Effendi Gazali:
“Media Harus Memenuhi Standard Pengelolaan Bantuan” Sumber: Judul buku Ditulis ulang dari
: Filantropi Media dan Bencana di Indonesia : Jurnal Galang, Vol.2 No.1 Oktober 2006, PIRAC, 2006, Opini, Hal 97 – 105
Media di Indonesia memiliki peran baru yang unik, yang tidak dilakukan di negara lain, yaitu menggalang dan mendistribusikan dana sosial dari masyarakat. Media berperan penting dalam kegiatan filantropi (kedermawanan sosial), terutama pada saat terjadi bencana di suatu daerah, misalnya, bencana tsunami di Aceh dan gempa di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu. Media juga sukses dalam mengelola program bantuan kesehatan atau program penyantunan lainnya bagi masyarakat yang kurang mampu. Ratusan media baik cetak maupun elektronik berlomba-lomba meraih dukungan massa melalui program amal yang mereka publikasikan melalui medianya masing-masing. Guna mengetahui sejauh mana peran media dalam pengembangan filantropi, berikut wawancara kami dengan Effendi Gazali, dosen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia.
Saat ini banyak media yang terjun dalam kegiatan filantropi lewat program penggalangan dan penyaluran dana sosial. Bagaimana Anda melihat fenomena ini? Saya mau membagi kegiatan yang dilakukan media itu menjadi dua, yakni penggalangan dan penyaluran. Penggalangan berbeda dengan soal distribusi atau penyaluran. Dalam hal penggalangan dana, media itu bisa berada di garis depan karena ia langsung ber-hadapan dengan masalah, seakan-akan mereka punya kemampuan menjangkau masyarakat lebih luas. Itu disebabkan oleh beberapa hal yang menjadi kelebihan media. Pertama, daerah reaching out media itu lebih luas dari yang lain, dibandingkan dengan organisasi-organisasi kecil yang bekerja sendiri-sendiri, misalnya. Kedua, sebetulnya mereka bisa menambahkan yang sangat penting yang jarang orang pegang, aspek emosional. Itu dilakukan dengan memberi sentuhan gambar yang sedih, dengan lagu Ebit G. Ade “Berita kepada Kawan.” Ketika, ini yang sering kita lupakan: Dengan ber-derma lewat media itu orang berharap ada sebuah tanggung jawab yang lebih terorganisir dibandingkan kalau masyarakat sendirisendiri melakukan itu di pinggir jalan. Mengapa itu disebut tanggung jawab yang terorganisir? Karena sebetulnya persyaratan media massa untuk disebut sebagai media massa atau komunikasi massa adalah sebuah organisasi yang berlangsung panjang dan terorganisir dengan baik. Keempat, itu sebenarnya menjadi bagian dari tugas media massa. Ada empat fungsi media, yaitu to inform, to entertain, to educate, dan social control (surveillance). Nah, sebetulnya to educate dan surveillance itu berfungsi dalam konteks itu tadi, filantropi. Tapi persoalan yang muncul kemudian adalah, media memang bisa dipergunakan untuk reaching out, untuk menyampaikan, mengajak, sementara aspek pen-distribusian sesuatu hal yang sangat berbeda sekali. Karena itu bisa ditempuh dua cara. Pertama, mereka mengelola sendiri. Karena itu dibutuhkan sebuah unit baru yang mengelola dan menyalurkan dana tersebut. Kalau jumlah dananya sangat besar, mungkin unit ini harus terpisah karena para reporter tentunya sudah memiliki kerja rutin sehari-hari yang tidak mungkin lagi mereka bisa menanganinya. Kerena itu dibutuhkan sebuah unit baru yang kebetulan sebetulnya bisa dikembangkan menjadi lembaga besar. Bangsa kita harus belajar
banyak dari kasus tsunami. Sumbangan yang sebelumnya hanya kecil-kecil dan untuk suatu tujuan tertentu, misalnya untuk operasi bibir sumbing, penderita hidrocephalus, atau gempagempa berskala kecil, tiba-tiba sekarang harus menangani yang besar. Atau yang kedua, mereka salurkan itu kepada kelompok-kelompok lain yang bertugas dengan baik pada bidang tersebut. Tentunya ada organisasi-organisasi semacam itu, jadi media tinggal melaporkan. Tapi walaupun demikian, pertanyaan saya yang sering saya tanyakan adalah begini. Tentu orang mengatakan bahwa mereka memilih menyalurkan melalui media tertentu adalah cerminan dari kepercayaan mereka terhadap kredibilitas media atau orang-orang yang berada di belakang media. Nah, pertanyaan selanjutnya adalah apakah orang-orang di media itu bisa dengan kemauan mereka sendiri mendistribusikan untuk hal-hal yang mereka anggap baik. Itu pertanyaan lain, karena menurut saya begini. Tentu basis itu karena kredibilitas, mereka bisa menyalurkan kepada lembaga lain. Tetapi yang jauh lebih penting dari itu adalah perlu juga melakukan need assessment. Jadi sebelum media memberikan keputusan bahwa “kami harus salurkan ke sini atau ke sana dan lain-lain” harus ada need assessment yang berbasis pada publik dan itu bukan cuma kebutuhan orang di lapangan, tapi mungkin juga ditanyakan kepada pemberi. Jadi beberapa pemberi, katakanlah bukan sebuah penelitian yang benar-benar komprehensif, tapi harus ada upaya ke arah itu. Apakah upaya need assestment itu sudah dilakukan? Saya lihat belum ada upaya ke arah itu. Jadi, misalnya juga menanyakan “Kepada Anda yang sudah me-nyumbangkan, kalau Anda ingin me-ngirimkan saran, Anda bisa mengirim ke SMS nomor sekian. Anda bisa menyuarakan, mana yang menurut Anda perlu dibantu? Mana yang menurut Anda prioritas untuk dibantu dan bagaimana caranya?” Nah, dengan begitu, media tak hanya mengambil uang mereka saat menyelenggarakan program pengumpulan dana. Media harus memperhatikan aspirasi donatur sebagai pemilik dana. Mungkin dalam pemberian uang itu walaupun sudah terkait dengan kredibilitas, ada keinginan-keinginan penyumbang me-ngenai ke mana dana itu perlu disampaikan. Selain itu, kita perlu mencermati seberapa intens atau berapa kali mereka memberikan laporanlaporan mengenai kegiatan atau keuangannya. Ini bahaya juga. Pada saat tsunami terjadi, mereka gencar menggang dana, tapi setelah itu bekerja sendiri tanpa pernah lagi ada public exposure tentang dana yang dipakai dengan program itu. Jadi hanya disebutkan “Sudah diperiksa oleh badan Anderson dan lain-lain.” Menurut saya itu ada tali komunikasi yang relatif terputus. Memang semuanya ini dalam taraf belajar, tapi harus ada perbaikan dan kemajuan untuk program-program selanjutnya. Kalau bisa dibandingkan dengan fenomena serupa di luar, misalnya, dengan konteks bencana badai katrina di AS, apa bedanya dengan praktek yang terjadi di sana? Apakah keunikan kita pada peran ganda media yang berfungsi sebagai penggalang sekaligus penyalur sumbangan? Kalau dari keunikannya, barangkali pada peran ganda tadi. Sebetulnya kalau mau jujur, tsunami dengan katrina itu hampir sama. Kedua bangsa sama-sama tidak siap. Katrina itu lebih mencerminkan betapa Amerika yang besar dan gagah perkasa itu tidak siap, bahkan mungkin lebih kacau dalam menanganinya. Jadi, ini fungsi-fungsi baru media yang muncul di banyak negara di dunia. Masing-masing belajar karena belum ada sebuah model yang baik dan belum pernah diteliti mana yang paling bagus. Apakah mereka melakukan penyaluran sendiri atau mereka di-serahkan kepada badan-badan ter-tentu untuk menjalankannya. Belum ada laporan yang menunjukkan akan lebih efektif kalau media sendiri yang menyalurkan atau lebih efektif kalau kerja sama dengan lembaga lain. Ada satu persoalan sebenarnya yang agak sering dimunculkan dengan sumbangan dana melalui media. Media itu mampu memperlihatkan siapa yang menyumbang. Sehingga kadangkadang orang menyumbang 1 milyar lalu diperlihatkan atau diekspos, bersalaman dengan pimpinan redaksinya dan segala macam. Itu ada persoalan etika juga. Karena ada yang
mengatakan, “Ya, Anda memang menyumbang, tapi kan Anda dapat public relation dari situ dan bukan hanya menyumbang dengan menyebut nama saja atau menyebut inisial sebagai “Hamba Allah.” Jadi ada persoalan-persoalan lain, walaupun mungkin tidak hakiki. Bagaimana para ahli atau teoritikus ilmu komunikasi melihat fenomena tersebut? Itu relevan dengan teori bahwa media harus merupakan bagian dari perbaikan masyarakat atau pemecahan persoalan di masyarakat. Media dengan fungsi surveillance-nya menyadari hal itu, lalu mencoba berbuat sesuatu untuk masyarakat. Jadi media itu tidak hanya menyampaikan fakta, lebih dari itu mereka berguna bagi kehidupan. Itu teori yang paling utama, tapi kemudian mereka diuji juga. Kalau mereka bisa mengontrol orang lain, apakah mereka mampu atau tidak untuk mengontrol diri sendiri. Kita lihat media sering mengontol orang lain, “Bantuan itu tidak sampai…,bantuan diselewengkan … “Pertanyaan yang penting bagi media adalah, “Apakah mereka mampu mengelola bantuan yang akan digalang dengan cara yang mereka harapkan berlaku bagi pihak-pihak lain.“ Itu sangat penting. Mereka sering mengontrol LSM, DPR, partai politik, lembaga lain yang menyalurkan sumbangan. Tapi, ketika media menyalurkan sumbangan, laporannya jarang kita terima dan mereka tidak pernah mengecek feed-back-nya. Ada kecenderungan media beranggapan bahwa kalau bantuan itu sudah diberikan kepada mereka, itu sudah menjadi hak mereka dan semua penyumbang sudah merasakan penyumbang seakan menyerakan sepenuhnya kredibilitasnya pada media. Terserah media untuk menggunakannya. Kita perlu berhati-hati karena kondisi seperti yang saya katakan tadi bisa saja digunakan untuk kepenting-an politis yang terkait dengan image pemilik media. Atau, bisa juga digunakan untuk kepentingan-kepentingan lain yang berhubungan dengan media itu di masa depan. Misalnya media punya kepentingan tertentu di propinsi tersebut. Untuk membuat mereka tidak jauh, kita tidak boleh menunduh. Tapi supaya biasbias itu semakin diperkecil, maka bisa dilakukan need assessment yang sederhana ke pemberi dan kepada calon penerima secara rutin. Nah, kalau itu dilakukan, saya pikir bisa memperbaiki kemungkinan-kemungkinan atau image yang tidak diharapkan tadi. Apakah kegiatan penggalangan dan pengelolaan dana ini merupakan bagian dari CSR (Corporate Social Responsibility) media atau hanya sekedar bagian PR (Public Relation) media? Kalau hal ini dianggap bagian CSR, toh dananya bukan dari perusahaan media, tapi dari masyarakat. Nah, itulah persoalannya. Media dalam konteks ini sebetulnya hanya berfungsi melakukan mediasi, aktor mediasi. Jadi mereka bisa melakukan keduanya, mengumpulkan dari orang lalu menyampaikan ke orang lain. Namun pertanyaan Anda cukup penting. Kita juga harus pertanyakan, apakah media sen-diri kemudian mengeluarkan dananya sen-diri untuk mendukung program itu? Sebagian media memang mengeluarkan juga dananya sendiri. Saya tidak tahu apakah ma-sing-masing media punya sebuah PR yang jelas dan tidak memanfaatkan bencana itu sebagai PR mereka. Tapi khusus peranan media tersebut, media terkait dengan empat fungsi mereka tadi: to inform, to entertain, to educate, dan to conduct surveillance. Jadi termasuk kedua hal yang terakhir tadi. Dihubungkan dengan kapasitas media untuk melakukan peran tersebut, tepatkah media memerankan diri sebagai lembaga derma dengan menggalang dan mendayagunakan dana sosial? Karena, ada yang beranggapan media sekarang ini menjadi semacam “kompetitor” bagi LSM dalam menggalang dana sosial? Kita perlu hati-hati menggunakan kata-kata ‘kompetitor’ dalam konteks ini. Itu harus dengan sangat tenang kita ungkapkan. Jangan sampai ada anggapan media menjadi kompetitor bagi LSM. Itu berbahaya. Kita akan kehilangan atmosfer bahwa siapa pun dipersilakan berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan. Nah, media mempunyai kekuatan di mana emotionally mereka bisa touching. Mereka bisa membuat orang lebih encourage untuk
menyumbang. Tapi kemudian bahwa media memerankan peran tertentu yang melebihi dari apa yang mereka lakukan, itu sah-sah saja sejauh perinsip yang sama mereka pakai untuk menilai orang lain juga mereka pakai untuk menilai diri mereka sendiri. Jadi, kalau mereka melakukan koreksi terhadap keuangan lembaga lain, mempertanyakan siapa yang menentukan bantuan di lembaga tertentu, mestinya hal itu juga muncul pada diri mereka sendiri. Karena itu ada dua poin yang menjadi penting: media harus mengecek apakah betul atau tidak program yang mereka jalankan itu dibutuhkan oleh penerima atau dibutuhkan oleh pengirim. Need assessment-nya seperti apa? Apakah itu diperoleh karena keputusan media sendiri? Nah, kalau itu tidak berbeda dengan beberapa LSM yang menentukan sendiri, ya media harus berbenah dan memperbaikinya. Ataukah mereka melahirkan program itu melalui FGD atau sebuah mini survey dan lain-lain, itu bisa menjadi guidance dalam pengelolaan sumbangan. Itu poin-poin penting saya. Jangan menganggap mereka sebagai kompetitor. Tapi memang barangkali yang menarik juga untuk digagas selanjutnya, kalau itu wilayah-wilayah yang dianggap tidak dikuasai media, mereka bisa bekerja sama dengan LSM-LSM atau badan-badan lain yang memang spesial ke situ. Dari pengamatan Anda, apakah peran tambahan yang dilakukan media ini tidak mengganggu peran utama mereka sebagai penggali dan penyebar berita? Sementara ini saya belum melihat itu. Namun, sekali lagi yang saya katakan tadi, yang saya lihat bukan soal terganggunya, bukan pada kompetisinya, lebih pada mestinya mereka menegakkan standar yang berkaitan dengan pengelolaan bantuan atau dana sosial. Media itu tidak hanya menyamakan standard mereka dengan standard organisasi lain pengelola derma. Dengan kata lain, ketika suatu standard dilakukan orang lain, media juga harus mengikuti dan mematuhinya. Lebih dari itu, bahkan sebetulnya dalam hal ini kalau perlu media berada di garis depan menunjukkan bahwa selain mengumpulkan sumbangan, mereka juga menyisihkan dana untuk menyumbang. Kemudian mereka menunjukkan kepada publik bahwa mereka memberikan keterbukaan akses publik untuk tahu apa yang mereka lakukan lebih baik daripada LSM. Mereka juga harus menunjukkan bahwa mereka melakukan need assessment baik ke publik penyumbang maupun ke calon penerima dengan baik. Nah, kalau mereka bisa di garis depan dalam soal itu, sungguh luar biasa. Karena mereka adalah media, apa yang mereka lakukan bisa menjadi contoh bagi orang lain karena mereka dengan mudah memunculkan hal itu. Perlukah aturan atau pengawasan khusus untuk mengantisipasi penyalahgunaan dana sosial yang mereka galang? Saya memang mendengar ada dana di stasiun TV tertentu yang bunganya dipakai sendiri. Nah, persoalan itu menjadi sangat menarik untuk dikedepankan terutama karena justru media harusnya menjadi contoh. Kalau mereka melakukan kesalahan atau mereka sengaja melakukan penyelewengan-penyelewengan, itu sangat berbahaya. Mengapa? Karena tidak ada pihak lain yang berani mengontrol, sekan-akan akses informasi kan mereka yang punya. Apalagi kalau ada semacam solidaritas bersama di antara media untuk menutupi hal itu. Kalau mereka berpikiran ‘kalau ada kasus tertentu di sebuah media yang berhasil diungkap maka yang lain akan kena’, itu harus kita perangi. Kita tidak perlu ragu-ragu untuk mengajak pihak lain memerangi konspirasi semacam itu. Saya belum melihat UU yang mengatur atau mengantisipasi masalah itu. Itu belum ada di UU Penyiaran kita dan saya tidak melihat itu ada pada standard program siaran dan pedoman perilaku penyiaran. Itu lebih mengatur pada content atau isi, belum mengatur halhal yang berkaitan dengan kegiatan charity yang dilakukan media. Jadi lebih dikembalikan kepada etika masing-masing stasiun. Tapi ini menjadi menarik karena artinya bukan hanya pada kasus yang terjadi tetapi juga cara-cara menanganinya. Nanti mestinya menurut saya bisa menjadi pedoman untuk menentukan apakah sebuah stasiun televisi, misalnya, ataukah stasiun radio ataukah media cetak memang melakukan tindakan-tindakan yang melanggar dua tugasnya tadi, tugas pendidikan dan to conduct surveillance. Sehingga
nantinya hal ini perlu diperhitungkan dalam perpanjangan ijin, misalnya, atau dalam pengaduan-pengaduan masyarakat. Apakah itu bisa diatasi dengan merumuskan etika dan aturan internal yang secara bersama-sama oleh media yang terlibat dalam program ini? Secara umum ada dua aturan yang berkaitan dengan media. Kalau peraturan-peraturan yang terkait dengan UU Penyiaran itu ada di KPI. Kalau etika dalam konteks yang lebih menyangkut ke moralitas wartawan, moralitas pengelolaan media, itu etika di antara mereka yang disebut etika profesi. Nah, mungkin etika profesi itu bisa digugat tapi dari sisi lain. Kalau KPI bisa punya kejelasan itu karena KPI itu mestinya merupakan satu-satunya badan yang juga bisa memperhitungkan masukan dari masyarakat sebelum perpanjangan ijin. Misalnya, ada masukan masyarakat yang berkaitan dengan penyalahgunaan sumbangan, maka KPI bisa saja menjadikan itu sebagai pertimbangan dalam perpanjangan ijin siarannya. Ada kecenderungan media menggalang dana kemudian mereka melakukan kegiatan sosial dengan dana itu dan itu diklaim sebagai CSR mereka. Apakah itu sebuah penyimpangan? Maka dari itu seperti saya katakan tadi, harus jelas bahwa mereka juga menyumbangkan sesuatu kalau itu memang dianggap program CSR mereka. Jadi, yang harus Anda persoalkan adalah mengapa CSR media tertentu, misalnya, hanya satu persen? Nah, itu tepat konteksnya dibandingkan. Kita harus sadar bahwa dana CSR mereka tidak hanya digunakan untuk korban bencana saja, tapi juga buat program-program yang lain. Jadi yang perlu dikatakan adalah, ini tidak bisa diklaim sepenuhnya sebagai corporate social responsibility (CSR) yang keluar dari mereka. Karena ini bisa dilihat dari dua sisi tadi, pertama, corporate social responsibility tapi itu juga tuntutan, tanggung jawab dari keberadaan institusi media. Itu cara melihatnya demikian. Dari laporan keuangan yang dikeluarkan oleh sebuah kelompok media, terungkap bahwa ada dana pengeluaran yang digunakan sebagai dana sosialisasi iklan yang dipotong dari dana masyarakat yang mereka galang. Itu jelas tidak boleh. Di banyak media, dana operasional itu merupakan dana CSR mereka. Di beberapa stasiun TV disampaikan secara luas bahwa “Tidak satu rupiah pun dana yang digalang dipakai untuk dana operasional.” Kalau itu terpaksa dilakukan, maka diperlukan persetujuan dari penyumbang. Jadi dari awal sudah jelas sehingga nanti masyarakat bisa menentukan apakah akan menyumbang ke stasiun ini atau itu. Kalau seseorang menyumbang ke stasiun itu dan akan dipakai untuk operasional, maka ia bisa pilih stasiun lain. Nah, itu bisa menjadi well inform sebelum orang memberikan sumbangan. Itu yang bisa Anda tuntut. Tapi Anda tidak bisa menuntut media yang menggunakan sebagian sumbangan sebagai dana operasional karena tidak ada aturan hukumnya. Tapi nanti menjadi patokan bagi kita bahwa kalau menyumbang ke situ tidak akan dipakai untuk operasional, bersih sampai ke masyarakat. Bagaimana jika masyarakat memberikan sumbangan itu untuk korban banjir, misalnya, tapi media mengalokasikannya sebagai dana untuk mengiklankan banjir itu sendiri dan uangnya masuk ke media. Apakah itu bisa diterima? Kalau dana itu benar-benar dipakai untuk biaya iklan, wah itu lebih parah lagi. Kalau menurut saya dana itu tidak boleh dipakai untuk biaya iklan. Kalau itu wilayah yang lebih arguable, yang bisa kita perdebatkan habis-habisan. Tapi kalau alokasinya untuk biaya pengelolaan atau operasional, itu mereka masih bisa berdalih. Jalan keluarnya menurut saya cuma etika untuk me-ngatakan ini akan dipotong untuk biaya operasional atau tidak.
Kalau mereka diam-diam tidak boleh karena membuat orang-orang tidak well inform untuk menyumbang. Mengenai etika, Anda pernah mengritik etika media dalam menyiarkan sebuah bencana yang kadang-kadang membuat orang menjadi trauma. Itu bagaimana selama ini persoalannya? Yang ingin saya katakan saat itu adalah etika-etika mendasar yang terkait juga dengan Standard Program Siaran (SPS) atau P3 (Pedoman Perilaku Penyiaran). Yang saya maksud traumatik itu adalah waktu itu adegan pemukulan polisi di Abepura. Itu suatu hal yang tidak pantas ditayangkan berpanjang-panjang dan berlama-lama. Tanpa memperlihatkan polisi yang dipukul pun orang tahu ada persoalan besar di situ, ada violence yang luar biasa di situ. Kedua, pemunculan wajah mayat. Sewaktu terjadi gempa di Yogya masih ada media yang mena-yangkan korban yang kulit kepa-lanya terkelupas. Di banyak televisi di negara yang lebih maju gambar semacam itu di blur dan itu sudah diminta oleh SPS dab P3. Barangkali yang ingin saya katakan, yang terkait dengan filantropi adalah penggunaan gambar-gambar yang touching, yang memancing orang untuk me-nyumbang. Itu menurut saya tidak masalah. Justru di situ keunggulan media dibandingkan apa yang dilakukan LSM. Tapi, justru ada yang mengatakan bahwa penayangan korban dan kondisi bencana yang berulang-ulang bisa menimbulkan problem psikologis atau traumatik bagi korban dan keluarganya. Yang perlu menyuarakan itu adalah ahli ilmu psikologi kemunikasi. Selama ahli ilmu psikologi komunikasi tidak bersuara, tentunya yang menjadi ukuran adalah takaran dari pengelola stasiun atau editornya. Kalau melihat kasus Aceh, ada seorang wanita yang memegang anaknya lalu seperti gila karena anaknya mati. Me-nurut saya benar jika akan timbul dampak psikologis kalau itu terus-menerus dimunculkan tanpa ada batas. Artinya dua tiga kali boleh, lalu mungkin yang keempat jangan memakai gambar itu lagi. Toh media punya beberapa gambar. Jadi yang perlu ditekankan di situ frekuensi atau repetisi, lalu kemudian dibutuhkan suara dari masyarakat. Dalam hal ini mungkin sepenuhnya media tidak bisa disalahkan betul. Karena toh mereka punya internal sensorship (pengawasan internal) untuk menentukan pas atau tidaknya sebuah tayangan. Tapi kemudian masyarakat justru harus-nya bersuara. Yang ingin saya katakan, masyarakat kita jarang bersuara, dalam hal ini ahli-ahli psikologi, kejiwaan atau psikologi komunikasi. Mereka perlu bersuara untuk mengatakan bahwa itu too much, terlalu berlebihan. Sejauh mana media sudah dimanfaatkan oleh para pembuat kebijakan untuk memasyarakatkan filantropi? Itu pertanyaan menarik. Media massa seharusnya mendukung filantropi yang terus menerus konsisten dilakukan oleh LSM atau institusi-institusi tertentu yang selama ini kurang mendapat perhatian dari masyarakat. Kebalikannya, mereka juga mestinya, kalau mereka yakin tidak sempat melakukan karena tidak ada gempa tertentu atau tidak ada occasion spesial, maka mereka harus tetap konsisten mengirimkan masukan supaya masyarakat memberikan bantuan pada lembaga-lembaga yang menurut mereka kredibel. Selama ini ada kecenderungan mereka menolak memberikan space atau meminta bayaran pada LSM yang ingin memasang iklan layanan masyarakat, dan menyatakan bahwa mereka sudah menggunakan Public Service Announcement (PSA) itu untuk program kedermawanan sosial mereka. Saya punya dua poin catatan untuk hal itu. Poin pertama, tentunya apa yang mereka lakukan bisa disebut sebagai public service announcement. Itu tidak bisa kita bantah. Tapi poin yang kedua, kita harus berteriak untuk mengingatkan bahwa public service
announcement itu hak kita dan dijamin oleh UU Penyiaran. Nah, itu yang belum dilakukan oleh masyarakat kita. Yang terjadi selama ini, kalau orang memasang public service announcement disuruh bayar karena memang belum ada ketentuannya itu bayar atau tidak. Nah, Anda harus bersuara karena dijamin oleh pasal 52 UU Penyiaran, bahwa partisipasi masyarakat itu harus disuarakan melalui KPI, termasuk untuk menyua-rakan ketidaksetujuan kalau PSA yang sifatnya pengumpulan dana yang bisa dibuktikan bermanfaat bagi masyarakat itu harus bayar. Jadi PSA itu sebenar-nya hak kita, hanya persoalannya mampukah kita berteriak dan mengartikulasikan hal itu supaya didengar. Nah, karena itu harus banyak orang yang berteriak dan berbagai lapisan agar bisa artikulatif. Kalau tidak, hanya dianggap satu kelompok saja yang bersuara seperti itu. Bagaimana dengan persoalan sinergi? Selama ini sebagian besar media masih bekerja sendiri-sendiri sehingga bantuan yang diberikan menjadi tumpang tindih dan tidak optimal. Karena itu mestinya di Indonesia ada satu badan yang saya sebut ‘garda nasional’ atau ‘relawan nasional’ atau ‘sistem penanggulangan bencana nasional’ yang tidak responsif. Artinya lembaga itu tidak sekedar merespon. Ada ini kita respon, ada itu kita respon, dan menjadi tidak antisipatif. Harus ada sistem nasional di mana semua relawan dan organisasi yang begerak dalam bidang kegawatdaruratan terdaftar. Kita juga tidak punya wajib mili-ter. Seharusnya ada latihan rutin yang dilakukan di bandara-bandara besar. Di sana juga sudah diselesaikan gudang-gudang besar dengan kebutuhan-kebutuhan minimal. Penanganan bencana semacam itu ada simulasinya kalau di luar negeri. Misalnya dengan membunyikan bunyi atau sinyal tertentu menandakan bahwa ini bukan tanda adanya bencana tetapi panggilan untuk semua relawan nasional untuk berkumpul. Mungkin di dalam badan penaggulangan bencana nasional itu ada suatu badan yang mencoba mengordinasi hal itu. Kalau di Aceh itu ada BRR. Tapi kita juga masih bisa pertanyakan, siapa yang mengawasi kinerja BRR itu? Bagaimana kalau koordinasi atau sinergi semacam itu dibentuk oleh para pengelola program dana sosial media? Seberapa efektif? Kalau lembaga semacam itu dibentuk oleh mereka, itu tak ubahnya seperti paguyuban saja. Itu susah untuk bekerja secara efektif karena ada kompetensi di antara mereka dalam mengelola program tersebut. Jadi itu juga merupakan kompetisi image. Nah, barangkali yang bisa diusulkan adalah adanya sebuah LSM yang terus memfokuskan dirinya pada kajian seputar filantropi media tersebut. Misalnya, lembaga yang secara khusus menyoroti efektivitas bantuan yang mereka berikan atau mengamati persaingan yang terjadi antar media yang terjadi di lapangan. Dengan begitu, bisa ditunjukkan pada media bahwa apa yang mereka lakukan itu salah dan belum optimal. Hal-hal semacam itu perlu disuarakan, walaupun sekali lagi Anda harus bertarung dengan orang yang “memiliki mikrofon.”