TOPIK 1
MENGGAGAS MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KARAKTER TERPADU BERBASIS KONSEP MULTIKULTURAL SEBAGAI UPAYA MENGUATKAN NILAINILAI KEBANGSAAN DAN MEMELIHARA KEBHINEKAAN DI SEKOLAH DASAR
Drs. TAMRIN, M.Pd. Pengawas Sekolah Dasar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Makassar email:
[email protected].
A. Pendahuluan Budaya merupakan isu sangat penting dalam kehidupan berbangsa bangsa masa yang akan datang. Tidak dapat dimungkiri bahwa era masa datang, sumber konflik dapat dipastikan tidak lagi bersumber dari ideologi atau ekonomi, tetapi masalahnya akan tumpu pada persoalan budaya. Kesuksesan suatu bangsa tidak bisa dipisahkan dengan budaya. Ruh kemajuan suatu bangsa berakar dari budaya bangsa tersebut. Oleh karena itu, negara yang memiliki budaya kondusif dan suasana kebatinan yang kuat, merupakan negara yang dapat dipresdiksi memiliki peluang besar untuk berkembang pada masa datang. Beberapa pakar kenamaan seperti Lawrence Harrison, Robert Kaplan, Seymor Martin Lipset, Robert Putnam, dan Thomas Sowell memiliki kesamaan cara pandang yang tegas bahwa kunci sukses suatu negara sangat ditentukan oleh budaya yang kondusif untuk dapat maju dimiliki negara tersebut. (Semiawan, 2004). Faktor
budaya
yang
dicerminkan
oleh
karakter
dan
perilaku
masyarakatnya. Hal ini sering disebut sebagai “modal sosial” (social capital). Konsep modal sosial ini pertama kali digagas oleh Francis Fukuyama yang menguraikan ciri budaya suatu masyarakat yang memiliki keunggulan dalam persaingan global ke depan. Francis menyatakan bahwa persaingan yang ada dewasa ini bukanlah persaingan antarsistem ideologi, melainkan persaingan antarnegara yang memiliki modal sosial tinggi (high trust society). Negara yang memiliki modal sosial tinggi ini ditampilkan dengan perilaku masyarakatnya yang saling memiliki rasa kebersamaan yang tinggi, dan rasa saling percaya (baik vertikal maupun horizontal). Modal sosial tinggi serta rasa konflik yang rendah itulah yang dapat membuat sebuah negara dapat maju. Francis mengibaratkan kepercayaan sebagai lubrikasi yang akan melumas kelompok atau organisasi yang ada sehingga dapat bekerja secara efektif. Tingkat
1
kepercayaan ini akan berpengaruh dan menentukan apakah sebuah negara dapat kalah atau menang dalam persaingan global (Lawrence and Samuel, 2000: 2) Tentu saja perspektif ini sangat bersesuaian dengan bangsa Indonesia. Indonesia sebagai negeri kepulauan dengan 17.508 pulau lebih yang membentang dari Sabang sampai Merauke termasuk negara kepulauan terbesar di dunia. Bukan hanya itu, Indonesia juga menjadi negera tekaya dengan budaya karena dihuni oleh penduduk dengan ribuan suku bangsa. Boulding (1990:58) menyatakan bahwa Indonesia memiliki sekitar tiga ribu jenis suku bangsa. Hal ini merupakan kebanggan sebagi sebuah negara yang memiliki keragaman yang kaya. Namun, kebanggaan sebagai bangsa yang besar dengan jumlah penduduk nomor empat di dunia serta potensi sumber daya alam negeri melimpah baik di darat maupun di laut, bukan lagi hal yang menjanjikan untuk hidup berbangsa dengan makmur, damai, dan tenteram pada masa datang. Akan tetapi berbagai masalah telah terkondisi sekaligus dalam arus kebudayaan. B. Masalah Keinginan kuat untuk memelihara keutuhan rasa berbangsa yang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tentu selalu menjadi harga mati. Namun, di sisi lain tidak dapat dimungkiri munculnya bibit disintegrasi dari segala kungkungan retorika kehidupan berbangsa. Hal ini dapat dicermati dalam sejarah kehidupan bangsa, dari berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai daerah. Mulai dari Nanggroe Aceh Darussalam hingga Papua dengan konflik antaretnis, dan konflik sosial yang anarkis dan tragis. Peristiwa yang berbau sara di Ambon dan Poso, Sulawesi Tengah, peistiwa Sampit, juga menjadi tanda yang cukup kuat akan kekhawatiran lahirnya benih-benih
disintegrasi.
Gejala saling menghujat dan
melakukan pengecilan arti kelompok golongan, bahkan terhadap agama tertentu, dan mengkapling kebenaranmutlak pada agama tertentu tertentu, pemaksaan kehendak atas kelompok dan golongan tertentu,
juga mulai tampak. Belum lagi
tawuran pelajar yang telah berada pada tahap yang mengkhawatirkan, pergaulan seks di luar pernikahan yang telah menjadi kecenderungan di kalangan remaja, penggunaan narkoba dan alkohol yang meluas dari kota hingga ke pedesaan, dan kejahatan sadis seperti pembegalan. Demikian juga etos kerja yang buruk, rendahnya disiplin diri dan kurangnya semangat untuk bekerja keras dan hanya ingin memperoleh hidup nyaman tanpa kerja keras sebagai ciri hedonisme2
materialisme juga telah mempengaruhi tatanan kehidupan sebagian masyarakat Indonesia. Hal ini tercermin pada praktik-praktik korupsi yang merajalela, kolusi dan nepotisme
yang
sangat
menghantarkan negeri ini
marak,
pungli
yang
udah menjadi
budaya, telah
sebagai negara yang tingkat korupsi sangat besar di
dunia. Lickona (1992:22), seorang pakar pendidikan karakter dari Cortland University mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda zaman yang harus diwaspadai. Jika suatu bangsa sudah memiliki kesepuluh tanda itu, maka berarti sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah; (1) meningkatnya kekerasaan di kalangan remaja; (2) membudayanya ketidakjujuran; (3) sikap fanatik terhadap kelompok (peer-group) dalam tindak kekerasan; (4) rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; (5) semakin kaburnya moral baik dan buruk; (6) penggunaan bahasa yang memburuk; (7) meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas; (8) rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan sebagai warga negara; (9) menurunnya ethos kerja; (10) adanya rasa saling curiga dan kurangnya kepedulian antarsesama. Kesepuluh tanda dimaksud di atas, bisa jadi sudah mulai menghiasi prilaku hidup bangsa Indonesia. Pada saat yang bersamaan, masyakat dihadapkan pula pada suatu zaman dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat,
telah
mengaburkan batas-batas suatu bangsa dan negara, yaitu globalisasi. Fenomena globalisasi yang mengakibatkan menyatunya sebagian besar belahan dunia di sektor ekonomi dan keuangan, perubahan teknologi yang cepat dan signifikan, serta evolusi geopolitik, menjadikan Indonesia sebagai bagian dari anggota
“kampung
global” menjadi saling berhubungan dan berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Hal ini merupakan dilema yang membutuhkan gagasan baru, agar bangsa besar dengan beragam budaya, kawasan geografis yang luas serta memiliki potensi sumber daya alam berlimpah ruah, dan jumlah penduduk yang besar, dapat belajar hidup sebagai masyarakat yang demokratis. Bangsa yang dapat bersatu dalam beragam perbedaan dan terus hidup nyaman sejahtera sebagai bagian dari nationstate di tengah dunia yang selalu berubah dalam perubahan.
3
C. Pembahasan dan Solusi
1.Hakikat Pendidikan Karakter Untuk menajamkan pemaknaan hakikat karakter, maka secara filosofi karakter sebaiknya dilihat dari pandangan dalam perspektif beragam agama yang memberi inspirasi pentingnya
karakter, moral,
atau akhlak dimiliki umat manusia. Islam
memandang dengan tegas: “Tidak beriman salah seorang di antara kamu hingga dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri (Riwayat Bukhari dan Muslim) (http://penjagakubur96.blogspot.co,id. Kristen: Jika ada orang yang berkata, "Aku mencintai Tuhan," dan membenci saudaranya, berarti dia seorang pembohong; karena orang yang tidak mencintai saudaranya yang pernah dia lihat, tidak bisa mencintai Tuhan yang tidak pernah dia lihat (Lukas, 6:31) Agama Hindu berpandangan: "Ketika seseorang memandang suka dan duka orang lain seperti suka dukanya sendiri, ia telah mencapai penyatuan spiritual tertinggi .” Pandangan Agama Buddha: "Kasih sayang adalah pikiran yang mengecap hanya rahmat dan cinta untuk semua makhluk hidup.”( id.wikihow.com). Secara
asasi,
pandangan di
atas
memperlihatkan betapa
pentingnya
membentuk karakter (akhlak mulia) pada diri manusia yang merupakan fondasi utama pembentukan sebuah tatanan masyarakat yang beradab. Wajar jika Bohlin (2001) mendefenisikan istilah karakter bahasa Yunani “charassein,” yang berarti “mengukir”, yang diibaratkan seperti mengukir Sesutu di atas batu permata atau permukaan besi yang keras. Hal ini menandakan bahwa karakter tentulah harus kuat dan mendalam. Oleh karena itu, defenisi karakter berkembang sebagai sebuah tanda khusus yang melekat pada diri individu atau masyarakat. Sejak dua ribu tahun silam, filsuf Socrates menyatakan bahwa tujuan yang paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat individu-individu menjadi baik dan cerdas (Lawton, 2001:21). Wajar jika ada ungkapan menyatakan: “Goodness is knowledge”. Hal ini merupakan hakikat yang sangat jelas bahwa kebajikan merupakan bagian dari pengetahuan yang tidak dapat dipisahkan. Plato kemudian merefleksikan pemikiran Socrates dan menjadikan perjuangan dalam dunia pendidikan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah menempatkan moral sebagai landasan yang sangat kuat agar anak dapat meraih kebenaran dan kebajikan.
4
Pemahaman klasik di atas terlihat bahwa karakter sangat sarat dengan nilainilai kebajikan, yang senantiasa mendapat tempat untuk dilatihkan dalam perbuatan, agar terbentuk sebuah kebiasaan dalam tatanan masyarakat yang beradab. Hal ini senada dengan pandangan Emile Durkheim, seorang sosiolog dari Perancis bahwa masyarakat harus memiliki sesuatu yang ideal menuju tujuan yang akan mencapai. Hal paling mendasar adalah warisan moral umat manusia. Ketika kegiatan individu jelas pegangannya, itu berarti melawan dirinya sendiri. Ketika moral masyarakat tak bekerja dengan baik, berbahaya.
maka akan digunakan dalam cara yang mengerikan dan
(Emile, 1993). Hal ini yang dipahami secara umum dari pandangan
Piaget, bahwa anak usia 7 hingga 11 tahun secara kognitif berada di tahap konkret operasional. Kemampuan berfikir dengan logika ditampilkan dengan kemampuan mereka membedakan antara fakta dan mimpi, antara baik dan buruk. Mereka mulai berlatih untuk menyelesaikan berbagai masalah dengan konkret.
Sementara
perkembangan afektif mereka tengah berada pada tahapan mutualitas yang diistilahkan oleh Piaget sebagai “the Golden Rule” karena pada tahapan ini sudah mulai tumbuh saling menghormati pada diri anak. Kondisi di atas sesuai dengan teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg, bahwa anak yang duduk di SD kelas awal berada pada tahapan yang mulai berfokus pada lingkungan sosial, yang membuat mereka menjadi anak manis, yang patuh pada aturan dan perintah yang ada di luar diri mereka (Sprinthall, 1994:180). Hubungan sosial timbal-balik antara anak dengan lingkungannya juga mulai terjadi. Nilai-nilai sudah mulai terbentuk dengan lingkungan di mana anak berada. Mereka mengenali dan dapat membedakan mana perilaku baik dan buruk. Tahapan ini jika ditinjau dari aspek perkembangan identitas psikososial. Bertolak dari berbagai teori di atas, jika dikaitkan dengan kondisi persekolahan di SD di Indonesia saat ini, maka terlihat banyak ketidakpatutan dalam proses pembelajaran di sekolah yang melanggar hakikat pendidikan anak itu sendiri. Masa pengembaraan anak sebagai bentuk keingintahuannya yang besar telah lenyap direnggut kegiatan-kegiatan yang banyak menyuguhkan aspek kognitif, pasif, dan mengabaikan aspek afektif. Hampir semua mata pelajaran dikemas dalam bentuk pengetahuan akademik termasuk pendidikan yang sarat dengan muatan moral seperti mata pelajaran pendidikan Agama, PPKn, dan Bahasa Indonesia. Anak-anak masih sering dipaksa duduk untuk menguasai kemampuan kognitif yang diperankan
5
oleh otak bagian kiri berupa hapalan-hapalan dan menjawab soal ujian benar-salah dan pilihan ganda. Sementara aspek emosi dan afeksi, empati dan perasaan yang diperankan oleh otak bagian kanan diabaikan dan kurang mendapat waktu untuk berlatih. Untuk menjembatani antara faktor kognitif dan afektif dalam proses pendidikan di sekolah, maka tentu harus diuoayakan adanya harmonisasi antara peran otak dan hati sebagai sebuah kesatuan yang utuh.
Goleman (1995:27). menegasakan
gagasan yang dikenal dengan paradigma era heartstart. Di mana fokus penyiapan kecerdasan emosi ini memberi banyak kesempatan kepada anak untuk berkembang secara alami sesuai dengan harkat dan hakikat mereka sebagai manusia seutuhnya. Uraian di atas,
menunjukkan bahwa dalam kehidupan,
terhadap bermain, bergerak,
kebutuhan anak
dan bereksplorasi harus lebih banyak. Untuk itu,
sekolah yang memaksakan anak menguasai
aspek kognitif/akademik yang
dominan, tentu akan membuat mereka tertekan dengan kondisi tersebut. Selain itu, tentu anak harus memelihara faktor emosi dan perasaan sesuai waktu dan ritmiknya sendiri dan tidak dapat dipaksakan. Menyiapkan pembelajaran yang terkait dengan kecerdasan emosi berkaitan erat dengan pendidikan karakter.
Salah satu satu cara efektif memaknai karakter
dalam nilai-nilai pendidikan adalah harus memandang karakter yang memiliki tiga bagian yang saling terkait
yakni
moral yang mengetahui, perasaan moral, dan
perilaku moral. Karakter yang baik terdiri dari pengetahuan yang baik, menginginkan yang baik, dan melakukan yang baik, kebiasaan pikiran, kebiasaan perasaan, dan kebiasaan tindakan. Jadi, pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian anak menjadi pribadi yang bijaksana, terhormat, dan bertanggung jawab melalui
pembiasaan-pembiasaan
pikiran,
hati,
dan
tindakan
secara
berkesinambungan yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata sehari-hari di sekolah. Sebuah kebiasaan tentu memerlukan latihan terus-menerus serta kontrol diri yang kuat. Kontrol diri secara internal terkait erat dengan perasaan bersalah yang menurut para psikolog sudah tumbuh di saat anak berusia empat tahun. Kontrol diri inilah yang dapat mencegah seseorang dari berbagai perilaku buruk dan selalu ada hasrat untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik. Inilah sumber kekuatan yang dapat memungsikan pengetahuan moral dapat terlaksana secara efektif sehingga seseorang memiliki karakter yang konsisten. Akan tetapi, aspek inilah
6
yang kurang mendapat tempat dan waktu dalam proses pembelajaran di sekolah sepanjang sejarah pendidikan di Indonesia. 2. Konsep Pembelajaran Berbasis Multikultural di Sekolah Dasar Membangun konsep pendidikan multikultural harus dilandasi dengan konsep pembelajaran yang kuat dan kebijakan serta berpihak pada kebutuhan anak didik yang datang dari beragam budaya. Hal ini disebabkan oleh sistem pendidikan merupakan bagian yang harus terintegrasi kuat dengan struktur sosial yang ada. Suatu struktur sosial bukanlah suatu keseluruhan yang homogen seperti yang selama ini diberlakukan pada sistem persekolahan yang ada. Sebuah sekolah harus dapat menjadi sebuah tempat mengasyikkan bagi anak-anak yang datang dengan keragaman serta keunikannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa salah satu tujuan yang esensial dari pendidikan adalah menyenangkan bagi semua anak. Konsep budaya dipaparkan secara umum oleh Haviland sebagai aspek penting dalam proses tumbuh kembang anak dari perspektif yang luas. Anak, keluarga, masyarakat, dan budaya adalah faktor penting sebagai penentu sebuah sistem dapat saling mempengaruhi (1999:1). Pandangan ini menegaskan bahwa sekolah merupakan salah satu lingkungan mikro yang berperan besar dalam membentuk perkembangan anak menuju masa dewasa kelak. Bronfenbrenner mengistilahkan sekolah sebagai “microsystem” yang terkait dengan kelas, dan semua kompenen yang berada di sekolah. Merancang
model
pembelajaran
multikultural
merupakan
alternatif
melaksanakan proses pendidikan multikultural. Pendidikan Indonesia disinyalir oleh berbagai pihak, terpuruk di tengah kompetisi negara-negara serumpun di Asia yang digambarkan sedang menuju proses involusi yang bergerak tanpa arah yang jelas. Oleh karena itu, Asy’ari (2004) menyatakan pentingnya pendidikan multikultural sebagai proses penanaman cara hidup terhadap keanekaragaman budaya yang hidup
di
tengah-tengah
masyarakat
plural
hendaknya
direvitalisasi
dan
direaktualisasikan secara kreatif dalam proses pendidikan di Indonesia. Hal ini juga sesuai dengan salah satu prinsip dasar yang ditampilkan Unesco dalam pilar kesejagatannya, yaitu “learning to live together”. Tentu saja pandangan di atas mengharuskan pengembangan kurikulum multikultural yang membutuhkan pengetahuan beragam budaya dan dikemas
7
berupa sumber belajar berahgam, buku pegangan yang kaya beragam materi etnis budaya akan terus-menerus dikaji dan diintegrasikan ke dalam kurikulum nasional, di samping juga diintegrasikan ke dalam standar global internasional. Demikian pula konsep multikulturalisme harus terinternalisasi
dalam diri para pendidik dan
pengelola Pendidikan sehingga muatan multikultural menjadi sesuatu kebutuhan yang dianut. Secara konseptual, Banks (l993) menyatakan ada empat dasar pendekatan untuk mengintegrasikan materi multikultural dalam proses pembelajaran, yaitu (1) The Contributions Approach, yang terfokus pada rasa heroik, hari besar budaya yang terkait dengan hal seperti makanan, hadiah, dan fashion; (2) The Additional Approach, menambahkan konsep budaya (kematian, kelahiran, partisipasi sosial), tema (ekologi, keadilan, perkembangan ekonomi), dan perspektif terhadap materi kurikulum tanpa merubah seluruh struktur program; (3) The Transformation Aproach, mengalirkan perubahan struktur dan didaktik yang berguna bagi pemelajar dalam memandang konsep, isu-isu, kejadian dan tema dari berbagai perspektif perbedaan etnik dan budaya kelompok; (4) The Sosial Action Approach, menyediakan perubahan lebih lanjut dalam metodologi pendidikan di mana anak berperan dalam membuat keputusan terhadap beragam isu sosial dan membantu serta melakukan tindakan dalam memecahkan masalah (http://www.midtesol.org) 3. Hakikat PembelajaranTerpadu Konsep pembelajaran terpadu sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran yang digagas Bruner dan Rogers sebagai suatu aspek penting dalam sistem desain instruksional
dalam
kawasan
teknologi
pendidikan.
Pembelajaran
terpadu
merupakan penjabaran isu dari konsep kurikulum terpadu yang berfokus kepada ciri alamiah anak sebagai pemelajar yang melibatkan berbagai aspek perkembangan dalam pembelajaran (Mathews,1986:9). Pembelajaran terpadu terjadi apabila kurikulum dapat menampilkan tema yang mendorong terjadinya eksplorasi atau kejadian-kejadian secara otentik dan alamiah. Dengan munculnya tema atau kejadian yang alami ini maka akan terjadi pula suatu proses pembelajaran yang bermakna di mana materi yang dirancang akan saling terkait dengan berbagai bidang pengembangan yang ada dalam kurikulum. Pembelajaran terpadu terlihat sebagai suatu pendekatan belajar yang
berlandaskan pada pendekatan inquiry
yang mana anak dilibatkan dalam merencanakan, bereksplorasi dan berbagi
8
gagasan. Anak-anak juga didorong berkolaborasi bersama teman-temannya dan merefleksikan pembelajaran dengan cara mereka sendiri. Anak-anak diberdayakan sebagai pebelajar dan
diharapkan mereka akan mampu mengejar kebutuhan
belajar mereka sendiri melalui tema-tema yang dirancang secara bermakna. Hal ini sesuai dengan pendapat Bruner (dalam Faizah, 2013) bahwa pembelajaran dengan discovery sangat bertumpu pada prinsip-prinsip pendidikan. Fogarty (1991) mengemukakan bahwa pada dasarnya siswa memahami konsep keterpaduan secara vertikal maupun secara horizontal. Keterpaduan secara vertikal berlangsung dari materi pembelajaran yang terendah (di Taman KanakKanak) hingga berlanjut ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (sekolah lanjutan). Pemahaman terhadap suatu topik/konsep diharapkan akan dapat membangun dasar pemahaman topik/konsep berikutnya, melalui konsep keterpaduan yang selalu bersinergi. Sementara pemahaman secara horizontal merupakan keterpaduan yang merentang keluasan dan kedalaman materi pembelajaran. Dari pemahaman yang terpadu inilah diharapkan akan terjadinya dampak keterpaduan pemahaman akumulatif
yang selalu terus-menerus berkembang pada pembelajaran di masa
mendatang.Tahap
yang
ditampilkan
memperlihatkan
keterpaduan
antartema,
konsep, dan topik melalui lintas mata pelajaran. Kaitan ini sangat bermanfaat untuk dapat meningkatkan kebermaknaan pembelajaran secara menyeluruh ketika siswa berupaya membuat hubungan dari gagasan/ konsep suatu mata pelajaran ke mata pelajaran lainnya. Dalam hal ini keterpaduan tidak mesti selalu merupakan keterpaduan antarmata pelajaran (lintas kurikulum-Webbed) melainkan juga dapat dilakukan intrabidang pengembangan (connected). Melalui pembelajaran terpadu beragam kecerdasan yang dimiliki oleh anak juga akan tergali. Hal ini sesuai teori “Multiple Intelligences” yang d dikemukakan oleh Gardner. Amstrong (1995: 39) dengan cerdas mengaplikasikan teori Gardner ke dalam berbagai bidang kekuatan diri, di mana anak diminta dapat mengenali dirinya sendiri sebagai upaya memahami diri sendiri. Hal ini sejalan dengan prinsip konstruktivis agar anak dapat mengenali potensi yang dimiliki, dan dapat merefleksikan
kembali
dalam
bentuk
beragam
kecerdasan sesuai
dengan
perkembangan yang mereka miliki. Semiawan (1997) menegaskan bahwa berbagai kecakapan dasar akan diperoleh secara efektif apabila proses pembelajaran dikaitkan dengan kekuatan yang dimiliki oleh anak.
9
Berdasarkan teori di atas,
maka dengan mengenali kekuatan-kekuatan yang
dimiliki anak sebagai potensi diri yang dibawanya sejak ia lahir akan sangat membantu tidak hanya dalam memperoleh kecakapan membaca, menulis dan berhitung (verbal linguistic dan logical mathematical), melainkan juga terkait dengan beragam aspek lain seperti visual spatial, musical rhythmic, bodily kinesthetic, interpersonal, intrapersonal, dan naturalist.
4. Model Pembelajaran Berbasis Multikultural (sebuah harapan pada kurikulum 2013) Mengembangkan
suatu
model
pembelajaran
yang
mendukung
aspek
pendidikan karakter dan aspek multikultural serta sesuai dengan kebijakan di bidang pendidikan dasar yang berlaku saat ini merupakan suatu upaya yang dapat bermanfaat bagi guru di lapangan. Diberlakukannya kurikulum 2013 dengan basis kurikulum tingkat satuan pendidikan di mana sekolah memiliki otonomi dalam mengembangkan sendiri proses pembelajaran sesuai dengan kebutuhannya, maka berbagai model pembelajaran sebagai transformasi di bidang teknologi pendidikan sangat dibutuhkan. Sekurang-kurangnya konsep pembelajaran dalam kurilukum 2013 dapat membantu guru dalam (1) menerapkan model pembelajaran pendidikan karakter terpadu berbasis konsep multikultural di SD, (2) menumbuhkan iklim pembelajaran yang menyenangkan, mengasyikkan, mencerdaskan dan menguatkan anak sesuai dengan lingkungan budaya setempat, (3) membangun kapasitas guru sebagai pendidik di SD kelas awal untuk dapat mengembangkan potensi diri dalam berkreasi sehingga melahirkan keasyikan bernalar dan
menumbuhkan santun,
bermoral penuh dengan kedamaian. Pada prinsipnya, model pembelajaran pendidikan karakter terpadu berbasis konsep multikultural membutuhkan sentuhan kreativitas oleh pendidik.
Hal ini
sangat penting untuk mengaktualiasikan seluruh komponen pembelajaran sehingga konsep multikultural menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam dampak pembelajaran, bahkan dapat menjadi tujuan pembelajaran. Guru diharapkan memiliki
kesadaran
kuat
dalam
menganut
nilai-nilai
multikultural
sebelum
menginternalisasikan dalam pembelajaran. Secara teknis, model pembelajaran pendidikan
karakter
terpadu
berbasis
konsep
multikultural
keterampilan integratif dari guru. Desain pembelajaran
membutuhkan
menjadikan nilai-nilai
10
karakter yang dibangun dengan basis konsep multikultural harus menjadi muatan nilai. Oleh karena itu, pembelajaran dikemas dengan menarik sesuai tujuan dan di sekelilingnya termuat nilai- nilai karakter yang mengakomodasi konsep multikultural. Hal ini tentu menguatkan ruh yang dititipkan pada kurikulum 2013 sebagai sebuah harapan pendidikan yang mencerdakan. Contoh Model Pembelajaran Pendidikan Karakter Terpadu Berbasis Konsep Multikultural Di SD kelas 2 Melalui Tema “Aku dan Temanku” Pendidikan Jasmani Bahasa Indonesia
Menonton Cerita “Pendekar Cilik” (Banten) Sopan santun/Ucapan salam (Multikultural) Diskusi/percakapan pendek tentang “Persahabatan” Ungkapan Kata Persahabatan Warna Warni Roda Persahabatan Buku Persahabatan Membaca dan menulis surat buat sahabat
Permainan “Naji Nabeh”dari Banten Permainan “Si Buta” dari Minangkabau Permainan Tapak Raja (Betawi)
Matematika
Mendata Asal Usul (Multikultural Membuat Daftar Absen se kelas Membuat Grafik Penjumlahan dan pengurangan Tabel berat badan dan tinggi sekelas Soal Cerita
Pengetahuan Sosial
Panggil Aku Dewi (Pendidikan Inklusif) Bercerita tentang “mereka yang berbeda” (differences) Kunjungan ke Panti Cacat Roda Perasaan Belajar Respek kepada diri sendiri dan teman Kartu Kata Respek Belajar Bertanggungjawab Membuat poster terntang Tata tertib di kelas (Milik Pribadi Vs Milik Umum)
Sains
Kertakes
Topeng Perasaan Kolase Sahabat dari kain perca Lagu “ Amelia” Menggunting “Persahabatan” Membuat “Buku Tersenyum”
Hewan dan Tumbuhan di sekitar Banten Kosa Kata Hewan,Tumbuha n, dan alam (Multikultural) Rahasia Daerahku “Suku Baduy”
11
Nilai-nilai Karakter : Cinta Tuhan dan antar sesama, Kepedulian, Respek, Toleransi, Kedamaian, Baik, Rendah hati, Hormat, Santun, Kasih sayang, Dermawan, Tanggung jawab, Kerjasama, Percaya diri, Pantang Menyerah, Ulet/tekun, Kemandirian, Disiplin, Keadilan.
Pemetaan di atas diserahkan kepada guru untuk melakukan kreativitas dalam pembelajaran
sesuai
kondisi.
Guru dapat mengemas
dalam
bentuk permainan,
kolaborasi, kompetisi sehat, menonton video, kerja tim, berbuat/ptraktik, diskusi kecil, bermain peran, simulasi,
dan sebagainya sesuai kemungkinan materi tersebut
tersampaikan dengan baik. Tentu saja
pembelajaran
yang
guru tetap harus mengakomodasi dengan baik
menyenangkan,
menguatkan dalam merespons
mengasyikkan,
mencerdaskan,
dan
kebutuhan beragam siswa yang menjadikan
keseimbangan antara aspek kognitif dan aspek sosial emosi hendaknya menjadi sebuah budaya yang mengakomodasi konsep multikultural. Desain pembelajaran dengan model pembelajaran pendidikan karakter terpadu berbasis konsep multikultural seperti di atas tentu dapat membangun banyak nilai yang jika dikawal secara terus menerus dan akan dapat
mengakar kuat sebagai suatu
karakter. Oleh karena itu, hal ini harus ditumbuhkan secara menyeluruh tanpa henti sebagai sebuah kewajiban moral sebagai pendidik sekaligus kewajiban profesional sebagai guru.
Tentu saja guru harus mengiternalisasi nilai-nilai tersebut terlebih dahulu dalam dirinya sebagai bagian anutan dalam kehidupan yang hakikih sebelum melakukan penerapan kepada siwa di kelas. Merupakan hal wajib adalah memperlihatkan contoh secara baik berkaitan dengan kebhinekaan dalam ucapan, tindakan, dan perbuatan. Selain itu, patut pula bagi guru, mensinergikan
konsep multikultural
dengan para orang tua dan masyarakat serta menjadikannya visi-misi dan tujuan sekolah sehingga dapat membangun lingkungan sekolah yang multikulturalisme dan peka terhadap persoalan multikulturalisme. Guru harus memiliki responsibilitas yang kuat terhadap seluruh aspek yang berkaitan dengan multikultural. Model pembelajaran pendidikan karakter terpadu berbasis konsep multikultural ini merupakan salah satu desain teknologi instruksional yang membutuhkan metodologi yang tepat sebagai moda untuk sebuah kepentingan penerapan yang holistik
dengan serangkaian proses yang mesti dijalani dengan terstruktur,
12
terencana, dan terkontrol.
Model pembelajaran pendidikan karakter terpadu
berbasis konsep multikultural ini membutuhkan riset, pelatihan secara terus menerus dan komprehensif,
serta melakukan pengarusutamaan
multikultural dalam dunia
pendidikan bahkan dalam segala aspek kehidupan. Selain itu, dibutuhkan berbagai kegiatan lainnya
focus group discussion, seminar, kajian lintas budaya, sampai
pada rancangan model pembelajaran dalam pelatihan guru,
bahkan
dikkawal
sampai ke dalam kelas untuk melakukan ujicoba dan penerapan terbatas sehingga model pembelajaran multikultural terpadu berbasis karakter dapata ditemukana formulasinya yang tepat dalam kondisi kekinian pendidikan di SD. Fakta empiris mengenai penerapan konsep multikultural dalam pembelajaran masih sangat sedikit dilakukan. Hasil penjelajahan pustaka dan penelusuran dunia maya oleh penulis, menunjukkan bahwa konsep multikultural masih sangat sedikit diterapkan di Indonesia. Konsep multikultural masih terbatas pada sedikit sekolah swasta yang memiliki kepedualian terhadap pentingnya menumbuhkan nilaia-nlai persatuan dan kebinekaan sebagai suatu sebuah kewajiban sekali penciri dari sekolah tersebut. Pemerintah belum menjadikan konsep multikultural sebagai salah satu bagian terintegrasi secara khusus dalam program pengembangan kurikulum. Faizah (2003) mengemukakan bahwa penerapan konsep multikultural dalam penmelajaran, menunjukkan bahwa guru baru sebatas mengidentifikasi masingmasing siswa berkaitan latar asal-usul orang tua siswa yang berasal dari etnis Namun data siswa yang datang dari latar belakang budaya dan sosial yang beragam itu belum dapat memainkan peran sesuai fungsinya. Guru hanya mengenali keberagaman siswanya sebagai himpunan data, belum digali dan diaplikasikan sebagai materi ajar yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran multikultural. Fakta di atas menunjukkan bahwa
pembelajaran konsep multikultural, dapat
dinyatakan masih sangat sedikit dilaksanakan. Demikian halnya, pelaksanaannya belum dikembangkan dengan baik dengan sentuhan teknologi pembelajaran yang modern dengan teori belajar yang tepat.
13
C. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut. a. Kondisi kebangsaan Indonesia dewasa ini yang mulai ditandai dengan bibitbibit diintegrasi membutuhkan pendidikan karakter yang kuat sedini mungkin dengan model pembelajaran terpadu berbasis konsep multikultural. b. Model pembelajaran yang dapat menjawab tantangan multikultural adalah model pembelajaran yang dapat menghimpun beragam aspek budaya yang dimiliki siswanya dalam perspektif nilai-nilai karakter, diintegrasikan ke dalam mata pelajaran yang ada (integrated learning content), sejalan dengan paradigma dan isu-isu kebijakan mutakhir di bidang pendidikan. c. Model pembelajaran pendidikan karakter terpadu berbasis konsep multikultural dalam kerangka kebijakan pemerintah belum dilakukan sehingga gaungnya pun masih sangat sagat sedikit, terbatas pada sekolah-sekolah yang telah mengarahkan kepedulian kepada
pentingnya konsep multikultural diterapkan
sedini mungkin. d. Penerapan konsep multikultural belum digali dan diaplikasikan sebagai materi ajar
yang
potensial
untuk
dimanfaatkan sebagai
bahan pembelajaran
multikultural. e. Kerangka multikultural belum dilaksanakan dalam pendidikan di Indonesia. Konsep
keragaman
ini
merupakan
peluang
dilaksanakannya
prinsip
berdiversifikasi seperti yang dimuat dalam dokumen pembaharuan kurikulum yang dikembangkan saat ini. 2. Saran a. Hendaknya pemerintah, pengelolah satuan pendidikan, pendidik, masyarakat mengarahkan kepedulian pada pentingnya
konsep multikultural diterapkan
disekolah sebagai sebuah persoalan bangsa untuk menguatkan nilai-nilai kebangsaan dan memelihara kebhinekaan sedini mungkin di sekolah dasar. b. Konsep multikultural hendaknya menjadi anutan bagi pemerintah dalam melakukan kebijakan bidang pendidikan, dan diinternalisasi oleh seluruh insan pendidikan sedini mungkin.
14
c. Ada baiknya kurikulum 2013 dalam penerapannya, menjadikan multikultural
sebagai
bagian
integral
yang
tidak
terpisahkan
konsep dalam
pengembangan kurikulum. d. Pengarusutamaan pedidikan berbasis multikultural harus dilakukan seiring aspek lain dalam pendidikan. e. Proses
pembelajaran
yang
berlangsung
dengan
menyenangkan,
mengasyikkan, mencerdaskan, dan menguatkan dalam merespons kebutuhan beragam siswayang menjadikan keseimbangan antara aspek kognitif dan aspek sosial emosi hendaknya menjadi sebuah budaya yang mengakomodasi konsep multikultural. f. Penting kiranya model pembelajaran pendidikan karakter terpadu berbasis konsep
multikultural terus
dikaji
dan dikembangkan untuk menemukan
formulasi yang idel dan mudah diterapkan bagi satuan pendidikan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, Thomas. 1995. Multiple Intelligences. California: Association for Supervision and Curriculum Development, 1995. Asy’ari, Musa. 2004, dalam Kompas. ”Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa,” Jakarta : 3 September 2004. Bohlin, Karen E., et al. 2001. Building Character in Schools. San Francisco: Jossey Bass. Boulding, Elise.1990. Building a Global Civic Culture. USA: Syracuse Univ Press. Emile, Durkheim. 1993. Moral education. London: Collier MacMillan Publisher. Faizah, Dewi, Utama. 2003. Belajar Mengajar Menyenangkan. Solo: Tiga Serangkai, Fogarty, Robin. 1991. Publishing, Inc
How To Integrate The Curricula. Illinois : IRI/Skylight
Goleman, Daniel. 1995. Emotional Intelligence. USA : Bantam Book. Haviland. A. William. 1999. Cultural Anthropology, Florida: Harcout Brace College, Lawrence E.Huntington and Samuel P. Huntington (ED). 2000. Social Capital, in Culture Matters, How Values Shape Human Progress. USA: Basic Books, Lawton, Denis. 2001.Values, Cultures and Education: An Overview, London: Kogan Lickona, Thomas. 1992. Educating Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. USA: Bantam Books. Mathews, Barbara., et.al. 1986 Learning Through An Integrated Curriculum. Victoria : Ministry of Education Semiawan, Conny. 1997. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta: Grasindo. --------. 2004. ”The Challenge of a Multicultural Education in a Pluralistic Society (The Indonesian Case),” Makalah: Jakarta Universitas Indonesia Sprinthall, Norman and A., Sprinthall 1994.. Educational Psychology. New York: McGraw-Hill http://penjagakubur96.blogspot.co,id. diakses tanggal 7 November 2016, jam 16.47 http://www.midtesol.org. diakses tanggal 7 November 2016, jam 17.17 id.wikihow.com. diakses tanggal 7 November 2016, jam 17.31
ooOOoo
16
17