MBAH AGUNG ROGOSELO
JULIANTO/LPWs
Jalan menuju ”petilasan” Mbah Agung Rogoselo di Dukuh Kaum, Desa Rogoselo, Kecamatan Doro. SEBUAH masjid tua yang diperkirakan
Masjid yang memunyai hubungan sejarah
dibangun Tahun 1600 atau pada awal Abad
penyebaran Islam oleh para Walisongo di
XVI bisa dijumpai di sebuah bukit yang berada
wilayah Kabupaten Pekalongan itu dibangon
di Dukuh Kaum, Desa Rogoselo, Kecataman
oleh Ki Gede Agung Rogoselo atau Mbah
Doro. Tidak jauh dari bangunan masjid jami’
Agung
itu, juga terdapat petilasan (pesarean) yang
sebutan nama Muhammad Makdum Hasan.
disebut-sebut oleh warga setempat sebagai
“Berdasarkan kisah yang ada, Mbah Agung
makam Mbah Agung Rogoselo.
Selorejo masih merupakan keturunan dari
Rogoselo
–yang
juga
memiliki
Sunan Gunung Jati Cirebon,” kata salah satu pengurus Masjid Jami’ Ki Agung Rogoselo, Abdul Fatah, 62 tahun. Jika dilihat dari usia masjid, papar Fatah, keberadaan masjid ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Menurut Fatah, masjid ini telah mengalami perombakan sebanyak enam kali, yakni kali pertama pada 1948, lalu Tahun 1960, Tahun 1981, dan renovasi keempat pada 2007. Ihwal keaslian masjid, Fatah mengatakan bahwa sampai sekarang ada empat pilar (saka) yang masih asli dan tetap kokoh. ”Dulunya JULIANTO/LPWs
Pintu masuk ke Dusun Kaum.
124
pada awal dibangun, masjid ini memang berdinding dari kayu serta memunyai atap
Potret Sisikmelik Kabupaten Pekalongan
yang terbuat dari ijuk (sabut kelapa),” terang
berdakwah, seperti pengajian dan sebagai.
Fatah.
Bila bulan Ramadan, papar Fatah, masjid
Sebagai tempat ibadah yang terletak
ini penuh dengan jamaah yang ber-taraweh
di perbukitan dan hanya sedikit jumlah
serta ber-tadarus Alquran. Warga jamaah pun
penduduknya, fungsi masjid ini tentunta
bergantian memberi jaburan (makanan dan
sebagai
minuman).
tempat
shalat
berjamaah
dan
PETILASAN SYEH SITI JENAR
SUPARIYANTO/LPWs
”Petilasan” Syeh Siti Jenar yang berada di Desa Lemah Abang, Kecamatan Doro. MENYISIR tentang sejumlah petilasan para
Masjid Mantingan, Desa Balong, Kecamatan
ulama penyebar agama Islam yang ada di
Kembang, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Kabupaten
Pekalongan,
memang
sangat
Nah, sejurus dengan itu yang jelas
bersentuhan dengan misi dakwah penyebaran
bahwa petilasan Syeh Siti Jenar yang berada
Islam yang dilakukan para Walisongo. Dari
di Desa Lemah Abang, Kecamatan Doro
sekian banyak petilasan itu, salah satunya
tersebut membuktikan bahwa dinamisasi
adalah petilasan Syeh Siti Jenar.
perkembangan Islam di Kabupaten Pekalongan
Tokoh ulama yang dilabeli kontroversial
sudah ada sejak zaman Walisongo.
oleh para Walisongo ini, makam aslinya
Ihwal figur Syeh Siti Jenar, dalam satu versi
memang terletak di Masjid Agung Demak,
sejarah diungkapkan bahwa ulama tasawuf
Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Tapi, ada
beraliran Akmaliyah itu pernah menjadi
versi kisah lain yang menyebutkan makam
murid Sunan Giri. Syeh Siti Jenar lahir pada
asli Syeh Siti Jenar berada di kompleks
1425 di wilayah Caruban, Cirebon. Tentang
Potret Sisikmelik Kabupaten Pekalongan
125
naskah klasik berbahasa Jawa dijelaskan; “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosi pun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” Makna dari kalimat ini yaitu; ”Adapun
diceritakan
kalau
Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat SUPARIYANTO/LPWs
jelata),
bertempat
tinggal di Desa Lemah Abang.”
Jalan menuju “petilasan” Syeh Siti Jenar memang menanjak jalannya.
Dalam versi kisah lainnya, Syeh
sosok Syeh Siti Jenar dalam ungkapan sejarah
San Ali atau Syeh Abdul Jalil
memang masih banyak versi.
Siti Jenar memunyai nama lain
yang merupakan putra dari Syek Datuk
Syeh Siti Jenar yang berarti Lemahbang
Saleh, ulama asal Malaka. Dan, pada 1425,
(tanah merah), konon pernah dimaknai sebagai
Syeh Datuk Saleh berdagang dan bertempat
penjelamaan cacing. Namun dalam sebuah
tinggal di Caruban, Cirebon.
KI AGENG CEMPALUK DI KESESI KALAU bicara tentang ketokohan Tumenggung Bahurekso, setidaknya sangat berhubungan dengan sang ayahandanya, yakni Ki Ageng Cempaluk. Konon, makam prajurit linuwih dari Kerajaan Pajang dan Kerajaan Mataram di zamannya itu, berada di sebuah dusun di Desa Kesesi, Kecamatan Kesesi, Kabupaten Pekalongan. Keberadaan makam ini, sekarang sudah tidak ada lagi karena terkena musibah banjir yang melanda kawasan Kesesi. Menukil dari sejumlah kisah yang beredar di tengah masyarakat, khususnya masyarakat Kabupaten Pekalongan, sosok Ki Ageng REPRO INTERNET
Di pinggir sungai di wilayah Desa Kesesi, Kecamatan Kesesi, inilah terdapat “petilasan” Ki Ageng Cempaluk.
126
Cempaluk yang memunyai nama lain Ki Ageng Ngerang ini merupakan tokoh yang ada hubungan dekat dengan Ki Ageng Bondan
Potret Sisikmelik Kabupaten Pekalongan
Kejawan atau Ki Lembu Peteng –yang masih
melakukan kesalahan. Oleh karenanya, ia
keturunan Prabu Brawijaya dari Kerajaan
diasingkan ke sebuah desa yang bernama
Majapahit.
Kesesi. Arti kesesi sendiri berasal dari kata
Dalam sejarah tutur atau sejarah rakyat,
“kasisihan” yang bermakna pengasingan.
disebutkan pula bahwa Ki Ageng Cempaluk
Konon, di tempat pengasingan ini, Ki Ageng
segenerasi dengan Ki Getas Pendowo yang
Cempaluk mendirikan padepokan di lahan
dikenal sebagai ayahanda Ki Agen Selo.
dekat hulu Sungai Comal .
Sementara Ki Ageng Selo adalah ayahanda
Terlepas dari banyaknya versi sejarah atau
dari Ki Ageng Pemanahan –yang merupakan
kisah rakyat tentang Ki Gede Cempaluk, yang
ayahanda Sutlan Mataram pertama, Senapati
pasti perkembangan Kabupaten Pekalongan
Sutawijaya.
di masa Kerajaan Demak Bintoro, Pajang, dan
Kisah-kisah lain seputar sosok Ki Ageng
Kerajaan Mataram sudah mulai maju. Begitu
Cempaluk memang dikaitkan dengan tempat
pula dengan adanya beberapa petilasan,
pengasingannya, yakni Desa Kesesi. Dikisah-
membuktikan bahwa Kabupaten merupakan
kan, ketika Ki Ageng Cempaluk menjadi
salah satu wilayah yang dijadikan misi
Punggawa Kerajaan Mataram, ia dianggap
dakwah para Walisongo.
PETILASAN KI BAHUREKSO SEJUMLAH petilasan yang mengarah pada ‘bukti-bukti’ berdirinya sejarah Kabupaten Pekalongan dan perkembangannya, memang banyak menyebar di hampir wilayah kecamatan. Salah satu situs tua itu adalah petilisan Bahurekso –yang disebut-sebut sebagai Tumengggung Pekalongan. Petilasan ini tepatnya terletak di Dusun Padurekso, Desa Legokkalong, Kecamatan Karanganyar. Sosok Bahurekso sendiri juga dikenal dengan sebutan Kyai Ngabehi Bahurekso atau Tumenggung
Bahurekso.
Bila
menyimak
tentang petilasan Bahurekso yang letaknya persis di pinggir Sungai Padurekso itu memang hanya berupa benda batu dan tanah liat yang
HUMAS PEMKAB PEKALONGAN
”Petilasan” Ki Bahurekso berada di Dusun Padurekso, Desa Legokkalong, Kecamatan Karanganyar.
memunyai ukuran panjang dua meter dan
Ki Ageng Joyo Singo atau Ki Ageng Ngerang
lebar juga dua meter.
di zamannya merupakan seorang prajurit
Dalam berbagai kisah disebutkan bahwa Tumenggung Bahurekso adalah putra dari
linuwih yang menjadi andalan Kerajaan Pajang dan Kerajaan Mataram Islam.
Ki Ageng Cempaluk yang makamnya ada di
Jika merujuk dari buku Babad Tanah
Desa Kesesi, Kecamatan Kesesi. Dikisahkan,
Jawi, yang dikutip oleh Hermanus Johannes
Ki Ageng Cempaluk yang memiliki nama lain
de Graaf, diungkapkan bahwa Tumenggung
Potret Sisikmelik Kabupaten Pekalongan
127
JULIANTO/LPWs
Salah satu jalan di Kota Kajen yang mengambil nama Ki Bahurekso, yakni Jalan Bahurekso. Bahurekso memiliki garis trah Mataram.
Masih menurut sejarah versi lain, pada 1922
Dengan kata lain, tokoh yang juga dikenal
atau di zaman Sultan Agung berkuasa, saat
sebagai Panglima Perang di zaman kekuasaan
itu dikukuhkannya Adipati Pekalongan –dan
Sultan Agung, Raja Mataram itu masih
Kabupaten Batang— yaitu Ki Mandurorejo.
tergolong bangsawan.
Nah, sebelum Adipati Mandurorejo berkuasa
Dipaparkan
pula
bahwa
Tumenggung
di Kabupaten Pekalongan, ia dibantu oleh
Bahurekso merupakan sahabat karib dari
Ki Bahurekso untuk membuka wilayah Alas
Pangeran Benawa, putra Raja Pajang, Sultan
Roban sebagai tempat permukiman. Setelah
Hadiwijaya atau saat mudanya dikenal dengan
itu Ki Bahurekso juga membuka wilayah
nama Jaka Tingkir alias Mas Kerebet.
hutan Gambiran untuk area persawahan.
TUMENGGGUNG JAYENGRONO BANGUNAN kuno Masjid Jami’ “Al Mubarok” yang berada di Dusun Kauman, Desa Kauman, Kecamatan Wiradesa, seolah identik dengan kebaradaan tokoh yang bernama
Raden
Tumenggung
Jayengrono. Maka tidak mengherankan kalau di belakang masjid ini terdapat dua makam berseJULIANTO/LPWs
Makam Tumenggung Jayengrono I dan Jayengrono II yang berada di belakang Masjid ”Al Mubaroq” di Dusun Kauman, Desa Kauman, Kecamatan Wiradesa.
128
belahan, yakni makam Tumenggung Jayengrono I dan makam Tumenggung Jayengrono II.
Potret Sisikmelik Kabupaten Pekalongan
Berdasarkan catatan sejarah, Raden Tumenggung Jayengrono ini di zamannya merupakan Bupati Wiroto –kini bernama Wiradesa. Kawasan Wiradesa sendiri saat masih bernama Wiroto belum masuk dalam wilayah kekuasaan pemerintah Kabupaten Pekalongan. Pada 1807, Pemerintah Kabupaten Wiroto dihapus oleh kolonial Belanda dan masuk dalam wilayah Kabupaten Pekalongan. Raden Tumenggung Jayengorono I memunyai nama asli Raden Bagus Sutekno. Ia memerintah Kabupaten Wiroto pada 1743-1772.
JULIANTO/LPWs
Setelah itu, kekuasaan Kabupaten Wiroto
Salah satu bangunan makam Jayengrono I dan Jayengrono II.
dipegang oleh putra Raden Jayengrono I, yaitu
Raden Tumenggung Jayengrono merupakan
Raden Jayengrono II (Tahun 1772-1795), dan
ayahanda dari Bupati Batang, Raden Tumeng-
seterusnya diganti oleh Raden Jayengrono III
gung Suroadingrat I atau kemudian dikenal
pada 1795-1807.
dengan
Ihwal masjid itu sendiri memang dibangun pada masa kekuasaan Raden Tumenggung
nama
Kanjeng
Sidorawuh.
Putra
keempat dari Raden Tumenggung Jayengorono ini memangku jabatan bupati pada 1809-1812.
Jayengrono I. “Raden Tumenggung Jayengrono-
Kanjeng Sidorawuh ini dalam catatan versi
lah yang disebut-sebut mendirikan Masjid
sejarah lainnya, menyebutkan banyak menu-
Jami’ Al Qodim ini,” kata salah satu pengurus
runkan tokoh-tokoh berikutnya, di antaranya
Masjid Jami’ ”Al Qodim”, K.H. Adam, 59
adalah Bupati Batang periode 2002-2007, Bam-
tahun, mengisahkan.
bang Bintoro S.E., dan tokoh ulama kharismatik,
Menurut Kyai Adam, dalam silsilahnya,
K.H. Habib Luthfi bin Ahmad Yahya.
”PESAREAN” MBAH GENDON MEMASUKI pintu gerbang lokasi pesarean Mbah Gendon memang harus menapaki tangga beton, kemudian berjalan menurun dengan tangga yang sama. Nah, di lingkungan yang cukup asri itulah tempat pesarean-nya. Lokasi pesarean ini persisnya berada di Dusun Kauman, Desa Kesesi, Kecamatan Kesesi. Tentu, pesaren ini sangat berhubungan dengan sosok Mbah Gendon yang memunyai nama asli Mohammad Ashral. ”Makam Mbah Gendon ini dulunya berada di sisi utara Dusun Kauman. Pada 2000 dipindahkan ke sebelah selatan dusun, karena di wiyalah selatan Dusun Kauman terancam oleh erosi Sungai Layangan,” Potret Sisikmelik Kabupaten Pekalongan
JULIANTO/LPWs
Pesarean” Mbah Gendon yang berlokasi di Dusun Kauman, Desa Kauman, Kecamatan Kesesi.
129
JULIANTO/LPWs
Bagian depan “pesarean” Mbah Gendon. kata Juru Pelihara Makam Mbah Gendon, M.
pasangan ayah bernama Tarab dan ibu
Arifin M.S. Pemindahan pesarean ini memang
bernama Tarkumi, sejak remaja Mohammad
tidak terlalu jauh dari tempat awalnya. Ya,
Ashral berkeinginan menimba ilmu agama
jaraknya hanya sekitar 400 meter.
ke pondok pesantren. Nah, atas izin kedua
Secara gambaran fisik, bangunan pesarean
orangtuanya, ia pun berangkat ke pesantren
Mbah Gendon menempati area seluas 35 x 20
di Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat.
meter. Di kompleks pesaren terdapat sumur
Pesantren ini diasuh oleh Kyai Munir.
yang konon airnya tidak pernah kering. Lalu
Saat di pesantren, ada kisah-kisah menarik
di atas sumur tersebut dibangun tempat
yang dialami oleh Mbah Gendon. Kisah itu, di
ibadah berupa mushala. ”Di sisi mihrab di
antaranya ia pernah menanam pohon pisang
mushala itu ada benda-benda pusaka milik
yang bisa dipetik buahnya dalam satu hari.
Mbah Gendon,” ujar Arifin.
Misalnya, pohon pisang itu ditanam pagi
Dari
buku
tentang
”Sekilah
Biografi
Mohammad Shral Wali Gendon disebutkan
hari, maka pada pagi hari berikutnya semua buah pisang sudah matang.
bahwa tokoh yang di zaman kolonial Belanda
Kisah aneh lainnya, konon Mbah Gendon
menjadi pejuang dan paling depan untuk
saat di pesantren pernah menghilang puluhan
melawan tentara kaum penjajah itu, lahir
tahun ketika menceburkan diri ke sendang
pada 1847 dan wafat pada 1960. Sejak kecil,
(telaga kecil). Setelah kembali ke rumahnya
Mbah Gendon dikenal sebagai anak yang
di Kesesi, Mbah Gendon berpakaian tidak
cerdas, rajin, dan pendiam.
lazim, yakni berpakaian rajutan akar pohon
Sebagai anak dari seorang petani, dari
130
dan rambutnya panjang sebahu.
Potret Sisikmelik Kabupaten Pekalongan