Mari Pahami Papua Dalam beberapa tahun terakhir situasi HAM di Papua semakin buruk, beberapa hal menonjol, diantaranya, negara masih mengabaikan perlindungan keamanan warga, dan ketiadaan supremasi hukum di Papua. Akibatnya kesejahteraan dan keadilan makin jauh dirasakan oleh orang Papua. Kekerasan makin meluas. Bahkan korbannya tidak hanya warga sipil, namun anggota TNI hingga Polisi. Sementara kriminalisasi yang terjadi terhadap masyarakat sipil di Papua kerap terjadi dengan alasan pengibaran bendera. Aspirasi Politik warga sipil menentang berbagai isu politik di Papua rentan dilabelkan separatisme. Meskipun aksinya damai dan tidak bersenjata. Ada perlakuan yang berbeda bagi warga Papua dan warga Indonesia lainnya. Bahkan Warga Papua yang di luar Papua pun memiliki kebebasan dibanding ‘bersuara’ didalam wilayah Papua. Hal ini adalah bukti bahwa ada diskriminasi dari pemerintah melihat masalah Papua dan upaya penyelesaiannya. Disisi yang lain, isu separitisme memang sengaja dihidupkan dan dijadikan ‘alasan’ untuk beragam gaya kebijakan negara menggelar operasi a hingga z di Papua. Semua ‘seragam’ ada di Papua, TNI, Polri hingga hingga yang tak berseragam seperti Intelijen. Semua mengklaim, bahwa Papua adalah simbol integritas Indonesia dari intervensi asing. Jurnalis yang bekerja untuk media asing dibatasi aksesnya ke Papua. Indonesia, pemerintahnya, takut dengan pertanyaan soal Papua diwilayah internasional. Anehnya, pendekatan keamanan yang berakibat hilangnya rasa mana malah meningkat. jumlah operasi keamanan meningkat, angka kekerasan juga meningkat. Rasa aman justru hadir bagi perusahaan-perusahaan asing, bukan warga sipil di Papua. Persoalan marjinalisasi dan diskriminasi kerap hadir akibat dari praktek pembangunan ekonomi yang korup, konflik politik yang tiada hentinya dan migrasi deras dari luar Papua ke dalam papua sejak 1970. Bagaimana Menyelesaikannya? Dalam perspektif Hak Asasi Manusia [HAM], UU Otonomi Khusus di Papua memandatkan pembentukan Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua. Namun hingga kini, belum ada Peraturan Daerah Khusus tentang Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua. Masyarakat sipil di Papua bahkan luput dari perhatian Jakarta saat mensosialisasikan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang baru. Alhasil, tak banyak masukan dari masyarakat Papua terhadap RUU ini, meski pembentukannya nyata disebutkan dalam UU Otonomi Khusus. Dalam soal kasus, penyelesaian kasus Wasior dan Wamena tak kunjung bergerak. Sebagaimana UU tentang Pengadilan HAM, semestinya tidak ada alasan bagi Jaksa Agung untuk menyidik perisitiwa ini. Namun, Jaksa Agung menyatakan bahwa hasil penyelidikan Komnas HAM belum lengkap. Jaksa Agung mengembalikan berkas penyelidikan berdasarkan surat No. R-015/A/F.6/03/2008. Komnas HAM lalu menyerahkan kembali berkas tersebut berdasarkan surat No. 422/TUA/IX/2008. KontraS sendiri berpendapat bahwa hal ini tidak perlu dilakukan jika Komnas HAM dan Jaksa Agung dapat duduk bersama menjadi jalan keluar atas permasalahan ini. Ketidakjelasan proses hukum atas kasus ini menimbulkan ketidakjelasan pemenuhan keadilan bagi korban di Wasior dan Wamena. Pemerintahan Baru, Jokowi-Jusuf Kalla, pun tak bergeming dan hanya mengulang alasan usang dari pemerintahan SBY-Boediono. Berkas Wamena Wasior dianggap tidak prioritas bagi pemerintahan baru ini. Kegagalan penegakan hukum yang adil justru melahirkan kekerasan. Seperti tiada hentinya. Door, kasus Paniai kembali terjadi, 5 remaja Papua mati ditembak. Ibaarat pepatah, tidak ada maling yang mengaku; kasus Paniai yang terjadi dihadapan kantor Polisi dan TNI setempat, menjadi tidak jelas, siapa pelakunya.
Demikian juga dengan mekanisme non hukum. Papua Road Map yang diterbitkan LIPI menyimpulkan bahwa kegagalan pembangunan tidak saja bertumpu pada satu dimensi permasalahan semata, melainkan menjalar pada sektor-sektor publik seperti pendidikan, kesehatan dan perekenomian masyarakat. Sudah sepatutnya pemerintah pusat konsisten dalam menjalankan kehidupan berdemokrasi tanpa diskriminasi. Sementara Neles Tebay, seorang antropolog, yang juga Ketua STFT Fajar Timur di Papua merekomendasikan; pertama,, meninjau kembali ketidak konsistenan pelaksanaan UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Provinsi Papua; kedua, melakukan penyelidikan atas berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi secara menyeluruh dan segera mendirikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk melengkapi proses hukum dalam pengadilan HAM ad hoc dalam kerangka pemulihan hak para korban, serta; ketiga, membebaskan dan merehabilitasi semua tahanan politik di Papua. Dimasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usulan dialog disambut baik. Dikatakan pentingnya meningkatkan komunikasi intensif antara pemerintah dan Rakyat Papua. Disaat berbagai respon ini bermunculan untuk mencari format dialog, Presiden SBY pada 20 September 2011 mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 66 tahun 2011 tentang pembentukan Unit Percepatan Pembangunan Propinsi Papua dan Papua Barat [UP4B]. Berakhirnya pemerintahan SBY, berakhir pula Perpres ini pada akhir 2014. Berbagai pembangunan dilakukan melalui inisiatif UP4B. Hingga melibatkan TNI dalam pembangunan infrastruktur. Kontroversi. Namun tidak ada pula yang mampu enjawab ketika organ non militer yang seharusnya melakukan kerja pembangunan infrastruktur justru terlibat pada tindakan-tindakan yang diduga korup. Situasinya kompleks. Kita masih tidak tahu adakah kemauan pemerintahan baru dibawah Joko Widodo dan Jusuf Kalla, yang terpilih dari pemilu nasional 2014, mampu melahirkan pendekatan yang solid, dialogis, adil dan memberikan rasa aman serta menumbuhkan kesejahteraan di Papua. Modalitas HAM, dengan berbagai instrumen dan mekanismenya harus digunakan untuk upaya pemenuhan hak warga Papua. Bukan seperti sekarang ini dimana persoalan HAM kerap dilihat sebagai ancaman
CERITA WILHEMUS LOGO
“ Aparat bersenjata yang seharusnya taat hukum dan undang - undang , justru main hakim sendiri dengan amuknya. “ Siang itu, Rabu 6 Juni 2012, ratusan anggota TNI dari Batalion Infanteri (Yonif) 756 Wimane Sili/WMS menyerbu Desa Honelama di Distrik Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Mereka menyerang warga, membakar sejumlah rumah, kios dan fasilitas publik. Di sepanjang jalan yang mereka lewati, kendaraan panser yang mereka bawa menembakkan senjatanya. Akibatnya, warga bernama Elinus Yoman tewas dengan luka tikaman sangkur. Sebanyak 13 orang lainnya luka-luka di kepala, punggung, tangan, kaki dll. Mereka adalah Epinus Kenelak, Yeremia Kogoya, Pikenus Wenda, Lenius Wenda, Otniel Krebea, Yuribugi, Dapus Nirigi, Pianus Nirigi, Enos Lokmbere, Elianus Kalolik, Tius Hilapok, Perius Seleke dan Jekson Gwijangge. Sebanyak 1 unit mobil dibakar, 2 unit mobil dirusak, 8 unit motor dibakar. Selain itu sebanyak 31 rumah warga dan 24 bangunan rumah sehat dan 9 unit kios dibakar. Tak kurang dari 23 rumah sehat juga dirusak dalam aksi tersebut. Mengapa bisa begitu brutal? Insiden penyerangan dan pembakaran Desa Honelama dipicu oleh peristiwa tertabraknya Kevid Wanibo (10) oleh anggota Yonif 756 Wimane Sili/WMS, Pratu Ahmad Sahlan, pada 6 Juni 2012 sekira pukul 10.00 WIT.
Saat itu, Ahmad Sahlan, sedang dalam perjalanan dari markas Yonif 756 Wimane Sili/WMS menuju Kota Wamena menggendarai sepeda motor. Saat melintas di Kampung Honelama motor Ahmad menabrak Kevin, warga Desa Lani Jaya, dan menyebabkan anak tersebut jatuh ke selokan. Melihat kejadian itu, beberapa warga asal Lani Jaya, yang pada saat peristiwa terjadi sedang mengadakan kegiatan duka, langsung menghampiri dan mengeroyok Sahlan. Di saat yang sama datang seorang teman Sahlan, Prada Parloi Pardede, dari arah kota menuju markas Yonif 756. Parloi yang bermaksud melerai justru turut dikeroyok. Ahmad Sahlan tewas di tempat kejadian, sementara Parloin Pardede mengalami luka berat dan dilarikan ke Rumah Sakit Umum Wamena. Informasi meninggalnya Pratu Ahmad Sahlan menyulut emosi rekan-rekannya. Sekitar pukul 12.00 WIT, ratusan anggota Yonif 756 dengan menggunakan truk dan panser mendatangi Kampung Honelama. Mereka melakukan penyerangan dan pembakaran rumah-rumah, peternakan babi dan warung milik warga. Sementara beberapa panser yang digunakan terus bergerak sambil melakukan penembakan ke atas, di sepanjang jalan yang
TNI Membantah ! dilewati. Anehnya, kepada media, TNI membantah adanya penyerangan tersebut. “Tidak, tidak ada (serangan anggota TNI) itu. Berita itu menyesatkan. Jadi anggota (TNI) kita memang tadinya marah dan mereka datang (ke Honelama), tetapi dicegah salah satu perwiranya dan disuruh kembali (ke pangkalannya),” kata Kepala Penerangan Kodam XVII Cendrawasih Letnan Kolonel Ali Hamdan Bogra seperti dikutip .co.uk/indonesia, 8 Juni 2012. Kolonel Ali juga membantah informasi yang menyebut para anggota TNI membakar sejumlah bangunan di desa tersebut dan melakukan penembakan. Berbeda dengan pernyataan pihak TNI, Polda Papua mengakui adanya kasus kekerasan yang diduga melibatkan sejumlah anggota TNI terhadap warga Honelama. Wakapolda Papua Brigjen Paulus Waterpauw mengatakan, para anggota TNI yang diduga terlibat dalam kasus kekerasan ini akan ditangani langsung oleh kesatuan yang membawahinya. “Kalau untuk pelanggaran disiplin maupun hukum, yang diduga dilakukan (anggota TNI) akan ditangani komandan kesatuannya, dalam hal ini Panglima (Kodam XVII Cenderawasih),” kata Paulus Waterpauw. Di Jakarta, Kadiv Humas Polri yang saat itu dipegang oleh Irjen Saud Usman Nasution membenarkan adanya aksi penembakan oleh para tentara tersebut. “Menyusul kecelakaan lalu lintas itu, tentara dari sebuah pos militer setempat datang dengan dua truk dan membalas dengan menembaki warga sekitar dan membakar sejumlah rumah,” kata Irjen Saud Usman Nasution, seperti dikutip kompas.com dari AFP, 8 Juni 2014. Pascaperistiwa penyerangan, hampir seluruh warga Kampung Honelama mengungsi untuk menghindari aksi lanjutan yang dilakukan oleh pihak TNI. Peristiwa ini menjadi aksi brutal dengan dugaan pelanggaran HAM berat kali kesekian yang melibatkan aparat, yang dicatat Komisi untuk Orang
Sejumlah Pelanggaran Hilang dan Komisi Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), selama Januari –Juni 2012. Dalam catatan KontraS, Foker LSM Papua dan Nasional Papua Solidaritas (NAPAS), dalam kurun waktu tersebut, telah terjadi 34 peristiwa kekerasan yang mengakibatkan korban sebanyak 17 meninggal dan 29 orang luka-luka. Aksi tersebut melibatkan Polri, TNI dan orang tak dikenal. Insiden itu juga merupakan salah satu contoh kasus yang sering terjadi di Papua khususnya wilayah pegunungan yang dilakukan oleh aparat keamanan dengan pola pendekatan militeristik. Sehingga praktik– praktik kekerasan, penggunaan kekuatan secara berlebihan, dan diskresi yang tidak tepat seringkali digunakan sebagai alasan pembenaran dalam proses penegakan hukum dan keamanan di wilayah Papua. Hak-hak asasi manusia yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia juga sering kali diabaikan. Berdasar investigasi yang dilakukan oleh KontraS ditemukan, setidaknya ada sembilan (9) pelanggaran yang dilakukan oleh TNI dalam peristiwa penyerbuan dan pembakaran Kampung Honelama. Pertama, kejahatan sistematis (systimatic crime); kasus Honelama tidak bisa dikatakan berdiri sendiri, dimana kejahatan yang sistematis ini terjadi karena ada tindakan atau perintah yang dilakukan secara sistematis oleh negara dalam hal ini pihak TNI. Untuk mengukur terpenuhinya kejahatan yang sistematis ini dapat dilihat dari adanya pengerahan sejumlah pasukan yang direncanakan, dengan membawa bahan bakar dan penggunaan kendaaran perang (panser). Kedua, command responsibility; kejahatan sistematis ini juga tidak terlepas dari adanya tanggung jawab komando dalam hal ini komandan Yonif 756, mengingat kejahatan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan keamanan (TNI/POLRI) di lapangan, tidak terlepas dari pengawasan dan pengetahuan serta pembelajaran yang dilakukan oleh komandan atau pimpinan pasukan. Ketiga, pelanggaran terhadap Hak untuk Hidup
(violation against rights to live); jatuhnya korban dalam peristiwa tersebut menujukkan, telah terjadi pelanggaran terhadap hak untuk hidup, dimana hak untuk hidup merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Pelanggaran terhadap hak hidup ini terlihat jelas dari penikaman yang dilakukan oleh anggota Yonif 756 dengan sengaja untuk melukai dan membunuh. Aksi tersebut melanggar Undang – Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan menigkatkan taraf kehidupannya”. Keempat, pelanggaran terhadap Hak atas Pemulihan; berdasar fakta dan temuan di lapangan, tidak ada tindakan–tindakan pemulihan khususnya terhadap anak-anak dan perempuan yang mengalami trauma akibat dari peristiwa itu, mengingat peristiwa tersebut dilakukan dengan cara–cara membabi buta di hadapan anak–anak dan perempuan. Kelima, pelanggaran terhadap Hak atas Rasa Aman; warga Honelama merasa terancam, hal ini dibuktikan dengan banyaknya warga yang mengungsi pascaperistiwa. Ini menunjukkan, warga merasa tidak aman atas peristiwa tersebut. Hal ini jelas telah melanggar Undang – Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 29 ayat 1 “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya”. Serta pasal 30 “Dimana setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”. Keenam, pelanggaran terhadap Hak Persamaan di Hadapan Hukum; telah terjadi diskriminasi, dimana tidak ada satupun anggota Yonif 756 yang dikenakan proses hukum, dimana mereka justru diposisikan sebagai korban. Warga Honelama diminta untuk membayar uang adat kepada pihak TNI sekitar Rp 30.000.000, dan membayar dua ekor babi kepada korban yang meninggal dunia akibat penikaman yang dilakukan oleh anggota TNI. Di lain sisi, warga pelaku pengeroyokan yang mengakibatkan meninggalnya Pratu Ahmad Sahlan menjalani proses hukum di Pengadilan. Ketujuh, pelanggaran atas Undang–Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik
Indonesia. Dalam peristiwa itu tidak ada satupun anggota kepolisian yang melakukan pengamanan dan perlindungan kepada warga dari tindakan brutal anggota Yonif 756. Ini jelas melanggar UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI Pasal 2 yang berbunyi “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Kedelapan, pelanggaran atas Peraturan Kapolri tentang Implementasi Hak Asasi Manusia (Perkap Nomor 8 tahun 2009) dan kesembilan, pelanggaran atas Peraturan Panglima TNI Nomor 73/IX/2010 tentang Penentangan Terhadap Penyiksaan dan
Krisis Kepercayaan Perlakuan lain yang Kejam dalam Penegakan Hukum di Lingkungan Tentara Nasional Indonesia. Dampak dari peristiwa tersebut, selain jatuhnya korban meninggal dan luka–luka, warga juga merasa takut dan trauma. Hal ini terlihat dari beberapa bangunan yang hingga saat ini tidak direnovasi. Selain itu warga juga tidak lagi percaya terhadap aparat penegak hukum dan keamanan dalam proses penegakan hukum dan keamanan di Papua. Kondisi pascaperistiwa ini juga cukup jelas menggambarkan terjadinya krisis kepercayaan masyarakat terhadap aktor–aktor keamanan baik dari sisi penegakan hukum maupun dari sisi pemberian sanksi hukum terhadap pelaku yang berasal dari institusi keamanan. Pemerintah daerah pun terkesan asal dalam upaya rehabilitasi pascaperistiwa. Biaya ganti rugi untuk korban dipukul rata. Menurut keterangan kepala kampung, pemerintah daerah memberi biaya kerugian sebesar Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) untuk korban luka-luka, sementara untuk warga yang rumah, kios, ternak dan kendaraannya dibakar dan dirusak, hanya diberikan ganti kerugian sebesar Rp 2.000.000 (dua juta rupiah). *IDN
CERITA WILHEMUS LOGO “ Kami Terkejut dan Ketakutan “ Aksi brutal anggota TNI yang menyerang dan membakar Kampung Honelama sangat mengejutkan. Dikisahkan Wilhelmus Logo, seorang tokoh agama Honelama, Rabu 6 Juni 2012 pagi, sekira pukul 10.00 WIT, Pratu Ahmad Sahlan, seorang anggota TNI dari Batalion Infanteri (Yonif) 756 sedang berkendara ke arah Kota Wamena. Setelah mengendarai motor sejauh 2 km dan sampai Honelama, Ahmad menabrak seorang anak kecil. Di saat yang sama, tak jauh dari lokasi kejadian, sedang ada acara duka di rumah seorang warga asal Lani Jaya. “Waktu kejadian memang banyak sekali warga, pada saat itu ada anak kecil yang secara tiba-tiba keluar kemudian menyeberang, entah mungkin tersengol atau tidak saya tidak mengetahui peristiwa itu. Tidak ada yang melihat pasti apakah anak yang tertabrak itu meninggal atau tidak,” tutur Wilhelmus. Mengetahui ada insiden di jalan, warga Lani Jaya yang sedang mengadakan acara duka kemudian keluar dan mengeroyok pelaku penabrakan. Di tengah aksi pengeroyokan, dari arah Kota Wamena, datang seorang kawan Ahmad Sahlan, yakni Prada Parloi Pardede, yang kemudian sempat melerai. “Namun karena banyaknya orang akhirnya kawannya ini kembali lagi ke arah kota,” katanya. Anggota TNI yang datang belakangan itu kemudian kembali ke lokasi, kali ini bersama beberapa kawan sesama anggota, untuk membawa Ahmad Sahlan ke rumah sakit, namun Ahmad Sahlan keburu meninggal. Beberapa jam berselang, sekira pukul 12.00 WIT, kata Wilhelmus, datang ratusan anggota Batalion lengkap dengan kendaraan panser ke kampung tersebut. Mereka berhenti di depan SD YPPK Santo Yakobus Honelama. Didampingi seorang Kepala Suku Kuluwit Huby, Asso dan Aten Lengka sebagai petunjuk jalan. Setelah mengatur strategi di depan SD YPPK Honelama, pasukan mulai menyusuri jalan sambil membawa sangkur dan senjata. Sementara yang
di dalam mobil panser dengan senjata lengkap melakukan penembakan di sepanjang Jalan Irian, Jalan Yos Sudarso, Jalan Trikora dan Jalan Sinakma Kimbim. “Rupanya mereka juga telah membawa bensin untuk melakukan pembakaran,” papar Wilhelmus. Rumah tempat kegiatan duka warga dari Lani Jaya menjadi sasaran pertama pembakaran. Ratusan anggota Yonif 756 itu kemudian menyebar, menyusuri jalanjalan kampung. “Kami sangat terkejut dan tidak menduga akan terjadi peristiwa seperti itu, mengingat mereka adalah aparat keamanan yang seharusnya melakukan pengamanan, bukan malah melakukan tindak kekerasan dan membakar rumah-rumah warga,” kenangnya. Mereka terus berjalan ke arah kota. Bila ketemu dengan penduduk setempat, pasukan yang sudah terbakar amarah itu melakukan penikaman. Para tentara itu juga membakar kios milik penduduk setempat. “Mereka membakar kios-kios milik orang Jawa dan Makassar, rumah-rumah milik warga asal Tiom dan Duga, tapi mereka tidak membakar rumah-rumah warga asli Honelama,” katanya. Di kantor Desa Lani Tipo anggota TNI sempat menurunkan bendera merah putih dan merobeknya. Penyerangan dan pembakaran terjadi sejak pukul 14.00 -17.00 WIT. “Pada saat kejadian tidak ada sama sekali anggota Kodim dan Polisi yang melakukan pengamanan,” sesal Wilhelmus. Wilhelmus menuturkan, pada malam harinya tak ada warga yang berani keluar rumah. Keesokan pasukan kembali datang. Saat itu terdengar suara tembakan. Rupanya, ada warga yang diduga merupakan anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM). Alasannya sederhana, laki-laki yang ditemui ini berjenggot dan berpakaian ala militer. “Aparat keamanan selalu berangggapan, setiap warga Papua yang berjenggot dan berpakaian ala militer merupakan anggota OPM atau Komite Nasional Papua Barat (KNPB),” katanya.
Komandan Batalion Terlibat Empat hari pascakejadian, Wilhelmus dan sejumlah warga Honelama sempat bertanya kepada komandan Bataliyon terkait aksi brutal tersebut. “Mereka menjawab, itu warga yang melakukan, bukan anggota saya.” Kepala Kampung Honelama, Hengky Watipo sempat membantah pernyataan Komandan Batalion, karena pada saat peristiwa semua warga melarikan diri. “Kami meyakini Komandan Batalion tahu dan mungkin ikut terlibat dalam peristiwa tersebut, karena peristiwa itu berlangsung cukup lama sekitar 3-4 jam, akan aneh kalo komandan tidak mengetahui peristiwa tersebut apalgi anggota yang melakukan penyerangan tersebut cukup,” tandas Wilhelmus. Pascakejadian, pegiat HAM Papua Theo Hasegem, Bupati Jayawijaya W Wetipo bersama Kepala Polres Jayawijaya Ajun Komisaris Besar Alvian mengadakan pertemuan dan dialog dengan tokoh masyarakat. Mereka sepakat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk membangun rasa aman di Wamena. Pelaku penikaman yang menewaskan Pratu Ahmad Sahlan, dan seorang warga Wamena, Elianus Yoman, diusut melalui jalur hukum.
Pemerintah setempat juga memberikan santunan kepada korban dan memperbaiki rumah warga yang rusak. Namun demikian, penanganan hukum terkait aksi pengeroyokan disusul penyerangan dan pembakaran di Kampung Honelama tidak seperti yang diharapkan. “Pelaku pengeroyokan anggota TNI diproses hukum, sementara anggota TNI yang melakukan penikaman dan pembakaran justru tidak diproses,” sesal Wilhelmus. Warga yang menjadi korban penikaman oleh oknum TNI hanya mendapat penyelesaian secara adat, yang dilakukan antara warga Lani Jaya (sebagai pihak yang kali pertama memicu peristiwa tersebut) dengan warga Honelama sebagai pihak yang membayar. Keluarga korban penikaman masingmasing mendapat dua ekor babi. “Warga kami juga masih harus membayar denda adat kepada anggota TNI yang menjadi korban sekitar Rp 30 juta.” “Bantuan yang diberikan pemerintah daerah pun tidak transparan. Nilainya antara Rp 500 ribu, Rp 1 juta dan Rt 2 juta, tanpa dinilai berat ringannya kerusakan baik kendaraan maupun rumah yang dimiliki warga,“ katanya. *IDN
CERITA KEPALA KAMPUNG HONELAMA “ Kami Susah Menuntut Pihak Militer “ Kepala Kampung Honelama Hengky Watipo punya cerita tersendiri tentang peristiwa penyerangan dan pembakaran kampungnya. Dia mengisahkan, pada hari itu, Rabu 6 Juni 2012, sekira pukul 12.00 WIT, anggota TNI Batalion Infanteri (Yonif) 756 Wimane Sili, Wamena yang emosi sudah siaga satu saat turun ke kampungnya. “Padahal masalah itu disulut oleh aksi warga asal Lani Jaya, yang mengeroyok seorang anggota TNI yang menabrak anak kecil pagi harinya. Warga saya di Honelama yang terkena dampaknya,” kenangnya. Warga lari kocar-kacir saat angggota Yonif 756 menyisir kampung dan melakukan penembakan. Mereka juga melakukan penyerangan menggunakan senjata tajam. “Ada satu orang terkena tikaman dengan tiga luka tusuk,” katanya. Ia menyayangkan, mengapa pihak TNI sangat mudah menuduh warga dan dengan mudahnya melakukan pengrusakan. Lebih jauh Hengky Watipo menuturkan, setelah kejadian penyerangan dan pembakaran kampung, sebanyak 17 orang warganya ditangkap untuk dimintai keterangan. “Namun tidak ada tembusan kepada saya selaku kepala kampung. Saya sebenarnya keberatan, karena saya khawatir ada salah dalam perkataan, dan pasti ada interogasi yang tidak sesuai,” katanya. Dia mengisahkan, pelaku penyerangan yang menyebabkan tewasnya seorang warga, Elinus Yoman justru tidak diproses secara hukum. “Kami susah menuntut kepada pihak militer.” Mereka yang disidang, lanjut Hengky, adalah warga yang melakukan pengeroyokan, sementara pihak keamanan yang melakukan pengrusakan, penembakan dan pembakaran tidak diproses hukum.
“ Pasrah Meski Sakit Hati “ Tindakan perdamaian dengan pembayaran secara adat juga dilaksanakan. “Sesuai adat saya harus memberi ganti kepada korban dan saya bayar dengan 15 ekor babi, (dengan rincian) lima ekor babi untuk satu orang. Kami pun meminta maaf kepada pihak Batalion dengan membayar uang sebesar Rp 25 juta,” katanya.Sementara keluarga korban tewas dari Honelama justru menolak menerima pembayaran kerugian. “Prinsip mereka hidup dan mati kita serahkan pada Tuhan,” katanya. Sebanyak 17 orang warga yang terkena penusukan juga mendapat penyelesaian secara adat. Untuk warga yang rumahnya dibakar, Hengky masih harus membayar ganti rugi satu ekor babi. Dia menambahkan, dana yang ia bayarkan untuk penyelesaian secara adat sebenarnya memberatkan pihaknya. Setelah kejadian itu, imbuh Hengky, pemerintah daerah, kepolisian bahkan POM TNI menjanjikan pemberian kompensasi atas kerusakan yang terjadi akibat penyerangan itu. “Banyak orang yang datang ke saya untuk mengambil data, kami kira mereka akan memberi bantuan, tapi ternyata nihil,” jelasnya. Total rumah yang terbakar setidaknya ada 27 rumah, plus kendaraan terbakar. Untuk semua itu, jelasnya, tidak ada kompensasi. Walau pun untuk sekedar memperbaiki rumah warga yang terbakar. “Bupati juga berjanji untuk memberikan konpensasi tapi belum teralisasi sampai saat ini.” Pemerintah daerah hanya memberi ganti rugi yang jumlahnya sedikit. Penentuan nilai ganti rugi rumah yang dibakar pun hanya dibedakan berdasarkan kaca-kaca rumah yang pecah. Warga yang motornya dibakar tidak mendapatkan ganti rugi. Nilai kerugian dan konpensasi yang diterima, kata Hengky, tidak sesuai dengan kerugian yang mereka alami, karena banyak berkas-berkas berharga seperti ijazah, dll yang turut musnah dalam peristiwa itu. Pascakejadian, pemerintah daerah katanya belum berperan banyak. Hengky mengaku pihaknya hanya menerima dari pihak gereja dalam bentuk bamak (bantuan dari gereja Katolik) dan uang. “Masyarakat tidak punya kekuatan untuk menghadapi kasus ini, padahal kerugian yang kami alami lebih besar. Kami juga harus menanggung pembayaran ganti rugi yang lebih besar. Bagaimana lagi, pelaku dan yang mengadili adalah pihak militer. Kami hanya bisa pasrah, meski sakit hati,” katanya. *IDN
/f ht t p : /
i srob r a nc o
e r t ph
ot o g
p or t fo om /#/ .c y h p ra
l io/fi n
e
n _v iole p_t he o t s / t _ar
ce
i d k a l ya n e m a t a j k n a e s i s h a a k i m t ru Ke
“ Tembakan itu membuat korban-korban berjatuhan dan diakhirinya dengan penangkapan semenamena. Siapa yang bertanggung jawab?. “ Siang itu, Selasa, 30 April 2013, sekitar seratusan orang perwakilan dari berbagai kampung di Kabupaten dan Kota Sorong, berkumpul di kediaman Isak Kalaibin, salah satu tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan masyarakat Sorong, Papua. Kedatangan mereka ke Jl.Kalalin, KM 19, Kelurahan Aimas, Sorong itu sebagai rangkaian perayaan peringatan Hari Integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diperingati setiap tanggal 1 Mei. Selain itu, mereka juga berencana untuk mengadakan upacara adat “Pesta Mama”. “Pesta Mama” adalah ritual penduduk setempat untuk meminta kekuatan dari Sang Pencipta Alam Semesta dalam memperjuangkan hak-hak dasarnya yang telah dirampas dan diabaikan oleh negara. Sejak 2008, Isak Kalaibin, mantan dosen Ilmu agama di Universitas Kristen Papua itu aktif memimpin Ibadah dirumahnya yang juga dijadikan sebagai tempat Ibadah. Di tempat itu, bersama jemaat-jemaat yang merupakan warga sekitar di kampungnya. Seluruh proses peribadahan berakhir sekitar pukul 20.00 Waktu Indonesia Timur (WIT), dan dilanjutkan dengan persiapan peribadahan selanjutnya pada keesokan harinya. Di hari yang sama, tim gabungan polisi dan TNI, yang diperkirakan berjumlah sekitar 27 personil, sudah bersiap-siap di Mapolres Aimas. Rombongan yang dipimpin langsung oleh Wakapolres Kabupaten Sorong itu akan melakukan Operasi Keamanan dengan sandi “Operasi Dialogis”. Malam belum begitu tua saat tim gabungan mulai bergerak keluar dari Mapolres Aimas, menuju lokasi kediaman Isak Kalaibin. Mobil patroli polisi
berjenis ranger pick-up dan mobil MPV jenis Avansa yang memuat anggota pasukan yang diduga sebagai regu penembak, bergerak ke arah selatan dari depan Mapolres mengikuti Jalan Raya Aimas, lalu berbelok ke Jl. Sandiwon. Rombongan berhenti sekitar 6 meter di depan rumah tetangga Isak Kalaibin, Mesach Takoi, pegawai kantor BPN Kabupaten Sorong. Beberapa anggota polisi dan TNI turun dan melakukan penjagaan. Rombongan lain, yang juga menggunakan mobil berjenis Avanza keluar dari Mapolres menuju ke rumah Isak dari arah lain. Rombongan inilah yang melintas lebih dekat dengan rumah Isak, dengan membelah puluhan orang yang sedang berkumpul. Hal itu membuat seorang warga setempat bernama Salomi Klaibin, dengan beberapa orang yang ada di areal rumah Isak, segera keluar dan menghadang dua mobil tersebut. Melihat itu, beberapa anggota polisi dan TNI yang sudah berjaga-jaga, meminta warga untuk menyingkir dan membuka jalan bagi dua mobil itu. “Kalau tujuan kalian datang untuk kami di sini, kenapa tidak turun dari mobil untuk berbicara dengan kami,” kata Salomi Klaibin. Tak ada reaksi dari penumpang di dalam mobil. Pintu dan jendela mobil tetap saja tertutup. Hal itu menyulut emosi warga. Salomi dan temantemannya mulai memukul-mukul badan mobil dengan tangan sambil berteriak. “Kenapa kamu tidak mau turun, ayo turun! Untuk apa kamu datang ke sini?” Melihat itu, sebagian aparat TNI-Polri yang sudah lebih dulu berada di sebelah selatan rumah Isak dengan menggunakan mobil patroli polisi dan dua mobil ranger pick up, mulai bergerak mengepung warga. Akhirnya, jendela mobil sempat terbuka, lalu segera ditutup kembali. Menurut saksi mata, penumpang di mobil itu berseragam Polisi dan TNI. Masing-masing memegang senjata. Wakapolres Sorong, Kompol Yudhi Pinem, S.IK, yang bertindak sebagai Komandan “Operasi Dialogis” pada malam itu berada di dalam mobil, duduk di jok depan di samping sopir. Massa yang marah, terus memukuli badan mobil. Suasana semakin panas. Jumlah massa yang merangsek semakin banyak. Tiba-tiba terdengar
bunyi rentetan tembakan, entah dari mana asalnya. Seorang warga, Thomas Blessia, yang sedang berdiri sekitar 5 meter di depan rumah Isak Kalaibin jatuh tergeletak di tanah. Kepalanya tertembus peluru. Melihat Thomas Blessia terkena tembakan, warga mulai marah, dan menyerang mobil-mobil yang ada di tempat itu. Mereka berpikir, tembakan yang menewaskan Thomas berasal dari salah satu aparat di dalam mobil. Kemarahan semakin memuncak. Kaca bagian belakang mobil yang ditumpangi Wakapolres Yudhi Pinem pecah dihantam benda tumpul. Tidak ada reaksi dari penumpang di mobil-mobil yang dikeroyok itu. Di antara teriakan warga, mobil bergerak menjauh dengan perlahan, menuju ke tempat yang lebih redup, bergabung dengan rombongan 1 mobil patroli milik Polisi, 2 mobil pick-up ranger dan 2 mobil Avanza, yang sudah ada di lokasi. Beberapa aparat berjaga dengan posisi senjata terhunus. Warga yang marah karena tembakan pertama yang menewaskan salah satu penduduk, terus mendekati rombongan mobil itu. “Kalau maju terus kami tembak!” teriak salah satu aparat. Hanya berselang satu atau dua detik setelah peringatan tersebut, tiba-tiba terdengar bunyi tembakan rentetan, disusul bunyi tembakan satu dua secara bergantian. Massa yang ketakutan bubar berlarian menyelamatkan diri. Salah satu saksi mata melihat ada sinar laser keluar dari laras senjata.
Pembunuhan Lanjutan Beberapa warga yang ada di lokasi, tersungkur terkena tembakan. Salomi Kalaibin tertembak di bagian perut, paha kiri dan lengan kiri atas. Herman Lokden, tertembak pada tulang betis kaki kiri. Abner Malagawak tertembus peluru di dada kiri, dan meninggal di tempat. Sementara Adrianus Safisa dan Martinus Mili tertembak di kaki dan lengan kiri.
Kepada KontraS, saksi mata peristiwa itu menuturkan, penembakan yang dilakukan polisi tanpa didahului dengan tembakan peringatan. Versi Polisi dan TNI yang diberitakan media massa, di antaranya Radar Sorong edisi 2 Mei 2013 dan Papua Barat Post edisi 2 Mei 2013 menyebutkan, amukan massa inilah yang dijadikan alasan bagi aparat Polisi dan TNI untuk membela diri dengan melepaskan tembakan ke arah massa. Korban tembakan segera dievakuasi ke RS Kabupatan Sorong. Dokter yang memeriksa Salomi Kalaibin menyatakan adanya proyektil peluru yang bersarang di perut Salomi. Peluru itu pecah di dalam tubuhnya. Tim Dokter melakukan operasi pengangkatan proyektil pada malam harinya. Salomi mulai siuman pada keesokah hari, dan terus membaik hari demi hari. Hingga seminggu berlalu, datanglah Wakapolda Papua, Paulus Waterpauw dengan sekitar 10 anggota polisi melakukan kunjungan. Namun Salomi memilih untuk tidur, dan enggan berkomunikasi. Tim Komnas HAM, Matius Murip dan Nurcholis juga melakukan kunjungan. Begitu juga beberapa pendeta dan Ibu Ruth Osok, anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat. Semua memiliki kesan yang sama. Salomi sudah lebih baik dari sebelumnya. Kejadian tidak terduga terjadi pada malam harinya. Saat RS sudah sepi, datanglah dua orang berseragam putih masuk ke dalam ruangan. Satu diantaranya memegang alat suntik tanpa botol obat. Sela, anak Salomi dan Damares Osok, ibu kandung Salomi yang berada satu ruangan dengan Salomi mengira keduanya adalah petugas RS. Salah satu di antara dua orang yang datang itu menancapkan alat suntik yang dipegangnya pada selang infus Salomi. Mengetahui hal tersebut, Sela terbangun, duduk dan memperhatikan aksi keduanya. Entah mengapa, kedua orang itu merasa tidak enak saat Sela memperhatikna aksi mereka. Mereka bergegas memasang sepatu yang dilepasnya di depan pintu kamar, dan berlari ke luar RS, dengan sepatu yang belum terpasang sempurna.
Sekitar 5 menit sesudah disuntik oleh dua orang tak dikenal itu, Salomi terbangun dari tidur dan mulai mengeluh sakit kepala. Ia memanggilmanggil Ibunya. “Mama, obat yang baru disuntik tadi itu mungkin tidak cocok. Saya tiba-tiba rasa badan hangat dan sakit kepala,” katanya sambil kesakitan.
dengan penembakan, sehari sebelumnya.
Penangkapan
Mereka khawatir polisi akan kembali datang dan menangkap mereka. Di tengah kegelisahan itu warga memakamkan jenazah Thomas Blessia, salah satu korban penembakan yang tewas di lokasi.
Sela yang mengetahui hal itu ke luar ruangan dan mencari petugas RS yang tidak ada di tempatnya. Sementara sang ibu, menemani Salomi yang terus gelisah dan menjerit-jerit. “Maaa…mamaaa…, saya mo buang air,” teriaknya. Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Salomi mengejang-ngejang. Kedua tangannya terangkat tinggi, bergetar tak terkontrol dan kakinya menendang-nendang. “Adooooh, mama, ini saya sudah mo mati”. Sekitar pukul 22:30, Salomi melemas. Ia tidak bergerak. Petugas jaga dan tim medis yang datang untuk memberi pertolongan dengan nafas buatan, tapi mengubah keadaan. Salomi dinyatakan meninggal dunia. Apakah Salomi dibunuh? Entahnya. Yang pasti, autopsi tidak dilakukan oleh pihak RS. Sehari setelah penembakan, Kamis, 2 Mei 2013, di sela ketakutan warga yang belum mereda, Bupati Steve Malak, Ketua Klasis GKI Sorong Pdt. Andy Mofu, Wakapolda Papua Brigjen Pol Paulus Waterpauw dan beberapa anggota polisi bersenjata lengkap, kembali mendatangi rumah Isak Kalaibin. Pihak keluarga Isak sempat memprotes kehadiran para tamu tak diundang itu. Terutama para polisi yang menenteng persenjataan lengkap. Keluarga dan warga mengaku ketakutan. Namun polisi mengabaikannya. Sebagian dari mereka berjaga di luar rumah, sementara sebagian lagi ada di dalam rumah Isak Kalaibin. Isak sendiri menolak menemui, dan memilih berada di dalam kamar. Dalam pertemuan itu, Pdt. Andy Mofu meminta polisi untuk memberikan kesempatan kepada pihak gereja untuk melakukan dialog dengan Isak dan warga, sebelum pihak kepolisian mengambil keputusan untuk proses penanganan atas peristiwa “penyerangan” polisi yang berakhir
Polisi tidak sepenuhnya mengabulkan permintaan itu. Dan mengabarkan bahwa olah tempat kejadian perkara (TKP) akan segera dilakukan. Tepatnya, Jumat, 3 Mei 2013. Polisi pun pergi dari kediaman Isak, meninggalkan pihak keluarga dan warga yang gelisah.
Olah TKP baru dilakukan pada Sabtu, 4 Mei 2013. Menjelang siang, satu regu anggota Brimob bersenjata lengkap, plus satu mobil Dragon Hitam LaboratoriForensik (Labfor) Polisi, dan beberapa wartawan, mendatangi lokasi. Dua pendeta yang ada di lokasi, Paulus Safisa dan Lena Burdam menyampaikan keberatannya dengan show of force polisi yang lagi-lagi datang dengan senjata lengkapnya. Masyarakat mengaku trauma dengan peristiwa sebelumnya. Polisi kembali tidak mengindahkan protes itu. Warga yang kesal mulai berteriak meminta polisi pergi. Meski akhirnya, keadaan bisa ditenangkan, setelah Wakapolda Papua Bigjen Pol Paulus Waterpauw menjelaskan tujuan polisi untuk olah TKP. Kondisi kembali menghangat ketika dalam proses olah TKP itu, polisi meminta keterangan Yoel Mili, seorang warga yang mengetahui peristiwa itu. Polisi mengarahkan Yoel hingga seolah-oleh arah tembakan berasal dari atas bukit. Padahal, dalam peristiwa itu, penembakan terjadi dari arah depan (arah polisi), bukan dari atas bukit. Di tengah-tengah proses olah TKP itu, satu regu Brimob bergerak ke arah belakang rumah Isak untuk mencari barang bukti. Pencarian itu dilakukan tiba-tiba, tanpa didampingi pemilik rumah dan para saksi lainnya. Dalam penggeledahan itu disita puluhan anak panah yang terikat rapi di sebuah pondok kecil di belakang rumah Isak. Juga, parang, pisau dan kapak (semua peralatan bekerja masyarakat) yang ada di bagian belakang rumah. Polisi juga mengaku menemukan bendera bintang kejora dalam ukuran 1 x 0.5 m, plus sejumlah
Berbagai Pelanggaran
membunuh. Penembakan tersebut memang sengaja diarahkan pada bagian yang mematikan pada tubuh korban.
dokumen yang tersimpan di dalam sebuah box plastic, yang terkubur di dalam kandang ayam. Serta sebuah pistol revolver yang sudah rusak, sebuah senjata rakitan, satu magasin peluru dan satu rantai peluru.
Perampasan terhadap hak untuk hidup yang dilakukan oleh anggota kepolisian jelas melanggara Undang – Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 9 ayat 1 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.”Polisi juga melanggar hak untuk tidak ditangkap dan ditahan secara sewenangwenang. Hal itu terlihat dari proses penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh anggota kepolisian, yang sangat jelas telah menyalahi prosedur penagkapan dan penahanan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 17.
Barang-barang bukti tersebut kemudian digelar di halaman rumah, dIsaksikan oleh Bupati, Ketua Klasis, wartawan dan warga setempat. Seorang saksi menyatakan, pistol rusak itu adalah milik Isak. Sementara anak panah satu ikat yang dimasukkan ke dalam karung itu adalah perangkat yang disiapkan sebagai atribut acara tarian Tumbu Tanah yang sedianya akan digelar pada 1 Mei 2013. Berdasarkan penemuan itu, polisi kembali melakukan penggeledahan dan menangkap orang-orang yang berada di lokasi. Isak Kalaibin yang sudah mencium adanya rencana penangkapan paksa berhasil lolos dan membawa istri dan ketiga anaknya bersembunyi di dalam hutan. Salah satu anak Isak yang masih berusia 11 tahun bahkan harus berjalan menembus hutan untuk mencari perlindungan ke rumah saudaranya di Yeflio, 40 km dari tempat tinggalnya. Dalam catatannya, KontraS menilai polisi telah melakukan kejahatan yang tersistematis (Sistimatic Crime). Satu hal yang menguatkan itu adalah adanya pengerahan polisi dalam jumlah tertentu. Dalam kacamata KontraS, hal itu sudah direncanakan sebelumnya, Dan pihak yang paling bertanggung jawab dalam peristiwa itu adalah Komandan pasukan dalam level tertinggi yang ketika itu ada di lokasi kejadian atau yang memimpin operasi. Dalam peristiwa itu, operasi polisi dipimpin langsung oleh Wakapolres Kabupaten Sorong, Kompol Yudhi Pinem. Peristiwa itu juga melanggar hak untuk hidup, karena ada korban meninggal dunia. Pelanggaran terhadap Hak untuk Hidup atau violation against rights to life. Pelanggaran terhadap hak hidup ini terlihat jelas dari luka tembak yang dialami oleh para korban, yang jelas bukan untuk melumpuhkan, melainkan digunakan untuk
Pasal itu berbunyi: “Perintah penagkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, dalam hal ini penagkapan hanya dapat dilakukan jika sesorang diduga telah melakukan tindak kejahatan atau tertangkap tangan melakukan tindak kejahatan”. Selain itu, proses penangkapan juga tidak jelas dan transparan. Adanya pemaksaan untuk menandatangani surat-surat yang sebagian dari mereka tidak mengetahui isi surat tersebut. Hal itu melanggar Undang – Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 34 yang berbunyi “Setiap orang tidak boleh ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang”. Yang tidak kalah penting, KontraS juga melihat adaya Pelanggaran terhadap Hak Perempuan, Pelanggaran terhadap Hak Anak, Pelanggaran terhadap Hak atas Pemulihan dan Pelanggaran terhadap Hak atas Rasa Aman. *IDN
WAWANCARA ISAK KALAIBIN
Pengadilan Tinggi Sorong (?) akhirnya memutuskan Isak Kalaibin dihukum 3 tahun dan 6 bulan penjara. Sementara enam orang lainnya divonis 1 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Sorong (?). Berikut ini adalah penuturan langsung Isak Kalaibin atas peristiwa yang dialaminya. Bagaimana awal kejadian itu? Kejadiain itu terjadi pada 30 April 2013, sekitar pukul 21.15 WIT. Ketika itu, kami yang selesai melaksanakan Ibadah, tiba-tiba mendengar suara yang meminta kami untuk keluar rumah. Saya sempat menahan beberapa Jemaat yang ingin keluar. Sebagian lagi sudah keluar dan mencoba menahan beberapa mobil yang salah satunya dikendarai oleh Wakapolres Sorong.
kita memang sedang melaksanakan Ibadah, dan Ibadah ini sudah saya lakukan sejak tahun 2008, rutin 4 kali dalam sebulan. Pada saat peristiwa itu terjadi, yang saya tahu, rumah tempat kami beribadat sudah dikepung. Tidak ada tindakan dialog dan tindakan-tindakan persuasif yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Mereka datang, menembak, lalu pergi. Tapi Wakapolres menyatakan lain, menurut anda? Wakapolres pernah mengatakan bahwa sebelum peristiwa penembakan itu terjadi, dia sedang melakukan patroli. Saya katakan padanya, patroli polisi tidak seperti itu, sampai perlu membawa pasukan dengan persenjataan lengkap dan mengepung tempat jemaat saya yang sedang melaksankan ibadah. Apa yang sebenarnya ada kotbahkan dalam ibadah saat itu? Dalam setiap kegiatan beribadah saya selalu menekankan Cinta Kasih dan untuk tidak sekalikali mudah terprovokasi dengan situasi.
Mengapa warga marah? Bukankah anda seorang panglima,.. Warga tidak terima, karena selama ini aparat kepolisan, khususnya polisi di Kabupaten Sorong tidak pernah berdialog dan tidak melakukan tindakan persuasif. Polisi juga tidak pernah datang ke tempat ibadah kami. Tapi hari itu, mereka tibatiba datang dan melakukan penembakan dan penyerangan terhadap Jemaat saya. Dan setelah melakukan penembakan, mereka pergi begitu saja. Tapi warga sempat mengepung mobil itu,.. Padahal saat itu saya melihat Jemaat saya sudah mengepung kendaraan yang ditumpangi oleh Wakapolres Kabupaten Sorong. Dan itu bukan untuk menyerang atau melawan. Kalau saja memang kita mau melawan, wakapolres dan beberapa penumpang lain yang berada di dalam mobil sudah diamuk oleh Jemaat. Katanya ada sebelumnya?
yang
memberikan
laporan
Saat itu, kita juga tidak mengetahui pihak mana yang memberikan laporan kepada polisi tentang aktivitas yang dilakukan. Padahal pada saat itu
Saya memang menjabat sebagai panglima untuk wilayah Sorong dengan pangkat kolonel. Saya sudah aktif di organisasi ini selama 14 tahun. Pada saat dilakukan penangkapan, saya tidak tahu barang bukti itu dari mana, tapi saya memang mengakui soal bendera dan anak panah dan busur yang sudah dihias dan yang memang akan digunakan dalam upacara memperingati “Hari Mama”. Perjuangan kita jelas dan itu selalu saya tekankan kepada Jemaat. Bahkan kita (warga Papua), berjuang melalui cara-cara Cinta Kasih dan ibadah, karena itu bagian dari kebebasan berekspresi, bukan dengan melakukan kekerasan. Sebagai bagian dari organisasi, apa saja kegiatan anda? Selama saya berjuang dan menjabat sebagai panglima selama 14 tahun, saya tidak pernah melakukan gesekan dengan aparat keamanan. Kegiatan yang saya lakukan juga tidak pernah sembunyi-sembunyi. Semuanya terbuka. Lalu kenapa baru saat itu polisi melakukan kekerasan terhadap saya dan jemaat saya tanpa melalui
dialog dan tindakan persuasif? Semua pejabat di Kabupaten Sorong mengetahui aktivitas saya di organisasi tersebut. Kalau pemerintah daerah punya niatan baik, mari kita duduk bersama dan berdialog. Bukan main asal datang lalu melakukan penembakan dan pergi begitu saja tanpa ada pertanggung jawaban hukum terhadap para pelaku penembakan. Tindakan-tindakan seperti ini yang sebenarnya memancing amarah dan kebencian serta dendam warga Papua terhadap bangsa Indonesia. Lalu apa yang akan terjadi setelah ini? Peristiwa 30 April 2013 adalah peristiwa pertama di Sorong. Saya memang tidak mau melakukan perjuangan dengan mengangkat senjata, karena saya tidak mau rakyat kecil yang tidak mengerti apa-apa menjadi korban. Karena itu, saya lebih memilih berjuang dengan cara melakukan ibadah, mengajarkan Jemaat saya cinta kasih dan untuk tidak mudah terprovokasi. Apakah korban-korban itu anggota organisasi anda? Ke enam orang ini semuanya merupakan anggota saya. Tapi, pada saat peristiwa 30 April 2013, tidak semua Jemaat adalah anggota saya. Karena memang pada saat itu kami sedang melaksanakan ibadah dan ibadah itu sering saya lakukan di kediaman saya. Keenam orang ini ditangkap pada tanggal 4 sore bersama 2 orang warga Purnigsih dan Iche, akan tetapi ke dua orang tersebut kemudian dilepaskan setelah 4 hari diperiksa di Polres Kabupaten Sorong. Sementara saya baru menyerahkan diri pada tanggal 8 April 2013. Alasan saya waktu itu menyerahkan diri saya tidak mau dianggap oleh anggota saya cuci tangan dan mengorbankan mereka. Saat saya menyerahkan diri, ke enam orang anggota saya pada tanggal 10 kemudian dipisahkan dengan saya, dan dibawa ke tahanan Polres Sorong Kota. Pihak polisi waktu itu melarang kami berenam berbicara. Polisi bahkan mengatakan bahwa mereka ditangkap gara-gara saya. Jadi saat itu bukan demonstrasi? Sebenarnya pada tanggal 01 Mei 2013 yang merupakan hari aneksasi, kami akan mengadakan perayaan di tempat ibadah kami. Dan kami tidak melakukan unjuk rasa dan mengganggu
ketertiban umum. Pada saat dipengadilan saya sempat katakan bahwa Polisi yang seharusnya menegakan hukum, malah melakukan tindakan-tindakan pelanggaran hukum, melakukan penembakan, pencurian terhadap barang-barang saya dan keluarga yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan peristiwa 30 April 2013. Saya katakan pencurian karena pada saat melakukan penggeledahan tidak ada surat untuk melakukan pengeledahan, dan caranya pun tidak sesuai. Bagaimana dengan penangkapan?
kejadian
pasca
Pada saat melakukan pendampingan, pengacara kami selalu dihalang-halangi. Pengacara baru mendampingi saya dan kawan-kawan itu tepatnya pada tanggal 08 Mei 2013 setelah saya menyerahkan diri ke Polres Kabupaten Sorong. Total waktu itu yang mendampingi saya dan kawan-kawan ada 7 orang pendamping Karena itu juga, a BAP yang di kepolisian itu sebenarnya tidak sesuai dengan yang ada di lapangan. Kami tidak pernah disuruh membaca isi BAP, kami hanya dipaksa untuk menandatangani. Pada saat proses pemeriksaan memang tidak ada tindakan kekerasan, hanya ancamananacaman saja. Di pengadilan kami mencabut BAP di kepolisian. Bagaimana dengan saksi-saksi? Saksi-saksi juga diintimidasi oleh pihak kepolisian. Seperti camat misalnya. Saat peristiwa itu terjadi, camat tidak berada di lokasi. Tetangga saya juga dipaksa mengatakan bahwa saya sering menaikan bendera. Padahal tetangga saya tahu kalau pada saat peristiwa tersebut kita sedang melakukan ibadah. Dan ibadah tersebut sudah sering saya lakukan di tempat tinggal saya, tidak pernah selama saya melakukan ibadah dengan menaikan bendera. Tapi, saya sadar, kebenaran bisa saja disalahkan, akan tetapi tidak bisa dikalahkan! Ini hanya soal waktu.
WAWANCARA KAPOLRES SORONG AKBP ANWAR HUSAIN Polisi menjadi pihak yang disebut-sebut bertanggung jawab dengan peristiwa penembakan di rumah Isak Kalaibin. Bagaimana polisi melihat peristiwa itu? Berikut ini wawancara dengan Kapolres Sorong, AKBP Anwar Husain. Bagaimana anda menilai konflik di Sorong belakangan ini? Karakteristik wilayah Papua, khususnya terkait dengan konflik, harus kita bedakan. Pertama, Konflik horisontal yang biasanya melibatkan atar kelompok atau suku, dan Konflik vertikal biasanya melibatkan pasukan keamanan dengan kriminal bersenjata. Wilayah pegunugan dan pesisir juga berbeda. Biasanya konflik atara pasukan keamanan dan kriminal bersenjata lebih banyak terjadi di wilayah pegunugan. Sementara untuk wilayah pesisir sangat minim konflik-konflik bersenjata. Hal ini bisa dikarenakan, di wilayah pesisir lebih banyak warga pendatang, sehingga sering memunculkan konflik-konflik horisontal. Bagaimana dengan wilayah anda bertugas? Untuk wilayah hukum saya sendiri, terkait dengan kriminal bersenjata, baru satu kali terjadi. Itu yang saya ketahui, saya kan baru dua bulan menjabat sebagai Kapolres Kabupaten Sorong. Mapolres Kabupaten Sorong membawahi 2 kabupaten. Yakni Kabupaten Sorong dan Kabupaten Tambrau. Dan terdiri dari 17 kecamatan. Mayoritas, masyarakatnya adalah orang-orang Jawa, dan suku Mana Moi, yang merupakan suku asli di Sorong.
maupun senjata tajam. Apa perkembangan peristiwa itu? Pasca peristiwa tersebut untuk di wilayah Kabupaten Sorong, kita melihat sudah tidak ada lagi. Polisi terus mengoptimalkan komunikasi dengan warga disekitar secara intens. Apa yang anda ketahui soal figur Isak Kalaibin? Berdasarkan fakta laporan yang saya terima, Isak Kalaibin merupakan orang yang bertanggung jawab terkait dengan aksi kriminalitas bersenjata di wilayah Sorong. Isak juga beberapa kali melakukan pelatihan bersenjata di lahan kebun miliknya. Ada informasi peristiwa itu diawali dengan rencana pelaksanaan hari besar di Papua, menurut anda? Terkait dengan peringatan-peringatan yang terjadi di Papua, khususnya Wilayah Hukum Polda Papua, sudah dimasukkan sebagai harihari kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat-red). Sebagaimana arahan Kapolda, polisi akan lebih menekankan tindakan persuasif. Untuk beberapa aksi-aksi damai, long march oleh aktifis seperti KNPB (Komite Nasional Papua Barat-red), WPA (West Papua Association-red), polisi biasanya melihat tujan dari aksi-aksi yang akan diadakan, dari surat pemberitahuan (yang dikirimkan ke polisi). jika maksud dari tujuan tersebut terkait dengan Integrasi, pasti akan kita larang sebagaimana yang dimandatkan dalam UU Menyampaikan Pendapat.
Untuk mengamankan wilayah itu kita memiliki personil berjumlah 407 orang anggota, termasuk anggota-anggota yang berada di Polsek-Polsek.
Terkait dengan Kamtibnas, biasanya polisi melakukan apa yang kita sebut sebagai cipta kondisi. Seperti melakukan bakti sosial dan patroli dialogis. Patroli Dialogis berbeda dengan Polmas, karena kami lebih menekankan dialog dengan warga dan khususnya keluarga-keluarga yang terduga pelaku kriminal bersenjata
Bagaimana dengan konflik pada 30 Mei 2013 lalu?
Kembali soal konflik dengan kelompok Isak Kalaibin, apakah polisi bergerak sendiri?
Terkait dengan kasus yang terjadi di Sorong pada tanggal 30 Mei 2013, yang saya ketahui pelakunya Isak Kalaibin. Konflik itu terjadi saat dilakukan pengeledahan dan petugas menemukan identitas anggota OPM, beberapa senjata, baik senjata api
Terkait dengan pristiwa itu, setahu saya ada operasi gabungan antara TNI dan Polri. Saat itu melibatkan Kodim 1704 dan Korem 0752.
Apakah selalu ada operasi di Sorong?
Apakah ada anggota yang dihukum dalam bentrokan di rumah Isak Kalalibin?
Untuk di Sorong tidak ada operasi, kalau toh ada operasi, harus ada Printlaops (perintah operasi) dari Kapolda. Seperti operasi aman Matoa, yang turunannya kita di sini menekankan pada patroli dialogis. Untuk konflik horisontal di wilayah Kabupaten, kita fokus di Distrik Marai. Ini merupakan konflik perbatasan antar warga Kabupaten Tambrau dengan Kabupaten Sorong.
Terkait dengan Kasus penembakan tanggal 30 April 2013 Tim Irwasda dengan Kabid Propam sudah turun ke lapangan. Namun saya tidak mengetahui apakah ada anggota yang dihukum terkait dengan peristiwa penembakan tersebut. Wakapolres yang pada saat itu memimpin sekarang dipindah ke Polres Marauke.
Bagaimana dengan peringatan 1 Mei?
Bagaimana dengan para tersangka?
Untuk Wilayah Sorong, biasanya warga melakukan ibadah di gereja-gereja. Seperti Gereja Maranata yang menggelar peribadahan untuk memperingati 1 Mei setiap satu tahun sekali.
Ada 4 pasal yang disangkakan terhadap ke-tujuh orang tersangka (diantaranya Pasal 106 dan 107). *IDN
LUKA BELUM MENGERING DI PAPUA “ Apa yang dialami mahasiswa universitas cendrawasih ini bisa menjadi contoh, betapa represifnya aparat dipapua . “
Keinginan Alfaris Kapisa dan Yale Wenda untuk bernegosiasi dengan aparat keamanan berbuah buruk. Kedua koordinator lapangan itu justru ditangkap, diseret di jalanan untuk dimasukkan ke dalam bak truk polisi yang sudah disiapkan sebelumnya. Di dalam truk, nasib buruk terus menemani mereka. Pukulan dan tendangan seakan tak berhenti menhujani keduanya. Berikut caci maki rasis tak berkesudahan. Begitulah. Aksi damai yang dilakukan mahasiswa Universitas Cendrawasih (Uncen), Jayapura, Papua di depan kampusnya, 2 April 2014 lalu yang berakhir ricuh. Selain dua koordinator lapangannya ditahan, massa yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Peduli Tapol/Napol Papua itu marah dan menyerang polisi dengan batu pun harus berkejaran dengan polisi yang akan menangkapnya. Era demokrasi yang ditandai dengan pergerakan gerbong reformasi 16 tahun silam, memang belum menjangkau seluruh wilayah di Tanah Air. Di daerah-daerah yang dekat dengan pusat kekuasaan (Jakarta) reformasi telah menghasilkan pembebasan sejumlah tahanan politik (Tapol) dari era Orde Baru. Namun, hal itu tidak terjadi di Papua, wilayah paling timur Indonesia. Orang Papua yang menjadi tahanan politik justru bertambah. Menurut Nasional Papua Solidaritas (Napas), dalam kurun waktu April 2013 hingga April 2014, tercatat sebanyak 76 orang Papua menjadi Tapol di berbagai rumah tahanan (Rutan) dan lembaga pemasyarakatan (Lapas) di Papua. Aktivitas warga Papua untuk mengungkapkan pendapat, berekspresi dan bersuara secara bebas diberangus. Dengan begitu mudahnya aparat melakukan penangkapan dan penahanan. Seperti diungkap Napas, mengutip keterangan website Papuansbehindbars.org, telah terjadi penambahan tahanan politik di Papua sebanyak dua kali lipat dalam kurun waktu satu tahun saja. Pada 31 Maret 2013, sebanyak 40 orang tahanan politik berada dalam penjara di Manokwari, Sarmi, Timika, Serui, Abepura, Biak, Wamena, dan Nabire. Hingga Februari 2014, jumlah Tapol bertambah sebanyak 36 orang. Semuanya tersebar di berbagai lokasi Rutan kepolisian.
Seperti di Yapen, Jayapura, Puncak Jaya, Polda Papua, dan Sarmi. Selain di tempat-tempat yang sama di mana Tapol sebelumnya berada, sebagian besar di antaranya (53 kasus) dikenai pasal 106 KUHP dengan tuduhan kejahatan makar. Para Tapol/Napol juga tidak mendapatkan perlakuan yang layak. Dalam proses penahanan, mereka disiksa, diintimidasi dan tidak mendapat akses pendampingan hukum. Mereka juga tidak mendapatkan layanan dasar kemanusiaan, seperti kesehatan, yang memadai. Berbagai upaya untuk menegakkan demokrasi dan HAM di Papua terus disuarakan, termasuk di ajang internasional. Dalam dengar pendapat dengan Sub Komite HAM Parlemen Eropa pada Januari 2014, sebanyak 16 anggota Parlemen Eropa membuat pernyataan sikap dan rekomendasi kepada Catherine Ashton, pejabat yang bertanggung jawab atas Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa, terkait makin mendesaknya situasi di Papua. Salah satu rekomendasinya terkait keberadaan Tapol Papua adalah: Menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk membebaskan semua tahanan politik dan menghentikan penangkapan terhadap orang-orang yang melakukan aktivitas politik damai dengan tuduhan kriminal seperti pasal makar 106 dalam KUHP (rilis Napas 2 April 2014-red). Untuk mendukung langkah itu, TAPOL, organisasi yang aktif mengampanyekan Hak Asasi Manusia, Perdamaian dan Demokrasi di Indonesia yang berkantor di Inggris menyerukan aksi solidaritas serentak internasional menuntut pembebasan Tapol Papua. Aksi tersebut dilakukan bersama-sama dengan Amnesty International Inggris, Survival Internasional dan Free West Papua Campaign di depan Kedubes Indonesia di London, Inggris, pada 2 April 2014. Merespons seruan TAPOL Inggris itulah, pada tanggal yang sama, BEM Universitas Cendrawasih bersama Solidaritas Mahasiswa Peduli Tapol/ Napol Papua menggelar aksi demonstrasi berbentuk mimbar bebas di kampus Uncen, Waena, Jayapura. Sangat disayangkan, tindakan represif aparat kembali terjadi. Aparat yang berasal dari satuan
Brimob Polda Papua dan Dalmas Polresta Jayapura bersenjata lengkap melakukan pembubaran paksa aksi yang dilakukan di depan gapura Uncen sekitar pukul 10:30 WIT. Pembubaran paksa ini dilakukan saat massa hendak bergerak ke kampus Uncen bawah. Dua orang koordinator, masing-masing Alfares Kaspia (27), mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Yale Wenda (23), mahasiswa Fakultas Hukum, Uncen, ditangkap, kemudian ditahan di Mapolresta Jayapura. Padahal, seperti dikisahkan Yale Wenda, demo pada Rabu, 2 April 2014 itu sudah mengantungi izin dari Polresta Jayapura. “Kami sudah mengantungi izin untuk aksi tersebut. Memang bukan izin untuk melakukan longmarch menuju kampus Uncen lama, karena memang waktu itu tidak ada niat untuk melakukan longmarch. Kami berencana turun ke kampus Uncen lama menggunakan truk pengangkut dan mengadakan mimbar bebas di sana,” kata Yale Wenda mengisahkan. Yale menuturkan, pada saat massa akan keluar dari gapura kampus menuju kendaraan yang sudah disiapkan, tiba-tiba mereka diadang oleh satuan Brimob dan Dalmas yang dipimpin oleh Kabag Ops Polres Jayapura, Kompol Tosiba. “Pada saat itu, saya dan Alfares Kapisa sebagai koordinator aksi memutuskan untuk melakukan negosiasi dengan aparat,” kenangnya. Belum sempat berdialog, polisi menangkap keduanya. “Kami diseret di aspal.” Melihat kejadian tersebut, massa mahasiswa bereaksi dan sempat melakukan pelemparan. Aksi pelemparan itu dibalas dengan tembakan gas air mata oleh aparat yang membuat kerumunan massa kocar-kacir. Setelah massa bubar, Yale dan Alfares kembali diseret kemudian dinaikkan ke dalam truk Dalmas. “Di dalam truk polisi itulah saya dan Alfares dihujani pukulan tangan kosong, dipukul dengan rotan juga popor senjata. Tak kurang selama satu setengah jam, tubuh kami dipukul, ditendang juga disetrum,” kata Yale. Keduanya juga diberondong makian dan intimidasi dengan kata-kata kasar. “Anjing, mahasiswa bodoh, kamu tidak akan pernah merdeka, keturunan monyet, tidak bertuhan. Ada
sekitar 10 orang anggota yang berada didalam truk yang ikut memukuli saya dan Alfares,” urai Yale panjang. Setelah mengalami siksaan di dalam truk, Yale dan Alfares dibawa ke Mapolresta Jayapura. Keduanya sempat ditahan satu hari dan dibuatkan berita acara pemeriksaan (BAP). “Di dalam BAP yang sempat saya baca, tertulis bahwa saya tidak pernah mengalami pemukulan. Saya protes keras, namun penyidik terus memaksa saya untuk menandatangani BAP. Akhirnya saya menandatangani BAP tersebut.” Pada saat dimintai keterangan, keduanya tidak didampingi oleh kuasa hukum. Yale juga menambahkan, selama berada di Mapolresta Jayapura, dirinya memang tidak mendapatkan penyiksaan, penyiksaan dilakukan selama ia dan Alfares berada di dalam truk polisi dan pada saat perjalanan menuju ke Mapolresta. Penyiksaan yang dialami Yale dan Alfares dibenarkan oleh aktivis HAM Papua, Elias Petege yang datang ke Mapolresta Jayapura menyusul penangkapan keduanya. “Alfares mendapat intimidasi sampai luka-luka di pipi kiri. Kucuran darah membuat jas almamaternya memerah. Demikian juga Yale Wenda luka-luka di kepala,” kata Elias Petege seperti dikutip majalahselangkah.com, 2 April 2014. Sementara itu, Koordinator Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Papua, Olga Helena Hamadi dan Pendeta Dora Balubun yang berada di Polresta pada petang hari kejadian, tidak dapat bertemu dengan Yale dan Alfares. Seperti ditulis majalahselangkah.com, baik Olga maupun Pendeta Dora Balubun tidak diberi akses untuk bertemu Yale dan Alfares. Di lain pihak, Kabid Humas Polda Papua Kombes Pudjo dalam keterangan yang dikutip bintangpapua. com pada 4 April 2014, menyatakan, Yale dan Alfares ditangkap karena mereka melakukan pelemparan terhadap polisi. 1. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Cendrawasih (Uncen) menggelar demonstrasi pembebasan Tapol/Napol. 2. BEM Uncen telah memasukan surat pemberitahuan ke kepolisian, namun tidak
diizinkan. Alasannya, akan ada longmarch dari kampus baru ke kampus lama yang berjarak 5 Km. Demo tetap berlangsung longmarch ditiadakan, diganti dengan mobilisasi massa menggunakan truk. 3. Saat demo, pengunjuk rasa dihadang polisi bersenjatakan gas airmata, pentungan dan tameng dari Polres Jayapura. Koordinator lapangan, Alfares Kapisa dan Yale Wenda ditangkap. 4. Kekerasan terjadi dalam penangkapan. Dua mahasiswa itu dijambak dan diseret untuk dimasukkan ke truk polisi. 5. Di dalam truk terjadi pemukulan dengan tangan dan tongkat rotan, serta penyetruman. 6. Pengunjuk rasa marah dan melemparkan batu ke arah polisi, yang membalas dengan menembakkan gas airmata. 7. Dua mahasiswa ditahan sehari semalam untuk pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). 8. Tidak ada penanganan medis dari tim medis. *IDN
PELURU HABISI NASIB MAKO TABUNI “ Aktivis tanah Papua itu tewas dengan enam peluru ditubuhnya. Semakin menyuburkan perlawanan ?“ Mako Tabuni tengah berjalan kaki sendirian pagi itu, sekitar pukul 09.30 WIT, Kamis (14/6/2012). Ketua I (Wakil Ketua) Komite Nasional Papua Barat (KNPB) itu bertolak dari arah Universitas Cenderawasih (kampus atas), Waena, Papua, menuju pasar. Dia berjalan santai sambil mengunyah pinang. Sementara di kawasan Perumnas III Waena, depan Gereja Masehi Advent, terparkir tiga mobil. Salah satunya Daihatsu Taft warna hitam dengan Nomor Polisi DS 447 AJ. Menurut saksi mata, penumpang di tiga mobil tersebut polisi. Ketika Mako melintas, sejumlah orang dengan pakaian preman dan membawa senjata laras panjang keluar dari mobil tersebut. Mereka langsung menembak Mako enam kali dari jarak dekat. Mako tersungkur dan langsung diangkut oleh salah satu dari tiga mobil tersebut. Saksi mata mengatakan, korban dibawa ke Rumah Sakit Bayangkara Polri di Jayapura. Padahal di sekitar kejadian terdapat rumah sakit. Tapi para penembak yang diduga adalah pasukan khusus Densus 88 Polri sengaja membawa Mako ke rumah sakit yang jauh agar meninggal dalam perjalanan. Suasana tenang mendadak berubah mencekam. Dari visum RS Bayangkara diketahui ada enam peluru menembus perut, paha kanan dan kiri korban. Sementara data KontraS menunjukkan ada empat luka tembak di bagian punggung. Namun Kabid Humas Polda Papua Kombes Sulistyo Pudjo membantah informasi tersebut.
“Saya tak tahu informasi tersebut. Coba tanya saja visumnya. Penembakan sudah sesuai prosedur tetap. Danny Kogoya (pemimpin sayap militer Organisasi Papua Merdeka) saja hanya kami tembak dua kali,” katanya kepada KontraS. “Dia sudah membahayakan aparat. Polisi tidak kebal senjata. Jadi kami ambil keputusan dia atau kami yang mati,” kata Pudjo. Senada, Kapolri Jenderal Timur Pradopo seperti dilansir Tempo (14/6/2014) mengatakan, penembakan terhadap Mako merupakan buntut dari upaya penangkapan karena diduga salah satu pelaku penembakan misterius di Papua sejak 22 Mei 2012. Pudjo mengatakan aparat polisi terpaksa menembaknya karena Mako melawan dan bahkan berupaya merebut senjata aparat. Saksi mata memiliki versi lain. Menurut mereka, Mako langsung diberondong tembakan. Tapi polisi meyakini sempat ada dialog, bahkan salaman dengan Mako, dan mengatakan niatan untuk membawanya ke Polda Papua. Saat itulah, menurut rilis pers Polda Papua, Mako melawan dan berusaha kabur ke arah Asrama Mahasiswa sehingga bisa merebut senjata aparat. Dikatakan pula, Mako berjalan bersama tiga orang kawannya.Pudjo menjelaskan Mako masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) setelah
pasca kerusuhan. Menurut laporan Tribunnews. com, polisi segera melakukan sweeping untuk menangkap pelaku kerusuhan. Sasaran utamanya, menurut aktivis KNPB Warpo Wetipo, seluruh anggota organisasinya.Portal Papuapost. org menulis ini bukti aksi teror Polri. KNPB dijadikan kambing hitam atas berbagai peristiwa penembakan misterius di Papua. “Kami difitnah,” kata Ones. Sementata di Facebook Papua Barat Merdeka berdatangan simpati dan ungkapan duka cita untuk Mako. “Mako Tabuni adalah anak muda yang berani melawan kekuasaan sewenang-wenang. Ia berani bicara lantang tentang kematian manusia dan kemanusiaan Papua di tanah Papua. Kami kehilangan dia,” tulis seseorang di dinding Facebook tersebut.
disangka membunuh warga negara Jerman dan seorang sopir asal Makassar. Keterangan polisi ini dibantah Sekretaris Umum KNPB, Ones Suhuniap. “Mako seorang aktivis, pemimpin aksi. Pekerjaan sehari-hari membagikan selebaran, konferensi pers, dan berdiplomasi dengan pangdam. Tapi polisi menyebut dia kriminal,” kata Ones dalam wawancara dengan KontraS. Kebetulan, sehari sebelum ditembak, Mako memimpin konferensi pers. Dia mengecam penangkapan Buchtar Tabuni, Ketua KNPB, oleh polisi pada awal Juni 2012 dan menyebut identik terorisme. Menurut Ones pelaku teror dan kriminal itu justru polisi dan aparat militer. Mako tak pernah melakukan tindakan kriminal karena KNPB bergerak dengan otak, bukan senjata, yang pasti, efek penembakan terhadap Mako -- orator paling disegani dan kharismatik di Papua -- sangat serius. Para mahasiswa dan simpatisan anggota KNPB marah. Mereka mengamuk dengan melakukan pembakaran dan perusakan di tempat kejadian perkara (TKP). Sedikitnya empat mobil dibakar, serta 26 sepeda motor dan sejumlah bangunan warga dirusak. Kerusuhan meledak. Saat kerusuhan belum meluas, polisi sempat dihubungi, namun tidak ada respon. Seperti adegan lazim di film aksi Hollywood, aparat Polda Papua dan Brimob tiba di lokasi satu jam
Investigasi KontraS menunjukkan sejumlah pelanggaran oleh Polri dalam kasus penembakan Mako. Polisi bukan bermaksud melumpuhkan Mako, tapi membunuhnya karena peluru bersarang di bagian mematikan tubuh korban. Artinya, polisi telah melanggar Hak untuk Hidup (Violation against rights to life). Mereka melanggar Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.” Polisi juga melanggar Hak atas Pemulihan karena tidak melakukan tindakan seharusnya pasca penembakan Mako. Akibatnya terjadi kerusuhan oleh sekelompok warga dan simpatisan KNPB. Padahal pemulihan pasca konflik sangat penting agar warga tidak mengalami trauma berkepanjangan yang bisa mempengaruhi psikologi mereka. Karena tidak sigap melakukan pemulihan tersebut dan datang satu jam setelah kerusuhan pecah, polisi melanggar Hak atas Rasa Aman. Polisi melanggar Pasal 29 ayat 1 dan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya.” “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.” Ironisnya, polisi juga melanggar tiga aturan organisasinya yang mewajibkan tindakan persuasif dalam setiap aksi. Antara lain UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Hak Asasi Manusia, dan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Namun polisi membantah telah melanggar HAM. Mereka bergerak berdasarkan amanat Undang-Undang Ormas
Nomor 8 Tahun 1985 yang memberi kuasa untuk bertindak keras pada ormas tak resmi dan bermasalah seperti KNPB. “Kami memang bukan organisasi resmi. Kami hanya organisasi mediasi untuk kemerdekaan Papua Barat. Kami bergerak dengan otak, bukan senjata. Tapi kami tak akan pernah mundur. Itu tak ada dalam kamus kami. Perlawanan dalam perjuangan adalah sehat,” tegas Ones. *IDN
“ DIA ATAU KAMI YANG MATI “ “ Aktivis pro-kemerdekaan Papua sekaligus Ketua I Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Mako Tabuni, tewas setelah diberondong tembakan aparat kepolisian di Perumnas 3 Waena, Jayapura, 14 Juni 2012. “ Informasi yang dihimpun KontraS mengatakan, Mako mendapat luka tembak di kedua kaki dan empat luka tembak di bagian punggung. Haruskah sebanyak itu peluru ditembakkan untuk seorang Mako Tabuni?
Undang Ormas Nomor 8 Tahun 1985. Danny dan Mako berasal dari organisasi tak resmi dan terbukti melakukan kejahatan.
Selain itu keduanya terpaksa ditembak karena berusaha melawan dan membahayakan aparat Kepala Bidang Humas Polda Papua, Kombes saat akan ditangkap. UU Ormas memberi kuasa Sulistyo Pudjo, membela diri. “Saya tak tahu kepada polisi untuk bertindak keras pada ormas informasi tersebut. Coba tanya saja visumnya. tak resmi atau bermasalah. Kita tidak brutal kok. Penembakan sudah sesuai prosedur tetap. Danny Kogoya saja kami tembak “Logikanya, bila dia membunuh orang maka kita hanya dua kali,” tegasnya saat melakukan tangkap. Dalam kasus Mako, dia melawan saat wawancara dengan KontraS. akan ditangkap. Kalau kami kalah cepat maka anggota kami akan mati karena mereka tidak Danny yang dimaksud Pudjo merupakan kebal senjata. Jadi kami ambil keputusan, dia atau pemimpin sayap militer Organisasi Papua kami yang mati. Sama seperti OPM menembak Merdeka (OPM). Dia ditembak polisi di bagian kaki kami maka kami balas menembak,” kata Pudjo. kanan saat dibekuk aparat Polres Jayapura di Hotel Dani Entrop pada 2 September 2012. Menurutnya, situasi keamanan di Papua berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Peredaran Danny meninggal dunia di Papua New Guinea senjata gelap cukup banyak dan ini dimanfaatkan pada 15 Desember 2013. Menurut sumber OPM serta kriminal bersenjata. Selain itu, majalahselangkah.com, Danny meninggal sambungnya, peradaban di Papua berusia lantaran infeksi pada kaki kanannya yang telah 70 dan baru keluar dari zaman batu. Pudjo diamputasi karena luka tembak. Informasi lain mencontohkan masih banyak perang antar suku menyebutkan, Danny meninggal akibat penyakit untuk mempertahankan harga diri. Hepatitis B. Bedanya, kini sebagian dari mereka tidak lagi Sedangkan Mako terpaksa dilumpuhkan dengan menggunakan senjata tradisional seperti panah timah panas karena berusaha merebut senjata tetapi senjata api. Dengan senjata dari pasar milik aparat serta membawa senjata api curian. gelap itulah kriminal bersenjata seperti di Puncak Selain itu, Mako masuk dalam Daftar Pencarian Jaya melakukan pemerasan dan pembunuhan Orang (DPO) setelah polisi melakukan penyelidikan secara acak. selama tiga minggu untuk kasus pencurian senjata api polisi, penembakan mati WNA asal Itu sebabnya polisi juga menggunakan kombinasi Jerman, serta pembunuhan dan pembakaran pendekatan adat dan penegakan hukum. Bila seorang sopir asal Makassar, Sulawesi Selatan. polisi menewaskan warga sipil maka harus siap membayar denda ke suku adat seperti halnya Polisi membantah telah melanggar Hak Asasi masyarakat membayar denda 20 ekor babi. Manusia (HAM) dalam kasus Danny dan Mako. Namun bila polisi membunuh OPM atau kriminal Polisi bekerja berdasarkan amanat Undang- bersenjata maka masyarakat tidak akan marah
atau menuntut denda sebab itu pendekatan hukum. Polisi juga terus melakukan pembinaan masyarakat Papua. Salah satunya percepatan pembangunan di Universitas Cenderawasih Jayapura. Menurut Pudjo, pendidikan bisa mengatasi kualitas rendah sumber daya manusia Papua karena perekrutan orang lokal menjadi polisi dan tentara terus dilakukan. Selama ini pendidikan di Papua sulit diharapkan karena para guru enggan mengajar lantaran diancam suku yang masih sangat berpengaruh. Budaya primordial itu, kata Pudjo, juga mempengaruhi tingginya tingkat korupsi Papua. Pasalnya, budaya hidup bersama dalam Honai tetap berlaku ketika salah satu warga suku melakukan korupsi. Hasilnya akan dibagi rata ke suku tersebut. “Penduduk Puncak Jaya hanya 26 ribu jiwa, tetapi APBD-nya mencapai Rp1,4 triliun. Bogor punya APBD sama, tapi jumlah penduduk 3,5 juta jiwa,” katanya. Pudjo menegaskan kepolisian tak akan menolerir OPM dan kelompok kriminal bersenjata di Papua. Menurutnya, organisasi tersebut tidak terdaftar dan tidak resmi. Kelompok seperti itu pun, sambungnya, biasa melakukan aktivitas atau demo anarkis. “Itu tidak sesuai dengan UU dan Konvensi Jenewa. Isinya antara lain tidak boleh mengganggu kepentingan umum, keamanan, dan ketertiban negara serta tidak boleh menyiarkan kebencian atas dasar SARA. Itu aturan PBB, bukan buatan saya,” kata Pudjo. Pudjo dan jajarannya mengklaim sudah melakukan tindakan persuasif kepada KNPB, Gempar, dan sejumlah organisasi lain, serta Pemerintah Provinsi dan DPRP. Mereka diundang ke Polda Papua dan telah membaca sejumlah pedoman aturan dan UU aktivitas kebebasan berekspresi. Tapi faktanya aktivitas anarkis mereka bukan karena kurangnya kesadaran hukum. OPM dan kriminal bersenjata sengaja menggunakan metode martir seperti kelompok RMS di Maluku, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dan PRRI Permesta.
Sementara polisi harus menegakkan hukum. Polisi tidak akan membiarkan ada negara dalam negara. Dan tak sembarangan organisasi bisa berdemo, apalagi tanpa izin. “Hanya organisasi terdaftar yang bisa melakukan demo aksi. Jika tidak siapa bertanggung jawab apabila ada provokator dan sebagainya,” kata Pudjo. Papua masih bertahan hingga sekarang, menurutnya, karena ada pendekatan hukum. Rasa aman di Papua justru muncul berkat instrumen hukum Indonesia dan bukan suku adat. Pudjo mencontohkan bagaimana persekutuan warga non-Papua (1,5 juta jiwa) atau pendatang yang kerap mendapat penganiayaan, pembunuhan, dan intimidasi dari sekelompok organisasi tak resmi. Itu sebabnya polisi harus melakukan tindakan tegas agar negara tidak kacau. Skema martir OPM atau kriminal bersenjata harus dihadapi dengan cara keras. “Coba Anda tanya organisasi persekutuan pendatang di Papua, berapa banyak warganya dibacok dan dipanah oleh organisasi tak resmi. Siapa tanggung jawab?” tanya Pudjo. Jadi, lanjut Pudjo, jangan membawa format KontraS dan LSM HAM internasional ke Papua karena sebagian besar masyarakatnya punya peradaban berbeda. Bila tak ada polisi, Papua bisa habis karena perang suku. Dan polisi tak akan membiarkan praktik lama seperti itu tetap berlangsung. “Papua tetap Indonesia, seratus persen Indonesia sampai mati, dan PBB mengakui itu,” tegas Pudjo. Dan tentu saja, polisi menolak Papua Merdeka.
*IDN
SEKRETARIS UMUM KNPB ONES SUHUNIAP “ Kami bergerak dengan otak bukan dengan senjata “ Komite Nasional Papua Barat (KNPB) merupakan organisasi masyarakat untuk perjuangan kemerdekaan Papua dan Papua Barat. Dia dibentuk pada 19 November 2008 di Sentani Pos 7. Parlemen Internasional untuk Papua Barat (WPWP) dan Pengacara Internasional untuk Papua Barat (ILWP) menyebut KNPB sebagai koordinator domestik untuk gerakan kemerdekaan Papua Barat. Sejak berdiri, KNPB selalu mendapat perlawanan dari pihak keamanan -- dalam hal ini Polda Papua yang menyebutnya organisasi liar karena tak terdaftar di pemerintah. KontraS mewawancarai Sekretaris Umum KNPB Ones Suhuniap di sekertarian KNPB Asrama Universitas Cendrawasih untuk mengetahui filosofi, aktivitas, dan tujuan mereka. Sebenarnya apa prinsip dan tujuan pembentukan KNPB? Kami terbuka untuk siapa saja. Kami tidak menyembunyikan apapun. Kami hanya ingin menuntut hak dasar orang Papua, menaikkan bendera sendiri, mengatur presiden sendiri, dan rumah sendiri. Kami ingin merdeka. Ini tujuan sesungguhnya. Kami generasi ketiga dari leluhur, jadi kami harus mengakhiri penderitaan Papua agar bisa dinikmati generasi selanjutnya. KNPB pun membungkus dengan bintang kejora untuk melanjutkan KNPB yang menyiapkan kebutuhan negara Papua.
Bukankah ada status ekonomi khusus dan perwakilan di pemerintah RI? Orang Papua belajar dari pengalaman, dari cerita turun temurun. Kami mendengar pengalaman orang tua, tidak merasakan. Tapi orang Papua belajar dengan praktik, bukan teori. Hari ini kami berada dalam penyesalan karena dulu belajar dari orang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kami tak merasakan (pembelajaran) itu. Tak ada pelaksanaan NKRI sehari-hari di Papua. Di sisi lain, NKRI gampang mengIndonesiakan Papua. Dan sekarang mengubahnya tak mudah. Kami berjuang bukan untuk ekonomi masyarakat, tapi untuk harga diri bangsa Papua. Motivasi ekonomi milik orang-orang (Papua) yang masuk keluar kantor pemerintahan. Status ekonomi khusus juga hanya opsi dari NKRI, bukan kemauan rakyat Papua. KNPB untuk bagaimana?
siapa
saja
itu
maksudnya
Kami selalu terbuka dengan seluruh organisasi di Papua. KNPB hadir untuk mediasi sesuai hukum internasional. Itu demi tuntutan hak kami untuk menentukan nasib sendiri sebagai solusi terbaik Papua Barat. Kami sebagai jembatan untuk masyarakat Papua secara luas. Kami disegani sejumlah LSM, kampus, mahasiswa, dan lembaga sejenis. Mengapa ingin merdeka? Kami dijajah secara sistematis oleh NKRI sejak 1960-an [tepatnya 1 Mei 1963 saat Papua terintegrasi ke Republik Indonesia]. Orang Papua tak pernah dilibatkan dalam perjanjian New York Agreement 1962 [Resolusi PBB tentang integrasi Papua ke NKRI]. Kebijakan NKRI membawa kematian. Sudah 1 juta orang Papua mati. Banyak pelanggaran HAM dan ketidakadilan sepanjang sejarah Papua. Padahal kami hanya ingin menentukan nasib sendiri. Orang Papua pun berbeda ras dengan NKRI. Apapun yang terjadi, kami tak mau ada ras lain di tanah Papua. Indonesia adalah bangsa Melayu. Ada perbedaan dalam cara hidup dan ras. Kami menyesal belajar dari NKRI, ideologi kami berbeda.
Seperti apa perbedaan ideologi itu? Kami (rakyat Papua) punya dasar hukum sendiri. Sebelum deklarasi 1961, kami punya dasar politik Nibinerat untuk Proklamasi Papua 1 Desember 1961. Tapi NKRI menghapusnya pada 1963 bersamaan dengan masuknya militer Indonesia ke tanah Papua. Militer memburu para pejuang, mereka membunuh atau menangkap. Sebagian pejuang mengungsi. Seberapa besar organisasi KNPB dan bagaimana kepengurusannya? Selain KNPB Pusat dan tiga konsulat KNPB, kami punya 27 KNPB Wilayah. Tapi Ketua Umum Victor Yeimo masih ditahan di penjara karena mendukung kasus penembakan di Sorong. Kami juga punya panitia untuk mendukung ILWP sejak 2008. Tapi perlawanannya besar. Sedangkan kepengurusan disesuaikan dengan kebutuhan. Sedangkan anggota harus satu suara untuk membela KNPB. Apa perbedaan KNPB dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM)? Kami ini organisasi mediasi. Kami orang sipil yang bergerak dengan otak. Kami tak pernah pakai senjata. Berbeda dengan OPM karena mereka sayap militer. Tapi seseorang dan apapun itu bentuknya yang berdiri di atas tanah Papua adalah OPM. Kami melakukan konsolidasi lapangan di tanah Papua, dari Sorong sampai Merauke. Kami menyampaikan sejarah KNPB sejak lahir hingga sekarang. Kami juga punya kampanye Sorong to Samurai. Punya lambang Burung Mambruk [hewan endemik Papua] dan Bintang Kejora sebagai lambang kami. Simbol KNPB adalah angkat tangan kiri untuk selalu berjuang tanpa kekerasan dan angkat tangan kanan sebagai lambang keabadian. Kami tak mau ada Merah Putih di sini. Bila tak pernah pakai senjata mengapa selalu ada konflik bersenjata dengan POLRI? Penjajah selalu menggunakan senjata. Kami tak pernah. Bahkan kami memprotes ketika Victor Yeimo mendukung penembakan di Sorong. Kami ingin menelusuri itu, mengapa harus ada penembakan di Sorong. Tapi polisi membubarkan dan menangkap kami.
Kami hanya menyampaikan suara rakyat, tetapi selalu dibalas dengan tindak kekerasan baik dalam bahasa maupun perilaku. Berapa banyak yang ditangkap? Selain Ketua KNPB Victor Yeimo, ada 15 anggota. Di Timika dan Biak, masing-masing ada dua orang. Ada satu dari Wamena yang baru dibebaskan. Ada pula 12 orang kami ditahan pasca peluncuran OPMB pada 26 November 2013, sebagian memang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO). Barangbarang kami disita. Lalu polisi bilang KNPB punya senjata laras panjang. Hanya ditangkap? Sejak 2009, 26 anggota KNPB tewas. Kami hitung sesuai kepengurusan, ada catatannya. Mereka dibunuh dan dihilangkan. Bahkan ada pula kami ketahui setelah jasadnya membusuk. Ada pula ditembak dari jarak dekat. 26 anggota tewas itu sudah kami laporkan ke dunia internasional. Tapi kami tak pernah lapor ke polisi karena kami tahu mereka pelakunya. Kami juga sadar ini risiko perjuangan. Mengapa dibunuh?
sampai
ditahan,
ditembak
atau
Banyak rakyat Papua jadi korban, tapi tak pernah ada alasannya. Kami melihat ini hanya karena murni aspirasi politik. Kami hanya difitnah. Semua dilakukan polisi. Mereka melakukan kriminalisasi dan terorisme di Papua. Mereka menggunakan bom dan melakukan penyisiran serta membuat wacana seakan kami pelakunya. Padahal kami hanya mediasi rakyat. Dalam penangkapan pun tak pernah ada penjelasan. Tak ada surat penangkapan Begitu dalam penahanan, korban mendapat penyiksaan dalam bentuk pukulan, teror, intimidasi, dan penyetruman. Bahkan anggota wanita pun disetrum atau ditelanjangi seperti terjadi di Wamena. Mereka dipaksa mengakui tindakan yang mereka tidak lakukan. Apakah KNPB berkomunikasi dengan aparat keamanan? Atau melakukan tindakan hukum? Tidak pernah. Kami tidak diizinkan melakukan aksi. Selalu dilarang dan dibubarkan. Kami tak
pernah menggunakan izin karena dinilai belum terdaftar sebagai ormas. Selama ini bendera KNPB selalu dipermasalakan. Padahal setiap aksi KNPB, selalu ada ribuan masyarakat Papua yang ingin ikut. Aparat selalu menganggap KNPB ancaman bagi NKRI sehingga kasus sekecil apapun bisa naik ke persidangan. Sedangkan kami tak pernah mengadu ke hukum, mereka tidak memihak kami. Tadi Anda mengatakan polisi melakukan kriminalisasi dan terorisme. Bisa dijelaskan? Ada barisan dan gerakan merah putih yang dibentuk Kodam atau Polda. Tujuannya untuk memecah belah rakyat Papua. Mereka memanfaatkan konflik tanah, seperti di Timika.
Apakah menurut Anda ada pelanggaran HAM? Pelanggaran HAM di Papua sudah terjadi sejak 1961. Tapi kami tak pernah menyerahkan data pelanggaran itu meski sering ditanyakan LSM Papua. Kami tak pernah melaporkan karena tak pernah ada alasan mengapa pelanggaran itu terjadi. Selain itu, melaporkan pelanggaran HAM tak pernah ada update-nya. Komnas HAM Papua pernah turun ke lapangan, tetapi selalu mengalami kesulitan untuk membawa kasusnya ke pengadilan. Pasalnya, pelaku pelanggaran dari kalangan militer dan polisi menutupi. Jadi memang ada diskriminasi hukum. Pelakunya tak pernah dihukum. Bagaimana dengan jalur diplomasi atau dialog?
Mereka juga melakukan intimidasi dan penganiayaan di kampus Universitas Cenderawasih. Ada dua mahasiswa jadi korban. Kami juga punya berkas ancaman dan intimidasi untuk mahasiswa. Densus 88 pun menembak Pace Mako Tabuni sampai enam kali. Bahkan tembakan di kaki belakang tembus keluar di bagian depan. Ada fotonya. Apa sikap KNPB terhadap itu semua? Kami melakukan duka nasional bila ada anggota atau pejuang terbunuh. Contohnya saat Kelik Kwalik (Pimpinan OPM), Hubertus Mabel (Ketua Komisariat Militan KNPB), dan Mako Tabuni (Ketua I KNPB) dibunuh aparat NKRI, serta Muchtar Tabuni (mantan Ketua KNPB) ditangkap dengan alasan makar. Kami menyatakan Papua sebagai zona darurat. Tetapi gereja justru mengatakan zona damai. Padahal selalu ada pembunuhan, pembantaian, pemerkosaan, dan sebagainya. Jadi status dan pelaksanaan dalam kehidupan tidak sesuai. Apa pendapat Anda soal penembakan terhadap Mako? Mako ditembak dan kami dilarang beraksi. Mako itu sehari-hari bekerja sebagai aktivis, pemimpin aksi, bagi selebaran, konferensi pers, dan melakukan diplomasi pada pangdam. Dia berusia 31 tahun, lulusan fakultas hukum di Manado. Tapi polisi mengatakan dia kriminal.
Kami bergerak di wilayah sipil, tentu bisa dialog dan negosiasi. Tapi sayap militer belum tentu bisa. Persoalan Papua sudah menjadi masalah internasional. Secara fundamental kami bisa menentukan nasib sendiri. Rakyat Papua dan KNPB tak pernah setuju dialog Jakarta-Papua. Kami tahu dampaknya. Kami hanya ingin dialog melalui mekanisme PBB, ada pihak ketiga. Jadi KNPB menolak dialog? Kami hanya menuntut kemerdekaan. Sementara pemerintah NKRI selalu menawarkan beberapa kebijakan pada kami. Referendum umum dilakukan di negara mana pun di dunia ini. Lalu apa langkah selanjutnya? Tak ada kata mundur, lelah, dan bosan dalam kamus kami. Lawan, lawan dan lawan, itulah slogan kami. NKRI selalu membuat banyak gerakan agar kami terlena. Tapi kami tak akan pernah mundur. Kami pejuang. Bila ada perlawanan dalam bentuk penangkapan, penembakan dan lainnya, itulah perjuangan sehat. Merdeka adalah harga mati.
*IDN
Dear colleagues I have tried my best to verify the names of victims with an eye witness and a journalist in Enarotali as well as Yones Douw, a human rights defender in Nabire, plus two news editors respectively in Nabire and Jayapura, the two cities closest to Enarotali. Douw apologized in misspelling the names of first four victims in his email. But he already sent a correction. Human Rights Watch will issue an official statement later today. I am waiting for my colleagues in New York. Simon Degei, in green undershirt and grey pant, is an 18-year-old high school student. He was shot to death on the spot on his chest. The other teenager, also in grey pant and white shirt but black undershirt, is probably Yulian Yeimo, a 17-year-old student at SMA Negeri 1 Paniai. He reportedly was still alive in the field but died later in the Madi hospital. Otianus Gobai, an 18-year-old high school student in his grey and white uniform, was shot to death in the football field. Alfius Youw, a 17-year-old student, also from SMA Negeri I Paniai high school, was in his blue sport uniform when shot to death in the dancing protest. Names of the dead victims 1. 2. 3. 4. 5.
Simon Degei - 18 student at SMA Negeri 1 Paniai, grade 12, shot to death on the spot in his school uniform (green undershirt) Otianus Gobai – 18 student at SMA Negeri 1 Paniai, grade 12, wearing school uniform grey pant and white shirt, shot to death on the spot Alfius Youw - 17 student SMA Negeri 1 Paniai, grade 12, shot to death on the spot, wearing blue shirt short for school exercises Yulian Yeimo - 17 student SMA Negeri 1 Paniai, grade 9, died at the Mahdi hospital in his grey school pant, black undershirt and white shirt Abia Gobay - 17 student SMA Negeri 1 Paniai, grade 12, shot on the spot, but his body was found in Koge Kotu area, near the Enarotali airport, about 400 meters from the soccer field. His family brought his body to their family house.
Names of victims in Mahdi hospital 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Oni Yeimo (church youth member) Yulian Mote (25 civil servant) Oktovianus Gobay (student grade seven) Noak Gobai (college student STIKIP Enarotali) Bernadus Magai Yogi (elementary student grade four) Akulian Degey (student grade seven) Agusta Degey (28 homemaker) Andarias Dogopia (youth) Abernadus Bunai (elementary student grade four) Neles Gobay (civil servant) Jerry Gobay (student grade five) Marice Yogi (52 homemaker) Oktovianus Gobay (elementary student grade four) Yulian Tobai (Paniai hospital, security official, critical) Yuliana Edoway (homemaker) Jermias Kayame (48, head of the Awabutu kampong) Selpi Dogopia (34)
Kronologis Penembakan Yang menewaskan 5 warga Sipil Paniai Awal kejadian pada tanggal 8 Desember, sekitar pukul 01.30 Wi subuh, sebuah mobil hitam jenis fortuner melaju dari Enaro menuju kota Madi, yang diduga dikendarai oleh dua oknum anggota TNI yang biasa disebut dengan Tim Khusus TNI. Karena melaju tanpa menyalakan lampu mobil, tiga remaja warga sipil menahan mobil tersebut, dan meminta lampu mobil dinyalakan, karena warga juga sedang menjaga keamanan di masing-masing pondok natal. Tidak terima ditahan, beberapa oknum anggota Timsus TNI tersebut kembali ke Markas TNI di Madi Kota, dan kemudian mengajak beberapa anggota TNI kembali ke Togokotu, tempat ketiga anak remaja tersebut menahan mereka. Mobil ini kembali bersama beberapa anggota TNI, dan melakukan pengejaran terhadap tiga remaja tadi. Dua orang lari, sementara yang satunya dipukul hingga babak belur dan pingsang, kemudian warga melarikan anak ini rumah sakit. Pagi harinya, warga Paniai berkumpul, dan meminta aparat melakukan pertanggung jawaban terhadap anak kecil yang dipukul, dan melakukan pembakaran terhadap mobil fortuner yang malam harinya diketahui melakukan penyerangan terhadap tiga warga tersebut. Masyarakat berkumpul di lapangan Karel Gobay, tapi belum dilakukan pembicaraan, aparat gabungan TNI dan Polri langsung melakukan penembakan secara brutal, dan empat orang tewas ditempat, dan sekitar 13 orang lainnya dilarikan ke rumah sakit, beberapa dalam keadaan kritis. Satu orang lagi akhirnya meninggal dalam perawatan di rumah sakit MadiData Korbansementara
Penembakan dan Pembunuhan Sewenang – Wenang di Enarotali, Paniai; Segera Bentuk Tim Independen, Pulihkan Korban dan Masyarakat; Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS]mendesak pertanggungjawaban negara [pemerintah] dan aparat keamanan atas aksi brutal berupa pembunuhan kilat [summary killing] dan sewenang sewenang [Extrajudicial killing], serta penganiayaan yang dilakukan oleh aparat gabungan TNI – Polri terhadap warga sipil di Enaratoli, Paniai, Papua. Tindakan ini mengakibatkan 5 [Lima] pelajar tewas terkena luka tembak dan 17 [Tujuh belas] lainnya mengalami luka-luka [terlampir daftar namanama korban]. Berdasarkan informasi yang kami terima peristiwa itu terjadi karena warga yang bermaksud meminta pertanggungjawaban atas tindakan pemukulan terhadap warga Paniai yang dilakukan oleh anggota TNI dengan mengunjungi Koramil setempat, namun malah ditembaki secara brutal sehingga menimbulkan banyak korban. Sungguh sangat ironi, peristiwa ini terjadi menjelang peringatan Hari HAM Internasional pada setiap tanggal 10 Desember, alih – alih memberikan perlindungan kepada warga sipil, aparat keamanan di Papua, yang terdiri dalam gabungan Tim TNI dan Polri , lagi – lagi menggunakan kekuatan yang tidak proporsional [berlebihan] dan diskresi yang tidak tepat. Secara umum, peristiwa kekerasan ini menjadi noda dalam dalam peringatan untuk menghormati Hak Asasi Manusia dan secara khusus, menambah luka dalam masyarakat Papua, sejak 1960an, menjadi korban berbagai pelanggaran hak asasi manusia, dan praktis tak mendapatkan keadilan dari negara Indonesia. Penyelesaian atau penanganan kasus ini harus mendapatkan reaksi segera dari pemerintahan Jokowi yang hari ini memberikan pidato dalam rangka memperingati Hari HAM. Sebab penuntasan kasus pelanggaran HAM tidak bisa diselesaikan hanya melalui mimbar pidato, melainkanharus dipastikan adanya perintah kepada instrumen negara untuk segera bertindak dan menyelesaikan dengan tuntas segala bentuk pelanggaran atas hak asasi manusia, termasuk
pelanggaran yang terjadi dalam peristiwa ini. Berdasarkan hal tersebut diatas kami mendesak: Pertama,Pemerintah pusat segera membentuk Tim independen untuk mengunjungi Enarotali dan melakukan investigasi terhadap kekerasan berupa, penembakan, pembunuhan dan penganiayaan yang dilakukan secara brutal dengan melibatkan unsure Komnas HAM, LPSK, Mabes TNI, Mabes POLRI, KOMPOLNAS dan perwakilan masyarakat. Kedua, Pemerintah melalui lembaga – lembaga terkait seperti Komnas HAM, LPSK segera memberikan layanan pemulihan medis dan psikososial kepada korban, termasuk perlindungan kepada saksi dan korban di lapangan
Korban Tewas 1.
Simon Degei - 18 tahun pelajar SMA Negeri 1 Paniai, kelas 12,
2.
Otianus Gobai – 18 tahun pelajar at SMA Negeri 1 Paniai, kelas 12,
3.
Alfius Youw - 17 tahun pelajar SMA Negeri 1 Paniai, kelas 12,
4.
Yulian Yeimo - 17 tahun pelajar SMA Negeri 1 Paniai, kelas 9,
5.
Abia Gobay - 17 tahun pelajar SMA Negeri 1 Paniai, kelas 12,
Korban yang dirawat di rumah sakit Mahdi Ketiga, Untuk mencegah tindakan pelanggaran HAM dan kekerasan aparat keamanan di Papuaterhadap masyarakat sipil di masa mendatang, pemerintah harus segera melakukan dialog yang kontrusktif dengan masyarakat papua, dan menghentikan pendekatan penyelesaian konflik di Papua dengan pendekatan keamanan dan militeristik.
1.
Oni Yeimo
2.
Yulian Mote
3.
Oktovianus Gobay
4.
Noak Gobai
Jakarta, 9 Desember 2014
5.
Bernadus Magai Yogi
Haris Azhar, S.H MA Koordinator Kontras
6.
Akulian Degey
7.
Agusta Degey
8.
Andarias Dogopia
9.
Abernadus Bunai
10. Neles Gobay 11. Jerry Gobay 12. Marice Yogi 13. Oktovianus Gobay 14. Yulian Tobai 15. Yuliana Edoway 16. Jermias Kayame 17. Selpi Dogopia
Hal : Surat Terbuka “Mendesak Komnas HAM untuk Membentuk Tim Penyelidikan Terkait Dugaan Peristiwa Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Paniai” Kepada Yang Terhormat, Bapak Hafid Abbas Ketua Komnas HAM Di Tempat Dengan Hormat, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] menyayangkan lambannya proses pengungkapan peristiwa kekerasan yang terjadi di Paniai, Papua pada tanggal 08 Desember 2014, yang mengakibatkan 5 [lima]orang pelajarmeninggal dunia akibat luka tembak serta 17 [tujuh belas] orang lainnya mengalami luka – luka. Lambannya proses pengungkapan peristiwa kekerasan yang terjadi di Paniai menunjukkan bahwa ada ketidakseriusan aparat penegak hukum dalam melakukan penindakan terhadap para pelaku kekerasan, yang hingga saat ini proses hukumnya belum jelas terkait para pelaku kekerasan dan penembakan terhadap warga sipil. Berdasarkan informasi tambahan yang kami terima, kami menilai bahwa peristiwa yang terjadi pada tanggal 08 Desember 2014 di Paniai terhadap warga sipil telah telah memenuhi unsur kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh negara melalui aparat gabungan TNI/POLRI berupa pembunuhan, serta penganiayaan yang dilakukan secara terencana, dimana peristiwa kekerasan dan penembakan yang mengakibakan meninggalnya warga sipil tidak terlepas dari adanya unsur pertanggung jawaban komando pada saat peristiwa tersebut. Selain itu, kami juga menilai bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap hak – hak anak, hak – hak perempuan, hak atas rasa aman dan hak untuk hidup. Merujuk pada hasil laporan investigasi sementara yang dikeluarkan oleh Komnas HAM, beberapa korban yang meninggal ditemukan jauh dari lokasi berkumpulnya massa. Selain itu ditemukan juga bahwa penembakan yang dilakukan juga diarahkan pada bagian – bagian tubuh yang mematikan Berdasarkan hal tersebut, kami mendesak kepada Komnas HAM untuk segera membentuk tim penyelidikan terkait dengan dugaan peristiwa pelanggaran HAM sebagaimana yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terhadap peristiwa yang terjadi di Paniai. Pembentukan tim penyelidikan ini penting dilakukan mengingat proses pengungkapan yang dilakukan oleh TNI/POLRI hingga saat ini telihat lamban dan terkesan tidak transparan dan akuntabel. Demikian hal ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih Jakarta, 23 Desember 2014 Badan Pekerja KontraS, Haris Azhar Koordinator
WWW . KONTRAS . ORG WWW . PARTISIPASI . NET SMS CENTER : 08282217770002 081289327094