Mbah Nah dan Pemuda Desa Karya : Siti Aisyah
Pagi itu di teras rumah, seorang anak sedang mencoba mengingat syair lagu daerah. Dilafalkannya berulang-ulang, tetapi masih saja belum mengingat kata yang terakhir. Sedangkan kakaknya sedang bermain handphone. “Cublak-cublak suweng, suwenge teng geleteng, mambu kecumbung gudel, tak gento lela lelo sopo guyu deleake sir-sir pong wedele, wedele...apa ya? Wedele apa kak? “ “Apa ya dek? kobong mungkin.” “Masak wedele kobong, akh kakak!” “Wedele bodong nduk.” Sahut simbah Sarminah. Mbah Nah, begitulah orang menyapa perempuan enam puluh lima tahun ini. Sesok perempuan yang masih semangat mengikuti tradisi di desa ini, desa Protomulyo. Kulitnya yang telah berkerut, tubuhnya yang telah bungkuk, dan langkahnya yang telah gontai tidak menyudutkan semangatnya untuk mengikuti Khoul Simbah Kyai Suropodo pagi ini. Khoul merupakan tradisi tahunan yang dilaksanakan warga desa untuk mengenang jasa simbah Kyai Suropodo, salah satu kyai yang telah menyebarkan ajaran Islam di desa ini. Biasanya orang menyebutnya Nyadran. Karena begitu besar jasa kyai Suropodo pada masyarakat, maka mereka juga memberi nama salah satu dukuh dengan nama Suropadan. Kata Suropadan sendiri diambil dari nama kyai Suropodo. Rupanya sinar matahari pagi ini sedang memudarkan asap yang mengepul. Sementara kepulan asap masih saja menyebar di atas rumah warga satu desa .Ratusan orang memasak nasi engkung pagi ini, nasi dengan ayam yang di bumbu opor dan belum di potong-potong. Di pemakaman, tampak orang berkumpul, mempersiapkan tempat upacara. Dari para pengemis sampai priyayai, semua berjubel diantara ratusan batu nisan. Makam yang ada namanya saja terinjak, apalagi yang tidak bernama. Warga berduyun-duyun membawa sebaskom ayam engkung beserta beberapa bungkus nasi yang ada diletakkan di baskom. Sementara, panitia telah siap dengan membawa nomor urut yang akan dilekatkan pada satu persatu baskom. Para warga dengan sabar mengantri. Begitu juga dengan mbah Nah. Meskipun sudah lanjut usia, beliau tetap bersemangat menenteng dua baskom besar yang dibalut dengan selendang tua miliknya. Langkah kakinya tampak gontai. Perempuan tua ini melangkah dengan hati-hati. 1
“Awas nang, cah bagus! Simbah mau lewat.”Tegur mbah Nah pada seorang anak yang berlari-lari di depannya. “Amit nggih mbah, saya tidak tahu kalau simbah mau lewat. Monggo mbah!” Anak itu terdiam sejenak. Lalu berbalik arah. Ia sadar bahwa ada mbah Nah yang sedang berjalan di belakangnya. Dengan segera langkah kakinya diperlambat sambil membungkukkan badan, dan menyapa perempuan tua di belakang anak itu.Setelah beberapa puluh langkah, kakinya terhenti. Menghela napas sebentar. Kemudian, diletakkan dua buah baskom yang dibawanya. Sementara itu, sengatan matahari begitu menyiksa kulit perempuan tua ini. Panasnya membuat keringat mbah Nah meleleh. Segera beliau usap lelehan itu dengan kerudung segi panjangnya yang menyelempang. Rasa letih dan haus menyambanginya. “Alhamdulillah, sebentar lagi sampai.Paringi kuat ya Allah!” Beliau melanjutkan perjalanannya sambil menyahuti orang-orang yang berlalu lalang. Ya, mbah Nah memang terkenal di desanya. Ada yang jalan kaki, ada yang naik motor, dan ada juga yang naik mobil. Tentunya dengan membawa baskom yang berisikan nasi engkung dan bongkahan pisang. Sebuah mobil berhenti, seseorang memakai baju batik khas Pekalongan turun dan mengahampiri mbah Nah. “Mbah nah? Mari ikut mobil saya.” Pak Lurah menawarkan bantuan. Alis Mbah Nah berkerut, pandangannya kurang jelas. “Tidak usah pak. Saya jalan kaki saja, masih kuat.”(tersenyum). “Ya sudah, saya tunggu di pemakaman ya mbah? “ “Injih pak. Matur nuwun.” Langkahnya mulai mendekati area pemakaman. Di sebelah kiri mbah Nah telah tertancap ratusan batu nisan, dan ada beberapa yang telah tumbang, rapuh, termakan ratusan rayap. Mbah Nah menoleh sejenak. Sedangkan di sebelah kiri mbah Nah, terlihat masjid berlantai dua yang begitu megah. Ia terdiam, merenungi sesuatu.Tak jauh dari keberadaan mbah Nah, sudah tampak berbagai penjual mainan anak berjajar rapi menyambut para warga sambil bersahutan menawarkan dagangannya. “Ayo di beli, dibeli! Cowek-cowekan, muntu-mutuan, panci-pancian. Buat adik-adik yang ingin latihan masak. Ayo silahkan beli klowohannya! Ada yang terbuat dari tanah, ada yang terbuah dari plastik, berwarna-warni. Mari dipilih-dipilih!” Pedagang lain menyahut.
2
“Sayang anak, sayang anak! Disini ada berbagai balon, kecuali balon udara! Ayo beli!” Beberapa pedagang tampak antusias menawarkan dagangaanya. Mbah Nah tersenyum, mengingat
masa
kecilnya
yang
suka
bermain
klowohandan
membeli
balon
karbit.Klowohan merupakan alat masak kecil yang terbuat dari tanah liat atau pun plastik, sedangkan balon karbit merupakan balon yang diikat oleh tali yang melilit karbit supaya bisa terbang. Seketika mbah Nah tersadar dari lamunannya. Beliau mengarahkan tatapannya menuju pintu gerbang makam Kyai Suropodo. Tampaknya ratusan orang telah berjubel memadati sekitar area pemakaman, bahkan tak ada celah untuk memasuki pintu gerbang. Sementara itu, panitia sibuk menerima baskom yang dibawa warga. Satu persatu mereka tempeli nomor urut, agar tidak tertukar nantinya. “Mohon yang sabar, semua kebagian. Jangan mencuri antrian!” Tegas seorang panitia. Dengan sabar mbah Nah mengantri. Tak jarang tubuh gontai perempuan tua ini tersenggol orang-orang yang berjubel. Setelah satu persatu urutan terselesaikan, tiba sekarang urutan mbah Nah. Beliau melepas selendang yang membalut baskomnya dan meletakkan dengan hati-hati. Seorang panitia dengan sigap menempelkan nomor urut pada baskom mbah Nah.Kini, tiba saatnya. “Delapan puluh? Wah tidak terlalu lama, biasanya sampai antrian ke tiga ratus. Alhamdulillah” Mbah Nah menganggap bahwa pada khoul kali ini beliau datang lebih awal. Wajah perempuan ini tampak berseri-seri. Beliau lega. Setelah sekian lama berjubel diantara lautan manusia, akhirnya perempuan tua ini dapat menghela napas. Mbah Nah duduk di sebelah batu nisan yang telah kusam bersama warga yang lain. Setelah dirasa tidak ada lagi antrian warga, acara dimulai. Rangkaian acara dibacakan oleh pembawa acara. Acara dibuka oleh pak Lurah sekaligus sambutan. Kemudian dilanjutkan tahlil yang dipimpin oleh seorang kyai. Lantunan ayat-ayat suci dikumandangkan dengan khikmat. Warga pun juga turut serta melafalkannya. Salam penutup telah disampaikan pembawa acara, itu pertanda bahwa rangkaian acara telah berakhir. Sementara, panitia sedang sibuk memotong-motong ayam untuk dibagikan kepada warga yang kurang mampu, yang tidak bisa menyediakan nasi engkung dan pisang. Setelah selesai, puluhan bungkusan dipisahkan. Warga yang duduktampak 3
gelisah. Mereka tidak sabar ingin mengambil nasi engkung dan pisang yang dibawa. Warga mempercayai bahwa lewat doa-doa yang dilantunkan, makanan itu menjadi berkah. Sepertinya tak bisa menunggu waktu yang lama lagi untuk mempertahankan kesabaran warga. Mereka berdirimenuju tempat makanan yang sebentar lagi akandibagikan. Sementara, mbah Nah masih tetap duduk menunggu giliran. Mbah Nah bingung menyaksikan
orang-orang yang berebut makanan sambil
senggol-senggolan. Sedangkan mereka yang sudah dapat, ada juga yang ikut mengantri , yang bukan bagian mereka. Sekitar satu jam mbah Nah menunggu. Kini saatnya telah tiba. Segera beliau berdiri dan menerima baskom miliknya. Tapi, setelah sampai di tempat makanan, baskom miliknya hilang. Para panitia bingung. “Maaf mbah nomor berapa?” tanya seorang panitia . “Delapan puluh pak.” Tegas mbah Nah . “Maaf mbah, sudah di ambil. Ini tidak ada baskomnya.” “Tapi nomornya masih saya bawa pak. Lha terus bagaimana, kok bisa hilang?” Suasana lebih tegang. Terjadi perdebatan antara mbah Nah dan panitia. Mereka samasama mempertahankan pendapatnya. Pak lurah pun ikut serta. Mereka berniat mengganti nasi engkung dan pisang milik mbah Nah dengan yang lain. Tapi, mbah Nah tidak mau, karena itu bukan haknya. Semua orang mengerubuti mbah Nah dan panitia. Mereka membela mbah Nah. Bahkan ada yang ingin memberikan nasi engkung dan pisang miliknya kepada mbah Nah. Perempuan tua ini tetap menolak . Mbah Nah merasa lelah, beliau duduk di antara kerumunan orang. Tiba-tiba seorang bapak muncul dengan membawa dua buah baskom. Mbah Nah memandangi dengan seksama nomor urut yang tertempel di baskom itu. “Lho pak, itu kok nomornya sama punya saya delapan puluh?” tanya mbah Nah, heran .Segera seorang bapak itu menghampiri mbah Nah. “Maaf ya mbah, sepertinya ini terjadi kesalahpahaman. Sebenarnya nomor saya itu kosong delapan, tapi panitia salah membaca nomor . Bukannya kosong delapan malah jadi delapan puluh. Terbalik mbah. Hehehe.”Jelas seorang bapak, lalu tertawa . “Wah benar saja, itu dua baskom nomornya kosong delapan. Maaf ya pak, mbah? “ tandas seorang panitia. Menggelikan. Mengetahui hal itu, semua orang yang ikut mengerumuni tertawa, ternyata salah membaca nomor urut. Begitu pula dengan mbah Nah. Kerutan di wajahnya tampak 4
jelas karena pipinya menarik bibirnya untuk tertawa. Sementara gigi mbah Nah terlihat tidak genap. Segera beliau mengatupkan kedua bibirnya dan Tersenyum . Semua orang telah mendapatkan bagiannya. Kaya atau pun miskin mendapatkan jatah. Inilah yang dimaksud keberkahan. Semua ikut serta menikmati. Canda dan tawa berpadu dalam bungkusan nasi engkung dan pisang. Beberapa langkah dari pintu gerbang makam, tampak gerombolan orang mengerubungi nasi engkung yang telah di taruh di atas daun pisang. Secara bersama-sama para pemuda itu memakannya dengan lahap, tidak lupa menyapa mbah Nah yang sedang lewat . Mbah Nah mengangguk, dan tersenyum menyaksikan kebersamaan mereka. Acara tidak sampai disini saja. Tidak jauh dari makam, warga juga tampak sibuk mempersiapkan acara untuk nanti malam, pagelaran wayang dan penampilan Ngunduh Mantu. Pagelaran wayang selalu diadakan setahun sekali oleh warga desa ini. Dalam acara ini juga diisi kreativitas para pemuda. Untuk tahun ini, para pemuda menampilkan acara Ngunduh Mantu . Mbah Nah terpukau menyaksikan para pemuda sedang berlatih untuk nanti malam. Ada yang jadi pranoto cara atau pembawa acara , mempelai, orang tua si mempelai, perias, penari dan lain-lain. Mereka saling membantusebelum pelatih datang. Sebelum mbah Nah sampai di balai desa, pak lurah menghampiri . “Mbah Nah, bagaimana ? Nanti malam bisa datang to ke acara pagelaran ? Tidak diwakilkan to? Biasanya mbah Nah semangat kalau ada acara seperti ini. Apalagi mbah Nah jadi bintang utamanya. “ kata pak Lurah. Mbah Nah tersenyum. “Tunggu saja ya pak.” Setelah selesai, perempuan tua ini segera mengahampiri para pemuda yang sedang berlatih. Mereka kaget. Dan berlari menuju mbah Nah. Saling berjabat tangan. “Sekarang kita mulai latihannya ya mbah.? Ini gladi bersih kan?” tanya seorang gadis .“Baik adik-adik. Kita gladi bersih. Karena kita sudah berlatih selama dua bulan, saya harap kalian bisa maksimal. Sekarang kita berdoa dulu! “ tegas mbah Nah. Dengan sabar mbah melatih tutur kata dan gerakan yang lemah lembut . Tetapi tentunya tidak sepiawai dulu. Para pemuda tampak semangat dilatih oleh mbah Nah. Hal itu terlihat dari antusias mereka dalam berlatih dan mahir dalam memerankan tokoh . Bulan mulai merangkak. Malam yang ditunggu-tunggu telah tiba. Para pemuda telah memakai kostum jawa. Mereka telah siap menampilkan acara Ngunduh Mantu. Acara 5
wayang kulit hampir dimulai. Tenda telah tegak berdiri dengan megah, lampu terang menerawang, kecuali di sekitar panggung agak remang-remang. Sementara, wayang telah tertancap pada gedebok pisang, menunggu dimainkan Ki Dalang. Di sekitar balai desa, berjajar para pedagang. Dari pedagang asongan sampai batu akik ikut memadati tempat ini. Jalan yang biasanya teratur menjadi macet. Para warga yang datang, tidak hanya ingin menonton pagelaran, tetapi juga ada yang sekedar melihat ataupun membeli barangbarang. Malam itu, suasana pasar malam menghampiri desa Protomulyo. Pak Lurah dan perangkatnya telah siap menyambut tamu. Tidak hanya pak Lurah dan perangkatnya, para pemuda pun ikut andil dalam acara ini. “Selamat datang pak, bu? Silahkan masuk.” Sapa pak Lurah kepada warga. Silih berganti mereka menyapa dan berjabat tangan. Tidak ada perbedaan status sosial, semua melebur menjadi suatu keharmonisan. Setelah cukup banyak para tamu berdatangan, acara dimulai. Tempat duduk yang berjajar rapi telah terisi. Tampaknya semua lengkap. Tapi ada yang kurang. “Mbah Nah, ya mbah Nah. Dimana beliau?” kata pak Lurah. “Oh iya pak, beliau dimana ? Bagaimana pun beliau merupakan tamu istimewa kita, beliau Dalang pada malam hari ini.” Tambah perangkat desa yang lain. Suasana berubah menjadi tegang. Semua orang mencari mbah Nah. Selain sebagai pelatih para pemuda dalam acara Ngunduh Mantu, mbah Nah merupakan Dalang pada pagelaran kali ini. Dan kini, mbah Nah belum datang. Setelah beberapa saat kemudian, datanglah seseorang dengan memakai baju dalang. “Mbah Nah!!!!”Teriak banyak orang.
.
6
7