MEDICINUS Vol.21, Nov - Des | No.4 | 2008 | ISSN 1979 - 391x
SCIENTIFIC JOURNAL OF PHARMACEUTICAL DEVELOPMENT AND MEDICAL APPLICATION
Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah Dengue
9
Apakah Fungsi Kognitif Penderita Diabetes Dipengaruhi oleh Status Vitamin E
14
Asam Valproat untuk Mencegah Migren
22
Pencegahan Quorum Sensing: Suatu Pendekatan Baru untuk Mengatasi Infeksi Bakteri
IKLAN TRIXIM
Cairan pada Demam Berdarah Dengue”.
Kami juga menyajikan berbagai article research dan case report yang menarik untuk menambah wawasan kalangan dokter. Pada rubrik medical review kami menyajikan tentang Quorum Sensing. Pengetahuan baru
Demam berdarah dengue tetap menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Dengan mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis klinis dapat segera ditentukan. Dan dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Untuk lebih lengkapnya kami sajikan artikel pada rubrik leading article yang berjudul “Diagnosis dan Terapi
tentang Quorum Sensing memberikan strategi alternatif dalam usaha manusia untuk mengendalikan bakteri patogen, baik itu patogen pada manusia, hewan, dan tanaman.
Peran gap junction intercellular communication (GJIC) pada karsinogenesis adalah artikel pada rubrik medical review yang lain yang tidak kalah menarik untuk dibaca.
Selamat membaca!!!!
daftar isi 1
Dari Redaksi
2
Petunjuk Penulisan Leading Article
3
Berdarah Dengue Original Article (Research)
9
Apakah Fungsi Kognitif Penderita Diabetes Dipengaruhi oleh Status Vitamin E? Original Article (Case Report)
14
Asam Valproat untuk Mencegah Migren
17
Timpanolpasti Pendekatan Ganda pada Otitis Media Supuratif Kronik dengan Ja-
REDAKSI
Ketua Pengarah/Pemimpin Redaksi Dr. Raymond R. Tjandrawinata Redaktur Pelaksana Dwi Nofiarny, Pharm., Msc. Staf Redaksi dr. Della Manik Worowerdi Cintakaweni, dr. Lydia Fransisca Hermina Tiurmauli Tambunan, Liana W Susanto, M biomed., dr. Lubbi Ilmiawan, dr. Prihatini, dr. Ratna Kumalasari, Tri Galih Arviyani, SKom. Peer Review Prof.Arini Setiawati, Ph.D, Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D, Prof.Dr.Med. Puruhito,M.D.,F.I.C.S., F.C.T.S, Prof DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFK Redaksi/Tata Usaha Jl. RS Fatmawati Kav 33, Cilandak, Jakarta Selatan Tel. (021) 7509575, Fax. (021) 75816588, Email:
[email protected]
Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam
Medical Review
MEDICINUS
dari redaksi
Pencegahan Quorum Sensing: Suatu Pen-
1
ringan Granulasi
22
dekatan Baru untuk Mengatasi Infeksi Bakteri
28
Peran Gap Junction Intercellular Communication (GJIC) pada Karsinogenesis Meet the Expert
DBD SUMBANGAN TULISAN Redaksi menerima partisipasi berupa tulisan, foto dan materi lainnya sesuai dengan misi majalah ini. Redaksi berhak mengedit atau mengubah tulisan/susunan bahasa tanpa mengubah isi yang dimuat apabila dipandang perlu.
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
32
Prof. Dr. H. Slamet Suyono, SpPD-KE
35
Events
43
Calender Events
44
Literatur Services
instructions for authors
MEDICINUS
Petunjuk Penulisan
2
Redaksi menerima tulisan asli/tinjauan pustaka, penelitian atau laporan kasus dengan foto-foto asli dalam bidang Kedokteran dan Farmasi. 1. Tulisan yang dikirimkan kepada Redaksi adalah tulisan yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain dalam bentuk cetakan. Keaslian dan keakuratan informasi dalam tulisan menjadi tanggungjawab penulis 2. Tulisan berupa ketikan dan diserahkan dalam bentuk disket, diketik di program MS Word dan print-out dan dikirimkan ke alamat redaksi atau melalui e-mail kami. 3. Pengetikan dengan point 12 spasi ganda pada kertas ukuran kuarto (A4) dan tidak timbal balik. 4. Semua tulisan disertai abstrak dan kata kunci (key words). Abstrak hendaknya tidak melebihi 200 kata. 5. Judul tulisan tidak melebihi 16 kata, bila panjang harap di pecah menjadi anak judul. 6. Nama penulis harap di sertai alamat kerja yang jelas. 7. Harap menghindari penggunaan singkatan-singkatan 8. Penulisan rujukan memakai sistem nomor (Vancouver style), lihat contoh penulisan daftar pustaka. 9. Bila ada tabel atau gambar harap diberi judul dan keterangan yang cukup. 10. Untuk foto, harap jangan ditempel atau di jepit di kertas tetapi dimasukkan ke dalam sampul khusus. Beri judul dan keterangan yang lengkap pada tulisan. 11. Tulisan yang sudah diedit apabila perlu akan kami konsultasikan kepada peer reviewer. 12. Tulisan disertai data penulis/curriculum vitae, juga alamat email (jika ada), no. telp/fax yang dapat dihubungi dengan cepat. Contoh Penulisan Daftar Pustaka Daftar pustaka di tulis sesuai aturan Vancouver, diberi nomor sesuai urutan pemunculan dalam keseluruhan tulisan, bukan menurut abjad. Bila nama penulis lebih dari 6 orang, tulis nama 6 orang pertama diikuti et al. Jumlah daftar pustaka dibatasi tidak lebih dari 25 buah dan terbitan satu dekade terakhir. Artikel dalam jurnal 1. Artikel standar Vega KJ,Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996; 124(11):980-3. Lebih dari 6 penulis: Parkin DM, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 years follow-up. Br J Cancer 1996; 73:1006-12 2. Suatu organisasi sebagai penulis The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Stress Testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996; 164:282-4 3. Tanpa nama penulis Cancer in South Africa (editorial). S Afr Med J 1994; 84:15 4. Artikel tidak dalam bahasa Inggris Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996; 116:41-2 5. Volum dengan suplemen Shen HM, Zhang QE. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 Suppl 1:275-82 6. Edisi dengan suplemen Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women’s psychological reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996; 23(1 Suppl 2):89-97 7. Volum dengan bagian Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6 8. Edisi dengan bagian Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap lacerations of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990; 107(986 Pt 1):377-8 9. Edisi tanpa volum Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995; (320):110-4 10. Tanpa edisi atau volum Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of the cancer patient and
the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33 11. Nomor halaman dalam angka romawi Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction Hematol Oncol Clin North Am 1995; Apr; 9(2):xi-xii Buku dan monograf lain 12. Penulis perseorangan Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY):Delmar Publishers; 1996 13. Editor sebagai penulis Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery people. New York:Churchill Livingstone; 1996 14. Organisasi sebagai penulis Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid program. Washington:The Institute; 1992 15. Bab dalam buku Catatan: menurut pola Vancouver ini untuk halaman diberi tanda p, bukan tanda baca titik dua seperti pola sebelumnya). Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors. Hypertension: Patophysiology, Diagnosis and Management. 2nded. New York:Raven Press; 1995.p.465-78 16. Prosiding konferensi Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996 17. Makalah dalam konferensi Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam:North-Hollan; 1992.p.1561-5 18. Laporan ilmiah atau laporan teknis Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor: Smith P, Golladay K. Payment for durable medi-cal equipment billed during skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept.of Health and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860 Diterbitkan oleh unit pelaksana: Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services Research: Work Force and Education Issues. Washington:National Academy Press; 1995. Contract No.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and Research 19. Disertasi Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The eldery’s access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington Univ.; 1995 20. Artikel dalam koran Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21; Sept A:3 (col.5) 21. Materi audio visual HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): MosbyYear Book; 1995 Materi elektronik 22. Artikel jurnal dalam format elektronik Morse SS. Factors in the emergence of infection diseases. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 jan-Mar [cited 1996 Jun 5];1(1):[24 screens]. Available from: URL:HYPERLINK 23. Monograf dalam format elektronik CDI, Clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995 24. Arsip komputer Hemodynamics III: The ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2. Orlando [FL]: Computerized Educational Systems
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
leading article
Khie Chen, Herdiman T. Pohan, Robert Sinto
Abstrak. Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak.1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007).4-5 Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan pengganti.6 Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
MEDICINUS
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
3 51
Pendahuluan Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak.1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007).4-5 Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran kasus DBD, antara lain: 1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi, 2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, 3. Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan 4. Peningkatan sarana transportasi.4 Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal pada penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan pengganti.6 Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
Definisi Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
DBD. DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue. 7
Gambar 1. Spektrum klinis infeksi virus Dengue8
Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut (gambar 1):5 1. Demam tidak terdiferensiasi 2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie atau uji bendung positif], leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD pada lokasi dan waktu yang sama. 3. DBD (dengan atau tanpa renjatan)
Patogenesis Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan hipotesis immune enhancement.
Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain. Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah. Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur. Keempat derajat tersebut ditunjukkan pada gambar 3.
MEDICINUS
Gambar 2. Hipotesis infeksi sekunder9
4
Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977 (gambar 2), sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa.9,10 Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.9,10
Diagnosis Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi:2,5,9 1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik. 2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena. 3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml). 4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb: • Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin. • Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya. • Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, hiponatremia. Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:2,5,9 Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji torniquet.
Gambar 3. Patogenesis dan spektrum klinis DBD (WHO, 1997)5
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.5 Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin. Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.11 Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat perbedaan dalam
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.11 Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.5,9
Gambar 4. Penanganan tersangka DBD tanpa syok5
Penatalaksanaan
Gambar 5. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat5 MEDICINUS
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai. Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum). Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut: 1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar 4). 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (gambar 5). 3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% (gambar 6). 4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa 5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 7).
5
Gambar 6. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%5
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
MEDICINUS
6
Gambar 7. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa5
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan
yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.1-3 Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi.12,13 Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial.14 Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.15,16 Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Kesimpulan Demam berdarah dengue tetap menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Dengan mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis klinis dapat segera ditentukan. Di samping modalitas diagnosis standar untuk menilai infeksi virus Dengue, antigen nonstructural protein 1 (NS1) Dengue, sedang dikembangkan dan memberikan prospek yang baik untuk diagnosis yang lebih dini. Terapi cairan pada DBD diberikan dengan tujuan substitusi kehilangan cairan akibat kebocoran plasma. Dalam terapi cairan, hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah: jenis cairan, jumlah serta kecepatan, dan pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris untuk menilai respon kecukupan cairan. Daftar Pustaka 1. 2. 3.
4.
dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: hetastarch).15,16 Penelitian cairan koloid diban-dingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan.17,18 Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi. Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi he-
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Gibbons RV, Vaughn DW. Dengue: an escalating problem. BMJ 2002;324:1563-6 World Health Organization. Prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic fever: comprihensive guidelines. New Delhi, 2001.p.5-17 World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic fever and dengue shock syndrome in the context of the integrated management of childhood illness. Department of Child and Adolescent Health and Development. WHO/FCH/CAH/05.13. Geneva, 2005 Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Jakarta, 2007 Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan kesehatan, 2005.p.19-34 Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam: Sudoyo, A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.1774-9 Rani, A. Soegondo, S. dan Nasir, AU. (ed). Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.137-8 World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control. Geneva, 1997 Hadinegoro SRH, et al. (editor). Tata laksana demam berdarah dengue di Indonesia. Departemen Kesehatan RI dan Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2004 Sutaryo. Perkembangan patogenesis demam berdarah dengue. Dalam: Ha-dinegoro SRH, Satari HI, editor. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1999.p.32-43 Nainggolan L. Reagen pan-E dengue early capture ELISA (PanBio) dan platelia dengue NS1 Ag test (BioRad) untuk deteksi dini infeksi dengue. 2008 Stoelting RK, Miller RD. Basics of anestesia. 4th ed. New York:Churchill Livingstone, 2000.p.236-7 Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York:Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2006.p.692-4 Kaaallen A J and Lonergan JM. Fluid resusciaation of acute hypovolemic hypoperfusion status in pediatrics. Pediat Clin N Amer 1990; 37(2):287-94 Venu Goppal Reddy. Crystalloids versus colloids in hypovolemic shock. Proceedings of 5th Indonesian-International Symposium on Shock and Critical Care 26-33 Liolios A. Volume resuscitation: the crystalloid vs colloid debate revisited. Medscape 2004. Available from: URL:http://www.medscape.com/viewarticle/480288 Wills BA, Nguyen MD, Ha TL, Dong TH, Tran TN, Le T, et al. Comparison of three fluid solutions for resuscitation in dengue shock syndrome. N Engl J Med 2005; 353:877– 89 Ngo NT, Cao XT, Kneen R, Wills B, Nguyen VM, Nguyen TQ, et al. Acute management of dengue shock syndrome: a randomized double-blind comparison of 4 intravenous fluid regimens in the first hour. Clin Infect Dis 2001; 32:204–13
MEDICINUS
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil.
modinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.
7
MEDICINUS
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
research
original article
Luthfan Budi Purnomo1, Astuti2, Harakati Wangi3, Harli Amir Mahmudji4, Rizka Humardewayanti Asdie5, Setyo Purwono6
Abstract. Background: Long-term oxidative stress is believed to be one of the major factors contributing to the decline of cognitive function observed with aging. Oxidative stress due to the generation of free radicals resulting from normal metabolism causes accumulated oxidative damage to critical biomolecules, especially when coupled with insufficient endogenous antioxidant defense mechanisms. Brain tissue, which has relatively little antioxidant protection, also contains high levels of polyunsaturated fatty acids (PUFA), making it more vulnerable to oxidative insult. Interventions to increase antioxidant capacity and reduce oxidative damage have been suggested as a potentially useful strategy to prevent or retard this process. Due to its antioxidant properties, vitamin E plays a role in the prevention of certain diseases, including cancer, diabetes, cataracts, cardio and cerebrovascular disease, and has been related to the prevention or slowing of cognitive decline. Mild cognitive impairment is one of the risk factors to get dementia. Dementia connected with the risk factor of diabetes mellitus (DM). At prospective study Rotterdam and Hisamaya, and also the retrospective Rochester study show that the risk of Alzheimer (AD) become two time greater as risk as at person with type 2 DM. Aim: The aim of this study was to examine associations between vitamin E status and cognitive performance in diabetic people. Method: Cross sectional study was done to 46 DM patients of 23 men and 23 women, aged more than 50 years old, who came at Endocrine’s clinic Sardjito Hospital on August–December 2006 as subject. Serum levels of α-tocopherol (vitamin E) was determined by HPLC method. The cognitive capacity of subjects was tested using the mini mental examination state (MMSE). Mild cognitive impairment (MCI) if MMSE value ≤24. Result: There were 18 diabetic people with MCI. We found no different significantly in serum levels of α-tocopherol in both group according cognitive status (7.28 + 4.69 in diabetic people with MCI vs. 6.69 + 4.51 in diabetic people without MCI, p=0.678). Conclusion: This study shows there is no relationship between vitamin E status and cognitive function in diabetic people. Keyword: Cognitive function, alpha tocopherol, diabetic people. ABSTRAK. Latar Belakang: Stres oksidatif jangka panjang diyakini sebagai salah satu faktor utama yang berperan dalam penurunan fungsi kognitif seiring dengan proses penuaan. Stres oksidatif berupa radikal bebas hasil metabolisme menyebabkan akumulasi kerusakan oksidatif biomolekul, terutama pada kondisi insufisiensi mekanisme pertahanan antioksidan endogen. Jaringan otak, yang hanya memiliki sedikit perlindungan antioksidan dan memiliki kadar asam lemak tak jenuh (polyunsaturated fatty acid/PUFA) yang tinggi, mudah terkena oksidasi. Intervensi untuk meningkatkan kapasitas antioksidan dan mengurangi kerusakan oksidasi diperkirakan akan menjadi strategi yang sangat berguna untuk mencegah atau menghambat proses ini. Dengan melihat fungsinya sebagai antioksidan, vitamin E memegang peranan dalam pencegahan beberapa penyakit, termasuk kanker, diabetes, katarak, penyakit kardio dan serebrovaskular, dan telah dihubungkan dengan pencegahan atau penghambatan penurunan kognitif. Gangguan kognitif ringan (mild cognitive impairment/MCI) adalah salah satu faktor risiko demensia. Demensia dihubungkan dengan faktor risiko diabetes melitus (DM). Pada suatu studi prospektif yang dilakukan Rotterdam dan Hisamaya, dan studi retrospektif Rochester menunjukkan bahwa risiko Alzheimer (AD) menjadi dua kali lebih besar pada penderita DM tipe 2. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai hubungan antara status vitamin E dan kondisi kognitif pada penderita diabetes.
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
MEDICINUS
1. Subdivision of Endocrinology and Metabolic, Internal Department of Gadjah Mada University/Sardjito Hospital Yogyakarta 2. Neurology Department of Gadjah Mada University/Sardjito Hospital Yogyakarta 3. Internal Department of RSPAD Jakarta 4. Internal Department of RSJ Magelang 5. Internal Department of Gadjah Mada University/Sardjito Hospital Yogyakarta 6. Pharmacology Department of Gadjah Mada University/Sardjito Hospital Yogyakarta
9
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan terhadap 46 penderita DM, 23 laki-laki dan 23 perempuan, usia lebih dari 50 tahun, yang datang ke poliklinik Endokrin RS Dr. Sardjito pada bulan Agustus–Desember 2006. Kadar α-tocopherol serum (vitamin E) diukur dengan metode HPLC. Kapasitas kognitif subjek diukur dengan mini mental examination state (MMSE), dan dinyatakan gangguan kognitif ringan/mild cognitive impairment (MCI) bila nilai MMSE ≤24. Hasil: Didapatkan 18 pasien diabetes dengan MCI. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kadar α-tocopherol serum kedua kelompok berdasar status kognitifnya (7,28 ± 4,69 pada penderita diabetes dengan MCI vs 6,69 ± 4,51 pada penderita diabetes tanpa MCI, p=0,678). Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara status vitamin E dan fungsi kognitif pada penderita diabetes.
MEDICINUS
Kata kunci: fungsi kognitif, alpha tocopherol, penderita diabetes
10
Pendahuluan
Tujuan Penelitian
Stres oksidatif jangka panjang diyakini sebagai salah satu faktor utama yang berperan dalam penurunan fungsi kognitif seiring dengan proses penuaan.1,2 Stres oksidatif berupa radikal bebas hasil metabolisme normal menyebabkan akumulasi kerusakan oksidatif biomolekul-biomolekul, terutama pada kondisi insufisiensi mekanisme pertahanan antioksidan endogen.2-4 Jaringan otak, yang hanya memiliki sedikit perlindungan antioksidan dan memiliki kadar asam lemak tak jenuh (polyunsaturated fatty acid/PUFA) yang tinggi, mudah terkena oksidasi.1,2 Intervensi untuk meningkatkan kapasitas antioksidan dan mengurangi kerusakan oksidasi diperkirakan akan menjadi strategi yang sangat berguna untuk mencegah atau menghambat proses ini.2 Vitamin E (α-tokoferol) diketahui merupakan antioksidan paling poten dan paling banyak terdapat pada manusia.5,6 Di samping itu, vitamin E juga dapat memodulasi berbagai fungsi seluler yang tidak terkait dengan aktivitas antioksidan.7,8 Dengan melihat fungsinya sebagai antioksidan, vitamin E memegang peranan dalam pencegahan beberapa penyakit, termasuk kanker, diabetes, katarak, penyakit kardio dan serebrovaskular, dan telah dihubungkan dengan pencegahan atau penghambatan penurunan kognitif.2,9,10 Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko terjadinya demensia. Demensia yang berhubungan dengan faktor risiko diabetes adalah Alzheimer dan vaskular. Pada studi prospektif Rotterdam dan Hisayama, serta studi retrospektif Rochester, menunjukkan risiko kejadian demensia Alzheimer (AD) meningkat dua kali pada individu dengan DM tipe 2.11 Demensia vaskular dihubungkan dengan diabetes melalui kejadian vaskular (VaD) yang diikuti dengan penurunan kognitif, gangguan vaskuler ini salah satunya merupakan manifestasi dari komplikasi makrovaskular diabetes.11,12 Gangguan kognitif ringan (mild cognitive impairment/MCI) adalah suatu gangguan kognitif berupa gangguan orientasi, atensi, konsentrasi, memori, bahasa, dan intelektual, yang tidak masuk dalam kriteria demensia, dengan kata lain MCI merupakan keadaan predemensia.13,14 Gangguan kognitif merupakan proses awal kecacatan dalam otak berupa demensia. Berdasarkan studi terdahulu, menunjukkan hipotesis mengenai diabetes dan faktor komorbidnya terlibat dalam patogenesis demensia baik demensia Alzheimer (AD) ataupun demensia vaskular (VaD).11,15 Insidensi gangguan fungsi kognitif pada DM diperkirakan akan meningkat sehubungan dengan meningkatnya jumlah populasi penderita DM, sehingga perlu strategi untuk mencegah penurunan fungsi kognitif. Mekanisme terjadinya risiko demensia pada diabetes belum dapat dijelaskan, diperkirakan salah satunya melalui stres oksidatif dan diketahui pula bahwa kadar vitamin E plasma pada pengidap diabetes melitus (DM) tipe 2 lebih rendah dibandingkan dengan orang sehat16,17, sehingga diperkirakan gangguan fungsi kognitif pada penderita DM lebih banyak terjadi dibandingkan nonDM.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai hubungan antara status vitamin E dan kondisi kognitif pada penderita diabetes.
Metode Penelitian potong lintang dilakukan terhadap 46 penderita DM, 23 laki-laki dan 23 perempuan, usia lebih dari 50 tahun, yang datang ke poliklinik Endokrin RS Dr. Sardjito pada bulan Agustus – Desember 2006. Kriteria inklusi adalah penderita DM tipe 2 usia lebih dari 50 tahun yang kontrol di poliklinik Endokrin RSUP Dr. Sardjito dan pada saat pemeriksaan tidak sedang minum suplemen obat yang mengandung vitamin E dan menyetujui informed consent. Kriteria eksklusi adalah penderita dengan tanda klinis, dan hasil laboratorium menunjukkan infeksi, sedang menderita penyakit akut, terdapat penyakit inflamasi (demam reumatik, eritema nodosum, artritis reumatoid, artritis kronik, spondilitis ankilosis, psoriasis, vaskulitis sistemik, reumatik polimialgia, penyakit Reiter, diare kronis, lupus eritematosus sistemik (LES), skleroderma, dermatomiositis, osteoartritis), penyakit jantung koroner, terdapat riwayat pembedahan atau stroke dalam 3 bulan sebelum penelitian, terdapat keganasan, gagal jantung kongesti, penurunan fungsi ginjal, penurunan fungsi hati, merokok dan terdiagnosis demensia. Subjek yang memenuhi kriteria inklusi dicatat dalam formulir penelitian, yaitu usia, jenis kelamin dan alamat. Kemudian dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik (tekanan darah, denyut nadi, respirasi, suhu, berat badan, tinggi badan, lingkar pinggang, pemeriksaan fisik jantung, paru, abdomen dan ekstremitas) untuk mengetahui adanya penyakit infeksi akut, penyakit inflamasi (demam reumatik, eritema nodosum, artritis reumatoid, artritis kronik, spondilitis ankilosis, psoriasis, vaskulitis, diare kronis, penyakit Reiter, lupus eritematosus sistemik (LES), skleroderma, dermatomiositis, osteoartritis), hipertensi, adanya riwayat pembedahan atau stroke dalam 3 bulan sebelum penelitian, penyakit jantung koroner, keganasan, sirosis hati, merokok aktif, dislipidemia. Kemudian pasien dipesan untuk datang ke poliklinik penyakit dalam untuk dilakukan pengambilan darah dengan puasa minimal 10 jam sebelumnya. Pengambilan darah 10 cc untuk pemeriksaan darah rutin, profil lipid, fungsi ginjal, enzim transaminase, HbA1c, kadar kolesterol total, kadar trigliserida, kadar low density lipoprotein (LDL), kadar high density lipoprotein (HDL) serta kadar α-tokoferol serum serta diminta untuk mengisi mini mental examination state (MMSE) untuk menilai fungsi kognitifnya. Pengukuran vitamin E dilakukan dengan HPLC (high-performance liquid chromatography). Sejumlah 20 mL plasma (dari darah EDTA) ditambah 100 mL larutan ekstrak (etanol/butanol [50 : 50, vol/vol, 5 mg BHT/ml]). Campuran tersebut disentrifugasi selama 5 menit. Sejumlah 20 mL supernatan diinjeksikan ke HPLC. Spektrofotometer yang digu-
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Analisis Statistik Data karakteristik subjek penelitian disajikan dalam angka rerata dan simpangan baku. Hubungan antara mikroalbuminuria (positif atau negatif) dengan kadar vitamin E plasma dianalisis dengan uji-t tak berpasangan. Untuk membandingkan 2 kelompok dengan variabel kategori digunakan uji chi-square. Uji korelasi Pearson dipakai untuk melihat kaitan antara 2 variabel numerik. Hubungan antara faktor-faktor lain (usia, jenis kelamin, lama terdiagnosis DM, HbA1c, kadar kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserida) dengan fungsi kognitif dianalisis dengan regresi logistik. Batas kemaknaan yang diterima bila p <0,05.
Hasil Penelitian Selama penelitian data lengkap yang dapat dianalisis sebanyak 46 orang, didapatkan 18 pasien diabetes dengan MCI. Adapun data karakterisitik dasar dapat dilihat pada tabel 1.
Vol. 21, No.4, Edisi November - Desember 2008
Tabel 1. Data karakteristik dasar subjek penelitian
Variabel
Rerata ± simpangan baku 63,64 ± 6,98 24,38 ± 3,38 10,83 ± 5,18 216,48 ± 49,87 158,22 ± 70,89 42,02 ± 9,43 143,15 ± 44,51 7,26 ± 1,55 132,67 ± 51,21 189,98 ± 61,32 6,92 ± 4,54 24,61 ± 3,49
Usia (tahun) Indeks massa tubuh (kg/m2) Lama DM (tahun) Kolesterol total (mg/dl) Trigliserida (mg/dl) High density Lipoprotein (mg/dl) Low density Lipoprotein (mg/dl) HbA1c (%) Gula darah puasa (mg/dl) Gula darah 2 jam pasca makan (mg/dl) Vitamin E MMSE
Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kadar α-tocopherol serum kedua kelompok berdasar status kognitifnya (7,28 ± 4,69 pada penderita diabetes dengan MCI vs 6,69 ± 4,51 pada penderita diabetes tanpa MCI, p = 0,678), dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Perbandingan data pasien dengan dan atau tanpa mild cognitive Inpairment Variabel Usia (tahun) Indeks Massa tubuh (kg/m2) Lama DM (tahun) Kolesterol total (mg/dl) Trigliserida (mg/dl) High density Lipoprotein (mg/dl) Low density Lipoprotein (mg/dl) HbA1c (%) Gula darah puasa (mg/dl) Vitamin E
Dengan MCI
Tanpa MCI
(n=18)
(n=28)
66,05 ± 7,42 23,90 ± 3,22 10,72 ± 5,55 221,39 ± 64,69 169,61 ± 92,19 40,89 ± 9,17 147,05 ± 56,03 7,39 ± 1,70 132,17 ± 48,66 7,28 ± 4,69
61,78 ± 6,26 24,68 ± 3,49 10,89 ± 5,02 213,32 ± 38,51 158,22 ± 70,89 42,75 ± 9,69 140,64 ± 36,17 7,18 ± 1,47 133,66 ± 53,66 6,69 ± 4,50
p 0,04 0,448 0,915 0,598 0.848 0,52 0,639 0,609 0,958 0,678
Pembahasan Dalam menentukan status vitamin E tubuh, beberapa peneliti menggunakan rasio vitamin E/lipid total karena kadar lipid plasma sangat mempengaruhi kadar vitamin E. Tanpa menggunakan rasio ini, individu dengan lipid rendah akan keliru diklasifikasikan sebagai defisiensi vitamin E, padahal kenyataannya normal.5 Hal yang serupa dapat terjadi pada individu dengan hiperlipidemia. Pada penelitian Sokol et al. (1984) beberapa subjek yang menunjukkan gejala disfungsi neurologis (dalam penelitian didefinisikan sebagai defisiensi vitamin E) terdapat hiperlipidemia dan mempunyai kadar vitamin E plasma normal. Rasio vitamin E/lipid total menunjukkan nilai di bawah normal. Dalam kondisi ini rasio vitamin E/lipid total lebih sesuai dengan disfungsi neurologis (yang disebabkan defisiensi vitamin E). Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis berdasarkan rasio vitamin E/lipid total. Keadaan yang dapat menghubungkan antara diabetes dengan proses penurunan fungsi otak, adalah: a. Hiperglikemia menyebabkan toksisitas saraf Hiperglikemia mempengaruhi viabilitas saraf melalui peningkatan stres oksidatif, struktur dan fungsi pembuluh darah, jalur O glikoprotein, dan formasi advanced glycation end product (AGEs). Advanced glycation end product (AGEs) secara eksperimental terbukti berpengaruh terhadap kerusakan vaskular dan fungsi endotel, kerusakan protein, DNA dan mitokondria, serta meningkatkan radikal bebas dan inflamasi.15 b. Komplikasi diabetes menyebabkan gangguan kognitif Hipertensi meningkatkan risiko kerusakan vaskular dan endotel, gangguan pada pembuluh darah kecil dan besar, dan meng-
MEDICINUS
nakan adalah UV-VIS l 292 nm. Puncak tokoferol akan muncul pada menit ke 3-6. Pengukuran trigliserida dilakukan dengan metode tes enzimatik kolorimetri dengan menggunakan glycerol-3-phosphate-oxidase. Sampel yang diukur adalah plasma yang diambil dari darah EDTA. Penentuan trigliserida dilakukan setelah pemisahan oleh lipoprotein lipase. Sebagai indikator adalah quinonimine yang berasal dari reaksi 4-aminoantipyrine, 4-chlorophenol, dan hidrogen peroksida di bawah aksi katalis peroksidase. Pengukuran kolesterol dilakukan dengan metode tes fotometrik enzimatik. Sampel yang dipakai adalah plasma (dari darah EDTA). Penentuan kolesterol dilakukan setelah reaksi hidrolisis dan oksidasi. Sebagai indikator kolorimetri adalah Chinonimine yang berasal dari reaksi 4-aminoantipyrine, phenol, dan hidrogen peroksida di bawah aksi katalis peroksidase. Kadar LDL dihitung dengan rumus: LDL = kolesterol total - trigliserida/5 - HDL. Pengukuran HbA1c dilakukan dengan metode fast ion-exchange resin separation. Reagen yang dipakai adalah Glycohemoglobin Test (Human®). Sampel yang dipakai adalah darah EDTA. Darah dicampur dengan reagen lysing yang berisi deterjen dan ion borat konsentrasi tinggi. Eliminasi basa Schiff labil tercapai selama proses hemolisis. Hemolisat kemudian dicampur dengan resin penukar ion selama 5 menit. HbA1c akan terikat pada resin, kemudian digunakan separator untuk memisahkan resin dari supernatan yang berisi glycohemoglobin. Presentase glycohemoglobin ditentukan dengan mengukur fraksi glycohemoglobin dan fraksi total hemoglobin pada Hg 405 atau 415 nm. Pemeriksaan kadar vitamin E dilakukan di laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pemeriksaan lainnya dilakukan di laboratorium Prodia Yogyakarta. Kapasitas kognitif subjek diukur dengan perangkat sederhana yaitu mini mental examination state (MMSE) dari Folstein, yang sudah distandardisasi secara nasional. Pada MMSE variabel yang dinilai adalah orientasi, registrasi, atensi, kalkulasi, mengingat kembali, bahasa, dan clock drawing test (CDT) digunakan untuk menilai fungsi interpretasi.18 Untuk penilaian tes gambar jam batasan nilainya bersifat subjektif, dengan interpretasi apabila gambar dengan gangguan kontur yang hebat atau gambar yang tidak berhubungan sangat jarang dihasilkan oleh seseorang dengan kognitif yang utuh. Gambar yang sempurna tidak mungkin dihasilkan oleh individu dengan gangguan kognitif. Acuan termudah penilaian CDT masuk dalam kemungkinan kognitif terganggu apabila skor <418. Kriteria penurunan fungsi kognitif, berdasar status mental mini (MMSE) adalah: Normal = >28, dugaan MCI/VCI = 24 - 28, probabilitas kognitif terganggu/dugaan demensia = 17 - 23, gangguan kognitif definitif = 0 – 16.18,19 Pada penelitian ini dinyatakan gangguan kognitif ringan bila nilai MMSE ≤24. Kukull et al. (1994) melakukan penelitian potong lintang instrumen untuk mendeteksi demensia pada populasi klinik dengan jumlah pasien 150, mendapatkan bahwa MMSE mempunyai sensitivitas 63%, spesifisitas 96%, positive predictive value (PPV) 96%, negative predictive value (NPV) 63%, dengan class of evidence I20.
11 57
MEDICINUS
12
Dalam menentukan status vitamin E tubuh, beberapa peneliti menggunakan rasio vitamin E/lipid total karena kadar lipid plasma sangat mempengaruhi kadar vitamin E. Tanpa menggunakan rasio ini, individu dengan lipid rendah akan keliru diklasifikasikan sebagai defisiensi vitamin E, padahal kenyataannya normal.5 Hal yang serupa dapat terjadi pada individu dengan hiperlipidemia. ganggu sawar darah otak. Hipotesis mengenai efek kenaikan tekanan darah dan AD secara patologi adalah kerusakan endotel, yang berakibat meningkatnya respon proinfalamsi, prokoagulan, dan oksidatif, seperti pada hipotesis mengenai formasi pada plak neuritik pada AD.15 Kolesterol mempunyai peran esensial pada pemeliharaan struktur membran otak. Hiperinsulinemia merefleksikan tingginya kadar insulin otak, dan hipoinsulin merupakan kegagalan dari insulinisasi pada otak. Transpor insulin ke dalam sistem saraf pusat meningkatkan kondisi hiperinsulinemia, yang mengakibatkan terjadinya proses resistensi insulin.15 c. Diabetes menyebabkan gangguan kognitif Kejadian diabetes dengan demensia Alzheimer (AD) juga mempunyai keterkaitan yang positif. Pada studi Rotterdam menunjukkan hasil diabetes dengan AD mempunyai relative risk (RR) 1,9 (95% CI: 1,2 – 3,1), dengan rincian yang disertai penyakit serebrovaskular RR 1,8 (95% CI: 1,0 – 9,3) tanpa penyakit serebrovaskular RR 1,8 (95% CI: 1,1 – 3,0), diabetes dengan demensia vaskular (VaD) RR 2,0 (95% CI: 0,7 – 5,6), diabetes dengan demensia lainnya RR 1,6 (95% CI: 0,5 – 5,0).22 Pada penelitian dari Rochester menunjukkan kejadian AD dua kali lipat lebih besar pada laki-laki dengan diabetes (RR 2,3, 95% CI: 1,63,3). Pada penelitian British cohort menunjukkan peningkatan risiko Alzheimer pada subjek dengan diabetes dibanding tanpa diabetes (RR 1,4 95% CI: 1,1 – 17,0).15,23 Dasar mekanisme biokimia komplikasi vaskular diabetes, berawal dari diabetes memicu resistensi insulin, hiperglikemia, dan terjadi pelepasan asam lemak bebas atau dislipidemia, keadaan tersebut melalui jalur stres oksidatif (reactive oxigen species = ROS), protein kinase C, aktivasi reseptor advanced glycation end product (RAGE), peningkatan jalur poliol, mioinositol, dan heksosamin akan mengakibatkan aktivasi sinyal sel molekul gangguan pada faktor pertumbuhan, angiotensin II, dan dikeluarkannya sitokin24,25 yang merangsang membran fosfolipid sel atau endotel berubah menjadi asam arakhidonat melalui aktivasi enzim fosfolipase (PLA2).26 Asam arakhidonat (AA) akan dimetabolisme menjadi tiga jalur
oksidasi yaitu jalur siklooksigenase (COX) yang akan membentuk prostaglandin, jalur lipooksigenase (LO), membentuk asam hidroksieikosatetraenoik (HETEs) dan leukotrin, dan jalur sitokrom P-450 monooksigenasi/epoksigenase yang membentuk epoksid dan HETEs. Khusus untuk sitokrom P-450 lebih berperan pada vasoaktif pada ginjal, dan belum didapatkan data mengenai keterlibatan pada angiopati diabetik.26 Pada jalur siklooksigenase, COX-1 dan COX-2 dikatalisis menjadi prostaglandin dalam bentuk (prostaglandin H2) PGH2 yang terkonversi menjadi prostaglandin lain dan eikosanoid seperti PGE2, PGD2, PGF2α (isoprostan), PGI2 (prostasiklin) dan tromboksan. COX-1 berperan secara fisiologis pada beberapa sel dan jaringan. COX-2 ekspresinya sering tidak terdeteksi pada jaringan dan sel, tetapi menjadi signifikan bila tersimulir lipopolisakarida, dan sitokin (IL-6, IL-1α, IL-1β, TNF-α, dan faktor pertumbuhan), dan produk-produk dari COX-2 berperan dalam proses inflamasi termasuk arterogenesis.26,27 Jalur lipooksigenasi (LO) terbagi dalam 4 kelompok yaitu LO5, LO8, LO12, dan LO15, yang dibedakan berdasar kemampuannya dalam proses memasukkan molekul oksigen pada rantai karbon ke dalam asam arakhidonat. Kelompok LO5 dan O8 tidak berperan dalam diabetes. Untuk LO12 dan LO15 dapat membentuk 12/15 HETEs dari AA, produk tersebut akan tampak pada beberapa jaringan pembuluh darah dan sel, termasuk sel otot polos pembuluh darah (vascular smooth muscle cells /VSMC), endotel dan monosit.26 Jalur mediator inflamasi lipid pada sistem saraf pusat hampir sama dengan jalur asam arakhidonat, hanya pada sistem saraf pusat, fungsi neurotropik (fisiologis) dari jalur tersebut dapat berubah menjadi neurotoksik (patologis). Komponen penting pada metabolisme lipid pada otak adalah AA dan DHA (docosahexaenoic acid/asam dokosaheksaenoik), yang akan dimetabolisme menjadi eikosanoid, dokosanoid, lisofosfolipid, reative oxygen species (ROS), 4-HNE (4hidroksinonenal/oksidasi dari AA), dan 4-HHE (4-hidroksiheksenal/oksidasi dari DHA). Komponen tersebut akan memberikan efek neurotropik bila terdapat dalam kadar rendah, tetapi bila komponen jalur tersebut terpicu untuk termobilisasi kadarnya akan meningkat dan memberikan efek neurotoksik. Asam dokosaheksaenoik dihidrolisis oleh plasmalogen selektif fosfolipase A2.28 Efek neurotoksik AA akibat hiperstimulasi adalah kerusakan pada struktur sel dan fungsi saraf. Asam arakhidonat mengakibatkan asidosis intraseluler dan tidak terkendalinya oksidasi fosforilasi, sehingga terjadi disfungsi mitokondria. Siklooksigenase dan lipooksigenase yang mengubah AA menjadi protaglandin, leukotrin, dan tromboksan. Komponen eikosanoid tersebut apabila terstimulasi akibat kondisi patologis berefek pada gangguan aliran pembuluh darah otak dan mempengaruhi trombosit dan leukosit, sehingga aliran mikrosirkulasi akan terganggu dan sistem saraf pusat akan terganggu.28 Lisofosfolipid yang merupakan hasil oksidasi fosfolipid selain AA, yang dapat teralkilasi oleh koenzim A menjadi fosfolipid kembali, pada kondisi patologis seperti iskemik, epilepsi, dan overstimulasi fosfolipase akan mengakibatkan akumulasi lisofosfolipid dan asam lemak bebas. Lisofosfolipid dapat memproduksi faktor aktivasi platelet, sebagai mediator proinflamasi yang poten. Pada sel endotel lisofosfolipid dapat memodulasi sinyal kalsium, dan fosforilasi nitrit oksid dan sitosolik fosfolipase 2. Sehingga bila terjadi akumulasi lisofosfolipid yang berlebih akan berakibat demielinisasi dan kerusakan sel saraf.28 4-hidroksinonenal (4-HNE/oksidasi dari AA), pada kadar rendah berefek menyampaikan sinyal hingga ke sel basal, stimulasi fosfolipase c, adenil siklase, dan menurunkan aktivitas ornitin dekarboksilase, bila terstimulasi berlebihan mengakibatkan efek neurotoksik berupa efek deteriorisasi sel, menghambat sintesis DNA dan RNA, mengganggu homeostasis kalsium, dan menghambat respirasi mitokondria, 4-HNE juga meningkatkan permeabilitas sawar darah otak selama eksitoksisitas, menurunkan fungsi mitokondria dengan mengganggu transpor gula, dan berperan dalam memicu stres oksidatif dan proses apoptosis sel saraf.28
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Kesimpulan Penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara status vitamin E dan fungsi kognitif pada penderita diabetes. Daftar Pustaka 1. Kalmijn S, Feskens EJ, Launer LJ and Kromhout D. Polyunsaturated fatty acids, antioxidants, and cognitive function in very old men. Am. J. Epidemiol. 1997; 145:33-41 2. Meydani M. Antioxidants and cognitive function. Nutr. Rev. 2001; 59:S7-
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
5-S80 3. Halliwell B & Gutteridge IMC. Free radicals. In: Biology and Medicine. 2nd ed. Oxford University Press Oxford:UK; 1995.p.543 4. Floyd RA. Antioxidants, oxidative stress, and degenerative neurological disorders. Proc. Soc. Exp. Biol. Med. 1999; 222:236-45 5. Farrell PM and Roberts RJ. Vitamin E. Dalam: Modern Nutrition in Health and Disease.8th ed. Lea & Febiger. Philadelphia; 1994.p.326-41 6. Young IS and Woodside JV. Antioxidants in Health and Disease. J Clin Pathol 2001; 54:176-86 7. Ricciarelli R, Zingg J, and Azzi A. Vitamin E: protective role of janus molecule. FASEB J. 2001; 15:2314-25 8. Traber MG. Does vitamin E decrease heart attack risk? summary and implications with respect to dietary recommendations. J Nutr. 2001; 131:395S-397S 9. Foy CJ, Passmore AP, Vahidassr MD, Young IS and Lawson JT. Plasma chainbreaking antioxidants in Alzheimer’s disease, vascular dementia and Parkinson’s disease. Q. J. Med. 1999; 92:39-45 10. Perkins AJ, Hendrie HC, Callahan CM, Gao S, Unverzagt FW, Xu Y, et al. Association of antioxidants with memory in a multiethnic elderly sample using the Third National Health and Nutrition Examination Survey. Am. J. Epidemiol. 1999; 150:37-44 11. Strachan MWJ. Cognitive decline and the older patient with diabetes. Clin Ger. 2002; 10(6):29–35 12. Hartono B. Insulin, diabetes and cognitive function: from vascular cognitive impairment to vascular dementia. Dalam Naskah Lengkap PIT V PERKENI. Semarang; 2004.p.313-27 13. Visser PJ. Mild cognitive impairment. Dalam: Pathy, M.S., Sinclair, J. & Morley, J.E. (Eds) Principles and Practice of Geriatric Medicine 4th (ed). John Wiley and Sons. Ltd:2006.p.1-7 14. Wright JD and Tranel D. Mild cognitive impairment. Up To Date®14.1; 2006 15. Launer LJ. Diabetes and Brain Aging: Epidemiologic Evidence. Curr. Diab. Rep.2005; 5:59-63 16. Gokkusu C, Palanduz S, Ademoglu E and Tamer S. Oxidant and antioxidant system in NIDDM patients: influence of vitamin E supplementation. Endocr Res 2001; 27(3):377-86 17. Nourooz-Zadeh J, Rahimi A, Tajaddini-Sarmadi J, Tritschler H, Rosen P, Halliwell B. et al. Relationship between plasma measures of oxidative stress and metabolic control in NIDDM. Diabetologia 1997; 40:647-53 18. Assosiasi Alzheimer Indonesia (AazI). Konsensus nasional – pengenalan dan penatalaksanaan demensia alzheimer dan demensia lainnya; 2003.p.61-3 19. Soejono CH, Harimurti K, Setiati S & Damping CE. Pedoman diagnosis dan tatalaksana MCI dan VCI. Dalam: Konsensus Nasional-Peran Dokter Spesialis Penyakit Dalam Untuk Deteksi Dini, Diagnosis Dan Penatalaksanaan Gangguan Kognitif Ringan Pada Usia Lanjut. Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia. Jakarta; 2006.p.1-28 20. Petersen RC, Stevens JC, Ganguli M, Tangalos, Cummings and DeKosky. Practice parameter: early detection of Dementia: mild cognitive impairment (An Evidence Based Review). Report of the Quality Standards Subcommittee of the America Academy of Neurology. Neur; 2001; (56):1133-42 21. Sokol RJ, Heubi JE, Iannacone ST, Bove KE and Balistreri WF. Vitamin E deficiency with normal serum vitamin E concentrations in children with chronic cholestasis. N Engl J Med 1984; 310:1209-12 22. Ott A, Stolk RP, Harskamp van, Pols HAP, Hofman A and Breteler MMB. Diabetes mellitus and the risk of dementia–The Rotterdam Study. Neur 1999; (53):1937-42 23. Luchsinger JA, Tang MX, Stern Y, Shea S and Mayeux R. Diabetes mellitus and risk of Alzheimer’s disease and dementia with stroke in a multiethic cohort. Am J Epidemiol 2001; 154(7):635-41 24. Beckman JA, Creager MA and Libby P. Diabetes and atherosclerosis – epidemiology, pathophysiology, and management. JAMA 2002; 287(19): 2570-81 25. Kanwar Y, Akagi S, Sun L, Nayak B, Xie P, Wada J, et al. Cell biology of diabetic kidney disease. Nephron Exp Nephrol 2005; 101:e100-110 26. Natarajan R.and Nadler JL. Lipid inflamatory mediator in diabetic vascular disease. Arterioscler Thromb Vasc Biol 2004; 24:1542-48 27. Helmersson J, Vessby B, Larsson A and Basu S. Association of type 2 diabetes With cyclooxygenase-mediated inflamation and oxidative stress in an elderly population. Circulation 2004; 109:1729-34 28. Farooqui AA and Horrocks LA. Phospholipase A2-generated lipid mediators in the brain: the good, the bad, and the ugly. Neuroscientist 2006; 12(3):24560 29. Ortega RM, Roquejo AM, Lopez-Sobaler AM, Andres P, Navia B, Perea JM, et al. Cognitive function in elderly people is influenced by vitamin E status. J Nutr 2002; 132:2065-8 30. Kritchevsky SB, Shimakawa T, Tell GS, Dennis B, Carpenter M, Eckfeldt JH, et al. Dietary antioxidants and carotid artery wall thickness. The ARIC Study. Atherosclerosis Risk in Communities Study. Circulation 1995; 92:2142-50 31. Shadlen MF and Larson EB. Risk Factors for dementia. Up To Date® , 14.1; 2006
MEDICINUS
Perkin et al. (1999) melakukan analisis terhadap 5000 orang usia lanjut pada the Third National Health and Nutrition Examintaion Survey III (NHANES III) mendapatkan hasil terdapat hubungan yang sangat lemah antara jeleknya fungsi memori dengan kadar vitamin C, A, β-karoten dan selenium, tetapi mendapatkan hasil korelasi yang bermakna antara fungsi memori dengan rendahnya kadar vitamin E setelah diadjust dengan kadar kolesterol.10 Ortega et al. (2002) dalam penelitiannya terhadap 120 orang usia lanjut berusia 65-91 tahun tanpa gangguan fungsi kognitif mendapatkan hasil terdapat korelasi yang bermakna antara vitamin E (r= -0.3519) dan rasio vitamin E/kolesterol (r= -3014) dengan PMSQ (pfeiffer mental status questionnaire). Lebih lanjut dalam analisanya, Ortega et al. menemukan kadar vitamin E dan rasio vitamin E/kolesterol yang rendah pada subjek dengan ada kesalahan pada PMSQ dibandingkan dengan yang tanpa kesalahan dalam PMSQ.29 Foy et al. (1999) juga menemukan hal yang sama yaitu pasien dengan demensia kadar vitamin E-nya rendah pada dibandingkan dengan kontrol, tetapi tidak terjadi pada tingkat defisiensi nutrisi. Jadi rendahnya status antioksidant pada pasien-pasien demensia menunjukkan peningkatan stres oksidatif, yang merupakan faktor penting pada gangguan fungsi kognitif.9 Vitamin E mungkin berguna dalam mencegah penurunan fungsi kognitif melalui aksi antioksidannya yang potensial yang dapat mencegah kerusakan jaringan saraf, tetapi juga mencegah demensia vaskular. Hubungan vitamin E dengan penurunan risiko demensia vaskular dapat dihubungkan dengan beberapa macam efek pada sistem vaskular, termasuk pada kemampuannya mencegah stroke dengan menurunkan gregrasi dan adhesi platelet, memperlambat progresi dari aterosklerosis a. carotis.30 Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap demensia adalah: umur, pada studi populasi insidensi AD 0,6% pada usia 65–69 tahun, 1% pada usia 70–74 tahun, 2% pada usia 75-79, 3,3% pada usia 80–85 tahun, dan 8,4% pada usia 85 tahun ke atas, riwayat keluarga akan me-ningkatkan risiko demensia 10–30%. Petersen et al. (2001), menyatakan analisis kejadian usia akan bermakna bila dihubungkan dengan risiko demensia Alzheimer, sedangkan bila hanya dihubungkan dengan gangguan kognitif perbedaannya tidak bermakna, dan pada studi Framingham, oleh Bachman et al. (1993) menunjukkan bahwa annual rate antar usia dengan kejadian demensia akan berbeda dengan annual rate antar usia dengan kejadian demensia jenis Alzheimer.20 Pada penelitian ini pada kelompok MCI didapatkan usia yang lebih tua dibandingkan dengan kelompok non MCI, dan perbedaan ini secara statistik bermakna, sehingga apakah gangguan fungsi kognitif yang terjadi pada penelitian ini dipengaruhi oleh usia yang tua pada kelompok MCI masih belum dapat dibuktikan. Risiko dari arterosklerosis, seperti dislipidemia, diabetes melitus, penggunaan insulin, hipertensi, merokok, faktor risiko lainnya seperti trauma kepala, alkohol, gagal ginjal kronis, diet tinggi lemak, indeks masa tubuh (IMT), dan penggunaan estrogen merupakan faktor risiko terjadi gangguan kognitif.31 Pada analisis hubungan antara profil lipid, pengontrolan kadar gula darah (HbA1c) dan gula darah puasa sendiri serta IMT, tidak berhubungan dengan gangguan kognitif.
13
case report
original article
I Made Oka Adnyana
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah Denpasar
Abstrak. Migren merupakan nyeri kepala primer yang cukup sering dijumpai. Serangan migren terkadang sangat menganggu baik kehidupan sosial maupun ekonomi penderita. Semakin sering terjadi serangan, kehidupan penderita akan semakin terganggu, sehingga perlu diberikan terapi pencegahan. Beberapa obat yang bisa dipakai untuk pencegahan migren adalah: Ca blocker (flunarizin, nimodipin), penyekat beta (propanolol, timolol), antidepresan (amitriptilin, nortriptilin, flouxetin), antiepilepsi (asam valproat, gabapentin, topiramat). Artikel ini membahas satu kasus penderita migren yang mengalami perbaikan setelah diterapi dengan obat antiepilpepsi yaitu asam valproat.
MEDICINUS
Kata kunci: migren, pencegahan, asam valproat
14
Pendahuluan Setiap orang pasti pernah menderita nyeri kepala selama hidupnya, dan nyeri kepala merupakan kasus yang paling sering berobat ke poliklinik saraf. Kasus migren merupakan kasus kedua terbanyak setelah nyeri kepala tipe tegang yang datang berobat ke poliklinik saraf. Puncak prevalensi migren antara usia 25-55 tahun usia yang dimana sangat produktif, sehingga serangan migren harus diobati dengan sebaik-baiknya.1 Migren merupakan gangguan neurobiologik, yang berhubung-an dengan perubahan kepekaan sistem saraf dan aktivasi sistem trigeminovaskular. Dimana penderita migren lebih peka dari pada orang tanpa migren. Pada setiap serangan migren di samping mengganggu kehidupan sosial dan ekonomi juga akan mengakibatkan perubahan permanen dari sistem saraf pusat. Beberapa penderita migren dengan atau tanpa aura menunjukkan bertambahnya risiko lesi subklinik pada daerah tertentu. Seperti daerah serebelum dan sirkulasi posterior pada penderita dengan migren menunjukkan prevalensi infark yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (5,4%: 0,7%). Risiko tertinggi adalah pada penderita migren dengan aura yang serangannya lebih dari 1 kali/bulan. Pada wanita risiko terjadinya deep white matter lesion (DWML) lebih besar pada pende-rita migren dibandingkan dengan kontrol. Risiko ini bertambah bila serangan lebih dari dua kali/bulan, akan tetapi risikonya sama pada penderita migren dengan atau tanpa aura. Pada laki-laki tidak menunjukkan perbedaan DWML antara kontrol dan penderita migren. Pada penderita migren juga ditemukan adanya akumuluasi ion Fe di daerah peri aquductus gray yaitu area yang memodulasi penghantaran nyeri secara desenden, dan bila daerah ini mengalami gangguan akibat akumulasi Fe akan mengganggu proses inhibisi penghantaran nyeri.2
Pencegahan serangan migren3-5 Mengingat efek perubahan pada susunan saraf pusat akibat serangan migren, maka serangan migren perlu diobati dan yang lebih pen-ting adalah mencegah kekambuhan serangan agar jangan sampai berulang.
1. 2. 3.
Adapun prinsip umum terapi pencegahan adalah: Mengurangi frekuensi berat dan lamanya serangan. Meningkatkan respon pasien terhadap pengobatan. Meningkatkan aktivitas sehari-hari, serta pengurangan disabilitas.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Sedangkan indikasi terapi pencegahan adalah: Serangan berulang dan mengganggu aktivitas. Nyeri kepala sering terjadi (2 kali atau lebih dalam seminggu). Ada kontraindikasi terhadap terapi akut. Kegagalan terapi atau overuse. Efek samping yang berat pada terapi akut. Biaya untuk terapi akut dan pencegahan. Keinginan yang diharapkan penderita. Munculnya gejala-gejala dan kondisi yang luar biasa, misalnya migren basiler, hemiplegia, aura yang memanjang.
Asam Valproat (Antiepilepsi) sebagai Pencegahan Migren Antiepilepsi sebagai antinyeri telah digunakan sejak tahun 1960. Beberapa mempunyai efek nyata pada nyeri neuropati, dan disertai bukti efektivitasnya. Saat ini obat antiepilepsi telah banyak digunakan sebagai pencegahan migren. Obat antiepilepsi yang dipakai untuk pencegahan migren adalah golongan valproat (asam/sodium) dan topiramat dengan bukti klinis A dan gabapentin dengan bukti klinis B. Dalam percobaan telah terbukti selama serangan migren terjadi ketidakseimbangan konsentrasi neuron inhibisi (GABA) dan neuron eksitasi (glutamat dan aspartat) di dalam plasma. Valproat meningkatkan konsentrasi GABA di otak dengan jalan menghambat enzim GABA transaminase dan juga mengaktifkan enzim glutamat dekarboksilase yang akan menurunkan kadar glutamat. Seperti yang telah diketahui bahwa saat terjadi serangan migren kadar glutamat meningkat, sesuai dengan teori hipereksitabilitas saat terjadinya serangan migren. Valproat juga meningkatkan kadar asam homovanilik,
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Valproat juga meningkatkan kadar asam homovanilik, ekepalin yang berfungsi untuk transmisi nyeri di striatum, batang otak, hipotalamus dan korteks. Efek yang nyata dari valproat adalah penurunan ekstravasasi plasma pada saat terjadinya inflamasi neurogenik pada awal serangan migren dengan jalan interaksi dengan reseptor GABA. Percobaan pada binatang, valproat memblok c fos expression dan neurogenic inflamasi. Reseptor GABA juga terdapat di nukleus raphe dorsalis, di mana aktivitasnya menurunkan firing rate neuron serotoninergik yang terlibat dalam serangan migren.
ekepalin yang berfungsi untuk transmisi nyeri di striatum, batang otak, hipotalamus dan korteks. Efek yang nyata dari valproat adalah penurunan ekstravasasi plasma saat terjadinya inflamasi neurogenik pada awal serangan migren dengan jalan interaksi dengan reseptor GABA. Percobaan pada binatang, valproat memblok c fos expression dan neurogenic inflamation. Reseptor GABA juga terdapat di nukleus raphe dorsalis, di mana aktivitasnya menurunkan firing rate neuron serotoninergik yang terlibat dalam serangan migren. Pemberian asam valproat peroral cepat diabsorpsi dan kadar maksimal dalam serum tercapai setelah 1-3 jam. Dengan masa paruh 8-10 jam, kadar dalam darah stabil dalam 48 jam setelah terapi. Ekresi sebagian besar lewat urin. Efek samping yang bisa terjadi adalah gangguan saluran cerna (mual, muntah dan anoreksia). Efek samping pada SSP adalah rasa mengantuk, ataksia, dan tremor.6 Dalam penelitian klinik efek sodium valproat sebagai profilaksis migren diketahui dari suatu percobaan randomized double-blind control placebo dengan menggunakan dosis 800 mg, berhasil menurunkan frekuensi serangan migren sebanyak 44%, dibandingkan dengan plasebo. Pada penelitian lain dengan randomized control trial, dengan dosis sesuai dosis antiepilepsi (500-1000 mg), ternyata valprota menurunkan 43% hari tanpa migren dibandingkan dengan plasebo, tetapi berat dan durasi serangan migren tidak dipengaruhi.7 Penelitian multicenter randomized, plasebo kontrol studi dari divalproat pada penderita migren dengan atau tanpa aura. Dosis yang digunakan adalah dosis titrasi sampai dosis sesuai dengan dosis
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Laporan Kasus Seorang wanita umur 36 tahun, suku Bali sudah menikah dengan 2 anak, datang ke poliklinik rumah sakit Puri Raharja Denpasar, mengeluh nyeri kepala berdenyut di kepala sebelah kiri, intensitas nyeri sedang sampai berat. Dalam setiap serangan berlangsung 4 jam kadang-kadang lebih dari 1 hari, keluhan semakin berat dengan adanya aktivitas fisik, seperti berjalan dan naik tangga. Keluhan disertai mual dan muntah. Pada saat serangan penderita merasa tidak enak bila melihat cahaya. Serangan muncul 2-3 kali/minggu. Keluhan sakit seperti ini sudah diderita sejak umur 15 tahun, dan dengan minum obat yang dibeli di toko obat/warung keluhan nyeri kepala bisa hilang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil; kedaan umum mengalami nyeri kepala berat. Tanda vital: tekanan darah 130/80 mmHg, denyut nadi 80 x/menit, respirasi 20x/menit, suhu tubuh 36,4°C. Pada pemeriksaan status general dalam batas normal. Pada pemeriksaan neurologi: nervus kranialis normal, funduskopi normal, tanda rangsangan meningen tidak ada, motorik baik, sensorik baik, refleks fisiologis +/+, refleks patologis -/-. Diagnosis kerja: migren tanpa aura. Penderita diterapi dengan: 1. Analgetik (campuran metampiron 500 mg, klordiazepoksid HCl 5 mg, vitamin B1, B6, B12 dan kafein anhidrat 50 mg), kalau perlu. 2. Flunarizin 5 mg (malam hari) sebagai pencegahan. 3. Antimigren (alkoloid beladona, ergotamin tartat 0,3 mg dan fenobarbital 20 mg), dua kali sehari maksimal 3 hari. Selama minum obat keluhan berkurang sampai hilang tetapi begitu obat habis keluhan muncul lagi, sehingga penderita datang kontrol lagi. Kemudian penderita diminta untuk minum obat antimigren 2-3 kali/minggu dan analgetik diminum kalau perlu serta obat flunarizin sebagai pencegahan. Keluhan nyeri kepala berkurang sehingga penderita bisa beraktivitas lagi. Tetapi keluhan nyeri kepala kadang-kadang masih muncul, meskipun penderita sudah minum obat flunarizin sebagai terapi pencegahan selama 3 bulan, sehingga
MEDICINUS
untuk antiepilepsi, hasilnya yaitu divalproat mampu menurunkan frekuensi serangan migren sebanyak 39% jika dibandingkan dengan plasebo. Penelitian multicenter tentang rentang dosis perlu dilakukan karena dengan dosis rendah mungkin efektif untuk beberapa pasien. Dengan dosis 500–1500 mg hasilnya lebih superior dari plasebo. Pada percobaan klinis, efek asam valproat sebagai pencegahan migren telah diteliti dalam suatu studi randomized double-blind and placebo control dimana asam valproat berhasil menurunkan serangan migren sebanyak 44%.8 Preitag dkk (2002) meneliti secara double blind randomized di mana dosis yang digunakan adalah 500 mg dan dinaikkan secara perlahan sampai dosis 1000 mg per hari dapat mencegah serangan migren sebanyak 81% dibandingkan dengan plasebo.9 Pada penelitian oleh Pulley (2005) dengan rancangan double blind dibandingkan dengan plasebo dengan dosis 400 mg, dapat mencegah serangan migren sebanyak 86,2%.10 Pada penelitian yang dilakukan oleh Modi dkk (2006) dengan subjek sebanyak 34 pasien ternyata hasilnya sangat efektif untuk mencegah serangan migren. Pada suatu penelitian multicenter randomized dan plasebo kontrol dari divalproat pada penderita migren dengan aura dan migren tanpa aura, dengan dosis titrasi sampai dosis setara dengan antiepilepsi (500-1000 mg), ternyata asam valproat bisa mencegah serangan migren sebanyak 39% dibandingkan dengan plasebo. Pada dosis 500-1500 mg hasilnya lebih bagus dibandingkan dengan plesebo. Terapi dengan valproat digunakan apabila obat pilihan pertama untuk pencegahan migren seperti penyekat beta (flunarizin) tidak efektif atau ada kontraindikasi. Dosis yang digunakan adalah 500 mg sebagai dosis awal, dosis bisa dinaikkan tergantung efektivitas dan efek samping.11
15
MEDICINUS
16
Pemberian asam valproate peroral cepat diabsorpsi dan kadar maksimal dalam serum tercapai setelah 1-3 jam. Dengan masa paruh 8-10 jam, kadar dalam darah stabil dalam 48 jam setelah terapi. Ekresinya sebagian besar lewat urine. Efek samping yang bisa terjadi adalah gangguan saluran cerna (mual, anotreksia dan muntah). Efek samping pada SSP adalah rasa mengantuk, ataksia dan tremor.6 penderita disarankan untuk pemeriksaan CT scan kepala dan EEG, untuk mengetahui apakah ada kelainan organik di intraserebral sebagai penyebab nyeri kepalanya. Hasil pemeriksaan CT scan kepala dan EEG adalah normal, sehingga kecurigaan kelainan organik sebagai penyebab nyeri kepala sudah tersingkirkan. Diagnosis tetap migren tanpa aura. Kemudian terapi diganti dengan pemberian analgetik, antimigren dan asam valproat sebagai pencegahan. Setelah diterapi dengan asam valproat sebagai pencegahan keluhan nyeri kepala hilang. Dan setelah 3 bulan ternyata keluhan nyeri kepalanya sudah tidak pernah kambuh lagi.
Diskusi Migren adalah gangguan neurobiologik yang berkaitan dengan perubahan kepekaan sistem saraf dan aktivasi sistem trigeminovaskular. Ciri-cirinya adalah terjadinya serangan sakit kepala dan gejala neurologik, gastrointestinal dan otonom. Migren menurut International Headache Society (IHS) dibagi menjadi: migren tanpa aura, migren dengan aura, sindrom periodik pada anak yang sering menjadi prekursor migren, migren retinal, komplikasi migren dan probable migren. Sedangkan kriteria diagnostik migren tanpa aura menurut IHS adalah:12 A. Sekurang-kurangnya terjadi 5 serangan yang memenuhi kriteria B-D. B. Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam (tidak diobati atau tidak berhasil diobati). C. Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua di antara karakteristik berikut: 1. Lokasi unilateral. 2. Kualitas berdenyut. 3. Intensitas nyeri sedang sampai berat. 4. Keadaan bertambah berat oleh aktivitas fisik atau penderita menghindari aktivitas fisik rutin (seperti berjalan atau naik
tangga). D. Selama nyeri kepala disertai salah satu gejala di bawah ini: 1. Mual dan atau muntah. 2. Fotofobia dan fonofobia. E. Tidak berkaitan dengan kelainan lain. Melihat kasus pada penderita di atas maka penderita cocok dengan kriteria diagnostik migren tanpa aura, karena nyeri kepala unilateral (satu sisi kepala), serangan 4 jam, kadang sampai lebih 1 hari, diperberat oleh aktivitas fisik, mengalami mual dan muntah serta tidak enak melihat cahaya. Pengobatan yang diberikan adalah analgetik, antimigren dan obat untuk pencegahan migren yaitu flunarizin. Setelah diterapi dengan flunarizin selama 2 bulan, serangan migren belum terkontrol, sehingga dilakukan pemeriksaan penunjang (CT scan dan EEG) untuk mengetahui ada atau tidak kelainan organik penyebab nyeri kepala. Hasil CT scan kepala dan EEG normal. Dengan demikian kemungkinan penyebab yang berasal organik bisa disingkirkan. Pencegahan migren dengan flunarizin efektif setelah diberikan minimal 2 bulan dan hanya mengurangi serangan sebanyak 50%, hal ini mungkin dapat menjelaskan kenapa pada penderita pemberian flunarizin kurang memuaskan. Pada penderita ini tidak diberikan terapi pencegahan dengan penyekat beta, karena tekanan darah penderita dalam batas normal, sehingga pada penderita kemudian diberikan asam valproat dengan dosis 2x250 mg. Setelah dievaluasi selama 3 bulan serangan migren pada penderita ini bisa terkontrol.
Kesimpulan
Migren merupakan nyeri kepala primer yang menempati urutan kedua dalam kunjungan ke klinik sefalgia poliklinik saraf. Serangan migren mengakibatkan efek yang merugikan terhadap pasien, keluarga, maupun masyarakat, sehingga bila serangannya sering perlu dilakukan pencegahan. Salah satu obat yang bisa dipakai untuk pencegahan adalah obat antiepilepsi, karena salah satu teori timbulnya bangkitan epilepsi dan migren karena ketidakseimbangan neurotransmiter eksitasi (glutamat) dan neurotransmiter inhibisi (GABA), di mana pada migren terjadi peningkatan neurotransmiter eksitasi. Pada kasus yang dilaporkan ternyata dengan terapi flunarizin sebagai pencegahan serangan migren belum terkontrol dan setelah diberikan asam valproat baru penderita bebas dari serangan migren. Daftar Pustaka 1. Djoenaedi Wijaya. The impact of migraine and the need of prophylactic treatment. In: Hassan S, Aldy SR, editor. Buku Proseding Pertemuan Nasional I Nyeri Kepala. 7-8 Agustus 2004. Medan.p.21-45 2. Welch KM. Brain hyperexcitability: the basis for antiepileptic drug in migraine prevention. Headache 2005; 45 Suppl 1:S25-32 3. Nissan GR, Diamond ML. Advance in migraine treatment. JAOA 2005; 105(4 Suppl 2):S9-5 4. Silberstein SD. Treatmen of migraine. AAN 2004 5. Sun C, Rapoport A. New treatment strategies for migraine prevention. US Neurological Disease 2006; 18-22 6. Steiner TJ, Hansen PT. Antiepileptic drugs in migraine prophylaxis. In: Olesen J, Hansen PT, Welch KM, editor. The Headache. 2nd ed. Philadelphia:Lippnicot Williams and Wilkins; 2000.p.483-88 7. Cuter FM, Limmroth V, Moskowitz MA. Possible mechanism of valvroate in migraine Prophylaxis. Cephalgia 1997; 17:93-100 8. Spasic M, Zivkovic M, Lukic S. Prophylactic treatment of migraine by valproate. Medicine and Biology 2003; 10(3):106-10 9. Freitag FG, Collins SD, Carlson AA, Goldstein J, Saper J, Silberstein SD, et al. A randomized trial of divalproate sodium extended release tablets in migraine prophylaxis. Neurology 2003; 58:1652-9 10. Pulley MT. Migraine headache. Origins consequences. Diagnosis and treatment. Northeas Florida Medicine 2005:10-3 11. Modis, Lowder DM. Medications for migraine prophylaxis. Americans Family Physician 2006; 73:72-80 12. International Headache Society. The International Classification of Headache Disorder, 2nd Edition. Cephalgia 2004; 24 Suppl 1:9-160
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
case report
original article
M. Fadjar Perkasa
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran UNHAS/RS. dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Abstrak. Dilaporkan satu kasus timpanoplasti pada seorang anak berumur 9 tahun dengan keluhan keluar cairan dari telinga kanan berwarna kekuningan sejak 5 tahun lalu, hilang timbul. Telah dilakukan tindakan timpanomastoidektomi tipe 1 dengan combined approach timpanoplasti pada penderita otitis media supuratif kronik (OMSK) yang disertai dengan jaringan granulasi. Pasca operasi, penderita sadar baik dan tidak ditemukan komplikasi saraf fasialis perifer. Pada kasus ini kami menyimpulkan bahwa hasil operasi memuaskan.
Pendahuluan Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah penyakit telinga tengah dimana terjadi peradangan kronis dari telinga tengah dan mastoid disertai perforasi dari membran timpani yang permanen disertai sekret (otore) yang hilang timbul dengan konsistensi encer atau kental, bening atau berupa nanah (mukopurulen) berlangsung lebih dari 2 bulan. OMSK dibagi menjadi 2 jenis yaitu OMSK tipe aman (tipe mukosa = benign) dan OMSK tipe bahaya (tipe tulang = maligna) sedang berdasarkan aktivitas sekretnya yang keluar dikenal juga OMSK aktif dan OMSK tenang.1,2 Prinsip terapi OMSK adalah konservatif atau dengan medikamentosa serta operatif/pembedahan. Ada beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang dilakukan pada OMSK dengan mastoiditis kronik baik tipe aman atau bahaya antara lain (1) mastoidektomi sederhana (2) mastoidektomi radikal (3) mastoidektomi radikal dengan modifikasi (4) miringoplasti (5) timpanoplasti (6) timpanoplasti pendekatan ganda (combined approach tympanoplasty).2 Tujuan utama dalam timpanoplasti pendekatan ganda (combined approach tympanoplasty) adalah untuk membersihkan semua jaringan patologis dimana anatomi dari meatus eksternus termasuk sulkus timpani utuh. Kavum mastoid dibuka untuk menghindari sistem aerasi yang tertutup. Aerasi dapat diperoleh dengan membersihkan penyumbatan antara kavum timpani, antrum dan sistem sel mastoid. Teknik timpanotomi posterior diperkenalkan oleh penciptanya pada akhir tahun 1950 di mana hasilnya baik pada tulang temporal. Ini dapat dilakukan dengan penipisan yang luas pada dinding posterior dalam rongga mastoid sehingga dapat mengevaluasi semua bagian dari telinga tengah.3
Patogenesis OMSK4,5 Pada saat ini patogenesis otitis media supuratif kronis (OMSK) tetap tidak diketahui. Kemungkinan besar proses primer terjadi pada sistem tuba Eustachius, telinga tengah dan sel mastoid. Proses ini khas mempunyai aktivitas derajat rendah, tidak jelas tampak dan menetap, berakibat hilangnya sebagian membran timpani sehingga memudahkan
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
proses menjadi lebih kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit infeksi telinga tengah supuratif menjadi kronis sangat bervariasi, antara lain: 1. Gangguan fungsi tuba Eustachius yang kronis akibat: a. infeksi hidung dan tenggorok yang kronis atau berulang, b. obstruksi anatomik tuba Eustachius parsial atau total. 2. Perforasi membran timpani yang menetap. 3. Terjadinya metaplasia skuamosa atau perubahan patologik menetap lainnya pada telinga tengah. 4. Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga tengah atau rongga mastoid. Hal ini dapat disebabkan oleh jaringan parut, penebalan mukosa, polip, jaringan granulasi atau timpanosklerosis. 5. Terdapat daerah-daerah dengan sekuester atau osteomielitis persisten di mastoid. 6. Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau perubahan mekanisme pertahanan tubuh. OMSK lebih sering merupakan penyakit kambuhan daripada menetap. Keadaan kronis ini lebih berdasarkan waktu dan stadium daripada keseragaman gambaran patologi. Ketidakseragaman ini disebabkan karena proses peradangan yang menetap atau kambuhan ditambah efek kerusakan jaringan, penyembuhan dan pembentukan jaringan parut. Secara umum gambaran yang ditemukan adalah: 1. Terdapat perforasi membran timpani di bagian sentral. Ukurannya dapat bervariasi mulai kurang dari 20% luas membran timpani sampai seluruh membran dan terkenanya bagian-bagian dari anulus. Dalam proses penyembuhan dapat terjadi pertumbuhan epitel skuamosa ke dalam telinga tengah. Pertumbuhan ke dalam ini dapat menutupi tempat perforasi saja atau dapat mengisi seluruh rongga telinga tengah. Kadang-kadang perluasan lapisan tengah ini ke daerah atik mengakibatkan pembentukan kantong dan kolesteatom sekunder. Kadang-kadang terjadi pembentukan membran timpani atrofik dua lapis tanpa unsur jaringan ikat. Membran ini cepat rusak pada periode infeksi aktif.
MEDICINUS
Kata Kunci: OMSK, timpanoplasti
17
MEDICINUS
18
2. Mukosa bervariasi sesuai stadium penyakit. Dalam periode tenang, kondisi akan tampak normal kecuali bila infeksi telah menyebabkan penebalan atau metaplasia mukosa menjadi epitel transisional. Selama infeksi aktif, mukosa menjadi tebal dan hiperemis serta menghasilkan sekret mukoid atau mukopurulen. Setelah pengobatan, penebalan mukosa dan sekret mukoid dapat menetap akibat disfungsi kronik tuba Eustachius. Faktor alergi dapat juga meru pakan penyebab terjadinya perubahan mukosa menetap. Pada sebagian kasus, penebalan mukosa terjadi karena iritasi fisik akibat terpaparnya mukosa dengan dunia luar. Penebalan mukosa bisa menutup seluruh rongga atik dan mastoid, yang mengakibatkan terisinya ruangan ini dengan mukus. Dengan berjalannya waktu, kristal-kristal kolesterin terkumpul dalam kantong mukus, membentuk granuloma kolesterol. Proses ini bersifat iritatif, menghasilkan granulasi pada membran mukosa dan infiltrasi sel datia pada cairan mukus kolesterin. Proses ini juga dapat terlihat dalam telinga tengah pada otitis media sekretoria kronik. Dalam penyembuhan, mukosa dapat menunjukan perubahan menjadi timpanosklerosis, yang terdiri dari formasi lempeng hialin amorf dalam submukosa, dengan bentuk bervariasi mulai dari lapisan tipis sampai ke massa yang tebal. Pada stadium awal, mukosa tampak tebal dan seperti karet. Dengan berlanjutnya proses penyembuhan, lempeng ini menjadi kekuningan dengan konsistensi seperti dempul. Suatu saat terjadi penimbunan garam kalsium, membentuk massa sekeras tulang. Tempat predikleksi proses ini adalah di daerah anulus membran timpani, khususnya anterosuperior dan sekeliling tulang-tulang pendengaran. Proses ini menyebabkan fusi atau fiksasi rangkaian tulang pendengaran yang mengakibatkan tuli berat. Mukosa juga dapat mengalami pembentukan jaringan granulasi dan/atau polip. Proses ini berhubungan dengan adanya sekret persisten atau infeksi aktif yang berlangsung lama. Pembentukan polip biasanya berhubungan dengan adanya epitel skuamosa di telinga tengah. Massa ini dapat muncul keluar lewat perforasi kecil, menghalangi sebagian drainase dan mengakibatkan penyakit menjadi persisten. 3. Tulang-tulang pendengaran dapat rusak atau tidak, tergantung pada beratnya infeksi sebelumnya. Biasanya prosesus longus inkus telah mengalami nekrosis karena penyakit trombotik pada pembuluh darah mukosa yang memperdarahi inkus ini. Nekrosis lebih jarang mengenai maleus dan stapes, kecuali kalau terjadi pertumbuhan skuamosa secara sekunder ke arah dalam sehingga arkus stapes dan lengan maleus dapat rusak. Proses ini bukan disebabkan oleh osteomielitis tetapi disebabkan oleh terbentuknya enzim osteolitik atau kolagenase dalam jaringan ikat subepitel. 4. Tulang Mastoid. OMSK paling sering berawal pada masa anak-anak. Pneumatisasi mastoid paling aktif terjadi antara 5 - 10 tahun. Bila infeksi kronik terus berlanjut mastoid mengalami proses sklerotik, sehingga ukuran prosesus mastoid berkurang. Antrum menjadi lebih kecil dan pneumatisasi terbatas, hanya ada sedikit sel udara saja sekitar antrum.
Indikasi3 Teknik operasi timpanoplasti dengan pendekatan ganda (combined approach tympanoplasty) dikerjakan pada kasus OMSK tipe bahaya atau OMSK tipe aman dengan jaringan granulasi yang luas. Tujuan operasi adalah untuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran tanpa melakukan teknik mastoidectomy radikal (tanpa meruntuhkan dinding posterior liang telinga) antara lain pada penyakit kronik telinga tengah, otomastoiditis kronik dengan jaringan granulasi atau kolesterol granuloma, tumor pada telinga tengah dan mastoid, otitis media seromucin yang gagal dengan pemasangan pipa Grommet, dekompresi saraf facialis.
Kontraindikasi3,6,7 Teknik operasi ini pada OMSK tipe maligna belum disepakati oleh para ahli karena sering terjadi kambuhnya kolesteatoma kembali. Pada kebanyakan kasus tumor ganas pada meatus merupakan kontraindikasi. Fistula pada sistem Kanalis semisirkularis harus dipertimbangkan.
Gambar 3. Batas timpanotomi posterior7
Laporan Kasus Seorang anak berumur 9 tahun datang dengan keluhan keluar cairan dari telinga kanan yang berwarna kekuningan tidak berbau yang dikeluhkan sejak umur 4 tahun yang hilang timbul dengan disertai penurunan pendengaran pada telinga kanan. Riwayat demam (-), otalgia (-), tinitus (-), cephalgia (-), vertigo (-), paresa pada wajah (-). Keluhan pada hidung dan tenggorokan disangkal. Pemeriksaan fisis Keadaan umum: Baik/ gizi cukup/ kompos mentis Otoskopi: Kanan: MAE dalam batas normal, membran timpani perforasi sedang, mukosa kavum timpani hiperemis, sekret (+) mukopurulen, jaringan granulasi (-) Kiri: MAE dalam batas normal, membran timpani utuh, pantulan cahaya (+), sekret (-) Rinoskopi: Konka normal, mukosa normal, sekret (-) Faringoskopi: T1/T1 tenang, mukosa dorsal faring normal Pemeriksaan penunjang Tes garputala: - R + ← W ↑SN Tes Audiometri: Kanan: Tuli konduktif ringan (38,3 dB) Kiri: Pendengaran normal (18 dB) Patch test: Kanan/pendengaran normal (30 dB) Tes fungsi tuba (+)
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
MEDICINUS
Tes fistula: Vertigo (-) nistagmus (-) Tes keseimbangan: tes Manns: Tidak ada kelainan tes Romberg: Tidak ada kelainan tes Stepping: Tidak ada kelainan Laboratorium : Dalam batas normal Foto thoraks: Dalam batas normal CT scan Mastoid potongan axial: - tampak perselubungan pada rongga telinga tengah dengan air cell mastoid kanan berkurang - osikel telinga kanan intak - struktur telinga dalam intak - telinga kiri: struktur telinga dalam, osikel, dan pneumatisasi mastoid dalam batas normal Kesan: Otomastoiditis kanan
19
-
Diagnosa kerja: Otitis media supuratif kronik dekstra Tindakan: Timpanomastoidektomi tipe 1 dengan pendekatan ganda Laporan operasi: - pasien baring dalam posisi supine di bawah pengaruh anastesi umum. - dilakukan insisi retroaurikuler sampai tampak fasia temporalis, lapisan fasia temporalis profunda dielevasi dan diambil untuk graft. - dilakukan insisi “H” pada periosteum kemudian dielevasi. - identifikasi spine of henle, linea temporalis serta segitiga Mc-ewen. - pahat korteks mastoid lalu diperdalam dengan bor sampai tampak antrum→ jaringan granulasi (+) dibersihkan, evaluasi diperluas sampai epitimpanum→ jaringan granulasi (+) dibersihkan.
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Bebaskan kulit dinding posterior MAE D/ → maleus utuh, mobile (+), kavum timpani kosong, muara tuba terbuka. Identifikasi Processus Brevis Inkus → utuh, mobile(+) → tampak jaringan granulasi di sekitar inkus yang menutupi additus ad antrum, aerasi tidak ada → coba bersihkan jaringan granulasi, aerasi tetap tidak ada.
- -
Pasang drain serta masukkan tampon antibiotik, tutup luka insisi. Operasi selesai.
MEDICINUS
Perawatan hari 1
-
20
- -
buat timpanotomi posterior pada ressesus fasialis dengan Diamond Burr → Kanalis fasialis pars mastoid terkikis, saraf facialis terpapar tetapi tetap utuh (tidak putus). antrum dan kavum timpani sudah terhubung → aerasi baik dan lancar. tandur graft diletakkan secara overlay.
KU: Baik
Instruksi perawatan:
N: 100x/menit, P: 24x/menit, S: 37° C
- awasi tanda vital dan perdarahan
Perdarahan (-), Parese fasialis perifer (-)
- IVFD RL: Dex 5%=1:1=18 tts/ mnt
Cephalgia (+) Vertigo (-)
- Inj. Cefotaxime 500 mg/12 jam/hari
Mual/muntah (-)
- Inj. Dexamethasone 2,5 mg/8 jam/hari - Inj. Ulsikur 100 mg/8 jam/hari - Inj. Antrain 25 mg/8 jam/hari
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
KU: Baik
Instruksi perawatan:
N: 100x/menit, P: 24x/menit, S: 37°C
- awasi tanda vital dan perdarahan
Perdarahan (-), Parese facialis perifer(-)
- Aff drain, ganti verband
Cephalgia (-) Vertigo (-)
- IVFD RL: Dextrosa 5%= 1:1= 18 tts/mnt
Luka insisi baik, tanda infeksi (-)
- Inj. Cefotaxime 500 mg/12jam/ hari - Inj. Dexamethasone 2,5 mg/8 jam/hari - Inj. Ulsikur 100 mg/8 jam/hari - Inj. Antrain 25 mg/8 jam/hari
Perawatan hari ke 5 KU: Baik
Instruksi perawatan :
N: 100x/menit, P: 24x/menit, S: 37°C
- Aff infus, ganti oral
Parese facialis perifer(-) Cephalgia (-)
- Ganti verband
Luka insisi baik, tanda infeksi (-)
- Cefadroxil tab 3x250 mg - Methylprednisolone 3x2 mg - Asam mefenamat 3x250 mg - Boleh pulang, kontrol di poli THT
Diskusi OMSK merupakan penyakit telinga tengah yang sering ditemukan pada anak-anak dan tidak jarang menyebabkan gangguan fungsi pendengaran yang permanen. Pada kasus OMSK yang tidak berespon terhadap pengobatan perlu ditelusuri faktor predisposisi yang menyebabkan kekambuhan penyakit, seperti gangguan fungsi tuba yang kronik, perforasi membran timpani yang menetap, aerasi kavum timpani-kavum mastoid yang menetap akibat jaringan granulasi, kolesteatoma. Dilaporkan satu kasus, anak laki-laki 9 tahun dengan keluhan otore kronik sejak 5 tahun yang lalu, hilang timbul. Penderita mempunyai riwayat berobat sebelumnya, dari anamnesis dan pemeriksaan fisis THT tidak ditemukan faktor predisposisi seperti yang disebutkan di atas, kecuali terdapatnya perforasi yang menetap. Pemeriksaan audiometri pure tone, didapatkan telinga kanan tuli konduktif ringan (38,3 dB) dan kiri normal. Hal ini menunjukkan terdapat gangguan fungsi konduksi telinga tengah akibat perforasi ukuran sedang dan kemungkinan besar rantai ossikula masih utuh. Tidak ditemukan adanya gangguan keseimbangan, gangguan fungsi tuba dan tes fistula negatif. Pemeriksaan radiologi, foto polos mastoid tampak kesan mastoiditis kronik kanan dan CT-scan mastoid potongan axial tampak perselubungan pada rongga telinga tengah dengan air cell mastoid kanan berkurang tanpa tanda-tanda destruksi tulang di sekitarnya. Dari pemeriksaan tersebut dapat disimpulkan diagnosis penderita ini adalah OMSK tipe benigna. Oleh karena itu penatalaksanaan terbaik pada kasus ini adalah pembedahan dengan tujuan utama untuk eradikasi penyakit dan sebisa mungkin tetap mempertahankan pendengaran karena ambang pendengarannya tuli konduktif ringan. Durante operationem didapatkan jaringan granulasi pada antrum mastoid, meluas ke epitimpanum di sekitar inkus yang menutupi aditus ad antrum sehingga aerasi tidak ada. Jaringan granulasi dibersihkan namun aerasi tetap tidak ada sehingga diputuskan untuk dilakukan timpanotomi posterior. Pada saat melakukan prosedur tersebut
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
OMSK merupakan penyakit telinga tengah yang sering ditemukan pada anak-anak dan tidak jarang menyebabkan gangguan fungsi pendengaran yang permanen. Pada kasus OMSK yang tidak berespon terhadap pengobatan perlu ditelusuri faktor predisposisi yang menyebabkan kekambuhan penyakit. kanalis facialis terpapar, namun saraf facialis tetap utuh, sehingga tidak perlu dilakukan reanimasi saraf fasialis. Kemudian dilakukan pemasangan graft fascia temporalis profunda secara overlay. Pasca operasi, penderita sadar baik, komplikasi pasca operasi berupa perdarahan, parese saraf fasialis perifer dan vertigo tidak ada, terapi antibiotik, analgetik dan antiinflamasi diberikan per injeksi kemudian dilanjutkan terapi oral. Keberhasilan operasi timpanomastoidektomi ditentukan oleh dua hal utama, yaitu viabilitas dari graft dan perbaikan pendengaran pasca operasi yang diukur tiga bulan pasca operasi. Pada kasus ini kami menyimpulkan bahwa operasi dan perawatan pasca operasi berjalan baik.
Kesimpulan OMSK merupakan penyakit telinga tengah yang dapat menyebabkan komplikasi berupa gangguan fungsi pendengaran yang permanen yang apabila tidak ditangani dengan baik dapat mengancam jiwa penderita jika perluasan penyakit ke intraranial. Pemeriksaan radiologi, foto polos mastoid dan CT-Scan mastoid potongan axial pre operasi sangat penting dalam mendeteksi perluasan penyakit dan dalam merencanakan tindakan terbaik yang akan dilakukan untuk kesembuhan penderita. Penatalaksanaan pada kasus ini adalah combined approach tympanoplasty yang bertujuan untuk eradikasi penyakit dan tetap mempertahankan pendengaran. Daftar Pustaka 1. Helmi. Otitis media supuratif kronik. Dalam: Helmi, Otitis Media Supuratif Kronik Pengetahuan Dasar, Terapi Medik, Mastoidektomi, Timpanoplasti. Jakarta:Balai Penerbit FKUI,2005.p.55-69 2. A Zainul, Djaafar, Helmi. Kelainan telinga tengah. Dalam: Buku Ajar Ilmu Ke-sehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam. Jakarta:Balai Penerbit FKUI, 2007.p.64-77 3. Jansen CW. Combined approach tympanoplasty. In: Ballantyne JC. Operative Surgery Ear. 4th edition. United Kingdom:Butterworths, 1986.p.91-101 4. Ballenger JJ. Anatomi dan embriologi telinga. Dalam: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jilid dua, Edisi 13. Jakarta Barat:Binarupa Aksara,1997.p.101-51 5. Ballenger JJ. Penyakit telinga kronis. Dalam: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jilid dua, Edisi 13. Jakarta Barat:Binarupa Aksara,1997.p.392-403. 6. A Zainul, Djaafar, Helmi. Komplikasi otitis media supuratif. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Ke-6. Jakarta:Balai Penerbit FKUI, 2007.p.78-86 7. Bennet M, Warren F, Haynes D. Indications and technique in mastoidectomy.In: Otolaryngologic Clinics of North America. USA:Elsevier Saunders Inc, 2006.p.1095-112
MEDICINUS
Perawatan hari 3
21
medical review
Yaya Rukayadi* dan Jae Kwan Hwang**
MEDICINUS MEDICINUS
* Natural Products and Biomaterials Lab., Department of Biotechnology, College of Engineering, Yonsei University, Republic of Korea; Biopharmaca Research Center, Bogor Agricultural University, Indonesia ** Natural Products and Biomaterials Lab., Department of Biotechnology, College of Engineering, Yonsei University, Republic of Korea
22
Abstract. Quorum sensing (QS) is a process that enables bacteria to communicate using secreted signaling molecules called autoinducer. This process enables a population of bacteria to regulate gene expression. Link between QS and virulence factors as well as the formation of biofilms have been established for a number of important pathogenic bacteria, suggesting that interference with these signaling circuits might be therapeutically useful. There are two broad strategies for the control of bacterial infection: kill the organism or attenuate its pathogenicity using inhibiting bacterial QS systems. The major concern with the first approach is the frequently observed development of resistance to antimicrobial compounds. Hence, the identification of antagonistic molecules to block QS systems (anti-QS) would be of great interest as therapeutic measures against bacterial infection; additionally, the combination of anti-QS with traditional antibiotics may reduce either the required dosage of antibiotics or duration of therapy. The application of anti-QS may potentially be useful in inhibiting the growth or virulence mechanisms of bacteria in different environments. It is important that pharmacist has an awareness and an understanding of the mechanisms involved in bacterial QS, since strategies targeting QS may offer a means to control the growth of pathogenic bacteria in new drug (antibiotic) design. Abstrak. Quorum sensing (QS) merupakan suatu proses yang memungkinkan bakteri dapat berkomunilasi dengan mengsekresikan molekul sinyal yang disebut autoinduser. Proses ini memungkinkan suatu populasi bakteri dapat pengatur suatu ekspresi gen tertentu. Ekspresi faktor-faktor virulen dan pembentukan biofilm pada sejumlah bakteri patogen penting dikendalikan oleh proses QS, hal ini mengisyaratkan bahwa campur-tangan pada proses QS sangat berguna pagi pengobatan. Ada dua strategi utama untuk mengontrol infeksi bakteri yaitu membunuh bakteri itu dan menurunkan derajat patogennya dengan menggunakan penghambatan QS. Akan tetapi, strategi yang pertama sering kali menimbulkan resistensi bakteri terhadap senyawa antimikroba. Jadi, identifikasi molekul antagonis yang dapat memblokir proses QS (anti-QS) merupakan hal yang sangat menarik untuk melawan infeksi bakteri. Sebagai tambahan, kombinasi antara anti-QS dengan antibiotik kemungkinan akan menurunkan dosis dan lama pengobatan. Penggunaan anti-QS diharapkan dapat digunakan untuk penghambatan pertumbuhan dan mekanisme virulensi pada bakteri di lingkungan yang berbeda. Memahami proses QS dan anti-QS sangat penting bagi ahli farmasi, sebab dengan memahami pendekatan proses QS dan anti-QS ini akan memberikan peluang dan kerangka kerja baru untuk mendisain obat baru.
Pendahuluan Istilah quorum sensing (QS) pertama kali diperkenalkan oleh Profesor Clay Fuqua pada tahun 1994.1 QS digunakan untuk menjelaskan komunikasi di antara sel-sel bakteri. Sebenarnya hal-hal yang berkaitan dengan QS sudah dilaporkan sebelumnya, misalnya Tomasz and Mosser (1966) melaporkan bahwa bakteri Gram-positif, Streptococcus pneumoniae, menghasilkan molekul sinyal yang disebut sebagai competence factor, yang merupakan faktor pengendali pengambilan DNA dari alam (natural transformation).2 Laporan lain, pada tahun 1970, dilaporkan bahwa proses perpendaran cahaya (luminescence) pada bakteri Gramnegatif asal laut, Vibrio fischeri, diatur oleh sebuah molekul sinyal yang dihasilkannya sendiri yang disebut autoinduser (AI).3 Molekul sinyal
tersebut berhasil diidentifikasi berupa N-3-oxo-hexanoyl-L-homoserine lactone pada tahun 1981.4 Selanjutnya pada tahun 1983, gen penyandi protein pengatur pengaktivasi transkripsi (protein R) dan penyandi molekul sinyal AI (protein I) berhasil dikloning, gen tersebut disebut gen lux, atau luxR-luxI yang menghasilkan protein LuxR-LuxI.5 Pada awal tahun 1990-an, homologi luxR-luxI diteliti pada berbagai jenis bakteri dan sistem sinyal LuxR-LuxI pada V. fischeri menjadi paradigma baru untuk menjelaskan proses komunikasi di antara sel-sel bakteri. Sejak tahun 1994, laporan ilmiah tentang QS meningkat tajam, menurut data NCBI (National Center for Biotechnology Information) sampai awal tahun 2009 terdapat 2074 laporan. QS terjadi pada sejumlah bakteri, bakteri menghasilkan senyawa
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Tabel 1. Beberapa contoh aktivitas atau fenotipik bakteri yang diatur oleh QS6,7 Spesies Bakteri Aeromonas hydrophila
Molekul Sinyal atau Autoinduser (AI) C4-HSL
Gen/Protein Pengatur ahyI-ahyR/ AhyI-AhyR
Aktivitas/ Fenotipik - Pembentukan biofilms, dan produksi enzimenzim eksoprotease
Agrobacterium tumefaciens
3-oxo-C8-HLS
traI-traR/TraITraR
- Konjugasi plasmid Ti
Bacillus subtilis
ComX pheromones (a modified decapeptide) / CompetenceStimulating Factor (a pentapeptide)
comX/ComX
- Pembentukan kompeten sel, sporulasi
Burkholderia cepacia
C8-HSL
cepI-R/CepI-R
- Produksi siderophore dan eksoprotease
Chromobacterium violacein
C6-HSL
cviI-cviR/CviICviR
- Produksi eksoenzim, HCN, violacein
Erwinia carotovora subsps. caratovora
3-oxo-C6-HSL
carI-carR/CarICarR expI-expR/ ExpI-ExpR
- Produksi antibiotik carbapenem dan eksoenzim
Pseudomonas aeruginosa
Cd-HSL/3-oxo-C12HSL
lasI-lasR/LasILasR rhlI-rhlI/RhlIRhlR
- Produksi eksoenzim, HCN, rhamnolipid dan pembentukan biofilms
Serratia liquefaciens
C4-HSL
swrI-swrR/SwrISwrR
- Motilitas swarming, produksi eksoprotease
Staphylococcus aureus
Peptide thiolactones
agrBDCA/AgrBDCA
- Produksi eksotoksin, eksoenzim, protein A
Vibrio fischeri
3-oxo-C6-HSL
luxI-luxR/LuxILuxR
- Bioluminescence
Vibrio harveyi
3-hydroxy-C4-HSL
luxLM-luxN/ LuxLM-LuxN
- Bioluminescence
Yersinia pseudotuberculosis
3-oxo-C6-HSL/C8HSL
yesI-yesR/YesIYesR
- Motilitas dan agregasi
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Tabel 2. Spesies bakteri yang mempunyai QS yang diatur oleh LuxS atau AI-2 Spesies Bakteri
Aktivitas yang Diatur
Actinobacillus actinomycetemcomitans
- Virulensi, penambatan besi
Borrelia burgdorferi
- Ekspresi protein pleiotropik
Campylobacter jejuni
- Motilitas
Clostridium perfringens
- Produksi toksin
Escherichia coli W3110
- Pembelahan sel, motilitas dan metabolisma
Escherichia coli EHEC dan EPEC
- Sekresi virulensi tipe III
Neisseria meningitides
- Infeksi bakterimia
Photorhabdus luminescens
- Produksi antibiotik (carbapenem)
Porphyromonas ginggivalis
- Pembentukan biofilm, penambatan heme, produksi protease
Salmonella typhi
- Pembentukan biofilm
Salmonella typhimurium
- Ekspresi transfor ABC
Shigella flexneri
- Transkripsi faktor-faktor yang berasosiasi dengan virulensi
Streptococcus mutans
- Pembentukan biofilm
Streptococcus pneumoniae
- Virulensi
Streptococcus pyogenes
- Ekspresi faktor-faktor virulen
Vibrio cholerae
- Ekspresi faktor-faktor virulen
Vibrio harveyi
- Luminescence, produksi protease, sekresi tipe III, morfologi koloni, produksi siderophore
Vibrio vulnificus
- Virulensi
Aktivitas QS pada bakteri sebenarnya merupakan suatu tanggapan atau respon bakteri terhadap kondisi lingkungannya yang seringkali berubah secara cepat. Respon tersebut sangat diperlukan guna menjaga kelestarian bakteri tersebut, atau dengan kata lain supaya bakteri tersebut tetap survive. Respon tersebut bisa berupa adaptasi terhadap keberadaan nutrisi, pertahanan melawan mikroorganisme lain yang mungkin memiliki kesamaan nutrisi, dan menghindar dari senyawasenyawa toksik yang membahayakan bakteri tersebut.8 Meskipun QS juga terjadi pada sel eukariotik seperti Candida albicans,9 akan tetapi artikel ini hanya membahas QS pada bakteri saja. Bahasan artikel ini terdiri dari: (1) pendahuluan yang membahas tentang sekilas sejarah QS serta pengertian QS sendiri, seperti yang telah dijelaskan di atas; (2) autoinduser (AI), membahas tentang macammacam AI serta sumber dan kegunaannya; (3) mekanisme umum quorum sensing, yang ditekankan hanya pada mekanisme QS yang melibatkan AI-1 dan AI-2; (4) QS hubungannya dengan patogenisitas bakteri, yang membahas bahwa patogenisitas sejumlah bakteri patogen diatur oleh QS; (5) pencegahan QS, yang membahas tentang peluang penghambatan QS; (6) potensi disain anti-QS, yang membahas tentang beberapa kemungkinan untuk disain anti-QS sebagai obat baru; dan (7) penutup, berupa rangkuman dan pandangan tentang potensi Indonesia yang memungkinkan sebagai sumber pencarian anti-QS. Selain itu, dalam artikel ini, bahasan QS lebih ditekankan kepada QS hubungannya dengan infeksi bakteri.
Autoinduser (AI) Autoinduser (AI) merupakan molekul sinyal yang disekresikan, kemudian diakumulasikan, selanjutnya diserap kembali dan dikenali oleh bakteri pada saat proses QS terjadi. AI dapat dikategorikan menjadi empat yaitu: (i) turunan asam lemak, pada umumnya berupa N-acyl homoserine lactones (AHLs), dihasilkan oleh bakteri Gram-negatif, serta digunakan untuk komunikasi dalam spesies yang sama (intraspecies communication among Gram-negative bacteria), AI ini dikenal sebagai AI-1; (ii) rangkaian asam amino atau peptide pendek atau oligopep-
MEDICINUS
berberat molekul rendah yang disebut autoinduser (AI) atau pheromones bakteri, senyawa AI-lah yang menjadi sinyal komunikasi pada bakteri. AI umumnya bersifat khusus untuk spesies bakteri tertentu. AI tersebut dilepaskan ke luar sel sehingga dapat dikenali oleh sel yang lainnya yang sama-sama menghasilkan AI. Selama proses tersebut, terjadi akumulasi AI diluar sel dan tentu saja akumulasi AI sejalan dengan penambahan densitas atau kerapatan sel bakteri. Bila jumlah selnya telah mencapai kepadatan tertentu atau mencapai quorum tertetu, maka AI akan diserap kembali kedalam sel dan membentuk kompleks dengan protein pengatur pengaktivasi transkripsi. Kompleks antara AI dengan protein pengatur pengaktivasi transkripsi akan mengaktifkan tersekspresinya gen-gen penyandi tertentu, misalnya gen penyandi bioluminescence, berbagai enzim, konjugasi, sporulasi, pembentukan sel kompeten, pembentukan biofilm, faktor-faktor virulen, antibiotik, simbiosis, dan lain sebagainya.6,7 Jadi, QS bisa diartikan sebagai suatu pengaturan ekspresi gen atau aktivitas atau tingkah laku atau fenotipik bakteri yang bergantung kepada jumlah populasi bakteri tersebut dan akumulasi AI-nya. Sejumlah aktivitas bakteri yang diatur oleh proses QS disajikan pada Tabel 1.6,7
23
tida, dihasilkan oleh bakteri Gram-positif, umumnya digunakan untuk komunikasi dalam spesies yang sama (intraspecies communication, among Gram-positive bacteria), dan juga dikelompokan ke dalam AI-1; (iii) furanocyl borate diester, dihasilkan oleh bakteri Gram-negatif dan Gram-positif, serta digunakan untuk komunikasi antar spesies (interspecies communication) baik sesama Gram-negatif atau Gram-positif atau antara Gram-positif dengan Gram-negatif dan sebaliknya, AI ini dikelompokan ke dalam AI-2; dan (iv) autoinducer-3 (AI-3), strukturnya belum diketahui, digunakan untuk komunikasi silang dengan epinephrine (suatu sistem sinyal sel-inang mamalia), AI-3 dilaporkan terdapat pada Eschericia coli O157:H7.10,11,12 Selain itu, ada juga sistem AI yang lain yang belum jelas struktur dan mekanismenya.7 Sejumlah contoh AI disajikan pada Gambar 1.13
MEDICINUS
Gambar 2. Mekanisme QS pada bakteri Gram-negatif6
24 Gambar 3. Mekanisme QS pada Vibrio fischeri15
Gambar 1. Beberapa contoh autoinduser (AI) dari beberapa spesies bakteri: (a) beberapa turunan acyl-homoserine lactone (AHL) dari sejumlah bakteri Gram-negatif; (b) oligo peptide dari sejumlah bakteri Gram-positif; (c) g-butryolactones dari Streptomyces griseus; dan (d) AI -2 dari Vibrio harveyi dan Salmonella typhymurium13
Mekanisme Umum Quorum Sensing Ada tiga komponen penting dalam pengaturan QS pada bakteri yaitu (i) sintesa molekul sinyal atau sintesa AI, (ii) akumulasi molekul sinyal, dan (iii) pengenalan molekul sinyal.14 1. QS pada bakteri Gram-negatif QS pada bakteri Gram-negatif melibatkan dua komponen gen/ protein pengatur yaitu protein R dan protein AI. Molekul sinyal atau AI yang diproduksi oleh sel-sel secara individu tidak berpengaruh apa-apa terhadap transkripsi gen target, baru akan berpengaruh jika telah mencapai jumlah minimal tertentu (mencapai quorum tertentu). Dengan kata lain, jika densitas populasi sel rendah maka konsentrasi AI yang dihasilkan juga rendah, pada kondisi non-quorum ini konsentrasi AI belum cukup untuk mengaktifkan protein R, sehingga akan terjadi proses akumulasi AI yang sejalan dengan penambahan jumlah populasi bakteri. Akan tetapi jika populasi atau densitas sel telah mencapai jumlah minimal atau quorum tertentu, maka AI yang dihasilkan juga akan cukup untuk mengaktifkan protein R, pada kondisi quorum ini, AI akan membentuk kompleks dengan protein R, kompleks AIprotein R ini akan mengaktifkan terjadi transkripsi dan translasi gen pada gen target (Gambar 2).6 Contoh umum QS pada bakteri Gram-negatif adalah proses bioluminescence pada V. fischeri (Gambar 3).15
2. QS pada bakteri Gram-positif Berbeda dengan bakteri Gram-negatif, bakteri Gram-positif menggunakan senyawa oligopeptida sebagai sinyal komunikasi.13 Selain itu juga melibatkan dua komponen sensor berupa histidin kinase yang terikat pada membran sel, sensor histidin kinase tersebut berfungsi sebagai reseptor.13 Sebagai contoh, QS pada Staphylococcus aureus (Gambar 4).13 QS pada S. aureus diatur oleh sinyal komunikasi yang disebut autoinducing peptide atau AIP dan dua sensor kinase berupa protein AgrB dan AgrC, yang masing-masing dikodekan oleh gen agrB dan agrC. Gen argD akan mengekspresikan protein AgrD, protein AgrD ini diekspor keluar membran melalui sensor kinase AgrB pada membran, selain itu protein AgrB juga akan menambahkan cincin thiolactone pada AgrD dan memodifikasi protein tersebut sehingga membentuk autoinducing peptide (AIP) yang merupakan peptida siklik. Selanjutnya AIP akan dikenali oleh sensor kinase kedua yaitu AgrC sehingga membentuk kompleks AgrC-AIP. Kompleks AgrC-AIP akan memfasilitasi terjadinya fosforilasi pada protein AgrA sehingga terbentuk AgrA~P, akibatnya AgrA berada dalam keadaan aktif. AgrA~P akan menginduksi terekspresinya gen regulator RNA yang disebut RNAIII. RNAIII ini akan menekan ekspresi faktor-faktor pelekatan sel dan akan menginduksi ekspresi faktor-faktor sekresi. AgrA~P atau AgrA yang teraktivasi ini juga akan menginduksi ekspresi gen agrBDCA. Proses ini akan meningkatkan jumlah AIP sejalan dengan pertambahan jumlah sel sehingga membentuk suatu quorum.13
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
atau bersamaan, seperti pada V. harveyi dan Bacillus subtilis (Gambar 5).18 Sistem QS yang melibatkan AI-1 dan AI-2 sering di-sebut juga QS hibrid.
Gambar 4. Mekanisme QS pada bakteri Gram-positif, Staphylococcus aureus. P2 dan P3 masing-masing merupakan promotor untuk gen agrBDCA
3 QS yang melibatkan AI-2 QS yang melibatkan AI-1 (AHSL dan oligopeptida) terjadi pada kebanyakan bakteri yang sama spesiesnya. Akan tetapi AI-1 tidak cukup memadai jika bakteri dalam kondisi multispesies atau dalam komunitas tertentu yang terdiri dari berbagai spesies yang berbeda.12 Sejumlah bakteri baik Gram-negatif ataupun Gram-positif, memiliki tambahan sinyal komunikasi lain yaitu AI-2. Berbeda dengan AI-1 yang berfungsi sebagai alat komunikasi antar spesies yang sama, AI-2 ini berfungsi sebagai alat komunikasi antar spesies yang berbeda jenis. Bagi bakteri yang hidup dalam suatu komunitas populasi yang beragam, misalnya pada multi-spesies biofilms, AI-2 tidak hanya berguna untuk merespon akibat perubahan jumlah densitas pada spesies yang sama, akan tetapi juga dapat digunakan untuk merespon jumlah densitas spesies lain yang hadir dalam komunitas tersebut.16
Gambar 5a. QS hibrid pada Vibrio harveyi8
Pada V. harveyi, sintesa AI-2 tergantung kepada sintesa protein LuxS yang disandikan oleh gen luxS. Homologi gen luxS terdapat pada berbagai bakteri Gram-negatif ataupun Gram-positif (Tabel 2).17 Artinya bakteri-bakteri yang terdapat pada Tabel 2 tersebut dapat berkomunikasi dengan spesies lainnya dengan menggunakan AI-2 sebagai sinyal komunikasinya, sehingga AI-2 ini disebut juga sebagai “bahasa umum” atau “bahasa universal” pada bakteri. Pada kenyataannya, sering kali bakteri melakukan QS secara berseri atau secara paralel yang melibatkan AI-1 dan AI-2 secara bergantian
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Gambar 5b. QS hibrid pada Bacillus subtilis18
QS Hubungannya dengan Patogenisitas Bakteri Tabel 1 dan 2 menyajikan sejumlah aktivitas bakteri yang dikendalikan oleh sistem QS. Dari Tabel tersebut bisa dilihat bahwa sejumlah proses patogenitas bakteri patogen manusia dikendalikan oleh QS, misalnya ekspresi gen-gen yang terlibat dalam virulensi, pembentukan biofilm, serta resistensi terhadap suatu antimikroba. Jadi jelas terjadi hubungan kuat antara QS dengan terjadinya penyakit infeksi bakteri. Salah satu yang paling populer adalah patogenisitas pada Pseudomonas aeruginosa penyebab cystic fibrosis.19 QS pada P. aeruginosa dikendalikan oleh dua AI-1 yaitu N-(3-oxododecanoyl)-L-homoserine lactone (OdDHL) yang mengatur ekspresi elaste, eksotoksin A, protein LasA, protease alkalin, neuraminidase, serta sekresi protein dan kedua adalah N-butanoyl-L-homoserine lactone (BHL) yang mengatur ekspresi protease alkalin, elastase, haemolysin, pyocyanin, cyanida (HCN), aktivitas staphylolytic, lectins, chitinase serta sekresi protein, kesemuanya itu merupakan faktor virulensi yang terlibat dalam patogenisitas P. aeruginosa.20 Biofilm merupakan sebuah komunitas mikroorganisme baik sejenis ataupun berlainan jenis yang menempel pada suatu permukaan. Biofilm menyebabkan lebih dari 80% penyakit infeksi dan lebih kurang dari 65% infeksi nosokomial disebabkan oleh mikroorganisme yang berkembang dalam biofilm.21,22 Sejumlah penyakit infeksi yang disebabkan atau dipengaruhi oleh pembentukan biofilm adalah plak gigi dan dental caries, periodontitis, cystic fibrosis pneumonia, infective endocarditis, muscle skeletal infections, necrotizing fasciitis, osteomielitis, meloidosis, infectious kidney stones, bacterial endocarditis, airway infections, otitis media, biliary tract infections, chronic bacterial prostatitis dan infeksi yang disebabkan karena adanya kontak dengan alat-alat kesehatan seperti intravenous catheters, artificial joints dan contact lenses. Penelitian selanjutnya, dilaporkan bahwa hampir semua biofilm bakteri dikendalikan oleh sistem QS dan berhubungan dengan terjadinya penyakit infeksi.23
Pencegahan Quorum Sensing (QS) Pada umumnya orang dapat menggunakan antibiotik untuk mengendalikan penyakit infeksi bakteri. Akan tetapi, seringkali menyebabkan resistensi pada bakteri tersebut, apalagi kalau patogen itu membentuk biofilm yang sukar ditembus oleh antibiotik karena terlindungi oleh
MEDICINUS
dan RNAIII13
25
extracellular polymeric substance (EPS). Dengan memahami proses QS, maka kita dapat mengembangkan cara pengendalian bakteri yang tidak selalu berbasis antibiotik, yaitu dengan cara pendekatan pencegahan QS. Sebenarnya bakteri patogen tidak menghasilkan faktor-faktor virulen yang pada gilirannya tidak menimbulkan infeksi, jika bakteri patogen itu populasi atau densitasnya tidak mencapai quorum tertentu. Dengan demikian, pencegahan QS berarti juga mencegah bakteri berkumpul atau ber-quorum, artinya kita tidak berusaha memberantas atau membunuh bakteri itu selama bakteri itu hidup berdampingan tanpa menimbulkan penyakit. Pencegahan QS ditujukan untuk merusak sistem komunikasi bakteri sehingga massa bakteri tidak berkumpul. Dengan mencegah bakteri untuk tidak berkumpul diharapkan faktor-faktor virulensi pada bakteri tidak terekspresi, atau paling tidak kita berusaha menurunkan derajat virulensi suatu patogen sehingga tidak menimbulkan infeksi atau penyakit. Pencegahan QS dapat dilakukan dengan cara penggunaan senyawa atau molekul tertentu yang dapat mencegah terjadinya QS atau merusak QS yang sudah terjadi. Senyawa atau molekul yang bisa memblok atau merusak sistem QS disebut anti-QS. Sejumlah senyawa anti-QS telah banyak dilaporkan baik yang diisolasi dari alam ataupun yang dibuat secara sintetis, misalnya senyawa sintetis analog dari AI dan furanone yang diisolasi dari alga merah (Delisea pulchra).24,25 Artikel terbaru dan relatif lengkap tentang sejumlah senyawa yang dapat menghambat atau bersifat antagonistik terhadap QS dilaporkan oleh Ni et al.26 Senyawa anti-QS dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) senyawa pendegradasi atau degradator, adalah golongan senyawa-senyawa yang dapat mendegradasi AI atau komponen pengatur QS lainnya, golongan ini biasanya adalah enzim, misalnya enzim laktonase yang bisa mendegradasi sennyawa AHL; (2) senyawa antagonis; dan (3) senyawa kompetitor, adalah senyawa-senyawa yang dapat berkompetisi dengan AI membentuk kompleks dengan protein R atau LuxR, senyawa analog AI termasuk ke dalam kelompok ini. Skema umum mekanisme pencegahan QS oleh anti-QS disajikan pada Gambar 6.
MEDICINUS
Dengan memahami proses QS, maka kita dapat mengembangkan cara pengendalian bakteri yang tidak selalu berbasis antibiotik, yaitu dengan cara pendekatan pencegahan QS.
26
Gambar 6b. Skema umum pencegahan QS kompetisi
Gambar 6c. Skema umum pencegahan QS antagonis
Gambar 6 (a) senyawa AI didegradasi oleh senyawa degradator (misalnya enzim laktonase), akibatnya tidak terjadi kompleks AILuxR, sehingga tidak terjadi transkripsi gen target. Pada Gambar 6 (b), senyawa kompetitor akan bersaing dengan AI untuk membentuk kompleks AI-LuxR, jika senyawa kompetitor atau senyawa analog AI menang maka akan terjadi kompleks analog AI-LuxR, akan tetapi kompleks ini tidak dikenali oleh gen target akibatnya tidak terjadi transkripsi gen target. Sedangkan pada Gambar 6 (c), senyawa antagonis, senyawa antagonis akan mengkelat senyawa AI sehingga AI tidak dikenali lagi oleh protein LuxR, atau jika senyawa antagonis berikatan dengan protein LuxR akan mengakibatkan melawan kerja LuxR secara berlawanan atau antagonistik, akibatnya kompleks senyawa antagonis dengan LuxR tidak dapat menempel pada gen target yang pada akhirnya tidak terjadi transkripsi pada gen target tersebut.
Potensi Disain Anti-QS
Gambar 6a. Skema umum pencegahan QS degradasi senyawa AI
Fenomena QS yang sangat erat hubungannya dengan terjadinya penyakit infeksi bakteri ditambah dengan semakin meningkatnya masalah resistensi pada sejumlah bakteri patogen, memberikan kerangka kerja baru bagi para ahli yang bergerak dalam bidang pencarian dan pembuatan obat baru. Gambar 7 merupakan contoh target yang berpotensi untuk disain pencarian atau pembuatan anti-QS untuk obat.27 Sebenarnya, disain anti-QS bisa dimulai dari tahapan sintesa AI, kita bisa melalukan penghambatan langsung pada sintesa AHL atau AIP atau AI-2 misalnya dengan mendisain senyawa yang dapat menghambat penggabungan asam lemak dengan acyl-ACP (acyl carrier protein). Bisa juga dilakukan pada tahap
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Gambar 7. Target yang berpotensi untuk pencegahan QS27
Kesimpulan Pengetahuan baru tentang QS memberikan strategi alternatif dalam usaha manusia untuk mengendalikan bakteri patogen, baik itu patogen pada manusia, hewan, dan tanaman. Sejumlah ahli dari berbagai laboratorium, baik di universitas-universitas maupun di lembaga-lembaga penelitian lainnya, banyak melakukan penelitian QS yang ditekankan pada pencarian senyawa baru yang dapat digunakan sebagai anti-QS selanjutnya diharapkan untuk dapat digunakan sebagai obat baru. Banyak perusahaan farmasi di luar negri, mengalokasikan sejumlah dana untuk secara khusus meneliti QS ini dengan harapan dapat diperoleh bahan pengendali bakteri yang baru (anti-QS). Sejumlah kandidat senyawa anti-QS sudah banyak dilaporkan, akan tetapi baru sebatas skala laboratorium. Sejauh pengetahuan penulis, sampai saat ini, belum ada senyawa anti-QS yang benar-benar telah dikomersialkan dan aman digunakan oleh manusia seperti halnya obat antibiotik umum yang ada dipasaran. Sejalan dengan itu, dengan dikumandangkannya slogan kembali ke alam (back to nature) dan menghindari efek samping kurang baik dari penggunakan bahan-bahan kimia. Pencarian senyawa anti-QS juga diarahkan ke bahan alam (senyawa biologis), baik bahan alam asal darat (terestrial) atau darat maupun bahan alam asal laut (marine). Indonesia sebagai salah satu megabiodiversitas dunia mempunyai banyak kesempatan untuk berpartisipasi dalam pencarian senyawa biologis un-
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
tuk anti-QS. Dengan bahasan artikel ini diharapkan dapat mendorong peneliti dan perusahaan farmasi Indonesia untuk turut serta dalam pencarian senyawa biologis untuk anti-QS dari bahan alam asli Indonesia. Daftar Pustaka 1. Fuqua WC, Winans SC, Greenberg EP. Quorum sensing in bacteria-the LuxRLuxI family of cell density-responsive transcriptional regulators. J Bacteriol 1994; 176(2):269-75 2. Thomasz A, Mosser JL. On the nature of the pneumococcal activator substance. Proc Natl Acad Sci USA 1966; 55:625-32 3. Nealson KH, Platt T, Hasting JW. Cellular control of the synthesis and activity of the bacterial luminescent system. J Bacteriol 1970; 104(1):313-22 4. Eberhard A, Burlingame AL, Kenyon GL, et al. Structural identification of autoinducer of Photobacterium fischeri luciferase. Biochemistry 1981; 20:24449 5. Engebrecht J, Nealson K, Silverman M. Bacterial bioluminescence: isolation and genetic analysis of functions from Vibrio fischeri. Cell 1983; 32:773-81 6. de Kievit TR, Iglewski BH. Bacterium quorum sensing in pathogenic relationships. Infect Immun 2000; 68(9):4839–49 7. Swift S, Downie JA, Whitehead NA, Barnard AML, Salmon GPC, Williams P. Quorum sensing as a population-density-dependent determinant of bacterial physiology. Adv Microb Physiol 2001; 45:199–270 8. Miller MB, Bassler BL. Quorum sensing in bacteria. Annu Rev Microbiol 2001; 55:165-99 9. Kruppa M. Quorum sensing and Candida albicans. Mycoses 2009; 52(1):1-10 10. Whitehead PM, Barnard AML, Slater H, Simpson NJL, Salmond GPC. Quorumsensing in gram-negative bacteria. FEMS Microbiol Rev 2001; 25:365-404 11. Sperandio V, Torres AG, Giron JA, Kaper JB. Bacteria-host communications: the language of hormones. Proc Natl Acad Sci USA 2003; 100:8951-6 12. Schauder S, Bassler BL. The languages of bacteria. Genes Dev 2001; 15:146880 13. Waters CM, Bassler BL. Quorum sensing: cell-to-cell communication in bacteria. Annu Rev Cell Dev Biol 2005; 21:319-46 14. Leonard BA, Podbielski A. Emerging density dependent control system in gram-positive cocci. In: Dunny GM, Winans SC, editors. Cell-cell signaling in bacteria. Washington, D.C: ASM Press; 1999.p.315-31 15. Brenner K, Haseltine E, Tracewell C. Genetic circuits and synthetic ecosystems: Quorum sensing and genetic circuit design [on line] [cited 2009 Jan 29] 1(1): [2 screens]. Available from: http://www.che.caltech.edu/groups/fha/quorum. html 16. Taga ME, Semmelhack JL, Bassler BL. The LuxS-dependent autoinducer AI-2 controls the expression of an ABC transforter that functions in AI-2 uptake in Salmonella typhimurium. Mol Microbiol 2001; 42:777-93 17. Federle MJ, Bassler BL. Interspecies communication in bacteria. J Clin Invest 2003; 112:1291–9 18. Henke JM, Bassler BL. Bacterial social engagements. TREND Cell Biol 2004; 16(11):649-56 19. Geisenberger O, Givskov M, Riedel K, HÖiby N, Tummler B, Eberl L. Production of N-acyl-L-homoserine lactones by P. aeruginosa isolates from chronic lung infection associated with cystic fibrosis. FEMS Microbiol Lett 2000; 184:2738 20. Finch RG, Pritchard DI, Bycroft BW, Williams P, Stewart GSAB. Quorum sensing: a novel target for anti-infective therapy. J Antimicrob Chemother 1998; 42:569-71 21. Schachter B. Slimy business—the biotechnology of biofilms. Nat Biotechnol 2003; 21:361-5 22. Douglas LJ. Medical importance of biofilms in Candida infections. Rev Iberoam. Micol 2002; 19(3):139-43 23. Rice D, McDougald D, Kumar N, Kjelleberg S. The use of quroum-sensing blockers as therapeutic agents for the control of biofilm-associated infections. Curr Opin Investig Drugs 2005; 6(2):178-84 24. Smith KM, Bu Y, Suga H. Induction and inhibition of Pseudomonas aeruginosa quroum sensing by synthetic autoinducer analogs. Chem Biol 2003; 10:81-9 25. Hentzer M, Wu H, Andersen JB, Riedel K, Rasmussen TB, Bagge N, et al. Attenuation of Pseudomonas aeruginosa virulence by quorum sensing inhibitors. The EMBO J 2003; 22(15):3803-15 26. Ni N, Li M, Wang J, Wang B. Inhibitors and antagonists of bacterial quorum sensing. Med Res Rev 2009; 29(1):65-124 27. Whitehead NA, Welch M, Salmond GPC. Transgenic plants expressing an enzyme that degrades microbial signaling molecules show promise in controlling damage caused by bacterial infection. Nat Biotechnol 2001; 19:735-6 28. Raffa RB, Iannuzzo JR, Leine DR, Saeid KK, Schwartz RC, Sucic NT, et al. Bacterial communicarion (“quorum sensing”) via ligands and receptors: a novel pharmacologic target for the design of antibiotic drugs. J Pharmacol Exp Ther 2005; 312(2):417-423 29. Choo JH, Rukayadi Y, Hwang JK. Inhibition of bacterial quorum sensing by vanilla extract. Lett Appl Microbiol 2006; 42:637-41 30. Rukayadi Y, Choo JH, Hwang JK. Vanillin inhibits quorum sensing - regulated virulence factors production of Pseudomonas aeruginosa. Curr Microbiol (In press)
MEDICINUS
transfer AI keluar membran dengan cara memblokir AI supaya tidak dapat disekresikan ke luar membran. Tentu saja masih banyak potensipotensi lain yang bisa jadi bahan pemikiran bagi para ahli untuk mendisain anti-QS untuk kepentingan pencegahan penyakit dan pengobatan penyakit. Secara umum disain obat baru untuk pencegahan penyakit yang disebabkan oleh aktivitas QS dapat dilakukan dengan memperhatikan ligan-ligan dan reseptor-reseptor yang terlibat dalam QS itu sendiri.28 Pencarian dan modifikasi anti-QS dari bahan alampun semakin banyak dilakukan. Senyawa furanone yang dilaporkan mempunyai aktivitas anti-QS dan diisolasi dari alga merah (D. pulchra),25 ternyata toksik terhadap manusia, hal ini mendorong sejumlah ahli untuk mencari senyawa anti-QS dari bahan-bahan alam yang aman dikonsumsi. Sejumlah ekstrak tanaman telah dilaporkan dapat menghambat QS. Penulis telah melaporkan bahwa extract vanila dan vanillin yang merupakan senyawa yang diisolasi dari ekstrak vanilla ternyata bisa menghambat QS pada Chromobacterium violacein dan menghambat produksi faktor-faktor virulensi yang dikendalikan oleh QS pada Pseudomonas aeruginosa.29,30
27
medical review
Kartika Widayati Taroeno-Hariadi
SubBagian Hematologi dan Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta SMF Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
MEDICINUS
Abstrak. Gap junction intercellular communication (GJIC) berperan dalam pertukaran metabolit dan ion antar sel. Berbagai zat kimia dapat mempengaruhi pembentukan GJIC di membran dan menyebabkan perubahan komunikasi interseluler sehingga Ion, metabolit, dan zat-zat pengatur tidak dihantarkan secara normal pada jaringan akibatnya terjadi gangguan pada integritas organ. Berbagai promoter tumor mengganggu GJIC. Fokus tumor akan mengalami gangguan komunikasi dengan sel-sel normal di sekitarnya, sehingga tidak bisa diatur dan terisolasi dari sel-sel normal di sekitarnya. Pada berbagai penelitian didapatkan penurunan GJIC pada tumor yang sedang berkembang. Peran GJIC pada lesi metastasis masih kontroversial.GJIC dibutuhkan oleh tumor metastasis untuk berkomunikasi dan bermetastasis pada tempat baru. Transfeksi GJIC secara spesifik diharapkan mampu menekan pertumbuhan tumor.
28 66
Pendahuluan Sel secara individual memiliki perlengkapan untuk dapat berfungsi mandiri, namun hidup dan perilaku sel tersebut tergantung pada selsel dan kondisi di sekitarnya. Dengan kata lain homeostatis dan kelangsungan keutuhan seluler tergantung pada hubungan interseluler.1 Tidak seperti sel normal, sel kanker memiliki perangai yang berbeda dari sel-sel di sekitarnya dan tumbuh di luar kendali homeostasis normal. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan komunikasi interseluler yang memelihara homeostasis normal terganggu pada berbagai tahap karsinogenesis sehingga dihipotesiskan bahwa komunikasi interseluler kemungkinan berfungsi sebagai elemen penekan pertumbuhan tumor.1 Ada 2 macam cara sel-sel melakukan komunikasi. Pertama, komunikasi melalui faktor pertumbuhan atau hormon ekstraseluler. Kedua, melalui kontak sel. Berbeda dengan komunikasi interseluler melalui hormon atau faktor pertumbuhan yang secara teknik mudah diidentifikasi, komunikasi interseluler melalui cara kontak sel sukar diidentifikasi apa yang dikomunikasikan dan efek komunikasi tersebut. Dengan kemajuan di bidang biologi molekuler melalui kloning cDNA yang mengodekan aparatus komunikasi tersebut, dapatlah diketahui peranan komunikasi interseluler melalui kontak sel. Salah satu elemen terpenting pada kontak sel adalah gap junction intercellular communication (GJIC).1,2 Tulisan ini dibuat untuk membantu memahami peranan GJIC dalam memelihara homeostasis dan pertumbuhan sel, konsekuensi adanya gangguan GJIC, peranan GJIC pada proses karsinogenesis, dan aplikasi pengetahuan ini terhadap perkembangan terapi kanker.
akan melekat membentuk channel (saluran). Channel ini bisa membuka menutup dengan cara merapatkan connexin pada tiap connexon.6 Connexin memiliki untaian tetap dan untaian variabel. Letak connexin ini pada membran dijelaskan sebagai berikut: akhiran amino dan karboksi terdapat pada sitoplasma, dan protein melekuk 2 kali pada membran memberikan gambaran seperti huruf M, dengan 2 regio ekstraseluler dan 3 regio sitoplasma.
Komunikasi Interseluler melalui GJIC Antar satu sel dengan sel terdekat terdapat suatu saluran yang memungkinkan terjadi kontak langsung dan transfer ion, metabolit, molekul seperti: kalium, cAMP, inositol triphosphate, calcium, yang disebut GJIC.1,3-5 GJIC mampu menghantarkan molekul bila memiliki ukuran <1000 dalton.1 Pada jaringan yang berbeda, struktur penyusun GJIC juga tidak sama. Meskipun strukturnya berbeda, pada umumnya GJIC terdiri dari 6 subunit (hexamer) protein connexin yang membentuk satu hemichannel (connexon) pada tiap sisi membran sitoplasma. Connexon (hemichannel) dari masing-masing sitoplasma yang berdekatan
Gambar 1. Skema GJIC pada membran lipid bilayer dan topologi connexin1
GJIC dapat ditemukan pada semua jaringan tubuh kecuali pembuluh darah dan otot skelet. Beberapa connexin menunjukkan spesifisitas ekspresi pada jaringan tertentu, namun juga sebaliknya beberapa jaringan dan sel-sel penyusunnya juga bisa mengekspresikan berbagai connexin yang berbeda.1,2
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Klas
Jaringan
Cx26
Connexin
β
Cx30.3 Cx31 Cx31.1
β β β
Cx32
β
Cx33 Cx37
α α
Cx40
α
Cx43
α
hepar, ginjal, lien, testes, paru, lambung, otak, pankreas, kulit, kelenjar pineal kulit kulit, testes epitel skuamosa terstratifikasi, kulit, testes hepar, otak, ginjal, lien, uterus, testes, paru, lambung, usus halus testes vaskuler, jantung, otak, lambung, usus halus, lien, ginjal, uterus, ovarium, paru, kulit vaskuler, jantung, ginjal, uterus, ovarium, paru, usus halus jantung, otak, otot polos, ginjal, uterus, ovarium, testes, paru, lambung, usus halus, kulit, lensa, kornea, tulang, plasenta
Cx45
α
Cx46
α
paru, jantung, otak, ginjal, usus halus lensa, hati, ginjal, saraf perifer
Cx50
α
lensa, kornea, jantung
Tipe Sel hepatosit, neuron, keratinosit, pinealosit
keratinosit keratinosit hepatosit, oligodendrosit, neuron, sel epitel tiroid, sel Schwann sel Sertoli sel endotel, miosit, keratinosit sel endotel, serabut Purkinje miosit, otot polos, astrosit, sel endotel fibroblas, keratinosit, sel ependima sel Leydig, makrofag, osteosit, sel B pankreas, sel folikuler dan epitel tiroid, sel trofoblas
serabut lensa, sel Schwann serabut lensa, sel-sel epitel, katup AV
Penyusunan connexon dan gap junction dimulai dengan sel kontak melalui cellular adhesion molecules (CAMs). Kontak suatu sel dengan sel lain memerlukan suatu adhesion molecule (molekul pelekat). Terdapat korelasi antara ekspresi CAMs dan protein gap junctions. Adanya adhesion molecule menginduksi ekspresi GJIC, dengan asumsi bahwa kontak interseluler menginduksi terbentuknya saluran gap junction. Tranfeksi E-cadherin pada sel line dengan defisiensi komunikasi dan tidak mengekspresikan CAMs akan berakibat induksi GJIC pada klonal yang mengekspresikan E-cadherin.2,7 Transfeksi LCAM pada sel yang tidak mampu berkomunikasi akan menginduksi ekspresi GJIC disertai fosforilasi connexin endogen Cx43 dari sitoplasma menuju membran plasma. Fosforilasi connexin ini memegang peranan penting dalam ekspresi GJIC. Masing-masing untai connexin memiliki pola fosforilasi tertentu sehingga memiliki regulasi ekspresi dan fungsi yang berbeda. Cx32 mengalami fosforilasi oleh cAMP, protein kinase C (PKC) dan Ca2+/calmodulin dependent protein kinase II, sementara Cx43 hanya difosforilasi oleh PKC dan mitogen-activated protein kinase. Abnormalitas pada proses fosforilasi connexin ini ternyata akan menyebabkan kendali pertumbuhan sel menjadi berubah. Fosforilasi protein gap junction memegang peran penting dalam membentuk gap junction yang dapat berfungsi baik. Sebagian besar connexin mengalami fosforilasi in vivo terutama pada residu serine, residu threonine, dan residu tyrosine yang terletak pada akhiran karboksil (Carboxyl-terminal=CT). Fosforilasi ini dibutuhkan untuk menyusun dan memfungsikan GJIC.6 Faktor pertumbuhan, kinase protein onkogen, hormon, dan mediator inflamasi berperan pada GJIC melalui proses fosforilasi domain protein CT (asam amino 236-382). Beberapa kinase yang mempengaruhi GJIC berhasil diidentifikasi termasuk Protein Kinase C (PKC) (Ser 368 and Ser 372), mitogen-activated protein kinases (MAPKs) (Ser 255, Ser 279, and Ser 282), cdc2/cyclinB (Ser 255), dan casein kinase I (Ser 325, Ser 328, dan Ser 330).8 Proses perpindahan connexin menuju membran plasma juga pen-
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
ting untuk keutuhan dan fungsi GJIC. Sebagai contoh sel-sel dengan Cx43 yang gagal mencapai membran plasma merupakan sel dengan defisiensi komunikasi. Namun bila ditransfeksikan LCAM akan terjadi translokasi Cx43 dari sitoplasma menuju membran plasma. Dengan demikian meskipun protein GJIC tetap ada pada berbagai jenis tumor namun tidak diproses dengan benar dan tidak ditransportasikan untuk membentuk GJIC.2 Hemichannel biasanya dalam keadaan tertutup dan pada saat terbuka berfungsi sebagai saluran untuk melepas molekul pemberi sinyal parakrin seperti ATP, glutamat, NAD+, dan prostaglandin. Hemichannel menutup pada konsentrasi mikromolar fisiologis kalsium ekstraseluler. Saluran akan membuka bila terjadi penurunan kadar kalsium ekstraseluler, depolarisasi membran yang kuat, stimulasi mekanik, ekstraseluler UTP, penghambatan metabolik, infeksi shigela, dan peningkatan kalsium sitoplasma. Beberapa kinase dan asam arakidonat diketahui mampu memodulasi GJIC.6 GJIC didegradasi secara cepat dengan waktu paruh 1-3 jam. Connexin akan mengalami proteolisis yang diperantarai oleh ubiquitin proteasomal pathway. Susunan connexon ditentukan oleh protein connexin. Connexon homomeric adalah connexon yang tersusun oleh protein connexin yang sama dan connexon heteromeric adalah connexon yang tersusun oleh connexin yang berbeda. Connexon heteromeric terbentuk akibat mutasi dominan negatif. Connexon homomeric bisa mengadakan ikatan dengan connexon yang berbeda pada sel yang berbeda (ikatan heterotypic). Dengan demikian sekarang sudah jelas dibuktikan bahwa interaksi antar connexon ditentukan oleh protein connexin yang terlibat. Connexin tertentu dapat membentuk saluran fungsional dengan beberapa connexin dan tidak dengan connexin yang lainnya.2,9
GJIC dan Karsinogenesis Pertumbuhan sel yang tidak teratur merupakan ciri khas tumor, sehingga tidak mengejutkan bahwa sel-sel kanker menunjukkan adanya GJIC yang abnormal. GJIC abnormal terjadi pada GJIC homolog dan GJIC heterolog.10 GJIC homolog melakukan komunikasi antar sel yang serupa.2 Pada sel-sel tumor GJIC tipe ini sering terganggu namun ada juga beberapa tumor yang mempertahankan kadar GJIC homolog yang sama seperti sel-sel normal. Hilangnya GJIC tipe homolog di antara sel-sel kanker itu sendiri akan meningkatkan heterogenitas sehingga sel-sel dengan fenotipe paling ganas yang akan mendominasi populasi. GJIC heterolog terganggu pada beberapa tumor berdasarkan bukti bahwa selsel tumor tidak berkomunikasi dengan sel-sel normal di sekitarnya. Sel kanker memerlukan pertumbuhan tanpa gangguan dari sel-sel normal di sekitarnya karena itu dibutuhkan penghambatan pada GJIC tipe heterolog.
Fosforilasi protein gap junction memegang peran penting dalam membentuk gap junction yang dapat berfungsi baik. Sebagian besar connexin mengalami fosforilasi in vivo terutama pada residu serine, residu threonine, dan residu tyrosine yang terletak pada akhiran karboksil (Carboxylterminal=CT).
MEDICINUS
Tabel 1. Ekspresi gena connexin2
29
Kedua tipe GJIC ini juga bisa menurun kadarnya pada kultur selsel epitel kanker hati pada tikus, dan tumor hati pada manusia.11,12 Sementara itu pada tumor metastasis atau anak sebar, peran GJIC masih kontroversial. Diduga fungsional GJIC heterolog dan reekspresi dari adhesion molecule dibutuhkan untuk menghubungkan sel kanker metastasis dengan endotel kapiler dan tempat baru untuk metastasis. Pada daerah metastasis atau limfonodi metastasis reekspresi GJIC dan adhesion molecule lebih sering ditemukan dibandingkan dengan tumor primer.13
MEDICINUS
Down Regulation GJIC oleh Agen Penumbuh Tumor (Tumor-Promoting Agents), Onkogen, dan Faktor Pertumbuhan
30
Banyak bukti menunjukkan bahwa agen penumbuh tumor mampu menghambat GJIC. GJIC pada kultur sel dapat dihambat secara reversibel oleh forbol ester sehingga transfer molekul dan ion terganggu. Bukti in vivo diperlukan karena kompleksitas komunikasi inteseluler tidak bisa semuanya ditiru secara in vitro. Beberapa penumbuh tumor hati menurunkan gap junction dan menghambat GJIC pada hati tikus in vivo. Kurangnya GJIC akan menyebabkan pertumbuhan klonal yang mendahului perubahan ke arah ganas yaitu promosi tumor.2 Beberapa onkogen dan faktor pertumbuhan juga menghambat GJIC, seperti onkogen retroviral (v-src, v-Ha-ras, v-raf, v-fps), onkogen virus DNA (polioma-middle T, SV-40 T, HPV 16 E5) dan onkogen seluler (c-src, C-Haras, c-erbB2). Faktor pertumbuhan dan hormon yang menghambat GJIC adalah fibroblast growth factor, platelet derived growth factor, transforming growth factor B, epidermal growth factor dan testosterone.2
Kaitan Antara Down Regulation GJIC Dan Karsinogenesis
GJIC yang diinduksi karsinogen. Sebagai contoh: kultur epitel sel liver tikus tidak menunjukkan perubahan gen Cx43 di tingkat mRNA. Protein Cx43 juga tidak mengalami perubahan jumlah sebelum dan sesudah penambahan karsinogen TPA, namun bentuk fosforilasi mengalami perubahan sehingga protein connexin terletak pada sitoplasma, tidak pada membran sel, akibatnya terjadi gangguan GJIC.2 Terdapat kaitan fungsional yang erat antara connexin dan adhesion molecule cell. Telah dilaporkan bahwa ekspresi E-cadherin sangat penting bagi Cx43 untuk membentuk fungsional GJIC di keratinosit tikus. Hal ini juga menjelaskan mengapa GJIC pada keratinosit tikus sangat tergantung Ca2+ karena E-cadherin merupakan sel yang tergantung pada Ca2+. Ekspresi E-cadherin sangat menurun pada tumor kulit tikus selama perkembangan invasive dan metatasis. Penurunan ekspresi dan mutasi E-cadherin juga ditemukan pada berbagai jenis kanker pada manusia.2,19 GJIC membutuhkan mekanisme pengenalan sel yang memadai. Tumor tidak mampu membentuk GJIC heterolog dengan sel-sel normal di sekitarnya. Bila barisan sel epitel hepar tikus bertumor dikultur bersamaan dengan barisan sel epitel hepar tikus tanpa tumor, maka tidak akan terbentuk GJIC heterolog. Dapat disimpulkan bahwa sel-sel homolog mempunyai suatu mekanisme untuk mengenali sel-sel sejenis di antara mereka, dan mekanisme pengenalan ini tidak ada di antara sel-sel normal dan sel tumor.2,20
Connexin memiliki peran pada penekanan tumor. Connexin menghambat pertumbuhan sel dan menghambat pengaturan diferensiasi jaringan. Di samping itu connexin meningkatkan apoptosis melalui transfer molekul signaling melalui GCIJ dengan mekanisme yang belum jelas dan terutama dilakukan oleh connexin yang terletak pada plasma membran.
Ada 3 proses yang terlibat pada abnormalitas GJIC di kanker yaitu: 1. abnormalitas GJIC pada tumor, 2. down regulation GJIC oleh agen penumbuh tumor atau gen penumbuh tumor, dan 3. up-regulation GJIC oleh penghambat karsinogenesis. Riset pada syrian hamster embrio (SHE) membuktikan adanya korelasi antara penghambatan GJIC dengan peningkatan transformasi sel oleh phorbol ester.14,15 Namun penghambatan GJIC tidak tampak dengan agen penumbuh tumor lain. Penurunan ekspresi Cx26 dan Cx43 juga terlihat pada karsinoma skuamosa kulit tikus.16 Penghambatan GJIC lebih merupakan faktor penyerta penting pada karsinogenesis namun bukan menjadi faktor utama.
Mekanisme Molekuler yang Terlibat dalam Penghambatan GJIC pada Tumor yang Diinduksi Karsinogen Karena GJIC dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti agen penumbuh tumor, onkogen, dan faktor pertumbuhan, dipikirkan adanya suatu mekanisme pengaturan pada GJIC yang menjadi sasaran dari faktor-faktor tersebut. GJIC dapat dimodulasi melalui beberapa mekanisme baik yang terlibat pada mekanisme pengaturan protein seperti transkripsi, stabilisasi mRNA, kontrol translasi, fosforilasi post-translation ataupun mekanisme lain seperti translokasi ke membran sitoplasma, adhesion molecule, matriks ekstraseluler, faktor pertumbuhan, faktor penentu membuka dan menutupnya channel, serta mutasi gen connexon.2,17,18 Modulasi post-translation merupakan mekanisme utama perubahan
Supresi Tumor oleh Connexin
Adanya percobaan transfeksi over expression cDNA connexin pada sel tumor membuktikan bahwa GJIC fungsional mampu menekan tumorigenesis pada beberapa tipe sel-sel yang mengalami transformasi. Fibroblast sel-sel tikus, sel glioma, sel-sel rhabdomyosarcoma manusia yang ditransformasikan secara kimiawi, mengalami defisiensi Cx43, dan setelah ditransfeksikan Cx43 akan mengalami pengurangan pertumbuhan tumor dan perlambatan tumorigenesis. Begitu pula transfeksi Cx32 pada sel-sel hepatoma manusia, dan Cx26 pada HeLa cell yang berasal dari sel-sel servikal uteri. Jadi tampaknya efek connexin pada penghambatan pertumbuhan sel bersifat selektif menurut spesifikasi connexin tersebut.2,24
Connexin dan Apoptosis21 Perubahan molekul yang terlibat pada pengaturan proses kematian sel melalui apoptosis penting pada karsinogenesis. Connexin menjadi molekul target modulasi apoptosis. Connexin yang tetap berada pada sitoplasma dan tidak diekspresikan pada membran sel kehilangan fungsinya dalam komunikasi antar sel dan mungkin berperan pada pertumbuhan tumor. Connexin sitoplasma ini sering dijumpai pada tumor. Mutasi pada regio ekstraseluler dan transmembran connexin akan menyebabkan connexin tetap berada pada sitoplasma dan kehilangan fungsinya dalam pengaturan pertumbuhan tumor, namun salah satu penelitian lain menyebutkan bahwa mutasi salah satu regio ekstraseluler lain pada connexin menyebabkan lokalisasi ke sitoplasma namun fungsi penghambatan tumor oleh Cx43 tersebut tidak terganggu. Jadi, pengaturan pertumbuhan tumor pada Cx43 tidak tergantung pada fungsi GJIC. Connexin sitoplasma mampu mengontrol pertumbuhan tumor melalui pengaruhnya pada ekspresi gen yang mengatur fungsifungsi sel kanker. Jadi, lokasi connexin pada sitoplasma atau membran plasma memiliki fungsi yang berbeda antara sel kanker dan sel normal.
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Mekanisme Kontrol Pertumbuhan Negatif oleh Connexin2 GJIC membentuk saluran antar sel untuk penyebaran atau dispersi faktor intraseluler terlarut guna mengontrol pertumbuhan sel. Faktor ini melewati GJIC heterolog antara sel-sel normal dengan sel yang mengalami transformasi dan menghambat pertumbuhan sel-sel yang mengalami transformasi. Jika GJIC memiliki efek pada pertumbuhan sel, maka tentunya ada perubahan pada siklus sel, namun ternyata peran GJIC pada siklus sel masih belum jelas. Beberapa bukti menunjukkan, bahwa GJIC hilang pada saat aktivitas mitosis dan pada saat terjadi perubahan stabilitas mRNA. GJIC juga menurun di antara waktu mitosis dan nonmitosis sel-sel granulosa tikus imortal. Namun GJIC juga muncul pada fase antara mitosis dan interfase kultur fibroblas, dan kadar transcript connexin meningkat selama fase S. Pada sel-sel yang mengalami transformasi dan ditransfeksikan Cx43 akan terjadi penurunan ekspresi gen yang terlibat pada siklus sel seperti cyclin A, D1, D2 dan CDK5, CDK6. Sel glioma yang ditransfeksikan dengan Cx43 dikultur bersamasama dengan sel-sel glioma yang tidak ditransfeksi. Percobaan ini untuk melihat apakah transfeksi Cx43 mampu mengubah pertumbuhan sel melalui GJIC heterolog. Hasil penelitian menunjukkan sel glioma membentuk gap junction dengan sel-sel yang ditransfeksi Cx43, dan terjadi penurunan tingkat proliferasi. Jadi GJIC mampu memodulasi pertumbuhan sel melalui perubahan ekspresi gen.
Peran dan Aplikasi Connexin atau GJIC Terhadap Kemoprevensi dan Terapi Kanker Banyak sel tumor hanya memiliki sedikit GJIC. Oleh karena connexin lebih menyerupai gen penekan tumor, maka transfeksi gen connexin akan menjadi suatu terapi kanker yang efisien melalui dua jalan yaitu bystander effect dan pengendalian pertumbuhan sel. Jadi efek terapi kanker bisa ditingkatkan dengan transfeksi gen connexin. Terapi yang diterima oleh sel-sel tumor akan diteruskan pada sel-sel di sekitarnya melalui GJIC sehingga akan meningkatkan efek terapi. Contoh pada sel HeLa dengan defisiensi GJIC yang ditransfeksikan thymidyne kinase dari Herpes simplex virus (HSV-tk). Sel HeLa HSV-tk ini akan mati oleh ganciclovir karena ganciclovir diaktifkan oleh HSV-tk; namun sel-sel HeLa di sekitarnya yang tidak ditransfeksikan HSV-tk (tk-) tetap hidup karena ganciclovir tidak aktif pada jenis sel ini. Namun bila digunakan sel HeLa yang ditransfeksikan dengan gen penyandi protein gap junction Cx43, maka ganciclovir tidak saja membunuh sel-sel dengan tk+ namun juga tk-. Hal tersebut mengindikasikan bahwa molekul ganciclovir toksik yang difosforilasi oleh HSV-tk ditransfer melalui GJIC ke selsel tk-. Contoh lain adalah pada terapi tumor otak dengan transfeksi gen tymidine kinase dari HSV (HSV-tk). Sel-sel yang ditransfeksikan
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
dengan gen HSV-tk dan juga sel-sel di sekitarnya dapat dibunuh oleh ganciclovir karena GJIC masih berfungsi normal.
Kesimpulan GJIC berperan menjaga homeostasis normal dan kendali pertumbuhan sel melalui keutuhan komunikasi interseluler. Pada beberapa jenis tumor terjadi gangguan ekspresi connexin. Gangguan ini bisa berupa down regulation protein connexin karena gangguan fosforilasi. Terjadinya gangguan GJIC heterolog akan menyebabkan sel tumor tumbuh dan berkembang tanpa pengaruh kendali sel-sel di sekitarnya, dan gangguan GJIC homolog akan menyebabkan perbedaan fenotipe antar sel-sel tumor yang sama. Dalam kaitannya dengan kepentingan terapi, GJIC bisa digunakan untuk menekan pertumbuhan tumor atau memodulasi efek kemoterapi melalui bystander effect. Daftar Pustaka 1. Yamasaki H. Gap Junctional intercellular comunication and carcinogenesis Carcinogenesis 1990; 7:1051-8 2. Yamasaki H, Naus CC. Role of connexin genes in growth control. Carcinogenesis 1996; 17(6):11990-213 3. Pitts JD and Finbow ME. The gap junction. J Cell Sci 1986; 4(Suppl.):239-266 4. Lawrence TS, Beers WH, and Gilula NB. Hormonal stimulation and cell communication in cocultures. Nature 1978; 272:501-6 5. Saez JC, Conner JA, Spray DC and Bennett MV. Hepatocyte gap junctions are permeable to the second messenger, inositol 1,4,5-triphosphate, and to calcium ions. Proc Nail Acad Sci USA; 1989: 86:2708-12 6. De Vuyst E, Decrock E, De Bock M, Yamasaki H, Naus CC, Evans WH, et al. Molecular Biology of the Cell 2007; 18:34-46 7. Jongen WM, Fitzgerald DJ, Asamoto M, Piccoli C, Slaga TJ, Gros D, et al. Regulation of connexin 43-mediated gap junctional intercellular communication by Ca2+ in mouse epidermal cells is controlled by E-cadherin. J Cell Biol 1991; 114:545-55 8. Lampe PD and Lau AF. The effects of connexin phosphorylation on gap junctional communication. Int J Biochem Cell Biol 2004; 36:1171–86 9. Bruzzone R, White TW, dan Paul DL. Connections with connexins: the molecular basis of direct intercellular signaling. Eur J Biochem 1996; in press 238(1):1-27 10. Yamasaki H. Gap Junctional intercellular comunication and carcinogenesis Carcinogenesis 1990; 7:1051-8 11. Mesnil M dan Yamasaki H. Selective gap-junctional communication capacity of transformed and non-transformed rat liver epithelial cell lines. Carcinogenesis.1988; 9:1499-502 12. Krutovskikh VA, Mazzoleni G, Mironov N, Omori Y, Aquelon AM, Mesnil M, et al. Altered homologous and heterologous gap-junctional intercellular communication in primary human liver tumors associated with aberrant protein localization but not gene mutation of connexin 32. Int J Cancer 1994; 56: 87-94 13. Kanczuga-Koda L, Sulkowski S, Lenczewski A, Koda M, Wincewicz A, Baltaziak, et al. Increased expression of connexins 26 and 43 in lymph node metastases of breast cancer. J Clin Pathol 2006;59:429–33 14. Rivedal E, Sanner T, Enomoto T, Yamasaki H. Inhibition of intercellular communication and enhancement of morphological transformation of syrian hamster embryo cells by TPA. Use of TPA-sensitive and TPA-resistant cell lines. Carcinogenesis 1985; 6:899-902 15. Rivedal E, Roseng LE, Sanner T. Vanadium compounds promote the induction of morphological transformation of hamster embryo cells with no effect on gap junctional cell communication. Cell Biol and Toxicol 1990; 6:303-14 16. Ruch RJ, Klaunig JE, Kerckaert GA, LeBoeuf RA. Modification of gap junctional intercellular communication by changes in extracellular pH in syrian hamster embryo cells. Carcinogenesis 1990; 11:909-13 17. Musil LS, Goodenough DA. Biochemical analysis of connexin43 intracellular transport, phosphorylation, and assembly into gap junctional plaques. J Cell Biol 1991; 115:1357-74 18. Unwin PN, Ennis PD. Calcium-mediated changes in gap junction structure: evidence from the low angle X-ray pattern. J. Cell Biol. 1983; 97:1459-66 19. Risinger JI, Berchuck A, Kohler MF, Boyd J. Mutation of the E-cadherin gene in human gynecological cancers. Nat Genet1994; 7:98-102 20. Mesnil M, Asamoto M, Piccoli C, Yamasaki H. Possible molecular mechanism of loss of homologous and heterologous gap junctional intercellular communication in rat liver epithelial cell lines. Cell Ahes. Commun 1994; 2:377-84 21. Kanczuga-Koda. L, Sulkowski S, Koda M, Skrzydlewska E, Sulkowska M. Connexin 26 correlates with Bcl-xL and Bax proteins expression in colorectal cancer. World J Gastroenterol 2005:11(10):1544-8 22. Huang RP, Hossain MZ, Huang R, Gano J, Fan Y, Boynton AL. Connexin 43 (cx43) enhances chemotherapy-induced apoptosis in human glioblastoma cells. Int J Cancer 2001; 92:130-8 23. Tanaka M, Grossman HB. Connexin 26 induces growth suppression, apoptosis and increased efficacy of doxorubicin in prostate cancer cells. Oncol Rep 2004; 11:537-541
MEDICINUS
Connexin memiliki peran pada penekanan tumor. Connexin menghambat pertumbuhan sel dan menghambat pengaturan diferensiasi jaringan. Di samping itu connexin meningkatkan apoptosis melalui transfer molekul signaling melalui GCIJ dengan mekanisme yang belum jelas dan terutama dilakukan oleh connexin yang terletak pada plasma membran. Dihipotesiskan bahwa peran connexin pada apoptosis ini di antaranya melalui pengaturan pada protein. famili Bcl-2. Connexin pada sitoplasma memiliki signaling pathway yang berbeda dari connexin pada plasma membran. Transduksi sinyal connexin membutuhkan interaksi dengan protein-protein intraseluler lain. Huang dkk menemukan penurunan ekspresi Bcl-2 pada sel-sel ganas yang ditransfeksikan Cx43 namun tidak terjadi pada sel-sel nontransfeksi.22 Gen connexin mengatur ekspresi gen lain pada tumor sel. Tanaka dkk juga menemukan bahwa sel-sel tumor prostat yang ditransfeksikan Cx26 akan tertekan pertumbuhannya, terjadi induksi penghentian siklus sel pada fase G2/M, penurunan ekspresi Bcl-2, dan peningkatan apoptosis.23 Pada karsinogenesis terjadi perubahan ekspresi, lokalisasi connexin dan mungkin penurunan fungsi.
31
Meet the Expert
Ketua Pusat Diabetes dan Lipid RS Dr. Cipto Mangunkusumo/Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia
MEDICINUS
D
32
i bagian Metabolik dan Endokrinologi nama Prof. Slamet Suyono sudah tidak asing lagi. Beliau sekarang ini masih menjabat sebagai Ketua di Pusat Diabetes dan Lipid di RSCM/FKUI, dan merupakan salah satu tokoh yang turut mengembangkan Pusat Diabetes dan Lipid ini. Bahkan beliau juga sempat secara khusus mengikuti training mengenai Lipid pada tahun 1968 yang diadakan di Perancis, di mana pada saat itu Lipid merupakan sesuatu hal yang baru di bidang Penyakit Dalam. Pusat Diabetes dan Lipid Jakarta merupakan badan yang bersifat multidisiplin. Badan ini menangani masalah diabetes dan lipid, yang kegiatannya meliputi 3 bidang, yaitu pelayanan, penelitian dan penyuluhan. Pada nama pusat itu tercantum kata lipid, karena lipid merupakan salah satu faktor penyakit jantung koroner (PJK). Pada kesempatan kali ini, kami mewawancarai beliau disela-sela jadwal Prof. Slamet yang padat. Berikut hasil wawancara kami dengan Prof. Slamet Suyono. Redaksi MEDICINUS (RM): Apakah memang sedari kecil Prof. Slamet sudah bercita-cita menjadi seorang dokter? Prof. Slamet Suyono (SS): Sebetulnya waktu kecil saya tidak bercita-cita menjadi seorang dokter. Walaupun keluarga saya terutama dari keluarga ayah saya banyak yang menjadi dokter. Ketika saya masuk SD pun saya masih belum tahu apa citacita saya sebenarnya. Hanya saja waktu di sekolah dulu saya lebih menyukai bidang eksakta. Saya selalu mempunyai nilai-nilai yang bagus pada mata pelajaran eksakta tersebut terutama pada pelajaran Kimia. Kemudian ketika saya lulus SMA saya mengikuti 2 tes penerimaan maha-
siswa, yang pertama di Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB) dan yang kedua di Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Ternyata dua-duanya diterima. Tapi karena dorongan yang begitu kuat dari orangtua untuk masuk kedokteran UI maka sayapun akhirnya memilih kuliah di kedokteran. Jadi tradisi dokter saya lanjutkan di keluarga saya. Dan pada akhirnya sayapun sangat menyukai bidang ini dan alhamdullilah studi saya di kedokteran berhasil dan tidak ada halangan apapun. RM: Sekarang ini Prof. Slamet sudah menjadi seorang yang ahli dalam bidang Endokrinologi. Apa yang menyebabkan Prof. Slamet akhirnya memilih bidang tersebut? SS: Endokrinologi adalah suatu cabang
ilmu yang mempelajari hormon dalam tubuh dari ubun-ubun sampai ujung kaki, tidak terbatas pada organ tubuh secara sentral tapi menyeluruh. Jadi ketertarikan saya nomor satu pada saat itu adalah karena hal itu, yaitu mengobati seorang manusia secara keseluruhan. Jadi, ketika saya lulus kedokteran pada tahun 1963, saya mengambil spesialis penyakit dalam. Setelah saya berkecimpung di penyakit dalam, saya lalu berpikir sepertinya saya lebih tertarik lagi di endokrinologi. Kembali lagi karena saya ingin mengobati pasien secara holistik atau keseluruhan. Pada waktu itu saya banyak merawat pasien-pasien diabetes dan tiroid. Ketertarikan saya di bidang endokrin ini salah satunya juga adanya pengaruh figur Prof. Utoyo Sukaton yang menjadi panutan buat saya. Prof. Utoyo Sukaton dahulu adalah Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam dan Kepala Subbagian Metabolik dan Endokrin juga sebagai pendiri bagian Metabolik dan Endokrinologi. Ketika saya menyelesaikan spesialis penyakit dalam, akhirnya Prof. Utoyo meminta saya untuk menjadi staff-nya. Kemudian pada tahun 1968 saya dikirim ke Perancis untuk mengikuti training bidang baru, yaitu tentang Lipid. Di Indonesia pada tahun tersebut belum ada ahli mengenai Lipid. Adapun training yang saya ikuti di Perancis pada waktu itu adalah “Training on Hyperlipidemia and Endocrinology”. Jadi saya belajar di sana untuk Lipid-nya selama lebih kurang 10 bulan. Dan dari sinilah saya mulai tertarik di bidang Lipid karena ingin mengobati pasien secara keseluruhan dan itu hanya terdapat pada bidang endokrinologi dalam artian tidak terpaku pada organ tertentu saja. Ketika ingin belajar di Pe-
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
RM: Prestasi apa saja yang pernah Prof. Slamet dapatkan selama ini dan apa yang paling membanggakan Prof. Slamet selama menjalani profesi dokter? SS: Banyak orang yang mengatakan kalau saya jadi pembicara dalam suatu acara simposium atau acara ilmiah lainnya, apa yang saya sampaikan tidak muluk-muluk jadi saya bicara to the point. Sekarang ini banyak sekali orang-orang pintar, dan biasanya mereka itu banyak yang ingin menunjukkan kepintarannya dan merasa tahu banyak hal. Padahal belum tentu audien bisa menerima apa yang dia sampaikan. Audien itu kan ingin menimba ilmu. Jadi prinsip saya, kalau kita bicara seperti berbicara dalam suatu simposium kita harus ada transfer of knowledge. Untuk transfer of knowledge kita harus membuat suatu ikatan batin antara siapa yang kita ajak bicara. Untuk itu persiapan sebelumnya untuk menjadi pembicara adalah saya harus tahu terlebih dahulu siapa audien saya nantinya apakah itu orang awam, mahasiswa kedokteran, dokter umum, dokter spesialis atau setingkat professor. Sehingga kita harus memberikan tehnik penjelasan yang baik dalam arti supaya dapat diterima 100% apa yang kita sampaikan kepada audien. Oleh sebab itu setiap kali saya menjadi pembicara, penyajian dalam satu slide tidak terlalu penuh, tapi saya buat sedikit-sedikit sehingga akan gampang untuk dimengerti dan saya juga menggunakan tambahan animasi pada slide yang saya buat sendiri. Tentunya pembuatan slide ini juga harus kreatif sehingga tampilan slide tidak terlalu monoton dan membosankan bagi audien. Hal lainnya, selama saya menjadi Ketua di Pusat Diabetes dan Lipid di RSCM/ FKUI, saya selalu memberikan kebebasan kepada staff saya sehingga dengan berjalannya waktu, mereka menjadi sangat berkembang dan ikut pula mengembangkan bagian Metabolik dan Endokrinologi ini. Hal inilah yang membuat saya bangga kepada mereka. Satu hal lagi, anak saya yang terkecil juga
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
sudah menjadi spesialis penyakit dalam mengikuti jejak saya. RM: Kegiatan ilmiah apa saja yang pernah Prof. Slamet ikuti selama ini? SS: Sebenarnya saya sudah pensiun pada tahun 2002, tetapi alhamdullilah saya masih dipakai untuk konsultasi atau sebagai penasehatlah untuk yang mudamuda di sini. Saya juga masih diberikan ruang kerja pribadi di sini. Karena itulah saya jadi tidak terlalu pikun karena justru saya makin sibuk karena setiap minggu saya selalu mempunyai kegiatan. Kadangkadang menjadi pembicara untuk acara simposium atau kegiatan ilmiah. Saya diminta sharing pengalaman ilmiah kepada yang muda-muda. Itulah yang menyebabkan saya masih berkecimpung di dunia ilmiah ini walaupun usia saya sudah 71,5 tahun. RM: Bisa ceritakan hobi Prof. Slamet sendiri apa ya? SS: Dalam hobi, saya bagi 2. Ketika saya kecil hobi saya adalah olahraga bulutangkis. Sejak saya SD sampai SMA-pun saya masih main bulutangkis. Sejak berkuliah di kedokteran sekitar tahun 1957 saya berhenti bermain bulutangkis karena berbagai kesibukan perkuliahan. Kemudian baru tahun 1972 saya kembali bermain bulutangkis kembali karena ajakan teman sampai tahun 2005. Terakhir saya bertanding dengan anak-anak muda ketika umur saya sudah di atas 68 tahun. Karena terlalu bersemangat dalam bertanding saya mengalami cedera lutut. Berselang 6 bulan kemudian badan saya merasa tidak enak karena sudah lama tidak berolahraga akhirnya saya memilih olahraga renang. Dan ketika saya berenang tiba-tiba ada yang terasa sakit dan saya merasa bahwa ada sesuatu yang terjadi pada jantung saya. Akhirnya, besoknya pun saya periksakan diri, dan hasilnya sangat buruk sekali. Dan saya harus menjalani bedah by pass pada jantung saya sekitar 3,5 tahun yang lalu. Dan dari situlah saya benar-benar menghentikan hobi bermain bulutangkis. Dan hobi olahraga saya berubah menjadi berenang. Sampai saat ini, saya masih menjalani renang setidaknya 2x dalam seminggu. Semenjak pembedahan jantung itu saya jadi merubah lifestyle. Hobi lain saya, yaitu dansa. Saya mengikuti klub dansa antar dokter-dokter sampai sekarang. Dan yang terakhir adalah hobi jalan-jalan bersama cucu. RM: Terus apa nih yang membuat Prof. Slamet selalu tampak segar dan fit?
SS: Turunan keluarga saya banyak yang terkena penyakit jantung dan kolesterol. Waktu operasi dikatakan oleh dokter bahwa pembuluh darah saya jelek sekali. Banyak sekali aterosklerosisnya. Dokter yang menangani saya pada saat itu mengatakan bahwa operasi ini bukan menyelesaikan masalah tapi yang bisa menyelesaikannya hanyalah anda sendiri, yaitu saya harus merubah lifestyle. Kemudian saya berpikir bahwa apa yang dikatakan beliau ada benarnya juga. Jadi dahulu kalau saya terlalu over confidence dalam arti saya merasa sehat dan tidak mengalami keluhan apa-apa sampai umur 68 tahun tetapi satu hal yang tidak saya sadari bahwa lifestyle itu pusatnya adalah makanan. Dulu saya sangat menyukai makanan dari daging kambing. Tapi kemudian saya beralih banyak makan sayuran dan buah-buahan serta untuk proteinnya saya makan ikan yang serba direbus. Terkadang saya juga makan ayam (hanya dagingnya saja) tapi dengan porsinya yang sedikit. Dan yang utama selalu menggunakan “JAMU” alias jaga mulut saya untuk tidak memakan makanan yang dahulu sangat saya sukai. Saya berusaha untuk menjaga pola hidup saya dengan menjaga pola makan, tidak stres dan olahraga yang teratur. Terlambat sih sebenar-nya karena saya baru memulainya saat berumur 68 tahun ketika saya harus menjalani pembedahan jantung. Tapi saya kira lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Bahkan sekarang ini saya menjadi lebih baik dan fit dari sebelumnya. RM: Kegiatan apa yang biasa dokter lakukan di waktu luang (akhir pekan/hari libur)? SS: Yang pasti olahraga, pergi bersama cucu saya setiap akhir pekan. Pokoknya saya harus ketemu mereka bagaimanapun juga. Cucu saya sekarang sudah 6 orang. Saya juga tetap hobi makan ketika ada waktu luang tapi tentunya hobi makan yang sekarang ini berbeda dengan yang dulu. RM: Kebiasaan apa yang biasa diterapkan dilingkungan sekitar Prof. Slamet untuk mananamkan pola hidup sehat? SS: Itu tadi, jangan hanya bicara tapi dicontohkan juga ke orang-orang sekitar saya. Saya juga sudah mencontohkan kepada teman, pasien dan keluarga saya. Bahkan banyak dari teman-teman saya yang berkonsultasi kepada saya karena mereka melihat sendiri kalau saya kelihatan lebih sehat dan fit. Padahal usia saya sudah 71 tahun. Dan saya selalu menga-
MEDICINUS
racis saya mengetahui bahwa di sana itu tidak banyak orang Perancis yang bisa bahasa Inggris maka sebelum saya mengikuti training di sana saya mengikuti kursus bahasa Perancis terlebih dahulu di Indonesia. Saya mengikuti kursus mulai dari nol sampai bisa berbahasa Perancis dalam kurun waktu selama 3 bulan. Sehingga ketika saya ke Perancis, saya sudah bisa berbahasa Perancis dan terkadang menjadi penerjemah buat teman-teman ketika berada di sana.
33
MEDICINUS
takan kepada mereka supaya “JAMU” atau jaga mulut dan banyak makan sayur serta buah-buahan serta tentu saja melakukan olahraga yang teratur. Walaupun saya sendiri termasuk terlambat dalam merubah lifestyle saya. Untuk merubah lifestyle, awalnya tidak mudah dan terasa berat tapi saya selalu niatkan dalam hati bahwa saya harus merubah kebiasaan saya yang dulu seperti makan keju, makan daging merah. Sekarang ini saja orang-orang muda banyak yang sudah terkena diabetes, jantung, stroke dan itu dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat karena perubahan pola makan seperti senang memakan makanan siap saji.
34
RM: Harapan dokter di pekerjaan dan kehidupan pribadi dokter untuk 5 tahun mendatang? SS: Yang pasti ingin tetap sehat dan saya berusaha menjadi orang yang sebijaksana mungkin. Kadang-kadang dulu itu, saya sering meletup-letup emosi nya. Sekarang saya lebih meredam emosi saya. Dalam pekerjaan untuk 5 tahun yang akan datang, yaitu di bagian Metabolik dan Endokrin RSCM/FKUI ini saya berharap makin maju dan mengalami perubahan yang lebih baik lagi. Dan di bagian ini juga terus terlibat dalam peningkatan kesehatan terutama dalam hal pencegahan melalui penerangan kepada masyarakat bagaimana cara hidup yang sehat. RM: Saat ini penyakit-penyakit di bidang Endokrinologi yang paling sering dihadapi apa ya Prof.? SS: Yang paling banyak adalah yang pertama diabetes dan kedua tiroid. Diabetes di Indonesia sudah ada data sekarang dari Departemen Kesehatan (DEPKES), yaitu kalau di kota besar prevalensinya orang yang terkena diabetes sekitar 12%. Itu nilai yang cukup besar menurut saya. Tapi kemudian tahun 2008 kemarin keluar data gabungan dari kota dan pedesaan di seluruh Indonesia disurvey dan ternyata penderita diabetes di Indonesia sebesar 5,7%. Untuk kasus tiroid juga banyak di Indonesia. Penyebabnya karena stres sehingga timbulah hipertiroid. RM: Penatalaksanaan penyakitnya sendiri bagaimana ya? SS: Sampai sekarang untuk diabetes, kita sudah membuat guideline untuk penatalaksanaan diabetes karena kita mempunyai
PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) dan PERSADIA (Persatuan Diabetes Indonesia) sehingga guideline ini digunakan merata di seluruh Indonesia. Bahkan di Depok sendiri sudah melakukan upaya pencegahan diabetes kurang lebih 7 tahun mulai tahun 2001 dengan melibatkan DEPKES. RM: Bisa ceritakan pengalaman suka maupun duka selama menjalani profesi dokter? SS: Saya sangat menikmati profesi saya meskipun kerjanya berat. Pengalaman yang baik itu adalah saya merasa sangat puas sekali apabila kita melihat pasien itu sembuh dari penyakitnya dari pengobatan yang diberikan. Jawabannya klise barangkali ya. Tapi memang betul kalau kita melihat pasien sembuh rasanya senang sekali. Dan biasanya mereka akan berterimakasih kepada saya padahal saya tidak mengharapkan terimakasih tersebut. Saya juga suka bilang kepada pasien saya bahwa yang menyembuhkan penyakit itu bukan saya tapi Allah SWT. Saya ini hanya sebagai penyambung tangan dengan ilmu-ilmu yang saya pelajari. Hubungan saya dengan pasien tentunya
tidak selalu manis tapi juga ada pahitnya terutama bila berhadapan dengan pasien-pasien yang sulit. Malahan si pasien belum apa-apa sudah mendikte dan dia merasa bahwa dia lebih pinter dari dokternya. Apalagi zaman sekarang ini orang dengan mudah bisa browsing di internet untuk mencari informasi penyakit-penyakit tertentu sehingga mereka merasa sudah mengetahui pengobatannya. Tapi hal itu alhamdullilah masih bisa ditangani dengan memberikan penjelasan yang baik tentang penyakit dan pengobatannya kepada pasien. RM: Apa harapan Prof. Slamet, khususnya untuk dokter-dokter muda di Indonesia? SS: Saya berharap dokter-dokter muda ini harus bisa menemukan cara-cara baru pengobatan atau pencegahan terhadap penyakit-penyakit dan bisa menemukan vaksin untuk mencegah penyakit-penyakit yang kita takutkan. Dan juga penelitianpenelitian para dokter muda ini harus kita pacu dan biaya yang tentu saja didukung kalau bisa oleh pemerintah. Karena untuk melakukan suatu penelitian itu memerlukan biaya yang sangat besar. GLH
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
events
Round Table Discussion “Update Management in Dengue Hemorrhagic Fever” 20 Desember 2008
P
ada tanggal 20 Desember 2008, diadakan acara round table discussion “Update Management in Dengue Hemorrhagic Fever” yang diadakan di Hotel Borobudur, ruang Timor, Jakarta Pusat. Acara dibuka dengan sambutan dari Ketua PAPDI JAYA DR. dr. Idrus Alwi, SpPD, K-KV, FACC. Diskusi dimulai oleh moderator Dr. Tunggul D Situmorang, SpPD, KGH dengan menekankan bahwa penyakit DBD merupakan penyakit yang perlu diwaspadai. Menurut Dr. Tunggul D Situmorang, SpPD, KGH, patofisiologi demam berdarah sampai saat ini tidak banyak berubah sedangkan untuk diagnosis kita sekarang mengenal NS1 antigen. Kemudian acara dilanjutkan dengan presentasi dari Dr. Leonard Nainggolan, SpPD, KPTI, yaitu tentang: Patofisiologi dan Diagnosis Demam Berdarah Dengue” Dr. Leonard memulai sharing materi dengan memaparkan epidemiologi infeksi dengue secara global, sampai pada distribusi serotype, dan jumlah kasus demam berdarah dengue (DBD) secara lokal. Di mana kasus infeksi dengue secara global semakin meluas. Kemudian secara lokal, di Indonesia dari tahun 2004-2007 di mana kasus DBD semakin meningkat. Akan tetapi BMS berharap kasus DBD menurun apabila PSN-DBD berhasil.
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Apabila kita bisa mengetahui patofisiologi demam berdarah dengan baik, umumnya kita tidak akan kecolongan. Karena fase kritis Cuma pada jam ke-24 - 48, asalkan pasien datang belum shock. Ada falsafah yang mengatakan jika terjadi kasus demam berdarah pre-shock tetapi meninggal, maka hal ini merupakan kesalahan dokter. Patogenesis DBD bermacammacam. Ada yang menerangkan bahwa virulensi virus yang sangat berperan terhadap severity of disease. Ada juga teori peranan mediator, apoptosis, genetik, dan antibody dependent enhancement. Sebagian ahli menganut antibody dependent enhancement, di mana infeksi virus dengue yang kedua dengan serotype virus yang berbeda akan memberikan manifestasi penyakit yang lebih parah. Teori-teori ini pada akhirnya menjelaskan akan adanya gangguan hemostasis, permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma. Nyamuk membutuhkan darah untuk mematangkan telurnya, tidak hanya darah manusia, darah sapi juga bisa. Jadi sapi juga bisa mengalami DBD. Virus dengue membutuhkan waktu kira-kira 10 hari untuk bereproduksi. Kemudian nyamuk yang mengandung virus menggigit manusia sehat. Virus dengue akan ada untuk selamanya dalam tubuh virus sampai nyamuk mati. Patofisiologi: Virus demam berdarah
akan
masuk ke dalam makrofag. Menurut antibody dependent enhancement, antigen infeksi pertama pada makrofag justru menjadi semacam opsonisasi untuk memfasilitasi virus menempel ke permukaan makrofag dan masuk ke dalamnya. Makrofag akan melepaskan monokin, sitokin, histamine, dan interferon, yang akan mengakibatkan celah endotel melebar, selanjutnya terjadi kebocoran cairan intravaskular ke ruang eks-travaskular. Konsekuensinya, terjadi hipovolemia, hemokonsentrasi, tubuh lemah, edema, dan kongesti visceral. Perenggangan celah antar sel endotel dapat juga disebabkan oleh virus dengue itu sediri. Saat sel endotel terinfeksi DV, terjadi kerusakan sel endotel. Akan tetapi pelebaran celah sel endotel terutama disebabkan oleh pelepasan sitokin inflamasi. Dengan demikian, manifestasi klinis yang paling penting dalam penyakit DBD adalah kebocoran plasma. Dan untuk mengetahui tanda-tanda kebocoran plasma bukannya trombosit yang dipantau tetapi hematokrit. Selain itu, penting juga pemantauan urine output dan hemostasis. Dari pengalaman dokter, apabila tidak terjadi pendarahan massive, trombosit 3.000 atau 7.000 juga tidak mengakibatkan kematian pasien. Adapun tingkat keparahan sindrom kebocoran kapiler tergantung ukuran celah endotel dan lokasi atau daerah yang terkena infeksi, komposisi matriks kompartemen perivaskular, dan per-
bedaan tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik di intra dan ekstravaskular. Tekanan hidrostatik dipengaruhi oleh tekanan pompa jantung yang mendorong plasma keluar dari intravaskular ke ekstravaskular. Tekanan onkotik adalah nilai tekanan zat-zat yang terkandung dalam darah yang memiliki sifat osmolaritas untuk menahan plasma tetap berada pada intravaskular. Pada arteri tekanan hidrostatik lebih besar dari tekanan onkotik maka plasma bisa keluar ke ekstravaskular memberikan nutrisi dan oksigen pada jaringan tubuh. Sedangkan di mikrokapiler tekanan hidrostatik lebih kecil dari tekanan onkotik sehingga cairan tubuh yang telah kehilangan nutrisi dan mengandung CO2 dapat dikembalikan ke dalam pembuluh darah. Perlu dipahami bahwa apabila kita telah mengetahui kalau kebocoran plasma dipengaruhi oleh tekanan onkotik, penggunaan koloid untuk meningkatkan tekanan osmotik dapat dilakukan apabila telah diketahui adanya tanda-tanda kebocoran plasma. Pelebaran celah endotel dapat juga menyebabkan leukosit keluar dari intravaskular mengejar makrofag yang mengandung virus dengue, sehingga dapat dimengerti terjadi leukopenia pada DBD. Manisfestasi trombositopeni pada infeksi dengue memiliki beberapa hipotesa penyebab: (1) terjadi destruksi trombosit akibat interaksi antibody-antigen
MEDICINUS
Hotel Borobudur, Ruang Timor, Jakarta-Pusat
35
MEDICINUS
virus dengue di permukaan trombosit; (2) kerusakan dinding endotel oleh virus dengue sehingga menyebabkan interaksi trombosit dengan kolagen subendotel sehingga terjadilah agregasi dan destruksi trombosit; (3) IL-6 menginduksi antibodi IgM antitrombosit sehingga terjadilah destruksi trombosit; (4) manifestasi pendarahan pada DBD meningkatkan kebutuhan akan trombosit. Manifestasi (nomor 3) menguatkan bahwa tidak perlu diberikan infus trombosit pada pederita DBD, karena pada akhirnya trombosit yang di berikan akan didestruksi dengan adanya antibodi antitrombosit.
36
Perjalanan penyakit dengue seperti lagu menghitung hari. Pada kasus dengue, kita menghitung hari, ada masa inkubasi (virus dengue ada dalam tubuh tapi tidak ada manifestasi klinis penyakit), fase akut (demam hari I-IV), dan fase kritis (hari V-VII), dan fase konvalesense. Proses plasma leakage hanya terjadi pada fase kritis, dan hanya terjadi dalam 24-48 jam. Untuk mengidentifikasi fase kritis perhatikan bahwa pada sekitar hari kelima demam sudah mulai turun, tetapi kematrokit makin meningkat, leukosit makin anjlok, dan trombosit juga makin anjlok. Leukopeni rata-rata selalu mendahului trombositopeni, dan trombositopeni mendahului plasma leakage. Pemeriksaan serologi baru dapat terdeteksi setelah hari kelima, karena disitu kemungkinan besar konsentrasi antibodi cukup di atas batas deteksi alat. Sedangkan pemeriksaan antigen NS1 dapat dilakukan dari H-1 sampai dengan hari keempat, kadar optimal NS1 adalah pada hari ketiga. Pemeriksaan antigen NS1 ada dua, yaitu dengan ELISA dan rapid test. Pemeriksaan de-ngan ELISA lebih akurat tetapi membutuhkan waktu yang lama (4 jam). Sedangkan pemeriksaan dengan rapid test hanya mebutuhkan waktu 5 menit. NS1 merupakan non structure protein yang terdapat pada permukaan virus, merupakan antigen yang letaknya paling luar
sehingga paling mudah terdeteksi dan merupakan biang kerok utama manifestasi respon imun yang telah diterangkan sebelumnya. Dr. Leonard sempat bertemu dengan penemu alat rapid test untuk NS1 ini, dan menurut sang penemu hari ketiga merupakan puncak kadar NS1 sehingga paling memungkinkan deteksi NS1 pada hari itu. Akan tetapi setelah hari kelima, jumlah antigen sudah menurun sampai tidak bisa terdeteksi. Untuk antibodi, dapat dideteksi setelah kelima demam. Pemeriksaan NS1 tidak bisa menggantikan pemeriksaan antibodi. Akan tetapi tidak dapat menentukan infeksi yang terjadi primer atau sekunder. Kita juga telah melupakan uji tourniquet. Padahal uji tourniquet merupakan uji yang paling sederhana dan spesifik untuk DBD. dr. Leonard menutup presentasi dengan menekankan perbedaan antara demam dengue dengan demam berdarah dengue, pada DBD sudah pasti terjadi plasma leakage, sedangkan pada demam dengue tidak terjadi. Acara dilanjutkan kembali dengan presentasi yang akan disampaikan oleh dr. Kie Chen, SpPD, KPTI, yaitu mengenai: Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue Dr. Kie Chen memulai dengan penekanan bahwa Indonesia merupakan endemik demam berdarah dengue (DBD) dan pada demam berdarah terjadi kebocoran plasma. Terapi pada demam berdarah adalah terapi suportif. Yaitu memberikan cairan pengganti sampai respon imunologi itu berhenti. Kematian yang terjadi 1%. Penetapan kasus DHF menurut WHO pada tahun 1997, yaitu: - Demam atau pernah demam, dalam 2-7 hari terakhit, dan biasanya biphasic. - Trombositopenia (<100.000/ mm3) - Test tourniquet positif - Petecheae, ecchymoses, atau purpura. - Pendarahan di mukosa, saluran GI, tempat injeksi, atau lokasi lainnya. - Hematemesis atau melena. - Kejadian kebocoran plasma: peningkatan hematokrit >20%,
penurunan hematokrit setelah pemberian cairan pengganti >20% terhadap baseline. - Tanda-tanda kebocoran plasma lainnya: efusi pleura, asites, dan hipoproteinemia. Tatalaksana DHF umumnya adalah tatalaksana yang bersifat suportif. Kita tidak mempunyai obat-obat yang bisa menyetop proses imunologi yang terjadi. Tetapi kebocoran plasma akibat respon imunologi akan berhenti dengan sendiri. Umumnya yang diberikan kepada pasien adalah cairan pengganti cairan tubuh, istirahat yang cukup, nutrisi. Selain itu diberikan pula obat antipiretik, akan tetapi hindari pemberian aspirin dan NSAID karena obat-obat tersebut dapat memicu pendarahan. Hal yang paling penting juga dalam tatalaksana DHF adalah 1. monitoring tanda-tanda shock, biasanya selama fase afebril (hari ke-4-6); 2. monitoring kesadaran, denyut nadi, dan tekanan darah; 3. monitoring hematokrit (Ht) dan jumlah platelet. Kita memiliki beberapa pilihan cairan. WHO menuliskan pemberian cairan kristaloid, yaitu cairan yang mengandung elektrolit. Sebaiknya jangan berikan cairan maintenance yang seperti dekstrosa dan cairan lainnya untuk nutrisi, karena cairan-cairan
tersebut tidak bisa bertahan dalam kapiler dalam waktu yang lama. Cairan itu umumnya akan keluar dari pembuluh darah. Memang pemberian koloid belum direkomendasikan pada protokol WHO. Tapi koloid dengan molekul yang lebih besar dapat bertahan lebih lama dalam plasma. Kita belum ada data untuk pemakaian koloid pada DHF I/II. Tetapi untuk DHF yang mengalami shock sudah ada penelitian yang dilakukan. Prinsip tatalaksana pemberian cairan: volume cairan yang diberikan merupakan jumlah defisit cairan tubuh ditambah deng-an jumlah cairan yang diperlukan untuk maintenance. Formula: Need of fluid / day = Fluid deficit + maintenance 5% BW deficit = (5% x BW x 1000) mL Maintenance = 1500 + 20 x [BW(kg) - 20] Pemberian cairan harus disesuaikan sesuai dengan kondisi klinis pasien, evaluasi kondisi vital Ht dilakukan setiap 4 jam sekali. Jangan sampai terjadi kelebihan cairan. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan Kesehatan Depkes 2005 Berikut adalah tatalaksana DHF dengan peningkatan Ht >20%:
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Tatalaksana renjatan
Pada kesempatan ini, dipaparkan secara singkat hasil penelitian “An Open Pilot Study of the Efficacy and Safety of Polygeline (Haemaccell®) in Adult Subjects with Dengue Hemorrhagic Fever” yang diteliti oleh Herdiman J Pohan, Khie Chen Lie, Widayat Djoko Santaso, Suhandro, dan Eppy dengan sponsor PT Dexa Medica. Terapi cairan pada penderita demam berdarah tahap I/II memiliki beberapa problema, sebagai berikut:
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
1. terjadinya hemokonsentrasi selama terapi cairan pengganti sehingga dibutuhkan lebih banyak cairan; 2. terjadi akumulasi cairan pada rongga-rongga tubuh seperti pleural efusi, asites, dan udem pada kadnung kemih. Problema ini memunculkan kebutuhan akan adanya cairan pengganti yang dapat bertahan lebih lama dalam intravaskular, mudah diekskresi, lebih aman untuk organ tubuh (misal ginjal),
memiliki pengaruh yang minimal terhadap sistem koagulasi, dan less allergic potential. Haemaccell® adalah cairan koloid yang memiliki komposisi polygeline yang diperoleh dari tulang rawan sapi. Kandungan koloid yang memiliki Berat Molekul lebih besar dibanding cairan kristaloid memungkinkan Haemaccell® bertahan dalam intravaskular lebih lama, dan apabila dibandingkan dengan cairan koloid lainnya, berat molekul polygeline adalah yang paling kecil
Beberapa Hasil Diskusi Round Table Discussion Transfusi trombosit hanya diberikan pada kondisi pendarahan dan tidak pernah diberikan untuk profilaksis. Dalam beberapa penelitian yang telah dilakukan Dr. Kie Chen, SpPD, KPTI dkk, rendahnya jumlah trombosit ti-dak selalu menimbulkan pendarahan. Yang penting adalah selalu monitoring, pendarahan tidak akan terjadi tanpa diketahui. Bila terjadi epistaksis namun hemodinamik stabil, nadi tidak cepat, tidak gelisah, Ht normal, maka tidak diberikan pemberian trombosit. Namun bila yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu: pasien gelisah, hemodinamik tidak stabil, Ht turun, adanya nyeri yang hebat pada abdomen, terasa mual yang hebat, barulah pemberian transfusi trombosit harus dipertimbangkan. Apakah benar alat diagnostik NS1 berguna? Karena biayanya mahal sekali. Filosofi NS1 rapid test: mendeteksi sedini mungkin. Dibutuhkan di daerah endemik seperti di Indonesia. Tapi untuk pasien menengah ke bawah, biasanya dilakukan deteksi dini dari kadar leukosit. Ingat leucopenia mendahului trombositopenia. Rapid test NS1 sekarang bisa false positive. Tapi sekarang sedang diteliti untuk menghindari false positive. Kemudian acara diakhiri dengan penutupam oleh moderator (Dr. Tunggul D Situmorang, SpPD, KGH) dengan applause meriah dari peserta. Wila, Taufik, Ana, Natalia, Lydia
MEDICINUS
sehingga lebih mudah diekskresi, lebih aman bagi ginjal, minimal mempengaruhi sistem koagulasi, dan kemungkinan menyebabkan alergi kecil. Hasil dari penelitian pilot dari Haemaccell® ini menunjukkan bahwa Haemaccell® aman dan efektif digunakan sebagai terapi cairan pada pasien demam berdarah tahap I/II. Uji klinis komparatif dengan jumlah subjek yang lebih besar akan dilakukan untuk menegaskan efikasi dan keamanan Haemaccell®.
37
MEDICINUS
38
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
MEDICINUS
133
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
MEDICINUS
IKLAN STIMUNO / HISTRIN FT
134
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
events
STIMUNO Raih Anugerah Produk Asli Indonesia 2008
ca mewakili Managing Director Dexa Medica, Ferry Soetikno. Sementara itu, Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia, Ahmad Djauhar dalam sambutannya menjelaskan bahwa para pemenang APAI 2008 akan difasilitasi untuk mengikuti ABAC (ASEAN Business Advisory Council) Award tahun 2009 mendatang.
APAI 2008 mengangkat tema “Goes Global” dirancang dan diwujudkan untuk mengangkat produk asli Indonesia, baik berupa barang maupun jasa, agar dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri maupun mampu berlaga di ajang antarbangsa.
Dewan Juri APAI 2008 terdiri dari: 1. Insan Budi Maulana, Pengamat Hak Kekayaan Intelektual, Managing Partner and Head of Intellectual Property Practice pada Lubis, Santosa Maulana Law Offices, 2. Yongky S. Susilo, Director, Business Development, Retail Services PT The Nielsen Company Indonesia, 3. Rofikoh Rokhim, Ekonom Harian Bisnis Indonesia, 4. Amalia E. Maulana, Head of MM Strategic Marketing BiNus Business School, 5. Bambang Setiadi Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN), 6. Goenawan Loekito, Pemerhati
Penghargaan APAI 2008 untuk STIMUNO diserahkan oleh Wakil Pemimpin Perusahaan Harian Bisnis Indonesia, Haryadi B. Sukamdani kepada Sylvia Andriani Rizal, Head of Marketing and Sales OTC Dexa Medi-
Direktur PT Astra Honda Motor. Sebelumnya, STIMUNO juga pernah memenangkan penghargaan Primanyarta Award (2005) dan BJ Habibie Technology Award (2008). Corporate Communica-
tions Dexa Medica
MEDICINUS
S
TIMUNO yang diproduksi PT Dexa Medica memperoleh Anugerah Produk Asli Indonesia (APAI) 2008, Pemenang Kategori Obat. Penghargaan ini diberikan oleh harian ekonomi terkemuka Bisnis Indonesia, yang diserahkan pada Kamis, 11 Desember 2008, di Gedung Balai Kartini, Jakarta.
Bisnis dan Teknologi, Marketing Director PT Oracle Indonesia, 7. Narga S. Habib, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), 8. Mayadewi Hartarto, Presiden Direktur Esmod Jakarta, 9. Julius Aslan,
41
Website Dexa Medica Tampil dengan Wajah Baru
W
ebsite Dexa Medica kini tampil dengan wajah baru. Disain dan menu-menu baru terlihat lebih dinamis. Website ini akan menjadi pintu gerbang informasi tentang Dexa Medica. Tampilan baru ini mulai dapat diakses pada Rabu, 4 Februari 2009, setelah Managing Director Dexa Medica, Ferry Soetikno melakukan browsing di sejumlah menu-menu baru dalam website ini, seperti Presentations, 40 Tahun Dexa Medica, dan Hot News.
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Selain menu-menu baru, beragam pilihan menu lain yang dapat diakses seperti info produk (ethical dan OTC), berita kesehatan dan farmasi, calendar of event, ragam aktivitas sosial Dharma Dexa, hingga info karir. Web Dexa Medica akan senantiasa dikembangkan mengikuti dinamika teknologi informasi. Silahkan kunjungi, tampilan baru www.dexa-medica.com ! Corporate Communications Dexa Medica
events
Dua Tahun Berturut-turut: Dexa Medica Perusahaan Pembina Tenaga Kerja Perempuan Terbaik
D
ua Tahun berturut-turut, Dexa Medica terpilih sebagai Perusahaan Pembina Tenaga Kerja Perempuan Terbaik Provinsi Sumatera Selatan tahun 2008 dan 2007. Penghargaan Perusahaan Pembina Tenaga Kerja Perempuan Terbaik 2008 diberikan Senin, 22 Desember 2008, di Jakarta Conven-
tion Center, oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Erman Suparno disaksikan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, dan Ibu Negara, Ani Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Yusuf Kalla, Menteri Megara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta, Menteri Kesehatan, Siti Fadillah Supari, Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, dan sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Bersatu lainnya.
MEDICINUS
Dari Dexa Medica, hadir pada penyerahan penghargaan tersebut, Karyanto, Corporate Communications Manager, mewakili Managing Director Dexa M e d i c a ,
42
Dexa Award untuk Lulusan Terbaik Apoteker UI
D
exa Medica kembali memberikan penghargaan Dexa Award kepada lulusan terbaik program profesi Apoteker dari universitas terakreditasi A di Indonesia. Kali ini, Nova Trisnawaty, S.Farm, Apt, terpilih untuk menerima penghargaan Dexa Award sebagai lulusan terbaik program profesi Apoteker Angkatan ke-67, Universitas Indonesia (UI). Nova yang berasal dari Palembang, Sumatera Selatan ini, memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,46. Dexa Award diserahkan oleh Head of Marketing and Sales OTC Dexa Medica, Sylvia Andriani Rizal, mewakili Direksi Dexa Medica, pada Pelantikan dan
Pengambilan Sumpah Apoteker Angkatan LXVII, Departemen Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UI,
Ferry Soetikno. Penghargaan ini digelar bersamaan Peringatan Hari Ibu ke-80 dan Pencanangan Tahun Indonesia Kreatif 2009. Ada tujuh kategori penghargaan yang diberikan, yaitu Penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, Penghargaan Pengelola Program Terpadu Peningkatan Peran Wanita menuju Keluarga Sehat Sejahtera (P2WKSS) Terbaik Tingkat Provinsi, Penghargaan Pengelola Program Bina Keluarga Balita (BKB) Terbaik Tingkat Provinsi, Penghargaan Kelompok Bina Keluarga Balita (BKB) Terbaik Tingkat Provinsi, Penghargaan Pengelola Kecamatan Sayang Ibu (KSI) Terbaik Tingkat Provinsi, Penghargaan Rumah Sakit Sayang Ibu dan Bayi (RSSI dan B) Terbaik
Tingkat Provinsi, dan Penghargaan Perusahaan Pembina Tenaga Kerja Perempuan Terbaik Tingkat Provinsi. Pemenang Perusahaan Pembina Tenaga Kerja Perempuan Terbaik Tingkat Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2008 adalah, Pemenang Pertama: PT Dexa Medica, Jl. Bambang Utoyo Palembang dengan nilai 7.323, Pemenang Kedua PT Interbis, Jl HBR Motik KM 7, Palembang dengan nilai 6.808, dan Pemenang Ketiga adalah PT PN VII Unit Usaha Beringin, Kabupaten Muara Enim dengan nilai 6.662. Corporate Communications Dexa Medica
di Balai Sidang UI, Depok, Rabu, 4 Februari 2009. Acara itu dihadiri pula Ketua Umum Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI), Prof. Dr. Haryanto Dhanutirto. Ada 60 lulusan Apoteker Angkatan ke67 yang dilantik dan diambil sumpahnya dalam acara tersebut. Dexa Award merupakan penghargaan dari Dexa Medica kepada para apoteker dan dokter yang telah dengan upaya gigih menjadi lulusan terbaik. Dalam sambutannya, Sylvia mengatakan Dexa Medica didirikan di Palembang pada 27 September 1969. Produk-produk
obat Dexa Medica tidak hanya didistribusikan di dalam negeri, tetapi juga diekspor ke manca negara. STIMUNO yang merupakan produk herbal untuk memperkuat sistem imun telah mendapatkan sertifikat Fitofarmaka dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Bahkan belum lama ini, STIMUNO juga meraih penghargaan Anugerah Produk Asli Indonesia (APAI) 2008. Corporate Com-
munications Dexa Medica
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
calender events
2. PIT FETOMATERNAL MALANG Topik: Management of Obstetric Emergencies from Biomolecular to Vlinical Practice Tanggal: 7-11 Maret 2009 Tempat: Kusuma Argo Wisata Hotel Batu, Malang Sekretariat: RSU Dr. Saiful Anwar Malang Div. Obstetric & Ginecology Jl. Jaksa Agung No. 2 Malang dan Jl. Ciasem I No. 30A Kebayoran Baru - Jakarta Selatan Telp.: 0341-353331 / 021-7254424 Faks: 0341-353332 / 021-72794826 E-mail:
[email protected] Contact Person: Dewi 3. Workshop on Stem Cell Isolation, Culture and Analysis 2009 Tanggal: 17 Maret 2009 Tempat: Stem Cell and Cancer Institute (SCI) Pulomas, Jakarta Sekretariat: Fakultas Farmasi Universitas Pancasila Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa - Jakarta Selatan Telp.: 021-7864727 E-mail:
[email protected] Contact Person: Tasqiah J (08122440698); Lungguk H (0812199185); Esti M (08151663201) 4. 7th National Obesity Symposium Topik: Obesity: Mission Possible Tanggal: 21-22 Maret 2009 Tempat: Flores Room - Hotel Borobudur, Jakarta Sekretariat: Prodia Clinical Laboratory Jl. Kramat VI No. 5, Jakarta Pusat Telp.: 021-3145256, 3145296, 3145013, 3145014 Faks: 021-31902310, 3159610 E-mail:
[email protected]; wil3.
[email protected] Contact Person: Pipih (0818196087); Nurul (085711118648) 5. HIV Infection in Infants and Children in Indonesia: Current Challenges in Management Tanggal: 22-23 Maret 2009 Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta Sekretariat:
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
PKB IKA Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM, Jl. Salemba Raya 6 Jakarta 10430 Telp.: 021-3161420 Faks: 021-3161420 E-mail:
[email protected] Website: http://www.idai.or.id/agenda/ Contact Person: Sdri. Indri Nethalia / Dinnisa Adirisnur 6. Non Surgical Management of Benign Gynecology Tanggal: 27-28 Maret 2009 Tempat: Auditorium Sarwono Lt. 1 Gedung A/ Public Wing RSCM Sekretariat: RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Telp.: 021-3928720 / 021-68275657 Faks: 021-3928719 Contact Person: Sdr. Rima/Frany 7. Update on Diagnosis & Management of Clinical Problem in Daily Practice (KPPIK FKUI 2009) Tanggal: 14-19 April 2009 Tempat: FKUI dan Shangri La Hotel, Jakarta Sekretariat: CME-PDU FKUI Lt.2 Jl. Salemba Raya No. 6 Jakarta Pusat Telp.: 021-3106737, 70752375 Faks: 021-3106443 E-mail:
[email protected] atau cme_
[email protected] Contact Person: Yaya/Fiona/Wafi 8. Joint Meeting - 3rd Congress of Association of Souteast Asan Pain Society (ASEAPS) and Neuropathic Pain Special Interest Group (NeuPSIG) 2009 Tanggal: 17-20 April 2009 Tempat: Hyatt Hotel - Nusa Dua, Bali Sekretariat: Anesthesiology Department, Faculty of Medicine, Hasanuddin University/Dr. Wahidin Sudirohusodo General Hospital Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 11 Tamalanrea, Makassar, South Sulawesi, Indonesia Telp.: +62-411-582583 Faks: +62-411-590290 E-mail:
[email protected] Website: http://www.aseaps2009.net Contact Person: Abdillah Khomeini 9. 10th Jakarta Antimicrobial Update (JADE) 2009 Topik: Improving Clinical Skills in Managing Tropical and Infectious Diseases Tanggal: 25-26 April 2009 Tempat: Shangri-La Hotel, Jakarta Sekretariat: Telp.: 021-3929106 / 021-3920185 Faks: 021-3911873 / 021-3929106 Contact Person: Lenni Sibarani/Dewi/Yulianto 10. Anesthesia and Cardiovascular Problems Tanggal: 8-9 Mei 2009 Tempat: Patra Convention Hotel, Semarang Sekretariat:
PT GPD Indonesia, Jl. Ciasem I No. 30A Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12180 Telp.: 021-7254424, 7246720 Faks: 021-72794826
11. Disfunctional Uterine Bleeding dan Hiperplasia Endometrium Tanggal: 14-15 Mei 2009 Tempat: Auditorium Sarwono Lt. 1 Gedung A/ Public Wing RSCM Sekretariat: RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Telp.: 021-3928720, 68275657 Faks: 021-3928719 Contact Person: Sdr. Rima/Frany 12. The 5th International Endoscopy Workshop & Indonesian Digestive Diseases week Tanggal: 14-17 Mei 2009 Tempat: Borobudur Hotel, Jakarta dan RSCM Sekretariat: Divisi Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dala, FKUI/RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo, Jl. Diponegoro 71, Jakarta Telp.: +62-21-3148680, 83792121 E-mail:
[email protected] atau pt_mts@ indo.net.id Website: http://www.ina-hgic. or.id/?page=event 13. 12th Asian Conference on Diarrhoeal Diseases and Nutrition (12th ASCODD) Tanggal: 25-29 Mei 2009 Tempat: Yogya Sekretariat: Pediatric Research Unit Child Health Department Faculty of Medicine Gadjah Mada University, Jl. Kesehatan No. 1 Yogyakarta 55281 Telp.: +62-274-7011570, 555455 Faks: +62-274-555255 E-mail:
[email protected] 14. Jogya Dsypepsia Forum 2009 “Dyspepsia Management Strategy” Where are We Now and Where are We Going? Tanggal: 5-6 Juni 2009 Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta Sekretariat: Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Jl. Kesehatan No. 1 Sekip, Yogyakarta Telp.: 62 274 587333 psw 316 / 553119 Faks: 62 274 553120 E-mail:
[email protected] 15. 4th National Symposium on Vascular Medicine Topik: Integrative Approach on Vascular Disease: from Prevention to Intervention Tanggal: 30 Juli - 1 Agustus 2009 Tempat: Ritz Carlton Hotel, Jakarta Sekretariat: Rumah sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jl. S Parman Kav. 87 Slipi, Jakarta Telp.: 021-5684085, 5684093 (ext 2831) Faks: 021-56963795
MEDICINUS
1. 5th Jakarta International FESS Course & Workshop Tanggal: 7-9 Maret 2009 Tempat: Gran Melia Hotel, Jakarta Sekretariat: Ear Nose Throat Department Gedung A (Medical Staff Building) - 7th Floor Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta Indonesia Telp.: +62-21-3910701 / 3912144 Faks: +62-21-3912144 / 394154 E-mail:
[email protected] atau
[email protected] Website: http://www.pediatric-ent.asia/index. php?option=com_content&view=category&lay out=blog&id=30&itemid=102
43
literature services
Pembaca yang budiman, Jurnal MEDICINUS melayani permintaan literatur services hanya dengan melalui Tim Promosi Dexa Medica Group. Di bawah ini akan diberikan daftar isi beberapa jurnal terbaru yang dapat anda pilih. Bila anda menginginkannya, mohon halaman ini difotokopi, artikel yang dimaksud diberi tanda dan dikirimkan ke atau melalui Tim Promosi.
o Outcomes
ical progress to date. Drugs 2009; 69(1):31-
of patients hospitalized with
community-acquired, health care-associated, and hospital-acquired pneumonia. Annals of
50
o Management of NSAID-induced gastrointestinal toxicity. Focus on proton pump inhibi-
Internal Medicine 2009; 150:19-26
o Screening for skin cancer: An update of the evidence for the US preventive services task force.
tors. Drugs 2009; 69(1):51-69
o Effect of high-dose simvastatin therapy on glucose metabolism and ectopic lipid deposition in
Annals of Internal Medicine 2009; 150:194-8
MEDICINUS
o Prognosis
mary care: A 1-year follow-up study. Annals of Family Medicine 2008; 6:519-27
o
44
2009; 32:209-14
o Metabolic
syndrome and risk for incident
Oxidative stress and left ventricular remod-
Alzheimer’s disease or vascular dementia.
elling after myocardial infarction. Cardiovas-
Diabetes Care 2009; 32:169-74
cular Research 2009; 81:457-64
o Long-term
use of thiazolidinediones and
fractures in type 2 diabetes: A meta-analysis. CMAJ 2009; 180(1):32-9
o
nonobese type 2 diabetic patients. Diabetes Care
of fatigue and functioning in pri-
A cupuncture treatment for pain: Systemic Review of randomised clinical trials with acupuncture, placebo acupuncture, and no acupuncture groups. BMJ 2009; 338:330-44
o Long-term
survival after evidence based
treatment of acute myocardial infarction and revascularisation: follow-up of population based Pert MONICA cohort, 1984-2005. BMJ 2009; 339:b36
o Antidepressants for the treatment of chronic pain. Drugs 2008; 68(18):2611-32
o Novel targets for antiretroviral therapy. Clin-
o
Allopurinol and nitric oxide activity in the cerebral circulation of those with diabetes. Diabetes Care 2009; 32:135-7
o Giant
osteoclast formation and long-term
oral bisphosphonate therapy. The New England Journal of Medicine 2009; 360:53-62
o Fractional flow reserve versus angiography for guiding percutaneous coronary intervention. The New England Journal of Medicine 2009; 360:213-24
o Primary ovarian insufficiency. The New England Journal of Medicine 2009; 360:606-14
o Association of mild anemia with hospitalization and mortality in the elderly: the health and anemia population-based study. Haematologica 2009; 94(1):22-8
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
MEDICINUS
IKLAN KEPPRA
IKLAN HOSPITAL EXPO