Medica Obstetrica Jurnal Ilmiah Kebidanan AKBID Ngudi Waluyo 1 Januari Vol 3 No , 1 Januari 2012
ISSN 2008 - 5156
M
Pemahaman Ibu tentang Manfaat ASI dan Pemberdayaannya di Desa Sukomulyo Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal Tahun 2008 Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang Hubungan Pijat Bayi dengan Kualitas Tidur pada Bayi Umur 1-12 Bulan di Rumah Bersalin Al-Aziziah Nurrusyifa Desa Wringin Putih, Kecamatan Bergas Kabupaten Semararang Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemiihan KB Suntik di Desa Kebondalem Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang Tahun 2010 Studi Diskriptif Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kecemasan dalam Volume 3 Nomor 1, Januari 2012Menghadapi Menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan ISSN 2008 Tingkir Kota Salatiga Tahun 2010 5156 Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia pada Ibu Hamil Primigravida di puskesmas Semowo Kabupaten Semarang 2011
Medica Obstetrica
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Kader Posyandu dalam Pelaksanaan Kegiatan Posyandu di Desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang
Jurnal Ilmiah Kebidanan AKBID Ngudi Waluyo 1 Januari Susunan Dewan Redaksi Penanggung Jawab (Chairman) Direktur AKBID Ngudi Waluyo Penerbit Ketua Penyunting (Editor in Chief) Widayati, S.SiTKebidanan Ngudi Waluyo Akademi Jln. Gedongsongo, Candirejo, Ungaran, kabupaten Semarang Jawa Ketua Penyunting (Secretary Editor) Tengah 50513 Kartika Email:up2m@akbidngudiwaluyo Sari, S.SiT Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang 0
Anggota Penyunting (Section Editor) Eti Salafas, S.SiT., Ninik Christiani, S.SiT, Ari Andayani, S.SiT.M.Kes., Isri Nasifah, S.SiT., Heni Setyowati, S.SiT., Chichik Nirmasari, S.SiT., Rini Susanti, S.SiT., Fitriana Sri Suryani, S.SiT. Administrasi (Admission) Moneca Diah Listyani, S.SiT., Risma Aliviani Putri, S.SiT., Aulia Muharramah, S.SiT Humas dan Promosi Heri Prabowo, S.E., Reny Sulistyowati, S.Kom., Sri Mujiono, S.Kom. Medica Obstetrica, Jurnal Kebidanan Ngudi Waluyo setahun terbit dua kali (Januari dan juli)
Medica Obstetrica, Jurnal Kebidanan Ngudi waluyo merupakan wadah atau sarana yang menerbitkan tulisan ilmiah hasil-hasil penelitian maupun nonhasil penelitian di bidang ilmuilmu kebidanan khususnya dan ilmu-ilmu kesehatan reproduksi pada umumnya yang belum pernah diterbitkan atau sedang dalam proses penerbitan di jurnal-jurnal ilmiah lainnya. Redaksi berhak mengubah tulisan tanpa mengubah mengubah maksud atau subtansi dari naskah yang dikirimkan. Naskah yang belum layak diterbitkan dalam Medica Obstetrica, Jurnla Kebidanan AKBID Ngudi Waluyo tidak dikembalikan kepada pengirimnya kecuali atas permintaan dari penulis yang bersangkutan.
Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang 1
Volume 3 Nomor 1, Januari 2012 5156
ISSN
2008
Medica Obstetrica Jurnal Ilmiah Kebidanan AKBID Ngudi Waluyo 1 Januari Daftar Isi Pemahaman Ibu tentang Manfaat ASI dan Pemberdayaannya di Desa Sukomulyo Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal Tahun 2008
1-8
Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang
9-19
Hubungan Pijat Bayi dengan Kualitas Tidur pada Bayi Umur 1-12 Bulan di Rumah Bersalin Al-Aziziah Nurrusyifa Desa Wringin Putih, Kecamatan Bergas Kabupaten Semararang
20-33
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemiihan KB Suntik di Desa Kebondalem Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang Tahun 2010 Studi Diskriptif Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kecemasan dalam Menghadapi Menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Tahun 2010
34-46
47-61
62-80 Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia pada Ibu Hamil Primigravida di puskesmas Semowo Kabupaten Semarang 2011 81-94 Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Kader Posyandu dalam Pelaksanaan Kegiatan Posyandu di Desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang
Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang 2
-
PEMAHAMAN IBU TENTANG MANFAAT ASI DAN PEMBERDAYAANNYA DI DESA SUKOMULYO KECAMATAN KALIWUNGU SELATAN KABUPATEN KENDAL TAHUN 2008 Widayati 1), Ari Andayani 2) Akademi Kebidanan Ngudi Waluyo Email:up2m@akbidngudiwaluyo ABSTRAK PEMAHAMAN IBU TENTANG MANFAAT ASI DAN PEMBERDAYAANNYA DI DESA SUKOMULYO KECAMATAN KALIWUNGU SELATAN KABUPATEN KENDAL TAHUN 2008. Penelitian ini adalah sebuah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi yang bertujuan untuk menggambarkan pemahaman ibu tentang manfaat ASI dan pemberdayaannya di desa Sukomulyo Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal tahun 2008. Semakin sering bayi menyusu, maka semakin banyak pula ASI yang diproduksi, sehingga bayi akan mendapatkan ASI yang maksimal. Jumlah sample yang berperan dalam penelitian ini adalah 5 responden dari populasi yang berjumlah 148 responden. Analisa datanya melalui reduksi data, penyajian data dan menganalisa data yang sudah didapatkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu menyusui tidak mengetahui mengenai pemahaman tentang manfaat ASI, sehinga pemberdayaannya juga berkurang yang ditandai dengan banyaknya bayi yang diberikan susu formula dan adanya bayi yang diberikan makanan tambahan sebelum waktunya. . EQ dan SQ, dimana ASI dapat diperoleh PENDAHULUAN dari ibu-ibu. Walaupun ASI hanya dapat diperoleh dari seorang ibu, tetapi masih Latar Belakang ada juga bayi yang tidak mendapatkan ASI Menyusui adalah langkah awal yang karena kurangnya produksi ASI. tidak rasa lebih sehat, tetapi juga rasa lebih Kelangsungan hidup seorang bayi baru pandai dengan EQ dan SQ yang lebih baik. lahir sangat membutuhkan manakan yang Bayi memerlukan kedekatan fisik dan tepat. Penelitian di luar negeri kehangatan dari ibunya sebanyak ia menunjukkan bila seorang anak mengalami memerlukan makanan yang optimal. Saat gangguan gizi setelah perkembangan otak ini hamper semua orang menyadari bahwa yang pesat, maka ia tidak akan mengalami menyusui dapat memenuhi kebutuhan fisik gangguan integensi (Hubertin, 2002). dan emosional bayi. Menyusui adalah Menteri Negara perkembangan suatu proses yang harus dipelajari. perempuan “Mutia Hatta” mengatakan Umumnya kegagalan menyusui bahwa meskipun usaha untuk disebabkan kurangnya informasi tentang meningkatkan pemberian air susu ibu menyusui (Roesli, 2006). Untuk bayi yang (ASI) sangat gencar dilakukan, tetapi baru lahir tidak ada makanan yang lebih kesadaran masyarakat untuk pemberian sempurna dibandingkan air susu ibu dan ASI di Indonesia masih memprihatikan. tidak ada system pengiriman makanan Dikataan bahwa permasalahan yang yang lebih sempurna dibandingkan mengakibatkan masih rendahnya payudara. penggunaan ASI di Indonesia adalah faktor Pembangunan suatu Negara sosial budaya, kurangnya pengetahuan tergantung dari para ibu karena bayi akan pentingnya ASI (Budiyanto, 2003). (penerus generasi bangsa) mendapatkan Masih ada beberapa daerah yang ASI yang ikut berperan dalam peningkatan mempercayai mitos bahwa ibu menyusui Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang 3
tidak boleh makan yang amis-amis. Tercetak 307 ibu yang kurang tentang ASI, namun seharusnya penjelasan informasi tentang manfaat menyusui dan penatalaksanaannya, seharusnya dimulai sejak kehamlan, lalu pada masa bayi baru lahir sampai usia 2 tahun, sehingga hal ini termasuk dalam 9 masalah menyusui (Tabloit Nakita, 2007). Disampingt itu, juga ada masalah yang menduduki peringkat utama yaitu pada ibu manyusui kurangnya produksi ASI. Tercatat sekitar 664 ibu yang mengeluh masalah ini ke klinik laktasi RSST Salolur (Nakita, 2007). Produksi ASI pada wanita rata-rata 600 ml pada 6 bulan pertama menyusuui, 400 ml pada 6 bulan berikutnya, dan menjadi 600 ml pada tahun kedua. Selanjutnya menurun menjadi 200 ml, ratarata memproduksi 800 ml ASI dalam sehari dengan kandungan 600 kal (Pikiran Rakyat Bandung, 2006). 2 % ibu yang secara biologis kurang memproduksi ASInya, sisanya 95 sampai 98 % ibu yang dapat menghasilkan ASI yang cukup untuk bayi. ASI diproduksi sesuai dengan prinsip suplai ondemain artinya semakin sering bayi disusui akan semakin banyak pula produksi ASI. Setiap kali “gudang” ASI (milk pool/milk sinus) dikosongkan, pabrik ASI (alveolir) dalam payudara ibu akan segera memproduksi ASI untuk mengisi kembali milk pool. Semakin sedikit atau jarang ASI dikeluarkan dari gudangnya, semakin sedikit pula “pabrik” memproduksi ASI (Nakita, 2007). Harapan penelitian ini yaitu agar para calon ibu setelah mengetahui manfaat ASI bersedia memberikan ASInya semaksimal mungkin dan menerapkan apa yang sudah diketahuinya. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan di desa Sukomulyo Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal bayi diberikan susu formula dengan alasan produksi ASinya kurang, sehingga secara otomatis bayi kurang mendapatkan ASI dari ibunya. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian kualitatif yang berfokus pada pengalaman, interpretasi dan makna hidup orang yang mengalaminya (Moleong, 2004). Pendekatan yang digunakan adalah fenomenologis, peneliti berusaha memahami arti dan makna pemahaman ibu menyusui serta pemberdayaannya di masyarakat. Pendekatan ini bertujuan untuk menghadirkan deskriptif yang akurat dari suatu fenomena yang sedang dipelajari mengenai pemahaman ibu tentang manfaat ASI dan pemberdayaannya pada ibu-ibu menyusui. Pendekatan fenomena ini tidak bertujuan untuk menggeneralisasikan suatu penjelasan teori atau model dari pengalaman-pengalaman tersebut. Definisi Konstektual a. Pemahaman manfaat ASI adalah kemampuan dalam menjelaskan mengenai manfaat ASI. b. Pemberdayaan mengenai manfaat ASI adalah bagaimanakah para ibu-ibu menyusui dapat menerapkan mengenai berbagai macam manfaat ASI. Instrumen Instrumen pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini yaitu dengan menggunakan metode wawancara yang mendalam (In-Depth Interview), yang menggunakan alat bantu tape recorder, buku tulis dan alat tulis. Wawancara mendalam ini menggali dan lebih intensif pada pokok tertentu (Hundelson, 1998). Pengumpulan data dengan cara ini juga mengarahkan dan mengasumsikan hasil wawancara dengan para ibu menyusui yang diprioritaskan pada topik tertentu untuk mengetahui pertanyaan yang mengarah pada topic yang sedang diteliti (Milles dkk, 1996). Populasi dan Sampel
Jenis Penelitian Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang 4
Populasi yang tergolong dalam penelitian ini yaitu semua ibu yang menyusui di desa Sukomulyo Kec. Kaliwungu Selatan Kab. Kendal,. Jumlah populasi dalam penelitian ini yaitu sejumlah 148 ibu menyusui. Tehnik pengambilan sempel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sampel bertujuan (purposive sample) yang bertujuan untuk menggali informasi yang menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul dengan memilih calon responden secara tidak acak diantara populasi dan sesuai dengan kriteria (Moleong 2004). Kriteria sample penelitian ini yaitu ibu yang masih menyusui bayinya, yang bersedia menjadi responden yang terdapat di desa Sukomulyo Kec. Kaliwungu Selatan Kab. Kendal . Jumlah sample yang terdapat dalam penelitian ini yaitu 5 responden. Analisa Data Penelitian yang dilakukan ini didalam menganalisa datanya menggunakan model analis Miles dan Huberman. Analisis Miles dan Huberman ini membagi tiga alur kegiatan yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. HASIL Gambaran Umum Desa Sukomulyo terletak disebelah timur kota Kendal, tepatnya di wilayah Kec. Kaliwungu Selatan Kab. Kendal. Desa Sukomulyo berbatasan dengan desa Plantaran di sebelah timur, sebelah barat berbatasan dengan desa Blorok, sebelah selatan berbatasan dengan desa Magelung dan sebelah utara berbatasan dengan Kumpulrejo. Desa Sukomulyo terdiri dari 5 dusun yang dihuni oleh 1.760 KK yang terdapat 5.021 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki sejumlah 2.455 jiwa dan penduduk perempuan sejumlah 2566 jiwa. Jumlah bayi dan balita yang terdapat di desa Sukomulyo yaitu sejumlah 480 jiwa, sedangkan jumlah bayi dan anak
yang masih disusui yaitu sejumlah 148 jiwa. Tenaga kesehatan yang dapat dijumpai di desa Sukomulyo yaitu satu bidan desa, satu Bidan Praktek Swasta dan satu perawat. Penelitian ini lebih difokuskan pada hasil pengumpulan data yang bersifat kualitatif, sehingga beberapa gambaran dan kesimpulan yang akurat dapat diperoleh untuk menggambarkan mengenai pemahaman tentang manfaat ASI dan pemberdayaannya di desa Suomulyo Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal. Pelaksanaan wawancara mendalam dilakukan kurang lebih satu minggu pada lima responden. Wawancara tersebut dibantu dengan alat perekam dan pelaksanaan wawancara secara terpisah pada pengumpulan data serta dilakukan pengamatan pada masing-masing responden. Peneliti menguraikan analisa data satu persatu dari hasil wawancara mendalam serta hasil tersebut ditulis selengkapselengkapnya yang sama dengan hasil rekaman, kemudian data yang diperoleh disalin, diamati dan dibuat benang merah untuk memudahkan dalam menyimpulkan. Skema Analisa Data Berdasarkan hasil wawancara yang mendalam mengenai pemahaman tentang manfaat ASI dan pemberdayaannya di desa Sukomulyo Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal, kemudian dibuat koding yang berisi tentang karakter responden
Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang 5
No R1 R2 R3 R4 R5
Umur 29 tahun 28 tahun 21 Tahun 26 tahun 24 tahun
Pendidikan Jumlah Anak SD 4 SD 1 SD 1 SLTA 2 SLTA 1
Hasil Wawancara Pemahaman ibu tentang manfaat ASI di desa Sukomulyo Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal Berdasarkan wawancara yang mendalam mengenai pemahaman ibu
Pemahaman ibu tentang pengertian ASI
Pekerjaan Pembantu Rumah Tangga IRT IRT IRT IRT
tentang manfaat ASI dan pemberdayaannya di desa Sukomulyo Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal, kemudian dibuatlah skema seperti dibawah ini :
Pengertian bayi yang benar Pengertian ASI yang tidak benar
Makanan bayi
Air susu ibu
Bagan 5.1. Pemahaman ibu tentang Pengertian ASI Pernyataan tersebut dapat diungkap melalui berbagai jawaban responden yang diuraikan dibawah ini, yaitu : Responden 1 : “Air susu ibu” Responden 2 : “Ya, air susu dari ibu, bukan dari took he….he…..” Responden 3 : “Ya, air susu ibu” Responden 4 : “Ya, ya bu, makanan bayi ya bu?” Responden 5 : “Ya, air susu ibu”
Pemahaman ibu tentang manfaat ASI
Manfaat ASI yang benar
Alat kontrasepsi
Manfaat ASI yang kurang tepat
Bayi tidak haus Bayi kenyang Bayi tidak lapar Berat bayi bertambah Bayi sehat/tidak sakit Badan jadi kurus
Bagan 5.2. Pemahaman Ibu tentang Manfaat ASI Pernyataan tersebut dapat diungkap melalui berbagai jawaban responden yang diuraikan dibawah ini, yaitu : Responden 1 “Ya biar bayi tidak haus dan biar kenyang”.
“Iya, badan jadi kurus kalau menyusui terus”. Responden 2 “Biar bayi tidak kelaparan, biar sehat, gak sakit kan bu”. Responden 3
Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang 6
“Biar bayi kenyang dan gak sakit”. Responden 4 “Ya, biar bayi gak rewel, tidak lapar dan tidak sakit”. Responden 5
“Biar bayi tidak mudah sakit, biar bayi kenyang, biar berat badannya bertambah”. Pemberdayaan tentang manfaat ASI di desa Sukomulyo Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal
Bentuk pemberdayaan tentang manfaat ASI dapat dilihat pada bagan sebagai berikut Perlaku pemberdayan ASI yang benar Bentuk perilaku pemberdayaan ASI
Perilaku peberdayan ASI yang salah Perilaku yang menghambat produksi ASI
ASI diberikan pada bayi
ASI dibuang Diberikan susu formula Pemberian makanan tambahan yang dini
Bagan 5.3. Bentuk Pemberdayaan ASI Data tersebut didukung dengan hasil wawancara yaitu : Responden 1 “Iya, sampe sekarang masi minum ASI, tapi sama susu formula”. Responden 2 “Iya, tapi masih saya kasih susu formula, soalnya saya juga bekerja”. Responden 3 “Iya, iya” “Tidak sama susu formula” Responden 4 “Ya ya bu, tapi tidak eksklusif soalnya bayi gak mau” “Soalnya sudah sering dikasih susu formula dibotol kalo… gak mau bu”. Responden 5 “Ya, ini bayinya disusui dengan ASI bu”. “Tidak, sama dikasih susu formula bu, kadang juga dikasih susu formula”. “Banyak bu ASInya, tapi bayinya gak mau padahal ASInya sampai kopoh-kopoh bu, tapi gimana lagi bu, bayinya ga mau menyusu” “Ya…iya la, daripada kopoh-kopoh, kemudian saya peras terus dibuang” Pembahasan
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dapat diketahui bahwa tingkat pemahaman tentang pengertian ASI masih sangat rendah. Hal ini desebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan ibu yang menyusui hanya mengeyam pendidikan sampai sekolah dasar, dan sekolah menengah atas. Adanya tingkat pendidikan dari ibu menyusui, mengakibatkan perbedaan tingkat pengertian, penerimaan dan tingkat pemahaman mereka terhadap ASI (Air Susu Ibu). Hal ini sesuai dengan teori Notoadmojo (2003) yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan, maka akan semakin mudah menerima informasi sehingga semakin banyak pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya yang kurang pendidikannya akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai baru yang diperkenalkannya. Misalnya faktor sosial budaya yang selama ini ada di masyarakat yang menganggap bahwa bayi yang rewel pasti karena tidak puas hanya diberikan ASI saja, sehingga para orang tua memberikan makanan tambahan lain yang tidak sesuai dengan usia bayi tersebut. Menurut Soetjiningsih (1993) menyatakan bahwa pendidikan akan memberikan kesempatan kepada orang untuk membuka jalan pikiran dan
Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang 7
menerima hal-hal baru. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap pola pemberian ASI terutama di kota-kota besar. Selain itu, semakin tinggi pendidikan maka kemajuan teknologi, perkembangan industri, urbanisasi dan pengaruh kebudayaan barat menyebabkan pergeseran nilai sosial budaya masyarakat. Hal ini juga sesuai pernyataan menteri Negara perkembangan perempuan “Mutia Hatta” yang mengatakan bahwa meskipun usaha untuk meningkatkan pemberian air susu ibu sangat gencar dilakukan, tetapi kesadaran msyarakat untuk pembirian air susu ibu di Indonesia masih memprihatinkan. Disampaikan bahwa permasalahan yang mengakibatkan masih rendahnya penggunaan ASI di Indonesia adalah faktor sosial budaya, kurangnya pengetahuan akan pentingnya ASI. Akibatnya ASI yang diproduksi akan berkurang bahkan ASI sudah tidak diproduksi lagi. Hal ini disebabkan karena bayi sudah kenyang dengan pemberian makanan tambahan tersebut, sehingga bayi tidak menyusu lagi padahal isapan bayi ketika menyusu dapat merangsang produksi ASI. Selain itu, juga terdapatnya mitos di masyarakat yang menyatakan bahwa ibu yang menyusui tidak boleh makan-makanan yang amis seperti ikan, daging (Tabloit Nakita, 2007). Padahal makanan tersebut merupakan salah satu makanan yang dapat meningkatkan produksi ASI. Hasil penelitiam juga menunjukkan bahwa pemahaman ibu tetang manfaat ASI kurang, tidak bekerja (hanya berperan sebagai ibu rumah tangga). Rendahnya pemahaman ibu tentang ASI dan manfaat ASI juga dipengaruhi oleh minimnya informasi yang mereka dapatkan baik dari teman maupun dari para petugas kesehatan tentang ASI dan manfaatnya. Jenis pekerjaan seseorang dapat mempengaruhi pengetahuan, karena ibu yang hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, maka dalam infornasinya hanya mendapatkan dari masyarakat sekitarnya saja, sedangkan ibu yang bekerja informasi yang diperolehnya dapat dari masyarakat sekitar
dan rekan kerjanya. Oleh karena itu, masih banyak bayi yang diberikan susu formula. Penyajian susu formula dapat diberikan oleh siapa saja dan banyaknya produkproduk susu formula yang dipasarkan di toko-toko, Anggapan di masyarakat bahwa dengan memberikan susu formula yang mahal dapat menjamin kecerdasan bayi. Keadaan inilah yang secara langsung maupun tidak langsung menyulitkan penyampaian informasi tentang ASI dan manfaatnya.. Roesli (2006) menyatakan bahwa kegagalan menyusui umumnya disebabkan karena kurangnya informasi tentang menyusui. Menurut Lita dkk (2006) menyatakan jika ibu menyusui kurang mendapatkan informasi dank arena itu kekurangan percaya diri, sehingga ibu menjadi stress yang berpengaruh pada produksi ASI. Semakin tinggi pendidikan tidak menjamin ibu-ibu tersebut paham dengan arti pentingnya ASI, karena pemahaman ibu tersebut selain dipengaruhi oleh tingkat pendidikan juga dipengaruhi oleh pengalaman dalam hal menyusui dan informasi mengenai menyusui yang didapatkan ibu-ibu menyusui dari berbagai pihak, terutama tenaga kesehatan. Menurut Notoadmojo (2003) bahwa pengetahuan itu dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pengalaman dan kepercayaan. Bentuk-bentuk pemberdayaan ASI yang ditunjukkan oleh para ibu-ibu menyusui merupakan suatu bentuk perilaku yang dilandasi dari berbagai bentuk pengalaman dan interaksi individual dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengatahuan dan sikap tentang kesehatan serta tindakan yang berhubungan dengan kesehatan (Sarwono, 1997). Hasil penelitian menunjukkan hanya sebagian kecil responden yang mempunyai perilaku pemberdayaan ASI yang benar yaitu ASI diberikan kepada bayinya. Masih adanya responden yang mempunyai perilaku dalam pemberdayaan ASI yang salah seperti membuang ASI, memberikan susu formula dan makanan tambahan.
Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang 8
Padahal ASI sudah banyak di produksi, tetapi ibu menyusui tersebut tidak memberikan ASI kepada bayinya. Selain itu, juga dijumpainya perilaku lain yang dapat menghambat produksi ASI yaitu diberikannya susu formula dan makanan tambahan yang terlalu dini. Menurut Adiningsih (2003) menyatakan bahwa memberi susu formula dianggap modern dan menempatkan ibu pada kedudukan yang sama dengan ibu golongan atas. Adanya keraguan perempuan dalam bertindak yaitu di ssatu sisi dengan tingkat pendidikan yang tinggi, maka sesungguhnya ia mengetahui bahwa tidak ada susu formula yang mampu menandingi ASI dan menyusui dini banyak manfaatnya. Sisi yang lain dengan tingginya pendidikanlah yang membuat malu, merasa tidak mengamalkan ilmunya jika tidak bekerja di ruang publik. Suatu sisi menuntut adanya dukungan atas peningkatan kepedulian terhadap dirinya sebagaiseorang wanita, tetapi disisi lain justru melakukan ketidakpedulian terhadap anaknya sendiri yaitu semakin enggan menyusui dini dan menggantinya dengan susu botol. Masih minimnya pemberdayaan ASI di masyarakat mengakibatkan angka kesakitan pada bayi juga meningkat, dimana manfaat ASi salah satunya yaitu berguna sebagai antibody (Lestariningsih dan hadis, 2002) dan ASI juga mengandung laktoferin yang jika dikombinasikan dengan besi dapat mencegah pertumbuhan kuman penyakit serta ASI juga mengandung factor pematang usus yang melapisi saluran pencernaan dan mencegah kuman penyakit (Ramaidah, 2006). Banyaknya responden yang memberikan susu formula pada bayinya, mengakibatkan produksi ASI semakin berkurang. Adapun pemberian susu formula akan berpengaruh juga pada produksi ASI, karena dengan diberikan susu formula maka bayi jarang menyusu, sehingga dengan jarangnya bayi menyusu duktus laktiferus jarang dihisap oleh bayi.
Jarangnya isapan bayi, maka produksi ASInya akan menurun. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan peelitian yang berjudul pemahaman ibu tentang manfaat ASI dan pemberdayaannya di desa Sukomulyo Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal tahun 2008 dapat ditarik kesimpulan yaitu sebagai berikut : 1) Secara umum pengetahuan ibu menyusui mengenai ASI adalah air susu ibu. Ibu menjelaskan berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya, tingkat pendidikan mepengaruhi pengetahuan ibu tersebut. 2) Sebagian besar ibu menyusui kurang mengetahui tentang manfaat ASI. Hal ini terjadi karena kurangnya informasi yang dimiliki ibu menyusui tersebut mengenai manfaat ASI yang sangat banyak manfaatnya. 3) Pemberdayaan ASI yang dijumpai di masyarakat tersebut kurang maksimal karena para ibu tidak memberikan bayinya dengan ASI, dimana malah memberikan susu formula dan makanan tambahan yang tidak sesuai dengan umur bayi contohnya memberikan promina sebelum bayi berumur 6 bulan. Saran 1. Kepada ibu menyusui Diharapkan ibu menyusui hanya memberikan ASI kepada bayinya terutama pada 6 bulan pertama dan tidak memberika susu formula. 2. Kepada tenaga kesehatan Tenaga kesehatan diharapkan lebih intensif terhadap ibu menyusui didalam memberikan infomasi mengenai ASI terutama mengenai manfaat ASI. 3. Bagi peneliti Memberikan penyuluhan mengenai pentingnya manfaat ASI dan pemberdayaannya
Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang 9
DAFTAR PUSTAKA Hubertin, S.P. Konsep Penerapan ASI Ekslusif. Jakarta : EGC Notoatmojo. (1997). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba
Nakita. (2007). Mother and Baby Mon. Jakarta : Tabloit Ibu dan Anak Rulina, S. dan Hesti. (2004). Manajemen Laktasi. Jakarta Sunartyo, N. (2007). Panduan Merawat Bayi dan Balita agar Tumbuh Sehat dan Cerdas. Yogyakarta : DIVA Pres
Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang 10
ISSN 2008-5156, Vol.3 N0 1, Januari 2012 GAMBARAN PENGETAHUAN DAN PENERAPAN PARTOGRAF BIDAN PROGRAM PENDIDIKAN PPBC DI PUSKESMAS SEKABUPATEN SEMARANG Ninik Christiani1), Rini Susanti2) Akademi Kebidanan Ngudi Waluyo Email:up2m@akbidngudiwaluyo ABSTRAK GAMBARAN PENGETAHUAN DAN PENERAPAN PARTOGRAF BIDAN PROGRAM PENDIDIKAN PPBC DI PUSKESMAS SEKABUPATEN SEMARANG. Angka Kematian Ibu (AKI) di Kabupaten Semarang tahun 2006 lebih tinggi daripada AKI yang dicanangkan pemerintah dalam program Indonesia Sehat 2010 sejumlah 125 per 100.000 kelahiran hidup, dimana AKI Kab. Semarang mencapai 126,6 per 100.000 kelahiran hidup. Diperkirakan 90% kematian ibu terjadi pada saat persalinan dan kira-kira 95% penyebab komplikasi obstetrik yang tidak diperkirakan sebelumnya. Bidan sebagai pemberi asuhan dalam pemantauan persalinan harus terampil dan menguasai dalam partograf sehingga diharapkan disetiap persalinan dapat mendeteksi kemungkinan komplikasi sedini mungkin. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan penerapan partograf bidan program pendidikan PPBC di Puskesmas Se-Kabupaten Semarang. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan cross sectional dan pengambilan data menggunakan kuesioner. Populasi dalam penelitian ini adalah bidan program pendidikan PPBC di Puskesmas Se-Kabupaten Semarang. Sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik acak sederhana yaitu sebanyak 52 responden. Hasil penelitian dari 52 responden dapat diketahui bahwa gambaran pengetahuan bidan tentang partograf baik mencapai 87,3%, sedangkan gambaran penerapan bidan tentang partograf baik mencpai 61,5%. Diharapkan institusi kesehatan dapat melakukan supervisi terhadap penerapan partograf di lapangan kepada tenaga kesehatan khususnya bidan. Kata kunci: Partograf, bidan PENDAHULUAN Latar belakang Berdasarkan pengamatan World Health Organization (WHO), Angka Kematian Ibu adalah sebesar 500.000 jiwa dan Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 10.000.000 jiwa setiap tahunnya. Jumlah tersebut masih diragukan karena besar kemungkinan kematian ibu dan bayi tidak dilaporkan (Prawirohardjo,2002). Angka Kematian Ibu (AKI) menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002/2003 masih tinggi yaitu307 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan Angka Kematian Bayi baru
lahir sebesar 25 per kelahiran hidup ( Depkes RI,2004). Diperkirakan 90% kematian ibu terjadi pada saat persalinan dan kira-kira 95% penyebab kematian ibu adalah komplikasi obstetric yang tidak diperkirakan sebelumnya. Oleh karena itu saat memberikan asuhan bersalin, penolong harus waspada terhadap masalah atau penyulit yang mungkin terjadi Untuk itu WHO mencanangkan program Safe Motherhood Program dengan fokus pada bidang kesehatan yaitu Making Pregnancy Safer dengan 3 pesan kuncinya. Merupakan pesan kunci pertama adalah mengisyaratkan bahwa semua persalinan harus ditolong oleh tenaga yang terampil.
Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang 11
Pengelolaan persalinan merupakan salah satu standar pelayanan kebidanan dimana bidan harus terampil dalam memantau kemajuan persalinan dan terampil melakukan pertolongan persalinan yang bersih dan aman (Standar Pelayanan Kebidanan, 2001). Salah satu alat yang dapat digunakan dalam pengawasan kemajuan persalinan adalah partograf. Partograf merupakan grafik pemantauan kemajuan persalinan yang dapat menilai kondisi ibu dan janin selama kala I. Partograf adalah alat bantu persalinan terutama dalam membuat keputusan klinik (APN-2008). Pencatatan partograf dimulai pada pembukaan 4cm yaitu pada fase aktif dan dengan presentasi kepala (Prawiroharjo, 2003). Partograf dapat digunakan untuk mendeteksi masalah dan penyulit dalam persalinan sehingga penatalaksanaan komplikasi dapat dilakukan sesegera mungkin. Dalam melaksanakan praktek, bidan harus mampu memberikan asuhan sesuai dengan kebutuhan terhadap wanita yang sedang hamil, melahirkan, dan post partum, maupun masa interval, melaksanakan pertolongan persalinan dibawah tanggung jawabnya sendiri dan memberi asuhan pada bayi baru lahir. Asuhan tersebut termasuk tindakan pemeliharaan, pencegahan, deteksi serta intervensi dan rujukan pada resiko tinggi termasuk kegawatan pada ibu dan anak (Depkes, 2002). Untuk itu, bidan sebagai pemberi asuhan dalam pemantauan persalinan harus terampil dan menguasai dalam partograf sehingga diharapkan disetiap persalinan dapat mendeteksi kemungkinan komplikasi sedini mungkin (Manuaba, 1998). Angka Kematian Ibu di Kabupaten Semarang tahun 2006 lebih tinggi daripada AKI yang dicanangkan pemerintah dalam program Indonesia Sehat 2010 sejumlah 125 per 100.000 kelahiran hidup. Diperoleh data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Semarang, angka kematian ibu pada tahun 2006 mencapai 126,6 per 100.000 kelahiran hidup. Dalam
upaya peningkatan pelayanan tenaga kesehatan (nakes) di Jawa Tengah di bentuk Majelis Tenaga Kesehatan Propinsi (MTKP). MTKP merupakan lembaga yang sifatnya independen mempunyai kerjasama dengan Dinkes Provinsi untuk melakukan uji kompetensi terhadap nakes termasuk bidan. Dari kurun waktu 2005 – 2009 telah tercatat 17.878 bidan yang telah lulus dalam ujian SIB. Berdasarkan data dari IBI kab Semarang hingga Mei 2010 terdaftar 367 bidan yang tersebar di ranting Ungaran, Tengaran, Ambarawa, dan Tuntang yang bekerja sebagai bidan di RS, Puskesmas, maupun BPS yang telah dilakukan uji kompetensi. Dari pra survey hasil ujian OSCA yang telah dilakukan MTKP tanggal 9 Mei 2010, dari 77 bidan peserta ujian wilayah kab. Semarang. 21 peserta dinyatakan lulus ujian utama pada stasi 6 (partograf) dan 56 peserta tidak lulus. Berdasarkan data yang didapatkan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang, terdapat 107 bidan dengan kualifikasi pendidikan program PPBC yang tersebar di seluruh Kabupaten Semarang sebagai bidan Puskesmas. Meskipun hanya mengikuti program pendidikan PPBC mereka adalah bidan senior yang sampai saat ini merupakan tenaga terdepan dalam pelayanan ibu dan anak. Salah satu kompetensi yang diharapkan adalah memberikan pelayanan yang aman. Dalam pertolongan persalinan, pemantauan melalui partograf akan membantu membuat keputusan klinis yang tepat. Berdasarkan studi pendahuluan, dari beberapa bidan yang telah diwawancarai, sebagian bidan mengaku belum memiliki kompetensi yang optimal tentang penggunaan partograf. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Pada Bidan Program Pendidikan PPBC di Puskesmas SeKabupaten Semarang” Rumusan Masalah
Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang 12
Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang di ambil dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran pengetahuan dan penerapan partograf pada bidan program pendidikan PPBC di Puskesmas Se-Kabupaten Semarang”. Tujuan Tujuan umumnya yaitu untuk mengetahui gambaran pengetahuan hingga penerapan partograf pada bidan program pendidikan PPBC di Puskesmas SeKabupaten Semarang. Tujuan khususnya yaitu untuk : 1. Mendeskripsikan gambaran pengetahuan bidan program pendidikan PPBC di Puskesmas Se-Kabupaten Semarang tentang partograf beserta komponen-komponennya. 2. Megetahui ketrampilan bidan program pendidikan PPBC di Puskesmas SeKabupaten Semaran dalam penggunaan dan penerapan pengisian partograf METODE PENELITIAN Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan pengetahuan. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan cross sectional, yaitu suatu pendekatan penelitian dimana variabel-variabel yang termasuk diobservasi sekaligus dalam waktu yang sama (Notoatmodjo, 2002). Dengan pendekatan ini maka diketahui bagaimanakah gambaran pengetahuan dan penerapan partograf pada bidan program pendidikan PPBC di se-Kabupaten Semarang. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian (Arikunto, 2002).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua bidan program pendidikan PPBC di Puskesmas se-Kabupaten Semarang berdasarkan data Bulan Agustus 2010 sebanyak 107 orang. 2. Sampel Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2006). Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan Simple Random Sampling atau sampel acak sederhana. Ini diambil karena subjek dalam penelitian homogen yaitu bidan program pendidikan PPBC. Untuk menentukan jumlah sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut: N n = (Sugiono, 2006) 1 Nd 2 Keterangan : N : Jumlah populasi n : Jumlah sampel d : tingkat kesalahan pengambilan sampel (d diambil 10%) Dari rumus di atas maka dapat dilakukan perhitungan sampel sebagai berikut 107 N = 1 1070,12 = 51,690 52 Kriteria sampel yang membantu peneliti untuk mengurangi bias hasil penelitian yaitu kriteria inklusi dan eksklusi. a. Kriteria inklusi 1) Semua bidan dengan kualifikasi program pendidikan PPBC 2) Semua bidan di Puskesmas Wilayah Kabupaten Semarang yang bersedia menjadi responden/bersedia diteliti. b. Kriteria eksklusi 1) Semua bidan dengan program pendidikan selain PPBC. 2) Semua bidan program pendidikan PPBC yang tidak bekerja di di puskesmas 3) Semua bidan yang tidak bersedia menjadi responden/tidak bersedia diteliti.
Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang 13
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kabupaten Semarang. Waktu pengambilan dilaksanakan pada bulan Agustus September 2010. Alat pengumpulan data 1. Jenis data Pada penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data primer. Data primer adalah data atau materi yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti pada saat berlangsungnya penelitian adalah kuesioner yang disebarkan kepada responden untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan penerapan partograf bidan program pendidikan PPBC di Wilayah Kabupaten Semarang. 2. Alat pengumpulan data Pada penelitian ini data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner tentang gambaran pengetahuan dan penerapan partograf bidan program pendidikan PPBC di Wilayah Kabupaten Semarang yang kemudian kuesioner tersebut akan diisi oleh responden yang bersedia untuk diteliti. Kuisioner adalah alat ukur yang berupa kumpulan beberapa pertanyaan biasa digunakan jika jumlah responden besar dan dapat mengungkapkan hal-hal yang bersifat rahasia (Nursalam, 2003).Kuisioner dalam penelitian ini merupakan kuisioner tertutup yaitu responden hanya diminta memilih atau menjawab pertanyaan yang sudah ada. Untuk kuesioner tentang penerapan partograf menggunakan pertanyaan dengan dilengkapi ceklist berupa grafik partograf. Sebelum angket dipergunakan untuk mengumpulkan data, telah dilakukan uji validitas dan reliablilitasnya. a. Uji validitas Uji validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang
diukur. Pada penelitian ini uji validitas bertujuan untuk manajerial dan substansial. Uji validitas dilakukan setelah angket disebar kepada bidan dengan pendidikan sekolah kebidanan lainnya di Kabupaten Semarang sebanyak 20 orang. Untuk mencari validitas angket dengan menggunakan rumus product moment dengan validitas internal, dengan mengujikan instrument melalui analisis butir, (Arikunto, 2006 ), adapun rumusnya: NXY XY rxy = NX2 X2 NY2 Y2 Keterangan : rxy : Koefisien korelasi antara X dan Y ΣX : Jumlah skor dari setiap item. ΣY : Jumlah skor total item ΣXY: Jumlah perkalian skor X dan Y semua subyek. N : Jumlah subyek Untuk menguji validitas setiap butir, maka skor-skor pada yang ada pada butir yang dimaksud dikorelasikan dengan skor total. Skor butir dipandang sebagai nilai X dan skor total dipandang sebagai nilai Y. Hasil perhitungan tiap-tiap item dibandingkan dengan tabel nilai product moment instrument dikatakan valid apabila nilai r hitung > r tabel dimana untuk n = 20 pada taraf signifikansi 5 % dari r tabelnya adalah 0,444 (Arikunto, 2002). b. Uji reliabilitas Uji reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Arikunto, 2002). Untuk menguji reliabilitas instrumens dengan menggunakan teknik KR 20 dengan rumus koefisiensi KR 20 sebagai berikut : 2 k s t p i q i ri = k 1 st2
Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang 14
Keterangan : k = jumlah item dalam instrumen p i = proporsi banyaknya subyek
qi
yang menjawab pada item 1 = 1- p i
s t2 = varians total
Hasil pengujian reliabilitas instrumen dengan rumus KR-20 dikatakan reliabel jika r yang diperoleh lebih dari r tabel = 0,444 (Arikunto, 2002). 3. Cara pengumpulan data Dalam hal ini peneliti mengumpulkan data secara formal kepada subjek untuk menjawab pertanyaan secara tertulis. Adapun langkah-langkah dalam pengumpulan data yaitu : a. Peneliti mengajukan permohonan ijin penelitian kepada Direktur Akademi Kebidanan Ngudi Waluyo. b. Setelah mendapat ijin dari Direktur Akademi Kebidanan Ngudi Waluyo, kemudian mengajukan permohonan ijin ke Kepala Dinas Kesehatan Kab. Semarang. c. Setelah mendapatkan ijin dari Kepala Dinas Kesehatan Kab. Semarang, peneliti mulai melakukan penelitian. d. Sebelum penelitian dilakukan, peneliti menjelaskan tujuan penelitian dan pengisian kuesioner. e. Setelah memahami tujuan penelitian, responden diminta menandatangani surat pernyataan kesediaan menjadi responden. f. Responden diberi kuesioner oleh peneliti dan di isi sesuai dengan format pertanyaan. g. Bila sudah selesai, responden diminta untuk mengembalikan lembar kuesioner kepada peneliti. Etika Penelitian Penelitian dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari institusi pendidikan
kemudian mengajukan permohonan ijin kepada tempat penelitian dan setelah mendapat persetujuan baru melaksanakan penelitian. Kuesioner diberikan kepada responden dengan menekankan masalah etik yang meliputi : 1. Informed Consent Sebelum dilakukan pengambilan data penelitian, calon responden diberi penjelasan tentang tujuan dan manfaat penelitian yang dilakukan. Apabila calon responden bersedia untuk diteliti maka calon responden harus mendatangani lembar persetujuan tersebut, dan jika calon responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak boleh memaksa dan tetap menghormatinya. Jika di tengah pengisian kuesioner responden ingin mengundurkan diri maka diperbolehkan mengundurkan diri, dan kuesioner yang telah diisi tidak akan diikutkan dalam pengolahan data. 2. Anonymity Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan nama responden dalam pengolahan data penelitian. Peneliti akan menggunakan nomor atau kode responden. 3. Confidentiality Informasi yang diberikan oleh responden serta semua data yang terkumpul dijamin kerahasiannya oleh peneliti. Hasil kuesioner setelah selesai digunakan akan dimusnahkan dengan cara di bakar. Pengolahan Data Pengolahan data dengan cara manual melalui beberapa tahap, sebagai berikut : 1. Editing Editing dilakukan untuk mengetahui apakah data sudah diisi dengan benar sesuai petunjuk pengisian. Pada tahap ini semua data diperiksa, sehingga apabila ada pertanyaan yang belum diisi atau kesalahan penulisan,
Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang 15
2.
3.
4.
5.
masalah tersebut dapat ditanyakan kepada responden. Pada penelitian ini data yang di peroleh di teliti kembali hal-hal sebagai berikut: a. Kelengkapan jawaban yang diberikan. b. Tulisan-tulisan pada data yang tertera dalam kuesioner harus dapat di baca. c. Kejelasan makna jawaban. d. Kesesuaian jawaban satu sama lain. e. Keseragaman satuan data. Coding Tehnik ini dilakukan dengan memberi tanda pada masing-masing jawaban dengan kode berupa angka. Klasifikasi dilakukan dengan cara menandai masing-masing jawaban dengan kode berupa angka, kemudian di masukkan dalam tabel guna mempermudah membacanya. Cleansing Merupakan proses pemeriksaan data yang telah dimasukkan apakah sudah benar atau lengkap. Tabulating Kegiatan memasukkan data hasil penelitian ke dalam tabel kemudian diolah dengan bantuan komputer. Entry Data Proses memasukan data ke dalam komputer melalui program SPSS. Sebelum dilakukan analisa dengan komputer pengecekan ulang terhadap data.
Analisa Data Setelah data diolah, kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis data menggunakan tekhnik deskriptif dengan uji analisis univariat untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan penerapan partograf pada bidan program pendidikan PPBC di Puskesmas seKabupaten Semarang Data dan informasi yang diperoleh dari analisa univariat dapat dibuat distribusi frekuensi dan proporsi atau prosentase (Notoatmojdo, 2002).
HASIL PENELITIAN Pada bab ini penulis akan menyajikan hasil-hasil dari penelitian. Sesuai dengan tujuan penelitian, pada bab ini akan disajikan gambaran hasil penelitian, yaitu mengenai gambaran pengetahuan bidan tentang partograf beserta komponenkomponennya, gambaran ketrampilan bidan dalam penggunaan dan penerapan pengisian partograf bidan program pendidikanSe-Kabupaten Semarang. Sebagai responden dalam penelitian ini adalah bidan dengan program pendidikanPPBC di Puskesmas Wilayah Kabupaten Semarang, yaitu sejumlah 52 orang. Adapun hasil penelitian akan disajikan berupa tabel-tabel berikut ini : Karakteristik Responden 1. Karakteristik Responden berdasarkan Masa Kerja Distribusi frekuensi berdasarkan masa kerja responden disajikan pada tabel berikut : Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Masa Kerja Responden Bidan program Pendidikan PPBCdi PuskesmasSe-Kab. Semarang Masa Kerja
Jumlah
1-10 Tahun > 10 Tahun Jumlah
13 39 52
Persentase (%) 25,0 75,0 100,0
Berdasarkan tabel 5.1, dapat diketahui bahwa sebagian besar respondenbidan di Kab. Semarang telah berkerja sebagai bidan selama lebih dari 10 tahun, yaitu sejumlah 39 orang (75,0%), dan 13 orang (25,0%) lainnya telah bekerja selama 1-10 tahun Hasil Penelitian
Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang 16
1. Pengetahuan Bidan tentang Partograf beserta Komponen-komponennya Distribusi frekuensi berdasarkan pengetahuan bidan tentang Partograf beserta komponen-komponennya disajikan pada tabel berikut : Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pengetahuan Bidan tentang Partograf beserta Komponenkomponennya di Kab. Semarang Tingkat Jumlah Persentase Pengetahuan (%) Tinggi 46 87,3 Sedang 6 12,7
tinggi, yaitu sejumlah 32 orang sedang sejumlah 12 orang (23,14%), dan kategori rendah sejummlah 8 orang (15,4%)
Jumlah 52 100 Berdasarkan tabel 5.2, dapat diketahui bahwa sebagian besar pengetahuan bidan di Kab. Semarang tentang partograf beserta komponenkomponennya dalam kategori tinggi, yaitu sejumlah 46 orang (87,3%), sedangkan 6 orang (12,7%) lainnya mempunyai pengetahuan sedang. 2. Ketrampilan Bidan dalam Penggunaan dan Penerapan Pengisian Partograf Distribusi frekuensi berdasarkan ketrampilan bidan dalam penggunaan dan penerapan pengisian partograf disajikan pada tabel berikut : Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Ketrampilan Bidan dalam Penggunaan dan Penerapan Pengisian Partograf di Kabupaten Semarang .Keterampilan Jumlah Persentase (%) Tinggi 32 61,5 Sedang 12 23,1 Rendah 8 15,4 Jumlah 52 100 Berdasarkan tabel 5.3, dapat diketahui bahwa sebagian besar bidan dalam menerapkan pengisian partograf di Kab. Semarang dalam kategori Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang 17
Berikut diberikan hasil responden dalam pengisian partograf berdasarkan tiap komponen. Tabel 5.4 Hasil pengisian partograf oleh bidan berdasarkan tiap komponen di Kab. Semarang No Komponen-komponen Benar salah Jumlah partograf 1 Nama, umur ibu 52 0 52 2 Nama, umur suami 52 0 52 3 Gravida, para, abortus 52 0 52 4 Tanggal dan waktu mulai 51 1 52 dirawat 5 Waktu pecahnya ketuban 45 7 52 6 Waktu mulainya kenceng51 1 52 kenceng 7 DJJ 43 9 52 8 Air ketuban 42 10 52 9 Penyusupan (maulage) kepala 43 9 52 janin 10 Pembukaan serviks 41 11 52 11 Penurunan bagian terendah 38 14 52 janin 12 Waktu (jam) pemeriksaan 40 12 52 13 Kontraksi uterus 38 14 52 14 Nadi 41 11 52 15 Tekanan darah 40 12 52 16 Suhu 35 17 52 17 Urin 7 45 52 18 Makan terakhir 36 16 52 19 Minum terakhir 36 16 52 20 Tanda tangan penolong 15 17 52
Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa semua responden dapat mengisi partograf dengan benar pada komponen nomor 1, yaitu komponen yang berisi informasi tentang ibu. Sedangkan pada komponen 17 yaitu berisikan tentang urin, hanya 7 responden tidak dapat mengisi dengan benar. PEMBAHASAN Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Pada Bidan Program Pendidikan PPBC di Puskesmas SeKabupaten Semarang
tahu
Pengetahuan merupakan hasil dari setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan yaitu pendidikan, informasi, penghasilan, sosial budaya dan pengalaman (Notoatmodjo, 2003). Dalam melakukan pekerjaan tertentu, pendidikan formal sering kali merupakan syarat paling pokok untuk memegang fungsi-fungsi tertentu. Untuk tercapainya kesuksesan didalam suatu pekerjaan dituntut pendidikan yang sesuai dengan jabatan yang dipegang seseorang (Ratifah, 2006). Tingkat pendidikan merupakan salah satu unsur karakteristik seseorang. Tingkat pendidikan formal menunjukkan tingkat intelektual atau tingkat pengetahuan
Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang 18
seseorang karena dengan pendidikan yang lebih tinggi seseorang mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk mendapatkan informasi dan memiliki kemampuan analisa yang baik. Berdasarkan tabel hasil penelitian diperoleh mengenai gambaran pengetahuan bidan tentang partograf menunjukan bahwa 46 responden (87,3%) memiliki pengetahuan baik/nilai tinggi. Meskipun responden adalah lulusan program pendidikan PPBC (D-1) tetapi mereka adalah bidan aktif di puskesmas yang mendapatkan pembinaan dari Dinas Kesehatan Kabupaten maupun organisasi profesi misal melalui pertemuan, seminar, dan whorkshop. Selain hal tersebut pengetahuan didapatkan melalui pengalaman di lapangan. Dalam hasil penelitian ini didapatkan pula 6 responden (12,7%) memiliki pengetahuan cukup/nilai sedang dan tidak ada responden yang memiliki pengetahuan kurang. Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti seseorang berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat bahwa peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal saja, akan tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan non formal juga (Notoatmodjo, 2003). Berdasarkan pada hasil penelitian diperoleh gambaran mengenai penerapan tentang partograf dengan 32 responden (61,5%) memperoleh nilai tinggi, yang berarti bidan mampu menerapkan penggunaan partograf dalam prakteknya dilapangan. Sedangkan 12 responden (23,1%) memperoleh nilai sedang dan 8 responden (15,4%) memperoleh nilai rendah. Tingkatan pengetahuan menurut Notoatmodjo, terbagi menjadi 6 tingkatan pengetahuan yang tercakup dalam domain
kognitif, salah satunya adalah aplikasi (ketrampilan/penerapan) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Berdasarkan pada hasil penelitian yang telah didapatkan, bahwa pada variabel pengetahuan rata-rata responden yang notabene adalah seorang bidan memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang partograf. Sedangkan 12,7% responden tersebut memiliki nilai sedang, bahkan tidak ada yang memiliki pengetahuan rendah. Tetapi jika kita bandingkan dengan hasil penelitian mengenai penerapan partograf, sebanyak 61,5% mempunyai ketrampilan penerapan yang tinggi dan 23,1% berketrampilan sedang serta terdapat 15,4% responden berketrampilan rendah. Dari sini dapat kita lihat bahwa dengan memiliki pengetahuan yang tinggi mengenai suatu ilmu pengetahuan belum menjamin bahwa seseorang dapat menerapkan ilmu tersebut dengan baik seperti dalam penelitian ini yaitu penerapan pencatatan partograf. Pada profesi bidan dalam memberikan pelayanan kepada pasien selain memiliki pengetahuan yang baik (good knowledge) bidan juga harus memiliki ketrampilan (skill) dalam menerapkan (application) dilapangan praktek. Penggunaan partograf merupakan salah satu ilmu dalam kebidanan yang harus diterapkan, karena sesuai dengan fungsinya partograf merupakan alat bantu bidan dalam menentukan keputusan klinis dimana hal tersebut menentukan dalam pelayanan oleh bidan. Dalam hasil penelitian tentang penerapan partograf, berdasar pada tabel 5.5 dapat diketahui bahwa semua responden dapat mengisi partograf dengan benar pada pengisian tentang nama, umur, nama suami, gravida, para, abortus, tanggal dan jam mulai dirawat. Hal ini dikarenakan responden sudah mengerti dan terbiasa dalam hal pengisian komponen tersebut, tetapi pada pencatatan mengenai waktu pecahnya selaput ketuban ada satu
Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang 19
bidan yang tidak mencatatkannya pada partograf. Meskipun 1,9% bidan yang salah dalam menerapkan namun hal ini seharusnya tidak terjadi karena pencatatan waktu pecahnya selaput ketuban itu sangat penting dimana partograf berfungsi untuk mencatat kondisi ibu dan janinnya, air ketuban penting untuk diketahui sebagai salah satu cara untuk mengetahui bagaimana kondisi kesejahteraan janin. Pada penerapan terhadap poin yang menerangkan kondisi janin dan kemajuan persalinan masih ada bidan salah dalam menerapkanya didalam partograf padahal hal ini sangat penting untuk mengetahui apakah persalinan berjalan normal atau tidak. Seperti misal pada pencatatan garis waspada dan garis bertindak kesalahan yang terjadi disini yaitu bidan tidak memulai pencatatan fase aktif persalinan di garis waspada, partograf tidak akan sesuai dengan fungsinya yaitu sebagai informasi untuk identifikasi dini penyulit persalinan sehingga apabila terjadi partus lama tidak dapat terdiagnosa lebih awal dengan sendirinya tidak dapat memberikan keputusan klinis yang tepat. Penerapan mengenai jam dan waktu jalanya persalinan, sebanyak 6,24% bidan masih salah pada penulisan saat mulainya fase aktif persalinan dan sebanyak 1,9% bidan tidak tepat pada pencatatan waktu aktual mulainya persalinan. Hal ini juga merupakan kesalahan penerapan partograf untuk mencatat kemajuan persalinan dan penggunaan informasi untuk identifikasi dini penyulit persalinan. Kebanyakan bidan tidak mencatatkan waktu aktual. Hal tersebut tidak boleh terjadi karena dapat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan klinis selanjutnya. Kesalahan dalam pencatatan kontraksi uterus, dikarenakan kesalahan penempatan waktu terkait dengan kesalahan pencatatan waktu mulainya fase aktif persalinan. Dalam penerapan pencatatan mengenai kondisi ibu pada penulisan nadi,tekanan darah dan temperatur tubuh sebagian besar bidan mampu mencatatkan dengan benar akan tetapi masih terdapat
sebagian yang salah. Partograf berfungsi mencatat kondisi ibu dan janinnya untuk mengetahui dan memantau keadaan ibu selama proses persalinan. Apabila di dalam persalinan diketahui bahwa perkembangan kondisi ibu buruk maka partograf dapat berfungsi juga sebagai identifikasi dini penyulit persalinan sehingga dapat ditentukan tindakan apa yang sebaiknya dilakukan terhadap ibu. Sedangkan pada pencatatan pengeluaran urin ibu, hanya 13,4% bidan yang mencatatkan dengan benar pada partograf. Kesalahan pencatatan ini sama pada pencatatan komponen yang berisi pengisian obatobatan dan cairan yang diberikan. Monitor pengeluaran urin harus dilakukan agar dapat mengetahui kondisi ibu sehingga dapat dilakukan tindakan secara tepat sesuai kondisi ibu. Keterbatasan Dalam penelitian ini, keterbatasan yang muncul dapat dilihat saat peneliti melakukan penelitian sebagai berikut: 1. Peneliti hanya meneliti gambaran pengetahuan dan ketrampilan saja tetapi tidak meneliti hubungan dan faktorfaktor yang mempengaruhi. 2. Peneliti hanya meneliti bidan dengan program pendidikan PPBC, tidak meneliti bidan dengan latar pendidikan yang berbeda. 3. Peneliti hanya meneliti pada saat itu saja, tidak melakukan observasi lebih lanjut terhadap pengetahuan dan penerapan bidan dalam penggunaan partograf. PENUTUP Kesimpulan Penelitian yang berjudul “Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Pada Bidan Program Pendidikan PPBC di Puskesmas Se-Kabupaten Semarang tahun 2010” didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang 20
1. Responden dengan pengetahuan tinggi sebanyak 88,5% dan yang berpengetahuan sedang 11,5 %. 2. Responden dengan ketrampilan penerapan tinggi sebanyak 61,5%, responden dengan ketrampilan penerapan sedang sebanyak 21,3% dan responden dengan ketrampilan rendah 15,4%. 3. Responden dengan tingkat pengetahuan tinggi mengenai partograf belum menjamin memiliki kemampuan penerapan tinggi dalam partograf. Saran 1. Bagi peneliti Diharapkan dapat melanjutkan penelitian ini dengan melibatkan faktorfaktor yang berhubungan atau mempengaruhi pengetahuan dan penerapan partograf, faktor-faktor tersebut diantaranya lingkungan, pendidikan, dan manajemen instansi kerja. 2. Bagi Institusi pendidikan Diharapkan dapat berfungsi sebagai fasiltator, dimana institusi dapat menjalin kerjasama dengan lahan praktek atau organisasi profesi misal dengan pemberian pelatihan atau presentasi tentang pengetahuan dan penerapan partograf oleh mahasiswa. 3. Bagi Institusi Kesehatan (Kementrian Kesehatan) Diharapkan dapat dapat melakukan supervisi terhadap penerapan partograf di lapangan kepada tenaga kesehatan khususnya bidan. 4. Bagi bidan Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang partograf misal dengan membaca dan mengikuti pelatihan APN.
Ratifah.2006Analisis Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan Penerapan Standar APN oleh Bidan Puskesmas Rawat Inap di Kab. Banyumas. Diakses tanggal 21/8/2010 dari http://eprints.undip.ac.id./15796/1/ratif ah Nugraha.2008.Bakti Bidan Menuju Keluarga.Diakses tanggal 3 Januari 20010 dari http://yayankhyar.blogspot.com/2008/ 01-html. JNP-KR. 2008. Asuhan Persalinan Normal. Jakarta : PT. Bina Pustaka Manuaba, I Gede Bagus.1998. Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC. Nursalam, 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta. Prawirohardjo, Sarwono. 2003. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT. Bina Pustaka Soekijo, Notoatmodjo. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT Rineka Cipta. Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung : CV. Alfabeta Suharsimi, Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : PT Asdimahasatya. Wawan digital. 2010. angka kematian ibu melahirkan meningkat. 27 agustus
DAFTAR PUSTAKA
Gambaran Pengetahuan dan Penerapan Partograf Bidan Program Pendidikan PPBC Di Puskesmas Sekabupaten Semarang 21
ISSN 2008-5156, Vol.3 N013, Januari 2012 HUBUNGAN PIJAT BAYI DENGAN KUALITAS TIDUR PADA BAYI UMUR 1-12 BULAN DI RUMAH BERSALIN AL-AZIZIAH NURRUSYIFA DESA WRINGIN PUTIH, KEC. BERGAS, KAB. SEMARANG Eti Salafas1), Heni Setyowati2) Akademi Kebidanan Ngudi Waluyo Email:up2m@akbidngudiwaluyo ABSTRAK HUBUNGAN PIJAT BAYI DENGAN KUALITAS TIDUR PADA BAYI UMUR 112 BULAN DI RUMAH BERSALIN AL-AZIZIAH NURRUSYIFA DESA WRINGIN PUTIH, KEC. BERGAS, KAB. SEMARARANG. Waktu tidur sangat penting bagi perkembangan bayi sehingga kebutuhan tidur bayi harus benar-benar terpenuhi agar tidak berpengaruh buruk terhadap perkembangannya. Salah satu terapi untuk meningkatkan kualitas tidur bayi adalah dengan pemijatan, dengan pijat bayi setidaknya dapat membantu meningkatkan kualitas tidur bayi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pijat bayi dengan kualitas tidur pada bayi umur 1-12 bulan di Rumah Bersalin Al-Aziziah Nurrusyifa Desa Wringin Putih, Kec. Bergas, Kab. Semarang. Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Sedangkan populasinya adalah semua bayi umur 1-12 bulan yang dilakukan pijat bayi di rumah bersalin Al-Aziziah Nurusyiffa desa Wringin putih Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang, yaitu sejumlah 45 bayi. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik total sampling, sehingga didapat jumlah sampel 45 bayi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pijat bayi dengan kualitas tidur pada bayi umur 1-12 bulan di RB Al-Azizah, Desa Wringin Putih, Kec. Bergas, Kab. Semarang, dengan nilai korelasi 0,505 dan p-value 0,003. Disarankan bagi peneliti selanjutnya untuk dapat mengembangkan hasil penelitian tentang pijat bayi ini, misalnya dengan melakukan penelitian tentang pengaruh pijat bayi terhadap terhadap perkembangan anak. Kata Kunci
: Pijat bayi, kualitas tidur PENDAHULUAN
Latar Belakang Bayi merupakan makhluk yang lemah dan sensitif yang memerlukan perawatan khusus secara menyeluruh. Merawat bayi tak cukup hanya dengan perawatan rutin dan reguler, tapi juga harus penuh kasih sayang karena akan memberikan rasa nyaman dan aman kepada bayi. Hal terpenting dalam merawat bayi adalah dengan memperhatikan bayi dari segi makanan, minuman, kebersihan dirinya,
pakaian serta memerhatikan segi psikologis dan emosional bayi. Meskipun belum bisa bicara, bayi juga dapat merasakan stres yang menyebabkan bayi selalu rewel. Belaian atau pemijatan yang disertai kasih sayang orangtua adalah salah satu hal penting yang dapat menenangkan bayi (Putri, 2009). Bayi yang sehat akan tumbuh menjadi anak yang sehat dan itu semua tergantung dari orang tua merawat dan memperhatikan perkembangan buah hati. Orang tua harus selalu memantau perkembangan buah hati dari semua segi,
Hubungan Pijat Bayi dengan Kualitas Tidur pada Bayi Umur 1-12 Bulan di Rumah Bersalin AlAziziah Nurrusyifa Desa Wringin Putih, Kecamatan Bergas Kabupaten Semararang
29
baik fisik dan emosional serta perkembangan otaknya, yaitu dengan cara berinteraksi secara langsung dengan buah hati seperti memijat, membelai, mengajak bercandadan lain – lain. Banyak permasalahan-permasalahan yang terjadi pada bayi, salah satunya yaitu sulit tidur, hal ini dapat berdampak buruk terhadap bayi. Bayi yang kurang tidur mempunyai dampak yang sangat merugikan pada pertumbuhan dan perkembangan fisiknya. Aktivitas tidur ikut andil dalam meningkatkan daya tahan tubuh bayi terhadap infeksi. Apabila tidurnya terganggu kadar sel darah putih dalam tubuh akan menurun. Kalau sudah begini efektifitas sistem daya tahan tubuh bayi juga ikut menurun dan hasilnya pertumbuhan bayi pun terganggu. Tidak cuma itu bayi yang kurang tidur punya dampak terhadap tumbuh kembang otak, rewel, cengeng dan sulit diatur (Suririnah, 2009). Mengingat akan pentingnya waktu tidur bagi perkembangan bayi maka kebutuhan tidurnya harus benar-benar terpenuhi agar tidak berpengaruh buruk terhadap perkembangannya. faktor yang dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas tidur bayi yaitu faktor fisik meliputi : nyeri, ketidak nyamanan fisik (missal kesulitan bernafas), masalah faktor psikologis (cemas/depresi), obat – obatan dan substansi, gaya hidup, lingkungan fisik, latihan fisik, dan kelelahan, asupan makanan dan kalori (Perry & Potter, 2005). Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan pemijatan, dengan pijat bayi setidaknya dapat membantu meningkatkan kualitas tidur bayi. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan praktik bidan menyebutkan bahwa bidan berwenang memantau tumbuh kembang bayi melalui deteksi dini dan stimulaasi tumbuh kembang. Salah satu bentuk stimulus adalah pijat bayi dimana pelaksanaannya dilakukan oleh orang tua baayi. Pijat bayi adalah terapi
sentuhan tertua dan terpopuler yang dikenal manusia. Pijat bayi telah lama dilakukan hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, dan diwariskan secara turun temurun (Putri, 2009). Pijat bayi dapat segera dimulai setelah bayi dilahirkan, sesuai keinginan orang tua, dengan waktu pemijatan lebih awal bayi dapat lebih cepat mendapatkan manfaatnya. Di RS Panti Wilasa Semarang menyediakan waktu dan tempat serta tenaga bidan / perawat yang terlatih untuk membantu para keluarga muda terutama yang baru dikaruniai seorang anak / pun bagi keluarga (ayah, ibu, nenek dan kakek) yang ingin mendapatkan pengetahuan bagaimana cara memijat bayi yang benar sehingga diharapkan bayi dapat tumbuh sehat dan mendapatkan perhatian yang cukup. Pijat bayi di RS Panti Wilasa “Dr Cipto” dilaksanakan setiap hari sabtu pukul 08.00 – 11.00 Wib (Bayu, 2009). Pijatan dapat mengubah gelombang otak dengan cara menurunkan gelombang alpha dan meningkatkan gelombang beta serta tetha. Bayi yang dipijat akan dapat tidur dengan lelap (tidur NREM) sedangkan pada waktu bangun daya konsentrasinya akan penuh. Hal ini disebabkan karena gelombang otak lambat dengan gelombang delta bervoltase tinggi. Dalam tahap tidur ini diduga berperan dalam pemulihan pikiran, menjernihkan rasa kuatir dan daya ingat serta mempertahankan sel – sel otak (Perry &Potter, 2005). Menurut Subekti (2008), manfaat pijat bayi adalah : Meningkatkan berat badan bayi, meningkatkan pertumbuhan, Meningkatkan daya tahan tubuh, meningkatkan produksi ASI, meningkatkan efektivitas istirahat (tidur) bayi, Memperbaiki sirkulasi darah dan pernapasan, mengurangi kembung dan kolik yang diakibatkan karena mengkonsumsi susu formula, Mangurangi depresi pada bayi. Sehingga dengan melihat manfaat – manfaat dari pijat bayi
Hubungan Pijat Bayi dengan Kualitas Tidur pada Bayi Umur 1-12 Bulan di Rumah Bersalin AlAziziah Nurrusyifa Desa Wringin Putih, Kecamatan Bergas Kabupaten Semararang
21
sebaiknya ibu menerapkan pijat bayi pada anaknya sedini mungkin. Di Rumah Bersalin AL - Aziziah Nurussyifa sudah dilaksanakan pijat bayi kira-kira sejak tahun 2009. Ny Siwi Indriatni selaku pemilik RB AL-Aziziah dan juga bidan desa Wringin Putih sering melakukan penyuluhan setiap satu bulan atau dua bulan sekali saat posyandu, sehingga orang tua bayi mampu melaksanakan pijat bayi secara mandiri. Berdasarkan studi pendahuluan pada tanggal 8 Agustus 2010 yang dilakukan di Rumah Bersalin Al – Aziziah Nurussyifa Desa Wringin Putih Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang terdapat 49 bayi umur 1 – 12 bulan diantaranya terdapat 45 bayi dilakukan pijat bayi oleh orang tua, keluarga, maupun dukun bayi, bayi yang dilakukan pemijatan 6 dari 10 bayi orang tua bayi mengatakan setelah dilakukan pijat bayi, bayi dapat tidur dengan lelap dan tidak rewel saat malam hari. Sedangkan 4 dari 10 bayi orang tua bayi mengatakan setelah dilakukan pemijatan bayinya masih sering rewel saat malam hari dan tidak bias tidur dengan lelap.
dapat dirumuskan “Apakah ada Hubungan Pelaksanaan Pijat bayi dengan kualitas tudur pada bayi umur 1–12 bulan di Rumah Bersalin Al-Aziziah Nurussyifa Desa Wringin Putih Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang?”
Berdasarkan fenomena diatas, maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang “Hubungan pijat bayi Dengan Kualitas Tidur Pada Bayi Umur 1 – 12 Bulan di Rumah Bersalin Al – Aziziah Nurrusyifa Desa Wringin Putih Kec.Bergas, Kab. Semarang”.
METODE PENELITIAN
Rumusan Masalah Kualitas tidur sangat penting karena berpengaruh terhadap perkembangan bayi maka kebutuhan tidur harus benar–benar terpenuhi agar tidak berpengaruh buruk terhadap perkembangannya. Kualitas tidur dipengaruhi oleh faktor fisik salah satunya adalah nyeri, sehingga cara yang dapat digunakan adalah dengan pijatan. Bayi yang dipijat akan dapat tertidur lelap sedangkan pada waktu bangun daya konsentrasinya akan penuh. Sehingga
Tujuan Penelitian Tujuan Umumnya untuk mengetahui hubungan pijat bayi dengan kualitas tidur pada bayi umur 1 – 12 bulan di Rumah Bersalin Al – Aziziah Nurrusyifa Desa Wringin Putih, Kec.Bergas, Kab.Semarang. Tujuan khususnya yaitu : a. Untuk mengetahui pijat bayi di Rumah Bersalin AL–Aziziah Nurussyifa Desa Wringin Putih Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang. b. Untuk mengetahui kualitas tidur pada bayi umur 1-12 bulan di Rumah Bersalin Al–Aziziah Nurussyifa Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang. c. Untuk mengetahui hubungan pijat bayi dengan kualitas tidur pada bayi umur 1 – 12 bulan
Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah deskripsi korelasi, yaitu suatu penelaahan hubungan antara dua variabel pada suatu situasi atau sekelompok subjek, dengan pendekatan cross sectional (Suyanto, 2009). Dikatakan bahwa penelitian cross sectional yaitu pengambilan data yang dilakukan sekali dan dalam waktu yang bersamaan. Desain ini digunakan untuk mengetahui hubungan pijat bayi dengan kualitas tidur bayi umur 1 – 12 bulan di Rumah Bersalin Al – Aziziah Nurussyifa Desa Wringin Putih Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang. Populasi dan Sampel
Hubungan Pijat Bayi dengan Kualitas Tidur pada Bayi Umur 1-12 Bulan di Rumah Bersalin AlAziziah Nurrusyifa Desa Wringin Putih, Kecamatan Bergas Kabupaten Semararang
22
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi (Arikunto, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah semua bayi umur 1 – 12 bulan yang dilakukan pijat bayi di rumah bersalin Al – Aziziah Nurusyiffa desa Wringin putih Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang berjumlah 45 bayi. Sampel adalah sebagian atau seluruh obyek yang diteliti dan dianggap mewakili populaasi (Notoadmojo, 2005). Penelitian ini menggunakan cara pengambilan sampel jenuh yaitu seluruh populasi diteliti. Hal ini dilakukan umumnya karena jumlah populasi sedikit (Machfoedz, 2009). Dalam penelitian ini jumlah sempel 45 bayi. Adapun kriteria inklusi meliputi : a. Bayi umur 1 – 12 bulan yang dilakukan pijat bayi dan periksa di Rumah Bersalin AL – Aziziah Nurussyifa Desa Wringin Putih Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang. b. Bayi umur 1 - 12 bulan yang periksa di Rumah Bersalin Al – Aziziah Nurussyifa Desa Wringin Putih Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang yang sehat. Kriteria eklusi meliputi : a. Bayi umur 1- 12 bulan yang periksa di Rumah Bersalin Al – Aziziah Nurusyifa Desa Wringin Putih Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang yang tidak dilakukan pijat bayi. b. Bayi diatas umur 12 bulan yang periksa di wilayah Rumah Bersalin Al – Aziziah Nurussyifa Desa Wringin Putih Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian ini adalah di Rumah Bersalin AL - Aziziah Nurrusyifa Desa Wringin Putih Kecamatan Bergas pada bulan Juli 2010. Peneliti nemilih melakukan penelitian di Rumah Bersalin
AL – Aziziah Nurusyifa karena di tempat ini sudah berjalan pelaksanaan pijat bayi kira – kira sejak tahun 2009. Pengumpulan data 1. Alat pengumpulan data Alat pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal – hal yang ia ketahui(Arikunto, 2006), kuesioner disini ditujukan kepada orangtua bayi. Untuk melakukan pengumpulan data, peneliti sendiri telah membuat kuesioner yaitu : Kuesioner untuk mengetahui pelaksanaan pijat bayi dan kualitas tidur bayi setelah dilakukan pijat bayi yang terdiri dari 20 pertanyaan. 2. Metode pengumpulan data Metode pengumpulan data dilakukan dengan tahap – tahap sebagai berikut : a. Permohonan ijin penelitian kepada Kepala Dinas Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Semarang. b. Permohonan ijin penelitian dan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang. c. Peneliti memberikan surat ijin penelitian dari Kesbanklinmas kepada Bidan Desa Wringin Putih. d. Peneliti mengajukan ijin kepada Bidan Desa Wringin Putih. e. Setelah diberi ijin dari Bidan Desa Wringin Putih, maka peneliti akan mengidentifikasi calon responden dan menetapkan sasaran penelitian.Responden diambil dari bayi umur 1 – 12 bulan. f. Peneliti akan melakukan pendekatan kepada calon responden untuk memberikan penjelasan dan membuat kesepakatan bahwa calon
Hubungan Pijat Bayi dengan Kualitas Tidur pada Bayi Umur 1-12 Bulan di Rumah Bersalin AlAziziah Nurrusyifa Desa Wringin Putih, Kecamatan Bergas Kabupaten Semararang
23
responden bersedia menjadi responden. g. Responden (orang tua bayi) diberi kuesioner oleh peneliti dan diisi sesuai format pertanyaan. h. Bila sudah selesai responden(orang tua bayi) diminta mengembalikan kepada peneliti dan disimpan didalam file tertutup. Uji Validitas dan Reliabilitas Setelah kuesioner sebagai alat pengumpulan data selesai disusun, belum berarti kuesioner tersebut dapat digunakan untuk pengumpulan data. Kuesioner dapat digunakan sebagai alat ukur penelitian perlu uji validitas dan reliabilitas.Untuk itu maka kuesioner tersebut harus dilakukan uji coba “trial” di lapangan (Notoadmodjo, 2005). Kuesioner dibuat sendiri dan diuji cobakan kepada responden sehingga untuk dapat mengukur apa yang akan diukur yaitu dengan uji validitas dan reliabilitas yang dilaksanakan di desa Kalongan , Kecamatan Ungaran Timur pada tanggal 6 Agustus 2010. Uji Validitas Untuk mengetahui apakah kuesioner yang kita susun tersebut mampu mengukur apa yang hendak kita ukur maka perlu diuji dengan uji korelasi antara skor (nilai) tiaptiap item (pertanyaan) dengan skor total kuesioner tersebut. Apabila kuesioner tersebut telah memiliki validitas konstruk berarti semua item yang ada dalam kuesioner itu mengukur konsep yang kita ukur (Arikunto, 2006). Untuk mengetahui validitas maka perlu dilakukan uji korelasi antara skor (nilai) tiap-tiap item (pertanyaan) dengan total kuesioner tersebut, bila item pertanyaan mempunyai korelasi yang signifikan dengan skor total instrumen maka kuesioner tersebut dinyatakan valid. Teknik korelasi yang
digunakan adalah teknik product moment dengan rumus sebagai berikut:
r
N ( XY ) ( X)( Y )
N X
2
( X ) 2 N Y 2 ( Y) 2
Keterangan : r : koefisien korelasi antara masingmasing item pertanyaan N : jumlah responden X : skor setiap item (skor pertanyaan) Y : skor total pertanyaan XY : skor setiap item (X) dikali skor total (Y) Dari hasil perhitungan apabila di dapatkan nilai r hitung lebih besar dari r tabel, maka instrumen di katakan valid. Uji validitas dilaksanakan di desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur sebanyak 20 orang. Dari hasil perhitungan uji validitas untuk variabel pijat bayi didapatkan nilai korelasi antara butir ke-1 sampai butir ke10 dengan butir totalnya terletak antara 0,609 sampai 0,841. Terlihat bahwa semua nilai-nilai r hitung tersebut lebih besar dari r tabel 0,444. Jadi disimpulkan bahwa semua butir-butir pertanyaan dari no. 1 sampai 10 merupakan butir-butri yang valid untuk mengukur variabel pijat bayi. Hasil perhitungan uji validitas untuk variabel kualitas tidur didapatkan nilai korelasi antara butir ke-1, sampai butir ke10 dengan butir totalnya terletak antara 0,618 sampai 0,910. Terlihat bahwa semua nilai-nilai r hitung tersebut lebih besar dari r tabel 0,444. Jadi disimpulkan bahwa semua butir-butir pertanyaan dari no. 1 sampai 10 merupakan butir-butri yang valid untuk mengukur variabel kualitas tidur. Uji Reliabilitas Uji reliabilitas yang digunakan yaitu dengan internal consistency yang dilakukan dengan cara mencobakan instrumen sekali saja. Untuk mengetahui reliabilitas dari kuesioner variabel pijat dan
Hubungan Pijat Bayi dengan Kualitas Tidur pada Bayi Umur 1-12 Bulan di Rumah Bersalin AlAziziah Nurrusyifa Desa Wringin Putih, Kecamatan Bergas Kabupaten Semararang
24
kualitas tidur, penelitian menggunakan rumus alpha crobach sebagai berikut :
Dimana : r : Reliabilitas instrument k : Banyaknyabutirpertanyaan Σ : Jumlahvarianbutir : Varian total (Arikunto, 2006) Uji instrument inidikatakan reliable jikanilai Alpha lebihbesardari r tabel Apabila nilai koefisien reliabilitas lebih besar dari 0,6 maka instrument penelitian dinyatakan reliabel. Uji reliabilitas juga dilaksanakan di desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur sebanyak 20 orang Dari hasil perhitungan uji reliabilitas didapat nilai alpha untuk variabel pijat bayi dan kualitas tidur masing-masing sebesar 0,922 dan 0,881. Terlihat bahwa kedua nilai ini lebih besar dari 0,6. Ini berarti bahwa instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel pijat bayi dan kualitas tidur dikatakan reliabel. Etika Penelitian Masalah etika penelitian merupakan hal yang penting, oleh karena itu dalam melaksanakan penelitian ini peneliti mengajukan surat permohonan ijin penelitian kepada Bidan Desa Wringin Putih untuk mendapatkan ijin penelitian. Setelah mendapatkan ijin, peneliti melakukan survey tentang kualitas tidur bayi setelah dilakukan pemijatan, dengan menekankan pada masalah etika meliputi : 1. Informed Concent (lembar persetujuan menjadi responden) Lembar persetujuan ini diberikan kepada orang tua bayi. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian yang akan dilakukan serta dampak yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengumpulan. Jika responden bersedia untuk diteliti, maka
harus menandatangani lembar persetujuan tersebut. Jika para reponden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak boleh memaksa dan tetap menghormati hak-haknya. 2. Anonimity (tanpa nama) Untuk menjaga kerahasiaan responden, maka peneliti tidak akan mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data tetapi hanya cukup memberi tanda atau kode yang hanya diketahui oleh responden dan peneliti. 3. Confidentialy Dalam hal ini peneliti menjamin kalau data yang nantinya didapat oleh peneliti tidak akan disebarluaskan kepada siapapun karena hanya menggunakan kode-kode tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan sebagai hasil survey. Pengolahan Data Semua data yang sudah didapat nantinya akan melalui beberapa proses terlebih dahulu yaitu : 1. Editing Teknik ini yaitu meneliti kembali segala data yang didapat untuk mengurangi kesalahan serta untuk meneliti adanya kekurangan data karena mungkin responden tidak mengisi beberapa pertanyaan dalam angket kuisioner. 2. Coding Teknik ini hanya digunakan untuk mempermudah data agar tidak terjadi kekeliruan maka akan menggunakan kode atau simbol pada angket kuisioner yang disebarkan kepada responden. Tahapan ini dilakukan pemberian tanda/ kode terhadap pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisa. 3. Tabulasi
Hubungan Pijat Bayi dengan Kualitas Tidur pada Bayi Umur 1-12 Bulan di Rumah Bersalin AlAziziah Nurrusyifa Desa Wringin Putih, Kecamatan Bergas Kabupaten Semararang
25
Teknik ini digunakan agar data dapat mudah disusun, dianalisis dan nantinya dapat disajikan. 4. Entri data Kegiatan memasukkan data pada komputer untuk kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana dalam pembuatan tabel kontinensi. Analisa Data Analisa data yang dilakukan pada penelitian ini adalah : 1. Analisis Univariat Analisa Univariat yaitu menganalisa tiap-tiap variabel secara diskriptif dengan menghitung distribusi frekuensi dan proporsinya untuk mengetahui kualitas tidur bayi umur 1 – 12 bulan setelah dilakukan pemijatan. 2. Analisis Bivariat Dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi. Misalnya variabel bebasnya adalah pelaksanaan pijat bayi dan variabel terikatnya adalah kualitas tidur bayi. Dalam analisis ini menggunakan pengujian statistik dengan korelasi Kendal Tau (τ) (Sugiyono, 2007). Rumus dasar yang digunakan adalah sebagai berikut :
τ = Keterangan : τ : Koefisien korelasi Kendal Tau yang besarnya (-1 <τ < 1) A : Jumlah rangking atas B : Jumlah rangking bawah N : Jumlah anggota sampel Korelasi Kendal Tau digunakan untuk mencari hubungan dan menguji hipotesis antara dua variabel atau lebih, bila datanya berbentuk ordinal atau rangking. Kelebihan teknik ini bila digunakan untuk menganalisis sampel yang jumlah anggotanya lebih dari 10 dan dapat
dikembangkan untuk mencari koefisien korelasi parsial. HASIL PENELITIAN Pada bab ini akan disajikan dan diuraikan mengenai hasil penelitian, yang terdiri dari analisis univariat dan bivariat. Responden dalam penelitian ini adalah bayi umur 1-12 bulan yang periksa di Rumah Bersalin Al-Azizah Nurussyifa Desa Wringin Putih Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang yang dilakukan dari tanggal 14-1616 Agustus 2010. Hasil perhitungan dari penelitian ini disajikan sebagai berikut. Analisis Univariat Analisis univariat yaitu analisis yang dilakukan terhadap satu variabel. Analisis ini dilakukan pada setiap variabel yang akan diteliti, yaitu: variabel pijat bayi dan kualitas tidur. 1. Pijat Bayi Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa sebagian besar pijat bayi yang dilakukan pada bayi di RB Al-Azizah, Desa Wringin Putih, Kec. Berdas, Kab. Semarang dalam kategori baik sejumlah 7 dari 45 bayi (15,6%), sedangkan dalam kategori cukup baik yaitu sejumlah 33 dari 45 bayi (73,3%), dan dalam kategori kurang baik sejumlah 5 dari 45 bayi (11,1%). 2. Kualitas Tidur Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan diketahui bahwa sebagian besar bayi di RB Al-Azizah, Desa Wringin Putih, Kec. Bergas, Kab. Semarang yang mendapatkan kualitas tidur baik sejumlah 15 dari bayi (33,3%) sedangkan yang mendapatkan kualitas tidur cukup baik, yaitu sejumlah 26 dari 45 bayi (57,8%), dan yang mendapat kualitas tidur kurang baik sejumlah 4 dari 45 bayi (8,9%) Analisis Bivariat
Hubungan Pijat Bayi dengan Kualitas Tidur pada Bayi Umur 1-12 Bulan di Rumah Bersalin AlAziziah Nurrusyifa Desa Wringin Putih, Kecamatan Bergas Kabupaten Semararang
26
Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan. Dalam penelitian ini analisis tersebut digunakan untuk mengetahui hubungan pijat bayi dengan
kualitas tidur pada bayi umur 1-12 bulan di RB Al-Azizah, Desa Wringin Putih, Kec. Berdas, Kab. Semarang. Adapun hubungan tersebut diberikan pada tabel 5.5 berikut ini.
Tabel 5.5 Analisis Hubungan antara Pijat Bayi dengan Kualitas Tidur pada Bayi Umur 1-12 Bulan di RB Al-Azizah, Desa Wringin Putih, Kec. Berdas, Kab. Semarang Kualitas Tidur Kendal Pijat Bayi Total p-value Cukup Tau Baik Kurang Baik Baik Baik 6 85,7 1 14,3 0 0 7 100 Cukup Baik 8 24,2 24 72,7 1 3,0 33 100 0,505 0,003 Kurang Baik 1 20,0 1 20,0 3 60,0 5 100 Total 15 33,3 26 57,8 4 8,9 45 100 Berdasarkan tabel tersebut ditemukan fakta bahwa dari bayi yang dipijat dengan kategori baik yang mendapatkan kualitas tidur baik sejumlah 85,7% sedangkan bayi yang dipijat dengan kategori cukup baik yang mendapatkan kualitas tidur baik sejumlah 24,2%, dan bayi yang dipijat dalam kategori kurang baik yang mendapatkan kualitas tidur baik sejumlah 20,0%.. Berdasarkan uji Kendall Tau, telah didapatkan nilai korelasi Kendall Tau sebesar 0,505 dengan p-value sebesar 0,003. Terlihat bahwa nilai p = 0,003 lebih kecil dari nilai (0,05), ini berarti dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pijat bayi dengan kualitas tidur pada bayi umur 1-12 bulan di RB AlAzizah, Desa Wringin Putih, Kec. Berdas, Kab. Semarang. Hubungan tersebut merupakan hubungan yang positif (karena nilai korelasi bertanda positif) yang berarti bahwa jika pijat yang dilakukan pada bayi semakin baik maka semakin baik pula kualitas tidurnya. Berdasarkan nilai korelasinya, hubungan ini merupakan hubungan yang cukup kuat karena nilai korelasinya terletak antara 0,400-0,600.
Gambaran pijat bayi di Wilayah Kerja Rumah Bersalin Al-Aziziah Nurussyifa Desa Wringin Putih Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang Hasil penelitian menunjukkan bahwa pijat yang dilakukan pada bayi di RB AlAzizah, Desa Wringin Putih, Kec. Bergas, Kab. Semarang dalam kategori cukup baik sejumlah 33 bayi (73,3%), sedangkan dalam kategori baik sejumlah 7 bayi (15,6%), dan dalam kategori kurang baik sejumlah 5 bayi (11,1%). Jadi sebagian besar pemijatan yang dilakukan pada bayi di RB Al-Azizah, Desa Wringin Putih, Kec. Bergas, Kab. Semarang dalam kategori cukup baik. Hasil penelitian menunjukkan sejumlah 7 bayi (15,6%) telah dilakukan pemijatan oleh ibunya dalam kategori baik. Hal ini terjadi karena ibu telah melakukan pijat bayi sesuai prosedur yang meliputi waktu pemijatan dan cara pemijatan. Ibu melakukan pemijatan pada pagi dan malam hari. Ibu tidak melakukan pijat bayi saat bayi sedang sakit atau tidak enak badan, saat bayi sedang tidur, dan saat bayi setelah disusui atau makan.
PEMBAHASAN Hubungan Pijat Bayi dengan Kualitas Tidur pada Bayi Umur 1-12 Bulan di Rumah Bersalin AlAziziah Nurrusyifa Desa Wringin Putih, Kecamatan Bergas Kabupaten Semararang
27
Dari hasil penelitian juga didapatkan bahwa sejumlah 33 bayi (73,3%) telah dilakukan pemijatan oleh ibunya dalam kategori cukup baik. Hal ini dikarenakan para ibu di wilayah RB Al-Azizah sudah melakukan pijat bayi, namun pijat yang dilakukan tidak selalu sesuai dengan teori yang dianjurkan. Para ibu terkadang melakukan pijat bayi dengan benar terkadang juga salah. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya waktu yang dimiliki oleh ibu. Jika ibu mempunyai waktu yang banyak maka ibu bisa melakukan pijat bayi dengan tepat sebagaimana yang dianjurkan. Namun, jika ibu tidak mempunyai waktu yang cukup atau terburu maka pemijatan yang dilakukan kurang maksimal. Dari hasil penelitian didapatkan pula bahwa sejumlah 5 bayi (11,1%) telah dilakukan pemijatan oleh ibunya dalam kategori kurang. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan tentang pemijatan bayi dengan baik dan benar sehingga ibu melakukan pijat bayi ketika bayi sedang mengalami sakit persendian, flu, dan masuk angin. Ketidaktahuan atau pengetahuan ibu yang rendah tentang pijat bayi disebabkan oleh kurangnya waktu ibu (karena ibu sibuk bekerja) untuk mencari informasi atau bertanya kepada bidan mengenai pemijatan bayi yang benar, sehingga ibu tidak dapat melakukan pemijatan pada bayi dengan benar baik dari segi cara, waktu, maupun peralatan. Hal ini sungguh disayangkan, karena menurut Roesli (2001) terapi sentuhan dan pijat pada bayi mempunyai banyak memberikan manfaat, terutama bila dilakukan sendiri oleh orang tua bayi terhadap peningkatan produksi ASI dan kenaikan berat badan bayi. Penelitian Lana Kristiane F. Flores di Australia membuktikan bahwa bayi yang dipijat oleh orang tuanya, akan mempunyai kecenderungan peningkatan berat badan, hubungan emosional dan sosial yang lebih baik.
Menurut Suririnah (2009), pijat bayi yang baik dilakukan secara keseluruhan pada tubuh bayi. Pijat bayi sebaiknya dilakukan pada pagi dan malam hari dengan menggunakan minyak zaitun, minyak telon, atau minyak kelapa. Pemijatan dilakukan pada saat bayi tidak sedang sakit atau demam, dan pemijatan tidak boleh dilakukan pada saat bayi selesai makan atau disusui. Pijat bayi dapat meningkatkan hubungan emosional dan sosial antara ibu dan bayi, sebab saat memijat bayi, ibu ”melatih” dirinya untuk lebih mengenal bayinya. Memijat bagian demi bagian tubuh bayi secara lembut, ibu belajar mengenali tubuh dan bahasa tubuh bayinya secara individual. Dari sini akan diketahui pijatan mana yang menyenangkan bagi bayi dan mana yang tidak disukainya. Lama-lama ibu akan menjadi lebih terampil dan percaya diri dalam mengurus bayi. Sebagaimana orang dewasa, bayi juga membutuhkan pemijatan yang akan mendukung tumbuh kembangnya. Pemijatan untuk bayi sangat baik untuk memperlancar peredaran darah, meningkatkan rasa percaya diri orangtua, mengurangi depresi dan ketegangan, menstimulasi pertumbuhan dan yang terpenting mempererat ikatan kasih sayang antara orangtua dan buah hatinya. Sebab, sentuhan adalah indera pertama di mana bayi dapat memberikan reaksi dan merupakan cara ibu menyampaikan rasa kasih sayang ibu kepada anaknya. Selain itu menurut Roesli (2001), terapi pijat yang dilakukan 15 menit selama enam minggu pada bayi usia 1-3 bulan juga meningkatkan kesiagaan (alertness). Diikuti dengan peningkatan berat badan, perbaikan kondisi psikis, berkurangnya kadar hormone stres, dan bertambahnya kadar serotonin. Meningkatnya aktivitas neurotransmitter serotonin ini akan meningkatkan kapasitas sel reseptor yang mengikat glucocorticoid (adrenalin). Proses ini menyebabkan
Hubungan Pijat Bayi dengan Kualitas Tidur pada Bayi Umur 1-12 Bulan di Rumah Bersalin AlAziziah Nurrusyifa Desa Wringin Putih, Kecamatan Bergas Kabupaten Semararang
28
terjadinya penurunan kadar hormone adrenalin (hormone stres), dan selanjutnya akan meningkatkan daya tahan tubuh bayi. Menurut Jowir (2007), ada banyak manfaat yang diperoleh dari pijat bayi. Pijat bayi membantu merangsang kekebalan (pembawaan lahir) pada bayi maka bisa membantu melawan infeksi. Tehnik pijat bayi khusus dapat membantu menghilangkan colic (mulas), masuk angin dan susah buang air besar, selain menenangkan dan mengurangi nyeri pada bayi, pijat juga merangsang keluarnya hormon endorphin yang bisa meenurunkan nyeri sehingga bayi menjadi tenang dan mengurangi frekuensi menangis sehingga meningkatkan kualitas dan kuantitas tidurnya. Pijat bayi juga meningkatkan daya serap nutrisi ke tubuhnya dan lebih menenangkan sistem syarafnya, hasilnya dapat mengurangi alergi. Pijat bayi membantu pola tidur menjadi teratur, pijat membuatnya menjadi nyaman dan menentramkan hatinya. Pijat bayi dapat juga meningkatkan hubungan kekeluargaan bayi dengan orangtuanya, bayi akan merasa aman, nyaman dengan kedua orangtuanya. Dalam pemijatan pun bisa dilakukan oleh ayah (tidak mutlak ibunya), sehingga ada hubungan kasih sayang ayah pada bayinya. Efek yang lain jika pemijatan dilakukan orangtuanya bayi akan cepat adaptasi atau mengurangi frekuensi menangisnya. Pemijatan bisa dilakukan dimana saja tetapi diusahakan di ruangan yang mana bayi merasa nyaman (jauh dari keramaian), sehari bisa dilakukan 1-2 kali pilih waktu yang tepat biasanya dilakukan sebelum mandi (sesuaikan dengan kondisi bayi. Gambaran Kualitas Tidur pada bayi umur 1-12 bulan di Wilayah Kerja Rumah Bersalin Al-Aziziah Nurussyifa Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas tidur bayi di RB Al-Azizah, Desa Wringin Putih, Kec. Bergas, Kab. Semarang dalam kategori baik, sejumlah 15 bayi (33,3%), sedangkan dalam kategori kualitas cukup baik sejumlah 26 bayi (57,8%), dan dalam kategori kualitas tidur kurang baik sejumlah 4 bayi (8,9%), sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar bayi di RB Al-Azizah, Desa Wringin Putih, Kec. Bergas, Kab. Semarang mendapatkan kualitas tidur yang cukup baik. Kualitas tidur bayi yang cukup baik, artinya kualitas tidur yang masih belum sempurna, misalnya bayi masih sering terbangun di malam hari. Belum sempurnanya tidur bayi disebabkan beberapa kebiasaan orangtua misalnya bayi yang terbiasa digendong saat tidur, akan merasa lebih nyaman tidur dalam gendongan. Tak heran bila ditaruh, ia akan terjaga. Selain itu, sikap orangtua yang ingin mendisiplinkan bayi juga kerap membuat pola tidurnya bermasalah. Umpamanya, menetapkan jadwal minum susu setiap 2 jam. Meski bayi sedang tidur nyenyak, tetap akan dibangunkan untuk mengikuti jadwal itu. Lantaran itu bayi jadi sering terjaga. Sebenarnya tidak perlu seperti itu, karena bila bayi lapar dan haus, ia akan terbangun dengan sendirinya. Meskipun begitu, ada sisi positifnya, karena kebiasaan bayi yang sering bangun justru akan membantu ibu dalam menyukseskan program ASI eksklusif. Karena pada saat malam hari hormon prolaktin lebih banyak diproduksi, yang berfungsi untuk pembentukan ASI. Menurut Evariny A. (2006),, kebutuhan tidur bayi satu dengan bayi lainnya berbeda-beda tergantung dari usianya. Bayi (1-12 bulan) biasanya tidur dalam waktu 14-15 jam pada usia 4 bulan dan 13-14 jam pada usia 6 bulan. Periode tidur berakhir 3-4 jam selama 3 bulan pertama dan memanjang menjadi 6-8 jam
Hubungan Pijat Bayi dengan Kualitas Tidur pada Bayi Umur 1-12 Bulan di Rumah Bersalin AlAziziah Nurrusyifa Desa Wringin Putih, Kecamatan Bergas Kabupaten Semararang
29
pada usia 4-6 bulan. Setelah 9 bulan, 70%80% bayi akan tidur sepanjang malam. Menurut Evariny A. (2006) ada beberapa cara untuk meningkatkan kualitas tidur bayi yaitu: pertama mencari tahu penyebab lain. Bayi yang sering terjaga bukan karena popok basah, lapar ataupun haus, harus dicari penyebab lainnya, seperti sakit, kolik, atau lainnya. Kedua memperhatikan tangisan. Bila ada sesuatu yang dirasakan, biasanya bayi-bayi yang sensitif akan lebih tampak gelisah, suara tangisannya lebih lantang, dan lainnya. Jika merasa kewalahan dengan perilaku bayi yang sering terjaga dan rewel, tak ada salahnya mengonsultasikan masalah ini pada dokter. Ketiga mengusahakan untuk memenuhi waktu dan kualitas tidur bayi. Caranya dengan memerhatikan kenyamanan ruang tidurnya. Pastikan ventilasinya baik, pencahayaannya pas (tidak kelewat terang atau gelap), suasana tidak berisik, dan suhu ruang tidak terlalu dingin atau panas. Boleh juga dengan melakukan pijat bayi sebelum tidur agar membuatnya merasa nyaman. Keempat meerhatikan pula refleks mengisapnya. Bila terlihat malas atau lemah berarti ada hal yang patut dicurigai. Kelima mengikuti saja kemauan bayi, apakah ia haus/lapar atau minta digantikan popoknya. Tak ada patokan waktu kapan ia harus ditidurkan atau dibangunkan. Kalau mengantuk ia akan tidur dengan sendirinya, meski ada masa transisi menjelang tidur yang membuatnya rewel. Keenam, umumnya setelah usia 3 bulan waktu tidurnya lebih teratur. Atau setidaknya orangtua dapat membiasakan waktu tidur bayi secara teratur. Misal, dengan mengajaknya bermain di pagi hari dan “mengajarinya” bahwa malam hari adalah waktu tidur. Untuk itu, biasakan menyusui atau mengganti popok dengan penerangan redup di malam hari. Jangan mengajaknya bermain usai mengganti popoknya yang basah namun baringkan saja dan ajak ia kembali tidur.
Hubungan pijat bayi dengan kualitas tidur pada bayi umur 1 – 12 bulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi yang dipijat dengan kategori kurang baik yang mendapatkan kualitas tidur baik sejumlah 20,0%, sedangkan bayi yang dipijat dengan kategori cukup baik yang mendapatkan kualitas tidur baik sejumlah 24,2%, dan bayi yang dipijat dengan kategori baik yang mendapatkan kualitas tidur baik sejumlah 85,7%. Dari gambaran ini menunjukkan bahwa semakin baik pijat yang dilakukan pada bayi maka semakin baik pula kualitas tidurnya. Dari hasil penelitian juga didapat bayi yang dipijat dengan cukup tapi kualitas tidurnya masih kurang baik, yaitu sejumlah 3%. Ini disebabkan oleh faktor lain, yaitu ibu mempunyai kebiasaan menggendong bayi sebelum tidur sehingga bayi sering terjaga pada saat ditaruh di tempat tidur. Selain itu faktor lingkungan yang tidak kondusif atau berisik (di daerah pabrik) juga membuat kualitas tidur bayi kurang. Berdasarkan uji Kendall Tau, telah didapatkan nilai korelasi Kendall Tau sebesar 0.505 dengan p-value sebesar 0,003. Terlihat bahwa nilai p = 0,003 lebih kecil dari nilai (0,05), ini berarti dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pijat bayi dengan kualitas tidur pada bayi umur 1-12 bulan di RB AlAzizah, Desa Wringin Putih, Kec. Bergas, Kab. Semarang. Hubungan tersebut merupakan hubungan yang positif (karena nilai korelasi bertanda positif) yang berarti bahwa jika pijat yang dilakukan pada bayi semakin baik maka semakin baik pula kualitas tidurnya. Berdasarkan nilai korelasinya, hubungan ini merupakan hubungan yang cukup kuat karena nilai korelasinya terletak antara 0,400-0,600. Hasil penelitian di atas juga sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Parsini mahasiswa Universitas Muhamadiyah Surakarta tahun 2009 yang melakukan penelitian tentang pengaruh pijat bayi terhadap durasi tidur bayi umur
Hubungan Pijat Bayi dengan Kualitas Tidur pada Bayi Umur 1-12 Bulan di Rumah Bersalin AlAziziah Nurrusyifa Desa Wringin Putih, Kecamatan Bergas Kabupaten Semararang
30
0-3 bulan di rumah bersalin Sragen. Berdasarkan hasil uji wilcoxon, dia menyimpulkan bahwa terdapat peningkatan durasi tidur yang berarti bahwa ada pengaruh pijat bayi tehadap durasi tidur. Untuk melihat perbedaan peningkatan durasi tidur antara kedua kelompok di lakukan uji beda selisih durasi dengan hasil ada perbedaan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, dimana kelompok perlakuan lebih baik terjadi peningkatan durasi tidur setelah pemberian pijat bayi. Hasil-hasil di atas sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh (Putri, 2009). Dia mengemukakan bahwa bayi yang ototototnya distimulasi dengan urut atau pemijatan akan nyaman dan ngantuk. Kebanyakan bayi akan tidur dengan waktu yang lama begitu pemijatan usai dilakukan kepadanya. Disamping lama, bayi akan tidur terlelap dan tidak rewel. Hal ini menunjukkan bahwa bayi merasa tenang setelah dipijat. Hal ini diperkuat oleh pendapat Pepy (2007), dia berpendapat bahwa pijat bayi dapat menstimulasi bagian otak Cerebellum yang mengontrol keseimbangan dan koordinasi otot, mengkoordinasikan fungsi motorik dan sensori. Manfaat pijat bayi antara lain mengembangkan sistem imun, membantu bayi berlatih relaksasi, membantu mengatasi gangguan tidur, membuat bayi tidur lebih lelap dan lama, memperkuat ikatan (bonding) bayi dengan ibu/orangtua. Sedangkan Subekti (2008) berpendapat, bayi yang dipijat umumnya akan tertidur lebih lelap, pada waktu bangun akan mempunyai konsentrasi yang lebih meningkat. Kebanyakan bayi atau anak-anak yang diberikan pijatan dapat mengurangi susah tidur hingga 30%. Pijatan itu memberikan kualitas tidur yang cukup baik, sehingga ketika bangun, tubuh akan kembali menjadi segar. Pijat telah dipraktekkan hampir seluruh dunia. Seni pijat telah diajarkan
secara turun temurun walaupun tidak diketahui dengan jelas bagaimana pijat dan sentuhan dapat memberikan efek positif pada tubuh manusia. Banyak orang telah merasakan manfaat dan nikmatnya dipijat. Badan yang lelah dan lunglai akan terasa ringan dan rileks setelah dipijat. Tak heran, banyak orang yang tertidur saat dipijat. Demikian pula dengan bayi, bayi yang dipijat akan dapat tidur dengan lelap, sedangkan pada waktu bangun daya konsentrasinya akan penuh. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu pada penelitian ini, peneliti tidak melakukan intervensi pijat bayi secara langsung, peneliti hanya memberikan kuesioner yang diisi oleh ibu. Selain itu, penelitian ini hanya meneliti kualitas tidur bayi berdasarkan satu faktor yaitu pijat bayi, sedangkan pada kenyataannya masih ada banyak faktor lain seperti lingkungan, asupan nutrisi, kelelahan, dan nyeri. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai hubungan pijat bayi dengan kualitas tidur pada bayi umur 1-12 bulan di wilayah kerja Rumah Bersalin Al-Aziziah Nurrusyifa Desa Wringin Putih Kec. Bergas, Kab. Semarang maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Sebagian besar pijat bayi yang dilakukan pada bayi di RB Al-Azizah, Desa Wringin Putih, Kec. Bergas, Kab. Semarang dalam kategori cukup baik, yaitu sejumlah 33 bayi (73,3%), sedangkan dalam kategori baik sejumlah 7 bayi (15,6%), dan dalam kategori kurang baik sejumlah 5 bayi (11,1%). 2. Sebagian besar bayi di RB Al-Azizah, Desa Wringin Putih, Kec. Bergas, Kab.
Hubungan Pijat Bayi dengan Kualitas Tidur pada Bayi Umur 1-12 Bulan di Rumah Bersalin AlAziziah Nurrusyifa Desa Wringin Putih, Kecamatan Bergas Kabupaten Semararang
31
Semarang mendapatkan kualitas tidur yang cukup baik, yaitu sejumlah 26 bayi (57,8%), sedangkan yang mendapatkan kualitas tidur baik sejumlah 15 bayi (33,3%), dan yang mendapat kualitas tidur kurang baik sejumlah 4 bayi (8,9%). 3. Ada hubungan yang signifikan antara pijat bayi dengan kualitas tidur pada bayi umur 1-12 bulan di RB Al-Azizah, Desa Wringin Putih, Kec. Bergas, Kab. Semarang dengan p-value 0,003 yang kurang dari α (0,05). Hubungan ini merupakan hubungan yang positif dengan keeratan yang cukup kuat (r = 0,505).
tentang pengaruh pijat bayi terhadap terhadap perkembangan anak. 5. Bagi Tenaga Kesehatan Bagi tenaga kesehatan khususnya bidan, diharapkan dapat berfungsi motivator dan fasilitator dengan melakukan pnyuluhan maupun konseling pada ibu tentang perwatan bayi khususnya pijat bayi. DAFTAR PUSTAKA Carole, Smyth. 2008. Mengevaluasi kualitas. Tidur Diaskes 12 Juni 2010 dari Http://Translate.Googleusercontent.co m.
Saran 1. Bagi Ibu yang Mempunyai Bayi Umur 1-12 Bulan Diharapkan bagi ibu lebih aktif untuk mencari pengetahuan tentang cara pemijatan bayi dengan baik dan benar agar pada waktu memijat bayi tidak terjadi kesalahan, sehingga diharapkan dapat memberikan kenyamanan pada bayi yang selanjutnya kualitas tidur bayi menjadi baik. 2. Bagi Keluarga Diharapkan bagi keluarga, dapat memberi bantuan, motivasi, dan dukungan pada ibu yang mempunyai bayi usia 1-12 bulan dalam melakukan pijat bayi, seperti membantu pijat bayi jika ibu sedang bekerja dan mencarikan informasi pijat bayi yang benar, baik melalui media masa maupun dengan mendatangi klinik-klinik kesehatan. 3. Bagi Institusi Bagi institusi, diharapkan dapat berperan sebagai fasilitator, yaitu dengan menyediakan sumber informasi atau buku-buku tentang pijat bayi. 4. Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan hasil penelitian tentang pijat bayi ini, misalnya dengan melakukan penelitian
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian suatu praktik hal 130,170. Rineka Cipta : Jakarta. Bayu. 2009. Pijat Bayi. Diakses tanggal 15 Mei 2010 dari Http://majalahkasih.Pantiwilasa.com/ind ek.php
Machfoedz, I. 2009 .Metodologi Penelitian Bidang Keperawatan, Kebidanan, Kedokteran hal 54. Fitramaya : Yogyakarta. Notoadmojo, S. 2005. Metode Penelitian Kesehatan hal 129,188. Rineka Cipta : Jakarta. Perry, G. A. & Potter, A. P. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep, Proses, dan Praktik 1470,1475,1477. EGC : Jakarta Prasetrono. 2009. Teknik-teknik tepat memijat buah hati anda hal 8. Nusa Prassindo : Yogyakarta. Putri. 2009. Pijat dan senam untuk bayi dan balita 5, 15-22, 23-24, 26-28. Genius : Yogyakarta.
Hubungan Pijat Bayi dengan Kualitas Tidur pada Bayi Umur 1-12 Bulan di Rumah Bersalin AlAziziah Nurrusyifa Desa Wringin Putih, Kecamatan Bergas Kabupaten Semararang
32
Ratna & Ahmad. 2008. Melatih Konsentrasi Bayi . Diakses tanggal 1 Juli 2010. Dari Http://SeputarAnak.Blogspot.com . Roesli, U. 2009. Pedoman Pijat Bayi hal 8. Trubus Agri Widya : Jakarta. Satriya Deddy. 2008. Kesehatan pijat bayi. Diakses tanggal 14 Juni 2010 dan HTTP://webchace.gooleusercontent.com. Subekti. R. 2008. Panduan Praktis Memijat Buah Hati Anda hal 23-26, 32, 45. Nusa Pressindo : Yogyakarta. Sugiyono. 2007.Statistika Untuk Penelitian hal 109, 228. Alfabeta : Bandung.
Suririnah. 2009. Buku Pintar Merawat bayi 0-12 Bulan hal 90-91. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta. Suyanto. 2009. Riset Kebidanan Metodologi dan Aplikasi hal 23, 3133. Mitra Candikra Press : Yogyakarta. Uliyah, M dan hidayat, A. A. 2008. Keterampilan Dasar Praktik Klinik Kebidanan hal 111,114. Salemba Medika : Jakarta. Hera, Beta. 2009. Tidur Untuk Bayi dan Orang Dewasa. Diakses tanggal 15 Mei 2010 dari www.Wordpress.com Vina & Vani. 2008. Balita Anda. Diakses tanggal 15 Mei 2010 dari www.Wordpress.com
Hubungan Pijat Bayi dengan Kualitas Tidur pada Bayi Umur 1-12 Bulan di Rumah Bersalin AlAziziah Nurrusyifa Desa Wringin Putih, Kecamatan Bergas Kabupaten Semararang
33
ISSN 2008-5156, Vol.3 N0 2, Januari 2012 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMIIHAN KB SUNTIK DI DESA KEBONDALEM KECAMATAN JAMBU KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2010 Kartika Sari1), Risma ALifiani Fitri2) Akademi Kebidanan Ngudi Waluyo Email:up2m@akbidngudiwaluyo ABSTRAK FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMIIHAN KB SUNTIK DI DESA KEBONDALEM KECAMATAN JAMBU KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2010. Pencapaian peserta KB di Indonesia dari waktu ke waktu terus meningkat. Pada tahun 1994 sebesar 57,7% dan tahun 1997 menjadi 56,4%. Salah satu jenis kontrasepsi efektif yang menjadi pilihan kaum ibu adalah KB suntik, ini disebabkan karena aman, efektif, sederhana dan murah. Menurut data statistik, di Indonesia persentase wanita usia subur (WUS) yang menggunakan KB suntik yaitu 33,10% (2005) dan meningkat pada tahun 2009 menjadi 57,10%. Di Jawa Tengah, tahun 2005 persentase WUS yang menggunakan KB suntik yaitu 39,10% dan meningkat pada tahun 2009 menjadi 54,08%. Begitu pula di Desa Kebondalem, WUS yang menggunakan KB suntik sebesar 79,05% (2008), dan meningkat menjadi 81,33% (2009).Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pemilihan KB suntik. Penelitian ini menggunakan desain observasional dengan pendekatan cross sectional, sampel yang digunakan adalah akseptor KB aktif sejumlah 68 responden dan uji statistik menggunakan uji Chi Square dengan α = 0,05. Hasil penelitian didapatkan persentase usia responden terbanyak pada usia 20-30 tahun, yaitu 66,2%. Persentase tingkat pendidikan responden terbanyak yaitu pada tingkat pendidikan menengah sebesar 63,2% dan persentase terbanyak pada tingkat pendapatan yaitu responden dengan pendapatan rendah (< Rp. 838.500;), sebesar 82,4%. Pada hasil uji statistik dengan Chi-Square didapatkan bahwa tidak ada hubungan usia dengan pemilihan KB suntik (p = 0,940), tidak ada hubungan tingkat pendidikan dengan pemilihan KB suntik(p = 1,000), dan ada hubungan tingkat pendapatan dengan pemilihan KB suntik ( p = 0,028). Diharapkan pada tenaga kesehatan untuk mengaktifkan konseling terhadap calon akseptor KB baru tentang macam-macam, indikasi, kontra indikasi, lama pemakaian, efek samping dan biaya pelayanan. Kata kunci
: usia, tingkat pendidikan tingkat pendapanan, pemilihan KB suntik PENDAHULUAN
Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dipengaruhi oleh kelahiran, kematian dan migrasi (Hartanto, 2004). Indonesia saat ini memiliki jumlah penduduk sebesar 245 juta jiwa, menjadikan negara ini negara dengan penduduk terbanyak ke-4 di dunia. Dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,36 persen per tahun (Wiki, 2009). 29
Oleh karena itu pemerintah terus berupaya menekan laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi tersebut. Upaya pemerintah yaitu dengan program KB yang telah memperoleh landasan legal yang kuat berdasarkan Perpres No. 7 Tahun 2005 untuk kurun waktu 5 tahun ke depan. Menyadari bahwa pelembagaan keluarga kecil berkualitas merupakan salah satu pilar bagi berlangsungnya pembangunan berkelanjutan, maka Perpres No. 7 tahun 2005 tersebut telah Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 34-46
ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota yang sebagian besar telah menuangkannya ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) maupun Rencana Strategis Daerah (RENSTRADA) yang tercermin dari dibentuknya kelembagaan KB, penyediaan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta anggaran (BKKBN, 2007). Pencapaian peserta KB dari waktu ke waktu juga terus meningkat. Pada tahun 1994 peserta KB sebesar 54,7% dan tahun 1997 meningkat menjadi 56,4% (SDKI, 2003). Kita ketahui bahwa sampai saat ini belumlah tersedia satu metode kontrasepsi yang benar-benar 100% ideal/ sempurna. Pengalaman menunjukkan bahwa saat ini pemilihan metode kontrasepsi umumnya masih dalam bentuk cafetaria atau supermarket, dimana calon akseptor memilih sendiri metode kontrasepsi yang diinginkannya (Hartanto, 2004). Faktor-faktor dalam memilih metode kontrasepsi dibagi menjadi 3, yaitu: 1). Faktor pasangan – motivasi dan rehabilitas, yang meliputi: umur, gaya hidup, frekuensi senggama, jumlah keluarga yang diinginkan, pengalaman dengan kontrasepsi yang lalu, sikap kewanitaan dan sikap kepriaan, 2). Faktor kesehatan – kontraindikasi absolut atau relatif, yang meliputi: status kesehatan, riwayat haid, riwayat keluarga, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan panggul, 3). Faktor metode kontrasepsi – penerimaan dan pemakaian, yang meliputi: efektivitas, efek samping minor, kerugian, komplikasi-komplikasi yang potensial dan biaya (Hartanto, 2004). Salah satu jenis kontrasepsi efektif yang menjadi pilihan kaum ibu adalah KB suntik, ini disebabkan karena aman, efektif, sederhana dan murah. Cara ini mulai disukai masyarakat kita dan diperkirakan setengah juta pasangan memakai kontrasepsi suntikan untuk mencegah kehamilan (1983) (Mochtar. R, 2002). Namun demikian KB suntik juga mempunyai banyak efek samping, seperti 35
amenorea (30%), spotting (bercak darah) dan menoragia, seperti halnya dengan kontrasepsi hormonal lainnya dan dijumpai pula keluhan mual, sakit kepala (<1-17%) (pusing), galaktorea (90%), perubahan berat badan (7-9%) (Hartanto dan Jones, 2005). Menurut data statistik Indonesia tahun 2005, presentase wanita usia subur yang menggunakan metode KB suntik di Indonesia yaitu 33,10%, dan pada tahun 2009 terjadi peningkatan yaitu menjadi 57,10%. Begitu pula di Jawa Tengah terjadi peningkatan yaitu pada tahun 2005, prosentasi wanita usia subur yang menggunakan KB suntik yaitu 39.10%, dan tahun 2009 meningkat menjadi 54,08%. Dari pencapaian tersebut, masayarakat lebih memilih alat kontrasepsi yang sifatnya praktis dan efektivitasnya tinggi, seperti pil dan suntik (Hartanto, 2003). Seperti hasil mini survei BKKBN tahun 2006, didapatkan bahwa metode hormonal suntikan (35,8%) dan pil (17,4%), IUD (5,4%), susuk KB (4,3%), dan MOW (2,3%)yang digunakan oleh akseptor KB. Berdasarkan survey yang dilakukan di Desa Kebondalem dengan buku bantu register KB bidan desa, didapatkan prosentase jumlah akseptor KB suntik dari tahun ketahun terus meningkat. Pada tahun 2007 jumlah akseptor Kb suntik yaitu 78,02%, tahun 2008 jumlah akseptor KB suntik yaitu 79,05% dan pada tahun 2009 jumlah akseptor KB suntik yaitu 81,33% . Serta pada periode 1 Januari 2010- 15 Maret 2010 didapatkan jumlah akseptor KB suntik 95,79% dari 214 akseptor. Dari fenomena tingginya akseptor KB suntik dari akseptor KB lainnya, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Faktor-Faktor Apa Saja Yang Berhubungan Dengan Pemilihan KB Suntik di Desa Kebondalem, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang ”. Rumusan Masalah
Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 34-46
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah “Faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan dengan pemilihan KB suntik di Desa Kebondalem, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang? ”. Tujuan Penelitian Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemilihan KB Suntik di Desa Kebondalem, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang. Tujuan khususnya yaitu : a. Untuk mengetahui gambaran usia responden di Desa Kebondalem b. Untuk mengatahui gambaran tingkat pendidikan responden di Desa Kebondalem c. Untuk mengetahui gambaran tingkat pendapatan responden di Desa Kebondalem d. Untuk mengetahui hubungan usia dengan pemilihan KB suntik. e. Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan pemilihan KB suntik. f. Untuk mengetahui hubungan tingkat pendapatan dengan pemilihan KB suntik METODE PENELITIAN Jenis dan Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional, yaitu melakukan pengamatan atau pengukuran terhadap berbagai variabel subyek penelitian menurut keadaan ilmiah tanpa melakukan intervensi (Sastroasmoro, 2002). Dengan menggunakan pendekatan cross sectional yaitu variabel sebab atau risiko dan akibat atau kasus yang terjadi pada obyek penelitian diukur atau dikumpulkan secara simultan (dalam waktu yang bersamaan) (Notoatmodjo, 2005).
36
Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/ subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2007). Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah ibu akseptor KB aktif di Desa Kebondalem, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang. Dalam penelitian ini jumlah populasinya sebanyak 797 akseptor pada tahun 2009. Sampel Sampel
dan
Teknik
Pengambilan
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2007). Sampel yang digunaka dalam penelitian ini adalah sebagian dari ibu akseptor KB aktif di Desa Kebondalem, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang.Untuk menentukan besar sampel pada penelitian dengan populasi lebih kecil dari 10.000 menggunakan rumus: (1 − ) = ( − 1) + (1 − ) Keterangan : S = Jumlah sampel yang diinginkan N = Anggota populasi P = 0,05 D = 1,96 X = Nilai X, derajat kebebasan maksimum 30 =
10 . 797.0,05(1 − 0.05) 1,96 (797 − 1) + 10 . 0.05(1 − 0.05) 100.797.0,05(0,95) = 3,8025(796) + 100.0,05(0,95) 3785,77 = 3057,91 + 4,75 3785,77 = 55,34 = 68,408927
Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 34-46
Sehingga jumlah sampel yang ditemukan dibulatkan menjadi 68 orang Untuk teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan simple random sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dengan cara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam anggota populasi (Hidayat, 2007). Dalam menentukan sampel yang diambil dalam penelitian ini menggunakan cara undi. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kebondalem, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang pada bulan Juli 2010. Instrumen Penelitian Menurut Notoatmodjo (2002), “Instrumen adalah alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data. Instrumen penelitian ini dapat berupa : kuesioner (daftar pertanyaan). Pada penelitian ini yang digunakan sebagai alat ukur untuk mengumpulkan data adalah kuesioner. Kuesioner disini diartikan sebagai daftar pertanyaan yang sudah tersusun dengan baik, sudah matang, dimana responden tinggal memberikan jawaban atau dengan memberikan tandatanda tertentu (Notoatmodjo, 2002). Kuesioner dalam penelitian ini meliputi: pertanyaan tentang identitas, usia responden, tingkat pendidikan responden, pendapatan responden dan metode kontrasepsi yang digunakan pleh responden. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer yaitu dengan pembagian kuesioner kepada responden akseptor KB aktif, kemudian hasilnya dituliskan pada lembar dokumentasi. Data
37
sekunder yaitu dengan buku bantu registrasi KB bidan Desa Kebondalem. Pengumpulan data melalui tahap-tahap : 1. Tahap Persiapan Mengurus perijinan kepada pemimpin wilayah setempat dan pemimpin institusi penelitian. 2. Melakukan survey pendahuluan 3. Menyusun kuesioner penelitian 4. Tahap Pelaksanaan a. Menyerahkan surat izin penelitian b. Menetapkan sampel penelitian c. Menentukan pertemuan dengan bidan setempat d. Penyebaran kuesioner sekalian pengumpulan kuesioner e. Memperoses dan menganalisa data Setelah data terkumpul dilakukan tabulasi selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisa data. Metode Pengolahan dan Analisis Data 1. Metode pengolahan data Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data, langkah selanjutnya adalah melakukan pengolahan data yang meliputi empat langkah, yaitu : a. Pengumpulan dan penyusunan data Untuk memudahkan penilaian dan pengecekan, apakah semua data yang diperlukan dalam mencapai tujuan penelitian itu sudah lengkap, maka perlu dilakukan seleksi dan penyusunan data. Data diambil dari lembar wawancara yang sudah diisi. b. Pengkodean (coding) Coding yaitu memberi tanda kode untuk memudahkan pengolahan data. Data yang terkumpul dikelompokkan menurut variabel yang telah ditentukan. Responden usia < 20 tahun diberi kode 1, usia 20-30 tahun diberi kode 2, dan usia > 30 tahun diberi kode 3. Responden yang tidak sekolah-tamat SD diberi kode 1, tamat SLTP-SLTA diberi kode 2, tamat Diploma atau Perguruan Tinggi diberi kode 3. Responden dengan pendapatan Rp. Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 34-46
838.500; diberi kode 0 dan yang pendapatan ≥ Rp. 838.500; diberi kode 1. Responden yang menggunakan KB suntik diberi kode 0 dan yang tidak menggunakan KB suntik diberi kode 1. c. Transfering Data yang telah dikode dimasukkan ke dalam komputer, kemudian data tersebut diolah dengan program komputer. Program yang akan digunakan adalah SPSS. d. Tabulasi (Tabulating) Menyusun dan menghitung data hasil coding untuk kemudian disajikan dalam bentuk tabel. 2. Analisa data Analisa data pada penelitian ini menggunakan sistem komputer program SPSS versi 11.0 for windows, yaitu dengan: a. Analisa Univariat. Analisa univariat merupakan suatu analisa data yang hanya menghasilkan distribusi dan presentase dari variabel yang diteliti menggambarkan tentang variabel independen (usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan) dan variabel dependen (pemilihan kontrasepsi KB suntik). b. Analisa Bivariat Analisa bivariat merupakan analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmojo, 2005). Analisa bivariat dalam penelitian ini menggunakan uji Chi Square. Pada analisis ini dilihat hubungan antara dua variabel yaitu variabel independen dan variabel dependen. Dalam menganalisa bivariat, karena variabel independen dan variabel dependen terdiri atas skala kategori maka digunakan uji data Chi Square dengan program SPSS atau dengan rumus:
38
(
)
Keterangan: : Chi Square f0 : Frekuensi yang diobservasi dalam kategori ke-1 fh : Frekuensi yang diharapkan dibawah H0 dalam kategori ke-2 Untuk mengetahui hubungan antara variabel pada penelitian ini, dengan cara membandingkan nilai p dengan α = 0,05 yaitu: 1. Bila p value ≤ α (0,05), maka Ho ditolak, berarti ada hubungan antara variabel independen (usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan) dengan variabel dependen (pemilihan kontrasepsi KB suntik). 2. Bila p value > α (0,05), maka Ho gagal ditolak, berarti tidak ada hubungan antara variabel independen (usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan) dengan variabel dependen (pemilihan kontrasepsi KB suntik). Apabila dengan uji Chi-Square tidak memenuhi syarat maka dilakukan uji statistik dengan Kolmogorov-Smirnov test. Etika Penelitian Menurut Setiawan (2010), penelitian menggunakan obyek manusia yang memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya, maka peneliti harus memahami hak-hak dasar manusia. Adapun hak-hak dasar tersebut antara lain: 1. Informed consent (lembar persetujuan) Lembar persetujuan antara responden dengan peneliti diberikan sebelum penelitian berlangsung dimana hal ini bertujuan agar subyek mengerti maksud dan tujuan peneliti dan mengerti dampaknya. Jika subyek bersedia maka mereka harus bersedia menghormati hak responden dan tidak memaksa. 2. Anonimity (tanpa nama)
Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 34-46
Memberikan jaminan dalam penggunaan subyek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menulis kode.
3. Confidentiality (kerahasiaan) Sesuai informasi yang dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya sekelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil penelitian.
HASIL PENELITIAN Analisa Univariat 1. Usia Responden Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia di Desa Kebondalem Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang Tahun 2010 Usia (Tahun) Frekuensi Persentase (%) < 20 1 1,4 20-30 45 66,2 >30 22 32,4 Total 68 100,0 Pada tabel 5.1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berusia antara 20-30 tahun, yaitu sebesar 66,2% (45 responden), 22 responden berusia > 30
tahun. Dan presentase paling kecil yaitu responden berusia < 20 tahun, yaitu 1,5% (1 responden).
2. Tingkat Pendidikan Responden Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Kebondalem Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang Tahun 2010 Tingkat pendidikan Frekuensi Persentase (%) Rendah 23 33,8 Menengah 43 63,2 Tinggi 2 3,0 Total 68 100,0 Pada tabel 5.2 dapat dilihat bahwa, kebawah) sebesar 33,8% (23 sebagian besar responden memiliki responden), dan presentase paling kecil tingkat pendidikan menengah (tamat yaitu responden dengan tingkat SLTP-SLTA), yaitu sebesar 63,2% (43 pendidikan tinggi (Tamat Diploma atau responden). Responden dengan tingkat Perguruan Tinggi) yaitu sebesar 3,0% pendidikan rendah (Tamat SD (2 responden) . 3. Tingkat Pendapatan Responden Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat pendapatan di Desa Kebondalem Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang Tahun 2010 Tingkat pendapatan Frekuensi Persentase (%) < Rp. 838.500 56 82,4 ≥ Rp. 838.500 12 17,6 Total 68 100,0
39
Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 34-46
Pada tabel 5.3 menunjukkan bahwa besar daripada responden dengan presentase responden dengan pendapatan tinggi (≥ Rp. 838.500) yaitu pendapatan rendah (< Rp. 838.500) sebesar 17,65% (12 responden). yaitu 83,36% (56 responden), lebih 4. Jenis Kontrasepsi Responden Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pemilihan KB Suntik di DesaKebondalem Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang Tahun 2010 Pemilihan KB Suntik Frekuensi Persentase (%) Tidak suntik 8 11,8 Suntik 60 88,2 Total 68 100,0 Pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden menggunakan kontrasepsi KB suntik, yaitu sebesar 88,2% (60 responden). Dan sisanya
11,8% (8 responden) menggunakan kontrasepsi selain suntik yaitu KB implan (6 responden) dan KB pil (2 responden).
Analisa Bivariat 1. Hubungan Usia dengan pemilihan KB suntik Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Dan Pemilihan KB Suntik di Desa Kebondalem Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang Tahun 2010 Pemilihan KB suntik Total Tidak suntik Suntik Usia (th) P value f % f % f % <20 0 0,0 1 100,0 1 100 0,940 20-30 4 8,9 41 91,1 45 100 >30 4 18,2 18 81,8 22 100 Total
8
11,8
60
Pada analisa data diketahui bahwa presentase responden yang menggunakan KB suntik dan berusia < 20 tahun sebesar 100% , lebih tinggi dari responden yang berusia 20-30 tahun (91,1%), dan lebih tinggi dari responden yang berusia > 30 tahun yaitu 81,8%. Dapat disimpulkan bahwa semakin muda usia responden, terdapat kecenderungan semakin tinggi presentase pemilihan KB suntik.
88,2
68
100
Analisa data dengan uji statistik Chi-Square, tetapi tidak memenuhi syarat, sehingga dilakukan analisa dengan menggunakan uji KolmogorovSmirnov. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p = 0,940 (p > 0,05). Nilai p > maka Ho gagal ditolak, sehingga disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan pemilihan KB suntik di Desa Kebondalem Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang.
. 2. Hubungan Tingkat pendidikan dengan pemilihan KB suntik Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Dan Pemilihan KB Suntik di Desa Kebondalem Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang Tahun 2010 Pendidikan Pemilihan KB suntik Total P 40
Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 34-46
Rendah Menengah Tinggi Total
Tidak suntik f % 3 13,0 5 11,6 0 0,0 8 11,8
Pada analisa data didapatkan bahwa presentase responden yang menggunakan KB suntik dengan tingkat pendidikan rendah sebesar 87,0%, responden dengan pendidikan menengah 88,4%, dan responden dengan pendidikan tinggi sebesar yaitu 100%. Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan responden maka semakin tinggi presentase pemilihan KB suntik.
Suntik f % 20 87,0 38 88,4 2 100,0 60 88,2
value f 23 43 2 68
% 100 100 100 100
1,000
Uji statistik dilakukan dengan ChiSquare, tetapi tidak memenuhi syarat, sehingga dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p = 1,000 (p > 0,05). Nilai p > maka Ho gagal ditolak, sehingga disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan pemilihan KB suntik di Desa Kebondalem Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang.
3. Hubungan Tingkat pendapatan dengan pemilihan KB suntik Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan Dan Pemilihan KB Suntik di Desa Kebondalem Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang Tahun 2010 Pemilihan KB suntik Total pOR 95% Pendapatan Tidak suntik Suntik value CI f % f % f %
1. Usia Pada hasil penelitian (tabel 5.1), menunjukkan bahwa sebagian besar responden berusia antara 20-30 tahun, yaitu sebesar 66,2% (45 responden), 32,4% (22 responden) berusia > 30 tahun. Dan presentase paling kecil yaitu responden berusia < 20 tahun, yaitu 1,5% (1 responden). Pada usia 20-30 tahun wanita pada masa reproduksi sehat, dimana alat reproduksi berfungsi maksimal. Dimana para wanita pada usia tersebut dianjurkan untuk menjarangkan kehamilan dengan menjadi akseptor KB aktif. Menurut Nursalam (2003), semakin tua umur seseorang semakin konstruktif dalam menggunakan koping terhadap masalah yang dihadapi. Semakin muda Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 34-46
umur seseorang dalam menghadapi masalah maka akan sangat mempengaruhi konsep dirinya. Umur dipandang sebagai suatu keadaan yang menjadi dasar kematangan dan perkembangan seseorang. Pada umumnya umur akan mempengaruhi seseorang dalam menentukan pemilihan alat kontrasepsi karena biasanya ibu dengan usia muda (baru pertama kali menggunakan alat kontrasepsi) akan cenderung memilih alat kontrasepsi yang digunakan banyak orang. 2. Tingkat Pendidikan Pendidikan menurut Sugihartono (2007), adalah suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk mengubah tingkah laku manusia baik secara individu maupun kelompok untuk mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pada hasil penelitian (tabel 5.2), dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan menengah (tamat SLTP-SLTA), yaitu sebesar 63,2% (43 responden). Responden dengan tingkat pendidikan rendah (Tamat SD kebawah) 33,8% (23 responden), dan presentase paling kecil yaitu responden dengan tingkat pendidikan tinggi (Tamat Diploma atau Perguruan Tinggi) 3,0% (2 responden). Dari hasil tersebut diketahui bahwa seluruh responden memiliki latar belakang pendidikan, dan tidak buta huruf. Sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh responden dapat menerima informasi dalam bentuk tulisan, seperti: media cetak, leaflet, pamflet maupun poster. Menurut Pendit (2006), tingkat pendidikan tidak saja mempengaruhi kerelaan menggunakan keluarga berencana, tetapi juga pemilihan suatu metode. Dihipotesiskan bahwa wanita yang berpendidikan menginginkan keluarga berencana yang efektif, tetapi tidak rela untuk mengambil resiko yang terkait dengan sebagian metode kontrasepsi modern. 42
3. Tingkat Pendapatan Distribusi pendapatan adalah pengukuran untuk mengukur kemiskinan relatif. Distribusi pendapatan biasanya diperoleh dengan menggabungkan seluruh individu dengan menggunakan skala pendapatan perorang kemudian dibagi dengan jumlah penduduk kedalam kelompokkelompok berbeda yang berdasarkan pengukuran atau jumlah pendapatan yang mereka terima (Remi dan Tjiptoherijanto, 2002). Pada hasil penelitian (tabel 5.3), dapat dilihat bahwa presentase responden dengan pendapatan rendah (< Rp. 838.500) yaitu 83,36% (56 responden), lebih besar daripada responden dengan pendapatan tinggi (≥ Rp. 838.500) yang sebesar 17,65% (12 responden). Seperti kita ketahui, pemerintah telah mengadakan program jaminan kesehatan bagi masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan. Saat ini program tersebut mulai banyak dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Yaitu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan harga lebih terjangkau, terutama oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah kebawah (< UMR). Berbeda dengan masyarakat yang memiliki pendapatan diatas rata-rata (≥ UMR), mereka lebih memilih untuk mendapatkan pelayanan medis di pelayanan-pelayanan kesehatan swasta yang biayanya tentu lebih mahal. Analisa Bivariat 1. Hubungan Usia dengan Pemilihan KB Suntik Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa sebagian besar responden termasuk dalam kelompok usia reproduksi sehat (20-30 tahun), dimana masa tersebut wanita dianjurkan untuk menjarangkan kehamilan dengan kontrasepsi yang mempunyai tingkat Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 34-46
efektivitas tinggi, tetapi juga mempunyai sifat reversibel seperti kontrasepsi suntik. Pada hasil penelitian (tabel 5.5), dapat disimpulkan bahwa semakin muda usia responden, semakin tinggi presentase pemilihan KB suntik. Tetapi, berbeda dengan hasil uji statistik yang didapatkan nilai p = 0,940 (p > 0,05). Dari hasil tersebut, maka Ho gagal ditolak, sehingga disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan pemilihan KB suntik di Desa Kebondalem Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang. Penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian Nuraidah (2000), tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan pemilihan alat kontrasepsi pada akseptor KB di Kelurahan Pasir Putih dan Bungo Timur Kecamatan Muara Bungo Kabupaten Bungo Jambi, yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia dengan pemilihan metode kontrasepsi tertentu dengan hasil p value = 0,0001. Menurut Hurlock (1996), menyatakan bahwa semakin cukup umur, tingkat kemantapan, kekuatan seseorang maka akan semakin matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya dari orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman kematangan jiwanya, dimana pada akseptor yang berusia dewasa dini akan lebih memahami kontrasepsi yang lebih sering digunakan oleh masyarakat sehingga mereka lebih cenderung memilih KB suntik. Hasil penelitian ini berbeda dengan teori, hal ini disebabkan karena adanya faktorfaktor lain yang mempengaruhi pemilihan metode KB suntik diantaranya adalah faktor budaya (pendidikan), pendapatan, faktor kesehatan umum, keagamaan, hukum, dan faktor hubungan (hubungan dengan pasangan). 43
2. Hubungan Tingkat Pendidikan Dan Pemilihan Suntik Pada hasil analisa data (tabel 5.5), dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan responden maka semakin tinggi presentase pemilihan KB suntik. Namun, pada uji statistik didapatkan nilai p = 1,000 (p> 0,05), yang berarti Ho gagal ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan pemilihan KB suntik di Desa Kebondalem Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang. Hasil penelitian tersebut berbeda dengan pendapat Pendit (2006), yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan tidak saja mempengaruhi kerelaan menggunakan keluarga berencana, tetapi juga pemilihan suatu metode KB. Dihipotesiskan bahwa wanita yang berpendidikan menginginkan metode keluarga berencana yang efektif, tetapi tidak rela untuk mengambil resiko yang terkait dengan sebagian metode kontrasepsi modern. Demikian halnya dengan Keluarga Berencana, seorang yang berpendidikan tinggi terutama pendidikan kesehatan akan lebih mudah dalam menerima informasi yang berkaitan dengan kesehatan pula, terutama tentang KB. Sehingga lebih mengerti manfaat dari setiap metode kontrasepsi dan akan memilih metode kontrasepsi yang lebih efektif, aman dan jangka waktu lebih lama. Hal itu sependapat dengan ungkapan (Koentjoroningrat, 2007) bahwa seorang wanita dengan pendidikan tinggi maka akan semakin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki, sebaliknya makin rendah atau kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan. Disamping tingkat pendidikan, pengetahuan responden tentang macammacam kontrasepsi, efek samping dan Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 34-46
kontra indikasi dari berbagai metode kontrasepsi juga mempengaruhi responden dalam pemilihan metode kontrasepsi tertentu. Sehingga pada calon akseptor dengan pengetahuan terbatas cenderung lebih memilih metode kontrasepsi yang digunakan banyak orang daripada metode kontrasepsi yang lebih sesuai. 3. Hubungan Tingkat Pendapatan dan Pemilihan KB suntik Pada hasil penelitian (tabel 5.7), disimpulkan bahwa responden dengan pendapatan rendah dan memilih metode KB suntik lebih banyak daripada responden dengan pendapatan tinggi dan memilih KB suntik. Hasil penelitian sama dengan hasil uji statistik dengan Chi-Square, yang didapatkan nilai p = 0,028 (p< 0,05). Dari hasil uji statistik tersebut maka Ho ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan pemilihan KB suntik di Desa Kebondalem Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang. Berdasarkan teori Green (1980), ekonomi keluarga termasuk dalam predisposising factors yang mempengaruhi perilaku kesehatan termasuk didalamnya akseptor KB yang berkaitan dengan daya beli alat, obat dan pelayanan KB. Secara sepintas biaya yang dikeluarkan untuk metode kontrasepsi jangka panjang relatif lebih banyak dibandingkan dengan metode kontrasepsi non jangka panjang (suntik). Namun, bila dicermati biaya yang dikeluarkan untuk kontrasepsi non jangka panjang (suntik) lebih mahal. Hanya saja biaya tersebut dikeluarkan secara berkala sehingga terkesan relatif lebih murah. Hal ini sependapat dengan salah satu studi pada orang Indian Quechua di Peru, dimana sebagian pasangan menyatakan bahwa mereka lebih memilih metode kontrasepsi tradisional daripada metode modern karena perbedaan biaya (Pendit, 2006).
44
Keterbatasan Penelitian Peneliti menyadari bahwa dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini terdapat keterbatasan. Adapun keterbatasan peneliti yaitu keterbatasan waktu dan kemampuan peneliti dalam memperoleh sumber pustaka sehingga penelitian yang dilakukan hanya pada tiga variabel (tiga faktor), sehingga tidak diketahui apakah faktor-faktor lain (faktor kesehatan umum, keagamaan, hukum, dan hubungan dengan pasangan) berpengaruh terhadap pemilihan KB suntik di Desa Kebondalem Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan pemilihan KB suntik di Desa Kebondalem Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang yang dilakukan pada bulan Juli 2010, pada 68 responden, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Sebagian besar responden berusia antara 20-30 tahun, yaitu sebesar 66,2% (45 responden), 22 responden berusia > 30 tahun. Dan presentase paling kecil yaitu responden berusia < 20 tahun, yaitu 1,5% (1 responden). 2. Sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan menengah (tamat SLTP-SLTA), yaitu sebesar 63,2% (43 responden). Responden dengan tingkat pendidikan rendah (Tamat SD kebawah) 33,8% (23 responden), dan presentase paling kecil yaitu responden dengan tingkat pendidikan tinggi (Tamat Diploma atau Perguruan Tinggi) 3,0% (2 responden). 3. Presentase responden dengan pendapatan rendah (< Rp. 838.500) lebih besar yaitu 83,36% (56 responden), daripada responden dengan pendapatan tinggi (≥ Rp. 838.500) yang sebesar 17,65% (12 responden). Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 34-46
4.
5.
6.
Tidak ada hubungan antara usia dengan pemilihan KB suntik di Desa Kebondalem Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang, dengan p value = 0,940 ( p > 0,05). Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pemilihan KB suntik di Desa Kebondalem Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang, dengan p value = 1,000 ( p > 0,05). Ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan pemilihan KB suntik di Desa Kebondalem Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang, dengan p value = 0,028 ( p < 0,05).
Al-Mighwar, Muhammad. 2006. Psikologi Remaja. Bandung : Pustaka Setia Azwar, S. 2002. Sikap Manusia Teori dan Penanganannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar BKKBN. 2009. Statistika Indonesia. Diakses pada tanggal 13 Maret 2010 dari http://pustaka.bkkbn.go.id/index.php? option=com_conten&task=view&id=1 06&itemid=9 Depkeu. 2009. UMR Kabupaten Semarang. Diakses pada tanggal 13 Maret 2010 dari http://allows.wordpress.com/2009/01/ 12/informasiUMR
Saran 1. Bagi tenaga kesehatan Diharapkan pada petugas kesehatan terutama bidan (pemberi pelayanan KB), untuk mengaktifkan konseling (pendidikan kesehatan) yang berkaitan dengan KB (macam-macam, indikasi, kontra indikasi, lama pemakaian, efek samping dan biaya pelayanan). 2. Bagi peneliti selanjutnya Diharapkan untuk meneliti pada faktor-faktor lain yang mempengaruhi pemilihan kontrasepsi, khususnya KB suntik. Yaitu: faktor kesehatan umum, keagamaan, hukum, dan faktor hubungan (hubungan dengan pasangan). 3. Bagi Institusi Pendidikan Diharapkan untuk dapat menambahkan materi atau pustaka tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan pemilihan metode kontrasepsi terutama kontrasepsi suntik. 4. Bagi masyarakat Terutama akseptor KB, diharapkan untuk dapat mencari informasi tentang KB. Sehingga dapat memilih dan menggunakan KB secara tepat. DAFTAR PUSTAKA
45
Setiani, Fibrianika. 2009. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan KB Suntik di BPS Ny. Sri Kustinah Ngaliyan Semarang : Semarang Hartanto, Hanafi. 2004. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan Hastono, S. 2001. Analisis Data. Depok : Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Hidayat. 2007. Metode Penelitian dan Analisa Data untuk Kesehatan. Yogjakarta: Fitramaya Hurlock, EB. 1999. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Nuraidah. 2000. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi di Kelurahan Pasir Putih dan Bungo Timur Kecamatan Muara Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 34-46
Bungo Kabupaten Bungo Jambi. Diakses pada tanggal 18 Agustus 2010 dari http://etd.eprints.ums.ac.id/6438/J2100 70103pdf. Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika Pendit, Bhram U. 2006. Ragam Metode Kontrasepsi. Jakarta : EGC Saifuddin, Abdul Bari. 2003. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Sastroasmoro, Sudigdo. 2002. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta; Sagung Seto Siswanto, Y. 2008. Modul Mata Kuliah Statistik Kesehatan. Semarang : Prodi
46
Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo Ungaran Sugiyono. 2007. Statistika Penelitian. Bandung: Alfabeta
untuk
Suyanto & Salamah, Ummi. 2008. Riset Kebidanan Metodologi dan Aplikasi. Jogjakarta : Mitra Cendikia Varney, Helen, dkk. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan edisi 4 vol 1. Jakarta : EGC Wiki. 2009. Demografi Indonesia. Diakses pada tanggal 13 Maret 2010 pukul 19.30 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Demografi _indonesia(2009) Wiknjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kebidanan edisi Ketiga Catatan Ketujuh. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 34-46
ISSN 2008-5156, Vol.3 N0 1, Januari 2012 STUDI DISKRIPTIF FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KECEMASAN DALAM MENGHADAPI MENOPAUSE DI DESA TINGKIR LOR KECAMATAN TINGKIR KOTA SALATIGA TAHUN 2010 Ari Andayani1), Aulia Muharohmah2) Akademi Kebidanan Ngudi Waluyo Email:up2m@akbidngudiwaluyo ABSTRAK STUDI DISKRIPTIF FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KECEMASAN DALAM MENGHADAPI MENOPAUSE DI DESA TINGKIR LOR KECAMATAN TINGKIR KOTA SALATIGA TAHUN 2010. Kecamasan menghadapi menopause adalah kecemasan yang dirasakan wanita ketika masa menopausenya akan tiba. Menopause adalah berhentinya menstruasi. Kecemasan yang muncul pada wanita menopause sering dihubungkan dengan adanya kekhawatiran dalam menghadapi suatu situasi yang sebelumnya tidak pernah dikhawatirkan. Faktor-faktor penyebab kecemasan menghadapi menopause adalah pendidikan, lingkungan, pengetahuan, status ekonomi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan Cross Secsional untuk mengambil data. Pengambilan sampel dengan teknik Sampling Jenuh. Kemudian data dianalisis dengan uji Chi Kudrat. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara pendidikan dengan kecemasan dengan p = 0.036 (p < 0,05), ada hubungan antara lingkungan dengan kecemasan dengan p = 0,002 (p < 0,05), ada hubungan antara pengetahuan dengan kecemasan dengan p = 0,004 (p < 0,05), ada hubungan antara status ekonomi dengan kecemasan dengan p = 0,009 (p < 0,05). Dengan demikian ada hubungan antara pendidikan, lingkungan, pengetahuan, status ekonomi dengan tingkat kecemasan ibu dalam menghadapi menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga. Hendaknya masyarakat khususnya para wanita pre-menopause menyadari bahwa kejadian menopause terjadi pada wanita. Yang terpenting adalah mempersiapkan diri menghadapi masa menopause dengan cara : menghindari stress, berkonsultasi dengan tenaga kesehatan, mencari informasi tentang hal-hal yang berhubungan degan menopause. Kata Kunci
: Kecemasan Menghadapi Menopause
PENDAHULUAN Latar Belakang Wanita adalah makhluk bio-psikososial-kultural dan spiritual yang utuh dan unik, mempunyai kebutuhan dasar yang bermacam-macam sesuai dengan tingkat perkembangannya. Wanita merupakan penerus generasi keluarga dan bangsa, sehingga wanita tidak akan terlepas dari pemeliharaan kesehatan yang lebih intensif (IBI, 2006). 29
Pada dasarnya wanita mempunyai organ reproduksi yang merupakan bagian yang sangat kompleks dan vital dalam kehidupannya. Organ reproduksi yang sangat kompleks tersebut merupakan bagian utama pada manusia yang berfungsi untuk memperoleh keturunan (Andira, 2010). Menurut Putri (2010), organ reproduksi wanita terdiri dari indung telur (ovarium) dan uterus serta saluran–saluran berhubungan dengan keduanya. Bagian dalam uterus yang disebut endometrium Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 47-61
akan meluruh jika tidak terjadi kehamilan dan akan terjadi menstruasi. Menstruasi atau yang kita kenal dengan istilah haid adalah kejadian alamiah yang terjadi pada wanita. Menstruasi mengacu kepada pengeluaran secara periodik darah dan sel-sel tubuh dari vagina yang berasal dari dinding rahim wanita. Menstruasi berlangsung kira-kira sebulan sekali sampai wanita mencapai usia 45-50 tahun dan hal ini tergantung pada kesehatan serta pengaruh-pengaruh lainnya. Akhir dari kemampuan wanita untuk menstruasi disebut menopause dan menandai akhir dari masa kehamilan seorang wanita (Maulana, 2009). Menopause merupakan suatu proses peralihan dari masa produktif menuju perlahan-lahan ke masa non-produktif. Menopause digunakan untuk menyatakan suatu perubahan hidup dan pada saat itulah seorang wanita mengalami periode terakhir masa haid. Selama masa menopause, terdapat perubahan dalam keseimbangan hormon, dengan pengurangan jumlah estrogen yang diproduksi indung telur. Akhirnya ada tingkat produksi estrogen yang begitu rendah sehingga haid menjadi tidak teratur, dan akhirnya berhenti (Baziat, 2000). Bagi sebagian wanita, menopause juga dianggap sebagai awal dari mimpi buruknya dalam hidup. Biasanya, menopause terjadi pada wanita mulai usia 45 hingga 55 tahun. Masa menopause tidak bisa serta merta diketahui, tetapi biasanya akan diketahui setelah setahun berlalu (Andira, 2010). Menurut Smart (2010), beberapa wanita mengalami transisi yang mulus dengan sedikit ketidaknyamanan fisik yang terjadi sejalan dengan masa menopause sudah tentu menimbulkan kesan yang lebih mendalam bagi kehidupan wanita. Timbulnya perasaan tidak berharga, tidak berarti, dan semacamnya memunculkan kekhawatiran tersendiri. Mereka khawatir akan adanya kemungkinan bahwa orangorang yang dicintainya akan meninggalkannya. Kekhawatiran yang 30
mereka rasakan akan menjadikan suatu kecemasan yang berlanjut. Menurut Caplin (2001), kecemasan dapat dijelaskan dalam berbagai arti, pertama adalah perasaan campuran yang biasanya berisi ketakutan dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab khusus. tentang masa mendatang atau pada hal-hal yang akan terjadi, di mana perasaan tersebut dimunculkan tanpa adanya sebab. Kecemasan sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya, keadaan emosi ini tidak memiliki obyek yang spesifik, kondisi dialami secara subyektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal. Kecemasan beda dengan rasa takut, yang merupakan penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berbeda (Stuart dan Sundeen, 2002). Kecemasan menopause dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Stuart dan Sundeen (2002), faktor yang mempengaruhi kecemasan yaitu, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi pengetahuan, lingkungan, pendidikan dan status ekonomi. Menurut Notoatmodjo (2005), pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan melalui panca indra manusia yakni pendengaran, penciuman, penglihatan, raba, dan rasa terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan tentang menopause sangat penting untuk mempersiapkan fisik dan psikologis agar lebih siap dan kemunngkinan terjadi rasa khawatir dan cemas sangat kecil karena sudah berusaha untuk beradaptasi dengan perubahan yang dialaminya. Pengetahuan tidak akan terlepas pengaruh lingkungan. Menurut IBI (2006), lingkungan merupakan semua yang ada dilingkungan dan terlibat dalam interaksi individu pada waktu melaksanakan aktifitasnya. Lingkungan tersebut meliputi lingkungan fisik, lingkungan psikososial, lingkungan biologis dan lingkungan budaya. Lingkungan yang paling penting dalam hal ini adalah keluarga yang memberikan Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 47-61
support sehingga akan membantu kesiapan saat menopause. Lingkungan juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang merupakan proses bantuan yang diberikan seseorang untuk mencapai kemandirian (Kusmiati, 1990). Tingkat pendidikan yang rendah pada seseorang akan memudahkan orang tersebut mengalami kecemasan. Tinggi rendahnya pendidikan sangat dipengaruhi oleh status ekonomi yang dimiliki, dimana semakin tinggi tingkat ekonomi semakin mudah seseorang mengalami kecemasan. Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Salatiga dari 10 menopause, terdapat 7 (70%) wanita mengalami kecemasan dalam menghadapi menopause, sedangkan 3 (30%) wanita lainnya tidak mengalami kecemasan dalam menghadapi menopause. Berdasarkan latar belakang yang ada, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kecemasan Ibu dalam Menghadapi Menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga”. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: “ Apakah Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kecemasan Ibu dalam Menghadapi Menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga?”. Tujuan Penelitian Tujuan umum yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kecemasan ibu dalam menghadapi menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga. Tujuan khususnya untuk : a. Mengidentifikasi gambaran pengetahuan terhadap kecemasan ibu dalam mengahadapi menopause.
31
b. Mengidentifikasi gambaran lingkungan terhadap kecemasan ibu dalam mengahadapi menopause. c. Mengidentifikasi gambaran pendidikan terhadap kecemasan ibu dalam menghadapi menopause. d. Mengidentifikasi gambaran status ekonomi terhadap kecemasan ibu dalam menghadapi menopause. e. Mengetahui hubungan pengetahuan terhadap kecemasan. f. Mengetahui hubungan lingkungan terhadap kecemasan. g. Mengetahui hubungan pendidikan terhadap kecemasan. h. Mengetahui hubungan status ekonomi terhadap kecemasan. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Jenis penelitian ini menggunakan deskriptif korelatif yaitu suatu rancangan penelitian dengan menggambarkan masalah yang terjadi pada kasus tertentu berhubungan dengan distribusinya (Hidayat, 2003). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan Cross Sectional karena peneliti mengidentifikasi variabel-variabel yang termasuk faktor resiko pada waktu yang sama. Dimana dalam penelitian ini yang menjadi faktor resiko adalah faktor yang mempengaruhi kecemasan terhadap menopause (Notoatmodjo, 2005). Populasi penelitian Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2007). Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga yaitu sebanyak 47 responden. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 47-61
Apa yang dipelajari dari sampel, kesimpulannya dapat diberlakukan untuk populasi. Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif (mewakili) (Arikunto, 2006). Pada penelitian ini peneliti mengambil sampel dengan teknik Sampling Jenuh, yaitu teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (Setiawan dan Saryono, 2010), yaitu ibu-ibu menopause yang bersedia menjadi responden di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga pada bulan Agustus 2010. Kisi-kisi kuesioner adalah sebagai berikut: Jumlah No. No Jenis Pertanyaan Soal Soal 1. Pengetahuan 10 1-10 2. Lingkungan 10 1-10 3. Pendidikan 1 4. Status Ekonomi 1 5. Kecemasan 10 1-10 Maka untuk memperoleh data yang valid perlu dilakukan uji validitas dan relibilitas. 1. Uji Validitas Menurut Setiawan dan Saryono (2010), validitas merupakan sustu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur. Uji validitas dilakukan setelah kuesioner disebar kepada semua ibu menopause yang berjumlah 20 responden di Desa Tingkir Tengah Kecamatan Tingkir Kota Salatiga. Menurut Arikunto (2006), rumus yang digunakan uji validitas ini adalah rumus product moment:
Keterangan: r = koefesien korelasi N = jumlah sampel X = skor jawaban Y = skor total 32
Alat Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kuesioner. Kuesioner adalah suatu cara pengumpulan data atau suatu penelitian mengenai masalah yang umumnya banyak menyangkut kepentingan umum atau banyak orang dan kuesioner ini langsung diisi sendiri oleh orang yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2005). Alat pengumpulan data pada penelitian ini berupa kuesioner yang sudah ditentukan secara terstruktur dan dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan konsep teori.
Jenis Soal Favorabel Unfavorabel 2, 3, 6, 8, 10 1, 4, 5, 7, 9 1, 2, 4, 5, 9. 3, 6, 7, 8, 10
1, 3, 4, 6, 8
2, 5, 7, 9, 10
XY = skor jawaban dikalikan skor total Setelah diperoleh harga r hitung, selanjutnya untuk dapat diputuskan instrumen tersebut valid atau tidak, harga tersebut dikonsultasikan dengan harga r tabel. Karena r hitung lebih dari r tabel untuk taraf kesalahan 5% maupun 1% yaitu 0,843 > 0,444 maka dapat disimpulkan instrumen kemampuan kerja tersebut valid dan dapat dipergunakan untuk penelitian (Sugiyono, 2007). 2. Uji Reabilitas Reabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Setiawan dan Saryono, 2010). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan rumus Spearman-Brown, Menurut Arikunto (2006), yaitu:
Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 47-61
Keterangan: r11 = Realibitas Instrumen. rb = Korelasi product moment antara dua belahan instrument. Dari hasil penelitian, apabila nilai koefisien realibilitas lebih besar dari 0,6 maka instrumen dinyatakan valid. Etika Penelitian 1. Inform concent (Lembar Persetujuan) Sebelum melakukan penelitian ini diedarkan lembaran persetujuan untuk menjadi responden dengan tujuan agar responden mengerti maksud dan tujuan penelitian. 2. Anonimity (Tanpa Nama) Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan nama responden dalam pengelolaan data penelitian. Peneliti menggunakan nomor atau kode responden. 3. Confidentiality (Kerahasiaan) Informasi yang diberikan oleh responden serta semua data yang telah terkumpul dijamin kerahasiaannya oleh peneliti
dimasukkan ke dalam lembaran tabel kerja untuk memudahkan dalam pengolahan data. 3. Tabulating (Menyusun Data) Kegiatan memasukkan data hasil penelitian ke dalam tabel kemudian diolah dengan bantuan computer. 4. Entering (Memasukkan Data) Entering merupakan kegiatan memasukkan data-data hasil penelitian ke dalam komputer melalui program SPSS yang sebelumnya dilakukan analisis dengan komputer dan dilakukan pengecekan ulang terhadap data yang meliputi variabel penelitian (independen) dan jawaban responden. Analisa Data 1. Analisis Univariat yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel. 2. Analisis Bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau korelasi. Menurut Arikunto (2006), rumus yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi Chi Kuadrat (X2) :
Teknik Pengolahan Data Pengolahan data dapat dilakukan dengan tahap: 1. Editing (Memeriksa Data) Peneliti memeriksa seluruh data, menghindari pengukuran yang salah dari data yang telah dikumpulkan, serta memperjelas data yang diperoleh. Hal ini dilakukan ditempat pengupulan data sehingga bila ada kekurangan segera dapat dilengkapi. 2. Coding (Pemberian Kode) Untuk memudahkan dalam pengolahan data, data yang diperoleh diberi kode sesuai dengan karakter masing-masing dan mengklasifikasikan data menurut jenisnya. Kemudian . 33
Keterangan: X2 = Chi Kuadrat f0 = Frekuensi yang diobservasi fh = Frekuensi yang diharapkan HASIL PENELITIAN Bab ini akan menguraikan secara lengkap hasil penelitian yang diperoleh dari perhitungan. Sebagai responden adalah ibu menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga, yaitu sejumlah 47 orang. Hasil penelitian terdiri dari dua bagian, yaitu analisis uniariat dan analisis bivariat.
Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 47-61
Analisis Univariat 1. Pendidikan Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan Responden ibu Menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Bulan Juni 2010. Pendidikan SD SMP SMA Perguruan Tinggi Jumlah
Jumlah
Persentase (%)
6 16 20 5 47
12,8 34,0 42,6 10,6 100
Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden ibu Menopause di Desa
Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Bulan Juni 2010 berpendidikan SMA, yaitu sejumlah 20 orang (42,6%).
2. Lingkungan Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kondisi Lingkungan Responden ibu Menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Bulan Juni 2010. Lingkungan Mendukung Kurang Mendukung Tidak Mendukung Jumlah
Jumlah
Persentase (%)
34 11 2 47
72,3 23,4 04,3 100
Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden ibu Menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Bulan Juni 2010 merasakan bahwa kondisi lingkungannya
mendukung, yaitu sejumlah 34 orang (72,3%), sedangkan responden yang merasa kondisi lingkungannya kurang mendukung sejumlah 11 orang (23,4%) dan lingkungan yang tidak mendukung sejumlah 2 orang (04,3%).
3. Pengetahuan Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pengetahuan Responden Ibu Menopause tentang Menapause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Bulan Juni 2010. Pengetahuan Rendah Sedang Tinggi Jumlah Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa sebagian besar pengetahuan responden ibu Menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir 34
Jumlah
Persentase (%)
8 16 23 47
17,0 34,0 49,0 100 Kota Salatiga Bulan Juni 2010 tentang menapause dalam kategori tinggi, yaitu sejumlah 23 orang (49,0%), sedangkan responden yang mempunyai
Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 47-61
pengetahuan sedang sejumlah 16 orang (34,0%), dan pengetahuan rendah
sejumlah 8 orang (17,0%).
4. Status Ekonomi Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Ekonomi Responden ibu Menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Bulan Juni 2010. Status Ekonomi Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Jumlah
Persentase (%)
9 14 24 47
19,2 29,8 51,0 100
Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden ibu Menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Bulan Juni 2010 mempunyai status ekonomi tinggi, yaitu sejumlah
24 orang (51,0%), sedangkan responden yang mempunyai status ekonomi sedang 14 orang (29,8%) dan responden yang mempunyai status ekonomi rendah sejumlah 9 orang (19,2%).
5. Kecemasan Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Kecemasan dalam Menhadapi Menapause pada Ibu Menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Bulan Juni 2010. Tingkat Kecemasan Ringan Sedang Berat Jumlah Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden ibu Menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Bulan Juni 2010 dalam menghadapi menopause mengalami cemas sedang, yaitu sejumlah 29 orang (61,7%), sedangkan responden yang mengalami cemas berat sejumlah 10 orang (21,3%), dan yang mengalami cemas ringan sejumlah 8 orang (17,0%).
Jumlah
Persentase (%)
8 29 10 47
17,0 61,7 21,3 100
Analisis Bivariat Pada analisis bivariat ini akan dibahas tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kecemasa ibu dalam menghadapi menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Bulan Juni 2010. Faktor-faktor tersebut meliputi pendidikan, status ekonomi, pengetahuan, dan lingkungan.
1. Hubungan Pendidikan dengan Tingkat Kecemasan Tabel 5.6 Hubungan Pendidikan dengan Tingkat Kecemasan Ibu dalam Menghadapi Menapause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Bulan Juni 2010. Tingkat Kecemasan pPendidikan Ringan Sedang Berat Total R value f % f % f % f % 35
Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 47-61
SD SMP SMA PT Jumlah
1 2 2 3 8
16,7 12,5 10,0 60,0 17,0
1 11 15 2 29
16,7 4 68,7 3 75,0 3 40,0 0 61,7 10
Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui bahwa ibu yang berpendidikan SD yang mengalami cemas berat sejumlah 66,7%, sedangkan ibu yang berpendidikan SMP yang mengalami cemas berat sejumlah 18,7%, selanjutnya ibu yang berpendidikan SMA yang mengalami cemas berat sejumlah 15,0%, dan ibu yang berpendidikan perguruan tinggi tidak ada yang mengalami cemas berat. Ini menunjukkan bahwa jika pendidikan ibu semakin tinggi maka peluang mengalami cemas berat akan semakin kecil. Dari hasil uji korelasi Chi Kuadrat didapatkan r = -0,325 dengan p-value
66,7 18,7 15,0 0 21,3
6 16 20 5 47
100 -0,325 0,036 100 100 100 100
sebesar 0,036. Oleh karean p-value < 0,05, maka Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan tingkat kecemasan ibu dalam menghadapi menapause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Bulan Juni 2010. Hubungan ini merupakan hubungan yang negatif (karena nilai r bertanda negatif), yang artinya jika pendidikan ibu semakin tinggi maka tingkat kecemasannya akan semakin ringan. Berdasarkan nilai korelasinya hubungan tersebut merupakan hubungan yang lemah karena nilai r-nya terletak antara 0,2000,400.
2. Hubungan Lingkungan dengan Tingkat Kecemasan Tabel 5.7 Hubungan Lingkungan dengan Tingkat Kecemasan Ibu dalam Menghadapi Menapause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Bulan Juni 2010. Tingkat Kecemasan pLingkungan Ringan Sedang Berat Total r value f % f % F % f % Mendukung 8 23,5 21 61,8 5 14,7 34 100 -0,383 0,002 Kurang Mendukung 0 0 8 72,7 3 27,3 11 100 Tidak Mendukung 0 0 0 0 2 100 2 Jumlah 8 17,0 29 68,1 10 21,3 47 100 Berdasarkan tabel 5.7 dapat Dari hasil uji korelasi Chi Kuadrat diketahui bahwa ibu yang merasakan didapatkan r = -0,383 dengan p-value kondisi lingkungannya mendukung sebesar 0,002. Oleh karean p-value < yang mengalami cemas berat sejumlah 0,05, maka Ho ditolak. Hal ini 14,7%, sedangkan ibu yang merasakan menunjukkan bahwa ada hubungan kondisi lingkungannya kurang yang signifikan antara lingkungan mendukung yang mengalami cemas dengan tingkat kecemasan ibu dalam berat sejumlah 27,3% dan ibu yang menghadapi menapause di Desa Tingkir merasakan kondisi lingkungannya tidak Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga mendukung mengalami cemas berat Bulan Juni 2010. Hubungan ini 100%. Ini menunjukkan bahwa jika merupakan hubungan yang negatif lingkungan ibu semakin mendukung (karena nilai r bertanda negatif), yang maka peluang mengalami cemas berat artinya jika pengetahuan ibu semakin akan semakin kecil. tinggi maka tingkat kecemasannya akan semakin ringan. Berdasarkan nilai 36
Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 47-61
korelasinya merupakan
hubungan tersebut hubungan yang lemah
karena nilai r-nya terletak antara 0,2000,400.
3. Hubungan Pengetahuan dengan Tingkat Kecemasan Tabel 5.8 Hubungan Pengetahuan dengan Tingkat Kecemasan Ibu Menapause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota 2010. Tingkat Kecemasan Pengetahuan Ringan Sedang Berat Total r f % f % F % f % Rendah 1 12,5 0 0 7 87,5 8 100 -0,391 Sedang 1 6,3 13 81,3 2 12,5 16 100 Tinggi 6 26,1 15 65,2 2 8,7 23 100 Jumlah 8 17,0 28 59,6 11 23,4 47 100 Berdasarkan tabel 5.8 dapat diketahui bahwa ibu yang mempunyai pengetahuan rendah yang mengalami cemas berat sejumlah 87,5%, sedangkan ibu yang mempunyai pengetahuan sedang yang mengalami cemas berat sejumlah 12,5%, dan ibu yang mempunyai pengetahuan tinggi yang mengalami cemas berat sejumlah 8,7%. Ini menunjukkan bahwa jika pengetahuan ibu semakin tinggi maka peluang mengalami cemas berat akan semakin kecil. Dari hasil uji korelasi Chi Kudrat didapatkan r = -0,391 dengan p-value sebesar 0,004. Oleh karena p-value <
dalam Menghadapi Salatiga Bulan Juni pvalue 0,004
0,05, maka Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan tingkat kecemasan ibu dalam menghadapi menapause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Bulan Juni 2010. Hubungan ini merupakan hubungan yang negatif (karena nilai r bertanda negatif), yang artinya jika pengetahuan ibu semakin tinggi maka tingkat kecemasannya akan semakin ringan. Berdasarkan nilai korelasinya hubungan tersebut merupakan hubungan yang lemah karena nilai r-nya terletak antara 0,2000,400.
4. Hubungan Status Ekonomi dengan Tingkat Kecemasan Tabel 5.9 Hubungan Status Ekonomi dengan Tingkat Kecemasan Ibu dalam Menghadapi Menapause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Bulan Juni 2010. Tingkat Kecemasan Status pRingan Sedang Berat Total r Ekonomi value f % f % f % f % Rendah 0 0 7 77,8 2 22,2 9 100 -0,158 0,009 Sedang 6 42,9 5 35,7 3 21,4 14 100 Tinggi 2 8,3 17 70,8 5 20,8 24 100 Jumlah 8 17,0 29 61,7 10 21,3 47 100 Berdasarkan tabel 5.9 dapat diketahui bahwa ibu yang berstatus ekonomi rendah yang mengalami cemas berat sejumlah 22,2%, sedangkan ibu yang berstatus ekonomi sedang yang mengalami cemas berat sejumlah21,4%, 37
dan ibu yang berstatus ekonomi tinggi yang mengalami cemas berat sejumlah 20,8%. Ini menunjukkan bahwa ibu yang berstatus ekonomi rendah berpeluang lebih besar mengalami Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 47-61
cemas berat dibandingkan dengan status ekonomi tinggi. Dari hasil uji korelasi Chi Kuadrat didapatkan r = -0,158 dengan p-value sebesar 0,109. Oleh karean p-value < 0,05, maka Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status ekonomi dengan tingkat kecemasan ibu dalam menghadapi menapause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Bulan Juni 2010. PEMBAHASAN Setelah diperoleh hasil penelitian dengan melakukan pengumpulan data dan tabulasi dengan perhitungan uji statistik Kendal Tau, maka dapat dilakukan suatu analisa hubungan dari variabel yang diteliti yaitu : pengetahuan, lingkungan, pendidikan, status ekonomi dan kecemasan pada ibu menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga. Pendidikan Hasil penelitian dari 47 responden ibu menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Bulan Juni 2010 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden berpendidikan SMP yaitu sebanyak 22 orang atau 46,8%. Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat, tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka. Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai usaha pemberian informasi dan pembentukan ketrampilan saja, namun diperluas sehingga mencakup usaha untuk mewujudkan keinginan atau motivasi yang tinggi (Ihsan, 2005). Lingkungan Hasil penelitian dari 47 responden ibu menopause di Desa Tingkir Lor 38
Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Bulan Juni 2010 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden merasakan bahwa kondisi lingkungan kurang mendukung yaitu sebanyak 30 orang atau 63,8%. Lingkungan merupakan semua yang ada disekitar dan terlibat dalam interaksi individu pada waktu melaksanakan aktifitasnya yang meliputi lingkungan fisik, lingkungan psikososial, lingkungan biologis, dan linngkungan budaya (IBI, 2006). Lingkungan sangat berpengaruh terhadap kecemasan yang dialami seseorang, seseorang hidup tidak mungkin jauh dari orang-orang sekitar yang ada dilingkungan dimana orang tersebut tinggal. Lingkungan merupakan suatu keadaan atau kondisi baik bersifat positif atau negatif yang mempengaruhi kecemasan. Faktor lingkungan merupakan suatu faktor yang dapat menentuka tingkat kecemasan seseorang, lingkungan yang dapat mempengaruhi kecemasan adalah lingkungan yang individu sudah terbiasa dengan situasi disekitarnya. Keakraban dengan lingkungan merupakan faktor yang penting. Pengetahuan Hasil penelitian dari 47 responden ibu menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Bulan Juni 2010 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden mempunyai pengetahuan sedang yaitu sebanyak 24 orang atau 51,1%. Pengetahuan adalah suatu sistem gagasan yang bersesuaian dengan sistem benda-benda dan dihubungkan oleh keyakinan (Sobur, 2003). Pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang menurut Notoatmodjo (2003), antara lain: yang pertama faktor materi atau hal yang dipelajari, yang ikut Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 47-61
menentukan proses dan hasil belajar. Kedua faktor lingkungan yang dikelompokkan menjaadi 2 (dua), yaitu lingkungan fisik yang terdiri dari suhu, kelembaban udara, tempat belajar dan faktor lingkungan sosial yang merupakan segala bentuk interaksi manusia serta representasinya seperti keramaian atau kegaduhan lalu lintas, pasar. Menurut teori Lawrence Green yang dikutip oleh Notoadmodjo (2007), faktorfaktor yang mempengaruhi seseorang dalam berperilaku salah satunya adalah faktor pengetahuan. Pengetahuan sangat berhubungan dengan pendidikan, sedangkan pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang sangat dibutuhkan untuk pengembangan diri. Semakin tinggi pendidikan maka semakin mudah menerima serta mengembangkan pengetahuan. Status Ekonomi Hasil penelitian dari 47 responden ibu menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Bulan Juni 2010 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden mempunyai status ekonomi sedang yaitu sebanyak 21 orang atau 46,8% . Status ekonomi menunjukkan kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Ketika tingkat ekonomi seseorang rendah, berarti keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya yang merupakan salah satu beban pikiran yang dapat menekan seseorang (Purwanto, 2008). Tinggi rendahnya status ekonomi keluarga sangat mempengaruhi tingkat kecemasan seseorang. Hal ini seiring dengan teori Perilaku Skinner yang menyatakan bahwa tindakan seseorang sangat tergantung dari kebutuhan dan imbalan yang dapat diperoleh dari hasil tindakan (Sarwono, 2000). Pada penelitian ini sudah membuktikan bahwa seseorang atau keluarga dengan status ekonomi yang 39
tinggi cenderung mengalami kecemasan ringan dibanding dengan seseorang atau keluarga dengan status ekonomi rendah. Kecemasan Hasil penelitian dari 47 responden menunjukkan bahwa menurut responden menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Bulan Juni 2010 menyatakan memiliki kecemasan pada tingkat sedang 29 orang atau 61,7%, sedangkan responden yang mengalami cemas berat 10 orang atau 21,3% dan responden yang mengalami cemas ringan sebanyak 8 orang atau 17,0%. Kecemasan merupakan suatu keadaan dimana individu atau kelompok mengalami perasaan gelisah (penilaian atau opini) dan aktivasi sistem saraf otonom dalam berspon terhadap ancaman yang tidak jelas (Carpenito, 2001). Kecemasan merupakan reaksi psikis terhadap kondisi mental individu yang tertekan. Apabila orang menyadari bahwa hal-hal yang tidak bisa berjalan dengan baik pada situasi tertentu akan berakhir tidak enak, maka mereka akan cemas. Kondisi-kondisi atau situasi yang menekan akan memunculkan kecemasan (Hawari, 1997). Dalam penelitian ini yang dimaksudkan dengan kondisi yang menekan adalah datangnya menopause, yaitu peristiwa haid terakhir atau saat terjadinya haid terkhir (Wiknjosastro, 2002). Hubungan Pendidikan dengan Tingkat Kecemasan Hasil penelitian menunujukkan bahwa ibu menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Bulan Juni 2010 yang berpendidikan SD lebih banyak mengalami cemas berat yaitu 66,7% sedangkan ibu menopause berpendidikan SMP yang mengalami cemasa berat yaitu 18,2%, ibu menopause berpendidikan SMA yang mengalami cemas berat 5,6% dan ibu menopause Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 47-61
berpendidikan perguruan tinggi tidak ada yang mengalami cemas berat. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan yang yang diperoleh maka peluang mengalami cemas berat semakin kecil. Sesuai dengan pendapat Kasdu (2002), yang mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah tingkat pendidikan. Pada umumnya semakin tinggi pendidikan formal yang dicapai maka semakin baik pula proses pemahaman seseorang dalam menerima sebuah informasi baru. Dengan informasi yang semakin bertambah seseorang akan memiliki kemampuan lebih dalam mengatasi berbagai keluhan dan ancaman yang muncul pada saat menopause. Sehingga seseorang yang berpendidikan tinggi menjadi lebih siap dan tidak secemasa mereka yang kurang informasi. Hubungan Lingkungan dengan Tingkat Kecemasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan linngkungan dengan tingkat kecemasan. Responden yang merasakan kondisi lingkungannya kurang mendukung cenderung lebih dibandingkan dengan kondisi lingkungan yang mendukung. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003), yang menyatakan bahwa lingkungan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kecemasan yang dialami seseorang. Lingkungan merupakan suatu keadaan atau kondisi baik bersifat positif atau negatif yang mempengaruhi kecemasan. Faktor lingkungan merupakan suatu faktor yang dapat menentuka tingkat kecemasan seseorang, lingkungan yang dapat mempengaruhi kecemasan adalah lingkungan yang individu sudah terbiasa dengan situasi disekitarnya. Keakraban dengan lingkungan merupakan faktor yang penting khususnya dalam menentukan tingakat kecemasan. Hal ini dibuktikan dengan lingkungan yang sangat mendukung ibu menopause. berdasarkan 40
hasil penelitian menunjukkan bahwa yang menyatakan lingkungan mendukung sebanyak 34 orang atau 72,3%, responden yang menyatakan lingkungan kurang mendukung 11 orang atau 23,4% dan responden yang menyatakan lingkungan tidak mendukung 2 orang atau 04,3%. Hubungan Pengetahuan dengan Tingkat Kecemasan Hasil penelitian ini didapatkan dari 47 responden ibu menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga. Sebagian besar ibu menopause mempunyai pengetahuan tinggi dengan tingkat kecemasan ringan yaitu sebanyak 6 orang atau 26,1%, sedangkan responden yang mempunyai pengetahuan tinggi dengan kecemasan sedang sebanyak 15 orang atau 65,2% dan responden yang mempunyai pengetahuan tinggi dengan tingkat kecemasan berat sebanyak 2 orang atau 8,7%. Hasil perhitungan uji statistic menunjukkan nilai hitung didapatkan r = 0,391 dengan p < 0,05 berarti bahwa Ho ditolak sehingga ada hubungan antara pengetahuan dengan tingkat kecemasan. Menurut Purwanto (2008), pengetahuan seseorang sangat berpengaruh terhadap interaksi, dimana orang yang berpengetahuan tinggi akan bisa berinteraksi dari pada orang yang berpengetahuan rendah sehingga akan lebih kecil kemungkinan terjadi kecemasan. Secara uji statistik menunjukkan bahwa responden yang memiliki pengetahuan tinggi cenderung tidak ada yang mengalami kecemasan disbandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan rendah. Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pengetahuan maka semakin kecil kemungkinan terjadi kecemasan. Hubungan Status Ekonomi Tingkat Kecemasan
dengan
Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 47-61
Hasil penelitian dari 47 responden ibu menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Bulan Juni 2010 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden mempunyai status ekonomi sedang yaitu sebanyak 21 orang atau 46,8% . Hasil perhitungan statistik menunjukkan nilai hitung Chi Kuadrat didapatkan r = -0,158 dengan p < 0,05 berarti bahwa hipotesis Ho ditolak sehingga ada hubungan antara status ekonomi dengan tingkat kecemasan pada ibu-ibu menopause. Status ekonomi menunjukkan kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Ketika tingkat ekonomi seseorang rendah, berarti keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya yang merupakan salah satu beban pikiran yang dapat menekan seseorang (Purwanto, 2008). Tinggi rendahnya status ekonomi keluarga sangat mempengaruhi tingkat kecemasan seseorang. Hal ini seiring dengan teori Perilaku Skinner yang menyatakan bahwa tindakan seseorang sangat tergantung dari kebutuhan dan imbalan yang dapat diperoleh dari hasil tindakan (Sarwono, 2000). Pada penelitian ini sudah membuktikan bahwa seseorang atau keluarga dengan status ekonomi yang tinggi cenderung mengalami kecemasan ringan dibanding dengan seseorang atau keluarga dengan status ekonomi rendah. Keterbatasan Penelitian Peneliti menyadari bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan antara lain pengumpulan data yang diperoleh melalui kuesioner tanpa didukung oleh data wawancara mendalam terhadap subjek penelitian sehingga memungkinkan responden tidak jujur dalam menjawab pertanyaan serta tidak jelas dalam pengisian pengisian kuesioner, sehingga peneliti memberikan penjelasan cara mengisi kuesioner kepada responden. 41
Disamping itu, cara pengambilan sebagia data dilakukan dengan menitipkan kuesioner kepada ketua RT dan tidak bertemu langsung antara peneliti dengan responden. Kepad peneliti mendatang, disarankan agar mendampingi responden untuk menjelaskan yang tidak dipahami oleh responden, serta dapat dicek kelengkapan kuesioner langsung. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian serta analisis yang dilakukan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Responden berpendidikan rendah sebanyak 6 orang atau 12,8%, sedangkan responden berpendidikan menengah sebanyak 36 orang atau 76,6%, dan responden yang berpendidikan tinggi sebanyak 5 orang atau 10,6%. 2. Responden yang marasakan kondisi lingkungan mendukung sebanyak 34 orang atau 72,3%, sedangkan responden yang merasakan kondisi lingkungan kurang mendukung sebanyak 11 orang atau 23,4%, dan responden yang merasakan kondisi lingkungan tidak mendukung yaitu sebanyak 2 orang atau 4,3%. 3. Responden berpengatahuan tinggi sebanyak 23 orang atau 49,0%, sedangkan responden yang berpengetahuan sedang sebanyak 16 orang atau 34,0%, dan responden yang berpengetahuan rendah sebanyak 8 orang atau 17,0%. 4. Responden yang memiliki status ekonomi tinggi sebanyak 24 orang atau 51,0%, sedangkan responden yang memiliki status ekonomi sedang sebanyak 14 orang atau 29,8% dan responden yang memiliki status ekonomi rendah sebanyak 9 orang atau 19,2%. 5. Ada hubungan pendidikan dengan tingkat kecemasan ibu dalam Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 47-61
menghadapi menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiaga. 6. Ada hubungan lingkungan dengan tingkat kecemasan ibu dalam menghadapi menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga. 7. Ada hubungan pengetahuan dengan tingkat kecemasan ibu dalam menghadapi menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga. 8. Ada hubungan status ekonomi dengan tingkat kecemasan ibu dalam menghadapi menopause di Desa Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga. Saran 1. Bagi Masyarakat Masyarakat khususnya para wanita pre-menopause hendaknya mempersiapkan diri menghadapi masa menopause dengan cara : mencari informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan menopause. 2. Bagi Peneliti Mendatang Dalam pengambilan data, selain menggunakan kuesioner sebaiknya dilengkapi observasi untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih bermakna. 3. Bagi Institusi Diharapkan penelitian ini dapat menambah referensi akademik dan memperkaya pustaka dibidang kesehatan khususnya kecemasan ibu dalam menghadapi menopause. DAFTAR PUSTAKA Andira, Dita. 2010. Seluk Beluk Kesehatan Reproduksi Wanita. Yogyakarta: A+Plus. Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Bandiyah, Siti. 2009. Lanjut Usia dan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Nuha Medika. Baziat, A. 2000. Endrokonolog Ginekologi. Jakarta: Media Aeskulapius. Carpenito, 2010. Buku Saku Keperawatan. Edisi 8. Jakarta: EGC Darajat, 2009. Teori Kecemasan. Diambil dari http://tysar.wordpress.com. Diakses tanggal 26 Februari 2009. Depkes RI, 1990. Teori Kecemasan. Diambil dari http://tysar.wordpress.com. Diakses tanggal 26 Februari 2009. Ghufron Nur & Risnawati Rini, 2010. Teori-Teori Psikologi. Jogjakarta: ArRuzz Media. Greenberger. 2004. Teori Kecemasan. Diambil dari http://tysar.wordpress.com. Diakses tanggal 26 Februari 2009. Hidayat, Alimul. 2003. Metode Penelitian Kebidanan & Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika. Kasdu, Dini. 2002. Kiat Sehat dan Bahagia di Usia Menopause. Jakarta: Puspaswara. Lestari, Dwi. 2010. Seluk Beluk Menopause. Yogyakarta: Garailmu. Maulana, Mirza. 2009. Seluk Beluk Reproduksi dan Kehamilan. Yogyakarta: Garailmu. Manuaba, Ida Bagus Gde, 1999. Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan. Jakarta: EGC.
Atkinson, 1993. Seluk Beluk Menopause. diambil dari Lestari 2010. 42
Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 47-61
Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cetakan 3. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. Putri, F. 2010. Buku Pintar Ibu Hamil. Panduan Cerdas Jalani Kehamilan yang Menenangkan, Yogyakarta: Second Hope. Sarwoono, S. 1995. Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta: University Press. Setiawan. A. 2010. Metodologi Penelitian Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika. Smart, Aqila. 2010. Bahagia di Usia Menopause. Yogyakarta: A+Plus.
Sobur, A. 2003. Psikologi Umum. Cetakan I. Bandung: Pustaka Setia. Sofyan, Mustika. 2006. 50 Tahun IBI, Bidan Menyongsong Masa Depan, Jakarta: IBI. Stuart and Sundeen. 2002. Teori Kecemasan. Diambil dari http://tysar worpress.com. Diakses tanggal 26 Februari 2009 Sugiyono, 2007. Statistika untuk Penelitian. Bandung: ALFABETA. Suryani, Yeni. 2009. Bimbingan Konseling. Available from: http://my.opera.com/yenisuryani. Diakses tanggal 9 Maret 2009. Townsend, 1993. Seluk Beluk Menopause. diambil dari Lestari, 2010. http://tysar.wordpress.com. tanggal 26 Februari 2009.
Diakses
http://www.suarakarya-online.com. Diakses tanggal 10 Maret 2009
43
Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 47-61
ISSN 2008-5156, Vol.3 N0 1, Januari 2012 FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA IBU HAMIL PRIMIGRAVIDA DIPUSKESMAS SEMOWO KABUPATEN SEMARANG 2011 Idah Suciati1), Widayati2) Akademi Kebidanan Ngudi Waluyo Email:up2m@akbidngudiwaluyo ABSTRAK FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA IBU HAMIL PRIMIGRAVIDA DIPUSKESMAS SEMOWO KABUPATEN SEMARANG 2011. Prevalensi anemia pada wanita hamil meningkat di Indonesia. Sebagian besar penyebab anemia di Indonesia adalah kekukarangan zat besi yang berfungsi untuk memproduksi hemoglobin. Kekurangan zat besi anemia diderita oleh banyak wanita hamil, menyusui dan wanita subur karena kebutuhan zat besi selama masa kehamilan lebih tinggi dari pra kehamilan. Anemia pada ibu hamil secara tidak langsung dipengruhi oleh karakteristik ibu hamil, antara lain pendidikan dan tingkat ekonomi. Faktor lain dimungkinkan karena sebagian besar ibu belum menyadari pentingnya pencegahan anemia serta bahaya yang akan ditimbulkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada ibu hamil primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang. Metode penelitian ini adalah deskriptif korelasi menggunakan studi cross sectional. Sampel penelitian ini adalah 65 ibu hamil yang ada di Puskesmas Semowo Kabupaten Semarang pada bulan Maret – Juli 2011 dengan pemilihan sampel menggunakan teknik quota sampling. Pengumpulan data karakteristik responden dan pengetahuan tentang anemia pada ibu hamil didapatkan dengan menggunakan kuesioner sedangkan kejadian anemia pada ibu hamil menggunakan Hb Sahli. Pengolahan data menggunakan teknik analisis Chi square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan ibu mayoritas rendah (SD,SMP) (70,8%), ekonomi cukup (60%), pengetahuan rendah (63,1%), kejadian anemia mayoritas tidak anemia (53,8%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan ibu nilai p = 0,883 (p >0,05), ada hubungan antara ekonomi nilai p = 0,005 (p < 0,05) dan ada hubungan pengetahuan ibu nilai p = 0,000 ( p < 0,05) dengan kejadian anemia pada ibu hamil primigravida. Perlu terus dilakukan penyuluhan kepada ibu hamil tentang anemia dan masyarakat dihimbau untuk memanfaatkan lahan guna menanam sayuran yang bernilai gizi. Diharapkan lebih aktif mencari informasi mengenai seluk beluk kehamilan melalui bidan, internet dan sumber lainnya. Kata Kunci
: Anemia kehamilan, pengetahuan, ekonomi, pendidikan PENDAHULUAN
Latar Belakang Secara umum anemia merupakan suatu gangguan hematologis dengan adanya penurunan jumlah sel darah merah, 29
jumlah hemoglobin atau jumlah volume paket sel (hematokrit) atau suatu keadaan dimana kadar Hb dalam darah kurang dari normal. Salah satu penyebab anemia adalah perdarahan hebat. (Anindya, 2010). WHO mengatakan bahwa anemia merupakan penyebab penting dari Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 62-81
kematian ibu saat hamil ataupun melahirkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa presentase kematian ibu saat melahirkan akibat anemia adalah 70% dan sekitar 19,7 % akibat hal lain. Anemia pada kehamilan juga berhubungan dengan meningkatnya angka kesakitan ibu saat melahirkan (Soebroto, 2009). Salah satu indikator tingkat kesehatan yang penting adalah Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). AKI di Provinsi Jawa Tengah untuk tahun 2009 berdasarkan laporan dari kabupaten/kota sebesar 117,02/100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut telah memenuhi target dalam Indikator Indonesia Sehat 2010 sebesar 150/100.000 dan mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan AKI pada tahun 2008 sebesar 114,42/100.000 kelahiran hidup. Sedangkan AKB di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 10,25/1.000 kelahiran hidup, meningkat dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 9,17/1.000 kelahiran hidup. AKB tertinggi adalah di Kota Semarang sebesar 18,59/1.000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Provinsi Jateng, 2009). Tingginya angka tersebut disebabkan antara lain oleh keadaan kesehatan dan gizi ibu rendah selama masa hamil, terlihat dengan masih banyaknya kejadian anemia gizi besi pada ibu hamil yaitu 63,5%. Dalam Laporan Kependudukan Dunia 2009 yang diterbitkan UNFPA ( United Nations Fund for Population Activities ) disebutkan, laju eskalasi kematian ibu melahirkan di Indonesia bukannya menurun, melainkan melonjak menjadi 420/100.000 kelahiran hidup. Itu artinya, kondisi saat ini mirip situasi 1990, yang memiliki angka kematian ibu melahirkan 425/100.000 kelahiran hidup atau sangat jauh dari target yang ditetapkan untuk mencapai tahun 2015, yakni sebesar 102/100.000 kelahiran hidup. Salah satu faktor yang masih tingginya angka kejadian anemia, kurangnya pengetahuan disini adalah ketidaktauan akan tandatanda, gejala dan dampak yang 30
ditimbulkan oleh anemia akibatnya kalaupun individu tersebut terkena anemia dan ia tidak merasa dirinya sakit. Menurut Ikatan Bidan Indonesia (2000) dikutip oleh Herlina dan Djamilus (2008: 1)yang menjadi faktor penyebab anemia dalam kehamilan adalah ketidaktahuan ibu dan faktor sosial ekonomi yang rendah juga memegang peranan penting kaitannya dengan asupan gizi ibu selama hamil. (Herlina dan Djamilus, 2008:1) Berdasarkan status pendidikan, kebanyakan ibu hanya sampai sekolah dasar, bahkan ada yang tidak bersekolah. Rendahnya pendidikan ibu akan berdampak pada rendahnya pengetahuan ibu yang berpengaruh pada keputusan ibu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Makin rendah pengetahuan ibu, makin sedikit keinginannya untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan. Pendidikan ibu adalah faktor yang cukup berpengaruh terhadap terjadinya anemia.(Anindya, 2010) Maka dari itu faktor umur dan pendidikan ibu mempengaruhi pengambilan keputusan dalam pemeliharaan kesehatan. (Notoatmodjo, 2003). Dampak anemia yaitu pucat, rasa lemah, letih, pusing, kurang nafsu makan, menurunnya kebugaran tubuh dan gangguan luka. Abortus, lahir premature, lamanya waktu partus karena kurang daya dorong rahim, pendarahan post-partum, rentan infeksi, rawan dekompensasi cordis pada penderita dengan Hb kurang dari 4 g – persen. Hipoksia akibat anemia dapat menyebabkan shock bahkan kematian ibu saat persalinan, meskipun tak disertai pendarahan. Bahaya anemia pada bumil tidak saja menimpa keselamatan dirinya, tetapi juga janin yang dikandung. Bagi janin, darah sangat dibutuhkan untuk membawa oksigen dari paru-paru serta nutrisi keseluruh tubuhnya. Jika bumil anemia, cadangan zat besi dalam tubuh
Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 62-81
janin akan berkurang hingga janin mengalami cacat bawaan (Fitri, 2010). Anemia yang terjadi selama kehamilan memberikan akibat pada ibu dan janinnya. Bagi ibu, keadaan anemia akan menurunkan daya tahan tubuh ibu, sehingga rentan terhadap infeksi. Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin dibawah 11 gr/dl pada trimester I dan III atau kadar < 10,5 gr/dl pada trimester II. Anemia lebih sering dijumpai dalam kehamilan karena dalam kehamilan keperluan akan zat-zat makanan bertambah dan terjadi pula perubahan dalam darah dan sumsum tulang. Sebagian besar anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan akut, bahkan tidak jarang keduanya saling berinteraksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 7 dari 10 wanita menderita anemia (Soebroto, 2009). Puskesmas Semowo jumlah ibu hamil dengan anemia masih cukup banyak.Ibu hamil yang mengalami anemia Di Desa Karang Gondang sebanyak 10 ibu, di Desa Terban 8 ibu hamil, Desa Bendungan sebanyak 5 ibu hamil, di Desa Semowo 7 ibu hamil, di Desa Tukang sebanyak 6 ibu hamil, di Desa Kadirejo sebanyak 7 ibu hamil, di Desa Sukorejo 5 ibu hamil. Seluruh ibu hamil ini digolongkan kedalam anemia sedang dengan kadar Hb 7-8 gr/100 ml. Sehingga di Puskesmas Semowo total terdapat 48 ibu hamil yang terkena anemia dari 181 ibu hamil yang ada di Puskesmas Semowo. Ibu hamil dengan anemia di Puskesmas Semowo masih cukup banyak hal ini dilihat dari ekonomi ibu dan keluarga yang kurang, pendidikan ibu yang masih rendah, dan ketidaktahuan ibu tentang anemia selama kehamilannya.. Berdasarkan studi pendahuluan dengan cara wawancara pada 10 bumil trimester II yang datang ke Puskesmas Semowo didapatkan hasil bahwa 7 dari 10 ibu hamil terkena anemia. Hal ini diakibatkan karena kurangnya pengetahuan ibu hamil tersebut tentang anemia seperti
31
penyebab anemia, gejala, akibat dan cara penanganan dari anemia tersebut. Mengingat begitu seriusnya akibat yang biasa timbul oleh adanya anemia selama kehamilan serta masih tingginya angka prevalensi anemia pada wanita hamil di Puskesmas Semowo maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian “Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Primigravida di Puskesmas Semowo Kabupaten Semarang”. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah yang diambil dalam penelitian ini adalah “Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Primigravida di Puskesmas Semowo Kabupaten Semarang”. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian yaitu untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada ibu hamil primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang. Tujuan khususnya yaitu untuk : a. Mendiskripsikan gambaran faktor eksternal ( pengetahuan, ekonomi, pendidikan ) tentang kejadian anemia pada ibu hamil primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang. b. Mengetahui kejadian anemia di Puskesmas Semowo Kab. Semarang. c. Mengetahui hubungan pengetahuan dengan kejadian anemia pada ibu hamil primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang. d. Mengetahui hubungan ekonomi dengan kejadian anemia pada ibu hamil primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang. e. Mengetahui hubungan pendidikan dengan kejadian anemia pada ibu hamil primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang.
Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 62-81
METODE PENELITIAN Bagan 3.2 Kerangka Konsep Penelitian Kerangka Konsep Variabel Penelitian Kerangka konsep penelitian adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2005). Pengetahuan
Ekonomi
Kejadian Anemia
Pendidikan
Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Definisi Operasional Independen Kemampuan yang Pengetahuan diketahui oleh ibu hamil dalam menjawab pertanyaan tentang informasi, pendidikan maupun pengalaman sendiri tentang anemia serta pengaruhnya pada kehamilan. Ekonomi
32
Penghasilan yang didapat ibu dan keluarga setiap bulan
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat) yang menjadi Independen yaitu pengetahuan ibu hamil tentang anemia, ekonomi dan pendidikan. Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Yang menjadi variabel dependen yaitu kejadian anemia pada ibu hamil.
Cara Ukur
Hasil Ukur
Skala
Pengukuran dengan menggunakan kuesioner model Gutman Jawaban Ya :1 Tidak : 0
> 75% = Baik < 75% = Cukup
Ordinal
Parameter penghasilan
Rp. 843.465,00 Kategori : Berdasarkan KHL (Kriteria Hidup Layak) Kabupaten Semarang - Ekonomi Cukup bila
Kuesioner
Nominal
Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 62-81
penghasilan < Rp. 834.465 - Ekonomi Baik bila penghasilan > Rp. 843.456 Pendidikan
Merupakan jenjang pendidikan yang telah ditempuh responden sesuai ijasah yang didapat
Menggunakan kuesioner dan menunjukkan ijasah tertinggi
Rendah (SD/SMP), Tinggi (SMA/PT)
Nominal
Dependen Kejadian Anemia pada Ibu Hamil
Kadar Hemoglobin (Hb) dalam darah merah kurang dari 11 gr/100 ml pada trimester I dan III atau kadar < 10,5 gr/ 100 ml Trimester II.
Mengukur kadar Hb dalam darah merah murang dari 11 gr/ 100 ml diperoleh dari Hb set/ Hb sahli, dengan kriteria sebagai berikut Hb> 11 gr/ 100 ml: tidak anemia (1) Hb < 7 gr/ 100 ml : anemia Berat (2) Hb 7-8 gr/ 100 : anemia Sedang (3) Hb 9-10 gr/100 : Anemia ringan (4)
Anemia jika Hb 10 gr/dl Tidak Anemia Jika Hb > 10 gr/dl
Ordinal
Hipotesis Penelitian 1. Ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian anemia. 2. Ada hubungan antara ekonomi dengan kejadian anemia. 3. Ada hubungan antara pendidikan dengan kejadian anemia. Ruang Lingkup Penelitian 33
Adapun lokasi penelitian di Puskesmas Semowo Kabupaten Semarang dan dilaksanakan di Puskesmas Semowo Kabupaten Semarang pada bulan Juli 2011. Rancangan Penelitian 1. Jenis/Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasi yang pada Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 62-81
hakekatnya merupakan penelitian atau penelaahan hubungan antara dan variabel pada suatu situasi atau sekelompok subjek. Untuk mengetahui korelasi antara suatu variabel dengan variabel lain tersebut diusahakan dengan mengidentifikasi variabel yang ada pada suatu objek kemudian diidentifikasi pula variabel lain yang ada pada objek yang sama dan dilihat untuk mengetahui hubungan antara keduanya (Notoatmodjo, 2005). Pengetahuan ini akan melihat hubungan antara pengetahuan ibu tentang gizi dengan kejadian anemia. Penelitian ini menggunakan pendekatan Cross Sectional yaitu model pendekatan yang menggunakan satu kali pengumpulan data dan mempelajari berbagai tingkat pertumbuhan dengan cara mengikuti perkembangan bagi individu-individu yang sama (Arikunto, 2006). 2. Populasi, Sampel dan Tekhnik Sampling Merupakan keseluruhan objek yang akan diteliti (Notoatmodjo, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil yang ada di Puskesmas Semowo Kabupaten Semarang sebanyak 181 ibu hamil pada bulan Maret-Juli 2011. Merupakan sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodo, 2005). Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah sejumlah 65 ibu hamil primigravida di Puskesmas Semowo Kabupaten Semarang. Tekhnik pengambilan sampel yang dilakukan peneliti adalah pengambilan sampel secara quota sampling yaitu dengan menetapkan sejumlah anggota sampel secara quota atau jatah (Notoatmodjo, 2005). Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan rumus Slovin (Notoatmodjo, 2005).
34
=
1+
( )
Dimana : n : Besar sampel N : Besar populasi d : Tingkat kepercayaan / ketepatan yang diinginkan yaitu 0,1 Nilai-nilai tersebut kemungkinan dimasukkan dalam rumus =
1+
( ) 181 = 1 + 181 (0,1) 181 = 1 + 1,81 181 = 2,81 = 64,41
65
Sehingga, sampel yang didapat adalah 65 ibu hamil. Cara pengambilan sampel yang dilakukan peneliti adalah pengambilan sampel secara random sampling yaitu pengambilan secara acak. Dalam teknik random sampling, semua individu dalam populasi yaitu 181 ibu hamil baik secara sendiri-sendiri atau bersamasama diberi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. Dan dengan menggunakan rumus chi square secara proposional sampel didapatkan 65 ibu hamil primigravida. 3. Tekhnik Pengumpulan data Data yang diperoleh terbagi atas dua jenis data yaitu data primer dan sekunder. Data primer adalah data atau materi yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti pada saat berlangsungnya penelitian. Data primer dalam penelitian ini adalah semua variabel tentang faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada ibu hamil primigravida dan pemeriksaan Hb. Data sekunder adalah data yang diambil dari hasil catatan atau laporan yang ada. Data sekunder dalam penelitian ini adalah hasil catatan atau rekapan jumlah ibu hamil primigravida di Puskesmas Semowo Kecamatan Pabelan kabupaten Semarang. Cara pengumpulan data yaitu : Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 62-81
1) Penelitian mengirim surat ke Kesbanglingmas untuk mendapatkan izin peneliti. 2) Peneliti mengajukan permohonan surat penelitian kepada Kepala Puskesmas Semowo Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang, kemudian baru peneliti melakukan penelitian. 3) Sebelum penelitian dilakukan, peneliti menjelaskan tujuan penelitian dan pengisian kuesioner. 4) Setelah memahami tujuan, responden diminta menandatangani surat pernyataan kesediaan menjadi responden. 5) Setelah responden menandatangani surat pernyataan, responden diminta mengisi kuesioner. 6) Setelah responden mengisi kuesioner, peneliti melakukan pemeriksaan Hb responden. 4. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang disusun oleh peneliti sendiri, kuesioner berisi sejumlah pertanyaan tertulis yang dibaca dan dijawab oleh responden penelitian. (Suryono, 2009) data yang diberikan langsung kepada responden dengan cara mengisi kuesioner. Menggunakan Hb Sahli untuk mengetahui kadar Hb pada responden. 5. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dengan cara manual melalui beberapa tahap, sebagai berikut : a. Editing (memeriksa data) Editing adalah proses pengecekan / pengoreksian data yang telah dikumpulkan karena kemungkinan data yang dimasukkan (raw data) atau data terkumpul itu tidak logis dan meragukan. Tujuan editing adalah untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan yang terdapat pada pencatatan di lapangan atau bersifat koreksi.
35
b.
c.
d.
e.
Dalam editing akan diteliti kembali hal-hal : 1) Lengkapnya pengisian kuesioner itu harus terisi lengkap. 2) Keterbatasan tulisan-tulisan pada data yang tertera di dalam kuesioner harus dapat dibaca. 3) Evaluasi jawaban. Coding (memberi kode) Menurut Rikunto (2006), tehnik ini dilakukan dengan pemberian kode dan pengklasifikasian pada data yang dilakukan untuk mempermudah dalam pengolahan data. Klasifikasi dilakukan dengan jalan menandai masing-masing jawaban dengan kode berupa lembaran tabel kerja guna mempermudah membacanya. Cleansing Merupakan proses pemeriksaan data yang telah dimasukkan apakah sudah benar atau lengkap. Tabulating (menyusun data) Kegiatan memasukkan data hasil penelitian kedalam tabel kemudian diolah dengan bantuan komputer. Entry data (pemasukan data ke komputer) Entry data adalah kegiatan atau langkah memasukkan data-data hasil penelitian ke dalam komputer melalui program SPSS (Statistic Package Social Science). Sebelum dilakukan analisa dengan komputer, dilakukan pengecekan ulang terhadap data. Analisa data bertujuan untuk memperoleh gambaran / deskripsi masing-masing variabel, untuk membandingkan dan menguji teori atau konsep dengan informasi yang ditemukan. Untuk mempermudah analisa data maka digunakan program SPSS. Analisa univariat merupakan analisa yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian, dan pada umumnya hanya menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2006).
Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 62-81
Analisa ini digunakan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi responden dan serta untuk mendeskripsikan masing-masing variabel dan disajikan dalam bentuk tabel, narasi dan grafik. Analisa bivariat merupakan analisa yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkolerasi dengan menggunakan uji Chi Square. Pada analisa ini dilihat hubungan antara dua variabel yaitu variabel independen dan variabel dependen. Dalam menganalisis bivariate, karena variabel independen maupun dependen terdiri atas skala kategori, maka digunakan uji chi square dengan menggunakan program SPSS atau dengan rumus : =
(
−
)
Keterangan : x : Chi kuadrat fo : frekuensi yang diobservasi dalam kategori ke -1 fh : frekuensi yang diharapkan dibawah Ho dalam kategori ke-2 Uji hipotesis statistik yang digunakan dapat dirumuskan : hipotesa penelitian yang berbunyi pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan dengan kejadian anemia pada ibu hamil primigravida diterima bila X² dihitung > X² tabel atau p < 0,05 ditolak yang artinya ada hubungan antara pengetahuan, ekonomi, pendidikan denagan kejadian anemia, apabila X² dihitung < X² atau p > 0,05 yang artinya tidak ada hubungan antara pengetahuan, ekonomi, pendidikan dengan kejadian anemia. 6. Etika Penelitian Penelitian akan dilakukan setelah mendapat rekomendasi atau izin dari Direktur Akademi Kebidanan Ngudi Waluyo, maka peneliti datang ke Puskesmas Semowo, Kecamatan 36
Pabelan, Kabupaten Semarang untuk mendapatkan persetujuan dari responden. Kemudian menyebarkan kuesioner kepada klien (subjek) penelitian untuk diisi sesuai petunjuk yang sudah disesuaikan selama pengisian kuesioner. Peneliti dibantu oleh bidan agar dapat memberikan petunjuk pengisian bila ada hal yang tidak atau kurang dimengerti. Setelah pengisian kuesioner selesai, kuesioner ditarik / diambil kembali untuk dilakukan pengolahan data. Dalam menyebarkan kuesioner kepada responden, peneliti menekankan masalah etika yang meliputi : 1. Inform Consent (lembar persetujuan) Sebelum dilakukan pengambilan data penelitian, calon responden diberi penjelasan tentang tujuan data manfaat penelitian yang dilakukan. Apabila calon responden bersedia untuk diteliti maka calon responden harus menandatangani lembar persetujuan tersebut, dan jika calon responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak boleh memaksa dan tetap menghormatinya. Jika ditengah pengisian kuesioner dan saat dilakukan wawancara responden ingin mengundurkan diri, dan kuesioner yang telah diisi tidak akan diikutkan dalam pengolahan data. a. Anonymity (tidak mencantumkan nama) Sebelum menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan nama responden dalam pengolahan data penelitian. Peneliti akan menggunakan nomor atau kode responden. b. Confidentiality (kerahasiaan) Informasi yang diberikan oleh responden serta semua data yang terkumpul dijamin kerahasiaannya oleh peneliti. HASIL PENELITIAN Demografi Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 62-81
Geografis Puskesmas Semowo adalah puskesmas yang terletak di Dusun Gambir Desa Semowo Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang. Luas cakupan 23,6 km². Batas wilayah Puskesmas Semowo bagian Utara adalah Desa Truko Kecamatan Bringin, bagian Selatan adalah Kauman Kidul Kota Salatiga, bagian Barat adalah Bejaten Kecamatan Pabelan, bagian Timur adalah Cukilan, Desa Pucung (Bancak). Puskesmas Semowo membawahi 7 Desa yaitu Desa Terban, Desa Karang Gondang, Desa Semowo, Desa Bendungan, Desa Sukorejo, Desa Tukang dan Desa Kadirejo. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Semowo Kabupaten Semarang. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2011. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil yang ada di Puskesmas Semowo Kabupaten Semarang pada bulan Maret – Juli 2011. Pengambilan sampel menggunakan quota sampling. Sampel pada penelitian ini berjumlah 65 responden. Karakteristik Responden 1. Umur Distribusi frekuensi berdasarkan umur responden disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Ibu Hamil Primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang, 2011 Umur frekuensi Persentase (%) < 20 8 12,3 Tahun 57 87,7 20-35 Tahun Jumlah 65 100 Tabel 4.1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden ibu hamil 37
primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang berumur 20-35 tahun, yaitu sejumlah 57 responden (87,7%), sedangkan 8 responden lainnya (12,3%) berumur < 20 tahun. 2. Pekerjaan Distribusi frekuensi berdasarkan pekerjaan responden disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan Ibu Hamil Primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang, 2011 Pekerjaan frekuensi Persentase (%) Tdk 13 20,0 Bekerja 12 18,5 Petani 26 40,0 Swasta 10 15,4 Wiraswasta 4 6,1 PNS Jumlah 65 100 Tabel 4.2 menunjukkan bahwa responden ibu hamil primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang sebagian besar bekerja sebagai swasta, yaitu sejumlah 26 responden (40,0%) dan yang paling sedikit bekerja sebagai PNS yaitu sejumlah 4 responden (6,1%). Analisis Univariat Pada bagian ini, disajikan gambaran tentang pendidikan, ekonomi, pengetahuan, dan kejadian anemia pada ibu hamil primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang. 1. Pendidikan Distribusi frekuensi berdasarkan pendidikan responden disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan Ibu Hamil Primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang, 2011 Pendidikan frekuensi Persentase (%) Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 62-81
Rendah 46 70,8 (SD,SMP) 19 29,2 Tinggi (SMA,PT) Jumlah 65 100 Pada tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden ibu hamil primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang berpendidikan rendah (SD,SMP), yaitu sejumlah 46 responden (70,8%), sedangkan 19 responden (29,2%) berpendidikan tinggi (SMA,perguruan tinggi). 2. Ekonomi Distribusi frekuensi berdasarkan ekonomi responden disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Ekonomi Ibu Hamil Primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang, 2011 Ekonomi frekuensi Persentase (%) Cukup 26 40,0 Baik 39 60,0 Jumlah 65 100 Tabel 4.4 menunjukkan bahwa responden ibu hamil primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang yang memiliki penghasilan cukup sejumlah 26 responden (40,0%), sedangkan yang berpenghasilan baik sejumlah 39 responden (60,0%). 3. Pengetahuan Distribusi frekuensi berdasarkan pengetahuan ibu primigravida tentang anemia disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pengetahuan Ibu Hamil Primigravida tentang Anemia di Puskesmas Semowo Kab. Semarang, 2011
Pengetahuan frekuensi
Persentase (%) Cukup 41 63,1 Baik 24 36,9 Jumlah 65 100 Tabel 4.5 menunjukkan bahwa pengetahuan ibu hamil primigravida tentang anemia di Puskesmas Semowo Kab. Semarang sebagian besar dalam kategori cukup, yaitu sejumlah 41 responden (63,1%), sedangkan 24 responden (36,9%) mempunyai pengetahuan yang baik. 4. Kejadian Anemia Distribusi frekuensi berdasarkan kejadian anemia pada ibu primigravida disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kejadian Anemia pada Ibu Hamil Primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang, 2011 Kejadian frekuensi Persentase Anemia (%) Anemia 30 46,2 Tidak Anemia 35 53,8 Jumlah 65 100 Tabel 4.6 menunjukkan bahwa kejadian anemia pada ibu hamil primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang sejumlah 30 responden (46,2%), sedangkan 35 responden (53,8%) tidak mengalami anemia. Analisis Bivariat Pada penelitian ini analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara pendidikan, ekonomi dan pengetahuan dengan kejadian anemia pada ibu hamil primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang.
1. Hubungan antara Pendidikan dengan Kejadian Anemia Tabel 4.7 Hubungan Pendidikan dengan Kejadian Anemia pada Ibu Hamil Primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang Pendidikan Kejadian Anemia Chi p-value 38
Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 62-81
Tidak Anemia % f % 47,8 24 52,2 42,1 11 57,9 46,2 35 53,8
Anemia Rendah Tinggi Total
f 22 8 30
Tabel 4.7 menunjukkan bahwa responden dengan pendidikan rendah (SD,SMP) yang mengalami anemia sejumlah 22 responden (47,8%), sedangkan responden dengan pendidikan tinggi (SMA,PT) yang mengalami anemia sejumlah 8 responden (42,1%). Ini menunjukkan bahwa berdasarkan persentase, anemia
Total f 46 19 65
% 100 100 100
Square
0,022
0,883
sebagian besar terjadi pada ibu dengan pendidikan rendah daripada ibu dengan pendidikan tinggi. Hasil uji Chi Square, diperoleh nilai p = 0,883 (p >0,05) sehingga tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan kejadian anemia pada ibu hamil primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang.
2. Hubungan antara Ekonomi dengan Kejadian Anemia Tabel 4.8 Hubungan Ekonomi dengan Kejadian Anemia pada Ibu Hamil Primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang, 2011 Kejadian Anemia Tidak Total Chi Anemia Ekonomi p-value Anemia Square f % f % f % Cukup 18 69,2 8 30,8 26 100 7,803 0,005 Baik 12 30,8 27 69,2 39 100 Total 30 46,2 35 53,8 65 100 Tabel 4.8, menunjukkan bahwa penghasilan cukup daripada ibu dengan responden dengan penghasilan cukup penghasilan baik. yang mengalami anemia sejumlah 18 Hasil uji Chi Square, diperoleh responden (69,2%), sedangkan nilai p = 0,005 (p < 0,05) sehingga ada responden dengan penghasilan baik hubungan yang signifikan antara yang mengalami anemia sejumlah 12 ekonomi dengan kejadian anemia pada responden (30,8%). Ini menunjukkan ibu hamil primigravida di Puskesmas bahwa berdasarkan persentase, anemia Semowo Kab. Semarang. sebagian besar terjadi pada ibu dengan 3. Hubungan antara Pengetahuan tentang Anemia dengan Kejadian Anemia Tabel 4.9 Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian Anemia pada Ibu Hamil Primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang, 2011 Kejadian Anemia Tidak Total Chi Anemia Pengetahuan p-value Anemia Square f % f % f % Cukup 27 65,9 14 34,1 41 100 15,260 0,000 Baik 3 12,5 21 87,5 24 100 Total 30 46,2 35 53,8 65 100 39
Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 62-81
Tabel 4.9 menunjukkan bahwa responden dengan pengetahuan cukup yang mengalami anemia sejumlah 27 responden (65,9%), sedangkan responden dengan pengetahuan baik yang mengalami anemia sejumlah 3 responden (12,5%). Ini menunjukkan bahwa berdasarkan persentase, anemia sebagian besar terjadi pada ibu dengan pengetahuan cukup daripada ibu dengan pengetahuan baik. Hasil uji Chi Square, diperoleh hasil p = 0,000 ( p < 0,05) sehingga ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang anemia dengan kejadian anemia pada ibu hamil primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang. Pembahasan 1. Karakteristik Responden a. Umur Hasil penelitian tabel 4.1 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden berumur antara 20 – 35 tahun yaitu sebanyak (93,8 %). Banyaknya responden yang berumur 20 – 35 tahun karena subjek penelitian ini adalah ibu hamil yang juga merupakan wanita usia subur. Kebanyakan ibu hamil berada pada usia 20 – 35 tahun. Umur tersebut merupakan masa reproduksi yang baik bagi wanita. Pada usia ini wanita dalam keadaan optimal dengan kata lain, resiko angka kesakitan dan kematian pada ibu dan bayi yang terjadi akibat kehamilan dan persalinan dalam kelompok usia tersebut paling rendah dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kurun waktu reproduksi sehat adalah kurun waktu di mana seorang ibu sehat untuk melahirkan yaitu umur 20 – 35 tahun, di mana pada saat ini dianjurkan untuk mengukur jarak kelahiran anak pertama dan kedua 40
yaitu antara 2 – 3 tahun dengan jumlah orang saja (BKKBN, 2001). Penelitian ini ibu hamil yang berumur 20 tahun ada 8 responden (6,2%) . Pada usia ini organ reproduksi wanita belum matang dan merupakan usia yang belum cukup bagi wanita untuk bereproduksi (Manuaba, 2007) oleh karena itu perlu diberikan informasi mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan kehamilan termasuk anemia pada ibu hamil, sehingga tidak akan terjadi anemia yang bisa berakibat pada halhal yang tidak diinginkan. Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada usia madya, individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial serta lebih banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia tua, selain itu orang usia madya akan lebih banyak menggunakan banyak waktu untuk membaca. Kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia ini. Dua sikap tradisional mengenai jalannya perkembangan selama hidup (Anonymous, 2010) b. Pendidikan Hasil penelitian tabel 4.3 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden mempunyai pendidikan rendah (SD,SMP) yaitu sebanyak (70,8%). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa responden dengan pendidikan yang rendah biasanya akan mempunyai pengetahuan yang kurang terhadap sesuatu termasuk diantaranya tentang anemia pada kehamilan. Logikanya, jika pengetahuan ibu tentang anemia Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 62-81
baik, maka ibu akan bisa memenuhi kebutuhan zat gizi bagi dirinya yang sedang hamil maupun bagi janinnya sehingga bisa terhindar dari anemia. Hal ini berdasarkan pada teori yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2003) bahwa Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pendidik. Semakin tinggi tingkat pendidikan diharapkan semakin baik pula tingkat pengetahuan seseorang. c. Pekerjaan Hasil penelitian tabel 4.2 dapat dilihat bahwa sebagian besar (40,0%) berprofesi sebagai karyawan swasta. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa banyaknya responden yang bekerja sebagai karyawan swasta tidak lepas dari tempat penelitian yaitu di wilayah Semowo yang sebagian besar penduduknya terutama ibu-ibu di sana bekerja sebagai buruh pabrik tekstil. Di samping itu anggapan bahwa seorang wanita harus selalu berada di rumah dan yang bertugas mencari uang adalah suami sudah mulai bergeser. Pekerjaan adalah cara mendapatkan penghasilan secara aman untuk memenuhi kebutuhan hidup secara finansial (Puspa, 2009). Dengan demikian pekerjaan berkaitan langsung dengan tingkat ekonomi seseorang. Seseorang yang mempunyai pekerjaan yang layak dan gaji yang cukup berarti tingkat ekonominya juga baik Ekonomi juga selalu menjadi faktor penentu dalam proses kehamilan yang sehat. Keluarga dengan ekonomi yang cukup dapat memeriksakan kehamilannya secara rutin, dapat mencukupi kebutuhan nutrisi selama hamil, merencanakan 41
persalinan di mana dan ditolong siapa (Kesepro, 2007). Dengan ekonomi yang baik/cukup maka kebutuhan gizi ibu juga akan baik/terpenuhi. d. Ekonomi Hasil penelitian tabel 4.4 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden mempunyai ekonomi cukup yaitu sebanyak (40,0%). Banyaknya responden yang mempunyai ekonomi cukup karena sebagian besar responden bekerja sehingga mempunyai penghasilan yang tetap walaupun tidak terlalu tinggi, dan pada responden yang tidak bekerja, semuanya tetap mempunyai penghasilan dari suaminya, sehingga ekonominya paling banyak dalam kategori cukup. Ekonomi adalah kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2006). Ekonomi merupakan faktor yang mendukung perilaku seseorang, misalnya adalah salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada ibu hamil. Ekonomi juga selalu menjadi faktor penentu dalam proses kehamilan yang sehat. Keluarga dengan ekonomi yang cukup dapat memeriksakan kehamilannya secara rutin, dapat mencukupi kebutuhan nutrisi selama hamil, merencanakan persalinan di mana dan ditolong siapa (Kesepro, 2007). Dengan tingkat ekonomi yang baik/cukup maka kebutuhan gizi ibu juga akan baik/terpenuhi. 2. Pengetahuan Responden tentang anemia pada kehamilan Hasil penelitian tabel 4.5 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden mempunyai pengetahuan yang cukup tentang anemia pada kehamilan yaitu sebanyak (63,1 %). Banyaknya ibu yang mempunyai pengetahuan yang cukup tidak terlepas dari pendidikan Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 62-81
responden yang masing-masing 70,8 % rendah dan 29,2% tinggi yang artinya sebagian besar responden telah mengenyam pendidikan SMA dan PT. Semakin tinggi pendidikan formal seseorang maka secara tidak langsung juga akan mempertinggi tingkat pengetahuan seseorang, karena dalam pendidikan terjadi transfer informasi dan ilmu. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan semakin baiknya pengetahuan responden diharapkan akan mempengaruhi dalam pengambilan keputusan dan juga akan berpengaruh pada perilakunya. Ibu dengan pengetahuan tentang anemia yang baik, kemungkinan akan memenuhi gizi dan asupan zat besi selama hamil sehingga bisa memperkecil resiko kejadian anemia. Hal ini terlebih lagi kalau seorang ibu lagi ngidam, di mana perut rasanya tidak mau diisi, mual, muntah dan tidak karuan. Walaupun dalam kondisi yang sedemikian rupa seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik maka ia akan berupaya untuk memenuhi kebutuhan gizinya dan juga bayinya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suparyanto, (2010) bahwa pendidikan meliputi pembelajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Dan didukung oleh pendapat Notoatmodjo (2003) bahwa Semakin tinggi tingkat pendidikan diharapkan semakin baik pula tingkat pengetahuan seseorang. Banyaknya responden yang mempunyai pengetahuan yang baik juga bisa dikaitkan dengan usia responden yang sebagian besar berumur 20 – 35 tahun yang merupakan usia optimal dalam penangkapan informasi. Umur merupakan salah satu faktor yang dapat menggambarkan kematangan baik fisik, psikis maupun sosial. Mulai perjalanan umurnya, 42
semakin dewasa individu yang bersangkutan akan melaksanakan adaptasi perilaku terhadap lingkungan akan tetapi pada umur-umur tertentu atau menjelang usia lanjut kemampuan penerimaan atau mengingat suatu informasi baru maupun pengetahuan yang lampau bisa berkurang (Hendra, 2008). Faktor lain yang menyebabkan pengetahuan responden cukup adalah banyaknya responden yang mempunyai ekonomi yang cukup. Semakin tinggi ekonomi seseorang maka akan meningkatkan kemampuan seseorang untuk bisa mengakses banyak informasi mengenai segala sesuatu termasuk informasi mengenai kesehatan. Ekonomi merupakan faktor yang mendukung perilaku seseorang, misalnya adalah salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada ibu hamil. Pengetahuan dalam penelitian ini adalah suatu hal yang diketahui oleh ibu hamil tentang anemia tentang anemia serta pengaruhnya pada kehamilan. Diharapkan dengan mengetahui hal-hal tersebut dapat membantu ibu dalam meningkatkan status gizinya selama hamil dan gizi janinnya. 3. Kejadian Anemia Hasil penelitian tabel 4.6 dapat dilihat bahwa semakin besar responden tidak mengalami anemia yaitu sebanyak (53,8%) dan (46,2%) responden mengalami anemia. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tingginya kejadian anemia pada ibu hamil dalam penelitian ini memerlukan perhatian yang serius. Mengingat dampaknya terhadap kesehatan yang cukup besar, maka perlu adanya upaya untuk mengetahui faktor risikonya. Hal ini dimaksudkan agar dapat dilakukan upaya pencegahan secara komprehensip. Responden yang mengalami anemia, baik itu anemia ringan dan sedang senada dengan data prevalensi Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 62-81
anemia pada ibu hamil baik di tingkat propinsi Jawa Tengah maupun Kota Semarang. Hasil survey anemia ibu hamil pada 15 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah pada tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi anemia di Jawa tengah adalah 57,7 %, angka ini masih lebih tinggi dari angka nasional yakni 50,9 %. (Profilkes Jateng, 2008). Prevalensi kejadian anemia pada masa kehamilan ini dapat mengakibatkan efek buruk baik pada wanita hamil itu sendiri maupun pada bayi yang akan dilahirkan. Beberapa studi epidemiologi menunjukkan bahwa anemia pada ibu hamil akan meningkatkan risiko kelahiran prematur atau Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), risiko perdarahan sebelum dan saat persalinan yang dapat menyebabkan kematian ibu dan bayinya bila ibu hamil tersebut menderita anemia berat (De Meyer, 1995; Saraswati dan Suwarno. 1998; Soeharyo dan Palarto, 1999;Sutjipto dan Hadi, 2001). Dampak dari anemia pada kehamilan pada derajat yang paling parah bahkan dapat menyebabkan kematian maternal. Diketahui bahwa 40 % kematian ibu saat melahirkan disebabkan oleh karena perdarahan (De Meyer, 1995; Depkes RI, 1996). Ibu hamil dengan anemia berat mempunyai risiko melahirkan bayi mati 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak anemia berat (Saraswati dan Suwarno,1998). 4. Hubungan antara pendidikan dengan kejadian anemia pada kehamilan Hasil penelitian tabel 4.7 dapat dilihat bahwa responden dengan pendidikan rendah (SD,SMP) sebagian besar tidak mengalami anemia yaitu sebesar (52,2%). Pada responden dengan pendidikan tinggi sebesar (57,9%) Hasil uji Chi Square, diperoleh nilai p = 0,883 (p >0,05) sehingga tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan kejadian anemia 43
pada ibu hamil primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ibu hamil mengalami anemia atau tidak mengalami anemia semua tergantung dari kesadaran mereka untuk memperbaiki kebutuhan gizinya selama hamil dan tambahan zat besi berupa tablet besi yang biasa diperoleh dari puskesmas sewaktu mereka memeriksakan kehamilan. Hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Darlina (2003) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara pendidikan ibu dengan kejadian anemia di Kota Bogor Jawa Barat. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian tentang hubungan antara karakteristik ibu hamil dengan kejadian anemia di RSUD Dr. Syidiman Magetan yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan kejadian anemia. Temuan tersebut tidak sesuai dengan teori yang dikemukakan Notoatmodjo (2003) yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, dan baiknya pengetahuan seseorang bisa menyebabkan baiknya perilaku seseorang. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian tentang prevalensi dan determinan kejadian anemia pada ibu hamil oleh Irwan Budiono (2009) yang menyatakan bahwa pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan prevalensi anemia pada ibu hamil. 5. Hubungan antara ekonomi dengan kejadian anemia pada kehamilan Hasil penelitian tabel 4.8 dapat dilihat bahwa pada responden dengan ekonomi cukup sebagian besar mengalami anemia yang terdiri dari anemia ringan dan sedang yaitu sebesar (69,2%). Pada responden dengan
Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 62-81
ekonomi baik paling banyak tidak mengalami anemia sebesar (69,2 %). Hasil uji Chi Square, diperoleh nilai p = 0,005 (p < 0,05) sehingga ada hubungan yang signifikan antara ekonomi dengan kejadian anemia pada ibu hamil primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan pendapatan secara langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya, penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli, yang dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan tubuh akan zat gizi, salah satunya tidak terpenuhinya kebutuhan tubuh akan zat besi, sehingga dapat berdampak timbulnya kejadian anemia. Ekonomi seseorang dikelompokkan berdasarkan tingkat penghasilannya dan merujuk pada tingkat kelayakan hidup di daerah penelitian, dalam penelitian ini di Kabupaten Semarang. Hasil penelitian ini senada dengan penelitian Nugraheni, SA., (1997) menyatakan bahwa ada hubungan antara pendapatan keluarga dan status anemia ibu hamil. Menurut Gibson, RS., (1990), pendapatan keluarga akan mempengaruhi daya beli masyarakat. Selanjutnya daya beli akan mempengaruhi ketersediaan pangan keluarga. Pada akhirnya ketersediaan pangan keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan keluarga. Konsumsi pangan dalam hal ini asupan bahan makanan sumber zat besi merupakan penyebab langsung dari status anemia. Ekonomi juga selalu menjadi faktor penentu dalam proses kehamilan yang sehat. Keluarga dengan ekonomi yang cukup dapat memeriksakan kehamilannya secara rutin, dapat 44
mencukupi kebutuhan nutrisi selama hamil, merencanakan persalinan di mana dan ditolong siapa (Kesepro, 2007). Dengan tingkat ekonomi yang baik/cukup maka kebutuhan gizi ibu juga akan baik/terpenuhi dan pada akhirnya kejadian anemia juga bisa diminimalisir. Memperhatikan temuan bahwa terdapat keluarga dari sampel penelitian mempunyai tingkat pendapatan keluarga yang termasuk rendah, maka perlu adanya berbagai upaya untuk meningkatkan akses terhadap bahan pangan sumber zat besi. Perlu adanya pemahaman bahwa makanan yang mengandung zat gizi pencegah anemia kehamilan tidak hanya pada makanan yang harganya mahal, namun masyarakat bisa memanfaatkan lahan untuk menanam bayam, kangkung dan sayuran hijau lainnya yang bisa mencegah anemia. Oleh karena itu peningkatan konsumsi pangan lokal ini perlu mendapat perhatian agar dapat lebih dimanfaatkan. Penelitian sejalan dengan penelitian tentang prevalensi dan determinan kejadian anemia pada ibu hamil oleh Irwan Budiono (2009) yang menyatakan bahwa penghasilan ibu merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan prevalensi anemia pada ibu hamil Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Darlina (2003) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara pekerjaan ibu dengan kejadian anemia di Kota Bogor Jawa Barat. 6. Hubungan antara pengetahuan dengan kejadian anemia pada kehamilan Hasil penelitian tabel 4.5 dapat dilihat bahwa pada responden dengan pengetahuan cukup sebagian besar mengalami anemia sebesar (65,9%). Pada responden dengan pengetahuan baik sebagian besar tidak mengalami anemia (87,5%). Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 62-81
Hasil uji Chi Square, diperoleh nilai p = 0,000 ( p < 0,05) sehingga ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang anemia dengan kejadian anemia pada ibu hamil primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang. Sehingga dapat ditarik garis kesimpulan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia adalah kurangnya pengetahuan ibu tentang anemia. Masih kurangnya pengetahuan ibu meliputi ketidaktahuan tentang tanda-tanda dan gejala awal anemia. Selain itu, ibu tidak mengetahui bahwa asupan makanan saat hamil akan bertambah banyak untuk kebutuhan ibu dan bayinya, sehingga banyak ibu hamil yang tidak memperhatikan pola makan. Hal ini dimungkinkan karena kurangnya pengertian ibu mengenai makanan bergizi bagi ibu hamil. Selain itu juga bahwa dalam kenyataan tidak semua ibu hamil yang mendapatkan tablet besi meminumnya secara rutin. Hal ini dimungkinkan karena faktor ketidaktahuan pentingnya tablet besi dalam kehamilannya sehingga menimbulkan dampak yang kurang baik. Pengetahuan merupakan faktor yang penting untuk terbentuknya perilaku seseorang, karena dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih bertahan lama. Dari perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan ibu hamil tentang anemia adalah segala sesuatu tentang anemia yang diketahui oleh orang perempuan yang sedang mengandung. Adanya pengetahuan tentang anemia akan menyebabkan orang mempunyai sikap positif terhadap program pencegahan anemia. Diharapkan dengan sikap positif terhadap pencegahan anemia, sehingga akan menurunkan angka kejadian anemia pada ibu hamil (Yadi, 2008). 45
Anemia dalam kehamilan disebut “potensial danger to mother and child” (potensial membahayakan ibu dan anak). Oleh sebab itu, anemia memerlukan perhatian serius dari semua pihak yang terkait dalam pelayanan kesehatan pada masa yang akan datang. Hasil penelitian ini sesuai dengan Hasil penelitian serupa yang berjudul Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil Dengan Pencegahan Anemia Selama Kehamilan Oleh Muzayyaroh, mahasiswa jalur transfer program studi DIV Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta menunjukkan hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan ibu hamil dengan pencegahan anemia selama kehamilan. Hasil penelitian sejenis oleh Ummi Jamilah, Mahasiswa Akademi Kebidanan Mitra Husada Karanganyar dengan judul Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Tablet Besi Dengan Keteraturan Mengkonsumi Tablet Besi Di Puskesmas Tasik Madu Karanganyar pada Tahun 2007. Penelitian tersebut dari 34 responden dengan menggunakan teknik aksidental sampling didapat ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu hamil tentang tablet besi dengan keteraturan mengkonsumsi tablet besi. Menurut Irmayati (2007) salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan ibu hamil tentang anemia dalam kehamilan adalah karena kekurangan informasi. Oleh sebab itu, sebagai tenaga kesehatan khususnya bidan yang berhubungan langsung dengan ibu hamil yang ada di masyarakat harus memberikan informasi yang cukup khususnya tentang anemia dalam kehamilan Diharapkan dengan adanya informasi yang cukup maka ibu hamil mampu melakukan upaya pencegahan anemia dalam kehamilan sehingga angka kejadian anemia bisa turun. Keterbatasan Penelitian Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 62-81
Pada penelitian ini terdapat keterbatasan yang didapat antara lain adalah tidak semua variabel dapat diteliti. Keterbatasan ruang lingkup kajian yang terpaksa dilakuan karena alasan prosedural, teknik penelitian, ataupun karena faktor logistik. Yang kedua yaitu keterbatasan waktu, sumber daya, biaya dan studi pustaka. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada ibu hamil primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang didapatkan simpulan sebagai berikut : 1. Pendidikan responden sebagian besar memiliki pendidikan rendah (SD,SMP) (70,8%) dan (29,2%) responden memiliki pendidikan tinggi (SMA,PT). 2. Responden yang memiliki ekonomi baik (60%) dan (40%) responden memiliki ekonomi cukup. 3. Responden yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang anemia pada kehamilan (63,1%) dan (36,9%) responden memiliki pengetahuan baik. 4. Tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara pendidikan responden dengan kejadian anemia pada ibu hamil primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang. Nilai p = 0,883 dengan standar deviasi 0,787 s/d 0,443. 5. Ada hubungan yang bermakna secara statistik antara ekonomi responden dengan kejadian anemia pada ibu hamil primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang. Nilai p = 0,005 dengan standar deviasi 0,005 s/d 0,002. 6. Ada hubungan yang bermakna secara statistik antara pengetahuan responden dengan kejadian anemia pada ibu hamil primigravida di Puskesmas Semowo Kab. Semarang. Nilai p = 0,000 dengan standar deviasi 0,000 s/d 0,000. 46
Saran 1. Bagi Masyarakat (Ibu Hamil) a. Diharapkan lebih aktif mencari informasi mengenai seluk beluk kehamilan melalui bidan, internet dan sumber lainnya b. Selalu mengkonsumsi makanan yang bergizi dan mengandung zat besi selama kehamilannya serta dapat berkonsultasi dengan bidan desa. c. Memanfaatkan lahan pekarangan rumahnya untuk menanam sayuran yang mengandung zat gizi khususnya zat besi seperti kangkung, bayam, kentang, dan kacang-kacangan, 2. Bagi Peneliti Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan kejadian anemia sehingga dapat menemukan penanganan yang lebih baik dan diharapkan bisa memperbaiki dan lebih menyempurnakan penelitian ini sehingga hasilnya akan lebih baik. 3. Bagi Institusi Diharapkan menambah referensi terbaru di perpustakaan untuk mempermudah mahasiswa dan dosen dalam penyusunan penelitian ilmiah. 4. Bagi Pelayanan Kesehatan Perlu membuat program penyuluhan yang efektif untuk meningkatkan pengetahuan ibu hamil mengenai penanganan kehamilan termasuk anemia kehamilan. DAFTAR PUSTAKA Anindya. 2010. Anemia Secara Umum. Diambil tanggal 10 April 2011 dari http://kesehatan.wordpress.com BKKBN, 2001. Kamus Istilah Kependudukan KB dan Keluarga Sejahtera: Jakarta. Darlina. 2003. Berhubungan
Faktor-faktor yang dengan Kejadian
Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 62-81
anemia gizi pada hamil di Kota Bogor Jawa Barat. Skripsi De Meyer, EM. 1995. Pencegahan dan Pengawasan Anemia Defisiensi Besi. Alih bahasa : Arisman MB. Jakarta:Widya Medika Dinas Kesehatan Jateng, 2010. Profil Kesehatan 2009 Fitri, 2010. Dampak Anemia Pada Kehamilan. Diambil tanggal 10 April 2011 dari http://mediaindo.com Hurlock E.B. 2005. Psikologi Perkembangan. Jakarta : EGC Irwan Budiono. Prevalensi dan Determinan Kejadian Anemia pada Ibu Hamil di Perkampungan Nelayan (studi kasus di kelurahan Mangkang Wetan Semarang)/ Jamilah, Ummi. 2007. Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Tablet Besi Dengan Keteraturan Mengkonsumi Tablet Besi. Karya Tulis Ilmiah Kasbu, D. 2007. Info Lengkap Kehamilan dan Persalinan. Jakarta : PT. Gemini Mitra Gemilang Kusumawardani, Endah. 2010. Waspada Penyakit Darah Mengintai Anda. Yogyakarta : Hanggar Kreator. Manuaba, Ida Bagus Gde, 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta, EGC Meliono, Irmayanti, dkk. 2007. Pengetahuan. MPKT Modul 1. Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI. Muzayyaroh, 2007. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil Dengan Pencegahan Anemia Selama Kehamilan. Karya Tulis Ilmiah
47
Nita, 2010. Akibat Terjadi Anemia. Diambil tanggal 15 April 2011 dari http://forbetterhealth.com Notoatmodjo, S. 2005.Metedologi Penelitian dan Keseharian. Jakarta : Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. 2007. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Nugraheni, SA., 1997. Pengetahuan, sikap dan praktek ibu hamil hubungannya dengan anemia. Tesis Saraswati, E., Suwarno, I., 1998. Risiko ibu hamil kurang energi kronis dan anemia untuk melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah. Penelitian Gizi dan Makanan Saryono. A. 2010. Metodologi Penelitian Kebidanan DIII, DIV, S1 dan S2. Yogyakarta : Nuha Medika Soebroto, I. 2009. Cara Mudah Mengatasi Problem Anemia. Yogyakarta : Bangkit. Sugiyono. 2008. Statistik Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta Suparyanto. 2010. Konsep Dasar Pengetahuan Dasar Ilmiah. Diambil tanggal 10 April 2010. Wiknjosastro, H. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka. Yudim. 2010. Klasifikasi Anemia. Diambil tanggal 10 April 2010
Medica Obstetrica, Vol 3 No 1, Januari 2012 : 62-81
ISSN 2008-5156, Vol.3 N0 1, Januari 2012 FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA KADER POSYANDU DALAM PELAKSANAAN KEGIATAN POSYANDU DI DESA DIWAK KECAMATAN BERGAS KABUPATEN SEMARANG Isri Nasifah1), Monica Diah L2) Akademi Kebidanan Ngudi Waluyo Email:up2m@akbidngudiwaluyo ABSTRAK FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA KADER POSYANDU DALAM PELAKSANAAN KEGIATAN POSYANDU DI DESA DIWAK KECAMATAN BERGAS KABUPATEN SEMARANG. Posyandu merupakan salah satu usaha kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) sudah dikenal dalam kehidupan sosial masyarakat serta merupakan pos terdepan deteksi gangguan kesehatan masyarakat. Studi pendahuluan yang dilakukan menunjukkan (80%) kinerja kader posyandu mengalami penurunan. Tujuan penelitian ini adalah menggambarkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja kader posyandu di desa Diwak kecamatan Bergas kabupaten Semarang. Penelitian ini menggunakan desain korelatif deskriptif dengan pendekatan cross secsional. Populasi penelitian adalah semua kader posyandu yaitu 10 kader. Pengambilan sampel menggunakan metode total sampling. Data diambil menggunakan metode kuesioner dan observasi serta disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi atau proporsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari faktor keterampilan (87,5%) kader mempunyai keterampilan baik. Semua kader (100%) pernah meninggalkan kegiatan posyandu demi pekerjaan lain, (87,5%) kader memiliki motivasi kurang, (100%) kader tidak mendapatkan penghargaan dan (75%) kehadiran kader kurang dari 8 kali dalam satu tahun. Saran bagi kader posyandu diharapkan lebih meningkatkan partisipasi dan keaktifannya dalam pelaksanaan kegiatan posyandu sehingga kinerja dari kader posyandu menjadi lebih baik dan kualitas pelayanan posyandu meningkat. Kata Kunci : Kinerja, Kader, Posyandu. perkembangan paradigma pembangunan yang telah ditetapkan arah kebijakan pembangunan kesehatan, yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004 – 2009 bidang kesehatan yang lebih mengutamakan pada upaya preventif, promotif dan pemberdayaan keluarga serta masyarakat dibidang kesehatan (Depkes RI, 2005). Gambaran masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan adalah masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam
PENDAHULUAN Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asazi yang tercantum dalam UUD 1945, pasal 28 H ayat 1 UU No. 23 tahun 1992 dan sekaligus sebagai investasi. Perlu diupayakan, diperjuangkan dan ditingkatkan oleh setiap individu dan oleh seluruh komponen bangsa agar masyarakat dapat menikmati hidup sehat dan pada akhirnya dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Sejalan dengan 28
lingkungan dan dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggitingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Keadaan masyarakat Indonesia dimasa depan direfleksikan dalam bentuk motto “Indonesia Sehat 2010”. Tahun 2010 dipilih dengan pertimbangan bahwa satu dasawarsa merupakan waktu yang tepat untuk mencapai suatu cita-cita, sehingga dianggap cukup menantang dan inspiratif tetapi masih realistis. Mewujudkan Indonesia Sehat 2010 diperlukan peran serta masyarakat dan pemberdayaan masyarakat (Wahyuningsih, 2009). Salah satu bentuk upaya pemberdayaan masyarakat dibidang kesehatan adalah menumbuh kembangkan posyandu. Posyandu merupakan salah satu usaha kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) yang sudah sangat luas dikenal di masyarakat dan telah masuk dalam bagian keseharian kehidupan sosial di pedesaan maupun di perkotaan dan merupakan pos terdepan dalam mendeteksi gangguan kesehatan masyarakat. Posyandu adalah bagian dari pelaksanaan kegiatan puskesmas yang memberikan pelayanan dan pemantauan kesehatan yang dilakukan secara terpadu (Ambarwati, 2009). Posyandu merupakan pos terdepan dalam mendeteksi gangguan kesehatan masyarakat. Kegiatan posyandu dilakukan, oleh dan untuk masyarakat. Posyandu sebagai wadah peran serta masyarakat, yang menyelenggarakan sistem pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar, peningkatan kualitas manusia dan secara empirik memeratakan pelayanan bidang kesehatan yang meliputi pelayanan imunisasi, pendidikan gizi masyarakat, pelayanan kesehatan ibu dan anak serta merupakan wahana berbagai program (Depkes RI, 2005). Pelayanan kesehatan terpadu adalah suatu bentuk keterpaduan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di suatu wilayah kerja puskesmas. Tempat
pelaksanaan pelayanan program terpadu di balai dusun atau balai kelurahan. Pelayanan posyandu adalah pelayanan ibu dan anak, keluarga berencana, pemberantasan penyakit menular dengan imunisasi, penanggulangan diare dan gizi yang dilakukan dengan penimbangan balita dan pemberian makanan tambahan (PMT). Sasaran posyandu adalah ibu hamil, ibu menyusui, ibu nifas, pasangan usia subur, lansia dan balita (Wahyuningsih, 2009). Program posyandu merupakan strategi jangka panjang untuk menurunkan angka kematian bayi, angka kelahiran balita dan angka kematian ibu di suatu daerah merupakan standar keberhasilan pelaksanaan program terpadu di suatu wilayah. Untuk mewujudkan hal itu, diperlukan peran serta masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan posyandu karena posyandu adalah milik masyarakat, dilaksanakan oleh masyarakat dan ditujukan untuk kepentingan masyarakat (Ambarwati, 2009). Repelita III baru tercatat 25.000 posyandu, akhir Repelita IV menjadi lebih dari 213.000 posyandu, tahun 1996 tercatat sekitar 224.000 posyandu, tahun 2007 tercatat 235.000 posyandu. Repelita V dilaksanakan kebijakan penempatan bidan di desa. Penempatan bidan tersebut bertujuan agar di setiap desa setidaktidaknya terdapat seorang bidan yang dapat memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak, baik sebagai tenaga puskesmas maupun perorangan (Soemanto, 1999). Krisis ekonomi yang melanda Indonesia juga mempengaruhi aktivitas posyandu, hal ini tampak dengan adanya penurunan aktivitas kader di posyandu dan banyaknya kader yang drop out. Kurangnya pembinaan baik dari petugas maupun dari institusi yang ada di desa, mengakibatkan turunnya aktivitas posyandu di lapangan. Kenyataan ini mengakibatkan banyak posyandu yang tidak aktif (Wahyuningsih, 2009). Dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan posyandu agar menjangkau semua lapisan masyarakat, maka
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Kader Posyandu dalam Pelaksanaan Kegiatan Posyandu di Desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang
29
peningkatan kualitas layanan kader posyandu menjadi tonggak penting yang harus diperhatikan. Dengan peningkatan pengetahuan dan pemahaman, diharapkan kader posyandu mengerti proses tata laksana posyandu yang efektif, kondisi kesehatan balita dan deteksi dini kasus gizi buruk pada balita (Ambarwati, 2009). Penekanan yang tidak kalah penting adalah menyangkut kemampuan kader posyandu sebagai agen sosial yang dilengkapi dengan pengenalan diri yang baik dan perangkat etika dalam berinteraksi dengan masyarakat, sehingga para kader posyandu mampu menjadi contoh yang positif di lingkungannya. Sebagai agen sosial, kader posyandu juga harus memahami program-program apa saja yang diberikan oleh pihak pemerintah yang bisa diakses masyarakat dan bagaimana memperoleh kesempatan atas program tersebut (Wahyuningsih, 2009). Kenyataan beberapa tahun terakhir ini, di beberapa daerah kinerja dan partisipasi kader posyandu dirasakan menurun disebabkan antara lain krisis ekonomi, kejenuhan kader karena kegiatan yang rutin, kurang dihayati sehingga kurang menarik dan posyandu jarang dikunjungi petugas. Sedangkan posyandu merupakan institusi strategis, karena melalui posyandu permasalahan kesehatan seperti gizi dan KB dapat diketahui sejak dini termasuk jika ada anak balita yang mengalami gangguan tumbuh kembang (Hemas, 2005). Meningkatkan derajat kesehatan serta melihat kemunduran kinerja posyandu, Mendagri menginstruksikan program revitalisasi posyandu melalui surat edaran No. 411.3/536/SJ tanggal 3 Maret 1999. Revitalisasi posyandu adalah upaya pemberdayaan posyandu untuk mengurangi dampak krisis ekonomi terhadap penurunan status gizi dan kesehatan ibu dan anak, yang bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan kinerja posyandu. Pelaksanaannya diselenggarakan dengan dukungan Lembaga Kesehatan Masyarakat Desa
(LKMD), tim penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sektor swasta dan sektor terkait (Yulifah, 2009). Posyandu sangat bergantung pada peran kader. Kader-kader posyandu pada umumnya adalah relawan yang berasal dari tokoh masyarakat yang dipandang memiliki kemampuan lebih dibanding anggota masyarakat lainnya. Mereka inilah yang mempunyai andil besar dalam memperlancar proses pelayanan kesehatan primer. Namun, keberadaan kader relatif labil karena partisipasinya bersifat sukarela sehingga tidak ada jaminan bahwa kader akan tetap menjalankan fungsinya dengan baik seperti yang diharapkan. Jika ada kepentingan keluarga atau kepentingan lainnya posyandu ditinggalkan (Meilani, 2009). Menurut Suryatim (2001), partisipasi, keaktifan dan kinerja kader posyandu dipengaruhi oleh status pekerjaan, tingkat pendapatan, tingkat pengetahuan serta keikutsetaan dengan organisasi lain. Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan di desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang, dari 10 kader posyandu yang ada terdapat 8 kader (80%) kinerjanya dalam pelaksanaan kegiatan posyadu menurun. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik dan melakukan penelitian dengan judul “Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Kader Posyandu dalam Kegiatan Posyandu di desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang”. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka perumusan masalah pada karya tulis ilmiah ini yaitu “Apa saja faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja kader posyandu dalam pelaksanaan kegiatan posyandu di desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang?” Tujuan Penelitian
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Kader Posyandu dalam Pelaksanaan Kegiatan Posyandu di Desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang
30
Tujuan umum dari penelitian yaitu untuk menggambarkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja kader posyandu dalam pelaksanaan kegiatan posyandu di desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang. Tujuan khususnya untuk : 1. Menggambarkan faktor individu yaitu keterampilan kader posyandu dalam pelaksanaan kegiatan posyandu. 2. Menggambarkan faktor individu yaitu pekerjaan kader terhadap
ketidakhadiran kader dalam pelaksanaan kegiatan posyandu. 3. Menggambarkan faktor psikologis yaitu motivasi kader dalam pelaksanaan kegiatan posyandu. 4. Menggambarkan faktor organisasi yaitu pemberian penghargaan kepada kader posyandu dalam pelaksanaan kegiatan posyandu. 5. Menggambarkan kinerja kader posyandu dalam pelaksanaan kegiatan posyandu
KERANGKA KERJA PENELITIAN Kerangka Teori Faktor-faktor yang berpengaruh : Faktor individu a. Kemampuan b. Keterampilan c. Latar belakang keluarga d. Pengalaman e.Faktor Tingkat sosial psikologis f.a. Demografi Persepsi g.b. Pendidikan Peran h.c. Pekerjaan Sikap d. Kepribadian Faktor Organisasi e. Motivasi a. f. Struktur Kepuasanorganisasi kerja b. Desain pekerjaan c. Kepemimpinan d. Penghargaan
Kinerja Kader Posyandu
Bagan 3.1 Kerangka Teori Kerangka Konsep Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja yaitu : a. Keterampilan b. Pekerjaan c. Motivasi d. Penghargaan
Bagan 3.2 Kerangka Konsep
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Kader Posyandu dalam Pelaksanaan Kegiatan Posyandu di Desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang
31
Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional No.
Variabel
1.
Keterampilan
2.
Pekerjaan
3.
Penghargaan
4.
Motivasi
Definisi Operasional Suatu keahlian yang dimiliki oleh seseorang yang diperoleh dari pelatihan yang diterima.
Segala aktivitas yang dilakukan sesorang Sesuatu yang diterima oleh kader sebagai bentuk tanda terima kasih atas jasa pelayanan yang diberikan. Daya pendorong yang mengakibatkan seorang kader mau dan rela untuk menyerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian, keterampilan, tenaga dan waktu untuk menyelenggara kan kegiatan posyandu yang menjadi tanggung jawabnya.
Alat Ukur
Hasil
Skala
Observasi. Keterampilan kader dalam melakukan sistem 4 meja, masing-masing kader 4 meja. Skor 2, jika kader dapat melakukan dengan sistematis dan benar. Skor 1, jika kader mampu melakukan tetapi tidak efisien.
Terampil : jika skor 14-24 Kurang terampil : jika skor 013
Kuesioner dengan 4 pertanyaan. Jawaban “Ya” = 1 Jawaban “Tidak” = 0 Kuesioner dengan 3 pertanyaan. Jawaban “Ya” = 1 Jawaban“Tidak”= 0
Baik : >2 Kurang Baik ≥ 2
Kuesioner dengan 7 pertanyaan. Jawaban “Ya” = 1 Jawaban “Tidak” =0
Motivasi Nominal tinggi: ≥ 6 Motivasi rendah : ≤ 5
Nominal
Nominal
Baik : > 2 Nominal Kurang Baik : ≤ 2
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Kader Posyandu dalam Pelaksanaan Kegiatan Posyandu di Desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang
32
5.
Kinerja
Penampilan hasil karya kelompok kader posyandu baik kualitas maupun kuantitas dalam kegiatan posyandu.
METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian korelasi deskriptif yaitu untuk mengetahui hubungan yang terjadi pada sebuah fenomena dan penggunaannya untuk mengidentifikasi hubungan yang terjadi sesaat, tanpa perlu kelompok kontrol atau uji coba. Pendekatan cross sectional adalah suatu penelitian yang dilakukan dengan pengamatan yang sesaat atau dalam suatu periode tertentu dan setiap subjek studi hanya dilakukan satu kali pengamatan selama penelitian (Suyanto, 2008). Penelitian ini dilakukan menggunakan desain penelitian deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional yaitu untuk mengetahui keterampilan, pekerjaan, motivasi dan penghargaan yang dapat mempengaruhi kinerja kader posyandu. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi adalah keseluruhan objek yang menjadi sasaran penelitian (Wahyuni, 2009). Populasi dalam penelitian dilakukan pada adalah semua kader posyandu di desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang. Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan obyek penelitian dan dianggap mewakili populasi tersebut (Machfoedz, 2008). Besar sampel dalam penelitian yang akan dilakukan adalah 10 kader posyandu. Teknik sampling yang digunakan adalah total sampling atau sensus yaitu
Menggunakan observasi. Berapa kali kader hadir dalam kegiatan posyandu dalam 1 tahun.
Baik : Nominal >8 kali. Kurang Baik : ≤ 8 kali.
penelitian yang mengambil seluruh objek penelitian atau seluruh populasi (Wahyuni, 2009). Besar sampel yang digunakan dalam penelitian adalah 10 kader posyandu dan menggunakan teknik total sampling. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria inklusi adalah karekteristik umum subjek penelitian pada populasi target dan populasi terjangkau yang akan diteliti (Nursalam, 2002). Kriteria inklusi dalam karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut: 1. Kader yang bersedia menjadi responden. 2. Kader yang sudah 1 (satu) tahun menjadi kader posyandu. Kriteria ekslusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi karena berbagai sebab (Nursalam, 2002). Kriteria ekslusi dalam karya tulis ilmiah ini yaitu : a. Kader yang tidak hadir dalam kegiatan posyandu. b. Kader yang tidak melakukan sistem empat meja dalam posyandu. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di desa Diwak Kecamatan Bergas pada tanggal 6 Juni sampai dengan 16 Juni 2010. Teknik Pengumpulan Data
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Kader Posyandu dalam Pelaksanaan Kegiatan Posyandu di Desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang
33
Metode observasi yaitu metode pengumpulan data primer dengan cara melakukan pengamatan secara langsung di lokasi penelitian. Observasi nonpartisipasi adalah dimana si peneliti tidak mengikuti secara langsung aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh objek penelitian melainkan hanya mengamati dari luar (Wahyuni, 2009). Metode kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang diketahui (Arikunto, 2006). Pengumpulan data untuk penelitian, peneliti telah membuat kuesioner yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja kader posyandu yang sebelumnya diuji validitas dan reabilitas instrumen. 1. Uji Validitas Menurut Wahyuni (2009), validitas adalah menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur mampu mengukur apa yang seharusnya diukur. Menguji validitas instrumen menggunakan rumus product moment yaitu : n ( xy) - ( x. y) r (n. x 2 - (x 2 )(n. y 2 - ( y) 2 ) Keterangan : R = Koefisien korelasi x = Skor jawaban y = Skor total xy= Skor jawaban dikali skor total N= Banyaknya sampel Berdasarkan hasil uji validitas yang telah dilakukan dari pertanyaan tentang motivasi ada tiga pertanyaan yang tidak valid yaitu nomor 2, 4 dan 7. Pertanyaan tentang penghargaan terdapat dua pertanyaan yang tidak valid yaitu nomor 4, 5 dan pertanyaan tentang pekerjaan ada satu pertanyaan yang tidak valid yaitu pertanyaan nomor 3. Secara keseluruhan dari 20 pertanyaan terdapat 6 pertanyaan yang tidak valid dan 6 pertanyaan tersebut dihapus serta 14 pertanyaan yang ada dilakukan uji validitas ulang. Uji
validitas ini dilakukan di desa Jatijajar Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang pada tanggal 16 Mei 2010. 2. Uji Reabilitas Reabilitas adalah menunjukkan sejauh mana alat ukur mampu mengukur secara konsisten terhadap apa yang diukur. Reabilitas berhubungan dengan konsistensi hasil pengukuran. Alat ukur yang konsisten berarti akan memberikan hasil yang sama meskipun pengukuran dilakukan secara berkalikali pada waktu dan tempat yang berbeda (Wahyuni, 2009). Penelitian yang dilakukan diuji reabilitas, menggunakan rumus Spearmen Brown yaitu : 2r r11 s 1 rs Keterangan : r11 = koefisien reliabilitas internal seluruh item rs = korelasi product moment antara belahan Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah metode observasi nonpartisipasi yaitu peneliti tidak mengikuti kegiatan posyandu melainkan hanya mengamati kegiatan posyandu serta menggunakan kuesioner. Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Data primer Data primer adalah data yang didapat langsung dari sumbernya (subjek penelitian) (Wahyuni, 2009). Penelitian yang akan dilakukan menggunakan metode observasi dan kusioner dengan cara sebagai berikut: a. Penulis mengirim surat ke Kesbanglinmas untuk mendapatkan izin penelitian. b. Melakukan informed consent kepada bidan desa dan kader. c. Memperkenalkan diri.
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Kader Posyandu dalam Pelaksanaan Kegiatan Posyandu di Desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang
34
d. Menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kepada kader dengan bantuan bidan desa. e. Mengikuti dan mengamati kegiatan posyandu. f. Menyerahkan kuesioner setelah kegiatan posyandu selesai. g. Membagikan kuesioner kepada responden, mengingatkan agar semua kuesioner diisi dan setelah selesai dikembalikan kepada peneliti. 2. Data sekunder Data sekunder yaitu data yang tidak didapat langsung dari sumbernya melainkan didapat dari pihak lain (Wahyuni, 2009). Data sekunder didapat dari absen daftar hadir kader dalam kegiatan posyandu dan keikutsertaan kader dalam kegiatan penyuluhan dan pelatihan. Etika Penelitian Menurut Machfoedz, 2008, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian yaitu : 1. Peneliti harus menjelaskan dengan sejelas-jelasnya akan maksud dan tujuan serta manfaat dari penelitian. 2. Peneliti harus meminta persetujuan dari subjek penelitian bila telah memberi penjelasan dengan sebaik-baiknya. 3. Peneliti tidak boleh mengelabui, menyembunyikan beberapa maksud dan tujuan penelitian, dengan harapan subjek mau bekerja sama. 4. Peneliti tidak boleh merekam pembicaraan tanpa persetujuan subjek penelitian. Bila dilanggar tanpa sepengetahuan subjek penelitian berarti suatu kejahatan. 5. Identitas subjek penelitian harus dilindungi dan tidak boleh dipublikasikan baik lisan maupun tulisan tanpa persetujuan subjek penelitian. 6. Peneliti tidak boleh mempublikasikan foto tanpa persetujuan subjek penelitian yang bersangkutan. 7. Tidak boleh menghubungi subjek penelitian diluar waktu yang sudah
ditetapkan tanpa persetujuan subjek penelitian yang bersangkutan. 8. Sikap dan perlakuan peneliti terhadap subjek penelitian harus sopan, menghormati dan memegang prinsip kesetaraan. 9. Peneliti tidak boleh memaksakan kehendak diluar kemampuan untuk berbuat atau memberi feedback informasi diluar kemampuannya baik fisik maupun kognitif. Teknik Pengolahan Data Pengolahan data merupakan proses penataan data, karena data hasil pengumpulan masih berbentuk data kasar. Pengolahan data ini digunakan agar data kasar dapat diorganisir, disajikan dan dianalisa lebih lanjut sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan. Pengolahan data yang akan dilakukan yaitu : 1. Memeriksa data (editing) Editing adalah melihat kembali hasil pengumpulan data, baik isi maupun wujud dari alat pengumpul datanya. Proses editing ini meliputi : a. Menjumlah, maksudnya menghitung jumlah lembaran daftar pertanyaan yang telah diisi, apakah sesuai dengan jumlah yang dikehendaki. Pekerjaan ini sebaiknya dilakukan d ilapangan atau di tempat yang dekat dengan sumber data, sehingga bila ada kekurangan dapat segera dilengkapi. Perlu juga dilakukan perhitungan-perhitungan tertentu sebelum hasilnya dimasukkan ke dalam lembar catatan atau jawaban. b. Koreksi maksudnya membetulkan setiap kesalahan, kekurangan atau keraguan jawaban atau hasil pengamatan yang ditemui di lapangan. 2. Memberi kode (coding) Pemberian kode dimaksudkan untuk mempermudah dalam pengolahan dan proses selanjutnya melalui tindakan pengklafikasian data. Sebaiknya semua
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Kader Posyandu dalam Pelaksanaan Kegiatan Posyandu di Desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang
35
variable diberi kode terutama data klasifikasi. 3. Menyusun data (tabulating) Menyusun data adalah mengorganisasir data sedemikian rupa sehingga mudah untuk dijumlah, disusun dan disajikan dalam bentuk tabel atau grafik serta dianalisis sesuai dengan fasilitas yang digunakan, penyusunan data melalui komputer akan memberikan hasil yang jauh lebih baik. Analisa Data Analisis data penelitian merupakan media untuk menarik kesimpulan dari seperangkat data hasil pengumpulan. Analisis data yang akan dilakukan berdasarkan jumlah variabelnya yaitu analisis univariat. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisa dengan membandingkan antara variabel-variabel kasus dan berdasarkan status paparannya. Untuk mempermudah analisa data maka digunakan program SPSS yaitu analisis univariat yang merupakan data yang diperoleh dari hasil pengumpulan data yang dapat disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, tendensi sentral atau grafik (Setiawan, 2010). HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Tempat Penelitian Tempat penelitian yang digunakan penulis dalam pengumpulan data untuk penyusunan karya tulis ilmiah ini adalah desa Diwak yang termasuk dalam Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang. Desa Diwak terdapat 6 RT, 1 RW, serta terdiri dari 2 dusun yaitu Diwak dan Kalisori. Jumlah penduduk adalah 948 penduduk., laki-laki berjumlah 412 orang dan perempuan 536 orang. Balita di desa Diwak berjumlah 93 orang, laki-laki 61 balita dan perempuan berjumlah 32 balita. Jumlah lansia adalah 105 orang, laki-laki 57 orang dan perempuan 48 orang.
Pasangan usia subur berjumlah 114 pasangan usia subur. Batas-batas dari desa Diwak adalah sebelah barat berbatasan dengan Bergas Kidul, sebelah timur berbatasan dengan Derekan, sebelah utara berbatasan dengan Ngempon dan sebelah selatan berbatasan dengan desa Jatijajar. Penelitian ini dilakukan di desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang, pada tanggal 6 Juni sampai dengan 16 Juni 2010. Pengambilan data dilakukan terhadap 8 orang kader posyandu lansia dan balita yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Karekteristik Demografi Responden Distribusi responden berdasarkan umur kader posyandu Tabel 5.1 Tabel Distribusi Responden Berdasarkan Umur Kader Posyandu di desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang. Pekerjaan 20-30 Th > 35 Th Total
Frekuensi 6 2 8
Persentase (%) 75 25 100,0
Tabel 5.1. menunjukkan bahwa sebagian besar responden kader posyandu dalam penelitian ini berumur 20-30 tahun (75%), sedangkan sebagian kecil kader berumur diatas 30 tahun (25%). Analisis Univariat 1. Keterampilan Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Keterampilan Kader Posyandu Dalam Melaksanakan Kegiatan posyandu. Keterampilan Terampil Kurang terampil Total
Frekuensi 7 1
Persentase (%) 87,5 12,5
8
100,0
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Kader Posyandu dalam Pelaksanaan Kegiatan Posyandu di Desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang
36
Tabel 5.2. menunjukkan bahwa keterampilan sebagian kader posyandu baik posyandu balita dan posyandu lansia 7 kader (87,5%) dari pelaksanaan kegiatan posyandu yang dilakukan mempunyai keterampilan baik dan 1 (12,5%) mempunyai keterampilan kurang. 2. Pekerjaan Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan Kader Posyandu yang Menyebabkan Meninggalkan Kegiatan Posyandu. Pekerjaan Frekuensi Persentas e (%) Baik 0 0 Kurang baik 8 100,0 Total 8 100,0 Tabel 5.3. menunjukkan bahwa dilihat dari pekerjaan 8 orang kader (100 %) adalah termasuk kategori kurang baik karena semua kader pernah meninggalkan posyandu demi pekerjaan yang lain. 3. Motivasi Tabel 5. 4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Motivasi pada Kader Posyandu. Motivasi Kader Motivasi rendah Motivasi tinggi Total
Frekuensi 7 1 8
Persentase (%) 87,5 12,5 100,0
posyandu adalah motivasi rendah yaitu 7 orang kader (87,5 %) dan hanya 1 kader (12,5%) yang bermotivasi tinggi dalam pelaksanaan kegiatan posyandu. 4. Penghargaan Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pemberian Penghargaan Kepada Kader Posyandu. Penghargaan
Frekuensi
Baik Kurang baik
0 8
Persentase (%) 0 100,0
Total
8
100,0
Tabel 5.5. menunjukkan bahwa semua kader posyandu (100%) tidak pernah menerima penghargaan atas pelaksanaan kegiatan posyandu sehingga termasuk dalam kategori kurang baik. 5. Kinerja Tabel 5.6 Distribusi frekuensi Kinerja Kader Berdasarkan Kehadiran dalam 1 Tahun Pekerjaan
Frekuensi
Baik Kurang baik Total
2 6 8
Persentase (%) 25,0 75,0 100,0
Tabel 5.6. menunjukkan bahwa kinerja kader sebagian besar dilihat dari kehadiran kader dalam satu tahun 6 orang kader (75 %) kurang dari 8 kali termasuk kategori kurang baik dan hanya 2 orang kader (25 %) kehadirannya baik
Tabel 5.4. menunjukkan bahwa sebagian besar motivasi kader . 6. Faktor-Faktor Kinerja Kader Posyandu Tabel 5.7 Hasil Penelitian Berdasarkan Faktor-Faktor Kinerja Kader Posyandu FaktorFaktor Kinerja Keterampilan Pekerjaan Motivasi Penghargaan
Baik 7 0 7 0
% 87,5 0 87,5 0
Kategori Kurang Baik 1 8 1 8
% 12,5 100 12,5 100
Frekuensi
Persentase (%)
8 8 8 8
100% 100% 100% 100%
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Kader Posyandu dalam Pelaksanaan Kegiatan Posyandu di Desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang
37
Kinerja
2
25
6
Tabel 5.7. menunjukkan hasil semua faktor-faktor kinerja yang diteliti. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja kader posyandu yang termasuk kategori baik yang paling banyak adalah dari faktor keterampilan kader yaitu 7 kader (87,5%) sedangkan dari kategori kurang baik yang paling banyak adalah dari faktor pekerjaan dan penghargaan yaitu semua kader (100%). PEMBAHASAN Karakteristik Responden Karakteristik reponden dalam penelitian ini adalah umur dari kader posyandu. Hasil penelitian di desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang yang dilakukan pada 8 kader posyandu menunjukkan bahwa responden terbanyak adalah yang berumur 20 sampai 30 tahun yaitu 6 kader (75%) karena dengan pertimbangan bahwa kader yang berumur 20 sampai 30 tahun lebih bersemangat, aktif dan kebanyakan mempunyai satu anak, sehingga kesibukan tidak terlalu banyak. Hanya 2 kader (25%) berusia diatas 30 tahun. Banyaknya kader yang berusia antara 20 sampai 30 tahun seharusnya lebih meningkatkan dan aktif untuk mengikuti kegiatan posyandu dibandingkan kader yang sudah berusia diatas 30 tahun. Analisis Univariat 1. Keterampilan kader posyandu Keterampilan kader posyandu di desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang dari hasil penelitian bahwa keterampilan sebagian kader mempunyai keterampilan baik sebanyak 7 kader (87,5%) dan 1 (12,5%) kader mempunyai keterampilan yang kurang baik. Keterampilan kader yang sudah baik karena kader sudah terbiasa dengan
75
8
100%
kegiatan yang dilaksanakan dan mengikuti arahan yang diberikan oleh bidan desa serta dari partisipasi kader dalam kegiatan posyandu. Keterampilan kader yang kurang disebabkan karena berhubungan dengan lamanya kader menjadi kader posyandu dan tidak aktif dalam kegiatan posyandu. Keterampilan kader seharusnya terus ditingkatkan karena dengan tingkat keterampilan yang baik ditunjang dengan pelatihan serta partisipasi kader dalam posyandu diharapkan dapat meningkatkan kinerja kader sehingga derajat kesehatan masyarakat akan meningkat. Keterampilan kader merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam sistem pelayanan di posyandu karena dengan pelayanan kader yang terampil, akan mendapat respon positif dari ibu-ibu yang mempunyai balita maupun lansia yang datang ke posyandu, sehingga terkesan ramah dan baik serta pelayanan yang diberikan teratur. Hal ini, dapat mendorong ibu-ibu dan lansia rajin memeriksakan diri ke posyandu (Azwar, 1996). Luasnya pengetahuan kader mengenai pekerjaan yang dilakukan dan tingkat keterampilan yang dimiliki kemungkinan akan berdampak pada kualitas pekerjaan yang dilakukan baik atau tidak serta mencerminkan pengukuran tingkat kepuasan yang berhubungan dengan seberapa baik kualitas pelayanan kegiatan posyandu (Russel, 1993). 2. Pekerjaan kader posyandu Hasil penelitian menunjukkan (tabel 5.3), bahwa semua kader posyandu (100%) di desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang pernah meninggalkan kegiatan posyandu demi pekerjaan lain. Menunjukkan bahwa kebanyakan kader posyandu meninggalkan posyandu demi pekerjaannya yang
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Kader Posyandu dalam Pelaksanaan Kegiatan Posyandu di Desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang
38
menghasilkan pendapatan, sedangkan kegiatan posyandu tidak ada pendapatan yang dapat mendukung perekonomian keluarga mereka. Hal ini, juga disebabkan karena sebagian besar pekerjaan kader posyandu adalah sebagai buruh pabrik yang pergi pagi hari, pulang pada sore hari dan kadangkadang ada yang lembur. Walaupun akhirnya, jadwal posyandu dilaksanakan pada hari minggu tidak semua kader bisa datang ke posyandu karena pada hari itu dipergunakan untuk beristirahat, kumpul atau liburan bersama keluarga. Oleh karena itu, Depkes RI (2005), menyarankan untuk memilih kader harus diperhatikan atau berdasarkan atas kriteria bahwa kader posyandu mempunyai waktu yang cukup untuk melaksanakan kegiatan posyandu sehingga kegiatan posyandu dapat terlaksana dengan baik. Hal yang lumrah, jika kader lebih mementingkan pekerjaannya dari pada kegiatan posyandu karena pekerjaan tetap kader menghasilkan pendapatan yang dapat membantu perekonomian keluarga sedangkan kegiatan posyandu hanya merupakan pekerjaan sampingan dan tidak menghasilkan penghasilan. Kesadaran masing-masing kader harus ditingkatkan sehingga dapat membagi waktu yang efektif antara pekerjaan dan kegiatan posyandu sehingga ada kesadaran kader untuk dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja yang sudah diberikan dalam kegiatan posyandu. 3. Motivasi kader posyandu Berdasarkan hasil penelitian bahwa motivasi kader posyandu di desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang sebagian besar memiliki motivasi kurang dalam pelaksanaan kegiatan posyandu yaitu 7 kader (87,5%) dan hanya 1 kader (12,5%) yang mempunyai motivasi baik. Motivasi kader yang rendah disebabkan diantaranya sarana yang
kurang lengkap, rekan sesama kader yang kurang bisa bekerja sama dalam pelaksanaan kegiatan posyandu, pengunjung posyandu baik posyandu balita maupun posyandu lansia yang kurang dan tempat pelaksanaan kegiatan posyandu yang masih dilakukan di rumah warga desa dan berpindah-pindah karena belum mempunyai tempat posyandu sendiri. Motivasi yang rendah, menimbulkan tidak ada upaya yang ingin dilakukan, tidak ada tujuan yang ingin dicapai dan tidak ada rasa kebutuhan sehingga tidak akan ada kepuasan yang dirasakan yang menyebabkan kinerja menurun. Motivasi adalah kesediaan individu untuk mengeluarkan upaya yang tinggi untuk mencapai tujuan posyandu (Robbins, 2001). Motivasi merupakan salah satu faktor penting dalam mendorong seorang karyawan untuk bekerja dengan baik. Pada umumnya, kinerja yang tinggi dihubungkan dengan motivasi yang tinggi. Sebaliknya, motivasi yang rendah dihubungkan dengan kinerja yang rendah. Kinerja seseorang kadangkadang tidak berhubungan dengan kompetensi yang dimiliki, karena terdapat faktor diri dan lingkungan kerja yang mempengaruhi kinerja. Kinerja yang tinggi adalah fungsi dan interaksi antara motivasi, kompetensi dan peluang sumber daya pendukung atau kesempatan. 4. Penghargaan untuk kader Menurut hasil penelitian menunjukkan bahwa semua (100%) kader posyandu di desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang tidak pernah mendapatkan penghargaan dalam bentuk apapun, ini disebabkan karena tidak ada sumber dana untuk kader posyandu padahal dengan adanya penghargaan kepada kader maka dapat meningkatkan partisipasi kader dalam pelaksanaan kegiatan posyandu dan kinerja kader posyandu meningkat.
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Kader Posyandu dalam Pelaksanaan Kegiatan Posyandu di Desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang
39
Salah satu kriteria kader yaitu bersifat sukarelawan, sehingga tidak dibutuhkan pemberian penghargaan kepada kader posyandu. Namun, pemberian pengharagaan kepada kader posyandu tidak hanya dalam bentuk barang ataupun uang, tetapi penghargaan itu dapat berupa sertifikat dan dari hal yang paling kecil yaitu ucapan terima kasih yang membuat pekerjaan mereka sebagai kader dihargai. Pemberian penghargaan mempunyai dua tujuan, yaitu (1) mengembangkan kinerja kerja kader dengan membantu mereka menyadari dan menggunakan potensi mereka sepenuhnya dalam mengemban misi dari posyandu, dan (2) menyediakan informasi bagi kader dan penyelenggara posyandu untuk membuat keputusan-keputusan yang berhubungan dengan kegiatan posyandu yang dilaksanakan (Yasinta, 2008). 5. Kinerja kader posyandu berdasarkan kehadiran Berdasarkan kehadiran kader posyandu dalam pelaksanaan kegiatan posyandu dalam satu tahun sebanyak 6 kader (75%) kehadirannya tidak mencapai 8 kali dan hanya 2 kader (25%) hadir lebih dari 8 kali. Kehadiran kader yang rendah dalam pelaksanaan kegiatan posyandu disebabkan oleh karena faktor yang lain seperti sarana yang kurang dan tidak sempat karena kegiatan-kegiatan yang lain. Jika dari kehadiran kader dalam satu tahun kurang dari 8 kali maka indikator dari posyandu belum terpenuhi dan kemungkinan akan berpengaruh terhadap strata posyandu. Adapun indikator dari penentu jenjang antar strata posyandu adalah jumlah buka posyandu pertahun, jumlah kader yang bertugas, cakupan kegiatan, program tambahan dan dana sehat atau jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM) (Ambarwati, 2009). Seharusnya pelaksanaan kegiatan posyandu dilakukan tiap bulan dan
kehadiran kader 12 kali satu tahun tetapi karena tidak semua posyandu berfungsi dengan baik maka diambil batasan 8 kali pertahun. Jika kehadiran kader 12 kali dalam satu tahun maka dikatakan baik, cukup apabila 8 kali dalam satu tahun dan kurang jika kurang dari 8 kali (Depkes, 2005). Keterbatasan Penelitian Peneliti menyadari bahwa dalam melakukan penelitian faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja kader posyandu di desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang terdapat hambatan yaitu kesulitan dalam menemui responden, karena pada saat posyandu kader tidak bersedia mengisi kuesioner dan harus melakukan kunjungan rumah serta sebagian kader di desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang bekerja di pabrik yang berangkat pada pagi hari dan pulang pada sore hari. DAFTAR PUSTAKA Setiawan, A. 2010. Metodologi Penelitian Kebidanan. Yogyakarta : Muha Medika. Ambarwati, E. R. 2009. Asuhan Kebidanan Komunitas. Yogyakarta : Fitramaya. Amriyati. 2003. Kinerja Perawat ditinjau dari Lingkungan kerja dan Karakteristik Individu Studi pada Instalasi Rawat Inap RSU Banyumas, Tesis, UGM Yogyakarta. Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. Winardi, A. 1996. Buku Panduan Penerapan Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat. Diakses tanggal 10 Juli 2010 dari http://www.delivery.org.
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Kader Posyandu dalam Pelaksanaan Kegiatan Posyandu di Desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang
40
Bernadin dan Russel. 2006. Sistem Manajemen Kinerja. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Departemen Kesehatan RI. 2005. Pedoman Pengelolaan Posyandu. Cetakan 1. Jakarta. Hemas. 2005. Strategi Penanggulangan Gizi Buruk di Indonesia. Kuliah Program studi Kesehatan masyarakat, UGM, Yogyakarta.
Steers, R. M. Porter, L.W, And Bigley. G. A. 1996. Motivation and Leadership at Work. Mc. Graw Newyork : Hill Companies Inc. Subekti, H. 2008. Indikator kinerja. Diakses tanggal 1 Maret 2010 dari http://www. Deliveri.com/referensi/5245-artikel etikamanajemen-html. Suyanto. 2008. Riset kebidanan. Yogyakarta : Mitra Cendikia Press.
Ilyas, Y. 2002. Kinerja, Teori, Penilaian dan Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan, FKM. UI. Jakarta.
Wahyuningsih, H. P. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat Dalam Kebidanan. Yogyakarta : Fitramaya.
Machfoeds, I. 2009. Metodologi penelitian. Yogyakarta : Fitramaya.
Wahyuni, Y. 2009. Metodologi Penelitian Bisnis Bidang Kesehatan. Yogyakarta : Fitramaya.
Meilani, N. 2009. Kebidanan Komunitas. Yogyakarta : Fitramaya. Rivai, V. D. B. A. F. M. 2005. Performance Apraisal. Cetakan 1. Jakarta : PT. Jaja Grafindo Persada.
Yasinta. 2008. Manajemen Kinerja. Diakses tanggal 10 Juli 2010 dari http: //www. Delivery.com/referensi/3547artikel etikamanajemen-html. Yulifah, R. 2009. Asuhan Kebidanan Komunitas. Jakarta : Salemba Medika
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Kader Posyandu dalam Pelaksanaan Kegiatan Posyandu di Desa Diwak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang
41