Nama: Petrus Kanisius Siga Tage. NIM:1606947591
MASALAH PENDIDIKAN DI TENGAH SITUASI BONUS DEMOGRAFI DAN PENYELESAIANNYA Bonus Demografi Dan Pentingnya Pendidikan Jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan meskipun laju pertumbuhan penduduk terus menurun. Menurunnya laju pertumbuhan penduduk ini sebagai akibat dari menurunnya angka kelahiran dan meningkatnya angka kematian, namun penurunan karena kelahiran lebih cepat daripada penurunan karena kematian. (Nur'Ani, 2008).
Pada tahun 2016, jumlah penduduk Indonesia sebesar 257.912.349 juta jiwa (Kemendagri RI, 2016 dalam Tribunnews, 2016). Menurut hasil proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035, jumlah penduduk Indonesia selama kurun waktu dua puluh lima tahun mendatang terus mengalami peningkatan sebesar 200-300 ribu jiwa setiap tahunnya (BPS, 2013). Pada tahun 2010-2035 jika dirata-ratakan jumlah ketergantungan penduduk akan ada dalam level 48 (BPS, 2013). Hal ini berarti bahwa dalam setiap 100 penduduk usia produktif (15-64 tahun) mereka hanya menanggung sekitar 48 penduduk tidak produktif lainnya.
Keuntungan yang disebabkan oleh menurunnya rasio ketergantungan sebagai proses penurunan fertilitas jangka panjang menurut terminologi ilmu demografi disebut “Bonus Demografi”. Bonus demografi akan melahirkan apa yang disebut the windows of opportunity yaitu saat dimana rasio ketergantungan menunjukkan angka yang paling rendah, yang biasanya berada di bawah 50% (Jati, 2016).
Dengan bonus demografi yang akan diterima Indonesia tahun 2020-2030, maka peluang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai. Namun untuk mewujudkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut, hal
yang perlu diperhatikan yaitu strategi negara dalam menyiapkan angkatan kerja yang berkualitas. Kualitas tersebut berkaitan dengan kualitas pendidikan, kesehatan, dan kecukupan gizi.
Masalah Pendidikan Sejauh ini pendidikan kita masih membutuhkan perhatian jika kita ingin mengisi momentum bonus demografi. Pendidikan perlu untuk diperhatikan karena dapat mempengaruhi persoalan lain seperti kemiskinan dan kesehatan (van Zon, Reijneveld, de Leon, dan Bültmann, 2016). Di Indonesia masalah pendidikan masih menjadi problem serius. Dalam laporan Education at a Glance (2016) dijelaskan bahwa Indonesia sebagai negara nomor 1 dari 32 negara dengan masyarakat berpendidikan terakhir hanya sekolah menengah dengan besaran hingga 60% dan harapan menyelesaikan pendidikan tinggi Indonesia masuk dalam 3 terendah, dengan presentasi hanya 20%.
Dalam laporan Global Kompetisi 2016-2017, Indonesia berada di urutan 41 dari 138 negara (Schwab, 2016) sementara Indeks Pembangunan Manusia kita berada pada urutan 110 dari 188 negara dengan poin 0.684 (UNDP, 2015). Pada tahun 1999 ditemukan dari 1,455.507 guru SD hanya 51% dari mereka memenuhi syarat standar nasional (Ramdhani, Ancok, Swasono, & Suryanto, 2012). Data lain menunjukkan bahwa guru di Indonesia memiliki kualifikasi yang rendah. Dilaporkan bahwa 60% guru, dari total 2,78 juta guru di Indonesia belum mencapai tingkat kualifikasi akademik nasional (Depdiknas, 2008 dalam world bank, 2009). Hasil Uji Kompetensi Guru pada tahun 2012 terhadap 460.000 guru, nilai rata-ratanya adalah 44,5 dari standar yang diharapkan 70 (Baswedan, 2014)
Penyelesaian Masalah Pendidikan Dengan semua skala masalah pendidikan dan dampaknya seperti yang disebutkan lantas apa yang harus dilakukan?. Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terkotak-kotak. Tetapi harus di tempuh dalam suatu tindakan
yang menyeluruh dan dimulai secara mendasar. Penulis menganjurkan dua hal mendasar sebagai langkah penyelesaian masalah
1.Kembali kepada filosofi pendidikan Amarty Sen (1980 dalam Saito, 2003) mengatakan bahwa tolak ukur keberhasilan pendidikan adalah seberapa jauh usaha pendidikan itu dapat memberikan ruang dan fasilitas yang lebih luas bagi pengembangan kepribadian dan kebebasan bermasyarakat. Freire (1970) dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed mengungkapakan pendidikan sejatinya harus membebaskan manusia sehingga dapat menemukan hidup yang bermakna dan berpikir murni, yakni berpikir atas dasar keterlibatan dengan realitas, tidak dilakukan jauh di puncak menara gading. Peters (1973) dalam The Philosophy of Education menggungkapan pendidikan adalah proses untuk mengembangkan ide dan menindaklanjuti ide-ide sesuai dengan kemajuan teknologi, pendidikan harus melakukan jauh lebih banyak daripada sekedar menemukan fakta yang dan terminologi, pendidikan harus menekankan bagaimana cara berpikir kritis, bertanya, dan memecahkan masalah, serta pendidikan harus memberikan kesempatan untuk berpendapat secara berbeda
Dari semua gagasan diatas dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya pendidikan itu harus membebaskan dan membuat individu berdaya guna dalam masyarakat. Yang terjadi selama ini pendidikan tidak menyentuh kesimpulan filosfis ini. Kurikulum pendidikan yang dibuat justru hanya mampu mengikat peserta didik maupun pengajar dalam rambu-rambu yang kaku. Hal ini sejalan dengan penelitian Musyaddad (2013) yang menyatakan bahwa kurikulum sering dianggap dokumen sakti yang harus menjadi pegangan. Apa yang tertuang di dalamnya menjadi satu-satunya pegangan. Banyak guru yang masih takut berkreasi dan berinovasi sehingga tidak ada kebebasan didalamnya. Dengan demikian kurikulum pendidikan kita dengan prespektif filosofi pendidikan.
mestinya dirancang
Jika kita lihat melalui permasalahan kurikulum, hal yang dapat kita benahi adalah pelaksanaan dan tuntutan yang diberikan kepada pelaksana kurikulum. Contohnya, jika guru di sekolah diberikan keleluasaan dalam menjalankan kurikulum (asal masih berada pada koridornya) maka janganlah guru dituntut untuk menghabiskan materi sehingga proses eksplorasi pengetahuan tidak terjadi didalam kelas
2. Perbaikan tata kelola Selama beberapa tahun terakhir, Indonesia telah meluncurkan paket reformasi pendidikan menyeluruh yang dirancang untuk memperluas akses dan meningkatkan kualitas pendidikan baik itu pendidikan tinggi maupun pendidikan menengah (World Bank, 2013). Namun yang tejadi masalah tetap saja sama dari waktu ke waktu. Barubaru ini,
jika membaca Renstra pendidikan tinggi
dan menengah 2015-2019
(Kemendikbud, 2015 dan Kemenriting, 2015) rata-rata kesimpulan sasaran program masih berfokus pada peningkatan kualitas dan kuantitas pengajaran di dalam kelas, padahal saat ini kita masih memiliki 75% sekolah yang tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan (Baswedan, 2014). Sekolah semacam ini tentu tidak mampu mendukung usaha meningkatkan kualitas dan kuantitas pengajaran di dalam kelas sehingga Renstra ini terkesan dipaksakan
Dengan luasnya skala masalah dan fakta dilapangan tata kelola penyelesaian masalah pendidikan harus dilakukan secara komperhensif dan utuh. Penulis menganjurkan beberapa hal sebagai berikut: 1) Perbaikan tata kelola dimulai dari sistim yang transparan dan akuntabel Upaya dan tindakan pengaturan yang dibuat oleh pemerintah untuk mendorong pengelolaan sektor pendidikan secara transparan, dapat dipertanggungjawabkan dan partisipatif sehingga bebas korupsi 2) Perbaikan dimulai dari sistem pengendalian manajemen Mengukur taraf sampai di mana sistem yang ada akan menyertakan keputusankeputusan yang dibuat pada proses perencanaan bahkan hingga tingkat daerah,
sekolah, dan kampus ke dalam rencana kerja pendidikan tahunan tidak hanya lima tahun sekali 3) Penguatan Sistem informasi manajemen Mengukur ketersediaan informasi yang berkualitas pada sistem pendidikan hingga ke daerah yang dapat digunakan untuk mendukung proses perencanaan dan pemantauan pendidikan. 4) Efisiensi penggunaan sumber daya Menentukan apakah sistem yang ada dapat merencanakan, menganggarkan dan memantau penggunaan sumber daya secara efektif. 5) Standarisasi layanan pendidikan secara merata Merupakan serangkaian indikator yang memberikan gambaran
mengenai
tingkatan dan kualitas layanan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi secara luas
Penutup Indonesia punya memontum untuk bertumbuh menjadi besar seperti cita-cita pendiri negri ini dimasa lalu. Bonus demografi adalah kekuatan yang bisa dipakai untuk mendukung pertumbuhan tersebut. Namun bonus itu tidak hanya sekedar dilihat berdasarkan kuantitas tetapi juga harus dilihat dari sisi kualitas. Menciptakan kualitas harus dimulai dari pendidikan yang bebas persoalan. Sudah semestinya kita berbenah bersama, menyelesaikan persoalan pendidikan kita agar Indonesia bisa menjadi besar dan kuat
DAFTAR PUSTAKA Baswedan, A. (2014, December). Gawat darurat pendidikan di Indonesia. In The Emergency of Indonesian Education]. A paper delivered at the meeting between Ministry and Head of Education Offices Indonesia-wide in Jakarta, on December (Vol. 1). Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri Kemdikbud. (2015). RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 20152019
diunduh
dari:
http://repositori.perpustakaan.kemdikbud.go.id/28/1/RENSTRA%20Kemdikbu d%202015_2019.pdf Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos. New York: Continuum. Indicators, O. E. C. D. (2016). Education at a glance 2016. Editions OECD. Jati, W. R. (2016). Bonus Demografi Sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi: Jendela Peluang Atau Jendela Bencana Di Indonesia?. Jurnal Populasi, 23(1). KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA. (2015). RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI TAHUN 2015-2019. Diunduh dari : http://sindikker.ristekdikti.go.id/dok/permendikbud/Permenristekdikti132015RenstraKemenristekdikti2015-19Lengkap.pdf Musyaddad, K. (2013). Problematika Pendidikan di Indonesia. EDU_BIO| Jurnal Pendidikan Biologi, 4. Nur'Ani, S. R. D. (2008). Menyiapkan tenaga kerja menyongsong jendela kesempatan
(Doctoral
dissertation,
Universitas
Indonesia.
Program
Pascasarjana). Peters, R. S. (1973). The Philosophy of Education. Ramdhani, N., Ancok, D., Swasono, Y., & Suryanto, P. (2012). Teacher Quality Improvement Program: Empowering Teachers to Increasing a Quality of Indonesian's Education. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 69, 18361841.
Saito, M. (2003). Amartya Sen's capability approach to education: A critical exploration. Journal of philosophy of education, 37(1), 17-33. Schwab, K. (2016). The global competitiveness report 2010-2011. Geneva: World Economic Forum. Statistik, B. P., & Bappenas, U. N. F. P. A. (2013). Proyeksi penduduk indonesia 2010-2035. Jakarta: Badan Pusat Statistik, 1-472. Tribunnews. (2016). Data Terkini, Jumlah Penduduk Indonesia 257,9 Juta, yang Wajib
KTP
182,5
Juta.
Diakses
dari
:
http://jateng.tribunnews.com/2016/09/01/data-terkini-jumlah-pendudukindonesia-2579-juta-yang-wajib-ktp-1825-juta United Nations. Development Programme. (1999). The Human Development Report. Human Development Report. van Zon, S. K. R., Reijneveld, S. A., de Leon, C. M., & Bültmann, U. (2016). Low education and poor health: their combination makes non-employment much more likely. The European Journal of Public Health, 26(suppl 1), ckw169-057. World Bank (2013). Tata Kelola Pemerintahan Daerah dan Kinerja Pendidikan: Survei Kualitas Tata Kelola Pendidikan pada 50 Pemerintah
Daerah di
Indonesia World Bank. (2009). Teacher Certification in Indonesia: A Strategy for Teacher Quality
Improvement.
Diunduh
http://datatopics.worldbank.org/hnp/files/edstats/IDNprwp09c.pdf
dari