BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Indonesia merupakan
negara
yang terkenal akan keanekaragaman
budayanya. Hal ini tercermin dari perilaku masyarakat Indonesia yang memiliki beragam varian dalam praktek beragama. Masyarakat Jawa adalah salah satu contoh masyarakat tersebut. Sifat „hetero‟ terlihat dalam perilaku mereka yang dapat mengakomodifikasi sebuah “agama” menjadi praktek-praktek kebudayaan yang penuh dengan simbol magis yang sakral. Jika kita telusuri akar sejarah kebudayaan Islam berdasarkan bukti sejarah, pengaruh agama Islam mulai masuk Indonesia sejak abad ke 7 Masehi, akan tetapi baru benar-benar mengalami proses penyebaran yang meluas sepanjang abad ke 13-15 Masehi. Pengaruh agama Islam memperoleh tempat berpijak yang kokoh pada wilayah-wilayah yang mempunyai pengaruh agama yang bersifat „sinkretis‟, artinya masyarakat tidak sepenuhnya menjalankan ajaran murni agamanya pada saat itu. Hal ini karena sebagian besar masyarakat pada saat itu masih banyak yang menggunakan cara tradisi lama dengan corak kebudyaan Hindu-Budha. Daerah pesisir di Jawa Tengah sebelum agama Islam masuk menunjukkan bahwa di daerah tersebut pengaruh agama Hindu dan Budha telah tertanam cukup kuat, suatu kepercayaan agama yang bersifat sinkretis sudah sejak lama dianut oleh sejumlah besar penduduk di daerah tersebut, kepercayaan animisme-dinamisme
1
bercampur dengan kepercayaan agama Hindu, Budha, digantikan oleh paham Islam yang masuk (Nasikun, 2004:47). Fenomena yang akan dibahas dalam penelitian penulis kali ini ialah mengenai bentuk konstruksi magis kota Demak sebagai “kota wali” yang menjadi salah satu isu menarik untuk dibahas. Konstruksi magis mengenai kota wali bisa menjadi satu isu penting jika dikaitkan dalam upaya mendeskripsikan persoalan simbol-simbol yang menjadi sebuah stereotype dalam satu lingkup kebudayaan tersendiri. Oleh karena itu, sering kali terlihat sebuah fenomena kontestasi identitas pada individu maupun masyarakat yang dewasa ini lebih menekankan kepada ekspresi bentuk dari karakter-karakter yang melekat pada masyarakat Demak. Perwujudan kondisi fisik serta pola perilaku yang dimiliki oleh masyarakat tentunya menjadi indikator akan proses kontestasi yang akan membentuk konstruksi simbol tersebut. Hal ini terlihat pada kota Demak sebagai daerah yang mempunyai julukan “kota wali”. Hal ini tentu menjadi satu persoalan yang menarik untuk dilihat lebih dalam karena melibatkan latar belakang sejarah geografis, sosial dan budayanya. Sebagai sebuah proses dinamika yang berlangsung hingga saat ini, bentuk stereotype yang melekat pada suatu kebudayaan masyarakat suatu wilayah terbentuk karena adanya konstruksi sosial dari simbol-simbol yang diproduksi dan dimaknai secara terus-menerus. Kabupaten Demak merupakan salah satu daerah yang terletak di kawasan pantai Utara Jawa (pantura), dan merupakan salah satu wilayah yang memiliki latar belakang sejarah kuat awal berdirinya kejayaan kerajaan Islam di Pulau Jawa
2
hingga meluas ke wilayah Nusantara. Proses masuknya Islam di Demak dimulai ketika Raden Patah yang merupakan Raja pertama dari Kesultanan Demak telah diwisuda menjadi Adipati Anom Bintoro pada tahun 1477 M/1400 S dan ikut membantu ayahnya yang tidak lain adalah Raja Majapahit Prabu Brawijaya V untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Prabu Girindrawardhana yang sebelumnya melakukan pemberontakan dan mengambil alih kekuasaan di Majapahit. Pada tahun 1481 M Raden Fattah mengumpulkan kekuatan pasukan gabungan di bawah pimpinan Senopati perang yaitu Sunan Kudus dibantu Sunan Mejagung, Sunan Giri, dan Sunan Gunung Jati untuk menyerang Majapahit dengan siasat perang “Supit Urang” dan berhasil melumpuhkan kekuatan pasukan
Raja
Girindrawardhana
yang
ditandai
dengan
candra
sengkala“Genimatisiniramjanmi”. Genimati sendiri dimaknai sebagai api yang mati, bahwa pemberontak seperti Prabu Girindrawardhana yang merebut tahta Prabu Brawijaya V dapat dikalahkan. Siniram yaitu pasukan Demak yang banyak sekali jumlahnya dan janmi sendiri artinya sukar dibendung. Seperti yang tersirat dalam sejarah awal mula berdirinya kerajaan Demak, bahwa saluran Islamisasi di Nusantara secara literal terjadi melalui perkawinan yang di jembatani melalui arus perdagangan oleh para ulama pada saat itu. Pada fase awal penyebaran agama Islam di Nusantara, para mubaligh yang datang dari Arab maupun Gujarat pasti melalui setiap proses Islamisasi yang berlangsung yang tujuannya adalah memberikan dakwah kepada para penduduk pribumi dengan mengutamakan harmonisasi dan integrasi, serta menghilangkan unsur pemaksaan dalam syiar Islam yang dilakukan. Dari cara dakwah yang dilakukan
3
oleh para mubaligh yang ramah tersebut, akhirnya para penduduk pribumi dengan sangat terbuka menerima ajaran agama Islam yang dibawa oleh para mubaligh tersebut. Agama Islam sudah masuk ke Nusantara khususnya masyarakat Jawa dimulai sejak jaman kerajaan Majapahit pada saat mangkatnya Raja Hayam Wuruk ketika pusat pemerintahan Majapahit berada di daerah Trowulan dan di beberapa wilayah kadipaten. Islam mulai bersentuhan dengan para penguasa Majapahit ketika para bangsawan Majapahit telah banyak yang menikahi putri-putri bangsawan dari Campa yang mayoritas sudah memeluk agama Islam, dimana pada saat itu anakanak dari perkawinan yang terjadi pada akhirnya banyak yang memilih beragama Islam dan membawa pengaruh yang cukup kuat untuk perkembangan Islam pada masa akhir pemerintahan Majapahit. Pada masa dimana kerajaan Majapahit mengalami suksesi (perebutan kekuasaan antar pewaris tahta) yang berujung perang paregrek1, akhirnya disini muncullah peran dari Wali Songo2. Para Wali Songo ini merupakan mubaligh Jawa yang mayoritas berasal dari daerah Timur Tengah, namun ada juga yang berasal dari darah campuran Jawa yang membentuk ikatan religius dalam menyebarkan agama Islam dan membangun kekuatan Islam di Jawa. Para Wali Songo ini ternyata ada yang
1
Perang paregrek adalah perang yang terjadi antara Majapahit Istana Barat melawan kubu dari Istana Timur yang menandai kemunduran Majapahit. Paregrek artinya perang yang setahap demi setahap dalam tempo lambat. 2 Wali Songo yang berarti „Wali Sembilan‟ merupakan dewan wali yang beranggotakan sembilan orang, dan pada saat memasuki periode yang keempat namanya melejit dengan anggotanya yang terkenal yaitu antara lain : Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel (Raden Rachmat), Sunan Bonang (Machmud Ibrahim), Sunan Giri (Raden Paku), Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah), Sunan Kudus (Dja‟far Siddiq), Sunan Muria (Raden Prawoto), Sunan Drajat (Sjarifuddin) dan Sunan Kalijaga (Raden Sjahid).
4
merupakan keturunan pejabat Majapahit yang diberi kekuasaan untuk mengontrol wilayah kadipaten di pantai utara Jawa (pantura). Pada fase awal membangun kekuatan Islam di pantai utara Jawa, para wali ini memulai dari wilayah Kadipaten Demak dan kemudian di susul di Kudus. Wilayah Kadipaten Demak digunakan oleh para Wali Songo untuk membangun masjid sebagai basis penyebaran agama Islam. Masjid yang dibangun ini di kemudian hari berubah menjadi simbol kekuatan Islam yang nantinya menjadi basis dari pendirian Kesultanan Demak hingga kerajaan-kerajaan besar seterusnya di tanah Jawa. Masjid Agung Demak merupakan masjid tertua di Pulau Jawa dan berlokasi di pusat Kota Demak tepatnya di Kabupaten Demak yang berjarak kurang lebih 26 km ke arah timur kota Semarang Provinsi Jawa Tengah. Masjid ciptaan Wali Songo yang saat ini sudah berumur lebih dari lima abad masih tetap dipertahankan kelestariannya sebagai warisan budaya bangsa Indonesia dan menjadi salah satu benda cagar budaya bangsa Indonesia yang ditegaskan dengan UU No. 5/1992. Kehadiran Masjid Agung Demak sebagai bangunan cagar budaya saat ini jika dilihat tentu memiliki aspek secara historis maupun antropologis dalam proses akulturasi budaya pada masanya. Masjid Agung Demak merupakan salah satu bangunan Islam yang terbilang mempunyai peran penting bagi perkembangan kaum muslim di wilayah Asia Tenggara. Masjid religius ini mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai tempat peribadatan dan ziarah. Keberadaannya yang eksis hingga saat ini masih bisa dirasakan khususnya oleh masyarakat muslim di Indonesia, namun warga negara
5
asing yang datang pun ikut takjub karena wujudnya yang misterius, karismatik dan berwibawa. Melihat kota Demak dengan simbol yang dimilikinya, tentu memberikan pengertian kepada kita bahwa simbol-simbol tersebut mempunyai nilai yang kompleks dalam dinamika perkembangan kota Demak hingga Demak dapat menampilkan keistimewaannya tersendiri sebagai „kota wali‟ di pesisir Utara pulau Jawa. Untuk menjelaskan kota Demak sebagai sebuah kota, maka kita akan mengacu pada sebuah fenomena dimana kota Demak dianggap sebagai kota religius (Religious of City). Dengan fenomena ini, penulis bisa memperlihatkan bagaimana proses terjadinya konstruksi simbol dari dikoding masyarakat mengenai realitas terhadap proses terjadinya konstruksi simbol di Demak, sehingga kota Demak mendapat julukan sebagai „kota wali‟.
B.
Rumusan Masalah Dari latar belakang diatas, penelitian ini berupaya untuk mengungkapkan
lebih jauh tentang simbol utama yang dimiliki kota Demak yakni, Masjid Agung Demak yang mencakup sejarah dan mitos dalam perkembangan Masjid Agung Demak. Untuk Masjid Agung Demak sendiri, penulis akan memberikan batasan terhadap apa yang akan dilihat dan dijelaskan dalam penelitian ini. Untuk melihat Masjid Agung Demak sebagai salah satu simbol sakral yang dimiliki oleh kota Demak, maka penulis mencoba memberikan batasan untuk melihat konstruksi yang terbntuk dari ornamen-ornamen hasil kebudayaan yang ada. Untuk melihat hal tersebut, penulis berusaha membatasi tulisannya ke dalam bentuk persoalan
6
yang menyangkut bagaimana sejarah terbentuknya Masjid Agung Demak sampai pada konteks mengenai proses dikoding dan akulturasi budaya yang terjadi. Unsur estetika dan simbolik pada bangunan Islam baik di mancanegara maupun di Indonesia merupakan pencerminan dari nafas kebudayaan di suatu daerah. Besar atau kecilnya peranan budaya lokal, berbobot atau tidaknya karya seni rupa pra Isam, itulah yang mewarnai bentuk kesenirupaan Islam termasuk perwujudan arsitekturnya. Pada fase pertama Islam melebarkan sayapnya, agama ini bertemu dengan berbagai wilayah yang dunia kesenirupaannya telah mencapai taraf yang cukup tinggi. Unsur seni lokal yang sudah berakar sejak lama di suatu daerah, jika dapat mendukung kebutuhan agama baru itu, akan terlihat peranannya. Agama Islam menyebarkan pengaruh agama bukan pada wilayah yang peradabannya terbilang masih sangat terbelakang dalam bidang seni rupa, melainkan ketempat yang masyarakatnya sudah berpengalaman baik dalam pengenalan teknis maupun estetis. Dibandingkan dengan tanah Arab, Siria, Turki, India, Indonesia yang telah mempunyai tradisi kesenirupaan termasuk arsitektur yang telah berkar dengan baik (Abay D. Subarna, 1985;1). Ada dua permasalahan yang akan menjadi fokus dalam penulisan karya skripsi ini. Pertama, bagaimana melihat Demak sebagai kota wali dengan bentuk konstruksi simbol magis yang diaktualisasikan ke dalam ekspresi mitologi pada Masjid Agung Demak? Kedua, bagaimana memposisikan Masjid Agung Demak sebagai ikon kota wali terhadap konteks perkembangan masyarakatnya? Selain dua pertanyaan utama ini, penulis masih memecah kembali ke beberapa pertanyaan pendukung seperti;
7
1. Bagaimana interpretasi simbolis masyarakat terhadap Masjid Agung Demak ? 2. Bagaimana dikoding masyarakat Demak pada Masjid Agung Demak serta tradisi yang muncul? C.
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji bagaimana simbol utama yang
terkonstruksi mengenai setting Demak sebagai “kota wali” dapat diperoleh suatu bentuk peta kognitif secara kultural dalam ruang lingkup penelitian yang dilakukan. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kondisi sosial budaya serta menganalisisnya dari dimensi dan dinamika kultural yang terjadi dalam masyarakat Demak. Dengan melihat Demak sebagai sebuah “kota wali” tentu tidak terlepas dari simbol yang dimilikinya yaitu Masjid Agung Demak sebagai patron dari kota Demak. Untuk dapat mendeskripsikan bagaimana proses kontruksi yang terjadi pada Masjid Agung Demak dari segi pemaknaan simbolsimbolnya (dikoding), maka penulis akan mendeskripsikannya ke dalam sebuah pemahaman mengenai esensi dari simbol-simbol kota Demak yang dimaknai secara kognitif. Dalam tujuan penelitian yang dilakukan, diharapkan studi ini akan memberikan manfaat untuk pemikiran ulang bagi studi antropologi sendiri dan bidang keilmuan sosial lainnya menggunakan
aspek-aspek
secara
dalam mengkaji masyarakat dengan antropologis.
Bagi
pihak-pihak
yang
memerlukan untuk tujuan meningkatkan semangat apresiasi terhadap eksistensi
8
segi dimensi kepariwisataan, penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai refrensi keilmiahan.
D.
Tinjauan Pustaka Fenomena semakin berkembangnya orientasi pola pikir masyarakat saat ini
memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap perspektif dan perilaku masyarakat Indonesia mengenai pemaknaan terhadap simbol yang terkonstruksi sesuai dengan kebutuhan masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Kondisi tersebut memberikan setting khusus yang dapat dilihat dari kota Demak yang terkenal dengan sebutan „kota wali‟. Bentuk konstruksi simbol-simbol magis yang berkembang di masyarakat Demak pada akhirnya merujuk pada kondisi masyarakat yang sinkretis. Dalam melakukan penelitian ini, penulis melakukan studi kepustakaan untuk mengetahui apakah penelitian yang dilakukan penulis ini sudah pernah diteliti oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Dalam buku Victor Turner yang berjudul The Forest of Symbols and The Ritual Process, ia membicarakan fungsi simbol dalam mengatur hehidupan sosial, ia sungguh-sungguh menyadari bahwa ada dua segi yang harus dipertimbangkan: penciptaan peranan-peranan dan aturan-aturan yang memungkinkan eksistensi sosial sehari-hari, munculnya kelompok-kelompok komunal yang mempunyai kemungkinan-kemungkinan serta mempunyai keyakinan-keyakinan dan hasrathasrat bersama untuk menata dirinya dengan cara-cara yang berbeda dari caracara masyarakat luas. Ada interaksi dialektis antara masyarakat keseluruhan dan kelompok-kelompok khusus di dalammya. Victor Turner membedakan antara simbol dan tanda seperti berikut:
9
“Dalam simbol-simbol ada semacam kemiripan (entah bersifat metafora entah bersifat metonimia) antara hal yang ditandai dan maknanya, sedangkan tanda-tanda tidak mempunyai kemiripan seperti itu”. Tanda-tanda hampir selalu ditata dalam sistem-sistem “tertutup”, sedangkan simbol-simbol yang dominan khususnya untuk dirinya sendiri pasti selalu bersifat “terbuka” yaitu secara semantis. Makna simbol tidaklah sama sekali tetap. Maknamakna baru dapat saja ditambahkan oleh kesepakatan kolekif pada wahanawahana simbolis yang lama. Lagi pula individu-individu dapat menambahkan makna pribadi pada makna umum dari sebuah simbol. Simbol-simbol yang dominan memduduki tempat yang penting dalam sistem sosial manapun, sebab makna simbol-simbol itu pada umumnya tidak berubah dari zaman ke zaman dan dapat dikatakan merupakan kristalisasi pola aliran tata cara yang dipimpinnya. Simbol-simbol yang lain membentuk satuan perilaku ritual yang lebih kecil bukan sekedar embel-embel, tetapi sebagai simbolsimbol yang mempengaruhi sistem-sistem sosial dan maknanya harus diturunkan dari konteks dimana simbol-simbol itu muncul. Pada dasarnya berbagai bentuk pemaknaan yang terjadi pada masyarakat mencerminkan adanya upaya pencapaian suatu tujuan, dalam konteks ini masyarakat selalu mengikuti kemajuan jaman dengan melihat berbagai macam perspektif yang dirasa relevan pada proses pembentukan suatu simbol dalam masyarakat. Melihat studi yang dilakukan oleh Geertz, ketika Geertz melihat agama sebagai sebuah penanda dari kondisi masyarakat pemeluknya yang digambarkan melalui pola makna-makna (pattern of meaning) atau ide-ide yang termuat dalam simbol-simbol yang terkonstruksi menjadi pengetahuan dalam
10
masyarakat, yang kemudian diekspresikan melalui kehidupan mereka melalui simbol-simbol tersebut. Seperti definisi yang diberikan oleh Geertz mengenai agama, bahwa “agama” hadir sebagai sebuah system budaya yang berawal dari kalimat tunggal dan menjadi sebuah system simbol yang bertujuan membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang, karena dapat merumuskan tatanan konsepsi kehidupan yang umum dan faktual”. Pada akhirnya konsepsi tersebut akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik dan menjadi karakteristik bagi kebudayaan masyarakat. Istilah lain yang diperkenalkan oleh Weiss mengenai Cultural Representation juga dapat dilihat pada tataran patuhnya umat beragama terhadap berbagai simbol yang mereka yakini. Demak sebagai wilayah yang menjadi cikal bakal munculnya peradaban Islam di Pulau Jawa, tentunya membawa gagasan mengenai bentuk perubahan sosial sekaligus konstruksi baru yang tercipta melalui telaah sejarah yang dibangun dari waktu ke waktu yang telah mengubah tatanan masyarakat terhadap sistem simbol yang baru akibat adanya interaksi melalui hubungan superiorinferioritas dalam masyarakat. Seperti yang terjadi ketika kekuasaan Majapahit di Jawa yang mulai tergantikan
dengan
Islam
yang
datang
dengan
menawarkan
kegiatan
perdagangannya di daerah pesisir Pulau Jawa yaitu Demak. Merujuk pada Widji Laksono dalam bukunya yang berjudul “Mengislamkan Tanah Jawa” (1995) membahas mengenai sosok Sunan Giri sebagai seorang gembong dalam bidang
11
politik di Kerajaan Demak Bintoro. Beliau berani untuk menjadikan agama sebagai dasar politik, peraturan dan pedoman dengan tata cara keraton. Melihat skripsi yang ditulis oleh Ahmad Zaenal Kharis (2002) yang membahas mengenai “Dimensi Estetis Bangunan Masjid Agung Demak”. Skripsi yang ditulis Ahmad Zaenal Kharis itu menjelaskan mengenai bentuk bangunan Masjid Agung Demak yang dilihat dari dimensi estetikia bangunan masjid secara filosofis. Penlitian tersebut dapat memberikan gambaran bagi penulis untuk mengembangkan lebih dalam untuk penelitian yang dilakukan mengenai kompleksitas simbol bangunan Masjid Agung Demak. E.
Landasan Teori Kebudayaan dalam konsepsi antropologi evolusionis mengandung tiga hal
utama, kebudayaan sebagai sistem (cultural system) yang berupa gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai, norma, pandangan yang berbentuk abstrak yang dimiliki oleh pemangku ide (ideas). Sedangkan untuk pelaku yang melakukan berbagai aktifitas (activities) yang wujudnya konkret dan dapat diamati yang disebut system social dan wujudnya berupa perilaku. Lalu yang ketiga adalah berwujud benda artefak, baik dari hasil karya manusia maupun hasil tingkah lakunya yang berupa benda, yang disebut material culture atau hasil karya dari perilaku manusia3. Sebagai sebuah sistem, kebudayaan mempunyai isi atau disebut sebagai isi kebudayaan yang disebut sebagai cultural universals sebagaimana digagas oleh C. Kluckholn. Isi kebudayaan, menurutnya terdiri dari 7 unsur yakni 1) sistem peralatan dan perlengkapan hidup, 2) sistem mata pencaharian hidup, 3) sistem 3
Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa Abad XVIII-Medio Abad XX, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000), hlm. 40-41.
12
kemasyarakatan, 4) bahasa, 5) kesenian, 6) sistem pengetahuan, dan 7) sistem religi4 Kebudayaan dalam perspektif antropologi simbolik memiliki dua hal utama, yaitu sebagai pola (model for) dan pola dari (model of) tindakan. Sebagai pola dari tindakan, kebudayaan berisi seperangkat sistem nilai yang menjadi pedoman bagi individu atau masyarakat di dalam kebudayaan. Sebagai pola dari tindakan, kebudayaan berisi seperangkat sistem kognitif yang memungkinkan manusia melakukan interpretasi terhadap sistem nilai tersebut. Untuk menghubungkan antara sistem kognitif dengan sistem nilai, dibutuhkan sistem simbol yang terkait dengan sistem makna. Dengan sistem simbollah manusia dapat memahami pertautan antara sistem nilai dengan sistem kognitif yang membentuk tindakan di dalam kebudayaan masyarakat (Nur Syam, 2007:12). Melihat dua simbol penting yang dimiliki oleh kota Demak, yaitu Masjid Agung Demak dan makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, penulis akan memberikan pandangannya berdasarkan teori yang pernah digunakan dalam melihat karakteristik masjid tradisional di Pulau Jawa. Masjid-masjid tradisional di Jawa umumnya mempunyai denah empat persegi, serambi, pawestren, bedug, atap tumpang, kolam wudhu yang menghadap ke Timur, makam, benteng dan tidak bermenara. Contohnya masjid-masjid Jami yang biasanya terletak di sebelah Barat alun-alun (Mundzirin Yusuf Elba, 1983; 16). Mengacu pada konteks tersebut maka sesuai dengan pendapatnya Sutjipto Wirjosuparto, yang menyatakan bahwa model masjid lebih mengacu kepada
4
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (jakarta: Dian Rakyat, 1985), hlm. 7.
13
bangunan tradisional Jawa yaitu pendopo yang berasal dari bahasa sansekerta yang berarti suatu bagian dari kuil Hindu di India berbentuk persegi dan dibangun langsung di atas tanah, sedangkan atap masjid mengacu kepada bentuk rumah joglo, dengan alasan estetika yaitu untuk mengimbangi ukuran ruangan yang besar (Anom, 1998; 16). Dalam memahami masyarakat Jawa yang telah mengembangkan sebuah budaya literer dan religius, dan diperintah oleh penguasa yang berpikiran sangat maju sebelum Islam muncul sebagai pola kekuasaan baru untuk pertama kalinya dalam masyarakat Jawa sekitar abad ke-13-14. Ketika kita membahas suatu tema mengenai sejarah masuknya Islam di Jawa, maka peran yang dimainkan adalah mengenai kekuasaan dari golongan elit (kerajaan). Sejarah Islam di Jawa merupakan perubahan religius yang sifatnya dari bawah ke atas. Proses Islamisasi meupakan proses yang diwarnai perbedaan dan kepelikan dalam mengakomodasi dirinya sebagai suatu budaya hybrid, di mana menjadi orang Jawa dan Muslim sekaligus tidak dipandang sebagai hal yang problematis. Pada saat terjadinya Islamisasi di Pulau Jawa, ada dua hal yang tampaknya terjadi pada waktu yang sama. Kaum Muslim asing yang datang untuk tujuan berdagang dan menetap di suatu tempat dan akhirnya menjadi orang Jawa, lalu masyarakat Jawa sendiri yang akhirnya memilih untuk memeluk Islam dan menjadi „Muslim‟. Kondisi ini terjadi ketika kisah tentang wali sanga sebagai kelompok yang pertama kali membawa Islam ke Jawa. Pada akhirnya sosok para wali serta ajaran mereka hingga saat ini telah menjadi simbol dari proses Islamisasi yang berlangsung pada masa lampau.
14
Mengacu pada teori Geertz yang melihat agama sebagai system kebudayaan, maka saat Islam masuk sekitar abad 13 melalui hubungan dagang dengan dimulainya era Kerajaan Islam di Pulau Jawa yaitu Kesultanan Demak Bintoro terlihat akulturasi terhadap budaya Hindu-Budha dan Islam terjadi. Hubungan yang terjadi ini bersifat permisif dengan mengembangkan cirinya yang fleksibel, adaptif, menyerap, pragmatis dan gradualistik. Agama sebagai system kebudayaan dilihat Geertz mempunyai dua unsur utama yaitu simbol dan makna. „Simbol‟ merupakan aspek kognitif yang berisi pengetahuan-pengetahuan yang diwujudkan dalam bentuk pengakuan dari masyarakat (world view). Sedangkan „makna‟ merupakan aspek evaluatif yang berisi nilai-nilai seperti etos, moral, etik, dan estetika dan diwujudkan melalui bentuk ritual. Korelasi yang terbentuk antara simbol dan makna ini kemudian dilihat Geertz sebagai satu kesatuan yang membentuk bagian dari system kebudayaan yang dinamakan „agama‟. Terjadinya konstruksi berupa simbol-simbol yang dihadirkan oleh kota wali menjadikan fokus kajian dalam penulisan ini lebih melihat Demak sebagai representative dari simbol-simbol budaya yang secara antropologis menyangkut karakteristik pembeda secara sosial sebagai suatu strategi sekelompok masyarakat untuk mencari makna dalam kehidupan bersama (Berger dan Luckmann, 1979; Govers dan Vermeulen, 1997). Identitas dari sebuah masyarakat lokal dalam pembentukan dan perubahannya kemudian menjadi realitas historis dan antropologis karena tekanan hidup manusia global memiliki dimensi yang semakin kompleks secara spatial dan temporal (Ritzer dan Goodman, 2010).
15
Realitas historis identitas terbentuk dalam perspektif temporal yang dimulai dari munculnya kesadaran bersama tentang asal usul dan cita-cita suatu kelompok masyarakat dengan batas-batas fisik, sosial, dan simbolik tertentu (Anderson, 2001; Arnold, 2004). Hall menyebutkan bahwa identitas terdiri atas identitas diri dan identitas sosial yang merupakan konstruksi individual dan terikat pada struktur sosial (Hall, 1990). Melihat kota Demak sebagai „kota wali‟ sama seperti melihat keutuhan sebuah tradisi yang dimiliki oleh Demak dengan simbol-simbol magisnya dan menjadi jalan bagi masyarakatnya untuk dapat merumuskan dan menanggapi persoalan-persoalan dasar dari keberadaannya. Terbentuknya sebuah tradisi bagi masyarakat diyakini mampu menciptakan kesepakatan yang ingin dicapai masyarakat mengenai soal hidup dan mati. Sebuah tradisi yang dihadirkan tentunya harus bersifat luwes dan cair sehingga mampu secara terus menerus berkembang seiring dengan konstruksi masyarakat yang membentukya.
F.
Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah field research (penelitian lapangan). Dalam
metode utama penelitian kali ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif, yakni data disajikan dalam bentuk verbal bukan dalam bentuk angka. Selain menggunakan data primer, penulis juga menggunakan data sekunder sebagai pendukung dalam penelitian. Metode utama yang digunakan dalam penelitian adalah observasi partisipasi dan etnografi, dimana peneliti menggunakan pendekatan secara sosiologis antropologis. Dengan pendekatan ini suatu fenomena sosial dapat dianalisa dengan faktor-faktor pendorong yang mendasari terjadinya fenomena yang ingin dilihat penulis.
16
Lokasi yang dipilih dalam penelitian tugas akhir penulis kali ini berada di lokasi yang menjadi titik sentral dari simbol lokal wisdom yang dimiliki oleh Kabupaten Demak. Lokasi tersebut diantaranya adalah Masjid Agung Demak yang berada di Kecamatan Demak, Kabupaten Demak. Awal pemilihan lokasi tersebut berangkat dari ketertarikan penulis untuk melihat Demak sebagai kota kecil di tengah pulau Jawa bagian Utara yang mempunyai pesona magisnya sebagai “kota wali”. Seperti yang sudah banyak dikenal luas oleh masyarakat Muslim di Indonesia bahwa kota Demak memliki keistimewaan sebagai kota yang mempunyai obyek wisata religinya. Untuk pemilihan informan dalam penelitian tugas akhir ini, penulis membagi menjadi tiga informan utama yaitu takmir Masjid Agung Demak yang berasal dari wilayah asli Demak, lalu takmir yang berasal dari luar wilayah Demak dan yang ketiga merupakan masyarakat yang berasal dari luar (pengunjung).
Sebagaimana yang dikatakan oleh Spradley bahwa untuk
mendapatkan data yang baik, pemilihan informan yang baik juga akan membantu dalam mengetahui budaya mereka dengan baik tanpa harus memikirkannya (Spradley, 2007: 69). Ada sekitar 12 orang yang terdaftar sebagai takmir Masjid Agung Demak yang masih aktif sebagai pengurus Masjid Agung Demak. Tidak semua takmir Masjid Agung Demak dipilih menjadi informan utama dalam penelitian penulis kali ini. Hal ini timbul dari beberapa pertimbangan penulis untuk dapat mengetahui informasi secara lebih mendalam mengenai orang-orang yang bisa dijadikan narasumber dalam proses pengumpulan data. Takmir masjid yang
17
dipilih menjadi informan utama penulis merupakan orang yang sudah lama terlibat langsung dalam segala kegiatan kepengurusan masjid dan tentunya sudah mengenal lebih mengenai kondisi dan dinamika yang terjadi di Masjid Agung Demak. Ada dua pengurus takmir Masjid Agung Demak yang dijadikan narasumber utama untuk studi kasus penelitian penulis di Masjid Agung Demak. Alasan penulis memilih dua orang pengurus takmir ini ialah masing-masing dari mereka sudah dianggap mewakili untuk mendapatkan informasi secara mendetail dari makna dibalik tindakan dari pengalaman mereka yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian penulis. Ada bentuk struktur keorganisasian dari kepengurusan takmir Masjid Agung Demak yang terbagi ke dalam empat kelompok kepengurusan diantaranya; bagian Imaroh untuk mengurusi segala kegiatan peribadatan (ibadah), Idaroh untuk bagian keamanan dan kesejarahan, Rirayah untuk bagian pelestarian dan pembangunan infrastuktur bangunan masjid, mencakup perawatan untuk benda-benda cagar budaya yang masih disimpan di dalam Masjid Agung Demak. Untuk bagian yang terakhir adalah kepengurusan pemuda dan kewanitaan. Melihat tiga informan utama penulis, masing-masing dari mereka mempunyai bagian tersendiri dalam struktur kepengurusan, maka hal tersebut akan memberikan variasi informasi yang bisa dikumpulkan oleh penulis, sehingga data yang didapat oleh penulis tidak hanya terpaku kepada satu opini saja. Hal ini memberikan pandangan untuk penulis untuk dapat lebih memahami data yang ingin penulis kumpulkan dari permasalahan penelitian.
18
Untuk memperoleh data yang diinginkan, penulis menggunakan metode wawancara mendalam (in dept interview) dimana pertanyaan yang diajukan tidak terikat dengan struktur pertanyaan. Wawancara dilakukan dengan teknik random yakni memilih secara acak pada populasi yang akan digali informasinya. Selain itu, penulis juga menggunakan metode observasi partisipasi dengan terlibat langsung dalam lingkungan yang diteliti. Setelah itu, data yang didapat dari hasil observasi partisapasi tadi diolah ke dalam tulisan dengan bentuk cerita atau deskripsi mengenai fenomena yang ditemukan di lapangan (etnografi). Dalam melakukan observasi awal, peneliti melakukan perkenalan dengan mendatangi salah satu pengurus takmir Masjid Agung Demak yaitu Mbah Kus untuk meminta ijin kepada mereka perihal penelitian yang akan dilakukan. Lalu peneliti mengamati aktifitas yang terjadi di sekitar kawasan komplek area Masjid Agung Demak untuk pengamatan awal dan perkenalan lingkungan. Untuk observasi awal, peneliti banyak mendokumentasikan hasil pengamatan dengan menggunakan kamera digital sebagai alat mengumpulkan data. Setelah itu peniliti melakukan
wawancara
terhadap
informan
di
awal
pertemuan
dengan
menggunakan alat recorder untuk membantu memudahkan dalam proses wawancara dengan informan yang dilakukan. Penelitian yang dilakukan ini tidak saja berfokus kepada jawaban berdasarkan hasil jawaban dari wawancara yang dilakukan, namun aspek lainnya seperti hasil pengamatan yang dilakukan juga dipertimbangkan dalam proses input data pada tulisan. Data dari hasil wawancara dan observasi partispasi yang dilakukan akan menjadi data primer dalam penelitian ini.
19
Metode dokumentasi atau data sekunder juga digunakan dalam penelitian yang dilakukan penulis seperti hasil catatan transkrip, buku-buku, surat kabar, informasi dari internet, majalah, jurnal ilmiah, laporan-laporan penelitian yang relevan, dan foto-foto yang diambil ketika penulis melakukan penelitian di lapangan. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan deskriptif analisis, yaitu dengan mendeskripsikan berbagai cerita yang dikumpulkan dari hasil wawancara mendalam sesuai dengan tema penelitian yaitu konstruksi simbol kota Demak sebagai “kota wali”.
G.
Sistematika Penulisan Untuk dapat memudahkan pembaca dalam mempelajari skripsi ini, maka
penulis akan menjelaskan mengenai sistematika dalam penelitian skripsi ini. Penelitian dalam skripsi ini terdiri dari lima bab, yang dibagi lagi kedalam subsub bab yang ada. Bab I merupakan pendahuluan dimana pada bab ini dijelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, dan metode penelitian yang digunakan. Bab II berisi mengenai gambaran umum mengenai Kabupaten Demak sebagai kota wali di pesisir Utara Jawa yang melingkupi letak geografis, keadaan social-budaya, keadaan ekonomi penduduk, dan sejarah kota Demak. Bab III merupakan pembahasan mengenai Masjid Agung Demak dengan kompleksitas simbol yang telah terkonstruksi. Bab IV merupakan pengembangan dari Bab III. Pada bab ini penulis menjelaskan mengenai konstruksi magis Demak yang dilihat dari proses munculnya tradisi Grebeg Besar yang masih berhubungan dengan Masjid Agung Demak. Pada bab ini penulis memberikan analisis
20
deskriptifnya mengenai bentuk konstruksi dari bentuk cerita dan realita yang terlihat. Bab V merupakan bab penutup yang berisi mengenai kesimpulan dan saran-saran.
21