Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu IX. ISBN ; …………………………………………..
Sikap Bahasa pada Bahasa Betawi sebagai Bahasa Ibu di Wilayah Marunda: Langkah Awal Pencegahan Kepunahan Bahasa Betawi Diar Luthfi Khairina, S.Hum. Universitas Indonesia
[email protected] Abstrak
Penggunaan bahasa Betawi sebagai bahasa ibu di Wilayah Marunda telah menurun. Hal tersebut didukung oleh penelitian Kemiripan Bahasa Melayu Dialek Jakarta di Condet dan Marunda Berdasarkan Pendekatan Dialek Geografi (Khairina dan Sri Munawarah, 2015). Oleh karena kondisi tersebut, diperlukan penelitian tentang sikap bahasa masyarakat Betawi di Wilayah Marunda. Penelitian tentang sikap bahasa bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya sikap positif terhadap bahasa Betawi oleh masyarakat Betawi di Wilayah Marunda. Teori sikap bahasa yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada teori Garvin dan Mathiot (1968). Hasil penelitian ini diharapkan dapat merevitalisasi bahasa Betawi di Jakarta pada umumnya dan di Wilayah Marunda pada khususnya. Revitalisasi bahasa Betawi ini bertujuan agar bahasa Betawi kembali digunakan atau setidaknya diturunkan kepada generasi penerus. Upaya tersebut dilakukan sebagai tindakan preventif terhadap kepunahan bahasa Betawi. Kata kunci: bahasa Betawi, sikap bahasa, dan wilayah Marunda.
PENDAHULUAN Kebudayaan Betawi adalah kebudayaan masyarakat di daerah Jakarta yang berkembang sebagai akibat sintesis antara unsur-unsur kebudayaan yang telah ada sebelumnya dengan unsur-unsur kebudayaan yang dibawa oleh kaum pendatang sehingga terbentuk corak kebudayaan yang berciri khas (Budiawan, et. al., 1979:11). Asal muasal kebudayaan Betawi tidak dapat dipastikan. Akan tetapi, kebudayaan tersebut tetap hidup karena adanya kelompok masyarakat yang mendukungnya, secara turun-temurun, yang dikenal dengan sebutan orang Betawi. Marunda merupakan wilayah di Jakarta yang dikenal masyarakat sebagai kawasan yang kental akan kebudayaan Betawi. Pada tahun 2011 Marunda
Diar Luthfi Khairina
dijadikan salah satu dari 12 destinasi pesisir oleh Pemerintah Kotamadya Jakarta Utara. Suku Dinas Pariwisata Jakarta Utara merasa perlu melestarikan Rumah Si Pitung yang dikenal masyarakat sebagai ikon orang Betawi. Pitung dikenal masyarakat Betawi sebagai pahlawan, yakni selalu membela kebenaran dan selalu ada untuk menegakkan keadilan di tanah Betawi. Sebagai wilayah yang kental akan kebudayaaan Betawi, tentu saja bahasa yang digunakan di wilayah Marunda adalah bahasa Betawi. Bahasa Betawi di wilayah Marunda bukan hanya merupakan bahasa daerah, melainkan juga merupakan bahasa ibu. Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikuasai oleh seseorang dalam penggunaannya
sehari-hari
untuk
menyampaikan
pikiran,
perasaan,
dan
kebutuhannya. Bahasa ibu seseorang dapat merupakan bahasa daerahnya. Hal tersebut dapat terjadi jika orang tua berkomunikasi dengan anaknya menggunakan bahasa daerah dalam kehidupannya sehari-hari. Kekayaan budaya suatu bangsa dapat tercermin melalui bahasa daerah. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaannya sekarang semakin terabaikan. Bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya
dianggap
lebih
memiliki
prestige
dan
memiliki
nilai
komersil
dibandingkan dengan bahasa daerah. Padahal, bahasa daerah merupakan salah satu cara untuk melestarikan kebudayaan. Hal itulah yang terjadi pada masyarakat Betawi. Bertempat tinggal di wilayah Jakarta yang notabene kota metropolitan, masyarakat Betawi semakin kehilangan identitasnya. Sudah jarang ditemukan orang yang dapat disebut sebagai “orang Betawi asli” di Jakarta. Dengan latar belakang tersebut, melihat sikap bahasa masyarakat Betawi di Marunda menjadi hal yang menarik untuk dilakukan.
Dengan demikian,
rumusan masalah pada penelitian ini adalah
bagaimana sikap bahasa masyarakat Betawi terhadap bahasa Betawi sebagai bahasa ibu di wilayah yang dianggap kental akan kebudayaan Betawi; Marunda. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Menurut Nawawi (1985: 63), metode analisis deskriptif adalah metode pemecahan masalah dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian pada saat 2
sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya sikap positif masyarakat Betawi di Marunda terhadap bahasa Betawi. Penelitian ini diharapkan dapat merevitalisasi bahasa Betawi sebagai langkah awal untuk mencegah kepunahan bahasa Betawi. Data penelitian yang ada akan dianalisis dengan teori Garvin dan Mathiot (1968).
LANDASAN TEORI Sikap bukan merupakan suatu tindakan, melainkan kecenderungan perilaku yang digunakan untuk membandingkan pikiran, perasaan, dan kesiapan untuk bertindak (Edwards, 1985: 139). Bany dan Johnson (dalam Rokhman, 1996: 15) memberikan beberapa definisi sikap yang dikemukakan oleh para ahli psikologi sosial sebagai berikut. a. Sikap diperolah dengan cara dipelajari dan tidak diperoleh secara turun-temurun. b. Sikap merujuk pada objek yang berupa benda konkret ataupun benda abstrak. c. Sikap diperoleh dan berkembang dalam pergaulan dengan orang lain. d. Sikap mengandung kesiapan untuk bertindak terhadap objek. e. Sikap bersifat afektif; artinya mencakup perasaan yang tampak pada pilihan seseorang yang dapat bersifat positif, negatif, atau netral terhadap suatu objek. f.
Sikap mengandung unsur-unsur intensitas. Intensitas sikap terhadap suatu objek dapat kuat atau lemah pengaruhnya terhadap perbuatan nyata.
g. Sikap mengandung unsur-unsur dimensi waktu; artinya sikap itu dapat sesuai untuk suatu waktu tertentu tetapi tidak sesuai untuk waktu yang lain. h. Sikap mengandung unsur kelangsungan. i.
Sikap merupakan bagian dari persepsi dan kognisi seseorang. 3
Diar Luthfi Khairina
j.
Sikap merupakan penilaian seseorang terhadap suatu objek. Penilaian itu terungkap melalui perasaan senang atau benci terhadap objek itu.
k. Sikap diketahui melalui penafsiran. Berkaitan dengan sikap terhadap suatu bahasa, Kridalaksana (2001: 197) mendefinisikan sikap bahasa sebagai posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain. Sikap bahasa ditandai oleh tiga ciri (Garvin dan Mathiot,
1968:149),
yaitu (1) kesetiaan bahasa (language loyality),
(2)
kebanggaan bahasa (language pride), dan (3) kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm). Kesetiaan bahasa adalah sikap suatu masyarakat untuk turut mempertahankan kemandirian bahasanya dari pengaruh asing. Kebanggaan bahasa pada konsep tersebut adalah sikap yang mendorong seseorang atau kelompok
menjadikan
bahasanya
sebagai
lambang
identitas
pribadi atau
kelompoknya untuk membedakannya dari orang atau kelompok lain. Kesadaran adanya norma bahasa akan mendorong seseorang menggunakan bahasa secara cermat, korek, santun, dan layak. Hal tersebut merupakan faktor penentu dari perilaku tutur dalam pemakaian bahasa seseorang.
PEMBAHASAN Bahasa Betawi tersebar menurut perbedaan dialektal, yaitu bahasa Betawi Tengahan dan Pinggiran (Muhadjir, 1999: 71). Bahasa Betawi Tengahan memiliki ciri-ciri, antara lain: a. Kosakata berakhiran vokal a dilafalkan ɛ, misalnya kata saya diucapkan sebagai sayɛ. b. Konsonan h yang terdapat di akhir kata dilafalkan ɛ, misalnya belah, darah, dan muntah diucapkan sebagai belɛ, darɛ, dan muntɛ. c. Ucapan konsonan bersuara: b, d, dan g diucapkan tidak bersuara, misalnya bedug diucapkan sebagai beduk. Sementara itu, bahasa Betawi Pinggiran memiliki ciri-ciri, sebagai berikut: a. Kosakata berakhiran vokal a dilafalkan a atau ah, misalnya kata saya diucapkan sebagai saya atau sayah. 4
b. Konsonan h yang terdapat di akhir kata dilafalkan seperti dalam bahasa Indonesia, seperti belah, darah, muntah, dan sebagainya. c. Ucapan konsonan bersuara: b, d, dan g diucapkan bersuara, misalnya bedug diucapkan sebagai bedug. Pada penelitian Pratiwi (1996) dan Khairina (2015) tidak ditemukan kosakata ora pada daerah yang memakai Dialek Pinggiran. Oleh karena itu, muncul anggapan bahwa bahasa Betawi Dialek Pinggiran bukan merupakan bahasa Betawi Ora. Ciri-ciri bahasa Betawi Ora sama dengan Dialek Pinggiran hanya saja terdapat satu perbedaan, yakni ada kata ora ‘tidak’ yang berasal dari bahasa Jawa yang disandingkan pada kosakata lainnya. Kosakata tersebut digunakan saat menyatakan tidak. Informan dalam penelitian ini hanya tediri atas satu orang yang bermukim di wilayah Marunda. Data dari satu informan dianggap cukup karena informan ini sangat
memenuhi
syarat,
yakni
pria,
berusia
lanjut,
jarang
berpergian,
berpendidikan rendah, tidak memiliki cacat tubuh, dan memiliki pengetahuan luas mengenai bahasa Betawi. Informan tersebut diberikan pertanyaan berupa 200 kosakata dasar Morish Swadesh dan 50 kosakata bidang, yakni Sistem Kekerabatan serta Peralatan dan Perlengkapan (data terlampir). Berdasarkan ciriciri yang dijelaskan sebelumnya, wilayah Marunda termasuk ke dalam Dialek Tengahan
dan
Dialek
Pinggiran.
Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh
transmigrasi warga Cawang ke wilayah Marunda. Berikut merupakan tabel ciriciri kosakata bahasa Betawi di Marunda. Tabel 1 Ciri-ciri Kosakata Bahasa Betawi di Marunda
Dialek Tengahan
Dialek Pinggiran
Ciri-ciri Kosakata vokal a di akhir dilafalkan e/ɛ ape, babe, sampεɁ konsonan h yang terdapat di akhir darε kata dilafalkan e/ɛ konsonan b, d, dan g tidak bersuara samaɁ, di mana, duwaɁ, vokal a di akhir dilafalkan a/ah guyah-guyah, guwa, kepala, limaɁ, mata, nama, sәmuwa, 5
Diar Luthfi Khairina
kәtawa, tigaɁ, tuwa, kita, mәrtuwa
Dialek Ora Temuan Lain
konsonan h yang terdapat di akhir basah, buwah, lintah, lidah, kata dilafalkan h ludah, belah konsonan b, d, dan g bersuara - (tidak diucapkan dengan penggunaan kata ora untuk tidak әŋgaɁ) kasi, mera, puti, tana, apus, ati, konsonan h melesap iduŋ, idup, ijoɁ, item, ujan, utan, jaIt, jatᴐ, matari, taUn
Dari tabel 1 di atas, berian yang berciri dialek tengahan lebih sedikit frekuensi kemunculunannya dibandingkan dengan berian yang berciri dialek pinggiran. Pada dasarnya, Marunda berada di pinggiran Jakarta. Bahasa yang dipakai oleh penduduknya pun merupakan bahasa Betawi dialek Pinggiran. Akan tetapi,
seperti
yang
telah
disebutkan
sebelumnya,
warga
Cawang
yang
bertransmigrasi ke wilayah Marunda membawa serta bahasa Betawi dialek Tengahan yang digunakannya sehingga memberikan pengaruh pada bahasa masyarakat Betawi di Marunda. Selain ciri-ciri di atas, penulis juga menemukan ciri khas bahasa Betawi di wilayah Marunda. Tabel 2 Ciri Khas Bahasa Betawi di Wilayah Marunda No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kosakata asap ayah berenang engkau gosok ia ibu ini isteri itu kami, kita
Berian kәbulan babe ŋojay әlu guyah-guyah әlu әmaɁ, ñaɁ nih biniɁ tuh guwa
No 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
12
kamu
әlu
31
13 14
kecil licin
kәcit sәlid
32 33 6
Kosakata takut tikam (me) tongkat usus panggilan untuk gadis kecil panggilan untuk lelaki tua panggilan untuk wanita tua abang (kakak laki-laki) abangnya ayah/ibu adik laki-laki ayah/ibu adik perempuan ayah/ibu anak dari abang/kakaknya ayah/ibu anak dari adiknya ayah/ibu kakak perempuan
Berian kala nublәs tuŋkәt ucus әnᴐɁ uwaɁ nεnεɁ abaŋ әnciŋ әnciŋ uwaɁ әnciŋ әnciŋ mpᴐɁ
15
lurus
lәmpәŋ
34
kakaknya ayah/ibu
16
lutut
dәŋkUl
35
kakek
17 18 19
muntah saya siang
ŋәrεyak guwa tәŋari, siyaŋ
36 37
sendok wajan
uwaɁ kakεɁ / әŋkᴐŋ tesi wajεn
Berdasarkan tabel di atas, ditemukan 37 kosakata yang merupakan ciri khas dari bahasa Betawi. Dari 200 kosakata dasar yang diteliti, hanya ditemukan 23 kosakata yang merupakan kosakata khas bahasa Betawi. Selain itu, dari 50 kosakata bidang, ditemukan 12 kosakata dari bidang sistem kekerabatan dan 2 kosakata dari bidang peralatan dan perlengkapan. Persentase penemuan ciri khas kosakata Betawi dari daftar kosakata yang dipertanyakan adalah 14,8%. Sikap bahasa masyarakat Marunda terhadap bahasa Betawi di dalam penelitian ini dibangun melalui 250 butir kosakata sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, yakni 200 kosakata dasar dan 50 kosakata bidang. Dari tabel 1 dan tabel 2 dapat dikatakan bahwa kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran adanya norma bahasa yang dimiliki oleh masyarakat Marunda kurang. Informan menginformasikan bahwa bahasa Betawi yang kental tidak selalu mereka pakai dalam kegiatan sehari-hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesetiaan bahasa masyarakat Betawi di wilayah Marunda dapat dikatakan kurang. Begitu pula dengan kebanggaan dan kesadaran akan norma bahasanya. Bahasa Betawi, yang pada khususnya menjadi objek penelitian ini, tidak diturunkan kepada anak-cucu mereka. Di samping itu, banyak penutur asli yang sudah meninggal.
Angka
14,8%
serta
keterangan
dari
informan
menunjukkan
kecenderungan sikap negatif informan terhadap bahasa Betawi sebagai bahasa ibunya. Sikap negatif itu ditunjukkan dari ketidaksetiaan mereka terhadap bahasa itu. Meskipun secara sadar mereka percaya dan yakin bahwa bahasa Betawi penting, mereka tidak lagi menggunakan dan menurunkan kepada keturunann mereka.
7
Diar Luthfi Khairina
KESIMPULAN Berdasarkan daftar kosakata yang dipertanyakan kepada informan, bahasa Betawi di Marunda termasuk ke dalam bahasa Betawi dialek Tengahan dan Pinggiran.
Akan tetapi,
frekuensi kemunculan dialek Pinggiran lebih
dominan. Dari 200 kosakata dasar dan 50 kosakata bidang, ditemukan 37 kosakata yang merupakan ciri khas kosakata bahasa Betawi. Dengan demikian, persentase penggunaan bahasa Betawi yang kental di wilayah Marunda hanya menginjak angka 14,8%. Dari wawancara yang dilakukan dengan informan, ia mengatakan bahwa masyarakat Marunda sudah jarang menggunakan bahasa Betawi yang kental dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, mereka tidak menurunkan bahasa Betawi kepada keturunan mereka. Dengan demikian, hal-hal tersebut menunjukkan bahwa sikap masyarakat Marunda terhadap bahasa Betawi adalah negatif. Mereka tidak memiliki ketidaksetiaan, kebanggaan, dan kesadaran akan penggunaan bahasa Betawi dalam kehidupan mereka sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA Budiawan, et. al.. 1979. Folklor Betawi. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Harimurti Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Edwards, John R. 1985. Language Society and Identity. Oxford: Basil Blackwell. Garvin, P.L. & Mathiot M. 1968. “The Urbaization of Guarani Language. Problem in Language and Culture” dalam Fishman, J.A. (Ed) Reading in Tes Sosiology of Language. Mounton, Paris: The Hague. Khairina, Diar Luthfi. 2015. “Pemetaan Bahasa di Wilayah Cagar Budaya Betawi Condet: Sebuah Kajian Dialektologi”. Skripsi tidak diterbitkan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Lauder, Multamia RMT. 2007. Sekilas Mengenai Pemetaan Bahasa. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
8
. 1990. “Pemetaan dan Distribusi Bahasa-bahasa di Tanggerang”. Disertasi tidak diterbitkan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok. Muhadjir. 1999. Bahasa Betawi: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB-LIPI) dan The Ford Foundation. Nawawi, Hadari. 1985. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pratiwi, Endang Hesti. 1996. “Bahasa Betawi di Cipayung DKI Jakarta: Sebuah Pemetaan Bahasa dan Analisis Kebahasaan”. Skripsi tidak diterbitkan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Rokhman, Fathur. 1996. “Sikap Bahasa Santri: Kajian Sosiolinguistik di Pondok Pesantren Al-Ihsan, Beji, Banyumas”. Tesis tidak diterbitkan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
9
Diar Luthfi Khairina
LAMPIRAN NO .
KOSAKAT BERIAN A KOSAKATA DASAR abu Abu air aIr akar Akar alir (me) ŋañUt anak anaɁ angin әmbus-әmbus anjing kirIɁ apa ape api api apung (me) ŋambaŋ asap kәbulan
NO . 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138
KOSAKATA
BERIAN
licin lidah lihat lima ludah lurus lutut main makan malam mata matahari
12
awan
mәnduŋ
139
mati
13 14 15
ayah bagaimana baik
140 141 142
merah mereka minum
16
bakar
143
mulut
mulut
17 18 19 20 21 22
balik banyak baring baru basah batu
144 145 146 147 148 149
muntah nama napas nyanyi orang panas
ŋәrεyak nama napas ñañi oraŋ ñәŋat
23
beberapa
150
panjang
panjaŋ
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
belah (me) benar bengkak benih berat berenang beri berjalan besar bilamana binatang bintang buah bulan bulu bunga
babe bagaymana bagus bakar / paŋgaŋ tәŋkurәp bañaɁ tiduran cakәp basah batu macәmmacәm mәmbagi bәtUl gәmuk anaɁ bәrat ŋojay kasi jalan gәde kapan binataŋ bintaŋ buwah bulan buluɁ kәmbaŋ
sәlid lidah lihat / ñiyat limaɁ ludah lәmpәŋ dәŋkUl maεn makan malam mata matari mati / mampus mera (tidak ada) ŋinUm
151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166
pasir pegang pendek peras perempuan perut pikir pohon potong punggung pusar putih rambut rumput satu saya
dәbu pәgaŋ kәcil pәrәs pәrәmpuwan pәrut mikirin poɁon bәlah puŋguŋ pusәr puti rambut rumput atu guwa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
10
40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83
bunuh buru (ber) buruk burung busuk cacing cium cuci daging dan danau darah datang daun debu dekat dengan dengar di dalam di mana di sini di situ pada dingin diri (ber) dorong dua duduk ekor empat engkau gali garam garuk gemuk, lemak gigi gigit gosok gunung hantam hapus hati hidung hidup
tikam ñari kumәl buruŋ baUɁ lintah әndus bәrsiɁin dagiŋ samaɁ kubaŋan darεh sampεɁ daUn kᴐtᴐran nәmpεl samaɁ dәŋәr di dalәm di mana di sini di sᴐnᴐ samaɁ gәmәtәran bәrdiri ŋulaɁ duwaɁ duduk buntut әmpat әlu ŋᴐrεk garәm garuk
167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200
gәmuk gigi ŋgigit guyah-guyah gunuŋ pUkUl apus ati iduŋ idup
sayap sedikit sempit semua siang siapa suami sungai tahu tahun tajam takut tali tanah tangan tarik tebal telinga telur terbang tertawa tetek tidak tidur tiga tikam (me) tipis tiup tongkat tua tulang tumpul ular usus
sayap dikit ñәmpIt sәmuwa tәŋari, siyaŋ sapa lakiɁ kali taU taUn tajәm kala tali tana taŋan tarIk tәbәl kupIŋ tәlUr ŋapuŋ kәtawa tεtεɁ әŋgaɁ bᴐbᴐɁ tigaɁ nublәs tipis niyup tuŋkәt tuwa tulaŋ tumpul ulәr ucus
KOSAKATA SISTEM KEKERABATA N 201 202 203 204 205 206 207 208 209
kami (berdua) kami (bertiga) kita laki-laki panggilan untuk anak laki kecil panggilan untuk gadis kecil panggilan untuk gadis remaja panggilan untuk lelaki remaja panggilan untuk lelaki tua 11
tidak ada tidak ada kita lakiɁ lakiɁ kәcit әnᴐɁ tidak ada tidak ada uwaɁ
Diar Luthfi Khairina
84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96
hijau hisap hitam hitung hujan hutan ia ibu ikan ikat ini isteri itu
ijoɁ sәdᴐt itәm ŋitUŋ ujan utan әlu әmaɁ, ñaɁ ikan ikәt nih biniɁ tuh
210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222
97
jahit
jaIt
223
98 99 100 101 102 103 104 105
jalan (ber) jantung jatuh jauh kabut kaki kalau kami, kita
jalan jantUŋ jatᴐ awaŋ-awaŋ әmbun kakiɁ nanti guwa
224 225 226 227 228 229 230 231
106
kamu
әlu
107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125
kanan karena kata (ber) kecil kelahi (ber) kepala kering kiri kotor kuku kulit kuning kutu lain langit laut lebar leher lelaki
kanan lantaran ŋᴐmᴐŋ kәcit bәrantәm kәpala kәriŋ kiri bәlᴐk kuku kulIt kunIŋ tuma laIn laŋIt lautan lεbar lehεr lakiɁ
panggilan untuk wanita tua (yang) mana abang (kakak laki-laki) abang/kakak dari istri abang/kakak dari suami abangnya ayah/ibu adik adik dari istri adik dari suami adik laki-laki ayah/ibu adik perempuan ayah/ibu anak abang/kakak anak adik anak dari abang/kakaknya ayah/ibu anak dari adiknya ayah/ibu anaknya cucu besan cucu istri/suami dari abang/kakak istri/suami dari adik kakak perempuan kakaknya ayah/ibu
nεnεɁ tidak ada abaŋ ipar ipar әnciŋ adεɁ ipar ipar әnciŋ uwaɁ pᴐnakan pᴐnakan әnciŋ
әnciŋ cicit besan cucu ipar ipar mpᴐɁ uwaɁ kakεɁ / 232 kakek әŋkᴐŋ 233 menantu mantu 234 mertua mәrtuwa 235 nenek ñai 236 orang tua kakek/nenek buyut KOSAKATA PERALATAN DAN PERLENGKAPA N 237 bakul bakul 238 cangkir caŋkir 239 centong cεntᴐŋ 240 cobek cᴐwεt 241 gayung gayuŋ 242 gelas gәlas 243 pisau piso 244 piring piriŋ 245 sendok tesi 246 sumpit jәpitan 247 tempayan tәmpayan 248 tikar tikәr 249 wadah wadah 250 wajan wajεn
12