Andre Parmonangan Panjaitan dan Jhons Fatriyadi| MDA dan CMA sebagai Strategi Eliminasi Filariasis
MDA dan CMA sebagai Strategi Eliminasi Filariasis Andre Parmonangan Panjaitan1, Jhons Fatriyadi2 1Mahasiswa, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung 2Bagian Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh vektor nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex dan Armigeres. Filariasis limfatik merupakan penyakit yang endemis pada bebeberapa daerah tertentu di dunia dan terutama di Indonesia. Pada tahun 2014, kasus filariasis di Indonesia mengalami peningkatan angka kejadian yaitu 14.932 kasus. Cacing filaria hidup di saluran dan kelenjar getah bening dengan mempunyai dua manifestasi klinik. Pertama, manifestasi akut berupa demam berulang dan adenolimfangitis. Kedua, manifestasi kronik yaitu elephantiasis dan hidrokel. Pemberantasan filariasis perlu dilaksanakan untuk menghentikan transmisi penularan. Diperlukan program yang berkesinambungan dan berkelanjutan karena mengingat masa hidup dari cacing dewasa yang cukup lama. Salah satu cara yang dapat dijadikan alternatif dalam penanganan filariasis adalah dengan pelaksanaan program WHO yaitu, Mass Drug Administration (MDA) dan Countrywide Morbidity Alleviation (CMA) dengan posyandu dan puskesmas sebagai titik utama pelaporan. Mass drug administration adalah metode pemberian obat secara masal dan teratur kepada penderita filariasis dan MDA adalah program rekomendasi dari WHO. Program ini membutuhkan obat (albendazole dan ivermectin) dan penyaluran obat yang efisien dan efektif. Program MDA dimulai dengan melakukan mapping daerah endemik dan non endemik melalui survei. Countrywide Morbidity Alleviation adalah program pendataan dan manajemen terhadap manifestasi klinik yang ditimbulkan filariasis. Program CMA dilakukan secara masal mengenai teknik manajemen lymphedema dan hidrokel dengan setiap pusat kesehatan dipilih satu tenaga kesehatan untuk melakukan pelatihan pendidikan dan perawatan lymphedema. Strategi eliminasi MDA dan CMA dengan tumpuan utama posyandu dan puskesmas adalah strategi yang tepat untuk eliminasi filariasis limfatik. Kata Kunci: Filariasis limfatik, Mass drug administration (MDA), Countrywide Morbidity Alleviation (CMA)
MDA and CMA as Elimination of Filariasis Strategy Abstract Lymphatic filariasis (elephantiasis disease) is a chronic infectious disease caused by filarial worms and transmitted by mosquitoes Mansonia, Anopheles, Culex, and Armigeres. Lymphatic filariasis is an endemic diseases in some country in the world especially Indonesia. Lymphatic filariasis in Indonesia gets a rising about 14.932 cases in 2014. Worms live in the channels and lymph nodes with having two manifestation. First are acute clinical manifestations such as recurrent fever and adenolimfangitis. Second are chronic manifestation is elephantiasis and hidrocele. Lymphatic filariasis eradication should be carried out with the aim of stopping the transmission of infection. Required a continuous program and takes a long time for remembering the life span of the adult worms long enough. One of way can be applied are Mass Drug Administration (MDA) and Countrywide Morbidity Alleviation (CMA) with local government Clinic as focus center. Mass Drug Administration is method to give drugs with massive and it is a recommendation from World Health Organization (WHO) to eradicate lymphatic filariasis. The Program need drugs (Albendazole and ivermectin) and drug channelization with efficient and effective. Program of MDA begins with mapping of endemic territory and non-endemic territory through survey. Countrywide Morbidity Alleviation is a program of management and collection clinical feature of filariasis. Program of CMA is lymphedema and hidrocele management of technique with every health center chooses one of professional health to do training and caring about lymphedema and hidrocele. Strategy of MDA and CMA with local government clinic as focus center is a best strategy to eradicate lyhmphatic filariasis. Keywords: Lymphatic Filariasis, Mass drug administration (MDA), Countrywide Morbidity Alleviation (CMA) Korespondensi: Andre Parmonangan Panjaitan, Jl. Bumimanti III Kampus Hijau Residen Blok D 8 Bandarlampung, HP 085658785912, e-mail
[email protected]
Pendahuluan Filariasis limfatik (penyakit kaki gajah) adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi cacing dari famili filaroidea dan spesies cacing penyebab Filariasis yaitu: Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori.1 Filariasis limfatik merupakan tipe penyakit yang endemis pada bebeberapa daerah tertentu di dunia. Majority | Volume 5 | Nomor 1 | Februari 2016 |12
Total sebanyak 72 negara di dunia diketahui endemis filariasis limfatik dan sekitar 1,39 miliar jiwa beresiko terinfeksi, 15 juta orang menderita elephantiasis, serta 25 juta orang menderita hidrocele.2 Beberapa spesies cacing penyebab filariasis ditemukan di Indonesia, namun lebih dari 70% kasus filariasis di
Andre Parmonangan Panjaitan dan Jhons Fatriyadi| MDA dan CMA sebagai Strategi Eliminasi Filariasis
Indonesia disebabkan oleh Brugia malayi. Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah setiap tahun. Beberapa daerah Indonesia bagian Timur mempunyai tingkat endemisitas tinggi seperti Nusa Tenggara Timur3. Pada tahun 2014, kasus filariasis mengalami peningkatan angka kejadian 14.932 kasus infeksi filariasis.3 Filariasis limfatik memiliki tiga fase utama, yakni fase asymptomatic microfilaremia, adenolimfangitis akut, dan limfedema kronis. Asymptomatic microfilaremia adalah tahapan dimana penderita tidak merasakan gejala apapun meskipun di dalam darahnya mengandung larva mikrofilaria dengan konsentrasi yang tinggi. Melalui pemeriksaan USG bisa terdeteksi adanya dilatasi limfatik dan scrotal lymphagiectasia , yakni keluarnya cairan putih dari skrotum secara persisten.4 Pada tahapan kedua yaitu adenolimfangitis akut dimana penderita mulai mengalami gejala seperti demam tinggi secara mendadak, edema lokal, dan biasanya berlangsung selama satu minggu kemudian akan mereda, namun masih bisa mengalami kekambuhan. Tahapan yang ketiga merupakan tahap perubahan jaringan yang ireversibel. Pada tahap ini terjadi obstruksi yang disertai terbentuknya edema yang mengeras, penebalan jaringan subkutan dan hiperkeratosis. Penderita filariasis limfatik yang sampai pada stadium limfedema kronis akan menderita kecacatan seumur hidup, dan akan semakin parah jika tidak dilakukan pengobatan dengan segera. Untuk menimbulkan gejala klinis penyakit filariasis diperlukan beberapa kali gigitan nyamuk terinfeksi filaria dalam waktu yang lama.4 Filariasis merupakan target program WHO dengan cakupan pengobatan minimal yang harus dicapai untuk memutus rantai penularan sebesar 85%.5 Hanya ada dua program yang saat ini masih efektif digunakan untuk penanganan filariasis limfatik yakni melalui obat-obatan seperti Diethylcarbamazine (DEC), Ivermektin, Albendazole dan tindakan operasi. Upaya mempercepat pemberantasan penularan penyakit filariasis masih perlu dilakukan evaluasi program yang telah ada.6 Salah satu cara yang dapat dijadikan alternatif dalam penanganan filariasis adalah
dengan pelaksanaan program WHO yaitu, Mass Drug Administration (MDA) dan Countrywide Morbidity Alleviation (CMA). Mass Drug Administration adalah perawatan tahunan dengan satu kombinasi dosis albendazole dan diethylcarbamazine (DEC) atau ivermectin untuk semua orang di wilayah sasaran untuk mengendalikan dan akhirnya menghilangkan filariasis limfatik. Countrywide Morbidity Alleviation dilakukan secara luas untuk menghilangkan dan mengurangi kecacatan akibat filariasis limfatik. Untuk itu MDA dan CMA dengan tumpuan utama posyandu dan puskesmas merupakan cara efisien sebagai upaya bebas filariasis limfatik di Indonesia.5 Isi Mass Drug Administration adalah metode yang direkomendasikan WHO dalam upaya eliminasi filariasis limfatik. Program ini membutuhkan obat (albendazole dan ivermectin) dan menyalurkan obat secara efisien dan efektif. GlaxoSmithKline (produsen albendazole) dan Merck (produsen ivermectin) berkomitmen menyumbangkan obat untuk menghilangkan filariasis limfatik sebagai masalah kesehatan global.7 Ivermectin merupakan obat pembunuh mikrofilaria dalam darah yang diindikasikan sebagai pencegahan filariasis limfatik.8 Albendazole mempunyai kemampuan untuk membunuh cacing penyebab filariasis.9 Dengan efektifitas tinggi dari kedua obat tersebut maka perlu adanya penyaluran yang efektif dan efisien untuk meningkatkan cakupan obat pada daerah endemik. Selain meningkatkan pemberian obat pencegahan, MDA diselingi dengan memberikan penyuluhan mengenai filariasis limfatik. Dengan demikian masyarakat memiliki pengetahuan agar terhindar dari filariasis limfatik.10 Countrywide Morbidity Alleviation adalah program yang direkomendasikan WHO dalam upaya eliminasi filariasis limfatik. Countrywide Morbidity Alleviation meliputi program untuk mengurangi atau memberantas gejala yang ditimbulkan oleh filariasis limfatik. Gejala filariasis limfatik adalah elephantiasis dan hidrokel. Elephantiasis menimbulkan manifestasi klinis menyerupai kaki gajah akibat sumbatan pada kelenjar limfe. Untuk itu, CMA dilaksanakan melalui manajemen lymphedema dengan memberikan pelatihan perawatan diri pada penderita elephantiasis.11 Kemampuan Majority | Volume 5 | Nomor 1 | Februari 2016 |13
Andre Parmonangan Panjaitan dan Jhons Fatriyadi| MDA dan CMA sebagai Strategi Eliminasi Filariasis
penderita merawat diri penting untuk dilakukan agar tidak terjadi komplikasi lebih parah. Kemudian, CMA juga memberikan pelatihan atau workshop mengenai 12 manajemen hidrokel. Pemberian pelatihan bersamaan dengan pemberian sarana dan prasarana yang memadai, sehingga semua proses MDA dan CMA dapat dilakukan lebih mudah dan murah. Dengan demikian inovasi pengabungan MDA dan CMA dapat mengurangi tingkat morbiditas akibat filariasis limfatik. Program pemberian obat masal atau MDA yang dilaksanakan untuk mengeliminasi filariasis limfatik dapat menghasilkan manfaat sosial ekonomi yang signifikan dengan biaya sangat rendah.13 World Health Organization membentuk sebuah program untuk mengeliminasi filariasis limfatik dengan tujuan dan resolusi mengeliminasi penyakit filariasis limfatik pada tahun 2020. Pemberian MDA untuk eliminasi filariasis telah dimulai pada 32 dari 83 negara endemik. Togo adalah salah satu negara yang berhasil menerapkan MDA.14 Untuk itu, Togo telah berhasil memodifikasi
program NPELF (National Program to Eliminate Lymphatic Filariasis).7 Program inovasi MDA seperti pada Gambar 1, dimulai dengan melakukan mapping daerah endemik dan non endemik melalui survey. Kemudian ditunjuk kader kesehatan masyarakat untuk melakukan kunjungan rumah ke rumah. Kunjungan dilakukan untuk melakukan survey data dan penyaluran obat. Dengan demikian dapat terjalin hubungan yang baik dengan masyarakat, sehingga mempermudah pengawasan berjalannya MDA. Distribusi obat dikemas sedemikian rupa agar efektif dan efisien. Untuk itu, diperlukan peran serta posyandu dan puskesmas setempat sebagai tumpuan utama evaluasi dari program dan pengangan filariasis limfatik.7 Selain itu, perlu dilakukan modifikasi program CMA sebagai strategi nasional untuk menanggulangi filariasis limfatik.15 Salah satu modifikasi yang dilakukan secara masal mengenai teknik manajemen lymphedema dan manajemen hidrokel seperti yang ada pada Gambar 2.
Province Mapping Program Daerah Endemik
Daerah non-Endemik
Ditunjuk Kader Kesehatan / Health Ranger Dilakukan Kunjungan rumah oleh kader untuk menghitung kebutuhan obat Data – data kunjungan diserahkan pada koordinator provinsi Koordinator provinsi menentukan jumlah kebutuhan obat pada daerah tersebut
Kader menyalurkan obat dengan sistem penyaluran dari rumah ke rumah Kader mencatat data – data masyarakat yang telah menerima obat Koordinator provinsi menerima data pelaporan dari kader Gambar 1. Mekanisme Modifikasi Pendistribusian MDA
Majority | Volume 5 | Nomor 1 | Februari 2016 |14
Posyandu dan Puskesmas sebagai focus center untuk pusat evaluasi dan pengobatan limfatik Filariasis
Andre Parmonangan Panjaitan dan Jhons Fatriyadi| MDA dan CMA sebagai Strategi Eliminasi Filariasis
Setiap pusat kesehatan dipilih satu tenaga kesehatan untuk melakukan pelatihan, pendidikan, perawatan lymphedema dan hidrokel. Selanjutnya, perlu dilakukan penyuluhan dan pelatihan pada masyarakat mengenai perawatan dini pada lymphedema.16 Kemudian, untuk program terapi hidrokel perlu diadakan workshop manajemen hidrokel yang diimbangi dengan pengadaan sarana dan prasarana untuk menunjang dilakukannya manajemen hidrokel yang aman.12 Untuk menyukseskan program tersebut perlu dilakukan beberapa tindakan, yaitu : 1. Diperlukan Komitmen Politik yang kuat dari pemerintah. Komitmen dilakukan oleh pimpinan/penanggung jawab program, yaitu menteri kesehatan hingga kader kesehatan masyarakat yang menjalankan program secara langsung. 2. Pembangunan tim manajemen program yang bagus. Penunjukan salah seorang koordinator nasional yang mengerti mengenai program tersebut. Ditentukan jadwal dilaksanakannya program sehingga program berjalan secara efektif dan efisien.
3.
4. 5.
6.
Administrasi yang fleksibel. Administrasi diperlukan dalam mempermudah kontrol yang dilakukan, kontrol distribusi obat, evaluasi program dan jumlah dana yang dikeluarkan. Integrasi dengan sistem kesehatan yang telah ada. Inovasi dalam pengadaan dan pengembangan sumber daya. Inovasi penting dilakukan pada daerah yang kekurangan sumber daya agar tetap mampu mengoptimalkan MDA dan CMA. Pembangunan partnership yang luas untuk menopang sumber dana. Sumber dana ini didapatkan dari kerjasama yang saling menguntungkan dengan orang lain. Kerjasama dengan orang lain diharapkan dapat membantu pendanaan program. Sedangkan yang bekerjasama mendapatkan keuntungan dapat melakukan kegiatan penelitian pada daerah tersebut. Selain itu, pihak yang bekerjasama dapat melakukan internal partnership dengan lembaga–lembaga lokal.15
Manajemen hidrokel
Manajemen Lymphedema
Dilakukan Training minimal satu tenaga medis dari tiap pusat kesehatan pada daerah endemik
Peningkatan sarana prasarana untuk menunjang manajemen hidrokel
Puskesmas dan posyandu sebagai focus center pada pengawasan dan evaluasi program
Dilakukan penyuluhan mengenai penanganan dan perawatan diri sendiri
Dilakukan training minimal satu tenaga medis dari tiap pusat kesehatan pada daerah endemik
Peningkatan sarana prasarana untuk menunjang manajemen hidrokel
Dilakukan workshop mengenai manajemen hidrokel untuk daerah endemik
Gambar 2. Mekanisme Modifikasi Program CMA
Dengan demikian, MDA dan CMA dapat dijadikan salah satu strategi nasional yang
dapat diterapkan di Indonesia untuk eradikasi filariasis limfatik dengan bantuan posyandu Majority | Volume 5 | Nomor 1 | Februari 2016 |15
Andre Parmonangan Panjaitan dan Jhons Fatriyadi| MDA dan CMA sebagai Strategi Eliminasi Filariasis
dan puskesmas sebagai tumpuan utama. Ringkasan Filariasis limfatik merupakan penyakit yang endemis pada bebeberapa daerah tertentu didunia terutama diIndonesia. Kasus filariasis diIndonesia mengalami peningkatan angka kejadian yaitu 14.932 kasus.3 Hanya ada dua program yang saat ini masih efektif digunakan untuk penanganan filariasis limfatik yakni melalui obat-obatan seperti Diethylcarbamazine (DEC), Ivermektin, Albendazole dan tindakan operasi. Diperlukan program yang berkelanjutan supaya penyakit filariasis dapat ditangani dengan baik. Salah satu cara yang dapat dijadikan alternatif dalam penanganan filariasis adalah dengan pelaksanaan program WHO yaitu, Mass Drug Administration (MDA) dan Countrywide Morbidity Alleviation (CMA) dengan posyandu dan puskesmas sebagai tumpuan utama.15 Mass Drug Administration adalah metode yang direkomendasikan World Health Organization (WHO) dalam upaya eliminasi filariasis limfatik. Program ini membutuhkan obat (albendazole dan ivermectin), penyaluran obat secara efisien dan efektif serta melakukan mapping daerah endemik dan non endemik melalui survey. Countrywide Morbidity Alleviation adalah program yang direkomendasikan WHO dalam upaya eliminasi filariasis limfatik. Program inovasi CMA yang dilakukan secara masal mengenai teknik manajemen lymphedema dan hidrokel dengan setiap pusat kesehatan dipilih satu tenaga kesehatan untuk melakukan pelatihan pendidikan, perawatan lymphedema dan hidrokel. Strategi MDA dan CMA dengan menempatkan posyandu dan puskesmas adalah strategi yang tepat untuk eliminasi filariasis limfatik.15 Simpulan Strategi MDA dan CMA dengan posyandu dan puskesmas sebagai tumpuan utama dalam pengawasan dan penanganan filariasis limfatik adalah strategi tepat untuk eliminasi filariasis limfatik. Mass Drug Administration dan Countrywide Morbidity Alleviation menawarkan banyak keuntungan yaitu dapat menurunkan morbiditas pasien, murah, efektif, mendatangkan banyak signifikan, dan kemudahan dalam menjalankan program tersebut.15 Mass Drug Administration Majority | Volume 5 | Nomor 1 | Februari 2016 |16
dan Countrywide Morbidity Alleviation dengan posyandu dan puskesmas dapat dijadikan akselerasi perluasan cakupan program pemerintah dalam eradikasi filariasis limfatik sebelum tahun 2020. Daftar Pustaka 1. Bhullar N, Maikere J. Challenges in Mass Drug Administration for Treating Lymphatic Filariasis in Papua, Indonesia. J Parasit and Vector. 2010; 3:70. 2. World Health Organization. Global programme to eliminate lymphatic filariasis: progress report on mass drug administration [internet]. USA: World Health Organization; 2010 [diperbaharui Juni 2010; diakses tanggal 30 Oktober 2015]. Tersedia dari: http://www.filariasis.org/index.html 3. Kementrian Kesehatan (Kemenkes) RI. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014. Jakarta: Kementrian Kesehatan (Kemenkes) RI; 2015. 4. Fauci, Kasper, Longo, Braunwald, Hauser, Jameson, et al. Harrison principle of internal medicine. 17th Edition. New York: McGraw-Hill; 2008. 5. World Health Organization. Training Module for Drug Distribution in Countries Where Lymphatic Filariasis is co-Endemic with Onchocercariasis. Geneva: World Health Organization; 2011. 6. World Health Organization. The Millennium Development Goals for Health: A review of the indicators. Geneva: World Health Organization; 2005. 7. World Health Organization. Lympatic filariasis. Monitoring and epidemiological assessment of mass drug administration. A manual for national elimination program. Geneva: World Health Organization; 2011. 8. Biritwum RB, Sylla M, Diarra T. Evaluation of ivermectin distribution in Benin, Cote d’Ivoire, Ghana and Togo: Estimation of coverage of treatment and operational aspects of the distribution system. Ann Trop Med Parasitol. 2007; 91: 297–305. 9. Arise RO, Malomo SO. Effects of Ivermectin and Albendazole on Some Liver and Kidney Function Indices in Rats. African J Biochemistry Research. 2009; 3(5):190-197. 10. World Health Organization. Monitoring and epidemiological assessment of the
Andre Parmonangan Panjaitan dan Jhons Fatriyadi| MDA dan CMA sebagai Strategi Eliminasi Filariasis
11.
12.
13.
14.
programme to eliminate lymphatic filariasis at implementation unit level. Geneva: World Health Organization; 2005. Richard SA, Mathieu E, Addiss DG. A survey of treatment practices and burden of lymphoedema in Togo. Trans R Soc Trop Med Hyg. 2007; 101: 391–397. Mante SD, Gueye SM. Capacity building for the modified filarial hydrocelectomy technique in West Africa. J Acta Trop. 2011; 120(Suppl 1):S76–S80. Ramaiah KD, Das KP. Mass Drug Administration to Eliminate Lymphatic Filariasis in India. J TRENDS in Parasitology. 2004; 20(11):499-502. World Health Organization. Global Programme to Eliminate Lymphatic
Filariasis. Annual Report on Lymphatic Filariasis. Geneva: World Health Organization; 2002. 15. Sodahlon YK, Dorkenoo AM, Morgah K. A Succes Story: Togo Is Moving toward Becoming The First Sub-Saharan African Nation to Eliminate Lymphatic Filariasis through Mass Drug Administration and Countrywide Morbidity Alleviation. J PLOS Neglected Tropical Diseases. 2013; 7: 1-8. 16. Dorkenoo AM, Bronzan RN, Ayena KD. Nationwide integrated mapping of three neglected tropical diseases in Togo: Countrywide implementation of a novel approach. J Trop Med Int Health. 2012; 17: 896–903.
Majority | Volume 5 | Nomor 1 | Februari 2016 |17