BAB III
Homeland Magelang
Meeting tepat dimulai jam sembilan. Joe mendampingi Pak Bambang, dirut PT Adi Semesta Tbk. beserta bawahannya. Di seberang meja, duduk wakil dari PT Lestari Jaya. Selain itu ada wakil dari Bank, dan juga lima orang lawyer dan notaris. Agenda meeting adalah membahas pembentukan Joint Operation dalam industri agrobisnis di Sleman. Meeting berjalan lancar dan selesai dalam waktu satu setengah jam. Setelah itu dilanjutkan dengan makan siang. Sekitar jam dua belas, mereka berpisah. Joe sudah berada di kamar. Dia tekan tombol di Hpnya. “Selamat Siang. Bisa dengan Novi?” “Selamat Siang.” “Bisa dengan Novi?” “Novi yang mana ya?” “Psikologi UGM.” Jawab Joe singkat. “Oh, barusan keluar ke Gramedia. Dari mana ini?“ “Temennya. Terimakasih.“ “Ada pesan?“ “Nggak. Terima kasih. Selamat Siang.“ Joe keluar dari kamar hotel. Berjalan cepat menuju Matahari Malioboro Mall. Membeli beberapa pakaian santai. Kembali ke hotel, melangkah ke resepsionist. “Mbak tolong panggilkan taksi ya. Lima menit lagi saya turun. Terima kasih.” Joe masuk ke lift menuju kamarnya. Berganti pakaian. Turun ke lobi dan langsung naik ke taksi. “Selamat Siang Pak.” “Siang. Tolong ke Gramedia Pak.“ Hanya dalam waktu lima menit, taksi sampai di Gramedia. Joe memberikan uang dua puluh ribuan dan langsung keluar. “Pak kembaliannya pak?” “Ambil aja pak buat rokok.“ “Wah Terima kasik banyak Pak.“ Joe masuk ke Gramedia. Di lantai satu nggak ada Novi. Baru di tempat buku kuliah, Joe melihat Novi. Masih tetap menarik, pikir Joe. Joe mengambil tiga buah komik Tintin dan berjalan mendekat. “Hai.” Novi menoleh dan tersenyum. Senyumnya menggetarkan hati Joe. Lagi-lagi Joe terpesona dengan matanya yang jernih. “Hai, Joe. What’s so coincidence.” “Right. Aku sedang nyari buku buat keponakanku. Aku lihat kamu“ Joe berbohong tetapi tidak ada seorangpun yang akan dapat mengetahuinya karena suara Joe yang mantap tanpa keraguan. Bahkan alat deteksi kebohongan pun mungkin tidak bisa mendeteksinya. Delapan tahun pengalamannya sebagai konsultan pajak telah membuatnya mahir berbohong. Tidak ada hari tanpa kebohongan. Apalagi bila ada meeting dengan orang pajak. “Katanya mau langsung ke Jakarta?” “Nggak. Aku pikir bener juga yang kamu bilang kemarin Nov.” Sekarang Joe ber-aku kamu dalam ucapannya dengan Novi. Biar tambah akrab pikirnya.
“Sendirian?” “Nggak. Tuh banyak orang lagi cari buku. Emang dukun lagi nyepi apa.“ Joe ketawa lepas. “Aku sendirian. Bosen. Belajar di kos. Sekalian nyari buku buat bahan tambahan untuk ujian Rabu depan.” “Udah lama?“ “Barusan aja kok.” “Udah makan?“ “Belon. Mau traktir?“ Joe tersenyum. Dia suka akan keceriaan Novi. “Boleh. Dasar mahasiswa. Maunya gratis melulu“ Novi tertawa riang. Joe mengambil komik Tintin lainnya. Komplit. Novi memujinya. “Gitu dong. Sayang keluarga. Masak sayang kerjaan melulu.” Joe tersenyum. “Naik apa?” “Naik mobil. Kamu?” Novi sekarang juga ber-aku kamu. “Naik taksi.“ “Katanya boss. Kok naik taksi.” Joe tersenyum lagi. “Ya udah naik mobilku aja, yuk.” *** Mobil Honda Civic Nova putih buatan sekitar tahun 1991 pun meninggalkan halaman parkir Gramedia. Meskipun sudah berumur belasan tahun, mobil itu tampak masih reliabel dan terawat. Interiornya bersih dengan nuansa silver. Jok kulit, dashboard, doortrim, semuanya berwarna Silver dengan kombinasi warna abu-abu muda. Beberapa boneka kecil berwujud anak-anak dan anjing terpasang di atas dashboard. Boneka anjing dari bulu berada di belakang. “Makan dimana kita sekarang.” “Terserah. Kamu yang lebih tahu daerah sini.” “Suka masakan Jepang.“ “Boleh.“ Nova putih itu pun berjalan menuju arah Tugu. “Jam berapa ke Magelang?“ “Ini. Habis makan langsung ke Magelang. Mau nganter?“ “No way.“ Joe tertawa. Kemudian Novi bercerita tentang kota Yogya. Suara lagu Kla Project keluar dari gelombang radio RRI yang ditangkap tape Nakamichi. Lagunya? Pas banget. Yogyakarta. Restoran Jepang itu tidak begitu ramai. Mereka duduk di sudut dalam restoran. Joe permisi ke rest room. Novi menelpon kosnya. Sepuluh menit kemudian, pelayan datang membawa makanan yang mereka pesan. Joe makan sedikit karena sebelumnya sudah makan. Sementara Novi makan dengan lahap. Dasar mahasiswa, pikir Joe. Joe teringat waktu dia kos di Yogya dulu. Dengan uang saku terbatas, Joe makan paling banyak dua kali sehari. Kadang kalo malam, beli makan dengan nasi yang banyak, dibawa pulang dan makan di kos. Sisa makanan untuk sarapan besok paginya. Joe selalu sedia Abon di kamar kosnya. Hemat itu perlu. Joe tidak mau menyusahkan ibunya, seorang pegawai negeri dengan gaji kecil. Joe makan sambil memperhatikan Novi. Wajah yang menarik itu begitu ceria.
Joe pun cerita tentang ayahnya yang dulu guru SMA. Tentang keluarga ayahnya yang hampir semuanya masih tinggal di Magelang. Tentang kikuknya dia waktu diajar ayahnya sendiri di SMA. Cerita tentang kenakalannya waktu SMA. Membolos. Mengunci pintu sehingga guru tidak bisa masuk mengajar di kelas. Cerita tentang guru yang masuk dan mendapati hanya seorang murid di kelas. Yang lainnya pulang duluan. Membolos dan memboikot. Novi tertawa waktu Joe cerita bahwa satu-satunya anak yang tetap tinggal di kelas sementara yang lain membolos malah seperti ditegur karena nggak ikut pulang. Novi simpati pada masa kecil Joe waktu SMA. Sangat menyenangkan. Jauh menyenangkan di banding dirinya yang hanya diisi les melulu atas perintah papanya. Sekarang dia sudah bebas menentukan apa yang dilakukannya di Yogya. Tetapi tetap hampir tiap hari dia tilpon mamanya. Dua minggu sekali pulang ke Jakarta. “Masa SMA kamu sangat menyenangkan.” “Ya, sangat menyenangkan sampai saat ayah meninggal.” Joe kemudian menceritakan musibah itu. “Waktu itu ayah sedang akan berangkat kerja sambil mengantar adikku. Rina, yang masih kelas enam SD. Sewaktu akan menyeberang jalan raya depan sekolah. Ada kendaraan umum yang melaju kencang. Sepeda motor ayah hancur. Adikku tewas seketika disaksikan teman-temannya yang baru datang ke sekolah. Ayah luka parah tetapi sempat berjalan menggendong tubuh adik. Mencium pipi dan rambut adik yang penuh darah sambil menangis. Kemudian pingsan karena luka di kepalanya. Dua hari beliau dirawat sebelum menyusul adikku. Selama dua hari itu dia selalu menggumam memanggil nama adik.” Novi tercekat mendengar cerita Joe. Sungguh tragis dan menyedihkan. “Rina merupakan buah hati keluarga. Kami sekeluarga sangat menyayanginya. Kami sangat terpukul. Aku sangat merasa bersalah karena hari itu bukan aku yang mengantar Rina seperti biasanya. Ibu sangat terpukul dan terkena depresi berat. Sempat dirawat sebulan di rumah sakit jiwa. Tekanan jiwa membuat Ibu tidak sanggup mengajar sejak saat itu dan memilih pindah ke bagian tata usaha.“ “Kasihan sekali Ibu ya.“ “Tapi itu cerita lima belas tahun lalu. Seluruh kesedihan hampir sudah terhapus oleh waktu. Terutama aku.” “Jelas. Kerja kayak robot gitu. Mana sempet mikir yang lain. Mikir diri sendiri aja kagak” ledek Novi. Joe tersenyum. “Mau dengerin lanjutannya nggak?” “Oke..Oke. Terus?” Novi menggerakkan jarinya di depan bibirnya. Menirukan gerakan mengunci pintu. “Sejak itu aku berubah. Dari anak yang agak bandel dan ceria menjadi agak pendiam, suka menyendiri, tambah sering membolos dan mulai merokok. Suatu hari aku ketahuan kakakku. Aku dipukulnya habishabisan. Ibuku tahu kejadian itu. Ibu menangis dan dua hari tidak mau makan serta hanya berbaring di kamar. Aku dan kakakku sedih sekali dan merasa bersalah. Akhirnya Ibu mau makan setelah kami sujud menangis dan meminta maaf.“ Novi mengusap matanya agak berkaca-kaca dengan tisu. “Aku berjanji tidak akan merokok lagi seumur hidup dan akan belajar terus. Kakakku berjanji tidak akan memukulku lagi dan akan menyayangi dan melindungiku selamanya. Sejak itu, aku tidak pernah merokok sebatang pun dan kakakku pun tidak pernah memukulku“ “Seperti novel saja ceritamu.“ “Betul. Memang seperti novel yang sudah selesai.“ “Aku yakin belum selesai Joe. Kamu mungkin merasa sudah, tapi Ibumu mungkin belum” “Maksud kamu?” “Kapan terakhir kamu pulang ke Magelang.“ Novi balik bertanya. “Tiap lebaran aku pulang.“ “Berapa hari?“ “Dua tahun pertama aku bekerja di Jakarta aku selalu pulang waktu lebaran. Sekitar sepuluh hari.“ “Habis itu?“ “Cuma waktu lebaran. Tapi aku bisa beliin rumah buat ibu dan kakakku. Beliin mobil“ Joe agak membela diri. “Ibumu lebih perlu kehadiranmu yang lebih sering daripada barang-barang itu.“ Novi agak sinis.
“Kok kamu sinis sih“ “Sorry. Tapi itu betul. Aku mengalaminya. Papaku tidak pernah memperhatikan aku. Dipikirnya uang, mobil, dan sebagainya bisa menggantikan waktu bercanda sekeluarga?“ Novi setengah bertanya. “Tidak bisa Joe. Tidak bisa.“ “Ok sudahlah. Kita pulang aja ya.“ Joe meminta bill dan membayar dengan kartu Diners Clubnya. “Ok. Thanks sudah ngantar aku makan.” “Trims atas traktirannya juga.” “Langsung pulang ke kos?” tanya Joe sambil berjalan keluar. “Ya. Kamu tadi telepon ke kos ya?” “Kok tahu?!” Cerdas juga ini cewek. “Kamu ke Gramedia karena temenku ngasih tahu aku ke sana kan. Bukan beliin buku ponakanmu, kan?“ Wajah Joe memerah. Tersipu-sipu. “Nggak. Emang aku mau pulang Magelang dan beliin hadiah buat keponakanku.“ “Ala. Ngaku aja. Nggak usah bohong. Jangan-jangan habis ini langsung ke Jakarta nih.“ “Enak aja.“ “Nggak percaya! Kamu harus dikawal kayaknya biar nggak kabur ke Jakarta. Aku antar kamu deh ke Magelang.“ “Ntar kamu capek bolak-balik. Katanya mau ujian. Bohong ya?“ “Enak aja. Emang kamu. Kalo nggak mau dianter. Aku ikutin dari belakang sampai aku yakin kamu benarbenar ke Magelang.“ “Ok, deh. Tapi dengan dua syarat.“ “Apaan tuh?“ “Pertama, aku yang nyetir.“ “ Mmmm... Kamu kan sering disopirin dan aku sayang banget sama Novaku. Nggak ada yang pernah aku ijinin nyetir sejak aku SMA kelas satu.“ “Kalo gitu nggak jadi. Aku naik taksi aja. Siapa tahu bisa lepas dari kamu dan langsung ke bandara.“ ancam Joe. Joe sebenarnya merasa bangga dan senang sekali diantar Novi. “Oke...Oke... deh. Syarat kedua?“ “Ini lebih berat buat kamu.” “Apaan?” Novi penasaran “Kamu boleh tidur.“ “Terus?“ “Tapi nggak boleh mendengkur. Ok?“ “Sialan kamu. Emang kamu, mendengkur keras di pesawat. Aku yang disampingmu jadi malu tau“ tangannya mencubit lengan Joe. Joe meringis kesakitan dan tertawa. Mobil melaju di jalan raya. Kecepatan 80 km per jam. Jam di mobil menunjukkan hampir pukul 2 siang. “Keberatan kalo aku kenceng.“ “Asal nggak melebihi 100 km/jam.” “Ok. Mobil kamu masih bagus.“ “Tentu dong siapa dulu dong yang ngerawat“ “Ya deh. Dulu aku juga pakai Nova tapi tahun 1988“ “O ya? Sekarang masih.“ “Aku bilang dulu tuh berarti sekarang nggak kan? Gimana sih kamu?“ Bego juga gua, pikir Novi. “Dijual.“ “Kecelakaan di tol, mobil rusak parah tapi aku nggak luka sedikit pun. Jadi, langsung aku jual aja. Habis itu aku beli Civic Ferio” “Penggemar Honda rupanya.“ “Nggak juga. Kebetulan ada temenku jual Ferio yang baru dibelinya. Tapi Honda enak kok. Mesinnya halus.” “Masih pakai Honda sekarang?” “Nggak ada lagi. BMW.”
Joe sangat menikmati perjalanan Yogya Magelang. Seperti nostalgia waktu kuliah dulu. Apalagi didampingi gadis yang menarik hatinya. Tiba-tiba Joe merasa seperti muda kembali seperti saat SMA. Sewaktu Rina masih ada. Sewaktu Joe dan geng-nya sering ngapelin cewek-cewek yang manis di SMAnya, kakak kelas sekali pun. Sampai pernah hampir berkelahi dengan kakak kelasnya. Dan Novi yang menghadirkan suasana itu kembali. Suasana yang penuh semangat dan harapan hidup. Bukan sekedar semangat untuk bekerja seperti robot. Tidak sampai satu jam mereka sampai kota Magelang setelah sempat mampir di tape ketan Muntilan untuk membeli oleh-oleh. Rumah yang dibeli Joe dua tahun yang lalu itu cukup besar. Terletak di jalan Potrobangsan, di tengah kota. Halamannya luas cukup untuk tiga mobil. Sebuah Kijang baru ada di garasi. Joe memarkir mobil di depan pintu garasi. Dua orang anak kecil membuka pintu rumah dan berlari menyambutnya. Di belakangnya berjalan pelan ibu, Andi. “Rendi. Resti. Apa kabar sayang.“ Rendi berumur sebelas tahun sementara Resti berumur sepuluh tahun. Andi menikah dua tahun setelah kecelakaan Ayahnya. Andi tidak mau melanjutkan kuliah dan memilih berdagang pakaian di pasar. Pada awalnya Ibu keberatan. Tapi melihat tekad Andi dan alasannya bahwa dia tidak secerdas Joe jadi lebih baik dananya untuk biaya kuliah Joe, akhirnya Ibu merestui Andi. Sungguh kakak yang baik. Usahanya tidak begitu berkembang, tetapi cukup untuk hidup sederhana. Andi dan istrinya mensyukuri setiap berkat yang mereka terima. Beruntung Joe sukses dalam karirnya sehingga dapat membelikan rumah dan mobil buat Ibu dan kakaknya. Joe memang merasa berhutang budi pada kakaknya yang rela berkorban untuk biaya kuliahnya. Joe memang ingin membahagiakan mereka. Selama ini, Joe merasa cukup dalam usahanya membahagiakan kakak dan ibunya. Joe mencium pipi mereka. Menggendong dan melempar-lemparkan mereka bergantian ke udara. Mereka tertawa menikmatinya. Sesuatu yang selalu dilarang ibunya. Tidak baik buat otak anak kecil katanya. Tapi Joe tidak perduli. “Apa kabar Joe?” “Baik Mas.” mereka berpelukan singkat. Kemudian Joe mencium pipi ibunya dan memeluknya. Mata Ibu berlinang air mata. Novi yang berdiri agak jauh tersenyum. Tenggorokannya seperti tercekat. Terharu juga dia. Selintas Novi ingat cerita Joe tentang keluarganya. Tidak ada sisa kesedihan di wajah Ibu. Yang ada hanya rona ketegaran di wajahnya. Wajah lembut keibuan tetapi tegas ditempa pengalaman pahit masa lalunya. “Kamu baik-baik saja kan di Jakarta.“ “Ya, bu. Berkat doa ibu.“ Sementara Andi memegang kepala kedua anaknya. Berjalan ke arah Novi. “Halo. Andi.“ Andi mengulurkan tangannya ke Novi. Novi tersenyum. “Novi.“ “Silahkan masuk.“ “Terima kasih.“ “Ayo Rendi, Resti cium tangan tante Novi.” Novi tersenyum dan mengulurkan tangannya. Mencium kedua anak manis itu. Busyet. Gue dibilang tante. Mbak kek. Emang udah kelihatan tua apa wajahku ini. “Halo, adik. Aduh, manisnya. Udah kelas berapa sekarang?“ “Lima“ “Kelas empat SD.“ Ibu tersenyum ke arah Novi. Memeluk dan mencium kedua pipinya seolah anaknya sendiri. Jangan-jangan gue dikira pacar anaknya.
“Silakan masuk nak Novi.“ “Ya, bu.“ Mereka pun berjalan masuk ke rumah. “Mbak Diah mana Mas.“ “Sedang masak di dapur. Masak senerek kesukaan kamu.“ Senerek adalah sebutan orang Magelang untuk sup kacang merah. Brenebon kata orang Manado. “Libur berapa hari kamu Joe?“ “Cuma sabtu minggu bu. Besok siang pulang Jakarta.“ Joe sudah mengganti jadwal kepulangannya ke agen Garuda. Suatu hal yang mudah buat orang dengan kedudukan dan relasi seperti Joe. “Kok cepet.“ “Mau yang malam sudah full booked. Senin pagi ada meeting di Jakarta.” Joe membela diri. “Kasihan anak-anak tuh, Joe. Beberapa kali telpon rumah dari sekolahnya. Nanyain kamu udah datang belum. Pulang sekolah duduk melulu di depan nungguin kamu.“ Joe tersenyum senang dan bangga. *** Sore itu, Joe duduk bertiga di beranda dengan kakak dan ibunya. Sementara Novi menemani Diah memasak di dapur. “Pacar kamu Joe?“ “Bukan. Saya baru kenal tadi malam di pesawat.“ “Cepet akrab banget kamu. Nggak biasanya. Udah berapa kali aku tawarin anak-anak dari kenalan Ibu nggak pernah mau.“ Joe tersenyum mendengar ucapan ibunya. Joe memang belum pernah cerita tentang Vena kepada ibunya. Dia sendiri masih ragu apa mungkin akan jalan terus dengan Vena. Mengingat kesibukan masing-masing dan gaya hidup Vena yang berbeda. Maklum Vena hidup di lingkungan yang kaya raya sejak kecil. “Anaknya baik kayaknya Joe. Ibu bisa menilai kepribadian orang dengan hanya melihatnya lho“ “Iya. Baik sekali. Sangat perhatian bu anaknya. Kayak Ibu deh orangnya. Suka ngguruin.” “Nasihatin. Bukan ngguruin.“ Ibu Joe memprotes ucapan Joe. Joe dan Andi tersenyum. “Iya. Iya. Dia cuma temen kok.“ “Udah punya pacar belum?” “Siapa. Saya maksudnya?“ “Novi dong. Kalo kamu sih aku yakin belum ada. Kerja melulu sih.“ Andi menambahkan. “Nggak tahu bu. Emang kenapa. Orang cuma teman kok. Nggak ada maksud lain kok.“ Joe tidak berbohong. Meski diakuinya bahwa dia jatuh hati pada Novi, mungkin cinta pada pandangan pertama. Tapi Joe masih ragu. Pertama, dia baru kenal dan belum mengenal kepribadian Novi selengkapnya. Kedua, Novi mungkin sudah mempunyai pacar. Ketiga, Novi masih kuliah dan sulit untuk mengatur waktu untuk bertemu. Keempat, tuntutan pekerjaan Joe kayaknya tidak sesuai dengan prinsip Novi yang kayak agak anti uang. Jatuh cinta gampang. Tetapi tetap mencintai itu yang sulit. Yang terakhir tetapi yang terpenting, Joe telah mempunyai Vena. “Ya sudah. Tapi Ibu menyukainya lho Joe.” Ibu mencoba menjelaskan. “So what? Ibu mau melamarnya buat istri kedua Mas Andi?” “Mendem kowe le.” Kata Ibunya sambil menahan senyum. Joe dan Andi tertawa. “Ngomong-omong. Gimana kabar keluarga di Magelang bu. Masih sering main?” Joe mengalihkan pembicaraan. *** Sop senerek bikinan kakak iparnya itu enak sekali. Meski hari ini sudah makan tiga kali. Tapi Joe habis dua mangkuk. Novi tersenyum dan meledek. “Kayak orang baru pulang dari mendaki gunung.”
Joe tersenyum. “Ayo. Aku ajak jalan-jalan. Kamu belum pernah ke Magelang kan?“ “Pernah. Tapi cuma nglewatin doang kalo pas ke Semarang.“ “Yah. Payah. Udah tiga tahun di Yogya, belum pernah ke Magelang. Kalo ada waktu sih sebenarnya aku pengin ngajak kamu ke Kopeng. Empat puluh lima menit ke arah Salatiga. Puncak nggak ada apa-apanya tahu.” Tak berapa lama kemudian, Nova putih itu pun melaju keluar rumah. Joe mematikan AC dan membuka kedua jendela. “Lebih segar udara luar daripada AC, ya nggak?“ Novi menganggukkan kepalanya. Setuju. Joe mengarahkan mobilnya melewati kompleks Angkatan Darat. “Ini lapangan Rin namanya. Dulu waktu aku SMP, kegiatan olahraga selalu dilakukan disini.“ Joe mengarahkan mobilnya melewati Jalan Tendean dimana ada meriam dan tank yang tidak dipakai lagi. Dipajang disana. Melewati depan toko Matahari, belok ke kanan “Ini Alun-alun. Nah itu Mesjid Gede namanya.“ Jalanan agak menurun. Jauh didepan sana tampak lembah gunung yang indah. Kemudian belok kiri menyusuri jalan dengan pohon-pohon rindang di kedua sisinya. Sangat nyaman. “Nah itu SMA ku dulu. SMA Negeri Satu.“ Joe belok kanan dan melewati depan sekolahnya dulu. Masih tetap seperti dulu tidak ada perubahan. “Nah itu warung soto tempat kami nongkrong kalau membolos sekolah atau tidak ikut upacara bendera atau senam pagi. Pernah dulu ketangkep guru dan kami disuruh senam di siang hari bolong selama dua jam. Ada cewek yang nggak kuat terus pingsan. Tapi yang lain tetap disuruh senam.” “Rasain. Bandel sih kalian. Nggak disiplin.“ Mereka melewati sebuah taman wisata. "Itu Taman Kyai Langgeng. Kebanggaan orang Magelang. Tapi aku sendiri baru dua kali masuk ke sana seumur hidup.“ “Enak juga kayaknya.“ “Eh kamu suka es teler nggak.“ “Suka.“ “Satu hal yang tidak pernah aku lewati kalo pulang Magelang adalah minum es teler durian di Es Murni. Tidak ada yang mengalahkannya di Yogya maupun Jakarta“ Joe pun mempercepat laju Civic Nova itu. *** “Enak sekali Joe.“ Novi memuji es teler durian yang baru habis diminumnya. Sementara Joe baru mulai meminum es teler durian mangkuk yang kedua. Joe tersenyum. “Aku pesenin buat rumah ya Joe.“ “Ok.“ “Pesan apa ya?“ “Anak-anak es krim Coklat aja. Mereka tidak suka es teler. Ibu, Mas Andi dan Mbak Diah boleh es teler durian. Eh, Ibu es teler saja. Nggak usah pakai durian. Dia nggak suka durian.“ “Ok boss.“ Sambil terus meminum esnya, Joe mengamati tubuh yang tinggi semampai itu berjalan ke kasir dan memesan minuman. Dia sadar bahwa saat itu dia sungguh telah merasa jatuh cinta pada Novi. Joe kembali memulai pembicaraan setelah Novi kembali ke bangkunya. “Nov. Ibu pengin kamu menginap di rumah. Kemaleman pulang ke Yogya.” “Justru aku nggak enak sama kamu dan keluargamu. Sehari yang lalu aku belum kenal kamu. Masak sekarang udah tidur di rumahmu. Aku sih tipe yang cuek dan positif thinking. Cuma aku kan perlu menjaga pandangan orang termasuk temen-temen kosku.“
“Oke. Gini aja. Ntar biar ibuku telpon ibu kamu. Terus kamu minta ibu kamu telpon ke Yogya ngasih tahu bahwa kamu malam ini menginap di rumah saudara. Beres kan“ Joe terbiasa cepat mengambil keputusan dan memecahkan masalah. Novi berpikir sejenak. “Ibu kamu kan nggak kenal Ibuku?“ “Gampang. Ibuku tuh orangnya super supel. Pasti beres. Ok?“ “Ntar deh. Aku pikirin sambil jalan pulang. Yuk. Udah mau Maghrib nih“
Setelah dibujuk ibu Joe dan mbak Diah, Novi pun bersedia menginap. Ibu Joe menelpon mama Novi. Mama Novi mengijinkan tapi minta waktu agar bisa bicara dengan Novi. “Biar saya bilangin dulu agar tidak merepotkan Jeng Ratna“ Ratna adalah nama panggilan ibu Joe. “Nggak kok. Malah membantu mantu saya masak. Sebentar ya Jeng. Nak Novi, ibu nak Novi ingin bicara nih.“ “Makasih tante. Halo bu.” “Kamu nggak pa pa, Novi?” “Don’t worry ma.” “Ok. Jangan malu-maluin dan ngrepotin mereka ya.“ “Oke ma. Saya nggak akan ngrepotin kok. Nanti malam saya telpon ya. Setelah jam delapan. Mama di rumah kan?” “Ya, Mama tunggu ya.” “O, ya Ma. Tolong telpun ke kost ya. Bilangin saya di rumah saudara gitu. Biar ibu kos tidak cemas.” “Baik. Nanti mama telpon deh” *** Jam delapan Joe pamit kepada ibunya mau jalan-jalan bersama Novi. Sepuluh menit kemudian Novi sudah di dalam bilik telepon. Sementara Joe menunggu di luar gedung sambil menjaga mobilnya. “Halo Ma.“ “Oke. Cerita dong ke Mama. Siapa dia dan kok baru sekarang kamu kasih tahu mama. Udah berapa lama kalian jalan bareng” “Eh. Mama kok kayak anggota DPR aja sih nanyanya.“ Di ujung line mamanya tersenyum. “Dia bukan siapa-siapa Ma. Bukan pacar Novi. Baru kemarin kenalan di pesawat. Mama inget nggak waktu kita pisah habis makan ayam goreng di Bandara kemarin? Nah. Waktu itu Mas Juweni baru turun dari mobilnya. Waktu mama jalan ke mobil pasti berpapasan dengan Mas Juweni.“ “Nggak inget Mama. Kok kamu inget sih. Dasar mata keranjang.“ Novi tersipu. “Enak aja. Novi nggak sengaja ngeliat dia kok. Tapi orangnya keren Ma. Senior manager KAP the bix three lho. Kayak Pakdhe Jono yang baru umur empat lima diangkat jadi partner.” “Katanya kamu tidak suka sama bisnismen yang gila kerja.“ “Eh siapa yang bilang Novi suka sama dia.” Novi pura-pura marah. Novi senang digodain mamanya karena dia memang menyukai Joe. Tapi cinta? Mungkin ya mungkin nggak. Kayaknya nggak semudah itu. Cuma suka aja digodain Mamanya. “Tapi dia baik orangnya Ma. Kayaknya tipe yang bertanggung jawab, dewasa, baik hati, dan bisa dipercaya. Dia disukai anak-anak kecil Ma. Dan dia dekat sama anak-anak. Cuma orangnya kayaknya gila kerja Ma. Itu yang bikin Novi kuatir” “Ya sudah. Kamu baru kenal dia kemarin lho. Biasa-biasa aja dulu.“ Mamanya tersenyum. Dia yang telah berpengalaman. Tahu kalo anaknya telah jatuh cinta lagi. Yang pertama setelah dua kali patah hati dikhinati pacarnya waktu masih SMA. “Emang biasa-biasa Ma. Emang nggak ada apa-apa. Kok Mama nggak ngerti sih.” Novi merajuk. “Ya. Ya. Ngomong-omong kapan kamu selesai ujian” “Dua minggu lagi Ma. Jadi nggak bisa pulang Minggu depan. Novi baru pulang hari Jumat, dua minggu lagi“ “Baik. Mama datang ke Yogya aja ya Minggu depan, ya.” “Bener ya. Janji“ suara Novi terdengar manja. “Iya. Udah kamu pulang sana. Udah malam nih.“ “Ya Ma. Bye.“
“Bye“ ***