MARJINALISASI PETANI GARAM DAN EKSPANSI EKONOMI GLOBAL: KASUS DI KABUPATEN REMBANG JAWA TENGAH
YETY ROCHWULANINGSIH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan disertasi Marjinalisasi Petani Garam dan Ekspansi Ekonomi Global: Kasus di Kabupaten Rembang Jawa Tengah adalah merupakan karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun ke perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, September 2008
Yety Rochwulaningsih NRP: A 162040011
ABSTRACT YETY ROCHWULANINGSIH. Marginalization of Salt Farmer and Global Economic Expansion: A Case in Rembang District, Central Java Province. Under direction of LALA M. KOLOPAKING, TITIK SUMARTI, and A.M. DJULIATI SUROYO The main objective of this research is to answer the questions on how and why across the history salt always become the intention of certain political economic power that eventually marginalize the salt farmers. In connection with the position of salt as commodity of global trade, the research also analyzes the impacts of global economic development to the process of marginalization of salt farmers. Besides, the research also analyzes Indonesian government policy in responding global economic expansion on salt commodity. In this connection, interesting questions are also answered, namely how and why marginalization of salt farmers occurred structurally? And did the farmers fight back under that circumstance, how and why did they retaliate? To elaborate the above questions, this research was based on constructivist paradigm that methodologically implied on the use qualitative method. Therefore, in-depth interview, group interview, participant observation, documents and library investigation methods were used alongside the interactive model of analysis. In obtaining data validity with reliable precision, data accuracy was examined using triangulation technique of sources and methods. The research shows that during the course of history salt have been a strategic commodity with abundant financial benefit, thus it is always plundered by proprietors, entrepreneurs, and salt producing farmers. Ironically, the strategic position of this commodity was potential for marginalization of salt farmers because the entrepreneur and its economic power acquired supports from governments to enclose or raid the farmer’s access to economic resources in salt commodity. In pre-colonial era, although production and distribution of salt were in the hands of local proprietors excluding land, farmers still held authorities on capital, technology, and market access. Marginalization process of farmers became more intensive in colonial era through policies such as application contingenten process, rent to pachter system, monopoly and bureaucratization of salt entrepreneurship (Bepalingen tot Verzekering van het Zoutmonopolie, Dienst der Zoutregie). Marginalization of salt farmers became more phenomenal after Indonesian independence until now because the government stated liberalization policy on salt commodity. Meanwhile, salt as export commodity never loose from global economic expansion brought by neo-liberalism regime with free trade paradigm based capitalist ideology. Consequently, political economic pattern in salt sector that was dominated by monopoly and bureaucratization has transferred to privatization then liberalization. In this case, government as decision maker could not avoid the influence and interest force of neo-liberalism regime. It’s clearly seen on policies such as Iodization, SNI and salt import as false policy, which seemly accommodated the interest of farmers and public salt industry but essentially encourage the interest of national and global capitalist economic power.This condition finally contributed to marginalization process of salt farmers.
In micro platform of salt farmer community, marginalization was constructed in social capitalist formation where capitalist mode of production dominated non-capitalist mode of production. In this case, capitalist mode of production controlled by local platform petty capitalism (employer, trader, and factory) through ownership and possession of salt production power elements. Domination of capitalist mode of production resulted in polarization of land ownership, capital accumulation, hegemonic and monopolistic market, and technology domination, which then generate marginalization of salt farmers. In domination of capitalist mode of production, retaliation movements conducted by salt farmers were identified in two categories, i.e. classic struggle pattern in the form of “out stage contest” to drop salt quality and “camouflaged pilfering” action, and modern struggle pattern through association. Although the salt farmer effort has not showed significant result, it has stimulated class consciousness of labor and disrupted exploitative social structure formation and opened the access to decision maker. Keywords: Marginalization, social formation, exploitation, mode of production, monopolistic capitalism, globalization, domination, market hegemony, resistance.
RINGKASAN YETY ROCHWULANINGSIH. Marjinalisasi Petani Garam dan Ekspansi Ekonomi Global: Kasus di Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING, TITIK SUMARTI, dan A.M. DJULIATI SUROYO. Penelitian tentang Marjinalisasi Petani Garam dan Ekspansi Ekonomi Global: Kasus Di Kabupaten Rembang ini mengkaji permasalah bagaimana dan mengapa garam merupakan komoditi yang selalu menjadi perebutan kekuatan ekonomi politik tertentu yang pada akhirnya memarjinalkan petani garam. Selain itu garam sebagai komoditi ekspor tidak terlepas dari pengaruh perkembangan ekonomi global dan dalam hal ini bagaimana dan mengapa ekspansi ekonomi global memberi kontribusi signifikan terhadap marjinalisasi petani garam. Dalam kondisi yang demikian bagaimana peran pemerintah sebagai regulator kebijakan dan mengapa ditempuh kebijakan demikian. Secara struktural terjadi marjinalisasi petani garam, bagaimana dan mengapa itu terjadi, dan apakah dalam kondisi yang demikian itu petani melakukan perlawanan, bagaimana dan mengapa perlawanan itu dilakukan. Oleh karena penelitian ini merupakan penelitian sosiologi sejarah, maka untuk mengkaji permasalahan tersebut, penelitian ini didasarkan pada paradigma konstruktivisme yang berimplikasi metodologis pada penggunaan metode kualitatif dan metode sejarah kritis. Dengan demikian untuk pengumpulan data digunakan metode indepth interview, group interview, dan participant observation, studi arsip, dokumen dan studi pustaka, sedang analisisnya digunakan model analisis interaktif. Dalam upaya memperoleh validitas data yang kebenarannya dapat diyakini, keabsahan data diuji melalui teknik triangulation sumber dan metode. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa pada aras makro hampir sepanjang perjalanan sejarah, garam menjadi komoditi strategis yang mendatangkan banyak keuntungan finansial, sehingga selalu diperebutkan oleh penguasa dan pengusaha. Ironisnya, posisi strategis komoditi ini justru menjadi potensi bagi termarjinalkannya petani garam, karena “pertarungan” diantara kedua kekuatan tersebut selalu berujung pada praktek monopoli dan perampasan serta penutupan akses petani terhadap economic resources pada komoditi garam. Pada masa prakolonial, meskipun produksi dan distribusi garam dalam kontrol penguasa lokal, tapi kecuali lahan (terkandung kewajiban penyerahan sebagian hasil pada penguasa), petani masih memiliki otoritas dalam modal, teknologi dan akses pasar dengan pola hubungan patron-client relationship. Proses marjinalisasi petani semakin intensif pada masa kolonial, melalui kebijakan yang dikeluarkan seperti; penerapan sistem contingenten, sistem sewa borongan pada pachter (Cina), monopoli dan birokratisasi pengusahaan garam (Bepalingen tot Verzekering van het Zoutmonopolie, Dienst der Zoutregie). Dengan begitu garam Indonesia menjadi komoditi ekspor yang memberi kontribusi pada keuangan negara, contohnya pada tahun 1902 = 9.456.466, 1913 = 12.633.988, 1922 = 17.221.346, 1931 = 27.172.378 gulden. Setelah Indonesia merdeka hingga masa kontemporer sekarang ini, proses marjinalisasi petani garam lebih fenomenal, karena pemerintah RI melepas monopoli dan proteksi serta lebih cenderung memilih menerapkan kebijakan liberalisasi pada komoditi garam. Dampaknya adalah sektor garam rakyat Indonesia tidak lagi menjadi komoditi ekspor,melainkan impor yang dalam tahun-tahun terakhir menunjukkan tren semakin meningkat, nilai total garam impor Indonesia pada tahun 2000 adalah US $ 37.844.536 tahun 2004 US $ 45.031.036 dan tahun 2007 US $ 53.115.545.
Demikian juga pada aras makro dan meso, garam sebagai komoditi ekspor tidak pernah lepas dari pengaruh ekspansi ekonomi global yang diusung oleh rezim neoliberalisme dengan ideologi kapitalisme berlandaskan paradigma pasar bebas. Sebagai dampaknya adalah corak ekonomi politik pada sektor garam yang semula didominasi monopoli dan birokratisasi telah bergeser menjadi privatisasi dan kemudian liberalisasi. Dalam hal ini pemerintah sebagai decision maker tidak dapat menghindar dari pengaruh dan tekanan kepentingan rezim neoliberalisme. Hal itu dapat diketahui dari kebijakan yang diambil antara lain tentang Iodisasi, SNI, dan Impor garam. Kebijakan Iodisasi, memang berkontribusi positif pada perbaikan kesehatan masyarakat (TGR yang semula 30 % turun menjadi 14 %), tapi secara sosial ekonomi kasus di Kabupaten Rembang berdampak pada termarjinalkannya industri garam rakyat (dari 12 perusahaan menjadi 4) dan kehidupan petani (tertutupnya akses pasar dan jatuhnya harga hingga Rp.70,-/kg). Terlebih kebijakan SNI dan Impor Garam, menandai lonceng kematian sektor garam rakyat, karena sebagai justifikasi impor garam, produk garam rakyat belum memenuhi standar untuk proses iodisasi sebagai garam konsumsi apalagi untuk industri besar dan strategis. Dari hal ini produk garam rakyat secara kuantitas dan kualitas dipandang tidak dapat memenuhi kebutuhan nasional dan oleh karena itu harus impor garam. Dengan demikian kebijakan pemerintah tersebut merupakan kebijakan semu, sepertinya mengakomodir kepentingan petani dan industri garam rakyat tetapi sejatinya berpihak pada kepentingan kekuatan ekonomi kapitalis aras nasional dan global. Dapat diketahui, bahwa praktek ekonomi pada komoditi garam menunjukkan corak kapitalis monopolistik (dalam monopoli perusahaan tertentu). Kondisi itu sangat kontradiktif dengan pasar bebas yang merupakan ideologi neoliberalisme. Pada aras mikro ditingkat komunitas petani garam, marjinalisasi terkonstruksi dalam formasi sosial kapitalis dimana terjadi dominasi moda produksi kapitalis atas moda produksi non kapitais. Dalam hal ini moda produksi kapitalis yang dikendalikan oleh kapitalis kecil (petty capitalism) aras lokal (majikan, pelaku pasar dan pabrikan) melalui kepemilikan dan penguasaan elemen-elemen dari kekuatan produksi garam (lahan, modal, teknologi dan pasar), telah mendominasi dan mengeksploitasi moda produksi non kapitalis yang dioperasionalkan oleh petani kecil dan buruh (perombong, pengolok, angkut, mandor). Dominasi moda produksi kapitalis ini menghasilkan polarisasi penguasaan lahan, akumulasi modal, dominasi teknologi dan pasar yang hegemonik dan monopolistik, yang kemudian menciptakan marjinalisasi petani garam. Dalam dominasi moda produksi kapitalis ini, gerakan perlawanan yang dilakukan petani garam dapat diidentifikasi dalam dua kategori, yaitu corak perlawanan klasik berupa perlawanan sehari-hari antara lain dalam bentuk “permainan di luar pentas” untuk menjatuhkan kualitas garam, dan aksi “pencurian yang disamarkan”, corak perlawanan modern melalui pembentukan asosiasi. Meskipun hingga saat ini perlawanan petani garam itu belum menunjukkan hasil signifikan, tetapi telah mampu menyemai benih kesadaran kelompok (collective consciousness) dikalangan buruh dan merongrong bangunan struktur sosial yang eksploitatif serta membuka akses pada pemerintah sebagai decision maker. Kata Kunci: Marjinalisasi, formasi sosial, eksploitasi, moda produksi, kapitalisme monopolistik, globalisasi, dominasi, hegemoni pasar, perlawanan petani.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tujuan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M.Hum
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Sajogyo 2. Prof. Dr. Ir. S. Budi Prayitno, M.Sc
MARJINALISASI PETANI GARAM DAN EKSPANSI EKONOMI GLOBAL: KASUS DI KABUPATEN REMBANG JAWA TENGAH
YETY ROCHWULANINGSIH
Disertasi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Disertasi : Marjinalisasi Petani Garam dan Ekspansi Ekonomi Global: Kasus di Kabupaten Rembang Jawa Tengah Nama
: Yety Rochwulaningsih
NRP
: A 162040011
Program Studi : Sosiologi Pedesaan
Disetujui: Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Ketua
Dr. Ir. Titik Sumarti, MS Anggota
Prof. Dr. AM. Djuliati Suroyo Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD)
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Wakil Dekan
Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS. DEA
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: 19 September 2008
Tanggal Lulus: 24 September 2008