AMINAH
S
udah hampir setengah jam Aminah mengurung dirinya di dalam kamar. Ibunya, bahkan anaknya tak mampu membujuk Aminah untuk makan maupun meneguk segelas air putih. Baginya saat ini, air putih tidaklah mempunyai arti yang penting bahkan meskipun mati kehausan, Aminah akan iklhas menjemput kematiannya dengan menyambut melalui
sebuah senyum kebahagiaan. Jika harus menukar jiwanya dengan orang lain, Aminah akan memberikannya dengan percuma. Hidup kini tak ada lagi arti baginya. Kehidupannya dia serahkan sepenuh hatinya kepada suami tercintanya beberapa tahun yang lalu sejak dia dan suaminya melafalkan sumpah janji untuk hidup semati dalam sebuah altar pernikahan. Namun kini Aminah merasa pernikahan dengan segala sumpah janjinya itu hanyalah sebuah omong kosong belaka. Janji sehidup semati dalam ikatan pernikahan hanyalah bagaikan daun yang berguguran di musim gugur, tak ada artinya. Aminah meringkuk di tempat tidurnya. Tak berdaya bukan lemah, tak bersuara bukan bisu, tak mau mendengar
bukan tuli, tak mau merasa bukan tak punya hati, hanya saja dia merasa semua hal miliknya telah pergi, hilang tak berbentuk. Setiap istri pasti akan merasakan apa yang Aminah rasakan jika berada dalam posisinya. Tentunya tak ada seorang istripun yang bersedia dengan penuh hati untuk di poligami, bukan? Itulah yang terjadi pada Aminah. Suami tercintanya dengan leluasanya mengatakan kehendaknya untuk memiliki dua orang istri tanpa memikirkan hati dan perasaan istrinya. Mungkinkah seorang istri akan merelakan suaminya bercumbu dengan perempuan lain? Jika memang ada yang demikian, maka perlu dipertanyakan dimana letak hati perempuan itu sehingga tak dapat merasakannya. Terdengar pintu kamar Aminah diketuk, diikuti suara seorang laki-laki yang dicintainya, “Aminah istriku, sudikah kiranya aku masuk ke dalam menemui dirimu? Ada yang bilang kalau kamu tak nafsu untuk makan dan minum, bahkan tak mau untuk berbincang dengan seorang manusiapun. Bolehkan aku masuk untuk mencari tahunya, istriku?”
2
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Aminah, sementara suaminya menunggu jawaban. Sekian detik berlalu sudah tanpa ada jawaban dari Aminah. Lalu suami membuka pintu perlahan dan mendapati Aminah membenamkan wajahnya dalam bantal yang terlihat basah oleh air mata. Suaminya mengambil tempat disamping Aminah, lalu duduk sambil membelai kepala istrinya. “Ada apa istriku? Apakah kau tidak suka dengan semua ini?” tanya suaminya. Tak ada jawaban dari Aminah, hanya terdengar suara isak tangis yang ditahan. “Bukankah aku sudah bertanya padamu atas kesediaanmu untuk menjadi istri pertama? Dan kau berkata ya. Lalu sekarang apa masalahnya, istriku?” Aminah bangkit dari tidurnya. Dia mengusap sisasisa air mata yang masih dengan setianya menempel di pipinya. Lalu Aminah mengamati suaminya dan menatapnya dalam-dalam. “Apakah arti cinta bagimu, suamiku?” untuk pertama kalinya Aminah membuka mulutnya.
3
“Ah, cinta! Kita terlalu tua untuk membahas tentang cinta, istriku.” “Ini bukan masalah tua atau muda. Ini tentang apa yang kau katakan beberapa tahun yang lalu. Kau bilang bahwa kau mencintaiku dulu, saat ini aku hanya ingin bertanya apakah rasa itu masih ada hingga saat ini.” Suaminya tak begitu mengerti apa yang Aminah katakan. “Kau sungguh berbicara seperti seorang Gibran, istriku. Aku tak tau apa yang kamu katakan, tapi jika ditanya tentang bagaimana rasaku padamu maka akan aku katakan bahwa rasaku masih sama seperti yang dulu. Tak pernah berubah.” “Kau bohong!” Aminah setengah berteriak. “Jika aku bohong wahai istriku, kau boleh memotong lidahku dan memberikannya pada anjing!” “Inikah yang kau sebut dengan cinta? Ini yang kau sebut dengan berumah tangga?!” Suami Aminah menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tak paham apa yang kau katakan, istriku. Jika kau tak mau di madu, katakan saja padaku maka aku akan membatalkannya sebelum segalanya terlanjur.”
4
Jika aku memintamu untuk membatalkan keinginanmu, kau akan bersikap lain padaku, kata Aminah dalam hati. “Aku hanya ingin menemukan jawaban yang menggangguku.” “Lalu apa pertanyaanmu itu, istriku?” suaminya menunggu. Aminah menelah ludah. “Mengapa kau mencari istri lagi? Apa kurangku? Apa aku tak bisa menghilangkan dahagamu? Apa aku tak bisa memberikan keindahan dimatamu? Apa aku tak bisa memberikan gairah melalui suaraku? Apakah pesona Chleopatra yang sering kau ucapkan itu sudah tidak ditemukan dalam diriku?” Suaminya diam untuk beberapa saat lamanya. Pertanyaan-pertanyaan yang Aminah lontarkan bagaikan bom
atom
yang
langsung
menghantam
jantungnya.
“Haruskah aku menjawabnya, istriku?” Aminah diam. Tak berkata. Mematung. Menunggu. Lagi-lagi suaminya menelan ludah sebelum berkata, “Kau masih seorang Chleopatra yang membuatku tak berdaya bahkan di siang haripun. Suaramu masih nafsu terdalamku yang kadang-kadang aku tak bisa menahannya bahkan walaupun hanya satu detik. Keindahanmu masih tak tertandingi oleh keindahan sang ratu malam sekalipun. Dan 5
TENTANG PENULIS: Abdul Aziz Azari (Ary) adalah seorang mahasiswa keperawatan di sebuah Universitas Muhammadiyah Jember. Lahir di Situbondo 28 Oktober tahun 1990. Aktif dalam kegiatan jurnalis dan dunia teater selama 6 tahun. Berikut adalah buku-buku yang pernah diterbitkannya A Book of Gay, Gangguan Sistem Saraf. Sedangkan novel yang pernah diterbitkannya adalah The Legacy, Promise, Buku Sihir, Have You Seen Him? dan Cinta Mutasi. Selain itu ia juga pernah menerbitkan kumpulan cerpen yang dia buat untuk sahabat-sahabat tercintanya, yang berdasarkan kisah nyata para sahabatnya, berjudul Setitik Rasa. Ini adalah buku kumpulan cerpen keduanya. Novel-novel Ary yang lainnya bisa dilihat di www.nulisbuku.com Berikut media yang bisa digunakan untuk menghubungi Ary: Facebook: Ary Penyihir Chrestomancy Twitter: @ogan_ary Hp: 08995349164 PIN: 30E25BF2
6