FORUM KAJIAN PERTAHANAN DAN MARITIM
Vol. 5, No. 16, Oktober 2012 Skep KASAL No. Kep/03/V/2005 tanggal 31 Mei 2005 tentang pembentukan FKPM dan S. Gas KASAL No. 5. Gas/17/VII/2011 a.n. Laksda TNI (Purn) Robert Mangindaan dkk 5 orang
Pengantar Redaksi Nenek moyangku orang pelaut sepertinya tinggal balada usang yang kehilangan makna. Padahal lagu itu menggambarkan kredo nenek moyang yang sea oriented dengan ruhnya yakni maritime awareness yang sudah membudaya dan mengakar dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak zaman Majapahit bahkan sebelumnya. Sebut saja Ratu Kalinyamat, Keumalahayati, mereka adalah figur yang membangun kekuatan laut sebagai salah satu instrumen kekuatan nasional. Kesadaran maritim (maritime awareness) agaknya belum mendapat tempat di negeri kepulauan terbesar ini dengan tidak hadirnya strategi maritim nasional apalagi strategi nasional untuk keamanan maritim. Impian Indonesia menjadi negara besar harus dimulai dari pemahaman geografik dan kesadaran maritim. Berikut adalah bahasan tentang wadah pemikir (think-tanks). Wadah pemikir adalah organisasi yang menjembatani ilmu pengetahuan dengan “kekuasaan” melalui riset atau kajian. Belajar dari negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan China, lembaga kajiannya memainkan peranan sebagai aktor yang memberikan ide-ide segar dalam model strategi dan kebijakan nasional bidang pertahanan nasional, diplomasi, dan ekonomi nasional. Wadah pemikir harus bekerja dengan bebas, berbasis ilmiah, obyektif dan lepas dari kepentingan-kepentingan, tekanan, titipan (inside the box), retorik, ataupun tuduhan disloyal. Diposisikan lebih sebagai “out-of-the box” dibandingkan mitranya yakni lembaga kajian internal Departemen atau “inside-of-the box” yang hampir dipastikan sulit dan berani memunculkan ide segar – penyebabnya antara lain (mungkin) loyalitas absolut kepada pimpinan . Edisi ini juga membahas kebangkitan China dan beberapa negara di kawasan (India, Jepang, Korsel, Malaysia, Indonesia dan Thailand) yang mengindikasikan perubahan konstelasi politik global, isu ini disebut-sebut sebagai “Asian Century”. Indonesia merupakan negara yang diperhitungkan menjadi negara besar di kawasan, suatu momentum sekaligus tantangan bagi Indonesia. Masih banyak PR dalam negeri yang masih harus diselesaikan untuk bermain sebagai aktor utama kawasan. Tiga topik tersebut akandibahas dalam Quarterdeck edisi Oktober ini. Selamat membaca dan mohon saran, komen via www.fkpmaritim.org.
Pembina Asrena Kasal Pemimpin Redaksi Laksda TNI (Purn) R. Mangindaan Wakil Pemimpin Redaksi Laksda TNI (Purn) Budiman D. Said Sekretaris Redaksi Kol Laut (Purn) Willy F. Sumakul Staf Redaksi Goldy Evi Grace Simatupang S.IP Alamat Redaksi FKPM Jl. dr. Sutomo No. 10, Lt. 3 Jakarta Pusat 10710 Telp./Fax. : 021-34835435 www.fkpmaritim.org E-mail :
[email protected] Redaksi menerima tulisan dari luar sesuai dengan misi FKPM. Naskah yang dimuat merupakan pandangan pribadi dan tidak mencerminkan pandangan resmi TNI AL. T ida k d i j u al u n tu k u mu m
MARITIME AWARENESS: FONDASI GEOPOLITIK NEGARA KEPULAUAN Oleh : Robert Mangindaan * Pendahuluan Mungkin saja, ada pihak yang menganggap bahwa ada kaitan atau katakanlah — benang merah, antara maritime awareness dengan geopolitik, jaraknya terlalu jauh (very remote) dan arasnya juga tidak sederajat dengan strategi, begitu juga dalam hal proyeksi kekuatan laut. Bila demikian halnya, apa perlunya diperbincangkan? Pandangan seperti itu memang ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini, yang selalu mendengungkan balada nenek moyangku orang pelaut. Maritime awareness, dianggap sudah mengakar dan membudaya dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit, bahkan mungkin lebih lama dari era tersebut. Apakah benar demikian? Memang ada benarnya, bahwa dulunya nenek moyangku orang pelaut, tetapi cicit buyutnya sekarang ini tidak lagi berpaling kelaut (sea oriented). Bangsa Indonesia direkayasa untuk berpaling ke darat (continental oriented), dan prosesnya sudah berlangsung tiga setengah abad. Tepatnya, sejak era pemerintah kolonial Belanda yang mengembangkan politik devide et impera. 1 Pada era tersebut, cukup banyak dari kalangan pribumi “kelas” bangsawan, mendapatkan pangkat (tituler) cukup tinggi, dan juga di satuan militer banyak yang mencapai tingkat perwira menengah. Tetapi di laut, urusannya berbeda, paling tinggi pangkat dan jabatan yang bisa diraih adalah kelasi pelaut, juru mudi, teknisi dan bagian perbekalan (Henky Supit, 2005). Sebetulnya, budaya melaut dan bertempur sudah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia, yang membangun kekuatan laut untuk digunakan sebagai instrumen politik. Salah satu catatan sejarah yang tidak bisa dilupakan adalah figur Retna Kencana yang * ) Penulis adalah Laksda TNI (Purn), alumni AAL-XIV, pengalaman penugasan diantaranya sebagai Naval Attache pada KBRI Manila, Filipina (1988-1991), BAIS ABRI (1991-1996) dan penasehat Militer, pada PTRI untuk PBB, New York (1996199). Kini menjabat sebagai Ketua FKPM, Tenaga Profesional Tetap di Lemhanas, Jakarta dan Pengajar pada Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. E-mail : Robertmangindaan@ fkpmmaritim.org 1 Percakapan informal penulis dengan penasehat militer Sekjen PBB, di New York pada tahun 1997.
Maritime Awareness: Fondasi Geopolitik Negara Kepulauan kemudian dikenal sebagai Ratu Kalinyamat, berkuasa selama 30 tahun dan berhasil membawa Jepara ke puncak kejayaannya. Ratu Kalinyamat memiliki armada laut yang sangat tangguh dan pernah dua sampai tiga kali menyerang Portugis di Malaka.2 Pada tahun 1550 ia mengirim 4.000 tentara Jepara dalam 40 buah kapal memenuhi permintaan Sultan Johor untuk membebaskan Malaka dari kekuasaan bangsa Eropa itu. Pada tahun 1565 ia memenuhi permintaan orang-orang Hitu di Ambon untuk menghadapi gangguan bangsa Portugis dan kaum Hative. 3 Kemudian pada tahun 1573, Sultan Aceh meminta bantuan Ratu Kalinyamat untuk kembali menyerang Portugis di Malaka. Menanggapi permintaan tersebut, Ratu mengirimkan 300 kapal berisi 15.000 prajurit Jepara. Sekalipun armada Jepara tersebut menderita kekalahan tetapi pihak Portugis melukiskannya sebagai rainha de Japara, senhora poderosa e rica, de kranige Dame, yang berarti “Ratu Jepara seorang wanita yang kaya dan berkuasa, seorang perempuan pemberani” (Diego de Couto, 1778-1788). 4 Catatan kedua yang tidak kalah menonjol adalah legenda Keumalahayati, orang Aceh, laksamana perempuan yang pertama di dunia yang kemudian dikenal sebagai Laksamana Malahayati (1585-1604, Kompasiana). Pangkat diperoleh bukan karena kedekatan dengan Sultan, tetapi berbekal kecakapan dan keberanian memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda. Pada tanggal 11 September 1599 dalam pertempuran di geladak kapal, Malahayati berhasil membunuh Cornelis de Houtman pemimpin Belanda, dan mendapatkan gelar Laksamana untuk keberaniannya. 5 Belanda telah belajar dari berbagai pertempuran di Nusantara, terutama di Aceh, yang kemudian merancang perusakan secara sistematik budaya melaut bangsa Indonesia. Tidak berlebihan untuk mengemukakan bahwa sejak menguatnya VOC di Nusantara ini, nyaris tidak ada kekuatan laut ‘pribumi’ yang mampu mengancam kekuatan laut pemerintah kolonial. Benar, bahwa ada beberapa catatan tentang perlawanan di laut yang terjadi misalnya di era Daendels dengan Kesultanan Banten, era Raffles dengan Kesultanan Palembang, kemudian di era Rochussen dengan Kesultanan Banjarmasin, dan Pattimura di Maluku. 6 Penggalan catatan-catatan tersebut mengungkapkan bahwa ada kekuatan setempat yang sempat dibangun oleh beberapa kesultanan di Nusantara ini, tetapi mereka tidak dapat menandingi satu kesatuan kekuatan laut yang dibangun oleh pemerintah kolonial. Mereka mampu mengembangkan dan menggu2 3 4 5 6 7 8
nakan kekuatan laut sebagai instrumen politik untuk menguasai Nusantara ini. Pada tahun 1888 Pemerintah kolonial mendirikan Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM)7 yang dirancang untuk berbagai keperluan, yaitu; (i) menghubungkan antar pulau, sebagai satu kesatuan wilayah, (ii) memelihara wibawa pemerintah pusat yang mampu memantau situasi di berbagai penjuru Nusantara, (iii) sarana pengangkut hasil bumi dari daerah ke pusat. Pemerintah kolonial sangat sadar bahwa ada pembangunan kekuatan laut di Nusantara ini, dan berkembang merata di berbagai daerah, tetapi tidak dalam satu bingkai kepentingan. Artinya — ada kepentingan (interest) untuk membangun kekuatan laut (power), dan sudah terbukti digunakan sebagai instrumen politik, tetapi tidak ter-konsolidasi dalam satu bingkai kepentingan ‘nasional’. Kesadaran tersebut terbentuk secara alamiah oleh karena kehidupan mereka dekat dengan laut, dan mampu memanfaatkan potensi ekonomi dari laut, kemudian mengembangkan politik keamanan untuk melindungi kepentingan perniagaannya. Ada dua kata kunci yaitu kepentingan (interest) dan kekuatan (power), yang perlu dibangun bagi bangsa yang hidupnya dekat dengan laut. Terlebih pula bagi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang ‘memiliki’ laut seluas 5,8 juta km2, sudah lumrah apabila bertekad menjadi negara maritim yang jaya. Modal awalnya adalah kesadaran maritim (maritime awareness) yang sekarang ini sudah surut dari kehidupan bangsa Indonesia. Kesadaran tersebut tidak akan turun gratis dari langit, tetapi perlu adanya pembinaan yang terprogram, berlanjut dan hasilnya (outcome) dapat diukur. Bangsa Jepang merayakan Marine day (Umi no hi) pada hari senin ketiga setiap bulan Juli, memperingati perjalanan bersejarah kaisar Meiji (1852–1912) 8 yang ditandai sebagai langkah awal pembangunan kekuatan maritim Jepang, berorientasi outward looking. Pada jajaran akar rumput, pemerintah Jepang berusaha menanamkan arti pentingnya laut, bahwa ada kepentingan yang akan dicapai dan disetarakan sebagai kepentingan utama (vital interest). Acaranya fokus pada isu lingkungan laut, pembersihan pantai, dan ada acara khusus lainnya yang terkait dengan tujuan pembinaan kesadaran maritim. Mereka sudah lama akrab dengan laut, terlalu sering digempur tsunami, dan memperkenalkan budaya makan ikan mentah, tetapi acara memperingati Umi no hi dilaksanakan secara sederhana, tetapi amat mendasar yaitu pembersihan pantai. Esensinya — hargai dan hormati laut yang memberikan kehidupan kepada bangsa Jepang.
Hayati, Chusnul.” RATU KALINYAMAT : RATU JEPARA YANG PEMBERANI’’, Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Semarang wikipedia ibid ibid Suyono, R.P. Capt., “Peperangan Kerajaan di Nusantara’, Penerbit Gramedia Widiasarana, Jakarta, 2003 KPM maintained the connections between the islands of Indonesia and supported the unification of the Dutch colony economy as the Netherlands expanded its territory across the Indonesian archipelago.(Wikipedia) wikipedia
Vol. 5, No. 16, Oktober 2012
2
Maritime Awareness: Fondasi Geopolitik Negara Kepulauan Indonesia dan Kesadaran Maritim
Akan tetapi, bila dicermati dengan jernih kultur bajak laut domestik, sebetulnya mereka itu adalah bagian dari kehidupan masyarakat tertentu dan umurnya lebih tua dari usia republik ini. Artinya — ada warisan budaya untuk bertarung di laut, yang tujuannya adalah mendapatkan kesejahteraan dan kejayaan di laut. Bagi masyarakat tersebut, tindak bajak laut bukanlah penjahat dan haram hasilnya, tetapi perbuatan mereka dianggap pahlawan (heroic) yang mensejahterakan masyarakat setempat. Apabila kita menengok sebentar ke masa lalu bangsa Spanyol, Portugis, Belanda dan Inggris, sepertinya bangsa dan pemerintah di sana tidak suci dari masalah bajak laut. Ada yang kemudian diberi gelar bangsawan, dan cukup banyak turun-temurun mereka menjadi orang-orang terhormat dan kaya-raya di sana. Nampaknya kultur tersebut di’manupulasi’ untuk tujuan yang lebih stratejik, dan dikelola secara cerdas dan konsekuen. Mungkin saja ada pihak yang merasa kurang nyaman dengan frasa ends, justified means, tetapi keempat bangsa tersebut di atas tidak ragu untuk menggunakan bajak laut sebagai instrumen politik. Sebagian dari catatan sejarah khususnya pada era awalnya VOC, mengungkapkan dengan sangat jelas bahwa politik tersebut digunakan di Nusantara ini oleh Belanda. Ada catatan sejarah yang kurang diketahui oleh banyak orang yaitu dulunya ada bajak laut Papua yang sangat ditakuti, dan mereka dimanfaatkan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. 10 Pada berbagai seminar, termasuk yang diselenggarakan oleh TNI-AL, menempatkan maritime awareness sebagai landasan untuk membangun politik pertahanan, pembangunan ekonomi maritim, dan seterusnya. Pernah pula ada seminar yang mengemukakan secara tegas maritime domain awareness (MDA), tanpa menyadari apa konsep dasar yang terkandung dalam frasa tersebut. Bukan rahasia lagi bahwa negara maritim besar, misalnya AS, mengedepankan MDA dan gemanya dipantulkan secara sempurna oleh banyak pihak, termasuk Indonesia tanpa memahami apa kandungan kepentingannya. Pihak International Maritime Organization (IMO) memberikan batasannya…the effective understanding of anything associated with the maritime domain that could impact the security, safety, economy or environment. 11 Dari pihak AS, Presiden Bush (2002) menegaskan .. the heart of the Maritime Domain Awareness program is accurate information, intelligence, surveillance, and reconnaissance of all vessels, cargo, and people extending well beyond our traditional maritime boundaries. Ada penambahan kata dari batasan IMO yang menjurus pada kepentingan nasional AS, yang kemudian membentuk Office of Global Maritime Situational Awareness (OGMSA) dan mengedepankan peran intelijen yang memungkinkan satuan operasional menanggapi ancaman maritim skala global. 12
Bangsa Indonesia juga sangat paham, bahwa pembinaan kesadaran maritim merupakan prasyarat yang penting di dalam membangun Indonesia. Sejarah mencatat berbagai prestasi dari Presiden RI yang pertama sampai yang keenam, di dalam membangun budaya maritim. Mulai dengan penetapan hari Nusantara, mengumandangkan deklarasi, adakan berbagai kegiatan seperti pelayaran Kebangsaan Lintas Nusantara Remaja Pecinta Bahari Lomba Olahraga Perairan Bahari, lomba karya tulis ilmiah tentang kebaharian, Sail Wakatobi, Seminar Nasional, pameran Blue Revolution, lomba bakar ikan terpanjang, sampai pada pameran Industri Pertahanan. Berbicara secara terbuka, ada kesan yang sangat kuat bahwa berbagai program, deklarasi, atau acara yang disiapkan untuk Hari Nusantara, dapat digolongkan sebagai acara perayaan yang bersifat temporer, tidak berlanjut dan sunyi senyap selepas acara. Tidak ada agenda yang berlanjut, tidak ada program pembinaan membangun kesadaran maritim, malahan sebaliknya dikembangkan berbagai program kelautan yang mengarahkan kembali ke darat, misalnya budi daya ikan lele. Konon kabarnya, dahulu kala perairan Nusantara terdapat tiga golongan penduduk yaitu orang laut (sea gipsy), raja laut (sea lord) dan rompak laut (sea pirates)9, tetapi kini situasinya sudah jauh berbeda. Pemerintah berusaha untuk mendaratkan orang laut dengan membuat pemukiman di darat, artinya mereka di’tarik’ keluar dari budaya nomadic yang bertualang dari pulau kepulau lainnya yang tidak berpenghuni. Barangkali, perlu kajian yang lebih konkrit untuk mengatakan bahwa sea gipsy hanya terdapat di Indonesia(?) dan pada era pemerintah kolonial, kehidupan tersebut tidak dihapus karena dilihat sebagai ‘kepenjangan lengan’ untuk memantau pulau-pulau yang tidak berpenghuni. Mengenai Raja Laut, memang sudah tidak ada lagi tetapi wujudnya sekarang ini adalah propinsipropinsi laut yang mengembangkan kepentingan daerah masing-masing (interest), dan nantinya akan ada perbedaan antara propinsi ‘kedaratan’ dan propinsi ‘kelautan’. Di dalam RPJMN 2014—2014, sepertinya menegaskan konsep tersebut dalam bentuk Pengembangan Wilayah Pulau-Pulau Besar. Apabila dikaji dengan sejarah masa lalu, apakah konsep tersebut tidak serupa dengan politik era pemerintah kolonial? Mudah-mudahan tidak demikian, tetapi perlu kajian yang kritis dan jernih. Bicara tentang bajak laut, sikap Indonesia sudah tegas dan bersifat final, yaitu “berantas”! Sikap politik tersebut juga berorientasi ke luar, katakanlah — sampai ke Somalia. Ke dalam, Indonesia sudah menentukan sikapnya yaitu memberantas tuntas bajak laut domestik, suatu keharusan yang wajib dilaksanakan.
9 Lapian, Adrian B. “Orang laut-Bajak laut-Raja laut”, Komunitas Bambu, Jakarta, 2009 10 Ibid. 11 AMENDMENTS TO THE INTERNATIONAL AERONAUTICAL AND MARITIME SEARCH AND RESCUE (IAMSAR) MANUAL. International Maritime Organization. pp. 1. Retrieved 2012-07-03 12 NATIONAL PLAN TO ACHIEVE MARITIME DOMAIN AWARENESS FOR THE NATIONAL STRATEGY FOR MARITIME SECURITY OCTOBER, 2005.
3
Vol. 5, No. 16, Oktober 2012
Maritime Awareness: Fondasi Geopolitik Negara Kepulauan
OFFICE OF GLOBAL MARITIME SITUATIONAL AWARENESS March 2009
Kegiatan utama instansi tersebut adalah memantau situasi keamanan maritim dan kadar kesadaran maritim di negara-negara yang berada pada alur pelayaran internasional. Lihat peta di atas ini. Dari India, Philippines, Jepang, dan banyak pihak yang mengembangkan MDA sesuai dengan kepentingan nasional mereka, kemudian dibakukan dalam bentuk doktrin, dan disosialisasikan kepada masyarakat dunia. Bagaimana dengan Indonesia? Sejujurnya, Indonesia belum punya MDA apalagi doktrinnya. Penulis menggunakan term maritime awareness yang diterjemahkan secara bebas sebagai kesadaran maritim. Batasan tersebut belum tentu benar, dan tentunya perlu penyesuaian dengan preferensi publik yang ada. Indonesia sudah lama mengenal Wawasan Nusantara yang melihat territorial dan yurisdiksi nasional sebagai satu bagian yang utuh. Artinya — sudah menyentuh kesadaran geografik (geographical awareness), tetapi nuansa kesadaran maritim sepertinya kurang kuat ditonjolkan. Terlepas dari benar atau keliru, yang penting adalah Indonesia harus punya pemahaman yang baku tentang maritime awareness, dan dihormati oleh bangsa Indonesia.
jen maritim). Lebih aneh lagi, Indonesia sudah menjalin kerjasama maritim dengan beberapa pihak, tanpa road map yang menggariskan kepentingan stratejik yang ingin dicapai. Salah satu contoh yang sangat menonjol adalah kerjasama dengan AS, telah menggunakan pemahaman bersama mengenai MDA (versi AS), untuk menyikap masalah keamanan maritim regional. Mereka menyodok dengan freedom of navigation, muncul dalam satu bingkai kepentingan yang namanya connectivity. Arahnya adalah keamanan pelayaran dan keselamatan pelayaran di sea lane of communication (SLOC) yang ‘harus’ berstandar internasional, dan Indonesia ikut mengaminkan tanpa selidik apa beda antara SLOC dan archipelagic sea lane (ALKI). Hal ini bisa terjadi oleh karena ada indikator yang sangat jelas, yaitu geographical awareness yang mendasari maritime awareness, amat-sangat-kurang berkembang dikalangan masyarakat bangsa Indonesia, apakah itu di birokrat, atau di jajaran pendidikan, apalagi di kalangan komunitas Senayan. Indikatornya yang sangat jelas terdapat pada RPJMN 2010-2014 13; Indonesia memiliki modal yang sangat besar, baik sumber daya alam, letak geografis yang strategis, struktur demografis penduduknya yang ideal, sumber daya kultural yang beragam dan kuat, dan manusiamanusia yang memiliki potensi dan kreativitas yang tidak terbatas. Krisis dan tantangan telah diubah menjadi peluang dan kesempatan. Di bidang energi, Indonesia memiliki berbagai sumber energi mulai dari minyak bumi, gas, batubara dan sumber energi yang terbarukan yang melimpah seperti geotermal dan air. Di samping itu, tersedia lahan yang luas dan subur yang bisa ditanami oleh berbagai komoditas pangan dan pertanian. Penduduk Indonesia memiliki potensi tinggi di berbagai bidang, ilmu pengetahuan dan teknologi, kesenian dan budaya, olahraga, serta kreativitas.
Strategi Keamanan Maritim Nasional Aneh tetapi nyata, Indonesia yang diakui dunia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, tetapi tidak memiliki strategi maritim nasional. Perbedaan antara tidak punya dan tidak ingin (baca: butuh), sangatlah tipis. Bisa saja ada pihak yang menunjuk pada strategi pertahanan laut, tetapi argumentasi tersebut tidak akan kuat apabila dipertanyakannya siapa pemangku kepentingan maritim, apakah hanya satu pihak atau ada banyak pihak yang terkait dengan kemaritiman nasional? Membangun strategi maritim (ends-waysmeans) memerlukan masukan yang aktual dan akurat, dan itulah pekerjaan intelijen maritim. Perangkat itupun belum ada. Aneh tapi nyata, bahwa di laut Nusantara ini, ada 13 instansi yang punya wewenang dan beroperasi di laut, tetapi tanpa strategi maritim nasional (dan inteli-
Mindset yang melatar belakangi perumusan dokumen tersebut sangat jelas tidak melirik ke laut yang luasnya 70 persen katimbang darat yang hanya 30 persen. Tidak sulit untuk mengatakan bahwa arsiteknya
13 BAB IV. KEBIJAKAN PEMBANGUNAN NASIONAL, 2010—2014 , 4.1 Strategi dan Kebijakan Pembangunan Nasional, hal. I-28.
Vol. 5, No. 16, Oktober 2012
4
Maritime Awareness: Fondasi Geopolitik Negara Kepulauan tidak melihat potensi resources, services, manufactures yang bisa dikelola dari ekonomi maritim. Benar bahwa dalam dokumen tersebut mencantumkan berbagai program kelautan, tetapi realisasinya dalam bentuk pendanaan dan regulasi, nyaris semuanya tidak jalan. Ada pakar yang tegas mengatakan, bahwa kontribusi dari ekonomi maritim untuk APBN terlalu kecil dan sangat tidak proporsional (Kresnayana Yahya, 2012). Kepincangan Program Nasional tersebut sudah berjalan lebih dari dua tahun, dan tidak ada pihak, utamanya dari wakil rakyat di Senayan yang mengkritisi Peraturan Presiden tersebut. Apabila atensi di sektor ekonomi seperti itu, maka tidak perlu heran apabila di sektor politik dan pertahanan (baca: keamanan maritim) juga mengalami hal yang sama. Salah satu indikatornya adalah kebijakan trade off antara kehilangan di laut (loss) yang diperkirakan sebesar 25 milyar USD (Henky Lumentah, 2009), dengan besarnya dana yang disiapkan untuk pembelian kapal yang akan menutup loss tersebut. Barangkali, bangsa di Nusantara ini belum punya pemahaman yang baku mengenai arti laut bagi bangsa dan negara. Memang benar, bahwa ada rangkaian pembinaan untuk membangun kembali kejayaan maritim, misalnya—acara bakar ikan, deklarasi, sampai Sail Morotai dan sebagainya, tetapi bicara terbuka, acara-acara seperti itu berlatar belakang kepentingan sektoral, malahan perorangan, yang mengatas-namakan kepentingan nasional. Sebetulnya, Indonesia membutuhkan landasan, prinsip penuntun, misalnya yang paling mendasar adalah ocean policy, yang bisa dirancang sekarang ini untuk menjadi masukan penting dalam penyusunan RPJMN 2014-2019. Ada ramalan dari berbagai pihak bahwa Indonesia akan menjadi negara besar yang kesekian, nomor sekian di muka bumi ini. Informasi seperti itu, tentunya sangat membesarkan hati, menyenangkan, tetapi hanyut memabukkan. Mengapa tidak? Semua orang sangat paham bahwa untuk menjadi negara besar perlu memiliki dua atribut penting yaitu power and influence. Muncul beberapa pertanyaan; (i) apa instrumen nasional yang akan mendongkrak power and influence dalam waktu lima-sepuluh tahun? (ii) Bagaimana wujud postur kekuatan yang diinginkan untuk melindungi ekonomi maritim? (iii) apa dan bagaimana geopolitik yang akan ditopang oleh postur tersebut? Banyak pihak kurang menyadari bahwa Indonesia tidak punya strategi keamanan maritim, dan selama ini ‘menumpang’ program ASEAN. Padahal forum tersebut didikte oleh AS melalui mekanisme (baca: muslihat) yang sangat cerdas, dan konsisten. Mereka punya agen regional dan Jepang juga memanfaatkan pos tersebut untuk menata keamanan regional Asia Tenggara. Tidak percaya? Silahkan pelajari riwayat penataan keamanan maritim regional dalam rangkaian pertemuan Asean Regional Forum sejak tahun 1993, dan produk yang dihasilkan dalam rangkaian pertemuan ASEAN Maritime Forum sejak tahun 2010.
RPJMN sudah menggariskan Visi Pembangunan Nasional tahun 2005-2025 yaitu INDONESIA YANG MANDIRI, MAJU, ADIL DAN MAKMUR. Menarik untuk meninjau pengertian mandiri, yaitu sebagai bangsa yang mampu mewujudkan kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang telah maju, dengan mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan sendiri. Sangat jelas bahwa ends yang ingin dicapai adalah kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa yang telah maju, sedangkan means — adalah kemampuan dan kekuatan sendiri. Mungkin sekali, dari sinilah keluar pertimbangan bahwa Indonesia perlu membangun minimum essential force (MEF), yang diharapkan dapat menopang geopolitik Indonesia untuk menjadi negara besar, paling tidak di kawasan ini. Tetapi perlu dipahami dengan baik, bahwa postur akan selalu beroperasi dalam bingkai strategi yang jelas. Sebaliknya, tidak lazim apabila ada postur tetapi tidak ada strategi. Penutup Membicarakan postur nasional, sudah sewajarnya meninjau tiga hal yang terkait erat, yaitu; (i) perkembangan lingkungan stratejik, yang akan mempelajari beberapa elemen penting, seperti balance of power, counter balancing interest, dan risk assessment, (ii) penentuan strategi raya yang akan diterapkan dalam kurun waktu tertentu, dan (iii) penetapan postur yang terdiri dari tiga elemen yaitu struktur kekuatan (force structure), kemampuan (capability), dan pagelarannya (deployment). Sadar atau tidak, senang atau tidak, tingkat keberhasilannya akan ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang menangani semua perkara tersebut. Lebih spesifik lagi, mereka itu adalah anak bangsa yang hidup di Nusantara, suatu komunitas yang akrab dengan laut, akrab dengan kehidupan di laut, dan bila bicara tentang strategi maritim sudah lumrah bila gudangnya ada di Nusantara ini. Modal dasarnya adalah kesadaran maritim. Membangun kesadaran maritim (maritime awareness) bukan perkara yang sulit, tetapi ada kemauan (commitment) yang kuat, kemudian diprogram dan dikembangkan secara konsisten. Rujukannya sudah ada, misalnya dari IMO yang intinya yaitu….’the effective understanding of anything associated with the maritime domain that could impact the security, safety, economy, or environment’. Begitu pula dengan pihak-pihak lainnya, mereka sudah punya pemahaman nasional yang baku dan dijadikan dasar pada geopolitik untuk membangun kerjasama keamanan maritim. Impian untuk menjadi negara besar di dunia, bukannya mustahil tetapi perlu ditopang dengan kesadaran geografik dan diikuti oleh kesadaran maritim. Cerdas memanfaatkan potensi geografik, khususnya dari sektor maritim, untuk memperkuat pembangunan power and influence, yang akan mengawal geopolitik Indonesia menuju lima besar dunia. Semoga!!! (B.o8/xii/12)
5
Vol. 5, No. 16, Oktober 2012
Wadah Pemikir (Think-Tanks) -- Belajar Dari Kasus Wadah Pemikir...
WADAH PEMIKIR (THINK-TANKS) --- BELAJAR DARI KASUS WADAH PEMIKIR DI-EMPAT (4) NEGARA ...Think-Tanks have been increasingly required to bridge the gap between the world of idea and politics, raw information and relevant data, scholarly research and policy relevance, and the medium and the messages. James G Mc Gann , 2007 ...If the influences of mass media can be called the fourth power, other than the Executive, the Legislative, and the Judicial, in Western countries, then , I am going to argue that the think tanks should be entitled the fifth power . Ren, Xiao.(2000) Kalimat diatas menyadarkan kita, bahwa “pengetahuan” adalah kekuatan - pengetahuan berbasis sain, dan sain adalah fakta atau kebenaran bukan pembenaran.
Oleh : Budiman Djoko Said * organisasi pembawa agenda politik spesifik atau ideologi --- RAND sudah melepaskan diri dari stigma “wadah pemikir” meskipun atribut organisasi seperti itu tetap ada diluar ini. Semenjak berdirinya DepHan AS , RAND telah bekerjasama dengan erat baik dengan elit sipil dan militer DepHan AS bersama-sama menghadapi isu dalam bentangan isu strategik, rencana operasi pembangunan kekuatan militer, dan melindungi kepentingan nasional AS versus ancaman terhadap kepentingan tersebut (Rich, hal 22). Kepemimpinan elit sipil maupun militer Dephan AS sesungguhnya menyadari dan membutuhkan hasil kajian “berkelas”, dengan kecenderungan riset geopolitikoekonomi dan implikasi varian opsi kebijakan luar negeri. Realisme kemunculan ide segar dari “inside-the-box” yang cenderung bekerja dibawah tekanan, pesanan, titipan , retorik atau apapun juga namanya yang tak kunjung tiba – akhirnya hanya berharap dan bertumpu pada ide-ide berani dan bebas oleh “out-of-the box” semacam RAND. Harapan kepada kajian berkelas dan realistik sebagai masukan utama dibangunnya skenario (model) keamanan nasional yang akan menjadi rujukan strategi instrumen kekuatan nasional lainnya serta perangkat evaluasi program-program dibawah kontrol strategi diplomasi. Diakui dalam formulasi strategi atau kebijakan luar negeri (demi kepentingan nasionalnya,pen) wadah ini sangatlah berperan penting dan pada awal terbentuknya jarang sekali diketahui perannya oleh media. Awal abad ke-20, peran wadah ini sebagian didiseminasi sesuai obyektif masingmasing seperti, bidang riset yang ditekuninya, spesialisasispealisasi, penilaian kebijakan / strategi nasional berorientasi kepada aksi yang telah dilakukan (action-oriented policy assesment), dll, semuanya bermuara kepada proses pengambilan keputusan strategik atau kebijakan nasional (Mc Gann, hal 2), dan berujung terkawalnya pencapaian obyektif kepentingan nasional. Makalah ini mencoba mendalami seberapa jauhkah organisasi seperti ini berperan membantu pemerintah utamanya membuat formulasi strategi, kebijakan nasional serta mengevaluasinya dengan menghadirkan kasus yang terjadi diempat (4) negara.
Pendahuluan Wadah pemikir adalah lembaga independen yang diorganisir untuk melakukan riset dan produsen pengetahuan yang dikembangkan. Wadah pemikir mengisi ruang kosong kritis antara akademik dengan realisme birokrat, bahkan PBB mendefinisikan sebagai organisasi yang menjembatani pengetahuan dan kekuasaan (Merz, hal 4). Dunia nyata dengan isu yang semakin komplek membutuhkan wadah pemikir yang berani menyarankan sebagai jembatan antara penguasa dengan pengetahuan. Sangat dipahami birokrasi pemerintah manapun hampir pasti terbelenggu dengan isu operasional sehari-hari (meski dibantu wadah pemikir internal, pen) dan nampaknya tidak ada waktu luang untuk melakukan riset riil bagi kepentingan pengembangan organisasinya. Kelemahan ini pantas diisi oleh wadah pemikir, yakni organisasi yang bekerja bebas berbasis ilmiah, tanpa tekanan dengan obyektif menjembatani ilmu pengetahuan dengan strategi atau kebijakan (nasional). Sebutan bagi organisasi tersebut bisa saja tidak umum, namun yang lebih penting wadah pemikir tersebut akan membawakan keilmuwannya (dan pengalaman, pen) dan kepiawaiannya (expertise) membantu proses formulasi strategi, kebijakan-kebijakan turunannya dan evaluasi dilapangan bagi pemerintah. Definisi organisasi wadah pemikir yang masih pro-kon dan belum jelas batasannya tumbuh berkembang dengan pesaing hadirnya unit internal Departemen yang berperan relatif semacam itu atau perguruan tinggi yang mengatas namakan riset atau pusat riset universitas dan “universitas tanpa mahasiswa”, dll. Wadah semacam itu tumbuh sebagai industri besar, bahkan tercatat didunia sekarang ada 6480 diseluruh dunia (Ibid, hal 2), awalnya bertumbuh di-AS kemudian menjalar ke-Eropah. Awalnya RAND-lah yang menggunakan label wadah pemikir ditahun 1960-an, kemudian semakin tumbuh besar ini lebih bergeser kepada kelembagaan kajian atau riset dengan ide-ide segar yang positif mempengaruhi publik dan keputusan nasional. Mengingat persepsi kontemporer menganggap organisasi semacam itu tidak lebih sebagai
* ) Penulis adalah Laksda TNI (Purn), alumni AAL-XV, Mantan Komandan Seskoal (2000-2001) dan mantan Rektor UPN “Veteran” Jakarta, Kini menjabat Wakil Ketua FKPM, E-mail :
[email protected],
[email protected]
Vol. 5, No. 16, Oktober 2012
6
Wadah Pemikir (Think-Tanks) -- Belajar Dari Kasus Wadah Pemikir... da analitikal sangat diperlukan guna menghasilkan riset yang berkualitas tentang Uni Soviet. AU-AS juga meminta RAND melakukan riset tentang ekonomi, kebijakan luar negeri, program sain dan teknologi Soviet, diantara topik penting lainnya kepada RAND --- kajian yang realistik, dinamik dan effisien. Contoh kajian realistik,dinamik dan effisien --- format dua (2) trouble-spot era perang dingin didefinisikan sebagai Two MTW/Two Major Theatre War, yakni mandala Eropah dan mandala Pasifik. Sesudah perang dingin langsung bergeser menjadi dua (2) trouble-spot berbentuk (hanya,pen) Two SSC (Small Scale Conflict, pen) yakni Timur tengah dan semenanjung Korea dan segera dilakukan reposisi kekuatan didua (2) trouble spot tersebut (mengurangi sejumlah posisi penting dan jabatan, pen) --- skala, dan posisi geographik jelas serta tingkat dan besaran pengendali organisasi juga jelas berikut perubahannya setelah reposisi. Organisasi semacam ini umumnya berkembang menjadi fenomena kegiatan global. Kelebihan AS adalah faktor kebisaannya (ability) untuk “berpartisipasi langsung ataupun tidak langsung dengan pembuat kebijakan (dan strategi, pen) nasional” (timbal balik,pen) dan timbal baliknya ada “keinginan kuat pembuat kebijakan di-AS untuk memanfaatkan mereka”, kata pak Abelson (Abelson, hal 9) dibandingkan negara lain. Abelson menyoroti evolusi dan proliferasi wadah pemikir di-Amerika mengapa begitu tampil menyatu dalam fitur pengambilan keputusan kebijakan luar negerinya. Berasumsi politik luar negeri sangat dominan baik sebagai pilar instrumen kekuatan kekuatan nasionalnya maupun sebagai aktor pilar strategi diplomasi biasanya bersama-sama strategi pertahanan nasionalnya menjadi tulang punggung promosi kepentingan nasional sekaligus pengamanan (strategi keamanan nasional,pen) terhadap tercapainya “obyektif” kepentingan nasionalnya. Fakta keberhasilan mereka ditunjukkan dengan sikap pembuat kebijakan di Kongres, kelompok eksekutif, dan sebagian besar birokrasi federal untuk tidak segan-segan menoleh kepada wadah pemikir tersebut dalam proses formulasi pembuatan kebijakan atau strategi instrumen kekuatan nasionalnya. LBJ termasuk pengagum salah satu kelompok wadah ini (Brooking Institute) dengan mengatakan...the men of [the] Brookings [Institution] did it by analysis , by painstaking research, by objective writing, by an imagination that questioned the “going” way of doing things, and then they proposed alternatives ... After 50 years of telling the Goverment what to do , you are more than private institution...You are a national institution, so important ... that if you did not exist we would have to ask someone to create you, kata Presiden AS, September 29, 1966 (Rich, hal 1). Berikut ucapan jubir of the House, Newt Gingrich, November 15, 1994, tentang Heritage Foundation, ... [The Heritage Foundation] is without question the most far-reaching conservative organization in the country in the war of ideas , and one which has had a tremendous impact not just in Washington, but literally across the planet (Ibid, hal 1). Bukti kuat bahwa organisasi pemikir semacam ini dinilai sebagai fitur yang berintegrasi dengan landskap politik negara. Ucapan penghargaan dua pejabat ini selama kurun waktu 28 tahun menimbulkan pencitraan kuat tentang dua (2) hal, sekaligus menggelorakan pengertian kuat tentang dua (2) hal juga. Pertama,
Peran wadah pemikir di-Amerika serikat Amerika dan Eropah adalah ladang fenomena demo wadah seperti ini yang banyak melibatkan diri dalam politik luar negeri (dan pertahanannya,pen) lebih dari seratus tahun. Bekerja dengan merendahkan diri jauh dari publikasi, jauh dari manuver parpol dan persaingan dengan lembaga “relatif” internal dalam tiap Departemen (lembaga kajian/penasehat internal,pen) (Haass, hal 5). Menurut Haass, organisasi ini telah memberikan pengaruh besar AS sekurang-kurangnya lima (5) hal, yakni [1] membangkitkan ide segar, opsi strategi dan kebijakan nasional,[2] mengirimkan sejumlah besar ahlinya diperbantukan dipemerintahan, [3] mengadakan tatap muka dan diskusi tingkat tinggi dengan pejabat tinggi, [4] mendidik pemuda-pemuda untuk menjadi pakar kelas dunia dan mengisi organisasi ini, [5] berperan sebagai mediator dalam berbagai krisis atau konflik dinegara manapun juga. Evolusi pertumbuhan modern organisasi ini paralel dengan tumbuhnya (ambisi, pen) kepemimpinan global AS . Seabad lalu, tahun 1910-an, selama era progresif, merupakan bagian dari ketulusan profesionalisme pemerintahan. Hampir semua yang dikerjakan serta mandat mereka adalah ketidak berpihakan politik dan hanya melayani kepentingan publik serta saran bagi pejabat pemerintahan, misalnya Goverment Research dan The Brooking Institution ditahun 1927-an. Satu-satunya wadah yang tulus dan murni terhadap kepentingan nasional diluar negeri dan diplomasi adalah Carnegie Endowment for International Peace berdiri ditahun 1910 dan telah menyelidiki penyebab peperangan dan promosi perdamaian via penyelengaraan perundingan. Dalam “gelombang kedua” evolusi wadah pemikir semacam ini dicontohkan pak Haass adalah RAND Corpt, organisasi tertua dan nirlaba yang berkiprah mulai tahun 1945-an. Kucuran dana Angkatan Udara AS telah meluncurkan studi tentang sistem analisis, teori olah main (game theory) dan “tawaran strategik” (aplikasi,pen) yang dilanjutkan studi penajaman strategi pertahanan nasional dan keluarga penangkalan dalam dekade perang dingin dan sesudahnya versus konflik-konflik global (Rich, hal 22). Kajian RAND banyak mewarnai konsep manuvra, doktrin, perencanaan strategik di-DepHan, Angkatan masing-masing, bahkan Komando operasionalnya, termasuk analisis sumber daya manusia dan logistiknya. Organisasi wadah pemikir semacam ini juga mengkhususkan dirinya sebagai agensi intelijen dan pertahanan independen dan lebih fokus kepada isu regional, fungsional dan dalam perjalanannya seringkali diarahkan militer untuk memikirkan ide pemberantasan terorisme dan Keamanan dalam negeri (homeland security) (Ibid, hal 22). Setengah pekerjaan RAND sekarang berkaitan dengan isu pertahanan nasional, selebihnya berkaitan dengan isu kebijakan domestik. Kreasi RAND yang cukup signifikan adalah mempertahankan dan memperbanyak ilmuwan sipil yang dikontribusikan selama PD-II. RAND juga banyak melakukan riset tentang Uni Soviet seperti strategi, doktrin dan sistem militer Soviet. Pekerjaan pionir seperti ini bagi RAND merupakan sesuatu yang baru dan memerlukan sejumlah besar literatur dan terjemahan tulisan terbuka maupun tersembunyi, bukan saja yang berkadar ilmiah bahkan beberapa meto-
7
Vol. 5, No. 16, Oktober 2012
Wadah Pemikir (Think-Tanks) -- Belajar Dari Kasus Wadah Pemikir... pemekaran kekuatan NATO Eropah – sangat berbeda dan tidak seperti biasanya dalam format “pendapat” umum (ops-eds,pen) yang dilontarkan para pakar dalam diskusi terbatas, seminar atau dalam format tulisan komentar singkat para pakar di-media cetak. RAND lebih menekankan hal-hal yang praktis dapat dilakukan dalam rangkaian analitikal, dilengkapi dengan “biaya” dan “alternatif”nya. Suatu hal yang baru dengan dilontarkannya gagasan bahwa “biaya” (cost) bukan berarti nominal dollars saja, bisa diartikan laju atrisi, kerugian, kehilangan, korban, dll. Pro-kon solusi diterjemahkan RAND dalam format solusi dengan varian alternatif dengan harga “effektivitas” dan dipasangkan dengan “biaya” sebagai konsekuensi dukungan terhadap masing-masing alternatif pilihan. Teknik yang dilontarkan didepan forum saat itu baik diWashington maupun didepan petinggi NATO merupakan suatu yang baru, sedikit diketahui dan ditandai isyarat kuat bahwa peran mereka tidak lebih sebagai pembantu pengambil kebijakan (Ibid, hal 30) nasional dan strategi nasional agar para pemangku kepentingan dan strategi nasional lebih memahami isunya, opsinya dan kapabel melakukan analisis geser (trade-off,pen). Berikutnya membiarkan para elit nasional dapat memahami dan mengerti cara pengambilan keputusan yang benar dan memilih opsi yang tergambar jelas , mana yang effektif dan effisien .
penekanan peran organisasi ini sebagai produser kepakaran khusus, kedua, menerangi kontribusi mereka yang memberikan pencerahan diatas debat berpolemik selama ini dengan ide-ide segarnya. Mengapa organisasi tersebut dapat memainkan perannya begitu bagusnya ? Ada beberapa alasan:[1] Awal tahun 1990-an ada keinginan kuat untuk berfikir keluar dari pakem selama ini (“insideof-the box”). Kuatnya keinginan mengatasi revolusionari perubahan (managamen perubahan,pen) atau berusaha tampil dengan paradigma intelektual baru yang nampaknya sulit dilakukan oleh kekuatan alami birokrasi (Asmus, hal 29). Bukan dikarenakan orang di-birokrasi tidak memiliki talenta namun lebih disebabkan kebiasaan bekerja dengan konsensus (pakem,pen), keengganan menerima risiko (cari amannya saja,pen) serta lebih terjebak dengan konsensus operasional/taktis dan mungkin saja disanasini masih diliputi iklim feodalisme yang kental. Sangatlah mudah berfikir dari luar kotak, untuk mencermati fenomena masalah secara garis besar dan komprehensif --- wadah seperti ini adalah struktur insentif yang paling tepat diluar (Ibid, hal 30 ). [2] Banyak aktor didalam pemerintahan yang berusaha menoleh keluar mencari masukan dan analisis kepada mereka sebagai refleksi cara baru menjembatani perbedaan yang ada antar interagensi selama ini. Upaya kolektif semacam ini mendorong pejabat senior pemerintah lebih proaktif menjemput organisasi itu dan membawanya dalam isu kooperasi interagensi. [3] Organisasi ini memiliki oportunitas pemberi saran, mengingat stok inventori sejumlah besar orang-orang dengan kredo dan keahlian spesifiknya diyakini dapat menekan dan meningkatkan kooperasi interagensi. Sekali lagi RAND mendapatkan pujian ditahun 1990 sebagai satu dari tim terkuat dalam bidang keamanan Eropah diluar pemerintah AS. RAND diakui sebagai kontak kunci yang terbaik dalam rangka hubungan dengan Barat, Eropah Tengah dan Timur termasuk Russia, bersama-sama dengan The Atlantic Council dan National Defense University dan termasuk barisan organisasi pertama wadah pemikir dalam era demokrasi baru di Eropah Timur dan Tengah (Ibid, hal 30). Bahkan Jerman sebagai anggota negara Eropah Timur juga Tengah telah menoleh kepada lembaga semacam RAND guna membantu mencari metoda analisis terbaik untuk mengembangkan kebijakan dan strategi nasionalnya. Situasi ini semakin menambah akses dan semangat wadah pemikir semacam ini bagi Washington dan hampir setengah negara Eropah serta menikmati produk kerja lembaga itu (Ibid, hal 30). Akses dan pujian saja tidaklah cukup mendewasakan kelembagaan semacam itu. Patut digaris bawahi bahwa RAND sukses besar dengan langkah ekstra panjangnya untuk tetap mempertahankan spesifikasinya dibidang analitikal dan obyektifnya – produknya berupa beberapa himpunan alternatif solusi dengan pro-kon (pro – ukuran effektivitasnya,kon – adalah biayanya,pen) suatu kerangka fikir yang lebih komprehensif, lebih bertanggung jawab dan transparan, bukan saja terhadap jumlah anggaran yang sudah dikeluarkan tetapi dipasangkan dengan performa produk yang dihasilkan dengan dukungan anggaran sebesar itu. Contoh suksesnya analitikal studi yang dilakukan RAND berbasis ide segar dalam debat tentang
Vol. 5, No. 16, Oktober 2012
Bagaimana dengan wadah pemikir (Zhiku atau Sixiangku) di-China ? “Creative Brain Farm” adalah ruh wadah pemikir Barat, sebaliknya ruh wadah pemikir ASIA adalah “Collective Brain Farm“ khususnya Jepang dan Korea, menurut Hassig --- kelemahan menyolok lembaga riset Korea dan Jepang berupa terbatasnya kebebasan berideologi / berpendapat dan kebebasan berdebat versus suatu isu (Hassig, hal 1314) dan lebih cenderung “hanya” menjamin kredibilitas dan respektabilitas pemilik idea/sponsor. Bagaimana dengan China ? Model wadah pemikir China sepeninggal Russia --- mengikuti model Russia dengan karakter China. Mewarisi segala kelemahan Russia, seperti ketidak beranian mengemukakan pendapat apalagi yang (cenderung) tidak sependapat, entah beralasan innovasi, inisiatif maupun saran (lebih-lebih,pen) bagi pemimpin partai. Di-era kontemporer China, dibawah kepemimpinan ketua Mao peran Sixiangku sangatlah terbatas bahkan tidak satupun organisasi pengayomnya. Mao mengabaikan rasionalitas pemerintahnya dan saran para intelektualnya (Bader, hal 5) --- Mao adalah simbol keputusan. Sixiangku mulai berkembang sejak Hu Jiantao menjadi Presiden Sekolah Pusat Partai ditahun 1990, dibantu Sun Qingju sebagai wakilnya memainkan peran yang siginifikan mengembangkan teori Hu yakni pengembangan perdamaian (peaceful development). Dibawah kepemimpinan Hu, Universitas berbasis Sixiangku di-Beijing menjadi lebih berkembang (Ibid, hal 6), dan basis wadah pemikir ini lebih banyak berada di Universitas, bukan di-lembaga independent nirlaba seperti di Barat. Setelah reformasi dan semangat keterbukaan dijalankan, partai dan pemerintah menyadari benar benar peran Sixiangku ini sangat penting dalam memecahkan
8
Wadah Pemikir (Think-Tanks) -- Belajar Dari Kasus Wadah Pemikir... dan Institut Shanghai untuk studi Internasional. Apa yang bisa ditangkap dari bidang studi yang dikembangkan ini --- penguasaan diplomasi, kooperasi internasional, studi strategi, dan ekonomi internasional hampir semuanya sangat berkepentingan sekali dengan tercapainya obyektif kepentingan nasional China (ends) dan promosinya (ways) kedunia internasional. Awal tahun 2009, Prof James.G.McGann dari Universitas Pennsylvania dengan tim menerbitkan buku tentang urutan wadah pemikir didunia dengan judul “2008, Global Think Tanks” (Ibid, hal 27). AS unggul dengan 1777 organisasi wadah pemikir, diikuti Inggris dengan jumlah 283 , Jerman dengan 186. Asia sebagai penjurunya adalah India dengan 121 organisasi wadah pemikir diikuti Jepang dengan 105 wadah pemikirnya. Statistik sekarang mencatat China memiliki organisasi riset sebanyak 2500 , memperkerjakan periset sejumlah 35000 periset tetap dan 270000 staf, atau 80% fokus kepada riset kebijakan dan telah membantu langsung/tidak langsung kepada pemerintah, melebihi jumlah yang ada di AS sendiri. Hasilnya – (barangkali,pen) China telah menarik perhatian para petinggi negara besar (dan mulai cemas,pen) dengan meroketnya kemajuan yang telah dicapainya. Menarik adanya komitment elit nasional, termasuk elit partai untuk bukan saja mendengarkan bahkan menerima kehadiran wadah pemikir tersebut. Apalagi semenjak Kongres partai keenambelas, Biro Politik dari Komite Sentral China telah mengundang para pakar untuk rutin memberikan kuliah kepada mereka setiap 40 hari (Ibid, hal 29) ... dan dihadiri oleh para petinggi yang langsung memberikan keputusan strategik dan kebijakan nasional - sungguh upaya cerdik membuat trampil (state-craft) negarawan dan elitnya. Menurut Cheng Li, senior fellow di-Foreign Policy, John L Thornton China Center (Bader, hal 6) ada tiga (3) faktor kecenderungan penyumbang perkembangan positif kehadiran wadah pemikir China (Bader, hal 6,7). Pertama, berakhirnya era “orang kuat China” dan bangkitnya kepemimpinan kolektif telah mendorong pembuat kebijakan untuk mencari legitimasi produk kebijakannya melalui wadah ini. Kedua, pertumbuhan Ekonomi China sangat membutuhkan masukan kepakaran dan keahlian profesional, khusunya diarea investasi asing dan finansial internasional. Faktor ketiga adalah pertumbuhan pasar ekonomi China yang cepat tidak saja membuat ekonomi China dan struktur sosio-politiko lebih plural, tetapi berimbas meningkatkannya kelompok kepentingan (Ibid, hal 7). Kelompok ini, khususnya disektor bisnis, telah berupaya mempengaruhi kebijakan pemerintah dan opini publik.
problema sosio-politiko-ekonomi. Bahkan dalam agenda Opini Komite Sentral Partai tahun 2004 diumumkan bahwa komuniti dan akademia ilmu philosophi dan sosial dilibatkan sebagai “otak” partai dan pemerintah. Bahkan ketika SekJen Hu Jintao memimpin rapat temu Sentral Partai dan mendengarkan laporan akademik, dia memerintahkan agar tingkat ilmu sosial harus meningkat dari “baik” menjadi “lebih baik” (Yang Ye, hal 26). Apapun perkembangan wadah pemikir China yang dipimpin partai komunis dengan segala format hirarkhis, rantai komando yang “super ketat” serta kepemimpinan kolegialnya perlu diacungi jempol untuk berani dan bisa merasionalisasikan manajemen pemerintahan dibantu wadah pemikir sebagai solusi yang effektif – negara mana yang tidak maju karena “kuatnya” wadah pemikir baik yang independen maupun dari lembaga pendidikan tingginya? Perjalanan berevolusi Sixiangku semenjak revolusi kebudayaan dan keterbukaan, dapat dipetakan sebagai berikut: Tahap-I; tahun 1980, ditandai kemauan pemerintah China untuk memberikan apresiasi hadirnya wadah pemikir modern. Pada tahap ini, konsentrasi riset ditujukan kepada analisis kebijakan atau strategi nasional. Dorongan kuat termasuk keinginan yang menggebu-gebu untuk meraup dan menguasai ilmu pengambilan keputusan modern utamanya bagi kaum intelktual muda China. Banyak intelektual muda China yang berada pada posisi penting dipemerintahan ikut aktif dalam diskusi dan kegiatan pengambilan keputusan dan pembuatan strategi/kebijakan nasional dipromosikan sebagai anggota wadah pemikir modern resmi dipemerintahan. Pada saat yang sama, beberapa inteletual yang berbakat keluar dari pemerintahan dan mendirikan organisasi pemikir yang independen, didorong dengan antusias, semangat serta tekad yang kuat (Ibid, hal 27). Tahap-II, dipertengahan tahun 1990, pidato ketua Deng Xiaoping dalam inspeksi dan turnya kewilayah China selatan, resmi meluncurkan babakan baru reformasi, revolusi kebudayaan dan keterbukaan. Perekonomian dan perusahan privasi berkembang pesat. China benar benar membuka diri seluas-luasnya. Selama tahap ini wadah pemikir ini bersemi dan berkembang bukan lagi fokus kepada kebijakan publik, mereka mulai terjun kedunia bisnis sebagai konsultan dan ikut melancarkan roda bisnis agar semakin lancar (Ibid, hal 27). Pemikiran cerdik untuk memaksimalkan produk strategi ekonomi, dan buahnya digunakan mendorong semua sektor. Tahap-III, diabad 21, tajamnya konflik yang disebabkan pertumbuhan ekonomi yang begitu cepat versus pengembangan sosial membuat problema nasional semakin serius, dan menyebabkan elit nasional senior semakin menoleh kepada para wadah pemikir. Perhatian lebih ini diperhangat dengan peran proaktif wadah pemikir yang menyelenggarakan forum wadah pemikir China di-Beijing bulan November 2006 dan Shanghai bulan Juli 2007. Forum tahun 2006 , menampilkan “10 besar wadah pemikir paling berpengaruh di China”, al: Akademi China tentang ilmu sosial, Pusat Pengembangan Riset Negara, Akademi Ilmu-ilmu China, Akademi Ilmu Militer China, Institut Studi Internasional China, Institut Kontemporer Hubungan Internasional, Komite Nasional China untuk Kooperasi Ekonomi Pasifik, Asosiasi China untuk IlPengTek, Institut Studi Strategi Internasional China
Perkembangan wadah pemikir di Inggris Berbeda dengan China yang mengalami tiga (3) gelobang, Inggris mengalami empat (4) gelombang. Gelombang-I, diabad 19, diklim sebagai awal tumbuhnya wadah ini (Garnett, hal 35). Gelombang ini diasosiasikan dengan hadirnya Jeremy Bentham dan John Stuart Mils yang menerbitkan Journal “The Westminster Review” secara periodik, dan menguasai opini dalam parlemen. Mereka tidak menampilkan keinginan untuk kemajuan mereka sendiri namun lebih kepada promosi yang effektif tentang ide-ide
9
Vol. 5, No. 16, Oktober 2012
Wadah Pemikir (Think-Tanks) -- Belajar Dari Kasus Wadah Pemikir... mempengaruhi kebijakan, namun tetap ada kepentingan lain yang lebih menonjol (Ibid, hal 38).
segar kebijakan nasional. Iklim kebijakan nasional waktu itu dapat dilacak melalui kesungguhan dan perjoangan Jeremy dkk, melalui kredo mereka. Mengikuti langkah mereka adalah kelompok The Fabian Society yang bekerja mempromosikan semacam penyembuhan kolektif terhadap isu sosial, nampaknya berhadapan dengan Partai Konservatif dan Buruh yang lagi berkuasa. Gelombang–I banyak diwarnai dengan respon idiologi insititusional dan konsep atau pemikiran. Gelombang-II, terjadi dalam periode antara PD-I dan PD-II, sebagai respon terhadap kelambanan dan kelemahan pemerintah menghadapi problema sosio-ekonomik dengan penjurunya adalah PSI (Policy Studies Institute) dan NSIER (National Institute of Economic and Social Research). Kedua lembaga wadah ini nampaknya mewakili publik untuk mempertanyakan alokasi (alternatif kegiatan dan konsekuensi dukungan anggarannya, pen) sumber daya nasional yang digunakan sebagai obyektif kegiatan dan relevansinya dengan kebijakan yang dibuat (urutan prioritas,pen) (Ibid, hal 36) – lebih banyak mengarah pada preferensi “kebijakan”. Wadah ini lebih bersifat terbuka dibandingkan perilaku wadah lainnya sebelumnya dan dinaungi oleh organisasi yang lebih formal. Bisa jadi ada anggapan bahwa wadah pemikir ini mencoba mempengaruhi publik tentang ketulusannya sebagai wadah pemikir, jelasnya sebagai profesional penasehat kebijakan, independen, akan tetapi berharapan bisa membangun hubungan konstruktif dengan gedung Wesminster atau Whitehall. Secara umum wadah ini cenderung menguntungkan intervensi pemerintah versus isu problema (solusi, pen?) ekonomi. Gelombang-III dan-IV, era ini cenderung eksplisit dalam bentuk respon ideologik terhadap pemerintah tentang kegiatan pemerintah versus isu sosioekonomik setelah PD-II. IEA (The Institute of Economic Affairs) berdiri di-tahun 1957, adalah yang pemain pertama dan sendirian sebagai pengawal ekonomi liberal versus partai utama berkuasa yang waktu itu yang bisa menerima intervensi pemerintah. Masuknya CPS (Centre for Policies Studies) tahun 1974, sealiran dengan IEA, namun eksplisit tidak ada hubungan dengan partai konservatif yang dipimpin bu Margaret Tacher ditahun 1975. Meskipun demikian kapabel membawakan ide mereka – advokasi yang effektif versus partai penguasa termasuk pengikutnya dari aliansi lain tentang kasus ekonomi liberal (Ibid, hal 36). Singkatnya IEA sebagai wadah pemikir tidak pernah melemah terhadap partai penguasa. Wadah tetap ini merasa nyaman bahwa mereka tidak sendirian untuk memikirkan Inggris yang telah berjalan dijalur yang salah tentang kebijakan sosioekonomiknya semenjak tahun 1945. Munculnya IPPR (Institute for Public Policy Research) 1980-an, dianggap sebagai inagurator gelombang keempat – kelompok yang “berfikir suatu yang tidak terfikirkan” atau lebih pada tampilan ide segar yang mendapatkan simpati senior/elite partai politik yang berhubungan formal atau tidak formal dengan mereka. Singkatnya meskipun banyak wadah pemikir yang tumbuh di Inggris namun ditengarai hampir semuanya – terjebak kepada keinginan publisitas, dan biasanya mudah berakhir dengan sendirinya. Mungkin saja dikarenakan pertarungan atau persaingan antar wadah – berkedok substansi
Vol. 5, No. 16, Oktober 2012
Bagaimana dengan Jerman ? Organisasi riset kebijakan bukan suatu fenomena baru di-Jerman. 100 tahun Institut Kiel sudah terhitung sebagai institut tertua yang ada dibumi ini. Sebelum era Nazi, sudah ada pelaku organisasi yang relatif mirip dengan wadah pemikir a.l: German Council for Foreign Relations dan The Friedrich-Ebert-Stiftung dan sampai tahun 1990 , dan terminologi wadah pemikir masih belum terbiasa di-Jerman. Sebagian besar mengenalnya sebagai institut riset, yayasan politik, atau yayasan operational, dan belum ada yang menamakan dirinya resmi sebagai wadah pemikir hingga tahun 1990 (Thunert, hal 43). Wadah ini bisa saja berbentuk nirlaba, privat atau publik yang menghasilan output riset dalam format publikasi, laporan-laporan tahunan, kuliah atau lokarkarya – terbukti dengan lonjakan tajam produk riset mereka (periksa http://thinktankdirectory.org/index.html). Dua (2) landskap wadah pemikir yang berkembang di-Jerman yakni bidang akademik dan advokasi. Bila dibandingkan bidang yang ditekuni di AngloAmerika utamanya disektor privat dan advokasi yang berorientasi kepada riset strategi dan kebijakan nasional sangatlah sedikit sekali dikembangkan di-Jerman. Sulit membedakan wadah pemikir yang berorientasi riset dengan institusi riset (universitas misalnya,pen) yang menyentuh solusi tentang kebijakan nasional. Wadah yang berorientasi akademik dapat dibagi bagi dalam beberapa sub-bidang, seperti lembaga ciptaan pemerintah , tetapi bekerja independen dalam lorong petunjuk sektor publik yang ada. Berikutnya adalah institut non-universitas (kebanyakan Institut Masyarakat Leibniz) dan universitas yang berafiliasi dengan pusat riset aplikasi kebijakan, serta akademi wadah pemikir dengan pendanaan swasta (Thunert, hal 44). Singkatnya landskap akademik lebih banyak berorientasi pada netralitas politik, menahan diri tidak memposisikan dirinya dalam isu kebijakan nasional spesifik atau tidak menampilkan diri dalam format ideologi tertentu. Menarik mencermati perkembangan landskap advokasi yang bekerja mengkritisasi pemerintah dan eksplisit melibatkan dirinya untuk mendukung solusi kebijakan nasional tertentu. Wadah pemikir ini bisa saja berbasis kelompok kepentingan, atau merupakan akademi riset berbasis politik milik partai politik atau institut yang independen dari partai maupun kepentingan. Dari sisi pendanaan , kelompok yang berafiliasi dengan partai politik sangat kuat pendanaannya. Perkembangan lanjut wadah di-Jerman ini sangat menggembirakan sejalan dengan kesadaran pentingnya pengetahuan. Kesadaran sebagai masyarakat berpengetahuan memainkan peran yang menentukan. Terjadilah migrasi masyarakat tradisional menjadi masyarakat teknologi --- format baru serta masalah baru menggantikannya (Ibid, hal 57). Format serta masalah baru ini tentu saja akan meningkatkan kebutuhan solusinya – dan supply kebutuhan format dan masalah baru serta demand teknologi dan kebijakan yang tepat (Ibid, hal 57). Wadah pemikir yang dapat memberi-
10
Wadah Pemikir (Think-Tanks) -- Belajar Dari Kasus Wadah Pemikir... dibawah label ”inside-of-the box” (internal birokrasi,pen) dipastikan sulit, kurang berani dan jauh dari kelahiran ide segar ataupun kajian yang berkelas dan obyektif --ineffisiensi ? Analog dengan wadah semacam ini baik di Barat maupun di China (sebagian besar,pen) dan berafiliasi dengan Universitas pemerintah yang didanai penuh atau subsidi pemerintah tetap akan sulit menelorkan ide segar dan berani dan tetap berada di jalur satu (track-one). Sulit membayangkan dalam kultur kepemimpinan dan hirakhis partai komunis China yang begitu ketat diera sebelum revolusi kebudayan dan keterbukaan, ditambah (boleh jadi,pen) arogansi kepemimpinan --- wadah pemikir terbebas dari rasa ketakutan untuk menampilkan kebenaran akademik, dampaknya pasti kembali terjebak tuduhan seperti disloyal kepada partai, dan atau pemimpin. Padahal apa yang akan ditemukan adalah kebenaran yang berujung kepada perbaikan organisasi ... bukankah keprihatinan kepada organisasi dalam pengertian menemukan fakta benar atau salah dalam kajian atau riset memerlukan suatu keberanian dan tekad luar biasa dan hampir pasti terbungkus dalam bentuk loyalitas paling tulus kepada organisasi sekaligus menjadi kredo wadah pemikir ? Mengurang-ngurangi atau mengabur-ngaburkan kenyataan baik positif ataupun negatif dalam konsep pemecahan masalah (decision science), identik dengan membangun asumsi sekaligus menciptakan risiko apabila asumsi tersebut ternyata menjadi kenyataan...risiko adalah ongkos yang harus dibayar mahal. Analog dengan wadah semacam ini baik di Barat maupun di China apabila ada wadah yang berafiliasi dengan Universitas pemerintah dan didanai penuh atau subsidi pemerintah akan sulit menelorkan ide segar dan berani, padahal simbol dari wadah pemikir adalah kebenaran ... dan tentunya tidak akan sama kualitas produk antara wadah pemikir dengan kelompok PokJa ad-hoc. Wadah pemikir adalah investasi sumber daya manusia yang melakukan riset riil dan membantu mitranya yakni kelompok “inside-of-the box” dengan ide segar dan jauh dari pesanan, titipan, tekanan , retorik maupun tuduhan disloyal. Wadah pemikir dapat dijadikan simbol kemajuan pengetahuan suatu negara --- pengetahuan adalah kekuatan dan kekuatan adalah mahal.
kan ide-ide segar bagi dua (2) kebutuhan tersebut (demand dan supply,pen) sangatlah dibutuhkan. Dewasa ini tekanan seperti itu semakin meningkatkan kebutuhan sain untuk memproduksi aplikasi yang lebih berguna dan bermanfaat bagi masyarakat. Universitas dan institusi sain didesak (bukan dituntut, pen) untuk melakukan riset berkooperasi dengan perusahaan atau organisasi yang terlibat dalam ruang politik. Desakan pemerintah serta tuntutan masyarakat membuat Universitas dan Institusi riset merubah obyektif strateginya sehingga semakin lama relatif mirip dengan wadah pemikir. Wadah yang dibiayai oleh dana publik akan lebih banyak berkonsentrasi kepada pengetahuan aplikasi, sebaliknya organisasi besar akan berkonsentrasi kepada riset dasar – distribusi ini tentunya diatur melalui strategi pengetahuan oleh pemerintah. Perkembangan ini memberikan kesadaran bahwa politik semakin lama menyandarkan kepada konsep aplikasi pengetahuan. Kesimpulan singkat wadah pemikir di-Jerman dasarnya berorientasi akademik. Wadah ini mengembangkan strategi bagaimana mempengaruhi proses politik, khususnya pengaturan agendanya. Merupakan suatu realita khusus berkaitan dengan kelompok kepentingan dengan adanya aturan baru yang memperbolehkan swasta mendanai wadah ini, dikuatirkan akan menggoyang netralitas bebas wadah ini – bila terjadi komunikasi yang intens dengan sponsor atau pelanggan yang mendanai (Thurnet, hal 59)... dan era sekarang wadah tersebut tetap mengklim dirinya sebagai pengabdi riset dan analis isu publik penting. Kesimpulan Wadah pemikir lebih banyak mewarnai sisi positifnya sekurang-kurangnya “buah” berkomunikasi intens dengan penguasa tentang kebijakan dan evaluasinya. Inti “task” wadah pemikir adalah jembatan ilmu pengetahuan dengan kekuasaan ... dengan ide-ide segarnya melalui riset atau kajian. Atribut wadah ini tertata bagus, apabila berani bertindak netral, bebas dari intervensi atau pesanan , jauh dari manuvra politik dan pendanaan kelompok kepentingan. Haruslah diakui bahwa lembaga internal Departemen relatif semacam wadah ini, dan diposisikan tetap bernaung
Referensi: 1. Abelson,Donald.E, Proffesor , Dept of Political Science, University of Western Ontario, Canada, “ An Historical Perspective --- Think Tanks and US Foreign Policy ”, khususnya halaman 9......why “think tanks” in the United States have become an integral feature of the country’s political landscape and why policy-makers in Congress, the Executive Branch, and the wider federal bureaucracy often turn to them for policy advice. 2. Asmus, Ronald. D, Senior Transatlantic Fellow, German Marshall Fund of the United States Adjunct Senior Fellow, Council on Foreign Relations, “Having an Impact : Think Tanks and the NATO Enlargement Debate”. 3. Bader , Jeffrey A , Director John L Thornton China Center, Participants : Murray, Scot. Tanner, China Security Analyst , et-all, Brooking Institution, Washington, 2008, “Think Tanks in China : Growing Influence and Political Limitations”. 4. Haass, Richard.N, Director of Policy and Planning US Dept of State, November 2002, “ Think Tanks and US Foreign Policy: A Policy-Maker’s Perspective”, US Foreign Policy Agenda, An Electronic Journal of the US Departement of State......He says they generate “new thinking” among U.S. decisionmakers, provide experts to serve in the administration and Congress, give policy-makers a venue in which to build shared understanding on policy options, educate U.S. citizens about the world, and provide third-party mediation for parties in conflict 5. Hassig, Kongdan Oh, Institute of Defense Analysis , 1998 , “ IDA’s Outreach to Asia-Pacific Research Institutions “. 6. MC Gann, James G, Rutledge Research in American Policy, 2007, “Think Tanks and Policy Advice in the US : Academics, Advisors and Advocates”. 7. Merz, Rudolf Traub, Briefing Paper Sanghai, Special Issue, Sept 2011,Friedrich Ebert Stiftung, ”Do We Need More and More Think Tanks?”. 8. Ren,Xiao, Modern International Relations, Issue # 7, 18-48, 2000, “ The Fifth Power --- The Formation, Function, and Operation Mechanism of the US Think Tanks,” 9. Rich, Michael. D, RAND, 2003, “How Think Tanks Interact with the Military” 10. Rich,Andrew, City College of New York, 2004, ” Think Tanks , Public Policy , and the Politics of Expertise ” ; ---Ch1. “ The Political Demography of Think Tanks “ . 11. Yang Ye, Friedrich Ebert Stiftung, Briefing Paper Shanghai, Special Issue, September 2011/English, Editor Andrew Rich, James Mc Gann, et-all (8 persons) , “Think Tanks in Policy Making --- Do They Matter ?” ; -----ch4.”Feasible Paths of Development for Think Tanks in China” ; Yang Ye -----ch5.”Think Tanks in Trouble in the UK: an Honourable Tradition in Troubled Times”, Mark Garnett. -----ch6.”Think Tanks in Germany”,Martin Thunert.
11
Vol. 5, No. 16, Oktober 2012
Indonesia Dalam ‘Asian Century’
INDONESIA DALAM ‘ASIAN CENTURY’ Oleh : Goldy Evi Grace Simatupang * Pendahuluan
militer). Pada masa ini tidak satu negara pun yang dapat mengimbangi Amerika dalam hal kekuatan militer, senjata nuklir dan information warfare. Dan Amerika tidak hanya unggul dalam hal itu, ideologi (baca: liberalisme) dalam hal ini demokrasi liberal, pasar bebas, masyarakat yang terbuka, penghargaan terhadap hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, hak hidup dan yang lainnya yang berhubungan dengan persamaan dan kebebasan, dianggap sebagai hal yang “ideal”. Pada masa ini pemerintahan yang otoritarian dan masyarakat yang tertutup tidak lagi populer. Hal ini ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet. Dengan demikian Amerika menjadi episentrum kekuatan dunia. Setelah European Century dan American Century, muncul istilah baru dalam hubungan internasional, yaitu Asian Century. Istilah Asian Century lebih populer terutama ketika pada bulan Oktober Australia mengeluarkan Buku Putih-nya yang berjudul Australian in the Asian Century. Asian Century menekankan perhatiannya pada kebangkitan Asia yang mengasumsikan bahwa beberapa negara di Asia akan menjadi negara major power. Salah satu negara yang diperhitungkan dalam dokumen tersebut adalah Indonesia. Adalah kesempatan sekaligus tantangan bagi Indonesia untuk menjadikan dirinya sebagai key player dalam Asian Century.
Dalam berbagai literatur dan media, abad 21 disebut sebagai “Abad Asia” atau Asian Century. Penamaan untuk “Asian Century” ini disamakan dengan penamaan abad 20 sebagai Abad Amerika (American Century) dan Abad 19 sebagai Abad Eropa (European Century) atau literatur lain menyebutnya sebagai Abad Inggris (British Century). Abad 19 (European Century) adalah titik balik dari ilmu pengetahuan saintifik yang ditandai dengan penemuan berbagai mesin yang selanjutnya menjadi penyebab lahirnya revolusi industri. Pada abad ini terjadi perubahan secara besar-besaran di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi dan teknologi yang membawa dampak mendalam terhadap kondisi sosial, ekonomi dan budaya dunia. Revolusi ini dimulai dari Inggris (sehingga tidak heran sering pula disebut bahwa abad ke-19 adalah abad Inggris) lalu selanjutnya menyebar ke seluruh Eropa, Amerika Utara dan akhirnya ke seluruh dunia. Revolusi industri menandai terjadinya titik balik sejarah dalam sejarah dunia, khususnya dalam hal peningkatan pertumbuhan penduduk dan pendapatan rata-rata per kapita yang berkelanjutan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan pertumbuhan yang pesat dalam perekonomian terutama di Inggris, Eropa menikmati dominasi ekonomi yang kemudian menjadikan Eropa bukan hanya kekuatan ekonomi namun juga menjadi pusat kekuatan politik dan sosial yang menempatkan Eropa di titik pusat perdagangan global. Dengan wilayah jajahan yang tersebar di seluruh dunia, sistem hukum Inggris diadopsi oleh negara-negara koloninya di seluruh dunia yang memperkuat universalisasi Eropa. Hal ini memunculkan istilah Eropanisasi yang merujuk pada ideologi dan hukum yang di-setting oleh Eropa sebagai satu-satunya pemilik kekuatan utama. Berbeda dengan Abad Eropa yang identik dengan revolusi industri, abad 20 kemudian dinamakan sebagai “Abad Amerika” (American Century) ditandai dengan kebangkitan politik, sosial dan ekonomi Amerika setelah Perang Dunia II. Selama masa Perang Dingin ada dua kekuatan utama dalam sistem internasional (bipolar) yaitu Uni Soviet dan Amerika. Berakhirnya Perang Dingin dengan kemenangan Amerika membuat Amerika menjadi satusatunya kekuatan utama (major power) sehingga Amerika disebut sebagai negara superpower. Berbicara mengenai power pada era Perang Dingin maka power identik dengan hard power (politik dan
Trend Perkembangan Negara-Negara Asia Kata “Asian” dalam Asian century sebenarnya adalah generalisasi dari beberapa negara Asia yang dianggap menjadi penggerak kebangkitan Asia. Dalam studi yang dilakukan oleh Asia Development Bank (ADB) ada tujuh negara Asia (Asia-7) yang menjadi “mesin” Asian century yaitu: China, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Thailand dan Malaysia. 1 Ada beberapa hal penting mengenai negara-negara ini: 1. Pada tahun 2010 ketujuh negara ini memiliki total populasi 3.1 milyar (78 persen dari total populasi Asia).2 Populasi Asia diprediksi akan bertumbuh sampai lebih dari 5 milyar sebelum tahun 2050. Sementara populasi Amerika Utara dan Eropa diprediksikan akan menurun. 2. Kecenderungan yang terlihat dalam tiga dekade terakhir menunjukkan pertumbuhan ekonomi Asia yang selalu meningkat. Asia-7 diprediksikan akan menjadi raksasa-raksasa ekonomi baru. Produk domestik bruto (PDB) ke tujuh negara ini adalah US$15.1 (87 persen
* ) Penulis adalah tenaga analis di FKPM. Pada tahun 2006 menempuh pendidikan pada jurusan Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran. Sebelumnya, pada tahun 2010, bekerja sebagai peneliti di Institute for Maritime Studies (IMS), Jakarta. 1 Asian Development Bank. Asia 2050: Realizing the Asian Century. Singapore. 2011. 2 Ibid
Vol. 5, No. 16, Oktober 2012
12
Indonesia Dalam ‘Asian Century’ Asia) dalam tahun 2010. Studi Asian Development Bank menunjukkan PDBnya akan mencapai 90 persen Asia sebelum tahun 2050. Ketujuh negara ini akan memiliki 45 persen dari PDB global. Rata-rata pendapatan per kapita nya akan menjadi $45,800 (dalam PPP [purchasing power parity]) jika dibandingkan dengan $37,300 untuk global. Antara tahun 2010-2050, tujuh kekuatan utama ekonomi Asia ini akan mencatat 91 persen dari total pertumbuhan PDB di Asia dan hampir 53 persen dari pertumbugan PDB global. Oleh karena itu, negaranegara ini akan menjadi “mesin” bukan saja hanya di Asia tetapi untuk ekonomi global. 3
kekuatan masing-masing negara. 4 Peningkatan hubungan AS dengan negara-negara sekutu maupun dengan negara-negara yang dianggap bersahabat di berbagai kawasan merupakan bagian terpenting dari strategi hedging ini. 5 Jepang, India dan Korea Selatan merupakan negara-negara yang penting bagi AS untuk dapat mengimbangi kekuatan China di kawasan. Asian century dan perubahan konstelasi politik global Perkembangan politik global yang dinamis membuat setiap aktor dalam sistem internasional harus cepat tanggap dan dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada. Kawasan Asia Pasifik juga mengalami perubahan lingkungan strategis global. Dalam berbagai hal, teoriteori Hubungan Internasional sedang diuji. Teori realisme misalnya. Dalam pandangan realisme sistem internasional adalah anarki, negara-negara berdaulat adalah aktor utama dalam politik dunia dan merupakan agen yang rasional, tidak ada satu pun otoritas yang dapat mengontrol atau mengatur negara (Morgenthau 1973, p. 10, Waltz 1979, p. 95); struktur sistem internasional membentuk perilaku negara-negara (Gilpin 1981, p.10, Morgenthau 1978, Waltz 1979); dan dalam rangka untuk bertahan hidup (survival) dalam sistem self-help, negara harus berjuang untuk kekuasaan (struggle for power). Teori realisme ini menjelaskan ancaman kebangkitan China secara ekonomi dan modernisasi militernya dan isu nuklir Korea Utara. Dalam sistem internasional yang anarki, setiap aktor dalam sistem internasional akan meningkatkan keamananya dengan mempersenjatai dirinya. Artinya peningkatan persenjataan dan kekuatan aktor lain adalah ancaman bagi dirinya sendiri. Inilah yang disebut dengan security dilemma. Kecenderungan perlombaan keamanan di Asia Timur menciptakan tingkat dilema pada aspek securitization di Asia Timur dan Pasifik. Struktur politik global masih didominasi oleh dominasi AS, tantangan dan pengaruh dari negara yg berkembang pesat seperti China dan beberapa negara kuat lainnya di Asia (Jepang, India, Korsel) dan UE dan Rusia. Keseimbangan baru yang akan tercipta akan sangat tergantung dari interaksi masing-masing negara ini. Jepang memiliki pandangan yang sama dengan AS dalam hal persepsi ancaman kebangkitan China. India melihat bahwa kawasan Asia Timur menjadi bagian penting terhadap perkembangan ekonomi dan posisi internasionalnya membuatnya semakin mengintegrasikan dirinya ke dalam kawasan Asia Timur. Teori lain adalah teori liberalisme dan interdependensi kompleks. Banyaknya dan kompleksnya hubunganhubungan transnasional dan saling ketergantungan diantara negara-negara dan masyarakat semakin meningkat, sementara penggunaan kekuatan (baca: militer) dan pe-
Tabel 1. GDP Asia, 1700-2050
3. Perkembangan ekonomi China dan modernisasi kekuatan militernya menjadikan China menjadi pemain utama dalam aspek keamanan di Asia. Kebangkitan China ini menjadi isu yang paling signifikan bagi masa depan Amerika Serikat dalam percaturan politik global. Kebangkitan China ini membuat terjadinya perubahan struktur dan konstelasi politik global di masa mendatang. Tantangan Amerika dalam menghadapi kebangkitan China adalah bagaimana merespon dan mengakomodasi China sehingga negara ini dapat menjadi aktor dan mitranya dalam menjamin stabilitas kawasan (kooperatif), namun pada saat yang sama AS juga harus bersiap menangani ketidakpastian dan meningkatnya kerisauan di bidang keamanan (kompetitif). Ketidakpastian hubungan China-Amerika ini membuat Amerika membuat strategi hedging (strategic hedging). Melalui strategic hedging ini, AS bermaksud untuk membuka peluang bagi dirinya dalam mempertahankan hubungan ekonomi yang menguntungkan dengan China, sambil menangani ketidakpastian dan meningkatnya kerisauan di bidang keamanan yang ditimbulkan oleh kebangkitan China. Kebijakan strategi hedging ini dapat dimengerti, sebab dengan demikian Washington dan Beijing dapat menjaga kerjasama ekonomi mereka yang saling menguntungkan selama ini dan di lain pihak, di saat yang sama dapat menangani ketidakpastian dan meningkatnya perhatian terhadap 3 4 5
Ibid Evan S. Medeiros. Strategic Hedging and the Future of of Asia-Pacific Stability. www.disis-tl.org Ibid
13
Vol. 5, No. 16, Oktober 2012
Indonesia Dalam ‘Asian Century’ Berbeda dengan idealisme yang menekankan pada ide-ide manusia yang mempengaruhi proses politik, konstruktivisme menekankan bahwa tindakan aktor yang mengakibatkan terjadinya peristiwa politik merupakan hasil interaksi individu yang bersangkutan dengan lingkungan di sekitarnya (struktur sosial, politik, ekonomi, budaya, dsb). Jadi apa yang terjadi saat ini, yaitu ASEAN sebagai sebagai penyeimbang kekuatan di kawasan dapat dilihat dari kacamata konstruktivis sebagai usaha untuk mencegah dominasi kekuatan tertentu di kawasan.
nyeimbangan kekuatan semakin menurun. Interdependensi kompleks dicirikan oleh tiga karakteristik utama, yaitu : 1) Berbagai channels menghubungkan masyarakat, termasuk hubungan informal diantara elit pemerintah dan juga persetujuan luar negeri resmi, keterhubungan informal diantara pihak non-pemerintah dan organisasi trasnasional (misalnya bank multinasional atau perusahaan). Jadi channel ini adalah interstate, transgovernmental dan hubungan transnasional. 2) Agenda hubungan interstate terdiri dari berbagai macam isu yang tidak didasarkan pada hubungan hirarkis. Ini berarti bahwa agenda hubungan internasional tidak hanya berbau keamanan militer dan perbedaan isu domestik dan internasional menjadi blur. 3). Menurunnya penggunaan kekuatan militer dan kekuatan koersif dalam hubungan internasional. 6 Fenomena saling ketergantungan kompleks terlihat dari banyaknya kerjasama bilateral, regional, global maupun multilateral yang membuat terjadinya interdependensi. Hal ini terjadi utamanya dalam bidang ekonomi. Sebut saja Asean-China Free Trade Agreement, ASEAN-Canada and Investment Framework Agreement (TIFA), ASEAN-AustraliaNew Zealand Free Trade Area (AANZFTA), ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership, ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA), dsb. Lihat Tabel-1 berikut ini:
Peluang dan Tantangan bagi Indonesia Boleh saja kita bangga sebagai salah satu negara yang diperhitungkan dalam Asian century, namun pertanyaan penting adalah : “Siapkah kita menghadapi Asian century?” Sebagai negara yang memiliki potensi daya tarik secara geostrategis, Indonesia harusnya merancang strategi dalam rangka meraih dan mengoptimalkan kepentingan nasionalnya yang akan berimplikasi pada posisi tawar geopolitik Indonesia. Bagaimana tidak, dalam buku putih Australia “Australian in the Asian century”, Australia sangat yakin dengan Asia sebagai pemeran utama di masa depan, khususnya dalam bidang ekonomi. Australia tidak pu-
Tabel 1. Kerjasama ekonomi negara-negara di dalam dan di luar Asia 7 Level Modality Subregional growth triangles
Type of action Pub-pte, activity - based
Subregional Mekong
Pub-pte, activity-based
Interregional
Pte Global Production networks G-to-G, rule-based Pending G-to-G
Regional Interregional
G-to-G
G-to-G, Business councils Rapprochement Multilateral
G-to-G, rule-based
Groupings / blocks Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle East ASEAN Growth Triangle, Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines Mekong River Commission (Cambodia, Lao People’s Democratic Republic, Viet Nam, Thailand) Greater Mekong Subregion (Cambodia, Lao People’s Democratic Republic, Viet Nam, Thailand, Myanmar, China) ASEAN Mekong Basin Development Programme ( ASEAN 10, China) Asia Pacific, American, European networks Bankok Areement, AFTA, ASEAN 10, SAARC, BIMST-EL, ECO, Pacific Islands Forum ASEAN Plus Three (APT), ASEAN-China, ASEAN-India ASEAN + 10 dialogue partners, EU Japan, US, Canada, Australia, New Zealand, China Republic of Korea, Russian Federation) ASEAN Regional Forum (ARF: ASEAN 10, US, Canada, EU, Japan, Russian Federation, China, Taiwan Province of China, Democratic People’s Republic of Korea, Republic of Korea, India, Mongolia, Papua New Guinea), East Asia - Latin America Cooperation (EALAC: Argentina, Australia, Bolivia, Brazil, Brunei Darussalam, Cambodia, Columbia, Costa Rica, Cuba, Chile, China, Equador, El Salvador Indoneisa, Japan, Republic of Korea, Lao People’s Democratic Republic, Malaysia, Mexico, Myanmar, New Zealand, Panama, Paraguay, Peru, Singapore, Thailand, Uruguay, Venezuela and Viet Nam, Costa Rica, Cuba and El Salvador APEC (ASEAN 7, US, Canada, EU, Japan, Russian Federation, China, Taiwan Province of China, Hong Kong, China, Republic of Korea, Mexico, Chile, Peru, Argentina, Papua New Guinea) Asia-Europe Meeting (ASEM: ASEAN 7, Japan, China, Republic of Korea, EU 15) WTO
Sumber: Linda Low. 2004.
Perspektif lain adalah konstruktivisme. Konstruktivisme pada dasarnya mengasumsikan bahwa politik internasional adalah hasil dari suatu “konstruksi sosial”, yakni proses dialektika antara “struktur” dan “agen”, dimana lingkungan sosial-politik dan manusia saling berinteraksi untuk menghasilkan perubahan-perubahan sosial-politik. 6 7
nya pilihan lain selain mempererat hubungannya dengan negara-negara Asia karena pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat dan berkelanjutan, yang akan membuat Asia sebagai zona ekonomi terbesar. Indonesia adalah salah satu negara yang diperhitungkan sebagai kekuatan besar itu. Buku putih Australia ini menyebutkan bahwa Indonesia
Robert O. Keohane dan Joseph S. Nye. Power and Interdependence. 3rd edition US. 1987. Linda Low. The Political Economy of Trade Liberalization dalam Asia Pacific Development Journal. Vol. 11, No. 1, June, 2004.
Vol. 5, No. 16, Oktober 2012
14
Indonesia Dalam ‘Asian Century’ adalah kekuatan utama, yang muncul sebagai pemimpin kawasan dengan pengaruh global dan peran yang semakin meningkat di berbagai forum internasional. Hal ini didukung oleh posisi geostrateginya, populasi yang besar dan pertumbuhan ekonomi. 8 Dengan optimisme Australia itu, mari melihat kondisi dalam negeri kita. Indonesia beruntung memiliki wilayah dengan geografis dan hal-hal yang unik. Sekilas melihat wilayah Indonesia maka terlihat: (i) rangkaian dari lima pulau besar, puluhan pulau yang sedang, dan belasan ribu pulau kecil, (ii) laut berada di sekeliling semua pulau, (iii) tersimpan potensi kekayaan alam, baik yang berada di darat maupun di laut, dan (iv) akses yang terbuka untuk masuk posisi stratejik. 9 Selain geografisnya, hal-hal lain yang unik adalah: (i) tempat pertemuan antara samudra India dan Samudra Pasifik, yang menjadikan perairan Nusantara ini memiliki kekayaan alam yang tidak ada tandingannya, (ii) ada laut di dalam laut wilayah, seperti Laut Jawa, Laut Banda, laut Seram, (iii) ada empat choke point, yaitu selat Malaka, selat Sunda, selat Lombok, dan selat Ombai, (iv) ada tiga archipelagic sea lane (ALKI) dan (v) ada sepuluh perbatasan di laut. 10 Melihat kondisi alaminya, Indonesia berpotensi menjadi negara maritim kelas dunia.
memerlukan mindset maritime oriented yang outward looking. Kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan bisa menjadi hal yang melemahkan Indonesia jika laut dijadikan pemisah bukan pemersatu. Selain itu kondisi Indonesia dengan garis pantai ± 108.000 km memerlukan pengamanan khusus untuk menjaga kesatuan NKRI. Kenyataannya, pengamanan pulau-pulau terluar Indonesia masih sangat lemah. Selain dari faktor geopolitik, kepemimpinan Indonesia di masa depan tergantung pada daya saingnya. Menurut World Economic Forum ada 12 pilar daya saing (competitiveness)12, yaitu institusi, infrastruktur, makroekonomi, kesehatan dan pendidikan dasar, pendidikan tinggi, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, pasar keuangan, kesiapan teknologi, ukuran pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, pasar keuangan, kesiapan teknologi, ukuran pasar, kecanggihan bisnis dan inovasi. Selanjutnya ke 12 pilar itu dikelompokkan ke dalam 3 kelompok pilar, yaitu: kelompok persyaratan dasar (Basic Requirements), kelompok penopang efisiensi (Efficiency Enhancers), dan kelompok inovasi dan kecanggihan bisnis (Innovation and Sophistication Factors). Lihat Bagan di Bawah ini :
Bagan 1. 12 Pilar Peningkatan Daya Saing Basic requirements Institutions Infrastructure Macroeconomic environment Health and primary education
Key for factor-driven economies
Efficiency enhancers Higher education and training Goods market efficiency Labor market efficiency Financial market development Technological readiness Market size
Key for efficiency-driven economies
Innovation and sophistication factors Business sophistication Innovation
Key for innovation-driven economies
Sumber: World Economic Forum, The Global Competitiveness Report 2011-2012
Menurut Geoffrey Till sumber daya alam kelautan (resources) hanyalah satu bagian dari tujuh elemen untuk membangun kekuatan maritim. Elemen lain untuk menjadi kekuataan maritim adalah membangun karakter bangsa melalui penguatan dan pemberdayaan komunitas maritim, geografi, pangkalan (bases), armada tempur (fighting instruments), armada niaga (commercial armada) dan government style. 11 Kenyataannya Indonesia belumlah memiliki strategi keamanan maritim. Dan juga infrastruktur seperti pelabuhan masih belum memadai. Untuk menjadikan potensi tersebut menjadi kekuatan nyata, tentu saja
Salah satu agenda besar ASEAN saat ini adalah pembentukan ASEAN community yang terdiri dari tiga pilar yaitu ASEAN Economis Community, ASEAN Political Security Community dan ASEAN Sociocultural Community. AEC sendiri ditargetkan untuk direalisasikan tahun 2015. Untuk itu salah satu langkah yang ditempuh untuk merealisasikannya adalah pembentukan ASEAN+6. Sebagai blok perdagangan terbesar di dunia. Negara-negara yang akan tergabung dalam ASEAN+6 adalah 10 negara anggota ASEAN ditambah Australia, China, India, Jepang, Selandia Baru dan Korea Selatan. Negara-negara ini akan secara
8 9
Thejakartaglobe.com Robert Mangindaan. Responses to Emerging Maritime Security Isues and the Role of ASEAN Militaries and Related Security Agencies: Indonesia Case. Quarterdeck Vol. 5 No. 11. Jakarta. 2012. 10 Ibid 11 Ibid 12 World Economic Forum mendefinisikan daya saing (competitiveness) sebagai kondisi institusi, kebijakan dan faktor-faktor yang menentukan tingkat produktivitas ekonomi sebuah negara. Produktivitas yang tinggi mencerminkan daya saing yang tinggi, dan daya saing yang tinggi berpotensi memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang akan dapat mengikatkan kesejahteraan penduduk.
15
Vol. 5, No. 16, Oktober 2012
Indonesia Dalam ‘Asian Century’ resmi mengumumkan pembentukan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang akan mengintegrasikan 16 negara dalam satu pasar (single market) dengan penduduk yang berjumlah 3 milyar dan PDB mencapai US$17.23 trilliun. RCEP ini adalah payung yang mengintegrasikan lima pakta perdagangan bebas yang sudah ada sebelumnya antara ASEAN dan mitranya masing-masing. Kerjasama ini diharapkan dalam keadaan yang “ideal” akan menguntungkan Indonesia melalui ekspansi pasar, peningkatan produktivitas dan jaringan distribusi, penyerapan tenaga kerja, sektor jasa yang lebih terbuka dan pengurangan biaya transaksi perdagangan. Namun perlu diperhatikan bahwa hal ini justru dapat juga merugikan Indonesia. Misalnya kerjasama ini akan berdampak langsung pada pengusaha dan tenaga kerja mengingat kondisi demografi Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 adalah sebanyak 237.641.326 jiwa. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia setelah China, India dan AS. Dengan dibukanya kerjasama ini dikhawatirkan baik pengusaha maupun tenaga kerja akan dirugikan karena pengusaha yang belum siap dan tenaga kerja yang belum terampil sehingga Indonesia justru dibanjiri dengan tenaga kerja asing. Pasar Indonesia yang luas justru dimanfaatkan oleh negara-negara yang kekurangan pasar, misalnya Singapura. Penulis akan memfokuskan pada kerjasama Indonesia dengan ASEAN+6. Kita akan melihat bagaimana tingkat daya saing Indonesia terhadap 16 negara ini. Lihat tabel di atas ini. Melihat daya saing itu, Indonesia mendapat ranking 11 dari 16 negara yang akan bekerjasama. Pertanyaannya, mengapa demikian? Lihat bagan di bawah ini:
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Negara Singapore Amerika Serikat Jepang Australia Malaysia Korea Selatan Selandia Baru China Brunei Darussalam Thailand Indonesia India Vietnam Cambodia Myanmar Laos
Ranking 2 5 9 20 21 24 25 26 28 39 46 56 65 97 -
Score 5.63 5.43 5.40 5.11 5.08 5.02 4.93 4.90 4.78 4.52 4.38 4.30 4.24 3.85 -
Sumber: World Economic Forum, The Global Competitiveness Report 2011-2012
Penutup Kebangkitan beberapa negara di Asia, yaitu China, Jepang, Korsel, India dan beberapa negara yang potensial seperti Indonesia, Malaysia dan Thailand diperkirakan akan membuat babak baru dalam hubungan internasional. Negara-negara ini (Asia-7) diprediksi akan menjadi ‘mesin’ Asian century. Keseimbangan (balance of power) yang baru akan tergantung pada interaksi negara-negara besar di kawasan dan Amerika sebagai negara superpower. Untuk dapat merealisasikan Indonesia sebagai salah satu negara besar dalam Abad Asia, masih dibutuhkan kerja keras dan dengan kritis dapat melihat kemampuan dalam negeri untuk bersaing di pasar bebas. Memang po-
Sumber: World Economic Forum, The Global Competitiveness Report 2011-2012
tensi sumber daya alam (termasuk potensi Indonesia sebagai negara maritim kelas dunia), sumber daya manusia, juga posisi strategis Indonesia adalah kekuatan tersendiri yang kita miliki. Namun, kesiapan kita juga dilihat dari banyaknya masalah-maslaah dalam negeri yang masih harus segera diselesaikan, seperti korupsi, inefisiensi birokrasi pemerintahan dan ketidaksiapan insfrastruktur, kebijakan yang belum stabil dan akses terhadap pembiayaan. Indonesia tentu saja memiliki potensi sebagai negara besar dalam abad Asia, namun untuk membuat itu menjadi kenyataannya, tampaknya kita masih harus bekerjakeras.
Dalam beberapa persyaratan dasar saja Indonesia masih mengalami masalah yaitu dalam hal institusi, infrastruktur dan kesehatan serta pendidikan. Masalah utama dalam pengembangan bisnis di Indonesia adalah masalah korupsi, inefisiensi birokrasi pemerintahan dan ketidaksiapan insfrastruktur, kebijakan yang belum stabil dan akses terhadap pembiayaan. Melihat faktor-faktor yang paling bermasalah dalam pengembangan bisnis di Indonesia ini maka terlihat bahwa urusan dalam negeri masih menjadi PR utama bagi Indonesia untuk dikatakan “siap” dalam menghadapi abad Asia mendatang. Vol. 5, No. 16, Oktober 2012
16