of observation and calculation.21 (saya curiga atau tidak mempercayai apapun (sebagai sumber ilmu) kecuali hasil langsung observasi dan kalkulasi. 21
Bertrand russell, Religion and Science (london Uneversity perss, 1982), h. 57.
53
Dengan melihat, manusia dapat mengetahui kebenaran objek atau hal-hal yang fisik dan inderawi. Salah satu contoh ayat al-qur’an yang menggunakan kata alnazar adalah pada Q.S Al-Ghasyiyah ayat 17, yaitu:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Unta itu diciptakan?” 22
Metode yang menggunakan indera tidak hanya mata sebagai alatnya sekarang dikenal dengan metode observasi (pengamatan) atau bayani. Banyak para filusuf dan ilmuan muslim umumnya ilmuan telah menggunakan metode observasi ini, sebut misalnya al-Kindi yang menggunakan metode observasi di laboratorium kimia dan fisikanya, sementara Nasr al-Dîn al-Tusi mengadakan pengamatan astronomi di observatoriumnya yang amat terkenal di Maraghah. Demikian juga metode observasi digunakan oleh Ibnu Khaitsam dalam eksperimennya di bidang apotik mengenai cahaya dan teori penglihatan atau vision yang briliant, yang hasilnya dia abadikan dalam karya besarnya, alManazir.23 Dia melakukan eksperimennya sendiri terhadap cahaya dan pengaruhnya terhadap mata, dan menghasilkan kesimpulan yang akurat bahwa kita dapat melihat sebuah objek karena ia memantulkan cahayanya pada korena mata. Kesimpulan ini bertentangan dengan pendapat Aristoteles dan para pengikutnya
22
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemah, h 593 Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu ; Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2002), h. 62. 23
54
termasuk al-Kindi yang menyatakan bahwa seseorang bisa melihat sebuah benda karena matanya memancarkan cahaya pada objek tersebut. 24 Selain mata, manusia mempunyai empat indera, yaitu pencium (hidung), pendengar (telinga), perasa (lidah), dan peraba (kulit). Masing-masing indera tersebut menangkap aspek yang berbeda mengeani barang atau makhluk yang menjadi objek akibatnya pengetahuan inderawi sifatnya parsial.25 Di samping itu, ilmu pengetahuan inderawi hanya terletak pada permukaan kenyataan, karena terbatas pada hal-hal inderawi secara individual, dan dilihat dari segi tertentu saja.26 Pengetahuan dengan jalan ini selalu berubah, selalu dalam keadaan menjadi, bergerak, berlebih kurang kuantitasnya dan berubah-ubah kualitasnya.27Oleh karena itu, observasi indra bisa keliru dan karena itu dibutuhkan varifikasi terhadap hasil-hasilnya.28
D. Penafsiran al-Âlûsi dalam Surat al-Ghâsiyah Ayat 17 Surat al-Ghâsiyah ini termasuk surat Makkiyah. Isinya menggambarkan keadaan manusia, khususnya orang-orang kafir beserta siksa yang akan ditimpakan. Selain itu, juga diceritakan tentang orang-orang beriman dan kenikmatan yang akan mereka peroleh. Singkatnya, tema utama surat ini adalah uraian tentang hari kiamat serta balasan serta ganjaran bagi manusia. Di sini
24
Mulyadhi Kartanegara, Epistemolog Islam, (Jakarta: Serambi 2005), h..95 Anton Bakker dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta : Kanisius, 1990), h. 21. 26 Anton Bakker dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, h.22 27 Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), h. 27 28 Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam (Bandung Mizan Media Utama 2005), Cet, II, h.63 25
55
dikemukakan kecaman terhadap mereka yang tidak menarik pelajaran dari ayatayat Allah yang terdapat di langit dan di bumi.29 Dalam surat ini juga, Allah Swt memerintahkan manusia agar memperhatikan makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang menakjubkan, sebab dengan memperhatikan ciptaan Allah tersebut maka akan diperoleh sebuah kesimpulan tentang kebesaran dan kebijaksanaan sang Khalik. Dalam surat ini, terdapat ayat yang menjadi fokus kajian penulis dalam mengungkap makna observasi, ayat tersebut yaitu :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Unta itu diciptakan?” 30 Ayat ini diturunkan Allah berkaitan dengan penggambaran surga dan kenikmatannya, kemudian orang-orang musyrik merasa heran dengan keterangan tersebut, sehingga Allah menurunkan ayat ini sebagai perintah kepada mereka untuk memikirkan keajaiban makhluk-makhluk Allah yang terdapat di Dunia.31 Setelah selesai menjelaskan tentang uraian yang akan diperoleh pada hari kiamat, yakni berupa ganjaran bagi orang-orang yang taat. Akan tetapi kaum musyrikin masih tetap berkeras kepala menolak keniscayaann hari kiamat.32
29
Menurut Quraish Shihab, Al-Biqâ’i menjadikan tema utama surah ini adalah penjelasan tentang akhir uraian surat yang lalu (surat Sabbihisma Rabbika Al-A’lâ) yakni menyucikan Allah swt. Dari yang melakukan yang sia-sia yaitu menciptakan manusia tampak perhitungan lalu memberi balasan dan ganjaran dari hari kemudian. Karena ini surah al-gasyiyyah ini menjelaskan balasan orang-orang yang durhaka serta ganjaran mereka yang taat. Lihat M. Quraish Shihab..... 30 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemah, h 593 31 A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman al-Qur’an (Jakarta: Grafindo, 2002), h. 898-899. Lihat juga pada buku Jalaludin as-Suyuthi Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an (Jakarta: Daru-Taqwa Cet I Kairo 2008) h 622. 32 Syihab al-Din al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, (Bairut: Ihya al-Turâts al-‘Arabiy, tt) Jilid 15, h. 237
56
Penggunaan kata `ilâ yang dikaitkan dengan kata yanzurûna melihat atau memperhatikan, fungsinya untuk mendorong setiap orang untuk melihat sampai batas akhir yang ditunjuk oleh kata `ilâ tersebut, dalam hal ini unta. Dengan demikian pandangan dan perhatian benar-benar menyeluruh, sempurna dan mantap agar dapat menarik sebanyak mungkin bukti tentang kuasa Allah dan kehebatan ciptaan-Nya.33 Ketika menjelaskan ayat ini, al-Âlûsi juga menerangkan tentang kehebatan unta, hewan yang dijadikan perumpamaan dalam ayat ini. Menurutnya, penciptaan unta yang sungguh sangat luar biasa menunjukan kekuasaan Allah dan merupakan sesuatu yang perlu harus renungkan. Dari bentuk lahirnya, sebagaimana diketahui, unta benar-benar memiliki potensi untuk menjadi kendaraan di wilayah gurun pasir. Matanya terletak pada bagian kepala yang agak tinggi dan agak ke belakang, di tambah dengan dua lapis bulu mata yang melindunginya dari pasir dan kotoran. Begitu pula dengan kedua lubang hidung dan telinga yang dikelilingi dengan rambut untuk maksud yang sama. Maka apabila badai pasir bertiup kencang, kedua hidung itu akan tertutup dan kedua telinganya akan melipat ke tubuhnya, meski bentuknya kecil dah hampir tak terlihat. Sedangkan kakinya yang panjang adalah untuk membantu mempercepat gerakannya, seimbang dengan lehernya yang panjang pula. Telapak kakinya yang sangat lebar seperti sepatu berguna untuk memudahkannya dalam berjalan di atas pasir yang lembut. Unta juga mempunyai daging tebal di bawah dadanya dan bantalan-bantalan pada persediaan kakinya yang memungkinkannya untuk duduk di atas tanah yang keras
33
Syihab al-Din al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, h.238
57
dan panas. Pada sisi ekornya yang panjang terdapat bulu yang melindungi bagianbagian belakang yang lembut dari segala macam kotoran.34 Pada surat al-Ghasiyyah ayat 17 ini, al-Alusi memaknai kata ﯾﻨﻈﺮونbisa di artikan sebagai menyaksikan, menonton ()اﻻﺳﺘﺸﮭﺎد, karena ada satu kaum yang tidak percaya dengan adanya hari kebangkitan, karena itu Allah swt menyuruh mereka menyaksikan proses penciptaan unta dari tidak ada menjadi ada hingga pada masa sekarang ini.35
34 35
Syihab al-Din al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, h. 239 Syihab al-Din al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, h. 249
60
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Al-Alûsi mengemukakan bahwa apa yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sufi tentang al-Qur`an adalah termasuk pada bab isyarat terhadap pengertianpengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh orang-orang yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah dan pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-pengertian tekstual yang dikehendaki. Hal ini termasuk kesempurnaan iman dan pengetahuan yang sejati, tafsir al-Alûsi adalah merupakan bagian dari tafsir sufi yang sarat dengan tafsir isyari, dimana tafsir ini menginginkan dan menghendaki maknanya makna batin. Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, maka kesimpulan utama dari skripsi ini bahwa dari dua term ra`â dan nazara ( رأىdan )ﻧﻈﺮpenulis hanya menggunakan kata-kata yang iatifham yaitu أرأﯾﺖ, أﻟﻢ ﺗﺮ, أﻓﻼ ﯾﻨﻈﺮون (araita, alam tarâ dan afalâ yanzurûna) sebagai berikut: 1. Makna `( أرأﯾﺖara`aita). melihat dengan menggunakan indera, ayat ini mengisyaratkan terhadap metode observasi (pengamatan) atau bayani Hal ini bisa di lihat pada surat Al-‘Alaq ayat 13. 2. Makna `( أﻟﻢ ﺗﺮalam tara) ialah pertanyaan terhadap suatu fenomena untuk bisa mengambil pelajaran dari suatu kejadian. Seperti dalam surat al-Fajr ayat 6 tentang kaum ‘Âd (umat Nabi Hud AS.) yang di azab oleh Allah
60
karena memusyrikan mereka terhadap Allah SWT, dan tindakan mereka yang sering yang membuat kerusakan. 3. Makna ( أﻓﻼ ﯾﻨﻈﺮونapala yanzurûna) ialah bukan melihat secara ragawi tetapi melihat kandungan makna dan pengetahuan yang ada dibalik semua hal tersebut dengan cara menggambarkan (tasawwur) atau memikirkannya di dalam akal (‘aqliy). Hal ini dapat dilihat pada AlGhasyiyah ayat 17. 4. Tafsir Ruh al-Ma’ani adalah sebuah karya tafsir yang berdimensi tasawuf. Salah satu ciri yang membuatnya masuk dalam katagori tafsir sufi adalah dibuatnya makna isyari. Makna tersebut merupakan interpretasi dari pengetahuan yang melalui proses intuitif. Namun tidak semua ayat al-Qur’an di tafsirkan secara isyari, melainkan hanya beberapa ayat yang beliau anggap sulit. Selain itu beliau juga memasukan berbagai pendapat ulama tafsir sebelumnya.
B. Saran
Penafsiran ayat-ayat yang mengisyaratkan epistemologi ilmu pengetahuan perlu diperkenalkan kepada masyarakat dalam upaya mendorong percepatan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi umat Islam. Sehingga dikotomi antara ilmu Agama dan ilmu umum yang mengakar dalam pendidikan di Indonesia bisa diintegrasikan.
60
Namun dalam karya ini hanya menggambarkan penafsiran bercorak ilmu pengetahuan secara sederhana. Tentunya hal ini disebabkan oleh keterbatasan yang terdapat pada penulis. Maka penulis menyarankan agar pembahasan ini ada yang menelusurinya secara mendalam sehingga menjadi karya ilmiah yang lebih sempurna. UIN Jakarta sebagai lembaga Pendidikan Tinggi Islam pelopor integrasi ilmu harus bisa merealisasikannya dalam kurikulum yang jelas sesuai dengan keilmuan fakultas-fakultas yang ada di UIN. Sehingga ilmu-ilmu Islam yang selama ini beku bisa mencair dan bersatu dengan keilmuan modern.
DAFTAR PUSTAKA ‘Abidu, Hasan Yunus. Dirasat Wa Mabâhits fi al-Tafsir Wa Manahij al-Mufassîn. Kairo: Markaz Kitab al-Nasyr, 1978. Al-‘Aridl, Ali Hasan. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: PT. Bulan Bintang, Cet. II 1992. Abd al-Baqi, Muhammad Fu’ad. Mu’jam al-Mu’fahras:li Âlfadi al-Qur’an Al-Karim. Indonesia: Maktabah dahlan, tt. Abdalla, Ulil Abshar. Makna kelengkapan dan kesempurnaan al-Qur’an dalam islam liberal.com http://Islam Liberal.com/id/Artikel/epistemologi-islam. Achmad, Mudlar. Ilmu Dan Keinginan Tahu. Bandung: Trigenda karya, 1994. Al-Alûsi,Syihab al-din. Rûh al-Ma‘ânî. Beirut : Ihya` al-Turâts al-‘Arabiy,tt. Amin, Muhammadiyah. “Ra’y”, dalam M. Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur’an : Kajian Kosakata. Jakarta: Lentera Hati, 2007. h. 800. Azra, Azumardi. “Kitab Kuning: Tradisi Dan Epistemologi Keilmuan Islam Di Indonesia” Santri. no. 01, Juni 1996-Muharram 1417H. Azra, Azyumardi dkk. Ensiklopedi tasawuf. Bandung:Angkasa, Cet. I, Jilid 2, 2008, h.808. ____________, Pendidikan Islam Tradisi Dan Moderenisasi Menuju Milinium Baru. Bandung:Trigenda Karya,1994. Bakker, Anton dan Zubair, Achmad Charis. Metodologi Penelitian Filsafat Yogyakarta : Kanisius, 1990. Choir,Tholhatul. “Epistemologi Ilmu Hudhûrî Mehdi Ha’iri Yazdi” ed. Nawawi Abdul Azis, dalam an-Nûr: Jurnal Studi Islam vol. 1, no. 1, September 2004. Yogyakarta : Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur’an An-Nur, 2004. D.W., Hamlyn. “History Of Epistemology.” Dalam Paul Edwars, The Encylopedia Of Philosophy, vol.3 1967, h. 8-9. Dagobert D., Runes. Dictionary Of Philosophy. .New Jersey: Little Field Adams & CO, 1963, h 49. Al-Dzahabi, Muhammad Husain. Tafsir wa al-Mufassirûn. Kairo: Maktabah Wahbah, 1416. Al-Farmawi, Abdul Hayy. Metode Tafsir Maudu’I. Jakarta:PT. Raja Garfindo Persada, Cet. II , 1996.
Al-Ghazali, Abdul Hamid. Meretas Jalan Kebenaran: di Belantara Pertentangan Pemikiran dan Madzhab. Penerjemah. Masyhur Abadi dan Ahmad Frenk. Surabaya: Pustaka Progresif, 2003. Hadi, Abdul. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusutas: Esai-Esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Matahari, 2004. Hadi, P.Hardono. Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta Kanisius, 1994. Al- Halim, Manni’‘Abd. Manâhij al-Mufasirîn. Bairut: Dâr al-Kitâb al-Hanâni, 1976. Hamdani, S. “Epistemologi Islam Sebagai Epistemologi Alternatif”’: Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan, vol. 4, no. 2 Desember 2002, h. 70. Ibn Katsir Tafsir Juz ‘Ama. Jakarta: pustaka azzam, cet.XI, 2007. Jibril, Muhammad al-Sayyid. Madkhal Manâhij al-Mufassirîn. Kairo: Maktabah alRisalah, 1987. Kartanegara, Mulyadhi. Menebus Batas Waktu Panoramafilsafat Islam. Bandung Mizan Media Utama, cet. II, 2005. __________, Epistemologi Islam. Jakarta: Serambi 2005. __________, Tadris Ilmiah Islam. Jakarta: Serambi, 2002.
Madjid, Nurcholish. “Ilmu Pengetahuan Bukan Jaminan,” dalam Ahmad Gaus AF, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, jilid 2, Jakarta : Paramadina, 2006, h. 1003. Al-Maraghi, Mustafa Ahmad. Tafsir al-Maraghi. Mesir: Mustofa al-Babi al-Halabi, 1394H/1974 M. Mashudi, Ariskum dan Nuryadi, Arif. Sepuluh Peristiwa Besaar Menjelang Kiamat Kubro. Jakarta :Al-Ihsan Media Utama, 2006. Masidjo, Ign. Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa di Sekola. Bandung: Kanisius Anggota IKAPI, 1995. Mudjab, Mahali, A. Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman al-Qur’an. Jakarta: Grafindo, 2002. Mustaqim, Abdul. Studi Kitab Tafsir. Depok: Teras, 2004. Nasution, Harun, ed. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Jambatan,1992.
Rahardjo, M. Dawam. “’Ilm,” dalam Ensiklopedi al-Qur’an : Tafsir Sosial berdasarkan Konsep-Konsep Kunci. Jakarta : Paramadina,1996: h. 527. Rahayu, Iin Tri dan Ardiani, Tristriadi Ardi. Observasi dan Wawancara. Malang: Bayu Media Publishing, 2004. Ridwan, Kafrawi dkk. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996. Russell, Bertrand. Religion and Science. London Uneversity perss, 1982. Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir Atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutannya Wahyu. Bandung: Pustaka Hidayah, cet. I, 1997. _______________, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1994. _______________, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an). Jakarta: Lentera Hati, jilid 15, cet. I, 2002. Snijders, Adelbert. Manusia dan Kebenaran : Sebuah Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius, 2006. Sudarminta, J. “Epistemologi: Masihkah Kita Perlukan?,” dalam Diskursus : Jurnal Filsafat dan Teologi-Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Vol. 8, No. 2. Oktober 2009, Jakarta: Lembaga Penelitian Filsafat dan Teologi, 2009. h. 151. Sudarsono, Filsafat Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Al-Suyuthi , Jalaludin. Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an. Jakarta: Dâr al-Taqwa Cet. I Kairo 2008. Talbah, Hisham dkk. “Kaum ‘Âd: Penemuan Pemukiman Kaum ‘Âd” ed. Syarif Hade Masyah, dalam Ensiklopedia Mukjizat al-Quran dan Hadis, jilid 1. Penerjemah. Syarif Hade Masyah, dkk. Jakarta: Sapta Sentosa, 2008. Taufik, Ahmad. Konsep Eskatologi Nurdin Ar-Kaniri. Jakarta: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003. AL-Tirmidzî, ‘Abd Allah Ibn ‘Ali al-Hakim. Biarkan Hatimu Bicara; Bayan al-Farq alShadr Wa al-Qalb, Wa al-Fu’ad, Wa al-Lubb. Penerjemah Fauzi Faisal Bahreisy Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005. Vredenbregt, Jocob. Metode Dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 1978.
LAMPIRAN I Ayat-ayat yang terdapat kata ra`â Surat 079. An Nazi`at
Dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang Melihat.
Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari
Lalu Musa memperlihatkan kepadanya mukjizat yang besar. Surat 081. At Takwiir
Dan Sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang. Surat 083. Al Muthaffifii
Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan: "Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat", Surat 089. Al Fajr
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum 'Aad?
Surat 090. Al Balad
Apakah dia menyangka bahwa tiada seorangpun yang melihatnya? Surat 096. Al 'Alaq
Karena dia melihat dirinya serba cukup.
Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang,
Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran,
Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling?
Tidaklah dia mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya? Surat 099. Al Zalzalah
Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.
Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. Surat 102. At Takaatsur
Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,
Dan Sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin Surat 105. Al Fiil
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu Telah bertindak terhadap tentara bergajah Surat 107. Al Maa'uun
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Surat 110. An Nashr
Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,
Ayat-ayat yang terdapat kata nazara Surat 078. An Naba'
Sesungguhnya kami Telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang Telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata:"Alangkah baiknya sekiranya dahulu adalah tanah". Surat 080. 'Abasa
Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Surat 086. Ath Thaariq
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Surat 083. Al Muthaffifii
Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang.
Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Surat 088. Al Ghaasyiyah
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan,