DESENTRALISASI PENGELOLAAN PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR BERBASIS POTENSI DAN KEARIFAN LOKAL Arif ABSTRACT: Programs of Enableness of the coastal society area during the time less showing the maximal result caused by some factors one of them is the management program still in central so that oftentimes the existing program disagree with local wisdom and potency in society. Role of local government in management of the enableness program of the coastal society area during the time is not comprehensive starts from planning until evaluation but only at implementation and evaluation. This Condition means that the decentralization used in case of fishery sector still uses the decent ration concept and non concept of delegation and devolution though in real condition reality of fishery sector obliges the use of the conception of the wide authority delegation and devolution in management of the enableness program. Logical consequence from the use of the delegation conception and devolution above is by optimizing local potency and wisdom as base of enableness of the coastal society area so that the enableness will walk by sustainable if convergent at strength of institution and local institute so that emerge the self empowering of coastal society area in improving the its life prosperity level. There are some strategies in impecunious society enableness in coastal area one of them is model of enableness of the coasta society area bases on the gender and model of the enableness of the coastal society area bases on the cultural institution or social institute. If this second model can be cooperated then the independence of the coastal society area will be created.
Kata Kunci: Disentralisasi, Pemberdayaan, Masyarakat Pesisir
Krisis ekonomi yang menimpa bangsa Indonesia mempengaruhi kehidupan hampir seluruh lapisan masyarakat. Hal itu terlihat secara
kongkrit pada melambungnya harga-harga kebutuhan pokok yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Demikian halnya dengan masyarakat nelayan. Fakta yang ada menunjukkan bahwa dimasa sebelum krisispun kemiskinan dan kurangnya penghasilan bukan merupakan hal yang baru lagi bagi masyarakat yang tinggal di pesisir pantai ini. Tapi dibandingkan dengan, unsur-unsur perangkap kemiskinan yang lain kerentanan merupakan salah satu mata rantai yang paling banyak memiliki jalinan dan berkaitan erat secara timbal balik dengan kemiskinan Ada dua foktor yang menjadi penyebab munculnya kerentanan yang semakin parah diantara kelompok nelayan yaitu: 1) Faktor irama musim, ketika musim ikan tentu tidak menjadi masalah tetapi pada musim sepi muncul problem. 2) Faktor harga dan daya tahan ikan hasil tangkapan nelayan. Selain itu lemahnya harga jual ikan tersebut disebabkan karena terjebaknya nelayan dengan beroperasinya para tengkulak ikan. Nelayan sendiri seringkali tidak bisa berbuat banyak apabila tengkulak ikan kemudian mempermainkan harga ikan dengan membeli ikan nelayan dengan harga yang serendah-rendahnya. Tanpa memberi kesempatan bagi para nelayan untuk memberikan penawaran dikarenakan mereka telah terjebak hutang sebelumya. Fenomena yang terjadi dimasa pra krisis ekonomi itu diperparah dengan melandanya efek krisis ekonomi dalam kehidupan masyarakat nelayan. Hasil melaut yang semula cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi kehidupan mereka semakin dirasa kurang karena mahalanya bahan makanan ditambah naiknya harga solar yang menjadi bahan bakar mesin Hasil penelitian Arief (2006: 32) Sekitar 68% dari 100 responden dalam penelitian di paciran mengalami penurunan pendapatan. Jika data itu kita kaji lebih dalam maka mereka yang mengalami penurunan pendapatan tersebut hampir dari semua jenis perahu dan dari strata yang
ada dalam nelayan. Sebagian besar dari nelayan sampan payangan dan jaringan ternyata mengalami penurunan pendapatan. Setelah di kaji ternyata penurunan tersebut disebabkan ikan basil tangkapan mereka yang berubah jenis. Jika pada saat sebelum kenaikan harga BBM nelayan sampan ini bisa melaut sampai ke tengah samudra Indonesia maka karena mahalnya BBM mereka hanya bisa melaut di lokasi yang tidak terlalu jauh dari daerah Paciran. Sebagai konsekuensinya maka hasil tangkapan yang semula sangat beragam (tongkol, tengiri, putihan dan sebagainya) maka setelah mereka tidak bisa jauh melaut mereka hanya menangkap ikan lemuru yang lokasinya tidak jauh dari tempat Paciran kulon padahal harga ikan lemuru jauh lebih murah di banding jenis ikan tongkol dan tengiri. Mereka yang mengalami penurunan pendapatan adalah dari semua strata mulai juragan darat sampai pandega Kerentanan pendapatan nelayan juga dapat dilihat dari hasil penelitian Arief (2007: 22) kemunculan isu pemakain borak dan formalin ternyata
memunculkan
beberapa
pengaruh
yang
dirasakan
oleh
masyarakat nelayan, pertama terjadinya penurunan pendapatan karena harga ikan di pasaran turun tetapi selain itu ternyata kejadian tersebut memunculkan beberapa langkah dan tindakan kreatif sebagai bentuk defend mechanism pada masyarakat nelayan. Sementara itu berbagai upaya pemerintah dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan telah dilakukan diantaranya melalui: 1) Program Pemberdayaan ekonomi Masyarakat Pesisir; 2) Program Motorisasi. Tetapi
hasil yang di peroleh adalah kurangnya
dampak program tersebut secara signifikan kepada masyarakat nelayan. jika hal itu dikaji lebih jauh maka selama ini program pemberdayaan tersebut sangat sentralistik dan kurang melibatkan pemerintah daerah padahal hal tersebut sangat membutuhkan keterlibatan daerah. Berdasarkan latar belakang yang telah di jelaskan diatas maka beberapa asumsi yang muncul sebagai dasar pemikiran dan arah tulisan ini, yaitu; Sumberdaya alam dari sektor kelautan sebetulnya sangat
melimpah hanya saja pengelolaan sumberdaya perikanan selama ini belum maksimal karena belum adanya aturan yang jelas mengenai pembagian
kewenangan
dalam
pengelolaan
hasil
kelautan.
Program-program pemberdayaan masyarakat pesisir selama ini masih bersifat top down sehingga seringkali tidak bisa menyentuh pada permasalahan mendasar yang dihadapi oleh masyarakat miskin di wilayah pesisir. Berdasarkan hal tersebut maka permasalah yang dikaji dalam tulisan ini adalah: 1. Bagaimana Gambaran Program Pemberdayaan Masyarakat Miskin Pesisir di Indonesia? 2. Bentuk Disentralisasi Pengelolaan Program Pemberdayaan Seperti Apa Yang Tepat Di Era Otonomi Daerah 3. Bagaimana bentuk Program Pemberdayaan masyarakat pesisir yang berbasis potensi dan kearifan lokal
PEMBAHASAN Program Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pesisir Akar kemiskinan masyarakat pesisir memang sangat kompleks mulai keterbatasan akses permodalan, kultur kewirausahaan yang tidak kondusif dan ketergantungan pada musim dan cuaca. Keterbatasan akses permodalan masyarakat nelayan ditandai dengan realisasi modal melalui investasi pemerintah dan swasta selama orde baru mulai periode Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama yang hanya menyediakan modal dan perhatian yang terbatas pada sektor nelayan. Konsekuensinya, terutama nelayan, kebutuhan permodalan dipenuhi oleh para tengkulak,, yang
kenyataannya
tidak
banyak
menolong
untuk
meningkatkan
kesejahteraan mereka, malah cendurung menjeratnya dalam lilitan utang yang tidak pernah bisa dilunasi serta memunculkan ketergantungan nelayan kepada para tengkulak sehingga nilai jual hasil tangkapan nelayan sangat tergantung harga yang ditetapkan oleh para tengkulak
tersebut. Dengan kata lain, karena keterikatan hutang maka nelayan tidak memiliki bergaining dalam menentukan ikan hasil tangkapan mereka. Kultur kewirausahaan nelayan juga masih sangat sederhana yang ditandai dengan model manajemen keluarga dengan orientasi sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa memikirkan simpanan (saving) untuk menghadapi musim paceklik ikan hal lain yang semakin mengkondisikan kemiskinan di masyarakat pesisir adalah terbatasnya akses mereka pada sumber permodalan dan lemahnya infrastruktur kelembagaan sosial ekonomi. Kondisi seperti ini membuat masyarakat pesisir semakin tertinggal. Berdasarkan kondisi yang seperti itu pemerintah, melalui DKP mengadakan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) sejak 2001. Tujuannya tak lain untuk meningkatkan taraf hidup para nelayan atau mereka yang hidup dari hasil laut. PEMP sudah memasuki dua tahap pelaksanaan. Tahap pertama, inisiasi pada 2001 sampai 2003. Dalam periode ini difokuskan penggalangan partisipasi dan penyadaran masyarakat. Diharapkan terbentuk rintisan cikal bakal pembentukan
lembaga
yang
dapat
menaungi
kegiatan
ekonomi
masyarakat pesisir. Tahap selanjutnya, institusionalisasi yang berlangsung dari 2004 hingga 2006. Dalam kurun waktu tersebut, program terfokus pada revitalisasi kelembagaan melalui peningkatan status Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP-M3) menjadi berbadan hukum koperasi. Sejak 2001 pemerintah telah menghibahkan Rp 573,121 miliar kepada masyarakat pesisir melalui lembaga keuangan mikro (LKM) bentukan koperasi dan perbankan. Pada akhir 2006, DKP bersama Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah membentuk Gabungan Koperasi Pesisir Nusantara (GKPN). Ini adalah lembaga sekunder pemberdayaan masyarakat pesisir. Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pesisir DKP Sudirman Saad, kepada Repnblika menyatakan, dana yang disiapkan dari 2001 sampai 2007 sebanyak Rp 625,121 miliar. Sejumlah ini tersisa Rp 52 miliar yang akan dialokasikan pada 2007.
Mulanya hibah pemerintah ini diberikan melalui Koperasi LEPP-M3. Selama 2001 sampai 2003 masyarakat pesisir mengajukan proposal kepada lembaga tersebut untuk pengembangan usaha. Setelah disetujui, barulah dana pemerintah dapat dikucurkan. Tapi, memasuki 2004 LEPP-M3 direvitalisasi menjadi lembaga berbadan hukum berupa koperasi. Koperasi inilah yang ditunjuk oleh Dinas Kelautan dan Perikanan di masing-masing kabupaten untuk membina kerja sama dengan bank. Kedua lembaga tersebut membentuk lembaga keuangan mikro (LKM). Lembaga inilah yang menjadi perantara bagi masyarakat pesisir dalam peminjaman modal usaha. Padahal sebelumnya masyarakat tidak mampu mengeluarkan
dana
untuk
menanamkan
modal.
Perbankan
dan
masyarakat semakin mandiri mengeluarkan dana untuk pengembangan usaha. (Republika Maret 2007) Berikut ini pemaparan singkat tentang pelaksanaan PEMP berdasarkan data dari Dit. PEMP Departemen kelautan dan Perikanan tahun 2007 Tabel 1 Daerah Sasaran PEMP per April 2006 Tahun
Jumlah (Kab/Kota)
Keterangan
Kab/Kota Pesisir
289
Masih terdapat 11 Kab/Kota
2001
125
(Tapulani
Selatan,
2002
90
Tengah,
Wonogiri,
2003
126
Sidoarjo,
Kota
2004
160
Kutai
2005
206
Bau-Bau, Bombana, Mappi,
2006
151
Asmat) yang belum pernah
2007
85
mendapatkan dana PEMP dan
Blitar,
Probolinggo,
Kartanegara,
direncanakan direalisasikan
Bangka
Kota
akan pada
tahun
2007. Sumber data: Dit. PEMP Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2007 Berdasarkan data tabel dia atas terlihat bahwa distribusi dana
PEMP telah terdistribusi ke daerah-daerah pesisir di seluruh Indonesia. Hanya saja satu hal yang masih menjadi pertanyaan besar adalah apakah dana PEMP tersebut bisa terserap dan memiliki daya manfaat yang signifikan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin di daerah pesisir?. Pertanyaan besar tersebut harusnya bisa terjawab dengan adanya langkah-langkah monitoring dan evaluasi kinerja PEMP yang disertai dengan base line survey masyarakat pesisir yang akan menerima dana PEMP sehingga hasil PEMP bisa dipertanggungjawabkan secara obyektif dan ilmiah. Tabel 2 Masyarakat Sasaran PEMP per April 2006 No Kondisi masyarakat jumlah pesisir
Realisasi
Keterangan
Sasaran
1
Desa Pesisir
8,090
2
Masyarakat Pesisir
16,420,000 554,135
Data
jiwa
Swamitramina
Nelayan
Pembudidayaan
jiwa
52
4,015,320
Online
jiwa
menunjukkan
2,671,400
sasaran
jiwa
berkaitan langsung
Masyarakat Pesisir 9,733,280
dengan
lainnya
perikanan,
jiwa
67% PEMP
sektor 33%
tidak
terkait
langsung,
seperti
tukang
ojek,
bengkel pengolahan makanan
dan
minuman konsumtif, dan warung makan 3
Presentase
yang 5,254,400
4,700,165
Rata-rata
hidup dibawah garis jiwa
jiwa
kemeskinan
kemiskinanan nasional
tinggal
16% Sumber data : Dit. PEMP Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2007 Data dalam tabel tersebut menunjukkan bahwa dari 5.254.400 jiwa masyarakat miskin yang ada di pesisir masih sekitar 554,235 jiwa atau 10,5% yang bisa merasakan kucuran dana PEMP sedangkan sisanya masih sekitar 4.700.165 jiwa atau 89,5% yang masih belum tersentuh oleh program ini. Data tersebut menunjukkan bahwa kita masih membutuhkan kerja keras dan perhatian yang lebih serius jika negara kita menginginkan masyarakat miskin di kawasan pesisir negeri ini harus di perbaiki kualitas kebidupannya. Problematika yang sangat mendasar yang terus menerus melilit kehidupan nelayan tradisional adalah kemiskinan struktural. Sekian banyak kebijakan pemeintah berbentuk program pengentasan kemiskinan termasuk komunitas nelayan telah digulirkan pemerintah. Namun, hasil yang diharapkan masih belum mampu megeluarkan keadaan mereka dari jurang kemiskinan. Kebijakan-kebijakan pemerintah sejak Orde Baru hingga kini lebih bersifat karitatif (caharity) dari pada memberikan solusi terhadap kemiskinan. Sifat karitatif ini acapkali menempatkan pemerintah sebagai “sinterklas” yang seolah-olah menjadi “Robin Hood” bagi masyarakat miskin. Tebukti bahwa model pendekatan ini banyak mengalami kegagalan di tingkat implementasi. Dari
sisi
substansi,
program
PEMP
sesungguhnya
meniru
program-program Pemberdayan Ekonomi Masyarakat Daerah (PEMD) yang dulu dilakukan oleh Bappenas dan semacamnya semisal PMDKE dan P3DT. Jadi, program ini tidak ada yang sifatnya baru dan hasil yang dicapai dari pemberdayaan masyarakat tidak maksimal. Program-progran tesebut hingga kini tak satu pun yang mampu menunjukkan hasil yang signifikan bagi pengentasan kemiskinan. Kondisi demikian disebabkan
oleh banyak faktor. a. Pendekatan yang dilakukan lebih bersifat struktural dan mengabaikan variabel-variabel kultural yang sedang dan terus berkembang di masyarakat. Akibatnya, program tersebut megalami hambatan pada tataran
implementasi
yang
acapkali
tidak
diungkapkan
oleh
pemerintah. b. Kebocoran dana program di tingkat imple-mentasi yang terus terjadi oleh tindak kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) antara oknum pemerintah yang menjadi rent seeker dan konsultan pelaksana program. Proses ini sudah terjadi sejak program ditenderkan atau pada proses penunjukkan konsultan yang juga dilakukan pemerintah. Situasi ini menjadi lebih parah manakala konsultan yang memenangkan tender atau yang ditunjuk langsung oleh pemerintah adalah konsultan “plat merah”, Konsultan semacam ini adalah konsultan milik para oknum birokrasi yang biasanya menjadi komisarisnya. c. Program-program pemberdayaan tersebut biasanya tidak memiliki jaminan keberlanjutan (sustainability) dan akuntabilitas publik (public accuntability). Ini terjadi karena program-program ini berbentuk “proyek” sehingga setelah proyek selesai para konsultan pelaksana tidak peduli lagi apakah program itu masih berjalan atau tidak. Akibatnya, masyarakat awam sangat sulit menilai keberhasilan program
tersebut.
Pertanyaannya,
benarkah
program-program
pengentasan kemiskinan itu mampu meningkatkan pendapatan masyarakat miskin? Berapa persentasekah masyarakat miskin yang berhasil
dientaskan
oleh
program
itu
dibandingkan
dengan
keseluruhan orang miskin di wilayah atau kawasan yang dijadikan lokasi program? Jika pemerintah tidak mampu menjawab pertanyaan di atas, berarti program itu gagal total. d. Pelaksanaan program pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan tidak mempunyai mekanisme pengawasan dan sanksi yang jelas. Hinga kini, pernahkah ada berita bahwa seorang oknum birokrasi atau
kalangan kosultan yang terbukti melakukan KKN dan diproses secara hukum atau bahkan divonis hukuman penjara? Jawabnya, hampir tidak pernah terjadi. Tiadanya kasus yang diungkapkan merupakan “sesuatu yang wajar” karena konon kabarnya dalam proses pemeriksaan yang dilakukan BPKP terhadap instansi pemerintah nuansa KKN yang sangat kental. Tindakan ini dilakukan agar kegagalan-kegagalan program pemerintah dan modus operandi KKN diinstansi pemeritah tidak terungkap dipermukaan, Dugaan penulis, keempat penyebab itu jugalah yang menyebabkan kegagalan PEMP tidak terungkap. (solihin,2005:122-123) Untuk mengarah kepada kondisi demikian, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. a) Program-program pemberdayaan nelayan miskin harus mampu memunculkan inisiatif dan kepercayaan (trust) masyarakat nelayan. Pada akhirnya mereka merasa bahwa harkat dan martabatnya dihormati. b) Program-program pemberdayaan nelayan miskin tidak boleh hanya bersifat
“proyek”,
tetapi
lebih
merupakan
program
yang
berkelanjutan. Prasyarat yang diperlukan adalah memerlukan alokasi waktu lama, dana relatif besar, dan SDM yang mumpuni. Jika program demikian berbentuk proyek, mustahil dalam waktu enam bulan, nelayan miskin mampu menciptakan usaha ekonomi produktif yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan. c) Tindakan yang harus ditempuh untuk merevitalisasi modal sosial nelayan miskin seperti kelembagaan lokal (sistem bagi basil) dan jaringan (patron-client relation). Dengan cara demikian, hubungan antara pemilik modal dan faktor produksi dengan nelayan atau buruh nelayan lebih mencerminkan keadilan, efisiensi, dan tidak menindas. Inilah sebenarnya yang menurut kami menjadi persoalan yang paling mendasar bila pemerintah benar-benar menciptakan
kesejahteraan nelayan melalui pemberdayaan. Makna hakikat pemberdayan bukanlah cara membagi-bagikan “falus” kepada masyarakat, melainkan upaya sistematis untuk membangkitkan dan mengorganisasikan kembali kapasitas masyarakat nelayan yang selama ini tidak berdaya akibat tekanan-tekanan kemiskinan struktural. Pemerintah tidak perlu lagi membuat kebijakan-kebijakan mercusuar yang bersifat simbolistik dan arahnya tidak jelas seperti Gerbang Mina Bahari (GMB), Revolusi Biru (Blue Revolution), dan segala macamnya yang output-nya membuat kemiskinan menjadi permanen. Buktinya, bukankah kemiskinan petani menjadi semakin permanen akibat adanya revolusi hijau? d) Program-program
pengentasan
kemiskinan
seharusnya
terus
dikembangkan dalam konteks pengembangan kawasan. Fenomena paradoks pembangunan lebih telanjang di kawasan pesisir daripada di daratan. Di kawasan ini tergambar jelas ketimpangan yang terjadi antara program pembangunan dan kemiskinan masyarakat yan berjarak darigaris pantai sampai lima kilometer ke arah daratan. Lalu, pada jarak mulai dari lima kilometer ke arah daratan kita menyaksikan pesatnya kemajuan pembangunan perkotaan dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat mapan. Jika keadaan yang tidak seimbang ini terabaikan, mereka yang bermukim dikawasan terbelakang dan miskin akan menjadi korban proses pembangunan yang bernama “pemberdayaan”.
Disentralisasi Pengelolaan Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Dasar argumentasi teoritis yang digunakan untuk memahami tentang kaidah pengertian otonomi tidak bisa lepas dari konsep desentralisasi.
Karena
daerah
otonom
merupakan
hasil
dari
penyelenggaraan asas desentralisasi, sedangkan urusan yang diserahkan kepada daerah otonom yang menjadi hak atau wewenangnya disebut otonomi daerah atau otonom saja (Pide : 1999 : 39). Untuk itu sebelum
membahas lebih lanjut tentang pengertian otonomi, terlebih dahulu dikupas dan dikaji mengenai desentralisasi. Lebih lanjut menurut pemikiran Francesco (1995 : 2) desentralisasi pada dasarnya menyangkut masalah kekuasaan atau power. Karena dalam desentralisasi sering dianggap sebagai reaksi atas kelemahan-kelemahan yang melekat pada sentralisasi. Berdasarkan beberapa devinisi tersebut maka kewenangan pada
dinas
perikanan
dan
kelautan
sebagai
pengelola
program
pemberdayaan di masyarakat pesisir selama ini masih pada tataran sharing kekuasaan saja. Jika masalah tersebut kita tarik lebih jauh maka pengelola program pemberdayaan di masyarakat pesisir masih pada pemaknaan
disentralisasi
sebagai
dekonsentrasi
(deconcentratiori)
(Rondinelli dalam Zauhar, 1999 : 11), yang pada dasarnya merupakan bentuk desentralisasi yang kurang efektif, yaitu merupakan pergeseran beban kerja dari kantor-kantor pusat departemen kepada staf yang berkantor di luar ibukota negara. Para pejabat staf tersebut tidak diberikan kewenangan
untuk
memutuskan
dibebankan
kepadanya
pengelolaan
program
harus
bagaimana
dilaksanakan.
pemberdayaan
fungsi-fungsi Padahal
masyarakat
yang
seharusnya
pesisir
harus
menggunakan terminologi delegasi (delegation) dan devolusi (devolution). Delegasi berarti mendelegasikan pembuatan keputusan dan kewenangan manajemen untuk menjalankan fiingsi-fungsi publik tertentu dan hanya dikontrol secara tidak langsung oleh departemen pusat. Bahkan kadang-kadang berada diluar ketentuan yang diatur oleh pemerintah karena bersifat lebih komersial dan mengutamakan efisiensi daripada prosedur birokratis dan politis. Jika hal ini dikaitkan dengan pengelolaan program
pemberdayaan
masyarakat
pesisir
maka
seharusnya.
Departemen Perikanan dan Kelautan mendelegasikan pengelolaan program tersebut mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi tetapi pada kenyataannya tahap perencanaan program (misalnya program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir) dilakukan di tingkat pusat dan
hanya
implementasinya
dilakukan
oleh
pemerintah
daerah.
Sementara devolusi (devolution) yang dimaksud disini adalah merupakan wujud konkrit dari desentralisasi politik (political deconcentration). Ciri-ciri pokok dari devolusi ini antara lain : l) Pemerintah daerah diberikan otonomi penuh dan kebebasan tertentu serta kontrol yang relatif kecil dari pemerintah pusat. 2) Pemerintah daerah memiliki kewenangan hukum yang jelas dan berhak untuk menjalankan segala kewenangan dalam menjalankan
fungsi-fungsi
publik
dan
potiknya
(pemerintah).
3)
Pemerintah daerah diberikan corporate status dan kekuasaan yang cukup untuk menggali sumber-sumber yang diperlukan
guna menjalankan
semua
sebagai
fungsi-fungsinya.
4)
Pemerintah
daerah
institusi,
dipersiapkan oleh masyarakat di daerah sebagai organisasi yang menyediakan pelayanan yang memuaskan kebutuhan mereka. 5) Pemerintah daerah mampu berinteraksi secara timbal balik dan saling menguntungkan dengan pemerintah pusat dan pemda-pemda yang lain. Berdasarkan lima kriteria tersebut maka pengelolaan program pemberdayaan
masyarakat
pesisir
belum
berdasarkan
konsep
dekonsentrasi karena kewenangan daerah masih sangat kecil dalam pengelolaan
program
tersebut
bahkan
walaupun
implementasinya
dilakukan oleh pemerintah daerah tapi berdasarkan buku petunjuk pelaksanaan yang di buat oleh pemerintah pusat. Implementasi keinginan untuk
mendesentralisir
pengelolaan
program
pemberdayaan
di
masyarakat pesisir harus ditunjang dengan adanya komitmen dari pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakan dan program-program di sektor perikanan yang bersifat desentralisasi dengan menerapkan manajemen berbasis komunitas dan pemerintahan lokal. Perencanaan dan implementasi dari sistem manajemen ini harus di dukung dengan adanya regulasi baru yang menerapkan prinsip kerjasama dan sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintahan di tingkat lokal sehingga kebijakan yang di buat harus melihat aspirasi politik ekonomi dan sosial budaya dari masyarakat lokal. Pemikiran inilah yang menjadi embrio munculnya penerapan community base managemen dalam pengelolaan
program pemberdayaan nelayan. Dasar filosofi dari penerapan community base managemen dalam pengelolaan program pemberdayaan nelayan adalah menjadikan nelayan sebagai bagian dari tim yang melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan. Mereka tidak lagi menjadi obyek dari kebijakan pengelolaan perikanan yang di buat oleh pemerintah pusat tetapi menjadi bagian yang punya
partisipasi
aktif
dalam
merumuskan
kebijakan-kebijakan
pengelolaan sektor perikanan. Unsur partisipasi ini akan membuat masyarakat lokal merasa ikut memiliki program yang di tetapkan dan akan menjaga keberlanjutan dari program dan kebijakan tersebut.
Potensi dan Kearifan Lokal Sebagai Basis Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Potensi dan kearifan lokal adalah beberapa bagian dari capital yang dimiliki oleh masyarakat. Program pemberdayaan tidak akan berhasil jika tidak berdasar pada nilai-nilai lokal yang telah mengakar di masyarakat. Francis Fukuyama (dalam Jousairi Hasbullah. 2006:8) menyebutkan bahwa pada masyarakat yang secara tradisional telah terbiasa dengan bergotong royong serta bekerjasama dalam kelompok atau organisasi yang besar cenderung akan merasakan kemajuan, dan akan mampu secara efektif dan efisien memberikan kontribusi penting bagi kemajuan negara dan masyarakat. Kearifan lokal adalah merupakan modal sosial yang ada di masyarakat. Modal sosial dalam suatu masyarakat bisa menjadi perekat antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain, hal itu sesuai dengan pendapat Isbandi Rukminto Adi (2007:58), yang berpendapar bahwa: Modal sosial adalah norma dan aturan yang mengikat warga masyarakat yang berada didalamnya, dan mengatur pola perilaku warganya, juga unsur kepercayaan (turst) dan jaringan (networking) antar warga masyarakat ataupun kelompok masyarkat. Norma dan aturan yang ada juga mengatur perilaku individu, baik dalam perilaku kedalam (internal
kelompok)
maupun
perilaku
keluar
(eksternal,
hubungan
dengan
kelompok masyarakat yang lain). Inti dari konsep modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat
dalam
suatu
entitas
kelompok
untuk
bekerjasama
membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai suatu pola interaksi yang imbal balik dan saling menguntungkan dan dibangun atas dasar kepercayaan yang ditopang oleh nilai-nilai sosial yang positif dan mengakar kuat di masyarakat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh semangat proaktif membuat jalinan, adapun unsur unsur yang ada dalam modal sosial menurut Francis Fukuyama (dalam Jousairi Hasbullah, 2006:10) adalah sebagai berikut : l)Adanya partisipasi dalam suatu jaringan. ; 2) Resisprocity; 3)Trust (rasa percaya); 4)Norma Sosial ; 5)Nilai-nilai; 6)Tindakan yang proaktif Dari beberapa teori tentang modal sosial diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa konsep modal sosial memberikan penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas
kehidupan
dan
senantiasa
melakukan
perubahan
dan
penyesuaian secara terus menerus. Dalam upaya proses perubahan dan upaya untuk mencapai tujuan, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak dan bertingkah laku serta berhubungan dengan pihak lain. Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan ruh modal sosial antara lain sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma yang mendukungnya. Unsur lain yang rnemasang peran penting adalah kemauan masyarakat atau kelompok tersebut untuk secara terus menerus
proaktif
baik
dalam
mempertahankan
nilai,
membentuk
jaringan-jaringan kerjasama maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru. Dilihat dari perkembangan pemikiran tentang pemberdayaan
masyarakat miskin, maka diperlukan pendekatan yang tepat sehingga upaya peningkatan kehidupan masyarakat dapat terlaksana sesuai dengan yang diinginkan. Pendekatan partisipatif merupakan alternatif yang bisa dipakai dalam upaya pengelolaan lingkungan ini. Dalam pendekatan
partisipatif,
maka
akan
tampak
akan
diperlukannya
perencanaan partisipatoris dalam melakukan perubahan terencana dilevel komunitas
pada
dasamya
sejalan
dengan
akar
berkembangnya
pengembangan masyarakat. Menurut Adi (2007:23) mengemukakan bahwa : Salah satu inti utama dari diskursus komunitas ataupun metode intervensi pengembangan masyarakat adalah asumsi bahwa "masyarakat bukanlah sekumpulan orang bodoh", yang hanya bisa maju kalau mereka mendapatkan perintah (instruksi) belaka. Suatu komunitas telah mencapai pada taraf dimana dia berada saat ini, sebenarnya telah melalui suatu proses evolusi yang cukup panjang. Hampir setiap komunitas telah mengembangkan dan mempunyai kearifan lokal (Local Wisdom) sejalan dengan upaya mereka mengatasi permasalahan yang ada. Setiap komunitas telah mengembangkan metode adaptasi yang relatif canggih dalam rangka mengelola lingkungannya. Sehingga tidak dapat dikatakan sebagai mahluk bodoh". Dari
pendapat
diatas,
mengindikasikan
bahwa
dalam
komunitas/masyarakat mempunyai potensi yang bisa digali untuk kemudian
bisa
dijadikan
pijakan
awal
sebagai
modal
dalam
pemberdayaan. Hal tesrebut sesuai dengan pendapat Ife (2002, 53) dalam (Isbandi Rukminto Adi, 2007:15) yang mengemukakan bahwa "Pemberdayaan bertujuan untuk memberikan keberdayaan (power) pada mereka yang kurang diuntungkan". Dalam upaya pemberdayaan, maka adanya partisipasi aktif masyarakat sangat diperlukan, karena tidak lain tujuan dari pemberdayaan adalah upaya untuk memunculkan kemandirian dan keberdayaan masyarakat. Sementara itu, lanjut Isbandi Rukminto Adi (2007:25) Partisipasi masyarakat
adalah:
Keikutsertaan
masyarakat
dalam
proses
pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. Keikutsertaan masyarakat dalam berbagai tahap perubahan ini akan membuat masyarakat menjadi lebih berdaya dan akan dapat semakin memiliki katahanan dalam menghadapi perubahan. Sebaliknya, bila masyarakat tidak banyak dilibatkan dalam berbagai perubahan dan hanya bersikap pasif dalam setiap perubahan yang direncanakan oleh pihak lembaga pemerintah, LSM maupun sektor swasta maka masyarakat cenderung akan menjadi lebih tergantung pada agen perubah. Bila hal ini terjadi secara terus menerus, maka ketergantungan masyarakat pada agen perubah akan menjadi semakin mengikat. Proses program pemberdayaan masyarakat miskin di pesisir ada baiknya dilakukan dengan lebih memandang situasi dan kondisi lokal agar pendekatan pengelolaannya dapat disesuaikan dengan kondisi lokal daerah yang akan dikelola. Pandangaa ini tampaknya televan untuk dilaksanakan. Hal itu sesuai dengan pendapat Isbandi Rukminto (2007:42-43)
tentang
konsep
Community
Base
Development,
ia
mengatakan bahwa :Pemberdayaan masyarakat akan berjalan secara optimal jika potensi lokal dan kondisi masyarakat lokal menjadi dasar pemberdayaan, sehingga modal pemberdayaan tidak bisa dalam bentuk terpusat. Dari
pendapat
diatas
mengindikasikan
bahwa
upaya
pemberdayaan masyarakat haras mengoptimalisasikan berbagai potensi lokal
yang
ada.
Dengan
demikian,
strategi
pengelolaan
pada
masing-masing wilayah akan bervariasi sesuai dengan situasi setempat. Yang perlu diperhatikan adalah nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh suatu masyarakat yang merupakan kearifan masyarakat yang dapat dioptimalkan untuk pemberdayaan masyarakat miskin di pesisir Dengan
adanya pengelolaan program pemberdayaan masyarakat miskn pesisir berbasis potensi dankearifan lokal maka harapannya kemudian adalah: l)Mampu
mendorong
pemberdayaan
timbulnya
masyarakat
kebutuhan-kebutuhan
pemerataan
miskin.
masyarakat
dalam
2)Mampu
lokal
yang
program
merefleksikan
spesifik;
3)Mampu
meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada; 4)Mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomis maupun teknis; 5)Responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal;
6)Mampu
menumbuhkan
stabilitas
dan
komitmen,
serta
;
7)Masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola melanjutkan program tersebut. Selain itu asumsi dan prasangka negatif terhadap kemampuan dan perilaku
masyarakat
pesisir
harus dihindari
oleh
para
konsultan
pemberdayaan. Tugas mereka dalam pemberdayaan adalah menciptakan ruang kapabelitas agar masyarakat pesisir memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan
diri
dalam
proses
pembangunan
lokal.
Pada
dasarnya, setiap masyarakat memiliki potensi sumber daya atau modal sosial yang bisa mereka dayagunakan untuk mengembangkan dirinya secara opmtimal (Kusnadi, 2003). Karena itu, tim pemberdaya masyarakat pesisir berkewajiban melakukan transfer ilmu secara dialogis, melatih, dan mengembangkan motivasi-motivasi kemajuan pada masyarakat pesisir. Dengan strategis demikian, masyarakat
didorong
eksperimental dalam rangka
untuk
melakukan
kegiatan
menyempurnakan kemampuan inovatif
yang dimiliki dan menyebarluaskan kemampuan tersebut kepada warga masyarakat
lainnya.
Fungsi-fungsi
pemberdaya
sebagai
mediator,
fasilitator, dan motivator lebih dikedepankan daripada bertindak yang terkesan “menggurui” masyarakat pesisir. Dengan demikian, proses dan aktivitas pemberdayaan
akan
berakar
pada
pengetahuan
dan
pemahaman masyarakat. Dalam perkembangan ke depan, masyarakat diharapkan
memiliki
kemampuan
untuk
memberdayakan
dirinya
(self-empowering) secara berkesinambungan. Strategi pemberdayan masyarakat pesisir dapat ditempuh dengan mengembangkan
dua
model
beserta
variasinya.
Pertama,
model
pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis gender. Kedua, model pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis pranata budaya atau kelembagaan sosial. Kedua model juga bisa disinergiskan. Pilihan terhadap salah satu model tersebut dalam pemberdayaan masyarakat pesisir akan banyak dipengangaruhi oleh tujuan pemberdayaan, unsurunsur yang terlibat dan kondisi-kondisi lingkungan sekitar. Setiap masyarakat, seperti masyarakat pesisir, memiliki pranata budaya atau kelembagaan sosial yang fungsional dalam mengawal kehidupan mereka. Pranata atau kelembagaan sosial budaya tersebut diantaranya adalah pranata penangkapan di perahu, kelompok arisan, kelompok simpan-pinjam, dan kelompok pengajian rutin. Eksistensi pranata atau kelembagaan .sosial yang baik kalau memenuhi
syarat:
jelas keanggotaanya dan kepengurusannya, terikat oleh tujuan bersama dan norma-norma kolektif yang mengatur hak kewajiban anggota, melakukan pertemuan rutin, ada kegiatan bersama, kohesivitas angota solid, dan memiliki kemampuan bekerja sama. Melalui kelembagaan ini terbentuk kelompok-kelompok sosial yang berfungsi sebagai basis dan subyek pemberdayaan masyarakat pesisir. Pemberdayaan masyarakat pesisir yang berbasis kelembagaan akan berfungsi optimal untuk mengorganisasi warga dan pengelolaan kemampuan sumber daya sosial-ekonomi lokal, serta memanfaatkannya Secara efektif dan efisian sehingga mempermudah pencapaian tujuan pemberdayaan. Karena itu, setiap pemberdayaan masyarakat pesisir dituntut untuk mengidentifikasi secara cermat eksistensi pranata atau kelembagaan sosial budaya lokal yang benar-benar berperan dalam kebidupan masyarakat pesisir. Tawaran terbentuknya kelembagan baru hanya bisa dilakukan jika memang tidak ada satu pun pranata atau kelembagaan sosial budaya
yang dimiliki oleh masyarakat pesisir. Jika langkah ini yang ditempuh, upaya untuk "membumikan" eksistensi kelembagaan yang baru tersebut harus dilakukan secara intensif dan berkelanjutan sampai akhirnya masyarakat merasa memiliki kelembagaan itu, serta memandang kehadirannya sangat penting dan bermanfaat langsung bagi kebidupan mereka. Dengan memperhatikan berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan lingkungan
yang
dihadapi
oleh
masyarakat
pesisir,
kebijakan
pemberdayaan yang dilakukan terhadap mereka tetap penting dan relevan untuk mencapai tujuan pembangunan bangsa. Walaupun masih terjadi distorsi dalam proses demokratisasi politik yang berpengaruh terhadap upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan pencapaian kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik, era otonomi daerah memberikan ruang dan peluang yang cukup luas bagi kemudahan mewujudkan tujuan pemberdayaan masyarakat pesisir. Karena itu, masyarakat pesisir harus didorong untuk memiliki kemampuan yang lebih besar dalam memberdayakan dirinya secara berkelanjutan. Dalam hal ini, filosofi dan strategi pemberdayaan yang mendasarinya harus berakar kuat pada pandangan hidup, sistem nilai lokal, adat-istiadat, pranata sosial budaya, atau kebudayaan setempat. Dalam proses dan aktifitas pemberdayaan, negara dan seluruh komponen stakeholders memiliki tanggung jawab kolektif-sinergis untuk mendukung pencapaian tujuan pemberdayaan masyarakat pesisir. Akhirnya, pemberdayaan masyarakat pesisir diharapkan dapat memperkuat kapasitas dan otonomi mereka dalam mengelola potensi sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil secara optimal dan berkelanjutan sebagai jalan untuk menjamin kelangsungan hidup mereka dan generasinya. Dengan demikian, peningkatan kualitas kehidupan masyarakat pesisir dapat dicapai, dinamika sosial ekonomi lokal berkembang, dan potensi sumber daya alam terjamin kelestariannya. Berdasarkan uraian di atas, kebijakan pemberdayakan masyarakat pesisir
sangat diperlukan, khususnya di desa-desa nelayan yang potensi sumber daya perikanannya cukup besar. Aplikasi kebijakan pemberdayaan ini diharapkan
dapat
mendinamisasikan
perekonomian
wilayah
dan
menimbulkan
meningkatkan
kesejahteraan
sosial-budaya
pertumbuhan efek
kegiatan
terhadap
masyarakat
upaya
pesisir.
Di
desa-desa nelayan yang kondisi perairannya sudah dalam keadaan tangkap lebih, strategi pemberdayaan juga harus mempertimbangkan upaya pemulihan sumber daya setempat secara komprehensif dan mengurangi tekanan penduduk terhadap sumber daya melalui program pengalihan pekerjaan dari nelayan ke non-nelayan, baik yang sifatya sementara, maupun permanen. Sarana yang efektif untuk memfasilitasi atau sebagai instrumen pengorganisasian
masyarakat
itu
adalah
dengan
membentuk
kelembagaan sosial ekonomi yang relevan dengan konteks kebutuhan pembangunan lokal, yang bentuknya beragam, seperti forum, paguyuban, atau yang lain. Sebagai salah satu pendekatan dalam pembangunan masyarakat atau komuniti, kelembagaan sosial ekonomi memiliki nilai yang strategis karena beberapa hal, yaitu (1) menjadi wadah penampung harapan dan pengelola aspirasi kepentingan pembangunan warga, (2) menggalang seluruh potensi sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat sehingga kemampuan kolektivitas, sumber daya, dan akses masyarakat meningkat, (3) memperkuat solidaritas dan kohesivitas sosiai sehingga kemampuan gotong-royong masyarakat berkembang, (4) memperbesar kemampuan bargaining position masyarakat dengan pihak-pihak atas desa, dan (5) mengembangkan tanggung jawab kolektif masyarakat atas pembangunan wilayah (Rusnadi, 2005: 96-100). Dalam konteks pembangunan masyarakat di kawasan pesisir terdapat tiga komponen kebijakan strategis yang terintegrasi, yaitu kebijakan pembangunan ekonomi, kebijakan sumber daya alam dan lingkungan, dan kebijakan kelembagaan. Kebijakan ekonomi diarahkan untuk meningkatkan potensi dan produktivitas ekonomi sektor pesisir,
kelautan, dan perikanan Kebijakan ini mencakup peningkatan investasi, nilai tukar harga (TOT), ketenagakerjaan, dan peningkatan ekspor. Kebijakan sumber daya alam dan lingkungan bertujuan membangun ekosistem pesisir dan lautan secara optimal, sehingga memberikan kemaslahatan sosial secara lestari. Kebijakan ini mencakup isu-isu penataan ruang (wilayah), peningkatan produktivitas kompilasi sumber daya,
dan
pengendalian
kerusakan.
Kebijakan
pembangunan
kelembagaan bertujuan membangun mekanisme pengaturan alokasi sumber
daya,
mengorganisasikan
kepentingan
masyarakat
dan
pemerintah, serta memberi kepastian hukum beserta implementasi penegakannya. Isu-isu yang relevan dengan dalam pembangunan kelembagaan antara lain adalah pembentukan komitmen, pembinaan masyarakat pesisir, pengorganisasian pengelolaan wilayah pesisir dan lautan, serta pembangunan sistem hukum dan penegakannya, Berdasarkan uraian di atas, program pemberdayaan masyarakat pesisir dengan jalan memperkuat kelembagaan sosiai ekonomi yang mereka miliki memiliki peluang yang besar untuk memberikan kontribusi yang efektif dan efisien terhadap proses perubahan sosiai ekonomi, dan politik, serta dinamika pembangunan kawasan. Keberhasilan pencapaian ini akan menjadi landasan membangun masyarakat madani dan tata pemerintahan lokal yang semakin baik di kawasan pesisir.
KESIMPULAN DAN SARAN Program-program pemberdayaan masyarakat pesisir selama ini kurang menunjukkan hasil yang maksimal karena disebabkan beberapa faktor diantanya adalah pengelolaan program tersebut masih sentralistik sehingga seringkali program yang ada tidak sesuai dengan potensi dan kearifan lokal dalam masyarakat. Peran pemerintah daerah di dalam pengelolaan program masih di tataran omplementasi dan evaluasi. Hal itupun harus sesuai dengan buku petunjuk teknis yang di buat oleh pusat. Kondisi seperti ini berarti
desentralisasi yang digunakan dalam kasus sektor perikanan masih menggunakan konsep dekonsentrasi dan bukan konsep delegasi dan devolusi padahal dalam kenyataannya kondisi riil sektor peikanan mengharuskan penggunaan konsep delegasi kewenangan yang luas dan devolusi dalam pengelolaan program pemberdayaaan. Community
base
manajemen
di
sektor
perikanan
adalah
merupakan upaya kongkrit untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam desentralisasi pengelolaan program pemberdayaan di masyarakat pesisir dengan melibatkan nelayan secara partisipatoris. Pemerintah pusat haras serius dalam melaksanakan desentralisasi sehingga tidak hanya secara dekonsentrasi saja tetapi juga delegasi dan devolusi. Sektor perikanan sangat terkait dengan kondisi potensi lokal dan kearifan lokal sehingga rumusan pemberdayaan masyarakat pesisir harus mempertimbangkan hal tersebut sebagai wujud otonomi di sektor perikanan. Coomunity base manajemen di sektor peikanan dengan pelibatan secara partisipatoris dalam pengelolaan sektor perikanan dan pengelolaan
program
pemberdayaan
kebutuhan yang tidak bisa di abaikan.
masyarakat
pesisir
adalah
DAFTAR RUJUKAN Abdul Wahab, Solichin, Fadilah Putra, Saiful Arif, 2002, Masa Depan Otonomi Daerah, Kajian Sosial, Ekonomi, dan Politik untuk Menciptakan Sinergi dalam Pembangunan Daerah, Penerbit SIC, Surabaya Adi, Isbandi Rukminto. 2007. Perencanaan Partisipatoris Berbasis Aset Komunitas. Jakarta :FISIP-UI-Press. Arif, 2007. "DEFEND MECANISM" Nelayan Puger dalam Menghadapi Isu Pemakaian Formalin dan Borak pada Ikan Hasil Tangkapan Nelayan. Dalam: Laporan Penelitian Dosen Muda, Jember: Fisip Universitas Jember. Arif, 2006. Dampak Kenaikan Harga BBM Terhadap Pendapatan Nelayan Puger. Jurnal ASPIRASI Volume XVI No 2 ISSN. 0852-604 FisipUniversitas Jember Dit PEMP Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2007 Hasbullah, Jonsairi. 2006. Social Capital, (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). Jakarta: MR-United Press. Kjellberg, Francesco, 1995, 1985 The Changing Values of Local Government, ANNALS, AAPSS Kusnadi. 2003, "Masyarakat dan Kebudayaan Pesisir, Jawa Timur: Menggali Modal Sosial Pemberdayaan", Makalah yang Dibacakan dalam Semiloka Nasional Pendampingan Program PEMP, yang Dilaksanakan oleh Konsorsium Kemitraan Bahari, Regional Centre, Jawa Timur, di ITS, Surabaya, Jumat, 14 November 2003. Pide, Audi Mustari, 1999, Otonomi Daerah dan Kepala daerah memasuki Abad XXI, Gay Media Pratama, Jakarta. Republika Maret 2007 Solihin, Akhmad, dkk. 2005. "Strategi Pembangunan Kelautan dan Perikanan Indonesia (Bunga Rampai)". Bandung: HUMANIORA. Zauhar,
Soesilo,
1999,
Desentralisasi,
Otonomi
Daerah
dan
Pembangunan Nasional, Dalam Desentralisasi Dalam Konteks Pembangunan Nasional dan Daerah (Zauhar, Soesilo dan Abdul
Wahab, Solichin), pp. 1-8, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, malang