LYMPHATIC FILARIASIS (LF) ELIMINATION USED A COMMUNITY DIRECTED APPROACH. Fitranto Arjadi
ABSTRACT Lymphatic filariasis (LF) is one of the important public health and socioeconomic problems facing the developing world. In Indonesia LF remains endemic in many areas. Indonesian Department of Health introduced a plan to join the Global Elimination Programme for LF through mass drug administration (MDA) using a single dose regimen of diethylcarbamazine (DEC) and Albendazole in those areas where lymphatic filariasis is endemic. The methodology for MDA used a health services and community directed approach. This mixed approach was deemed to be the most suitable for the Indonesian context where there is a well developed primary health care system in place and where village and cultural structures remain strong, particularly in rural areas. The development of the health promotion campaign was based on the P-Process, developed by Johns Hopkins University included background research, development of the message, testing and re-testing, production, monitoring and evaluation. Community directed approach to eliminate LF would be through the use of “Tenaga Pembantu Pengobatan” (TPP). That came from existing community health workers (kaders), community and religious leaders, school teachers and heads of neighbourhoods and work under the supervision of the village midwife or health staff. TPP responsible for registration of patients, education of their areas, distribution of the medication and monitoring of side effects. The evaluation included the final coverage rate and a quantitative survey (KAP – Knowledge, Attitudes and Practice). Key Words : Elimination, Lymphatic Filariasis (LF), community directed approach
PENDAHULUAN Filariasis adalah penyakit menular ( Penyakit Kaki Gajah ) yang disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun ( kronis ) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang
lain sehingga memnjadi beban keluarga, masyarakat dan negara. Di Indonesia penyakit Kaki Gajah tersebar luas hampir di Seluruh propinsi. Penyebab penyakit kaki gajah adalah tiga spesies cacing filarial yaitu; Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Vektor penular : Di Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes & Armigeres yang dapat berperan
sebagai vector penular penyakit kaki gajah. Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang. Hasil survai laboratorium, melalui pemeriksaan darah jari, rata-rata Mikrofilaria rate (Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta orang sudah terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100 juta orang mempunyai resiko tinggi untuk ketularan karena nyamuk penularnya tersebar luas. Untuk memberantas penyakit ini sampai tuntas WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global (The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year 2020). Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan missal dengan DEC dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun dilokasi yang endemis dan perawatan kasus klinis baik yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penderitanya. Indonesia melaksanakan eliminasi penyakit kaki gajah secara bertahap dimulai pada tahun 2002 di 5 kabupaten percontohan.
DESAIN DAN METODOLOGI Desain model eliminasi adalah menciptakan suatu strategi promosi kesehatan berupe kampanye eliminasi filariasi limfatika (FL) dengan mengembangkan modul pelatihan untuk para pekerja kesehatan masyarakat, menguji dan mngevalusi serta merekomendasikan hasil eliminasi telah dilakukan Metodologi promosi kesehatan dikembangkan menurut P-Process, yang tahun) 1982 oleh Johns Hopkins Universitas (www.jhuccp.org/training/pprocess.s
tm). Metode ini menguraikan secara singkat berbagai langkah-langkah pengembangan kesehatan strategis berkampanye. Langkah 1- Analisa. Memahami masalah.Mengetahui demografis dan perilaku penderita. Meninjau ulang program dan kebijakan penrintah yang sudah ada.. Langkah 2Disain strategis. Mengembangkan cara SMART (Spesifik, Measurable-Terukur, Appropiate-Sesuai, Realistis-Nyata dan Terikat Waktu-Timebound). Mengikuti perubahan perilaku penderita. Pemilihan kegiatan dan media penyampaian. Mempersiapkan anggaran dan rencana implementasi. Langkah 3- Pengembangan material dan pesan, pre-testing dan produksi. Langkah 4Manajemen, implementasi dan monitoring. Langkah 5- Evaluasi. Evaluasi awal. Penggunakan metodologi evaluasi berbeda. Langkah 6- Perencanaan untuk pelaksanaan kegiatan selanjutnya secara kesinambungan . Metodologi Pengobatan Massal Metodologi untuk kampanye pengobatan massal menggunakan kombinasi pelayanan berbasis Puskesmas dan masyarakat dengan Puskesmas sebagai pusat pelayanan kesehatan dan melihat struktur sosial budaya yang kuat terutama di yang pedesaan. Cara ini bermanfaat di desa yang jauh dari fasilitas kesehatan, dengan melatih anggota masyarakat sehingga ikut melakukan penyuluhan tentang filariasis limfatika (FL), pendistribusian obat dan memonitor efek samping pengobatan massal. Evaluasi Evaluasi terdiri dari kenaikan coverage rate penyembuhan
filariasis limfatika (FL) di desa endemik dan analisa data berupa survei kwantitatif yang meliputi survei KAP (Knowledge, Attitude, Survei) dua kali. Coverage rate dihitung menggunakan jumlah anggota masyarakat yang berobat di depan staf kesehatan dibagi jumlah penduduk yang diperbolehkan mengikuti pengobatan missal ( tidak hamil, umur diatas 2 tahun , tidak menyusui dan sehat.Survei KAP yang pertama sebagai informasi dasar sebagai langkah awal melakukan strategi kampanye eliminasi, meliputi coverage rate, efek samping obat dan proses dari distribusi obat. Survei KAP diselenggarakan di desa endemik dan dilakukan satu - tiga minggu setelah dari distribusi obat dimulai. Tujuan survei KAP adalah untuk mengumpulkan informasi yang relevan dengan menggunakan daftar pertanyaan sebagai data awal untuk mengembangkan promosi kesehatan eliminasi filariasi limfatika (FL) dan untuk evaluasi di desa yang sudah dilakukan program eliminasi. Sasaran utama survei adalah menentukan tingkat pengetahuan, sikap dan praktek masyarakat tentang filariasis limfatika dalam hal penularan, gejala, perawatan dan pencegahan.
DISKUSI Berdasarkan survei terhadap fasilitas kesehatan dan perilaku pelayanan kesehatan menunjukkan mutu jasa pelayanan yang rendah di semua fasilitas kesehatan di daerah ( Servais, 2001 dan Kielmann, 2000). Sebagai contoh, hanya 50% staff Puskesmas dapat mengukur temperatur dengan tepat. Sehingga diperlukan peningkatan menyangkut fasilitas dan sistem kesehatan dalam rangka mendukung pengobatan
filariasi limfatika (FL) massal. Kondisi dengan alam juga ikut berpengaruh sehingga membutuhkan keterlibatan masyarakat untuk kampanye pengobatan massal. Anggota masyarakat yang bisa dilatih adalah bidan desa, para pekerja kesehatan masyarakat, pemuka agama atau para pemimpin masyarakat yang dapat memberi perawatan dasar dan memberikan antipiretika dan antihistamin karena efek samping pengobatan. Sejak filariasi limfatika (FL) ditemukan diIndonesia, sudah terdapat banyak kemajuan dalam hal eliminasi penyakit, meliputi intervensi pelayanan kesehatan ( pemberian DEC) dan menghilangkan vektor ( urbanisasi dan penanaman pohon bakau.). Namun beberapa daerah dengan dengan tingkat endemisitas tinggi ( Oemjiati, 1999) tetap sulit dieliminasi. Di masa lalu, pengobatan menggunakan perawatan dosis rendah selama 40 minggu, dan petugas meninggalkan obat di desa dengan tidak ada tindak lanjutnya. Banyak penderita yang tidak menlanjutkan pengobatan dan yang melanjutkan pengobatan tidak meneruskan lagi jika mengalami efek samping. Pasien dengan brugian filariasis menderita efek samping yang lebih akut setelah pengobatan dibandingkan yang mempunyai bancroftian filariasis (Supali, 2001). Pengalaman masa lalu yang menunjukkan bahwa pengobatan dosis rendah mengakibatkan angka coverage rate rendah dan menimbulkan keluhan sehingga membutuhkan informasi dan sosialisasi yang lebih banyak ke masyarakat untuk kesuksesan kampanye eliminasi filariasis limfatika.
Oemijati (1999) meneliti bahwa dosis tunggal 400 mg tidak bisa diterapkan di Indonesia, seperti yang direkomendasikan WHO, berkaitan dengan angka kesakitan brugian filariasis yang tinggi dan adanya efek samping pada pemberian 3 x 100 mg DEC ketika kepadatan microfilaria masih tinggi. Oemijati merekomendasikan cara yang terbaik adalah pengobatan dosis rendah dikombinasikan pengawasan melalui masyarakat sendiri di tingkat Yang perlu diperhatikan adalah peningkatan potensi efek samping pengobatan massal dan pemberian kombinasi obat yang direkomendasikan, DEC dan Albendazole yang dapat
meningkatkan kemampuan membunuh microfilaria maupuan cacing orang dewasa .
STRATEGI ELIMINASI 1. Kampanye eliminasi melalui media audiovisual Stategi eliminasi penyakit filariasi limfatika (FL) adalah berdasarkan penelitian dan rekomendasi sebelumnya. Materi kampanye disusun oleh tenaga kesehatan dan masyarakat yang dipilih. Rencana bahan kampanye eliminasi massal filariasi limfatika (FL) dapat melalui logo, film, nyanyian dan alat penyajian informasi seperti brosur, stiker dan poster (Tabel 1)
FILM, LAGU, POSTER – Menarik perhatian Diskusi grup kecil yang dipimpin oleh tenaga kesehatan masyarakat (kader/TPP) dan staf Puskesmas menggunakan FLIPCHART BROSUR – Mengingatkan adanya informasi yang penting dan dapat digunakan untuk saling memberitahu di rumah STICKER dan LAGU – Mengingatkan masyarakat untuk melakukan pengobatan massal Limfatika Filariasis dan tetap menyimpan informasi tersebut di ingatan Tabel 1. Stategi komunikasi eliminasi Limfatika Filariasis (Sumber : Alison , 2002) 2. Pelatihan kepada masyarakat (TPP/Tenaga Pembantu Pengobatan) Pelatihan ini mencakup metoda pendistribusian obat berdasarkan buku panduan dari Departemen Kesehatan format yang dibuat lebih mudah melalui ”Tenaga Pembantu Pengobatan" ( TPP) sebagai asisten pembagian obat. TPP
berasal dari pekerja kesehatan masyarakat (kader), masyarakat, para pemuka agama, guru sekolah dan kepala Rukun Tetangga dan bekerja di bawah pengawasan staff kesehatan Puskesmas atau bidan desa. Mereka bertanggung jawab untuk pendaftaran penderita, memberikan penyuluhan di daerah mereka, distribusi obat dan
mengawasi efek samping. Puskesmas bertanggung jawab untuk memberikan pelatihan dan berkoordinasi dengan staf pemerintah mengenai waktu pengobatan massal. Panduan pelatihan dikembangkan untuk membantu Puskesmas mengenai pelatihan pada TPP dengan bahasa yang dimengerti orang awam meliputi filariasis limfatika, cara mengisi kartu
keluarga, cara pengobatan massal yang benar, pengawasan efek samping dan distribusi obat, termasuk perawatan pada penderita dengan lymphoedema kaki. TPP juga bertanggung jawab mendidik anggota masyarakat yang laincara mencuci dan merawat kaki yang sakit. 3. Strategi Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasi Limfatika (FL)
Sosialisasi pada desa percontohan dengan peserta :: kepala desa, ibu-ibu PKK, pemuka agama, kalangan militer / polisi, guru dan staf desa/kecamatan Pelatihan pada staf kesehatan Puskesmas
Kontak dengan perangkat desa : Penjadualan atau pelatihan TPP, penyuluhan masyarakat , waktu pengobatan massal, pengawasan efek sampng obat, dll. Pelatihan Tenaga Pembantu Pengobatan /TPP – TPP dari pekerja kesehatan desa (kader), pemuka agama dan masyarakat, guru, dll TPP memulai pendaftaran keluarga pada daerah terdekat (10-20 keluarga) dan memulai menyuluh di komunitasnya
Promosi kesehatan masyarakat: penanyangan film dan lagu
Penyaluran obat ke Puskesmas
Obat dibagi tiap TPP dan dibagi sebelum hari pengobatan massal Pengobatan massal Pengawasan efek samping oleh perangkat desa dan staf Puskesmas
Evaluasi program Tabel 2. Stategi pelaksanaan eliminasi Limfatika Filariasis (Sumber : Krentel, 2002)
4. Pelatihan Tenaga Pembantu Pengobatan (TPP) Tenaga Pembantu Pengobatan dilatih di setiap desa endemis dan dipilih oleh staf. Puskesmas dengan desa. Sebelumnya sudah ada suatu sistem kader atau para pekerja kesehatan masyarakat pada setiap desa yang telah dilatih dalam hal pemberantasan penyakit dan keluarga berencana.. PemilihanTPP tergantung pada faktor ukuran dari desa/kampung, banyaknya kader yang aktif, kesediaan dari masyarakat untuk menyelesaikan pengobatan massal dan saran kepala desa
Umur 2 – 6 tahun (pra sekolah) 7 – 12 tahun (Sekolah dasar) 13 – dewasa
5. Pengobatan Massal Pengobatan massal filariasis limfatika didasarkan pada usia, bukan tinggi atau berat badan berdasarkan pengalaman program eliminasi Malaysia dan Afrika. Dosis bisa terlalu tinggi pada anak-anak pada berat badan yang terlalu ringan untuk usianya (underweight); tetapi nak berusia dua dengan berat badan hanya 8 kg masih dapat menerima dosis pengobatan 2 kali lipat. Anakanak umumnya kepadatan microfilarial rendah, sehingga tidak terjadi peningkatan efek samping jika terjadi pemberian obat overdosis.
DEC (100 mg) 1 tablet 2 tablet
Albendazole (400 mg) 1 tablet 1 tablet
3 tablet
1 tablet
Tabel 3. Dosis obat Limfatika Filariasis (Sumber : Krentel , 2002) Menurut WHO, wanita menyusui atau hamil, anak-anak di bawah dua tahun dan penderita yang sakit parah atauterlalu lemah dikeluarkan dari pengobatan massal. Kesimpulannya pengobatan massal dapat dipahami masyarakat setelah mereka mengetahui tentang efek eliminasi cacing filarial yang memuaskan. Semakin besar sosialisasi kepada masyarakat tentang program eliminasi filariasi limfatika akan semakin baik angka coverage rate eliminasi filariasi limfatika. Masyarakat menjadi Monitoring efek samping obat pengobatan massal
Tingginya efek samping kasus filariasis karena Brugia timori, monitor efek samping sangat penting dilakukan dan harus dilaksanakan secepatnya setalah pengobatan massal dilakukan..Caranya dengan TPP melengkapi dengan obat sederhana untuk menghilangkan efek samping (Paracetamol dan CTM/chlortrimeton) dan staff medis tinggal di desa minimal 3 hari pertama setalah pengobatan massal. 6. Evaluasi Pelaksanaan eliminasi filarisis limfatika yang sudah dilaksanakan di Kabupaten Alor,
Nusa Tenggara Timur sebagai proyek percontohan menghasilkan angka coverage yang memuaskan (75 %) menghasilkan hasil evaluasi yaitu : 1. Pelatihan TPP lebih lama 2. Staf kesehatan tinggal di desa selama 1 minggu setelah pengobatan massal. 3. Pemberian waktu yang cukup setelah pengobatan massa sebalem evaluasi sehingga TPP dapat merawat penderita yang mendapat keluhan efek samping 4. Peningkatan komunikasi antar petugas kesehatan dan masyarakat
KESIMPULAN : Pengobatan massal dalam rangka eliminasi Filarisis Limfatika membutuhkan peran serta aktif dari masyarakat dan coverage rate jauh jauh lebih memuaskan setelah masyarakat mengetahui efek eliminasi pengobatan massal cacing filarial yang memuaskan. Semakin besar sosialisasi kepada masyarakat tentang program eliminasi filariasi limfatika akan semakin baik coverage rate eliminasi filariasi limfatika.
DAFTAR PUSTAKA Johns Hopkins University website: www.jhuccp.org/training/pprocess.s tm Kielman, T. (2002) “Health services, health seeking behaviour and perceived needs on the island of Alor, NTT.” GTZ internal report. Krentel A., 2002, Final Report : Health Promotion Campaign And
Mass Drug Administration For The Elimination of Lymphatic Filariasis, A Case Study in 6 pilot Project Villages In The District of Alor, East Nusa Tenggara Province, Indonesia . GTZ SISKES, District Health Authority of Alor dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Pelatihan Tenaga Kesehatan Nusa Tenggara Timur
Oemijati, S. .1999. “Current Situation of Filariasis in Indonesia and its control.” WHO Indonesia internal paper. Servais, G. et al. .2001. “Results of the health facility survey in the district of Alor.” GTZ internal report. Supali, T., Ismid, I.S., Rueckert, P., Fischer, P. 2001. “Treatment of Brugia timori and Wuchereria bancrofti infections in Indonesia using DEC or a combination of DEC and Albendazole: Adverse reactions and short-term effects on microfilariae.” Tropical Medicine and International Health. Vol. 7, No. 10, October 2002, 894-901. WHO .2000. “Preparing and Implementing a National Plan to Eliminate Lymphatic Filariasis: A Guide for Programme Managers (in non-onchocerciasis co-endemic countries.” Lymphatic Filariasis Elimination (CPE/CEE/FIL) Control, Prevention and Eradication. World Health Organisation