PEMBAHASAN UMUM Bencana yang menimpa umat manusia bisa berupa bencana alam maupun bencana akibat perilaku manusia. Bancana gempa dan tsunami salah satu dari bencana alam. Bencana akibat perilaku manusia seperti pengundulan hutan yang mengakibatkan banjir dan tanah longsor, selain itu bencana yang diakibatkan oleh konflik yang berkepanjangan. Respon terhadap kedua jenis bencana tersebut kemungkinan besar tidaklah sama. Di Nanggroe Aceh Darussalam telah terjadi dua bencana sekaligus baik bencana alam maupun bencana yang diakibatkan konflik bersenjata, kedua bencana tersebut telah banyak menelan korban jiwa. Dalam penelitian ini lebih difokuskan pada korban bencana alam yang diakibatkan oleh gempa dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004. Kota Banda Aceh merupakan salah satu daerah yang tertimpa bencana alam, tetapi tidak terkena bencana yang diakibatkan oleh konflik bersenjata. Bencana gempa dan tsunami menyisakan berbagai persoalan baikditingkat pusat maupun daerah. Pada level keluarga persoalan yang dihadapi antara lain masalah pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan, pakaian (sandang) dan masakah pekerjaan/pendapatan. Pada awal terjadinya bencana masalah pangan dialami hampir semua keluarga korban bahkan hampir seluruh masyarakat Banda Aceh. Hal ini dikarenakan persediaan makanan di lokasi bencana terbatas dan juga transfortasi yang terputus sehingga pasokan pangan dari daerah lain terhenti. Beberapa hari setelah terjadi bencana bantuan pangan mulai berdatangan, sehingga beberapa bulan pasca bencana banyak keluarga yang masih menerima bantuan berupa beras, lauk pauk, minyak goreng, mie instan, gula pasir dan bantuan lainnya yang bisa dikonsumsi. Selain itu keluarga juga menerima uang tunai Rp 90.000/orang/bulan. Kebutuhan pangan keluarga saat itu sangat tergantung kepada bantuan orang lain. Saat penelitian ini berlangsung yaitu 1.5 tahun pasca tsunami bantuan pangan mulai berkurang dan hanya diprioritaskan kepada anak yatim dan orangorang yang benar-benar tidak mampu, sehingga masalah pangan mulai dirasakan kembali oleh sebagian keluarga. Hasil temuan di lapangan masih ada 5.1 persen keluarga yang mengalami masalah dengan pangan. Angka ini memang relatif kecil jika dibandingkan dengan bencana yang luar biasa. Ada beberapa alasan mengapa
masalah pangan tidak begitu dirasakan oleh sebagian keluarga antara lain karena banyaknya bantuan yang diterima. Selain itu kondisi kehidupan keluarga saat sebelum bencana tidak termasuk dalam katagori penduduk miskin, terbukti sebagian besar keluarga masih memiliki aset yang masih bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Masalah kesehatan setelah 1.5 tahun pasca tsunami hanya dialami oleh sebagian kecil (7.2%) keluarga. Hal ini disebabkan karena masih adanya poskoposko kesehatan yang menyediakan pengobatan gratis bagi keluarga korban yang mengalami masalah kesehatan. Untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat luas di Kota Banda Aceh pasca tsunami, beberapa rumah sakit besar, puskesmas, puskesmas pembantu dan klinik kesehatan telah mengalami perbaikan baik dari segi fisiknya, penambahan tenaga medis dan perbaikan anministrasi. Kalau diperhatikan secara tipologi, masalah kesehatan lebih tinggi dialami oleh keluarga duda jika dibandingkan dengan keluarga utuh dan janda, ini disebabkan karena pada keluarga duda masalah pengasuhan dan perawatan kesehatan lainnya merupakan hal baru yang harus ditangani sendiri, dimana sebelumnya masalah ini ditangani oleh istri. Masalah lain yang dialami oleh sebagian besar keluarga di Aceh adalah masalah pendidikan yang mengalami penderitaan ganda. Pertama, sistem pendidikan lumpuh karena konflik politik dan kekerasan bersenjata mengorbankan warga
sipil
dan
anak-anak.
Kedua,
menghancurkan sarana pendidikan dan
krisis
karena
bencana
alam
yang
tenaga pendidik. Membangun kembali
prasarana dan sarana pendidikan pasca-bencana disatu sisi memberi semacam keuntungan berupa kesempatan membangun kembali sistem pendidikan yang menghindari kelemahan dan kesalahan di masa lalu, menciptakan sistem pendidikan yang menghargai harkat kemanuasiaan, menciptakan solidaritas dan harmoni yang memecah akar-akar konflik politik. Demikian juga merupakan sebuah kesempatan untuk merekonseptualisasi kurikulum dan metode dalam kerangka jangka panjang berdasar kebutuhan nyata siswa, termasuk memperkuat sistem formasi pengajar dengan memberi berbagai macam pelatihan yang dibutuhkan. Secara tipologi masalah pendidikan lebih banyak dialami oleh keluarga janda karena ketiadaan orang yang mencari nafkah untuk keperluan pendidikan. Namun demikian satu hal yang cukup membanggakan bagi masyarakat Aceh saat ini yaitu perhatian PEMDA dengan memberikan pendidikan gratis mulai dari TK
sampai SLTA. Dengan adanya kebijakan ini diharapkan semua anak-anak usia sekolah dapat mengikuti wajib belajar 9 tahun. Di samping itu, banyak beasiswa yang diberikan kepada mahasiswa yang sedang mengikuti pendidikan baik di Aceh maupun luar Aceh mulai dari Diploma sampai Program Doktor (S3). Masalah perumahan/tempat tinggal dialami hampir semua korban, karena keluarga tinggal di tenda atau barak pengungsian yang kondisinya tidak memenuhi standar kesehatan. Di barak ruangan yang disiapkan hanya satu ruangan yang berukuran 4x4 meter persegi yang harus dihuni untuk satu keluarga. Semua aktivitas harus dilakukan dalam satu ruangan tanpa ada pembatas. Di samping itu juga tidak tersedianya MCK yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan
sehari-hari. Untuk
mengatasi permasalahan perumahan yang dialami sebagian besar keluarga di Kota Banda Aceh, BRR berusaha membangun kembali rumah-rumah penduduk yang hancur, namun usaha itu belum seluruhnya terpenuhi, karena terkendala dengan permasalahan hak kepemilikan tanah. Banyak sertifikat yang hilang sehingga menyulitkan penetaan kembali tanah-tanah penduduk yang pemiliknya hilang. Di samping itu, masalah pembangunan rumah juga pada awal pelaksanaannya tidak melibatkan masyarakat setempat, pembangunan dilakukan oleh para kontraktor dan buruh bangunan dari luar Aceh. Masyarakat setempat menjadi penonton di negeri sendiri tanpa bisa berbicara sepatahpun dan dipaksa untuk menerima apa adanya. Banyak rumah yang sudah siap, tetapi tidak layak untuk ditempati, tidak memiliki MCK, berlantaikan tanah dan tidak memiliki kamar. Secara tipologi masalah perumahan lebih banyak dialami oleh keluarga utuh jika dibandingkan dengan keluarga duda dan janda, ini dikarenakan pada keluarga utuh kehidupan keluarga sedikit berbeda, sehingga barak yang hanya disediakan satu ruangan dirasakan sangat tidak memadai. Awal terjadinya bencana masalah pakaian merupakan masalah besar, namun beberapa hari kemudian hal tersebut dapat segera diatasi karena banyaknya bantuan. Pada saat penelitian ini dilakukan masalah pakaian ini tidak menjadi suatu permasalahan yang besar, karena banyaknya bantuan pakaian yang diterima keluarga. Selain itu bagi keluarga yang kehidupannya biasa-biasa saja pakaian bukanlah hal pokok yang harus selalu terpenuhi untuk berbagai kesempatan. Pakaian baru hanya dibeli pada saat-saat tertentu saja misalnya saat lebaran. Saat ini yang menjadi satu permasalahan besar adalah masalah pekerjaan. Hilangnya pekerjaan berarti tidak memilki pendapatan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga sehari-hari, hal ini dapat mempengaruhi tingkat stres keluarga. Saat penelitian ini berlangsung ada 10.1 persen keluarga kehilangan pekerjaan yang dikarenakan tidak memiliki modal untuk usaha, kehilangan peralatan untuk ke laut bagi para nelayan dan hancurnya tambak. Banyak upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dan LSM untuk mengatasi masalah pekerjaan ini misalnya memberikan pinjaman modal usaha, memberikan bantuan perahu dan menata kembali tambaktambak penduduk yang hancur. Di samping itu juga banyak dilakukan pelatihan untuk membantu para remaja yang tidak melanjutkan pendidikan, ibu-ibu yang tidak bekerja dengan tujuan agar para remaja dan ibu-ibu memiliki keterampilan dan dapat bekerja untuk meningkatkan penghasilan keluarga. Secara tipologi masalah pekerjaan lebih banyak dialami oleh keluarga janda. Ini disebabkan keluarga janda harus bekerja sendiri untuk menggantikan suami mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tingkat Stres Keluarga Salah
satu
faktor
yang
perlu
diperhatikan
keberhasilan
program
pembangunan di Aceh saat ini, adalah faktor psikologi dan sosiologi masyarakat Aceh agar bisa keluar dari trauma kehilangan keluarga dan harta untuk masuk ke dalam kehidupan yang penuh harapan akan masa depan yang lebih baik. Sikap ini juga harus didukung oleh semangat solidaritas dan rasa senasib sepenanggungan kita semua untuk membangun Aceh kembali. Banyak permasalahan yang dihadapi keluarga pasca gempa dan tsunami yang tidak dapat diselesaikan dapat menimbulkan stres. Kemampuan individu dalam melakukan tindakan yang kongkrit dan membuat suatu keputusan yang dapat memberikan hasil yang menyenangkan, serta menghindari diri dari situasi yang menyulitkan. Hasil penelitian menunjukkan rendahnya tingkat stres yang dialami keluarga setelah 1 tahun pasca bencana diperlihat dari gejala-gejala stres yang dialami keluarga relatif kecil baik secara fisik, psikis, kognitif dan perilaku. Rendahnya tingkat stres tidak berarti telah melupakan semua peristiwa yang pernah dialami. Peristiwa itu tidak pernah terlupakan seumur hidup, tetapi masyarakat Aceh umumnya dapat menerima segala sesuatu yang sudah kehendak Yang Maha Kuasa siapapun tidak dapat menyangkalnya. Pengukuran tingkat stres dengan menggunakan pendekatan Family Inventory of Life dalam penelitian ini tidak dapat menggungkap tingkat stres yang
dialami kepala keluarga yang disebabkan oleh mata-mata
peristiwa yang lalu,
karena gejala-gejala yang dirasakan sekarang sebagai penyebab stres sudah tidak dirasakan lagi oleh sebagian besar kepala keluarga, sehingga tingkat stres yang diperlihatkan menjadi rendah, namun dengan menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh Holmes dan Rahe mampu mengungkap tingkat stres sebagai akibat peristiwa masa lalu, karena di dalam instrumen tersebut tercantum butir-butir yang menyebabkan stres seperti kehilangan pasangan, kehilangan aset, kematian keluarga dekat, perubahan kondisi keuangan dan kematian teman dekat, perubahan tempat tinggal dan lain sebagainya adalah sesuatu hal yang masih dapat memicu stres keluarga dengan skor yang telah ditentukan, sehingga satu tahun pasca gempa dan tsunami stres kepala keluarga masih tetap dirasakan. Secara tipologi, kematian pasangan merupakan penyebab stres terbesar yang dirasakan oleh keluarga duda dan janda, tetapi pada keluarga utuh penyebab stres terbesar adalah kehilangan aset. Temuan ini diperkuat oleh Darmaningtyas (2005) yang menyatakan bahwa kematian merupakan dimensi utama kehilangan dan merupakan kejadian paling traumatis yang dialami oleh seorang individu. Stres paling berat yang dirasakan orang dewasa adalah karena kehilangan orang-orang dekat yang dicintai sekaligus kehilangan rumah dan harta benda. Lebih lanjut Freedy, Saladin, Kilpatrick, Resnick, dan Saunders (1994) dalam penelitiannya menemukan bahwa kehilangan sumberdaya adalah prediktor yang lebih penting dari stres psikologi dibandingkan ancaman hidup yang dirasakan 4-7 bulan setelah gempa Sierra Madre (Los Angeles County, California, 1991). Strategi Coping Keadaan stres yang dialami seseorang akan menimbulkan efek yang kurang menguntungkan baik secara fisiologis maupun psikologis. Setiap individu tidak akan membiarkan efek-efek negatif itu terus terjadi, ia akan melakukan suatu tindakan untuk mengatasi permasalahan yang disebut dengan coping. Respon coping individu itu akan diolah sedemikian rupa, sehingga menghasilkan suatu perilaku coping dengan tujuan: (1) mengurangi bahaya dari lingkungan sekitar: (2) mengatur dan bertahan pada realitas yang ada; (3) memelihara self-image yang positif; (4) mengatur keseimbangan emosi dan (5) membina hubungan baik dengan pihak lain (Lazarus, 1993).
Pada dasarnya, manusia melakukan perilaku coping dengan tujuan untuk keluar dari situasi yang tidak menyenangkan dan mengembalikan fungsi psikologis (menstabilkan atau menetralisir kembali keadaan yang mengganggu). Tingkah laku ini timbul dari sejumlah tahap, pertama menilai sumber stres yang dihadapi serta sumber-sumber yang dimiliki untuk mengatasinya dan kemudian baru bertindak. Penilaian terhadap suatu situasi tidak dapat digeneralisasikan sama pada semua individu. Setiap individu mempunyai respon yang berbeda terhadap suatu sumber stres (termasuk sumber stres yang sama). Situasi tertentu dapat dapat dinilai sebagai ancaman atau sebagai tantangan tergantung pada pengalaman individu yang bersifat internal dan eksternal. Berdasarkan penilaian tersebut akan terjadi perilaku yang sesuai dengan penilaian tersebut, Misalnya masalah pangan yang dihadapi keluarga pasca gempa dan tsunami dinilai dapat mengakibat kebutuhan gizi keluarga dapat terganggu, maka masalah ini harus segera dicarikan jalan keluarnya. Untuk mengatasi masalah yang dihadapi, keluarga melakukan berbagai coping strategi baik yang berfokus pada masalah dan berfokus pada emosi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 44.2 persen keluarga melakukan strategi coping yang berfokus pada masalah yang tergolong tinggi. Upaya keluarga mengatasi permasalahan yang dihadapi melalui strategi coping berfokus pada masalah yang paling banyak dilakukan adalah merubah gaya hidup. Untuk mengatasi masalah kesehatan selain memperoleh bantuan dari pemerintah dan LSM, keluarga juga berusaha lebih dari biasanya bila perlu meminjam pada tetangga yang masih memilikinya. Dan untuk mengatasi masalah perumahan selain melakukan hal-hal tersebut diatas, kepala keluarga juga membuat perencanaan agar apa yang dilakukan lebih terkonsentrasi. Begitu juga upaya yang dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah melalui strategi coping yang berfokus pada emosi, coping ini dilakukan dengan tidak melakukan sesuatu secara tergesa-gesa, memperhatikan seseorang yang dikagumi menyelesaikan masalah dan mencoba melupakan segalanya. Rendahnya kemampuan keluarga dalam melakukan coping tidak saja dipengaruhi oleh sumberdaya yang dimiliki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga cukup memiliki sumberdaya baik dari segi sosial ekonomi maupun dari faktor ciri-ciri pribadi dan dukungan sosial, tetapi coping yang dilakukan sebagian besar tergolong dalam katagori rendah. Ini terjadi karena ada faktor
ketidaktahuan keluarga terhadap apa yang harus dilakukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi. Di samping itu, pembinaan yang dilakukan belum sepenuhnya menjangkau seluruh permasalahan yang dihadapi keluarga. Individu lebih banyak menerima bantuan material sehingga kurang mau berusaha sendiri untuk keluar dari permasalahan yang dihadapi. Cooper dan Payne (1991), untuk mengatasi masalah yang dihadapi individu tidak hanya melakukan satu strategi coping saja, melainkan beberapa strategi yang dinilai tepat dan sesuai dengan dirinya sendiri. Jenis coping mana yang akan digunakan dan bagaimana dampaknya tergantung pada jenis stressor yang dialaminya. Berdasarkan hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa ada hubungan positif nyata sebesar 40.7 persen antara coping berfokus pada masalah dan coping berfokus pada emosi. Hal ini menunjukkan bahwa coping yang dilakukan individu selalu berdampingan dan beriringan. Misalnya seseorang akan melakukan suatu tindakan sambil memohon petunjuk semoga usaha yang dilakukan mencapai tujuan yang diinginkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada kecenderungan strategi coping dilakukan karena mengalami tingkat stres tinggi, tetapi coping tetap dilakukan walaupun tingkat stres minor dengan metode family inventory of life. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa coping bukan saja keberhasilan individu dalam mengatasi stresnya, tetapi usaha yang dilakukan untuk keluar dari situasi yang menekan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tingkah laku coping adalah berdiri sendiri, terpisah dari keberhasilan atau kegagalan individu dalam mengatasi stresnya. Menurut Caplan (Friedman 1998), mencari pendukung sosial dalam jaringan kerja sosial keluarga merupakan strategi coping keluarga eksternal yang utama. Pendukung sosial ini dapat diperoleh dari sistem kekerabatan keluarga, kelompok profesional, para tokoh masyarakat dan lain-lain yang didasarkan pada kepentingan bersama. Terdapat tiga sumber umum dukungan sosial yaitu penggunaan jaringan dukungan sosial informal, penggunaan sistem sosial formal, dan penggunaan kelompok-kelompok mandiri. Penggunaan jaringan sistem dukungan sosial informal biasanya diberikan oleh kerabat dekat dan tokoh masyarakat. Penggunaan sistem sosial formal dilakukan oleh keluarga ketika keluarga gagal untuk menangani masalahnya sendiri, maka keluarga harus dipersiapkan untuk beralih kepada profesional bayaran untuk memecahkan masalah. Penggunaan kelompok mandiri
sebagai bentuk dukungan sosial dapat dilakukan melalui organisasi (Friedman, 1998). Di Propinsi NAD sudah lama dikenal nilai-nilai budaya yang berlaku dalam tata kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat difungsikan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan permasalahan lainnya. Perilaku sosial yang telah lama dikenal itu diwujudkan dalam falsafah saling asih, saling asuh dan saling asah. Secara harfiah arti falsafah hidup yang sangat tinggi adalah saling mengasihi, saling mengasuh dan saling memberikan pengetahuan antar warga masyarakat, baik dalam kehidupan keluarga, tetangga, kelompok, maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Potensi lokal yang sudah tumbuh dan berkembang secara turun temurun tetap diperhatikan serta dimanfaatkan oleh masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam sebagai sumberdaya dalam mengatasi berbagai permasalahan pasca gempa dan tsunami. Untuk itu upaya untuk menggali, membangkitkan, memotivasi dan mengaktualisasikan potensi lokal yang ada di masyarakat yang kemudian diubah menjadi gagasan strategis sebagai bagian yang penting, bahkan terpenting dalam pembangunan masyarakat dan keluarga. Dengan demikian kendati pun gempa dan tsunami menimpa sebagian penduduk yang pekerjaan utamanya ada di sektor pertanian,
namun
sebagian
masyarakat
masih
dapat
mempertahankan
kelangsungan hidupnya meskipun dalam kondisi yang kurang memadai. Salah satu penyebabnya adalah adanya sikap kepedulian yang cukup tinggi antar warga dalam berbagai hal. Sikap kepedulian yang dimiliki warga Aceh sudah menjadi suatu budaya yang tercermin jelas dalam berbagai adat atau kebiasaan masyarakat, dalam pergaulan sehari-hari. Beberapa perilaku sosial tersebut antara lain: (1) Kerja sama yang harmonis dalam mengerjakan kegiatan pembangunan sosial dan gotong royong dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan di lingkungan tempat tinggal. Kerja sama ini terlihat dalam kegiatan kerja bakti untuk pembangunan mesjid, jembatan, MCK dan perbaikan saluran air yang hancur akibat tsunami (2) Musyawarah dalam memecahkan masalah kemasyarakatan misalnya rapatrapat atau pengajian antar warga, antar tokoh agama, tokoh masyarakat dan aparat desa atau kelurahan. Media rapat difungsikan untuk mendiskusikan kegiatan keagamaan dan menyelesaikan berbagai masalah kemasyarakatan.
Biasanya pada akhir pertemuan selalu dirumuskan hasil musyawarah atas dasar sumbangan pemikiran dari warga yang hadir (3) Saling menolong antar tetangga (kesetiakawanan sosial) yang terlihat jelas dari spontanitas masyarakat dalam menolong anggota masyarakat lainnya, misalnya saat terjadi gempa dan tsunami bagi warga yang rumahnya tidak hancur bersedia menampung
tetangganya yang rumahnya hancur dan rela berbagi
dalam hal makanan, dan pakaian (4) Saling mengingatkan jika tetangga melakukan kegiatan yang merugikan masyarakat.
Keberfungsian keluarga Pada awal terjadi bencana gempa dan tsunami kehidupan keluarga sempat terganggu akibat tercerai berainya anggota keluarga, orang tua kehilangan anak, istri kehilangan suami dan lain sebagainya yang mengakibatkan fungsi keluarga tidak dapat berjalan dengan baik. Dalam rangka mengembalikan fungsi keluarga dalam pembentukan SDM, perlu strategi peningkatan fungsi keluarga yang baik menuju terbentuknya ketahanan keluarga. Menurut Chapman (2000) ada lima tanda adanya keluarga berfungsi dengan baik (funcsional family), yaitu: (1) sikap melayani sebagai tanda mulia; (2) keakraban antara suami-istri menuju kualitas perkawinan yang baik; (3) orang tua yang mengajar dan melatih anaknya dengan penuh tantangan kreatif, pelatihan yang konsisten dan mengembangkan ketrampilan; (4) suami-istri yang menjadi pemimpin dengan penuh kasih dan (5) anak-anak yang mentaati dan menghormati orang tua. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Eyree (1995) menyatakan ada tiga langkah menuju keluarga menuju keluarga harmonis, yaitu membangun dasar tata hukum keluarga, mengatur ekonomi keluarga dan memelihara tradisi keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fungsi keluarga melalui peran ayah dan ibu secara keseluruhan belum berjalan sebagaimana mestinya. Ini terlihat dari ratarata skor fungsi keluarga adalah 79.9. Berdasarkan tipologi, fungsi instrumental dan ekspresif pada keluarga utuh lebih baik jika dibandingkan dengan keluarga duda dan janda. Hal ini disebabkan pada keluarga utuh fungsi instrumental yang diperankan oleh ayah dan fungsi ekspresif yang diperankan oleh ibu dapat dilakukan secara bersama-sama sesuai dengan tanggung jawab masing-masing dengan satu tujuan yaitu kesejahteraan anggota keluarga.
Belum berfungsinya secara baik fungsi instrumental maupun ekspresif pada keluarga duda atau janda karena ayah dan ibu yang menjadi janda atau duda membutuhkan penyesuaian dalam menjalankan peran ganda. Seorang ibu yang harus berperan sebagai pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan biologis dan fisik anggota keluarganya. Seorang ibu belum terbiasa harus bekerja keras di luar rumah. Begitu juga dengan seorang ayah akan merasa bingung bagaimana memenuhi kebutuhan psikologis, sosial dan emosi, kasih sayang, kehangatan, aktualisasi dan pengembangan diri anak dapat berjalan dengan baik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tingginya strategi coping yang dilakukan keluarga tidak serta merta mengakibatkan membaiknya fungsi instrumental. Berfungsinya keluarga dengan baik merupakan dambaan setiap anak, karena keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak. Seperti yang diungkapkan oleh Spencer dan Inkeles (1982) dan Macionis (1995) bahwa tempat sosialisasi yang paling penting bagi seorang anak adalah keluarganya yang berfungsi untuk memberikan dukungan emosi dengan penuh kehangatan dan intimasi sepanjang kehidupan anak. Keluarga juga sangat penting dalam mentransfer budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Anak-anak belajar secara kontinyu pada orang tuanya. Pengasuhan sangat penting dalam perkembangan sosial anak dan bervariasi dari satu keluaga dengan keluarga lainnya. Pengasuhan meliputi kontak fisik, stimulasi verbal dan tanggap terhadap lingkungan di sekitarnya.
Implikasi terhadap Kebijakan (1) Pada hakikatnya, permasalahan yang terjadi pasca tsunami adalah masalah yang terjadi di lingkungan masyarakat lokal. Untuk itu, penanganan masalah tersebut harus berbasiskan masyarakat karena masyarakatlah yang paling tahu kondisi permasalahannya. Penanganan permasalahan yang sentralistik dan sektoral hanya mengakibatkan masyarakat semakin tidak peduli terhadap permasalahan yang berkembang di lingkungannya (2) Strategi pemberdayaan keluarga lebih cenderung mengembangkan programprogram yang ditujukan untuk mengoptimalkan program-program pemba-ngunan yang bercirikan sistem sosial budaya setempat. Dengan cara demikian, selain lebih tepat sasaran, juga dapat meningkatkan kehidupan orang-orang miskin dan penduduk umumnya hingga mencapai standar minimum. Mereka juga
diharapkan dapat meraih kesempatan-kesempatan tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mendayagunakan seluruh potensi yang dimiliki oleh masyarakat. (3) Strategi pemberdayaan keluarga berbasiskan sistem sosial budaya lokal perlu diformulasikan secara tepat. Karena itu, penyelesaian permasalahan yang dihadapi harus dibatasi sampai pada tahap mobilisasi sosial atau penyadaran (kosientasi) kepada masyarakat. Sementara itu, proses pember- dayaannya harus sepenuhnya dilimpahkan kepada masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini, pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator, mediator, sistem pendukung, pengakses sumber sosial, dan peran-peran lain yang bersifat tidak langsung (indirect services) (4) Strategi pembangunan masyarakat berada dalam satu kesatuan sistem pembangunan sosial yang berinteraksi. Apabila pembangunan nasional secara menyeluruh
berupaya
untuk
meningkatkan
kemajuan,
kemampuan,
kesejahteraan dan keadilan sosial, pelaksanaannya harus diupayakan secara sistematis dan berkesinambungan agar setiap orang memiliki kesempatan untuk menikmati pembangunan. Selain itu setiap orang dapat berperan aktif dalam proses pelaksanaan pembangunan. Kondisi ini merupakan tujuan yang ingin dicapai dari proses aktualisasi institusi tradisi yang telah tumbuh berkembang secara turun-temurun yang hingga kini masih kuat berakar di masyarakat. (5) Keanekaragaman sistem sosial budaya di Indonesia harus dipahami sebagai potensi yang pemanfaatannya belum optimal dalam proses pembangunan masyarakat. Padahal, sistem sosial budaya lokal merupakan modal sosial (social capital) yang besar yang telah tumbuh berkembang secara turun-temurun yang hingga kini masih kuat berakar di masyarakat (6) Aktualisasi sistem sosial budaya lokal menjadi masalah yang sangat strategis untuk didiskusikan kembali. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan keadaan Indonesia yang berada dalam proses demokrasi dan reformasi di segala bidang pembangunan. Ketika Indonesia mengalami keterpurukan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, strategi pembangunan yang berpusat pada rakyat agaknya membutuhkan perubahan yang sangat mendasar, dari pendekatan yang karitas atau residual menjadi sistem pemberdayaan masyarakat
Implikasi terhadap Keilmuan (1) Perlu adanya suatu pengenalan fungsi keluarga ekspresif dan instrumental melalui peran ayah dan ibu. Pengenalan ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal dengan memasukkan materi pendidikan kesejahteraan keluarga ke dalam kurikulum baik di tingkat perguruan tinggi atau di tingkat menengah. Selain itu dapat juga dilakukan melalui pendidikan non formal dengan memberikan penyuluhan PKK bagi remaja yang putus sekalah. Penyuluhan ini dapat dilakukan melalui perkumpulan remaja mesjid, karang taruna dan perkumpulan remaja lainnya. (2) Melalui pembelajaran ini para remaja yang akan melakukan pernikahan bisa mengintrospeksi diri akan kemampuannya baik secara material maupun spiritual (3) Bagi remaja sebagai generasi penerus yang nantinya akan membangun keluarga, perlu memahami akan fungsi ekspresif dan intrumental melalui peran ayah atau ibu yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan material dan spiritual anggota keluarganya
Keterbatasan Penelitian (1) Penelitian ini tidak dapat dilakukan secara tuntas, tetapi baru sampai tahap proses, karena situasi kehidupan masyarakat saat penelitian ini dilakukan belum stabil/belum cukup kondusif (2) Sampel pada tipologi duda dan janda sangat terbatas, karena sangat sulit mendapatkan keluarga yang bersedia untuk dijadikan sampel, ini disebabkan kekecewaan
keluarga
bertanggung jawab.
terhadap
janji-janji
dari
pihak-pihak
yang
tidak