Mekanisme Alih Pengetahuan Anggota Tim Manajemen Atas dan Eksekutif STI: Menuju Keselarasan Sistem Informasi Strategik Asty Almaida, SE, M.Si UNIVERSITAS HASANUDDIN DR. Sony Warsono, MAFIS UNIVERSITAS GAJAHMADA Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh alih pengetahuan anggota Tim Manajemen Atas (TMT) dan eksekutif Sistem Teknologi Informasi (STI) pada keselarasan Sistem Teknologi Informasi-Strategik (SIS) dan kemudian menguji faktorfaktor yang mendorong terjadinya alih pengetahuan yang efektif. Berdasarkan tinjauan literatur alih pengetahuan, sistem informasi dan strategi penelitian ini mengajukan hambatan pengetahuan, motivasi, dan iklim organisasi sebagai antiseden utama alih pengetahuan. Model penelitian diuji secara kuantitatif melalui survei lapangan pada 124 pasangan serasi TMT/eksekutif STI menggunakan model persamaan struktural dengan perangkat lunak LISREL. Hasil penelitian memperlihatkan pentingnya alih pengetahuan pada keselarasan SIS, demikian juga untuk ketiga antiseden alih pengetahuan. Analisi penelitian ini mendukung 9 dari 11 hipotesis yang diajukan juga memberikan kontribusi baru berupa munculnya pengaruh langsung antiseden alih pengetahuan (kemampuan mengabsorbsi, ambiguitas kausal dan afiliasi) yang diharapkan dapat dijadikan arahan bagi penelitian selanjutnya.Bertentangan dengan pendapat umum yang menyatakan faktor motivasi merupakan faktor yang paling berpengaruh pada alih pengetahuan, hasil penelitian ini memperlihatkan hambatan terbesar alih pengetahuan adalah terkait dengan pengetahuan itu sendiri. Analisis penelitian ini Kenyataan akan pentingnya STI dalam bisnis dan seringkali berkontribusi secara strategis, penelitian ini memberikan implikasi bagi pengembangan teori dan praktis Kata Kunci:
SI-03
Eksekutif STI, anggota Tim Manajemen Atas, Alih Pengetahuan, Keselarasan SIS, Sistem Informasi, Persamaan Model Struktural, LISREL
1
PENDAHULUAN Menghadapi lingkungan bisnis yang bergejolak diakibatkan krisis multidimensi dan peningkatan persaingan dunia, eksekutif bisnis dituntut berupaya tidak hanya mempertahankan bisnis mereka tetapi juga untuk mengembangkan bisnis tersebut. STI merupakan alat yang penting untuk mendorong dan mengeksekusi strategi bisnis yang dampaknya terhadap kinerja organisasi telah diketahui (Henderson dan Venkatraman 1999; Rathnam et al., 2004; Hartono 2005). STI dapat mendorong peningkatan produktivitas
organisasi
dan
mempertahankan
keuntungan
persaingan
dalam
menghadapi ketidakpastian dan perubahan lingkungan yang dinamis. Pentingnya STI sebagai salah satu penunjang utama kesuksesan strategi, juga mendapat perhatian pelaku bisnis di Indonesia. Peningkatan investasi STI diperkirakan meningkat sebesar 60% pada tahun 2009 dan bukan hanya dilakukan oleh organisasi bisnis skala atas tetapi juga oleh skala menengah (SDA 2006). Namun, terdapat peningkatan perhatian bahwa manfaat yang diharapkan dari investasi STI tidak dapat tercapai (Henderson dan Venkatraman 1999). Beberapa penelitian menyatakan hubungan kerja manajemen atas dan eksekutif STI sebagai faktor utama untuk memfasilitasi keselarasan SIS dalam organisasi; tetapi hubungan ini juga terbukti muncul sebagai masalah utama (Luftman et al., 1999 dan Rathnam et al., 2004). Thomas (1991) dan Hirschheim dan Sabherwal (2001) menyatakan buruknya hubungan tersebut diakibatkan perbedaan pengetahuan yang memperburuk komunikasi kedua pihak. Perbedaan pengetahuan ini mencakup keterbatasan pemahaman eksekutif STI tentang bisnis dan keterbatasan pemahaman manajemen atas tentang kemampuan STI dalam menunjang strategi bisnis.
SI-03
2
Nelson dan Cooprider (1996) menemukan bahwa berbagi pengetahuan (dicapai melalui saling percaya dan pengaruh) antara kelompok Sistem informasi dan pelanggan lini mereka berkontribusi pada kinerja sistem informasi. Penelitian ini akan mengeksplorasi masalah yang sama dengan menggantikan konsep berbagi pengetahuan dengan konsep alih pengetahuan kearah terciptanya keselarasan SIS dan juga mengeksplorasi faktor-faktor penting tercapainya alih pengetahuan yang efektif antara tim manajemen atas (TMT) dan eksekutif STI. Szulanski
(1996)
mengidentifikasi
dua
kategori
faktor
yang
dapat
mempengaruhi alih praktik terbaik antar unit dalam organisasi; faktor pengetahuan dan motivasional yang berasal dari individu itu dan organisasi (iklim organisasi). Faktor pengetahuan terdiri dari kekakuan hubungan (Ardous Relationship), kemampuan mengabsorbsi (Absorptive Capacity), ambiguiti kausal (Causal Ambiguity) dan kesepahaman (Shared Understanding) (Szulanski 1996; Ko et al., 2005). Faktor motivasi meliputi ekstrinsik dan intrinsik (Ko et al., 2005); iklim organisasi terdiri dari afiliasi, inovasi dan keadilan (Bock et al., 2005). Pada penelitian ini ketiga faktor tersebut diatas dimasukkan sebagai antiseden penting alih pengetahuan dan kemudian menguji pengaruh masing-masing.
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS Gambar 1 menampilan model penelitian ini yang menampilkan faktor pengetahuan, motivasi dan iklim organisasi sebagai antiseden utama alih pengetahuan
SI-03
3
Faktor Pengetahuan Kekakuan H2a (-) hubungan Kemampuan mengabsorbsi
H2b (+)
Ambiguiti Kausal H2c (-) Kesepahaman
H2d (+)
Motivasi H3a (+) Motivasi Ekstrinsik
Motivasi Intrinsik
H3b (+)
Kemudahan Alih Pengetahuan
H1 (+)
Keselarasan Sistem TeknologiInfor mas -Strategik
Iklim Organisasi Keadilan
H4a (+)
Inovasi
H4b (+)
Affiliasi
H4c (+)
Gambar 1: Model Penelitian
Alih Pengetahuan dan Keselarasan SIS Alih pengetahuan merupakan proses seorang anggota jaringan dipengaruhi oleh pengalaman dari anggota lainnya (Argote dan Ingram 2000; Inkpen dan Tsang 2005), menitikberatkan pada kesediaan individu dalam organisasi untuk berbagi pengetahuan yang mereka dapatkan atau ciptakan dengan yang lain (Gibbert dan Krause 2002; dikutip oleh Bock et al. 2005), pertukaran dua arah (dyadic) dari pengorganisasian pengetahuan antara seorang narasumber dan seorang penerima (Szulanski 1996; Ko et al., 2005). Darr dan Kurtzberg (2000) serta Ko et al. (2005) lebih jauh menjelaskan, alih
SI-03
4
pengetahuan terjadi “ketika seorang kontributor berbagi pengetahuan yang digunakan oleh seorang adopter” atau dengan kata lain pengetahuan dikatakan dialihkan apabila terjadi pembelajaran, dan ketika penerima mengerti seluk beluk dan implikasi yang berhubungan dengan pengetahuan tersebut sehingga dia dapat menggunakannya (Darr dan Kurtzberg 2000; Ko et al., 2005). Beberapa peneliti menyatakan faktor terbesar kegagalan keselarasan SIS adalah perbedaan pengetahuan antara eksekutif bisnis dan eksekutif SIS. Nelson dan Cooprider (1996) menyatakan berbagi pengetahuan antara kelompok STI dan manajemen lini akan meningkatkan efektivitas STI yang secara langsung mempengaruhi keselarasan SIS dalam organisasi. Preston dan Karahanna (2004) juga menyatakan pentingnya mekanisme pertukaran pengetahuan yang mempengaruhi keselarasan SIS secara tidak langsung melalui mediasi model berbagi mental (shared mental models/SMMs). Karena alih pengetahuan merupakan suatu biaya dari sisi pengetahuan sisumber, dalam bentuk waktu dan usaha yang dihabiskan untuk menolong yang lain untuk memahami pengetahuan yang dimilikinya, sumber pengetahuan merupakan posisi yang terbaik untuk mengevaluasi biaya ini. Penelitian ini berfokus pada kemudahan alih pengetahuan (ease of knowledge transfer) (Reagans dan McEvily 2003) dari unit sumber ke unit penerima, menekankan pada penilaian unit sumber akan kemudahan dalam melakukan alih pengetahuan. Proses alih pengetahuan yang berjalan dengan baik dapat meningkatkan kinerja sipenerima pengetahuan. H1: Kemudahan alih pengetahuan berpengaruh positif pada keselarasan SIS
SI-03
5
Antiseden Kemudahan Alih Pengetahuan Faktor Pengetahuan Szulanski (1996) mendefinisikan tiga faktor hambatan pengetahuan sebagai kekakuan hubungan antara sisumber dan sipenerima, ambiguitas kausal dan kemampuan mengabsorbsi.
Ko et al. 2005 menambahkan faktor kesepahaman
dalam faktor yang terkait dengan hambatan pengetahuan yang diadopsi dari Nelson dan Cooprider (1996). Kekakuan Hubungan Pada Kemudahan Alih Pengetahuan Beberapa penelitian mengusulkan salah satu faktor penting yang mempengaruhi alih pengetahuan adalah hubungan antara seorang narasumber dan seorang penerima (Argote 1999; dikutip oleh Ko et al., 2005). Mengalihkan pengetahuan memerlukan interaksi yang berulangkali antar orang yang terlibat (Nonaka 1994; Ko et al., 2005). Kesuksesan interaksi bergantung pada kualitas hubungan (Ko et al., 2005). Kekakuan hubungan (arduous relationship) didefinisikan sebagai hubungan yang secara emosional sulit dan hubungan yang jauh antara sumber dengan seorang penerima, (Szulanski 1996; Ko et al., 2005), mempengaruhi kemampuan sumber mengalihkan pengetahuan yang diperlukan dan bagi si penerima untuk mempelajari serta menggunakan pengetahuan tersebut. Oleh karena itu, kekakuan hubungan antara sumber dengan penerima membawa dampak negatif terhadap keefektifan alih pengetahuan (Baum dan Ingram 1998; dikutip oleh Ko et al., 2005). H2a:
Kekakuan hubungan berpengaruh negatif pada kemudahan alih
pengetahuan Kemampuan mengabsorbsi (absorptive capacity)
SI-03
6
Kemampuan absorbsi merupakan kemampuan penerima untuk mengenali arti penting dan nilai eksternal knowledge, memahami dan menggunakannya (Cohen dan Levinthal 1990; Ko et al., 2005). Zahra dan George (2002) dalam Malholtra et al., (2005), mengkonseptualisasikan kemampuan absorbsi sebagai kemampuan dinamis mengenai kreasi dan kegunaan pengetahuan yang dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk mendapatkan dan mempertahankan keuntungan persaingan. Menurut Dagfous (2004), Kemampuan absorbsi terdiri dari akuisisi, assimilasi, transformasi dan kemampuan eksploitasi. Walaupun jika seorang manajer mengetahui mengenai praktik terbaik, dia mungkin tidak memiliki sumber daya (waktu atau uang) ataupun detail praktis untuk mengimplementasikan (Szulanski 1996; O’Dell dan Grayson 1998). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kemampuan absorbsi berhubungan positif dengan alih pengetahuan (Szulanski 1996; Nelson dan Coprider 1996; Ko et al., 2005). Szulanski (1996) menemukan bahwa ketiadaan kemampuan absorbsi dalam alih praktik terbaik merupakan hambatan utama alih pengetahuan perusahaan. Lane et al. (2001) menemukan bahwa kemampuan absorbsi memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses pembelajaran dan kinerja pada usaha bersama internasional (internal joint venture) H2b: kemampuan mengabsorbsi berpengaruh positif pada kemudahan alih pengetahuan Ambiguitas Kausal (Causal Ambiguity) Penyebab kendala alih pengetahuan dapat diklasifikasikan sebagai faktor motivasi atau kendala kognitif (Fross dan Pederson 2001; dikutip oleh Alamsyah dan Wijanto 2005). Kendala kognitif berupa ambiguitas kausal, kompleksitas, ketacitan, kemampuan
SI-03
7
absorbsi. Ambiguitas kausal merupakan ambiguiti hubungan antara sumberdaya perusahaan dengan keuntungan kompetitif yang bertahan (Reed dan DeFillippi 1990; Barney, 1991; dikutip oleh Szulanski 2000). Ambiguiti merupakan ketidakmampuan untuk menginterpretasikan atau membuat masuk akal (make sense) sesuatu hal (Zack 1998; dikutip oleh Alamsyah dan Wijayanto 2005), kurangnya kejelasan (Levinthal dan March 1993; dikutip oleh Alamsyah dan Wijayanto 2005). Adanya ambiguitas kausal akan membatasi penggunaan secara efektif keterampilan dan sumber daya. Szulanski (2000) menyatakan alih pengetahuan terjadi dalam empat tahapan yang berbeda dan menemukan bahwa ambiguitas kausal signifikan pada keseluruhan tahapan dalam menentukan hambatan alih pengetahuan. H2c: Ambiguitas kausal berpengaruh negatif pada kemudahan alih pengetahuan Kesepahaman (Shared Understanding) Kesepahaman menunjukkan tingkatan nilai kerja, norma, philosofi, pendekatan pemecahan masalah, dan pengalaman kerja terdahulu bagi kedua belah pihak (sumber dan penerima) memiliki kesamaan (Nelson dan Coprider 1996; Ko et al., 2005). Penelitian menyarankan kesamaan heuristik dan kesamaan pengalaman antara sumber dan penerima merupakan antaseden penting dari alih pengetahuan (Hansen 1999; dikuti oleh Ko et al., 2005), yang melampui hambatan dalam pemahaman dan penerimaan antara sumber dan penerima (Krauss dan Fussel 1990; dikutip oleh Ko et al., 2005), dan dengan demikian kedua partisipan dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam bekerja menuju tujuan bersama (Nelson dan Cooprider 1996; Ko et al., 2005). Ketiadaan kesepahaman, menyebabkan ada suatu tendensi bagi partisipan untuk saling tidak setuju mengenai apa yang seharusnya mereka kerjakan dan mengapa, yang dapat
SI-03
8
menyebabkan hasil yang buruk. (Bennet 1996; Gerwin dan Moffat 1997; dikutip oleh Ko et al.2005). Preston dan Karahanna (2004) menemukan bahwa kesepahaman memiliki pengaruh signifikan pada hubungan antar CIO dan TMT yang merupakan faktor utama dalam keefektifan IS dan keselarasan SIS H2d: Kesepahaman berpengaruh positif pada alih pengetahuan Faktor Motivasi Alih pengetahuan tidak terjadi tanpa adanya biaya partisipan. Individu percaya bahwa keuntungan yang diharapkan akan lebih banyak dibandingkan dengan biaya yang mereka keluarkan. Bukan hanya dikarenakan proses alih pengetahuan membutuhkan waktu dan usaha (Gibbert dan Krause 2002; Firth 2004; Kankanhanlli et al., 2005), tetapi dengan melakukan alih pengetahuan dalam konteks organisasi mendatangkan dilema klasik “kepemilikan umum” (Barry dan Hardin 1982; Marwell dan Oliver 1993; dikutip oleh Bock et al., 2005; Firth 2004), suatu aset pengetahuan yang berpengaruh pada kesuksesan organisasi, dapat digunakan oleh yang lain, tanpa mengetahui apakah akan memberikan timbal balik (Dawes 1980; Thorn dan Connoly 1987; dikutip oleh Bock et al., 2005). Dilema ini kemudian diperkuat ketika keahlian (mis; reputasi seseorang) menjadi sangat bernilai tetapi mengajarkan atau menolong yang lain dianggap tidak penting (Leonard dan Sensiper 1998; Bock et al., 2005). Seseorang menolak untuk melakukan alih pengetahuan bukan hanya disebabkan ketakutan akan kehilangan nilai uniknya dalam organisasi, tetapi apabila pengetahuan yang dialihkan dipandang tidak berharga atau tidak relevan dianggap dapat merusak reputasi mereka (Firth 2004; Bock et al., 2005). Faktor kurangnya penghargaan intrinsik serta ekstrinsik sebagai bentuk kompensasi atas biaya yang dikeluarkan dari mengalihkan pengetahuan
SI-03
9
menjadi penghalang umum alih pengetahuan (Bock et al., .2005; Kankanhalli et al., 2005). Faktor motivasi dalam penelitian ini berasal dari teori pertukaran sosial (social exchange teori), yang menyatakan bahwa perilaku manusia dalam pertukaran social (Blau 1964; dikutip oleh Kankanhanlli et al., 2005), berbeda dari pertukaran ekonomi dalam faktor kewajiban yang tidak jelas. Dalam proses pertukaran, individu melakukan sesuatu dengan sebuah pengharapan umum akan adanya timbal balik tetapi dengan pengharapan yang tidak jelas akan timbal balik tersebut dalam waktu tertentu (Kankanhanlli et al., 2005). Szulanski mengidentifikasi sejumlah faktor sebagai motivasional –termasuk kurangnya insentif, kurang kepercayaan diri, proteksi turf, dan sidrome “tidak diperhitungkan disini” –Szulanski secara empiris hanya menguji bentuk umum “kurangnya motivasi” pada sisi sumber dan sipenerima. Dia menemukan bahwa motivasi kedua belah pihak (sinarasumber dan sipenerima) secara khusus berpengaruh pada alih pengetahuan. Peneliti lain juga telah berteori dan menemukan sebuah hubungan positif antara motivasi dan alih pengetahuan (Argote 1999 dalam Ko et al., 2005). Beberapa peneliti menyatakan perbedaan temuan dapat menyebabkan kegagalan untuk mempertimbangkan dampak berbeda motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Perbedaan ini, baik untuk manajer atas maupun eksekutif SI, dimasukkan pada penelitian ini. Motivasi Ekstrinsik Dari perspektif sosial-ekonomi, seorang pelaku individu diasumsikan memilih rangkaian tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan tertentu dan serangkaian pilihan yang pasti (Smelser dan Swdberg 1994; dikutip oleh Bock et el., 2005). Dalam
SI-03
10
pertukaran sosial, keuntungan bertindak sebagai motivator perilaku manusia yang dapat berupa ekstrinsik maupun intrinsik (Kankanhanlli et al., 2005). Alih pengetahuan seringkali terjadi ketika karyawan menerima insentif yang melebihi biaya yang mereka keluarkan (Massey et al., 2002; Firth 2004; Bock et al., 2005). Koordinasi motivasi secara ekstrinsik dicapai dengan menghubungkan motivasi monetary karyawan dengan tujuan perusahaan (Osterloh dan Frey 2000). Massey et al. (2002) ketika mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang akan mempengaruhi perilaku karyawan dalam melaksanakan pekerjaan, mereka mendapatkan faktor lain yang dapat mempengaruhi kemampuan ataupun kesediaan karyawan untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu yaitu sistem insentif. H3a: Motivasi ekstrinsik memiliki pengaruh positif dengan alih pengetahuan Motivasi Intrinsik Karyawan secara intrinsik termotivasi ketika kebutuhan mereka secara langsung terpenuhi (misalnya tujuan self-defined) atau ketika kepuasan mereka terletak pada kontent aktivitas itu sendiri. Motivasi intrinsic terjadi ketika suatu aktivitas “bernilai untuk pribadi dan dipandang sebagai aktualisasi diri” (Calder dan Staw 1975; dikutip oleh Ko et al., 2005) Kepuasan tersebut muncul dari kesenangan intrinsik mereka dalam menolong yang lain (Ba et al. 2001; Constant et al. 1994; Constant et al. 1996; dikutip oleh Kankanhanlli et al. 2005). O’Dell dan Grayson (1998) menemukan bahwa motivasi intrinsik sangat penting terhadap proses mengalihkan pengalaman terbaik. H3b: Motivasi intrinsik memiliki hubungan positif dengan alih pengetahuan
SI-03
11
Iklim Organisasi Bahwa iklim organisasi merupakan penggerak utama alih pengetahuan secara umum telah diketahui (Constant et al. 1996; Orlikowski 1993; dikutip oleh Bock et al., 2005; Huber 2001) dan secara khusus digambarkan dengan baik oleh Robert Buckman (1998) dan Bock et al. (2005) bahwa untuk menjamin keefektifan alih pengetahuan, organisasi perlu merubah kultur dari yang menyembunyikan pengetahuan (hoarding of knowledge) menjadi kultur yang menghargai pengetahuan, organisasi perlu menciptakan iklim yang dapat membantu perkembangan hubungan yang saling percaya dan jangka panjang. Bock et al. (2005) mengidentifikasi tiga aspek dari iklim organisasi agar kondusif dengan alih pengetahuan: keadilan (fairness), yang mencerminkan persepsi bahwa praktek organisasi adalah bersifat adil dan tidak sewenang-wenang ataupun berubahubah, membangun dan memberikan kepercayaan antara anggota untuk melakukan alih pengetahuan. Jadi keadilan dapat diharapkan menuntun karyawan untuk membagi pengetahuan yang mereka miliki dan menjadi lebih berpengetahuan akan proses pekerjaan mereka (Kim dan Mauborgne 1997; Bock et al., 2005). Inovasi (Innovativeness), yang menggambarkan persepsi bahwa perubahan dan kreatifitas secara aktif didorong dan diberi penghargaan, menekankan pada pembelajaran, alur informasi yang terbuka, dan berani mengambil resiko. Konsekuensinya, individu dalam konteks pekerjaan yang innovatif lebih menyukai berbagi ide baru dan kreatif dengan yang lain dibandingkan dalam konteks pekerjaan yang non-innovatif (Kim dan Lee 1995; dikutip oleh Bock et al., 2005). Afiliasi (affiliation), didefinisikan sebagai persepsi perasaan kebersamaan antar anggota organisasi, mencerminkan perilaku peduli dan pro-sosial, sifatnya kritis untuk mengajak seorang anggota organisasi untuk menolong yang lain. Penelitian yang dilakukan Bock et al. (2005) memperlihatkan
SI-03
12
bahwa iklim organisasi yang dipengaruhi oleh afiliasi, keadilan, dan inovasi berimplikasi positif terciptanya proses alih pengetahuan yang efektif. H4a,b,c: Iklim organisasi yang mencerminkan keadilan, inovasi dan afiliasi, memiliki pengaruh positif terhadap knowledge transfer
METODA PENELITIAN Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini terdiri dari organisasi jasa dan manufaktur berskala besar dengan jumlah karyawan > 100 orang (BPS 2003) yang bergerak dalam industri makanan, minuman dan obat-obatan. Metoda penelitian ini menggunakan studi lapangan lintas bagian (cross-sectional field study) dengan pendekatan kuantitatif. Sampel representatif populasi manajemen atas dan eksekutif STI diperlukan untuk kepentingan generalisasi penelitian. Istilah eksekutif STI sangatlah sukar didefinisikan dan seringkali digunakan dalam istilah yang berbeda untuk setiap organisasi yang pada dasarnya merupakan tingkatan tertinggi dan eksekutif STI yang paling berpengaruh untuk menetapkan kebijakan dan mengawasi sumber daya informasi. TMT (tim manajemen atas) pada penelitian ini didefinisikan sebagai CEO atau eksekutif senior yang paling berpengaruh dan bertanggung jawab langsung pada CEO (Finkelstein dan Hambrick, 1996 dalam Preston dan Karahanna 2004). . Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan metoda pengambilan sampel secara nyaman (convenience sampling), dengan teknik analisis data menggunakan analisis jalur jalur (path analysis) dengan menggunakan aplikasi analisa jalur perangkat lunak Lisrel 8.1.
SI-03
13
Metoda survei diperlukan untuk menguji hipotesis. Survei instrumen terdiri dari beberapa item yang diadaptasi dari penelitian sebelumnya seperti yang ditampilkan secara ringkas pada tabel 1 (lihat lampiran). Keseluruhan variabel penelitian diukur dengan menggunakan lima titik skala Likert kecuali untuk variabel kekakuan hubungan yang diukur menggunakan empat titik skala Likert. Total 176 dari 300 organisasi yang mengembalikan kuisioner, namun hanya 124 organisasi yang dapat di olah lebih lanjut. Tabel 2 (lihat lampiran) menampilkan karakteristik organisasi responden
HASIL PENELITIAN Analisis Model Dari 176 organisasi yang mengembalikan kuisioner penelitian, hanya 124 organisasi yang memenuhi persyaratan untuk dianalisis lebih lanjut. Wijayanto dalam Alamsyah dan Wijayanto (2005) menyatakan ukuran sampel yang dibutuhkan dalam SEM dengan estimasi kemungkinan maksimun (maximum likelihood) adalah 5 responden untuk setiap indikator atau variabel yang diamati. Pemeriksaan analisis faktor konfirmatori melalui uji unidimensionalis dilakukan untuk menguji kekuatan pengukuran antar item dan konstruk, yang dilakukan pada lima model pengukuran. Untuk melihat apakah suatu butir membangun indikator, maka digunakan kriteria dengan faktor loading >0.30, sehingga apabila ada butir yang memiliki faktor loading yang terstandar < 0.30, maka butir tersebut akan dihilangkan untuk selanjutnya tidak akan digunakan dalam uji hipotesis. Analisis Model Secara Keseluruhan Untuk mengukur sebuah model sudah sesuai dilakukan evaluasi kecocokan model (goodness of fit index). Tabel 3 (lihat lampiran) menampilkan indeks kecocokan model.
SI-03
14
Dari tabel 3 dapat pula dilihat bahwa model awal penelitian tidak memenuhi syarat, sehingga dilakukan perubahan model sesuai indeks modifikasi yang ditawarkan LISREL. Tabel 4 (lihat lampiran) menampilkan indeks kecocokan model modifikasi. Hasil Lisrel dapat dilihat pada gambar 3 dibawah ini:
0.391.79 1.39 1.12 2.95 1.04 7.83 0.28 5.53
X1 -0.37 Y1
0.49 1.10 1.25 1.99 1.22 5.93 0.44 4.13
9.45
0.49 X2 -0.30
0.35 1.00 2.13 1.19 4.37 0.33 1.80
0.37 X3 0.08
0.28 1.46 0.92 3.88 0.15 2.57
0.19 X4
0.10
-0.02 0.09 11.16 4.12 0.64 0.40 14.26
-0.99 0.21
X5 1.23
0.19 0.90 5.17 0.64 5.36
X6
3.07 1.73 63.64
X7
0.40 0.48
X8
0.82
X9
0.03
Y2
1.38
Chi-Square=5.85, df=5, P-value=0.32101, RMSEA=0.039
Gambar 2: Model pengembangan
PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN HIPOTESIS Hasil pengujian hipotesis dapat dilihat pada tabel 5 (lihat lampiran) KEMUDAHAN ALIH PENGETAHUAN PADA KESELARASAN SIS Pada model penelitian telah diuji pengaruh alih pengetahuan pada keselarasan SIS dalam organisasi. Hasil temuan mengindikasikan pentingnya pengaruh kemudahan alih pengetahuan kearah tercapainya keselarasan SIS, dan hubungan antara manajemen atas dan eksekutif STI sebagai pihak yang dapat mempengaruhi keselarasan SIS Penemuan
SI-03
15
ini berhasil membuktikan penyataan Hirschheim dan Sabherwal (2001) yang menyatakan bahwa keselarasan dapat tercapai apabila antara tim manajemen atas dan eksekutif STI terdapat kesamaan pengetahuan yang akan dicapai melalui alih pengetahuan. Alih pengetahuan bukan merupakan proses pengalihan biasa. Didalamnya terdapat proses pembelajaran, seperti yang dinyatakan oleh Ko et al. (2005) bahwa alih pengetahuan merupakan komunikasi yang dipelajari dan diaplikasikan oleh unit penerima. Dengan kemudahan alih pengetahuan, tim manajemen atas dan eksekutif STI sebagai orang-orang yang paling bertanggung jawab akan strategi bisnis dan strategi STI diharapkan dapat menghilangkan hambatan-hambatan dalam memahami maksud dan tujuan masing-masing pihak sehingga akan menghasilkan keselarasan. Hambatan Pengetahuan Pada model penelitian secara empiris diuji hubungan hambatan pengetahuan berikut ini pada kemudahan alih pengetahuan: Kekakuan Hubungan pada Kemudahan Alih Pengetahuan Pada model penelitian diajukan bahwa kekakuan hubungan akan memiliki pengaruh negatif pada kemudahan alih pengetahuan. Hasil penelitian mengindikasikan dukungan pengaruh tersebut. Penemuan ini mendukung penelitian Szulanski (1996) dan Ko et al. (2005) yang menyatakan bahwa kekakuan hubungan antara unit sumber dan unit penerima akan mengurangi keefektifan alih pengetahuan. Variabel kekakuan hubungan juga terbukti berpengaruh secara signifikan. Dengan menciptakan lingkungan kerja dimana TMT dan eksekutif STI dapt berinteraksi dengan intensitas yang sering, mempertahankan hubungan keduanya dan
SI-03
16
memfasilitasi alur dan interpretasi pengetahuan maka kekakuan hubungan antara TMT dan eksekutif STI dapat kurangi. Kemampuan Mengabsorbsi pada Kemudahan Alih Pengetahuan Pada model penelitian diajukan bahwa kemampuan mengabsorbsi akan berpengaruh
positif
pada
kemudahan
alih
pengetahuan.
Hasil
penelitian
mengindikasikan dukungan dan signifikansi pengaruh tersebut. Penemuan ini mendukung penelitian Szulanski (1996) dan Ko et al. (2005) yang menyatakan bahwa kemampuan mengabsorbsi akan mendorong keefektifan alih pengetahuan. Hasil
ini
mengindikasikan
pentingnya
memberikan
perhatian
pada
pengembangan kapasitas pembelajaran unit organisasi agar kemampuan ini dapat terus ditingkatkan. Ambiguitas Kausal pada Kemudahan Alih Pengetahuan Pada model penelitian dinyatakan bahwa ambiguitas kausal berpengaruh negatif pada kemudahan alih pengetahuan. Hasil penelitian memperlihatkan dukungan pada pernyataan ini. Penemuan ini sejalan dengan Szulanski (1996) dan Alamsyah dan Wijayanto (2005) yang menyatakan bahwa ambiguitas kausal akan mengurangi keefektifan alih pengetahuan. Walaupun hasil penelitian memperlihatkan ketidakberartian pengaruh ini, namun kedua belah pihak yang terlibat proses alih pengetahuan diharapkan secara sistematis berusaha untuk memahami dan mengkomunikasikan pengalaman terbaik serta pengetahuan yang dimiliki. Kesepahaman pada Kemudahan Alih Pengetahuan Pada model penelitian dinyatakan bahwa kesepahaman berpengaruh positif pada kemudahan alih pengetahuan. Hasil penelitian memperlihatkan dukungan pada
SI-03
17
pernyataan ini. Penemuan ini sejalan dengan Szulanski (1996) dan Ko et al. (2005) yang menyatakan bahwa kesepahaman akan mendorong keefektifan alih pengetahuan. Walaupun hasil penelitian memperlihatkan ketidakberartian pengaruh ini, namun kedua belah pihak yang terlibat proses alih pengetahuan diharapkan secara sistematis berusaha untuk saling memahami. Ko et al. (2005) menyatakan bahwa faktor ini diperlukan untuk mengurangi asimetri pengetahuan antara unit yang terlibat dalam proses alih pengetahuan Motivasi Pada model penelitian dinyatakan bahwa motivasi baik ektinsik maupun intrinsik berpengaruh positif pada kemudahan alih pengetahuan. Hasil penelitian memperlihatkan dukungan pada pernyataan ini. Namun berkebalikan dengan pendapat umum yang menyatakan bahwa faktor terbesar yang dapat mempengaruhi alih pengetahuan adalah faktor motivasi individu, penelitian ini mendukung penelitian Szulanski (1996) yang membuktikan bahwa motivasi tidak memberikan pengaruh yang berarti dalam alih pengetahuan. Hal ini mengindikasikan bahwa menggunakan sistem insentif untuk mendukung alih pengetahuan-yang tidak biasa dilakukan-kelihatannya tidak sesuai. Meskipun pengaruh motivasi pada model penelitian tidak signifikan namun faktor tersebut tetap memberikan pengaruh pada alih pengetahuan. Organisasi harus mampu menciptakan iklim organisasi yang mendorong alih pengetahuan. Porter (1985) dalam Szulanski (1996) menyatakan, faktor motivasi berperan untuk mendorong narasumber berbagi pengetahuan meskipun memerlukan waktu serta usaha.
SI-03
18
Dari tabel 5 terlihat pengaruh motivasi intrinsik lebih besar dibandingkan pengaruh motiovasi intrinsik. Ketika pengetahuan yang dialihkan memiliki komponen tasit yang lebih besar dibandingkan komponen eksplisitnya, hasil ini sesuai dengan Osterloh dan Frey (2000) yang menyatakan karyawan yang termotivasi secara intrinsik diperlukan ketika pengetahuan yang dialihkan bersifat tasit dan ketika hasil alih pengetahuan tidak dapat diukur dengan mudah Iklim Organisasi Pada model penelitian dinyatakan bahwa ketiga variabel iklim organisasi berpengaruh positif pada kemudahan alih pengetahuan. Hasil penelitian memperlihatkan dari ketiga variabel tersebut (afiliasi, inovasi dan keadilan) hanya variabel keadilan yang didukung oleh data. Hal ini mengindikasikan pentingnya iklim organisasi yang tidak mencerminkan kesewenang-wenangan dan ketidakberpihakan untuk mendorong kemudahan melakukan alih pengetahuan. Semakin tinggi inovasi maka akan menimbulkan kekompleksitasan. Akibat kompleksitas tadi yang mungkin menyebabkan unit sumber susah untuk mengalihkan pengetahuannya. Seperti kata Polanyi dalam Osterloh dan Frey (2000), “kita mengetahui lebih banyak daripada yang dapat dikatakan”. Hasil ini berkebalikan dengan penelitian Bock et al. (2005) yang menyatakan semakin tinggi inovasi, semakin ingin seseorang mengalihkan pengetahuannya. Penyebab latar belakang budaya yang berbeda mungkin juga ikut berperan sehingga hasil yang diperoleh tidak sama. Hipotesis 4c untuk variabel afiliasi menyatakan semakin tinggi tngkat afiliasi, semakin tinggi tingkat kemudahan alih pengetahuan juga tidak didukung oleh data. Hasil penelitian ini berkebalikan dengan penelitian Bock et al. (2005). Selain latar
SI-03
19
belakang budaya yang berbeda, hal ini mungkin juga disebabkan pengaruh kohesi dan favoritisme kelompok yang akan menyebabkan anggotanya kurang bersosialisasi dengan unit lain. Sementara menurut Reagans dan McEvily (2003) seseorang akan mudah mengalihkan pengetahuannya apabila individu tersebut memiliki hubungan lintas jaringan. Hubungan lintas jaringan inilah yang memberikan keberagaman yang membuat proses alih pengetahuan lebih mudah dilakukan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian
ini
memperluas
pemahaman
mengenai
bagaimana
organisasi
mengembangkan keselarasan SIS. Hasil penelitian memperlihatkan adanya pengaruh alih pengetahuan antara eksekutif STI dan TMT kearah tercapainya keselarasan SIS dalam organisasi. Alih pengetahuan terjadi baik TMT dan eksekutif STI akan saling memperoleh pemahaman serta apresisasi yang lebih mendalam sehingga asimetri pengetahuan diantara keduanya dapat dihindari. Penelitian ini mengembangkan model penelitian terdiri dari faktor pengetahuan (kekakuan hubungan, kemampuan mengabsorbsi, ambiguitas kausal dan kesepahaman), motivasi (ekstrinsik dan intrinsik) dan iklim organisasi (afiliasi, inovasi dan keadilan) yang diajukan memiliki pengaruh pada alih pengetahuan. Dari hasil pengujian hipotesis terlihat dari sebelas hipotesis yang diajukan hanya dua hipotesis yang tidak terdukung yakni untuk variabel inovasi dan afiliasi. Tidak terdukungnya variabel inovasi pada kemudahan alih pengetahuan dapat disebabkan semakin tinggi inovasi akan menimbulkan kekompleksitasan yang menyebabkan unit sumber susah untuk
SI-03
20
mengalihkan pengetahuannya. Sedangkan tidak terdukungnya variabel afiliasi dapat disebabkan pengaruh kohesi dan favoritisme kelompok yang akan menyebabkan anggotanya kurang bersosialisasi dengan unit lain. Penelitian ini menggunakan suatu metodologi dengan validitas responden yang sangat kuat. Termasuk didalam metodologi adalah pertanyaan yang ditanyakan kepada anggota tim manajemen atas mengenai tingkatan pengetahuan mereka. TMT dan eksekutif STI terpilih sebagai responden penelitian ini dengan pertimbangan keduanya merupakan pihak yang paling bertanggung jawab akan strategi bisnis dan strategi STI organisasi. Bertentangan dengan pendapat umum yang menyatakan faktor motivasi sebagai hambatan terbesar alih pengetahuan, penelitian ini membuktikan bahwa hambatan terbesar alih pengetahuan adalah terkait dengan pengetahuan itu. Ketika pengetahuan tidak dialihkan, muncul perbedaan antara apa yang diketahui dalam organisasi dengan apa yang seharusnya dilakukan. Hasil ini mengindikasikan bahwa kegagalan individu dalam proses pembelajaran bukan disebabkan karena individu tersebut tidak ingin belajar melainkan karena individu tersebut tidak mengetahui bagaimana cara melakukannya. Mendorong faktor terkait dengan pengetahuan-yaitu berfokus pada aset langka dan pentingnya perhatian manajerial untuk mengembangkan kapasitas pembelajaran unit organisasi, menciptakan iklim yang kondusif kearah hubungan yang berkualitas, dan secara sistematis memahami dan mengkomunikasikan pengalaman yang didapat merupakan faktor penting kesuksesan alih pengetahuan Keterbatasan dan Saran
SI-03
21
Sampel penelitian yang rendah disebabkan sample target yang memerlukan pasangan serasi TMT dan eksekutif STI dalam setiap organisasi. Meskipun tingkat yang mencapai 59.3% (178 dari 300 organisasi) namun hanya 69% sampel yang dapat diolah. Kerangka sampling yang digunakan tidak secara acak disebabkan sulitnya memperoleh akses masuk untuk mendapatkan responden yang sesuai target, sehingga jenis industri menjadi terbatas. Memakai model penelitian ini untuk penelitian selanjutnya dengan tingkat respon yang tinggi disertai kerangka sampel yang besar akan menjadikan hasil penelitian tersebut lebih kuat untuk digeneralisasi. Prosedur penelitian dalam mengidentifikasi kandidat antiseden alih pengetahuan mengabaikan hambatan lain yang mungkin mempengaruhi. Memasukkan faktor-faktor lain pada model penelitian yang telah dijustifikasi memiliki pengaruh pada alih pengetahuan, dapat memberikan hasil yang bermanfaat bagi penelitian selanjutnya. Instrumen penelitian alih pengetahuan diadaptasi dari penelitian sebelumnya. Mengembangkan instrumen yang lebih cocok untuk alih pengetahuan dalam konteks situasi organisasi bisnis diIndonesia akan memberikan hasil yang lebih bermanfaat Implikasi Penelitian Penelitian ini mencoba menguji bagaimana TMT dan eksekutif STI melakukan alih pengetahuan dalam organisasi. Hubungan ini diuji melalui peran faktor pengetahuan, motivasi dan iklim organisasi antara TMT dan eksekutif STI. Penemuan penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan kita mengenai bagaimana alih pengetahuan antara TMT dan eksekutif STI dikembangkan sehingga tercapai keselarasan SIS dalam organisasi.
SI-03
22
Dari perspektif akademisi, penelitian ini memberikan beberapa implikasi, antara lain: pertama, penelitian ini merupakan salah satu dari sedikit penelitian yang secara empiris menginvestigasi perspektif pengetahuan TMT dan eksekutif STI yang dikatakan berpengaruh pada keselarasan SIS. Dengan memfokuskan dampak alih pengetahuan pada keselarasan SIS, penelitian ini memberikan sebuah perspektif baru dan pengamatan teoritikal yang baru untuk menguji fenomena dan membuka kesempatan baru untuk penelitian lebih lanjut. Kedua, alih pengetahuan merupakan sebuah proses yang berlangsung secara terus-menerus sehingga penggunaan data lintas bagian hanya dapat digunakan untuk kesimpulan bukan untuk pembuktian. Sebuah penelitian ethnografik alih pengetahuan pada alih pengetahuan merupakan metoda alternatif agar kekuatan eksplanatori dapat tercapai. Dari perspektif praktisi, penelitian memberikan beberapa implikasi, antara lain: pertama, penelitian ini memberikan arahan untuk meningkatkan pengetahuan antara TMT dan eksekutif STI. Hal ini penting, karena dari hasil penelitian terlihat dengan alih pengetahuan yang efektif antar kedua pihak dapat mendorong terjadinya keselarasan SIS dalam organisasi. Kedua, kekakuan hubungan antar kedua belah pihak harus dikurangi. Disarankan sangat penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang memungkinkan terjadinya tingkat interaksi yang tinggi, menjaga hubungan mereka dan memfasilitasi alur dan interpretasi pengetahuan yang lebih tepat. Ketiga, kemampuan mengabsorbsi juga terlihat memberikan pengaruh yang berarti bagi alih pengetahuan. Kemampuan ini memungkinkan unit penerima untuk
SI-03
23
mengimplementasikan dengan baik pengetahuan yang dialihkan unit sumber. Hasil ini dapat digunakan dalam menyeleksi individu dalam proses perekrutan, karena akan mempengaruhi kinerja nantinya. Keempat, menciptakan iklim organisasi yang berkarakteristikkan keadilan merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan untuk dapat mendorong kinerja karyawan. Kelima, Meskipun faktor motivasi terbukti tidak memberikan pengaruh yang berarti pada alih pengetahuan, pimpinan organisasi disarankan tetap memperhatikan kebutuhan karyawannya. Sesuai dengan teori umum yang berlaku yang menyatakan bahwa seseorang melakukan suatu tindakan didasari suatu pengharapan, maka penelitian ini menyarankan untuk tetap menjaga motivasi karyawan agar tidak terjadi penurunan semangat kerja yang dapat berdampak buruk pada kinerja.
SI-03
24
DAFTAR PUSTAKA Alamsyah, C dan Wijayanto, S.H. 2005. Peranan ambiguity dalam proses alih pengetahuan melalui aliansi strategis: studi empiris di Indonesia. Simposium Nasional Mahasiswa dan Alumni Pasca Sarjana Ilmu-Ilmu Ekonomi UGM, Yogyakarta Argote, L., dan Ingram, P. 2000. Knowledge transfer: a basis for competitive advantage in firms, Organizational Behavior and Human Decision Process (82:1), pp. 150169 Barney, J. 1991. Firm resources and sustained competitive advantage. Journal of Management (17), pp 99-120 Bock, G., Zmud, R.W, dan Kim, Y. 2005. Behavioral intention formation in knowledge sharing: examining the roles of extrinsic motivators, social-psychological forces and organizational climate, MIS Quarterly (29:1), pp. 67-111 Buckman, R.H. 1998. Knowledge sharing at Buckman, Journal of Bussiness Strategy (19:1), pp. 11-15 Burgess, D. 2005. What motives employess to transfer knowledge outside their work unit ?, Journal of Business Communication, pp 324-348 Chan, Y. 2002. Why haven’t we mastered alignment? the inportance of the informational organization structure, MIS Quarterly Executive, (1:2), pp97-112 Chan, Y., dan S. Huff. 1993. Strategic information systems alignment, Business Quarterly, (58:1), pp 1993 Chan, Y., S. Huff, et al. 1997. Business strategic orientation, information systems, strategic orientation, and strategic alignment, Information Systems Research, (8:2) pp 125-151 Cohen, W.M dan Levinthal. 1990. Absorptive capacity: a new perspective on learning innovation. Administrative Science Quarterly, (35), pp 128-152 Constant, D., Kiesler, S., dan Sproull, L. 1994. What’s mine is ours, or is it? A study of attitudes of information sharing, Information Systems Research, (5:4), pp 400421 Daghfous, A. 2004. Absorptive capacity and the implementation of knowledgeintensive best practices”, SAM Advanced Management Journal, pp. 21-27 Darr, E., dan Krutzberg, T. 2000. An investigation of partner similarity dimensions on knowledge transfer, Organizational Behavior dan Human Decission Process (82:1), pp 28-44
SI-03
25
Gerwin, D., dan Moffat, L. 1997. Withdrawal of team autonomy during concurrent engineering. Management Science (43:9), pp. 1275-1287 Gold, A.H., Maholtra, A., dan Segars, A.H. 2001. Knowledge management: an organizational capabilities perspective, Jurnal of Management Information System (18:1), pp. 185-214 Grant, R.M. 1991. The resource-based theory of competitive advantage: implications for strategy formulation, California Management Review (33:2), pp. 114-135 Grover, V., dan Davenport, T.H. 2001. General perspective on knowledge management: fostering a research agenda, Journal of Management Information System, (188:1), pp. 5-21 Hartono, J. 2005. Sistem Informasi Strategik, Andi Pustaka, Yogyakarta Henderson, J.C., dan Venkrataman. 1999. Strategic alignment:leveraging information technology for the transforming organizations, IBM Systems Journal, (38:3), pp 472-485 Hirschheim, R., dan Sabherwal, B. 2001. Detours in the path toward strategic information systems alignment, California Management Review (44:1), pp 87108. Huber, G. Organization learning: the contributing process and the literature. Organization Science (2:1), pp. 88-115 Indriantoro, N., dan Supomo, B. 2002. Metodologi penelitian bisnis: untuk akutansi dan manajemen, BPFE, Yogyakarta, Inkpen, A.C., dan Tsang, E.W. 2005. Social capital, networks and knowledge transfer, Academy of Management Review (30:1), pp. 146-165 Kankanhanlli, A., Tan, B.C.Y., dan Wie, K. 2005. contributing knowledge to electronic knowledge repositories: an empirical investigation”, MIS Quarterly (29:1), pp. 113-143 Ko, D., Kirsch, L.J., dan King, W.R. 2005. Antacedent of knowledge transfer from consultant to clients in enterprise system implementation, MIS Quarterly (29:1), pp. 59-85 Kim, W.C., dan Mauborgne, R. 1997. Fair process: managing in the knowledge economy, Harvard Bussiness Review (75:4), pp. 65-75 Lane, Peter J., Salk, Jane E., dan Lyles, Marjorie. 2001. Absorptive capacity, learning and performance in International joint ventures, Strategic Management Journal, (22), pp 1139-1161
SI-03
26
Lederer, A.L dan Mendelow, A.L. 1987. Information resource planning: Overcoming difficulties in identifying top management’s objectives. MIS Quarterly (11:3), pp 388-400 Luftman, J., dan Brier T. 1999. Achieving and Sustaining business-IT alignment, California Management Review¸ (42:1), pp 109-122 Nelson, K. M., dan Coprider, J. G. 1996. The contribution of shared knowledge to IS group performance, MIS Quarterly, (20:4), pp 409-429 Nonaka, L. 1994. A dynamic Theory of organizational creation. Organizational Science (5:1), pp 14-37 O’Dell, C., dan Grayson, C.J. 1998. If only we knew what we know: identification and transfer best practices, California Management Review (40:3), pp. 154-174 Osterloh, M., dan Frey, B.S. 2000. Motivation, knowledge transfer, and organizational forms, Organization Science (11:5), pp 538-550 Pawlowski, S.D., dan Robey, D. 2004. Bridging user organizations: knowledge brokering and the work of information technology professionals, MIS Quarterly (28:4), pp. 645-672. Powell, T.C., Lovallo, D dan Caringal, C. 2006. Causal ambiguity, management perception and firm performance. Academy of Managemet Review (31:1), pp 175196 Preston, D. 2004. Mechanisms for the development of shared mental models between the CIO and the top management team, Unpublished Doctoral Dissertation, University of Georgia, Athens, Georgia Preston, D., dan Karahanna, E. 2004. Mechanisms for the development of shared mental models between the CIO and the top management team, Twenty-Fifth International Conference on Information System, pp 465-478 Rathnam, R.G., Johnsen, J dan Wen, H.J. 2004. Alignment of business strategy and IT strategy: a case study of a fortune 50 financial services company. Journal of Computer Information Systems, pp 1-8 Reagans, R., dan McEvily, B. 2003. Network structure and knowledge transfer: the effects of cohesion and range, Administrative Science Quarterly, pp 240-267. Reed, R dan DeFllipi. 1990. Causal ambiguity: barrier to immitation, and sustainable competitive advantage. The Academy of Management Review (15:1), pp 88-102 Reinch, B.H dan I. Benbasat. 1996. Measuring the lingkage between business and information technology objectives, MIS Quarterly, (20:1), pp 55-62
SI-03
27
Reinch, B.H dan I. Benbasat. 2000. Factors that influence the social dimensions of alignment between business and information technology objectives, MIS Quarterly, (24:1), pp 81-114 Sabherwal, R., dan Chan, Y.E. 2001. Alignment between business and IS strategies: A study of prospectors, analyzers and defender, Information Sytems Research, (12:1), pp 11-34 Sekaran, U. 2000. Research methods for bussiness: a skill approach, Wiley and Son Inc, New York. Szulanski, G. 1996. Exploring stickness: impediments to the transfer of best practices withing the firm, Strategic Management Journal, 17(Winter special issue), pp 27- 43 Teece, D.J. 1998. Capturing value from knowledge assets: the new economy, market for know-how, and intangible assets, California Management Review (40:3), pp. 5579 Thomas, C.C. 1991. IT derectors and IT strategy. Journal of Information Technology (6), pp 192-203 Tsai, W. 2001. Knowledge transfer in intraorganizational networks: effects of network position and absorptive capacity on business unit innovation and performance, Academy of Mnagement Journal (44:5), pp 996-1004 Wasko, M.M., dan Faraj, S. 2005. Why should i share? examining social capital and knowledge contribution in electronic networks of practice, MIS Quarterly (29:1), pp. 35-57\ Zahra, S.A dan George, G. 2002. Absorptive capacity: a review, reconceptualization and the extension. Academy of Management Review (27:2), pp 185-203)
SI-03
28