MAQASID AL-SHARI‘AH DAN RELEVANSI KULLI-JUZ’I
MAQASID AL-SHARI‘AH DAN RELEVANSI KULLIJUZ’I Oleh: Imroatul Azizah Abstrak Maqasid al-shari‘ah is a new science that is now a trend in the discourse of Islamic law. Maqasid al-shari‘ah necessitates that the revelation is for the benefit of mankind, so that all laws should be the goal, essence, value, and substance. But the essence maqasid al-shari‘ah that is so nice is often used as a ‘scapegoat’ by the liberals who stated that: "The most important is goal (maqasid), substance and ethical values, as it is universal, not a formal form as he applies a temporary ". This argument has implications for not using the law or the value juz'i (particular), whereas the particularity shari'at bound by its universality, and universality shari'at (kulli)be a witness for the particularity laws (juz’iyyah). Then signs maqasid al-shari‘ahis required in order to use in accordance with the rules, and not backfire in istinbatlaw. Keywords: Maqasid al-shari‘ahand relevance kulli-juz'i.
A. Pengantar Perubahan-perubahan sosial yang terjadi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah menimbulkan masalah serius berkaitan dengan hukum Islam. Oleh karena itu, menurut Schacht yurisprudensi legislasi Islam kaum modernis mesti bersifat logis dan permanen serta membutuhkan basis teori yang lebih tegas dan konsisten; atau meminjam ungkapan Esposito, jika para pembaharu muslim ingin menghasilkan Hukum Islam yang komprehensif dan berkembang secara konsisten, maka mereka harus merumuskan suatu
1
Vol.3, No.4, Januari – Juni 2014 |
Imroatul Azizah
metodologi sistematis yang mempunyai akar Islam yang kokoh 1. Untuk mencari basis teori tersebut, salah satu konsep penting yang perlu dikaji, menurut Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H/1085 M)2 adalah konsep maqasid al-shari‘ah,3 yang intinya bahwa maqasid al-shari‘ah atau tujuan dishari‘atkannya hukum Islam adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak madarat, dan istilah yang sepadan dengan inti maqasid al-shari‘ah tersebut adalah maslahah. Kenapa pilihan jatuh kepada maqasid al-shari‘ah? Di samping sedang menjadi trend dalam wacana Hukum Islam, maqasid al-shari‘ah juga sering dijadikan kambing hitam oleh para kaum liberalis yang menyatakan bahwa ayat hudud, qisas, jilbab, kawin beda agama, waris dan sejenisnya adalah ayat yang bersifat partikular tidak universal dan tidak kekal. Ayat-ayat itu berlaku tentatif dan temporer karena hanya cocok dengan kondisi bangsa Arab abad ke-7, dan kini sudah
1
Pernyataan keduanya dikutip dalam Amir Mu‘allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, cet. 2 (Yogyakarta: UII Press, 2001), 50, atau bisa dilacak dalam John L.Esposito, Women in Muslim Family Law (Syracuse: Syracuse University Press, 1982), 101-2. 2 Nama lengkapnya adalah Abu> al-Ma‘a>li ‗Abd al-Ma>lik ibn ‗Abd Alla>h ibn Yu>suf ibn Muh}ammad ibn ‗Abd Alla>h ibn H}ayu>wiyah al-Juwayni>. Mendapat gelar Imam al-Haramain. Berguru kepada bapaknya sendiri, yaitu Abu Muhammad alJuwaini. Di antara karyanya adalah: al-Burha>n, al-Waraqa>t, al-Ghiyath}i, dan Mughi>t} al-Khalq. Wafat tahun 478 H. Lihat Ta>juddi>n ‗Abd al-Wahha>b ibn ‗Ali> ibn ‗Abd al-Ka>fi al-Subki>, T}abaqa>t al-Sha>fi’iyyah al-Kubra>, (Kairo: alH}asaniyyah al-Mis}riyyah, tt.), V: 165; Sha‘ba>n Muhammad Ismail, Us}u>l al-Fiqh Ta>rikhuhu wa Rija>luh, (Mekkah: Dar al-Salam, 1419 H), 191. 3 Al-Juwaini adalah ulama yang secara serius memperkenalkan us}u>l al-shari>’ah sebagai aspek penting merumuskan hukum Islam, dalam kitabnya al-Burhan. Ia menegaskan pentingnya memahami maqa>s}id al-shari>’ah untuk menetapkan Hukum Islam; seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum, sebelum ia memahami benar tujuan Allah mengeluarkan perintah dan larangan. Al-Juwayni, alBurha>n fi> Us}u>l al-Fiqh (Kairo: Da>r al-Ans}a>r, 1400 H), I: 295. Berdasar penelitian Ahmad al-Raisuni, ia adalah yang pertama kali menggunakan istilah maqa>s}id al-shari>‘ah (ulama lain menyebutnya dengan al-kulliyyah al-khams dan alus}u>l al-shar’iyyah). Dapat dilacak dalam Abd. Rahman, Konsep al-Mas}lah}ah menurut Najm ad-Din at-Tufi ―Disertasi‖ (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1998), 80; Bandingkan dengan Ahmad al-Raisuni, Naz}ariyyah al-Maqa>s}id ‘Inda al-Ima>m alSha>t}ibi> (Herdon: al-Ma‘had al-A>lami> lil-Fikr al-Isla>mi>, 1990), 48-49.
2| “ AT-TUHFAH ” JURNAL STUDI KEISLAMAN
MAQASID AL-SHARI‘AH DAN RELEVANSI KULLI-JUZ’I
irrelevandan ahistoris.4 Selain melalui metode kontekstualisasi dalam penafsiran, kaum liberal sering menyebut istilah maqasid al-shari‘ah sebagai alasan. Mereka berargumen: ―Yang penting tujuannya (maqasid), substansi dan nilai etisnya, karena inilah yang universal, bukan bentuk formalnya karena ia berlaku temporer‖.5 Ditambah lagi dengan argumen mereka yang menyatakan bahwa maqasid mereka adalah HAM, pengarusutamaan gender, demokrasi, humanisme, equality, pluralisme agama dan lain sebagainya. 6 Untuk meluruskan kesalahan dan kesengajaan ‗liberalis‘ yang ingin merusak konsep maqasid al-shari‘ah, maka berikut perlu dijelaskan definisi dan rambu-rambu maqasid al-shari‘ah. B. Definisidan Cakupan Maqasid al-shari‘ah Secara etimologi, يماصذ انششيؼتmerupakan kata majemuk dari ( يماصذmaqasid) dan ( انششيؼتal-shari‘ah). Maqasid merupakan bentuk jama‘ dari ( يمصذmaqsad), ( لصذqasd),( يمصذmaqsid), atau ( لصٕدqusud) yang berasal dari kata kerja يمصذ-( لصذqasada-yaqsudu) dengan beragam makna, seperti menuju suatu arah, tujuan, tengah-tengah, adil dan tidak melampaui batas, jalan lurus, tengah-tengah antara berlebih-lebihan dan kekurangan.7 Namun dalam konteks ini makna yang dipilih adalah ―menghendaki atau memaksudkan‖, Maqasid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan. Sedangkan Shari’ah secara bahasa berarti 8 انًٕاضغ ححذس اني انًاءartinya jalan menuju sumber air. Jalan menuju
4
Abd. Moqsith Ghazali (et.al), Metodologi Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), xii. 5 Ibid., 147. 6 Fahmi Salim, ―Konsep Maqa>s}id Shari‘ah; Antara Islam dan Faham Liberal‖ dalam http://www.arrahmah.com/read/2012/06/30/21317-konsep-maqa>s}id-shari‘ah-antaraislam-dan-faham-liberal.html. (12 Maret 2013). 7 Ahmad ibn Muhammad ibn ‗Ali al-Fayumi al-Muqri`, al-Mis}ba>h al-Muni>r li Ghari>b al-Sharh} al-Kabi>r li ar-Ra>fi’i> (Beiru>t: Maktabah Lubnan, 1987), 192. 8 Abu> al-Fad}l Muh}ammad ibn Mukrim ibn Manz}u>r, lisa>n al-‘Arab (Beiru>t: Da>r al-S}a>dir, t.t),VIII: 175.
3
Vol.3, No.4, Januari – Juni 2014 |
Imroatul Azizah
sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.9 Adapun shari‘ah dalam makna terminologinya diartikan sebagai hukumhukum yang dishari‘atkan oleh Allah untuk hamba-Nya, baik yang ditetapkan melalui al-Qur‘an maupun al-Sunnah yang berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan Nabi.10 Definisi berbeda diberikan oleh alRaysuni, shari‘ah adalah sejumlah hukum amaliyah yang dibawa agama Islam, baik yang berkaitan dengan masalah aqidah maupun legislasi hukum.11 Adapun definisi maqasidal-shari’ah, menurut Asafri Jaya Bakri, ―Pengertian maqasid al-shari’ah secara istilah tidak ada definisi khusus yang dibuat oleh para ulama Usul fiqh, boleh jadihal ini sudah maklum di kalangan mereka‖.12 Atau dengan kata lain, menurut ulama kontemporer setelah melakukan penelitian terhadap teks-teks turath, ulama salaf belum mendefinisikan maqasidal-shari’ah secara jelas dan jami’-mani’ (komprehensif-protektif).Termasuk Sheikh Maqasid (al-Shatibi) itu sendiri tidak membuat ta‘rif yang khusus, beliau hanya mengungkapkan tentang shari‘ah dan fungsinya bagi manusia seperti ungkapannya dalam kitab al-Muwafaqat‖: …ْزِ انششيؼت. ٔضؼج نخحميك يماصذ انشاسع في لياو يصانحٓى في انذيٍ ٔانذَيا يؼا ―Shari‘ah itu ditetapkan untuk mewujudkan tujuan Shari‘, yaitu tegaknya kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat‖ dan االحكاو يششٔػت نًصانح ― انؼبادBerbagai hukum diundangkan untuk kemaslahatan hamba‖.13 Sementara sebagian berpandangan bahwa maqasid telah didefinisikan sejak di tangan al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) dan alShatibi (w. 790 H/1388 M). Imam Mawardi dalam disertasinyamenyimpulkan bahwa al-Shatibi telah memberi definisi 9
Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1994), h. 140. 10 ‗Abd al-Karim Zaydan, al-Madkhal li Dirasah al-Shari’ah al-Islamiyyah (Beirut: Mu`assasah al-Risalah, 1976), 39. 11 Ahmad al-Raysuni, al-Fikr al-Maqa>s}idi Qawa>’iduhu wa Fawa`>’iduhu (Riba>t}: Mat}ba‘ah al-Naja>h} al-Jadi>dah al-Da>r al-Bayd}a>‘, 1999), 10. 12 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqa>s}id Sha>ri’ah menurut al-Syatibi (Jakarta: P.T. Raja grafindo Persada, 1996), 64. 13 Al-Sha>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>’ah, Tah}qi>q ‗Abdullah Dara>z (Kairo: Da>r al-Hadi>th, 2006), II: 262.
4| “ AT-TUHFAH ” JURNAL STUDI KEISLAMAN
MAQASID AL-SHARI‘AH DAN RELEVANSI KULLI-JUZ’I
singkat namun operasional yang menghubungkan antara Allah dan pembagian maqasid al-shari‘ah dalam susunan yang hierarkis.14Menurut Imam Mawardi, makna maqasid al-shari‘ah berkembang dari makna yang paling sederhana sampai pada makna yang holistik. Memang di kalangan ulama klasik—sebelum al-Shatibi--belum ditemukan definisi yang konkret dan komprehensif tentang maqasid al-shari‘ah. Definisi mereka cenderung mengikuti makna bahasa dengan menyebutkan padanan-padanan maknanya.15 Ibn Rushd (w. 595 H/1198 M) memaknai maqasid al-shari‘ah dengan hikmah hukum; al-Isnawi (w. 772 H/1370 M) mengartikannya dengan tujuan-tujuan hukum; al-Samarqandi (w. 539 H/1144 M) menyamakannya dengan makna-makna hukum; sementara al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), al-Amidi (w. 631 H/1233 M), Ibn al-Hajib (w. 646 H/1249 M), dan ‗Izzuddin ibn ‗Abd al-Salam (w. 660 H/1262 M)16 mendefinisikannya dengan menggapai manfaat dan menolak mafsadat ( )جهب انًُفؼت ٔ دفغ انًفسذة.17 Banyak istilah yang semakna dengan maqasid al-shari‘ah. Ketika orang berbicara tentang maksud, hikmah, kemaslahatan, ‗illah, makna, niat, tujuan, target, dan sasaran hukum,
14
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas(Fiqh al-Aqalliyat dan Evolusi Maqa>s}id alSha>ri’ah dari Konsep ke Pendekatan), (Yogyakarta: LKiS, 2010), 181. 15 Ibid. 180. Padanan kata yang semakna dengan maqa>s}id al-shari>’ah adalah: – - رفع الحرج والضيق- دفع المشقة- نفي الحرج- نفي الضرر- المصلحة- الحكمة الشرعية-مقصود الشريعة الغرض والمراد والمغزى الشرعي- المعاني الشرعية- العلل الشرعية-الكليات الشرعية-. https://www.facebook.com/permalink.php?id=381357358603751&story_fbid=4792614 52146674 (12 Pebruari 2014) 16 Sering disebut dengan al-‗Iz ibn ‗Abd al-Sala>m. Nama lengkapnya: ‗Abd al-‗Azi>z ibn ‗Abd al-Sala>m ibn ‗Abd al-Qa>sim ibn al-H}asan al-Sulami> al-Damshiqi>. ‗Izzuddin adalah gelar kehormatan sebagai raja/tokohnya ulama. Sha‘ba>n Muhammad Ismail, Us}u>l al-Fiqh., 276. 17 Ibid. bisa dilacak pada Izzuddi>n ibn ‗Abd al-Sala>m, Qawa>’id al-Ah}ka>m fi> Mas}a>lih} al-Ana>m, (Beirut: Dar al-Ma'rifah, tt.), I: 9; ‗Umar ibn S}a>lih} ibn ‗Umar, Maqa>s}id al-Shari>’ah ‘inda al-Ima>m al-‘Izz ibn ‘Abd al-Sala>m (Urdun: Da>r al-Nafa>‘`is li al-Nashr wa al-Tawzi>‘, 2003), 88; al-Raysu>ni, Naz}ariyyah alMaqa>s}id., 52.
5
Vol.3, No.4, Januari – Juni 2014 |
Imroatul Azizah
maka ia sesungguhnya sedang membicarakan maqasid al-shari‘ah.18 Berikut adalah contoh definisi maqasidal-shari’ah dari para ulama klasik. Al-Ghazali, dalam al-Mustasfa mendefinisikan: ولسنا نعني به، فهي عبارة في األصل عن جلب منفعة أو دفع مضرة:أما المصلحة وصالح الخلق في تحصيل، فإن جلب المنفعة ودفع المضرة مقاصد الخلق،ذلك ومقصود الشرع من، لكنا نعني بالمصلحة المحافظة على مقصود الشرع،مقاصدهم فكل ما، ومالهم، ونسلهم، وعقلهم، ونفسهم، أن يحفظ عليهم دينهم:الخلق خمسة وهو ‖19،يتضمن حفظ هذه األصول الخمسة فهو مصلحة ―Pada dasarnya maslahah adalah sebuah istilah yang menggambarkan upaya meraih manfaat atau menolak kemudaratan. Tetapi bukan itu yang kami maksudkan dengan maqasid al-shari’ah, sebab meraih manfaat dan menolak bahaya adalah tujuan dan kemaslahatan manusia dalam mencapai maksudnya. Yang kami maksudkan dengan maslahah adalah memelihara tujuan-tujuan shara‘, sedangkan tujuan shara‘ untuk makhluk ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka, maka segala hal yang bertujuan untuk memelihara kelimanya, disebut maslahah‖. Al-Amidi (w. 631 H/1233 M) mendefinisikannya dengan lebih singkat, yaitu: ―Tujuan shari‘ah adalah mendatangkan kemaslahatan atau menolak kemafsadatan atau kombinasi keduanya.20 Sedangkan ‗Izzuddin ibn ‗Abd al-Salam menggambarkan maqasidal-shari’ah, sebagai berikut: ―و من تتبع مقاصد الشرع في جلب المصالح ودرء المفاسد حصل له من مجموع ذلك اعتقاد أو عرفان بأن هذه المصلحة ال يجوز إهمالها وأن هذه المفسدة ال يجوز قربانها وإن لم يكن فيه ‖إجماع وال نص وال قياس خاص فإن فهم نفس الشرع يوجب ذلك ―Barangsiapa yang berpandangan bahwa tujuan shara‘ adalah mendatangkan manfaat dan menolak mafsadat, maka berarti dalam dirinya terdapat keyakinan dan pengetahuan mendalam bahwa kemaslahatan dalam suatu permasalahan tidak boleh disia18
Ibn ‗A>shu>r, Maqa>s}id al-shari>‘ahal-Isla>miyyah (Urdun: Da>r al-Nafa>‘`is li al-Nashr wa al-Tawzi>, 2001), 190-194. 19 Abu> H}a>mid Muh}ammad Al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l, Tah}qi>q Dr. Muhammad Sulaiman al-Ashqar, (Beiru>t: al-Risa>lah, 1997), I: 416-7. 20 Sayfuddi>n al-A>midi>, al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Ah}ka>m., 271.
6| “ AT-TUHFAH ” JURNAL STUDI KEISLAMAN
MAQASID AL-SHARI‘AH DAN RELEVANSI KULLI-JUZ’I
siakan sebagaimana kemafsadatan yang ada di dalamnya juga tidak boleh didekati walaupun dalam masalah tersebut tidak ada ijma‘, nass, dan qiyas yang khusus. Karena untuk memahami jiwa shari‘at perlu memahami hal tersebut‖.21 Definisi-definisi tersebut memperlihatkan suatu perkembangan makna maqasidal-shari’ah, di mana di kalangan ulama klasik sebelum al-Shatibi belum ditemukan definisi yang konkret dan komprehensif. AlShatibi22 juga sebenarnya tidak mendefinisikan maqasidal-shari’ah secara khusus,23 namun definisi singkat tapi operasional yang menghubungkan antara Allah dan hamba-Nya serta pembagian maqasidal-shari’ah dalam susunan yang hierarkis memiliki nilai plus tersendiri. Secara tegas, al-Shatibi, mengatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya kemaslahatan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian, perintah dan larangan dalam shari‘ah menyangkut perlindungan maqasid al-shari’ah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia.Karena itu, taklif dalam bidang
21
‗Izzuddi>n ibn ‗Abd al-Salam , Qawa>’id al-Ah}ka>m., II: 189. Nama lengkapnya adalah Abu> Ish}a>q Ibra>hi>m ibn Mu>sa> ibn Muh}ammad alLakhmi> al-Ghirna>t}i> al-Sha>t}ibi>. Lebih dikenal dengan nama Abu> Ish}a>q alSha>t}ibi>. Ia lahir di Granada tahun 730 H dan meninggal pada hari Selasa, 8 Sha‘ban 790 H (1388 M). Nama Sha>t}ibi adalah nisbat kepada tempat kelahiran ayahnya di Sativa (Shatibah=Arab), sebuah daerah di sebelah timur Andalusia. Setidaknya ada 7 karya tulisnya (dalam bidang nahwu, us}u>l al-fiqh, bid‘ah, dan jual beli). Sha‘ba>n Muhammad Isma>‘i>l, Us}u>l al-Fiqh Ta>rikhuhu wa Rija>luh, cet. 2. (Makkah: Da>r al-Sala>m, 1998), 417; http://en.wikipedia.org/wiki/Abu_Ishaq_Al-Sha>t}ibi> (18 Juni 2013); ‗Abd al-Wahha>b Ibra>hi>m ibn Sulaima>n, al-Fikr al-Us}u>liy Dira>sah Tah}li>liyyah Naqdiyyah (Jiddah: Da>r al-Shuru>q, 1983), 485. 23 Tidak seperti yang lainnya, yang mendefinisikan maqa>s}id al-shari>’ah dari aspek kebahasaan, al-Sha>t}ibi> tidak memberikan definisi konkrit karena ia menganggap istilah ini telah dipahami secara jelas, di samping juga al-Muwa>faqa>t diperuntukkan untuk kalangan yang memiliki basic pengetahuan Hukum Islam yang baik, sehingga istilah dan permasalahan yang telah dianggap umum tidak perlu dijelaskan lagi. Imam Mawardi, Fiqh Minoritas., 181. 22
7
Vol.3, No.4, Januari – Juni 2014 |
Imroatul Azizah
hukum harus mengarah kepada dan merealisasikan terwujudnya tujuan hukum tersebut.24 Enam abad setelah al-Shatibi, Ibn ‗Ashur (w. 1393 H/1973 M)25 mendefinisikan maqasid al-shari‘ah: مقاصد التشريع العامة هي المعاني والحكم الملحوظة للشارع في جميع أحوال التشريع ، بحيث ال تختص مالحظتها بالكون في نوع خاص من أحكام الشريعة،أو معظمها والمعاني التي ال يخلو التشريع عن،فيدخل في هذا أوصاف الشريعة وغاياتها العامة مالحظتها ويدخل في هذا أيضا معان من الحكم ليست ملحوظة في سائر أنواع 26 األحكام ولكنها ملحوظة في أنواع كثيرة منها ―Makna-makna dan hikmah-hikmah yang diperhatikan dan dipelihara Shari’ dalam setiap bentuk penentuan hukum-Nya. Hal ini tidak hanya berlaku pada jenis-jenis hukum tertentu sehingga masuklah dalam cakupannya segala sifat, tujuan umum, dan makna shari‘at yang terkandung dalam hukum serta masuk pula di dalamnya makna-makna hukum yang tidak diperhatikan secara keseluruhan tetapi dijaga dan diperhatikan dalam banyak bentuk hukum‖. Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaily, Maqasid alshari‘ahadalah sejumlah makna atau sasaran yang hendak dicapai oleh shara‘ dalam semua atau sebagian besar kasus hukumnya. Atau ia adalah
24
Al-Sha>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t., II: 262. Nama lengkap Ibn A>shur adalah Muhammad T}ahir (T}ahir II) ibn Muhammmad ibn Muhammad T}ahir (T}ahir I) ibn Muhammad ibn Muhammad Shadhili ibn ‗Abd alQadir ibn Muhammad ibn ‗Āshūr. Lahir dari sebuah keluarga terhormat yang berasal dari Andalusia pada tahun 1296 H atau 1879 M dan wafat pada tahun 1393 H atau 1973 M. Tempat lahir dan wafatnya sama yaitu di Tunis. 26 Ibn ‗A>shu>r, Maqa>s}id al-shari>‘ahal-Isla>miyyah., 251. Menurut Imam Mawardi, definisi Ibn ‗A>shu>r ini sudah mulai masuk wilayah yang lebih konkret dan operasional. Bahkan Ibn ‗A>shu>r menegaskan bahwa maqa>s}id al-shari>‘ah bisa saja bersifat umum yang meliputi keseluruhan shari‘at dan juga bisa bersifat khusus, misalnya maqa>s}idal-shari>’at dalam bidang jinayat. Dalam kontek ini maqa>s}id alshari>‘ah diartikan sebagai kondisi-kondisi yang dikehendaki oleh shara‘ untuk mewujudkan kemanfaatan bagi kehidupan manusia atau untuk menjaga kemaslahatan umum dengan memberikan ketentuan hukum dalam perbuatan-perbuatan khusus mereka yang mengandung hikmah. Imam Mawardi, Fiqh Minoritas., 183. 25
8| “ AT-TUHFAH ” JURNAL STUDI KEISLAMAN
MAQASID AL-SHARI‘AH DAN RELEVANSI KULLI-JUZ’I
tujuan dari shari‘at atau rahasia di balik pencanangan tiap-tiap hukum oleh Shari’ (pemegang otoritas shari‘at, Allah dan Rasul-Nya).27 Terlepas dari perbedaan kata dan redaksi yang digunakan, para ulama usul sepakat bahwa maqasid al-shari‘ah adalah tujuan-tujuan akhir yang harus terealisasi dengan diaplikasikannya shari‘at. Setidaknya definisi dan makna inilah yang dipahami oleh ulama usul kontemporer, seperti Yusuf Hamid al-‗Alim yang mendefinisikan maqasid al-shari‘ah dengan: ―Tujuan-tujuan yang hendak direalisasikan oleh hukum, yakni kemaslahatan yang kembali pada hamba, baik di dunia maupun di akhirat, baik realisasinya itu melalui upaya mencapai manfaat maupun menolak bahaya atau kerugian‖,28 dan Nuruddin al-khadimi yang merumuskan maqasid al-shari‘ah dengan: ―Segala kemaslahatan yang diinginkan Tuhan dalam setiap hukum-hukum shari‘ah‖, atau dengan bahasa lain menurut Amrullah: ―Maqasid al-shari‘ah adalah tujuantujuan Tuhan yang terkandung dalam teks-teks shariah, baik al-Qur‘an maupun hadis. Sementara maqasid sebagai cabang ilmu independen— merujuk pada sebagian pendapat yang mengatakan maqasid sebagai disiplin ilmu tersendiri—bisa didefinisikan sebagai: ―ilmu yang mempelajari tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia shari‘at dan hukumhukumnya‖29 Definisi dan makna maqasid al-shari‘ah yang lebih luas dikemukakan oleh Yusuf al-Qaradawi sbb: ―Tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh nass dari segala perintah, larangan, dan kebolehan, dan yang ingin direalisasikan oleh hukum-hukum juz’iyyah dalam kehidupan orang-orang mukallaf, baik secara personal, keluarga, kelompok, dan 27
Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi> (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1998), II: 1045. 28 Imam Mawardi, Fiqh Minoritas., 183. Dikutip oleh Imam Mawardi dari Yusuf Hamid al‘Alim, al-Maqa>s}id al-shari>‘ahal-‘A>mmah li al-shari>‘ah al-Isla>miyyah (Riya>d}: al-Da>r al-‗Alamiyyah li al-Kita>b al-Isla>mi> dan IIIT, 1994), 79. 29 Amrullah,‖Histori Evolusi Teori Maqa>s}id Shari‘ah (sejak Abad I H./7 M. sampai Abad 15 H./21 M.)‖, 3. dalamhttp://www.facebook.com/notes/bahtsul-masail-nu-mesiri/geliat-pemikiran-maqa>s}id-shari‘ah-sejak-i-hvii-m-sampai-14-h21-m-laporan-kajian/10151318265212291. (19 Oktober 2013)
9
Vol.3, No.4, Januari – Juni 2014 |
Imroatul Azizah
umat secara keseluruhan‖.30 Ia menegaskan bahwa maqasid al-shari‘ah tidak terbatas pada tujuan-tujuan fiqh saja, tetapi keseluruhan aspek agama Islam, khususnya masalah akidah.31 Karena maqasid al-shari’ah lebih melihat hukum (Shari‘at) dari segi ruh dan esensinya, tentu akan sangat banyak penafsiran dan sudut pandang. Oleh karena itu, al-Shatibi memberi penjelasan detail dan rambu-rambu untuk memahaminya. Penelitian dan pengkajiannya terhadap ayat-ayat al-Qur‘an membawanya pada kesimpulan bahwa maqasid al-shari‘ah dalam arti kemaslahatan terdapat dalam aspek-aspek hukum secara keseluruhan. Artinya jika ada permasalahan hukum yang tidak ditemukan secara jelas dimensi kemaslahatannya, maka dapat dianalisis melalui maqasid al-shari‘ah yang dilihat melalui ruh shari‘at dan tujuan umum dari agama Islam yang hanif. Di samping itu, bagi alShatibi, tidak menjadi persoalan, apakah dalam al-Qur‘an Tuhan telah memberikan sesuatu yang rinci atau tidak, karena dengan pernyataan bahwa Islam telah sempurna sebagai agama, menunjukkan bahwa alQur‘an telah mencakup dasar-dasar kepercayaan dan praktek agama dengan berbagai aspeknya, sehingga mafhum mukhalafah-nya ‗tak satu pun yang berada di luar ajaran al-Qur‘an‘.32 Untuk memahami maqasidal-shari‘ah, al-Shatibi melihat kemaslahatan dari dua sudut pandang, yaitu: 1. Qasd al-Shari’ (tujuan Tuhan), dan 2. Qasd al-Mukallaf (tujuan mukallaf). Maqasidal-shari‘ah dalam arti maqasidal-Shari’/qasd al-Shari’ mengandung empat aspek, yaitu: 1. Tujuan awal dari shari‘at yakni kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. 2. Shari‘at sebagai sesuatu yang harus dipahami. 30
Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Dira>sah fi> Fiqh Maqa>s}id al-shari>‘ah Bayna alMaqa>s}id al-Kulliyyah wa al-Nus}u>s} al-Juz`’iyyah, cet. 4 (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 2012), 20. http://www.tanseerel.com/main/articles.aspx?article_no=16855&menu_id=8 31 Penegasannya ini untuk menepis kesan bahwa maqa>s}id al-shari>‘ah hanya membahas persoalan fiqh, pendapat yang terlahir sebagai konsekuensi dominasi diskusi maqa>s}id dalam ranah fiqh dibanding ranah yang lainnya. Bukti maqa>s}id alshari>‘ah tidak hanya persoalan fiqh adalah dijadikannya unsur agama dalam alkulliyya>t al-khams. Ibid. 32 Al-Sha>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t. III: 240-1.
10| “ AT-TUHFAH ” JURNAL STUDI KEISLAMAN
MAQASID AL-SHARI‘AH DAN RELEVANSI KULLI-JUZ’I
3. Shari‘at sebagai suatu hukum taklif yang harus dilakukan, dan 4. Tujuan shari‘at adalah membawa manusia ke bawah naungan hukum.33 Aspek pertama berkaitan dengan muatan dan hakikat maqasidalshari‘ah (merupakan aspek inti dan menjadi fokus analisis); Aspek kedua berkaitan dengan dimensi bahasa agar shari‘ah dapat dipahami sehingga kemaslahatan yang dikandungnya dapat diraih; Aspek ketiga berkaitan dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan shari‘at untuk mewujudkan kemaslahatan, juga berkaitan dengan kemampuan manusia untuk melaksanakannya;34 sedangkan aspek keempat berkaitan dengan kepatuhan manusia sebagai mukallaf di bawah dan terhadap hukumhukum Allah, atau tujuan shari‘at berupaya membebaskan manusia dari kekangan hawa nafsu.35 Selanjutnya, kemaslahatan itu dapat diwujudkan apabila lima unsur pokok—al-daruriyyat al-khams--dapat diwujudkan dan dipelihara.36 Dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok itu, al-Shatibi membagi kepada tiga tingkat maqasidal-shari‘ah, yaitu: al-daruriyyah, al-hajiyyah, dan al-tahsiniyyah.37 Dengan 33
Ibid., II: 114. Dijelaskan bahwa taklif bukan untuk memberatkan mukallaf, sebaliknya taklif justru demi kemaslahatan mereka. Ibid., II: 81-87. 35 Aspek pertama merupakan inti yang dapat terwujud melalui pelaksanaan taklif atau pembebanan hukum terhadap mukallaf (aspek ke-3). Untuk melakukan taklif harus dapat memahami baik dimensi lafal maupun maknawi (aspek ke-2), dan pemahamanpelaksanaan taklif ini dapat membawa manusia berada di bawah lindungan hukum Tuhan, lepas dari kekangan hawa nafsu (aspek ke-4). Penjelasan ini kami kutip dari Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqa>s}id Sha>ri’ah., 70-1. 36 Cara untuk menjaga 5 unsur pokok dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu: 1. min ja>nib al-wuju>d (dengan cara menjaga dan memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan keberadaannya), dan 2. min ja>nib al-‘adam (dengan cara mencegah hal-hal yang menyebabkan ketiadaannya). Contoh menjaga agama dari segi wuju>d misalnya shalat dan zakat; menjaga agama dari segi ‘adam misalnya jihad. AlSha>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t., II: 265. 37 Hierarki ini bersifat saling menyempurnakan. Artinya tidak terwujudnya aspek d}aru>riyyah dapat merusak kehidupan manusia secara keseluruhan. Pengabaian terhadap aspek h}a>jiyyah, tidak sampai merusak kelima unsur pokok, tetapi akan membawa kepada kesulitan mukallaf dalam merealisasikannya. Sedangkan pengabaian 34
11
Vol.3, No.4, Januari – Juni 2014 |
Imroatul Azizah
perspektif yang lain, al-daruriyyah termasuk maqasid alshari‘ahasliyyah (tidak ada batasnya untuk para mukallaf), sedang hajiyyah dan tahsiniyyah sebagai tabi’ah--nya.38 Ia juga membagi maqasid al-shari‘ah kepada dua orientasi, yaitu: al-masalih aldunyawiyyah dan al-masalih al-ukhrawiyyah.39 Kategorisasi ini menunjukkan muatan dan skala prioritas dalam pengembangan hukum, di samping memperjelas majal al-ijtihad. Mustafa Sa‘id al-Khin (pakar Hukum Islam dari Universitas Damascus) menggolongkan metode sistematisasi maslahah al-Shatibi sebagai sebuah metode dan aliran khusus dalam ilmu usul fiqh. Menurutnya ada lima aliran utama usul fiqh: Mutakallimin, Fuqaha, al-Jami’, Takhrij al-furu ‘ala al-Usul, dan Shatibiyyah. Klasifikasi al-Khin mengindikasikan betapa pentingnya metode al-Shatibi dalam mengungkapkan serta menempatkan maslahat dalam konteks perwujudan maqasid alshari‘ah.40 C. Rambu-Rambu Maqasid al-shari‘ahdan Relevansinya dengan Kulli-Juz’i Sekilas dari penjelasan al-Shatibi, maqasid al-shari‘ah telah dipagari dengan banyak rambu agar tidak disalahpahami dan aspek tah}si>niyyah berdampak pada tidak sempurnanya upaya pemeliharaan lima pokok tersebut. 38 Al-Sha>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t. II: 120, 142. Menurut al-Kha>dimi>, al-maqa>s}id al-‘As}liyyah adalah maqa>s}id yang tidak ada manfaat z}a>hir/nyata bagi mukallaf, seperti persoalan ibadah dan kepatuhan akan perintah Allah. Sedangkan al-maqa>s}id al-ta>bi’ah adalah maqa>s}id yang di dalamnya ada manfaat nyata bagi mukallaf, seperti dalam pernikahan, jual beli, dll. Nuruddin al-Kha>dimi>, al-Ijtiha>d alMaqa>s}idi H}ujjiyyatuhu, D}awa>bit}uh wa Maja>la>tuh, dalam al-Maktabah alIslamiyyah, http://library.islamweb.net/newlibrary/display_umma.php?lang=&BabId=4&ChapterId =4&BookId=265&CatId=201&startno=0 (2 Maret 2014) 39 Al-Sha>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t., II: 20-25. Dilihat dari cakupan masalahnya, maqa>s}id dibagi menjadi 3, yaitu al-maqa>s}id al-‘a>mmah yang meliputi keseluruhan aspek shari‘ah; al-maqa>s}id al-kha>s}s}ah yang berkaitan dengan bab tertentu dalam muamalah, seperti maqa>s}id al-shari>’ah dalam bidang hukum keluarga, ekonomi, dll; dan al-maqa>s}id al-juz’iyyah berupa illat, hikmah, dan rahasia hukum. Nuruddin al-Kha>dimi>, al-Ijtiha>d al-Maqa>s}idi>., 65. 40 Ensiklopedi Islam, IV: 311; Mustafa Sa‘id al-Khin, al-Ka>fi al-Wa>fi fi> Us}u>l alFiqh al-Isla>my (Beiru>t: Mu‘assasah ar-Risa>lah, 2000), 8.
12| “ AT-TUHFAH ” JURNAL STUDI KEISLAMAN
MAQASID AL-SHARI‘AH DAN RELEVANSI KULLI-JUZ’I
diselewengkan dari konsep aslinya, sehingga menjadi liberal. Jika ramburambu tersebut tidak diindahkan, maka maqasid al-shari‘ah akan memakan induknya sendiri yaitu Shari‘ah Islam. Berikut adalah ramburambu maqasid al-shari‘ah dari al-Shatibi:41 األصم في انؼباداث بانُسبت انٗ انًكهف انخؼبذ دٌٔ االنخفاث انٗ انًؼاَي ٔاالصم- 1 42 في احكاو انؼاداث االنخفاث انٗ انًؼاَي ―Hukum asal peribadatan jika disandarkan kepada mukallaf adalah ‗ta’abbud‘ tidak menoleh kepada makna, sebaliknya hukum adat/kebiasaan itu menilik kepada maknanya‖. انًماصذ انؼايت نهخؼبذ ْي االَمياد ألٔايش هللا ػز ٔجم ٔإفشادِ بانخضٕع ٔانخؼظيى- 2 43 ّنجالنّ ٔانخٕجّ اني ―Tujuan umum dalam beribadah adalah tunduk kepada perintahperintah Allah, mengesakan-Nya dengan ketundukan, mengagungkan kebesaran-Nya serta berorientasi kepada-Nya‖. ٌٕ انًمصذ انششػي يٍ ٔضغ انششيؼت ْٕ إخشاج انًكهف ػٍ داػيت ْٕاِ حخٗ يك- 3 44 ػبذا هلل اخخياسا كًا ْٕ ػبذ هلل اضطشاسا ―Tujuan ditetapkannya shari‘ah adalah membebaskan mukallaf dari dorongan nafsunya agar menjadi hamba Allah baik secara sadar maupun terpaksa‖. ٔضؼج انششيؼت ػهٗ اٌ حكٌٕ إْاء انؼباد حابؼت نًمصٕد انشاسع فيٓا ٔلذ ٔسغ هللا- 4 45 ػهٗ انؼباد في شٕٓاحٓى ٔ حُؼًاحٓى بًا يكفيٓى ٔال يفضي انٗ يفسذة ٔال انٗ يشمت ―Shari‘ah dibuat agar hawa nafsu manusia tunduk dan ikut kepada tujuan Allah. Di sisi lain Allah telah memberi keleluasaan bagi manusia untuk menikmati kebutuhan syahwatnya, memberi
41
Kaidah-kaidah ini dinukil dari Fahmi Salim, ―Konsep Maqa>s}id Shari‘ah; Antara Islam dan Faham Liberal‖., 5-7. 42 Al-Shat}ibi>, al-Muwa>faqa>t., II: 472. Konsep ta‘abbudi berlandaskan Hak Allah atas hamba-Nya, yaitu kewajiban hamba untuk menyembah dan tidak mempersekutukan-Nya. 43 Ibid. 44 Ibid., II: 379. 45 Ibid., I: 186.
13
Vol.3, No.4, Januari – Juni 2014 |
Imroatul Azizah
kenikmatan secara proporsional agar tidak menyebabkan kerusakan dan kesulitan‖. يشمت يخانفت انٕٖٓ نيس يٍ انًشاق انًؼخبشة ٔال سخصت فيٓا انبخت- 5 ―Kesulitan menerima hukum karena mengingkari hawa nafsu bukanlah salah satu jenis kesulitan yang dibenarkan dan tidak ada keringanan di dalamnya‖. يٍ سهك انٗ يصهحت غيش طشيمٓا انًششٔع فٕٓ ساع في ضذ حهك انًصهحت- 6 ―Barangsiapa yang menempuh jalan lain selain yang dishariatkan untuk mencapai maslahat, maka sama saja ia berusaha melawan kemaslahatan itu‖. االيش بانفؼم يسخهزو لصذ انشاسع انٗ ٔلٕع رنك انفؼم ٔانُٓي يسخهزو انمصذ انٗ يُغ- 7 ُّٔلٕع انًُٓي ػ ―Bentuk perintah mengharuskan terjadinya isi perintah, dan bentuk larangan mengharuskan tercegahnya kejadian yang dilarang itu‖. ٗ إرا سكج انشاسع ػٍ أيش يغ ٔجٕد داػي انكالو فيّ دل سكٕحّ ػهٗ لصذِ ان- 8 انٕلٕف ػُذ حذ يا ششع ―Jika Shari’ mendiamkan sesuatu hal, padahal ada faktor kuat untuk memberikan hukum dalam soal itu, maka diamnya itu menunjukkan kehendaknya agar tetap/berhenti pada batas apa yang Ia shari‘ahkan‖. Kaidah-kaidah tersebut menolak argumen sekularis/liberalis yang menghendaki kita untuk meninggalkan hukum-hukum rinci dan partikularitas shari‘ah, demi menjaga ruh/tujuan/esensi shari‘ah saja. Sebab partikularitas shari‘at terikat dengan universalitasnya, dan universalitas shari‘at menjadi saksi bagi hukum-hukum terperincinya (partikularitas).46 Lebih lanjut al-Shatibi menambahkan yang artinya: ―Jika dalam shari‘at ada kaidah umum dalam persoalan daruri (primer), hajiyah (sekunder), atau tahsini (tersier), maka tidak bisa dianulir oleh dalil-dalil partikular. Demikian pula, kaidah umum shari‘ah atau partikularitasnya harus sama-sama dipelihara. Sebab bentuk partikular itupun diinginkan dalam rangka menegakkan dalil kulli, supaya dalil kulli tidak tertinggal yang menyebabkan kemaslahatan yang diinginkan menjadi hilang. 46
Fahmi Salim, ―Konsep Maqa>s}id Shari‘ah; Antara Islam dan Faham Liberal‖, 5.
14| “ AT-TUHFAH ” JURNAL STUDI KEISLAMAN
MAQASID AL-SHARI‘AH DAN RELEVANSI KULLI-JUZ’I
Maka harus ada kebenaran maqasid untuk menghasilkan dalildalil partikular. Sebagian soal itu tidak lebih utama dari sebagian lainnya. Sehingga tujuan shari‘ah dapat diperoleh semuanya. Itulah yang hendak dicari‖.47 Orang yang mengambil teks juz’i dan menyampingkan tujuan kulli maka dia tersesat/salah. Seperti itu pula orang yang mengambil teks kulli dan menyampingkan teks juz’i juga salah. Ini semua menyakinkan kita bahwa yang dituntut adalah memelihara tujuan Shari’ sebab dalil kulli dan juz’i keduanya merujuk kepada maksud shara‘, sehingga keduanya harus dipegang dalam menghukumi setiap masalah.48 Jelaslah bahwa konsep maqasid bagi Shatibi berfungsi sebagai penataan dan penertiban metode pengambilan hukum dari dalil shar‘i (istidlal), bukan alat untuk menghindar dari hukum atau menganulirnya. Berpegang kepada prinsip kulli tidak boleh menganulir hal-hal partikular seperti yang diinginkan wacana kaum sekularis. Imam Shatibi sejak berabad silam sepertinya berbicara mengkritik kaum sekularis saat ini yang hendak memfungsikan teori maqasid secara keliru: Kebanyakan ahli bid‘ah menyatakan tahsin dan taqbih secara akal saja sebagai sandaran mereka dalam membina shari‘ah. Itulah yang dikedepankan dalam asumsi mereka. Mereka tidak menuduh akal mereka seperti mereka semangat menuduh dalil-dalil shara‘ jika dalil-dalil tersebut tidak mereka sukai. Padahal tidak semua yang ditetapkan oleh akal itu adalah suatu kebenaran.49 Oleh karena itu, penggunaan teori maqasid di luar aturan dan standar yang ditetapkan oleh Imam Shatibi, tak lain adalah alat buldoser untuk menghancurkan shari‘at Islam, dan memarjinalkan Al-Qur‘an dari kepemimpinan dan rujukan hukum tertinggi dalam Islam, serta memberi
47
Al-Sha>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t, II: 371-373. Ibid., III: 7-9 49 Al-Sha>t}ibi>, al-I’tis}a>m, (Beiru>t: Da>r al-Ma‘rifah, 2000) I: 184-185. 48
15
Vol.3, No.4, Januari – Juni 2014 |
Imroatul Azizah
justifikasi atas solusi-solusi palsu yang didiktekan oleh metode-metode dan rasionalitas baru yang diusungnya. 50 D. Kesimpulan Kaum sekuleris/liberalis ingin ‗menyalahgunakan‘ maqasid alshari’ah secara keliru, yaitu dengan meninggalkan hukum-hukum rinci dan partikular shari‘ah, demi menjaga esensi shari‘ah saja. Padahal partikularitas shari‘at terikat dengan universalitasnya, dan universalitas shari‘at menjadi saksi bagi hukum-hukum terperincinya (partikular). Oleh karena itu rambu-rambu maqasid al-shari’ah yang diintrodusir alShatibi harus dijadikan warning dalam ijtihad-istinbat hukum, agar tidak melenceng dari makna maqasid yang sebenarnya. DAFTAR PUSTAKA Al-‘Alim, Yusuf Hamid. al-Maqasid al-shari‘ahal-‘Ammah li alshari‘ah al-Islamiyyah. Riyad: al-Dar al-‗Alamiyyah li al-Kitab al-Islami dan IIIT, 1994. al-Amidi, Sayfuddin. al-Ihkam fi Usul al-Ahkam. Bairut: Dar al-Fikr, t.t. Amrullah,‖Histori Evolusi Teori Maqasid Shari‘ah (sejak Abad I H./7 M. sampai Abad 15 H./21 M.)‖, 3. dalamhttp://www.facebook.com/notes/bahtsul-masail-nu-mesiri/geliat-pemikiran-maqasid-shari‘ah-sejak-i-hvii-m-sampai-14h21-m-laporan-kajian-/10151318265212291. (19 Oktober 2013) Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqasid Shari’ah menurut al-Syatibi. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 1996. Esposito, John L. Women in Muslim Family Law. Syracuse: Syracuse University Press, 1982. Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, Tahqiq Dr. Muhammad Sulaiman al-Ashqar. Beirut: al-Risalah, 1997. Ghazali, Abd. Moqsith (et.al). Metodologi Studi Al-Qur’an. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009. http://en.wikipedia.org/wiki/Abu_Ishaq_Al-Shatibi (18 Juni 2013) 50
Fahmi Salim, ―Konsep Maqa>s}id Shari‘ah‖, 6.
16| “ AT-TUHFAH ” JURNAL STUDI KEISLAMAN
MAQASID AL-SHARI‘AH DAN RELEVANSI KULLI-JUZ’I
http://www.tanseerel.com/main/articles.aspx?article_no=16855&menu_i d=8 Ibn ‗Ashur. Maqasid al-shari‘ahal-Islamiyyah. Urdun: Dar al-Nafa‘`is li al-Nashr wa al-Tawzi, 2001. Ibn ‗Umar, ‗Umar ibn Salih. Maqasid al-Shari’ah ‘inda al-Imam al-‘Izz ibn ‘Abd al-Salam. Urdun: Dar al-Nafa‘`is li al-Nashr wa alTawzi‘, 2003. Ibn Manzur, Abu al-Fadl Muhammad ibn Mukrim. lisan al-‘Arab, VIII.Beirut: Dar al-Sadir, t.t. Ibn Sulaiman, ‗Abd al-Wahhab Ibrahim. al-Fikr al-Usuliy Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah.Jiddah: Dar al-Shuruq, 1983. Ismail, Sha‘ban Muhammad. Usul al-Fiqh Tarikhuhu wa Rijaluh. Mekkah: Dar al-Salam, 1419 H. Al-Juwayni. al-Burhan fi Usul al-Fiqh, Jilid I. Kairo: Dar al-Ansar, 1400 H. Al-Khadimi, Nuruddin. al-Ijtihad al-Maqasidi Hujjiyyatuhu, Dawabituh wa Majalatuh, dalam al-Maktabah al-Islamiyyah, http://library.islamweb.net/newlibrary/display_umma.php?lang= &BabId=4&ChapterId=4&BookId=265&CatId=201&startno=0 (2 Maret 2014) Al-Khin, Mustafa Sa‘id. al-Kafi al-Wafi fi Usul al-Fiqh al-Islamy. Beirut: Mu‘assasah ar-Risalah, 2000. Mawardi, Ahmad Imam. Fiqh Minoritas(Fiqh al-Aqalliyat dan Evolusi Maqasid al-Shari’ah dari Konsep ke Pendekatan). Yogyakarta: LKiS, 2010. Mu‘allim, Amir dan Yusdani. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, cet. 2. Yogyakarta: UII Press, 2001. Al-Muqri`, Ahmad ibn Muhammad ibn ‗Ali al-Fayumi. al-Misbah alMunir li Gharib al-Sharh al-Kabir li ar-Rafi’i. Beirut: Maktabah Lubnan, 1987.
17
Vol.3, No.4, Januari – Juni 2014 |
Imroatul Azizah
Al-Qaradawi, Yusuf. Dirasah fi Fiqh Maqasid al-shari‘ah Bayna alMaqasid al-Kulliyyah wa al-Nusus al-Juz`’iyyah, cet. 4. Kairo: Dar al-Shuruq, 2012. Rahman, Fazlur. Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1994. Rahman, Abd. Konsep al-Maslahah menurut Najm ad-Din at-Tufi ―Disertasi‖. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1998. Raysuni, Ahmad. al-Fikr al-Maqasidi Qawa’iduhu wa Fawa`’iduhu. Ribat: Matba‘ah al-Najah al-Jadidah al-Dar al-Bayda‘, 1999. Raysuni, Ahmad. Nazariyyah al-Maqasid ‘Inda al-Imam al-Shatibi. Herdon: al-Ma‘had al-Alami lil-Fikr al-Islami, 1990. Al-Salam,Izzuddin ibn ‗Abd. Qawa’id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, Jilid I. Beirut: Dar al-Ma'rifah, tt. Salim, Fahmi ―Konsep Maqasid Shari‘ah; Antara Islam dan Faham Liberal‖ dalam http://www.arrahmah.com/read/2012/06/30/21317-konsepmaqasid-shari‘ah-antara-islam-dan-faham-liberal.html. (12 Maret 2013). Al-Shatibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Usul al-Shari’ah, Jilid II, Tahqiq ‗Abdullah Daraz. Kairo: Dar al-Hadith, 2006. ------------, Abu Ishaq. al-I’tisam. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 2000. Al-Subki, Tajuddin ‗Abd al-Wahhab ibn ‗Ali ibn ‗Abd al-Kafi. Tabaqat al-Shafi’iyyah al-Kubra. Kairo: al-Hasaniyyah al-Misriyyah, tt. Zaydan, ‗Abd al-Karim. al-Madkhal li Dirasah al-Shari’ah alIslamiyyah. Beirut: Mu`assasah al-Risalah, 1976. Al-Zuhayli, Wahbah Usul al-Fiqh al-Islami, II. Damaskus: Dar al-Fikr, 1998.
18| “ AT-TUHFAH ” JURNAL STUDI KEISLAMAN