Media sebagai Guru Masyarakat Totok Amin Soefijanto, MA, Ed.D Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh, Alhamdulillahi Rabbil Alameen Wassalatu Wassalamu Ala Sayidna Muhammad Wa ala Aalihi Wasahbihi wa Anbiyaillahi Ajmaeen. Amma ba’du. “Democracy has proclaimed the dictatorship of palaver, and the technique of dictating to the dictator is named propaganda” (Harold D. Laswell). Saya memberikan orasi ilmiah di depan hadirin dengan perasaan bingung bercampur rasa penasaran. Anak muda sekarang sering menyebutnya “galau”.Sebenarnya, saya berharap duduk manis di antara hadirin, atau di deretan senat universitas, sambil mendengarkan orasi ilmiah yang dilakukan pakar komunikasi massa. Alih-alih, saya yang sudah lama meninggalkan dunia pers dan kini menjadi “orang kampus” ditunjuk rekan-rekan tim seleksi orator ilmiah dan Paramadina Award untuk maju dan berdiri di depan bapak dan ibu yang saya hormati. Mudah-mudahan saya dapat memenuhi harapan tim seleksi dan dapat sedikit memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat luas, khususnya kolega pekerja media yang saya banggakan. Kalaupun ada kritik di sana-sini, semua itu atas dasar kecintaan saya kepada media nasional, dunia profesi yang telah memberi sumbangan besar bagi perkembangan politik, ekonomi, sosial, dan budaya di tanah air. Saya memulai orasi ini dengan gambaran umum media kita saat ini.Media berada di persimpangan jalan. Menurut Kovach & Rosenstiel (2010), pesatnya kemajuan teknologi digital dan Internet mengubah media, sehingga isinya menjadi jauh dari kenyataan. Banyak contoh media telah menjadi bagian dari rekayasa dan strategi public relations yang melayani kepentingan tertentu.Kepemilikan media oleh pengusaha, dan pengusaha tersebut berpolitik, menjadikan media sebagai alat kepentingan, bukan lagi alat milik masyarakat luas yang obyektif.Ketika orang-orang politik yang independensinya diragukan menguasai mayoritas opini publik, maka masyarakat semakin jauh dari kebenaran.Teknologi digital menjadi berkah sekaligus musibah.Ialebih memudahkan media untuk menciptakan, menggandakan, dan menyebarkan informasi, namun teknologi canggih ini memerlukan modal besar, khususnya untuk infrastruktur di balik kreasi dan produksi yang kelihatan lebih murah dan mudah itu. Oleh sebab itu, pengelola media harus memiliki kemampuan finansial yang kuat untuk dapat bersaing di era digital ini.
Page 2 of 37 Begitulah media di masa kini.Serba tak pasti, dan harus siap dengan konsekuensi yang tidak diharapkan (unintended consequences).Saya menggunakan peta pikiran atau mindmapuntuk memulai dengan titik awal “Guru Masyarakat”, lalu menyebar ke berbagai penjuru.Pada dasarnya, setiap orang adalah guru; Setidaknya untuk dirinya sendiri, kalaupun bukan untuk orang lain. Lebih jauh lagi, setiap individu memiliki tanggungjawab moral dan sosial untuk berperilaku baik. Apabila sang individu memiliki posisi yang terhormat di masyarakat, menduduki posisi penting di lembaga pemerintah atau swasta, dan menjadi narasumber di media massa, maka dirinya memiliki peran sebagai teladan bagi sekitarnya, termasuk masyarakat luas. Individu dan medianya layak disebut sebagai Guru Masyarakat.Berikut adalah eksperimen saya membuat tema “Media sebagai Guru Masyarakat” dalam bentuk peta pikiran seperti yang ditampilkan di Gambar 1.
Gambar 1: Peta pikiran (mindmap) dari Media dan Kampus sebagai Guru Masyarakat
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 3 of 37
Guru Masyarakat yang Mumpuni Istilah “guru” buat masyarakat Jawa adalah “digugu lan ditiru” (Jawa: dianut dan jadikan contoh). Menurut kamus Oxford, kata ini dalam Sansekerta -- yang berakar dari bahasa Hindi dan Punjabi -memiliki arti “berbobot, serius” yang setara dengan bahasa Latin “gravis”. Gurudapat pula diterjemahkan sebagai “yang dituakan, seorang pendidik”. Kalau istilah guru dengan mudah kita tangkap maknanya, maka istilah “Guru Masyarakat” sangat sulit ditemukan definisinya.Istilah “Guru Masyarakat”masih di awang-awang.Walaupun demikian, ilmuwan sosial bertanggungjawab untuk menemukan arti dan definisinya, karena menurut Becker (1971), ilmu sosial memiliki kewajiban untuk memahami manusia (the science of man). Menurut dia, ilmu sosial berbeda dengan ilmu pengetahuan alam yang memberikan perasaan menguasai alam karena terkuaknya rahasia hukum alam; ilmu sosial membongkar misteri tentang manusia itu sendiri. “We may be the only species in the universe, for all we know, that has pushed self-exposure to such an advanced point that we are no longer a secret to ourselves” (Becker, 1971: p. vii). Istilah “Guru Masyarakat” dapat didefinisikan sebagai orang atau lembaga yang mendidik dengan pengaruhnya melalui pesan atau simbol kepada manusia atau lembaga di sekelilingnya sejauh jangkauan teknologi media dan informasi.Isi pesan, simbol, atau bahan pendidikan tersebut berbentuk fisik ataupun non-fisik, yang dapat mempengaruhi perilaku dan sikap para penerima pesan tersebut.Tentu saja, istilah “Guru Masyarakat” masih harus memikul beban nilai-nilai kebaikan peradaban dan kemanusiaan, sehingga istilah ini tidak patut diberikan kepada orang atau lembaga yang memberikan materi pesan yang menyalahi hukum, melanggar etika, dan merendahkan martabat manusia.Sebagai contoh, kita tidak dapat menyebut bupati yang melanggar etika moral atau politisi yang melakukan korupsi sebagai Guru Masyarakat. Sebuah proses pendidikan memerlukan lima unsur berikut: guru, murid, kurikulum, buku, dan konteks (lingkungan). Guru dalam konteks masyarakat adalah siapa saja yang mendapat kehormatan untuk mengungkapkan opini, pikiran, ide, dan nasehat. Posisi Guru Masyarakat yang dibahas dalam orasi ini adalah media.Media yang dibahas juga menyangkut seluruh isi pesannya, mulai dari berita hingga hiburan.Murid dalam wacana ini adalah seluruh warga masyarakat yang menjadi audiens media atau lebih tepatnya para pembelajar (general learners). Kurikulum dalam konteks saat ini adalah masyarakat bangsa dengan pikiran-pikiran dan mimpi besar ke masa depan. Tanpa arah yang jelas, bangsa ini akan sulit mencapai cita-citanya. Kurikulum ini berjenjang mulai dari tingkat nasional hingga ke dusun
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 4 of 37 terpencil, juga dari usia muda (pedagogi) sampai dewasa (andragogi). Buku adalah media dengan segala bentuk dan warnanya. Isi media dapat dianggap sebagai buku dalam proses pendidikan tersebut. Sedangkan aspek konteks atau lingkungan, misalnya bangsa ini masih dalam proses transisi demokrasi setelah 15 tahun usia reformasi. Salah satu kelebihan media dibandingkan guru biasa adalah jangkauan pesannya yang dapat seluas dan sejauh teknologi informasi menyebar.Di situlah, media sebagai Guru Masyarakat dapat memanfaatkan ruang publik sebagai ruang kelasnya.Salah satu konsep ruang publik atau public sphere yang mudah ditangkap adalah karya Habermas. Konsep ruang publik Habermas akan berjalan maksimal jika memenuhi lima syarat berikut: • • • • •
the extent of access (as close to universal as possible), the degree of autonomy (the citizens must be free of coercion), the rejection of hierarchy (so that each might participate on an equal footing), the rule of law (particularly the subordination of the state), and the quality of participation (the common commitment to the ways of logic). (Rutherford, 2000: p. 18; dalam Soules, 2007).
Akses yang seluas-luasnya, derajat otonomi yang tinggi tanpa tekanan, tidak ada hirarki, tegaknya hukum, dan kualitas partisipasi dari semua yang ada di ruang publik tersebut.Internet dan media sosial memungkinkan munculnya ruang publik tersebut.Walaupun demikian, dalam kasus di Indonesia, ruang publik ini belum sempurna benar karena ketimpangan pendidikan dan ekonomi. Perbedaan dalam dua hal itu sudah membuat ruang publik tadi ada peluang dimonopoli oleh dua kelompok: (1) orang-orang pandai atau dalam konsep Yunani adalah para Sofis yang pandai bersilat lidah namun tidak memiliki integritas; dan (2) orang-orang kaya dan mapan. Saat ini, kita mengalami perkembangan pesat teknologi informasi.Alhasil, media berkembang ke segala penjuru, tidak hanya di media cetak, televisi, dan radio.Teknologi komputer dan kemudian jejaring Internet atau Web 2.0 juga ikut meramaikannya. Marshal McLuhan (1964) pernah memprediksi bahwa media memegang peranan utama dalam proses komunikasi. Istilah “the media is the message” (p. 7) saat itu memang hanya menyangkut televisi yang berhasil menggeser peran radio dan koran dalam mengantarkan pesan. TV berhasil menyedot perhatian dan menyihir khalayak secara massif dengan gambar bergerak dan suara, walaupun masih hitam putih. Televisi yang kini sudah semakin canggih, bahkan sudah tiga dimensi, belum akan tamat riwayatnya dengan kemunculan Internet. Buktinya, akun Facebook untuk media yang memiliki penggemar terbanyak masih SCTV dan RCTI, masing-masing
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 5 of 37 dengan 5,5 juta dan 4,6 juta penggemar. Di akun Twitter pun, stasiun Metro TV dan Kompas TV masih dapat bertengger di dalam 10 besar. Kelihatannya, konvergensi televisi dan Internet bakal tak terbendung lagi di masa depan, khususnya dengan proses digitalisasi kanal-kanal media penyiaran di waktu mendatang. Kita perlu melakukan studi lanjutan untuk mengecek apakah ide McLuhan masih relevan, bahwa media menjadipengembangan dari manusia juga. Media dapat menjadi Guru Masyarakat yang baik apabila menjalankan peran sebagai guru, yaitu memberikan pencerahan kepada masyarakat yang menjadi pembelajarnya. Adagium “bad news is good news” memang tidak mudah dihapuskan, karena sebenarnya pembaca mencari berita yang di luar kebiasaan, yang dapat membuat dirinya merasa enak (walaupun itu dengan melihat penderitaan orang lain), dan kadang-kadang memberi pengetahuan baru. Media dapat mempengaruhi suasana hati (mood) masyarakat yang menjadi pemerhatinya. Media yang mengabarkan optimisme akan lebih positif buat perkembangan masyarakat, sedangan media yang selalu mengumbar pesismisme akan menumbuhkan perasaan negatif yang sering kontraproduktif terhadap upaya perbaikan di masyarakat. “Rasa optimisme mendorong masyarakat untuk lebih produktif,” kata almarhum Prof. Dr. Nurcholish Madjid saat peresmian Yayasan Wakaf Paramadina pada 1986. Semangat optimisme inilah yang telah, sedang, dan akan diteruskan keluarga besar Paramadina sebagai bagian dari kekuatan masyarakat madani (civil society). Lebih lajut, Cak Nur sering mengutip ayat Quran yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri” (Q 13:11). Proses pengubahan ini, menurut Cak Nur, harus dimulai dari pemikiran kita sendiri sebagai kaum yang ingin hidupnya lebih baik (Noer, 2012). Media dapat menjadi bagian dari proses mengubah nasib bangsa melalui pergeseran pemikiran di masyarakat. Media dapat memelopori upaya mendorong perusahaan atau lembaga yang selama ini tidak dikenal karena keterbatasan dana untuk promosi menjadi organisasi teladan dalam berbagi semangat juangnya melalui kegiatan CSR (corporate social responsibility) atau amal. Salah satu caranya, media menyediakan ruang secara gratis untuk usaha kecil dan menengah untuk mengabarkan kegiatan mereka.Mungkin 1% dari seluruh halaman atau waktu tayangnya dapat dijadikan tempat berbagi rasa optimis tersebut.Guru yang baik adalah yang memancarkan aura positif, membesarkan hati, dan memahami kelemahan anak didiknya. Guru tidak akan mengeksploitasi anak didiknya dan selalu berprinsip ekonomi dan untung-rugi. Media dapat menjadi Guru Masyarakatyang baik apabila mau mendidik rakyat kita yang mayoritas masih lulusan SD dengan program-program yang baik.
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 6 of 37 Internet sudah merasuk ke segala segi kehidupan di tanah air. Tiga dekade sejak internet diperkenalkan ketika hubungan pertama kali dibuat di Universitas Indonesia, Jakarta, jumlah pengguna Internet telah bertambah menjadi 39.6 juta atau sekitar 16,1% dari total penduduk pada 2011(Lim & Nugroho, 2011). Setahun kemudian, pada 2012, pengguna Internet di tanah air melonjak menjadi 55 juta dengan rasio 22,1% dari total penduduk. Tabel 1 menunjukkan betapa tinggi kenaikan jumlah pengguna Internet di Indonesia.Pada tahun 2000, saat di awal reformasi, kita baru memiliki dua juta pengguna.Dua belas tahun kemudian, jumlahnya sudah mencapai 55 juta lebih atau naik 25 kali lipat. Dengan asumsi tingkat kenaikan yang sama, yaitu 15 juta pengguna baru setiap tahun, maka pada 2014, kita akan memiliki 85 juta pengguna Internet atau 34% dari seluruh populasi kita. Ini ramalan yang konservatif, karena tingkat kenaikan pengguna Internet cenderung semakin besar dari tahun ke tahun. Internet membawa media sosial di dalamnya, sehingga masuk akal kalau peningkatan penggunaan Internet berarti juga kenaikan pengguna media sosial di tanah air. Pada 2011, ada sekitar lima juta blogger di Indonesia (Lim & Nugroho, 2011). Dalam hal media Facebook, per Desember 2012, tercatat ada 50,8 juta pengguna, menjadikan Indonesia bertengger di peringkat 4 dunia setelah Amerika Serikat, Brazil, dan India (Socialbakers, 2012). Artinya, FB bertambah 10 juta pengguna hanya dalam satu tahun. Jakarta saja memiliki 11,7 juta pengguna dan berada di peringkat 2 dunia setelah Bangkok (Socialbakers, 2012). Yang menarik, Jakarta dan Indonesia mengalami kenaikan yang sangat fantastis yaitu masingmasing naik 114% dan 14,3%, dengan penetrasi mencapai hampir 21% -- lebih tinggi dari India, Jepang, dan Korea Selatan. Dalam hal Twitter, Indonesia menempati urutan ke-5 setelah AS, Brazil, Jepang, dan Inggris. Menurut data dari Comscore (2011), per April 2011, penetrasi Twitter mencapai 22% dari populasi dan menempatkan Indonesia di peringkat ke 4 setelah Belanda, Jepang, dan Brazil. Tabel 1. Peringkat Negara dengan pengguna Internet terbesar di dunia
Sumber: http://www.internetworldstats.com/top20.htm
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 7 of 37 Ada harapan bahwa Indonesia akan segera naik ke peringkat yang lebih tinggi dalam waktu dekat. Kita akan memiliki tambahan 2 juta akses poin wi wi-fi tahun depan. epan. Itu sudah termasuk wi-fi wi untuk 100 ribu sekolah atau 28% dari 360 ribu sekolah di seluruh Indonesia. Cukup drastis penambahannya, karena saat ini kita baru memiliki 100 ribu akses poin.Di Asia, China sudah memiliki enam juta akses poin, sementara Korea orea dan Singapura masing-masing masing masing 2 juta dan 500 ribu akses poin. Ambisi serius ini dimotori PT Telekomunikasi Indonesia yang sampai 2015 nanti ingin meningkatkan jumlahnya sampai 10 juta akses poin wi-fi, fi, dan menjadikan Indonesia Negara terbesar dalam jum jumlah lah akses poin wi-fi wi (Yandi, 2012). Penyebaran akses poin yang luas inilah menjadi kunci berlipatnya pengguna Internet di tanah air. Efek selanjutnya, perkembangan pengguna media sosial akan terus bertambah. Salah satu contoh Twitter tokoh masyarakat yang terus naik adalah Anies Baswedan, Ph.D.Rektor Universitas Paramadina ini memiliki sekitar 180 ribu follower sejak dibuka 2 tahun 10 bulan yang lalu.Akun ini menduduki peringkat nomor 1 untuk akun Twitter kategori ““politics politics”.Tabel 2 dan Gambar 2 menunjukkan ukkan informasi lebih jauh mengenai akun Twitter tersebut. Tabel 2.. Data statistik Twitter milik Anies Baswedan (@aniesbaswedan)
Sumber: http://www.socialbakers.com/twitter/aniesbaswedan (per er 12-12-12) 12
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 8 of 37
Gambar 2.Pertumbuhan akun @aniesbaswedan yang konsisten ke atas. Sumber: http://www.socialbakers.com/twitter/aniesbaswedan (per 12-12-12) Memang, jumlah followerAnies tidak sebesar Agnes Monica, Sherina Munaf, Vidi Aldiano, atau Raditya Dika, namun untuk seseorang yang aktif di isu-isu politik kebangsaan, posisi populer di Twitter tidak dapat dianggap enteng menjelang pemilihan umum 2014 yang akan datang. Agnes kini memiliki lebih dari enam juta follower dan tumbuh sekitar 13 ribu follower per hari.Dengan iklan “Single Terbaru” di Telkomsel yang muncul hampir setiap menit itu, penyanyi pop Indonesia ini bakal tak terkejar oleh figur publik yang lain dalam hal jumlah pengikut di Twitter.Secara spekulasi, Agnes sebenarnya dapat menjadi tokoh politik yang tidak dapat dianggap enteng apabila pada 2014 nanti ingin menjadi wakil rakyat atau menteri yang memperjuangkan kaum wanita dan minoritas. Tabel 3. Data statistik Facebook milik Prabowo Subianto
Sumber: http://www.socialbakers.com/facebook-pages/23383061178-prabowo-subianto (per 29-122012)
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 9 of 37 Di media sosial Facebook, tokoh politik teratas saat ini adalah Prabowo Subianto, dengan jumlah penggemar hampir 1,6 juta per 29 Desember 2012 (Socialbaker, 2012). Tabel 3 dan Gambar 3 menunjukkan statistik akun FB mantan Pangkostrad dan Komandan Kopassus tersebut.Secara kebetulan, Prabowo yang kini memimpin Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu memang pertama kali diunggulkan di survei yang dilakukan oleh Soegeng Sarjadi Syndicate. Namun, kalau dilihat dari selebriti yang ada di FB, Prabowo lagi-lagi kalah populer dibandingkan Mario Teguh yang memiliki 7,1 juta penggemar dan Agnes Monica dengan 3,4 juta penggemar. Kalau Mario Teguh ingin terjun ke politik, dia sudah memiliki modal yang lumayan besar, meskipun sangat tidak mudah berpindah pekerjaan dari motivator ke politisi. Kalau dia berada di Senayan, setidaknya kita akan memiliki anggota DPR yang lebih termotivasi untuk berbuat kebaikan.
Gambar 3. Pertumbuhan akun FB Prabowo Subianto yang kian menanjak (Sumber: http://www.socialbakers.com/facebook-pages/23383061178-prabowo-subianto (per 29-12-2012) Satu lagi figur yang muncul dari panggung daerah ke tingkat nasional adalah Joko Widodo alias Jokowi.Gubernur DKI Jakarta ini, menurut statistik pencarian Google, adalah tokoh yang paling banyak dicari orang. Dalam kategori “pencarian” (searches) dan “orang” (people), mantan Walikota Solo ini masuk ke 10 besar, bahkan berada di urutan pertama untuk kategori “orang” yang paling dicari. Masyarakat mungkin belum mengenalnya ketika muncul sebagai salah satu kandidat gubernur DKI. Ini menjadi keuntungan tersendiri bagi Joko Widodo yang berhasil menaikkan keterkenalannya dari level lokal ke nasional. Tabel 4 menunjukkan posisi Jokowi dan berbagai kelompok atau orang yang menjadi fokus pencarian di Google pada tahun 2012.
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 10 of 37 Tabel 4.Daftar 10 besar untuk “pencarian” dan “orang” di situs Google untuk Indonesia. Searches
People (Indonesia
1.
Gangnam Style
1.
Jokowi
2.
Noah
2.
Ayu Ting Ting
3.
Tomcat
3.
Budi Doremi
4.
Coboy Junior
4.
Ade Namnung
5.
Jokowi
5.
Eza Gionino
6.
Indonesian Idol
6.
Judika
7.
Cherry Belle
7.
Sheila Marcia
8.
Ayu Ting Ting
8.
Dahlan Iskan
9.
Sukhoi
9.
Valia Rahma
10. Nenek Gayung
10. Cakra Khan
Sumber: http://www.google.com/zeitgeist/2012/#indonesia Survei memang telah menggantikan dukun atau paranormal dalam perpolitikan tanah air.Para pakar ilmu politik tanah air telah berhasil menjadikan evaluasi kinerja politisi melalui perhitungan ilmiah.Satu tokoh nasional yang selalu muncul namanya di survei adalah Moh. Jusuf Kalla, manta Wapres RI yang kini menjadi ketua umum Palang Merah Indonesia (PMI) dan Dewan Masjid Indonesia (DMI). Menurut survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada November 2012, tokoh yang akrab dipanggil JK ini menduduki peringkat puncak.Dalam salah satu kategori, bahkan dia menempati peringkat pertama (Gambar 4).Walaupun demikian, semua tokoh yang tercantum di daftar ini hanya menarik perhatian 30% dari responden.Sisa 60% masih ragu dan belum menentukan pilihannya.
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 11 of 37
Gambar 4.Tokoh yang dianggap mampu memimpin Negara dan pemerintahan (skor 0-100). (Sumber: Lembaga Survei Indonesia, 2012) Dalam konsep Guru Masyarakat, ke-empat tokoh di atas – Anies Baswedan, Joko Widodo (Jokowi), Prabowo Subianto, dan M. Jusuf Kalla – dapat menjadi isi media untuk memberi pelajaran kepada masyarakat tentang nilai-nilai baik yang masih dimiliki bangsa Indonesia. Kebetulan mereka memiliki spektrum usia dari muda sampai tua. Popularitas memiliki konsekuensi sosial bagi yang memilikinya untuk menjadi teladan dan inspirasi bagi rakyat banyak. Pesan dan tindakan mereka dapat mendorong bangsa ini menarik pelajaran dari masa lalu, melangkah ke depan dengan optimism untuk memperbaiki gambaran elit politik yang dianggap korup dan mementingkan diri sendiri. Selanjutnya, kita bahas media yang terdiri dari dua kelompok: media arus utama dan media sampingan.
Media “arus utama” (mainstream media) yang aspiratif Media arus utama dalam pembahasan kali ini menekankan pada media cetak dan televisi. Gambar 5 menyajikan peta konsentrasi pemilikan media secara keseluruhan, sedangkan Tabel 4 dan Gambar 6 masing-masing memetakan konsentrasi media di televisi dan media cetak. Aktor utama dari media “arus utama” adalah wartawan.Selama ini, hubungan antara wartawan dan masyarakat adalah hubungan antara penyedia informasi dan penikmat informasi (audiences).Dalam perkembangannya, hubungan yang bersifat satu arah khas Laswell tersebut semakin dianggap kuno dan mulai ditinggalkan. Hubungan antara media dan konsumennya akan semakin egaliter, timbal-balik, dan edukatif. Hubungan wartawan dan pemirsa atau pembaca bergeser menjadi hubungan antara pendidik dan pembelajar.Wartawan
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 12 of 37 telah mengalami transformasi dari penyedia informasi ke guru.Inilah transformasi yang secara pelahan dan tidak kasat mata di dalam era demokrasi pasca-reformasi. pasca reformasi. Kondisi ini diperkuat oleh atribut masing masingmasing pihak: wartawan dan konsumen konsumen media. Dapat dikatakan, hal ini fenomena unik Indonesia.
Gambar 5: 5 Peta eta konsentrasi media di Indonesia (Lim, 2012). Kepemilikan televisi di Indonesia menjadi semakin strategis. Menurut Lim (2012), (2012) ada 10 stasiun TV swasta yang “dikuasai” oleh enam grup bisnis.MNC .MNC Group memiliki tiga stasiun, yaitu RCTI, Global TV, dan MNC TV, dan menguasai pangsa terbesar 36,7%. Pendatang baru grup EMTEK di peringkat berikutnya dengan memiliki SCTV dan Indosiar, dan menguasai pangsa 31,5%. Selanjutnya, grup Trans Corp yang memiliki Trans dan Trans7 mengambil pangsa 18,5%. Grup Bakrie dan MM yang memiliki TV One dan AnTeve menguasa pangsa sekitar 8,7%. Terakhir Media Group memiliki Metro TV yang mengambl pangsa pasar terkecil hanya 1,9%. Sementara itu, stasiun TV milik Negara TVRI hanya menguasai asai sekitar 1,4% saja. Tabel 4 menunjukkan peta pemilikan TV di Indonesia.
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 13 of 37 Tabel 4.Lansekap Lansekap televisi Indonesia: pemain utama nasional (Lim, 2012)
Di sektor media cetak tingkat nasional, menurut Lim (2012), persaingan hanya terjadi antara dua pemain besar: grup Kompas Gramedia dan Jawa Pos. Padahal, saat Suharto jatuh pada 1999 dan perijinan penerbitan baru dilonggarkan, jumlah media cetak melonjak secara “dahsyat” dari hanya sekitar 289 di awal 1999 menjadi 1,881 pada 2001 2001.. Persaingan dan kemampuan pasar menyeleksi mereka, dan akhirnya jumlahnya menyusut lagi menjadi sekitar 1,076 saja pada 2010.Saat ini, media cetak secara nasional dikuasai oleh empat pemain besar, yaitu Kompas (sirkulasi 600 ribu), Jawa Pos (450 ribu), Suara S Pembaruan (350 ribu), Republika (325 ribu), Media Indonesia (250 ribu), dan Koran Tempo (240 ribu). Pemain baru yang tidak dapat dianggap enteng adalah MNC Group yang meluncurkan koran Seputar Indonesia(Sindo) dan Lippo Group yang juga menerbitkan The Th Jakarta Globe. Gambar ambar 6 menunjukkan peta konsentrasi media cetak di Indonesia tersebut.
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 14 of 37
Gambar 6.. Konsentrasi media cetak di Indonesia (Lim, 2012) Wartawan masa kini mengalamidelapankondisi penting, penting, yaitu 1) kejadian atau berita yang terus berganti secara real-time; 2) kendali pemilik atas redaksi yang lebih “intensif”;; 3) teknologi media yang memudahkan pekerjaan; 4) persaingan inter dan intra-media intra media yang lebih ketat; 5) remunerasi yang relatif kurang dibandingkan generasi sebelumnya; 6) tuntutan integritas integritas dan kredibilitas yang lebih tinggi; 7) mobilitas yang lebih tinggi; 8) proses alienasi antara iklim demokratis di luar dan tuntutan profesionalisme di dalam media. Di sisi lainnya, wartawan menghadapi kelompok konsumen berita atau media yang juga mengalami engalami transformasi. Kelompok konsumen media masa kini memiliki atribut sebagai berikut: 1) tumbuh dewasa di era demokratis; 2) terdidik dengan pendekatan egaliter dan menghargai hak asasi; 3) kebebasan mengemukakan pendapat; 4) secara ekonomi lebih mapan mapan dan serba tercukupi; 5) taraf hidup yang lebih baik dan gaya hidup modern; 6) akses teknologi informasi yang lebih variatif; 7) tersambung dengan fenomena global, dan ; 8) tahu cara menikmati hidup hidup sekarang dan di sini juga.Dengan juga. demikian, para pengelolaa media arus utama harus tetap waspada menghadapi pergeseran demografi di Indonesia yang makin didominasi anak muda. Gambar 7 menunjukkan demografi penduduk Indonesia yang didominasi usia muda. Porsi masyarakat kita yang berusia di atas 19 tahun dan di bawah b 30 tahun
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 15 of 37 mencapai hampir 50 persen dari total populasi pada 2015. Menurut data statistik dari Population Reference Bureau (2012) itu, sebagian besar dari mereka (sekitar 71%) tinggal di wilayah perkotaan.Mereka masuk kategori “digital native” (Prensky, 2001) atau “N-Generation” (Mabrito & Medley, 2008) yang lahir setelah tahun 1982.Seluruh hidupnya dikelilingi oleh peralatan komputer, videogame, email, internet, dan pesan instan (instant messaging).Cara generasi ini mempelajari pengetahuan juga berbeda. Ada tiga cara belajar mereka, yaitu: 1) Langsung mengalami dan melakukan (experiential learning); 2) Kerja tim; dan 3) Menggunakan jejaring sosial (social networking) (Oblinger & Oblinger, 2005).
Gambar 7. Perbandingan komposisi penduduk berdasarkan usia dan jenis kelamin di Indonesia pada 1985 dan 2015. (Sumber: Population Reference Bureau, 2012) Bagaimana anak muda menikmati media secara simultan dalam kondisi melakukan banyak kegiatans secara simultan (multitasking)?Belum ada data untuk Indonesia.Namun, kalau kita menggunakan data yang ada di Kuwait, misalnya, kebiasaan itu diasumsikan tidaklah terlalu jauh berbeda.Menurut Kononova & Alhabash (2012) yang melakukan studi terhadap mahasiswa di Kuwait, televisi sering disandingkan dengan penggunaan telepon, Internet, makan, dan sosialisasi (Gambar 8).Mendengarkan musik adalah aktifitas populer yang dikombinasikan dengan menelepon, Internet, menyetir, dan berolahraga. Kegiatan multitasking yang dikombinasikan dengan Internet adalah menonton televisi, mendengarkan musik, menelepon, makan, berinteraksi dengan orang lain, dan mengerjakan PR. Sementara itu, kegiatan menelepon ternyata ada hampir di semua kegiatan responden, dilakukan bersamaan dengan menonton TV dan mendengarkan musik, sambil dikombinasikan dengan makan, menyetir, sosialisasi, dan mengerjakan PR.Yang mengejutkan adalah partisipan studi ini tidak menilai aktifitas mendengarkan kuliah atau mengerjakan PR sebagai “highly involved” (sangat terlibat) dalam multitasking berbagai media tadi. Komputer dan videogame, juga media cetak, adalah media yang
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 16 of 37 sangat tidak populer untuk digunakan dan dijadikan kombinasi multitasking.. Tiga media ini memang memerlukan perhatian penuh penggunanya; tidak dapat dilakukan sambil mengerjakan yang lainnya.Media dia cetak memang memasuki era matahari tenggelam, sementara televisi masih bertahan.Dalam konteks Indonesia, televisi justru kelihatan makin kuat bersaing dengan media lainnya dalam hal penyajian isi media.
Gambar 8. Multi-tasking tasking kegiatan dengan menonton menonton televisi yang dilakukan mahasiswa Kuwait (N=179)(Kononova & Alhabash, 2012). Wartawan sebagai aktor utama (main ( crew)) dari media arus utama memiliki tanggungjawab yang sangat besar dalam perannya sebagai Guru Masyarakat Masyarakat.Wartawan .Wartawan menjadi guru dengan mengolah berita menjadi sumber ilmu untuk tujuan yang mulia.Selanjutnya, wartawan dalam pelaksanaan tugasnya memiliki persinggungan yang sangat besar dengan berbagai pemangku kepentingan lainnya. Para pemangku kepentingan tersebut antara lain adalah: •
Pemilik media. Peran eran pemilik media menjadi “maha guru” karena dapat menentukan berita berit yang harus dimuat.
•
Bisnis/pemasang iklan.. Peran Peran pemasang iklan menjadi “pendana guru” karena dapat menentukan sumber pendapatan media dan dapat “mendikte” isi redaksi atau tataletak atau porsi waktu media.
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 17 of 37
•
Pemerintah. Peran pemerintah via Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers menjadi “regulator guru” karena menentukan saluran yang dapat dipakai atau persyaratan administrasi lainnya.
•
Organisasi kemasyarakatan/Lembaga Swadaya Masyarakat. Peran Ormas/LSM menjadi “penyelia guru” karena dapat melakukan pengawasan sekaligus melancarkan protes dan menggugurkan sebuah isi media (content).
•
Konsumen media. Peran pemirsa atau pembaca sebagai pembelajar aktif (active learners) dan kritis, karena dapat menentukan rating atau rasio pengukuran media lainnya yang menentukan nasib media tersebut.
Wartawan media arus utama berpeluang mengalami tekanan untuk memberitakan kebenaran atau isi media yang baik meskipun tidak komersial. Dia akan mengalami depresi berkepanjangan apabila tidak ada saluran (outlet) untuk menyalurkannya. Ada dua kemungkinan outlet: selebaran gelap dan media sosial. Selebaran gelap di jaman Orde Lama dan Orde Baru berbentuk fisik kertas. Di era digital sekarang, bentuknya beragam, mulai dari email “salah alamat” atau file komputer yang tak bertuan tapi beredar luas. Selebaran gelap ini mirip surat kaleng: fakta terungkap meskipun tidak memenuhi kaidah jurnalistik. Selebaran semacam ini dapat dimasukkan kategori fitnah. Di sisi media sosial, si wartawan dapat menggunakan nama alias atau akun orang lain (dikenal juga sebagai akun “anonim”) untuk mengungkapkan kebenaran tersebut. Persoalannya, fakta yang terungkap ini akan masuk kategori selebaran gelap juga apabila dikeluarkan melalui akun anonim karena sulit untuk meminta pertanggungjawaban atas kebenaran dari fakta yang diungkapkan tersebut. Kita sekarang mendapati kejadian rahasia atau fakta tersembunyi dari banyak akun Twitter atau Facebook yang bersifat anonim atau bukan orang yang sebenarnya. Kalaupun si wartawan keluar dengan jati diri yang sebenarnya dan mengungkapkan “remah-remah” kelebihan dari proses pencarian beritanya, maka ada pertanyaan: etiskah dia mengeluarkannya atas nama pribadi sementara proses mendapatkan berita tersebut menggunakan sumberdaya milik media arus utama? Oleh sebab itu, ada fenomena baru dimana “ekses fakta” dari media arus utama tumpah ke media sampingan yang umumnya berupa akun anonim di Twitter, Facebook, atau blog. Studi yang dilakukan Wright & Hinson (2008) memang menunjukkan bahwa blog dan media sosial melengkapi media tradisional dalam aktifitas kehumasan.Hasil studi ini mengindikasikan bahwa blog dan media sosial telah meningkatkan hal-hal yang terjadi dalam kehumasan. Walaupun demikian, media
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 18 of 37 sosial dan media arus utama tradisional akan saling melengkapi satu sama lain. Wright & Hinson juga melihat kemunculan blog dan media sosial telah mengubah cara organisasi mereka berkomunikasi, khususnya ke audiens eksternal. Temuan studi ini juga menyarankan bahwa media sosial menjadi pelengkap sekaligus memengaruhi peliputan media berita tradisional.Studi ini melaporkan bahwa blog dan media sosial merangsang komunikasi berjalan lebih instan dengan mendorong semua organisasi untuk merespon kritik secara lebih cepat.
Media “sampingan” (sidekick media) yang kredibel Guru Masyarakat dapat datang dari segala arah.Status guru tidak hanya monopoli dosen atau wartawan.Kunci utama dari sebuah pesan adalah akurasi, kredibilitas, dan obyektifitasnya.Singkatnya, pesan itu menyiratkan kebenaran terhadap suatu kasus atau peristiwa.Media semacam ini menjadi “sidekick” (sampingan) yang menjadi mitra media arus utama (mainstream).Media ini lahir berkat kemajuan teknologi informasi.Kalau sebelumnya kita mengenal media cetak dan penyiaran (keduanya masuk kategori media arus utama), maka menurut Margiyono (2012), kini kita mulai akrab dengan “media siber” tersebut. Siapa saja berpotensi menjadi media sampingan tersebut? Ada setidaknya tiga golongan yang dapat menjadi pemasok isi untuk media sampingan, yaitu (1) wartawan atau awak media arus utama yang merasa tidak tersalurkan hasil kerjanya karena berbagai alasan internal tempat dia bekerja; (2) profesional non-media yang mengetahui fakta atau kejadian yang dianggapnya penting diketahui khalayak yang lebih luas namun dia tidak dapat mengeluarkannya ke saluran resmi atau media arus utama karena berbagai alasan; (3) para aktifis masyarakat madani di dalam dan luar kampus yang mendapatkan informasi yang sahih dari orang lain atau mendapatkannya sendiri dengan ikhtiarnya dalam membongkar suatu kejahatan atau penyimpangan. Tiga golongan sumber pemberitaan di atas akan memiliki peran yang semakin besar apabila mereka membuktikan kebenaran pesannya melalui berita yang akurat, obyektif, dan kredibel dari waktu ke waktu. Contohnya, akun anonim Twitter atau FB dapat menaikkan kredibilitasnya dengan terus menjaga kebenaran dari pesan-pesannya.Ada godaan yang besar untuk membuat sensasi atau melebihlebihkan fakta.Gerilya awak media sampingan ini akan semakin aktif apabila pemilik dan pengelola media arus utama semakin ketat menentukan berita yang bisa ditampilkan atau dimunculkan. Sensordiri yang berlebihan dari media arus utama akan mendorong munculnya media sampingan yang semakin aktif, karena sensor dari luar (pemerintah, misalnya) sekarang relatif sudah jauh berkurang.
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 19 of 37
Gambar 9: Klaim “anonim tapi infonya akurat” di salah satu media sosial. (Diambil pada 21 Desember 2012 pk. 16:06 WIB)
Yang lebih menarik di masa depan adalah kerjasama wartawan, profesional, dan aktifis dari lintas organisasi dengan keinginan yang sama, yaitu negeri yang adil, makmur, dan bebas korupsi. Ideologi anti-korupsi inilah yang dapat menyatukan mereka dan memperkuat kredibilitas media sampingan. Alhasil, dinamika tarik-ulur antara media arus utama dan media sampingan akan mencapai titik keseimbangan baru yang membuat kedua media tersebut berada di titik tengah. Media arus utama akan memberitakan peristiwa seobyektif mungkin mendekati harapan masyarakat, namun masih sesuai dengan arahan pemilik dan pengiklan. Media sampingan akan memberitakan hal-hal yang belum disampaikan di media arus utama, namun tidak akan menariknya terlalu ekstrim sampai memanipulasi fakta agar membenarkan asumsi awalnya bahwa semua pejabat itu korup atau tidak amanah.Padahal, menurut Margiyono (2012), apapun medianya, nilai-nilai kebenaran, independensi, dan fairness tetap relevan dan harus dijalankan. Gerakan reformasi Mei 1998 merupakan pertanda munculnya Internet tepat ketika media arus utama dikendalikan dengan ketat, sedangkan di sisi lain informasi dari jejaring yang bersifat tradisional masih bisa diperoleh (Lim,2002). Masyarakat Indonesia saat itu dapat memanfaatkan informasi sekecil apapun, misalnya Daftar Kekayaan Suharto, untuk suatu pembicaraan yang menarik sehingga menumbuhkan antipati yang terus meluas terhadap rejim otoriter tersebut. Oleh sebab itu, selain pesan berbasis fakta atau peristiwa nyata, media arus utama dan sampingan akan bersaing dari sisi opini atau ulasan yang menunjukkan sikap tertentu. Saat ini, 14 tahun setelah reformasi yang meruntuhkan kekuasaan otoriter 32 tahun Suharto, lalu lintas pesan di atas platform Internet semakin
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 20 of 37 intensif.Kekuatan argumen (the power of argument) juga akan menjadi tolok ukur kredibilitas sebuah pesan. Media berbasis Internet sebenarnya telah tumbuh dan berkembang menjadi wilayah publik yang ideal untuk mendiskusikan persoalan masyarakat secara kritis dan rasional (Habermas, 1991). Teknologi internet yang netral, juga fakta yang juga tidak memihak, akan memberikan hasil berbeda apabila diberikan argument yang berbeda. Di tangan seseorang yang piawai berargumen, sebuah fakta dapat menimbulkan persepsi yang berbeda di mata khalayak.Di sinilah, kita semua harus waspada dengan eforia meluasnya lalu lintas informasi di masyarakat. Diskursus publik semacam itu akan memberi manfaat apabila prasyarat utamanya terpenuhi, yaitu masyarakat yang terdidik. Menurut Utama (2012), pengguna media sosial di Indonesia didominasi kalangan muda. Gambar 10 menunjukkan komposisi dari pengguna Facebook di Indonesia. Ternyata, pengguna FB didominasi oleh generasi muda dari kisaran usia 16 tahun hingga 34 tahun. Dalam pengamatan Utama (2012), pertumbuhan media sosial menjadi sangat populer karena tiga hal yaitu terjangkaunya harga telepon genggam, kuatnya rasa kebersamaan di dalam budaya Indonesia, dan tren yang menyebar sangat cepat.Ada efek samping yang tidak diharapkan dari media sosial ini, misalnya perkawinan usia muda karena remaja di bawah usia 16 tahun sudah berkenalan via Facebook, praktek prostitusi anak, kejahatan ekonomi dengan transaksi on-line yang penuh tipu-daya, dan pornografi. Pemerintah perlu lebih berhati-hati dan serius dalam melindungi anak-anak dari penyimpangan yang terjadi di media sosial tersebut.
Gambar 10.Komposisi pengguna Facebook di Indonesia pada tahun 2012. (Sumber: http://www.socialbakers.com/facebook-statistics/indonesia#chart-intervals) Apabila kita asumsikan pengguna You Tube sama dengan blog, Twitter, dan Facebook, maka pengguna akan menggunakan pendekatan yang sama dalam mengakses isi pesan media. Mereka akan cenderung menggunakan format berita tradisional untuk keperluan memperoleh informasi dan memilih format
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 21 of 37 komedi atau yang lebih santai untuk keperluan hiburan. Menurut Hanson & Haridakis (2008) yang melakukan riset terhadap penggunaan media sosial You Tube, seseorang menonton dan berbagi file berita dengan motif yang sangat berbeda. Keduanya melakukan riset terhadap mahasiswa dengan menggunakan pendekatan “uses & gratifications”, suatu teori yang berpusat ke pengguna media.Mereka menemukan bahwa pengguna memiliki motif “kebutuhan informasi” saat mengunduh berita dalam format tradisional, sedangkan “motif hiburan” untuk berita dalam format komedi. Untuk sementara waktu, kelihatannya format media sampingan masih akan menggunakan model media arus utama yang lebih tradisional.
Internet, Ruang Publik, dan Pendidikan Penyebaran Internet yang luas di Indonesia memang tak terbendung lagi.Kita tidak mungkin melakukan pembatasan seperti yang dilakukan China, Malaysia, atau Singapura. Selain tidak mudah, melakukan sensor terhadap arus Internet akan menimbulkan masalah baru di sisi politik. Pengalaman masa lalu dapat menjadi pelajaran yang sangat berharga. Pencabutan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dari dua mingguan berita Tempo dan Editor, serta satu tabloid Detik pada pertengahan 1994 telah menciptakan tantangan, atau ancaman, terhadap tegaknya hukum di tanah air (Djiwandono, 1994). Mengutip mantan Wapres Mohammad Hatta, Djiwandono lebih jauh menegaskan bahwa demokrasi Pancasila dibangun berdasakan hukum, bukan berdasarkan kekuasaan. Penutupan akses ke informasi, termasuk ke Internet dan media sosial, akan menimbulkan masalah hukum dan politik baru yang tidak perlu. Di sisi lain, dunia bisnis merangsek lebih cepat dalam menggunakan Internet sebagai wahana untuk memasarkan produk dan jasa. Dunia bisnis memanfaatkan kemajuan teknologi informasi tersebut untuk peningkatan citra merek, promosi, dan penjualan secara lebih intensif dan terus menerus. Menurut Helliwell, Layard, dan Sachs (2012), teknologi digital yang ‘ubiquitous’ (tak kelihatan dan ada dimanamana) membuat pengiklan memiliki banyak cara dan wahana untuk menciptakan keinginan (wants) di masyarakat. Lebih lanjut diutarakan bahwa bisnis periklanan saat ini mencapai sekitar US$ 500 miliar per tahun dan memiliki tujuan untuk menciptakan animo konsumen secara massif sepanjang waktu.Tujuannya, menurut Heliwell, et.al (2012) adalah mengatasi rasa berkecukupan dengan menciptakan keinginan dan kerinduan baru pada tingkat yang sebelumnya tidak ada. “Fashions are sold through increasingly explicit sexual imagery. Product lines are generally sold by associating the products with high social status rather than with real needs” (Heliwell, et.al, 2012: p. 5).
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 22 of 37 Para peneliti sudah mulai resah dengan merebaknya Internet sebagai wahana komersial.Lim adalah peneliti media digital asal Indonesia yang kini bekerja di Arizona State University.Dia sudah meneliti banyak hal, namun untuk konsep ruang public Habermas, dia belum melihat wujudnya.Yang ada baru berupa ruang sosial dimana berbagai ruang muncul secara simultan dan kadang-kadang menjadi fasilitas untuk perdebatan yang menyangkut kepentingan bersama atau public.Dia justru menengarai adanya komersialisasi ruang sosial tersebut melalui korporatisasi dan komodifikasi media.Internet telah menjadi tempat melakukan transaksi bermotif keuntungan. “Now, in 2012, what I said 8 years ago have become a reality. This is exactly what has happened to the internet -- with corporatization of media, including digital media. When it was born, the internet wasn't commodified yet, but these days... it's really a place to sell and buy things, including pleasure, entertainment, etc. Of course political communication and rational communication can still take place, but they happen in the fringe of the online spheres... No, digital media space isn't a public sphere. It's a social space where multiple spheres can emerge simultaneously and, occasionally, can facilitate civic engagement --- but it's not an ideal Habermasian public sphere.” (Lim, 2012: komunikasi email dengan penulis pada 11 Desember 2012, pk. 2:17 PM). Adakah harapan bahwa Internet menjadi Ruang Publik yang ideal untuk membahas persoalan warga masyarakat secara konstruktif?Konsep media sebagai Guru Masyarakat mendapatkan wahana yang tepat dengan konsep ruang public Habermas. Ruang ini menjadi konteks yang penting untuk suatu proses pendidikan di masyarakat agar berjalan efektif dan massal. Menurut Dahlberg (2001) ada enam persyaratan untuk Internet menjadi Habermasian “public sphere”, yaitu: 1. Autonomy from the state and economic power. 2. Exchange and critique of criticizable moral-practical validity claims. 3. Reflexivity or participants must critically examine their cultural values, assumptions, and interests, as well as the larger social context. 4. Ideal role taking which means participants must attempt to understand the argument from the other’s perspective. This requires a commitment to an ongoing dialogue with difference in which interlocutors respectfully listen to each other. 5. Sincerity. Each participant must make a sincere effort to know all information, including their true intentions, interests, needs and desires, as relevant to the particular problem under consideration. 6. Discursive inclusion and equality. Every participant affected by the validity claims under consideration is equally entitled to introduce and question any assertion whatsoever.
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 23 of 37 Persyaratan pertama “bebas dari kekuatan negara dan ekonomi” menjadi vital untuk suatu diskusi yang jujur mengenai persoalan masyarakat.Selanjutnya, peserta di ruang public tersebut harus berani mengkritik hal-hal yang tidak benar, termasuk dirinya sendiri, dan bersedia terus mengembangkan topic diskusi agar menyangkut seluruh aspek kehidupan.Yang juga tidak kalah penting adalah kejujuran, ketulusan, dan keihklasan dari semua peserta di ruang public tersebut. Studi Wayansari (2011) terhadap media on-line Politikana.com menunjukkan bahwa media on-line ini memiliki peluang untuk menjadi public sphere di kalangan masyarakat Indonesia karena memenuhi enam kriteria tersebut, meskipun tidak sempurna. Kriteria diskursus rasional-kritis, misalnya, belum terpenuhi karena partisipan di media tersebut adalah masyarakat yang selama 30 tahun berada di bawah kekuasaan otoriter dan praktik demokrasi yang masih “bayi”. Meskipun demikian, menurut Wayansari (2011), politikana.com sudah menampilkan beberapa diskusi yang rasional dan kritis. Proses pemikiran manusia memang unik untuk setiap individu. Tidak ada proses yang sama persis dari satu orang ke yang lainnya. Di sinilah, media arus utama dan media sampingan bersinergi membuat manusia memahami kejadian di sekitarnya. Kata ajaib “triangulasi” akan terus kita jalankan secara kontinyu dan konsisten, sering tanpa kita sadari. Kebenaran menjadi tujuan akhir dari semua proses komunikasi dan pendidikan yang kita jalani setiap hari, setiap waktu. Ibarat bandul jam, kita menggunakan dua media tersebut secara bergantian, terkadang tidak seimbang di kiri atau di kanan, kadang seimbang. Prediksi saya, apabila media sampingan dapat menyampaikan pesan yang kredibel, maka suatu saat, media ini dapat menggusur media arus utama. Namun, saya berspekulasi, bahwa pada saat ini sampai tahun 2014 nanti, media arus utama masih memegang peranan penting sebagai sumber pesan yang kredibel. Oleh sebab itu, saya berpesan kepada para calon politisi di parlemen, atau calon presiden, tingkatkan kemampuan Anda mengelola pesan melalui media arus utama.Salah melangkah di arus itu, karir politik Anda dapat tamat dalam sekejap mata.
Proses Stimulus dan Respon antara Media dan Masyarakat Hubungan antara media dan khalayak penikmatnya memang menjadi rumit dengan hadirnya Internet.Walaupun demikian, ada baiknya kita mencoba melihatnya dari hubungan antara stimulus (rangsangan) dan respon (tanggapan).Teori yang paling sederhana menggunakan pendekatan kebiasaan, sebelumnya dipelopori oleh B.F. Skinner.Intinya, kebiasaan kita sebenarnya dapat dibentuk dari kebiasaan memperoleh imbalan yang menyenangkan.Teori ini mendapatkan idenya dari percobaan tikus di dalam kotak (Gambar 11). Menurut Edward (2009), kondisi stimulus tertentu akanmenghasilkan
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 24 of 37 reaksi yang dapat dilihat dan diramalkan. Dalam situasi hubungan media dan penikmat media, ada kemungkinan bahwa si penikmat mediaakan bereaksi sesuai dengan pengalamannya yang menyenangkan atau positif dengan media. Kalau penikmat media merasa terhibur atau terpuaskan kebutuhannya setelah mengonsumsi suatu program media, maka kemungkinan besar dia akan kembali dan bahkan ketagihan (addicted) dengan program media tersebut.
Gambar 11.Kotak Skinner yang menjadi eksperimen stimulus dan respon pendekatan kebiasaan (Edward, 2009). Pendekatan kebiasaan termasuk temuan awal dan terlalu sederhana.Salah satu kelemahannya adalah teori Skinner tersebut tidak mendalami kondisi benak si penerima stimulus.Pendekatan alternative lainnya adalah konstruktifisme.Dalam pendekatan ini, penerima stimulus menjadi pihak yang paling menentukan dalam membentuk pemahaman. Dewey menyatakan proses pemahaman sepenuhnya ditentukan oleh dan dimulai dari si penerima stimulus. Gambar 12 menunjukkan ide konstruktivis sosial dalam menjelaskan proses terbentuknya sikap politik pemilih dalam pemilihan umum. Faktor kunci dalam mempengaruhi kebiasaan pemilih adalah dengan menyodorkan perasaan positif terhadap seorang kandidat dan kemudian menyajikan “pembenaran” dari perasaan positif tersebut. Menurut Cwalina, Falkowski, dan Newman (2010), penjelasan ini cocok untuk demokrasi yang masih dalam transisi, namun tidak cocok untuk demokrasi yang sudah mapan seperti di AS karena pemilih tidak mempan lagi dengan rangsangan di bawah sadar. Lebih jauh lagi, menurut Cwalina, et.al (2010), media berpengaruh besar ke pemilih untuk evaluasi terhadap penantang, namun efek media tidak cukup bermanfaat bagi petahana (incumbents).
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 25 of 37
Gambar 12. Pengaruh media terhadap pemilih dalam menentukan pilihannya (Cwalina, et.al, 2010) Dua pendekatan di atas sebenarnya masih ada di masyarakat kita.Walaupun keduanya berbeda dari segi kecanggihannya, masyarakat kitapun memiliki keragaman kategori dalam berbagai hal, terutama tingkat pendidikannya.Pendekatan kebiasaan dapat dilihat dari merebaknya sinetron yang memiliki alur cerita sederhana dan mudah ditebak, atau dari segi berita ada hal-hal yang mistis, misalnya spekulasi bahwa gempa Yogya beberapa waktu yang lalu adalah akibat kemarahan Ratu Kidul.Pendekatan konstruktifis lebih cocok untuk segmen masyarakat yang lebih terdidik karena mereka lebih rasional, kritis, dan memiliki kemampuan mencari berita dari berbagai sumber.Menurut Blumler & Katz (1974), teori “uses & gratifications” menjelaskan bahwa konsumen media memiliki kebebasan (free will) untuk memutuskan bagaimana mereka menggunakan media (ontologi).Asumsi lainnya, konsumen media menyadari ada kebenaran di media (epistemologi) dan sesuai dengan nilai yang diyakininya (aksiologi).Kelebihan teori ini, menurut Paparacharissi (2009), adalah kemampuannya menjembatani antara komunikasi antar-pribadi dan komunikasi melalui media (mediated communication).
Demokrasi, Komunikasi, dan Pendidikan Kita menghadapi penyebaran kasus kecil dan lokal ke level nasional.Soal kecil di satu tempat dapat melebar menjadi isu nasional dalam sekejap mata.Fenomena “ledakan isu” lokal ke tingkat nasional, bahkan internasional tersebut memiliki manfaat dan mudharat.Fenomena ini bermanfaat untuk menyebarkan nilai-nilai baik dan universal secara nasional.Ia menjadi mudharat karena menciptakan atmosfir yang lebih kelam, pesimistis, negatif, hiruk-pikuk, dan akhirnya meresahkan. Laswell menyebutkan hiruk pikuk perdebatan ide adalah bentuk baru diktator baru di era demokrasi.Cara menguasai sang “dictator” adalah dengan kepiawaian melakukan propaganda. Dia
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 26 of 37 menyatakan: “Democracy has proclaimed the dictatorship of palaver, and the technique of dictating to the dictator is named propaganda” (Laswell, 1927: p. 631). Propaganda bentuk baru, menurut Laswell, diperlukan apabila terjadi disorganisasi dan impersonalisasi di masyarakat akibat kemajuan teknologi.Kekerasan dan intimidasi tidak lagi efektif memaksakan pemikiran dari pemimpin ke para pengikutnya.Melek huruf dan saluran komunikasi membuat penguasa dan pihak yang dikuasai dapat berdialog langsung.Lebih jauh lagi, Laswell melihat kesepakatan bersama bahwa saluran opini dan suara harus semakin terbuka bak ventilasi udara. Kunci kebaikan demokrasi ada di tangan kita semua, terutama para awak media yang setiap waktu mengerjakan upaya-upaya mencari, mengemas, dan menyebarkan pesan ke segenap penjuru tanah air.Merekalah harapan kita untuk menjadi Guru Masyarakat yang menyebarkan nilai-nilai baik, termasuk tujuan bangsa ini sebagai keluarga besar Republik Indonesia.Pendidikan yang baik harus memiliki tujuan yang jelas dan terukur. Menurut Cahn (1997), tujuan pendidikan yang baik memasukkan aspek berfikir kritis terhadap pesan atau ilmu pengetahuan. Sudahkah para media dan awaknya menjalankan proses pendidikan yang melibatkan seluruh rakyat tersebut agar berfikir kritis? Kita harus mengakui bahwa upaya semacam ini sangatlah ambisius. Tugas “Guru Masyarakat” sangat berat, ibarat “mission impossible”, namun kalau berhasil, maka ini adalah sumbangan awak media kepada bangsa Indonesia yang sangat signifikan dampaknya. Media memang bukan guru, namun dia dapat didorong menjadi guru.Dalam uraian berikut ini, ada ide untuk secara bertahap membimbing media menjadi Guru Masyarakat dalam tiga strategi: pendekatan Piaget, Locke, dan taksonomi Bloom. Strategi pertama, media dapat menggunakan pendekatan Piaget yang berbasis tiga aspek pembelajaran, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik (dapat disebut konatif).Di tahap kognitif, media menjelaskan isi pesan secara baik sehingga masyarakat penerima pesan dapat memahami dengan lengkap.Misalnya, penjelasan mengenai suatu kasus korupsi, sebab dan akibatnya, serta latar belakangnya.Media kemudian menarik simpati khalayak dengan menyebarkan perasaan prihatin, sependapat, atau menentang atas sesuatu kejadian (afektif).Misalnya, media membuat warga marah terhadap korupsi dengan mengungkapkan dampaknya yang dahsyat ke kehidupan berbangsa dan bernegara.Akhirnya, media mendorong masyarakat untuk bersama-sama turun tangan dengan aksi nyata memperbaiki suatu kondisi yang salah, atau menghentikan tindakan melanggar hukum (psiko-motorik/konatif).Misalnya, media mengajak masyarakat untuk melaporkan tindak pidana korupsi, mencegah, dan mendukung upaya mendidik generasi muda memahami korupsi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 27 of 37 Strategi kedua adalah pendekatan Locke.Dari sekian banyak konsep, ide John Locke dapat dianggap sangat mudah dimengerti. Menurut Locke (dalam Cahn, 1997: p. 144), tema utama pendidikan ada tiga, yaitu (1) kebutuhan menanamkan disiplin di kalangan anak didik; (2) pentingnya berdiskusi dengan anak didik; dan (3) perlunya mengembangkan karakter, bukan hanya intelektualitas. Marilah bersimulasi dengan bermain peran sebagai media yang menjadi Guru Masyarakat.Salah satu masalah utama kita saat ini adalah tindak kriminal berupa korupsi. Media sebenarnya dapat menjalankan fungsinya sebagai Guru Masyarakat dengan mendorong warga masyarakat untuk disiplin, misalnya dengan apresiasi terhadap warga masyarakat yang mematuhi peraturan dan menyudutkan mereka yang melanggar aturan.Mari kita lihat lalu lintas sehari-hari: semrawut dan yang paling mencolok mata adalah ketidakdisiplinan para pengendara. Tak jarang, para pelanggar bahkan secara demonstratif melawan polisi yang dengan susah payah mengatur lalu-lintas agar tertib. Kita harus mengakui, polisi masih memikul beban persoalan kepercayaan dan kredibilitas akibat perilaku oknum di masa lalu.Dalam proses ini, media tentu dapat membuka ruang untuk berdiskusi mengenai hal-hal yang baik atau diharapkan dalam berlalu-lintas. Media harus mendukung aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya yang sesuai amanat konstitusi.Kita bersama sebaiknya mulai menekankan kehidupan bersama yang adil, tanpa membeda-bedakan warga negara berdasarkan agama, suku, ras, dan golongan.Selanjutnya, dengan menggunakan pendekatan Locke tadi, media dapat secara simultan mendorong warga masyarakat menemukan tokoh-tokoh yang memiliki disiplin dan karakter baik untuk dijadikan teladan. Bagaimana mencegah tindak kriminal seperti korupsi?Menurut Robinson (1993), tindak kriminal adalah variabel dependen yang tergantung dari tiga variabel independen, yaitu (1) ancaman hukum pidana; (2) sanksi sosial; dan (3) komitmen moral individu pelaku.Media dapat berperan besar dalam aspek sanksi sosial dengan mengemukakan identitas pelaku, sekaligus mendukung dan menekan lembaga penegak hukum untuk bertindak tegas terhadap koruptor.Hal ini perlu dilakukan, karena selama ini masyarakat merasakan ancaman hukum pidana terhadap koruptor yang melalui jalur penindakan Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, dan Pengadilan masih terlalu ringan. Kita masih beruntung ada jalur KPK dan Tipikor yang relatif menghukum lebih berat para koruptor, meskipun di beberapa pengadilan Tipikor di daerah masih menghukum ringan atau bahkan membebaskan koruptor. Media dapat juga mengabarkan upaya mendidik generasi muda melalui mata pelajaran anti-korupsi dan sejenisnya untuk menyadarkan kaum muda kita tentang buruknya tindak korupsi.Langkah semacam ini dapat mendukung tumbuhnya aspek
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 28 of 37 ketiga dari konsep Robinson di atas, yaitu tumbuhnya komitmen moral di kalangan anak muda untuk tidak melakukan korupsi di kemudian hari. Pada strategi ketiga, etiga, media sudah lebih matang dalam menjalankan tugasnya sebagai Guru Masyarakat. Di jenjang ini, media kita akanmeng menggunakan taksonomi Bloom untuk memilah tingkat kompleksitas berfikir dari rendah (LOTS - low order thinking skills) ke yang tinggi (HOTS - high order thinking skills). Taksonomi yang sangat membantu para pen pendidik ini dicetuskan oleh BenjaminS. Bloom pada 1956, setelah dia mendapat tugas dari konvensi American Psychology Associationpada 1948.Tugas Bloom dan rekan-rekannya rekannya adalah mengklasifikasikan tujuan dan sasaran pendidikan.Saat itu, tugas tersebut dianggap ambisius. Namun, menurut Forehand (2005), pada 2001, bekas murid Bloom bernama Lorin Anderson melakukan revisi,, antara lain yang semula berupa kata benda menjadi kata kerja. Yang lebih menarik lagi, taksonomi Bloom ini sudah diadaptasikan untuk mengukur kegiatan berfikir di era digital (Churches, 2008).Gambar 13 menyajikan taksonomi Bloom untuk aktifitas digital.
Gambar 13:: Taksonomi Digital dengan pendekatan Taksonomi Bloom (Churches, 2008). Teks dengan warna biru adalah kegiatan di era digital. Taksonomi Bloom membantu guru untuk mendesain kegiatan belajar yang sesuai dengan tujuannya.Taksonomi ini mulai dari tingkatan terbawah yang hanya “mengingat” sampai yang paling tinggi berupa kegiatan “menciptakan”.Dapat dilihat, kegiatan “googling” itu masih masih masuk kategori
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 29 of 37 rendah, padahal masih banyak dari kita yang belum piawai menggunakan Google untuk keperluan riset. Media di tanah air dapat menjalankan tugas sebagai Guru Masyarakat dengan menyajikan isi media yang mengingatkan, memahami, dan menerapkan. Nilai gotong-royong, misalnya, dapat diingatkan kembali, lalu dibahas dan dipahami, dan akhirnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatankognitif Piaget, disiplin Locke, dan tingkatan berfikir Bloom tersebut di atas bukanlah jenjang dari yang sederhana sampai kompleks.Tiga pendekatan tersebut dapat diterapkan secara berurutan, paralel, atau simultan bersamaan.Awak media hanya perlu membiasakan diri dengan berbagai pendekatan tadi. Inti dari proses pendidikan adalah belajar memahami fenomena alam dan sosial sambil memegang teguh nilai-nilai yang baik dalam keberadaban dan menjaga harkat kemanusiaan. Tujuan pendidikan dari Guru Masyarakat adalah melahirkan manusia-manusia Indonesia yang beriman, berperikemanusiaan, mencintai negerinya, memilih dialog dan musyawarah daripada kekerasan, dan memiliki rasa adil terhadap sesama. Semua itu bersumber dari nilai-nilai Pancasila yang menjadi jalan hidup bangsa kita.
Penutup Peran media sebagai Guru Masyarakat harus terus didengungkan agar kita semua menyadari peran dan tanggungjawab media bagi kemaslahatan bersama.Pemilihan umum menjadi wahana yang penting untuk mengecek apakah media kita memang mampu memikul tanggungjawab mulia ini. Apakah media akan menjadi alat penguasa dan orang kaya? Pemilu 2014 adalah pertarungan media yang luar biasa hebat. Ada kemungkinan kita akan mengalami fenomena “media star wars”. Media arus utama saling bertarung, dengan media sampingan yang berafiliasi ke kubu-kubu tertentu akan saling menjatuhkan. Kita akan menyaksikan media arus utama dan media sampingan berebut pengaruh di antara khalayak pemilih. Ide-ide akan saling berbenturan untuk memengaruhi masyarakat, meskipun kunci kemenangan di tengah populasi muda ini masih belum ditemukan formulanya. Yang jelas, selain kapasitas modal dan otot kekuasaan, kreatifitas dalam mengelola media akanmenjadi kunci kemenangan kandidat di pemilihan legislatif dan pemilihan presiden.Kreatifitas, yang menurut seorang pengelola televisi swasta, adalah “kegilaan” atau keanehan yang ekstrim agar menarik perhatian pemirsa.“Kegilaan” ini akan lebih seru lagi, karena semua media menjagokan kandidat tertentu yang kebetulan pemilik atau masih satu kubu dengan pemilik media. Kondisi media saat ini, baik media arus utama maupun media sampingan, masih belum kokoh sebagai Guru Masyarakat.Sebagian awak media masih belum mencapai tingkat pengetahuan yang memadai
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 30 of 37 untuk bidangnya.Sebagian lagi masih belum mencapai kematangan yang cukup untuk bertindak sesuai nurani dan kebenaran.Sebagian lagi masih menganggap fakta dapat digadaikan untuk imbalan fasilitas, uang, ataupun secuil kekuasaan.Godaan materi di luar dan tekanan kekuasaan di dalam memuat kondisi awak media dan medianya tersandera oleh berbagai kepentingan.Dari sisi “jualan” ke masyarakat penerima isi media, media juga cenderung menjual kontroversi.Media masih sering gagal menjadi pemberi informasi yang baik, jangankan menjadi guru.Salah satu contohnya adalah pemberitaan mengenai konflik politik di Mesir. Pemberitaan hanya seputar kerusuhan atau bentrok antar pendukung, tetapi nyaris tidak ada penjelasan penyebabnya, misalnya Dekrit Presiden Moorsy itu berisi klausul apa dan bagaimana. Demikian juga heboh tentang kawin siri Bupati Garut.Media kita sibuk sekali membahas cerai lewat sms dan sedikit yang membahas konsekuensi hukum dan politik bagi pejabat publik yang melakukan pelanggaran etika.Pada intinya, kita ramai-ramai membahas yang kontroversial, meskipun sedikit sekali efek pembelajarannya ke masyarakat. Media pemberitaan dan hiburan memiliki kesalahan yang hampir sama dalam melakukan pelanggaran. Saat ini ada dua lembaga resmi yang mengawasi media, yaitu Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia.Tabel 5 dan 6 menunjukkan catatan yang dihimpun oleh Yayasan Sains Estetika dan Teknologi bersama Dewan Pers (2012). Catatan tersebut menunjukkan media dan wartawan kita masih perlu meningkatkan kemampuannya dalam menjalankan tugas penting, tidak hanya sebagai juru warta atau penghibur, tetapi sebagai Guru Masyarakat. Di tengah semangat menggebu mengungkapkan kasus korupsi, wartawan sering melupakan asas obyektifitas.Tak salah kalau jurnalisme saat ini disebutkan sebagai “jurnalisme mengungkap skandal”.Kelemahan utama adalah keteledoran karena alasan waktu yang terbatas.Ukuran profesionalisme seorang awak media adalah kemampuannya memenuhi tenggat waktu (deadline).Walaupun demikian, alasan ini tidak dapat dibenarkan karena dampak pemberitaan yang salah tidak dapat dihapus begitu saja. Tabel 5. Lima besar jenis Pengaduan dan Permintaan Pendapat ke KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) periode Januari-September 2012 (Sumber: Yayasan Sains Estetika dan Teknologi & Dewan Pers, 2012) Jenis Pengaduan
Frek
Persen
Pengaduan tentang berita
75
52.08
Permintaan pendapat sesuai UU Pers/Kode Etik Jurnalistik
17
11.81
Permintaan hak jawab
10
6.94
Pengaduan kekerasan terhadap wartawan
9
6.25
Pengaduan tentang perilaku/tindakan wartawan
6
4.17
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 31 of 37 Tabel 6. Lima besar jenis pelanggaran Kode Etik Jurnalistik ke Dewan Pers periode Januari-September 2012 (Sumber: Yayasan Sains Estetika dan Teknologi & Dewan Pers, 2012) Jenis Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik
Frek
Persen
Berita Tidak Berimbang
41
30.77
Berita Mencampurkan Fakta dan Opini yang Menghakimi
35
24.48
Berita tidak Mengandung uji informasi/konfirmasi
30
20.98
Berita Tidak Akurat
14
9.79
5
3.5
Wartawan tidak Profesional dalam mencari Berita
Media dan pengelolanya sebagai Guru Masyarakatakan semakin tertantang dengan meluasnya penggunaan Internet di masyarakat. Ruang publik ideal yang digambarkan Habermas mungkin akan muncul, mungkin juga tidak. Media yang berhasil menjadi Guru Masyarakat mulai dari Jenjang awal kognitif sampai aktifitas “berkreasi” dalam taksonomi Bloom yang lebih kompleks akan bertahan sebagai media yang dibutuhkan masyarakat luas. Media yang gagal akan menjadi termarjinalkan, meskipun dalam jangka pendek akan meraih keuntungan. Nurani masyarakat tidak dapat dikelabui dengan kepentingan sesaat.Kredibilitas harus dijaga dan diperjuangkan dengan perjalanan waktu; kredibilitas dapat hilang lebih cepat daripada saat meraihnya. Kredibilitas moral meningkat ketika hukum bekerja untuk yang bersalah dan dengan hukuman yang setimpal.Tidak lebih dan tidak kurang.Sanksi yang dijatuhkan pas dengan kesalahannya (Robinson, 1993).Hukuman terhadap para koruptor menjadi tolok ukur kredibilitas moral semua pihak – terutama penegak hukum, pemerintah, dan media. Oleh sebab itu, media sebagai Guru Masyarakat harus dengan serius menyoroti persoalan ini: menjelaskan, membahasnya, dan memperjuangkan suara nurani rakyat banyak. Meskipun demikian, media harus menjalankannya dengan professional agar tidak melakukan “trial by the press” (penghakiman lewat media dengan mengabaikan proses hukum).Sanksi sosial memang memberikan efek jera kepada koruptor, namun kalau sanksi itu dijatuhkan kepada orang yang tidak bersalah, maka efeknya menurunkan kredibilitas moral media.Lebih parah lagi, media yang terlanjur melakukannya jarang sekali meralat atau mengoreksinya secara publik. Alhasil, korban “trial by the press” akan selamanya memikul beban sanksi sosial, atau mendapat stigma nama baik yang ternoda (tainted reputation). Sebagai langkah awal sebagai Guru Masyarakat yang memiliki empati, awak media dapat membayangkan kalau musibah semacam itu menimpa diri atau keluarganya.Apalagi, teknologi digital memungkinkan dua hal penting, yaitu penyebaran yang lebih luas dari teknologi analog dan keabadian isi media tersebut di arsip jejaring Internet.
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 32 of 37 Kita harus lebih banyak melakukan penelitian terhadap fenomena digital ini.Banyak sekali topik yang belum dibedah dan diselidiki dengan paripurna.Topik digital dalam konteks Indonesia sangat berpeluang untuk menemukan hal-hal baru.Kita masih ingat karya fenomenal Clifford Geertz di ilmu sosial yang menelaah fenomena santri, abangan, dan priyayi di Kediri masa lalu.Peluang untuk menjadi Clifford Geertz-Clifford Geertz baru masih terbuka lebar buat peneliti bangsa Indonesia. Ada pertanyaan penting buat kita semua: mau dikenang sebagai apakah kita ketika kelak sudah meninggalkan dunia yang fana ini? Tinggalan atau legacy inilah yang membuat seorang pejabat publik atau tokoh masyarakat, termasuk pemilik, pengelola, dan awak media untuk berusaha semaksimal mungkin menjadi tokoh yang dikenang dengan baik.Imbauan untuk menjaga legacy ini juga berlaku untuk kita semua yang hadir di acara Dies Natalis hari ini.Percuma saja kalau selama hidup dipuja-puja, namun setelah tiada mendapatkan sumpah serapah.Dasar dari pengakuan atas tinggalan tersebut adalah kebenaran yang bersifat kekal, bukan kepura-puraan yang bersifat sementara.William Shakespeare mengatakan: “No legacy is so rich as honesty.”Tak ada tinggalan yang sekaya kejujuran.Mudah-mudahan, semakin banyak media yang tetap independen dan memperjuangan kepentingan masyarakat banyak, sehingga mampu menjalankan tugasnya sebagai Guru Masyarakat. Semoga orasi ini bermanfaat buat kita semua.Terimakasih atas perhatian Ibu dan Bapak sekalian.Semoga Tuhan membimbing kita semua dalam menjalani hidup dan kehidupan ini secara benar, beradab, dan berintegritas.Saya mohon maaf apabila ada kata dan ekspresi yang kurang tepat.Kesempurnaan milik Tuhan, ketidaksempurnaan menjadi bagian dari manusia.Wallahu’alam bissawab. Wabillahitaufiq wal hidayah,Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 33 of 37
Referensi ___________.(2012). Edelman Trust Barometer Indonesia RESULTS.Edelman. Indo-Pacific Edelman & StratCOM. Abrahamian, Ervand.(2003). The US media, Huntington and September 11.Third World Quarterly, Vol 24, No 3, pp 529–544. Available on-line at http://www.hks.harvard.edu/fs/pnorris/Acrobat/Abrahamian_Clash.pdf Bartlett, Lesley. (2005). Dialogue, Knowledge, and Teacher-Student Relations: Freirean Pedagogy in Theory and Practice.Comparative Education Review, vol. 49, no. 3: pp. 344-364. Available on-line at http://www.tc.columbia.edu/faculty/bartlett/publications/pdf/49_3cer.pdf Becker, E. (1971). The Birth and Death of Meaning: an Interdisciplinary Perspective on the Problem of Man (Second Edition). New York, NY: The Free Press. Blumler J.G. & Katz, E. (1974).The Uses of Mass Communications: Current Perspectives on Gratifications Research. Beverly Hills, CA: Sage. A lecture review available on-line at http://www.uky.edu/~drlane/capstone/mass/uses.htm Cahn, Steven M. (1997). Classic and Contemporary Readings in the Philosophy of Education. Oxford: Oxford University Press. Churches, A. (2008). Bloom's Taxonomy Blooms Digitally. Techlearning, April 1, 2008. Available on-line at http://teachnology.pbworks.com/f/Bloom%5C's+Taxonomy+Blooms+Digitally.pdf Cwalina, W., Falkowski, A., dan Newman, B.I. (2010). Towards the development of a cross-cultural model of voter behavior: Comparative analysis of Poland and the US. European Journal of Marketing, Vol. 44 Iss: 3/4, pp.351 – 368. Available on-line at http://www.emeraldinsight.com/journals.htm?articleid=1852390&show=html Dahlberg, L. (2001). Computer-Mediated Communication and the Public Sphere: A Critical Analysis. Journal of Computer-Mediated Communication, 7(1). Available online athttp://jcmc.indiana.edu/vol7/issue1/dahlberg.html Djiwandono, J. Soedjati. (1995). Indonesia in 1994.Asian Survey, Vol. XXXV No. 2, Feb. 1995: p. 226-233. Edward, J. (2009). Lunch& Learn: Computer Modeling of the Mind and Brain with Matthew Botvinick. Educational Technologies Center, Princeton University.May 6, 2009. Available on-line at https://blogs.princeton.edu/etc/2009/05/06/computer_modeling_of_the_mind_and_br ain/ Forehand, M. (2005).Bloom's taxonomy: Original and revised. In M. Orey (Ed.), Emerging perspectives on learning, teaching, and technology. Retrieved December 20, 2012, from http://projects.coe.uga.edu/epltt/
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 34 of 37 Habermas, Juergen (1991). The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Translated by Thomas Burger, with Frederick Lawrence. Cambridge, Mass.: MIT Press. Hamm, Ibrahim Mohamad. (2012). Islamic Perspective of Education and Teachers.European Journal of Social Sciences, Vol.30 No.2 (2012), pp. 223-235. Available on-line at http://www.europeanjournalofsocialsciences.com/ISSUES/EJSS_30_2_02.pdf Hanson, G.& Haridakis P. (2008). YouTube Users Watching and Sharing the News: A Uses and Gratifications Approach. Journal of Electronic Publishing, Volume 11, Issue 3, Fall 2008. Available on-line at http://quod.lib.umich.edu/cgi/t/text/idx/j/jep/3336451.0011.305?rgn=main;view=fullte xt Helliwell, J., Layard, R., and Sachs, J. (editors) (2012). World Happiness Report. New York, NY: The Earth Institute, Columbia University. Available on-line at http://www.earth.columbia.edu/sitefiles/file/Sachs%20Writing/2012/World%20Happin ess%20Report.pdf Irwansyah.(2011). Indonesia Media Landscape.Future Media International Forum, Moscow, 24 June 2011. Available on-line at http://vid1.rian.ru/ig/fmf/ss/Future_Media_Forum_2011_Irwansyah.pdf Kelly, John. (2008). Pride of Place: Mainstream Media and the Networked Public Sphere. Berkman Center for Internet and Society at Harvard University. Available on-line at http://cyber.law.harvard.edu/sites/cyber.law.harvard.edu/files/Pride%20of%20Place_M R.pdf Kononova, A. & Alhabash, S. (2012). When one medium is not enough: Media use and media multitasking among college students in Kuwait. Journal of Middle East Media, Vol 8, Issue 1, Fall 2012. Available on-line at http://www2.gsu.edu/~wwwaus/Vol8/JMEM2012_Kononova_and_Alhabash.pdf Kovach, B. &Rosenstiel, T. (2010). BLUR: How to Know What’s True in the Age of Information Overload. New York: Bloomsbury. Kull, Ann. (2009). At the Forefront of a Post-Patriarchal Islamic Education Female Teachers in Indonesia.Journal of International Women’s Studies Vol. 11 #1 November 2009: pp. 2539. Available on-line at http://www.bridgew.edu/soas/jiws/nov09/Ann.pdf LaRose, R. & Eastin, M.S. (2002). A Social Cognitive Explanation of Internet Uses and Gratifications: Toward a New Theory of Media Attendance. A paper submitted to the Communication and Technology Division, International Communication Association, November 1, 2002. Available on-line at https://www.msu.edu/~larose/ica03post.htm
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 35 of 37 Laswell, H.D. (1927). The Theory of Political Propaganda.The American Political Science Review, Vol. 21, No. 3. (Aug., 1927), pp. 627-631. Available on-line at http://icswww.leeds.ac.uk/papers/pmt/exhibits/2941/Lasswell.pdf Lembaga Survei Indonesia. (2012). Menuju Pilpres 2014 Yang Lebih Berkualitas. Kerja Sama Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Majalah Indonesia 2014, rilis 28-11-2012. Available on-line at http://www.lsi.or.id/riset/427/Rilis_Capres_Indonesia_2014 Lim, M. (2003).The Internet, Social Network and Reform in Indonesia. In N. Couldry and J. Curran (eds.), Contesting Media Power: Alternative Media in A Networked World, Rowan & Littlefield, pp. 273-288.Available on-line at http://www.public.asu.edu/~mlim4/files/Lim_Ch17.pdf Lim, M. & Nugroho, Y.(2011). Introduction to the Special Issue on Social Implications of the ICTs in the Indonesian Context.Internetworking Indonesia Journal Vol. 3/No. 2 (2011). Available online at http://www.internetworkingindonesia.org/Issues/Vol3-No2Fall2011/iij_vol3_no2_2011_introduction.pdf Lim, M. (2011). @crossroads: Democratization & Corporatization Of Media In Indonesia. Participatory Media Lab at Arizona State University. Available on-line at http://participatorymedia.lab.asu.edu/files/Lim_Media_Ford_2011.pdf Lim, M. (2012).The League of Thirteen Media Concentration in Indonesia.Research Report. Tempe, AZ: Participatory Media Lab at Arizona State University & Ford Foundation. Available online at http://www.public.asu.edu/~mlim4/files/Lim_IndoMediaOwnership_2012.pdf Mabrito, M., and R. Medley.(2008). Why Professor Johnny can't read: Understanding the Net Generation's texts. Innovate 4 (6). Available on-line at http://www.innovateonline.info/index.php?view=article&id=510 Margiyono. (2012). Media Baru, Etika Baru? Jurnal Dewan Pers, Edisi No. 6, Desember 2012: p. 25-33. McLuhan, M. (1964). Understanding Media: The Extensions of Man. London and New York: McGrawHill. Moore, James R. (2006). Islam in Social Studies Education: What We Should Teach Secondary Students and Why It Matters. Heldref Publications,The Social Studies July/August 2006: pp. 139144. Available on-line at http://coedpages.uncc.edu/theafner/Advanced%20SS%20methods/Islasm%20in%20Sec ondary%20Education.pdf Noer, K.A. (2012).Pengantar.Titik-Temu, Jurnal Dialog Peradaban volume 4, Nomor 2, Januari-Juni 2012: p. 11-17. Oblinger, D.G. & Oblinger, J.L. (eds.) (2005).Educating the Net-Generation.Educause Inc. Available online at http://net.educause.edu/ir/library/pdf/pub7101.pdf
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 36 of 37 Papacharissi, Z. (2009). Uses and Gratifications.In Papacharissi, Z. (2009). (Ed.). Journalism and Citizenship: New Agendas. New York: Lawrence Erlbaum/Taylor and Francis: pp. 137152. Available on-line at http://tigger.uic.edu/~zizi/Site/Research.../PapacharissiU%26G.pdf Population Reference Bureau. (2012). Population and Economic Development Data Sheet. Project for Excellence in Journalism.(2012). How Social and Traditional Media Differ in Treatment of the Conventions and Beyond.Pew Research Center. Available on-line at http://www.journalism.org/commentary_backgrounder/how_social_and_traditional_m edia_differ_their_treatment_conventions_and_beyo Robinson, P.H. (1993). Moral credibility and Crime.The Atlantic Monthly, March 1993: p. 72-78. Spitulnik, Debby. (1993). Anthropology and Mass Media.Annu. Rev. Anthropol. 1993. 22:293-315. Available on-line at http://anthropology.emory.edu/FACULTY/Spitulnik/ANTDS/Spitulnik93MediaAnthro.pdf Socialbakers (2012).Facebook Statistics by Country. Available on-line at http://www.socialbakers.com/facebook-statistics/ Soules, Marshall. (2007). Jürgen Habermas and the Public Sphere.Malaspina University-College: Mediastudies.ca. Available on-line at http://www.media-studies.ca/articles/habermas.htm Steele, Janet. (2011). Justice and journalism: Islam and journalistic values in Indonesia and Malaysia. Journalism, 12(5) 533–549. Available on-line at http://web.ccas.gwu.edu/dev/filehost/8/Journalism%20article%20Janet%20Steele.pdf Utama, E. (2012). The Other Side of Social Media: Indonesia’s Experience. Dalam Winkelmann, S. (editor) (2012).The Social Media (R)evolution? Asian Perspectives on New Media.Singapore:the Konrad-Adenauer-Stiftung. Available on-line at http://www.kas.de/wf/doc/kas_31322-1522-2-30.pdf?120615060656 Vallor, S.(2012).Social Networking and Ethics. The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Winter 2012 Edition), Edward N. Zalta (ed.), forthcoming URL = http://plato.stanford.edu/archives/win2012/entries/ethics-social-networking/ Wayansari, A. (2011). The Internet and the Public Sphere in Indonesia’s New Democracy: a Study of Politikana.com.Internetworking Indonesia JournalVol. 3/No. 2 (2011). Available on-line at http://www.internetworkingindonesia.org/Issues/Vol3-No2Fall2011/iij_vol3_no2_2011_wayansari.pdf Winter, Lily. (2010). The Myth of the Clash of Civilizations: Political Islam in Indonesia and Iran. Chrestomathy: Annual Review of Undergraduate Research, School of Humanities and Social Sciences, School of Languages, Cultures, and World Affairs, College of Charleston;
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013
Page 37 of 37 Volume 9 (2010): 255-80. Available on-line at http://religiousstudies.cofc.edu/pv_obj_cache/pv_obj_id_9BD9B7EBFBD19465BB5CE31 A6AD0AA1718AC0500/filename/LillyWinterPaper.pdf Wright, D.K. & Hinson, M.D. (2008). How Blogs and Social Media are Changing Public Relations and the Way it is Practiced. Public Relations Journal Vol. 2, No. 2, Spring 2008. Available on-line at http://lis7490.slis.wayne.edu/Inbound-Marketing-University-atSLIS/Week12/doc/HowBlogsAndSocialMediaAreChangingPublicRelationsAndTheWayItIs Practiced.pdf Yandi, M.R. (2012). Indonesia Akan Jadi Negara Ber-WiFi Terbesar. Tempo.co edisi Kamis, 06 Desember 2012, 12:17 WIB. Available on-line at http://www.tempo.co/read/news/2012/12/06/072446223/Indonesia-Akan-JadiNegara-Terbesar-Ber-WiFI Yayasan Sains Estetika dan Teknologi & Dewan Pers. (2012). Hasil Penelitian Problem Penegakan Etika dan Profesionalisme Media berdasarkan Kasus-Kasus Pengaduan di Dewan Pers Tahun 2012. Jurnal Dewan Pers, Edisi No. 6, Desember 2012: p. 1-23.
Orasi Ilmiah Dies Natalis XV
Universitas Paramadina
10 Januari 2013