PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
MANIS YANG BELUM SUDAH Identitas dan Subjektivitas Pakaian Bekas di Yogyakarta Tesis Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Master Humaniora (M. Hum) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Oleh: Wahyu HARJANTO 086322013
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2013
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Saya mahasiswa Pascasarjana Program Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma: Nama Nomor Mahasiswa
: Wahyu HARJANTO : 086322013
bersama ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis saya yang berjudul MANIS YANG BELUM SUDAH: Identitas dan Subjektivitas Pakaian Bekas di Yogyakarta adalah karya asli saya dan bukan merupakan tulisan ilmiah karya orang lain atau pihak manapun. Tesis ini tidak memuat karya orang lain atau pihak manapun yang pernah diajukan untuk mendapatkan gelar kesarjanaan pada perguruan tinggi lain. Demikian halnya tema penelitian ini sejauh pengetahuan saya belum pernah dikaji oleh pihak manapun dan disajikan dalam artikel ilmiah, jurnal, tesis, disertasi atau karya ilmiah apapun. Apabila terdapat kesamaan tema dengan tulisan atau karya orang lain, tulisan atau karya tersebut semata-mata hanya dipakai sebagai bahan rujukan atau referensi yang akan dicantumkan dalam catatan kaki dan diacu dalam daftar pustaka. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 22 November 2013
Yang Menyatakan
Wahyu HARJANTO
iii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Pascasarjana Program Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma:
Nama Nomor Mahasiswa
: Wahyu HARJANTO : 086322013
atas nama pengembangan ilmu pengetahuan, memberikan kepada pihak Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya yang berjudul: MANIS YANG BELUM SUDAH: Identitas dan Subjektivitas Pakaian Bekas di Yogyakarta Untuk kepentingan akademis saya memberikan hak kepada pihak Perpustakaan Universitas Sanata Dharma untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola dalam pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain tanpa perlu meminta izin dari saya atau memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 22 November 2013
Pemberi pernyataan,
Wahyu HARJANTO
iv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BOHEMIAN RHAPSODY Written by Freddie Mercury. Sung by Freddie Mercury.
Is this the real life? Is this just fantasy? Caught in a landslide No escape from reality Open your eyes Look up to the skies and see I'm just a poor boy, I need no sympathy Because I'm easy come, easy go A little high, little low Anyway the wind blows, doesn't really matter to me, to me Mama, just killed a man Put a gun against his head Pulled my trigger, now he's dead Mama, life had just begun But now I've gone and thrown it all away Mama, uuuu Didn't mean to make you cry If I'm not back again this time tomorrow Carry on, carry on, as if nothing really matters Too late, my time has come Sends shivers down my spine Body's aching all the time Goodbye everybody - I've got to go Gotta leave you all behind and face the truth Mama, uuu - (anyway the wind blows) I don't want to die I sometimes wish I'd never been born at all
v
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
I see a little silhouetto of a man Scaramouch, scaramouch will you do the fandango Thunderbolt and lightning - very very frightening me Gallileo, Gallileo, Gallileo, Gallileo, Gallileo Figaro - magnifico But I'm just a poor boy and nobody loves me He's just a poor boy from a poor family Spare him his life from this monstrosity Easy come easy go - will you let me go Bismillah! No - we will not let you go - let him go Bismillah! We will not let you go - let him go Bismillah! We will not let you go - let me go Will not let you go - let me go (never) Never let you go - let me go Never let me go - ooo No, no, no, no, no, no, no Oh mama mia, mama mia, mama mia let me go Beelzebub has a devil put aside for me for me for me So you think you can stone me and spit in my eye So you think you can love me and leave me to die Oh baby - can't do this to me baby Just gotta get out - just gotta get right outta here Ooh yeah, ooh yeah Nothing really matters Anyone can see Nothing really matters - nothing really matters to me Anyway the wind blows...
vi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kata Pengantar
Di ujung akhir pengerjaan tesis ini sempat ada suara kecil tetapi punya gaung luar biasa. Suara yang menimbulkan rasa gatal, sekaligus punya daya rayu yang tidak mudah ditampik: sebuah ketidakyakinan. Di antara persoalan non-akademis yang nyandung nyrimpet (mengendala) – mulai dari kemalingan, pindah kontrakan, cari tukon mbako, momong anak, laptop disamber listrik, hingga ngurus keluarga sakit dan meninggal -- yang datang bersamaan dengan pegerjaan tesis ini, suara itu semangkin menjadi-jadi. Hingga gairah untuk melanjutkan tulisan ini sempat limbung atau oleng. Untunglah (demikianlah elastisitas kebatinan orang Jawa menghadapi “gangguan”) dengan sedikit kesadaran bahwa antara jangka (harapan) dan jangkah (kenyataan) meski hanya satu milimeter senantiasa berjarak, gairah itu masih bisa dievakuasi dan dibangkitkan. Hanya saja perkara hidupnya gairah itu juga melibatkan orang lain. Di menitmenit akhir ada orang-orang yang menguatkan semangat saya agar tidak perlu mendengarkan “suara kecil” itu. Menariknya, rupanya ada beragam cara dilakukan orang dalam memotivasi orang lain agar melakukan sesuatu sebagaimana dimaui oleh Sang Motivator (atau kebenaran umum). Ada beribu macam alat atau sarana diadopsi untuk mendukung usaha itu. Karenanya, setelah lebih dulu menempatkan penulis sebagai interlokutor dan orang yang sedikit paham tentang dunia tani, Pakdhe Banar (maksudnya Rama G. Budi Subanar Yes Sweet) pun mengirimkan pesan singkat via blackberry-nya demikian: “Kados macul nika lho, dhe. Sedina sak paculan ... suwe2 sawahe wis kegarap kabeh” (SMS, 30 Maret 2013).
vii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Via sms itu tampak bahwa Pakdhe Banar tengah meminta saya mengambil posisi sebagai seorang petani, atau menimba pengalaman dari petani bagaimana harus menggarap sawahnya, kantornya, ladang sandaran hidupnya. Sebab hanya dengan begitu sawah boleh disebut sawah, tidak lagi berupa hamparan tanah tak bertuan alias tidak bero (terbengkalai). Petani disebut petani salah satunya karena bisa menghasilkan sesuatu dan tidak membiarkan sawahnya terbengkalai. Saran itu paralel dengan majas Jawa, bahwa makarya kuwi kebluk mulur. Maksudnya, tidak ngaya (ngangsa) tapi jalan terus. Jadi, tidak ada jarak yang terlalu jauh setiap fasenya, sehingga anggrung kerja masing terngiang di benak! Beda Pakdhe Banar beda Mbakyu Dessy. Di tengah kesibukan kerjaan, ia sempat pula ngurak-urak macam halauan orang tunggu sawah agar padi tidak rusak diserang manuk emprit (burung gelatik): “Pak Wahyu, ayo semangat besok sudah Juni lho!” (SMS, 15 Mei 2013). Motivasi dua orang itu terkait dengan posisi keduanya: satu Polo Sekolah (Kaprodi IRB), satu Polo TU (sekarang, administrasi). Motivasi juga datang dari Dedy “Frater X”, teman seangkatan: Norita Sembiring “Berdua”, Son(nyol) Purba, dan Monic “Mondol”; adik-adik angkatan: Leo “Sultan”, Elly “Ndablek”, Herlina “Lesbian!” (IRB-09); Nana “Kriting”, “Rama” Windarto (IRB-10); Lamser “Bejat”, Imran dan Archam “Duo Ciu” (IRB-11); Pardiman “mBatak”, Ajeng “Lowbat”, Darwis “Jenggot”, Shaman “bergitar” (IRB12); Weny (Non-Reguler), Restu Kinanti (Non-Reguler) -- yang selalu bilang: “Ayo, Mas [Oom, wih tuwir banget kalee!]. Cemungut, Semangat!” Terkait dengan bentang luas, rapat, dan kedalaman tulisan, ada Kyai St. Sunardi. Bila selama ini beliau dikenal sebagai juru selam alias toekang bikin klelep anak bimbingannya dalam labirin berfikir, ternyata juga toekang las, toekang oeroet, viii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang kampioen. Disodori materi yang masih belum tertata oleh anak bimbingannya, atas sarannya bisa tampil normal. Kesalahan sambungan karena keterbatasan nalar bimbingannya, tulisan bisa dioeroet, dan di-las sedemikian rupa hingga bisa “berbunyi” dan bisa dinikmati. Tidak mogol alias setengah matang dan bikin sakit perut. Sosok ini juga yang menggandeng imaji penulis masuk dalam belantara intelektual. Kepada beliau saya sampaikan tabik hormat penuh kesukaan! Terima kasih saya sampaikan kepada Prof. Augustinus Supratiknya yang suka mendengarkan keluh kesah mahasiswanya dan memegang kekuasaan sebagai Kepala Sekolah IRB dalam wajah damai. Di tangan kebijakannya, waktu kuliah saya yang sudah molor masih bisa di-olor. Sisanya, kepada Rm. FX. Baskara T Wardaya, S.J., Rm. J. Haryatmoko, S.J., Rm. Hari “Potret” Susanto, S.J., dan Rm. Budi Susanto, S.J. dan Budiawan yang memperkenalkan Marxisme “berwajah manusiawi”, posmodernisme “sinis”, fenomenologi “ohahem”, dan poskolonial. Juga Katrin yang “bandêl” yang suka melihat persoalan kemestian poskolonialitas dan seksualitas di dunia sastra baik di dalam dan di luar kelas. Vielen dank! Akhirnya kepada tiga nama jerih payah berfikir ini saya persembahkan. Untuk anakku Fay Harjanto (yang suka tanya: “Dad, when your thesis end?”), mamanya, Jane McGrory (yang suka ngetawain soal pilihan dan motivasi saya kuliah lagi apalagi ilmu yang dipelajari berbau filsafat), dan Ibu saya, Siti Sulimah Widjisardjono (yang suka tanya: “Kowe ki ndak ora wis ketuwan yen njupuk kuliah meneh, Lik?—Apa kau tidak terlalu tua untuk kuliah lagi, Lé?”).
Wahyu HARJANTO
ix
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRAK
Tesis ini menggambarkan pengalaman masyarakat Yogyakarta dalam mengonsumsi pakaian bekas selama lebih dari satu dasawarsa. Kajian dimaksudkan untuk melihat kaitan konsumsi pakaian bekas dengan pembentukan identitas dan subjektivitas konsumen. Konsumsi pakaian bekas dalam hal ini ditempatkan sebagai representasi tiga peristiwa: ekonomi (penambahan nilai), biopsikologis (pemenuhan kebutuhan), dan budaya (pemaknaan kolektif). Sebagai peristiwa ekonomi, konsumsi pakaian bekas merepresentasikan perubahan nilai guna (dan nilai tukar) ke nilai tanda. Konsumsi sebagaimana berlangsung saat ini pada dasarnya adalah konsumsi tanda. Sebagai peristiwa bio-psikologis, konsumsi pakaian bekas merepresentasikan pemenuhan kebutuhan konsumen akan identitas (personal dan sosial) yakni untuk mendeskripsikan diri dan tiket masuk ke dunia sosial dan budaya guna mendapatkan pengakuan atau penerimaan. Melalui “pengetahuan paranoia”, general hysteria konsumsi mode modern dirasakan mengancam identitas dan subjektivitas konsumen. Perasaan itu lalu dikompensasi dengan melakukan identifikasi yang tidak terarah pada tatanan imajiner (pasar) dan simbolik (Name-of-the-Father) yang telah disandera pasar tetapi ke tatanan real. Lewat identifikasi terhadap struktur real konsumen menginternalisasi identitas sebagaimana dibawakan oleh pakaian bekas sesuai dengan ekspektasinya sendiri. Sasaran identifikasi adalah pada sesuatu yang bersifat apa adanya tetapi mampu melahirkan fantasi. Sebagai hasil identifikasi, identitas fantasmatik dipakai subjek untuk mencapai kenikmatan (jouissance). Sementara subjek yang lahir lewat konsumsi pakaian bekas adalah subjek sublimasi. Subjek yang mengelak dari bahasa pasar mode modern dan wacana mode modern dengan cara menyalurkan (sublimate) pelbagai dorongan (drive) Id-nya menurut bahasa mereka sendiri yang masih bisa diterima, bahkan dihargai secara sosial dan budaya. Sebagai peristiwa budaya, pakaian bekas merepresentasaikan pemaknaan kolektif. Pakaian bekas berkaitan dengan siasat atau strategi budaya. Di tengah tarikan kemestian rejim konsumsi modern berikut kekuatannya dalam melahirkan kebutuhan atau mereproduksi sarana-sarana produksi, konsumsi pakaian bekas menjadi alat untuk menghadapi homogenisasi cita rasa dan klasifikasi konsumsi. Lewat pakaian bekas, para pengguna melakukan negosiasi (bahkan menghancurkan) ekspektasi sosial-budaya masyarakat konsumen (Name-of-theFather) yang telah dikastrasi oleh modernitas dengan menyodorkan budaya daur ulang (recycle culture). Kata kunci: histeria, neurosis, paranoia, identitas fantasi, subjek sublimasi.
x
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRACT
This thesis describes the practices of people in Yogyakarta in consuming used clothes within more than a decade. This study aims to figure out the association between used clothes consumption and formation of identity and subjectivity of the customers. Used clothes consumption in this case is placed as representation of three events, id est.: economy (value adding), bio psychology (fulfillment of needs), and culture (collective signification). As economic event, used clothes consumption represents the shift of used value (and exchanged value) to sign value. The recent ongoing consumption is based on sign consumption. As bio-psychology event, used clothes consumption represents the fulfillment of the needs of customers on their identity (personal and social identities), that is to describe them selves and as the ticket to participate into social and cultural world to acquire acknowledgement or acceptance. Through “knowledge of paranoia”, the general hysteria of consumption of modern fashion has been feeled by the consumers threatened their identity and subjectivity. These feelings are then compensated by finding identity and subjectivity which are not directed into the imaginary (market) and the symbolic structure (Name-of-the-Father) as represented into rules, law or discourse (Law of the Father) of the modern fashion which are taken as a hostage by market but into the real structure. Through identification into the real structure, customers internalize the identities as represented by used clothes and adapted with their own expectations. The object of identification focus to the common thing but could emerge the phantasy. As a result of identification, the phantasmatig identity used by the subject to get pleasure (jouissance). Whilst the subject expressed through used clothes consumption is subject of sublimation. It is a subject avoiding from the language of modern fashion market and the discourse of modern fashion by sublimating all kinds of drive of Id according to their own language yet it can be accepted, even appreciated socially and culturally. As cultural event, the used clothes represent the collective signification. The used clothes relate to cultural strategy. In the midst of the regime of uncertainty of modern consumption as well its power in expressing the needs or reproducing modes of production, used clothes consumption becomes modes to face the homogenization of the taste and consumption classification. Through used clothes, the customers negotiate (even destroys) social-cultural expectation of consumer society (Name-of-the-Father) castrated by modernity by offering recycle culture. Keywords: hysteria, neurotic, paranoia, phantasy of identity, subject of sublimation.
xi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SUARA K(e)CIL KATA PENGANTAR ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL
Bab I
i ii iii iv v vii ix x xi xiv xv
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. B. Rumusan Masalah. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian. a. Tujuan. b. Manfaat. D. Tinjauan Pustaka. E. Kerangka Konseptual (Teoretik). E.1.Teori Masyarakat Konsumen dan Teori Konsumsi Jean Baudrillard E.2. Teori Identitas dan Subjek Jacques Lacan F. Metode dan Teknik Penelitian. G. Pokok-pokok Gagasan dan Sistematika Penyajian.
Bab II
1 8 8 9 11 18 22 33 35
PENGGUNAAN PAKAIAN BEKAS DULU DAN KINI
A. Ngrombèng Dulu A.1. Latar Belakang Ngrombèng A.2. Motif dan Pelaku Ngrombèng A.3. Ruang Hidup, Identitas, dan Nilai Ngrombèng A.4. Membawakan Si Rombeng
39 42 49 58
B Ngrombeng Kini B.1. Latar Belakang Ngrombèng B.2. Motif Ngrombèng B.3. Pelaku Ngrombèng B.4. Ruang Hidup, Identitas, dan Nilai Ngrombèng B.5. Membawakan Si Rombeng
62 64 65 67 72
xii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bab III
PERGERAKAN DAN KOMODIFIKASI PAKAIAN BEKAS
A. Pertumbuhan dan Pergerakan Perdagangan Pakaian Bekas A.1. Latar Belakang Sosio-Historis. A.2. Jumlah, Area, Lokasi, dan Sebaran Perdagangan Pakaian Bekas A.3. Perilaku Ekonomi dan Etnisitas Pedagang
77 82 93
B. Komodifikasi dan Produksi Pakaian Bekas B.1. Pemetaan Lokasi B.2. Promosi B.3. Restorasi B.4. Pemantasan B.5. Pemutakhiran Mode
97 99 101 103 105
C. Serba-serbi Pakaian Bekas. C.1. Mode. C.2. Model. C.2.1. Gaun. C.2.2. Kaos. C.2.3. Kemeja. C.2.4. Blus. C.2.5. Sweater. C.2.6. Blazer. C.2.7. Jas. C.2.8. Jaket. C.2.9. Rok. C.2.10. Celana. C.3. Kekhususan Pengguna. C.4. Okasionalitas. C.5. Jenis dan Karakter Bahan. C.6. Merk C.7. Warna. C.8. Motif atau Corak D. Pembeli Pakaian Bekas E. Kesimpulan
109 116 119 121 126 131 134 138 140 142 147 149 154 156 158 160 165 168 170 175
Bab IV
FANTASI DAN SUBLIMASI: IDENTITAS DAN SUBJEK KONSUMEN PAKAIAN BEKAS
A. Pakaian Bekas dan Identitas A.1. Konsumsi Mode Mutakhir dan Estetisasi A.2. Pengetahuan Paranoia dan Lahirnya Desire. A.3. Pakaian Bekas, Simptom dan Fantasi A.4. Pakaian Bekas Sebagai Kombinasi A.5. Alienasi, Ambiguitas dan Identifikasi Tahap Real A.6. Penetapan Identitas Lewat Teknik Collage xiii
178 185 210 236 247 254
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
B. Pakaian Bekas dan Subjektivitas B.1. Sublimasi: Subjektivitas Para Perombeng 269 B.2. Kreativitas Subjek Sublimasi 1: Jouissance 280 B.3. Kreativitas Subjek Sublimasi 2: Penghancuran Kebaruan Lewat 291 Recycle Culture. Bab V
296
PENUTUP
Lampiran: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Daftar Kios Pakaian Bekas di Yogyakarta Daftar Kios Berdasar Lokasi Daftar Narasumber Daftar Pertanyaan Wawancara Daftar Merk Pakaian Bekas Peta Rombeng
Bibliografi
xiv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Gambar 2a Gambar 2b Gambar 3a Gambar 3b Gambar 3c Gambar 4a Gambar 4b Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8 Gambar 9a Gambar 9b Gambar 10a Gambar 10b Gambar 11 Gambar 12a Gambar 12b Gambar 13 Gambar 14 Gambar 15a Gambar 15b Gambar 16 Gambar 17a Gambar 17b Gambar 18 Gambar 19 Gambar 20 Gambar 21a Gambar 21b Gambar 22 Gambar 23
Kampanye ala Pemerintah Pakaian Bekas Dulu Pakaian Bekas Dulu Pakaian Bekas Kini Pakaian Bekas Kini Pakaian Bekas Kini Gerai Pakaian Bekas di Dalam Kota Gerai Pakaian Bekas Dalam Kota Gerai Pakaian Bekas di Batas Kota Gerai Pakaian Bekas di Luar Kota Hangtag Pakaian Bekas Model-model Gaun Model-model Kaos Perempuan Model-model Kaos Laki-laki Model Kemeja Laki-laki Model Kemeja Perempuan Model-model Blus Model-model Sweater Perempuan Model-model Sweater Laki-laki Model-model Blazer Model-model Jas Model-model Jaket Perempuan Pelbagai Model Jaket Laki-laki Model-model Rok Model-model Celana Perempuan Model-model Celana Laki-laki Jenis-jenis Warna Pelbagai Motif/Corak Pakaian Bekas Tongkrongan Pembeli Suasana di Gerai Suasana di Gerai Subjek Perversif Subjek Sublimasi
xv
11 53 56 68 69 70 83 84 86 89 99 120 124 126 128 130 133 136 138 140 141 144 145 148 151 153 166 170 172 173 174 275 279
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17 Tabel 18 Tabel 19 Tabel 20 Tabel 21
20 Lokasi Perdagangan “Awul-awul” Area dan Sebaran Gerai Pakaian Bekas di Yogyakarta (Hingga Tahun 2012) Lokasi Gerai Pakaian Bekas di Yogyakarta (Berdasarkan Akses Jalan) Lokasi Gerai Pakaian Bekas di Yogyakarta (Berdasarkan Jarak dengan Pusat Keramaian) Latar Etnik Pedagang dan Jumlah Gerai Yang Dikelola Kategori Mode Pakaian Bekas Kategori Model Pakaian Bekas Model-model Kaos Model-model Kemeja Model-model Sweater Model-model Jaket Model-model Celana Jumlah dan Model (Style) Berdasarkan Kekhususan Pengguna Kategori Pakaian Bekas Berdasarkan Kesempatan Jenis dan Karakter Bahan Merk dan Negara Asal Pakaian Bekas Klasifikasi Asal dan Jumlah Merk Pakaian Bekas Merk Terlaris Menurut Negara Asalnya Daftar Nama-nama Merk Terlaris Menurut Negara Asal Motif/Corak Pakaian Bekas Keragaman Pengguna Menurut Status/Profesi
xvi
50 85 90 91 96 112 117 122 127 135 143 150 155 157 160 161 162 163 164 169 171
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bab I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Selama satu dasawarsa terakhir wajah Yogyakarta tampak sangat mencengangkan. Mencengangkan dalam pengertian bahwa kehidupan sosio-kultural Yogyakarta kontemporer sangat
rapat
berkaitan dengan faktor konsumsi
sebagaimana ditandai dengan pelipatgandaan dan pergerakan objek-objek konsumsi atau bentuk-bentuk komoditas. Objek-objek konsumsi atau bentuk-bentuk komoditas yang telah sedemikan rupa bermutasi ke dalam pelbagai bentuk itu telah mengintrusi kehidupan masyarakat. Objek-objek konsumsi atau bentuk-bentuk komoditas itu tersebar di pelbagai pusat perbelanjaan baik dalam skala kecil seperti wara-laba (franchise store), menengah (department store) dan besar seperti mall; toko obat dan apotik; pusat pengudapan seperti foodcourt, restaurant, dan cafe; pusat adibusana dan mode (boutique & fashion); pusat pemajangan dan penjualan kendaraan bermotor (showroom & dealer), hingga hunian mewah seperti real estate dan residency terus bertumbuh sepanjang waktu. Tak pelak Yogyakarta kontemporer seolah telah sedemikian rupa menjadi sanctuaria konsumsi global. Tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang bserifat fisik-material, konsumsi sebagaimana berkembang di tengah masyarakat Yogyakarta kontemporer juga hadir dalam bentuk jasa. Di sana-sini dengan mudah bisa disaksikan berkembangnya pelbagai situs-situs konsumsi jasa, seperti: pusat pemantasan dan perawatan diri 1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
(saloon, hair & spa); pusat kebugaran dan olah raga seperti sanggar senam (gymnastic), yoga, dan binaraga; pusat cuci pakaian dan binatu (laundry & ironed); bengkel, cuci, dan modifikasi kendaraan bermotor; sepakbola ruang (futsal); pusat perawatan kesehatan dan pengobatan seperti pijat refleksi, akupunktur, klinik, dan rumah sakit; pusat pelatihan dan kursus; agen perjalanan wisata dan travelling; persewaan mobil; studio foto, rekam dan dekorasi perkawinan (bridal); hingga pusat penyiaran seperti radio dan TV korporasional serta internet. Kesemuanya muncul dan mengisi sudut-sudut kota dalam tampilan prima dan mampu mengakselerasi proses pemenuham pelbagai kebutuhan masyarakat. Multiplikasi dan pergerakan pelbagai objek konsumsi atau bentuk komoditas itu sendiri kiranya tidak terlepas dari perkembangan globalisasi dan transformasi kapitalisme konsumsi. Memasuki akhir abad XX, globalisasi telah berkembang sedemikian rupa menjadi kekuatan signifikan dalam dunia modern. Globalisasi saat ini menentukan bagi adanya – meminjam istilah Arjun Appadurai -penyatuan dan pengaburan batas-batas (deterritorialization) etnis dan negara di penjuru dunia. Demikian halnya
melalui reproduksi teknologi komunikasi dan
media (mediascape) globalisasi telah pula berhasil mempertautkan dimensi ruang dan waktu yang jauh sebelumnya menjadi kendala utama relasi antar-manusia ke dalam prinsip-prinsip komunikasi yang semakin efektif dan kompleks. Melalui reproduksi pelbagai teknologi transportasi (technoscape) globalisasi berhasil menggerus problem mobilitas dan transposisi manusia dari satu titik ke titik yang lain. Globalisasi juga aktif memfasilitasi adanya sirkulasi ideologi (ideoscape) dan bentuk-bentuk komoditas dalam irama dan kecepatan yang dari waktu ke waktu tampak semakin intens. Demikian akhirnya globalisasi tidak hanya mampu 2
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“melipat” melainkan juga mengubah dunia sebagai sebuah pasar ekonomi (finanscape).1 Berkenaan dengan persoalan transformasi kapitalisme konsumsi, hal itu menggarisbawahi adanya perubahan dalam proses produksi. Maksudnya, barang dan jasa sebagaimana diproduksi para kapitalis saat ini semata-mata tidak lagi didasarkan pada putusan mereka sendiri, tetapi juga mengadopsi kemauan (libido) konsumen. Trend semacam ini pada gilirannya mendorong lahirnya komodifikasi -strategi untuk mengakselerasikan faktor penambahan nilai barang dan kemauan konsumen dalam proses produksi sejauh dan seluas mungkin. 2 Dengan demikian pelbagai objek konsumsi sebagaimana berkembang dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer sejatinya merepresentasikan realitas industri. Dari contoh-contoh sebagaimana dikemukakan di atas berturut-turut kita menyaksikan berlangsungnya proses komodifikasi yang meliputi hasrat belanja, kulinaritas, penampilan, gaya, kecantikan, ruang, waktu luang, mobilitas, komunikasi sampai dengan gosip. Trend semacam itu semakin deras seiring dengan revolusi yang terjadi dalam dunia teknologi dan media massa. Mendekatnya objek-objek konsumsi atau komoditas baik yang bersifat fisikmaterial dan jasa secara massif dan massal dalam kehidupan sosial dan budaya Yogyakarta kontempore pada perkembangan selanjutnya ikut menentukan arah dan pembentukan masyarakat sebagaimana diistilahkan oleh Jean Baudrillard dengan consumer society. Sebuah masyarakat yang di dalamnya berkembang suatu suasana dan mentalitas yang senantiasa menghabituasi, membebani, serta menggiring orang1
Arjun Appadurai, “Disjuncture and Difference in The Global Cultural Economy” dalam Simon During (ed.), (1999), The Cultural Studies Reader, London and N.Y.: Routledge, hlm. 220-dst. 2 Mengenai masifitas komodifikasi barang dalam arus globalisasi periksa karya menarik Graham Dunkley (2004), Free Trade: Myth, Reality and Alternatives, New York: St. Martin Press.
3
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
orang yang ada di dalamnya untuk senantiasa berpartisipasi dalam aktivitas konsumsi alih-alih produksi, dan memuja kenikmatan (enjoyment, pleasure) alihalih melakukan pelbagai pilihan rasional atas pelbagai komoditas yang hadir secara massif dan massal.3 Dalam situasi semacam ini, apa yang menonjol kemudian adalah terjadinya perubahan dalam pengertian konsumsi. Jika pada mulanya konsumsi mengacu pada aktivitas orang dalam memenuhi kebutuhan, maka kini istilah itu telah bergeser menjadi sejenis kebutuhan baru masyarakat modern. Pergerakan dan multiplikasi objek konsumsi sebagaimana dikemukakan di atas sejatinya bukan hanya merepresentasikan lahirnya consumer society, tetapi sekaligus merepresentasikan terbentuknya consumer culture. Dalam pengertian ini objek-objek konsumsi tidak hanya mempenetrasi proses dan aktivitas sosial dan ekonomi rumah tangga masyarakat secara umum, melainkan juga telah mengintrusi atau merembes hingga pada proses pemaknaan atas pengalaman psikologis orang. Dengan kata lain, konsumsi sebagaimana berkembang saat ini memiliki kekuatan besar dalam menentukan arah dan pembentukan identitas, komunikasi antarpersonal, dan pengkategorisasian peristiwa. Keadaan semacam ini bisa diilustrasikan sebagai sebuah proses dalam mana masyarakat konsumen telah sedemikian rupa tergantikan oleh masyarakat konsumeris. Dari aras ini, konsumsi yang terjadi di dalam masyarakat modern secara signifikan memainkan peran sosial formatif yang bersifat fundamental, yakni sebagai sebuah cara hidup (way of life). Dalam trend dan arus realitas sebagaimana diilustrasikan di atas, tesis ini selanjutnya hendak mengkaji perihal fenomena pakaian bekas sebagaimana 3
Versi ringkas karangan ini periksa, Jean Baudrillard (1996),“The Consumer Society” dalam Mark Poster (ed.), Jean Baudrillard: Selected Writings, Stanford: California University Press, hlm. 29-55. Untuk versi panjang periksa, Jean Baudrillard (1998), The Consumer Society: Myths and Structure. London: Sage Publication.
4
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berkembang luas dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer. Fenomena yang hadir di tengah masyarakat Yogyakarta masa kini sebagai sebuah keganjilan (baca: paradoks). Paradoks yang dimaksudkan adalah bahwa kemunculan pakaian bekas justru terjadi di tengah masyarakat Yogyakarta yang saat ini tengah menandaskan diri sebagai masyarakat modern sebagaimana ditandai oleh kelimpahruahan objekobjek konsumsi atau komoditas dalam corak dan bentuk yang menekankan pada citarasa modern, prima, dan up to date. Melalui bentuk dan mekanisme perdagangan casual (“non-formal”) pakaian bekas seolah tanpa preseden tiba-tiba menyembul di tengah modernitas masyarakat dan kota Yogyakarta dalam volume dan kuantitas yang besar dan frekuensi yang tinggi. Sejak awal kemunculannya pada pertengahan tahun 1990-an sebagaimana populer dikenal sebagai pakaian awul-awul4 sampai dengan satu dasa-warsa belakangan sebagaimana menyebut diri sebagai “pakaian import”,5 pakaian bekas seolah menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dari wajah kota Yogyakarta kontemporer. Dengan sangat mudah keberadaan pakaian bekas itu bisa didapati di setiap sudur kota. Secara perlahan tapi pasti sejarah keberadaan pakaian bekas bergerak mulai dari trotoar jalan-jalan utama, emperan toko, pasar tradisional atau
4
Istilah awul-awul sejauh ini mengacu pada dua pengertian. Pertama, pada cara penjual dalam memerlakukan barang dagangannya. Hampir semua penjual pakaian bekas tidak melakukan pemilahan, pemisahan, penataan atau penyusunan layaknya penjual pakaian yang menjajakan barang daganganya di gerai-gerai pakaian pada umumnya. Mereka meletakkan pakaian itu dalam satu tempat semisal karung, bak kayu, atau bahkan langsung menggelarnya begitu saja di atas terpal yang diletakkan di sepanjang trotoar jalan atau pasar dalam kondisi awul-awulan (kusut masai). Kedua, pada cara pembeli dalam mencari dan menemukan pakaian yang diinginkan. Di tengah banyak dan tidak tertatanya pakaian bekas yang dijajakan itu para konsumen atau pembeli terleih dulu harus meng-awul-awul (membongkar-bongkar) pakaian mana yang diingini atau hendak dibeli. 5 Istilah lain sebagaimana dihadirkan oleh para penjualnya adalah “pakaian import”, “pakain eximport” atau “pakaian second”. Istilah yang lebih menekankan pada asal-usul dan perubahan penyajian yang mereka lakukan. Mengingat pakaian bekas saat ini tidak lagi dijajakan di trotoar secara awul-awulan, tetapi dipajang di gerai bersewa, digantung dengan hanger, serta dibubuhi label yang menerakan harga dan nama gerai tertentu.
5
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pusat keramaian lainnya, hingga akhirnya dalam bentuk kios-kios atau gerai-gerai yang dilakukan dalam menejemen yang relatif modern. Sampai di sini bisa disaksikan bahwa di luar dugaan nasib dan keberuntungan pakaian bekas yang ada ternyata jauh melampaui bayangan kebanyakan orang tentang pakaian bekas pada umumnya. Keberadaan pakaian bekas dalam masyarakat Yogyakarta saat ini telah melampaui pengertian yang melekat dalam dirinya (sui generis). Demikian halnya tampak jelas juga kiranya bahwa keberadaan pakaian bekas di tengah masyarakat Yogyakarta ternyata tidak dengan serta merta bisa dipersamakan dengan gombal (kain bekas) -- barang yang umumnya jamak dipersepsikan oleh banyak orang sebagai barang yang tidak lagi memiliki kegunaan (fungsi) dan nilai (harga) selain hanya untuk kain pel (lap) atau bahkan justru dibuang sama sekali. Selama rentang waktu lebih dua dasawarsa lebih riwayat sejak awal kemunculannya pada akhir 1990-an pakaian bekas pun tidak juga berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) galibnya limbah atau sampah sebagaimana umumnya dipahami masyarakat. Apa yang terjadi justru hal yang berkebalikan. Keberadaan pakaian bekas itu selama rentang waktu berselang hingga waktu belakangan
justru mendapatkan penerimaan masyarakat (social acceptability)
secara luas. Hal ini ditandai dengan tinggi dan luasnya respons atau animo masyarakat yang diberikan kepadanya. Dengan perkataan lain, selama kurun waktu yang relatif panjang itu pakaian bekas yang ada telah sedemikian rupa terintegrasi ke dalam riwayat dan pengalaman konsumsi masyarakat Yogyakarta pada umumnya. Dari beberapa persoalan di atas, kita pun kemudian bisa menyaksikan bahwa keberadaan pakaian bekas selama lebih dari satu dasawarsa ternyata telah berhasil memantik hasrat konsumsi masyarakat akan pakaian secara luas. Hal ini bisa 6
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dikonfirmasi melalui dimensi pengguna atau penggunaan pakaian
bekas
sebagaimana berkembang dalam masyarakat. Sejauh ini para konsumen atau pengguna pakaian bekas melibatkan pelbagai pihak dengan latar belakang status dan profesi beragam, seperti: mahasiswa, guru, dosen, pegawai departemen, polisi, tentara, perawat, dokter, pegawai bank, penyiar radio, hingga musisi (pemain band). Dengan demikian, pakaian bekas tidak saja berhasil menarik minat konsumsi orang dengan latar belakang ekonomi dan sosial bawah, melainkan juga mereka yang berasal dari strata ekonomi dan sosial menengah-atas. Selain merefleksikan gerak usaha para pedagang, penggunaan pakaian bekas itu juga merepresentasikan luasnya respons pengguna atau konsumen terhadapnya. Demikian halnya penggunaan pakaian bekas tidak lagi terbatas dalam situasi dan kesempatan yang hanya bersifat non-formal, akan tetapi sebaliknya juga bersifat formal atau memiliki jangkauan yang semakin luas. Berdasarkan pada latar belakang sebagaimana dikemukakan secara ringkas di atas itulah yang kemudian menggelitik rasa keingintahuan (curiousity) penulis secara lebih lanjut. Sebuah dorongan keingintahuan yang kemudian memicu sekaligus memacu penulis untuk melihat fenomena tersebut secara lebih mendalam. Sebuah dorongan untuk melihat secara lebih dekat dengan cara mencari unsur-unsur penting yang patut dipertimbangkan, dan pada saat yang sama sekaligus berusaha menemukan keterangan tentang apa yang kiranya secara empiris kurang lebih memadai untuk menjawab keingintahuan itu. Demikian selanjutnya dari pelbagai unsur dan informasi penting yang lahir dari pengamatan semacam itu kemudian bermuara ke dalam satu pertanyaan pokok. Sebuah pertanyaan yang sekaligus merupakan titik tumpu atau titik keberangkatan penelitian ini. Adapun pertanyaan 7
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dasar atau titik keberangkatan yang dimaksudkan adalah: “Mengapa orang mengkonsumsi pakaian bekas?”.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang permasalahan sebagaimana dikemukakan di atas, penelitian ini selanjutnya dimaksudkan untuk melihat kaitan antara konsumsi pakaian bekas sebagaimana berlangsung dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer dengan pembentukan identitas dan subjektivitas yang dialami oleh para konsumen atau penggunanya. Sebagai semacam panduan (guide lines), penelitian ini selanjutnya dijalankan berdasarkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa sejatinya yang hendak dicukupi oleh para konsumen atau pengguna dengan cara mengkonsumsi pakaian bekas? 2. Ekspektasi identitas dan subjektivitas macam apa yang dihasilkan dari konsumsi atas pakaian bekas semacam itu? 3. Wacana (ideologi) apa yang mengerangkai proses konstruksi identitas dan subjektivitas konsumen atau para pengguna pakaian bekas? 4. Bagaimana pakaian bekas menjadi medium bagi proses pembentukan identitas dan subjektivitas konsumen atau penggunanya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan 8
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Berangkat dari rumusan masalah sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, kajian atau penelitian ini selanjutnya diarahkan untuk memenuhi tujuan yang telah ditetapkan. Adapun tujuan penelitian ini adalah meliputi tiga persoalan sebagai berikut:
1. Mengukur kekuatan pakaian bekas dalam proses pembentukan identitas dan subjektivitas konsumen atau pengguna. 2. Melihat wacana (ideologi) yang mengerangkai dan memungkinkan proses pembentukan identitas dan subjektivitas para konsumen atau pengguna pakaian bekas itu terjadi. 3. Melihat dinamika atau tarik ulur (negosiasi) yang muncul selama proses konstruksi identitas dan subjektivitas sebagaimana dialami oleh para konsumen atau pengguna pakaian bekas.
b. Manfaat
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat pada dua level, yakni akademis dan etis. Pada level akademis, kajian ini ditempatkan sebagai semacam intellectual exercise guna membuka celah kemungkinan baru dalam melihat wajah (persoalan) Yogyakarta mutakhir melalui dimensi pengalaman hidup masyarakat yang bersifat mikro, keseharian, dan selama ini dianggap remeh sehingga tidak banyak mendapatkan perhatian banyak orang. Galibnya, wajah Yogyakarta kerap digambarkan dalam corak yang edi peni (indah), adiluhung, dan mitis (sebagaimana 9
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
hal itu terungkap dalam pelbagai jargon seperti “kota revolusi”, “kota pendidikan atau pelajar”, “kota budaya”, atau “kota seniman”) yang di sana segala sesuatunya dianggap sudah ada “sejak dari sononya” (taken for granted) dan dianggap sama sekali tidak mengalami perubahan atau pergeseran. Sebuah corak pemahaman atau cara pandang yang bersifat esensialis (substansialis) dan sejatinya dapat dipastikan justru akan menenggelamkan aktualitas Yogyakarta ke dalam ruang yang sempit, baku dan beku. Pada level etis, penelitian atau kajian ini dimaksudkan sebagai semacan proposal untuk mengembangkan imajinasi (atau “bahasa”) baru dalam melihat dan menarasikan persoalan konsumsi mode (pakaian) masyarakat sebagaimana berlangsung pada masa kini. Lazimnya, persoalan konsumsi selama ini oleh pelbagai kalangan lebih banyak dilihat atau didekati dalam kerangka normatif dan totalistik. Pendekatan dan sikap semacam ini salah satunya ditunjukkan oleh Kementerian Perdagangan melalui program “KONCER” yang mereka kembangkan lewat serangkaian kegiatan kampanye (Lihat Gambar 1).6 Sebuah aktivitas yang merepresentasikan praktik wacana normalisasi dalam arti Faucaultian yang bertumpu pada kesalehan normatif dan dikembangkan untuk tujuan “membetulkan” atau “mereparasi” proses konsumsi masyarakat. Selain merepresentasikan tindakan yang bersifat ambigu, kampanye itu pun menjadi sesuatu yang muspra (useless) dan menjadi seruan basi (death appeal). Hal itu karena kampanye itu sama sekali 6
“KONCER” kependekan dari “Konsumen Cerdas” adalah kampanye Deperindag untuk “mencintai produk dalam negeri 100%” dan “kearifan berbelanja”. Melalui spot iklan di TV (publik dan swasta) dan spanduk rentang bertuliskan “Ayo Menjadi KONsumen CERdas” yang dipasang di terminal, stasiun, dan bandara, pemerintah menyerukan tiga hal kepada konsumen: (1) Teliti sebelum membeli, (2) Perhatikan label dan masa kedaluwarsa, (3) Pastikan produk bertanda jaminan mutu SNI, (4) Beli sesuai kebutuhan. Anehnya, sejauh yang saya ketahui spanduk semacam itu tidak dipasang atau tidak dijumpai di departemen store atau mall. Tentang kampanye “KONCER” lihat www.deperindag. go.id; diakses pada 28 Oktober 2010.
10
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menafikan kenyataan bahwa persoalan konsumsi pada saat ini sudah menjadi bagian dari pengalaman dan penghayatan hidup masyarakat sehari-hari.
Gambar 1 Kampanye ala Pemerintah
Spanduk rentang di Stasiun Kereta Api Tugu Yogyakarta (27/8/2010).
D. Tinjauan Pustaka
Di kalangan para intelektual bidang sosial dan humaniora tanah air, fenomena pakaian bekas sebagaimana berkembang di tengah-tengah masyarakat saat ini sama sekali belum mendapatkan perhatian. Dalam pengertian bahwa fenomena pakaian bekas belum pernah diangkat ke permukaan sebagai objek riset atau kajian ilmiah lain sebagaimana kemudian diwujudkan dalam bentuk artikel ilmiah, paper, skripsi, tesis, atau disertasi. Sebaliknya, di negara-negara barat fenomena pakaian bekas selama dua dekade ke belakang sudah mendapatkan perhatian dari kalangan 11
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
intelektual ilmu sosial humaniora dalam pelbagai ragam sudut pandang. Untuk keperluan kajian ini selanjutnya akan dibicarakan dua artikel yang melihat persoalan pakaian bekas. Dua artikel yang dimaksudkan bersumber dari dua bahan pustaka yang memiliki relevansi dengan objek penelitian ini. Artikel pertama adalah “Second-Hand Dresses and The Role of the Ragmarket” karangan Angela McRobbie7, dan kedua adalah “Ukay-ukay Chic: Tales of Second Hand Clothing Fashion and trade in the Philppine Cordillera” karangan B. Linne Milgram. 8 Dalam artikelnya yang berjudul “Second-Hand Dresses and The Role of the Ragmarket” ini Angela McRobbie melihat fenomena pakaian bekas dan pasar rombengan sebagaimana dikembangkan oleh para pemudi masyarakat perkotaan Inggris era 1970-1980-an dalam kaitannya dengan pengembangan evolusi budaya anak muda (youth culture). Melalui perspektif sejarah, feminisme, dan subkultur, McRobbie kemudian memusatkan perhatian pada peran yang dimainkan pakaian bekas dan pasar rombengan dalam bidang ekonomi dan budaya. Dalam bidang ekonomi, pakaian bekas dan pasar rombengan sebagaimana dilakukan oleh para pemudi memiliki peran sentralnya dalam mendorong eksistensi infrastruktur kewirausahaan subkultur anak muda melalui sebuah “konsumerisme subversif” (subversive consumerism). “Konsumerisme subversif” mengacu pada proses produksi yang dilakukan para pemudi kota dengan cara memanfaatkan model gaun perempuan lama (klasik) yang secara selektif mereka beli dari penduduk perempuan
7
Angela McRobbie (1994), “Second-Hand Dresses and The Role of the Ragmarket” dalam Angela McRobbie, Postmodernism and Popular Culture, London and New York: Routledge, hlm. 130-148. Untuk versi awal artikel ini, lihat Angela McRobbie (ed.), (1989), Zoot Suits and Second-Hand Dresses: An Anthology of Fashion and Music, Boston: Unwin Hyman, hlm. 23-49. 8 B. Linne Milgram (2005) “Ukay-ukay Chic: Tales of Second Hand Clothing Fashion and trade in the Philppine Cordillera” dalam Alexander Palmer dan Hazel Clark (eds.), OldClothes, New Looks: Second Hand Fashion. Oxford-New York: BERG, hlm. 135-153.
12
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
setempat dan setelah ditransformasikan atau diubah dalam pelbagai bentuk dan gaya retro dijual kembali kepada para konsumen perempuan secara selektif juga. Dalam kegiatan ekonomi “kaki lima” ini terselip agenda politik luar biasa besar dan mendasar. Para pemudi itu tengah melancarkan perlawanan terhadap para industrialis garmen dan kapitalis mode Inggris yang banyak melahirkan penderitaan dan krisis terutama kepada kaum perempuan. Mereka juga menyampaikan early warning
tentang kemungkinan terjadinya krisis lanjutan yang berakar pada
meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat terhadap pakaian baru. Sebuah peristiwa yang tidak hanya akan menyusutkan kantong ekonomi rumah tangga masyarakat perkotaan Inggris yang rata-rata secara menejemen menjadi tanggungan kaum perempuan, tetapi juga akan menguras energi lingkungan, dan hanya akan menguntungkan pihak industrialis dan kapitalis Inggris yang bergerak di bidang garmen dan mode. Kapitalis di bidang garmen dan mode adalah pihak yang dikenal sangat rakus dan sejauh ini memiliki kemampuan di atas rata-rata untuk tetap bertahan hidup dalam situasi dan kondisi apapun. Dalam bidang budaya, fenomena pakaian bekas dan pasar rombengan sebagaimana dilakukan oleh kaum muda itu dalam perkembangan kemudian ikut memainkan peran signifikan dalam memberikan peluang dan menawarkan mode pakaian bekas kepada kaum muda untuk berpartisipasi dalam dunia fesyen. Proposal sebagaimana ditawarkan lewat pengembangan mode pakaian bekas dan pasar rombengan ini dimaksudkan sebagai counter culture para wirausahawan sekolah seni dan para disainer yang sejauh ini telah mengurangi “kemurnian” dan “autentisitas” subkultur.
Pakaian bekas dan pasar rombengan sebagaimana
dilakukan oleh para pemudi perkotaan Inggris ini merupakan pasar politik yang 13
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sangat khas dan hanya mungkin berkembang dalam basis budaya popular dan dikerjakan lewat strategi menjaga proses evolusi subkultur anak muda. Dalam artikel yang berjudul “Ukay-ukay Chic! Tales of Second Hand Clothing Fashion and trade in the Philippine Cordillera”, B. Layne Milgram mengangkat fenomena pakaian bekas atau “Ukay-ukay” (istilah populer masyarakat Pinoy sebagaimana diadopsi dari Bahasa Tagalog yang berpadanan kata dengan kosa kata Bahasa Jawa “Ngebut-ngebutke”, atau “mengibas-ngibaskan” dalam Bahasa
Indonesia)
sebagaimana
dikembangkan
lewat
perdagangan
yang
berkembang sedemikian banyak di Kabupaten Ifugao, Provinsi Cordillera, Filipina Utara. Sementara arah yang dituju dari penelitian itu adalah merumuskan kaitan konsumsi pakaian bekas dengan proses pembentukan pasar lokal dan praktik berpakaian di kalangan masyarakat di provinsi Cordillera. Dari latar belakang semacam itu melalui pendekatan ekonomi perdagangan dan budaya, Layne kemudian mengembangkan informasi tambahan ke dalam bidang lain yakni sosial dan ekonomi. Dalam bidang sosial-ekonomi ia merunut secara khusus perubahan yang dialami oleh masyarakat Kabupaten Ifugao berkenaan dengan mata pencaharian (livelihood) mereka sebelum dan sesudah maraknya perdagangan pakaian bekas “Ukay-ukay” di tempat itu. Menurut catatannya, selama kurun waktu 1998-2002 secara gradual telah terjadi pergeseran dalam lapangan hidup masyarakat Ifugai. Sebelum perdagangan “Ukay-ukay” marak di Ifugao tahun 1998, masyarakat perbukitan ini mengandalkan kehidupannya sebagai petani tanaman industri khususnya buah-buahan dan tebu. Perubahan iklim yang tidak menentu dan menghantam
kehidupan
petani
sebagaimana 14
ditandai
dengan
rendahnya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
produktivitas pertanian, ditambah dengan krisis ekonomi menjadikan mereka kehilangan pendapatan. Hal itu karena hasil buminya tidak bisa diserap di pasar dan perusahaan yang biasa menampungnya. Depreviasi mata uang nasional Filipina (peso) terhadap dollar Amerika menjadikan kedua sumber pertukaran itu mengalami kesulitan serius karena biaya operasional selama krisis mengalami pembengkakan melampui perhitungan ekonomis. Dari latar belakang di atas sejumlah petani Kabupaten Ifugao pun kemudian mencoba peruntungan sebagai pedagang di luar provinsi. Awalnya mereka menjadi pedagang buah di pasar tradisional di Provinsi Cebu (daerah pelabuhan). Pada saat yang sama ratusan kontainer pakaian bekas di Pelabuhan Cebu yang merupakan bagian dari bantuan kemanusiaan asing berkenaan dengan bencana alam angin topan, banjir dan gunung meletus yang melanda beberapa daerah di Filipina kemudian menginspirasi mereka masuk dalam perdagangan pakaian bekas dalam beragam level, mulai dari pengepul hingga pengecer. Langkah para petani Ifugao itu membuahkan hasil. Pada awal usaha sebagian dagangan mereka kirim ke Ifugao untuk “diujicobakan” sebagai pasar lokal di sana. Kurang dari satu tahun mereka tidak saja berhasil menjadikan Kabupaten Ifugao dan Provinsi Cordillera sebagai pusat “Ukay-ukay” tetapi menjadikan dirinya sebagai orang pertama dalam perdagangan “Ukay-ukay” di Filipina. Prospek dan keberlanjutan perdagangan “Ukay-ukay” ke depan diperkirakan masih sangat besar dan panjang. Hal ini berkaitan dengan The Global Trade of Second Hand Clothing Charter sebagaimana diteken mendiang presiden Cory Aquino pada 1986. Paiagam kerjasama itu pada intinya mengizinkan eksportir Barat (Amerika/Eropa) memegang kendali dan jalur ekspor pakaian bekas Amerika dan 15
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Eropa ke Filipina lewat lembaga karitatif gereja dan swasta. Menghadapi kekuatan besar yang tidak mungkin dibendung, sejumlah perusahaan pakaian nasional memilih banting stir menjadi perusahaan retail produk pakaian luar negeri dengan membidik segmen kelas menengah yang minded dengan pakaian baru dan merk luar. Ujung akhir catatan Lynne adalah bahwa dari arus perdagangan pakaian bekas masyarakat Ifugao, Cordillera, dan Filipina secara keseluruhan menjadi salah satu konsumen mode asing yang paling besar di Asia. Implikasinya praktik berpakaian masyarakat Ifugao, Cordillera, dan Filipina secara keseluruhan menjadi sangat akrab dengan mode dan citarasa Amerika, Eropa, dan negara-negara eksportir pakaian bekas lainnya. Karena titik pijak pengamatan atau sudut pandang kajian yang beragam, tidak ada catatan khusus bisa disampaikan sebagai tinjauan, melainkan catatan umum yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Pertama, secara mengejutkan fenomena pakaian bekas tidak hanya khas terjadi di Indonesia, melainkan telah menjadi gejala global. Selama lebih dari tiga dasawarsa abad XX-XXI pakaian bekas telah menjadi fenomena sosial kemasyarakatan di pelbagai negara di dunia. Di luar dugaan fenomena pakaian bekas sejauh ini berkait berkelindan dengan pesoalan ekonomi, politik, dan budaya. Pakaian bekas tidak juga hadir ke permukaan sebagai bagian dari problem yang saat ini banyak diperhitungkan orang terutama dari kalangan enviromentalis dunia, yakni sampah. Dua, secara teoretis menunjukkan dengan jelas bahwa fenomena pakaian bekas sebagaimana berkembang di pelbagai negara termasuk Indonesia memiliki kontribusi yang luar biasa dalam ikut menentuan arah dan pembentukan masyarakat dalam pelbagai dimensi.
16
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Akhirnya, dari tinjauan pustaka di atas penelitian ini dijalankan bukan karena keberadaan tinjauan sejenis dengan sasaran dan pendekatan yang sama sebagaimana dilakukan oleh penelitia sebelumnya, terutama yang ada di Indonesia. Akan tetapi penelitian ini justru dilakukan semata-mata karena semangat untuk mencoba memulai sebuah kajian dalam arah dan pendekatan yang belum pernah dituju atau disasar oleh peneliti atau akademisi lain. Usaha kecil yang belum mendapatkan perhatian dari masyarakat peneliti dan akademisi ilmu sosial humaniora semacam itulah yang coba ditawarkan dari penelitian ini. Sebuah usaha sederhana yang secara kebetulan sama sekali belum pernah mendapatkan perhatian orang. Dalam pengertian bahwa fenomena pakaian bekas di Indonesia belum pernah diangkat orang sebagai sasaran penelitian sebagaimana kemudian diketengahkan dalam bentuk artikel pada jurnal ilmiah, paper atau kertas kerja seminar, skripsi, tesis, maupun disertasi. Akhirnya, ambisi untuk mendekati fenomena sepele dan sangat lokal di satu sisi, dan tuntutan untuk menarasikannya secara “akademis” di sisi lain, rupa-rupanya bukan merupakan aktivitas yang sepi dari masalah. Dua kutub yang dalam praktik seolah-olah justru meleset manakala dicoba untuk dijembatani. Di tengah-tengah upaya itu dipastikan akan ada banyak “jeglongan” (jebakan) yang secara teoretis siap dan akan menghambat atau memengaruhi keberhasilan penelitian ini. Hambatan itu terutama bersumber pada keterbatasan kemampuan intelektual penulis di satu sisi, dan keterbatasan teori yang “siap pakai” di sisi lain. Meskipun begitu, satu optimisme senantiasa dibangun, bahwa justru karena kajian ini merupakan kajian mula, kalaulah harus “kejeglong” (terperosok), maka apa yang sangat diharapkan adalah bahwa usaha ini tidak akan “kejeglong” secara keseluruhan. 17
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
E. Kerangka Konseptual (Teoretik)
Sebagaimana disebutkan di awal tulisan, penelitian ini menempatkan fenomena pakaian bekas dalam tiga dimensi: ekonomi (perubahan nilai), psikologi (pemenuhan kebutuhan) dan budaya (pemaknaan kolektif). Terkait dengan tiga perspektif tersebut, sebagai alat bantu penelitian ini selanjutnya memergunakan sejumlah konsep dan (atau) teori sebagaimana lazim dikembangkan oleh para teoretisi dalam kajian budaya (cultural studies). Kerangka konseptual atau teori yang dimaksudkan selanjutnya diuraikan dalam paparan-paparan berikut.
E.1. Teori Masyarakat Konsumen dan Teori Konsumsi Jean Budrillard
Sebagai bakcground penelitian ini dalam batas-batas tertentu akan memergunakan teori masyarakat konsumen sebagaimana dikemukakan oleh Jean Baudrillard dalam The Consumer Society. Preposisi “dalam batas-batas tertentu” mengacu pada “kompatibilitas” teoretik. Artinya, ada hal penting dari teori masyarakat konsumen yang ternyata tidak bisa diterapkan secara langsung untuk menganalisis permasalahan sebagaimana diintensikan dari kajian ini. Secara singkat bisa dijelaskan bahwa dari keseluruhan gagasannya -- mulai dari teori objek, teori konsumsi atau teori ekonomi politik tanda, hingga teori masyarakat konsumen – Baudrillard sama sekali tidak memertimbangkan persoalan pakaian bekas (atau barang bekas pada umumnya). Seluruh teori tentang masyarakat konsumen berangkat dari asumsi bahwa konsumsi sebagaimana berlangsung dalam masyarakat modern identik dengan konsumsi atas barang dan nilai kebaruan. Dengan kata lain 18
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
identitas kebaruan suatu barang dipahami sejajar dengan kebaruan konsumsi modernitas itu sendiri. Meskipun secara formal kajian ini dikembangkan berdasarkan pada teori masyarakat konsumen, karena di dalam buku itu Baudrillard sendiri lebih banyak mengaplikasikan gagasan teoretik sebelumnya yakni teori objek9 dan teori konsumsi atau teori ekonomi politik tanda10, maka pemakaian konsep kunci (key concepts) seperti objek konsumsi (consumption object), bentuk komoditas (commodity form), dan nilai tanda (sign function) sebagaimana termaktub dalam kedua buku yang belakangan disebut menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Konsep-konsep tersebut sudah barang pasti tidak akan ditempatkan dalam posisi yang sama atau sejajar dengan teori pertama disebut, melainkan hanya semacam penghubung atau bersifat melengkapi. Dengan demikian, kajian ini selanjutnya akan menggunakan teori masyarakat konsumen disertai dengan konsep-konsep kunci atas gagasan Jean Baudrillard sebagaimana ia utarakan dalam kedua buku sebelumnya. Menelusuri
gagasan Baudrillard tentang masyarakat konsumen akan
mengantarkan kita pada pengakuannya tentang kekuatan komoditas dalam mempengaruhi arah dan proses pembentukan masyarakat (social formation).11 Sebuah gagasan yang merepresentasikan milestone intelektual Baudrillard yang bergerak dari bidang kajian budaya ke sosiologi konsumsi, sebelum pada akhirnya bergerak lagi ke post-modernisme. Fungsi formatif sosial komoditas lewat konsumsi
9
Jean Baudrillard (1996),“The Sistem of Objects” dalam Mark Poster (ed.), Jean Baudrillard: Selected Writings, Stanford: California University Press, hlm. 10-28. 10 Jean Baudrillard (1981), For a Critique of the Political Economy of the Sign, terj. Charles Levin, USA: Tellos Press Ltd. Juga, Jean Baudrillard, “For a Critique of the Political Economy of the Sign,” dalam Mark Poster, (ed.), (1988), Op. cit., hlm. 57-07. 11 Madan Sarup (1993), An Introductory Guide to Post-Structuralism and Posmodernism, 2nd Edition, Athens: The University of Georgia Press, hlm. 276-280.
19
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
merupakan pintu masuk yang dipergunakan Baudrillard, mengikuti jejak seniornya Louis Althusser, untuk mempersoalkan hal fundamental di dalam kapitalisme yang hampir selalu berjaya dan sulit sekali dipatahkan dalam mempengaruhi gerak dan kehidupan masyarakat modern dewasa ini. Melalui sudut pandang konsumsi Baudrillard melihat aspek multiplikasi dan pergerakan objek-objek konsumsi atau bentuk-bentuk komoditas dan implikasinya secara psikologis, sosial, dan kultural. Melalui teori masyarakat konsumen Jean Baudrillard menggambarkan pelbagai trend atau kecenderungan yang muncul dalam masyarakat kontemporer yang telah sedemikian rupa dipenetrasi oleh kekuatan pasar. Masyarakat konsumen oleh Jean Baudrillard diilustrasikan sebagai sebuah masyarakat yang di dalamnya mengalami “general hysteria” – sebuah suasana dan mentalitas yang senantiasa menghabituasi, mengondisikan, dan menggiring anggota-anggotanya untuk secara terus menerus mengkonsumsi (ubiquiotus) alih-alih memproduksi dan memfetishkan kenikmatan (satisfaction) pelbagai barang dan jasa sebagaimana direproduksi secara terus menerus oleh pasar dalam skala yang bersifat massif dan massal.12 Barang dan jasa sebagaimana berkembang dalam masyarakat saat ini diproduksi pertama-tama bukan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi untuk -- meminjam istilah Karl Marx – mereproduksi sarana-sarana produksi, sebagaimana ditandai dengan penciptaan pelbagai bentuk kebutuhan baru.13 Berkenaan dengan kajian ini, teori masyarakat konsumen akan dipakai untuk menggambarkan trend atau kecenderungan umum sebagaimana berkembang luas dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Yogyakarta kontemporer. Sebuah situasi 12
Jean Baudrillard (1996),“The Consumer Society” dalam Mark Poster (ed.), Op. cit, hlm. 45. M. Gottdiener (1995), Postmodern Semiotics. Material Culture and the Forms of Posmodern Life. London: Blackwell. 13
20
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang mengerangkai, menggerakkan, dan menghabituasi kebiasaan hidup masyarakat Yogyakarta kontemporer dalam melahirkan pelbagai kode, norma, peraturan dan hukum, atau ekspektasi social mereka bersama objek-objek konsumsi. Sebuah sistem bahasa sebagaimana kemudian berkembang luas dan tertancap dalam keyakinan masyarakat pada umumnya. Sebuah kekuatan yang memiliki andeel (peran) sangat besar atau signifikan dalam menstrukturkan persepsi, sikap dan tindakan masyarakat baik secara individual maupun kolektif; terutama berkenaan dengan cara mereka memaknai dan berhubungan dengan komoditas lewat pemenuhan kebutuhan atau konsumsi. Terkait erat dengan persoalan masyarakat konsumen adalah komodifikasi -proses perubahan nilai sebuah objek konsumsi atau bentuk komoditas lewat proses produksi. Proses itu menempatkan objek konsumsi atau bentuk komoditas memiliki nilai fungsi (sign function). Dalam pengertian ini suatu objek konsumsi atau bentuk komoditas yang di lempar ke pasar selain memiliki kegunaan (function) dan nilai tukar, juga memiliki nilai tanda (sign). Dengan demikian proses komodifikasi atau produksi setiap objek konsumsi atau bentuk komoditas pada dasarnya selain dimaksudkan untuk menaikkan nilai guna dan nilai tukar, juga untuk menaikkan nilai tanda. Dalam konteks konsumsi setiap objek konsumsi atau bentuk komoditas digunakan tidak saja karena nilai fungsional (nilai guna) dan nilai tukarnya, melainkan juga karena nilai tandanya. Implikasinya, saat seseorang mengkonsumsi suatu objek konsumsi atau bentuk komoditas tertentu, ia tidak tidak saja mengkonsumsi nilai guna dan nilai tukar, tetapi juga nila tanda. Nilai tanda ini memiliki peran yang cukup penting, karena ia akan dipergunakan untuk menjawab
21
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kebutuhan dasar para konsumen atau pembeli pakaian bekas akan prestige. yang bisa dicukupi dengan hal-hal bermakna.
E.2. Teori Identitas dan Subjek Jacques Lacan
Kerangka konseptual kedua yang akan dipergunakan dalam kajian ini adalah teori identitas atau teori subjek sebagaimana dikemukakan oleh Jacques Emile Lacan lewat teori Tahap Cermin (mirrror stage theory).14 Dalam konteks penelitian ini teori tahap cermin Lacanian berfaedah untuk melihat proses identifikasi atau pembentukan ego dan subjektivitas yang dialami oleh para konsumen atau pengguna pakaian bekas dalam kaitannya dengan aktivitas konsumsi mereka terhadap pakaian bekas. Melalui teori tahap cermin analisis tidak hanya terbatas pada fenomena kemanusiaan yang berada di permukaan, tetapi dimungkinkan masuk hingga level terdalam dan sejauh ini banyak terabaikan saat kita melihat persoalan manusia. Dengan kata lain melalui teori ini dimungkinkan menguak dan memahami struktur internal atau struktur psikis, kejiwaan, atau mental para pengguna pakaian bekas. Lewat teori Tahap Cermin Lacan mengemukakan dua hal pokok terkait dengan persoalan subjek: penemuan Ego (identitas) dan kekuatan yang berbicara dan menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu (speaking subject, subjek ketidaksadaran) melalui bahasa (wacana). Melalui teori Tahap Cermin tersebut, Jacques Lacan merumuskan proses pembentukan subjek manusia ke dalam tiga tahap atau fase, yakni: Pra-Cermin, Cermin, dan Pasca-Cermin. Terkait erat dengan 14
Jacques Lacan (2006), “The Mirror Stage as Formative of the I Function and Revealed in Psychoanalytic Experience,” dalam Ecrits, terj. Bruce Fink, N.Y.-London: W.W. Norton & Company Inc., hlm. 75-81.
22
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ketiga fase atau tahap pembentukan subjek tersebut Lacan mengemukakan enam elemen penting yang dominan mewarnai setiap tahapan. Elemen yang dimaksudkan adalah: gairah hidup (desire), persepsi (kemampuan untuk mengenali diri sendiri), identifikasi (penyamaan atau idealisasi), hubungan subjek dengan wacana, serta hubungan subjek dan dunia luar -- baik dalam pengertian Innenwelt (dunia kecil) maupun Umwelt (dunia besar).15 Berdasarkan hipotesisnya tentang adanya Tahap Cermin, Lacan selanjutnya merumuskan adanya proses penemuan Ego (identitas) seseorang berjalan dalam tiga tahap: Pra-Cermin, Cermin dan Pasca-Cermin. Tahap Pra-cermin (yang dialami seorang anak saat berumur 0-6 bulan) sang anak sepenuhnya tenggelam dalam kondisi kepenuhan dan kenikmatan primordial, yakni menjadi satu dengan ibunya. Berkaitan dengan persepsi, penemuan diri Sang Anak masih bersifat proprioseptif (proprioceptive) – yakni berjalan sesuai dengan rangsangan yang berasal dari sumber bio-fisik sang anak sendiri.16 Dalam situasi dan kondisi ini Sang Anak masih mengeksplorasi persepsi sensoris (censory perception) yang bersumber pada biofisiknya. Demikian halnya gambar (images) tentang dirinya yang ia terima dari ibunya mengalir begitu saja tanpa berhasil ia kendalikan. Persatuan primordial dengan ibunya juga ditandai dengan belum adanya identitas diri, karena diri Sang Anak masih dalam keadaan terfragmentasi. Berkaitan dengan bahasa, ia sudah menerimanya namun belum bisa menggunakannya. Pada Tahap Cermin (yang dialami seorang anak pada usia 6-18 bulan) Sang Anak menemukan ke-diri-annya (self) dalam image ibu atau sosok lain yang 15
Loc. Cit., hlm. 78. John M. Verhaar (1989), “Aku Yang Semu: Jacques Lacan”, dalam John M. Verhaar, Identitas Manusia Menurut Psikologi dan Psikiatri Abad Ke-20, Yogyakarta: Kanisius-BPK Gunung Mulia, hlm. 57. 16
23
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berfungsi sebagai sumber kenikmatan. Dengan kata lain ke-diri-an Sang Anak bersifat imajiner. Berkenaan dengan persepsi, dikarenakan pengenalan diri Sang Anak masih terfragmentasi, maka ia belum bisa membedakan mana self ibunya dan mana self-nya sendiri. Pengalaman menyolok pada fase ini adalah munculnya perasaan bangga (narsistik) saat untuk kali pertama seorang anak menemukan dirinya (sejajar dengan konsep Aha Erlebnis sebagaimana dikemukakan oleh Wolgang Kohler).17 Dikarenakan diri yang ditemukan masih bercampur baur dengan diri ibunya, ia mengalami misrecognition atau miscognition – salah kenal. Berkaitan dengan bahasa, pada tahap ini Sang Anak mulai belajar menggunakan bahasa, tetapi belum mengetahui maksudnya. Pada Tahap Pasca-Cermin kesatuan primordial yang dinikmati seorang anak terhadap ibunya mulai retak. Retaknya hubungan antara anak dan ibu berkaitan dengan kehadiran sosok Sang Ayah (Name-of-the-Father) yang merupakan metafor pelbagai hukum dan aturan sosial dan budaya yang muncul sebagai akibat penggunaan bahasa dalam masyarakat. Pengalaman paling mencolok pada tahap ini terletak pada pengalaman Sang Anak saat mulai menggunakan bahasa. Dalam hal ini pengalaman ke-aku-an Sang Anak tidak lagi dibangun berdasarkan pada images, tetapi dalam bentuk penggunaan bahasa (simbolik). Pada tahap ini ke-aku-an Sang Anak sepenuhnya ditentukan oleh hubungan sosial yang muncul sebagai konsekuensi dari penggunaan bahasa. Dalam tahap ini Sang Anak diajarkan untuk menerima pelbagai perintah dan larangan dari orang lain. Perubahan yang menimpa Sang Anak ini pada akhirnya melahirkan trauma dalam dirinya. Implikasinya, gairah
17
Lihat, “Aha Erleibnis” dalam www.english.hawai.edu/criticalink/lacan/terms/ahha.html diakses pada 22 Novermber 2010.
24
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
hidup (desire) Sang Anak senantiasa diarahkan pada kesatuan primordial atau dalam bentuk apa saja yang bisa mengembalikan pada situasi ini. Selain proses pembentukan subjek di atas Lacan juga menjelasan tentang struktur (dunia) subjek seseorang yang mencakup tiga tatanan, yakni: Imajiner, Simbolik, dan Real. Ketiga struktur tersebut merepresentasikan kedewasaan subjek seseorang dalam menapaki proses sosialisasi dan pembudayaan.
Sebuah
konsekuenasi yang harus ditemui manakala harus berhubungan dengan realitas atau kehidupan masyarakat dan budaya. Struktur real adalah dunia subjek seseorang sebelum didefinisikan dalam pelbagai istilah. Dunia kepenuhan, dunia pra bahasa, dunia
pra-sejarah
yang
berjalan
dalam
prinsip
kenikmatan
sebagaimana
digambarkan dunia anak saat sepenuhnya tergantung dengan ibunya. Dalam hal ini pengalaman Sang Anak sepenuhnya adalah pengalaman Sang Ibu. Struktur imajiner adalah dunia subjek seseorang sebelum memasuki dunia simbolik, bahasa, sosial, atau masyarakat. Di dalamnya disarati dengan gambar atau imej (imago) sebagaimana dipantulkan oleh sumber kenikmatan yang digambarkan oleh sosok ibu atau apapun yang diasumsikan mampu memberikan kenikmatan. Struktur simbolik adalah dunia ditapaki oleh subjek seseorang yang telah memasuki situasi sosial yang berjalan berdasarkan pada prinsip keteraturan. Dari ketiga tahap perkembangan subjek itu, Lacan sejatinya tengah memfokuskan perhatian pada pengalaman seorang anak dalam menghadapi situasi Oediphus Complex. Perkembangan subjek dalam hal ini sepenuhnya sangat ditentukan oleh bagaimana seseorang mengatasi permasalahan Oediphus Complex. Tahap ini merupakan tahap yang sangat krusial dan menentukan dalam kehidupan psikis Sang Anak. Dikatakan sebagai hal krusial, karena dalam tahap ini Sang Anak 25
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berada dalam situasi ambigu: apabila tetap mencintai Sang Ibu ia akan dikutuk dan dikebiri Sang Ayah sekaligus kehilangan identitasnya. Demikian halnya apabila Sang Anak patuh pada perintah Sang Ayah, ia akan kehilangan gairah hidupnya (desire) karena harus terpisah dengan ibunya yang selama ini menjadi sumber hidupnya. Bagi orang yang bersedia masuk ke dalam proses pendewasaan, sosialisasi, atau pembudayaan, mereka sama sekali tidak memiliki persoalan dengan ketiga tahapan dan struktur subjek yang dilaluinya. Orang dikatakan tidak memiliki masalah (“normal”) secara kejiwaan apabila ia mampu menghadirkan ketiga struktur subjek itu secara bersamaan. Dengan kata lain, orang dikatakan normal secara psikis, jika memiliki kemampuan untuk menuntaskan problem oedipus compkex
dengan cara menghadirkan dan
mengintegrasikan ketiga struktur psikis tersebut secara bersama-sama. Sebaliknya apabila seseorang gagal menuntaskan problem Oediphus Complex dan tidak bisa mengintegrasikan ketiga struktur subjek tersebut secara bersama-sama dikatakan sebagai tidak normal atau mengidap gangguan mental (mental disturbance). Subjek yang mengalami problem psikis terentang antara: psikosis, neurosis, dan perversif. Suatu bentuk gangguan emosi dan mental yang akan ditanggung dan dampaknya bisa sangat membekas di dalam tahap perkembangan hidup seseorang kelak kemudian hari. Luas dan rumitnya gagasan Lacan sebagaimana diutarakan lewat teori Tahap Cermin di atas, memungkinkan teori tersebut diturunkan atau di-breakdown ke dalam sejumlah konsep kunci. Adapun konsep-konsep turunan yang relevan dan akan dipergunakan dalam penelitian ini meliputi: identifikasi primer (primary identification) atau identifikasi imajiner (imaginary identification), identifikasi 26
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sekunder
(secondary
identification)
atau
identifikasi
simbolik
(symbolic
identification), Ideal Ego (Ich Ideal), Ideal Ich (Ich ideal), ambiguitas dan alienasi sekunder, object a (libidinal drive), separasi, kastrasi, fantasi, dan sublimasi. Penjelasan lebih lanjut mengenai konsep-konsep kunci dari teori Tahap Cermin tersebut selanjutnya disampaikan dalam paragraf-paragraf berikut. [1] Identifikasi primer (primary identification) atau Imaginary identification. Sesuai gagasan Lacan, identifikasi primer merupakan mekanisme penyamaan atau idealisasi diri yang dilakukan oleh seseorang yang tengah menapaki fase Cermin atau tahap Imajiner. Mekanisme psikis ini mengacu pada pengalaman seorang anak dalam melakukan idealisasi diri dengan pelbagai imej sebagaimana dipantulkan oleh cermin, yang dalam hal ini dipersonifikasikan lewat sosok ibu atau sosok yang dianggap mampu memberikan pelbagai objek kenikmatan. Identifikasi primer dalam fase cermin sejatinya bersifat pra-sejarah. Hal ini dikarenakan bahwa kesadaran diri seorang anak sepenuhnya masih ditentukan oleh ibu. Kesadaran diri (kebertubuhan) seorang anak masih bersifat fragmentatif. Momen identifikasi dalam hal ini sebatas pada adanya pengembangan persepsi tentang keutuhan kebertubuhan lewat realitas lain (ibu). Dalam fase ini belum terbedakan antara tubuh Sang Anak dengan tubuh ibu. Identitas diri (ego) yang kelak akan diakui sebagai identitas personalnya (Ideal Ego, Ideal Ich) merupakan identitas khayalan (imagery) sebagaimana yang direfleksikan oleh liyan (other, ibu). [2] Identifikasi sekunder (secondary identification) atau symbolic identification. Mekanisme penyamaan atau idealisasi diri yang dilakukan oleh seseorang yang telah menapaki fase Pasca Cermin atau tahap Simbolik. Mekanisme psikis semacam ini mengacu pada pengalaman seseorang dalam melakukan idealisasi diri pada tahap 27
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
simbolik;
identifikasi
seseorang
dengan Name-of-the Father sebagaimana
direpresentasikan dalam pelbagai macam tata aturan, larangan, atau hukum berpakaian sebagaimana berlaku dalam masyarakat (Law of the Father). Identitas diri (ego) sebagaimana dihasilkan dari proses identifikasi dalam struktur simbolik ini merupakan identitas yang sesungguhnya kelak akan dijadikan sebagai identitas sosialnya (Ego Ideal, Ich Ideal).18 [2] Object a atau libidinal drive. Istilah ini mengacu pada keberadaan sesuatu yang memiliki arti penting khusus untuk hasrat subjek. Sesuatu yang memiliki kemampuan membangkitkan hasrat atau gairah hidup subjek seseorang (object cause desire) untuk menemukan keutuhan atau kepenuhan. Sesuatu yang memiliki kemampuan menggerakkan subjek seseorang menemukan hasrat akan sesuatu yang hilang (loss) atau kekurangan (lack). Sesuatu yang senantiasa mendorong subjek seseorang menemukan kehidupan atau menariknya untuk menuju ke sana. Sesuatu yang dimetaforkan sebagai tempat kosong di meja makan yang menunjukkan adanya kekurangan pada seseorang yang biasanya menempati lokasi itu, atau bekas sayatan di wajah yang mengingatkan pada sebuah pisau tajam yang tidak lagi ada.19 [3] Fantasy. Momen yang menempatkan seseorang ketika menjadi subject of desire. Momen yang berlangsung pada saat seseorang melakukan mekanisme identifikasi untuk kedua kalinya (secondary identification) atau identifikasi pada struktur simbolik (symbolic identification). Momen yang terjadi pada saat seseorang telah
18
Marc Darmon (2002), “Imaginary Identification/Secondary Identification” dalam Alain de Mijolla (ed.), (2005), International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm. hlm.798799. 19 Philip Hill (1997), Lacan for Beginners, London: Writers and Readers Inc., hlm. 77. Juga Valentin Nusinovici (2002), “Object a”, dalam Alain de Mijolla (ed.), (2005), International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm. 1172-4. Juga, Dylan Evans (2006), An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis. London and New York: Routledge, 2006, hlm. 128.
28
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menapaki fase pasca-cemin atau memasuki dunia nilai, dunia simbolik, dunia bahasa, atau dunia sosial. Fantasi sangat diperlukan untuk mengerjakan ulang pengalaman traumatik yang dialami oleh seseorang pada masa lalu yang direpresi sebagai bagian dari ketidaksadaran. Pemrosesan ulang ini diperlukan agar apa yang direpresi tidak akan berkembang menjadi imej yang menyakitkan dan memengaruhi kestabilan psikisnya. 20 [4] Ideal Ich atau Ideal Ego. Konsep yang dipakai untuk menggambarkan penemuan identitas (ego) seorang anak yang berada di tahap cermin lewat mekanisme identifikasi atau idealisasi. Konsep ini mengacu pada imej yang dipantulkan oleh sumber kenikmatan sebagaimana dipersonifikasikan dengan sosok ibu atau cermin. Dari serangkaian imej yang direfleksikan oleh cermin, ibu, atau sosok pengganti ibu, dalam perkembangan kemudian satu di antaranya oleh Sang Anak akan dinobatkan atau diakui sebagai ego atau identitas dirinya sebagaimana akan dibawakan untuk berkomunikasi dengan liyan (other). Ego atau identitas diri bentukan atau khayalan sebagaimana dipantulkan oleh cermin atau ibu inilah yang dinamai dengan ideal ich atau ideal ego. [5] Ich Ideal atau ego-ideal. Konsep yang dipergunakan Lacan untuk menamai identitas (ego) yang sebenarnya dari seorang subjek. Sebuah identitas yang dihasilkan oleh seorang subjek manakala berhubungan dengan liyan (Other) atau berpartisipasi secara sosial. Ego seorang subjek yang dihasilkan pada tahap pascacermin atau sudah menapaki tatanan simbolik lewat mekanisme identifikasi sekunder (secondary identification). Sebuah penanda yang beroperasi sebagai sesuatu yang diidealkan (citra ideal), sesuatu yang diinternalisasi dari hukum dan 20
Dylan Evans (2006), Op. cit., hlm. 128.
29
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tata aturan, dan akan memandu atau mengarahkan posisi subjek dalam tatatan simbolik, dan selanjutnya mengantispasi identifikasi sekunder
atau produk
identifikasi sekunder itu sendiri. (The ego-ideal is the signifier operating as ideal, an internalized plan of the law, the guide governing the subject's position in the symbolic order, and hence anticipates secondary (Oedipal) identification or is a product of that identification.)21 [6] Alienasi sekunder (Secondary alienation). Sebuah gangguan psikis yang diidap oleh seseorang yang telah menapaki fase pasca-cermin. Hal itu karena subjek merasakan bahwa ego yang harus ia bawakan dalam berkomunikasi dengan orang lain saat ini dalam kenyataannya tidak sesuai dengan kenikmatan primordial yang pernah ia kenyam sebelumnya tanpa gangguan atau interupsi saat berada di tahap cermin. Dalam hal ini subjek seseorang terpisah atau terasing dari dirinya sendiri. Sebuah gejala yang tidak memiliki kesempatan untuk dihindari, atau kemungkinan disintesiskan sebagai satu keseluruhan (the subject is fundamentally split, alienated from himself, and there is no escape from this division, no possibility of "wholeness" or synthesis). 22 [7] Ambiguitas sekunder (secondary ambiguity). Momen yang dalam teori tahap cermin dialami seorang pada tahap pasca-cermin atau simbolik. Setelah sang anak dipisahkan dari ibunya sebagai sumber hasrat sang anak, sang anak harus mematangkan
identitasnya
dalam
dunia
sosial.
Momen
yang
kemudian
menempatkan subjek dalam kenyataan bahwa apa yang selama ini dipahami sebagai hasratnya ternyata tidak berasal dari dirinya sendiri melainkan dari Liyan. Hasrat 21
Sophie de Mijolla-Meller (2005a), “Ego Ideal /Ideal Ego” dalam Alain de Mijolla (ed.), International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm. .798-799. 22 , Sophie de Mijolla-Meller (2005b), “Alienation”, dalam Alain de Mijolla (ed.), International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm..798-799.
30
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sang anak merupakan hasrat Liyan. Hasrat Sang Anak ditentukan oleh masyarakat dan budaya. Hal ini merupakan perulangan pengalaman ambiguitas pada akhir tahap cerrmin dan mulai masuk ke tahap awal pasca cermin, bahwa hasrat Sang Anak merupakan hasrat Sang Ibu (other). [8] Struktur Real. Struktur subjek yang tidak termasuk dalam struktur Imajiner maupun Simbolik. Struktur ini sebagian tersusun dari realitas subjek, meski tidak sungguh diketahui, ia dimediasi oleh dua tatanan Imajiner dan Simbolik, sehingga saat ia muncul, subjek yang ada secara inheren sudah di-other-kan dan teralienasikan. (The "real" stands for what is neither symbolic nor imaginary. It forms part of a subjects reality, however it is never truly known, it is mediated by the two orders of the Imaginary and the Symbolic, thus while it is present, the subject treats it as inherently Othered and alien).23 [9] Paranoia. Istilah yang dalam psikopatologi dipakai untuk menamai gangguan mental (mental disrorder) dalam bentuk psikosis yang diikuti dengan delusi. Sebuah bentuk gangguan mental atau psikis yang diidap oleh seseorang yang dalam manifestasinya ditandai oleh kecurigaan atau kekhawatiran disertai dengan pelbagai waham atau halusinasi. Lewat teori tahap cermin, gejala paranoia dipakai untuk menjelaskan momen ketika seorang anak berada di akhir masa cermin dan memasuki awal tahap paca-cermin. Momen yang menempatkan pengetahuan seorang anak yang masih belum mapan dalam mengenali dirinya mau tidak mau harus mengembangkan pengetahuannya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Dalam kondisi semacam itu Sang Anak hanya bisa menduga-duga atau menerka-
23
Matine Lerude (2002), “The Real”, dalam Alain de Mijolla (ed.), International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm. 798-799.
31
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
nerka tentang dunia baru atau dunia sosial yang akan dijejakinya. Akibatnya ia bukan saja tidak yakin dengan apa yang akan terjadi. Bahkan ia pun tidak yakin dengan pengetahuan tentang dirinya sendiri. Lacan mengatakan bahwa paranoia merupakan bakat bawaan (sejajar dengan konsep dosa asal dalam teologi Kristen) yang dimiliki seorang anak di samping ambiguitas dan alienasi. Sebuah momen yang menempatkan pengetahuan seorang anak yang berada di dalam masa transisi antara pengetahuannya yang belum mapan dengan kemapanan atas sesuatu yang akan diketahuinya. Momen transisi antara akhir tahap cermin menuju tahap pascacermin.24 [10] Delusi. Delusi adalah suatu keyakinan yang dipegang secara kuat oleh para pengidap paranoia. Sebuah keyakinan atau kesan yang sangat kuat namun tidak memiliki akurasi atau tidak memiliki dasar dalam realitas. Dalam ilmu psikiatri, delusi diartikan sebagai kepercayaan yang persifat patologis (hasil dari penyakit atau proses sakit) dan terjadi secara berkebalikan. Sebagai penyakit, delusi berbeda dari kepercayaan yang berdasar pada informasi yang tidak lengkap atau salah, dogma, kebodohan, memori yang buruk, ilusi, atau efek lain dari persepsi. Delusi menempatkan seorang paranoid melakukan tindakan yang mengacaukan situasi. Seorang paranoia bertindak berdasarkan persepsi yang keliru yang membuatnya mengkhayalkan respons negatif dari orang lain. 25 [11] Sublimasi. Aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dalam usahanya untuk mengubah atau menyalurkan dorongan-dorongan libidinal atau instingtual (drive) yang berasal dari Id-nya ke dalam pelbagai simbol atau bahasa. Dengan kata lain 24
Harold P. Blum (2002), “Paranoia” dalam Alain de Mijolla (ed.), International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm. 1226-1229. 25 Leonard Shengold (1995), Delusions of everyday life. New Haven: Yale University Press.
32
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
konsep ini mengacu pada proses pembahasaan atas pelbagai dorongan libidinal atau instingtual yang berpusat pada ketidaksadaran. Proses pembahasaan ini disusun secara mandiri sehingga tidak menggunakan pelbagai simbol atau bahasa sebagaimana
tersedia di tengah-tengah masyarakat.
Konsep
ini awalnya
dikemukakan oleh Freud yang pada intinya menekankan pada kreativitas orang dalam mengalihkan dorongan agresivitas yang berasal dari Id-nya ke dalam pelbagai bentuk aktivitas yang bisa diterima secara sosial dan budaya. Freud mencontohkan, bahwa subjek yang dikuasai oleh dorongan agresivitas untuk melukai atau membunuh orang lain, kemudian dialihkan dalam provesi sebagai jagal (butcher).26
F. Metode & Teknik Penelitian
Penelitian ini merupakan model penelitian kualitatif dengan menekankan aspek eksplanatoris. Salah satu model penelitian ilmiah yang mengombinasikan paparan panjang lebar disertai dengan eksplanasi atas pelbagai gejala yang menjadi sasaran. Model penelitian yang lazim dikembangkan dalam kajian sosial humaniora dan dibedakan dari model penelitian deskriptif naratif yang lebih menekankan pada penyampaian temuan dengan cara melakukan penjejeran fakta tanpa disertai dengan eksplanasi. 27 Sementara itu, untuk mendapatkan data atau informasi seperti jumlah, lokasi, dan sebaran gerai rombengan, ruang lingkup konsumen atau pengguna, alasan dan motif ngrombeng, dan nuansa yang berkembang dalam penggunaan rombengan sebagaimana yang dibutuhkan, kajian ini mengombinasikan 3 metode 26
“Sublimation”, www.NoSubject.com,-Encyclopedia of Lacanian Psychoanalysisdiakses pada 21 Juni 2013. 27 Lexy J. Moeloeng (1990), Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Rosdakarya.
33
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yakni: penelitian dokumen dan sumber informasi, observasi berketerlibatan (participatory action observation),28 dan wawancara.29 Observasi dilakukan dengan cara mengamati ke-57 gerai pakaian bekas sebagaimana masing-masing tersebar di wilayah Kodia Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Observasi yang dilakukan difokuskan untuk mengetahui jumlah, lokasi, area, dan sebaran gerai yang ada di Yogyakarta. Observasi, yang dalam hal ini adalah identifikasi, juga dipakai dalam proses penelusuran atas pelbagai keragaman dalam pakaian bekas. Indentifikasi sendiri dimaksudkan untuk melengkapi data dan informasi yang berkaitan dengan aspek keragaman pakaian bekas yang sejauh ini tidak bisa digali secara mencukupi dari para pedagang. Identifikasi dilakukan secara acak dengan mengambil sampel dua bal atau 500 buah pakaian bekas sebagaimana diperdagangkan di dua gerai pakaian bekas, yakni gerai “XX” (tanpa nama) milik Dedi yang masing-masing berlokasi di Jl. Godean Km. 9, Senuko dan Jl. Godean Km. 11, Ngijon, Sleman. Sementara itu serangkaian wawancara yang dilakukan terhadap para responden dimaksudkan untuk menggali informasi dan mengonfirmasi ulang pelbagai informasi yang sudah didapatkan sebelumnya kepada para konsumen dan pedagang rombengan. Wawancara sebagaimana dilakukan terhadap konsumen meliputi 20 orang (responden) yang terdiri dari 10 orang mahasiswa, dan 10 orang konsumen umum. Ke-10 mahasiswa terdiri dari lima mahasiswa laki-laki dan lima mahasiswa perempuan yang masing-masing tinggal di rumah pondokan (laki-laki) “Smash Blast” di Kotabaru dan rumah pondokan (perempuan) “Cherry Belle” di 28
Britha Mikkelsen (2003), Metode Penelitian Partisipatoris dan Pemberdayaan Masyarakat, terj. Hartati, Jakarta: Yayasan Obor. 29 Koentjaraningrat, “Metode Wawancara” dalam Koentjaraningrat (1981), Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, hlm. 162-196.
34
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sekitaran Depok, Sleman. 30 Sementara 10 orang konsumen umum merupakan pelanggan Dedi yang dijumpai saat mereka berbelanja di gerai. Sedangkan 10 orang pedagang yang dimaksudkan merupakan pedagang pakaian bekas yang dipilih secara acak dari 57 gerai yang ada.
G. Pokok-pokok Gagasan dan Sistematika Penyajian
Tesis ini diorganisasikan ke dalam lima bab. Masing-masing bab memuat pokok-pokok gagasan dan target yang hendak dicapai dalam setiap pembahasan. Bab I merupakan pendahuluan. Pada bagian ini dikemukakan informasi umum seputar orientasi atas masalah pokok yang akan dikaji; alasan pemilihan tema kajian; kedudukan, arah dan sasaran kajian; strategi dan pendekatan yang akan dipergunakan untuk mengupas permasalahan yang telah ditetapkan; serta tahaptahap peyajian hasil penelitian. Secara formal penelitian ini dikemukakan ke dalam latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teroretikkonseptual, tinjauan pustaka, metode dan teknik penelitian, serta diakhiri dengan mengemukakan pokok-pokok gagasan dan sistematika penyajian. Bab II memaparkan persoalan tentang penggunaan pakaian bekas dalam masyarakat Yogyakarta pada umumnya. Secara umum uraian dimaksudkan untuk menjelaskan tentang ruang lingkup (scope) penggunaan pakaian bekas dalam masyarakat. Sementara secara khusus uraian dimaksudkan untuk menjelaskan
30
Untuk menjaga ketidaknyamanan yang barangkali muncul setelah penulisan keterangan ini, di samping karena kesepakatan antara penulis dan para responden, berkenaan dengan nama pondokan dan identitas responden sengaja disamarkan atau disebutkan dalam inisial. Dalam tradisi akademis, khususnya ilmu sosial humaniora seperti sosiologi, antropologi, dan sejarah, hal yang demikian ini bisa dibenarkan.
35
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
beberapa hal yang berhubungan dengan latar belakang, alasan dan motif ngrombeng, nilai yang melekat pada rombengan dan masih dipertahankan pengguna (konsumen), dan bagaimana pakaian bekas diperagakan para penggunanya di tengah masyarakat. Mengingat penggunaan pakaian bekas dalam masyarakat sudah sedemikian rupa mengalami banyak perubahan, untuk mendapatkan gambaran tentang perubahan yang terjadi secara lebih memadai, uraian selanjutnya dikerangkakan dalam sebuah komparasi atau perbandingan historis. Bab III memaparkan informasi tentang seluk beluk perdagangan pakaian bekas dalam masyarakat Yogyakarta. Secara umum uraian dimaksudkan untuk menggambarkan scope kemungkinan atau pilihan yang ditawarkan oleh pasar atau perdagangan pakaian bekas di Yogyakarta. Untuk keperluan ini uraian akan mengeksplorasi soal intensitas, keluasan cakupan, dan sebaran pakaian bekas dalam masyarakat Yogyakarta. Sebagai bahan pendukung, akan dikemukakan data tentang jumlah, area, wilayah, dan sebaran perdagangan pakaian bekas di Yogyakarta. Secara khusus uraian dimaksudkan untuk melihat pelbagai properties atau identitas pakaian bekas yang disebarluaskan lewat perdagangan dan respons konsumen terhadapnya. Sebagai dukungan informasi, akan disampaikan data tentang mode, model, kekhususan penggunaan, kekhususan pengguna, corak atau motif, warna, dan merk (brands) yang digemari konsumen, dan data konsumen atau pembeli. Bab IV merupakan analisis. Bagian ini membahas tentang pembentukan identitas dan subjektivitas pengguna pakaian bekas yang terjadi lewat proses konsumsi. Paparan difokuskan pada persoalan produksi identitas dan subjektivitas sebagaimana dialami oleh para pengguna pakaian. Pembahasan akan dibagi menjadi dua bagian. Terkait dengan persoalan identitas, akan dikupas tentang proses 36
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
identifikasi dan identitas yang dihasilkan dari pengguna pakaian bekas. Untuk keperluan ini akan dikemukakan dasar pertimbangan dan putusan pengguna dalam mengkonsumsi pakaian bekas. Terkait dengan subjektivitas akan dibahas proses pembentukan subjektivitas dan subjek lewat konsumsi dan pemaknaanya secara sosial. Untuk keperluan ini akan dikemukakan tiga hal: identifikasi, transfigurasi atas sosok atau penampilan para konsumen yang diolah dan dihasilkan lewat penggunaan pakaian bekas; dan melihat tarik ulur atau proses negosiasi yang terjadi selama proses tersebut. Bab V merupakan penutup uraian. Pada bagian awal uraian akan dikemukakan kembali pokok-pokok pikiran dan penjelasan sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya berdasarkan pada rumusan permasalahan yang telah ditetapkan. Sementara pada bagian penghujung uraian akan disampaikan benang merah atau kesimpulan atas keseluruhan pembahasan sebagaimana telah dikemukakan dalam setiap bab sebagai satu kesatuan pemahaman.
37
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bab II PENGGUNAAN PAKAIAN BEKAS DULU DAN KINI
Bagian ini akan menggambarkan ruang lingkup penggunaan pakaian bekas dalam masyarakat Yogyakarta secara umum. Apa yang kemudian perlu digarisbawahi adalah bahwa penggunaan pakaian bekas dalam masyarakat secara faktual sudah banyak mengalami perubahan. Dari aras ini sebuah komparasi historis kiranya perlu dilakukan. Komparasi historis ini diharapkan berfaedah untuk melihat pelbagai perkembangan dan perubahan penggunaan pakaian bekas sebagaimana terjadi dalam masyarakat Yogyakarta pada umumnya. Sebagai batasan waktu, penggunaan pakaian bekas atau pakaian “awul-awul” yang ada akan dilacak sejak pertengahan sampai dengan akhir tahun 1990-an. Sebuah kurun waktu yang menandai terjadinya akselerasi penggunaan pakaian bekas atau pakaian “awulawul” sebagai bagian dari rutinitas hidup masyarakat Yogyakarta kontemporer. Dari keperluan sebagaimana diungkapkan di atas, dalam paragraf-paragraf selanjutnya akan diisi dengan sebuah perbandingan atas sejumlah hal yang dipandang cukup relevan untuk dilihat secara lebih lanjut. Hal-hal relevan yang dimaksudkan adalah meliputi: latar belakang atau faktor yang mendorong dan menggerakkan penggunaan pakaian bekas dalam masyarakat sebagaimana diperjualbelikan oleh sejumlah pedagang. Hal lainnya adalah melihat ruang lingkup keberadaan pakaian bekas sebagaimana berkembang di tengah-tengah masyarakat Yogyakarta kontemporer lewat perdagangan yang meliputi cakupan, sebaran, dan
38
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
heterogenitas para pengguna (konsumen) pakaian bekas atau rombengan, serta bagaimana pakaian bekas tersebut pada akhirnya diperagakan para penggunanya dalam hubungan atau komunikasi sosial.
A. Ngrombeng Dulu
A.1. Latar Belakang Ngrombeng
Penggunaan pakaian bekas sebagaimana berkembang dalam masyarakat Yogyakarta era 1990-an bisa diperiksa melalui keberadaan istilah ngrombèng. Secara etimologi, kata ngrombèng yang merupakan kosa kata Bahasa Jawa, adalah kata bentukan dengan kata dasar rombèng. 1 Sebagai adjektiva atau kata keterangan, rombèng (diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia sebagai ‘rombeng’) diterjemahkan sebagai “compang-camping, sobek karena sudah tua“. Selain kata ngrombèng (diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia sebagai ‘merombeng’), dari kata dasar rombeng ini dihasilkan kata rombèngan (diadopsi secara tetap dalam Bahasa Indonesia sebagai ‘rombengan’). Kata ngrombeng, yang merupakan verba atau kata kerja, diterjemahkan sebagai “menjual barang-barang bekas (kepada tukang loak)”. Sementara kata rombengan, yang merupakan nomina atau kata benda, diterjemahkan sebagai “barang-barang (pakaian, alat-alat) yang sudah lama (bekas pakai, rongsokan); barang-barang yang sudah dijual oleh tukang loak; barang loakan”. 2
1
Kata rombeng sejajar dengan kata loak atau rosok. Tentang kesejajaran makna dan konjugasi dari ketiga kata ini, periksa Eko Endarmoko (2008), Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm. 533. 2 Departemen Pendidikan Nasional (2008), Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat, Jakarta: PT. Gramedia Utama, hlm. 849. Eko Endarmoko (2007), Loc. cit. Kecuali kata ngrombèng penulisan
39
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Batasan leksikal tentang sifat dan cara orang berhubungan dengan rombengan seperti dikemukakan di atas kiranya tidak sepenuhnya memiliki akurasi yang memadai. Sifat rombengan sebagaimana dilukiskan sebagai sesuatu yang sudah “compang-camping” atau “koyak-koyak,” dalam kenyataan keseharian kiranya jauh dari kenyataan. Apabila sifat rombengan yang dimaksudkan adalah lusuh atau cacat-cacat kecil seperti kancing hilang, jahitan dhèdhèl (lepas) atau ritsluiting rusak, barangkali masih bisa dibenarkan. Deskripsi tentang sifat atau kondisi rombengan sebagaimana dinyatakan dalam kamus di atas kiranya mengandung eksagerasi dan hanya sesuai jika yang dimaksudkan adalah gombal; bekas kain yang tidak lagi memiliki nilai.3 Demikian halnya secara sosioantropologis istilah ngrombèng tidak hanya terbatas pada aktivitas menjual rombengan, tetapi juga meliputi aktivitas membeli pakaian bekas atau rombengan. Popularitas ngrombèng pada masa lalu berkait berkelindan dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan sejumlah negara Asia sebagaimana berlangsung pada tahun 1998. Krisis yang awalnya merupakan krisis moneter (populer dengan istilah “Krismon”), tetapi kemudian menjadi krisis ekonomi yang memiliki efek domino dalam pelbagai dimensi kehidupan sosial masyarakat. Pada level makro, krisis ekonomi tersebut berdampak pada goncangnya fondasi perekonomian nasional di pelbagai sektor sebagaimana ditandai dengan terjadinya “capital flight” investasi asing keluar Indonesia dan bangkrutnya perusahaan nasional di pelbagai sektor dan level. Hal yang kemudian melahirkan dampak dan pelafalan kata rombèng dan rombèngan, selanjutnya akan mengikuti padan kata sebagaimana diadopsi dalam langue Bahasa Indonesia. 3 Secara sosio-antropologis pakaian semacam ini bisa dipersamakan dengan “klambi têlêsan” atau “klambi rêgêtan” sebagaimana dikenakan oleh para petani, pengrajin batu bata, genting, atau batako. Pakaian semacam ini akan dikenakan secara sengaja untuk “ber-têlês-têlês” (berbasah-basah) di lumpur atau “ber-rêgêt-rêgêt” (berkotor-kotor) dalam adonan tanah liat dan semen.
40
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
susulan berupa terganggunya proses produksi dalam negeri dan meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK).4 Hancurnya proses produksi dalam negeri dan meningkatnya PHK berkontribusi pada kenaikan harga pelbagai jenis komoditas pokok5 dan hilangnya sumber pendapatan masyarakat. Pada level mikro hilangnya sumber pendapatan atau mata pencaharian masyarakat pada gilirannya berimplikasi pada semakin rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat sebagaimana ditandai dengan lemahnya daya beli. Pelbagai problem sosial yang berakar pada kesejahteraan akibat krisis ekonomi terjadi di sana-sini.6 Kebijakan pemulihan kondisi ekonomi nasional melalui mekanisme hutang yang dilakukan pemerintah kepada lembaga keuangan asing internasional seperti World Bank dan IMF (International Monetary Fund) justru melahirkan problem susulan baru.7 Kebijakan yang diyakini sebagai resep jitu untuk keluar dari permasalahan selain meningkatkan beban hutang luar negeri,8 justru memantik inflasi dan melemahkan nilai tukar rupiah atas dollar Amerika hingga
4
Lihat, “DEPERINDAG RI: Industri Kulit PHK 18 ribu Karyawan”, Kedaulatan Rakyat, 25 Agustus 1998, hlm. 2. 5 Lihat, “Harga Minyak Sawit dan Daging Ayam Kembali Melambung”, Kedaulatan Rakyat, 7 Juli 1998, hlm. 2. Juga, “Setelah Beras, Giliran Gula Pasir Naik”, Bernas, 8 Juli 1998, hlm. 2. 6 Lihat, “Dampak Krisis, Angka Drop Out Naik”, Kedaulatan Rakyat, 25 Juli 1998, hlm. 2. Lihat, “KAKANWIL Depdikbud DIY: Banyak Pelajar Jadi Pengasong”, Kedaulatan Rakyat, 11 September 1998, hlm. 2. Lihat, “Akibat Krisis Jadi Polisi Palsu”, Kedaulatan Rakyat, 25 Agustus 1998, hlm. 2. Lihat, “Pasien RSJ Pakem Meningkat Selama Krisis”, Bernas, 24 Juli 1998, hlm. 2. Lihat, “Akibat Krisis Terpaksa Mengemis”, Bernas, 25 Juli 1998, hlm. 2. 7 Lihat, “Untuk Menutup Defisit APBN 1998/99 Bank Dunia Bantu 4-6 Miliar Dolar”, Kedaulatan Rakyat, 11 Juli 1998, hlm.2 8 Lihat, “Lagi, Injeksi Rp. 8,8 Triliun: BI Terperangkap Pasar Uang”, Kedaulatanan Rakyat, 12 Juli 1998, hlm. 2. Sementara itu hutang luar negeri Indonesia per 2002 sebesar Rp. 1.500 triliun dan naik menjadi Rp. 1.700 triliun pada 2009. Tentang hutang luar negeri, politik anggaran, dan dampaknya terhadap kehancuran alam dan lingkungan di Indonesia, lihat Patricia Adams (2002), Odious Debts [Utang Najis] Obral Utang, Korupsi dan Kerusakan Lingkungan di Dunia, terj. Eddy Zainury, Jakarta: INFID. Perhitungan hutang Indonesia versi pemerintah tahun 2009 adalah Rp. 1.500 triliun atau 30% dari GDP (Gross Domestic Brutto) sebesar Rp. 5.000 trilliun dengan nilai kurs Rp. 10.000/dollar sebagaimana disampaikan Menteri Keuangan kala itu, Sri Mulyani, dalam sebuah talkshow “Wimar Live”, Metro-TV, 5 Juni 2009.
41
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mendekati angka Rp. 20.000 per $ US 1.9 “Dhuwit ora ana ajine” (uang tak lagi punya nilai) adalah ungkapan yang kerap keluar dari mulut orang kecil untuk mengilustrasikan situasi kala itu. Kondisi sosial ekonomi yang berubah secara drastis sebagaimana diakibatkan oleh krisis ekonomi inilah kiranya yang kemudian menjadi faktor pendorong atau penggerak penggunaan rombengan atau pakaian bekas dalam masyarakat Yogyakarta pada akhir 1990-an.10 Selama kurun waktu ini penggunaan rombengan atau pakaian bekas dalam masyarakat mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Intensitas dan cakupan penggunaan rombengan dalam masyarakat Yogyakarta dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan yang semakin luas dan mendalam. Sementara itu percepatan penggunaan pakaian bekas atau rombengan lewat cara ngrombèng sebagaimana berkambang dalam masyarakat juga tidak terlepas dari keberadaan dan peran pedagang rombengan itu sendiri. Hampir semua pedagang rombengan adalah korban PHK. Korban yang berusaha bangkit dari keterpurukan keadaan sebagaimana diakibatkan krisis multidimesi dan mencoba bangkit untuk memertahankan kehidupan mereka melalui aktivitas ekonomi perdagangan.
A.2. Motif dan Pelaku Ngrombèng
Dalam kondisi sebagaimana dikemukakan di atas, ngrombèng muncul ke permukaan sebagai salah satu model konsumsi yang banyak dilakukan masyarakat 9
Lihat, “Januari-Juni Yogya Inflasi 44,88 Pct: Sembako Naik Terus, Super Market Sepi”, Kedaulatan Rakyat, 7 Juli 1998, hlm.2. 10 Lihat, “Pakaian Bekas Pun Laris”, Kedaulatan Rakyat, 12 Januari 1999, hlm. 2.
42
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Yogyakarta. Sebuah model pemenuhan kebutuhan yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari kalangan menengah-bawah. Para pegawai negeri golongan rendah seperti pesuruh dan penjaga malam; para penjaga kios atau toko kelontong, petugas kebersihan rumah sakit atau hotel, pelayan rumah makan, kuli bangunan, tukang becak, para pekerja domestik seperti pembantu rumah tangga, serta para pelajar dan mahasiswa miskin, merupakan pelaku utama aktivitas ngrombeng. Pada masa itu dengan sangat mudah orang bisa menyaksikan aksi mereka dalam mengkonsumsi pakaian bekas atau pakaian “awul-awul”. Pada waktuwaktu tertentu secara rutin mereka membelanjakan sebagian uangnya untuk membeli pakaian bekas atau rombengan yang mereka butuhkan. Tanpa bermaksud mereduksi fenomena ngrombèng sebagai pengalaman personal, saya akan memasukkan unsur pengalaman saya sebagai saksi sekaligus pelaku ngrombèng ke dalam narasi ini. Sebagaimana mahasiswa indekost-an pada umumnya yang akrab dengan problem keuangan, tidak pelak menggiring saya untuk tercerap dalam aktivitas ngrombèng. Dalam seminggu saya bisa dua sampai tiga kali ngrombèng. Hal itu saya lakukan untuk mencari pelbagai jenis pakaian yang saya perlukan. Ngrombèng semakin intensif saya lakukan seiring keterlibatan saya dengan
organisasi
kemanusiaan
seperti
search
and
rescue
(SAR)
dan
kepecintalaaman di lingkup intra kampus yang kerap memerlukan penggunaan jenis pakaian sesuai standard tertentu saat berada di lapangan. Selain pakaian seragam, saya masih memerlukan pakaian hangat seperti jumper, pull-over, celana atau jaket. Ketika membeli pakaian baru sebagaimana yang dimaksudkan menjadi sebuah kemustahilan, secara mati-matian saya pun berusaha memenuhinya dengan cara ngrombèng. 43
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bagi saya, penggunaan pakaian bekas bukan merupakan pengalaman yang sama sekali baru. Sebelumnya saya sudah cukup familiar dengan pakaian bekas. Debut pertama saya berhubungan dengan pakaian bekas bermula sejak masih kecil. Pengalaman yang saya maksudkan adalah pengalaman nglungsur (melungsur). 11 Nglungsur menjadi salah satu cara orang berhubungan dengan pakaian bekas (dan aksesoris lainnya) yang cukup lazim dilakukan orang pada jaman dulu. Nglungsur yang saya alami berada di dalam ruang sosial terbatas atau bersifat internal batih (family) yakni hanya melibatkan antar-anggota dalam satu keluarga. Dalam konteks ini kebutuhan akan pakaian bisa langsung dicukupi secara terbatas dan cuma-cuma. Nglungsur kadang juga berkembang secara eksternal atau antar-keluarga dalam arti masing-masing orang tidak mengenal sama sekali. Nglungsur dalam pengertian kedua salah satinya bisa dilihat dalam kegiatan sosial kemanusiaan seperti bakti sosial atau bantuan kemanusiaan.12 Di tengah situasi keterpaksaan akibat krisis semacam itu ngrombèng menjadi tumpuan pemenuhan kebutuhan sebagian besar masyarakat yang paling terpengaruh oleh adanya krisis. Ngrombèng menjadi aktivitas rutin dalam mengakses pakaian yang mereka butuhkan. Lewat cara ngrombèng mereka bisa mendapatkan pelbagai jenis pakaian seperti kaos, kemeja celana, baju hangat seperti pull-over dan jumper, jaket, selimut-selimut tebal, seprei, bedcover (kain penutup tempat tidur), hingga gorden. Lewat cara ngrombèng masyarakat Yogyakarta pada umumnya bisa
11
Pemindahtanganan pakaian oleh seseorang kepada orang lain (hand something down). Departemen Pendidikan Nasional (2008). Op.cit., hlm. 442. 12 Keberadaan pakaian bekas sebagai barang pemberian (lungsuran) masih bisa ditemui hingga kini. Dies natalis kampus-kampus di Yogyakarta selain diisi acara seminar juga diisi dengan pasar murah, donor darah, bakti sosial lewat pemberian pakaian lungsuran (dikenal sebagai “pakaian pantas pakai”) ke panti asuhan dan panti wreda. Dalam event kebencanaan seperti erupsi Merapi 2010, misalnya, pakaian bekas (lungsuran) merupakan item yang bisa ditemui di hampir setiap posko..
44
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menemukan pelbagai jenis dan model pakaian dengan harga per item barang yang bervariasi, yakni antara Rp. 1.000 hingga Rp. 1.500 untuk pelbagai jenis dan model kaos dan kemeja, Rp. 2.000 hingga Rp. 2.500 untuk celana panjang dan jaket, dan Rp. 5.000 hingga Rp. 5.500 untuk selimut, seprei dan bedcover. Para pembeli itu juga kerap mendapatkan harga ekstra berupa rabat dari para penjual manakala mereka membeli pakaian lebih dari dua buah.13 Sebagai sebuah aktivitas yang dilakukan secara rutin dan telah sedemikian rupa terintegrasi ke dalam aktivitas hidup keseharian, ngrombèng berbeda dari model penggunaan pakaian pada umumnya yang dilakukan secara spontan atau hanya bersifat sambil lalu. Dibandingkan dengan model konsumsi pada umumnya ngrombèng muncul dengan alasan yang lebih mendasar. Jika begitu, apa sejatinya alasan yang mendasari aktivitas ngrombèng pada masa lalu? Sebagaimana diutarakan pada bagian sebelumnya, ngrombèng merepresentasikan keterpaksaan konsumsi. Keterpaksaan yang dialami oleh sebagian besar masyarakat kalangan menengah bawah dalam memenuhi kebutuhan mereka akan pakaian. Sebuah aktivitas pemenuhan kebutuhan (konsumsi) yang muncul karena kendala finansial seiring dengan semakin memburuknya keasdaan karena krisis ekonomi yang melemahkan
daya
merepresentasikan
beli. model
Dengan konsumsi
demikian
pada
masyarakat
masa
yang
ini
ngrombèng
tengah
menghadapi
keterjepitan keadaan; dalam hal ini adalah ekonomi finansial.
13
Harga ini diperhitungkan di awal krisis 1998. Sejak tahun 2002 penjualan dilakukan dengan sistem pagu yakni dengan menentukan harga terendah dan tertinggi setiap jenis pakaian. Dalam perkembangan kemudian, pagu yang ditetapkan mengalami peningkatkan dan semakin bervariasi. Pada tahun 2009, pagu terendah yang ditetapkan adalah sebesar Rp. 10.000 dan harga tertinggi Rp. 125.000. Uraian lebih jauh tentang hal ini akan dibahas pada Bab III.
45
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Ngrombèng pada saat yang sama juga mengingatkan pada model pertukaran ekonomi sebagaimana berkembang dalam masyarakat pada umumnya. Dalam model pertukaran yang sedemikian rupa menekankan keuntungan, konsumsi yang berkembang dalam masyarakat cenderung menjadi bersifat fait a compli atau either/or. Dalam model pertukaran semacam ini relasi antara komoditas dan konsumen sedemikian rupa berjalan sesuai rumus yang sepenuhnya ditetapkan pasar: take it or leave it. Dalil ini mengasumsikan faktor nilai tukar ekonomi (uang) sebagai variabel pokok yang harus dicukupi oleh
konsumen ketika harus
berhubungan dengan barang dagangan atau komoditas. Dalam model pertukaran semacam itu proses pemenuhan kebutuhan konsumen sepenuhnya didasarkan pada kemampuan finansial mereka. Konsumsi sepenuhnya sangat ditentukan oleh kapasitas konsumen dalam menggenggam nilai tukar ekonomi. Ketika seorang konsumen mengkonsumsi suatu komoditas tertentu, dengan sendirinya orang itu memang memiliki kemampuan finansial untuk membelinya. Bagi kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi dan finansial lebih kondisi semacam itu sudah barang pasti bukan merupakan persoalan. Akan tetapi sebaliknya, bagi kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan finansial, konsumsi kemudian menjadi sesuatu yang dilematis. Hubungan antara konsumen dan komoditas kemudian menjadi sebuah armagedon (pertarungan); sebuah hubungan yang bersendikan pada dalil “harta atau nyawa”. Konsekuensi dalil itu mengerikan: memilih harta, nyawa hilang; memilih nyawa, harta hilang. Konsumen boleh jadi bisa memaksakan diri agar kebutuhannya terpenuhi dengan cara menggunakan lebih dulu uang makan atau mengutang pada kerabat. Hanya saja hal itu tentunya bukan opsi terbaik untuk diambil. Putusan itu hanya akan 46
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
melahirkan masalah baru, karena begitu satu kebutuhan tercukupi, kebutuhan lain justru akan tetap menganga karena tidak terpenuhi. Dilema yang ada pada akhirnya melahirkan perasaan ketidaknyamanan (unpleasure) di kalangan para konsumen. Sampai di sini bisa jelas kiranya bahwa alasan utama orang untuk mengkonsumsi pakaian bekas atau ngrombèng pertama-tama didasarkan pada alasan atau pertimbangan ekonomi, yakni demi kemurahan. Ngrombèng dengan kata lain merupakan wujud konkret dari sikap berhemat. Dengan mengkonsumsi rombengan atau pakaian “awul-awul” yang nota bene merupakan barang lama dan berharga murah, para konsumen merasa sangat tertolong. Bagi mereka yang memiliki keterbatasan finansial, ngrombèng menyodorkan kesempatan untuk mengatasi proses konsumsi yang terkendala oleh persoalan harga. Penghematan yang ditempuh dengan cara mengkonsumsi rombengan pada gilirannya juga berkaitan dengan elastisitas kemampuan mereka dalam hal konsumsi. Dengan demikian di samping akan mengatasi persoalan kendala harga untuk satu jenis kebutuhan, ngrombèng juga membuka kesempatan pada konsumen untuk memerluas jangkauan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup lainnya. Hal lain yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah bahwa di dalam sistem pertukaran yang berorientasi profit, pemenuhan kebutuhan sebagaimana berlangsung di pasar modern cenderung berjalan menuju satu arah. Implikasinya, apa yang dilakukan konsumen dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka tidak lebih sekedar “menyetujui” setiap keputusan sebagaimana tekah ditentukan oleh pasar. Dalam situasi semacam itu apa yang dibayangkan sebagai kemungkinan atau alternatif berada dalam posisi marginal atau bahkan bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Ketentuan pasar sebagaimana mendasari sistem pertukaran ekonomi modern 47
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
semacam ini menjadikan proses konsumsi tidak lebih sebagai tindakan mengkonsumsi komoditas “yang harus dan yang hanya itu saja”. Ketiadaan kemungkinan atau alternatif menjadikan aktivitas membeli juga hanya memiliki satu arti, yakni membeli komoditas baru sebagaimana disodorkan oleh pasar dengan harga yang mahal. Dihadapkan pada kecenderungan sebagaimana diutarakan di atas, bagi mereka yang memiliki keterbatasan finansial, ngrombèng merepresentasikan upaya atau kreativitas orang dalam menciptakan jalan keluar dari himpitan permasalahan yang muncul dalam hal konsumsi. Sebuah siasat yang dilakukan konsumen ketika menghadapi sebuah dilema tertentu. Akan tetapi, mengapa keputusan itu kemudian dikembangkan lewat cara ngrombèng? Mengapa ngrombèng menjadi tumpuan keputusan dan upaya itu? Dalam kondisi yang dilematis dan seolah-lah tidak terjembatani semacam itu, ngrombèng dipandang oleh sebagian besar orang sebagai aktivitas yang paling realistis dilakukan terutama konsumen kalangan menengahbawah. Kata realistis adalah kata lain dari ideal. Idealitas ngrombèng terletak pada kekuatannya dalam mengurangi tensi atau tegangan yang berakar pada sistem dan mekanisme pertukaran modern yang ternyata berpotensi melahirkan banyak dilemma yang tidak mudah dipecahkan. Ngrombèng memiliki kekuatan yang akan menjamin konsumen keluar dari dilema dan ketidaknyamanan konsumsi modern yang tidak memberi ruang gerak kepada mereka. Ngrombèng mereka tempatkan sebagai sesuatu yang bisa memulihkan proses konsumsi sehingga tidak menjadi sesuatu yang membebani hidup mereka sehari-hari dalam memenuhi kebutuhan. Ngrombèng juga menegaskan bahwa ketika orang mengkonsumsi suatu komoditas, pertama-tama bukan karena 48
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
komoditas itu perse, tetapi karena alternatif yang ada di dalamnya. Dengan ngrombèng terbuka celah kemungkinan bagi para konsumen untuk berkelit atau mengelak dari keharusan pasar, bahwa mengkonsumsi suatu komoditas tidak semata-mata berarti mengkonsumsi sesuatu yang baru. Para konsumen itu juga mencoba untuk menghindar dari adagium pasar: ana dhuwit ana barang (ada uang ada barang) dan ana rupa ana rega (ada kualits ada harga) yang telah diterima dan berkembang sedemikian rupa sebagai semacam keyakinan dalam masyarakat pada umumnya.
A.3. Ruang Hidup, Identitas, dan Nilai Ngrombèng
Fenomena ngrombèng sebagaimana berkembang luas di tengah masyarkat Yogyakarta tidak bisa dipisahkan dari ruang hidup atau tempat di mana pakaian bekas atau rombengan itu diperjualbelikan. Aktivitas ngrombèng dalam masyarakat Yogyakarta mengingatkan pada fenomena ekonomi perdagangan pakaian bekas sarthir – akronim dari pasar sênthir, 14 yang terkenal di era 1960-1980-an. Istilah sarthir mengacu pada model perdagangan casual (kali lima) yang dilakukan para pedagang bermodal kecil dengan cara menggelar barang dagangan mereka di bawah pohon, trotoar jalan, atau emperan toko dengan plastik, tikar, atau terpal sebagai alas, dan lampu minyak bersumbu (sênthir) sebagai sumber penerangan. Sarthir umumnya beroperasi lebih kurang mulai dari jam 19 hingga jam 24 tengah malam atau bahkan dini hari. Selain pakaian bekas, di (tempat) sarthir juga diperjualbelikan 14
Ada sebagian masyarakat yang menyebut sarthir dengan Klithikan. Konon nama ini merupakan anomatope dari bunyi “klithik-klithik” yang muncul dari bunyi barang saat didagangkan. Lihat, “Pasar Klithikan Kuncen”, JogjaTrip.com diakses pada 10 April 2010.
49
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pelbagai barang lain seperti: audio/video player, radio, recorder, amplifier dan TV bekas; seterika listrik, lampu belajar, kipas angin; hingga perkakas sepeda dan sepeda motor bekas. Secara sosiologis sarthir juga distigmakan memiliki kaitan dengan aktivitas kriminal seperti pencurian, kekerasan dan pelacuran. Mulai kapan aktivitas ekonomi sarthir muncul di tengah masyarakat tidak seorang pun bisa memastikannya. Sebagian masyarakat ada yang meyakini bahwa ia muncul di awal tahun 1970-an seiring dengan penataan ekonomi rejim Orde Baru dari pertanian ke non-pertanian pasca G30S. Sementara sebagian yang lain mengatakan bahwa kegiatan ekonomi masyarakat berskala kecil ini muncul ke tengah-tengah masyarakat Yogyakarta sekitar akhir 1960-an. Satu kurun waktu yang berkaitan erat dengan memburuknya kondisi ekonomi Indonesia pada periode terakhir pemerintahan politik rezim Soekarno.15 Apa yang cukup jelas kemudian adalah setelah pamor sarthir meredup, pada awal hingga akhir tahun 1990-an muncul bentuk perdagangan serupa yang tidak memerlukan waktu lama menjadi booming di Yogyakarta: “awul-awul”. Sebagaimana halnya sarthir bentuk perdagangan ini dilakukan dengan cara sangat sederhana. Para pedagang meletakkan dagangannya begitu saja di atas tikar plastik atau terpal secara memanjang mengikuti arah trotoar jalan; Sebagian penjual menjajakan daganganya di los-los pasar tradisional. Di lokasi itu tidak seorang pedagang pun yang merasa perlu memilah dan menata pakaian terlebih dulu. Di sepanjang trotoar jalan-jalan utama kota atau loslos pasar tradisional ratusan pedagang bekas itu menggelar dagangan mereka yang 15
Sekurang-kurangnya ada empat lokasi sarthir di Yogyakarta yang cukup terkenal di era 1980-an: (1) sarthir Senopati di kawasan Shopping Center, (2) sarthir Pakualaman di kawasan alun-alun Puro Pakualaman, (3) sarthir Haji Dahlan di halaman Gedoeng Pertemoean Muhammadijah, di kawasan Ngabean, dan (4) sarthir Terban yang berlokasi di Terminal “Colt Kampus” Terban.
50
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
volumenya bergunung-gunung. Para pedagang itu rata-rata memulai aktivitasnya mulai dari jam 8 pagi sampai sekitar jam 9 malam. Menjelang Maghrib tiba sebagian penjual kemudian menggunakan lampu-lampu minyak (petormax) sebagai alat penerang kegiatannya. Sementara sebagian lainnya memasang lampu pijar dengan listrik yang ditarik dari kios atau rumah penduduk terdekat dengan jalan di mana mereka mangkal. Mengandalkan pada ingatan, aktivitas ngrombeng (dalam hal ini “ngawul”) tersebar di 20 lokasi sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1 berikut. 16
Tabel 1. 20 Lokasi Perdagangan “Awul-awul” Titik Lokasi 1 Jl. Nyi Condrolukito (PDAM Gemawang) hingga Jl. A.M. Sangaji (Jetis) ke barat sampai Maerakaca. 2 Pasar Kranggan (Jl. Poncowinatan) 3 Jl. P. Mangkubumi: Tugu ke selatan sampai Stasiun KA Tugu. 4 Kantor Samsat, Pingit hingga Gampingan (Jl. HOS Cokroaminoto) 5 Jl. Wirobrajan hingga Bayeman. 6 Jl. Kaliurang (Kentungan) hingga Pasar Terban (Jl. C. Simanjuntak). 7 Jl. Gejayan hingga depan RRI dan Pasar Demangan. 8 Bunderan UGM hingga Jln. Colombo (UNY). 9 Pasar Demangan hingga perpustakaan IAIN (Jl. Adisutjipto). 10 IAIN Sunan Kalijaga hingga Walikota (Jl. Kapas). 11 TVRI (Karangwaru) hingga perempatan Pingit (Jl. Magelang). 12 Jl. Sultan Agung (Semaki) hingga shopping center (Jl. P. Senapati). 13 Pasar Beringharjo 14 Seputaran Stadion Mandala Krida hingga Jl. Gayam. 15 Jl. Gajah Mada hingga Alun-alun Puro Pakualaman. 16 Gereja Kotabaru hingga Jl. Ahmad Jazuli (Masjid Syuhada). 17 Seputaran Stadion Kridosono (Jln. Yos Sudarso). 18 Seputaran Alun-alun Lor. 19 Seputaran Alun-alun Kidul. 20 Sepanjang Jl. Ngasem.
16
Ingatan itu saya konfirmasikan ulang dengan Fadel, pemilik gerai “Sandang Murah”, dan Teddy, pemilik gerai (NN, tanpa nama) di Jln. KH. Ahmad Dahlan, sebagai “wong gaek” (orang lama) dalam perdagangan rombengan atau pakaian “awul-awul” di Yogyakarta. Selama periode itu mereka berdua masing-masing mangkal di trotoar Jln. Ngasem dan Jln. KH. Ahmad Dahlan. Di area itu pula keduanya kemudian mengembangkan rombengan atau pakaian “awul-awul” dalam bentuknya yang sekarang. Wawancara terpisah dilakukan pada 17 Oktober 2010.
51
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Ngrombèng (dalam hal ini berarti “awul-awul”) menemukan momentumnya di awal bulan. Bagi sebagian besar mahasiswa indeskost-an, awal bulan menjadi penanda bagi mereka untuk mencari “pakaian baru” (dalam arti belum pernah dimiliki) setelah krisis finansial mereka usai dengan datangnya uang dari orang tua. Jika untuk kebutuhan makan kami mengembangkan siasat “STEREO” (alias Sêga Sêtengah Témpéné Loro, nasi setengah piring plus 2 tempe) atau “SANJUNG LABEL” (Sêgané Munjung Lawuhé Sambêl, nasi bak gunung, lauknya sambal), untuk kebutuhan pakaian kami mengisinya dengan cara ngrombèng. Jika kebutuhan lain masih menganga atau belum terpenuhi, tidak jarang kami pun kemudian akan menjual (istilahnya dulu “melego”) atau “nyekolahke” (istilah populer untuk ‘menggadaikan’) barang-barang yang kami miliki, seperti: mesin ketik, gitar, audio player (seperti radio atau tape), ransel atau koper, sepeda kayuh, hingga sepeda motor ke pegadaian untuk sejumlah uang. Aktivitas terakhir ini bukan tanpa resiko, sebab jika kita gagal menebus barang yang telah disepakati dengan pihak pegadaian sesuai “jatuh tempo”, maka semua barang akan di-beslaag (sita). Akan tetapi ngrombèng pada awalnya sejatinya merupakan aktivitas yang penuh dengan kelemahan dan spekulasi. Lokasi perdagangan yang kotor, gelap, dan tidak nyaman, tidak cukup memberi keleluasaan kepada kami sebagai pembeli untuk memilih dan meneliti pakaian yang akan dibeli secara memadai. Demikian halnya hospitalitas penjual yang rendah, seperti tampak pada sikap mereka yang tidak memberi kesempatan kepada pembeli untuk bisa memilih secara cepat (melainkan terlebih dulu harus ngawul-awul), tidak mengizinkan pembeli mencoba pakaian terlebih dulu, atau tidak menerima penukaran pakaian yang sudah dibeli, praktis meniadakan aspek kenyamanan kepada para pembeli pada saat berbelanja di situ. 52
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Akibatnya pembeli sama sekali tidak mendapatkan kemerdekaan dan jaminan atas apa yang dibeli. Pembeli bahkan sejatinya telah kehilangan hak atas apa yang seharusnya mereka dapatkan. Dalam situasi dan kondisi yang demikian itu faktor luck kadang kala justru menjadi faktor dominan yang akan muncul beriringan dengan aktivitas ngrombèng.
Gambar 2a Pakaian Bekas Dulu
Awul-awul di Lt. IV, Beringharjo, menjelang Lebaran (Sumber KR, 10/11/99)
Pada waktu tertentu apabila sedang beruntung saya memang bisa mendapatkan rombengan dalam kondisi yang baik. Akan tetapi yang paling sering menimpa saya adalah saya akan membawa pulang rombengan dalam kondisi yang tidak baik. Di beberapa bagian mengandung banyak kecacatan. Untuk kemeja misalnya, cacat yang kerap muncul adalah meliputi: kondisi lusuh (mêmrêt: Jawa) di bagian krah, jahitan terlepas (dhèdhèl: Jawa) di bagian ketiak atau pangkal lengan, satu dua buah kancing baju pecah atau hilang, lubang-lubang kecil bekas gigitan rengat atau tikus, lubang bekas sundutan rokok atau obat nyamuk spiral (bakar), dan 53
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bercak noda tinta atau getah. Sedangkan untuk jenis celana dan jaket, kecacatan yang paling kerap saya temui meliputi: ritsluiting yang hilang pengaitnya (hook), macet, atau rusak; jahitan yang terbuka di bagian pangkal paha; atau adanya lubang bekas sundutan rokok di bagian dada dan lengan. Kondisi lain yang sering bikin uring-uringan dan tidak hanya satu dua kali menimpa saya adalah ukuran pakaian bekas atau rombengan yang sama sekali tidak sesuai badan. Ketiadaan kesempatan untuk mencoba pakaian terlebih dulu (fitting) memaksa pembeli hanya bisa mengira-ngira ukuran pakaian yang akan dibeli dengan presisi tebakan 1:100.
Dari kondisi semacam itu tidak mengherankan
kiranya jika kemudian pakaian bekas atau rombengan yang saya peroleh kadang bisa terlalu besar atau terlalu kecil. Kerusakan atau kecacatan dan ketidaksesuaian ukuran itu kemudian saya akali dengan membawanya ke tukang jahit engkol17 (dikenal umum sebagai tukang vermak) yang dulu banyak sekali mangkal di Pasar Kranggan atau seputaran Gereja Jetis. Di tangan-tangan terampil seperti mereka nasib dan keberuntungan pakaian bekas atau rombengan yang mengenaskan itu saya serahkan. Estimasi waktu reparasi mereka hitung dari besar kecilnya kecacatan. Untuk kecacatan sebagaimana yang dapatkan kurang dari satu jam usai. Jahitan yang terbuka (dhèdhèl) di bagian ketiak untuk baju atau di pangkal paha untuk celana akan mereka jahit ulang. Untuk kancing baju, pengait celana, atau ritsluiting yang rusak akan mereka ganti dengan yang baru. Sementara kondisi kain yang lusuh di bagian kerah atau lubang bekas api rokok pada kemeja dan jaket, 17
Mesin jahit engkol dibedakan dari mesin jahit jenis pedal-string yang biasa dipakai oleh penjahitpenjahit besar (tailor) atau konveksi yang untuk menjalankannya bertumpu pada kaki. Untuk menjalankan mesin jahit engkol, pengguna harus memutar (mengengkol) pedal pemutar gir yang ditempel di badan mesin (rata-rata) bagian kanan. Dengan model ini penjahit harus punya keterampilan lebih, karena pada saat tangan kanan mengengkol, tangan kiri harus menyetir pakaian yang dijahit agar tetap lurus.
54
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
masing-masing akan mereka siasati dengan cara membalik kain, menggantinya dengan kain sewarna, atau mengubah model kerah. Untuk jenis kecacatan karena bercak noda yang menempel pada pakaian, akan mereka oper ke koleganya tukang blauw (harafiah: biru) dan naptol yang ada di lokasi yang sama guna dilakukan pewarnaan ulang. Sementara untuk pakaian yang terlalu besar atau terlalu kecil, saya atasi dengan satu cara: memberikannya pada orang yang mau, termasuk kepada pejahit itu sendiri. Biaya vermak yang melebihi harga rombengan adalah alasan yang paling masuk akal mendasari tindakan saya itu. Si Tukang vermak dengan senang menerima “bingkisan” saya. Begitu sampai di pondokan pakaian bekas atau rombengan itu tidak langsung saya kenakan, tetapi akan saya rendam terlebih dulu dengan air biasa selama satu malam. Selain dimaksudkan untuk melepaskan kotoran, merendam dengan air biasa berguna untuk menghidupkan kembali serat pakaian yang kering selama rombengan itu berada di lapak di bawah terik matahari dan angin malam. Khusus untuk pakaian yang dinaptol, agar tidak merusak warna pakaian lain, saya pisahkan dari pakaian lainnya. Keesokan harinya rombengan itu saya bilas dengan air biasa, lalu direndam lagi dengan menambahkan deterjen dan membiarkannya selama tiga hingga empat jam. Setelah proses merendam dipandang cukup, pakaian dikucek, disikat, dibilas berkali-kali hingga bersih, lalu dijemur. Jika ada panas seharian rombengan akan saya seterika pada sore harinya. Jika tidak ada panas sama sekali, terpaksa harus menunggu hingga betul-betul kering. Jika dilanggar akan menyiksa diri sendiri. Pakaian bekas punya karakteristik yang cukup mencolok dibanding pakaian yang biasa kita pakai. Kadang meski sudah dicuci kotoran yang dihasilkannya sangat banyak sehingga memerlukan berulang kali pembilasan. 55
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Gambar 2b Pakaian Bekas Dulu
“Awul-awul” di Jl. Poncowinatan, Kranggan, awal 2000-an (Koleksi Penulis)
Dari paparan di atas tampak bahwa meski telah sedemikian rupa terikat dalam sistem dan mekanisme pertukaran (pasar), ngrombeng masih dijalankan secara konvensional. Demikian halnya bahwa ruang hidup rombengan atau pakaian “awul-awul” itu hanya terentang di antara trotoar jalan, pèrko (èmpèran toko), atau loos-loos pasar tradisional yang kotor, bau, berdebu, panas, dan gelap, serta dalam kondisi yang tidak nyaman, tidak ramah, dan tanpa jaminan sebagaimana halnya sarthir. Sebuah kondisi yang pada gilirannya memertegas identitas rombengan sebagai sesuatu yang kotor dan tidak higienis. Kondisi yang secara cepat memantik persepsi dan kesimpulan orang pada umumnya untuk mengasosiasikan rombengan dengan sesuatu yang “ora murwat” (tidak pantas) dikenakan. Sebagai sesuatu yang “ora murwat”, sudah barang pasti ngrombeng pun kemudian akan terjatuh sebagai aktivitas yang berkonotasi negatif, “ora lumrah” (tidak layak) dilakukan. 56
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sebagaimana diketahui, sebagai sebuah rombengan, kategori pakaian “awulawul” sejatinya bukan lagi semata-mata barang (goods), tetapi telah bergeser menjadi komoditas (commodity) barang dagangan. Dengan kata lain sebagai barang dagangan status atau kategori rombengan atau pakaian “awul-awul” bukan lagi barang bebas, tetapi telah sedemikian rupa bergeser menjadi barang ekonomi – barang yang dikelola dan digerakkan dalam sistem dan mekanisme pertukaran ekonomi untuk mendapatkan nilai ekonomi atau keuntungan tertentu. Demikian halnya untuk mendapatkan pakaian bekas orang sudah pasti harus menukarkannya dengan sejumlah uang. Dengan demikian pakaian bekas, rombengan, atau pakaian “awul-awul” sebagaimana beredar luas dan dikonsumsi oleh masyarakat Yogyakarta pada umumnya tidak lain adalah merepresentasikan realitas perdagangan. Perubahan status pakaian bekas dari barang (goods) menjadi rombengan, dagangan, atau komoditas, pada saat yang sama mengacu pada keberadaan nilai tukar (exchange value) suatu barang. Dalam hal ini pakaian bekas atau rombengan memiliki fungsi karena ia bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Melalui sistem dan mekanisme pertukaran sebagaimana terjadi di pasar, nilai guna inilah yang kemudian dihargai dengan nilai tukar ekonomis (yang dalam wujud konkretnya dikenal dengan
uang). Keberadaan nilai guna sebagaimana melekat dalam
komoditas umumnya sangat disadari oleh para penjual pakaian bekas dan enjadi orientasi utama mereka dalam menjajakan atau memerjualbelikan dagangannya. Karenanya keberadaan nilai ini pulalah yang menjadi dasar keberadaan pakaian dalam masyarakat Yogyakarta. Di sisi lain sebagai komoditas, rombengan juga memiliki nilai fungsi (sign function). Dalam pengertian ini rombengan tidak saja memiliki nilai guna (dan nilai 57
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tukar) tetapi juga nilai tanda (sign). Selain bisa dipakai memenuhi kebutuhan fungsional ia juga bisa dipakai sebagai alat atau instrumen untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat simbolik, kebutuhan akan prestige. Keberadaan akan nilai tanda ini paling dirasakan konsumen, sekaligus menjadi dasar bagi mereka untuk mengkonsumsi suatu barang.18 Dengan demikian pakaian bekas dikonsumsi bukan saja karena fungsi instrumentalnya tapi juga nilai simboliknya. Sampai di sini jika sebelumnya bahwa alasan atau motif penggunaan rombengan pertama-tama didasarkan pada harganya yang murah atau terjangkau secara finansial, aktivitas itu pun didorong oleh adanya nilai tanda yang melekat di dalamnya. Nilai inilah yang akan dipertahankan konsumen dari rombengan.
A.4. Membawakan Si Rombeng
Pakaian dibeli sudah pasti dimaksudkan untuk dikenakan. Demikian halnya dengan pakaian bekas, rombengan, atau pakaian “awul-awul”. Pada satu kesempatan pakaian semacam itu pun saya pakai untuk mengikuti perkuliahan di kampus. Momen ini menjadi momen yang paling menggetarkan dan sulit dilupakan. Hal itu dikarenakan bahwa sekuat apapun upaya saya menyiasati rombengan; sehebat apapun usaha saya membawakan rombengan; di mata kawan-kawan saya identitas pakaian bekas atau rombengan itu ternyata masih menjadi sesuatu yang mencolok mata, sehingga dengan sangat mudah dan cepat mereka kenali.
Identitas ke-
“bekas”-an rombengan seperti murahan, kotor, dan “ora murwat” itu dengan cepat
18
Jean Baudrillard (1981), For A Critique of The Political Economy of the Sign, terj. Charles Levin, USA: Tellos Press Ltd., hlm. 66.
58
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dan gampang bisa mereka “endus”. Untuk membedakan mana pakaian baru dan mana pakaian bekas atau rombengan rupa-rupanya bukan merupakan satu hal yang sulit bagi kawan-kawan saya. Identitas ke-“bekas”-an yang melekat dalam rombengan atau pakaian “awul-awul” ibarat noda getah membandel yang membekas pada sebuah kain yang tetap menempel dan sama sekali tidak bisa dibersihkan meski telah dicuci ribuan kali. Tidak pelak saya pun kemudian sering menjadi bahan gunjingan di antara teman-teman kampus. Gunjingan yang kemudian mereka kemukakan secara verbal dalam bentuk sindiran dan olok-olok. Saya disindir dan diolok-olok sebagai anggota Perguruan Kaypang – nama perguruan silat yang terdiri dari para pengemis dengan ciri uniform tambal-tambal sebagaimana diilustrasikan dalam cerita silat karya mendiang Asmaraman Soekawati alias Kho Ping Hoo dari Solo yang terkenal di tahun 1980-an. Gunjingan dan olok-olok sebagaimana disampaikan teman-teman saya itu sudah pasti bukanlah merupakan ekspresi kebencian, tetapi tak beda jauh dengan celetukan. Keduanya
sudah barang pasti hanya dimaksudkan sebagai
semacam gurauan. Gunjingan dan olok-olok teman itu terkadang saya rasakan cukup mengganggu. Hanya saja menghadapi gunjingan teman-teman saya memilih untuk tutup mulut. Reaksi saya tersebut merupakan ungkapan sikap saya dalam membutatulikan komentar dan ulah teman-teman. Akan tetapi, bagaimana halnya jika harus berhadapan dengan para pembesar kampus seperti dosen, dekan, atau rektor? Sosok yang selain “berwibawa” di depan mahasiswa suka juga main kuasa, seperti halnya mengharuskan para mahasiswanya untuk berpakaian secara “baik dan benar”: bersih, rapi, dan formal. Persis sebagaimana bunyi peringatan yang terpampang di pintu ruang kerja mereka: 59
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“Hanya Mahasiswa/siswi Berpakaian Pantas dan Sopan Yang Akan Dilayani”. Atau juga saat harus melakukan konsultasi pengisian KRS (Kartu Rencana Studi), menerima KHS (Kartu Hasil Studi), konsultasi skripsi, atau urusan kegiatan kampus lainnya? Bagaimana pula halnya jika tiba-tiba harus didaulat mewakili kampus berada di depan audiens membawakan makalah dalam sebuah seminar? Atau kegiatan wajib berupa mengunjungi pacar tercinta? Olok-olokan yang datang dari teman-teman dan peringatan para pembesar kampus itu rupanya menggarisbawahi
pada satu kenyataan, bahwa berpakaian
semata-mata bukan hanya berarti mengenakan pakaian. Lebih dari itu, berpakaian berkait berkelindan dengan cara kita mengolah penampilan. Ungkapan tentang beradab atau barbar, kaya atau miskin, intelek atau tidak intelek, tiba-tiba hadir bukan karena hal-hal yang berkaitan dengan perilaku, kekayaan, atau luasnya pengetahuan yang kita miliki, melainkan karena pakaian yang kita kenakan. Identitas yang diberikan orang lain lebih dulu terhubung dengan penampilan yang kita bawakan lewat pakaian. Di antara pelbagai ragam ejekan, olok-olok, dan perintah untuk “berpakaian sopan”,
rombengan yang saya pakai rupa-rupanya
belum bisa membawa diri saya pada berada dalam situasi dan kondisi sebagaimana yang diinginkan umum; situasi dan kondisi yang wajar. Apa yang saya rasakan adalah bahwa rombengan yang saya kenakan rupanya masih tetap membebani dan “menjebloskan” saya pada sebuah abnormalitas. Abnormalitas tersebut tidak terbatas mengacu pada pengertian persoalan sistem berpakaian, tetapi lebih jauh menyentuh pada nilai yang berakar pada penampilan (identitas). Rombengan yang saya kenakan seolah-olah mematok diri saya sebagai warga kelas dua, bahkan “pidak pejarakan” alias miskin papa. Karena rombengan 60
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang saya kenakan, saya merasa bahwa saya tengah membawakan diri selayaknya orang yang belum jadi orang. Identitas pakaian bekas, rombengan, atau pakaian “awul-awul” yang bekas, kotor, cacat, murahan, dan tidak hiegienis seolah-olah tetap melekat dan telah sedemikian rupa mengontaminasi diri saya. Diri saya seolah menjadi benar-benar tercemar karena rombengan yang saya pergunakan. Rombengan kala itu benar-benar saya sadari sangat mengendala gerak dan kebebasan saya manakala harus berhubungan atau melakukan komunikasi dengan orang lain di luar diri saya. Kendala yang menimpa saya itu pada gilirannya menjadi sesuatu yang sudah semestinya saya terima sebagai sebuah kewajaran atau kesemestian. Buah dari penyimpangan atau kecemaran yang saya lakukan karena menggunakan rombengan. Semuanya menjadi sesuatu yang sudah sepantasnya saya terima secara natural atau sudah semestinya menimpa dalam diri saya. Dihadapkan pada kenyataan dan bayangan semacam itu, saya pun dengan terpaksa harus “menyerah”. Berdamai dengan keadaan.
Memilih langkah kompromi. Pada waktu-waktu selanjutnya
pakaian bekas atau rombengan itu pun tidak saya pakai lagi sebagai pakaian utama, melainkan lebih sebagai pakaian cadangan. Sebagai sebuah pakaian cadangan, rombengan itu pun hanya akan saya pakai untuk bermain atau melibatkan diri dalam kegiatan ekstra-kurikuler. Sebuah aktivitas dan lingkungan yang tidak banyak menuntut formalitas atau bahkan sama sekali tidak menekankan unsur kerapian, ketrandy-an, atau kebaruan dalam berpakaian. Sebuah lingkungan yang jauh dari kesan mulia dan dekat dengan kesan barbar, tidak berkelas, atapun sama sekali tidak intelek!
61
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
B. Ngrombèng Kini
B.1. Latar Belakang Ngrombèng
Sebagai salah satu cara orang berhubungan dengan pakaian bekas, ngrombeng terus berlanjut sampai saat ini. Ngrombeng pada masa kini masih menjadi sebuah aktivitas yang mendapatkan banyak perhatian atau antusiasme publik. Preposisi ini tidak dimaksudkan sebagai pernyataan bahwa ngrombeng sebagaimana terjadi pada masa kini tidak ada perbedaan atau tidak mengalami perubahan sama sekali dibanding dengan ngrombeng pada zaman dulu, melainkan justru sebaliknya. Pada masa kini ngrombeng masih bisa ditempatkan sebagai aktivitas yang merepresentasikan keterpaksaan konsumsi sebagaimana halnya dulu. Hanya saja keterpaksaan konsumsi sebagaimana direpresentasikan lewat ngrombeng kini tidak menempuh arah yang sama seperti dulu. Ngrombeng saat ini tidak lagi berkaitan dengan desakan kebutuhan akan pakaian yang terhambat karena keterbatasan kemampuan finansial. Seiring dengan kecenderungan pasar kurun mutakhir, faktor kemampuan atau keterbatasan finansial bukan lagi menjadi problem utama yang dihadapi konsumen dalam memenuhi kebutuhan mereka akan pakaian pada umumnya. Melalui mekanisme discount atau rabat sebagaimana lazim berkembang dalam model dan bentuk pertukaran modern saat ini, pasar ibarat malaikat pemberi syafaat kepada para konsumen. Ia memberikan jalan keluar elegan kepada para konsumen dalam mengatasi problem konsumsi; terutama berkaitan dengan persoalan aksesibilitas terhadap komoditas yang muncul karena keterbatasan finansial 62
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebagaimana dulu mengendala mereka. Dalam hal ini pasar bahkan tidak saja memberikan kemudahan tetapi sekaligus “kedaulatan” seluas-luasnya kepada para konsumen untuk mengkonsumsi pelbagai komoditas baru sesuai dengan apa yang mereka inginkan tanpa direcoki lagi dengan persoalan harga. Dengan kata lain pasar memberikan kemampuan kepada para konsumen untuk mengatasi persoalan harga, sehingga bagi mereka proses konsumsi tidak lagi menjadi aktivitas yang problematik. Jika demikian halnya yang terjadi, lalu apa yang mendorong atau melatarbelakangi konsumen untuk mengkonsumsi pakaian bekas atau ngrombeng pada masa kini? Apa yang menonjol dari ngrombéng pada masa kini adalah bahwa aktivitas itu tidak lagi didorong atau dilatarbelakangi oleh desakan kebutuhan yang bersifat material ekonomis sebagamana halnya di era 90-an. Apa yang kemudian menonjol dengan ngrombeng pada masa kini adalah bahwa aktivitas itu pada saat ini lebih didorong atau dilatarbelakangi oleh hal-hal yang lebih bersifat psiko-sosial. Hal semacam itu secara jelas tampak pada bagaimana konsumen memahami dan menempatkan pengertian kebutuhan di tengah-tengah masyarakat yang telah sedemikian rupa dipenetrasi oleh kekuatan pasar.
Dari aras ini ngrombéng
sebagaimana berlangsung dalam masyarakat pada masa kini tidak lagi dimaksudkan untuk menjawab tuntutan kebutuhan dasar yang bersifat fungsional-praktis, sebagaimana akan dipenuhi atau dicukupi dengan hal-hal yang bersifat teknis. Ngrombéng sebagaimana berlangsung sekarang lebih banyak menunjukkan sebagai sebuah upaya konsumen dalam memenuhi tuntutan kebutuhan dasar yang bersifat simbolik, yang dipenuhi dengan hal-hal bermakna.
63
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
B.2. Motif Ngrombeng
Sebagaimana berkaitan dengan gagasan sebelumnya, alasan yang mendasari aktivitas ngrombéng pada saat sekarang ini tidak lagi semata-mata diletakkan pada pertimbangan yang bersifat ekonomis. Ngrombéng sebagaimana dilakukan oleh para pengguna pakaian bekas tidak semata-mata didorong oleh perhitungan mendapatkan kemurahan atau penghematan. Dengan kata lain aktivitas ngrombéng pada masa kini masih saja memuat unsur pertimbangan yang bersifat ekonomis seperti halnya dulu. Pertimbangan kemurahan atau penghematan sudah pasti masih tetap memengaruhi dasar pertimbangan mengapa orang membeli pakaian bekas atau rombengan. Hanya saja motif semacam itu sudah tidak lagi terlalu menonjol sebagaimana dulu. Hal ini bisa dikaitkan dengan perkembangan model dan bentuk konsumsi mode modern saat ini yang mulai banyak dan bisa diakses tanpa memerthitungkan disparitas harga sebagaimana dulu. Masuknya baju-baju buatan China (sekarang kembali lagi ke nama RRT) dalam kondisinya yang baru dan memiliki harga yang sangat kompetitif atau murah, kiranya bisa dipakai untuk memerkuat argumen ini. Baju-baju buatan RRT sebagaimana berkembang di pasar secara amat luas telah banyak melahirkan pasarpasar lokal baru. Melalui meanisme perdagangan hadirnya baju-baju buatan RRT ini telah melahirkan banyak pelaku-pelaku bisnis pakaian lokal terlibat di dalamnya. Demikian selanjutnya dari para pelaku perdagangan dan pasar pakaian buatan RRT itu memiliki sifat yang sangat jelas: harganya sangat murah. Seandainya motif yang mendasari penggunaan pakaian bekas atau adalah demi penghematan atau kemurahan, dengan selisih harga pakaian bekas yang tidak terpaut jauh atau bahkan 64
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sama dengan harga pakaian baru buatan China, dipastikan para pembeli pakaian bekas akan berpindah orientasi dan berbondong-bondong melakukan migrasi konsumsi terhadap pakaian buatan RRT atau pakaian sejenis yang memiliki harga murah. Aktivitas ngrombéng kini lebih didasarkan pada alasan atau pertimbangan yang bersifat sosio-kultural, yakni demi kelayakan atau gengsi. Dari konteks ini upaya pemenuhan kebutuhan sebagaimana dilakukan oleh para konsumen lewat cara ngrombéng tidak berhenti pada dihasilkannya kepuasan yang semata-mata bersifat ekonomis, melainkan juga juga bersifat sosio-kultural. Dalam pengertian semacam ini, aktivitas ngrombéng bisa dianalogikan sebagai sebuah aktivitas atau upaya konsumen untuk memeroleh tiket sebagaimana dipersyaratkan oleh dunia sosial dan budaya yang mereka perlukan manakala mereka kelak harus terlibat di dalamnya. Keberhasilan para konsumen dalam memenuhi kebutuhan semacam itu pada gilirannya akan melahirkan efek balik kepada konsumen berupa penerimaan dan pengakuan sosio-kultural.
B.3. Pelaku Ngrombeng
Perubahan latar belakang dan motif ngrombéng sebagaimana diutarakan di atas pada gilirannya berpengaruh pada pola dan ruang lingkup penggunaan pakaian bekas atau rombengan dalam masyarakat pada umumnya. Bagaimana ruang lingkup ngrombéng saat ini? Seberapa luas ruang lingkup dan cakupan ngrombéng saat ini? Siapa saja yang terlibat di dalam aktivitas ngrombéng pada masa kini? Saat ini ngrombéng tidak bisa lagi ditempatkan sebagai aktivitas yang semata-mata 65
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mencerminkan aktivitas yang dilakukan oleh kelompok sosial tertentu, dalam hal ini masyarakat menengah-bawah. Aktivitas itu kin telah sedemikian rupa berkembang atau melebar hingga keluar dari batasan kelompok tersebut. Berdasarkan hasil observasi lapangan, diketahui bahwa para pelaku ngrombéng pada masa kini tidak lagi didominasi oleh kelompok masyarakat yang datang dari strata sosial ekonomi menengah-bawah, melainkan juga melibatkan kelompok masyarakat dari strata sosial dan ekonomi atas. Pengguna pakaian bekas atau rombengan sebagaimana berlangsung pada saat ini tidak hanya terbatas pada orang-orang yang memiliki keterbatasan atau hambatan ekonomi finansial sebagaiamana halnya pada masa lalu. Para pelaku atau pengguna pakaian bekas pada saat ini juga meliputi orang-orang yang memiliki ketercukupan secara ekonomi finansial. Para pengguna pakaian bekas atau rombengan saat ini tidak hanya terbatas di kalangan para pegawai negeri golongan rendah seperti pesuruh dan penjaga malam; para pekerja swasta dan domestik seperti penjaga toko, pelayan rumah makan, kuli bangunan, tukang becak, pembantu rumah tangga; serta para pelajar dan mahasiswa miskin sebagaimana dominan terjadi pada waktu sebelumnya. Para pengguna pakaian bekas atau rombengan saat ini meliputi orangorang dengan pelbagai ragam macam profesi dan background sosial ekonomi yang berkecukupan, yakni mulai para mahasiswa yang datang dari keluarga kaya, musisi (pemain band), guru, dosen, pegawai departemen, polisi, tentara, perawat, pegawai bank, bahkan hingga dokter. Dari uraian sebagaimana dikemukakan di atas ruang lingkup ngrombéng sebagaimana berkembang dalam masyarakat pada masa kini sudah bersifat lintaskelas atau lintas-kelompok sosial. Perkembangan penggunaan pakaian bekas atau 66
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ngrombéng di tengah masyarakat Yogyakarta saat ini telah sedemikian rupa melampaui sekat-sekat kelompok baik dalam pengertian kelas sosial maupun ekonomi yang dulu menganga secara diametral. Demikian halnya ngrombéng pada saat yang bersamaan juga memiliki kekuatan dalam memertemukan, atau bahkan menghancurkan gap kepentingan yang berkembang di kedua kelompok sosial yang pada masa lalu terbentang secara tajam. Perubahan ini kiranya menegaskan bahwa aktivitas ngrombéng sebagaimana berlangsung pada masa kini telah sedemikian rupa tertancap atau terterima secara sosio-kultural sebagai bagian dari sejarah konsumsi masyarakat secara luas. Dengan demikian aktivitas ngrombéng itu pun saat sekarang telah berkembang sedemikian menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Yogyakarta pada umumnya.
B.4. Ruang Hidup Ngrombeng
Memasuki awal tahun 2000-an, pakaian bekas atau pakaian “awul-awul” mengambil bentuk dan ruang hidup yang sama sekali berbeda dari kurun waktu sebelumnya. Pakaian bekas atau pakaian “awul-awul” yang ada kini tidak lagi diperdagangkan di atas lapak atau terpal dan di pajang begitu saja di sepanjang trotoar, emperan toko, atau los-los pasar tradisional yang kotor, berdenu, kumuh, dan gelap. Pada awal 2000-an pakaian bekas atau pakaian “awul-awul” itu mulai mengambil tempat di gerai-gerai pakaian sebagaimana lazimnya kios-kios pakaian pada umumnya. Dalam wujud sebagaiman yang sekarang ini, pakaian bekas, rombengan, atau pakaian “awul-awul” itu memerkenalkan diri kepada khalayak ramai warga masyarakat Yogyakarta dalam citra atau nada yang jauh lebih 67
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“murwat”, lebih pantas, dibandingkan dengan pada waktu-waktu sebelumnya. Pakaian “awul-awul” saat sekarang ini memerkenalkan diri dalam beragam nama yang cukup memikat. Nama-nama yang paling kerap mereka pajang dalam spanduk rentang mereka adalah: “pakaian sisa import”, “pakaian eks import”, “pakaian second”, atau “second hand clothes”.19 Gambar 3a Pakaian Bekas Kini
Di sebuah rumah limasan mentereng, persis di depan Kecamatan Nganpila, mereka bilang: “ex import!”
Di gerai-gerai dengan ukuran luas yang bervariasi, pakaian bekas itu kini diperlakukan dengan cara yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Ia tidak lagi dibiarkan terserak apa adanya, teronggok di karung, atau menggunung secara awulawulan di atas plastik dan terpal, tetapi digantung dengan menggunakan hanger dan
19
Istilah-istilah ini saya nukil dari tulisan sebagaimana tertera pada spanduk yang dibentangkan oleh para pedagang di gerai atau kios mereka.
68
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dikaitkan pada rak gantung yang terbuat dari aluminium atau logam. Di sela-sela gantungan ditempatkan juga banyak sekali obat pengharum dan obat penyerap air. Pakaian bekas itu pun dipilah-pilah atau diklasifikasikan sesuai dengan kelompok umur atau jenis kelamin pengguna, serta diletakkan secara teratur dalam sebuah barisan. Ada juga di antara pakaian bekas itu yang dilipat dan ditempatkan di rak yang terbuat dari kayu panjang bertingkat dengan pola dan susunan yang rapi. Tidak ketinggalan di gerai itu juga terdapat sebuah bilik berpintu yang terbuat dari papan yang dilengkapi dengan gantungan baju dan sebuah cermin berukuran satu badan yang dikhususkan bagi para konsumen untuk berpantas diri.
Gambar 3b Pakaian Bekas Kini
Mereka pun bicara penuh dengan Bahasa Inggris
Jika pada waktu sebelumnya perdagangan pakaian bekas hampir semuanya dijalankan melalui sistem dan mekanisme pertukaran konvensional sebagaimana halnya sarthir, sejak awal tahun 2000-an mereka telah melakukan transformasi 69
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bentuk yang luar biasa. Pakaian bekas sebagaiman dalam perwujudannya sekarang telah sedemikian rupa hadir dalam corak penampilan baru dan manajemen perdagangan yang cukup modern. Dari puluhan gerai pakaian bekas sebagaimana tersisa di pelbagai penjuru kota Yogyakarta, hampir semuanya mengadopsi pola menejemen baru. Hal itu salah satunya bisa dilihat dari penggunaan karyawan yang diikat dalam kontrak disertai dengan tugas, jam kerja, dan gaji yang cukup jelas. Karyawan yang dimaksudkan adalah tenaga-tenaga kerja yang diadopsi dari sekitar tempat mereka berdagang. Akan tetapi tidak jarang ada juga mereka yang datang dari luar kota atau luar kabupaten. Tenaga-tenaga lokal itu pada umumnya oleh sang pemilik gerai atau para pedagang rombengan kemudian dipekerjakan sebagai pramuniaga.
Gambar 3c Pakaian Bekas Kini
Mbak-mbak yang siap dan sigap membantu dan meyakinkan konsumen di “Sandang Murah”, Jl. Adiscipto dan “Sandang Murah”, Jl. P. Diponegoro.
70
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tugas utama para pramuniaga adalah melayani dan membantu konsumen pada saat memilih atau membeli rombengan, di samping menata ulang pakaian sebelum dan setelah gerai buka. Sedangkan jam kerja mereka mulai dari jam 8 pagi hingga sekitar jam 5 sore. Tenaga-tenaga kerja lokal itu menerima gaji dari para pedagang yang diterimakan setiap bulan dalam jumlah yang terbilang pantas.20 Di tengah beban hidup masyarakat yang semakin berat akibat hempangan krisis ekonomi sebagaimana ditandai dengan tingginya angka tuna karya karena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dan kian melemahnya daya beli masyarakat, perdagangan pakaian bekas mampu menyerap tenaga-tenaga kerja lokal. 21 Pengadopsian tenaga lokal sebagaimana dilakukan oleh para pedagang banyak mendapatkan respon positif dari masyarakat setempat. Di sisi lain langkah para pedagang tersebut sekaligus bisa dipakai untuk menaikkan modal sosial mereka yang akan bermanfaat dalam menjalankan dan menjaga keberlanjutan usaha mereka di kemudian hari. Rombengan sebagaimana beredar di tengah-tengah masyarakat Yogyakarta sekarang ini adalah pakaian yang sebagian besar mempunyai merk, gaya, dan model tertentu. Merk, gaya atau mode adalah nama lain dari memiliki ciri dan kekhususan, “memiliki nama” atau terkenal, dalam arti dikenal banyak orang, dikenakan banyak orang. Orang banyak yang dimaksudkan barangkali adalah orang-orang yang datang dari kalangan sosial ekonomi atas atau orang kaya. Atau setidaknya orang yang kaya, dalam arti memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam hal mengkonsumsi 20
Besarnya upah atau gaji yang diterimakan kepada para pekerja lokal bervariasi. Saya tidak berhasil menggali informasi pasti tentang besarnya gaji yang diterimakan Fadel kepada para pekerjanya. Ia hanya menggunakan istilah “pantas”. Dedi (pemilik gerai di Senuko yang juga memerkerjakan tenaga lokal), mengatakan bahwa upah yang diterimakan kepada karyawannya berkisar antara Rp. 250.000 s.d. Rp. 300.000 per bulan. Wawancara terpisah dengan Fadel dan Tedi, pada 23 Oktober 2010. 21 Baik Fadel maupun Dedi menjelaskan bahwa mereka memekerjakan 2 karyawan setiap gerai.
71
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pelbagai pakaian dengan merk atau model yang sudah terkenal. Dengan demikian aktivitas ngrombeng sekarang
ini tidak melulu berarti mengkonsumsi pakaian
perse, melainkan mengkonsumsi tanda. Dari aras yang sama kita juga mencatat adanya pergeseran status barang, dari status komoditas menjadi satus tanda (sign).
B.5. Membawakan Si Rombeng
Sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, pakaian bekas atau rombengan pada saat sekarang ini tidak saja digunakan oleh masyarakat dari kalangan menengah-bawah, tetapi juga dari kalangan atas. Dari aras ini menggarisbawahi kenyataan bahwa penggunaan rombengan telah mendapatkan akseptabilitas publik yang besar atau memiliki bentang cakupan yang semakin luas. Gejala ini sekaligus menegaskan tentang naiknya status pakaian bekas atau rombengan di tengah masyarakat. Status pakaian bekas atau rombengan di tengah masyarakat Yogyakarta saat ini tampak jauh lebih “terhormat” dibandingkan dengan waktu sebelumnya. Pakaian bekas kini seolah sejajar dengan pakaian baru. Ke“bekas”-an rombengan tidak lagi bisa begitu saja diidentikkan dengan identitas rombengan sebagai pakaian bekas. Saat ini pakaian bekas atau rombengan tidak lagi dilihat sebagai barang yang “ora murwat” (tidak layak). Pakaian bekas atau rombengan itu oleh banyak kalangan saat ini tidak lagi diidentikkan dengan sesuatu hal yang usang, kuno, cacat, kotor, bau dan tidak higienis seperti saat sebelumnya. Kemajuan di bidang teknologi kimia sebagaimana ditandai dengan munculnya pelbagai macam sabun cuci atau ditergen dan obat suci hama (desinfektan) yang belakangan banyak tersedia di pasar dalam pelbagai macam 72
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bentuk, kiranya secara signfikan ikut berperan dalam menentukan perubahan itu. Kemajuan teknologi di bidang sabun, deterjen, dan desinfektan menjadikan para pembeli atau pengguna rombengan kini tidak lagi risau dengan pelbagai kotoran atau noda yang melekat pada pakaian bekas. Demikian halnya kini mereka pun tidak lagi dihinggapi oleh perasaan was-was dengan pelbagai penyakit yang dimungkinkan ada dan muncul akibat penggunaan pakaian bekas yang mereka beli. 22 Para pengguna rombengan saat ini pun sama sekali tidak menunjukkan rasa sungkan atau ewuh pekewuh saat mengkonsumsi atau mempergunakan rombengan dalam hubungan atau komunikasi sosial. Sebaliknya, mereka bahkan tampak sangat terbiasa dan tetap percaya diri dalam mengkonsumsi atau menggunakan rombengan. Luasnya cakupan para pengguna pakaian bekas atau rombengan dalam masyarakat juga merefleksikan luasnya spektrum penggunaan rombengan. Saat ini pakaian bekas itu tidak lagi dipakai dalam situasi atau kesempatan terbatas sebagaimana terjadi pada masa lalu. Jika pada masa sebelumnya rombengan hanya dikenakan dalam situasi dan kesempatan yang bersifat non-formal dan sangat terbatas, kini ia bisa dan biasa dipakai oleh penggunanya dalam situasi dan kesempatan yang bersifat resmi atau formal. Para konsumen pakaian bekas kini dengan santai bisa mengenakan baju, kaos, celana atau jas bekas untuk kuliah, praktik kerja lapangan, mengunjungi teman yang tengah dirawat di rumah sakit, menghadiri resepsi pernikahan, atau pun menonton film di bioskop bersama pacar
22
Seiring booming-nya pakaian “awul-awul”, masyarakat dunia dihebohkan dengan mewabahnya penyakit SARS (Server Acute Respiratory Syndrome) yang pertama kali muncul di Provinsi Guangdong, China pada tahun 2002. Penyakit yang disebabkan oleh virus dan menyerang pernafasan hingga mengakibatkan kematian itu mewabah sampai ke Eropa. Meski sempat mencabut nyawa satu orang, di Indonesia penyakit itu sama sekali tidak memiliki efek apapun. Proses jual beli pakaian “awul-awul” yang sempat dituding sebagai bagian dari penyebaran penyakit tetap berjalan seperti biasa. Tentang SARS lihat www.News-medical.net/SARS diakses pada 21 Juni 2010.
73
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
atau teman. Demikian halnya perlakuan pengguna terhadap pakaian bekas atau rombengan pun berubah. Saat ini pakaian bekas oleh para konsumen atau penggunaya tidak hanya ditempatkan sebagai pakaian cadangan, tetapi justru dikenakan sebagai pakaian utama. Luasnya cakupan penggunaan pakaian bekas juga merefleksikan tingkat akseptabilitas publik terhadap keberadaan pakaian bekas di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Jika pada masa awal keberadaannya pakaian bekas belum bisa mengangkat derajat penggunanya dalam komunikasi sosial, kini yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. Seiring dengan kaburnya batas-batas kelas atau kelompok sosial para pengguna rombengan, saat ini mereka tampak lebih percaya diri dalam membeli atau menggunakan rombengan. Para konsumen itu kini bisa secara leluasa membawakan rombengan dalam pelbagai waktu dan kesempatan yang jauh lebih luas. Para pengguna pakaian bekas itu kini tidak lagi hanya menggunakan rombengan dalam situasi yang bersifat non-formal, tetapi juga dalam situasi dan kesempatan yang bersifat formal atau resmi. Seiring dengan naiknya status rombengan, maka status pengguna rombengan pun tidak sebagaimana halnya dulu.
Saat ini para pengguna rombengan tidak
bernasib sama dengan apa yang menimpa para pengguna rombengan pada masa lalu. Para pengguna rombengan kini tidak lagi dianggap sebagai orang yang abnormal tetapi sebaliknya dianggap sebagai orang yang melek terhadap permasalahan mode (dalam pengertian model atau fesyen). Di kalangan kalangan anak muda, para pengguna pakaian bekas ini kini bahkan diterima sebagai semacam trendsetter dunia mode tanpa perlu berlenggak-lenggok di catwalk.layaknya peragawan atau peragawati. Para pengguna rombengan itu kini tidak lagi terhambat dan terbebani 74
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan identitas pakaian bekas atau rombengan yang mereka kenakan dalam aktivitas keseharian mereka. Para pengguna pakaian bekas itu kini tidak lagi terjatuh sebagai warga kelas dua yang akan mendulang ejekan atau cibiran dari komunitas atau masyarakat luas. Dengan demikian saat ini status para pengguna pakaian bekas atau rombengan bahkan justru naik karena rombengan yang mereka kenakan.
75
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bab III PERGERAKAN DAN KOMODIFIKASI PAKAIAN BEKAS
Bagian ini menguraikan tentang seluk beluk perdagangan pakaian bekas dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer. Secara umum uraian dimaksudkan untuk menggambarkan scope kemungkinan sebagaimana disediakan pasar pakaian bekas dalam memberikan pilihan atau alternatif konsumsi mode kepada para konsumen. Untuk keperluan ini uraian selanjutnya diarahkan pada proses pertumbuhan dan pergerakan pakaian bekas dalam masyarakat. Sebagai pendukung uraian, dikemukakan data dan informasi terkait dengan perkembangan dan perubahan perdagangan pakaian bekas sebagaimana berlangsung dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer. Data yang dimaksudkan mencakup latar belakang historis, pola, intensitas, jumlah, area, lokasi, dan sebaran gerai pakaian bekas. Selain itu dikemukakan juga data dan informasi tentang latar belakang etnik para pedagang pakaian bekas dan jumlah gerai yang mereka kelola selama ini. Secara khusus uraian dimaksudkan untuk menggambarkan proses produksi atau komodifikasi pakaian bekas lewat perdagangan. Untuk keperluan ini uraian selanjutnya akan diarahkan pada proses produksi yang terjadi dalam perdagangan pakaian bekas. Sebagai pendukung uraian, selanjutnya akan dikemukakan data dan informasi terkait dengan proses dan teknik restorasi sebagaimana dilakukan oleh para pedagang dan data yang berkaitan dengan keragaman pakaian bekas yang meliputi: mode, model, brand, motif dan corak pakaian, jenis dan karakter bahan,
76
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
warna, kekhususan pengguna dan penggunaan, pakaian bekas yang paling laku atau paling diminati konsumen, serta kesan yang ditampilkan oleh pakaian bekas. Selain itu juga akan disampaikan informasi terkait dengan keragaman para konsumen atau pembeli pakaian bekas yang sekaligus merupakan responden penelitian ini.
A. Pertumbuhan dan Pergerakan Perdagangan Pakaian Bekas
A.1. Latar Belakang Sosio Historis
Sebagaimana disinggung pada Bab II perdagangan pakaian bekas yang dimaksudkan adalah dalam bentuknya sebagaimana sekarang. Perdagangan yang tidak lagi mengambil tempat di trotoar-trotoar jalan, emperan toko (pérko), dan loslos pasar tradisional
seperti pada pertengahan hingga akhir tahun 1990-an,
melainkan dalam bentuk gerai atau kios dengan tampilan yang lebih layak dan lebih menarik. Secara genealogis, pakaian bekas itu sendiri merupakan percampuran antara pakaian bekas pakai dan pakaian reject atau pakaian yang tidak lolos uji kelayakan import dari perusahaan pakaian karena mengalami kecacatan. Kedua jenis pakaian bekas itu didatangkan oleh para importir pakaian bekas dari sejumlah negara Eropa, Amerika, Australia, dan Asia. 1 Dalam masyarakat Yogyakarta pakaian bekas itu kemudian dipromosikan sendiri oleh para pedagangnya dalam beberapa nama atau sebutan seperti: “pakaian import”, “pakaian ex import”, “pakaian second”, atau “second hand clothes”. 1
Sebagai perbandingan periksa B. Linne Milgram (2005) “Ukay-ukay Chic: Tales of Second Hand Clothing Fashion and trade in the Philppine Cordillera” dalam Alexander Palmer dan Hazel Clark (eds.), OldClothes, New Looks: Second Hand Fashion. Oxford-New York: BERG, hlm. 135-153. Lihat kembali bagian tinjauan pustaka dalam Bab I.
77
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pasca “testing the water” selama satu tahun (1998-1999), perdagangan pakaian bekas di Yogyakarta mengalami masa keemasan (booming). Sejak akhir 90an hingga pertengahan tahun 2000-an perdagangan pakaian bekas berkembang pesat. Hampir di setiap pojok kota berderet gerai-gerai pakaian bekas. Selama lima tahun ke belakang jumlah gerai pakaian yang ada diperkirakan lebih dari 400 buah. Penurunan baru tampak pada tahun 2005 dan sesudahnya. 2 Sejauh ini ada dua sebab yang mengontribusi penurunan tersebut. Pertama, terkait
dengan terbitnya
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Kepmenperindag) No. 642/MPP/ Kep./9/ 2002 yang ditandatangani oleh menteri Rini Soewandy yang intinya melarang aktivitas perdagangan pakaian bekas.3 Larangan itu merupakan respons atas protes para pengusaha tekstil tanah air yang tergabung dalam Asosisasi Pertekstilan Indonesia (API) yang menolak perdagangan pakaian bekas karena dianggap “berpotensi mengancam industri garmen tanah air”.4 Implikasinya perdagangan pakaian bekas pun kemudian masuk dalam kategori sebagai kegiatan kriminal. Pasca pemberlakukan Kepmen tersebut penyitaan, dan pembakaran berbalbal pakaian bekas, dan penutupan jalur masuk atau import pakaian bekas secara 2
Perkiraan ini disampaikan Fadel, pemilik gerai “Sandang Murah”, yang waktu itu berperan sebagai salah satu distributor. Ia menyatakan bahwa permintaan para pengecer awalnya dicatat rapi dalam sebuah buku. Belakangan buku itu hilang sehingga pendokumentasian hanya dilakukan apa adanya, yakni hanya dalam sobekan kertas atau bekas kalender. Wawancara pada 14 Mei 2010. 3 Keputusan itu merupakan pembaharuan Kepmerindag No. 230/MPP/Kep./7/1997 yang diperbarui lagi menjadi Kepmenperindag No. 732/MPP/Kep./10/2002, Kepmendag No. 44/M-Dag/Per./10/2008, dan Kepmendag No.56/M-Dag/Per./12/2008. Perubahan terkait dengan pemisahan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian menjadi Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan pada tahun 2007. Periksa http://www. kemendag.go. id /publikasi _regulasi/; diakses pada 12 Mei 2010. 4 Protes API ini dikemukakan kepada Presiden Megawati dalam pertemuan dengan HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) di Jakarta. Banyak pengamat menganggap keputusan itu berlebihan, karena garmen adalah sektor industri yang sangat tergantung pada import dan paling parah terkena krisis. Lihat, “API Protes Peredaran Pakaian Bekas”, Kompas.com, 19 Februari 2003; diakses pada 12 Mei 2010.
78
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
langsung di daerah-daerah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga terutama Malaysia, seperti di Entikong di Kalimantan, marak dilakukan oleh polisi atau pihak pabean.5 Reaksi pemerintah itu mendapat kritik dan penentangan dari banyak pihak terutama pedagang pakaian bekas. Protes terbesar datang dari pedagang pakaian bekas di Surabaya.
Para pedagang yang tergabung dalam Asosiasi Pedagang
Pakaian Bekas (APPB) Jawa Timur dan Front Aksi Mahasiswa memrotes kedatangan Menteri Perdagangan yang baru, Marie Pangestu, saat melakukan inspeksi mendadak ke Pasar Genteng, Surabaya pada 27 Oktober 2004. Meski mendapat banyak protes, rupanya ia lebih memilih berdiri di pihak API, dan tetap memberlakukan surat keputusan yang telah dikeluarkan oleh seniornya. 6 Meski menerima hambatan keras dari pihak aparat pemerintah berupa penyitaan dan pembakaran sebagaimana gencar dilakukan sejak tahun 2004, aktivitas perdagangan pakaian bekas dalam masyarakat tidak total terhenti. Seiring dengan meningkatnya represi pemerintah, perdagangan pakaian bekas masih tetap berjalan.7 Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa tindakan pemerintah itu secara signifikan ikut mengontribusi menurunnya tingkat perkembangan dan pergerakan perdagangan pakaian bekas dalam masyarakat. Penurunan itu salah satunya bisa dilihat dengan sangat jelas dari melambatnya laju pertumbuhan dan persebaran gerai pakaian bekas. Sebagai ilustrasi, apabila sebelum terbitnya larangan oleh pemerintah pertumbuhan gerai pakaian bekas baru bisa mencapai 8-9 buah per bulan, maka
5
Lihat “Pintu Impor Melalui Pos Lintas Batas Entikong Ditutup Perdagangan Turun Drastis”, Kompas.com; diakses pada 12 Mei 2010. 6 Lihat, “Pedagang Pakaian Bekas Demo Marie Pangestu”, www.gatra.com edisi 29/10/2004 diakses pada 20 Mei 2009. 7 Lihat, “Perdagangan Pakaian Bekas Impor Tetap Marak di Senen.”, bisnisjakarta.com, edisi 28 Juli 2004, diakses pada 20 Mei 2009. Meski dikategorikan sebagai kegiatan kriminal, faktanya belum satu pedagang pakaian bekas pun dikabarkan media ditangkap oleh aparat pemerintah.
79
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
setelah pelarangan pertumbuhan kemudian menurun menjadi hanya 1-2 buah per bulan.8 Penurunan juga tampak dari lambatnya perputaran pakaian bekas dalam masyarakat. Jika sebelumnya perputaran pakaian bekas bisa mencapai 14-15 bal per bulan, pasca larangan menurun drastis menjadi 5-7 bal per bulan.9 Represi pemerintah mengakibatkan volume pakaian bekas yang beredar di pasar mengalami penyusutan secara signifikan. Hampir semua pedagang kemudian mengalami kesulitan mencari atau kulakan pakaian bekas di jaringan pasar yang biasa mereka lakukan. Ketika barang ada di tangan, muncul problem baru. Harga kulakan pakaian bekas itu kini menjadi sangat tinggi. Jika sebelumnya harga kulakan hanya berada dalam kisaran Rp. 400.000 hingga Rp. 450.000 per-bal, sesudah adanya larangan pemerintah, harga itu melonjak hingga menembus angka Rp. 1,9 juta sampai Rp 2 juta per-bal. Seiring dengan kenaikan harga kulakan, para pedagang pakaian bekas itu pun mau tidak mau harus menaikkan harga jual barang dagangan mereka. Soal penyesuaian harga itu cukup disikapi dengan hati-hati oleh para pedagang, karena apabila dagangan mereka tidak bisa terserap di pasar atau dikonsumsi orang karena kendala harga, maka hal itu sudah pasti bisa menjadi bumerang bagi keberlanjutan usaha mereka. Kondisi di atas pada menjadikan perdagangan pakaian bekas berkembang dalam skema darwinisme, the survival of the fittest. Jika sebelumnya kelangsungan perdagangan pakaian bekas semata-mata hanya ditentukan oleh kekuatan para pedagang dalam memutarkan dagangannya, kini juga ditentukan oleh kemampuan 8
Wawancara dengan Fadel pada 14 Mei 2010. Bal adalah ukuran yang lazim dalam dunia garment. Volume bal bergantung pada jenis dan jumlah pakaian yang dimuatnya. Untuk kaos dan kemeja, 1 bal kurang lebih berisi 500 potong; untuk celana berbahan katun kurang lebih 350 potong; celana berbahan denim/jeans kurang lebih 120-150 potong, dan jaket (berbahan denim atau kulit) 1 bal kurang lebih 100-130 potong. Wawancara dengan Dedi, pemilik gerai NN (tanpa nama) di Senuko, Godean pada 10 Mei 2010. 9
80
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mereka dalam menjaga kontinyuitas akses terhadap pakaian bekas di pasar yang harganya menjadi semakin mahal. Bagi pedagang bermodal cukup hal yang demikian bukan merupakan persoalan sehingga mereka tetap bisa bertahan. Akan tetapi sebaliknya, bagi pedagang yang tidak kuat secara permodalan hal itu akan menimbulkan masalah yang tidak sederhana. Menghadapi hal semacam itu ada sebagian pedagang yang kemudian menempuh upaya penyelamatan dengan cara menjual satu jenis pakaian bekas tertentu. Sementara sebagian lainnya secara tragis terpaksa harus gulung tikar. Para pedagang ini
harus menjual sisa rombengan
berikut gerainya kepada pedagang lain yang memiliki modal lebih besar.10 Kedua, berkenaan dengan keterlibatan Indonesia di dalam persepakatan perdagangan bebas negara-negara ASEAN dengan China (ACFTA, ASEAN-China Free Trade Agreement); yang ditandatangani oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 November 2009. Sebuah persepakatan yang tidak saja berimplikasi pada membanjirnya pelbagai produk China, termasuk pakaian, ke Indonesia, tetapi juga membuka kemungkinan kepada para pedagang garmen Indonesia beralih profesi sebagai importir.11 Harga yang sangat kompetitif (baca: murah) dan jaminan legalisasi secara Government to Government yang menjanjikan keleluasaan akses dan keberlanjutan usaha tak pelak mampu menyedot animo para pedagang pakaian. Hal itu pulalah yang kemudian mendorong sebagian pedagang
10
Fadel adalah satu-satunya pedagang pakaian bekas yang paling ulet dan masih tetap berjaya hingga saat kini. Di bawah nama atau bendera “Sandang Murah”sampai sekarang ini Fadel memiliki atau menggoperasikan 9 gerai pakaian bekas sebagaimana tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta. Sebagian gerainya dibeli dari temannya yang beralih usaha atau gulung tikar. Wawancara, pada 14 Mei 2010. 11 Selain pakaian, juga kendaraan bermotor, alat-alat elektronik, makanan, dan buah-buahan. Lihat “Presiden: ACFTA Bukan Ancaman, Tapi Peluang”, Kompas.com 2 April 2010. Juga “ACFTA Diteken, Realisasi Investasi China ke Indonesia Meningkat”, Kompas.com 3 April 2010. Keduanya diakses pada 11 April 2010.
81
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pakaian bekas meninggalkan usaha lamanya dan terlibat sebagai distributor dan pengecer. Di pasar Beringharjo, sampai saat ini, aktivitas perdagangan pakaian asal China itu banyak melibatkan para eks pedagang pakaian bekas.
A.2. Jumlah, Area, Lokasi dan Sebaran Perdagangan Pakaian Bekas
Gerai pakaian bekas di Yogyakarta yang sejauh ini bisa dijangkau lewat penelitian lapangan tercatat sebanyak 57 buah.12 Dari total keseluruhan gerai yang ada 40 buah (70%) di antaranya dilakukan dalam manajemen keluarga, dalam arti hanya terbatas melibatkan satu keluarga (batih, familiy) yang di dalamnya terdiri dari: suami, isteri, dan anak atau saudara. Sementara itu 17 buah sisanya (30%) dikelola dalam manajemen yang relatif modern. Hal itu bisa dilihat dari cara pedagang melibatkan sejumlah tenaga kerja lokal Yogyakarta yang mereka pekerjakan sebagai pramuniaga seperti halnya pada awal 2000-an. Dari ke-17 gerai pakaian bekas sebagaimana disebutkan dalam kategori terakhir 9 buah di antaranya berada di bawah bendera dagang “Sandang Murah” milik Fadel; 3 buah di bawah nama “Mega Obral”, “Anissa Collection” dan “Annisa Fashion” milik Tedy; 5 buah di bawah nama “Top Obral”, “Vina Collection”, dan 3 buah sisanya berada di bawah payung “XX” (baca: tanpa nama) sebagaimana dimiliki oleh Amrizal. Sejak awal kemunculannya perdagangan pakaian bekas berkembang melalui jalur rantai. Kegiatan itu melibatkan tiga pelaku dan tiga peran dengan tanggung jawab yang berbeda, yakni: pengepul (grosir), perantara (distributor), dan pengecer. Untuk posisi grosir masing-masing dipegang oleh tiga orang, yakni: Haji Haryono 12
Ke-57 gerai rombengan atau pakaian bekas ini bisa dilihat pada Lampiran.
82
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang berdomisili di Kediri, Jawa Timur; Fredi yang berdomisili Pasar Tanah Abang, Jakarta; dan Reinhard Simanjuntak yang berdomisili di Medan, Sumatera Utara. Di lapangan Haji Haryono berperan mengoordinasi seluruh perdagangan pakaian bekas untuk wilayah Jawa dan Madura, sementara Fredi mengawaki seluruh perdagangan pakaian bekas di wilayah Jakarta dan Bandung, dan Reinhard Simanjuntak mengendalikan seluruh perdagangan pakaian bekas di wilayah Sumatera. Fadel, Tedy, dan Amrizal, awalnya adalah distributor untuk wilayah Yogyakarta di bawah koordinasi Haji Haryono. Pasca pelarangan dari pemerintah, ketiganya memutuskan memilih menjadi pengecer dengan cara membuka gerai pakaian bekas sendiri. 13 Gambar 4a Gerai Pakaian Bekas di Dalam Kota
Gerai Pakaian Bekas “Murah Obral”, Jl. Sultan Agung.
`Dari ke-57 gerai pakaian bekas sebagaimana diidentifikasikan di lapangan tersebar di tiga area, yakni: dalam kota, pinggir kota, dan luar kota. Area dalam kota adalah daerah yang secara administratif termasuk wilayah Kota (atau provinsi). Area pinggir kota adalah daerah yang secara administratif ada di perbatasan antara 13
Wawancara secara terpisah dengan Tedy, Fadel, dan Amrizal pada 10 Mei 2010.
83
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
wilayah Kota dan Kabupaten. Area luar kota adalah daerah yang secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten. Gerai pakaian bekas pinggir kota, perbatasan antara wilayah Kota dan wilayah Kabupaten Sleman tersebar di daerah Depok, Demangan, Babarsari, dan Wirobrajan. Gerai di perbatasan antara wilayah Kota dan Kabupaten Bantul tersebar di daerah Karangkajen, Rejowinangun, dan Glagahsari. Sementara gerai pakaian bekas luar kota di wilayah Kabupaten Sleman meliputi daerah Cebongan, Senuko, Godean, Beran, Ngaglik, dan Gamping; dan daerah Banguntapan untuk wilayah Kabupaten Bantul.
Gambar 4b Gerai Pakaian Bekas di Dalam Kota
Gerai Pakaian Bekas “Sandang Murah”, Jl. Diponegoro (Tugu).
Berdasarkan ketiga area atau wilayah sebaran perdagangan pakaian bekas di atas, tampak bahwa ke-57 gerai yang ada di Yogyakarta tersebar secara merata. Meskipun begitu jumlah, proporsi, dan persentase gerai pakaian bekas di setiap area cukup bervariasi. Menurut data yang berhasil dikumpulkan selama observasi di lapangan, jumlah gerai pakaian bekas di area dalam kota tercatat sebanyak 30 buah atau 53% dari total keseluruhan gerai pakaian bekas yang ada di pelbagai tempat di 84
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Yogyakarta.14 Sementara itu jumlah gerai yang bertempat di area pinggir kota atau perbatasan tercatat sebanyak 14 buah atau 24% dari keseluruhan gerai yang ada. 15 Sedangkan jumlah gerai di area luar kota tercatat sebanyak 13 buah atau 23% dari total gerai yang ada. 16 Dari jumlah dan persentase ketiga area itu tampak bahwa wilayah dalam kota merupakan area terpadat dan berada di urutan pertama, disusul dengan area pinggir kota, dan terakhir adalah area luar kota. Perhitungan tentang jumlah dan sebaran gerai di ketiga area itu disajikan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Area dan Sebaran Gerai Pakaian Bekas di Yogyakarta (Hingga Tahun 2012) Area Dalam Kota Pinggir Kota Luar Kota Total
Jumlah 30 14 13 57
Persentase 53 24 23 100
Pada Tabel 2 di atas, ada satu hal yang kiranya cukup penting untuk mendapatkan perhatian. Dari angka-angka sebagaimana tertera dalam tabel itu tampak bahwa jumlah antara gerai pakaian bekas yang ada di pinggir dan luar kota dibandingkan dengan jumlah gerai di dalam kota tidak terpaut jauh. Lebih lanjut selisih angka tersebut menandai terjadinya pergeseran trend perdagangan pakaian 14
Ke-30 buah gerai itu, 4 buah di Ngupasan, 5 buah di Ngampilan, 4 buah di Umbulharjo, 1 buah di Pakualaman, 5 buah di Ngasem, 1 buah di Poncowinatan, 1 buah di Suryatmajan, 1 buah di Randubelang, 3 buah di Sentul, 4 buah di Tamansari, dan 1 buah di Mergangsan. 15 Ke-14 buah gerai itu 1 buah di Condong Catur, 2 buah di Catur Tunggal, 2 buah di Karangkajen, 1 buah di Demangan, 1 buah di Banguntapan, 1 buah di Rejowinangun, 2 buah di Glagahsari, 2 buah di Wirobrajan, dan 2 buah di Gamping. 16 Ke-13 buah gerai itu 3 buah di Cebongan, 3 buah di Senuko, 1 buah di Ngijon, 1 buah di Rejondani, 1 buah di Beran, dan 2 buah di Gamping, 1 buah di Ngancar.
85
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bekas dari dalam kota ke sisi luar kota. Berdasarkan pada pengamatan atas titik-titik persebaran gerai pakaian bekas di lapangan dan konfirmasi dengan sejumlah pedagang, wilayah dalam kota kini tidak lagi menjadi area pilihan utama untuk menempatkan atau membuka gerai di sana.17 Hal itu bertolak belakang dengan waktu sebelumnya yang menempatkan area dalam kota sebagai area favorit perdagangan. Jika begitu, apa yang mendorong adanya pergeseran itu?
Gambar 5 Gerai Pakaian Bekas di Batas Kota
Atas: Gerai pakaian bekas “Anissa Fashion” & “Annisa Collection”, Jl. Wates Km. 3. Bawah: Gerai pakaian bekas “Sandang Murah, Jl. Adisucipto.
17
Wawancara secara terpisah masing-masing dengan Amrizal Godean) pada 15 Oktober 2011.
86
(Jl. Parangtritis) dan
Dedi (Jl.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Gradasi area dan sebaran perdagangan pakaian bekas yang cenderung bergerak ke arah sisi luar kota sebagaimana dikemukakan di atas sejauh ini berkait berkelindan dengan tiga faktor. Pertama, berkaitan dengan semakin padatnya kegiatan ekonomi di area dalam kota. Hal itu ditandai dengan kian bertumbuhnya pusat-pusat konsumsi baik yang bersifat material maupun jasa. Kondisi semacam ini dalam perkembangan kemudian berimplikasi pada makin ketatnya persaingan usaha di kawasan itu. Kompetisi usaha di area kota dari waktu ke waktu semakin meningkat. Khusus berkaitan dengan gerak perdagangan pakaian bekas, kondisi itu mengakibatkan semakin tinggi atau mahalnya harga sewa tempat usaha di kawasan itu. Sebagai contoh dan perbandingan, jika harga sewa tempat usaha di sepanjang Jl. Kaliurang pada tahun 2000-an masih berada dalam kisaran angka antara Rp. 5,5 juta hingga Rp. 7,5 juta per tahun, maka sekarang harga sewa itu telah menembus angka Rp. 15 juta hingga Rp. 17 juta per tahun.18 Kedua, berkaitan dengan kebijakan sebagaimana dilakukan oleh pihak pemerintah Kota Madia Yogyakarta berupa relokasi pusat kegiatan ekonomi sekaligus pusat keramaian publik ke sisi luar kota. Relokasi pusat kegiatan ekonomi yang berkaitan secara langsung dengan perdagangan pakaian bekas adalah pemindahan Terminal Bis Umbulharjo (2005) dan Pasar Hewan Ngasem (2008), yang masing-masing berlokasi awal di Umbulharjo dan Ngasem, ke daerah Giwangan. Pemindahan kedua pusat kegiatan ekonomi itu berdampak serius pada keberlangsungan perdagangan pakaian bekas di dua daerah itu. Pasca relokasi, geraigerai pakaian bekas di daerah Glagahsari dan Ngasem yang pada waktu sebelumnya 18
Fadel menyatakan bahwa harga itu berlaku untuk gerainya yang berukuran 4x6 m2. Wawancara pada 14 Mei 2010. Latif, pemilik gerai “Yola Collection”, yang beroperasi sejak 2007 di perempatan ringroad Condong Catur, mengatakan bahwa untuk menempati gerainya yang berukuran 5x8 m2, ia harus membayar uang sewa sebesar Rp. 20 juta setahun. Wawancara pada 27 Mei 2010.
87
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ramai dikunjungi pembeli, belakangan menjadi sangat sepi pembeli. Sebuah keadaan yang kemudian mendorong para pedagang pakaian bekas di kedua wilayah itu memeras otak mencari jalan keluar terbaik. Ada sebagian pedagang pakaian bekas yang kemudian lebih memilih berpindah tempat atau mencari lokasi baru alih-alih meneruskan usaha ekonomisnya di sana. Sementara sebagian lainnya terpaksa harus memilih untuk menggulung tikar alias menghentikan usaha mereka untuk selamanya.19 Ketiga, berkaitan dengan bertumbuhnya pusat-pusat ekonomi dan keramaian publik baru di daerah perbatasan dan di luar kota. Kawasan di seputaran Gamping, Beran, dan Cebongan di Sleman, dan kawasan Karangkajen di Bantul adalah contoh area di luar kota yang belakangan hari gencar melakukan pembangunan sehingga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Apabila untuk beberapa waktu sebelumnya keempat daerah ini lebih dikenal sebagai zona penyangga (buffer zones) kawasan kota, belakangan ini bisa dipastikan siap memainkan peran signifikan mereka sebagai pusat perekonomian dan keramaian publik baru di Yogyakarta. Pelbagai syarat bagi kelengkapan berdirinya kota belakangan ini semakin bertumbuh pesat di empat daerah itu. Hal yang demikian itu bisa dilihat dari keberadaan dan pengembangan infrastruktur ekonomi jasa yang dikembangkan oleh pihak pemerintah maupun swasta seperti pusat-pusat pendidikan baik tingkat 19
Anwar, pemilik gerai “Pinta Collection” di Glagahsari, menjelaskan bahwa sejak pemindahan terminal bus Umbulharjo ke Giwangan ia merupakan satu-satunya pedagang yang bertahan di daerah itu hingga sekarang. Sebelumnya di daerah itu di samping gerainya terdapat 6 gerai pakaian bekas lainnya. Karena sepi pembeli mereka berpindah lokasi. Wawancara dengan Anwar pada 22 Mei 2010. Hal senada diungkapkan Fadel, bahwa sejak pemindahan Pasar Ngasem ke Giwangan, geraigerai pakaian bekas di Ngasem sepi pembeli. Banyak pedagang berpindah lokasi atau bahkan menghentikan usahanya. Pasca pemindahan ia sudah mengambil alih 2 gerai pakaian bekas milik temannya yang tidak mampu lagi beroperasi. Ia kini adalah satu-satunya pedagang pakaian bekas yang bertahan di daerah itu dengan mengoperasikan 5 gerai miliknya. Wawancara dengan Fadel pada 14 Mei 2010.
88
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
atas maupun tinggi, terminal, pusat-pusat perbelanjaan, klinik dan rumah sakit, serta institusi perbankan. 20
Gambar 6 Gerai Pakaian Bekas di Luar Kota
Atas: Gerai pakaian bekas “XX” (tanpa nama) di Jl. Godean KM 11, Ngijon. Bawah: Gerai pakaian bekas “XX” di Jl. Wates KM. 5, Gamping.
Setelah melihat area dan sebaran perdagangan pakaian bekas secara umum, menarik kiranya untuk melihat lokasi atau tempat di mana gerai-gerai itu didirikan. Berdasarkan observasi lapangan, hampir semua gerai pakaian bekas yang ada di
20
Tentang syarat-syarat berdirinya sebuah kota dalam perspektif sosiologi perkotaan, periksa Hadi Sabari Yunus (2005), Manajemen Kota: Perspektif Spasial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 55-60.
89
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Yogyakarta berada di tempat-tempat strategis, yakni di sepanjang jalan utama yang meliputi: jalan protokol (negara), jalan provinsi, dan jalan kabupaten. Jumlah gerai pakaian bekas yang berlokasi di sepanjang jalan protokol tercatat sebanyak 9 buah (16%), sementara 41 buah (72%) lainnya berlokasi di sepanjang jalan provinsi, dan 7 buah (12 %) sisanya berlokasi di sepanjang jalan kabupaten. Dari data yang ada, jumlah gerai pakaian bekas di sepanjang jalan provinsi menduduki peringkat pertama, disusul kemudian dengan gerai di jalan protokol (negara), dan jalan kabupaten. Tentang lokasi gerai dari jalan bisa diikuti dalam Tabel 3 berikut.
Tabel 3 Lokasi Gerai Pakaian Bekas di Yogyakarta (Berdasarkan Akses Jalan) Tipe Jalan Jalan Protokol (Negara) Jalan Provinsi Jalan Kabupaten Total
Jumlah 9 41 7 57
Persentase 16 72 12 100
Data di atas sekaligus menginformasikan tentang pertimbangan pedagang pakaian bekas dalam menentukan tempat usaha mereka. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, hampir semua pedagang pakaian bekas menempatkan faktor aksesibilitas terhadap jalan sebagai hal utama yang akan mereka pertimbangkan saat hendak memulai usahanya. Di samping itu, ada satu aspek lain yang juga menjadi pertimbangan sebagian besar pedagang pakaian bekas dalam menjalankan aktivitas ekonominya, yakni keramaian publik. Hampir semua gerai pakaian bekas yang ada mengambil tempat usahanya di wilayah yang mereka perhitungkan merupakan sentral keramaian publik. Dalam khasanah budaya Jawa gejala ini sejajar dengan 90
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
istilah “mangku dalan”; sebuah seruan dan keyakinan yang berkambang di kalangan para pedagang tentang perlunya “memuliakan” jalan. Tentang lokasi gerai pakaian bekas dilihat dari titik keramaian publik bisa dilihat pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4 Lokasi Gerai Pakaian Bekas di Yogyakarta (Berdasarkan Jarak dengan Pusat Keramaian) Lokasi Dekat Sekolah/ Kampus Dekat Pasar Dekat Terminal Dekat Rumah Sakit Dekat Kantor Pemerintah Dekat Pabrik Total
Jumlah 21 28 5 4 7 1 57
Persentase 29,8 40,3 8,8 7 12,3 1,7 100
Dari Tabel 4 di atas, terdapat enam titik keramaian publik yang banyak diperhitungkan oleh para pedagang pakaian bekas sebagai lokasi pilihan untuk melakukan aktivitas usaha mereka. Keenam lokasi yang dimaksudkan meliputi: sekolah atau kampus, pasar, terminal, rumah sakit, perkantoran, dan pabrik. Dari data yang berhasil dikumpulkan di lapangan tampak bahwa pasar merupakan lokasi yang banyak diincar atau diminati oleh sebagian besar pedagang pakaian bekas; disusul kemudian dengan sekolah atau kampus, kantor pemerintahan, terminal, rumah sakit, dan pabrik. Dari keenam lokasi pilihan para pedagang itu, pasar menduduki peringkat pertama dengan jumlah gerai sebanyak 28 buah (29,8%), disusul oleh sekolah/kampus pada peringkat kedua dengan jumlah gerai sebanyak 21 buah (40,3%), dilanjutkan oleh tiga peringkat sisanya yang masing-masing adalah kantor pemerintah sebanyak 7 buah (12,3%), terminal sebanyak 5 buah (8,8%), rumah sakit sebanyak 4 buah (7%), dan pabrik sebanyak 1 buah (1,7%). 91
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Informasi selanjutnya adalah berkenaan dengan status gerai atau kios sebagai sarana utama perdagangan pakaian bekas. Sejauh ini status gerai atau kios pakaian bekas sebagaimana digunakan sebagai tempat usaha dibedakan menjadi dua: sewa dan milik sendiri. Dari ke-57 gerai pakaian bekas yang ada di Yogyakarta 55 buah (96,5%) di antaranya berstatus sewa, sedangkan 2 gerai (3,5%) sisanya berstatus milik sendiri. Dengan demikian tampak bahwa mayoritas gerai pakaian bekas yang beroperasi di sejumlah tempat di Yogyakarta adalah berstatus sewa. Proses sewa umumnya melibatkan para pedagang dengan para pemilik tempat (bangunan) yang merupakan penduduk asli setempat. Dua gerai yang berstatus milik sendiri itu masing-masing adalah: gerai “Vina Collection” milik Amrizal yang berada di Jl. K.H. Wakhid Hasyim No. 74 dan gerai “NN” (tanpa nama) milik Telly Simanjuntak, yang terletak di Jl. Surya, No. 420, Banguntapan, Bantul; di seputaran gedung Jogja Expo Centre. Kedua gerai pakaian bekas ini dioperasikan menjadi satu bagian dengan rumah atau tempat tinggal pedagang. Perbedaan status yang ada sejauh ini berkait berkelindan dengan performance gerai dalam menampilkan diri kepada publik. Untuk gerai yang memiliki status sewa tampak lebih atraktif. Hal ini bisa dilihat dari desain interior gerai dan display pakaian bekas yang diperdagangkan. Dalam konteks desain interior umumnya oleh para pedagang gerai yang akan akan ditata seefektif mungkin, sehingga dimungkinkan bisa menampung pakaian dalam jumlah banyak. Di beberapa gerai bahkan ada yang ditambahkan dengan pot-pot bunga yang terbuat dari plastik, bejana dari gerabah, atau sangkar burung yang didalamnya berisi burung tiruan eletronik yang bisa bersuara sebagai dekorasi. Sementara dari konteks display atau pemajangan, pakaian bekas yang ada di gerai umumnya ditata secara rapih dan 92
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sistematik. Beberapa bagian dinding gerai tidak luput dipakai untuk menggantung beragam jenis pakaian.21 Sedangkan untuk gerai yang berstatus milik sendiri tampak jauh lebih sederhana dan terkesan apa adanya. Keterangan lain yang kiranya perlu diketengahkan di sini adalah kondisi fisik bangunan atau gerai yang selama ini menjadi titik tumpu aktivitas perdagangan pakaian bekas. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, kondisi fisik bangunan atau gerai dibedakan dalam dua kelompok, yakni: permanen dan semi permanen. Yang dimaksudkan dengan bangunan permanen adalah gerai yang secara fisik berbentuk rumah tinggal atau kios berukuran menengah hingga besar dengan lantai tegel dan berdinding
tembok.
Sedangkan
bangunan
semi
permanen
umumnya
dikarakterisasikan oleh bentuk kios berukuran kecil dengan lantai ubin atau semen dengan dinding yang memadukan tembok dan papan (kotangan: Jawa). Dari 57 gerai pakaian bekas yang beroperasi di Yogyakarta tercatat 54 buah (94,7%) di antarannya termasuk kategori bangunan permanen, sedang tiga buah (5,3%) sisanya merupakan bangunan semi permanen.
A.3. Perilaku Ekonomi dan Etnisitas Pedagang
Sebagaimana disinggung pada bagian sebelumnya, perdagangan pakaian bekas merupakan aktivitas ekonomi yang digerakkan oleh para korban PHK yang terjadi selama krisis ekonomi 1998. merupakan
bekas
karyawan
Hampir semua
pelbagai
21
institusi
pedagang pakaian bekas
ekonomi
bisnis.
Sebelum
Sentuhan kreatif itu masing-masing bisa dijumpai di gerai “Murah Obral” milik Tedy di Jl. KH. Ahmad Dahlan dimana terdapat pot-pot bunga dari plastik dan bejana gerabah, dan gerai “Sandang Murah” milik Fadel di Jl.Adisutjipto dengan sangkar burung yang diisi dengan burung elektronik.
93
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berkecimpung di dunia pakaian bekas, hampir semua pedagang merupakan karyawan di pelbagai perusahaan swasta dengan pelbagai konsentrasi. Di antara mereka ada yang pernah bekerja di perusahaan pertambangan seperti minyak dan batubara di Kalimantan, dan perusahaan-perusahaan
perkebunan seperti kelapa
sawit, karet, atau kopi di wilayah Sumatera. Ada pula yang dulunya bekerja di perusahaan pengecoran besi baja, kayu lapis, garmen, dan kantor jasa konstruksi di wilayah Jakarta dan Jawa Barat. Sebagian di antara mereka berstatus karyawan kontrak dan sebagian lain karyawan tetap.22 Dari latar belakang semacam itu pada awalnya banyak pedagang yang mengidap rasa minder. Mereka merasa kikuk atau canggung, dan merasa kurang cakap dalam menjalankan usaha rintisannya itu.23 Hal yang demikian itu tentunya jamak terjadi dan bisa dipahami, mengingat mereka itu sejatinya tengah mengalami cultural lag (gegar budaya) akibat lompatan budaya (cultural leap) dari buruh (labours) menjadi pedagang (businessmen). Di sisi lain keterlibatan para eks buruh dalam perdagangan pakaian bekas sekaligus menandai adanya budaya survival (survival culture). Sebuah upaya yang diciptakan oleh orang
yang memiliki
persoalan sosial- ekonomi dan berusaha agar tetap bisa bertahan hidup. Survival culture
dalam hal ini menjadi semacam “matras pelindung”
yang akan
membentengi korban dari benturan persoalan hidup yang berakar pada hilangnya pendapatan atau mata pencarian. Sebuah problem yang secara psikologis bisa makin memburuk jika tidak ada jalan keluar konkret.
22
Sebagai contoh adalah Fadel dan Dedi. Fadel sebelumnya adalah karyawan tetap sebuah perusahaan tambang di Sumatera dengan masa kerja hampir 10 tahun. Sama halnya Dedi, sebelumnya adalah karyawan tetap sebuah perusahaan garmen di Bandung dengan masa kerja 12 tahun. Wawancara terpisah masing-masing pada 10 dan 14 Mei 2011. 23 Wawancara terpisah dengan Amrizal dan Tedy pada 17 Mei 2011.
94
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Situasi dan kondisi di atas di sisi lain menjadi daya dorong bagi para pedagang untuk tetap berusaha mengatasi persoalan yang mereka hadapi. Termasuk di dalamnya adalah
upaya mereka menjalin solidaritas di antara mereka atau
membuka komunikasi dengan rekan-rekan lainnya. Pada fase awal perdagangan solidaritas dengan warna etnis ini sangat kentara. Dalam kaitan ini Dedi Suriadi menceritakan pengalamannya bahwa pada awal rintisan usahanya, ia banyak mendapatkan bantuan dari rekan sekampungnya dari Indramayu yang merantau ke Yogyakarta dan telah lebih dulu sukses dengan bisnis jasa transportasi sebagaimana dilakukan dengan cara mendirikan agen perjalanan. Teman sekampungnya itu membantunya mencarikan tempat usaha atau gerai yang akan disewa, memberikan pinjaman uang untuk modal, dan menyediakan satu kamar di rumahnya untuk menyimpan pakaian bekas dagangannya yang jumlahnya berkarung-karung secara cuma-cuma atau gratis.24 Solidaritas yang diwarnai dengan nuansa etnik itu salah satunya tercermin dari komposisi pedagang dan gerai yang mereka kelola. Berdasarkan hasil observasi di lapangan diketahui bahwa perdagangan pakaian bekas di Yogyakarta selama ini dilakukan oleh tiga etnik, yakni: Minangkabau, Jawa, dan Batak. Dari 57 gerai pakaian bekas yang ada di pelbagai tempat di Yogyakarta saat ini, 51 buah (89,5%) di antarannya dilakukan oleh para pedagang dengan latar belakang etnik Minangkabau. Jumlah ini menempatkan mereka di ranking pertama. Disusul kemudian oleh para pedagang berlatar belakang etnik Jawa dengan jumlah gerai sebanyak lima buah (8,8%) di tempat kedua. Sedangkan sisanya dilakukan oleh 24
Hal senada juga dialami Fadel. Pada masa awal perantauannya di Yogyakarta, ia banyak mendapat bantuan dari rekan sekampungnya yang sukses dengan bisnis kuliner sebagaimana ia lakukan dengan cara mendirikan Rumah Makan Padang “Surya” yang berlokasi di Jl. Kaliurang. Wawancara terpisah masing-masing dengan Dedi Suryadi dan Fadel pada 20 Mei 2011.
95
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pedagang berlatar belakang etnik Batak dengan jumlah gerai sebanyak satu buah (1,7%) di posisi ketiga. Perhitungan mengenai latar belakang etnik para pedagang pakaian bekas dan jumlah gerai yang mereka kelola selanjutnya bisa diikuti lewat Tabel 5 berikut ini.
Tabel 5 Latar Etnik Pedagang & Jumlah Gerai Yang Dikelola No 1 2 3
Etnik Minangkabau Jawa Batak Total
Gerai 51 5 1 57
Persentase 89,5 8,8 1,7 100
Pada saat yang sama situasi ekonomi nasional pasca krisis yang tidak kunjung membaik turut mengontribusi terhadap proses pembentukan semangat, keahlian, dan perilaku ekonomi para pedagang pakaian bekas selanjutnya. Sebagai “pedagang baru” mereka memiliki sensitivitas terhadap pelbagai peluang dan kreativitas dalam mengolah pelbagai kemungkinan. Hal yang demikian ini bisa dilihat dalam perkembangan waktu kemudian. Dalam jangka waktu yang tidak lama para pedagang pakaian bekas yang ada tidak lagi tampil sebagai “pedagang baru” melainkan “pedagang underdog”. Demikian halnya aktivitas yang mereka lakukan merepresentasikan “perdagangan underdog”. Melalui mekanisme jual beli sebagaimana layaknya pasar, para pedagang itu berhasil menghadirkan pakaian bekas ke tengah-tengah masyarakat Yogyakarta kontemporer sebagai situs konsumsi baru. Sebuah situs konsumsi yang memerdagangkan barang-barang lama di tengah belantara situs konsumsi modern yang banyak menawarkan barang-barang baru dengan citarasa yang juga baru. 96
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
B. Komodifikasi dan Reproduksi Pakaian Bekas
B.1. Pemetaan Lokasi
Mendekatnya pakaian bekas di tengah-tengah kehidupan masyarakat Yogyakarta kontemporer lewat mekanisme perdagangan menandai berlangsungnya proses atau fase komodifikasi. Hampir semua hal yang berhubungan dengan pakaian bekas sebagaimana berkembang sekarang tidak bisa dilepaskan dari proses komodifikasi. Dengan demikian pakaian bekas sebagaimana berkembang dalam masyarakat saat ini pada dasarnya tidak lagi tampil sebagaimana apa adanya, tetapi telah terlebih dulu mengalami proses komodifikasi atau produksi. Komodifikasi dalam pengertian ini bisa diterjemahkan sebagai proses atau usaha sebagaimana dilakukan oleh para pedagang dalam usahanya untuk meningkatkan nilai guna dan nilai tukar ekonomi pakaian bekas yang mereka jual. 25 Komodifikasi pertama sebagaimana dilakukan para pedagang pakaian bekas adalah komodifikasi ruang lewat pemetaan lokasi. Sebagaimana diutarakan sebelumnya, pendirian gerai atau tempat usaha sama sekali tidak dilakukan secara asal-asalan, melainkan diperhitungkan berdasarkan pemetaan lokasi terhadap aspek aksesibilitas atas jalan, posisi strategisnya, dan jarak dengan pusat keramaian publik. Uraian sebagaimana disebutkan terakhir di atas sekaligus menggarisbawahi pemahaman bahwa penentuan lokasi usaha tidak hanya semata-mata bermuara pada
25
Jean Baudrillard (1996),“For a Critique of Political Economy of the Sign” dalam Mark Poster (ed.), Jean Baudrillard: Selected Writings, Stanford: California University Press, hlm. 57-55.
97
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
persoalan peningkatan kemudahan dan keleluasaan kepada pembeli dalam menjangkau atau mengakses pakaian bekas sebagaimana dikelola dalam gerai-gerai mereka. Lebih jauh persoalan penentuan lokasi usaha sebagaimana dilakukan para pedagang sekaligus berkaitan dengan peningkatan nilai tukar ruang di mana gerai pakaian bekas tersebut kelak akan didirikan. Dalam hal ini tampak bahwa perdagangan pakaian bekas dikembangkan secara beriringan dengan proses peningkatan nilai tukar ruang yang nantinya akan dijadikan lokasi usaha melalui proses komodifikasi. Peningkatan nilai tukar ruang sebagaimana dikembangkan para pedagang sejajar dengan pengembangan penampilan gerai lewat pelbagai sentuhan interior design dan display pakaian. Komodifikasi ruang sebagaimana dilakukan oleh para pedagang lewat pemetaan lokasi di mana perdagangan pakaian bekas kelak akan dijalankan memiliki peran signifikan dalam meningkatkan pendapatan atau keuntungan ekonomi pedagang. Dalam konsumsi modern yang sangat menekankan pada perhitungan dan manajemen, komodifikasi ruang yang akan dijadikan lokasi pendirian gerai atau tempat usaha memiliki peran penting dalam mereproduksikan nilai guna dan nilai tukar suatu komoditas yang diperdagangkan. Sementara itu proses reproduksi nilai guna dan nilai tukar sebagaimana inherent dalam pakaian bekas pada gilirannya menjadi satu hal mendasar bagi kestabilan dan keberlanjutan perdagangan dalam masyarakat. Hal itu karena proses komodifikasi ruang memiliki kekuatan besar dalam memberikan jaminan dan kemungkinan untuk mereproduksikan keuntungan ekonomi yang mereka peroleh secara terus menerus pada masa atau fase selanjutnya. B.2. Promosi
98
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Proses komodifikasi berikutnya berkaitan dengan minat lewat promosi. Promosi yang dilakukan pedagang sejauh ini mencakup dua jenis: pasif dan aktif. Promosi pasif meliputi kegiatan seperti pemasangan papan nama, penetapan harga pas bermedia kertas atau sterofoam (gabus), dan peneraan logo dan nama gerai pada kertas label (hangtag). Promosi aktif mengacu pada partisipasi pedagang dalam acara-acara komersial seperti bazar atau pasar malam (funfair). Berdasarkan hasil observasi lapangan, dari 57 gerai pakaian bekas yang ada di Yogyakarta, 36 buah (63,2%) di antaranya menerapkan kedua jenis promosi itu, sedangkan 21 buah (36,8%) sisanya tidak melakukannya sama sekali. “Sandang Murah” milik Fadel adalah satu-satunya gerai yang menerapkan kedua jenis promosi sekaligus seperti pemasangan papan nama, penetapan harga pas, peneraan logo dan nama gerai di hangtag, dan mengikuti even komersial, seperti Pameran Pembangunan Daerah (di Kabupaten) dan pasar malam Sekaten (di Kota).
Gambar 7 Hangtag Pakauan Bekas
Hangtag pakaian bekas ala “Sandang Murah”.
Komodifikasi minat lewat promosi sebagaimana dilakukan oleh para pedagang pakaian bekas memiliki dampak positif. Di samping menunjang proses jual beli atau peningkatkan pendapatan secara langsung, promosi itu sendiri 99
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berdampak positif pada pengembangan relasi antara penjual dan pembeli. Dalam hal ini relasi antara penjual dan pembeli kemudian tidak melulu bersifat ekonomistransaksional tetapi juga sosial-ideal. Lewat promosi status pembeli bukan sekedar pembeli biasa (buyer) melainkan pelanggan (customer) -- orang yang biasa atau selalu membeli pada pedagang yang sama. Relasi semacam itu penting, karena saat mengunjungi gerai pembeli sering tidak langsung berbelanja ; sekedar melihat-lihat lalu pergi. Tidak demikian dengan pelanggan, jika menemukan apa yang diinginkan ia akan langsung membelinya, jika tidak ia akan memesan kepada si pedagang. Mesti tidak mampu berjanji, si pedagang biasanya menegaskan akan mencarikan atau mengadakan apa yang dimaui pembeli lewat para distributor. Karenanya di antara pedagang pun kemudian ada yang memiliki “Buku Pesanan Pelanggan”.26 Apabila di lain kesempatan pakaian yang dipesan berhasil didapatkan, si pedagang kemudian akan menghubungi si pelanggan. Keberadaan handphone dengan fasilitas MMS (Multi Media Service) yang memungkinkan pelanggan tidak saja mengirim pesan tertulis tetapi juga gambar, saat ini semakin memperlancar komunikasi antara pelanggan dan penjual. Adakalanya si pelanggan tidak perlu lagi datang langsung ke gerai, tetapi cukup memesan pakaian yang dicari dengan cara mengirim pesan kepada si pedagang lewat fasilitas handphone. Selain pesan tertulis, si pelanggan kini bisa mengirimkan foto pakaian dengan model dan merk tertentu kepada si pedagang. Pesan bergambar yang dikirimkan pelanggan menjadi acuan bagi si pedagang dalam mencari barang yang dipesan atau untuk memenuhi pesanan para pelanggan. Selanjutnya si pedagang akan mencarikan pakaian sebagaimana
26
Buku itu berisi nama pemesan, waktu pemesanan, jumlah dan jenis pakaian, no hp pemesan, dan kolom catatan pedagang.Wawancara dengan Dedi pada 14 Mei 2011.
100
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang diminta pelanggan sesuai pesan dan gambar yang dikirimkan kepadanya via handphone.27 Dari paparan di atas diketahui bahwa komodifikasi minat dan animo pembeli lewat proses promosi pertama-tama tidak langsung menunjuk pada respons ekonomis pembeli sebagaimana diaktualisasikan dalam tindakan membeli, melainkan hospitalitas. Dengan kata lain di samping mengarah kepada proses peningkatan pendapatan ekonomi atau keuntungan, proses promosi yang dilakukan pedagang lebih terarah pada peningkatan nilai akseptabilitas masyarakat terhadap pakaian bekas. Dalam aktivitas ekonomi perdagangan yang memerjualbelikan bentuk komoditas yang berada di luar jalur manstream, penerimaan sosial yang didapatkan memiliki faedah yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Hal itu dikarenakan proses tersebut ke depan menjadi elemen penting untuk “mereproduksi” para pelanggan yang minded terhadap pakaian bekas dan menjadi modal awal dalam pembentukan pasar khusus yang hanya menjual barang-barang lama seperti halnya pakaian bekas.
B.3. Restorasi
Komodifikasi dalam perdagangan pakaian bekas selanjutnya berlangsung melalui proses restorasi nilai. Restorasi dalam hal ini mengacu pada pelbagai bentuk perbaikan ulang terhadap pakaian bekas yang mengalami kerusakan atau kecacatan sebagaimana dilakukan oleh para pedagang. Proses restorasi sebagaimana dilakukan oleh para pedagang pakaian bekas sejauh ini mencakup dua aktivitas, yakni: 27
Wawancara dengan Yanti pada 14 Mei 2011.
101
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
perbaikan dan alteration (modifikasi). Perbaikan yang dilakukan oleh para pedagang sejauh ini difokuskan pada bentuk-bentuk kerusakan dan kecacatan ringan, seperti penggantian risluiting yang rusak atau penggantian kancing yang tanggal. Sementara modifikasi mengacu pada pengubahan pola, bentuk dan ukuran pakaian. Modifikasi yang dilakukan umumnya dipertimbangkan berdasarkan mode yang tengah aktual dalam masyarakat. Model dan jenis pakaian yang biasa dimodifikasi adalah celana panjang dan jaket berbahan denim atau jeans menjadi celana ukuran ¾ atau celana pendek. Untuk jaket akan dimodifikasi dalam gaya sporty – jaket berukuran sepinggang dan berkrah pendek. Lebih jauh dari hal yang dibicarakan di atas, komodifikasi lewat proses restorasi juga berarti sebuah perbaikan nilai. Dalam pengertian ini aktivitas restorasi sebagaimana dilakukan oleh para pedagang lebih terarah pada persoalan yang melampaui hal-hal yang bersifat praktis atau teknis sebagaimana diutarakan di atas. Proses restorasi tersebut juga berkaitan dengan persoalan perbaikan nilai yang mengatasi nilai guna dan nilai tukar ekonomis sebagaimana melekat dalam pakaian bekas. Konkretnya, proses restorasi sebagaimana dilakukan para pedagang itu tidak hanya berarti perbaikan atas nilai guna dan nilai tukar ekonomis, tetapi sekaligus berarti perbaikan atas nilai tanda (sign value) yang melekat dalam pakaian bekas. Restorasi atas nilai tanda inilah yang kemudian akan meningkatkan nilai tukar tanda (sign exchange value) pakaian bekas sehingga berdasarkan prinsip perbedaan (difference) menjadi layak untuk diperbandingkan dengan nilai lainnya. Hal penting lainnya adalah bahwa terkait dengan komodifikasi nilai tanda lewat proses restorasi menggarisbawahi kenyataan bahwa pakaian bekas yang ada merupakan representasi dari sejumlah identitas, seperti: sejarah, harga, kualitas, 102
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mode, gaya, dan lain-lain. Keberadaan unsur-unsur tanda atau identitas ini memiliki peran signifikan, sebab karena kedua hal inilah yang kemudian menjadikan pakaian bekas berbeda dari pakaian bekas lainnya. Karena unsur-unsur tanda atau identitas semacam inilah yang membedakan pakaian bekas dari pakaian lungsuran pada umumnya. Pemulihan atas riwayat atau asal-usul, kualitas, mode, gaya dalam pakaian bekas inilah yang menjadi fokus atau sasaran utama proses restorasi. Restorasi terhadap unsur-unsur tanda atau identitas dalam pakaian bekas sebagaimana
dilakukan
oleh
para
pedagang
pada
gilirannya
tidak
saja
memungkinkan utuhnya identitas, tetapi sekaligus menjamin meningkatkan proses produksi nilai guna (use value).
B.4. Pemantasan.
Proses komodifikasi yang menonjol dalam perdagangan pakaian bekas selanjutnya adalah komodifikasi penampilan lewat proses pemantasan. Pemantasan dalam hal ini adalah mengacu pada kegiatan mencuci dan menyeterika sebagaimana dilakukan para pedagang pakaian bekas. Dalam perdagangan pakaian bekas aktivitas mencuci dan menyeterika merupakan gejala yang baru. Aktivitas ini muncul seiring dengan mulai mengecilnya volume dan sirkulasi pakaian bekas di pasar pasca terbitnya
terbitnya
Keputusan
Menteri
Perindustrian
(Kepmenperindag) No. 642/MPP/ Kep./9/ 2002
dan
Perdagangan
yang melarang perdagangan
pakaian bekas oleh pihak pemerintah. Di tengah mengecilnya volume dan sirkulasi, para pedagang kini memiliki waktu luang untuk “memerhatikan” barang dagangannya. Aktivitas cuci-seterika sebagaimana dilakukan oleh para pedagang 103
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
meliputi pakaian bekas yang masih tersimpan di karung dan pakaian bekas yang sudah mereka pajang di rak-rak atau gantungan baju. Aktivitas cuci-seterika sendiri umumnya dilakukan oleh para pedagang sebanyak dua kali seminggu. Tujuan proses pemantasan adalah memerbaiki kondisi pakaian. Belakangan ini, dikarenakan aktivitas cuci-seterika ini banyak menuntut waktu dan tenaga, sebagian besar pedagang kemudian banyak yang menyerahkan proses ini kepada para penyelia jasa cuci-seterika (laundry) yang semakin menjamur dan sekarang ini telah berkembang menjadi industri tersendiri. Demikian halnya karena ketiga aktivitas itu banyak menuntut biaya esktra, tidak semua gerai melakukannya. Dari 57 gerai pakaian bekas yang ada di pelbagai tempat di Yogyakarta hanya 12 buah (21,1%) gerai saja yang melakukan aktivitas pemantasan berupa cuci dan seterika, sedangkan 45 buah (78,9%) sisanya hanya terbatas pada reparasi dan modifikasi. Aktivitas cuci-seterika sendiri oleh para pedagang ditempatkan sebagai cara untuk menyelamatkan pakaian bekas yang mereka jual agar tidak mengalami kerusakan karena terlalu lama berada di karung atau tergantung di rak. Cuci-seterika juga menjauhkan kemungkinan bagi kecoa, ngengat, dan tikus untuk merusak barang dagangannya. Lebih lanjut, komodifikasi pakaian bekas melalui proses pemantasan bukan saja berarti memberikan “sentuhan” yang bersifat fisik, melainkan untuk meningkatkan nilai kepantasan (dalam arti performance) pakaian bekas. Proses cuciseterika sebagaimana dilakukan para pedagang tidak saja berarti membersihkan pakaian dari kotoran dan merapikan pakaian yang kusut, melainkan lebih jauh adalah usaha untuk menghidupkan kepantasan pakaian bekas itu sendiri. Melalui proses cuci dan seterika, penampilan dan kedudukan pakaian bekas seoalah menjadi 104
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sejajar dengan pakaian baru. Pakaian bekas yang telah mendapatkan sentuhan cuciseterika memeroleh nilai kepantasan yang melebihi keadaannya sebelumnya. Melalui proses cuci dan seterika, pakaian bekas tidak lagi merupakan barang yang “ora murwat” tetapi sebaliknya merupakan pakaian yang benar-benar pantas untuk dikenakan.
B.5. Pemutakhiran Mode
Proses komodifikasi selanjutnya adalah komodifikasi mode lewat proses pemutakhiran mode. Dalam hal ini pelbagai bentuk dan keragaman pakaian bekas yang diperjualbelikan di pelbagai tempat secara tidak langsung menghadirkan usulan atau penawaran tentang mode kepada masyarakat. Pelbagai ragam mode sebagaimana dibawakan oleh pakaian bekas itu oleh para pedagang dihadirkan kembali ke tengah-tengah konsumsi masyarakat. Pelbagai jenis mode dalam pakaian bekas yang secara umum sudah out of date dibandingkan dengan mode dalam pakaian pakaian baru dihadirkan kembali sebagai mode baru. Perdagangan pakaian bekas itu oleh para pedagangnya dipakai sebagai media untuk melakukan refashioning of fashion atau pemutakhiran mode. Pelbagai jenis mode yang ditawarkan dalam perdagangan pakaian bekas kemudian menjadi semacam sumber mode tersendiri bagi masyarakat pada umumnya. Mode sebagaimana dihadirkan oleh para pedagang menjadi alernatif mode dalam berpakaian. Dalam dunia mode pada umumnya istilah refashioning of fashion juga dikenal di sana. Istilah ini menjadi bagian dari fenomena siklus mode; perputaran mode pakaian dari masa ke masa. Maksudnya ada satu kurun di mana satu mode tertentu 105
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mengalami perulangan; tepatnya dihadirkan ulang oleh para desainernya kepada publik. Sebagai contoh, di Inggris dan di pelbagai tempat di Eropa saat ini mode “Sixties” atau mode 60-an kembali menjadi mode, terutama di kalangan muda. Akan tetapi pemutakhiran mode antara keduanya sama sekali berlainan. Dalam dunia mode saat ini pemutakhiran mode mengacu pada proses replikasi mode sebagaimana dikenal dengan mode Vintage atau Retrogade. Dalam pakaian bekas mode yang dihadirkan ke tengah masyarakat tidak berdiri sendiri, tetapi dilakukan bersamasama dengan pakaiannya. Melalui pemutakhiran mode ini kembali kita melihat adanya peningkatan nilai atau status mode pakaian bekas dalam masyarakat sekarang ini. Dalam proses pemutakhiran ini unsur ke-“lama”-an”, ke-“ou-of-date”-an, dan ke-“murah”-an sebagaimana melekat dalam pakaian bekas sebagai bagian dari identitas oleh para pedagang dihadirkan ke tengah masyarakat dalam nuansa yang baru tanpa mengalami perubahan bentuk. Pemutakhiran mode sebagaimana terjadi dengan demikian tidak terbatas pada menarik ingatan atau imajinasi orang jaman sekarang tentang gaya pakaian yang pernah menjadi mode dalam suatu waktu di masa lampau, tetapi sebaliknya menghadirkan masa lampau itu sendiri ke masa kini. Proses komodifikasi mode sebagaimana dilakukan oleh para pedagang lewat pemutakhiran mode pakaian bekas ini pada gilirannya selain memiliki kekuatan dalam melahirkan mode baru dalam masyarakat, juga memiliki kekuatan besar dalam melahirkan model pertukaran khusus atau tersendiri yang sama sekali berbeda dari model pertukaran modern sebagaimana berkembang dalam msayarakat dewasa ini.
106
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pemutakhiran mode itu sendiri dilakukan oleh para pedagang dalam pelbagai cara. Cara yang paling lazim dilakukan adalah dengan membuat pengubahan atau modifikasi
terhadap bentuk, ukuran, dan model pakaian bekas yang ada.
Pemutakhiran mode juga berkaitan dengan sejumlah kecacatan yang diidap oleh pakaian bekas yang mereka perdagangkan. Dengan kata lain pemutakhiran juga dipergunakan oleh para pedagang untuk menyembunyikan kecacatan yang dipandang cukup kentara dan diperhitungkan akan memengaruhi animo pembeli atau memengaruhi harga jual pakaian. Pemutakhiran mode ada kalanya tidak melulu datang dari inisiatif para pedagang pakaian bekas itu sendiri, melainkan juga dari para konsumen atau pembeli. Persis di sini para pedagang itu kemudian banyak mencatat atau memerhatikan keinginan para konsumen atau pedagang. Para pedagang kemudian banyak memerhatikan bentuk, ukuran, dan model pakaian yang sejauh ini banyak diminati konsumen atau sedang menjadi trend.
C. Serba-serbi Pakaian Bekas
Pakaian bekas sebagaimana diperjualbelikan di sejumlah gerai dan tersebar di pelbagai penjuru di Yogyakarta memiliki sejumlah keragaman. Keragaman yang dimaksudkan di sini mengacu pada unsur-unsur yang meliputi: mode (dalam arti desain dan trends), model (dalam arti jenis, potongan atau style), corak dan motif bahan, jenis dan karakter bahan pakaian, warna, merk (brands), ukuran (size), kekhususan
pengguna
(dalam
arti
gender)
107
dan
kekhususan
penggunaan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
(occasionality).28 Di sisi lain keragaman itu sendiri juga bersifat labil. Dalam hal ini mengacu pada fakta yang ada di lapangan bahwa keragaman pakaian bekas sepenuhnya ditentukan pasar lewat para grosir dan distributor. Dengan demikian sejauh ini tingkat keragaman pakaian bekas sebagaimana diperjualbelikan oleh para pedagang sepenuhnya berada di luar kendali para pedagang yang bersangkutan. Karenanya, tidak sedikit pakaian bekas dengan mode, jenis, merk, dan model tertentu, tersedia dalam jumlah terbatas atau bahkan hanya sebanyak satu buah saja (out stock). Akibatnya, pakaian bekas yang ada kebanyakan akan mengalami kelangkaan atau bahkan habis, justru ketika banyak diminati oleh konsumen atau pembeli. Sebuah kondisi yang sudah barang tentu sangat bertolak belakang dengan model perdagangan pakaian non-bekas pada umumnya. Melengkapi uraian sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, paragraf-paragraf
berikut akan mengemukakan unsur-unsur keragaman yang
melekat di dalam pakaian bekas. Pelbagai unsur keragaman yang ada merupakan representasi dari properties atau identitas
yang secara inherent melekat dalam
pakaian bekas. Salah satu bagian yang cukup penting dan memiliki kekuatan besar dalam memengaruhi pertimbangan dan pembuatan keputusan para pembeli untuk mengonsumsi pakaian bekas. Oleh karena data atau informasi berkenaan dengan unsur-unsur keragaman pakaian bekas yang bisa digali dan dikumpulkan dari para pedagang sangat minim, saya memutuskan untuk melakukan sebuah terobosan. Terobosan yang dimaksudkan adalah dengan melakukan penelusuran secara langsung terhadap dua bal pakaian bekas yang terdiri dari 500 potong pakaian bekas
28
Tentang peristilahan dalam dunia busana, lihat Arifah A. Riyanto (2003), Modul Dasar Busana. Bandung: Yapemda, hlm. 12.
108
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebagaimana diperjualbelikan di dua gerai. Dua gerai yang dimaksudkan adalah gerai “XX” (tanpa nama) sebagaimana dijalankan oleh Dedi Suryadi dan isterinya (Suryani) yang masing-masing berlokasi di Senuko, Jl. Godean KM 9, dan di Ngijon, Jl. Godean KM 11, Godean.
C.1. Mode
Mengikuti peristilahan sebagaimana berkembang di dalam dunia fesyen pada umumnya, mode pakaian bekas dibedakan ke dalam dua kelompok: first line dan secondary line.29 First line -- disebut juga dengan high fashion, haute couture (Perancis), alta moda (Italia) -- adalah istilah yang lazim dipakai untuk menamai pelbagai jenis dan model pakaian yang merupakan kreasi para desainer (designer clothing) kelas dunia dengan sejumlah kekhususan tertentu yang dimilikinya. Eksklusivitas yang dimaksudkan mencakup aspek: orisinalitas desain; popularitas desainer; pengerjaan yang 80-90% dilakukan secara manual dengan ketelitian pada detail; tempat pengerjaan yang hanya terbatas pada fashion house (studio); penggunaan bahan pakaian bermutu tinggi; serta aktivitas produksi yang hanya dijalankan secara terbatas berdasarkan pada pesanan pelanggan, terutama mereka yang datang dari kalangan high-class seperti aktor dan aktris film, para pejabat, atau pengusaha.30 Selain karena kualitasnya, mode ini juga dikenal karena harganya yang
29
Mode dalam hal ini berarti: (1) desain atau gaya (style) pakaian yang akan selalu berubah sesuai siklus mode (fashion cycle), (2) gaya, cara (trends), dan selera berpakaian yang berlaku dalam masyarakat pada periode tertentu, dan (3) pakaian (fesyen) itu sendiri. Irma Hardisurya, et al, (2011), Kamus Mode Indonesia, Jakarta: Gramedia, hlm. 146. 30 Di Jakarta, Bandung, dan Surabaya mulai banyak rumah mode yang khusus menjual pakaian karya desainer dunia seperti: Fendi (Italia), Marks & Spencer (UK), Sophie Paris (Perancis), Ninna Richi,
109
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sangat fantastis (istilah khususnya adalah designer).31 Dari segi penampilan, mode ini umumnya banyak mengembangkan model (style) Avant Garde.32 Secondary line fashion adalah istilah yang lazim dalam dunia fesyen untuk menyebut pelbagai bentuk pakaian jadi atau pakaian siap pakai (ready-to-wear atau Prèt-à-Porter) yang memenuhi kriteria sebagaimana high fashion. Kriteria yang dimaksudkan meliputi empat hal, yakni: dibuat berdasarkan fashion design tertentu; merupakan karya desainer; 60% dikerjakan dengan tangan dan selebihnya dikerjakan secara mekanis atau mesin; dan menggunakan bahan pakaian berkualitas tinggi. Kriteria itu menjadi semacam rule atau kanon yang akan menjadi rujukan bagi para desainer dalam menciptakan dan mengembangkan karya-karya mereka. Mode secondary line fashion ini dalam perkembangan selanjutnya diklasifikasikan lagi menjadi tiga jenis, yaknii: high end, high street,33 dan fast fashion.34 Dilihat dari harganya, secondary line fashion ini umumnya relatif lebih murah dibandingkan dengan high fashion. Adapun harga secondary line fashion selanjutnya dibedakan menjadi tiga kategori, yakni: bridge (sangat mahal), better (mahal), dan moderate (terjangkau).35 Mode secondary line fashion ini banyak mendasari gaya new look,36 retrospective,37 dan hip hop.38
dan Ralph Lauren (USA). Lihat, Liesbeth Sluiter (2009), “Indonesia: Jobs at a Discount” dalam Clean Shirts: A Global Movement to End Sweatshops, London: Pluto Press, hlm. 57-63. 31 Para pengamat fesyen melihatnya sebagai karya seni sehingga sulit diukur dengan uang. Taryn Benbow-Pfalzgraf, ed. (2002), Contemporary Fashion, New York: St. James Press, hlm ix-x. 32 Model yang menekankan unsur eksperimentasi, inovasi, orisinalitas, dan non-konvensional. Irma Hardisurya, et al, (2011), Op. cit., hlm.16. 33 Pakaian siap pakai berkualitas sejajar dengan high fashion. Perbedaannya, mode high end sebagian ada yang dibuat sesuai musim (dingin, gugur, semi, panas) dan dipresentasikan dalam even fashion week (peragaan busana); sementara high street tidak. Irma Hardisurya, et al, (2011), Op. cit., hlm. 95. 34 Pakaian yang didesain menurut trend terbaru, diproduksi secara cepat dan berbiaya produksi relatif rendah, sehingga memungkinkan konsumen mengikuti gaya mutakhir dengan harga terjangkau. Irma Hardisurya, et al, (2011), Op. cit., hlm.78. 35 Irma Hardisurya, et al, (2011),Op. cit., hlm.38.
110
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pengelompokan mode itu sendiri berkait berkelindan dengan perubahan trend mode sebagaimana terjadi di Perancis. Sejak medio abad XIX dunia fesyen hanya mengenal satu mode, yakni high fashion atau haute couture sebagaimana dikembangkan oleh para fashion designer yang tergabung dalam Chambre Syndicale De La Haute Couture Parisienne. Seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi garmen, pada tahun 1970 muncul sebuah gerakan yang bermaksud mengapresiasi keberadaan pakaian jadi atau pakaian siap pakai. Gerakan ini berhasil menarik kelompok pertama untuk bergabung dalam Fédération Française De La Couture, du Prèt-à-Porter Des Couturiers et des Créateurs de Mode. Dampaknya, laju dan warna mode yang berkembang di tengah masyarakat semakin cepat dan beragam. Para desainer pun dengan sendirinya kemudian tidak hanya melulu mengembangkan mode high fashion, tetapi juga mode high street fashion yang diperbanyak melalui perusahaan pakaian atau retail.39 Meskipun sudah mendapatkan sentuhan mekanis atau proses pabrikasi, dalam dunia fesyen pada umumnya mode first line dan secondary fashion secara tegas dibedakan dari mode pakaian yang dikategorikan sebagai mass production clothing atau market production clothing. Berbeda dari kedua mode lainnya, mass production clothing atau market production clothing adalah istilah yang lazim
36
New Look adalah mode pakaian yang didesain dengan mengeksplorasi unsur feminitas. Untuk kali pertama istilah ini diperkenalkan oleh Christian Dior pada tahun 1947. Irma Hardisurya, et al, (2011), Op. cit., hlm. 153. 37 Retrospective atau retrogade adalah mode pakaian yang dikembangkan berdasarkan pada mode yang populer di masa lalu. Irma Hardisurya, et al, (2011), Op. cit., hlm.178. 38 Hip-hop adalah gaya pakaian yang merupakan bagian dari budaya pop (culture pop) dan terkenal di kalangan DJ (disk jokies) di MTV (Music Television) era 80-an yang ditandai dengan penggunaan celana komprang plus bretel, T-shirt warna-warni, dan aksesoris serba berat dan mencolok. Irma Hardisurya, et al, (2011), Op. cit., hlm. 96. 39 Tentang klasifikasi harga dari ketiga mode dan persoalan relativitas harga di pelbagai negara, lihat Rebecca Arnold (2009), Fashion. A Very Short Introduction, New York: Oxford University Press, hlm. 48-49.
111
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dipakai dalam dunia fesyen untuk menamai pelbagai jenis dan bentuk pakaian siap pakai atau pakaian jadi (ready-to-wear atau Prèt-à-Porter) yang diproduksi secara massal oleh perusahaan-perusahaan pakaian pada umumnya. Selain bersifat massal, mass production atau market production clothing juga menggendong sejumlah ciri lainnya. Ciri-ciri yang dimaksudkan adalah: sarat dengan penjiplakan terhadap desain (mode) yang telah ada sebelumnya (tentunya desain yang laku atau banyak diminati konsumen) sebagai dasar kreasinya; penggunaan bahan secara hemat sehingga tidak memungkinkan untuk dimodifikasi (baik ukuran atau bentuknya), berkualitas rendah, dan harga murah (budget).40 Mengenai pembagian mode sebagaimana diuraikan di atas bisa diikuti dalam Tabel 6 berikut.
Tabel 6 Kategori Mode Pakaian Bekas Kategori
Mode
First Line
Alta Moda, High fashion, Haute Couture High End High Street Fast Total
Second Line
Jumlah
Persentase
16
3%
44 232 208 500
9% 46 % 42 % 100 %
Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 6 di atas, dari 500 potong pakaian bekas yang ada, 16 buah (3%) di antaranya merupakan mode first line; sementara 484 buah sisanya merupakan mode second line yang terdistribusi dalam high end fashion sebanyak 44 buah (9 %), high street fashion sebanyak 232 buah (46%), dan fast fashion sebanyak 208 buah (42%). Ke-16 mode first line yang ada merupakan 40
Irma Hardisurya, et al, (2011), Op. cit., hlm.143.
112
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kreasi dari 16 desainer kontemporer dunia yang popularitasnya hingga akhir-akhir ini masih banyak disebut-sebut dalam pemberitaan tentang fesyen atau gaya hidup di sejumlah media massa luar negeri dan tanah air. Ke-16 desainer yang dimaksudkan itu adalah: Max Azria, Michael Koors, Oscar de la Renta, dan Vera Wong (AS); Helmut Lang (Austria); Carlos Miele (Brasil); Henry Lau (China); Han Lau (Hong Kong); Laksmi (India), Laura Ashley (Inggris), Zeena Zaki (Irak), Andre Kim (Korea); Amir Adnan (Pakistan); J. Lindeberg (Swedia); Phillip Lim (Thailand); dan Harmanli Deri (Turki). Sementara itu nama-nama seperti Alexander McQueen, Calvin Klein, Carolina Herrera, Dona Karan, David Abercrombie, Jerome Dahan, Trafton Cole & Eddie Haan, Max Mara, Perry Ellis, Tommy Hilfiger, Van Heusen (AS); Arthur Galan (Australia); Alice-Louise Shreeve, Hannah Coniam, Dorothy Perkins, Jennifer Adler, Jim Hamilton (Inggris); Max Mara, Giorgio Armani, Guccio Gucci, Salvatore Feragamo (Italia); Dean dan Dan Catenacci (Kanada); Yves Saint Laurent (Perancis); dan Anna Gonzales (Spanyol) adalah sebagian dari sejumlah besar disainer
papan atas dunia yang memiliki kontribusi besar bagi kelahiran dan
persebaran secondary fashion dan fast fashion ke seluruh belahan dunia dan tetap produktif atau eksis hingga kini. Dari keempat mode yang ada sebagian besar masih fashionable sampai saat ini. Bagaimana persoalan mode itu sampai kepada para pedagang pakaian bekas pada umunya? Apakah kesadaran fesyen berjalan sejajar dengan kesadaran berdagang? Untuk menjawab pertanyaan ini lebih dulu perlu melihat bagaimana para pedagang pakaian bekas pada umumnya memahami persoalan mode. Berkenaan dengan mode, sebagian besar pedagang mengaku bahwa pada awalnya 113
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mereka sama sekali tidak pernah memerhatikan perkara mode. Orientasi pokok sebagian besar pedagang umumnya lebih terfokus pada bagaimana pakaian yang mereka miliki selekasnya bisa diserap pasar; laku. Sebab, hanya dengan begitu mereka akan mendapatkan uang; di mana sebagian untuk meneruskan usaha dan sebagian lain untuk memenuhi kebutuhan hidup keseharian mereka. Membiarkan pakaian terbengkalai atau berlama-lama di dalam karung bisa menjadi bumerang bagi mereka, sebab pakaian bisa mengalami kerusakan akibat diserang jamur, dimakan kecoa, atau dikerat tikus. Orientasi pedagang sebagaimana disampaikan di atas salah satunya bisa disimak dari ungkapan Dedi Suryadi berikut ini:
“Setelah dapat tempat usaha, yang saya lakukan mah gimana menyelamatkan pakaian yang bertumpuk-tumpuk itu. Biar nggak jamuran atau dimakan kecoa dan tikus karena kelamaan ngendon di karung. [Pakaian] Dikeluarkan, diangin-anginkan, dijemur. Udah gitu didagangkan. Dapat uang!” 41
Perhatian para pedagang tentang mode baru terasah belakangan lewat pengamatan mereka terhadap perilaku konsumen saat berbelanja di gerai mereka. Dalam kaitan itu, Yanti menceritakan pengalamannya sebagai berikut:
“Saya tidak paham soal mode. Kalau bahan sedikit-sedikit tahu. Hanya, setiap melihat pembeli yang belanja di sini, saya selalu heran. Kenapa mereka milihnya model ini, tidak yang itu. Padahal menurut saya pilihannya biasa saja. Yang seperti itu saya perhatikan dan saya catat. Jadinya, soal mode saya dapat secara bodon (commonsense) saja.” 42
41 42
Wawancara dengan Dedi, Suryadi pemilik kios “XX” di Ngijon pada 14 Mei 2010. Wawancara dengan Yanti (isteri Dedi), pemilik kios “XX” di Senuko pada 14 Mei 2010.
114
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pengamatan secara bodon (commonsense) ditambah dengan sedikit pengetahuan tentang bahan pakaian sebagaimana dilakukan oleh Yanti selanjutnya selanjutnya banyak menginspirasi para pedagang untuk “membahasakan” persoalan mode sesuai dengan bahasa mereka sendiri. Pembahasaan mengenai mode tersebut tampak dari klasifikasi yang mereka lakukan terhadap pakaian bekas yang mereka miliki atau mereka perdagangkan. Hampir semua pedagang yang ada di pelbagai gerai di Yogyakarta menglasifikasikan pakaian bekas yang mereka miliki ke dalam dua kelompok, yakni: “pakaian berkelas” dan “pakaian tidak berkelas”. Pertanyaannya, bagaimana proses pengklasifikasian itu dilakukan? Apa dasar yang secara material melandasi proses tersebut? Apabila hal itu berkaitan dengan selera konsumen, unsur apa dan mana dari pakaian bekas yang kemudian dipandang mampu membangkitkan selera konsumen? Unsur-unsur apa dan mana dari pakaian bekas yang ikut menentukan proses klasifikasi itu? Apa yang dipahami sebagai selera konsumen umumnya mengacu pada faktor popularitas dan kualitas pakaian sebagaimana ditandai oleh nama-nama desainer pembuatnya, merk yang sebagian besar berasal dari luar negeri, model atau potongannya yang mutakhir (up to date), dan kondisi fisik pakaian. Selanjutnya “pakaian berkelas” mereka bagi dalam tiga kelas: A, B, dan C. Kelas A meliputi pelbagai jenis pakaian bekas dengan brand terkenal, bahan berkualitas, gaya menarik, serta kondisi yang tanpa cacat. Kelas B meliputi pelbagai jenis pakaian bekas dengan brand terkenal, bahan berkualitas, gaya menarik, dengan sedikit kecacatan. Kelas C meliputi pelbagai jenis pakaian bekas dengan merk terkenal, bahan dan gaya “biasa”, dengan sedikit kecacatan. Identifikasi
semacam ini
sekaligus menjadi dasar bagi para pedagang untuk menentukan harga pakaian bekas 115
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang mereka jual. Satu hal yang di antara masing-masing pedagang tidak memiliki kesamaan persepsi. Ada sebagian pedagang yang lebih menekankan pada persoalan merk, sementara ada juga di antara mereka yang lebih menekankan pada persoalan kualitas atau kondisi fisik pakaian.43 Dalam perspektif mode apa yang selama ini pedagang kategorikan sebagai “pakaian berkelas” secara umum adalah mengacu pada pengertian mode high fashion dan
high street fashion, dan fast fashion sebagaimana telah dibahas
sebelumnya. Sedangkan istilah “pakaian tidak berkelas” atau yang populer di antara mereka dengan sebutan “pakaian aba-abal” paralel dengan pengertian market/mass production clothing. Pakaian kategori kedua ini lebih dicirikan dengan kualitas bahan sedang, merk yang tidak terkenal, model biasa, dan secara fisik mengandung banyak kecacatan. Dari kedua mode itu menurut catatan para pedagang selama ini “pakaian berkelas”-lah yang paling laku atau paling diminati konsumen atau pengguna.
Sirkulasi yang terjadi di pelbagai gerai pakaian bekas yang ada di
Yogyakarta sejauh ini sebagian besar digerakkan oleh keberadaan mode. Sejumlah transaksi yang terjadi dalam perdagangan pakaian bekas sejauh ini lebih banyak ditentukan oleh karena keberadaan “pakaian berkelas” alih-alih mode “pakaian tidak berkelas”.
C.2. Model
Model pakaian bekas sebagaimana beredar di tengah masyarakat Yogyakarta meliputi terusan (overall) dan potongan (seperates). Menurut bagiannya model 43
Wawancara terpisah dengan Fadel, Tedy, dan Dedi pada 24 Mei 2010.
116
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
terusan (overall) dibedakan menjadi dua kelompok: overall dan two-pieces garment. Overall adalah mengacu pada sepotong pakaian yang terdiri dari bagian badan atas (bodice) dan bagian bawah (skirt). Sementara model two-pieces garment mengacu pada perpaduan antar-pakaian, seperti perpaduan antara blazer dengan rok atau jaket dengan gaun. Berdasarkan pada susunan atau komposisinya model seperates dibedakan lagi menjadi dua, yakni: atasan (tops) dan bawahan (shorts). Jenis pakaian yang termasuk dalam kategori overall adalah gaun (gown, dress); sedangkan jenis pakaian yang termasuk model tops adalah kaos, kemeja (shirt), sweater, blus (blouse), blazer, dan jaket; dan jenis pakaian yang termasuk model bawahan (short) adalah celana dan rok (skirt).44 Perhitungan tentang jenis, jumlah dan persentase pakaian bekas setiap modelnya selengkapnya bisa diikuti dalam Tabel 7 berikut.
Tabel 7 Kategori Model Pakaian Bekas
44
Model Overall
Jenis Gaun
Jumlah 30
Persentase 6
Tops
Kaos Kemeja Blus Sweater Blazer Jas Jaket
95 75 18 36 15 21 79
19 15 3,6 7,2 3 4,2 15,8
Shorts
Rok (skirts) Celana Total
31 100 500
6,2 20 100
Irma Hardisurya et al., (2011), Op. cit., hlm. 146.
117
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dari Tabel 7 di atas tampak bahwa dari jumlah dan persentase setiap model pakaian yang diidentifikasikan menandai adanya gradasi atau peringkat model dalam pakaian bekas. Model atasan (tops) adalah model yang paling banyak tersedia dalam jumlah besar, yakni sebanyak 339 buah (67,8%). Disusul model bawahan (shorts) sebanyak 131 buah (26,2%) dan model terusan (overall) sebanyak 30 buah (6%) dari total 500 potong secara keseluruhan. Sementara berdasarkan jenis pakaian setiap modelnya, dari total keseluruhan pakaian bekas yang diidentifikasikan peringkat pertama ditempati oleh celana dalam pelbagai jenis dengan jumlah sebanyak 100 buah (20%). Disusul dengan kaos dalam pelbagai jenis sebanyak 95 buah (19%), jaket sebanyak 79 buah (15,8%), kemeja dalam pelbagai jenis sebanyak 75 buah (15%), sweater dalam pelbagai jenis sebanyak 36 buah (7,2%), rok sebanyak 31 (6,2%), gaun sebanyak 30 (6%), jas sebanyak 21 (4,2%), blus sebanyak 18 (3,6%), dan terakhir adalah blazer dengan jumlah sebanyak 15 (3%). Di samping mengacu pada potongan (design), susunan, dan bentuknya, persoalan model juga berkait berkelindan dengan persoalan gaya (style) dan kesan (look) yang ditampilkan oleh setiap jenis atau model pakaian yang ada. Gaya dan kesan yang muncul ke permukaan sebagaimana layaknya sebuah – meminjam istilah Malcolm Barnard -- “statement”.45 Dalam konteks mode, gaya dan kesan tersebut tidak bisa dipisahkan dari pengembangan aksen dan aplikasi sebagaimana dilakukan oleh para desainer secara terus menerus sehingga akhirnya menjadi bagian dari kekhasan, karakter, atau kekhususan masing-masing pakaian yang mereka buat.46 Paragraf-paragraf berikut akan menguraikan secara lebih terperinci tentang pelbagai 45
Malcolm Barnard (2010), “Fashion Statements: Communication and Culture” dalam Ronn Scapp dan Brian Seitz, (eds.), Fashion Statement. On Style, Appearance And reality, New York: Palgrave Macmillan, hlm. 24-25. 46 Rebecca Arnold (2009), Op. cit., hlm. 67-68.
118
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
model yang dikembangkan dari 10 jenis pakaian dan karakteristik yang ditonjolkannya, serta sejauh ini paling banyak diminati oleh para konsumen atau pengguna. Untuk menghindari repetisi uraian, kesamaan yang muncul dari setiap jenis pakaian yang diidentifikasikan selanjutnya hanya akan diperhitungkan sebagai bagian dari satu model saja.
C.2.1. Gaun
Berdasarkan pada hasil penelusuran lapangan atas 30 buah gaun yang ada berhasil teridentifikasikan 26 buah model gaun. Ke-26 model gaun yang ada sejauh ini merupakan model –model yang paling populer atau banyak diminati konsumen atau pembeli. Adapun ke-26 buah model gaun yang dimaksudkan adalah meliputi: A-Line, Asymmetric, Bertha Collar, Blouson, Caftan, Camisoleneck, Chemise, Cheongsam, Classic Princess Line, Cowlneck, Daster, Drapped, Dropwaist, Halter Neck, H-Line, Gym Little Black, Maternity Jumper, Shirt-dress, Shirtwaist, Sundress, Sweater-dress, Tunic, Empire, Full, Sift, dan Wrap. 47 Sebagai ilustrasi pendukung selanjutnya dalam Gambar 7 dikemukakan delapan buah model gaun. Gambar atas, dari kiri ke kanan berturut-turut meliputi model: Shirtwaist, Tunic, Cowlneck, dan Bertha Collar. Sementara itu dalam gambar bawah, dari kiri ke kanan berturut-turut meliputi model: Drapped, Camisoleneck, Empire, dan Halter Neck.
47
Jennifer Alfano (2009), The New Secrets of Style, New York: Time Inc., hlm. 45. Juga Goet Poespo (2000c), Aneka Gaun, Yogyakarta: Kanisius, impassim.
119
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Gambar 8 Model-model Gaun
Atas: Shirtwaist, Tunic, Cowlneck, Bertha Collar. Bawah: Drapped, Camisoleneck, Empire, Halter Neck.
Kekhasan model Shirtwaist terletak pada motif printing dan penggunaan jenis katun sebagai bahan, juga terdapat pada potongannya yang dikembangkan dari bentuk kemeja, siluetnya yang longgar dari pundak hingga kelim bawah, dan panjang gaun yang panjang terjuntai sampai dengan bawah lutut, sehingga terkesan ringan. Pada model Tunic selain pada siluet yang longgar, kekhasan yang ada terdapat pada garis leher yang rendah dan aplikasi tali kor (cord) yang bisa ditarik kerut, sehingga menekankan kesan fleksibel. Kekhasan model Cowlneck terletak pada garis leher lebar berbentuk band dan lipatan kecil di atas pinggang sehingga menonjolkan kesan dinamis. Sementara untuk model Bertha Collar kekhasan yang ada terletak pada bentuk krah yang lebar dan aplikasi manik-manik di dada, sehingga terkesan mewah. Sedangkan kekhasan model Drapped 120
terletak pada
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
penggunaan jenis kaos sebagai bahan pakaian, dan garis leher yang diberi aksen kerutan (plooi, pleated) sehingga sangat menonjolkan kesan dinamis. Sementara itu untuk model Camisoleneck memiliki kekhasan yang terdapat pada kontras warna bahan yang dipergunakan sebagai atasan (bodice) dan bawahan (short). Di samping pada kontras warna yang dikombinasikan, kekhasan juga terdapat pada adanya aplikasi tali kor yang dipasang secara melingkar pada bagian bawah dada dan siluetnya yang mengecil mulai bagian dada dan membesar pada bagian pinggul sampai kelim bawah gaun, sehingga terkesan feminin. Selanjutnya pada model Empire kekhasan yang ada selain terletak pada garis leher yang berbentuk scoop, juga terdapat pada lipatan yang dibuat lepas di sebelah kiri dan kanan bagian perut, serta siluetnya yang longgar dari pinggang hingga kelim bawah gaun, sehingga terkesan ramping. Sedangkan pada model Halter Neck kekhasan yang ada terdapat pada penggunaan jenis kain linen sebagai bahan dasar pakaian, aplikasi tali pengangkat (halter) yang berfungsi untuk menggantikan garis leher, dan potongan atau desainnya yang sangat simple, sehingga menonjolkan kesan elegan.
C.2.2. Kaos
Berdasarkan pada hasil penelusuran di lapangan terhadap 95 potong kaos yang ada, berhasil diidentifikasikan sebanyak 50 model. 48 Ke-50 model yang berhasil diidentifikasikan tersebut sejauh ini merupakan model yang tengah populer atau paling banyak diminati oleh para konsumen atau pembeli. Dilihat dari ukuran 48
Sebagai rujukan dalam melakukan identifikasi, sebagian periksa Pietra Rivoli (2009), “Where TShirts Go After The Salvation Army Bin” dalam Pietra Rivoli, The Travels of A T-Shirt in The Global Economy, 2nd edition, New Jersey: John Willey & Sons Inc., hlm. 215-226.
121
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
panjang lengannya, ke-50 model kaos yang ada dibedakan menjadi dua jenis, yakni: kaos berlengan pendek dan kaos berlengan panjang. Sementara jumlah masingmasing jenis adalah untuk kaos berlengan pendek sebanyak 28 buah, sedangkan untuk kaos berlengan sebanyak 22 buah. Sementara itu dilihat dari sudut gender atau kekhususan penggunanya dari ke-50 model kaos yang ada dibedakan menjadi dua jenis, yakni: kaos perempuan dan kaos laki-laki. Adapun jumlah dari masing-masing model adalah untuk kaos perempuan sebanyak 28, dan untuk jenis kaos laki-laki sebanyak 22 buah. Penjelasan lengkap tentang ke-50 model kaos yang bisa diidentifikasikan di lapangan dikemukakan dalam Tabel 8 berikut ini.
Tabel 8 Model-model Kaos Gender Pengguna
Ukuran Lengan
Model
Jumlah
Pendek
Singlet, Muscle, Bateauneck, Henleyneck, Polo, Crewneck, Boatneck, Raglan, Decolleteneck, Frenchsleeve,Graphic, Semi-raglan, Skippercollar, Stretch, Turtleneck, V-Neck, White-tee.
17
Panjang
Bateauneck, Henleyneck, Crewneck, Raglan, Decolleteneck, Graphic, Polo, Semiraglan, Skipper-collar, Strecth, Turtleneck, V-Neck.
12
Pendek
Singlet, Muscle, White-tee, Henleyneck, Crewneck, Raglan, Graphic, Skippercollar, Stretch, Turtleneck, V-neck. White-tee, Henleyneck, Crewneck, Raglan, Graphic, Polo, Skippercollar, Strecth, Turtleneck, V-neck.
11
Perempuan
Laki-laki Panjang
10
Sebagai ilustrasi dari uraian dia atas pada Gambar 8a disampaikan 12 buah jenis kaos perempuan dalam pelbagai potongan dan model. Gambar atas, dari kiri 122
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ke kanan meliputi model: Graphic, Crewneck, French Sleeve, dan Raglan. Gambar tengah: Scoopneck, Boatneck, Crewneck Cropped, dan model Cuffed Cropped. Gambar bawah: Turtleneck, Henleyneck Polo, Skipper Collar dan Longsleeve Skipper Collar. Model Graphic
memiliki kekhasan sebagaimana terletak pada
aplikasi grafis yang bisa dikembangkan hingga tak terbatas, sehingga terkesan dinamis. Model French Sleeve memiliki kekhasan sebagaimana terdapat pada potongan lengan yang dibuat menempel di badan sehingga terkesan dinamis. Model Crewneck kekhasan terletak pada lubang leher yang sempit, sehingga terkesan klasik. Model Raglan kekhasan terletak pada potongan bahu yang jatuh pada bagian dada dan lengan yang dibuat bertumpuk, sehingga terkesan modis dan seksi. Model Scoopneck kekhasan terdapat pada garis leher berbentuk bulat sehingga terkesan klasik. Sedangkan pada model Boatneck kekhasan yang ada terletak pada lubang leher yang menyerupai bentuk perahu (boat) sehingga tidak saja terkesan modis tetapi juga feminin. Model Cropped dan Cuffed Cropped selain terdapat pada ukuran lengan (panjang penuh dan ¾), kehasan yang ada juga terletak pada panjang badan yang dipotong beberapa centimeter di atas pusar sehingga terkesan seksi. Untuk model Turtleneck selain terdapat pada penggunaan kain berbenang besar sebagai bahan pakaian, kekhasan yang ada terletak pada bentuk krah yang dibuat menyerupai bentuk leher kura-kura disertai dengan aplikasi kancing sebagai pengait yang dilekatkan pada bagian leher, sehingga selain menonjolkan kesan nyaman juga terkesan modis. Pada model Henleyneck Polo kekhasan yang ada terletak pada bukaan leher dan bentuk krah yang dibuat menyerupai leher kemeja disertai dengan aplikasi kancing pada band leher sebagai fantasi sehingga menononjolkan kesan 123
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sporty. Pada model Shortsleeve Skipper Collar dan Longsleeve Skipper Collar kekhasan yang ada masing-masing terdapat pada ukuran panjang lengan (pendek dan panjang), potongan lengan yang dibuat jatuh pada bagian dada seperti model raglan, dan bentuk krah yang merupakan penggabungan antara garis leher sebagaimana lazim diaplikasikan pada kaos dengan model V-Neck dengan bentuk leher kaos dengan model Henleyneck Polo, sehingga menonjolkan kesan dinamis, trendy dan unik.
Gambar 9a Model-model Kaos Perempuan
Atas: Graphic, Crewneck, French Sleeve, Raglan.Tengah: Scoopneck, Boatneck, Crewneck Cropped, Cuffed Cropped. Bawah: Turtleneck, Henleyneck Polo, Shortsleeve Skipper Collar, Longsleeve Skipper Collar.
Sebagai ilustrasi dari keterangan di atas pada Gambar 8b disampaikan 12 model kaos laki-laki. Gambar atas, dari kiri ke kanan: Muscle, White tee, Graphic, dan V-Neck. Gambar tengah, dari kiri ke kanan: Strech, Shortsleeve Raglan, 124
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Longsleeve Raglan, dan Henleyneck Polo. Gambar bawah, dari kiri ke kanan: Cuffed Sleeve Henleyneck polo, Henleyneck Shirt, Shortsleeve Henleyneck Polo, dan Skipper Collar. Model Muscle memiliki kekhasan yang terletak pada tidak adanya lengan sehingga terkesan sporty dan macho. Sementara itu model Shortsleeve White tee memiliki kekhasan yang terletak pada ketiadaan aksen pada bagian lengan dan bodice pakaian sehingga menonjolkan kesan ordinary. Sementara itu pada model Shortsleeve Graphic kekhasan yang ada terletak pada aplikasi grafis pada bagian badan pakian sehingga terkesan dinamis. Sedangkan untuk model Shortsleeve Cuffed Raglan kekhasan yang ada terletak pada aplikasi klem bagian bawah kedua lengan sehingga terkesan sporty. Untuk model Strech tee kekhasan yang ada terdapat pada penggunaan kain lentur (strech) yang sangat fleksibel untuk digerakkan, sehingga menekankan kesan dinamis. Model Longsleeve Raglan kekhasan yang ada terletak pada potongan bahu yang jatuh ke dada dan ujung lengan yang dibuat tanpa keliman, sehingga kuat menekankan kesan atletis bagi penggunanya. Pada model Henleyneck Polo dan Cuffed Polo kekhasan yang ada terletak pada bukaan leher dan lipatan di ujung lengan kaos sehingga masing-masing menonjolkan kesan sporty. Model Henleyneck shirt memiliki kekhasan yang terletak pada desainnya yang mengimitasi bentuk kemeja dan krah pendek tegak disertai aplikasi 2 kelepak (flap) di pundak dan dua buah saku di badan sehingga terkesan dinamis. Sementara pada model Henleyneck Polo kekhasan yang ada terletak pada aplikasi kerutan (plooi, pletaed) pada bagian dada sehingga menonjolkan kesan elegan. Sedangkan pada model Skipper Collar tee kekhasan yang ada terdapat pada bentuk krah yang merupakan hasil penggabungan
125
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
antara garis leher kaos model “V” dengan krah kaos model Polo. Sebuah kreativitas desain yang menonjolkan kesan modis.
Gambar 9b Model-model Kaos Laki-laki
Atas: Muscle, White tee, Graphic, V-Neck. Tengah: Strech, Shortsleeve Raglan, Longsleeve Raglan, Henleyneck Polo. Bawah: Cuffed Sleeve Henleyneck polo, Atas: Muscle,Shirt, White-tee, Graphic, V-Neck. Polo, Tengah: Stretch,Skiper Shortsleeve Henleyneck Short Sleeve Henleyneck Shortsleeve Collar. Raglan, Longsleeve Raglan, Henleyneck Polo. Bawah: Cuffedsleeve Henleynek Polo, Henleyneck Shirt, Shortsleeve Henleyneck Polo, Shortsleeve Skiper Collar.
C.2.3. Kemeja
Kemeja merupakan model atasan yang cukup tersedia dalam jumlah cukup banyak di sejumlah gerai pakaian bekas yang ada di Yogyakarta. Pengembangan atau variasi model atasan ini kebanyakan meliputi empat bagian, yakni : bentuk krah (collar); manset (cuff) untuk kemeja berlengan panjang; kancing (buttons), bahan (fabric) yang dipergunakan sebagai bahan, ukuran, serta corak atau motif bahan
126
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang digunakan.49 Berdasarkan penelusuran atas 75 buah kemeja yang ada, teridentifikasikan 44 model. Ke-44 model yang berhasil diidentifikasikan sejauh ini merupakan model kemeja yang paling banyak dicari oleh para pembeli atau konsumen. Menurut gender atau kekhususan pengguna model kemeja itu meliputi kemeja perempuan sebanyak 20 buah dan kemeja laki-laki sebanyak 24 buah. Berdasarkan ukuran panjangnya terdiri dari kemeja lengan pendek sebanyak 23 buah dan kemeja lengan panjang sebanyak 21 buah.50 Hasil identifikasi 44 model itu selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 9 berikut.
Tabel 9 Model-model Kemeja Gender Pengguna
Ukuran Lengan
Model
Jumlah
Pendek
Band Collar, Check Gingham, Classic Turned Up, Drawstring Cuff, Gothic, Henleyneck, Henley Turn Up, Longpoint Collar, Prints, Rollup Flare, Roundneck, Ruched Side.
12
Panjang
Ruffle Front, Point Turned Up, Regular Turned Up, Roll-up Flare, Drawstring Cuff, Long-point Collar, ¾ Length-sleeve, dan Single Cuff.
8
Pendek
Jeans, Band collar, Check Gingham, Longpount Collar, Oxfprd Stripes, Pencil Stripes, Plaid Gingham, Prints, Roundneck, Variegated Stripes, Single Cuff.
12
Panjang
Band Collar, Button-down Collar, Tab Collar, Spread Collar, Check Gingham, Plaid Gingham, Henleyneck Line, Henley Turned Up, Long point Collar, Prints, Classic, Single Cuff, dan Roundneck.
12
Jumlah
44
Perempuan
Laki-laki
49
Lihat, Daniel Peres (2008), Details Men’s Style Manual, New York: Time Inc., hlm. 16-28. Sebagai bahan rujukan identifikasi, lihat Goet Poespo (2005a), Dinamika Busana Pria, Yogyakarta: Kanisius, impassim. 50
127
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sebagai ilustrasi dari keterangan di atas, berikutnya dikemukakan 16 buah model kemeja dan kekhasan yang ada di dalamnya. Ke-16 buah model yang ada dibedakan dalam dua kelompok menurut kekhususan pengguna atau gender pengguna dan ukuran panjang lengannya. Dalam Gambar 9a disajikan 8 buah model kemeja laki-laki dalam pelbagai variasi ukuran lengan. Gambar bagian atas, dari kiri ke kanan berturut-turut adalah: Check Gingham, Plaid Gingham, Striped Oxford, dan Variegated Stripes. Sedangkan pada gambar bawah, dari kiri ke kanan berturut-turut adalah meliputi: Jeans shirt, Classic, Henleyneck, dan Roundneck.51 Gambar 10a Model-model Kemeja Laki-laki
Atas: Check Gingham, Plaid, Striped Oxford, Variegated Stripes. Bawah: Jeans shirt, Long-point Collar, Henleyneck shirt, Collar Band.
Kekhasan model Check Gingham dan Plaid Gingham terdapat pada penggunaan bahan bercorak kotak-kotak (check atau gingham). Perbedaan kedua motif ini terletak pada jumlah garis dan kombinasi warnanya. Model Check 51
Mary Lou Andre (2004), Ready to Wear, New York: The Berkley Publishing, hlm. 24-29.
128
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Gingham motif hanya terdiri dari satu warna, sedangkan model Plaid Gingham motif tersusun dari beberapa warna. Penggunaan bahan bermotif kotak-kotak ini menawarkan kesan informal dan dinamis. Sementara pada model Striped Oxford dan Variegated Stripes kekhasan selain terletak pada ukuran lengan, masing-masing terdapat pada penggunaan bahan bermotif garis (stripes). Pada model Striped Oxford motif garis berukuran kecil dan dikombinasi dalam dua warna, sedangkan pada model Variegated Stripes, kombinasi garis memiliki ukuran berbeda. Penggunaan bahan bercorak atau bermotif garis menekankan kesan dinamis.52 Model Jeans shirt memiliki kekhasan yang terletak pada penggunaan jenis kain jeans dan siluetnya yang longgar dari pundak hingga kelim bawah, sehingga terkesan informal dan ordinary. Pada model Longsleeve Classic, kekhasan yang ada terdapat pada siluetya yang longgar dan krah yang dibuat dalam bentuk reguler, sehingga ter kesan klasik. Sementara pada model Henley Neck shirt kekhasan yang ada selain terdapat pada bentuk krah yang berukuran kecil dan dibuat berdiri (stand collar), juga mencakup lubang leher yang memiliki panjang kurang lebih 1/3 dari panjang kemeja, sehingga terkesan dinamis. Sedangkan pada model Roundneck kekhasan yang ada terdapat pada krah yang berbentuk bulat dan dijahit menempel langsung dengan badan (bodice), sekaligus dibuat mendatar sejajar dengan garis leher, sehingga menekankan kesan sporty.53 Pada Gambar 9b disajikan delapan model kemeja sebagaimana dikhususkan untuk pengguna perempuan. Gambar atas, dari kiri ke kanan adalah: Ruched Side, Ruffle Front shirt, Henley Turned Up shirt, dan Classic Turned Up shirt. Gambar
52 53
Daniel Peres (2008), Op. cit., hlm. 114. Mary Lou Andre (2004), Op.cit., hlm. 23.
129
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bawah, dari kiri ke kanan berturut-turut meliputi : Roll-up Flare shirt, Drawstring Cuff, Long point Collar shirt, ¾ Length-sleeve dan Single Cuff. Berbeda dari bentuk kemeja laki-laki yang kebanyakan dikembangkan berdasarkan pada unsur motif atau corak bahan serta bentuk krah, untuk kemeja perempuan hal tersebut cenderung lebih kompleks. Selain empat bagian sebagaimana disebutkan di atas, kemeja perempuan juga banyak dikembangkan berdasarkan pada ukuran, bentuk lengan, warna, aksen atau aplikasi bahan, potongan, dan design lainnya.
Gambar 10b Model-model Kemeja Perempuan
Atas: Short-sleeve Ruched Side shirt, Ruffle Front shirt, Point Turned Up shirt, Regular Turned Up shirt. Bawah: Roll-up Flare shirt, Drawstring Cuff, Length-sleeve, Long-sleeve Single Cuff.
Pada model Collar Band dan Long-sleeve Collar Band, kekhasan yang ada masing-masing terletak pada kesamaan bentuk krah keduanya yang dibuat dalam bentuk band berukuran kecil dan dijahit sebagai satu bagian dengan badan (bodice). Di samping itu keduanya juga dilengkapi dengan aksen lipatan yang dibuat 130
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
memanjang mengikuti panjang kemeja. Perbedaannya, pada model Long-sleeve Collar Band juga menerapkan aplikasi rumbai di sekitar krah yang dipasang memanjang hingga ¾ dari panjang kemeja, di sebelah kiri kanan kancing. Pengembangan kedua model kemeja itu secara tegas menekankan kesan feminin. Sementara itu untuk model Henley Turned Up, Classic Turned Up, Roll-up Flare, Drawstring Cuff, dan Single Cuff, kekhasan yang ada terletak pada pengembangan manset atau cuff yang melebihi panjang badan kemeja pada umumnya sehingga tidak saja terkesan feminin tetapi sekaligus modis. Untuk model Roll-up Flare kekhasan yang ada terletak pada aplikasi kancing yang dipasang pada bagian dalam di kedua lengan kemeja, sehingga sehingga tidak saja terkesan fleksibel tetapi juga trendy. Untuk model Long-sleeve Draw String Cuff
kekhasan yang ada terletak pada aplikasi tali kor pada manset yang
dikembangkan dengan memodifikasi posisi kancing pada umumnya sehingga terkesan dinamis sekaligus feminin. Untuk model Long point Collar, kekhasan yang ada terletak pada bentuk krah yang berukuran besar dan dibuat secara melebar (point collar) sehingga terkesan unik dan modis. Sedangkan untuk model Longsleeve Single Cuff, kekhasan yang ada terletak pada bentuk manset yang dibuat secara langsung dengan cara melipat bagian ujung lengan. Pengembangan bentuk krah dan manset kedua model ini menonjolkan kesan modis.
C.2.4. Blus
Blus merupakan salah satu jenis pakaian yang memiliki jumlah dan keragaman yang banyak. Selain berkaitan dengan gerak produksi yang 131
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menghasilkannya, hal itu tidak terlepas dari perubahan trend penggunaannya. Sekarang ini blus tidak lagi ditempatkan sebagai model seperates yang dalam penggunaannya memerlukan jenis pakaian lain. Kini ia bisa dipakai secara mandiri tanpa mensyaratkan pakaian lain sebagai pelengkap. Sebagai contoh adalah model Camisol dress atau Jumpsuits dress. Karena potongannya yang sangat terbuka pada bagian dada dan lengan, penggunaan keduanya dulu memerlukan jenis pakaian lain seperti blazer, sweater atau kemeja sebagai komplemennya. Kini keduanya bisa dipakai secara mandiri tanpa harus ditutup dengan jenis pakaian lain. Jika dulu ruang penggunaannya terbatas, kini keduanya bisa dipakai untuk belanja ke mall atau menonton film di bioskop. Meski demikian, secara umum blus juga membuat “batasan”-nya sendiri, sehingga bisa diidentifikasikan secara berbeda dari jenis pakaian lain. Selain merupakan pakaian yang dikhususkan untuk perempuan perempuan, batasan yang ada juga memertimbangkan soal ukuran dan design.54 Dari segi ukuran, panjang sebuah blus dihitung mulai dari pundak hingga ke bawah garis pinggang, sehingga melebihi batas panjang pelbagai model atasan pada umumnya. Dari segi design, blus banyak mengembangkan aplikasi dan aksen yang lebih “rumit” dibanding dengan pelbagai model atasan lainnya. Dari pergeseran ini, cakupan pengertian blus menjadi sangat luas. Pelbagai jenis atasan seperti kemeja, kaos, sweater, atau kimono dalam perkembangannya bisa dimasukkan ke dalam kategori blus. Tidak heran karenanya apabila model atasan ini kemudian disebut oleh banyak orang sebagai “pakaian bukan pakaian”.55
54 55
Jennifer Alfano (2009), Op. Cit., hlm. 66. Goet Poespo (2000 a), Aneka Blus (Blouses), Yogyakarta: Kanisius, hlm. 1-2.
132
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dari hal terakhir di atas, dari 18 buah blus yang ditelusuri di lapangan diidentifikasikan 16 model. Ke-16 model yang dimaksudkan meliputi: ¾ Lengthsleeve shirt, Basque shirt, Blouson, Bolero, Camisole dress, Collar Band Turned Up Flare shirt, Draw string, Flange blouse, Flare shirt, Halterneck blouse, Hollowed Collar Flare shirt, Kimono, Long Point Flare shirt, Mini blouse, Shrug, dan Wrap blouse.56 Sebagai ilustrasi dalam Gambar 10 ditampilkan delapan buah model blus yang paling diminati konsumen. Gambar atas, dari kiri ke kanan: Draw String Neck Line blouse, Draw String Bateuneck blouse, Pelerine Collar blouse dan Hollowed Collar blouse. Gambar bawah dari kiri ke kanan: Kimono, Collar Band Turned Up Flare shirt, ¾ Length-sleeve Flare shirt, dan Long Point Flare shirt.
Gambar 11 Molde-model Blus
Atas: Draw String Flare blouse, Draw String Bateuneck shirt, Draw String Pelerine shirt, dan Hollowed Collar Flare shirt. Bawah: Kimono, Collar Band Turned Up Flare shirt, ¾ Length-sleeve Flare shirt, dan Long Point Flared shirt.
56
Sebagai referensi proses identifikasi ini, lihat Goet Poespo (2000 a), Loc. Cit..
133
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Karakteristik kedelapan model gaun di atas selain terletak pada desainnya yang dikembangkan dari bentuk kemeja, juga memiliki siluet yang sama, yakni mengecil di bagian atas dan mengembang (flared) di bagian bawah. Dilihat secara terpisah, model Draw String Neck Line shirt, memiliki kekhasan yang terletak pada aplikasi tali leher yang memungkinkan untuk ditarik kerut, sehingga terkesan fleksibel. Pada Draw String Bateuneck shirt dan Draw String Pelerine Collar shirt memiliki kekhasan yang ada terletak pada aplikasi manset tambahan (extended cuff) disertai tali dan shrug leher sehingga terkesan dinamis. Pada model Hollowed Collar Shirt kekhasan yang ada terletak pada band leher yang dibuat memanjang sehingga menekankan kesan feminin. Pada model Collar Band Turned Up Flare shirt kekhasan yang ada terletak pada aksen leher yang dibuat secara menggantung sehingga terkesan klasik. Sedangkan pada model ¾ Length-sleeve Flare shirt dan Long Point Flare shirt kekhasan yang ada masing-masing terdapat pada ukuran panjang lengan dan tali pinggangnya sehingga terkesan sporty.
C.2.5. Sweater
Sweater adalah salah satu dari pelbagai jenis pakaian yang cukup banyak tersedia di kedua gerai yang diteliti. Sweater merupakan salah satu jenis pakaian yang keberadaannya paling stabil dibandingkan dengan jenis pakaian lainnya. Setelah celana dan kaos, sweater adalah jenis pakaian yang hampir pasti tersedia atau mudah didapatkan di pasar manakala para pedagang melakukan kulakan barang kepada para distributor. Di samping itu, jenis pakaian ini pulalah yang paling banyak diburu oleh para konsumen atau pembeli di setiap transaksi yang terjadi gerai 134
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pakaian bekas. 57 Berdasarkan pada hasil penelusuran selama di lapangan, dari 40 buah sweater yang ada berhasil teridentifikasikan 33 model.58 Ke-33 model sweater itu adalah model yang sejauh ini paling banyak diminati pembeli. Selanjutnya, menurut gender atau kekhususan penggunanya, ke-33 model sweater yang ada dibedakan menjadi dua jenis, yakni: sweater perempuan dan sweater laki-laki. Sementara itu jumlah sweater perempuan adalah sebanyak 21 buah, sedangkan jumlah sweater laki-laki adalah sebanyak 12 buah. Dalam Tabel 10 berikut dikemukakan 33 model
sweater yang dikelompokkan berdasarkan gender atau
kekhususan penggunanya.
Tabel 10 Model-model Sweater Gender Pengguna
Perempuan
Model
Jumlah
(1) Sleeveless V-Neck sweat, (2) Henleyneck sweat, (3) Gaucho sweat, (4) Knit sweat, (5) Cropped Cardigan, (6) Crewneck Pullover, (7) Band Collar Neck, (8) Cashmere sweat, (9) Extended Cuffed Band Collar, (10) V-neck Pullover, (11) Crewneck Cable-nit, (12) Vneck Cable-knit, (13) Cropped V-neck Cable-knit, (14) Crewneck Far Isle, (15) V-Neck Far Isle, (16) (17) Extended Cuffed Cardigan, (18) V-Neck Plaid Gingham, (19) V-Neck Cardigan, (20) Extended Cuffed Turtleneck, (21) Boyfriend.
21
12 Laki-laki
(1) Sleeveless sweat, (2) Check gaucho, (3) Graphic sweat, (4) V-Neck Line Gingham, (5) Plaid Gingham, (6) Henleyneck sweat, (7) Turtle Neck, (8) Raglan, (9) Grandpa Cardigan, (10)Hoddie Sweat, (11) Hoodie Raglan, (12) Fisherman. Total
57 58
33
Wawancara dengan Dedi Suryadi pada 20 Mei 2011. Sebagai rujukan proses identifikasi, periksa Jennifer Alfano (2009), Op. Cit., hlm. 116-119.
135
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
. Sebagai ilustrasi dari keterangan sebelumnya, berikutnya dikemukakan 16 buah model sweater yang paling laku atau difavoritkan oleh para konsumen. Pada Gambar 11a dikemukakan delapan buah model sweater sebagaimana dikhususkan untuk pengguna perempuan. Gambar atas, dari kiri ke kanan meliputi model: Sleeveless V-neck sweat, Henleyneck sweat, Gaucho sweat, dan
Knit sweat.
Sementara dalam gambar bawah berturut-turut meliputi model: Cropped Cardigan sweat, Crewneck Pullover, Band Collar sweat, dan Cashmere.
Gambar 12a Model-model Sweater Perempuan
Atas: Sleeveless V-neck sweat, Henleyneck knit, Gaucho sweat, Knit sweat. Bawah: Cropped Cardigan, Crewneck Pullover, Band Collar sweat, Cashmere sweat.
Model Sleeveless V-neck sweat kekhasan yang ada selain terdapat pada jenis benang besar sebagai bahan, juga terdapat pada potongan tanpa lengannya. Sebuah perpaduan yang menghasilkan kesan dinamis. Model Henleyneck sweat memiliki kekhasan yang terletak pada bukaan leher yang lebar disertai dengan aplikasi kancing pada band leher sehingga terkesan feminin dan modis. Sementara itu untuk 136
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
model Gaucho sweat
kekhasan yang ada selain terdapat pada siluetnya yang
longgar dan lurus, juga terdapat pada motif bahannya yang bergaris (stripes) melintang dan aplikasi zipper pada bagian leher yang memberikan kemungkinan kepada penggunanya untuk menata krahnya baik ke atas maupun mendatar. Sebuah sentuhan kreatif yang sangat menonjolkan fleksibilitas. Sementara itu pada model Knit sweat, kekhasan yang ada terletak pada bahan yang dipergunakan berupa benang rajut berpilin besar dalam sebuah kombinasi warna yang beraneka ragam sehingga menampilkan kesan dinamis. Pada model Cropped Cardigan sweat, kekhasan yang ada terletak pada panjang bodice yang dipotong beberapa centimeter di atas pusar dan aplikasi bulu tiruan di bagian leher sehingga menonjolkan kesan seksi yang sangat kuat. Model Crewneck Pullover kekhasan terletak pada garis leher bulat dan ujung bodice yang melengkung sehingga menampilkan kesan klasik. Sedangkan kekhasan model Band Collar sweat terletak pada siluet bodice yang fitted (pas badan) dan garis leher yang dibuat berdiri sehingga menampilkan kesan feminin sekaligus tegas. Sementara kekhasan model Cashmere terletak pada bahan yang digunakan dan aplikasi delapan buah kancing sebagai pengait, sehingga menonjolkan kesan klasik dan elegan. Pada Gambar 11b dikemukakan delapan buah model sweater sebagaimana lazim dikenakan laki-laki. Gambar atas, dari kiri ke kanan adalah: Sleeveless Cashmere, Check Gingham sweat, Graphic sweat, dan V-Neck Line Gingham. Gambar bawah dari kiri ke kanan adalah: Plaid Gingham Pullover, Henleyneck sweat, Turtleneck, dan Raglan. Untuk Check Gaucho sweat kekhasan terdapat pada siluet yang longgar dan jenis benang besar sehingga terkesan ringan. Pada model Graphic sweat kekhasan terletak pada bahan yang lebih tipis dan aplikasi grapik 137
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sehingga terkesan dinamis. Pada model V-Neck Line Gingham dan Plaid Gingham Collar Band sweat kekhasan terdapat pada siluet yang besar dan motif bahan kotakkotak sehingga terkesan ringan. Pada model Henleyneck sweat, Turtleneck, dan Raglan kekhasan yang ada terdapat pada siluet yang longgar, bahan rajut, dan bentuk leher sehingga menggarisbawahi kesan jantan (macho).
Gambar 12b Model Sweater Laki-laki
Atas: Sleeveless sweat, Check Gaucho, Graphic sweat, V-Neck Line Gingham. Bawah: Plaid Gingham, Henley Neck sweat, Turtle Neck, Raglan sweat.
C.2.6. Blazer
Pada awalnya blazer merupakan jas ringan dengan aplikasi bukaan kancing pada bagian dada dan lazim digunakan oleh laki-laki dan perempuan. Belakangan hari terjadi pergeseran trend penggunaan. Blazer lebih dimaksudkan sebagai jas yang dikhususkan untuk perempuan, sedangkan jas diterjemahkan sebagai pakaian 138
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
khusus laki-laki. Pengembangan blazer meliputi enam bagian, yakni: potongan bodice, ukuran lengan, bentuk saku dan kelepak krah, jenis dan corak bahan yang digunakan, serta aplikasi kancing.59 Dari 15 potong blazer yang diketemukan teridentifikasikan 12 model. Ke-12 model blazer itu adalah: Cropped peaked lapel, Classic notched lapel, Cord shawl lapel, Cropped shawl lapel, Peaked lapel, Notched collar, Tuxedo, Peplum, Boyfriend, Shawl lapel, dan Reversed collar. 60 Sebagai ilustrasi keterangan di atas, kedelapan model itu dikemukakan dalam Gambar 12 berikut. Gambar atas dari kiri ke kanan meliputi model: Cropped peaked lapel, Classic notched lapel, Cord shawl lapel, dan Cropped shawl lapel. Gambar bawah, dari kiri ke kanan meliputi model: Peaked lapel, Notched collar, Shawl lapel, dan Reversed collar. Berdasarkan enam bagian modifikasi sebagaimana dikemukakan sebelumnya, model Cropped Peaked lapel dan Peaked lapel masingmasing memiliki kekhasan yang terletak pada kelepak (lapel) yang berbentuk runcing dan siluetnya yang dibuat longgar dan menggantung, sehingga menonjolkan kesan dinamis. Bedanya, jika model Peaked lapel ukuran panjang bodice dibuat meliputi seluruh badan, untuk model Cropped Peaked lapel ukuran panjang sengaja dipotong beberapa centimeter di atas garis pinggang disertai dengan aplikasi kancing dengan jarak penempatan yang rapat, sehingga menonjolkan kesan seksi. Sementara pada model Classic notched lapel kekhasan yang ada selain terletak pada aksen geratan pada kelepak, juga terletak pada siluet yang longgar dan mengembang (flared) pada bagian bawah, dan tidak adanya saku, sehingga terkesan klasik. Sementara itu model Cord shawl lapel kekhasan yang ada terletak pada
59 60
Sebagai referensi proses identifikasi, lihat Daniel Peres (2008), Op. cit., hlm. 60. Sebagai referensi proses identifikasi lihat Mary Lou Andre (2004), Op.cit., hlm. 55-65
139
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bentuk kelepak dan potongan bodice yang dibuat menggantung dan pada aplikasi tali di pinggang sehingga terkesan klasik. Model Cropped shawl lapel kekhasan terletak pada panjang badan yang sengaja dipotong hingga pinggang, sehingga terkesan dinamis. Model Shawl lapel kekhasan terletak pada siluet yang panjang, dan aplikasi kancing bersusun “melebihi normal” dan penempatan saku yang berada di bawah, sehingga terkesan sangat formal. Untuk model Reversed collar kekhasan terletak pada kelepak yang dibuat secara terbalik, sehingga terkesan modis.
Gambar 13 Model-model Blazer
Atas: Cropped peaked lapel, Classic notched lapel, Cord shawl lapel, Cropped shawl lapel. Bawah: Tuxedo, Notched collar, Shawl lapel, Reversed collar
C.2.7. Jas
Berdasarkan penelusuran, dari 21 buah jas yang ada terdiri dari delapan buah model yang sejauh ini paling banyak diminati konsumen atau pembeli. Kedelapan buah model jas yang dimaksudkan terdiri dari: Peaked Lapel Single-breasted, 140
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Peaked Lape Double-breasted, Notched Single-breasted, Notched Double-breasted, Shawl Lapel Single-breasted, Shawl Lapel Double-breasted, Reversed Collar Single-breasted, dan model Reversed Collar Double-breasted.61 Dibandingkan dengan blazer pengembangan jas umumnya lebih simpel, yakni hanya terbatas pada bentuk saku dan kelepak krah, dan aplikasi kancing.62 Kedelapan model ini selanjutnya disampaikan dalam Gambar 13 berikut.
Gambar 14 Model-model Jas
Atas: Peaked Lapel Single-breasted, Notched Single-breasted, Shawl Lapel dan Reverse Single-breasted, Bawah: Peaked Lapel Double-breasted, Peaked Lapel Double-breasted, Notched Double-breasted, Reverse Double-breasted.
Kedelapan model jas yang ada memiliki kekhasan serupa yang terletak pada aksen kelepak dan pada siluet dan aplikasi kancing. Pada model single-breast (jas berkancing tangkup tunggal) kekhasan yang ada terletak pada siluetnya yang
61 62
Sebagai referensi identifkasi, lihat Daniel Peres (2008), Op. Cit., hlm. 46-47. Maria Constantino (1997), Fashion File Designers, London: B.T. Batsford Ltd., hlm. 155.
141
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
longgar mulai dari pundak hingga klem bawah dan posisi kancing tunggal yang persis berada di tengah badan, sehingga terkesan ramping dan dinamis. Untuk model double-breast (jas berkancing tangkup ganda) selain terdapat pada aksen kelepak, kekhasan yang ada juga terdapat pada siluetnya yang besar dan aplikasi kancing yang lebih banyak dan lebih masuk ke badan, sehingga menonjolkan kesan yang sangat formal. Dikaitkan dengan statusnya sebagai bagian dari model two-peaces atau setelan (suit), dalam penggunaan sehari-hari jenis pakaian ini tidak bisa berdiri sendiri, tetapi membutuhkan pakaian sejenis yakni celana bahan.
C.2.8. Jaket
Jaket merupakan salah satu jenis pakaian yang hampir bisa dipastikan tersedia dalam jumlah banyak di setiap gerai pakaian bekas. Taksiran selintas penulis, jumlah jaket di setiap gerai pakaian bekas kemungkinan bisa mencapai ratusan atau bahkan hingga ribuan. Karena jumlahnya yang begitu banyak, tidak mengherankan apabila dari 57 gerai yang ada kemudian terdapat dua gerai yang secara khusus menjual jenis pakaian ini. Dua gerai yang secara khusus hanya menjual jaket masing-masing adalah gerai “Diva Jaket” yang berlokasi di Jl. Kledokan (sebelah selatan STIE YKPN Babarsari) dan gerai “Metro Raja Kulit” yang berlokasi di Jl. Menteri Supeno (seberang barat “X Square”, Umbulharjo). Berdasarkan pada hasil penelusuran atas 79 buah potong jaket yang ada, teridentifkasikan 45 model. 63 Dari 45 model jaket yang ada meliputi dua kelompok
63
Sebagai referensi identifikasi, lihat Goet Poespo (2001c), Loc. Cit. Juga www.zappos.com dan http://en.wikipedia.org/wiki/Category: Outdoor_clothing_brands , diakes pada 22-23 Maret 2011.
142
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pengguna, yakni perempuan dan laki-laki. Adapun jumlah jaket perempuan adalah sebanyak 15 buah dan jumlah jaket laki-laki adalah sebanyak 30 buah. Keterangan tentang jumlah model jaket berdasarkan gender atau kekhususan pengguna bisa diikuti dalam Tabel 11 berikut. Tabel 11 Model-model Jaket Gender Pengguna
Perempuan
Model
Jumlah
(1) Sleeveless Jerkin, (2) Graphic Turtleneck Jacket, (3) Cardigan, (4) Trench Coat, (5) Scoop Leather Jacket, (6) Jeans Jacket, (7) Hoodies Parka Coat, (8) Anorak Leather Coat, (9) Blazer jacket, (10) Bolero jacket, (11) Norfolk jacket, (12) Luberman’s jacket, (13) Peplum jacket, (14) Mess jacket, (15) Shawl collar jacket.
15
30 Laki-laki
(1) Skipper Zip Jacket, (2) Graphic Skipper Polo Jacket, (3) Henleyneck Jacket, (4) Curdoray Jacket, (5) Anorak Hoodies Jacket, (6) Hoodies Rain-coat, (7) Parka Jacket, (8) Anorak Coat, (9) Battle jacket, (10) Bomber jacket, (11) Bush jacket, (12) Collarless jacket,(13) Cropped jacket, (14) Cubaverra jacket, (15) Drizzler jacket, (16) Down jacket, (17) Duffle jacket, (18) Cardigan jacket, (19) Rider’s jacket, (19) Quilting jacket, (20) Stadium jacket, (21) Shooting jacket, (22) Western jacket, (23)Windbreaker jacket, (24) Yacht (25) Zouve jacket, (26) Scoop, (27) Poncho, (28) Outbond coat, (29) Field jacket, (30) Hacking jacket. Jumlah
45
Sebagai ilustrasi dari keterangan di atas, berikutnya disampaikan 16 buah model jaket yang sejauh ini paling banyak diminati konsumen atau pembeli. Ke-16 model jaket tersebut dikelompokkan menjadi dua berdasarkan kekhususan pengguna atau gender pengguna. Pada Gambar 14a disampaikan delapan buah model jaket sebagaimana dikhususkan untuk pengguna perempuan. Pada gambar bagian atas, 143
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dari kiri ke kanan adalah model: Sleeveless Jerkin jacket, Graphic Turtleneck jacket, Cardigan, dan Trench-coat. Sementara pada gambar bagian bawah, dari kiri ke kanan adalah model Scoop Leather jacket, Jeans jacket, Hoddi Parka coat, dan Anorak coat. Kekhasan yang dipamerkan model Sleeveless Jerkin jacket terletak pada bahan berserat besar yang dipergunakan dan tidak adanya lengan, sehingga selain terkesan nyaman juga sporty.
Gambar 15a Model-model Jaket Perempuan
Atas: Sleeve-less Jerkin, Graphic Turtle Neck jacket, Cardigan, Trench coat. Bawah: Scoop Leather jacket, Jeans jacket, Hoodies Parka coat, dan Anorak Leather coat.
Kekhasan model Graphic Turtleneck jacket masing-masing terletak pada bentuk krah, aplikasi grafis dengan teknik bordir di dada, dan penggunaan elastic band besar baik di pinggang maupun di kedua ujung lengan, sehingga terkesan sporty. Kekhasan model Cardigan terdapat pada penggunaan bahan berbenang besar dan siluetnya yang longgar, sehingga terkesan elegan. Kekhasan model 144
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Trench-coat dan Anorak Leather coat terletak pada bentuk krah yang mengadopsi kelepak jas, penggunaan bahan kedap air, aplikasi tali kor di pinggang,. dan potongan badan yang panjang, sehingga terkesan dinamis. Kekhasan model Scoop Leather jacket terdapat pada bahan kulit dan aplikasi kelepak di pundak dan saku yang terkesan tegas. Model Jeans jacket kekhasan terletak pada penggunaan bahan jeans dan siluetnya yang longgar sehingga terkesan ordinary. Kekhasan model Hoodies Parka coat terletak pada aplikasi tudung (hoodie) dan saku, sehingga terkesan modis.
Gambar 15b Pelbagai Model Jaket Laki-laki
Atas: Skipper Zip jacket, Graphic Skipper Polo jacket, Henleyneck Jacket, Curdoray Jacket. Bawah: Anorak Hoodies coat, Hoodies Rain-coat, Parka jacket, Anorak coat.
Dalam Gambar 14b dikemukakan delapan model jaket sebagaimana lazim dikhususkan untuk para pengguna berjenis kelamin laki-laki. Gambar atas, dari kiri ke kanan berturut-turut meliputi model: Skipper Zip jacket, Graphic Skipper Polo 145
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
jacket, Henleyneck Jacket, dan Curdoray Jacket. Gambar bawah:dari kiri ke kanan berturut-turut mencakup model: Anorak Hoodies coat, Hoddi Rain-coat, Parka jacket, dan Anorak coat. Kekhasan model Skipper Zip jacket masing-masing terletak pada penggunaan bahan semi parasut, krah jaekt yang berbentuk shawl, siluetnya yang longgar dan lurus dari pundak hingga pinggang, serta aplikasi elastic band di ujung lengan dan di bagian pinggang, sehingga terkesan ordinary. Pada model Graphic Skipper Polo jacket, kekhasan terletak pada bentuk leher yang longgar dan aplikasi polet di kedua sisi lengan, serta grafis dengan teknik embos (setak timbul) di dada, sehingga terkesan sporty. Pada model Henley Neck Jacket kekhasan yang ada terletak pada bahan yang digunakan (yakni wool sintetik), ukuran lubang dan leher lebar dan bentuk krah yang merupakan perpaduan antara bentuk
“V” (V-neck) dan polo, siluet yang
longgar dan lurus mulai bahu hingga klem bagian bawah, serta kombinasi warna merah yang dibuat bertumpuk dengan warna abu-abu dan disatukan dengan teknik jahitan, sehingga selain menonjolkan kesan nyaman juga terkesan modis. Sementara pada model Curdoray Jacket kekhasan selain terletak pada penggunaan kain jenis curdoray sebagai bahan pakaian, juga terdapat pada penggunaan bahan kulit untuk krah, polet pada ¾ badan, klem bagian bawah badan dan di kedua ujung lengan yang semuanya dilekatkan dengan teknik jahit, sehingga tidak saja menonjolkan kesan modis tetapi juga unik Kekhasan model Anorak Hoodies coat dan Hoodies Rain-coat terletak pada penggunaan kain parasut yang kedap air sebagai bahan pakaian, siluet yang longgar dan lurus, aplikasi tudung kepala (hooedies), 4 buah saku model bobok, dan tali kor pada bagian pinggang dan tudung, sehingga selain terkesan nyaman juga dinamis. 146
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Untuk model Parka jacket kekhasan terletak pada kain jenis parka sebagai bahan pakaian, siluet yang longgar dan lurus, aplikasi 4 saku model kantong di bagian depan dan penggunaan bahan kulit untuk krah, sehingga menekankan kesan nyaman dan kuat. Sedangkan model Anorak coat kekhasan terletak pada siluet yang longgar dan lurus dari bahu hingga klem bawah, aplikasi elastic band pada bagian krah dan di kedua ujung lengan, sehingga terkesan dinamis.
C.2.9. Rok
Rok adalah salah satu jenis pakaian khusus untuk perempuan yang cukup banyak tersedia di gerai-gerai pakaian bekas. Dari 31 potong rok yang ditelusuri di lapangan teridentifikasikan 25 model. Ke-25 model yang dimaksudkan adalah meliputi: A-line skirt, Semi flared skirt, Barrel Shape skirt, Bitton-down skirt, Box Pleat skirt, Cowl skirt, Cullote skirt, Draped skirt, Flared skirt, Gathered skirt, Gingham Micro skirt, High Waist skirt, Kick Pleat skirt, Layered skirt, Denim Maxi skirt, Midi skirt, Mini skirt, Pencil skirt, Pareo skirt, Umbrella skirt, Tiered, Full, Bubble, Trouser skirt dan Yoke skirt.64 Sebagai ilustrasi keterangan ini dalam Gambar 15 dikemukakan lima model rok yang sejauh ini paling banyak dicari atau diminati konsumen. Lima model rok yang dimaksudkan adalah meliputi: Gingham Micro skirt (Gambar 1), Chino Mini skirt (Gambar 2), Denim Pencil skirt (Gambar 3), Denim Mid-Scalf skirt (Gambar 4), dan Denim Maxi skirt (Gambar 5).65
64
Sebagai referensi identifikasi, lihat Maria Constantino (1997), Op. cit., hlm. 125. Catatan: Karena permasalahan teknis, selain gambar (1), gambar yang dipasang bukan gambar sebagaimana didapatkan selama proses identifikasi di lapangan. Gambar yang digunakan sengaja diambil karena memiliki kesejajaran dengan gambar versi lapangan. 65
147
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Gambar 16 Model-model Rok
Gambar (1) Gingham Micro skirt, (2) Chino Mini skirt, (3) Denim Pencil skirt, (4) Denim Mid-Scalf skirt, dan (5) Denim Maxi skirt.
Kekhasan model Gingham Micro skirt masing-masing terletak pada motif kotak-kotak (gingham) pada bahan yang digunakan, pada aplikasi tali yang dibuat dalam motif dan bahan sama di bagian pinggang yang dimungkinkan untuk ditarik kerut, serta ukuran panjang rok yang sangat pendek dan hanya pas menutupi pantat, sehingga secara gamblang tidak saja menegaskan kesan dinamis tetapi juga sekaligus seksi. Pada model Chino Mini skirt kekhasan yang ada selain terletak pada penggunaan jenis kain Chino sebagai bahan pakaian, juga terdapat pada tidak adanya lipatan, obras atau jahitan pada kelim bagian bawah rok, siluetnya yang pas badan (fitted), serta panjang rok yang berukuran mini, sehingga menggarisbawahi kesan seksi. Kekhasan lainnya adalah pada potongannya yang dikembangkan dari bentuk celana pada umumnya. Karena modifikasi ukuran itu dalam dunia fesyen mutakhir model Mini skirt ini disebut juga dengan nama Trouser skirt.
148
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pada model Denim Pencil skirt kekhasan yang ada terletak pada penggunaan bahan denim dan siluetnya yang longgar pada bagian pinggang kemudian menyempit sampai kelim bawah rok sebagaimana menyerupai bentuk pensil, sehingga menegaskan kesan dinamis. Sementara pada model Denim Mid-Scalf skirt kekhasan yang ada selain terletak pada penggunaan bahan denim, juga terdapat pada siluetnya yang mengembang dari pinggang hingga kelim bawah, aplikasi pias (gore) berbentuk “V” yang dibuat terbalik pada bagian depan, dan ukuran panjangnya yang mencapai betis sehingga menonjolkan kesan feminin. Sedangkan pada model Denim Maxi skirt kekhasan yang ada selain terletak pada penggunaan bahan denim, juga terdapat pada siluetnya yang longgar dan memiliki jahitan samping yang lurus sampai kelim bawah rok, dan ukuran panjang rok yang terjuntai hingga mencapai mata kaki, sehingga menonjolkan kesan klasik.
C.2.10. Celana
Celana adalah salah satu jenis pakaian yang memiliki jumlah dan model yang paling banyak dibandingkan dengan jenis dan model pakaian lainnya. Dalam transaksi keseharian di gerai celana merupakan jenis pakaian yang memiliki tingkat perputaran yang paling tinggi dibandingkan dengan jenis pakaian lainnya.66 Berdasarkan hasil penelusuran lapangan atas 100 potong celana, berhasil diidentifikasikan 56 model celama. 67 Menurut ukuran panjangnya model ini meliputi dua jenis, yakni: celana pendek (shorts) dan panjang (trousers; pants). Untuk celana
66 67
Wawancara dengan Dedi Suryadi dan Yanti (isteri Dedi) pada 20 Mei 2011. Sebagai referensi proses identifikasi, lihat Daniel Peres (2008), Op. Cit., hlm. 67-72..
149
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pendek berjumlah 22 dan untuk celana panjang berjumlah sebanyak 34. Menurut gender atau kekhususan penggunanya, model celana yang ada meliputi: celana perempuan dan celana laki-laki. Jumlah celana perempuan tercatat sebanyak 36 buah, sedang jumlah celana laki-laki sebanyak 20 buah. Deskripsi keseluruhan model celana berdasarkan ukuran panjang dan kekhususan penggunanya disampaikan pada Tabel 12 berikut.
Tabel 12 Model-model Celana Gender Pengguna
Ukuran Lengan
Model
Jumla h
Pendek
Denim Hip huggers, Denim Cuffed hipster, Gingham Trouser shorts, Hot pants, Denim Cuffed short shorts, Denim Cuffed short, Jamaica short, Mid-Tight short, Mid-Rise short, Button-down Cuffed shorts, Cargo short, Classic Boy short, Bermuda short, Walking short, Deck pants.
15
Pedal pushers, Gaucho, Sweat pants, Knickers, Tracking pants, Pleated, Boot-Cut, Wide-Leg jeans, Denim Capri pants, Cuffed Capri jeans, Boot-cut jeans, High-Waist jeans, Hipster Skinny jeans, Skinny jeans, Super Skinny jeans, Classic Straight jeans, Slim Straight jeans, Bootcut jeans, Cargo pant, Cropped pant, Flare jeans, Legging, Plus Size Capri jeans.
23
Pendek
Classic Boy short, Denim short, Elastic-waist Swim Trunks, Running pant, Bermuda short, Walking short, Trouser short, dan Cargo short.
8
Panjang
Sweat pants, Knickers, Tracking pants, Skinny jeans, Slim Straight jeans, Cargo pant, Classic Straight jeans, Boot-cut jeans, Baggy, Classic Fit Flat Front khaki, dan Classic Fit Pleated khaki. Total
11
Perempuan
Panjang
Laki-laki
150
56
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Melengkapi uraian sebagaimana diutarakan di atas, berikutnya disampaikan 14 model celana. Ke-14 model itu meliputi kekhususan atau jenis kelamin (gender) pengguna dan ukuran panjang celana sebagaimana diutarakan sebelumnya. Dalam Gambar 16a dikemukakan tujuh buah model celana sebagaimana dikhususkan untuk pengguna perempuan. 68 Ketujuh model celana yang dimaksudkan adalah meliputi: Denim Cuffed short shorts (Gambar 1), Gingham Trouser shorts (Gambar 2), Hot pants (Gambar 3), Bermuda pant (Gambar 4), Cuffed Capri jeans (Gambar 5), Hipster Skinny jeans (Gambar 6), dan Plus Size Capri jeans (Gambar 7).
Gambar 17a Model-model Celana Perempuan
(1) Denim Cuffed short shorts, (2) Gingham Trouser shorts, (3) Hot pants, (4) Bermuda, (5) Cuffed Capri jeans, (6) Hipster Skinny jeans, (7) Plus Size jeans.
Pada model Denim Cuffed short shorts kekhasan yang ada terletak pada ukurannya yang sangat pendek, aplikasi lipatan yang dibuat terbalik pada kelim 68
Catatan: Karena permasalahan teknis, gambar yang dipasang bukan gambar sebagaimana didapatkan selama proses identifikasi di lapangan. Gambar digunakan karena memiliki kesejajaran dengan gambar versi lapangan.
151
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bawah, dan garis pinggang di bawah pusar (below naval), sehingga menonjolkan kesan seksi. Kekhasan model Gingham Trouser shorts selain terdapat pada penggunaan jenis kain bercorak kotak-kotak sebagai bahan, juga terdapat pada potongannya yang mengadopsi bentuk celana panjang, sehingga terkesan dinamis. Kekhasan model Hot pants selain terletak pada ukurannya yang sangat pendek, juga terdapat pada penggunaan jenis kain beludru sebagai bahan, dan aplikasi tali kor sehingga menonjolkan kesan fleksibel. Kekhasan model Bermuda terdapat pada ukuran panjang, 2 saku gantung yang dibuat agak ke samping, dan aplikasi tali kor di pinggang dan di kedua ujung kaki, sehingga terkesan ringan dan dinamis. Sementara itu kekhasan model Cuffed Capri jeans masing-masing terdapat pada penggunaan jenis kain jeans sebagai bahan pakaian, ukuran panjangnya yang berakhir di atas betis, serta aplikasi lipatan bertumpuk pada kelim bawah, sehingga menekankan kesan dinamis. Sementara itu pada model Hipster Skinny jeans kekhasan yang ada di samping terletak pada penggunaan jenis kain jeans sebagai bahan, juga terdapat pada bukaan pinggang yang berawal di bagian bawah pusar dan siluetnya yang sangat ketat mulai dari pinggang hingga ujung kelim bagian bawah celana, sehingga menegaskan kesan yang sangat ramping dan seksi. Sedangkan kekhasan model Plus Size jeans selain terdapat pada penggunaan jenis kain jeans sebagai bahan, juga terletak pada panjangnya yang menjuntai sampai pertengahan betis (midcalf) serta siluetnya yang longgar mulai dari pinggang, pinggul, dan paha, sehingga menonjolkan kesan feminin. Dalam Gambar 16b dikemukakan enam model celana laki-laki. Keenam model yang dimaksudkan berturut-turut meliputi model: Trouser pant (Gambar 1), Running pant (Gambar 2), Cargo (Gambar 3), Skinny jeans (Gambar 4), Slim 152
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
straight jeans (Gambar 5), dan Classic Fit Flat Front khaki (Gambar 6). Kekhasan yang ada dalam model Trouser pant terletak pada penggunaan jenis kain corduroy, dan potongannya yang mengadopsi bentuk celana panjang sehingga terkesan elegan. Sementara itu kekhasan model Running pant selain terdapat pada penggunaan jenis kain katun sebagai bahan, juga terdapat pada aplikasi tali kor pada bagian pinggang yang bisa ditarik kerut sehingga terkesan fleksibel. Sedangkan kekhasan yang ada pada model Cargo terletak pada aplikasi saku kantung di sisi kanan dan kiri bagian paha, dan siluetnya yang longgar sehingga terkesan kokoh.
Gambar 17b Model-model Celana Laki-laki
Gambar (1) Trouser pant, (2) Running pant, (3) Cargo short, (4) Skinny jeans, (5) Slim straight jeans, (6) Classic Fit Flat Front khaki.
Pada model Skinny jeans kekhasan yang ada di samping terletak pada penggunaan jenis kain jeans sebagai bahan, juga terdapat pada siluetnya yang sangat ketat dari pinggang hingga ujung kelim bagian bawah, sehingga menonjolkan kesan sangat ramping. Model Slim straight jeans kekhasan yang ada selain terletak 153
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
penggunaan jenis kain jeans sebagai bahan pakaian, juga terletak pada siluetnya yang dibuat sedikit lebar pada bagian pinggang kemudian lurus hingga kelim bawah, sehingga terkesan kokoh. Pada model Classic Fit Flat Front khaki kekhasan masingmasing terletak pada jenis kain katun dengan warna khas coklat (khaki) sebagai bahan pakaian, juga terdapat pada siluetnya yang pas (fitted) pinggang yang kemudian mengembung hingga kelim bagian bawah celana, dan pada ukuran panjang celana yang dibuat terjuntai hingga mata kaki. Sebuah kreasi yang menonjolkan kesan formal kepada penggunanya.
C.3. Kekhususan Pengguna
Menegaskan kembali persoalan kekhususan penggunan sebagaimana secara sepintas telah banyak disinggung di beberapa tempat sebelumnya, dari hasil penelusuran atas 500 potong pakaian bekas -- yang meliputi 3 model dan 10 jenis pakaian – berhasil diidentifikasikan 290 model (dalam arti style). Berdasarkan pada gender atau kekhususan pengguna, dari total 290 model pakaian yang ada meliputi kedua pengguna, yakni: perempuan dan laki-laki. Dari pengkhususan penggunaan semacam ini selanjutnya dihasilkan dua model pakaian, yakni: model pakaian perempuan dan model pakaian laki-laki. Sementara itu jumlah model pakaian perempuan tercatat sebanyak 170 buah (58,6%) dari total model pakaian yang ada. Sedangkan model pakaian laki-laki tercatat sebanyak 120 buah (41,4%) dari keseluruhan model yang ada. Uraian tentang distribusi model (style) pakaian berdasarkan pada kekhususan atau gender penggunanya selengkapnya disajikan dalam Tabel 13 berikut. 154
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tabel 13 Jumlah & Model (style) Berdasarkan Kekhususan Pengguna
Jenis Gaun Kaos Kemeja Blus Sweater Blazer Jas Jaket Rok (skirts) Celana Total
Jumlah Model 20 50 44 16 16 8 8 55 21 54 290
Distribusi Model Perempuan Laki-laki 20 28 22 20 24 16 8 8 8 8 15 30 21 34 20 170 120
Dari tabel di atas tampak bahwa ada jenis dan model pakaian yang sejak awal secara khusus memang hanya diperuntukkan untuk satu kelompok pengguna tertentu, semisal gaun, blus, blazer, dan rok untuk perempuan; atau jas untuk lakilaki Akan tetapi dalam perkembangan kemudian terdapat sejumlah model pakaian yang sengaja dikembangkan dari jenis pakaian yang mencakup pengguna perempuan dan laki-laki, seperti: kaos, kemeja, sweater, jaket, dan celana. Perkembangan pengguna pakaian tersebut di satu sisi bisa dipakai untuk menjelaskan luasnya cakupan model pakaian yang ada. Di sini lain perkembangan itu juga dapat dipergunakan untuk menjelaskan luasnya alternatif yang disediakan pasar dalam memberikan keleluasaan dan kemungkinan kepada kedua kelompok pengguna atau konsumen. Satu hal yang sangat signifikan dalam memengaruhi proses penentuan pilihan dan pembuatan keputusan dalam mengonsumsi jenis dan model pakaian tertentu. 155
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
C.4. Okasionalitas . Di dalam dunia mode dikenal istilah kesempatan (occasionality) penggunaan pakaian. Istilah ini kurang lebih mengacu pada kekhususan penggunaan pakaian yang didasarkan pada kesempatan, kondisi, waktu, dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Berkenaan dengan persoalan ini para pengamat mode kemudian membagi pakaian ke dalam tiga kategori: formal, semi formal, dan non-formal.69 Pakaian formal secara umum diterjemahkan sebagai pakaian yang lazimnya digunakan atau dipakai dalam pelbagai kesempatan yang memerlukan formalitas tertentu, seperti pada saat bekerja, bersekolah atau kuliah, menghadiri resepsi perkawinan, dan melakukan acara keagamaan atau peribadatan di gereja atau masjid sebagau permisalan. Selanjutnya yang termasuk dalam kategori pakaian formal adalah: gaun tertutup, dan setelan (suit) yang meliputi blazer yang dikombinasikan dengan rok atau celana bahan (tailored, non-jeans atau denim), serta jas yang dikombinasikan dengan pantalon (non jeans atau denim). Sementara itu pakaian semi formal adalah pakaian yang dikenakan atau dipakain di dalam kesempatan yang sedikit memersyaratkan formalitas, seperti menghadiri pesta ulang tahun, mengunjungi orang sakit, atau melayat. Dalam wujud konkret keseharian, pakaian semi formal ini meliputi model overall, atasan dan bawahan seperti misalnya: gaun terbuka, rok panjang, blus dengan gaya simpel, kemeja lengan pendek, polo, dan pantalon dalam pelbagai gaya. Sedangkan pakaian non-formal pakaian pakaian lazim dikenakan dalam kesempatan yang tidak memerlukan formalitas, seperti: rekreasi, mengunjungi teman, menonton film di 69
Daniel Peres (2008), Op. Cit., hlm. 50-52.
156
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bioskop, berbelanja di mall, atau untuk kesempatan bersantai di rumah. Dalam wujud konkret model dan jenis pakaian ini misalnya adalah: gaun, blus dengan gaya kompleks, rok pendek, T-shirt, celana pendek, jeans, serta denim atau jeans dalam pelbagai gaya. 70 Berdasarkan hasil penelusuran di lapangan, dari 500 buah pakaian bekas yang ada meliputi tiga kategori sebagaimana diutarakan di atas. Sementara itu jumlah dan perbandingan ketiga kategori pakaian itu adalah sebagai berikut. Untuk pakaian formal, jumlah yang ada tercatat sebanyak 112 buah (22,4%) dari total keseluruhan pakaian bekas yang diteliti. Untuk pakaian semi-formal terdiri dari 138 buah (27,6%) dari total keseluruhan pakaian bekas yang ada. Sedangkan untuk pakaian non-formal jumlah yang ada adalah sebanyak 230 buah (46%) dari total keseluruhan pakaian bekas yang diteliti. Dari ketiga kategori itu tampak bahwa jumlah dan persentase terbanyak ditempati oleh pakaian non-formal, disusul kemudian oleh pakaian semi-formal, dan pakaian formal. Meskipun konsumsi ketiga kategori pakaian itu terbagi secara merata, jenis pakaian non-formal merupakan kategori pakaian yang paling banyak diminati pembeli. Tentang kategorisasi pakaian berdasarkan kesempatan disampaikan dalam Tabel 14 berikut.
Tabel 14 Kategori Pakaian Bekas Berdasarkan Kesempatan Kategori Formal Semi Formal Non Formal Total
70
Jumlah 112 138 230 500
Arifah A. Riyanto (2003), Op. cit., hlm. 22.
157
Persentase 22,4 27,6 46 100
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
C.5. Jenis dan Karakter Bahan
Kualitas dan karakteristik bahan tekstil sangat dipengaruhi oleh jenis serat dan konstruksi benang penyusunnya. Secara umum bahan tekstil berasal dari dua jenis serat: serat alam (cellulose) dan serat buatan. Serat alam adalah bahan tekstil yang diambil dari alam, semisal tumbuhan, bulu, atau kulit binatang, dan dikembangkan melalui teknik pintal dan samak. Bahan tekstil yang dibuat dari serat alam adalah: katun (yang dihasilkan dari kapas), linen (yang dihasilkan dari rami), sutra (yang dihasilkan dari kepompong), dan wol (yang dihasilkan dari bulu domba). Sedangkan serat buatan adalah bahan tekstil yang berasal dari alam, semisal minyak tanah, pulp, dan batubara, yang dalam pengembangannya ditambahkan pelbagai bahan kimia. Bahan tekstil yang berasal dari serat buatan di antaranya adalah: rayon (yang dihasilkan dari bubur kayu), poliamida atau nilon (yang dihasilkan dari arang), organza (yang dihasilkan dari batubara), poliester (yang dihasilkan dari minyak tanah), dan akrilik (yang dihasilkan dari minyak dan arang).71 Berdasarkan konstruksi benang penyusunnya bahan tekstil dibedakan dalam dua jenis, yakni: benang biasa dan benang istimewa. Benang biasa adalah benang yang dikonstruksi atas serat-serat pendek yang kemudian disatukan dengan teknik pintal. Benang yang dikonstruksi dengan jenis benang biasa adalah: benang mula (Jawa: lawe), benang tenun, benang jahit, dan benang pilin (knit). Benang istimewa adalah benang yang dikonstruksi atas dua macam benang dan disatukan dengan teknik pilin. Benang yang dikonstruksi dengan benang istimewa adalah: mouline (grandelle), melange, frotte, knobbe, dan slub. Sedangkan berdasarkan jenis bahan 71
Periksa Goet Poespo (2005b), Pemilihan Bahan Tekstil, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 9-13.
158
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang digunakan sebagai penyusun benang meliputi: kapas, logam, karet, dan plastik.72 Jenis serat, konstruksi benang, dan bahan penyusun benang yang dipakai merepresentasikan enam karakter: dingin, panas, menyerap keringat, jatuh (dropped), kaku, lembut/licin, dan gemerisik. Berdasarkan pada hasil penelusuran atas 500 potong pakaian bekas yang ada mencakup semua jenis serat, konstruksi benang, dan karakter bahan sebagaimana disebutkan di atas. Hal itu bisa diidentifikasikan dari setiap jenis dan model pakaian yang ada. Bahan katun yang berkarakter dingin dan menyerap keringat umumnya merupakan dasar bagi T-shirts, celana bahan, kemeja, denim dan jeans. Bahan linen yang berkarakter panas dan gemerisik kebanyakan dipakai untuk setelan (suits), celana bahan, rok, dan celana pendek, blus, dan gaun. Bahan wol yang berkarakter panas dan licin kebanyakan dipakai untuk mantel, sweater, blazer, setelan, jas, dan celana bahan. Bahan sutera yang berkarakter jatuh dan licin umumnya diterapkan untuk jenis dan model gaun, blus, dan blazer. Untuk bahan rajut yang berkarakter hangat dan jatuh, umumnya diterapkan untuk pelbagai jenis dan model sweater. Dari 500 potong pakaian bekas tersebut, yang tersusun berdasarkan bahan serat alam tercatat sebanyak 318 buah (63,6%). Bahan serat itu terdistribusi dalam pelbagai jenis dan model gaun (30), kaos (95), kemeja (75), blus (18), dan celana (100). Untuk bahan pakaian jenis serat buatan atau sintetis tercatat sebanyak 182 (36,4%) yang terdistribusi ke dalam jenis dan model sweater (36), blazer (15), jas (21), jaket (79), dan rok (31). Sementara pakaian yang dikonstruksi dari benang biasa sebanyak 373 buah (74,6%) dan terdistribusi dalam pelbagai jenis dan model kaos (95), jas (21), sweater (36), blazer (15), rok (31), kemeja (75), dan celana 72
Ibid.
159
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
(100). Sedangkan pakaian yang dikonstruksi dari benang istimewa sebanyak 127 buah (25,4%) yang terdistribusi dalam pelbagai jenis dan model gaun (30), blus (18) dan jaket (79). Dari data yang ada tampak bahwa jenis dan model pakaian bekas berbahan serat alami dan dikonstruksi dari benang biasa sejauh ini menjadi satu hal yang paling banyak diminati konsumen. Tentang jenis dan karakter bahan dalam pakaian bekas bisa diikuti dalam Tabel 15 berikut.
Tabel 15 Jenis dan Karakter Bahan Material
Jenis Serat Alam
Bahan
Serat Sintetis
Biasa Benang Istimewa
Model Gaun (30), Kaos Kemeja (75), Blus Celana (100). Sweater (30), Blazer Jas (21), Jaket (79), (31).
(95), (18), (15), Rok
Kaos (95), Jas (21), Sweater (36), Blazer (15), Rok (31), Kemeja (75), Celana (100) Gaun (30), Blus (18), Jaket (70)
Jumlah
Persentase
318
63,6
182
36,4
373
74,6
127
25,4
C.6. Merk
Dalam perdagangan pakaian pada umumnya, merk memiliki peran signifikan. Laris atau laku tidaknya pakaian salah satunya banyak ditentukan oleh keberadaan merk. Hanya saja, seperti diutarakan dalam uraian sebelumnya, bahwa ketersediaan pakaian bekas sama sekali tidak bisa dipastikan. Semuanya berada di luar jangkauan kemampuan para pedagang untuk memenuhinya. Demikian halnya 160
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan persoalan merk pakaian pakaian bekas yang ada. Dari 500 buah pakaian bekas yang diteliti diidentifikasikan 500 merk yang berbeda-beda. Dari jumlah dan merk diketahui perbandingan keduanya adalah 1:1; satu pakaian satu merk. Seluruh merk itu adalah merk asing dan “dikontribusi” oleh 48 negara dari pelbagai penjuru dunia. Tentang jumlah merk dan negara asalnya disajikan dalam Tabel 16 berikut.73
Tabel 16 Merk dan Negara Asal Pakaian Bekas No Negara Asal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Amerika Serikat. Kanada. Argentina. Brasil. Mexico. Australia. Selandia Baru. Austria. Belanda. Belgia. Bulgaria. Denmark. Finlandia . Hungaria . Inggris. Islandia. Italia. Jerman. Norwegia., Perancis. Portugal. Rumania. Rusia. Serbia.
Jumlah Merk 70 25 1 2 3 26 5 1 12 2 2 9 1 1 28 1 26 18 2 19 2 2 2 1
73
No
Negara Asal
25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
Slovenia. Skotlandia. Spanyol. Swedia. Swiss. Yunani. Mesir. Namibia. Bangladesh. China. Hong Kong. India. Irak. Iran. Israel. Jepang. Korea. Malaysia. Pakistan. Philippina. Taiwan. Thailand. Turki. Vietnam.
Jumlah Merk 1 5 15 10 4 1 2 1 8 15 16 11 1 2 8 27 62 2 3 5 15 10 6 9
Kata “merk” dan “ negara asal” yang dipakai di sini menunjuk pada pengertian “made in” (buatan) dan patent. Kata “made in” pasca perundingan WTO tahun 2010 yang menyepakati adanya liberalisasi pasar, kini tidak lagi mengacu pada kata “made ini” (buatan) tetapi pada hak patent. Kata “made in” kini berarti “dibuat di”. Merk pakaian “Bonds” dan “Kathmandu” yang hak patentnya dimiliki 2 perusahaan pakaian Australia, kini dibuat di China dan Bangladesh dan masing-masing dilabeli dengan “Made in China” dan “Made in Bangladesh”.
161
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dari tabel di atas diketahui bahwa berdasarkan pada kawasan atau wilayah negara asalnya, merk terbesar pertama ditempati oleh pelbagai merk pakaian yang berasal dari negara-negara di wilayah Asia dengan jumlah sebanyak 183 buah (36,6%) dari total 500 merk yang diidentifikasi. Merk pakaian terbesar kedua berasal dari negara-negara di wilayah Eropa dengan jumlah sebanyak 171 (34,2%). Disusul kemudian oleh merk pakaian yang berasal dari negara-negara di wilayah Amerika yakni sebanyak 101 buah (20,2%) di posisi ketiga. Sementara itu merk pakaian yang berasal dari negara-negara di kawasan Australasia (Australia dan Selandia Baru) berada di urutan ketiga dengan jumlah sebanyak 31 buah (6,2 %). Sedangkan sisanya merupakan merk pakaian yang berasal dari negara-negara di kawasan Timur Tengah dengan jumlah sebanyak 13 buah (2,6%) negara di kawasan Afrika, yakni sebanyak 1 buah (0,2%) di urutan terakhir. Klasifikasi tentang asal dan jumlah merk pakaian bekas per kawasan disampaikan dalam Tabel 17 berikut.
Tabel 17 Klasifikasi Asal & Jumlah Merk Pakaian Bekas No 1 2 3 4 5 6
Kawasan Asia Eropa Amerika Australasia Timur Tengah Adrika Total
Jumlah 183 171 101 31 13 1 500
Persentase 36,6 34,2 20,2 6,2 2,6 0,2 100
Menurut informasi sejumlah pedagang dari pelbagai merk dalam beragam jenis dan model pakaian, ada beberapa merk yang menjadi favorit para pembeli. Merk yang paling laku atau banyak digemari pembeli berasal dari lima kawasan 162
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dunia, yakni: Eropa, Amerika, Asia, Aistralasia, dan Timur Tengah. Merk yang berasal dari negara-negara kawasan Eropa, meliputi Belanda, Denmark, Inggris, Italia, Jerman, Perancis, Spanyol, dan Swedia, ada di ranking pertama dengan jumlah sebanyak 98 buah atau 57,3% dari total 171 merk yang ada. Disusul oleh merk dari negara-negara kawasan Amerika, meliputi Amerika Serikat dan Kanada, di urutan kedua dengan jumlah sebanyak 76 buah (75,2%) dari total 101 merk yang ada. Merk-merk pakaian terlaris ketiga berasal dari negara-negara di kawasan Asia, meliputi China, Hong Kong, India, Jepang, Korea, dan Thailand, dengan jumlah sebanyak 68 buah (37,1%) dari total 183 merk secara keseluruhan. Merk pakaian yang paling laku atau paling digemari pembeli di posisi keempat berasal dari negara-negara wilayah Australasia, meliputi Australia dan Selandia Baru, dengan jumlah sebanyak 24 buah (77,4%) dari total 183 merk yang ad. Sedangkan merk pakaian terlaris kelima berasal dari negara-negara di wilayah Timur Tengah, yang meliputi Irak, Iran, Mesir, dan Israel, dengan jumlah sebanyak 8 buah atau 61,5% dari total 13 merk secara keseluruhan. Perhitungan selengkapnya tentang merk pakaian yang paling laris atau digemari para pembeli berdasarkan kelima kawasan di atas bisa diikuti dalam Tabel 18 berikut.
Tabel 18 Merk Terlaris Menurut Negara Asalnya No 1 2 3 4 5
Negara Asal Eropa Amerika Asia Australasia Timur Tengah
Jumlah 98 76 68 24 8
163
Persentase 57,3 75,2 37,1 77,4 61,5
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Melengkapi uraian sebagaimana dikemukakan terakhir di atas, selanjutnya disampaikan informasi tentang nama-nama merk pakaian yang paling laku atau paling digemari oleh para pembeli berdasarkan lima wilayah. Informasi tentang hal tersebut dikemukakan dalam Tabel 19 berikut ini.
Tabel 19 Daftar Merk Terlaris Berdasarkan Negara Asal No 1
Negara/ Merk
Jml 98
Eropa Belanda: Didi T, G-Star RAW, MeXX, Tesco, TopShop. Denmark: Best Seller, Jack Jones, Mamalicious, Noir, Only, Outfitters Nation, Selected Femme. Inggris: Arciv, Austin Reed, Beulah London, Bench, Biba, Burberry, Chloe, Crombie, Debenhams, Dorothy Perkins, FCUK, Henley, Jack Wills, Karen Millen, King Apparel, Lambretta, Marks & Spencer, Reis, Salt & Pepper, St. Oliver. Jerman: Armani Exchange, Benneton, SpA, Bluemarine, Bottega Veneta, Dolce Gabbana (D&G), Diesel, Emporio Armani, Emilio Pucci, Fila, Gas Jeans, Giorgio Armani, Gucci, Iceberg, Loro Piana, Macy’s, Missoni, Moschino, Prada, Taussardi, Valentino, Versace (Italia), Adidas, Clemens-Auguste (C&A), Canda, Escada, Here+There, Hugo Boss, Marc O’polo, Polomino, Puma, Reebok, silver Jeans, Thor steiner, Tom Tailor, Ulla Popken, Westburry. Perancis: Cerruti 1881, Chanel, Chloe, Givenchy, Hermes, Lacoste, Lanvin Paris, Louis Vuitton, Promod, Sisley. Spanyol: Berscha, Desigual, Lois, Mango, Massiomo Dutti, Oysho, Pull & Bear, Stradivarius, Uterque, Zara. Swedia: Aqua Limone, Fjallraven, Haglofs, H&M, KRAM, Nakkna, Nudie Jeans.
2
76
Amerika AS: Abbey Down, Abercrombie & Fitch, Alice+Olivia, Affliction, Airwalk, Akademiks, AKOO, Alternative Apparel, American Jenas, Arrow, Athleta, Banana republic, Beefy-T, Ben Davis, Betsi Johnson, Brooks Brothers, Burton, Calvin Klein, Candie’s, Christin Michael, Converse, Dana Buchman, Dockers, Dona Karan New York (DKNY), Etcetera, Ex-Boyfriend, Fossil, FUBU, GAP, Guess, Hamilton Shirt, Izod, JAG, Johny Was Pete, KR3W, Lee, Levi’s, Members Only, New Look, Ralph Lauren, Ritmo, Rocawear, Sean John, Sol y Oro, Speedo, Stag, Star, Stussy, TAFFY’S, The North face, Theory, Tommy Hilfiger, United Bamboo, Volcom, Vince, Wrangler. Kanada: Aritzia, Bluenote, Community, Cheap and Pepper, Club Monaco, Dorinha Jeans Wear, DSQUARED, Garage, Heritage, Joe Fresh, La Senza, Streetwear Society, Talula, West, Wind River.
164
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3
68
Asia China: Amy, Ben Lee, Bosideng, Brussel, Diamonds, NOW, Omphalos, St. Elmo, Trands, Younger. India: Cuini & Jony, Duka, Khan, Reid & Taylor. Hong Kong: Baleno, Bossini, Crocodile, Esprit, G2000, Giordano. Jepang: APE, ASICS, Bape, Body Wave, Edwin, Ikeda, Kenzo, Studio D’Artisan, Uniglo, Wacoal, Fino House, Oscar and Jesus, Peach John, Pure Blue, Renown, Rumba,Twenty One. Korea: Bluemint, Bohemian, Box Fresh, Boy London, Burro, Cendile, Dangoon, Fiesta, Fountain, Get Used, Joy Keep Jeans & Co, Koolhash Jeans, Makoto, Noko Jeans, Peticool, Pitot, Raboem, REDOPIN, Rich Add, Solare, Street Fien, Sun Myona, Sweet Box, TB Jeans, Teenie Weenie, XZX. Thailand: Black Bone, Blind Knif, Boxer, Champa Leaf, Claws, Ravi’s International.
4
24
Australasia Australia: Billabong, Bisley, Blind, Bonds, Coogi, Country Road, Davenport, Element, Enjoi, Everlast, Globe, Harley, Kathmandu, Mooks, RVCA, Sas & Bide, Slazeenger, Stubbies, West 49. Selandia Baru: Counterburry, Icebreaker, Ilicit Streetwear, ORCA.
C.7. Warna
Warna adalah unsur penting dan paling menonjol dalam pakaian bekas. Keragamam warna pakaian bekas sejauh ini lebih beragam atau bervariasi dibandingkan dengan warna-warna pakaian baru yang diperdagangkan di mall. Berdasarkan hasil penelusuran atas 500
potong pakaian bekas
berhasil
diidentifikasikan 30 warna. Menurut komposisinya 30 warna tersebut meliputi tiga kelompok. Pertama, warna primer (akromatik). Warna primer mengacu pada warna dasar yang mencakup warna merah, biru, dan kuning. Kedua, warna sekunder. Warna sekunder mengacu pada gabungan warna yang dihasilkan dari tiga warna primer yang mencakup warna hijau, oranye/jingga, dan ungu. Ketiga warna tersier. Warna tersier mengacu pada warna hasil perpaduan dua warna sekunder atau satu 165
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
warna primer dengan salah satu warna sekunder, seperti oranye atau jingga kemerahan, kuning kehijauan, hijau kebiruan, merah keunguan.
Gambar 18 Jenis-jenis Warna
Contoh warna: (1) Merah bata, (2) Magenta, (3) Soga, (4) Biru dodger, (5) Biru Langit, (6) Tosca, (7) Blue Navy, (8) Olive, (9) Kheki, (10) Hijau Lumut (Lawn green).
Terkait dengan komposisi adalah nada warna (colour tones). Menurut nadanya 30 warna yang ada meliputi empat kelompok: warna aksen, warna netral, warna hangat (warm colours), dan warna sejuk (cool colours). Warna aksen adalah warna mencolok yang dipakai untuk memberi penekanan pada suatu perpaduan, yang umumnya merupakan warna primer. Warna netral adalah warna yang tidak mencolok sehingga mudah dipadukan dengan warna apapun seperti hitam, putih, dan abu-abu. Warna hangat (warm colours) adalah warna yang kerap diasosiasikan dengan api atau matahari yang secara psikis berkesan hangat dan penuh energi; yang meliputi merah, oranye/jingga, dan kuning. Warna sejuk (cool colours) adalah warna yang kerap diasosiasikan dengan air laut, langit, dan dedaunan seperti biru laut (navy), ungu (violet), dan hijau. Warna lembut (pastel) adalah warna muda hasil percampuran warna putih yang cukup banyak dengan warna tertentu. 166
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Selengkapnya 30 warna itu meliputi: merah angggur atau merah tua agak ungu kecoklatan (burgundy), merah keunguan (magenta), salmon, merah bata atau merah tembikar (terracota), soga (merah saga), coklat agak kemerahan (tosca), coklat muda kuning keabu-abuan (beigie), coklat zaitun (olive), coklat kemerahan (honey), coklat tua (brown), coklat kusam bernada kuning kehijauan (khaki), coklat muda lembut mirip begie (tan), coklat keabu-abuan atau abu-abu kecoklatan (taupe), biru langit (sky blue), biru dodger (dodger blue), biru kehijauan mirip warna pirus (turquoise), biru laut (navy), kuning kecoklatan (mocassin), pink tua keunguan atau kebiruan (fuchsia), oranye atau jingga lembut semu pink (peach), smoke, putih kuning gading (ivory), putih kusam (antique white), hijau jeruk (lime), hijau kebiruan mirip toscha dalam nada lebih pekat (teal), hijau lumut (lawn green), hijau pupus (spring green), ungu kebiruan (lavender), ungu kuning kemerahan (orchid), dan ungu kemerahan (indigo). Menurut catatan para pedagang, sekalipun hampir semua warna yang ada terbagi secara cukup merata, berdasarkan komposisi warnanya, sejauh ini warna sekunder dan tersier adalah warna yang paling diminati oleh para konsumen atau oembeli. Para pembeli lebih banyak menyukai warna-warna matang atau campuran alih-alih warna dasar atau tunggal. Sementara itu berdasarkan pada nada warnanya, warna netral, warna hangat, dan warna sejuk adalah warna-warna yang sejauh ini paling banyak diminati oleh konsumen atau pembeli. Pemilihan komposisi dan nada warna sebagaimana dilakukan oleh para konsumen atau pembeli besar kemungkinan berkaitan dengan trends yang tengah berkembang dalam dunia fesyen. Sebagai contoh, belakangan ini berkembang trend baru dalam hal warna. Warna-warna pecah (Jawa: bladus, kluwus) dengan variasi antara tone netral, hangat, dan sejuk 167
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebagaimana diaplikasikan dalam pelbagai jenis dan model pakaian kini tengah menjadi mode, terutama di kalangan muda.74.
C.8. Motif atau Corak
Di samping enam unsur keragaman sebagaimana diutarakan dalam paragrafparagraf sebelumnya, ada satu unsur yang cukup memiliki peran penting dalam perdagangan pakaian bekas sebagaimana berlangsung di Yogyakarta. Unsur yang dimaksudkan adalah berkenaan dengan motif atau corak bahan pakaian. Menurut catatan sejumlah pedagang dalam proses transaksi dan sirkulasi pakaian bekas sehari-hari salah satunya banyak ditentukan oleh keberadaan unsur motif atau corak bahan. Motif atau corak bahan yang bagus dipastikan memiliki daya tarik tinggi dalam mendorong terjadinya proses transaksi atau jual beli. Motif dan corak bahan yang baik akan menjadi magnet dan penggerak dalam proses sirkulasi dan transaksi. Para
konsumen
atau
pembeli
dimungkinkan
akan
mengeluarkan
atau
membelanjakan uangnya untuk membeli pakaian bekas dengan motif dan corak bahan yang menurut mereka dinilai menarik atau menggugah minat dan perhatian. Berdasarkan pada hasil penelusuran lapangan atas 500 buah pakaian bekas, diidentifikasikan sembilan motif atau corak bahan pakaian. Tujuh motif atau corak bahan yang dimaksudkan meliputi: polos sebanyak 120 buah (24%), garis (baik strips maupun variegated) sebanyak 70 buah (14%), titik-titik (dots) sebanyak 40 buah (8%), motif bulatan (spots) sebanyak 25 buah (5%), kotak-kotak (baik gingham maupun check) sebanyak 65 buah (13%), abstrak sebanyak 45 buah (9%), 74
Jennifer Alfano (2009), Op. Cit., hlm. 124-125.
168
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
motif alam sebanyak 50 buah (10%), grafis sebanyak 55 buah (11%), dan gambar bicara (conversational) sebanyak 30 buah (6%). Kesembilan motif yang ada tersebar ke semua model dan jenis pakaian bekas yang ada atau diperdagangkan. Perhitungan tentang motif atau corak bahan pakaian bekas bisa dilihat dalam Tabel 20 berikut.
Tabel 20 Motif / Corak Pakaian Bekas No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Motif Polos. Garis (Stripes). Titik-titik (Dots). Bulatan (Spots). Kotak-kotak. Abstrak. Alam. Grafis. Gambar Bicara (Conversational) Total
Jumlah 120 70 40 25 65 45 50 55 30 500
Persentase 24 14 8 5 13 9 10 11 6 100
Dari data di atas, tampak bahwa motif polos ada ranking pertama dengan jumlah 120 buah. Disusul oleh motif garis di urutan kedua dengan jumlah 70 buah. Urutan ketiga adalah motif kotak-kotak yang berjumlah 65 buah. Motif ini sejak lama memiliki peminat tetap, yakni para pelajar SMA dan mahasiswa yang intens beraktivitas di dunia lingkungan dan kepencintaalaman. Motif yang umumnya dikembangkan dalam bentuk kemeja ini menjadi uniform dan ikon di antara mereka. Motif ini juga dipakai oleh para pecinta musik rap. Motif grafis berada di urutan keempat dengan jumlah sebanyak 55 buah; disusul motif alam, abstrak, dan titiktitik di urutan kelima, keenam dan ketujuh dengan jumlah masing-masing sebanyak 50, 45, dan 40 buah. Urutan kedelapan dan kesembilan ditempati oleh motif gambar bicara (seperti gambar mobil, kue, pesawat terbang, kegiatan olah raga, dan kartun) 169
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dan bulatan dengan jumlah sebanyak 30 dan 25 buah. Kedua ini motif ini belakangan banyak diminati konsumen dari kalangan remaja dan pemuda. Hal itu berkaitan dengan mewabahnya musik reggae, ska, dan hip hop.
Gambar 19 Pelbagai Motif atau Corak Pakaian
Contoh-contoh motif. Atas: Gingham, Check, Stripes, Variegated, Bunga. Bawah: Dekoratif, Binatang, Abstrak, Dot, Kartun
D. Pembeli Pakaian Bekas.
Sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, keberadaan pakaian bekas di Yogyakarta mendapatkan animo dan antusiasme publik yang cukup tinggi. Para konsumen atau pembeli pakaian bekas saat ini melibatkan anggota masyarakat dengan latar belakang atau status sosial ekonomi beragam. Hal yang demikian itu bisa dikonfirmasikan dengan cara melihat latar belakang profesi para konsumen atau pembeli pakaian bekas yang ada. Dari 21 orang konsumen atau pembeli pakaian 170
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bekas yang sekaligus merupakan respondens penelitian ini meliputi 10 profesi yang berbeda-beda. Kesepuluh profesi konsumen yang dimaksudkan meliputi mahasiswa, guru, dosen, pegawai departemen, polisi, tentara, musisi, penyiar radio, perawat kesehatan, dokter, dan pegawai bank (teller). Informasi tentang latar belakang status atau profesi konsumen pakaian bekas bisa diikuti pada Tabel 21 berikut ini.
Tabel 21 Keragaman Pengguna Menurut Satatus/ Profesi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Status/ Profesi Mahasiswa Guru Dosen Perawat Dokter Pegawai Pemerintah Polisi Tentara Penyiar Radio Musisi Teller Bank
Jumlah 10 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Total 20
Persen 50 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 100
Dari data di atas, diketahui bahwa konsumen pakaian bekas terbanyak ditempati oleh mahasiswa, yakni sebanyak 10 orang atau 50% dari total keseluruhan pembeli. Disusul kemudian dengan 10 orang pembeli umum (50%) yang tersebar ke sembilan profesi lainnya, yakni: guru, dosen, perawat, dokter, pegawai pemerintah, polisi, tentara, penyiar radio, musisi, dan pegawai bank (teller) dengan persentase masing-masing sebanyak satu orang atau 5 % dari keseluruhan pembeli. Dari latar belakang status atau profesi para konsumen tersebut diketahui bahwa pembeli pakaian bekas saat ini tidak saja melibatkan orang-orang dengan latar belakang sosial ekonomi tertentu, tetapi beragam. Konsumen atau pembeli pakaian bekas saat 171
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sekarang tidak saja melibatkan orang-orang dengan latar belakang sosial ekonomi menengah bawah sebagaimana dalam hal ini diwakili oleh profesi musisi, 75 tetapi juga kelompok atau sosial ekonomi menengah atas.76 Data itu juga menggarisbawahi tentang penggunaan pakaian bekas dalam masyarakat yang semakin luas.
Gambar 20 Tongkrongan Pembeli
Pembeli bermobil tengah mampir di dua gerai Sandang Murah, Jln. Ngasem.
75
Sebagai musisi genre underground, K, laki-laki, 35 tahun, menjelaskan bahwa ia dan groupnya yang terdiri dari 4 orang hanya mendapatkan uang apresiasi antara Rp.350.000 hingga Rp. 400.000 setiap pentas. Undangan pentas fluktuatif; sebulan paling banyak 3-4 kali. Wawancara pada 13 November 2011. 76 Khusus mahasiswa penentuan status mereka ditimbang berdasarkan biaya pondokan dan alat transportasi yang mereka miliki. Dari 2 kelompok, yakni “Kelompok Kotabaru” dan “Kelompok Depok”, biaya pondokan masing-masing adalah Rp. 3,5 juta per bulan dan Rp. 2,5 juta per bulan. Dari 10 orang mahasiswa tersebut, 7 orang (70%) di antaranya memiliki mobil. Untuk responden lainnya asumsi dikembangkan berdasarkan informasi umum tentang gaji rata-rata yang mereka terima sesuai profesi masing-masing.
172
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Informasi lainnya adalah bahwa berdasarkan pada jenis kelamin (gender) pembeli dari 20 responden meliputi perempuan dan laki-laki. Kedua kelompok gender konsumen itu memiliki perimbangan jumlah dan persentase yang sama yakni masing 10 orang (50%). Dari itu menunjukkan bahwa pembeli pakaian bekas tidak didominasi oleh satu gender tertentu. Sebaliknya, konsumsi pakaian bekas sebagaimana berkembang dalam masyarakat Yogyakarta mencakup kedua-duanya, laki-laki dan perempuan. Kedua kelompok pengguna inilah yang selama ini menjadi penyakap pakaian bekas di tengah-tengah masyarakat Yogyakarta kontemporer. Transaki dan sirkulasi pakaian bekas dalam masyarakat sejauh ini melibatkan kedua kelompok gender tersebut. Di samping itu dari fakta yang ada menggarisbawahi kenyataan bahwa pakaian bekas sebagaimana ditawarkan dalam bentuk perdagangan memiliki cakupan pembeli dengan latar belakang gender beragam.
Gambar 21a Suasana di Gerai
Suasana di gerai Mega Obral, Jl. KH. Ahmad Dahlan No.6.
173
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sementara itu berdasarkan pada komposisi
umur atau usia pembeli,
diketahui bahwa secara umum range usia mereka rata-rata terentang antara umur 21 hingga 40 tahun. Untuk pembeli dari kalangan mahasiswa, range usia mereka terentang antara 21 hingga 23 tahun. Selain itu kelompok ini merupakan kelompok yang paling banyak sekaligus paling aktif terlibat dalam proses konsumsi pakaian bekas ti tengah masyarakat Yogyakarta masa kini. Dalam perspektif psikologi perkembangan usia antara 21 hingga 30 tahun dikategorikan sebagai orang muda yang menginjak masa dewasa awal, sedangkan di atas usia 30 tahun dikategorikan sebagai dewasa dan tua. Dari perspektif umur atau usia pembeli ini menandaskan bahwa para pengguna pakaian bekas tidak didominasi oleh kelompok usia tertentu. atau hanya terdiri dari satu kelompok umur tertentu, tetapi meliputi pelbagai kelompok umur.
Gambar 21b Suasana di Gerai
Suasana di gerai Sandang Murah, Jl.Adisutjipto. Suasana di gerai pakaian bekas “Sandang Murah”, Jl. Adisutjipto
174
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
E. Kesimpulan
Dari paparan panjang di atas menggarisbawahi realitas bahwa pakaian bekas sebagai beredar di tengah masyarakat merupakan bentuk komoditas. Dengan kata lain ia merepresentasikan realitas industri atau perdagangan. Dalam realitas di pasar merupakan komoditas yang diperdagangkan melalui jalur khusus non-pemerintah. Pakaian bekas sebagaimana beredar di sejumlah tempat Indonesia umumnya dan di Yogyakarta khususnya merupakan gabungan dari pakaian bekas pakai dan pakaian riject dalam arti pakaian import yang tidak memenuhi syarat atau tidak lolos uji kelayakan karena sejumlah kecacatan yang diidapnya. Dengan kata lain pakaian bekas tersusun dari pakaian yang telah digunakan orang dan pakaian yang gagal diimpor oleh perusahaan garment dan pakaian. Sebagai bentuk komoditas pakaian bekas yang beredar di Indonesia sejauh ini didatangkan oleh para importir dalam negeri bekerjasama dengan importir luar. Negara asal pakaian bekas tersebut meliputi sejumlah negara di kawasan Asia, Eropa, Amerika, Timur Tengah, dan Australia. Pakaian bekas sebagaimana beredar di tengah masyarakat Yogyakarta selain berjumlah banyak juga beraneka ragam. Keragaman pakaian bekas tersebut meliputi jenis, merk, mode, bahan, potongan, motif atau corak, model, warna, kekhususan pengguna (gender) dan kekhususan penggunaan. Jumlah dan keragaman ini dalam perkembagan kemudian ikut menentukan jumlah dan perkembangan gerai pakaian sebagai saluran yang memerdagangkan pakaian bekas tersebut ke tengah masyarakat Yogyakarta. Titik-titik perdagangan pakaian bekas sebagaimana ditandai oleh keberadaan gerai atau kios pakaian bekas yang ada di Yogyakarta, tersebar di 175
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pelbagai area, wilayah, dan lokasi. Keberadaan pakaian bekas di Yogyakarta tidak saja tersebar di pusat kota, tetapi juga di batas kota, hingga luar kota. Perkembangan gerai pakaian bekas sejauh ini mengikuti arah dan pertumbuhan kota. Munculnya kantung-kantung kota-kota baru di perbatasan dan pinggir kota memungkinkan pakaian bekas bergerak dari pusat ke pinggir. Tingginya jumlah dan keragaman pakaian bekas juga berpengaruh pada keragaman konsumen atau pembelinya. Sejauh ini pengguna pakaian bekas meliputi kelompok umur, jenis kelamin, dan profesi yang beragam. Akhirnya, sebagai sebuah bentuk komoditas atau objek konsumsi, pakaian bekas sebagaimana beredar di tengah masyarakat Yogyakarta melalui mekanisme perdagangan terlebih dulu telah melewati proses produksi atau komodifikasi. Dengan demikian ia sama sekali berbeda dari pakaian bekas dalam pengertian umum. Proses produksi atau komodifikasi terhadap pakaian bekas meliputi restorasi, reparasi, modifikasi, dan pembaruan mode (refashioning). Implikasi dari proses produksi atau komodifikasi ini selain mengacu pada aspek fisik juga mengacu pada faktor penambahan nilai. Faktor penambahan atau perubahan nilai lewat proses produksi dan komodifikasi tersebut telah mentransfigurasikan nilai yang melekat dalam pakaian, yakni dari guna dan nilai tukar barang ke dalam nilai tanda. Efek nilai tanda yang dihasilkan merupakan elemen mendasar yang memungkinkan pakaian bekas tersebut dikonsumsi atau digunakan orang. Karena keberadaan nilai tanda inilah yang memungkinkan konsumen meletakkan kepercayaanya sebagai dasar konsumsi.
176
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bab IV FANTASI DAN SUBLIMASI IDENTITAS DAN SUBJEK PAKAIAN BEKAS
Sebagai ujung akhir kajian, bagian ini membahas tentang pembentukan identitas dan subjek para pengguna pakaian bekas. Dengan kata lain melihat bagaimana horison identitas dan subjektivitas para pengguna pakaian bekas dengan latar belakang status mereka masing-masing akhirnya dibentuk lewat proses konsumsi. Secara umum dikemukakan latar belakang yang mendasari pertimbangan dan putusan para pengguna atau konsumen dalam menggunakan pakaian bekas. Dalam kaitan ini akan dilihat persoalan histeria konsumsi mode modern dan munculnya simptom yang berakar pada pengalaman traumatik atau pengalaman negativitas konsumen terhadap pakaian pada masa lalu. Kemunculan simptom dijembatani oleh pengetahuan atau bakat paranoia sebagaimana melekat dalam pengalaman konsumen akan lack dan loss akibat proses penyeragaman dan estetisasi pasar mode pada umumnya. Persoalan akan diteruskan dengan melihat kekuatan pakaian bekas dalam melahirkan fantasi – satu hal yang diperlukan oleh konsumen untuk menetapkan identitas dan subjektivitas konsumen terhadap pelbagai identitas yang dibawakan oleh pakaian bekas. Secara khusus uraian dimaksudkan untuk menggambarkan scope permainan yang dilakukan oleh para pengguna pakaian bekas sebagaimana berlangsung dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer. Dalam kaitan ini akan dikemukakan pelbagai
177
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
jenis kenikmatan (excitement) sebagaimana dialami para konsumen atau pengguna pakaian bekas dalam komunikasi atau hubungan sosial. Melalui strategi sublimasi para konsumen mengembangkan siasat guna menciptakan bahasa (master of signifier) baru dalam berpakaian. Bahasa yang berbeda dari bahasa yang bekerja dalam tatanan Imajiner dan tatanan Simbolik. Bahasa sublimatif tersebut dipakai untuk menghadapi fetishisme konsumsi mode kontemporer. Dengan kata lain penggunaan pakaian bekas tersebut bisa ditempatkan sebagai sebagai sarana untuk melakukan transfigurasi dan counter discourse atas pelbagai bentuk penyeragaman bahasa mode modern. Proses tersebut ditempuh oleh para konsumen lewat teknik collage (kolase) dan recycle culture (budaya daur ulang). Sebagai pendukung uraian akan disampaikan pemaknaan atas pakaian bekas sebagaimana disampaikan para konsumen yang sekaligus merupakan responden penelitian ini.
A. Pakaian Bekas dan Identitas
A.1. Konsumsi Mutakhir dan Estetisasi Mode
Sebagaimana disinggung pada awal pembicaraan, selama satu dasawarsa terakhir wajah Yogyakarta telah sedemikian berubah menjadi sebuah sanctuaria konsumsi. Perubahan wajah Yogyakarta kontemporer tidak lagi didasarkan pada hal-hal yang untuk beberapa waktu sebelumnya dipandang merepresentasikan kreativitas dan keluhuran atau keadiluhungan nilai, melainkan lebih ditentukan oleh faktor konsumsi sebagaimana ditandai dengan pelipatgandaan dan pergerakan objekobjek konsumsi atau komoditas. Seiring perjalanan waktu objek-objek konsumsi 178
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
atau komoditas yang semakin banyak itupun secara eksesif telah mengintrusi kehidupan masyarakat dalam pelbagai matra. Membayangkan sebuah ruang yang kebal atau imun dari pelbagai desakan objek-objek konsumsi atau komoditas pada zaman sekarang seolah-olah menjadi sesuatu yang mahal dan mustahil terpenuhi. Desakan objek-objek konsumsi atau komoditas yang sangat intensif dalam perkembangan kemudian secara gemilang berhasil mengubah wajah Yogyakarta kontemporer secara radikal. Salah satu objek konsumsi atau bentuk komoditas yang ikut menentukan warna, arah, dan pembentukan wajah Yogyakarta kontemporer itu adalah pakaian bekas. Kemunculan pakaian bekas dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer itu sendiri bisa ditempatkan sebagai suatu paradoks atau ambiguitas. Hal yang demikian karena di tengah multiplikasi dan pergerakan objek-objek konsumsi atau komoditas yang menekankan pada bentuk dan citarasa modern, kemunculan pakaian bekas merupakan satu hal yang berada di luar “nalar umum” konsumsi masyarakat. Lebih mengherankan lagi, melalui mekanisme perdagangan keberadaan pakaian bekas justru berhasil mendapatkan animo dan antuasisme publik yang tinggi dan memantik hasrat konsumsi pelbagai kalangan secara luas. Selama rentang waktu lebih dari satu dasawarsa pakaian bekas berhasil mendapatkan akseptabilitas publik sehingga menjadi bagian dari way of life masyarakat Yogyakarta kontemporer. Secara pelan dan pasti pakaian bekas berhasil memantapkan dirinya sebagai salah satu dari sekian banyak situs konsumsi masyarakat Yogyakarta. Mendekatnya pelbagai bentuk komoditas atau objek-objek konsumsi baik yang bersifat material maupun jasa secara massif dan massal dalam kehidupan sosial dan budaya pada perkembangan selanjutnya ikut menentukan arah dan pembentukan 179
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
masyarakat sebagaimana diistilahkan oleh Jean Baudrillard dengan consumer society. Sebuah masyarakat yang di dalamnya berkembang suatu suasana dan mentalitas yang senantiasa menghabituasi, memaksa, dan menggiring orang-orang yang ada di dalamnya untuk senantiasa berpartisipasi dalam aktivitas konsumsi alihalih produksi, dan memuja kenikmatan (enjoyment, pleasure) alih-alih melakukan pelbagai pilihan rasional atas pelbagai komoditas yang hadir secara massif dan massal.1 Dalam masyarakat semacam itu proses konsumsi yang berlangsung sudah sedemikian rupa sampai pada tahap -- meminjam istilah Jean Baudrillard -- “general hysteria.”2 Pergerakan dan multiplikasi objek konsumsi sebagaimana dikemukakan di atas dengan demikian sejatinya bukan hanya merepresentasikan lahirnya sebuah consumer society, tetapi sekaligus merepresentasikan terbentuknya sebuah consumer culture. Dalam pengertian ini pelbagai bentuk komoditas atau objek-objek konsumsi yang ada tidak hanya mempenetrasi proses dan aktivitas sosial dan ekonomi rumah tangga masyarakat secara umum, melainkan juga telah mengintrusi atau merembes hingga pada proses pemaknaan atas pengalaman psikologis orang baik secara individual maupun kelompok. Dengan kata lain, konsumsi sebagaimana berkembang dalam masyarakat saat ini memiliki kekuatan besar dalam pembentukan identitas, komunikasi antar-personal, dan pengategorisasian peristiwa. Keadaan semacam ini bisa diilustrasikan sebagai sebuah proses dalam mana masyarakat konsumen telah sedemikian rupa tergantikan oleh masyarakat konsumeris. Dari aras ini, konsumsi yang terjadi di dalam masyarakat modern secara signifikan memainkan peran sosial 1
Jean Baudrillard (1998), The Consumer Society: Myths and Structure. London: Sage Publication. Jean Baudrillard (1996),“The Consumer Society” dalam Mark Poster (ed.), Jean Baudrillard: Selected Writings, Stanford: California University Press, hlm. 29-55. 2
180
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
formatif yang bersifat fundamental, yakni sebagai bagian dari cara hidup (way of life). Dalam situasi semacam ini terjadi perubahan dan pergeseran dalam pengertian konsumsi. Jika pada mulanya konsumsi mengacu pada aktivitas orang dalam memenuhi kebutuhan, kini ia telah bergeser menjadi sejenis kebutuhan baru. Proses pemenuhan kebutuhan sebagaimana berkembang dalam masyarakat dan budaya konsumen telah bergeser menjadi aktivisme yang dalam realitas keseharian ditandai oleh aktivitas belanja. Dalam pelbagai bentuk dan model konsumsi masyarakat semacam itu konsumen diarahkan sedemikian rupa menjadi homo economicus dala arti manusia yang mabuk untuk melakukan aktvitas konsumsi. Suatu aktivitas yang dalam bentuk keseharian direpresentasikan dalam aktivitas berbelanja. Di tengah masyarakat yang telah sedemikian dikepung atau dibanjiri oleh pelbagai komoditas secara berlimpah ruah, konsumsi telah menyeret para konsumen sedemikian rupa masuk dalam sebuah aktivitas berbelanja secara terus menerus tanpa berkesudahan. Ekspresi kebahasaan manusia masa kini secara eksistensial seolah-olah hanya akan tercapai lewat pelbagai komoditas sebagaimana dibawakan oleh pelbagai situs konsumsi perdagangan. Bebelanja bagi manusia masa kini menjadi ritus yang akan selalu berulangulang dilakukan tanpa mengenal titik akhir kebersudahan. Demikian persis di sini sekali lagi kita menyaksikan bahwa konsumsi tidak lagi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan, melainkan menjadi sejenis kebutuhan baru. Ketika sesorang selesai dengan kebutuhan yang satu, orang segera akan berpindah dengan kebutuhan lainnya. karenanya, manakala seseorang telah mendapatkan bentuk komoditas tertentu, ia akan mencari bentuk komoditas lainnya. Gagasan 181
bahwa sejatinya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dalam suatu komoditas atau objek konsumsi memiliki nilai substitusi telah sedemikian rupa terpinggirkan oleh dorongan untuk selalu mencari dan menumpuk pelbagai bentuk komoditas. Konsumen mengidap kesalahan persepsi dalam menempatkan pengertian konsumsi. Konsumsi tidak lagi dipahami sebagai penggunaan barang untuk memenuhi kebutuhan, tetapi lebih dekat dengan pengertian menumpuk barang. Kesalahan persepsi sebagaimana dialami oleh para konsumen dalam asumsi psikoanalisis Lacanian bukan bersifat ontologis, dalam arti berkaitan dengan persoalan benar dan salah, melainkan lebih bersifat primodial. Semacam bakat yang sudah melekat dalam diri para konsumen. Perubahan arah dan makna konsumsi juga berimbas pada posisi konsumen dalam hubungannya dengan pelbagai bentuk komoditas yang ada di sekelilingnya. Dalam model konsumsi yang serba berkelebihan dan tidak mengenal ujung akhir, posisi konsumen dan komoditas atau objek-objek konsumsi mengalami paradoks. Di hadapan pelbagai bentuk komoditas atau objek-objek konsumsi, posisi konsumen sebagai terjadi sekarang bukan lagi sebagai subjek yang memiliki kedaulatan atas dirinya sendiri. Sebaliknya, posisi konsumen telah mengalami objektivikasi. Konsumen sebagaimana berkembang dalam masyarakat konsumen sejauh ini telah dikebawahkan atau menjadi objek pelbagai bentuk komoditas atau objek konsumsi. Pelbagai bentuk komoditas atau objek-objek konsumsi saat ini berada pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan pengguna atau konsumennya. Pelbagai bentuk komoditas atau objek-objek konsumsi itu oleh para konsumen dianggap memiliki nilai fetish yang mengatasi bentuknya secara objektif. Di dalam pelbagai bentuk komoditas atau objek konsumsi itu – dalam terminologi sosiologi dan antropologi – telah dilumuri dengan mana atau kekuatan magis yang membuat konsumen atau 182
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
penggunanya melemparkan kediriannya di bawah duli komoditas karena merasa aman, nyaman, dan lengkap. Para konsumen dalam hal ini mengalami apa yang disebut fetish.3 Dalam masyarakat dan budaya konsumen sebagaimana diistilahkan Baudrillard tengah mengalami general hysteria pada dasarnya menggarisbawahi lahirnya subjek neurosis.4 Dalam kondisi seperti itu konsumsi menjadi jembatan yang menghubungkan subjek konsumen dengan bahasa atau langue, aturan, dan tatanan tertentu (baca: Law of the Father). Sebuah tatanan sosial yang menempatkan persoalan partisipasi orang dalam kehidupan masyarakat dan budaya berdasarkan intensivitas dalam berhubungan dengan pelbagai bentuk komoditas. Hubungan subjek dengan bahasa sebagaimana direpresentasikan lewat komoditas menjadi neraca partisipasi orang dalam masyarakat dan budaya (Other). Orang yang sangat intens berhubungan dengan komoditas akan mendapatkan pengakuan sosio-kultural tinggi. Sebaliknya, orang yang memiliki jarak yang cukup jauh dengan komoditas yang ada di sekelilingnya justru akan terpinggirkan, karena dianggap aneh atau berbeda dari yang lain. Orang dikatakan berhasil memasuki dunia sosial dan budaya dipandang berdasarkan sejauh mana ia berhubungan dengan pelbagai bentuk komoditas yang ada dalam masyarakat. Seleksi dan “kecerdasan konsumsi” orang sebagaimana ditandai dengan penggunaan barang atau komoditas sesuai kegunaan atau berusia panjang, saat ini justru menjadi suatu keanehan dan tidak bisa dipahami secara umum.
3
Objek menjadi fetish bukan dalam pengertian objek itu dalam dirinya sndiri (in situ), melainkan karena pemaknaan yang diberikan orang terhadapnya. Dengan kata lain karena pikiran orang yang masih dikuasai oleh falus maternal (maternal phallic). 4 Bruce Fink (1997), Op. cit., hlm.115.
183
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dalam asumsi kebahasaan sebagaimana dikembangkan dalam psikoanalisis Lacanian, subjek konsumen yang mengalami neurosis merepresentasikan subjek yang berhasil memasuki dunia simbolik, dunia bahasa, atau dunia sosial melalui penggunaan pelbagai bentuk komoditas. Berkenaan dengan penggunaan bahasa, mereka sama sekali tidak memiliki persoalan. Subjek neurosis bahkan sangat taat dan konsekuen dengan penggunaan bahasa sebagaimana direpresentasikan lewat pelbagai bentuk komoditas yang ada dalam masyarakat. Meskipun tidak memiliki keyakinan dalam hal penggunaan bahasa yang ada dalam masyarakat, subjek neurosis bisa menggunakan bahasa tanpa menemui hambatan. Hanya saja, pengertian berbahasa sebagaimana dilakukan oleh para konsumen yang mengalami neurosis pada dasarnya tidak lain hanyalah menirukan kata-kata, ucapan, atau omongan orang lain sebagaimana berkembang dalam masyarakat dan budaya konsumen. Subjek neurosis memang menggunakan simbol-simbol bahasa yang ada dalam masyarakat, tetapi tidak lebih hanya sebagai transmiiter bahasa. Artinya aktivitas berbahasa yang dilakukan tidak lebih hanya mengulang atau menggunakan bahasa yang telah ada atau digunakan dalam masyarakat. Selain terkait dengan aspek penggunaan bahasa, Lacan juga melihat persoalan subjek neurosis dalam kaitannya dengan persoalan represi. Jika dalam penggunaan bahasa subjek neurosis dipandang secara negatif, maka terkait dengan represi Lacan melihat subjek yang mengalami neurosis secara positif. Subjek neurosis adalah sibjek yang berhasil merepresi pelbagai bentuk dorongan libidinal (libidinal drive) yang mengkondisikan mereka untuk terus berkubang atau hidup menetap dalam dunia imajiner. Dunia imajiner adalah nama lain dari tatanan psikis yang di dalamnya mengacu pada pengalaman primordial seseorang. Momen seorang 184
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
anak yang hidup atau berada dalam kondisi ketercukupan atau kepenuhan azali, yakni hidup bersatu padu bersama ibunya. Subjek neurosis berhasil melepaskan jerat yang berasal dari dorongan libidinalnya untuk tetap mencintai ibunya (incest) dengan cara menarik diri (withdrawal) dari tatanan imajiner dan menggantikan objek-objek kenikmatannya dengan pelbagai penanda (bahasa) sebagaimana direpresentasikan dalam aturan, larangan, dan hukum yang ada dalam masyarakat. Dikaitkan dengan persoalan ego (identitas), subjek neurosis juga berhasil memproses ideal ich atau ideal ego yang dihasilkan dari proses identifikasi perdana dengan realitas untuk pertama kali, menjadi ich ideal atau ego ideal sesuai dengan harapan masyarakat.
A.2. Pengetahuan Paranoia dan Lahirnya Desire
Akan tetapi drama pemenuhan kebutuhan orang sebagaimana berkembang dalam masyarakat dan budaya konsumen rupa-rupanya tidak langsung bisa diasumsikan berakhir dengan lahirnya subjek neurosis. Sebelum subjek sepenuhnya dilumat atau menyerahkan diri pada bahasa, simbol, atau situasi sosial, cara subjek mengenali realitas sekelilingnya secara primordial juga dipengaruhi oleh bakat bawaannya berupa pengetahuan paranoid. Pengetahuan paranoia merupakan cara orang memahami realitas sebagaimana diidap oleh orang yang mengalami gangguan mental paranoia disertai dengan halusinasi dan delusi.5 Sebuah gangguan mental yang dicirikan dengan kecemasan (anxiety), kecurigaan, atau ketakutan berlebihan 5
Dalam pelbagai literatur, paranoia (kata benda, nomina) sering dipertukarkan dengan paranoid (kata sifat, adjektiva). Untuk paranoia, lihat Luiz Eduardo Prado De Olievera, “Paranoia” dalam Alain de Mijolla (ed.).(2005), International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm. 1229-1231.
185
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
hingga timbul delusi. Pemikiran paranoid biasanya disertai anggapan akan dianiaya oleh sesuatu yang mengancamnya. Delusi adalah suatu keyakinan yang dipegang secara kuat namun tidak akurat, yang terus ada dan tidak memiliki dasar dalam realitas. Dalam ilmu psikiatri, delusi diartikan sebagai kepercayaan yang persifat patologis dan terjadi secara berkebalikan. Sebagai sebuah penyakit, delusi berbeda dari kesalahan berdasar pada informasi yang tidak lengkap, dogma, kebodohan, memori yang buruk, ilusi, atau efek lain dari persepsi. Delusi menempatkan seseorang melakukan tindakan berdasarkan persepsi yang salah dan membuatnya membayangkan orang lain melakukan respons negatif, sehingga akan menguatkan rasa takutnya. 6 Dalam kaca mata psikoanalisis Lacanian, pengalaman paranoia dialami oleh seorang anak yang berada dalam transisi yakni pada akhir fase cermin dan memasuki fase pascacermin atau perpindahan dari struktur imajiner ke struktur simbolik. Saat seorang anak dalam keadaan pengetahuan tentang dirinya (Inenwelt) yang masih cair atau belum mapan karena masih diwarnai dengan unsur-unsur imajiner harus membangun pengetahuan tentang dunia sekitarnya (Umwelt). Hal yang menonjol dari situasi ini, Sang Anak mengalami kecemasan luar biasa (anxiety) berada dalam ketidakpastian. Dalam situasi semacam itu Sang Anak sejatinya hanya bisa menerka-nerka tentang realitas yang ada di depannya. Dari satu sisi anak mengalami bahwa dirinya adalah liyan (other), serta hubungan dirinya dengan liyan tidak mapan, tidak solid; di sisi lain ia ingin dan harus menggunakan pengalamnnya yang semacam ini untuk mengetahui dunia dan masyarakat (Other). 6
D. Freeman & P.A. Garety (2004) Paranoia: The Psychology of Persecutory Delusions. Hove: Psychology Press, hlm 89-92. Lebih lanjut tentang delusi, lihat Leonard Shengold (1995), Delusions of everyday life. New Haven: Yale University Press.
186
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dengan kata lain dari satu sisi jagad cilik (Innenwelt) Sang Anak yang begitu labil dan tidak solid harus ia pakai untuk mengetahui dunia sekitarnya (Umwelt). Pengetahuan yang dihasilkan seorang anak semacam inilah yang disebut dengn pengetahuan paranoid. Dengan demikian pengetahuan paranoid muncul karena tarik menarik antara ketidakmapanan seseorang dalam mengetahui situasi yang sarat dengan hubungan imajiner, dengan kemapanan dunia luarnya yang ingin diketahuinya. Setelah melewati proses pembentukan ego sebagaimana berlangsung pada tahap pertama (Ideal Ich atau Ideal Ego) lewat mekanisme identifikasi primer (primary identification) atau identifikasi imajiner (imaginary identification) yang dialami seorang anak pada tahap cermin, Sang Anak hanya bisa menduga-duga atas apa yang akan terjadi dengan dunia selanjutnya. Sebuah dunia yang sarat dengan pelbagai kemungkinan yang belum akan terurai sebelum ia benar-benar masuk sepenuhnya di dalam fase perkembangan psikis kemudian. Sebuah mekanisme identifikasi atau idealisasi diri seorang anak dengan sesuatu atau seseorang di luar dirinya; dengan apa yang menstrukturkkan subjek sebagai lawan bagi dirinya, sehingga dengan demikian melibatkan agresivitas dan alienasi (The constitution of the ego by identification with something which is outside (and even against) the subject is what "structures the subject as a rival with himself" and thus involves aggressivity and alienation).7 Demikian selanjutnya sintesis awali ego terhadap alter ego menjadikan Sang Anak mengalami alienasi (The initial synthesis of the ego is
7
Jacques Lacan (1977), Écrits: A Selection, Trans. Alan Sheridan. London: Tavistock Publications, hlm. 22
187
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
essentially an alter ego, it is alienated.)8 Saat Sang Anak untuk pertama kali merasakan apa yang terjadi dengan mengatakan (meminjam pernyataan Rimbaud), "I is an other."9 Dari keterangan di atas tampak bahwa pengalaman traumatik sebagaimana tergores dalam masa lalu para konsumen mode kontemporer itu bukanlah kejadian yang muncul serta-merta, tetapi memiliki akar sejarah yang jauh di belakang. Demikian halnya pengalaman traumatik bukanlah pengalaman biasa atau sederhana, melainkan memiliki kompleksitas tertentu. Mengikuti gagasan Lacan, pengalaman traumatik itu secara genealogi bisa dirunut sejak tahap cermin. Pengalaman traumatik seseorang yang secara primordial dialami sejak masa kanak-kanak sebagaimana ditandai oleh lahirnya kebutuhan (need). Dalam kaitan ini apa yang menonjol adalah bahwa apa yang selama ini dipahami sebagai kebutuhan anak ternyata tidak lahir dari diri Sang Anak itu sendiri, tetapi dari orang lain; ibu atau pengasuhnya (other). Apa yang dibutuhkan Sang Anak tidak lain adalah jawaban yang diberikan ibu. Tangisan Sang Anak di telinga Sang Ibu hanya berarti bahwa ia membutuhkan belaian atau air susu, maka ibu datang memberikan pelukan atau susu kepadanya. Kebutuhan Sang Anak tidak lain merupakan hasil dari dugaan ibu. Belaian dan air susu adalah jawaban yang paling mungkin dan satu-satunya yang bisa didapatkan Sang Anak dari ibunya. Persis di sini subjek anak dalam tahap ini adalah subjek kebutuhan (subject as needs).10
8
Sebagai catatan, pernyataan “I is an other” (yang diubah oleh Lacan menjadi ‘I am an other’) dengan demikian bukan sebuah pernyataan tunggak, tetapi merupakan sebuah sintesis dalam arti Hegelian. Sehingga pernyataan itu harus dibaca menjadi: I (tesis), other (sintesis), dan I is an other (sintesis). Lihat, Jacques Lacan (1993), The Seminar. Book III. The Psychoses, 1955-56, trans. Russell Grigg. London: Routledge, hlm. 39 9 Jacques Lacan (1977), Op. Cit., hlm. 23. 10 Philip Hill (1997), Lacan for Beginners, London: Writers and Readers Limited, hlm. 63.
188
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pengalaman anak berhubungan dengan bahasa di atas menggarisbawahi pengalaman ambiguitas -- pengalaman lepasnya harapan dari kenyataan yang di dalamnya melibatkan bahasa. Sebelumnya, keinginan anak atas sesuatu disampaikan lewat tangisan. Pada mulanya tangisan anak segera akan mendapatkan jawaban dari ibunya: Sang Ibu datang memberikan dekapan atau air susunya. Dekapan dan air susu ibu menempatkan Sang Anak dalam pengalaman kebertubuhan, pengalaman orang yang memiliki tubuh yang utuh atau tidak lagi terfragmentasi. Ketika anak mulai menemukan ego sebagai identitas dan subjektivitasnya (self recognition) sebagaimana ditandai dengan penggunaan proper name (kata ganti) “aku”, problem baru muncul. Sebelum Sang Anak mengenal(i) identitas dan subjektivitasnya, serta belum bisa mengartikulasikan kebutuhannya (needs) dalam bahasa, apa yang ia butuhkan segera terpenuhi. Ibu selalu hadir dan siap menjawab atau memenuhi segala apa yang ia butuhkan manakala Sang Anak menangis. Akan tetapi ketika Sang Anak mulai memiliki pemahaman diri dan memiliki kemampuan berbahasa meski masih sangat terbatas, hubungan Sang Anak dengan ibunya mulai ditentukan oleh keradaan dan peran bahasa. Kebutuhan Sang Anak dalam perkembangan selanjutnya harus dikemukakan melalui perantaraan penanda, simbol, atau bahasa. Hanya lewat bahasalah kebutuhan Sang Anak menjadi ada, nyata, dan bisa dipahami ibunya (liyan). Berkat persentuhan Sang Anak dengan bahasa, Sang Ibu kini tidak lagi menduga-duga apa sejatinya permintaan (demand) Sang Anak. Demikian halnya Sang Anak harus mengutarakan apa yang ia minta kepada ibu lewat bahasa. Ketika meminta minum karena haus misalnya, permintaannya harus ia utarakan lewat bahasa, lewat kata-kata. Pemuasan kebutuhan Sang Anak berupa minuman hanya 189
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mungkin didapatkan lewat bahasa.
Bahasa sebagaimana diutarakan Sang Anak
memungkinkan Sang Ibu memahami apa yang tengah diminta atau diajukan Sang Anak. Sebaliknya, Sang Ibu tiba-tiba tidak akan datang memberikan apa yang dimaui Sang Anak seandainya ia tidak merumuskannya dalam bahasa, dalam katakata atau kalimat. Hanya dan melalui bahasa atau tindakan artikulasilah permintaan Sang Anak menjadi ada (eksis) sekaligus menjadi satu hal yang mungkin dipenuhi Sang Ibu. Tanpa artikulasi kebutuhan Sang Anak tidak akan pernah ada dan tidak akan pernah terpenuhi. Ketidakmampuan Sang Anak dalam menggunakan bahasa menjadikan pengalaman itu tetap menjadi sesuatu yang bersifat laten atau tidak bisa dikenali. Karena tidak dikenali pengalaman itu akan selalu terjadi berulang-ulang dan menjadi bagian dari memori yang akan tersimpan di alam bawah sadar Sang Anak. Selain ambiguitas momen di atas sekaligus menggarisbwahi pengalaman anak akan alienasi. Pengalaman keterasingan yang dialami Sang Anak manakala bersinggungan dengan bahasa. Karena pertemuannya dengan bahasa, Sang Anak mau tidak mau harus mengalami kertebelahan identitas; pengalaman disatukan sekaligus dipisahkan dengan dirinya sendiri. Lewat gagasannya tentang tahap cermin akhir Lacanian, pengalaman Sang Anak akan diri, keakuan, atau ego-nya dimungkinkan berkat pertemuannyan dengan diri dan realitas di luar dirinya sendiri. Pertemuan Sang Anak dengan bahasa dilaluinya lewat momen identifikasi. Sang Anak dikejar oleh sebuah pertanyaan reflektif: “siapa aku” (Who am I). Lewat momen identifikasi Sang Anak berusaha mengetahui siapa dirinya dan menetapkan identitas keakuanyaa. Pada aras ini, pengetahuan dan penetapan identitas Sang Anak lahir karena pertemuannya dengan diri yang lain sebagaimana direpresentasikan 190
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
oleh ibu (someone) atau sosok pengganti ibu (something). Penetapan identitas Sang Anak tampak nyata lewat penggunaan bahasa, momen untuk kali pertama Sang Anak menggunakan kata ganti (proper name) “aku” sebagai representasi dari dirinya. Lewat penggunaan kata ganti “aku” Sang Anak sesuatu yang nyata, dan ada bersama dengan diri dan realitas di luar dirinya sendiri. Dalam ungkapan lain Sang Anak menjadi ada, nyata, real di depan diri lain sebagai seorang subjek lewat penggunaan bahasa. Akan tetapi persis di sini, Sang Anak harus mengalami kehilangan (loss) atau kekurangan (lack). Ia harus menanggalkan identitas primordial atau identitas pra-bahasa dan menggantikannya dengan identitas bentukan bahasa. Ia harus menggantikan identitas dirinya sebelumnya yang masih terfragmentasi atau cair (nothing atau nameless) dengan diri yang lebih tetap dan solid hasil bentukan bahasa ( “aku”). Berkat penggunaan bahasa semacam itu Sang Anak menjadi ada (something) di depan liyan (other) atau realitas. Hanya dengan begitu ia menjadi ada dan bisa dipahami oleh orang lain sebagai diri yang relatif utuh dan tidak. Akan tetapi dalam waktu yang sama, Sang Anak harus terpisah dengan dirinya karena bahasa. Ia tidak bisa lagi menggunakan identitas pra-bahasa sebelumnya untuk membawakan dirinya di hadapan orang lain (Other). Sang Anak menjadi subjek bahasa (subject as language). Pengalaman ambiguitas dan alienasi pada fase cermin ini melahirkan luka batin (trauma) yang akan mengendap dalam ketidaksadaran sebagai residual energy dan akan mempengaruhi kehidupan psikisnya kelak. Pengalaman yang tidak menyenangkan ini akan terus berulang dan berkembang menjadi trauma dalam diri Sang Anak. Setelah mengalami ambiguitas berkenaan dengan kebutuhan dan pengalaman alienasi karena bahasa sebagaimana ditandai lepasnya harapan dan kenyataan, 191
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pengalaman traumatik Sang Anak masih harus berlanjut. Kali ini Sang Anak harus mengalami frustrasi karena hubungannya dengan ibunya mengalami interupsi atau keterpisahan. Pengalaman frustasi itu berasal dari kondisi hadir dan absennya Sang Ibu; pengalaman Sang Anak saat mendapati ibunya yang ternyata kadang hadir memberikan dekapan atau puting susunya ke mulutnya dan kadang terlambat merespons keinginannya (pengalaman Fort!/Da!). Pengalaman interupsi yang dialami Sang Anak dalam memeroleh kenikmatan repetitif berupa kebiasaan mendekap susu atau mengulum puting susu ibunya menggarisbawahi lahirnya pengalaman lack atau loos. Sebuah pengalaman yang mengacu pada momen Sang Anak harus terpisahkan atau kehilangan sumber kenikmatan yang selama ini menempatkannya dalam keutuhan, kenyamanan, dan keamanan. Pengalaman frustasi ini semakin kental ketika Sang Anak harus menerima regulasi dan distansiasi dari sumber kenikmatan atau ibunya berupa dekapan dan air susu ibunya dengan cara disapih (weaned). Pengalaman terlepasnya harapan dari kenyataan sebagaimana di alami Sang Anak karena bahasa seperti disebutkan terakhir di atas menempatkan pengalaman seorang anak yang berada di fase akhir masa cermin dan memasuki fase pascacermin. Pengalaman terakhir tersebut merepresentasikan pengalaman seorang anak masuk ke dalam tatanan sosio-kultural (Name-of-the-Father), dunia bahasa, atau struktur Simbolik. Dalam hal ini Sang Anak ditarik untuk masuk dalam dunia pendidikan yang di sana ia harus masuk dalam pelbagai kemungkinan yang tak terduga lewat pengalaman atau persinggungannya dengan bahasa yang berlaku dalam masyarakat secara umum. Lewat pengalaman semacam ini Sang Anak dipahamkan bahwa tidak bisa selamanya ia bisa atau diizinkan hidup menempel 192
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dalam pelukan ibu atau terpenuhi keinginannya. Sang Anak mau tidak mau harus menerima proses normalisasi atau pembudayaan sebagaimana dilakukan oleh Sang Ayah lewat momen separasi dan kastrasi. Sang Anak harus belajar menggunakan bahasa sebagaimana direpresentasikan dalam tata aturan, larangan, atau hukum (Law of the Father) yang berkembang dalam masyarakat dan budaya yang akan menjauhkannya dengan kenikmatannya utuh bersatu dengan ibunya. Dalam asumsi kebutuhan dan bahasa yang bermuara pada terakumulasinya pengalaman traumatik yang tidak menyenangkan sebagaimana diutarakan di atas, sekaligus menjadi batu pijakan lahirnya hasrat (desire) dalam diri Sang Anak. Di bawah ancaman kastrasi dan separasi sebagaimana dilakukan oleh Sang Ayah sebagai representasi budaya dan masyarakat, Sang Anak didorong untuk menemukan dan mengartikulasikan gairah hidup atau desire-nya dalam situasi sosial dengan cara melakukan persesuaian (appropriation) dengan pelbagai aturan dan tatanan dari Sang Ayah atau tatanan simbolik. Sebagaimana diketahui hasrat utama Sang Anak adalah bersatu dengan ibunya. Gairah hidup seorang anak adalah menjadikan dirinya sebagai objek hasrat ibu atau falus matrnal (maternal phallic) lewat momen incest. Di bawah ancaman kastrasi yang dilakukan oleh Sang Ayah simbolik, hasrat Sang Anak untuk terus menyatu dengan ibu perlahan-lahan dijauhkan. Sebagai semacam resolusi Sang Anak diberi kesempatan kepada Sang Ayah untuk mengalihkan hasratnya kepada sosok yang lain di luar ibu lewat pengenalannya dengan dunia sosial dan budaya (Other). Sang Anak secara perlahan ditarik dari kenikmatan primordial yang ada dalam tatanan imajinernya (Innenwelt) dan didorong untuk mematangkan ego dan subjektivitas yang sesungguhnya untuk
193
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
betemu dengan Other atau budaya dan masyarakat lewat pelbagai macam bentuk aturan dan larangan. Dari hal terakhir sebagaimana diutarakan di atas, Sang Anak juga dipaksa untuk mengembangkan pengetahuannya lewat pertemuannya dengan Other melalui dunia bahasa, dunia makna, dunia nilai, dunia sosial dan budaya (Umwelt). Separasi dan kastrasi sebagaimana dialami Sang Anak merupakan bentuk penyelamatan atau proses normalisasi dalam pengertian Foucaultian sebagaimana dilakukan Sang Ayah kepada Sang Anak agar ia terbebas dari hasrat ibu (mOther’s desire) yang sebagian diantaranya telah diarahkan kepada diri Sang Ayah. Apa yang dialami Sang Anak ternyata
juga
menegaskan pengalaman negatif
yang dialami Sang Ibu.
Perpisahannya dengan Sang Anak dan ketidakmungkinannya untuk mengendong dan menyusui anaknya untuk selamanya, menjadikan Sang Ibu juga mengalami lacking. Sebuah pengalaman kehilangan atas phallic (kekuasaan) akibat harus melepaskan Sang Anak membangun dunia atau kehidupannnya sendiri. Karena persatuan ulang menjadi satu hal yang terlarang dan niscaya, lack yang dialami Sang Ibu harus ia isi atau ia kompensasikan dengan sosok lain di luar sosok Sang Anak, yakni Sang Ayah simbolik (maka jadilah Sang Ibu berubah tidak lagi mother melainkan mOther). 11 Pengalaman transisi dari dunia imajiner ke dunia simbolik sebagaimana dialami Sang Anak kembali menjadi peristiwa yang sangat mencemaskan. Hal ini dikarenakan bahwa di tengah ketidakstabilan atau ketidakmapanan pengetahuan Sang Anak berkait dengan identitas dan subjektivitasnya, sebagaimana ditandai 11
Bruce Fink (1995), The Lacanian Subject. Between Language and Jouissance, New
Jersey: Princeton University Press, hlm. 35.
194
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan ambiguitas, alienasi,
dan misrecognition, ia hanya bisa menduga-duga.
Pengetahuan Sang Anak dalam menghadapi dunia baru, dunia yang masih asing, dunia yang belum pernah ditinggali, hanya bisa dikembangkan dengan cara menerka-nerka. Persis di sinilah Sang Anak sejatinya tengah mengalami paranoia. Tarikan Sang Ayah simbolik yang menjauhkan Sang Anak dari ibu diterima dengan penuh syak wasangka dan kecurigaan. Dunia luar dirasakan Sang Anak sebagai sesuatu yang mengancam dirinya. Akibatnya Sang Anak tidak bisa begitu saja diyakinkan untuk mempercayai apa yang akan terjadi di dunia luar atau dunia barunya. Ketidakpercayaan Sang Anak itu bahkan tidak hanya berkaitan dengan persepsinya tentang dunia luar (Umwelt), tetapi pada saat yang bersamaan juga terarah pada dirinya (Inenwelt). Dalam pengertian ini Sang Anak juga mengalami kesulitan dalam membangun keyakinan atas pengetahuan yang ia miliki tentang dirinya sendiri.12 Kekhawatiran Sang Anak terhadap dunia luar di atas bisa dijelaskan dari pembahasan Lacan tentang feminization. Sebagai bagian dari psikopatologis psikosis,13 paranoia merupakan reaksi atau perlawanan atas homoseksualitas.14 Dalam hal ini Sang Anak
menolak proses seksualisasi atau pen-gender-an
sebagaimana dilakukan oleh Sang Ayah kepadanya. Momen yang dialami Sang Anak lewat lewat proses kastrasi dan separasi yang dilakukan Sang Ayah. Saat Sang Anak dipaksa untuk meninggalkan sumber kenikmatannya (yakni ibunya) agar berpindah pada Liyan (Other) sebagaimana diwakili oleh Sang Ayah simbolik 12
Bruce Fink (1997), Clinical Introduction to Lacanian Psychoanalysis. Theory and Technique, London: Harvard University Press, hlm. 98. 13 Franc¸ Oise Brette menyebut gejala ini dengan istilah “traumatic neuroris”. Lebih lanjut lihat tulisannya, “Traumatic Neurosis”, dalam Alain de Mijolla (ed.).(2005), International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm. 1803-1804. 14 Bruce Fink (1997), Loc. Cit.
195
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
(symbolic father). Pada dasarnya, secara primordial Sang Anak (baik laki-laki maupun perempuan) memiliki bakat menjadi bisexual; dalam arti bahwa ia tidak hanya bisa menghasrati perempuan (diwakili oleh sosok ibu) dan tapi juga bisa menghasrati laki-laki (diwakili oleh sosok ayah) sebagai lawan jenis berbeda yang ada di luar dirinya. Lewat momen kastrasi Sang Anak dipaksa mengalihkan hasratnya dari ibu atau ayah biologisnya hanya kepada satu lawan jenis: laki-laki atau perempuan. Karena ketidakpercayaan atas pengetahuannya atas dirinya dan kecurigaan terhadap dunia luar yang sangat tinggi, serta bahwa hasrat primordialnya adalah bersatu dengan ibu atau ayah biologisnya (oedipus complex syndrome), perintah Sang Ayah simbolik agar ia mencari perempuan atau laki-laki pengganti ibu atau ayah biologisnya ditafsirkan secara keliru. Jika Sang Anak adalah laki-laki, karena desire primordialnya adalah mencintai ibu (incest), maka pencarian dan pertemuannya dengan figur perempuan selain ibu justru menjadikannya sebagai homoseksual dalam arti gay. Hal itu karena sosok perempuan di luar ibu akan dipersepsikan sebagai sosok bukan ibu atau bukan objek hasratnya. Perempuan yang bukan ibu di sini adalah laki-laki! Demikian sebaliknya jika Sang Anak adalah perempuan, karena desire primordialnya adalah mencintai ayah (incest), maka pencarian dan pertemuannya dengan figur laki-laki selain ayah akan menjadikannya sebagai homoseksual, dalam arti lesbian. Laki-laki yang bukan ayah di sini adalah perempuan! Dengan demikian biseksualitas Sang Anak sejatinya adalah heteroseksual, hanya karena lawan jenis yang dihasratinya adalah ibu atau ayah biologisnya sendiri, maka heteroseksualitasnya merupakan biseksualitas. Aturan sosial yang memaksakan Sang Anak menjadi heteroseksual (dalam arti bukan biseksual atau homoseksual) justru dipahami sebagai semacam 196
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
seruan agar ia meletakkan orientasi seksualnya (baca: desirenya) menjadi homoseksual. Sang anak menolak proses seksualisasi (heteroseksualisasi) sosial yang dalam persepsinya adalah homoseksualisasi, karena hasrat Sang Anak adalah biseksual dalam arti heteroseksual indogen sebagaimana berjalan lewat mekanisme incest.15 Dalam konteks penelitian ini konsumsi pakaian bekas sebagaimana berkembang di Yogyakarta merepresentasikan pengetahuan paranoia yang dialami oleh sejumlah konsumen terkait dengan bentuk dan model konsumsi mode masyarakat dan budaya konsumen dewasa ini. Bila demikian, ada apa dengan bentuk dan model konsumsi mode dewasa ini? Apanya dari bentuk dan model konsumsi yang membuat konsumen mengidap paranoia? Bagaimana bentuk dan model konsumsi mode sebagaimana berkembang sekarang bisa melahirkan pengalaman paranoia? Mengapa sebagian konsumen menaruh ketidakpercayaan terhadap bentuk dan model konsumsi mode sekarang ini? Pertanyaan-pertanyaan ini menggiring pada pemahaman tentang realitas konsumsi mutakhir sebagaimana dikembangkan lewat perdagangan. Seperti disampaikan sebelumnya, perilaku pasar mode modern dalam melakukan pelipatgandaan dan perputaran pelbagai bentuk komoditas menunjukkan kecenderungannya yang semakin massif. Lebih dari itu pelbagai bentuk dan model konsumsi mode sebagaimana berkembang dalam masyarakat lewat perdagangan akhir-akhir ini juga tampak semakin eksesif. Sejumlah konsumen mode belakangan ini rupa-rupanya mulai merasakan bahwa ritme konsumsi mode sebagaimana berkembang pada saat ini tidak lagi berada dalam genggaman mereka. Ritme konsumsi masyarakat saat ini hampir 15
Ibid.
197
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sepenuhnya telah terlepas dari jangkauan konsumen dan lebih ditentukan sedemikian rupa oleh gerak perputaran mesin pasar. Dengan kata lain seiring dengan laju kecepatan dan percepatan mesin produksi dalam industri pakaian (mode), sejumlah konsumen merasakan bahwa pasar telah menyerobot kedaulatan mereka dalam hal mengkonsumsi mode. Perasaan semacam itu pertama-tama dan terutama dipicu oleh karena pelbagai penyeragaman atas pelbagai jenis, model dan citarasa (taste) dalam dunia pakaian sebagaimana berkembang luas dalam masyarakat masa kini. Penyeragaman yang kini terjadi tampak semakin efektif manakala pasar melakukan kultivasi nilai-nilai modernitas dalam komoditas yang mereka hasilkan. Dunia mode sebagaimana berkembang luas dalam masyarakat lewat aktivitas produksi atau industri telah sedemikian rupa menggiring konsumen untuk menelan mentah-mentah pelbagai wacana modernitas. Wacana modernitas tersebut sekurangkurangnya direpresentasikan secara kasat mata dalam tiga unsur, yakni: kebaruan (new), ke-serba-berganti-an (ephemeral), dan kemutakhiran (up to date) yang diselipkan dalam pelbagai bentuk komoditas pakaian. Kondisi sebagaimana diilustrasikan di atas kiranya semakin mendapatkan keabsahannya
manakala
wacana
modernitas
didesiminasikan
dengan
cara
menginsersikan ke dalam pelbagai bentuk dan model konsumsi mode dan diperbanyak melalui proses produksi itu kemudian telah menggantikan Name-of-theFather dunia mode sebelumnya. Pelbagai bentuk dan model konsumsi mode pascaoedipal
sebagaimana
berlangsung
dalam
masyarakat
sekarang
ini
telah
menggantikan hukum bermode (Name-of-the-Father) sebelumnya. Sebagaimana menjadi pengetahuan umum, apabila dalam kurun waktu sebelumnya pelbagai bentuk dan model konsumsi mode sebagaimana berkembang dalam masyarakat 198
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berjalan sesuai dengan hukum bermode yang ada, maka saat sekarang ini hukum bermode masyarakat sepenuhnya telah digantikan oleh sesuatu yang telah sedemikian rupa di-setel atau
dikehendaki pasar dan dikembangkan lewat
mekanisme produksi atau industri mode. Gejala masasilasi atau estetisasi pasar mode sebagaimana berlangsung dewasa ini oleh banyak pengamat dan praktisi mode pada umumnya diistilahkan sebagai penanda matinya mode.16 Dalam perkembangan berikutnya, seiring dengan laju kecepatan dan percepatan produksi mode modern mengontribusi lahirnya situasi yang paradoksal dalam dunia konsumsi mode masyarakat secara luas. Lewat pelbagai situs konsumsi mode, tampak bahwa jumlah pelbagai bentuk komoditas pakaian yang beredar di pasar dari hari ke hari semakin bertumpah ruah dan jauh melebihi kemampuan konsumen untuk mencerapnya.
Pelbagai model dan jenis pakaian sebagaimana
berkembang dalam masyarakat dan disebarluaskan lewat perdagangan atau pasar mode saat sekarang berjalan dalam skema yang menekankan unsur ke-serbabaru-an, ke-serbamutakhir-an, dan cepat sekali berganti (ephemeral). Persis pada titik inilah kemudian para konsumen dihinggapi dengan sejenis kebingungan yang sama sekali berbeda dari jenis kebingungan yang biasa ia rasakan. Bingung bukan karena pakaian yang beredar di pasar kini menjadi terlalu banyak (meski hal ini sudah pasti cukup membingungkan), tetapi bahwa model dan jenis pakaian yang tersedia di pasar seolah-olah sama sekali tidak menunjukkan keragaman atau keserbanekaan, tetapi sebaliknya justru menjadi seragam. Dengan demikian kebaruan pakian
16
Yuniya Kawanura (2005), “Sociological Discourse and Empirical Studies of fashion” dalam Yuniya Kawanura, Fashion-ology. An intoduction to Fashion Studies, Oxfor-New York: Berg, hlm. 29-30.
199
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebagaimana ditawarkan oleh pasar mode yang berkembang dalam masyarakat saat ini terletak pada keseragaman komoditas. Bagaimana pengetahuan paranoia ini ikut mewarnai persepsi konsumen pakaian bisa diikuti dari dari ungakapan pengalaman konsumen pakaian bekas berikut. Ungkapan sebagaimana dinyatakan SS, laki-laki, 23 tahun, mahasiswa tingkat akhir Fakultas Kedokteran Umum UGM, asal Medan, adalah ilustrasi terbaik dari persoalan tersebut. Dalam kaitannya dengan situasi konsumsi mode mutakhir SS menyatakan penilaiannya sebagai berikut:
“Aku kenal pakaian bekas sudah lama. Sejak SMA kelas I. Di kampungku sana, Medan sana, orang menyebutnya pakaian “CAKAR atau Cap Karung”. Lucu, ya? Macam di sini, kan: “Awulawul”? Di sini aku di juluki “Raja Rombeng”. Yang mendorong aku membeli pakaian bekas tidak yang baru? Apa ya? Begini, Bang. Menurut aku, karena pakaian baru, macam yang ada di mall-mall itu, semuanya sama. Semuanya seragam. Pengalamanku kalau lagi belanja apa gitu di mall, lalu iseng-iseng lihat pakaian yang ada di counter-counter, tidak hanya apa yang ada di counter A ada di counter B, tapi yang di mall A pasti pula di mall B, gitu. Ya modelnya, ya merknya, ya warna dan lain-lainnya sama. Yang membedakan kali cuma satu, harganya. Pakaian yang dijual di mall besar macam di Carefour harga lebih mahal daripada yang dijual di Ramai. Baru memang, tapi bagi aku nggak menarik. Yaitu tadi, karena seragam atau sama itu tadi soalnya. Kata anak-anak di sini, pakaian yang dijual di mall, macam seragam anak panti asuhan, gitu. Memang sesekali aku beli juga yang baru di mall. Tapi yang itu terakhir beli sudah lama kali. Karena sama semua gitu jadi nggak tertarik aku untuk beli.”17
Dari pengalaman SS di atas pelbagai pakaian baru sebagaimana diperjualbelian di mall-mall terkemuka di Yogyakarta ternyata ia rasakan tidak menyentuh keinginannya. Konter-konter yang ada di sejumlah mall itu tak ubahnya merupakan pusat laboratorium penangkaran mutan yang khas memiliki keseragaman prototipe 17
Wawancara dengan CS pada 13 Juni 2010.
200
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DNA sebagaimana kerap menjadi tema-tema film futuristik (fiksi) keluaran Hollywood. Mall menjadi semacam gudang penyimpanan beribu-ribu
plasma
nutfah yang dihasilkan dari proses kloning. Dalam sebuah mekanisme kloning sudah barang pasti sulit mengharapkan adanya jenis, bentuk atau model pakaian lain yang berbeda atau berada di luar cetak biru yang sudah ditetapkan. Ucapan sebagaimana diutarakan teman SS tentang koleksi pakaian-pakaian baru yang diperjualbelikan di sejumlah mall di Yogyakarta kiranya merupakan ucapan yang paling tepat dalam mewakili perasaan konsumen secara mendasar. Kebaruan pakaian-pakaian baru sebagaimana diperjualbelikan di sejumlah mall tidak lain hanyalah kesamaan atau keseragaman itu sendiri. Kesamaan dan keseragaman harga yang mahal, model, motif, dan merek pakaian-pakaian baru sebagaimana dijualbelikan di mall justru dirasakan oleh para konsumen pakaian sebagai tak ubahnya dengan (jauh dari niat untuk melecehkan) “seragam anak panti asuhan.” Dengan demikian siapa oun yang kemudian mengenakannya akan terjatuh sebagai (sekali lagi, tidak berniat melecehkan) anak atau anggota panti asuhan. Pada aras ini paranoia konsumsi sebagaimana dialami konsumen berakar pada pengalaman konsumen dalam menghadapi pelbagai pakaian baru yang masingmasing tidak memiliki atau tidak menegaskan adanya perbedaan. Kebaruan pakaian baru tidak mampu memantik keyakinan konsumen pakaian akan adanya nilai kebaruan dalam pakaian baru. Dalam skema penyeragaman sebagaimana disampaikan di muka, para konsumen pakaian saat ini mengalami kebimbangan yang sama sekali berbeda dari kebimbangan yang pernah mereka rasakan sebelumnya. Bimbang bukan karena pilihan yang tersedia menjadi terlalu banyak, akan tetapi bahwa pilihan yang 201
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tersedia dalam perkembangannya ternyata sama sekali dirasakan bukan berarti sebuah pilihan atau alternatif, melainkan suatu pilihan yang semata-mata sudah dipilihkan oleh pasar. Alternatif yang tersedia bukanlah alternatif, karena alternatif yang disodorkan telah sedemikian rupa menjadi sebuah alternatif yang “hanya itu saja” dan “tidak ada yang lainnya”: That’s all! There is no alternative! Para konsumen mengalami sejenis kecemasan yang sama sekali berbeda dari kecemasan yang pernah dirasakan sebelumnya. Cemas bukan karena harus banyak menentukan pilihan, tetapi bahwa apa yang dipahami sebagai memilih dalam perkembangan kemudian seolah-olah sama sekali bukan berarti menentukan pilihan, melainkan menjadi identik dengan tidak memilih. Hal itu dikarenakan pakaian yang ditawarkan pasar sudah merupakan keharusan, sesuatu yang “harus itu” dan “tidak bisa ditawar atau ditolak”. That’s only that! Just take it or leave it! Pengalaman paranoid yang lahir karena rasa frustrasi, cemas, dan bingung yang sangat mendalam itu mempengaruhi mereka dalam menjatuhkan pilihan terhadap pakaian yang sesuai dengan apa yang diinginkan disampaikan. Pengalaman semacam itu dirasakan SD, perempuan, 20 tahun, asal Menado, mahasiswi Politeknik Akademi Perhotelan Indonesia, Yogyakarta. Dalam kaitan ini ia mengungkapkan perasaannya sebagai berikut:
“Saya kenal pakaian bekas setelah beberapa bulan ada Yogya. Sekarang boleh dibilang saya pelanggan tetap pakaian bekas. Di Menado ada juga. Di sana istilahnya “Babe” -- Barang Bekas. Salah satu pusat penjualannya persis di sebelah gereja kami biasa beribadat. Kebetulan sebelah gereja ada tanah kosong. Pakaian ditaruh di bangku dari kayu atau bambu, lalu di atasnya dipasang tenda-tenda gitu, tidak seperti di sini ditata bagus di kios-kios. Dulu kalau belanja pakaian saya seringnya ke Davao atau Manila, di Filipina. Pertama kali di Yogya kalau beli baju ya ke mall. Tapi lama-lama saya berpikir, masak baju yang saya beli di Davao ada 202
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
juga di Menado, ada juga di Yogya. Belum yang dijual cuma gitugitu juga. Sama aja. Nggak merk-nya, nggak model-nya sama semua. Anehnya kadang baju dengan merk sama, model sama di Menado jauh lebih mahal dari yang di Davao atau Yogya. Yang disebut pakaian retail seperti D&G atau DKNY sama saja. Modelnya sekarang nggak ada beda dengan model pakaian yang dari China atau Korea. Semuanya ngikut trend mode, sih. Coba deh, Mas perhatikan. Kalau yang lagi ngetrend itu model kotak-kotak, semua mall di Indonesia pasti jual kota-kotak semua. Hari ini apanya, katakan modelnya. Besoknya apanya, mungkin warnanya. Besoknya apanya, mungkin potongannya. Besoknya apalagi, gituuu terus nggak putus-putus. Daripada pening saya memutuskan lari aja ke pakaian bekas. ”18
Ungkapan sebagaimana dikemukakan oleh SD di atas merepresentasikan pengalaman kemasgulan (Jawa: kagol) yang ia alami akibat bentuk dan jenis komoditas pakaian sebagaimana dibawakan oleh pelbagai pasar mode modern yang masing-masing di antaranya sama sekali tidak menunjukkan perbedaan tetapi justru sebaliknya. Sebuah pengalaman frustrasi yang ia terima ketika pada satu saat mau tidak mau harus bersinggungan dengan bentuk dan model konsumsi mode mutakhir sebagaimana dibawakan oleh pasar mode modern yang ia temui di Yogyakarta, Menado, Davao, dan Manila.
Sebuah pengalaman yang akhirnya membuatnya
merasa pening dan ragu-ragu manakala harus berhubungan atau menggunakan bentuk
komoditas
pakaian
baru.
Perasaan
yang
muncul dan
kemudian
mendorongnya untuk mengkonsumsi pakaian bekas sebagaimana diperjualbelikan di gerai pakaian bekas yang untuk beberapa waktu sebelumnya sama sekali tidak pernah ia kenal. Kemasgulan dan keragu-raguan konsumen pakaian sebagaimana diwakili SD dikarenakan aktivitas membeli pakaian baru yang sebelumnya sungguh-sungguh ia
18
Wawancara dengan SD pada 13 Juni 2010.
203
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
lakukan secara nyata, belakangan dirasakan tidak lebih dari sekedar hanya menjadi “seolah-olah membeli”. Dalam kondisi dikepung oleh banyaknya bentuk-bentuk komoditas pakaian yang serba seragam, ada di mana-mana, dan telah menjadi pilihan dan ketentuan pasar, tiba-tiba ia merasakan bahwa aktivitas membeli yang ia lakukan sama sekali menjadi “tidak sama dengan membeli” atau bahkan menjadi identik dengan “sama saja dengan tidak membeli”. Bagi SD kebaruan pakaianpakaian baru tidak bisa menjamin keyakinannya tentang kebaruan pakaian baru yang ada di luar skema pasar. Sebuah situasi dan kondisi yang rupa-rupanya sangat tidak ia harapkan. Ambiguitas semacam itu muncul dikarenakan bahwa pakaian yang konsumen pilih sejatinya sudah sedemikian rupa merupakan sesuatu yang sudah dipilihkan pasar dan tidak “melibatkan” dirinya. Karena proses penyeragaman atau estetisasi tersebut, pakaian baru dirasakan tidak memiliki perbedaan dengan pakaian lama. Pakaian baru ia rasakan justru tidak bisa menunjukkan nilai kebaruannya secara lebih otentik. Dalam asumsi kebahasaan, bahasa masyarakat konsumen sebagaimana ia pergunakan dengan cara mengkonsumsi pakaian baru ia rasakan tidak bisa dipakai sebagai media untuk mengartikulasikan apa yang sejatinya ia inginkan. Alternatif yang ada atau ditawarkan pasar selama ini menjadi sesuatu yang berada di luar keinginannya. Hal itu karena altermatif yang ada bersifat imperatif dan tidak bisa ditawar: “hanya ini” atau “hanya itu”. Satu hal yang hanya akan terjadi ketika pilihan yang ditawarkan merupakan pilihan yang tidak membuka kemungkinan. Pilihan yang memiliki probabilitas mendekati nol! Selain model yang seragam, bahasa mode modern juga memberikan kepadanya warna yang sama sekali membuatnya tidak yakin kepada dirinya apakah ia sanggup untuk mengenakannya 204
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
karena bertolak belakang dengan warna kulit tubuhnya yang hitam. Apa yang selama ini ia rasakan sebagai satu kepastian dari pasar mode modern sejauh ini adalah kemampuannya dalam membuatnya selalu mengalami penderitaan! Jawaban yang diberikan oleh pasar mode modern yang ia rasakan sebagai sesuatu yang sudah hampir pasti (baca: aksiomatik) adalah bahwa pasar mode modern pasti tidak akan memenuhi harapannya! Dalam
skema
penyeragaman
dalam
konsumsi
mode
sebagaimana
berkembang dalam masyaraka saat ini, SD mengalami sejenis kebimbangan yang sama sekali berbeda dari kebimbangan yang pernah ia rasakan sebelumnya. Bimbang bukan karena pilihan yang tersedia menjadi terlalu banyak, tetapi pilihan yang tersedia dalam perkembangannya ternyata sama sekali bukan berarti sebuah pilihan atau alternatif, melainkan suatu pilihan yang sudah sedemikian rupa dipilihkan orang lain. Alternatif yang tersedia bukanlah alternatif, karena alternatif yang disodorkan masyarakat menjadi sebuah alternatif yang “hanya itu saja” dan “tidak ada yang lainnya”: That’s all! There is no alternative! SD mengalami sejenis kecemasan yang sama sekali berbeda dari kecemasan yang pernah
dirasakan
sebelumnya. Cemas bukan karena harus banyak menentukan pilihan, tetapi apa yang dipahami sebagai memilih dalam kemudian seolah-olah sama sekali bukan berarti menentukan pilihan, melainkan menjadi identik dengan tidak memilih. Hal itu karena pakaian yang ditawarkan pasar sudah merupakan keharusan, sesuatu yang “harus itu” dan “tidak bisa ditawar atau ditolak”. That’s only that! Just take it or leave it! Dalam kondisi sebagaimana diutarakan di atas
para konsumen tiba-tiba
diterkam oleh perasaan keragu-raguan. Perasaan semacam itu muncul karena seiring 205
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan kecepatan dan percepatan pergantian mode (pakaian) yang ada di pasar deasa ini, apa yang dipahami dengan makna berganti dalam perkembangan kemudian seolah-olah menjadi berhimpit dengan pengertian stagnan atau mandek. Para konsumen merasa risau, karena seiring dengan cepatnya pembaruan pakaian yang terjadi di pasar, apa yang disebut sebagai baru atau mutakhir kemudian cepat sekali menjadi usang. Di wilayah cita rasa atau selera (taste) pun tidak lepas dari pengaruh itu. Saat ini para konsumen merasa resah ketika mendapati bahwa rasa pakaian baru sebagaimana ditawarkan pasar modern sudah tidak ada rasanya. Domestikasi atau -- meminjam istilah Piere Bourdieu – estetisasi rasa, penyeragaman rasa,19 yang dialami para konsumen atau menjadikan mereka mati rasa.
pembeli bahkan
Dalam situasi paradoksal semacam itu para
konsumen mengalami ketidakpastian apakah pilihan yang disodorkan pasar benarbenar menjawab kebutuhan ataukah justru sebaliknya. Dari apa yang diuraikan di atas tampak bahwa perkembangan dan proses konsumsi mode dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer oleh sebagian konsumen dalam perkembangan kemudian justru dirasakan mengendala mereka sendiri. Reproduksi kebaruan yang dilakukan pasar mode seperti yang terjadi saat ini oleh sebagian konsumen dirasakan justru merenggut kebebasan mereka saat berhubungan dengan pakaian; saat mereka mau tidak mau harus menggunakan bahasa masyarakat konsumen yang ada. Model dan bentuk konsumsi mode modern sebagaimana berkambang saat ini dirasakan menjadi sangat tertutup dan tidak toleran terhadap pelbagai kemungkinan atau alternatif. Kemungkinan dan alternatif 19
Randal Johnson (1993), “Piere Bourdieu on Art, Literature and Culture” dalam Randal Johnson, ed., Piere Bourdieu: The Field of Cultural Production. Essay on Art and Literature, United Kingdom: Polity, hlm.1-2.
206
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang ada tidak lain adalah kemungkinan dan alternatif telah menjadi cetak biru pasar. Dalam kehidupan masyarakat dan budaya konsumen yang neurotik di satu sisi, dan gerak perputaran mesin produksi mode mutakhir yang serba seragam di sisi lain, pada akhirnya mendorong terjadinya perubahan persepsi, sikap, dan tindakan sebagian konsumen dalam melihat model konsumsi mode modern dewasa ini. Dari situasi ambiguitas semacam itu pada akhirnya memantik hasrat (desire) para konsumen untuk mencari bentuk dan model komoditas pakaian yang dinilai mampu menjanjikan apa yang mereka inginkan. Dari keterangan di atas, pengalaman paranoia sebagaimana dialami oleh sejumlah konsumen mode ditandai dengan kepastian konsumen yang tidak lagi bisa menaruh kepercayaan terhadap pelbagai bentuk dan model konsumsi mode modern. Para konsumen itu tidak memiliki keyakinan (tepatnya, tidak bisa diyakinkan) bahwa bentuk dan model konsumsi mode modern sebagaimana berkembang dalam masyarakat dan budaya konsumen mampu menjawab kebutuhan mereka akan pakaian. Dengan kata lain sejumlah konsumen mengalami ketidakyakinan secara mendasar bahwa pelbagai bentuk dan model konsumsi modern sebagaimana disebarluaskan lewat perdagangan mampu menjamin apa yang sesungguhnya mereka butuhkan. Dari perilaku pasar mode mutakhir, para konsumen mode menyangsikan kemampuan pelbagai bentuk dan model konsumsi mode modern dalam menjawab kebutuhan mereka yang sesungguhnya. Di mata sejumlah konsumen pelbagai bentuk dan model konsumsi mode mutakhir bahkan dinilai gagal memenuhi (memuaskan) kebutuhan mereka akan pakaian sebagaimana menjadi keinginan mereka.
207
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pengetahuan paranoid dalam memahami realitas sebagaimana diutarakan di atas dalam perkembangan kemudian menjadi titik pemicu bagi sejumlah konsumen untuk mencari dan menemukan pelbagai bentuk dan jenis komoditas pakaian serta bentuk dan model konsumsi mode alternatif. Bentuk dan jenis komoditas pakaian serta bentuk dan model konsumsi mode alternatif yang dirasakan lebih mewakili dengan apa yang selama ini mereka inginkan di luar apa yang ada dan menjadi cetak biru masyarakat dan budaya konsumen saat ini. Dengan kata lain berangkat dari pengetahuan paranoia di atas sejumlah konsumen mulai mengelupas keaslian wajah atau bahasa masyarakat dan budaya konsumen sebagaimana berkembang saat ini berkenaan dengan persoalan pakaian. Apa yang mendorong keinginan dan upaya sejumlah konsumen mode semacam itu sekaligus menunjukkan kemampuan atau kreativitas dalam memberikan celah kemungkinan dalam melihat persoalan yang sejauh ini dipastikan tidak (akan) sempat terjangkau oleh penglihatan atau pemikiran para konsumen yang kebanyakan telah mengidap neurosis. Demikian akhirnya pertimbangan dan putusan sejumlah konsumen itu kemudian mereka jatuhkan pada pakaian bekas. Meneruskan apa yang telah dibicarakan di atas, pembahasan tentang pengetahuan paranoid tersebut akan ditempatkan sebagai semacam pemicu bagi bangkitnya pengalaman traumatik, pengalaman negativitas, atau ketidaksadaran yang dialami konsumen pada masa lalu. Pelbagai bentuk pengalaman yang tidak menyenangkan atau menyakitkan yang mereka alami dan tidak mendapatkan pemuasan atau tidak sempat muncul ke alam kesadaran sehingga tetap mengendap dalam ketidaksadaran konsumen dalam bentuk memori, residu, reminiscense, gagasan, remainder, jejak-jejak ingatan. Lewat pengetahuan paranoid terbuka celah 208
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bagi pelbagai dorongan libidinal (libidinal drive) sebagaimana telah direpresi ke dalam alam bawah sadar konsumen untuk menyeruak ke permukaan atau alam kesadaran. Pelbagai silang sengkarut kehidupan masyarakat dan budaya konsumen sebagaimana berlangsung dewasa ini menjadi pemicu signifikan bagi munculnya pelbagai dorongan libidinal yang merupakan bagian dari ketidaksadaran konsumen atau selama ini direpresi dalam alam bawah sadar. Dari data yang bisa dikumpulkan di lapangan, dari 20 orang responden penelitian ini, secara keseluruhan (100%) menyebutkan faktor penyeragaman atau estetisasi rasa sebagai permasalahan utama dan paling menonjol dalam model dan bentuk konsumsi mode modern pada masa sekarang. Sebuah permasalahan yang paling kerap mereka temui manakala harus berhubungan dengan pakaian baru sebagaimana ditawarkan lewat situs-situs konsumsi modern seperti mall atau department store. Faktor penyeragaman atau estetisasi mode tersebut pada saat yang sama sekaligus menjadi pemicu bangkitnya pengalaman traumatik atau pengalaman negativitas yang mereka alami berkenaan dengan pakaian pada masa lalu ke permukaan sebagai sebuah simptom. Dorongan energi libidal atau represional dalam kaitannya dengan kekuatan pakaian bekas sebagai bentuk komoditas dan model konsumsi mode alternatif dalam melahirkan fantasi sebagaimana dibayangkan oleh para konsumen. Berangkat dari gagasan sebagaimana dikemukakan pada bagian terakhir uraian di atas, paragraf-paragraf berikut selanjutnya akan menguraikan pelbagai simptom atau trauma masa lalu para konsumen pakaian bekas berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan akan pakaian. Pengalaman tidak menyenangkan atau pengalaman negativitas yang dialami oleh para konsumen pakaian bekas ketika 209
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
harus merepresi pelbagai dorongan libidinal yang berasal dari Id dan tetap membekas kuat dalam alam bawah sadar. Pelbagai dorongan yang untuk beberapa waktu tidak sempat terpuaskan (disatisfaction) atau tidak sempat diproses ke dalam alam kesadaran lewat pelbagai penanda dan struktur bahasa kesadaran. Pembahasan tentang simptom sekaligus akan dikaitkan dengan persoalan nilai yang masih tersisa dari pakaian bekas yang menurut konsumen tertentu tidak lagi diperhitungkan tetapi justru mampu melahirkan suatu fantasi kepada para konsumen pakaian bekas. Setelah itu dalam aras wacana atau kebahasaan, persoalan penggunaan pakaian bekas akan ditempatkan sebagai praktik diskursif yang dibangun oleh para konsumen pakaian bekas dalam menghadapi fetishisme konsumsi mode mutakhir yang hingga kurun waktu ini menjadi bahasa (master of signifier) yang memiliki kekuatan besar dan menentukan dalam kehidupan masyarakat dan budaya konsumen.
A.3. Pakaian Bekas, Simptom dan Fantasi
Dalam pembicaraan sebelumnya telah disinggung bahwa bentuk dan model konsumsi mode modern sebagaimana berkembang dalam masyarakat dan budaya konsumen dan disebarluaskan lewat perdagangan telah memantik atau memberi celah bagi dorongan libidinal yang direpresi dalam ketidaksadaran konsumen muncul ke permukaan (the eruption of the repressed). Energi represional atau residual energy dalam pengertian Freudian yang manakala muncul ke permukaan bisa mengambil bentuk dalam terdistorsi, simptom, mimpi, keseleo lidah, dan sebagainya. Bagaimana energi libidinal atau energi represional yang tidak bisa 210
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dihancurkan dan perwujudannya manakala muncul ke permukaan dijelaskan dalam keterangan sebagai berikut:
“Since repression does not destroy the ideas or memories that are its target, but merely confines them to the unconscious, the repressed material is always liable to return in a distorted form, in symptoms, dreams, slips of the tongue, etc. (the return of the repressed)” 20
Dari uraian di atas diketahui bahwa pengalaman traumatik seseorang dipenuhi dengan
ingatan, gagasan, atau pengalaman tidak menyenangkan atau
menyakitkan dan bersifat laten. Pengalaman itu berkaitan erat dengan permasalahan dorongan libidinal yang berasal dari alam bawah sadar mereka yang demi kenyamanan dan kestabilan psikis harus direpresi dalam alam bawah sadar sebagai ketidaksadaran. Demikian halnya pelbagai dorongan represional atau ketidaksadaran seseorang ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan, melainkan berlapis-lapis. Pelbagai bentuk dorongan libidinal yang tidak sempat mendapatkan pemuasan itu selanjutnya membidani lahirnya hasrat seseorang untuk kembali dalam pengalaman primordialnya; hidup dalam kepenuhan bersama ibunya. Hasrat ini untuk beberapa waktu dilakukan lewat mekanisme fantasi -- daya yang diarahkan untuk membayangkan sesuatu, terutama hal-hal yang tidak real (dalam arti di luar realitas yang simbolik) atas apa yang diinginkan. Ketika dorongan represional itu kelak kemudian muncul ke permukaan maka akan melahirkan efek berupa adanya simptom psikopatologis dalam pelbagai manifestainya.
20
Dylan Evans (1996), An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis. London and New York: Routledge, hlm. 168
211
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
. Lewat pengetahuan paranoia sebagaimana dikembangkan oleh para konsumen mode modern secara psikoanalitik Lacanian merepresentasikan tarik ulur antara pengetahuan dan realitas. Di satu sisi pengetahuan seseorang akan identitas dan subjektivitasnya belum mapan,
di sisi lain gerak psikis mengharuskan
seseorang mengembangkan pengetahuannya akan dunia sosial dan budaya di sekitarnya. Sebuah gejala yang dialami seseorang yang tengah berada dalam transisi dari akhir fase pascacermin hingga memasuki tahap simbolik. Sebuah pengalaman yang mendorong seseorang untuk melakukan pengembangan pengetahuan berdasarkan pada dugaan-dugaan dan penuh dengan kekhawatiran (anxieties). Demikian selanjutnya putusan konsumen untuk mencari dan menentukan bentuk dan model konsumsi mode di luar cetak biru konsumsi masyarakat dan budaya konsumen merupakan sejenis pengetahuan yang telah sedemikian rupa dilumuri oleh noda paranoia. Pada aras ini konsumsi pakaian bekas sebagaimana dilakukan oleh para konsumen memiliki kaitan dengan pengalaman traumatik yang mereka alami pada masa lalu. Pertanyaan kemudian: pengalaman simptomatik macam apa yang ada dalam alam bawah sadar konsumen pakaian bekas? Bagaimana simptom tersebut diselesaikan konsumen lewat putusan mereka menggunakan pakaian bekas? Apa yang dijanjikan oleh pakaian bekas terhadap para konsumen? Untuk
mendapatkan
jawaban
dari
ketiga
pertanyaan
sebagaimana
dikemukakan di atas, paragraf-paragraf berikut ini menguraikan pengalaman yang dialami oleh empat konsumen atau pengguna pakaian bekas. Kesempatan pertama diberikan kepada JN, laki-laki, 22 tahun, asal Flores, mahasiswa Fakultas Farmasi, UGM.
Dalam
kaitan
persoalan
pengalaman
pengalamannya sebagai berikut: 212
traumatik
JN
menyatakan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“Sudah 2 tahun lebih kalau cari baju saya carinya ke kios pakaian bekas. Yang saya incar dari pakaian bekas itu tiga, Kak. Selain murah, model, motif, warna, dan motif. Saya suka baju model klasik, motif polos, dengan warna kalem. Kalau merk, di antara merk-merk yang ada saya suka Abercrombie, DKNY, Fossil, atau New Look. Kalau beli baru di mall gambling, Kak. Sudah model sama semua dia punya warna parah! Terang-terang semua, nggak cocok sama kulit saya yang hitam. Pokoknya menderita-lah kalau ke mall!” [..] Saya tahu merk-merk itu ketika piknik perpisahan SMA di Bali. Di Flores ggak kenal kami dengan merk-merk itu. Kakak saya yang kuliah di Yogya lebih dulu kenal merk-merk itu. Saya tahu dari dia. Saya masih ingat saya sempat mogok sekolah karena celana merk JAG. Saya pingin sekali punya tapi bisa apa? Saya tidak ada uang. Kalau ada uang, saya mesti cari lagi di luar kota. Paling dekat Bali atau Surabaya. Ongkos ke sana uang siapa? Jadi keinginan itu saya pendam saja dalam hati. Baru di Yogya ini saya bisa cari dan beli, meski second.” 21
Dari ilustrasi di atas, putusan JN menggunakan pakaian bekas yang ia peroleh di gerai rombengan berkaitan dengan endapan pengalaman masa lalunya yang menrenyuhkan hati. Pada usia remaja ia sangat mengingini celana merk JAG yang ia kenal dari kakaknya, tapi keinginan itu harus ia represi karena ia tidak memiliki uang untuk membelinya. Kalau harus beli paling dekat ia harus membeli celana itu di Bali atau di Surabaya. Kemungkinan yang bisa dipastikan justru akan memperparah keadaannya, karena hal itu menjadi satu kemustahilan untuk dilakukan karena ongkos transportasi yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga celana, yang sudah hampir pasti tidak mungkin akan ia lakukan. Kekecewaan hatinya yang ia pendam bertahun-tahun terpuaskan manakala ia memiliki kesempatan untuk mengambil studi di Yogyakarta. Lewat gerai pakaian bekas JN seolah-olah berhasil menemukan “kekasih yang selama ini ia idamidamkan”. Dalam pengalaman JN, celana merk JAG menjadi obat yang bisa 21
Wawancara dengan JN pada 13 Juni 2010.
213
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
memulihkan kekecewaan yang ia tanggung bertahun-tahun. Kekecewaan yang berasal dari keinginan untuk memiliki celana merk JAG yang harus ia pupus karena tidak punya uang untuk membelinya. Celana merk JAG yang ia ketemukan di gerai pakaian bekas memungkinkan JN bertemu dengan dorongan libidinal atau ketidaksadarannya yang demi kestabilan psikisnya dengan berat hati harus ia tenggelamkan sedemikian rupa dalam alam bawah sadarnya. Lewat celana bekas tersebut JN mendapatkan keyakinan atau keberanian diri untuk kembali pada masa lalunya yang menyakitkan. Proses ini sudah barang pasti bukan peristiwa kecil dan sederhana, sebab dengan demikian JN telah mereklamasi keinginannya yang sempat berlubang karena ia sama sekali tidak bisa memuaskannya. Sebuah dorongan akan sesuatu yang selama ini sangat ia inginkan tetapi terpaksa harus ia tunda. Ungkapan JN di atas juga merepresentasikan pengalaman orang yang tengah mengalami frustrasi manakala berhubungan dengan pelbagai bentuk dan model konsumsi mode modern sebagaimana disebarluaskan lewat pasar. Selain menunjuk pada persoalan keseragaman sebagaimana rata-rata diacu atau dialami oleh sebagian besar responden, JN juga menunjuk pada aspek “penderitaan konsumsi” yang kemudian mengubah keputusannya untuk berpindah kepada pakaian bekas. Ketika ia mengindahkan perintah Sang Ayah simbolik dengan cara menggunakan bahasa masyarakat konsumen lewat pelbagai bentuk pakaian baru yang ada di pasaran, JN justru harus menelan kekecewaan. Pakaian baru yang bagi orang kebanyakan bisa mendekatkan orang pada kegembiraan atau bahkan kemewahan justru dirasakan JN sebagai penderitaan. Kekecewaan yang dialami JN berpangkal dari kenyataan bahwa pakaian-pakaian baru yang diperjualbelikan di mall yang sama sekali tidak toleran terhadap persoalan model dan warna sebagaimana yang ia inginkan. 214
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Ketika ia harus menerima resolusi sebagaimana ditawarkan Sang Ayah dengan menggunakan bahasa masyarakat dan budaya konsumen dengan cara menggunakan pakaian baru, JN ternyata harus mengalami frustrasi. Mall menjadikan keinginannya sebagai pertaruhan atau perjudian. Gambling adalah bahasa
yang
lazim dikembangkan dalam
ilmu
matematika.
Konsep
ini
menggarisbawahi persoalan probabilitas atau kemungkinan. Dalam bahasa populer istilah ini telah mengalami penciutan atau peyorasi makna menjadi “kemungkinan yang tidak mungkin” yang dalam bahasa matematika sejajar dengan pengertian “probabilitas yang mendekati angka nol (0)”. Istilah ini dipakai JN untuk mengambarkan ketidakmampuan pasar mode modern dalam memuaskan keinginan konsumen. Gambling mengambarkan sebuah kondisi menggantung, antara “Ya” dan “Tidak”. Sebuah kondisi yang akan menempatkan konsumen dalam kondisi yang tidak nyaman karena didera oleh perasaan sangsi, tidak yakin. Jawaban pasar mode modern kepada JN secara gambling membuat JN tidak memiliki harapan, karenanya harapannya untuk mendapatkan pakaian yang sesuai dengan keinginannya jauh-jauh hari sudah harus segera ia kendorkan atau ia pupus di tengah jalan. Di lain kesempatan pakaian bekas memungkinkan JN bertemu dengan pakaian bermerk Abercrombie, DKNY, Fossil, atau New Look yang ia suka. Berbeda dari pakaian baru yang tidak jelas merknya, identitas pakaian bekas keluaran negeri Paman Sam (Amerika) itu justru sangat tampak jelas di matanya. Pertemuan JN dengan pakaian bekas bukanlah pertemuan orang dengan barang semata. Dalam pertemuan tersebut juga mempertemukan dua identitas. Pertemuan JN yang anak Flores, Indonesia dengan Abercrombie, DKNY, Fossil, dan New Look yang merupakan pakaian buatan dan ala Amerika. Demikian halnya alasan JN 215
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mogok sekolah waktu SMA bukan semata-mata karena ia gagal mendapatkan celana, tetapi juga merepresentasikan gagalnya pertemuan dua identitas, yakni identitas JN dengan identitas JAG yang merupakan celana bikinan Amerika. JN merasa jatuh ketika proses identifikasi yang ia alami sewaktu SMA gagal diwujudkan. JN merasa tidak utuh karena proses pembentukan subjektivitasnya lewat momen identifikasi harus tertunda. Pakaian bekas di pasar membuka kesempatan bagi JN untuk bertemu dengan identitas, rasa, imej, nilai atau tanda keAmerika-an sebagaimana direpresentasikan dalam pelbagai merk pakaian yang ia perlukan untuk pembentukan ego atau identitasnya. Pakaian bekas telah sedemikian rupa memungkinkan bagi JN bertemu kembali dengan objek a (object cause of desire) sehingga ia pun kemudian merasa nyaman dan mampu membuatnya berlama-lama berada di zona itu. Pakaian bekas memungkinkan JN kembali pada masa lampau dan bertemu pengalaman traumatiknya. Lebih dari itu pakaian bekas mampu melahirkan fantasi (phantasy, disimbolisasikan dengan $<>a)22 pada JN untuk menuntaskan pengalaman traumatik atau simptomnya untuk memiliki pakaian bermerk yang sangat ia idam-idamkan di masa lalu tetapi harus ia represi karena tidak memiliki uang untuk membelinya. Pakaian bekas membuat JN tidak “kagol” lagi. Selain itu pakaan bekas juga mampu memberikan jaminan pada JN untuk menghindari bahasa konsumsi modern yang membebaninya. Satu hal yang menurut perhitungan orang kebanyakan atau nalar umum yang berduit terbiasa dengan mode justru bukan menjadi persoalan atau tidak bermakna. Secara fisik atau biologis JN memang telah memasuki fase pasca-cermin, 22
Lebih jauh tentang simbolisasi dan pembahasan tentang fantasi psikoanalisis Lacanian, lihat Alfredo Eidelsztein (2009), Graph of Desire. Using the Work of Jacques Lacan, terj. Florencia F.C. Shanahan, London: Karnac Books Ltd., hlm. 163-164.
216
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dunia simbolik, dunia sosial, dunia masyarakat. Akan tetapi karena “penderitaan” bahasa konsumsi mode modern ia mengurungkan niatnya untuk memasuksi dunia Liyan (Other) sepenuhnya sebagaimana direpresentasikan oleh pakaian baru yang diperjualbelian di mall-mall terkemuka di Yogyakarta. Untuk menghindari bahasa Liyan atau masyarakat yang ia rasakan tidak bisa menjamin keyakinan dan berseberangan dengan keinginannya secara langsung JN menempuh cara melingkar. Ia kemudian menggunakan bahasa yang tidak lagi diperhitungkan oleh masyarakat konsumen pada umumnya, yakni bahasa pakaian bekas. Dengan menggunakan pakaian bekas ia menemukan keyakinannya. Dengan pakaian bekas ia juga menemukan kemampuannya dalam berbahasa dalam arti mengemukakan perasaan dan pikiran sendiri. Lewat pakaian bekas yang ia kenakan, ia seolah-olah tengah berkata kepada dirinya sendiri, meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia tidak mau sekedar “ela-elu” atau “anut grubyuk” alias tidak lebih sekedar ikut-ikutan dengan pola konsumsi sebagaimana dilakukan oleh para konsumen mode modern dan merupakan bahasa masyarakat yang mengalami neurosis. Dengan mengenakan pakaian bekas ia membangun siasat untuk melakukan penghindaran (disavowal). Ia membuka startegi agar dirinya tidak tidak terjatuh sebagai orang yang sekedar merupakan transmiter bahasa mode sebagaimana tersedia dalam masyarakat dan budaya konsumen yang neurotik. Putusan JN mengenakan pakaian bekas adalah suatu cara untuk bertetmu dengan Other sebagaimana direpresentasikan dalam pelbagai bentuk dan model konsumi mode zaman sekarang secara langsung. Dalam
persepsi JN bertemu
dengan Other atau berbahasa mode modern justru memiliki potensi “mencelakakan dirinya”. Keputusannya untuk mengenakan pakaian bekas adalah salah satu cara 217
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
agar Liyan (Other) tidak bisa mengurung dirinya terlalu jauh dan menjauhkannya dari sumber hasratnya. Dunia simbolik, dunia bahasa, atau dunia masyarakat, merupakan zona yang membahayakan bagi dirinya: di dalamnya dimungkinkan terdapat hal-hal yang tidak terduga, termasuk hal-hal yang antagonistik, yang ujungnya akan mendegradasikan dirinya. Ia tidak mau menjadi bagian dari “anakanak panti asuhan” akibat menggunakan bahasa masyarakat konsumen yang telah di-stel pasar sedemikian rupa. Pakaian baru sebagai bahasa masyarakat dan budaya konsumen yang mau tidak mau ia tinggali saat ini menjadi sesuatu yang asing dan mengancam dirinya. Bersentuhan dengan pakaian baru amenjadi bala’ atau kutukan baginya, sehingga sudah sepantasnya kiranya jika harus ia siasati. Konter-konter yang ada di dalam mall-mall itu ia pahami tak ubahnya pusat laboratorium penangkaran mutan yang khas memiliki keseragaman prototipe sebagaimana kerap menjadi tema-tema film futuristik keluaran Hollywood. Mall menjadi semacam gudang penyimpanan beribu-ribu plasma nutfah yang dihasilkan dari proses kloning. Dalam sebuah mekanisme kloning sudah barang pasti sulit mengharapkan adanya jenis, bentuk atau model pakaian lain yang berbeda atau berada di luar cetak biru yang sudah ditetapkan. JN memahami bahwa dunia masyarakat konsumen tidak bisa mewujudkan atau memuaskan keinginannya terkait dengan pakaian. Kebaruan pakaian-pakaian baru itu tidak lain hanyalah kesamaan atau keseragaman. Kesamaan dan keseragaman model, motif, dan merek pakaianpakaian baru sebagaimana dijual di mall ia bayangkan melemparkannya menjadi manusia yang tidak otentik bila sempat ia sentuh. Ia akan menjadi manusia massa atau binatang konsumsi yang hanya mampu meloncat dari satu kandang kebaruan ke kandang kebaruan lain yang akan menguras energinya. 218
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pengalaman JN sekaligus menggaraisbawahi pengalaman lack atau loss yang kedua kali sejak perpisahannya dengan ibunya. Pengalaman yang ia peroleh saat ia harus menerima proses pendewasaan sebagai subjek dalam struktur simbolik atau sosial budaya. Pengalaman lack, loss, atau kehilangan yang dialami JN untuk kedua kali menghampirinya berangkat dari kenyataan yang sama sekali berada di luar perhitungannya. Dalam hal ini Other, Sang Ayah simbolik, Sang Masyarakat, Sang Sosial, Sang Bahasa yang selama ini menjadi reservoir penanda (treasure of signifier) di mana seluruh harapan dan keinginan subjek konsumen untuk mendapatkan kenikmatan pengganti digantungkan, ternyata juga mengalami lack. Di depan mata dan hidungnya JN menyaksikan bahwa Sang Ayah tengah diperdaya oleh hasratnya yang ia arahkan pada ibunya (Other’s desire atau mOther). Sang Ayah tempat ia menggantungkan harapan untuk mendapatkan kenikmatan ternyata telah ditelikung oleh kekuatan pasar! Hal inilah yang kemudian mendorong JN menolak bertemu dengan Other sepenuhnya, atau masuk menjadi objek hasrat masyarakat dan budaya konsumen tanpa reserve. Pengalaman kedua dikemukakan oleh HK, laki-laki, umur 42 tahun, asal Lampung, dokter tetap yang bekerja di Rumah Sakit Daerah (RSUD), Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Dalam kaitan dengan persoalan di atas ia mengungkapkan pengalamannya sebagai berikut:
“Selain praktik di rumah sakit, saya juga mengajar di akademi keperawatan. Wajarlah kalau harus sedikit menjaga penampilan dengan jas. Untuk antisipasi kolega yang suka ngeledek kalau yang saya pakai hanya yang itu-itu saja saya cari ke pakaian bekas. Beli baru, makin ke sini makin mahal, sementara bahan, potongan, model, dan ukuran makin nggak jelas, nggak nyaman, dan sering nggak pas. Makanya saya lalu mengoleksi jas dari sini. Sejauh ini saya dapat jas yang sesuai ukuran dan keinginan. Model yang saya 219
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
suka yang kancingnya empat di depan. Seneng banget saya bisa dapat lagi yang begini. [...] Model jas itu adalah model kesukaan dokter “X”23 dokter pembimbing skripsi dan praktik dan yang membawa saya memasuki dunia medis sebagai dokter dan dosen. Saya ingat betul dulu beberapa waktu sebelum pelantikan dokter. Saya selalu pingin nangis kalau ingat yang ini. Saya masih belum punya uang sepeserpun. Tidak seperti dokter sekarang, dulu sejak Coas (praktik medik: pen) hingga PTT (praktik tidak tetap: pen) saya belum mendapatkan gaji. Lazim di kedokteran saat pelantikan kita harus mengenakan setelan dan jas. Ya, sampai kini, dokter itu identik dengan setelan dan jas. Jadi kalau AKAKOM di TV bilang “kampus mahasiswa berdasi” itu sudah saya alami jauh sebelumnya. Mau minta uang orang tua di Lampung yang tani dan orang trans (transmigran: pen) tidak mungkin. Saya coba cari pinjaman teman, tidak ada yang free. Mau pinjam senior malu. Lalu saya coba cari di penjahitan, ada tapi saya tidak kuat beli. Mereka jual dengan harga Rp. 75 ribu. Tahun 80-an harga itu senilai ¾ SPP kuliah di KU (Kedokteran Umum) UGM. Sayang, kan? Lalu saya cari di rombengan, nggak dapet, karena waktunya mepet dan baru kepikiran belakangan. Akhirnya dengan wajah memelas saya nekad menemui dokter “X” lalu cerita apa adanya ke pada beliau. Sama beliau saya diberi lungsuran jas. Alhamdulillah, meski sedikit kebesaran, ya kebesaran karena beliau itu badannya gemuk, jas itu saya pakai pada saat acara pelantikan. Untuk mengenang jasa baik dokter “X” jas itu masih saya simpan sampai sekarang.” 24
Dari ilustrasi di atas, putusan HK menggunakan jas yang ia peroleh di gerai rombengan
berkaitan
dengan
endapan
pengalaman
masa
lalunya
yang
menrenyuhkan hati. Jas yang ia beli dari gerai rombengan menjadi reminder (tanda mata) tentang tentang kejadian yang ia alami pada tahun 1980-an beberapa saat sebelum ia dilantik menjadi seorang dokter. Jas yang ia beli di gerai pakaian bekas menjadi reminder atas keinginannya memiliki sepotong jas yang tidak bisa ia penuhi karena tidak memiliki uang untuk membelinya, sementara jas itu sangat ia butuhkan untuk mengikuti acara pelantikan dirinya sebagai dokter. Kejadian yang sekaligus menempatkan budi baik dokter “X” dosen pembimbing skripsinya yang telah 23 24
Atas permintaan HK, identitas dokter yang bersangkutan disamarkan. Wawancara dengan HK pada 14 Juni 2010.
220
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
melungsurkan jasnya kepada HK sehingga memungkinkan ia memiliki sepotong jas dan mengikuti upacara pelantikan dokter yang membanggakan hatinya. Dengan demikian apa yang sejatinya ia beli dari sepotong jas di gerai pakaian bekas adalah kemampuan jas dalam menghubungkan realitas masa kini HK yang telah menjadi dokter dan dosen sebuah akademi keperawatan dengan endapan, remainder atau pengalaman
simptomatik
masa
lampau HK yang tidak
menyenangkan beberapa saat sebelum menjadi dokter. Pada saat yang sama jas bekas dengan model double breast menghubungkan realitas masa kini HK dengan reminder tentang sosok dokter “X” yang telah “menyelamatkan muka” HK sehingga ia tetap bisa tegak di tengah komunitas medis dengan mengikuti upacara penobatan dirinya
sebagai
dokter.
Sementara
itu
kebiasaan
HK
mengoleksi
jas
merepresentasikan mekanisme fiksasi yang masih berjalan dalam diri HK. Dalam hal ini HK mengompensasikan ketidamampuannya membeli satu jas pun mampu karena keterbatasan finansial. Dengan demikian ia tengah menghadapi endapan pengalaman yang menyakitkan dan berada dalam alam bawah sadarnya dengan cara membedol dan memindahkannya pada masa kini. Demikian selanjutnya menarik kiranya untuk melihat bagaimana HK menghadapi pengalaman yang sama sekali tidak menyenangkan batinnya di masa lalu. Dalam hal ini langkah HK untuk menutup pengalaman traumatiknya di masa lampau tidak saja mengarahkan usahanya pada dirinya sendiri, tetapi juga ia arahkan kepada orang lain. Di tengah subjektivitasnya sebagai seorang dokter dan kelaziman bahasa kedokteran yang menempatkan penggunaan setelan dan jas sedemikian rupa sebagai salah satu ciri atau identitasnya, telah mendorongnya untuk melakukan langkah antipasi atau mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism) lewat 221
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebuah mekanisme proyeksi. Mekanisme proyeksi ini berkaitan situasi sosial atau komunitasnya yang terkadang tidak ramah hanya karena persoalan pakaian atau jas yang dikenakan. Ia tidak mau diledek atau diolok-olok karena jas yang ia kenakan yang menurut teman-temannya “hanya itu-itu saja” alias tidak pernah ganti. Mekanisme proyeksi sebagaimana dilakukan HK diperlukan untuk menempatkan posisi subjektivitasnya sebagai dokter (dan dosen) dalam komunikasi sosialnya bersama kolega atau teman sejawatnya. Dengan begitu posisi subjek HK sebagai dokter dan dosen tetap terjaga di depan orang lain (other). Satu hal yang nyaris terjadi beberapa saat sebelum pelantikan jika tidak ada uluran tangan dokter “x”. Cara itu ia wujudkan dengan jalan mengoleksi jas bekas yang ia beli dari gerai pakaian bekas. Jumlah jas yang lebih dari satu memungkinkannya untuk melakukan penggantian identitas berkali-kali dengan cara mengganti properties sebagaimana direpresentasikan oleh model jas bekas yang ia koleksi. Di mata koleganya dan komunitas medik di mana pada akhirnya ia geluti, ia senantiasa menjadi orang yang senantiasa baru. Baru dalam pengertian ini adalah bukan yang lampau, bukan yang telah lalu, saat di mana HK belum mampu membeli jas melainkan hanya jas lungsuran dan belum dilantik atau dikukuhkan sebagai seorang dengan profesi yang secara sosial dinilai berbobot, dokter. Berdasarkan keterangan di atas, secara klinis tampak adanya gejala gangguan mental (mental disturbance) dalam diri HK, yakni neurosis yang mengambil bentuk berupa obsesi.25 Gejala atau simptom tersebut berada di luar jaungkauan HK untuk menyadarinya. Fantasi HK yang mengalami obsesi sejauh ini menyiratkan hubungan dirinya dengan objek hasratnya. Akan tetapi ia menolak untuk mengakui 25
Bruce Fink (1997), Op. cit., hlm. 116.
222
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bahwasanya objek hasrat atau sesuatu yang ia ingini (dalam pengalaman HK adalah sepotong jas) memiliki hubungan atau keterkaitan erat dengan hasrat orang lain di luar dirinya (Other). Dalam persepsi HK, orang lain tidak lagi memiliki kaitan dengan jas sebagaimana yang ia inginkan. Dengan demikian kedudukan objek hasrat atau jas yang ia ingini di masa lalu sebagaimana ia kumpulkan di gerai rombengan pada saat ini dimaksudkan semata-mata untuk melengkapi subjektivitasnya. Dalam hal ini objek hasrat atau jas yang diingini HK ia persatukan dengan subjektivitas HK sebagai seorang dokter. Dari ungkapan di atas HK juga mengilustrasikan hubungannya dengan Other lewat konsumsi. Hanya saja rupanya ia harus menelan kekecewaan, sebab apa yang ia harapkan agar dunia konsumsi mode modern bisa menyodorkan pada dirinya sebuah jas yang cocok dengan keinginannya tidak terwujud. Jas baru sebagaimana diperjualbelikan di pelbagai situs konsumsi modern semakin hari ia rasakan semakin mengecewakan. Dari segi harga ia rasakan semakin mahal, tetapi dari segi model dan kualitas bahan ia rasakan semakin tidak baik. Persis di sini mengingatkan pada janji Sang Ayah sebagaimana pernah ia teken dalam sebuah pakta pada kurun oedipal. Janji bahwa Sang Ayah akan memberikan solusi, sebagai kompensasi Sang Anak melepaskan hasratnya akan ibunya, ternyata tidak bisa ia penuhi. Pakta yang membuat Sang Anak rela dikastrasi dan mencari objek pengganti hasratnya di luar diri ibunya tidak mendapatkan jawaban memadai. Akan tetapi demikianlah yang harus ia terima, sebab Sang Ayah, ternyata juga mengalami lack. Lack yang menimpa Sang Ayah berasal dari ibu yang saat ini sangat potensial membentuk dunia sosial: pasar!
223
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Menarik pula kiranya untuk melihat pilihan HK terhadap jas yang ia beli di rombengan. Sejauh ini menunjukkan bahwa model jas yang menjadi kesukaan HK adalah model jas yang sama dengan model jas orang yang ia hormatinya; dokter senior dan pembimbing skripsinya. Tampak bahwa identitas jas senior HK terpatri dalam ketidaksadaran HK mendorongnya untuk menemukan identitas jas yang sama atau serupa dengan apa yang pernah ia dapatkan atau diberikan seniornya itu. Kesamaan identitas jas sebagaimana identitas jas yang dimiliki seniornya oleh HK diproyeksikan kepada pelbagai model jas yang ia sukai dan tersedia di gerai rombengan. Apa yang yang hendak dikatakan adalah kesamaan atau kemiripan identitas atas jas yang diberikan seniornya itu menjadi sebagian dari hasrat HK untuk mengkonsumsi pelbagai ragam jas yang ada di pasar rombengan. Dengan kata lain HK tidak sekedar membeli sepotong jas, tetapi membeli sejarah, membeli riwayat, atau membeli kenangan. Keinginannya membeli jas didorong oleh hasratnya untuk menemukan pelbagai jas dengan identitas kebekasan sebagaimana ia alami saat mendapat lungsuran dari seniornya! Berikutnya adalah pengalaman SY, laki-laki, 21 tahun, asal Palembang, mahasiswa Komunikasi, FISIPOl, UGM. Dalam kaitan hal yang sama ia mengutarakan pengalamannya sebagai berikut:
“Saya ngrombeng sudah lama. Sejak SMA Klass II saya ke Jogja. Pindah sekolah di sini. Di rumah berantem terus sama Bokap (bapak: pen.). di Jogja saya ikut, Bu Dhe. Kakak sudah lebih dulu ke Jogja, kost sendiri. Kenal rombeng dari teman-teman kampus. Betul macam di surga kalau ke sana. Saya cuma beli satu kalau ke sana. Celana curdoray. Yang garis-garis kecil itu, Mas. Bukan yang besar. Kalau yang besar itu buatan Bandung. Gak tahu pokoknya kalau ke sana cuma beli curdoray itu. Warna juga hanya satu, coklat muda baige gitu. Merk-nya aku masih ingat betul: Louis. Itu yang sejak kecil nggak kesampaian saya punya. Hanya ngliatin gitu di toko. Kasihan 224
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
nggak, Mas. [...] Bapak kan ceritanya tentara, tahu sendiri gaji tentara kan, Mas. Udah gitu kakakku, UGM juga, lulus barusan dari FE (Fakultas Ekonomi: pen), dulu bandelnya minta ampun. Kalau minta nggak dituruti minggat. Pernah nyopet karena pingin beli jam tangan. Ketangkep, digebuki massa, disel polisi. Sama Bokap diambil. Kata mama, dia anak Bokap. Jadi apa yang dia mau pasti dituruti Bokap. Pas jatah saya uang sudah habis. Kalau didesak, kalau nggak dijawab dengan besok-besok, ya cuma dapet semprot (dimarahi: pen). Kalau tetep ngrengek: dipukul, Mas! Tahun 2000 di Palembang harga celana itu sudah nyampe Rp. 350 ribu. Karena Bokap gak ada uang, ya sudah terpaksa kunci mulut saja meski di hati rasanya pingin bunuh diri.”
Meski diutarakan dalam bahasa yang ringan, tuturan SY di atas merepresentasikan luka batin yang ia alami di masa lalu saat ia berusia remaja. Dari tuturan di atas tampak bahwa aktivitas belanja celana curdoray warna coklat dengan merk Louis di gerai pakaian bekas sebagaimana dilakukan SY merepresentasikan pengalaman menyakitkan yang ia terima berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan akan celana yang tidak kesampaian atau tidak mendapatkan pemuasan. Pada saat SY berusia remaja ia sangat mengingini sebuah celana panjang jenis curdoray warna coklat dengan merk Louis. Sebagai seorang remaja yang secara ekonomi atau finansial masih sepenuhnya menjadi tanggungan orang tuanya keinginan SY sangat bergantung pada kemurahan hati orang tuanya. Akan tetapi manakala keinginannya itu ia sampaikan kepada ayahnya, ayahnya hanya meresponsnya dengan menyatakan “Ya, besok!”. Ketika permintaan itu kembali ia sampaikan kepada ayahnya, apa yang ia dapatkan hanyalah semprotan alias dimarahi. Demikian selanjutnya ketika keinginan itu ia ajukan lagi kepada ayahnya secara merengek-rengek, apa yang ia dapatkan adalah pukulan! Pengalaman menyakitkan yang dialami SY berkenaan dengan keinginannya untuk memiliki celana (demikian halnya dengan kekerasan verbal dan fisik yang diperoleh dari
225
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ayahnya) berakar pada keterbatasan ekonomi yang dihadapi keluarganya. Ayah SY yang hanya seorang anggota tentara dengan gaji kecil tidak memiliki cukup uang untuk dibagi kepadanya. Ayahnya tidak memiliki cukup uang untuk meluluskan apa yang ia minta. Keinginan untuk memiliki sebuah celana model curdoray, warna coklat atau beige, dengan merk Louis seharga Rp. 350.000 dengan sangat terpaksa harus ia tenggelamkan dalam-dalam ke alam bawah sadarnya. Jenis celana yang hanya curdoray, yang hanya berwarna coklat atau beige, dan hanya merk Louis sebagaimana ia cari di gerai pakaian bekas pada saat ini merefleksikan kuatnya dorongan keinginan yang bergejolak dalam batinnya sebagaimana hal itu memiliki akar yang panjang dalam pengalaman masa lalunya. Sebuah dorongan keinginan yang selama ini harus ia tekan sedemikian rupa agar tidak pernah muncul ke permukaan. Demikian hal itu sekaligus merefleksikan beratnya beban psikis yang berakar pada kuatnya perintah Sang Ayah biologis yang harus ia jalankan sebagai sebuah hukum atau – menurut istilah Bruce Fink -paternal function sejak SY menapaki fase remajanya. Sebuah pengalaman menyakitkan yang terjadi pada masa lalu dan sangat membekas kuat dalam batinnya hingga saat sekarang. Pada aras ini secara klinis tampak terdapat gejala gangguan mental (mental disturbance) dalam diri SY, yakni neurosis yang mengambil bentuk berupa histeria. Tanpa pernah disadari oleh SY berkembang keyakinan dalam dirinya bahwa apa yang harus ia utamakan adalah bagaimana agar Other, yang dalam hal ini keberadaanya diwakili oleh sosok ayah biologisnya, menemukan desire atau hasratnya melalui objek dalam dirinya. Dalam kaitan ini SY mengidentifikasikan dirinya sebagai objek yang tidak dimiliki oleh ayah biologisnya (Object that the 226
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
other is missing).26 Dalam hal ini SY menghilangkan subjektivitasnya sendiri dan lebih mementingkan desire of Other atau hasrat Sang Ayah biologisnya. SY menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang akan melengkapi hasrat ayahnya atau menjadi objek Sang Ayah. Untuk mengetahui desire Sang Ayah mau tidak mau ia harus menjadi menjadi objek. Dengan demikian, kenikmatan yang akan didapatkan SY bukan terletak pada kerelaannya menjalankan perintah ayahnya, melainkan pada bagaimana ia menjalani desire orang lain. Salah satu cara SY untuk menikmati sesuatu tidak dilakukan atau diarahkan pada dirinya sendiri, melainkan ia lekatkan pada orang lain. Tanpa disadari SY ternyata pura-pura bohong, ia pura-pura tidak menikmati situasi tersebut, meski yang terjadi justru adalah yang sebaliknya. 27 Demikian halnya berangkat dari persoalan model dan merk, SY pengalaman sangat ekstrem. Apa yang ia tahu dan apa yang ia mau dari pelbagai bentuk celana yang ada di rombengan hanya satu: curdoray bergaris kecil. Demikian halnya merk celana yang ia tahu dan ia mau beli di rombengan hanya satu: Louis. Model celana curdoray bergaris kecil buatan luar yang berbeda dari curdoray bergaris besar buatan Bandung dengan merk Louis ibarat sosok Echo dalam mitologi Yunani, sosok peri manis dan merana di pegunungan karena cintanya ditampik oleh Narsius yang atas izin Jupiter boleh menggoda semua orang dengan suaranya yang merdu dan senantiasa terngiang-ngiang di telinga pendengarnya. 28 Celana model curdoray kecil dengan merk Louis sudah pasti bukan sekedar sepotong kain, juga bukan sepotong celana buatan Bandung. Dari merk, terutama, orang semua mengenal bahwa celana itu adalah celana buatan Italia. Garis kecil curdoray dan merk Louis inilah yang 26
Bruce Fink (1997), Op.cit., hlm. 90 Ibid., hlm. 91 28 Sukartini Silitongan-Djojohadikusumo, (t.a.t.), Mitologi Yunani, Jakarta: Djambatan, hlm. 39-40. 27
227
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
terngiang-ngiang dalam ingatan SY. Model dan merk ini merepresentasikan cita rasa dan mampu membangun imajinasi keitalian SY. Identitas pakaian bekas sebagai bekasnya orang Italia dan kebekasan pakaian buatan Italia menumpuk menjadi satu membangun satu riwayat, jejak (traces) bagi SY. Dengan cepat bisa dikatakan bahwa karena model dan merk sebagai representasi ke-Itali-an inilah yang mendorong SY terus merengek di masa lalu, dan memasang mata tajam di gerai rombengan atau pakaian bekas saat ini. Pengalaman terakhir yang akan diketengahkan di sini adalah pengalaman CS; perempuan, 24, asal Medan, alumni komunikasi UGM, penyiar radio swasta milik UGM. Dalam kaitan permasalahan sebagaimana tengah kita diskusikan, ia mengutarakan pengalamannya sebagai berikut:
“Jangan tanya aku, Bang soal Cakar (Cap Karung, pakaian bekas: pen). Sejak jaman kuliah dulu sampai sekarang ya merk Cakar koleksinya. Kenal pertama waktu magang di radio G29 di Gayam sana. Terus tahu banyak Cakar mangkal di utara terminal Umbulharjo. Yang jual orang Minang semua. Aku ke sana. Tahu nggak, Bang. Aku purapuranya jadi wartawan yang lagi ngliput berita. Bawa recorder dan kamera gitu. Gitulah aku pun lalu belanja di situ. Terus jadi pelanggan tetap ... he he ... (tertawa: pen). Zaman itu malu juga aku sama kawankawan kalau nggak nyamar gitu. Aku sukanya celana model cargo gini, Bang. Yang bagus kualitasnya tuh yang dari Korea. Merknya Makoto. Tahunya celana aku ya cuma itu, modelnya merknya. Tapi itu celana memorable, Bang. Memori orang elit (ekonomi sulit: pen) waktu SMA. Aku tinggal sama Mama, single parent. Papa sudah meninggal sejak aku SD. Mama ibu rumah tangga. Kita jualan kue sampai SMA. Dititipin di gereja-gereja atau mana saja yang penting laku. Sebelum sekolah aku puter komplek jualan kue. Bah! Jadi sedih kalau ingat itu! Waktu aku ultah 17, Mama tanya minta dibelikan apa. Dia tahu aku suka lirik-lirik celana itu di toko. Tapi aku bilang: ‘Mama, nggak usah. Uangnya ditabung saja untuk modal usaha.’ Kasihan Mama jika aku berterus terang tentang celana itu. Aku tidak tega minta celana seharga 200-250 ribu itu ke Mama. Jadi ya gitu keinginan itu aku pendam, aku kubur dalam-dalam!“ 29
Atas permintaan interviewee atau responden nama radio swasta disamarkan dakam inisial.
228
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dari pengalaman sebagaimana diungkapkan CS di atas merepresentasikan luka batin yang ia alami di masa lalu saat ia berusia 17 tahun. Dari tuturan di atas tampak bahwa aktivitas belanja celana cargo, merk Makoto buatan Korea di gerai pakaian bekas sebagaimana dilakukan CS merepresentasikan pengalaman menyakitkan yang ia terima berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan akan celana yang tidak kesampaian atau tidak terpuaskan. Pada saat CS berusia remaja ia sangat mengingini sebuah celana panjang model cargo dengan merk Makoto, buatan Korea. Sebagai seorang perempuan remaja yang datang dari keluarga piatu, single parent, dengan kondisi ekonomi yang biasa bahkan cenderung kurang, keinginan CS terhadap celana yang berharga 200-250 ribu tersebut akhirnya harus ia kubur dalam-dalam. Ia tidak ingin permintaannya akan membebani keuangan ibunya yang mengandalkan kehidupannya dengan cara berjualan kue. Dari latar belakang keluarga semacam itu, celana dengan model dan merk yang sama menjadi semacam kuburan yang dengannya ia bisa mengalami kembali masa lalunya yang tidak menyenangkan. Sebuah pengalaman traumatik akibat lepasnya harapan untuk memiliki sepotong celana dari kenyataan yang di dalamnya ia mau tidak mau harus melakukan sebuah perdamaian. Jenis celana cargo merk Makoto sebagaimana ia beli di gerai pakaian bekas pada saat ini merefleksikan kuatnya dorongan keinginan yang bergejolak dalam batinnya sebagaimana hal itu memiliki akar yang mendalam pada masa lalunya. Sebuah dorongan keinginan yang pada kahirnya harus ia tekan sedemikian rupa agar tidak pernah muncul ke permukaan. Demikian hal itu sekaligus merefleksikan beratnya beban psikis yang berakar pada besarnya rasa iba CS terhadap situasi ekonomi keluarga yang 229
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dijalankan ibunya sendirian. Sebuah pengalaman tidak mengenakkan yang terjadi pada masa lalu dan sangat membekas kuat dalam batinnya hingga saat sekarang. Pada aras ini secara klinis tampak terdapat gejala gangguan mental (mental disturbance) dalam diri CS, yakni neuroris yang mengambil bentuk berupa histeria. Sebagaimana pengalaman YS sebelumnya, tanpa pernah disadari berkembang keyakinan dalam diri CS bahwa apa yang harus ia utamakan adalah bagaimana agar Other, yang dalam hal ini diwakili oleh sosok ibunya, menemukan desire atau hasratnya melalui objek dalam dirinya. Ia mengidentifikasikan dirinya sebagai objek yang tidak dimiliki oleh ibunya (Object that the other is missing).30 Dalam hal ini CS menghilangkan subjektivitasnya sendiri dan lebih mementingkan desire of Other sebagaimana diisi oleh sosok ibu biologisnya. CS menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang akan melengkapi hasrat ibunya atau menjadi objek Sang Ibu. Untuk mengetahui desire Sang Ibu mau ia rela menjadi objek. Dengan demikian, kenikmatan yang akan didapatkan CS bukan lagi terdpat terletak pada kerelaannya memupus keinginannya dengan melihat ibunya, melainkan pada bagaimana ia menjalani desire orang lain. Salah satu cara CS untuk menikmati sesuatu yang sangat ia ingini, dalam hal ini adalah sepotong celana jenis cargo dengan merk Makoto buatan Korea, tidak dilakukan atau diarahkan pada dirinya sendiri, melainkan ia kaitkan dengan keberadaan orang lain sebagaimana dalam ini diwakili oleh sosok ibunya. Dari keempat ilustrasi sebagaimana disampaikan oleh para pengguna pakaian bekas di atas menunjukkan bahwa pertimbangan dan keputusan konsumen untuk menggunakan pakaian bekas sejauh ini berkaitan erat dengan residu, reminiscenes, 30
Bruce Fink (200x), Op.cit., hlm.
230
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
memori, jejak-jejak ingatan yang karena sebab-sebab tertentu harus direpresi ke alam bawah sadar sebagai bagian dari ketidaksadaran dan melahirkan pengalaman traumatik. Pakaian bekas sebagaimana berkembang luas dalam masyarakat sejauh ini memberi kemungkinan kepada para konsumen atau penggunanya untuk “memulihkan” pengalaman traumatiknya akibat lepasnya harapan dari kenyataan. Pengalaman
yang berakar pada ketidakmampuan konsumen dalam memenuhi
keinginannya untuk memiliki suatu objek yang sangat diingini tetapi terkendala oleh sebab-sebab
tertentu
yang
dalam
hal
ini
ini
secara
mayoritas
adalah
ketidakmampuan finansial. Pada aras ini, pakaian bekas menjadi semacam kendaraan yang memungkinkan para konsumen untuk berkanjang ke masa lampau; bertemu kembali dengan pengalaman traumatiknya sendiri; kembali mengenali dorongan libidnalnya (libidinal drive) yang terpaksa harus mereka tenggelamkan ke dalam alam bawah sadar demi sebuah kesetimbangan psikisnya. Sebagaimana dikatakan sebelumnya, langkah ini memiliki arti taktis, yakni bisa dipakai untuk mendiagnosis ulang kondisi psikis konsumen pasca-trauma hingga waktu yang lebih belakangan. Hal ini didasarkan pada fakta bahwasannya pelbagai dorongan libidinal yang ada pada diri seseorang pada dasarnya tidak bisa dihancurkan lewat mekanisme represi. Sebagai sebuah mekanisme psikis keberhasilan represi tidak lebih sekedar menenggelamkan atau mengalihkan pelbagai dorongan libidinal tersebut ke tempat yang lain, yakni ke alam bawah sadar sebagai bagian dati ketidaksadaran. Dengan demikian dorongan libidinal itu tetap ada dan akan mengkristal dalam bentuk residu, kenangan, atau jejak-jejak ingatan sebagai sebuah ketidaksadaran.
231
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dari arah lain konsumsi pakaian bekas juga memiliki makna strategis. Hal ini dikarenakan bahwa dengan mengenali pelbagai dorongan libidinalnya yang demi kestabilan psikis terpaksa harus ditenggelamkan atau ditekan ke dalam alam bawah sadarnya, konsumen memiliki kesempatan untuk mengurangi intensitas trauma yang dialaminya. Dengan kata lain cara itu memungkinkan agar kenyataan trauma berkurang nyatanya.31 Dengan kata pakaian bekas memberikan kemungkinan kepada subjek konsumen untuk melakukan fantasi atas pelbagai pengalaman yang tidak mengenakkan berkenaan dengan kebutuhan akan pakaian yang membekas dalam dirinya sehingga bisa diratakan, diselesaikan, atau dipenuhi. Fantasi di sini menjadi reminder yang diperlukan oleh subjek konsumen untuk mengerjakan ulang pelbagai bentuk endapan, memori, remainder, residu, atau jejak-jejak ingatan (traces) yang membekas dalam psikis konsumen. Satu langkah pada gilirannya memungkinkan trauma atau simptom yang ada tidak berkembang menjadi imej yang menyakitkan dan mempengaruhi kehiduapan psikis konsumen selanjutnya. Dalam skema yang lebih luas, berdasarkan pengetahuan paranoia keempat pengguna pakaian bekas sebagaimana dikemukakan di atas tampak jelas bahwa partisipasi mereka dalam dunia masyarakat konsumsi yang neurotik telah berkaitan dengan simptom atau trauma yang di dalamna bersemayam pengalaman yang menyakitkan. Satu hal yang menjadi dasar pembenar untuk meragukan model konsumsi modern sekaligus melahirkan desire untuk melakukan fantasi. Seiring dengan kecepatan dan percepatan pergantian mode dan jenis pakaian yang ada di pasar, apa yang dipahami sebagai pakaian baru seolah-olah tidak memiliki beda dengan pakaian lama. Lewat mekanisme penyeragaman sebagaimana merupakan 31
Philip Hill (1997), Op. cit., hlm. 47.
232
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
blue print pasar, pakaian baru sebagaimana ditawarkan dalam pelbagai bentuk dan model konsumsi mode modern dirasakan telah kehilangan aspek kebaruannya. Kebaruan pakaian baru tidak lagi memiliki nilai keotentikan layaknya pakaian baru. Seiring dengan laju kecepatan dan percepatan mesin produksi mode yang sangat cepat dan hadir ke tengah masyarakat dalam jumlah yang berlimpah ruah, kebaruan pakaian baru seolah menumpuk di satu titik dalam waktu yang seketika itu juga. Laju perkembangan dan pergantian mode sebagaimana dihasilkan oleh mesin produksi dan pasar yang sangat cepat dalam perkembangan kemudian seolah-olah menjadikan pengertian perubahan atau pergantian berhimpit makna dengan pengertian mandek. Efeknya para konsumen merasa risau, sebab apa yang disebut sebagai baru atau mutakhir dalam waktu yang cepat kemudian akan berubah menjadi usang. Demikian halnya di wilayah cita rasa atau selera (taste) pun tidak lepas dari pengaruh. Saat ini para konsumen merasa resah ketika mendapati bahwa rasa pakaian sebagaimana ditawarkan pasar mode modern dirasakan sudah tidak ada rasanya. Para konsumen atau pembeli pakaian baru bahkan menjadi mati rasa (baal) karena domestikasi atau penyeragaman rasa yang terjadi. Hal itu karena mereka telah mengalami – meminjam istilah Piere Bourdieu – estetisasi rasa, penyeragaman rasa sebagaimana dilakukan pasar mode.32 Dalam situasi paradoksal semacam itu para konsumen mengalami kekhawatiran apakah pilihan yang disodorkan pasar benar-benar
menjawab kebutuhan ataukah justru sebaliknya, justru akan
mengecewakannya. Demikian halnya mereka pun sebenarnya juga tidak memiliki cukup keyakinan atas apa yang mereka lakukan. 32
Randal Johnson (1993), “Piere Bourdieu on Art, Literature and Culture” dalam Randal Johnson, ed., Piere Bourdieu: The Field of Cultural Production. Essay on Art and Literature, United Kingdom: Polity, hlm.1-2.
233
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dari uraian di atas tampak bahwa perkembangan dan proses konsumsi mode dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer oleh sebagian konsumen kemudian justru dirasakan mengendala mereka sendiri. Reproduksi kebaruan yang dilakukan pasar mode seperti yang terjadi saat ini oleh sebagian konsumen dirasakan justru merenggut kebebasan mereka saat berhubungan dengan pakaian. Model dan bentuk konsumsi mode modern sebagaimana yang ada dirasakan menjadi sangat tertutup dan tidak toleran terhadap kemungkinan atau alternatif, selain alternatif yang telah menjadi cetak biru pasar. Dalam kehidupan masyarakat dan budaya konsumen yang tengah mengidap general hysteria dari satu sisi,
dan gerak perputaran mesin
produksi mode mutakhir yang sangat cepat dan penyeragaman mode di sisi lain kemudian mendorong terjadinya perubahan persepsi, sikap, dan tindakan sebagian konsumen dalam melihat model konsumsi mode modern saat ini. Pengalaman paranoia sebagaimana dikemukakan di atas selanjutnya memantik semangat sebagian konsumen untuk mengimajinasikan dan mencari bentuk dan model konsumsi
mode lain yang diandaikan mampu memulihkan
keyakinan mereka seperti kondisi awal sebelum mengalami goncangan. Di antara konsumen kemudian muncul dorongan yang sangat untuk menemukan jalan keluar dari persoalan yang tengah mereka hadapi. Imajinasi dan pencarian konsumen itu akhirnya mereka jatuhkan pada pakaian bekas. Pakaian bekas dinilai oleh para konsumen memiliki kemungkinan dalam melahirkan pilihan atau alternatif konsumsi sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. Pakaian bekas menjadi alternatif konsumsi bagi sebagian orang yang mengidealkan bentuk komoditas yang bebas dan bisa dipakaian untuk melawan kooptasi modernitas sebagaimana dibawakan pasar mode modern. Sebuah model dan bentuk konsumsi mode yang selama ini mengarsiteki 234
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
terjadinya penyeragaman pelbagai bentuk komoditas dan estetisasi rasa di tengah masyarakat secara luas. Ketidakyakinan konsumen terhadap bahasa masyarakat konsumen pada gilirannya menjadi daya dorong signifikan bagi sejumlah konsumen untuk mencari bentuk komoditas pakaian dan model konsumsi alternatif di luar model konsumsi yang telah ada. Suatu pencarian yang kemudian mereka bayangkan terdapat dalam pakaian bekas. Dengan demikian penggunaan pakaian bekas mengacu pada pencarian kemungkinan untuk merumuskan bahasa yang menurut mereka lebih mewakili keinginan dan perasaan mereka sendiri. Bahasa yang tidak merupakan bahasa yang berasal dari luar dirinya, tetapi sebaliknya berasal dari dirinya sendiri. Demikian halnya keputusan konsumen untuk menggunakan pakaian bekas dibangun berdasarkan pada keyakinan bahwa pakaian bekas sebagaimana ditawarkan lewat perdagangan memiliki kekuatan cukup signifikan yang akan membebaskan mereka dari belitan persoalan yang tengah mereka hadapi ketika harus berhubungan dengan masyarakat konsumen sekarang ini. Pakaian bekas oleh para konsumen dipercayai memiliki kekuatan besar dalam melepaskan mereka dari tekanan dan jerat fetishisme konsumsi modern yang saat ini menjadi bagian dari dunianya tetapi telah sedemikian rupa sulit dipahami atau problemantik. Uraian di atas secara tidak langsung juga menggambarkan tentang ekspektasi para konsumen tentang bentuk komoditas dan model konsumsi mode lain yang bisa dipakai untuk memroses ulang pengalaman traumatik mereka yang lahir karena proses konsumi. Pengalaman yang tidak menyenangkan dan belum terurai atau belum terpuaskan sehingga mengendap dalam alam bawah sadar mereka dalam pelbagai bentuk residu, reminscenes, atau memori sebagai sebuah ketidaksadaran. 235
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sebuah kondisi yang di tengah era konsumsi mode modern yang neurotik semakin dirasa perlu untuk mendapatkan jawaban atau penyaluran sehingga tidak akan melahirkan imej yang semakin mengganggu mental atau psikis mereka. Mereka membayangkan sebuah bentuk dan model konsumsi mode yang bisa menambal lubang psikis yang tetap akan terbawa dan memengaruhi mereka dalam melakukan pertimbangan dan putusan di masa depan khususnya saat harus berhubungan dengan komoditas pakaian. Sebuah bentuk komoditas dan model konsumsi mode lain di luar model yang ada sekarang dipandang heterogen dan terbuka terhadap pelbagai bentuk negosiasi dan kreativitas.
A.4. Pakaian Bekas Sebagai Kombinasi
Dalam masyarakat dan budaya konsumen seperti sekarang ini apresiasi orang terhadap pakaian tidak bisa dilepaskan dari penekanannya pada fungsi tanda (signfunction). 33 Fungsi tanda ini melekat sesuai dengan status pakaian saat ini sebagai bentuk komoditas (commodity form). Dalam hal ini fungsi tanda menggantikan nilai guna (dan nilai tukar) pakaian. Kata menggantikan di sini bukan berarti nilai guna (dan tukar) pakaian hilang sama sekali, tetapi hanya tidak banyak mendapat penekanan atau menajdi perhatian utama. Lewat konsep sign-function bisa juga dipakai untuk melihat pluralitas nilai dalam pakaian, yakni bahwa selain memiliki nilai guna (dan nilai tukar), di dalam sebuah pakaian juga terselip adanya nilai tanda (sign value). Sepotong pakaian yang dipakai seseorang tidak melulu karena nilai
33
Tentang the practical dan the significant, lihat Roland Barthes (1968), Elements of Semiology, terj. Annete Lavers dan Collins Smith, New York: Hill & Wang, hlm. 42.
236
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
gunanya (use value/ practical operation), tapi juga karena nilai tandanya. Dalam konteks konsumsi kedua nilai ini memiliki perbedaan. Jika nilai guna suatu barang pada satu ketika diasumsikan akan habis atau kehilangan utilitasnya, tidak demikian halnya dengan nilai tanda. Nilai tanda sebagaimana terdapat dalam pelbagai bentuk komoditas atau objek konsumsi juatru akan bertambah banyak atau berlipat-lipat ketika dipergunakan. Pembicaraan tentang nilai tanda menjadi satu hal yang sangat strategis untuk melihat kondisi masyarakat konsumen sekarang ini. Apabila dalam sistem pertukaran pra-konsumtif atau pra-modern ekses konsumsi sejauh ini terbatas melahirkan apa yang diistilahkan oleh Karl Marx dengan fetishisme komoditas, maka dalam masyarakat konsumen sebagaimana berkembang saat ini ekses yang terbentuk berubah menjadi fetishisme nilai tanda.34 Dalam konteks pergeseran nilai semacam itu saat sekarang ini pakaian dipakai bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan dasar akan nilai fungsi yang bisa dipenuhi dengan hal-hal praktis (the practical), tetapi berkaitan dengan kebutuhan akan gengsi (prestige) yang akan dipenuhi dengan hal-hal bermakna (the significant). Logika yang mendasari fungsi pakaian sebagaimana berkembang saat ini tidak lagi dibangun berdasarkan pada logika kegunaan (logic of utility), melainkan logika status (logic of status).35 Keyakinan semacam itu muncul karena begitu pakaian berada di tengah-tengah pasar, ia tidak saja mengusung nilai guna (dan nilai tukar, exchange value), tetapi juga nilai tanda (sign value).
34
Jean Baudrillard (1996),“For a Critique of the Political Economy of the Sign” dalam Mark Poster (ed.), Jean Baudrillard: Selected Writings, Stanford: California University Press, hlm. 70-73. 35 Tentang sign-function, lihat Jean Baudrillard (1981), “Sign Function and Class Logic” dalam For a Critique of the Political Economy of the Sign, terj. Charles Levin, St. Louis: Telos Press, hlm. 2932
237
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dari uraian tentang genealogi nilai tanda di atas selanjutnya bisa dipakai untuk melihat pesoalan pakaian bekas sebagaimana berkembang dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer. Dalam kesadaran ekonomi politik tanda Baudrillardan khususnya tentang fungsi tanda (sign-function), fenomena pakaian bekas mengarahkan pemahaman pada persoalan perubahan nilai suatu barang. Pakaian bekas yang ada di tengah masyarakat lewat perdagangan dalam hal ini memiliki status sebagai bentuk komoditas, dagangan. Selain masih memiliki nilai guna (dan nilai tukar) yakni bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat fungsional praktis sebagaimana kegunaan pakaian pada umumnya, sebagai bentuk komoditas pakaian bekas juga memiliki fungsi tanda. Fungsi tanda sebagaimana melekat dalam pakaian bekas ini oleh para konsumen bisa dipakai sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan mereka yang bersifat simbolik atau maknawiah. Dari paparan terakhir di atas memunculkan pertanyaan: apa sesungguhnya yang ditawarkan pakaian bekas kepada para konsumen? Nilai apa yang secara material masih dipertahankan para konsumen dari pakaian bekas lewat konsumsi? Sebelum menjawab pertanyaan di atas sekali lagi akan dibicarakan perihal nilai komoditas yang belum sempat diutarakan di atas. Dari uraian di atas apa yang penting untuk disampaikan adalah bahwa pakaian bekas sejatinya merepresentasikan realitas yang tidak tunggal tetapi berlapis-lapis. Dalam pengertian ini sebagai bentuk komoditas pakaian bekas merupakan sebuah kombinasi, sintesis, atau pemadatan beberapa nilai. Dalam konteks konsumsi atau peggunaan, di dalam pakaian bekas mengkombinasikan dua nilai, yakni: nilai guna (dan nilai tukar) dan nilai tanda. Bahkan kombinasi yang terjadi selanjutnya tidak hanya terbatas melibatkan unsurunsur dalam satu klaster, tetapi memasukkan unsur di luar klaster yakni properties, 238
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sifat, atau identitas sebagaimana direpresentasikan oleh pakaian bekas itu sendiri. Lewat sebuah permutasi relasi antar-nilai dalam satu barang bisa melahirkan banyak kombinasi. Hal itu dikarenakan di dalam satu sifat atau identitas sebagaimana dibawakan oleh pelbagai jenis dan model pakaian bekas – seperti dalam pakaian pada umumnya -- juga memuat banyak unsur. Sebagaimana telah diuraikan daam Bab III unsur yang dimaksudkan meliputi mode, gaya, jenis dan bahan, kualitas, merk, motif dan corak, warna, kekhususan pengguna dan lain sebagainya. Dalam sistem pertukaran di pasar unsur-unsur nilai yang paling kerap dijadikan semacam variabel kombinasi dalam konsumsi pakaian bekas adalah: kualitas, model, gaya, bahan, mode, merk, warna, dan corak dan motif. Sedangkan unsur nilai yang hampir pasti menjadi sebuah konstanta (jadi tidak perlu disebutkan lagi keberadaannya) adalah harganya yang murah. Dalam kombinasi semacam itu masing-masing unsur dari setiap nilai suatu barang yang dipadukan tidak saling mengeklusikan, sebaliknya justru saling mengisi atau saling mendukung. Dengan kata lain masing-masing properties dari suatu komoditas pakaian saling menunjang atau saling menghidupkan. Dalam model pertukaran non-mainstream seperti halnya pakaian bekas, konsumen diajak masuk ke dalam “pelbagai kemungkinan yang tak terduga”. Konsumen yang meluangkan waktu berbelanja di gerai akan mendapatkan pelbagai jenis pakaian bekas dengan beberapa kombinasi yang mengejutkan. Konsumen paling tidak secara matematis dimungkinkan bisa mendapatkan pakaian bekas dalam tiga probabilitas kombinasi dan tiga kategori, yakni: paling baik, baik, dan cukup baik. Kemungkinan pertama konsumen bisa mendapatkan unsur-unsur nilai pakaian bekas yang dikombinasikan secara optimal dengan kategori paling baik, 239
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yakni: kualitas baik, model okey, gaya trendy, bahan istimewa, mode masih in, merk populer, corak dan motif menarik, warna baik dengan harga yang murah. Kemungkinan kedua konsumen dimungkinkan mendapatkan unsur-unsur nilai pakaian bekas yang dikombinasikan secara baik, yakni: kualitas baik, model okey, gaya biasa, bahan baik, mode biasa, merk biasa, corak biasa, dan harga murah. Kemungkinan ketiga, cukup baik, yakni: kualitas baik, model biasa, gaya biasa, bahan baik, mode biasa, merk baik, corak biasa, dan harga murah. Ajakan menebaknebak, mengembangkan probabilitas, dan menghitung berdasar unsur-unsur pakaian semacam ini sulit dibayangkan terjadi dalam model konsumsi mode modern. Adagium populer dalam model pertukaran modern yang mengatakan “ana rega ana rupa” (ada harga ada kualitas) tidak membuka kemungkinan, sebab menolak dipermutasikan (dibandingkan). Antara harga dan kualitas dicitrakan memiliki korelasi langsung. Hubungan antara harga dan kualitas selain saling mengeklusikan, juga diikat dalam logika kausalitas kapitalistik. Sehinga permutasinya juga miskin, yakni: satu banding satu. Dengan demikian pilihan sebagaimana ditawarkan oleh pasar mode moder tidak melahirkan pilihan apapun. Dalam praktik, pelbagai bentuk dan model konsumsi mode modern
sama sekali menolak
kemungkinan adanya bentuk
komoditas yang memiliki “rupa biasa” (kualitas biasa) dan “rega biasa” (harga biasa). Rumus ini tidak berlaku dalam pakaian bekas, karena berbeda unsur. Logika pertukaran modern menolak perbedaan unsur, sehingga hanya menerima keseragaman. Permutasinya
adalah plus (+)
dan plus (+);
sehingga dalam
komoditas memiliki harga plus dengan sendirinya memiliki kualiats plus. Dalam pakaian bekas kombinasi mengikat unsurnya dalam dua kemungkinan: “rupa ana 240
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
rega ora ana” (kualitas ada harga tidak ada) dan “rupa ora ana rega ora ana” (kualitas tidak ada harga tida ada). Ungkapan ini selain menggarisbawahi tentang faktor probabilitas dan kemungkinan dalam sebuah permutasi, juga menempatkan faktor harga sebagai unsur yang memungkinkan adanya negosiasi yang bisa diambil konsumen saat berhubungan dengan komoditas lewat para pedagang pakaian. Demikian halnya hubungan pedagang dan konsumen dalam pakaian bekas, sebagaimana telah disinggung pada bab awal, tidak melulu bersifat ekonomis transaksional,
melainkan
juga
bersifat
personal.
Relasi
antar-keduanya
direpresentasikan oleh unsur harga dalam komoditas. Jika dalam bentuk dan model konsumsi modern, harga suatu komoditas ditempatkan semata-mata sebagai nilai tukar (exchange value; yang satuan ukurannya adalah uang), dalam konsumsi alternatif ini harga justru “dijual” dalam arti dilemparkan kepada pembeli sebagai sebuah nilai yang untuk mendapatkannya melibatkan komunikasi; negosiasi. Dalam masyarakat Jawa dikenal ungkapan “regane mathuk” -- harganya pas, klop, atau sesuai. Pengertian “mathuk” dalam hal harga ini tidak dipatok secara terpisah dari konsumen, tetapi merupakan buah atau hasil dari transaksi dan negosiasi yang dikomunikasikan secara langsung antara penjual dan pembeli. Hubungan langsung semacam ini sudah barang pasti tidak mungkin lagi
ditemukan dalam model
konsumsi modern. Pada pembicaraan terdahulu (lihat kembali Bab III) juga telah diuraikan tentang fase atau tahap reproduksi dan komodifikasi pakaian bekas lewat teknik restorasi, pemantasan, dan pemutakhiran mode, pemetaan lokasi, dan promosi. Proses restorasi terhadap pakaian bekas meliputi pelbagai perbaikan cacat-cacat kecil yang ada dalam pakaian bekas seperti kancing pakaian yang terlepas, risluiting 241
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
macet, dan jahitan yang terbuka (dhédhél). Proses pemantasan meliputi aktivitas cuci dan seterika. Sedangkan pemutakhiran mode adalah modifikasi bentuk dan ukuran pakaian karena adanya kecacatan, inisiatif pedagang, atau menurut permintaan konsumen. Dengan demikian pelbagai jenis dan model pakaian bekas sebagaimana beredar dalam masyarakat dan dikembangkan melalui mekanisme perdagangan dan akhirnya sampai ke tangan para konsumen, sejatinya tidak lagi sama dengan kondisi dan bentuk awalnya. Kondisi pakaian bekas itu saat ini jauh berbeda dari sebelumnya, dan sama sekali idak bisa dipersamakan lagi dengan klambi lungsuran yang hampir pasti tidak mengalami perubahan nilai ketika berada di tangan pengguna barunya. Setelah mengalami proses restorasi, pemantasan, dan pemutakhiran mode, pelbagai kecacatan pakaian bekas kini sudah tidak ada lagi. Lewat sentuhan tangantangan terampil dan kecakapan para pedagang secara langusng atau lewat tukang vermak, kecacatan yang diidap oleh pakaian bekas berhasil dipulihkan, sehingga kini menjadi “normal,” bahkan menjadi sama sekali “baru”. Melalui aplikasi teknologi mesin cuci dikombinasikan dengan pemakaian deterjen dengan ion pengangkat kotoran, desinfektan mustajab, cairan pengharum pakaian, dan seterika berenergi listrik, kekotoran dan ketidakpatutan pakaian bekas sudah ditanggalkan atau ditinggalkan. Melalui aplikasi teknologi jahit, bordir, dan sablon pakaian bekas yang tidak memiliki penampilan menarik telah dimodifikasi. Demikian halnya pakaian yang tidak punya identitas pun diberi nama sehingga kini menjadi bisa dikenali dan lebih bisa dikenali; modis. Melalui serangkaian proses produksi dan komodifikasi yang jalankan lewat teknik restorasi, pemantasan, dan pemutakhiran mode, promosi, dan lokasi penjualan segala “sukerta” (noda, kecacatan) yang 242
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
melekat pada pakaian bekas telah hilang “diruwat” oleh sentuhan teknis para pedagang pakaian bekas. Restorasi, pemantasan, dan pemutakhiran mode, sebagaimana dilakukan oleh para pedagang tampak semakin sempurna ketika pakaian bekas itu kemudian dipajang dengan cara digantung di tiang-tiang penggantung dan diletakkan secara rapi di rak-rak pemajangan dalam ruangan yang telah diset rapi dan menarik di gerai-gerai yang berlokasi di tempat –tempat strategis yang accessible. Dari proses restorasi dan semacamnya yang cukup canggih dan dilakukan secara tidak mainmain, elastisitas nilai guna dan nilai tukar pakaian bekas telah mengalami peningkatan hingga ke jenjang yang jauh lebih tinggi dari kondisi sebelumnya. Sekarang ini pakaian bekas sebagaimana dikembangkan ke tengah masyarakat lewat perdagangan kelas kecil-menengah itu bukan saja siap disandingkan, tetapi juga siap ditandingkan dengan pelbagai jenis dan model pakaian baru sebagaimana diperjualbelikan di mall-mall atau situs konsumsi mode modern lainnya. Selain nilai guna, riwayat dan asal muasal pakaian bekas ikut juga direstorasi. Keberadaan riwayat ini kiranya cukup penting, sebab hal ini merupakan unsur pembeda dari jenis dan model pakaian baru keluaran mall yang riwayatnya hanya bisa dikenali secara terbatas lewat merk dan negara asal. Unsur riwayat dan asal muasal atau ke-“bekas-siapa”-an pakaian bekas ini pun ikut direstorasi. Lewat informasi media internasional yang diikuti secara sambil lalu menjelaskan bahwa setelah melalui serangkaian proses restorasi, baju-baju bekas sebagaimana dimiliki oleh tokoh, artis, dan selebritis yang telah meninggal seperti Lady Diana, Elizabeth Taylor, Michel Jackson, dan Elvis Presley laku terjual dalam harga miliaran rupiah di sejumlah even dan tempat pelelangan. Apa yang mendorong orang untuk 243
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mengeluarkan uang sebanyak itu untuk sebuah pakaian bekas? Hal ini hanya bisa dipahami bahwa pada saat orang mengkonsumsi pakaian bekas pada dasarnya orang tengah mengkonsumsi nilai tanda. Pakaian bekas milik mendiang Lady Diana Lady Diana, Elizabeth Taylor, Michel Jackson, dan Elvis Presley menawarkan kemungkinan kepada para konsumen untuk mengkonsumsi memori atau nostalgia atas orang-orang yang diidolakan. Memori, ingatan, atau nostalgia ini kemudian akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pengertian nilai tanda yang melekat dalam pelbagai bentuk komoditas pakaian bekas. Hal yang sama terjadi di depan mata, Fitri Tropica (presenter acara “The Missing Lyric” Trans TV), bersama pesinetron Dinda Kanya Dewi, Chaca Frederica dan penyanyi Dewi Gita, menjual baju-baju bekasnya dalam sebuah “garage sale,” atau “flea market” di rumahnya di daerah Menteng. Dalam waktu kurang dari empat jam semua baju bekas koleksi empat pesohor tanah air itu habis dilalap “massa”. Par atau pagu baju-baju bekas mereka terentang mulai dari Rp. 300 ribu hingga Rp. 1 juta.
Bisa dipastikan bahwa ludes terjualnya pakaian bekas koleksi keempat
perempuan itu mengkombinasikan Menteng sebagai penanda daerah jet-set Jakarta dengan penanda lain berupa riwayat kebekasan pakaian bekas yang merupakan bekas milik selebritis populer lengkap di dalamnya merk, jenis, model, dan sebagainya. Di samping harga pakaian yang sekarang relatif murah, dan sangat tidak mungkin bisa mereka jangkau ketika masih baru. Ungkapan “Siap merugi” jelas merupakan penanda sikap merendah Fitri Tropica. Pasti bukan karena uang ia menjual pakaiannya, sebab penghasilannya bisa ratusan juta rupiah perbulan.
36
36
Lihat, “Jual Baju Bekas, Firi Tropica Siap Rugi”, Detikhot.com, 8 Agustus 2009, diakses pada 21 Juni 2010.
244
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tafsiran lain, lewat pakaian bekas ia tengah “menjual diri”, dalam arti keartisan dan kepopopuleran secara langsung agar kelak dikenang orang. Kombinasi beragam nilai sebagaimana terdapat dalam komoditas pakaian bekas sebagaimana diutarakan di atas itulah kiranya yang ikut ditawarkan dalam bentuk dan model konsumsi alternatif pakaian bekas kepada para konsumennya. Persis di titik ini pula dapat dipahami bahwa sebagai sebuah kombinasi, pakaian bekas berhasil mengkompromikan nilai ekonomi pakaian bekas sebagai bentuk komoditas lengkap dengan nilai guna (dan nilai tukar) dan nilai tandanya dengan jejak-jejak (traces) atau memori sebagaimana dialami oleh para konsumen di masa lalu. Mengingat bahwa jika dibaca secara keseluruhan pakaian bekas pada dasarnya adalah barang yang dengan satu dan lain alasan merupakan sesuatu yang sudah “diemohi” atau dikesampingkan oleh orang kebanyakan yang sudah sangat terbiasa dengan selera dan bentuk-bentuk komoditas mode modern. Hal ini diperkuat oleh kenyataan lainnya bahwa pakaian bekas yang mereka beli atau kenakan tidak bisa dipersamakan dengan pakaian bekas pada umumnya yang tidak diangkat sebagai benda ekonomi. Pakaian
bekas
sebagaimana
beredar
di
tengah
masyarakat
yang
dikembangkan melaui mekanisme perdagangan adalah bentuk komoditas yang di dalamnya mengkombinasikan unsur-unsur harga, kualitas, dan pelbagai properties lain seperti nilai guna dan nilai tanda. Pakaian bekas yang ada di tengah masyarakat itu juga telah mengalami proses penambahan nilai sebagaimana dilakukan lewat mekanisme restorasi, pembaruan, dan pemutakhiran mode. Dengan demikian pakaian bekas bukan lagi merupakan pakaian bekas dalam arti konvensional yakni sebagai barang, tetapi adalah bentuk komoditas (barang dagangan). Pakaian bekas 245
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebagaimana beredar di tengah masyarakat dalam hal ini bukanlah merupakan barang yang bersifat anonim. Ia memiliki identitas atau properties yang mampu menawarkan kepada penggunanya sebuah nilai personalitas, atau individualitas yang tidak terdapat dalam pakaian baru yang kebanyak berwajah tunggal atau seragam karena dirpoduksi secara massal. Melalui proses komodifikasi “kematian” atau “keusangan” pakaian bekas dengan demikian bisa ditunda atau ditangguhkan, sehingga tetap memiliki nilai otentisitas dan “kebaruan”. Demikian halnya ia pun memiliki riwayat yang jelas, yakni bekas orang lain atau artis dan sebagainya, sehingga tidak melulu pada merk atau model sebagaimana dalam bahasa pasar umumnya. Dari apa yang disampaikan terakhir di atas sekaligus menggarisbawahi kenyataan bahwa persoalan konsumsi pakaian bekas juga melibatkan persoalan hasrat (desire). Pada saat konsumen membeli atau menggunakan pakaian bekas, maka mereka sejatinya tengah memasuki lautan hasrat. Ada dua kemungkinan model konsumsi yang akan terbentuk dilihat dari relasi antara subjek konsumen dan objek atau komoditas yang diinginkan, yakni: konsumsi obsesif dan konsumsi histeris. Model konsumsi obsesif menempatkan persoalan dorongan untuk membeli dan menggunakan pakaian bekas semata-mata terarah pada objek atau pakaian yang diingini sedemikian rupa sehingga terpisah dari hasrat orang lain. Sementara itu bagi konsumsi histeria dorongan atau hasrat untuk membeli dan mengenakan pakaian bekas dipengaruhi oleh hasrat lain. Hasrat para konsumen dengan demikian bisa dipicu baik semata oleh objeknya, tetapi juga oleh karena hasrat orang lain yang juga mengingini objek yang sama dengan dirinya. Dalam perspektif psikopatologis kedua hasrat konsumsi tersebut merepresentasikan adanya gangguan mental (mental 246
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
disturbance) sebagaimana diidap oleh masyarakat dan budaya konsumen, yakni neurosis.
A.5. Alienasi dan Identifikasi Tahap Real
Sebagaimana secara eksplisit telah disinggung di beberapa bagian sebelumnya, lewat pengetahuan paranoia konsumsi pakaian bekas sebagaimana berkembang dalam masyarakat berkaitan dengan persoalan identitas. Maksudnya, apa yang dilakukan oleh para konsumen dengan mengkonsumsi pakaian bekas lewat konsumsi merepresentasikan aktivitas orang dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka akan identitas. Kebutuhan akan identitas ini dirasakan konsumen sebagai sesuatu yang sangat mendasar dan tidak bisa ditunda-tunda. Hal itu dikarenakan bahwa pelbagai bentuk dan model konsumsi mode (pakaian) mutakhir dirasakan mengancam identitas mereka. Dengan demikian persoalan identitas menjadi kebutuhan baru dan sangat diperlukan oleh para konsumen untuk mengatasi problem alienasi dan ambiguitas yang dialami konsumen untuk yang kedua kali. Sebuah konsekuensi yang mau tidak mau harus mereka bayar mahal ketika mulai memasuki tahap pascacermin atau pasca oedipal. Momen yang menggarisbwahi pengalaman konsumen berhubungan dengan dunia atau realitas konsumsi mode modern yang dirasakan semakin mengancam dan tidak mampu menjamin keutuhan identitas mereka. Di tengah kehidupan masyarakat dan budaya konsumsi dengan pelbagai eksesnya persoalan identitas oleh sejumlah konsumen pakaian dirasakan perlu untuk ditegakkan.
247
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dalam asumsi atau pengetahuan paranoia, gejala sebagaimana dikemukakan di atas sekaligus menunjuk pada satu momen di mana para konsumen pakaian tibatiba didera oleh rasa tidak yakin dengan pengetahuan tentang dirinya sendiri. Sejumlah konsumen pakaian merasakan bahwa ego yang harus mereka bawakan kepada orang lain pada saat ini dalam kenyataannya dirasakan tidak sesuai dengan kenikmatan primordial yang pernah mereka kenyam sebelumnya tanpa gangguan atau interupsi pada tahap cermin atau imajiner.37 Dalam perspektif psikoanalitik Lacanian, momen tersebut mengacu pada saat Sang Anak harus dijauhkan dari harapan primodialnya dan harus menerima harapan masyarakat (Name-of-theFather) sebagaimana dipresentasikan ke dalam tata aturan mode (Law of the Father).
Momen yang menghadapkan antara hasrat Sang Anak untuk bersatu
dengan Ibu dengan hasrat Ayah (Other’s desire) atau Name-of-the-Father yang ingin melepaskannya, meregulasi dan menormalisasi hasrat Sang Anak. Momen pada saat pelbagai macam tawaran identitas sebagaimana dibawakan oleh pelbagai macam pakaian baru dan dikembangkan dalam pelbagai model dan bentuk pertukaran modern, diiyakan Sang Ayah dan diadopsi sebagai bagian dari hukum dan tata aturan berpakaian. Hukum yang akan mengatur persoalan yang boleh (the Do) dan yang tidak boleh (the Don’t) dalam berpakaian sebagaimana direpresentasikan dalam tata aturan berpakaian (Law of the Father) dalam masyarakat dewasa ini.
37
Identifikasi perdana pada tahap Cermin banyak disebut sebagai identifikasi primordial atau prasejarah. Hal ini dikarenakan seorang anak masih sangat bergantung pada ibunya. Apa kemauan ibu adalah anak. Apa yang merupakan hasrat ibu adalah hasrat anak. Sophie de Mijolla-Mellor (2005), “Alienation” dalam Alain de Mijolla,ed., International Dictionary of Psychoanalysis, Vol. I, USA: Thomson Gale, hlm. 43-45.
248
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pengalaman konsumen mode sebagaimana diutarakan di atas menempatkan seluruh pengetahuan konsumen masuk atau terintegrasi ke dalam hasrat Liyan atau masyarakat (Other’s desire).38 Pada tahap selanjutnya peristiwa semacam ini mengangkat objek-objek hasrat (object of desire) berada dalam satu kesamaan yang bersifat abstrak dan resiprokal antara ego konsumen
dengan ego Liyan atau
masyarakat. Satu kondisi yang mengingatkan pada periode transisi pasca pembentukan ego dalam tatanan imajiner. Fase di mana orang tidak hanya didorong untuk memperhatikan aspek pengenalan terhadap orang lain atau liyan (other) melalui ke-aku-annya, tetapi juga berkaitan dengan cara seseorang berhubungan dengan masyarakat dengan cara menempatkan diri ke dalam tata aturan sosial dan budaya (Law of the Father). Keadaan ini juga bisa dilihat sebagai suatu pengalaman kehilangan (loss), karena orang tidak lagi memiliki kemampuan (phallic) sehingga gagal memenuhi hasrat pasar mode modern (other’s desire) dan harapan masyarakat (Other’s desire).39 Situasi ini menempatkan seseorang dalam kemenduaan karena tarikan dua kenyataan atau keterbelahan. Di satu sisi ia harus kehilangan kemampuan (inability) dalam memenuhi hasrat orang lain (other) dan harapan masyarakat (Other), sementara di sisi yang lain ia juga mengalamai kehilangan atas kemungkinan (impossibilty) untuk kembali ke dalam situasi primordial; situasi yang di dalamnya menjanjikan rasa aman dan penikmatan (Jouissance) karena bisa bersatu kembali dengan sumber hasratnya. 40
38
Juliet Michell dan Jacques Roes, ed., (1982), Feminine Sexuality: Jacques Lacan and Ecole Freudienne, New Yor: Macmillan Press, hlm. 5. 39 Bruce Fink (1995), The Lacanian’s Subject, United Kingdom: Princetown University, hlm. 8. 40 Paul Verhaeghe, “From Impossibility to Inability”: Lacan’s Theory on The Four Discourses dalam The Letter Perspectives on Psychoanalysis, 3, Spring, 1995, hlm. 3, 8.
249
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Mekanisme psikis yang kemudian ditempuh oleh seseorang yang mengalami problem alienasi dan ambiguitas adalah identifikasi atau idealisasi. Identifikasi adalah konsep yang dipakai untuk menamai proses mental yang tidak disadari yang memiliki kekuatan untuk mengarahkan seseorang guna melakukan penyamaan (to identify sehingga menjadi identik) atau idealisasi diri dengan diri atau sifat-sifat objek yang ada di luar dirinya yang akan dipakai sebagai model diri (an unconscious mental process by which someone makes part of their personality conform to the personality of another, who serves as a model).41 Menurut Lacan sebagaimana dikutip oleh Valentin Nusinovici, identifikasi adalah istilah yang dipakai untuk menunjuk pada situasi saat seseorang menemukan object a atau liyan. Objek yang dipandang mampu memberikan kenikmatan atau membangkitkan hasrat (object a is the object that causes desire).42 Object a dalam hal ini memiliki fungsi yang sangat strategis, karena ia merupakan sumber yang akan menyediakan alat (vehicle) kepada seseorang yang tengah mengalami problem alienasi
untuk melakukan
fantasi. Fantasi sendiri memiliki kedudukan signifikan karena ia diperlukan subjek untuk memproses atau mengerjakan ulang pelbagai ingatan traumatik atau simptom sebagaimana dialami oleh seseorang sehingga tidak akan berkembang menjadi imej atau gambar yang menyakitkan atau berada di luar jangkauan kemampuan subjek untuk menanggungnya. Terkait dengan proses identifikasi atau idealisasi, melalui teori tahap cermin Lacan memerkenalkan dua bentuk atau jenis identifikasi yakni: identifikasi primer (primary identification/ imaginary identification) dan identifikasi kedua (secondary 41
Alain de Mijolla (2005), “Identification” dalam Alain de Mijolla, ed., International Dictionary of Psychoanalysis, Vol. I, USA: Thomson Gale, hlm. 55. 42 Valentin Nusinovici (2005), “Object a” dalam Alain de Mijolla, ed., International Dictionary of Psychoanalysis, Vol. I, USA: Thomson Gale, hlm. 1172.
250
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
identification/ symbolic identification). Identifikasi menurut Lacan berkaitan dengan proses pendewasaan orang dalam satu proses yang berjalan secara struktural melalui dua tahap, yakni tahap imajiner dan tahap simbolik. Melalui proses identifikasi atau idealisasi orang mengalami proses simbolisasi, sosialisasi, atau kulturisasi. Demikian selanjutnya identifikasi primer atau identifikasi imajiner
adalah
identifikasi atau idealisasi orang yang tengah berada pada tahap Cermin. Dalam tahap ini identifikasi dan idealisasi diri seseorang diarahkan pada apa saja yang akan mengukuhkan diri sebagai sosok yang utuh (tidak lagi terfragmentasi) dan memberikan pengalaman untuk memasuki dunia realitas. Model diri (object a) yang akan diambil dan dijadikan sebagai model identitas diri (Ideal Ich, Ideal Ego) adalah pelbagai imej yang dipantulkan lewat orang atau objek-objek yang dipandang mampu memberikan kenikmatan (jouissance). Sementara itu identifikasi kedua atau identifikasi simbolik adalah identifikasi yang dilakukan seseorang yang tengah menapaki fase simbolik (it is only called "symbolic" because it represents the completion of the subject's passage into the symbolic order).43 Pada tahap kedua ini identifikasi atau idealisasi diri seseorang diarahkan pada
apa saja yang dimaui oleh banyak orang atau masyarakat.
Sedangkan model diri
(object a) yang akan dimabil dan dinobatkan sebagai
identitasnya (Ich Ideal/Ego Ideal, disimbolkan dengan I(O)) adalah pelbagai ketaatan dan keteraturan, mengenai mana yang boleh (do) dan tidak boleh (don’t) atau perintah dan larangan sebagaimana berkembang luas dalam masyarakat sebagai hukum, aturan, dan norma sosial budaya (Law of the Father). Sebagaimana dikatakan di atas, oleh karena para konsumen pakaian bekas pada dasarnya telah 43
Alain de Mijolla (2005), Op. cit., hlm. 56
251
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menapaki tahap Pasca Cermin atau tahap Simbolik, maka yang akan mereka tempuh bukan lagi identifikasi primer melainkan identifikasi sekunder (secondary identification) atau simbolyc identification. Sebelum mendiskusikan secara lebih jauh, sampai pada aras ini pertanyaan yang kemudian muncul ke permukaan adalah: bagaimana para konsumen atau pengguna pakaian bekas harus ditempatkan? Termasuk dalam bentuk atau jenis identifikasi macam apakah orang-orang yang mengkonsumsi pakaian bekas semacam itu? Ke arah struktur psikis mana proses identifikasi yang dilakukan oleh para konsumen pakaian bekas itu sejatinya diarahkan? Mengingat
bahwa
konsumsi
pakaian
bekas
merupakan
sebuah
“penyimpangan” atau “abnormalitas” dari bentuk dan model konsumsi mode modern (mainstream), maka proses identifikasi sebagaimana dilakukan oleh para konsumen pakaian bekas mengambil jalan yang berbeda dari jalan “normal.” Hanya saja, karena dalam proses identifikasi pertama
atau identifikasi imajiner yang
berlangsung pada tahap cermin atau dunia imajiner para konsumen itu telah mengalami ambiguitas dan alienasi sehingga menolak memenuhi (nglanggati: Jawa) hasrat orang lain (other) sebagaimana direpresentasikan oleh pelbagai komoditas yang berlimpah ruah dalam realitas konsumsi mode modern; demikian halnya mereka telah mengalamai kekecewaan sehingga menolak memenuhi hasrat masyarakat (Other) yang telah disandera pasar sebagaimana direpresentasikan dalam pelbagai larangan dan keseharusan berpakaian zaman modern (Law of the Father), maka proses identifikasi ini sepenuhnya tidak diarahkan baik pada tatanan imajiner ataupun tatatan simbolik. Demikian halnya dengan model diri (object a) yang akan diambil atau dipakai sebagai identitas diri mereka juga tidak berasal dari kedua 252
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sumber atau tatanan tersebut. Bila begitu, ke arah mana proses identifikasi tersebut diarahkan? Sebagai bentuk dan model konsumsi non-mainstream sebagaimana sudah dibicarakan di atas, berdasarkan pada gagasan Lacan tentang teori cermin, maka bentuk dan mekanisme identifikasi yang akan ditempuh oleh para pengguna pakaian bekas sejauh ini adalah jenis identifikasi yang melampaui dunia atau tatanan imajiner dan simbolik. Dengan kata lain melampaui kebutuhan dan bahasa. Proses identifikasi kedua sebagaimana dilakukan oleh para konsumen pakaian bekas selanjutnya justru diarahkan pada tatanan real, pada dunia hasrat. Identifikasi real adalah proses identifikasi dan idealisasi yang dilakukan oleh orang-orang yang berada pada tahap pra-cermin. Tahap pra-cermin adalah tahap pra-sejarah, prasimbolik, pra-bahasa, sebagaimana digambarkan oleh Bruce Fink sebagai “a time before the word, to some sort of presymbolic or prelinguistic moment”44 atau dalam rumusan pendek Frederic Jameson sebagaimana dikutip oleh Madan Sarup dirumuskan sebagai
aktualitas sejarah: “Real menurut Lacan tidak lain adalah
Sejarah itu sendiri”.45 Identifikasi atau idealisasi yang terjadi pada tahap real selanjutnya diarahkan pada sesuatu yang bersifat apa adanya tetapi dirasakan mampu memberikan kenikmatan (Jouissance). Demikian halnya model diri, object a, atau liyan yang akan dipergunakan atau diinternasilasikan oleh subjek konsumen sebagai identitasnya dalam hal ini mengacu pada apa saja yang mampu membangkitkan fantasi mereka. Apa saja yang bisa menjadi penyebab lahirnya hasrat (object cause 44
Bruce Fink (1995), Op. cit., hlm. 24. Madan Sarup (1993), An Introductory Guide to Post-Structuralism and Postmodernism, 2nd Editition , Athens: The University of Georgia Press, hlm. 36. 45
253
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
desire) atau memungkinkan subjek konsumen sebagai subjek hasrat (desiring subject). Dengan kata lain apa yang menjadi objek hasrat diarahkan pada sesuatu yang bisa melahirkan fantasi ($<>a). Fantasi semacam ini diperlukan oleh konsumen pakaian sebagai media (vehicle) yang memungkinan para konsumen pakaian bekas untuk memroses ulang ingatan traumatik yang mereka pada masa lampau alami agar tidak berkembang menjadi imej yang menyakitkan dan akan memengaruhi perkembangan psikisnya di masa kini dan waktu-waktu mendatang. Dengan demikian ekspektasi identitas yang lahir dari mengkonsumsi pakaian bekas terarah pada sesuatu yang biasa-biasa saja tetapi mampu memberikan kenikmatan dan memiliki kekuatan fantasmatig kepada subjek konsumen pakaian bekas sehingga memungkinkan mereka menemui hasratnya.
A.7. Penetapan Identitas lewat Teknik Collage
Dari uraian sebelumnya diketahui bahwa keberadaan pakaian bekas merepresentasikan model konsumsi alternatif. Pengertian alternatif di sini berkait berkelindan dengan persoalan bekerjanya ideologi modernitas yang dikultivasi oleh kapitalisme dalam dunia mode modern melalui proses produksi atau komodifikasi dan menjadi cetak biru pasar. Sebuah kekuatan yang telah menggantikan hukum bermode (Name-of-the-Father) sebagaimana berkembang dalam masyarakat dan budaya konsumen saat ini. Dalam perkembangan kemudian modernisme yang telah sedemikian rupa dicangkokkan pasar di dalam pelbagai bentuk dan model konsumsi mode mutakhir tidak saja telah mengubah dunia mode pada umumnya, tetapi lebih jauh menggerakkan dan mengubah konsumen mode menjadi binatang pemburu 254
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mode. Hal yang demikian itu dipertajam lewat perputaran mesin produksi pakaian. Insersi ideologi modernitas dalam pelbagai bentuk dan model konsumsi mode di satu sisi, dan dukungan gerak mesin industri pakaian modern yang berjalan sangat cepat di sisi yang lain, pada akhirnya menggiring konsumen mode zaman sekarang berkembang hingga tahap fetish. Sebagaimana telah disinggung di muka, ada harga mahal yang harus dibayar dari perubahan kondisi konsumsi semacam itu, yakni bahwa konsumen mode zaman sekarang ini secara psikologis telah mengalami neurosis. Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, di tengah arus konsumsi masyarakat dan budaya konsumen yang telah mengalami neurosis muncul keinginan dari sejumlah konsumen untuk mencari bentuk dan model konsumsi yang diasumsikan bisa memulihkan kedaulatan atas diri mereka sendiri. Sebuah kedaulatan yang memungkinkan hubungan antara konsumen dengan pelbagai bentuk komoditas atau objek-objek komoditas berlangsung secara lebih elegan dan adil. Sebuah bentuk dan model konsumsi di luar yang telah ada sekarang, yang tidak saja akan menyediakan ruang perbedaan atau heterogenitas konsumsi berdasarkan pilihan-pilihan tertentu, tetapi juga sekaligus mampu menjamin
keutuhan atau
kemapanan identitas mereka sebagai konsumen. Sebuah identitas yang bisa menunda agar tidak terlalu cepat berubah sehingga mampu menjamin ego atau identitas konsumen dan tidak memusingkan mereka karena perubahannya yang cepat dan sulit diikuti. Identitas yang bisa dipakai sebagai acuan bagi konsumen mode untuk menetapkan subjektivitasnya secara lebih otentik tanpa melulu didikte oleh pergerakan dan reproduksi pelbagai bentuk komoditas atau objek-objek konsumsi sebagaimana disebarluaskan pasar. 255
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Mengacu pada proses identifikasi sebagaimana diutarakan di atas, identitas sebagaimana dibayangkan oleh para pengguana pakaian bekas tidak terlampau jauh dari apa yang tersedia di dalam dunia konsumsi mode sebagaimana berkembang dewasa ini, tetapi sekaligus tidak sama dengan yang telah ada. Sebagaimana telah disinggung di atas, dari momen identifikasi kedua atai identifikasi tahap real diketahui bahwa model diri, object a, atau Ich Ideal yang akan dinobatkan oleh para konsumen pakaian bekas sebagai identitasnya adalah sesuatu yang bersifat apa. Maksudnya sesuatu yang selama ini sudah dibaikan oleh kebanyakan konsumen mode yang telah terbiasa dengan pakaian baru, tetapi dirasakan justru mampu memberikan jaminan kepastian dan kenikmatan (Jouissance).
Dalam asumsi
linguistik, persoalan identitas sebagaimana yang dibayangkan oleh para pengguna pakaian bekas adalah bahasa yang tidak terlalu jauh dengan bahasa masyarakat pada umumnya, tetapi tidak sama persis dengan bahasa sebagaimana digunakan atau berkembang dalam masyarakat. Untuk menjajaki gagasan tentang penetapan identitas para konsumen pakaian bekas selanjutnya akan diketengahkan persoalan teknik kolase mode. Sebagaimana diuraikan di sejumlah bagian sebelumnya, terutama Bab III, pakaian bekas sebagaimana berkembang dalam masyarakat lewat mekanisme perdagangan dewasa ini menggendong pelbagai unsur sifat, properties, atau identitas tertentu. Pelbagai sifat, properties, atau identitas sebagaimana dibawakan oleh pakaian bekas tersebut terserak di antara pelbagai keragaman yang meliputi mode, model, merk, gaya, potongan, kekhususan pengguna, kekhususan penggunaan, kekhasan dan kesan yang ditampilkan, jenis dan karakter bahan, motif atau corak, warna, dan ukuran. Sementara itu dari nilai tanda pakaian bekas dikenal berdasarkan 256
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kualitas, popularitas, kemutakhiran, originalitas, trendy, modis, prestisiusitasnya dan sebagainya. Berkat keberadaan sifat, properties, atau identitas sebagaimana dipresentasikan lewat pakaian bekas inilah yang memungkinkan pakaian bekas dikonsumsi orang. Dengan demikian, menggunakan satu jenis pakaian bekas tertentu pada dasarnya adalah menggunakan sifat-sifat atau properties sebagaimana dibawakan oleh pakaian tersebut. Demikian halnya melalui informasi yang telah dikemukakan sebelumnya, diketahui bahwa setiap model pakaian bekas (dalam perspektif pakaian pada umumnya) memiliki keunikannya masing-masing. Sebagai contoh, ditinjau dari okasionalitas atau kekhususan penggunaannya, dari setiap model pakaian bisa diperikan sedemikian rupa menjadi: pakaian formal, pakaian semi formal, dan pakaian santai. Atau, pakaian kerja, pakaian olah raga, pakaian berkabung, pakaian sekolah, pakaian hamil, pakaian dapur, pakaian pesta, pakaian ibadat, pakaian seragam dan sebagainya. Dari setiap model yang ada bisa di-break down dan dikembangkan lagi menurut variabel tertentu seperti potongan, jenis dan karakter bahan, motif, warna dan seterusnya. Hingga akhirnya untuk satu konfigurasi tersusun dari banyak unsur, sehingga memiliki banyak segi yang bisa ditinjau dari pelbagai sisi. Apa yang hendak dikatakan di sini adalah bahwa melalui pelbagai properties atau identitas sebagaimana dibawakan oleh pakaian bekas secara jelas memiliki konfigurasi atau komposisinya masing-masing. Konfigurasi pakaian tertentu pada umum dikembangkan berdasarkan konvensi (Law of the Father) yang lazim berkembang dalam dunia mode. Konvensi yang paling kerap diacu oleh kebanyakan konsumen atau pengguna pakaian terutama berkaitan dengan persoalan padu padan pakaian (fashion coordinate) atau 257
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mix match.46 Sebagai contoh, untuk pakaian formal sebagaimana dikhususkan untuk laki-laki, konfigurasi yang kemungkinan besar akan dilakukan merupakan kombinasi yang meliputi unsur-unsur pakaian seperti: jas double-breasted, tuxedo, kemeja lengan panjang, dasi,
dan pantalon. Ini rumus atau aturan bakunya.
Konfigurasi lain bisa dihasilkan sejauh unsur-usnur yang penyusunnya atau yang dikombinasikan memiliki kesejajaran jenis atau fungsi. Dalam hal ini jas dan kemeja adalah dua jenis pakaian yang memiliki kesejajaran fungsi sebagai atasan. Dengan demikian konfigurasi baru sebuah pakaian formal bisa dihasilkan dari kombinasi unsur-unsur pakaian seperti: jas single-breasted, tuxedo, kemeja lengan pendek, dasi, dan pantalon. Kombinasi yang mengandung ketidaksejajaran jenis pakaian, masih bisa ditoleransi sepanjang hanya akan mengubah penggolongan pakaian. Kombinasi yang mengandung unsur-unsur yang ekstrim umumnya dianggap justru akan merusak semua konfigurasi yang telah ada atau menjadi aturan baku dalam dunia mode (pakaian).47 Selanjutnya dipahami bahwa ketika seseorang menggunakan pakaian tertentu, maka ia sejatinya tengah mentransfigurasikan sosok (figure, figura) atau penampilannya. Sosok atau penampilan yang dihasilkan dari penggunaan pakaian itu sangat ditentukan oleh konfigurasi atau komposisi atas properties pakaian yang dikenakan. Dalam khasanah mode dikenal istilah trendy, modist, tapi ada juga faux pas. Trendy dan modist adalah istilah yang dipakai untuk menamai orang yang berhasil mentransfigurasikan penampilannya berdasarkan konfigurasi atas unsur trend dan mode (gaya atau pakaian). Sebaliknya, faux pas adalah istilah yang
46 47
Goet Poespo (2001c), Loc. Cit., hlm. 8-10. Ibid.
258
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dipakai untuk menunjuk pada orang yang gagal mengolah penampilannya; orang yang dalam bahasa populer sering disebut dengan istilah “salah kostum” atau orang orang yang mengalami “korban mode.”48 Transfigurasi
dalam hal ini sangat
ditentukan oleh komposisi antar unsur yang dikombinasikannya seperti: model, merk, bahan, kekhususan penggunaan. Baik buruknya penampilan seseorang dalam berpakaian sangat ditentukan oleh ketepatannya dalam mengatur komposisi antarunsur yang dipergunakan atau disatukan. Setelah melihat transfigurasi dalam dunia mode pada umumnya (normal), akan dikemukakan transfigurasi sebagaimana dilakukan oleh para pengguna pakaian bekas. Pada paragraf sebelumnya dikatakan bahwa transfigurasi ditentukan oleh komposisi dari masing-masing properties yang dibawakan oleh setiap jenis pakaian bekas yang ada. Transfigurasi yang baik atau berhasil mengandaikan adanya kecermatan dalam hal menata atau mengkomposisikan pelbagai unsur pakaian yang ada. Selain itu juga hal itu dilihat dari ketaatan pengguna pakaian terhadap Law of the Father fesyen atau mode sebagaimana lazim dikenal dengan fashion coordinate atau mix and match.49 Komposisi yang baik dalam hal ini terdiri dari atau disusun dari pelbagai properties yang memiliki kesejajaran tertentu dan ditata secara linear atau sintagmatik.50 Setiap bentuk pelanggaran atas aturan, demikian pelbagai bentuk modifikasi yang dilakukan secara “ceroboh” (atau tidak taat azas) dinilai akan mendapatkan hasil yang sebaliknya, karena hal yang demikian itu justru berarti merusak keseluruhan tatanan atau susunan yang dihasilkannya.
48
Irma Hardisurya, et al, (2011), Kamus Mode Indonesia, Jakarta: Gramedia, hlm. 77. Goet Poespo (2001c), Op. cit, hlm. 8 50 Roland Barthes (1981), Op. cit., hlm. 62-63. Juga St. Sunardi (2004), Semiotika Negativa, Yogyakarta: Buku Baik, hlm. 59-60. 49
259
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Berdasarkan pada penafsiran atas keterangan sebagaimana diutarakan oleh para responden atau keterangan responden lainnya,51 konfigurasi yang terjadi di antara para pengguna pakaian menunjukkan hal yang berkebalikan. Dalam arti bahwa proses konfigurasi yang dilakukan lakukan oleh para pengguna pakaian bekas justru menabrak aturan atau konfigurasi sebagaimana melekat dalam properties pakaian atau sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai acuan atau kanon dalam berpakaian secara umum dalam masyarakat. Hal yang demikian itu bisa dijelaskan dari cara atau teknik collage (kolase) yang mereka lakukan. Collage adalah istilah yang dipakai untuk menamai aktivitas atau proses tempel-gabung yang lazim dalam dunia mode atau seni sulam. Untuk menggambarkan proses transfigurasi pakaian bekas lewat teknik collage yang berlangsung di antara para pengguna pakaian bekas, berikut disampaikan dua pengalaman sebagaimana disampaikan oleh H dan SP sebagai ilustrasi. H, laki-laki, 37 tahun, guru bidang olahraga dan kesehatan, SMP II Sleman mengutarakan pengalamannya sebagai berikut:
“Saya ini sedang cari training, Mas. Maksud saya mau saya pakai untuk njodoni sepatu anyar ini. Seminggu lalu kebetulan saya dapat dropdropan sepatu olah raga anyar dari dinas pendidikan. Itulah kerjaan orang dinas. Belum lagi kata orang dinas, setiap guru wajib pakai sepatu itu, gak isa nolak. Cuma yang jadi masalah sekarang, saya tidak punya jodone. Soalnya sepatu drop-dropan dari dinas itu warnanya hitam. Semester lalu, saya dapat sepatu warna putih. Saya sih sebetulnya suka yang putih. Lebih gampang cari jodone. Jadilah seperti harus sibuk alias repot. Ini tadi saya ambil training dua, satu warna merah, satunya warna biru.“52
51
Gagagan tentang transfigurasi ini lahir jauh belakangan dari proses wawancara kepada responden. Dengan kata lain masalah transfigurasi ini tidak termasuk sebagai materi wawancara, sehingga hanya saya kembangkan berdasarkan informasi responden untuk hal lain tetapi memiliki hubungan dengan pokok permaslahan. 52 Wawancara pada 14 Juni 2010.
260
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Hal senada diutarakan oleh SP, perempuan, 32 tahun, asal Palembang, dosen Akademi Pertanahan Yogyakarta sebagai berikut:
“Saya mungkin staff yang paling nggak patuh di kampus saya, bahkan mungkin di dunia ... ha .. ha (tertawa: pen). Kampus saya itu kan terkenalnya kampus seragam gitu, Mas. Seperti APMD (Akademi Pemerintahan Masyarakat Desa: pen) atau APDN (Akademi Pemerintahan Dalam Negeri: pen) gitu. Karena background saya dulu tidak dari situ saya sampai sekarang nggak bisa diseragami. Swear, Mas! Selain terkesan kaku, juga gerah. Udah gitu warnanya putih gitu. Tapi ya itu, namanya buruh, jadi nggak berani menentang apa yang sudah lama menjadi garis kebijakan kampus. Cuma ya itu, saya selalu curi-curi kesempatan untuk memodifikasi seragam yang ada. Sejauh ini sih aman-aman saja. Pernah sekali kepergok Dekan. Rupanya dia tahu, lalu tanya kenapa bahan seragam saya lain. Saya jawab saja kalau seragam yang dari kampus kotor dan belum sempat dicuci. Di sini tadi saya dapet dua baju putih, satu Arrow, satunya nggak ingat apa merknya ... Saya beli ini buat nggantiin atasan seragam kampus yang baru terus tiap 1 semester, dan tetap baru karena jarang saya pakai jadi tetap baru. “53
Dari pengalaman kedua responden di atas, tampak bahwa konfigurasi pakaian tidak dibangun dengan cara mengkombinasikan kesejajaran unsur dan jenis pakaian (dan kelengkapannya). Konfigurasi yang dihasilkan justru dibangun berdasarkan pada perbedaan kondisi atau umur pakaian, yakni baru dan lama. Dari perspektif lain bisa dijelaskan bahwa apa yang menonjol dari konfigurasi sebagaimana dilakukan oleh kedua konsumen pakaian bekas ini tidak dilakukan secara sintagmatik tetapi paradigmatik. Konfigurasi pakaian yang dikenakan justru disusun secara paradigmatik.
Dalam kasus H, ia berniat mengkombinasikan
(njodoni) sepatu warna hitamnya yang masih baru dengan dengan dua buah training bekas berwarna dan biru, sedangkan susunan paradigmatiknya terletak pada
53
Wawancara pada 13 Juni 2010.
261
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“barunya” sepatu karena “belum pernah dipakai” digantikan oleh “barunya” celana training bekas yang “baru dibeli”. Sementara dalam kasus SP ia mengkombinasikan unsur kemeja bekas merk Arrow dengan rok bawahan seragam kampus yang (masih tetap) baru karena belum pernah dipakai. Menurut kaidah, aturan, atau Law of the Father bermode yang diimani oleh kebanyakan konsumen mode zaman sekarang, dalam peristiwa transfigurasi konsumen pakaian dimungkinkan hanya akan melakukan kombinasi berdasarkan pada aspek kesejajaran atau kesamaan sifat atau kondisi. Hal ini berkaitan dengan keyakinan bahwa figur yang akan dihasilkannya pun diasumsikan akan berubah menjadi lebih baik atau berbeda dari sebelumnya. Pengalaman ini dari arah yang berlainan bisa disejajarkan dengan pengalaman anak kecil yang menggunakan pelbagai bingkisan ulang tahun yang terdiri dari barang-barang baru dalam satu waktu: sepatu baru, kaos kaki baru, rok baru, undies baru, singlet baru, buku cerita baru, alat-alat lukis baru, bandana baru, tas sekolah baru, dan boneka baru, yang kemudian menjadikan anak itu muncul dalam sosoknya yang “baru”: mata membesar berbinar-berbinar, mulut mengembang menyimpan senyum senang, dan dengan bangga berkata kepada neneknya: “Lihat, Nek. Aku dapat hadiah Ultah. Semuanya baru ini, Nek. Bagus, kan?” Dari dua sketsa di atas menunjukkan kreativitas para pengguna pakaian bekas dalam melakukan transfigurasi merupakan sebuah subversi, sebab berada di luar kebiasaan atau wacana mode pada umumnya. Dari proses transfigurasi itu kemudian lahir konsumen pakaian bekas dalam sosok atau penampilannya yang baru. Baru dalam hal ini bukan karena pakaian yang ia kenakan kondisinya baru, tetapi karena cara mereka mengombinasikan pelbagai unsur pakaian yang lama 262
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tetapi berbeda sama sekali dari yang seharusnya. Barunya, karena penyimpangan kombinasinya. Hal itu sekaligus merepresentasikan kreativitas para pengguna pakaian bekas dalam melahirkan model konsumsi pakaian bekas dalam sosoknya yang baru. Dalam proses itu juga menunjukkan adanya proses negosiasi konsumen pakaian bekas terhadap keseharusan peraturan dan hukum sebagaimana berlaku dalam dunia fesyen modern. Dari dua sketsa di atas menggambarkan, sekali lagi, subjek konsumen yang tidak mau tunduk atau ditelikung oleh Law of the Father mode pada umumnya. Di tangan para konsumen atau pengguna pakaian bekas pelbagai properties atau identitas sebagaimana direpresentasikan oleh pakaian bekas telah dijauhkan dari kondisi awal atau ke-“bekas”-annya. Para konsumen pakain bekas kemudian telah sedemikian memasukkan nilai baru atau nilai lain di luar yang telah ada di dalam pakaian bekas yang mereka beli atau gunakan. Di tangan mereka kanon mode seperti fashion coordinate atau mix and match yang memiliki makna mendalam dan penting dalam dunia dunia modern dan memiliki masa berlaku yang panjang (neverlasting) seolah-olah justru dibuat menjadi memendek, bahkan hingga expired. Pakaian bekas di tangan para konsumen atau pengguna diperlakukan secara mainmain, dalam arti menyalahi kaidah bermode. Demikian halnya pakaian bekas yang mereka beli atau gunakan dipersonalisasi, atau di-“bahasa”-kan (Jawa: diukarakke) menurut keinginan para konsumen bekas itu sendiri. Melalui pakaian bekas drive (dorongan) bermode para konsumen ditampilkan tidak berdasarkan pada bahasa pasar atau bahasa yang berlaku umum dalam masyarakat, melainkan ditampilkan menurut kehendak mereka sendiri. Dengan kata lain, lewat pakaian bekas para konsumen atau pengguna mengartikulasikan keinginannya dalam bahasa yang 263
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mereka susun berdasarkan pada hal-hal yang berada di luar tatanan imajiner dan tatanan simbolik. Semangat dan kreativitas para konsumen atau pengguna pakaian bekas dalam melakukan pencarian dan penetapan identitas melalui mekanisme identifikasi kedua sebagaimana terarah kepada struktur real atau pada tahap pra-cermin dan dikemukakan lewat teknik kolase di atas dalam perspektif psikoanalisis Lacanian (yang dikembangkan dari Freud) merepresentasikan sebuah praktik sublimasi.54 Dalam hal ini para konsumen pakaian bekas melakukan proses pembahasaan atau artikulasi atas pelbagai dorongan libidinalnya dalam pelbagai simbol atau bahasa yang tidak diambil dari langue, master signifier atau Name-of-the-Father mode yang ada dan menjadi keyakinan masyarakat dan budaya masyarakat konsumen. Secara material simbol kebahasaan yang mereka angkat sebagai bagian dari praktik artikulasi memang berasal dari bahasa yang ada masyarakat, hanya saja bahasa masyarakat itu telah mereka sublimasikan (dalam pengertian sublimate, diputihkan atau dimurnikan) dari nilai-nilai yang tidak mereka setujui dan kemudian mereka isi dengan makna baru. Makna atau nilai baru yang lebih menekankan pada aspekasepek seperti heterogentitas, otentisitas, individualitas atau personalitas, atau kebersahajaan. Pada aras ini sublimasi sebagaimana dilakukan oleh konsumen pakaian bekas merupakan sarana yang dipergunakan untuk menghadapi pelbagai bentuk dan model konsumsi mode sebagaimana berkembang dalam masyarakat dan budaya konsumsi saat ini. Melalui sebuah strategi sublimasi para konsumen atau pengguna 54
Tentang sublimasi lebih lanjut periksa Marc De Kesel (2009), “Sublimation” dalam Marc De Kesel, Eros and Ethics. Reading Jacques Lacan’s Seminar VII, terj. Sigi Jőttkandt, New York: SUNY, hlm. 163-dst.
264
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pakaian bekas berusaha mengatasi problem paradoks atau ambiguitas yang menjeratnya manakala harus bersinggungan dengan pelbagai bentuk komoditas atau objek-objek konsumsi. Dihadapkan pada bahasa mode modern sebagaimana berkembang dalam masyarakat dan budaya konsumen yang memiliki kekuatan yang sangat besar mempengaruhi siapapun yang terlibat di dalamnya, sublimasi menjadi sebuah cara hindar atau cara mengelak yang paling mungkin dilakukan oleh konsumen yang mau mengambil jarak dengannya. Sublimasi merupakan strategi yang dipergunakan oleh para konsumen pakaian bekas untuk melahirkan kemungkinan baru di tengah arus konsumsi mode modern yang memiliki kekuatan untuk melakukan penyeragaman. Terkait dengan persoalan sublimasi adalah daya penggerak proses identifikasi. Dari uraian sebelumnya diketahui bahwa proses identifikasi real dalam perkembangannya tidak dibangun berdasarkan hasrat (desire) tetapi berdasarkan dorongan (drive, trieb). Baik desire maupun drive menuntut pemuasan berupa jouissance. Hasrat dalam hal ini tidak bisa memberikan jaminan terakhir kepada subjek konsumen dalam usahanya untuk memenuhi keinginannya. Hal itu karena hasrat masih mensyaratkan atau tergantung pada pelbagai aturan, larangan, atau hukum masyarakat (disimbolkan dengan S(Ø)). Ia bahkan lahir dari larangan; dalam arti senantiasa berkait dengan keinginan untuk menabrak pelbagai larangan, aturan, atau hukum Sang Ayah (transgresi). Karena transgresi semacam itu tidak mungkin dilakukan, maka agar dapat mencapai jouissance, hasrat selalu berhubungan dengan kemustahilan (impossibility), bahkan akan berakhir dengan jalan buntu situasi deadlock atau dead end. Hal ini menegaskan bahwa hasrat senantiasa tergantung pada keberadaan sosok Liyan (Other). Berbeda dari hasrat, dorongan tidak mengenal 265
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
larangan atau hukum. Demikian halnya dorongan selalu berhasil; tidak pernah gagal dalam mewujudkan tujuannya. Hal lainnya adalah bahwa pemenuhan kebutuhan akan jouissance sebagaimana dilakukan para konsumen pakaian bekas berada di luar jenis kenikmatan yang telah ada atau phallic jouissance (disimbolkan dengan jΦ) tetapi Other Jouissance (disimbolkan dengan dengan jO). Phallic jouissance adalah istilah yang dipakai untuk menamai jouissance yang melulu didasarkan pada fungsi falus (Φ) atau genital. Perubahan arah kebutuhan ini menandaskan bahwa para konsumen pakaian bekas tidak mau (sebagaimana dialami oleh orang yang mengalami perversi) mengalami frustrasi, karena mereka tahu bahwa jika hanya berhenti di situ mereka tidak akan menemukan kepuasan lain selain kepuasan akan fetish (Phallic jouissance is the jouissance that faith us, that disappoints us).55 Pengalaman ini merupakan konsekuensi logis yang akan diterima konsumen jika masih menambatkan keinginnnya pada phallic jouissance, karena mereka akan berhadapan dengan larangan atau Name-of-the-Father (S(Ø)). Dikaitkan dengan pembahasan terdahulu, pengalaman ini telah dialami oleh para
konsumen mode. Ketika
bayangkan kenikmatan terbatas pada pelbagai identitas atau properties sebagaimana dibawakan oleh pakaian, mereka harus berhadapan dengan hukum bermode yang memiliki kekuatan besar untuk melumatkan mereka. Sebaliknya Other jouissance merupakan jouissance yang diperoleh seseorang, dalam hal ini adalah para konsumen mode, karena pertemuannya dengan Liyan. Jenis kenikmatan ini hanya akan diperoleh konsumen ketika mereka telah
55
Bruce Fink (2004), Lacan to the Letter. Reading Ecrits Closely. London: University of Minnesota Press, hlm. 159.
266
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
terlebih dulu mau melepaskan kenikmatan faliknya yang akan menyerimpung mereka untuk hanya puas akan pelbagai identitas sebagaimana dibawakan oleh komoditas pakaian dan tinggal berlama-lama dalam dunia imajiner. Hal ini menjelaskan kembali pengalaman kastrasi yang dialami oleh seorang anak pada fase pasca cermin. Hanya melalui kastrasi Other jouissance ini bisa ditemukan oleh para konsumen.
Pengalaman
ketika
seorang
anak
harus
melepaskan
sumber
kenikmatannya, yakni ibu, dan hasrat hidupnya, yakni untuk senantiasa hidup bersatu padu dengan ibunya lewat gagasannya tentang menjadi maternal phallic ibunya. Pengalaman ketika seorang anak harus meninggalkan dunia atau struktur imajinernya dan menerima pelbagai aturan, tatanan, dan hukum masyarakat yang berada pada tahap selanjutnya dalam hidupnya. Dari paparan di atas diketahui bahwa berdasarkan pada sumber kenikmatan sebagaimana dicari oleh para pengguna pakaian bekas yang mengarah pada sesuatu yang apa adanya (murni), serta dari jenis kenikmatan yang menekankan pada aspek individualitas, personalitas, dan otentisitas, maka identitas yang dihasilkan dari proses identifikasi real ini adalah identitas fantasi. Persis di sini tampak bahwa hasrat konsumen untuk mengidentifikasikan diri dengan pelbagai identitas atau properties sebagaimana direpresentasikan oleh pakaian bekas sejatinya tidak sematamata berhennti di situ, atau berada pada pakaian bekasnya, akan tetapi pada kemapuan pakaian bekas dalam melahirkan fantasi tentang “sesuatu” (It’s not the “it” that you want. It’s the fantasy of “it”. So desire supports crazy fantasies).56 Apa yang dimaksudkan Žižek dengan “sesuatu” (it) di sini adalah sesuatu yang sublime;
56
Dinukil dari ungkapan Slavoij Žižek dalam film dokumentasinya, “The Pervert Guide to the Cinema”.
267
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang bisa disejajarkan dengan object a dalam gagasan Lacan. Sesuatu yang mampu menyedot seluruh imajinasi orang untuk senantiasa memikirkan dan membayangkan hal lain di luar yang kita temui secara material. Sesuatu yang memiliki kekuatan untuk menggiring kesadaran orang berfikir untuk mengunjunginya, menggapainya. 57 Sesuatu yang sama sekali tidak mampu diberikan dan tidak konsumen temukan di dalam pelbagai model dan bentuk konsumsi mode masyarakat konsumen dewasa ini. Pencarian tentang sesuatu yang sederhana tetapi memiliki kekuatan yang sublime menggarisbawahi kenyataan bahwa cara konsumen memperlakukan pakaian bekas memiliki kesejajaran dengan cara orang memahami sebuah karya seni, di samping agama dan ilmu pengetahuan. Baik pakaian bekas maupun karya seni digunakan atau dibeli karena keduanya bisa memantik lahirnya fantasi kepada para pengguna atau pembelinya untuk memasuki dunia hasrat dan kenikmatan yang tak terhingga (the infinite jouissance) yang berada di luar yang kasat mata atau yang material. Baik pakaian bekas sebagai karya seni merepresentasikan realitas yang mampu mengatasi kondisi materialnya. Karena mengandung unsur
fantasi,
keduanya demikian terbuka luas dan kaya akan pelbagai macam penafsiran atau simbol-simbol kebahasaan yang akan dipakai sebagai alat untuk mengungkapkan pelbagai dorongan libidinal atau represionalnya. Karena mengandung unsur fantasi, pakaian bekas memiliki kekuatasn dan kemungkinan luas kepada para konsumennya untuk mengaksentuasikan pelbagai dorongan yang selama ini gagal diproses oleh pelbagai sistem penanda (bahasa) baik yang selama ini terdapat di dalam tatanan imajiner atau dalam tatanan simbolik.
57
Slavoij Žižek (1989), The Sublime Object of Ideology, London-Newyork: Verso, hlm. 173.
268
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
B. Pakaian Bekas dan Subjektivitas
B.1. Sublimasi: Subjektivitas Para Perombèng
Berangkat dari dua keterangan terakhir dia atas, sejauh ini bisa disimpulkan bahwa subjektivitas yang dari para penggunaan pakaian bekas atau rombeng adalah subjek sublimasi. Konsep sublimasi ini untuk pertama kali dikemukakan Sigmund Freud. Dalam nada seorang “moralis” Freud mendefinisikan sublimasi sebagai proses penyaluran energi seksual (libido) ke dalam bentuk-bentuk aktivitas nonseksual yang bisa diterima secara kultural (Sublimation is a process that diverts the flow of instinctual energy from its immediate sexual aim and subordinates it to cultural endeavors.)58. Freud menempatkan kerja intelektual, agama dan kreasi seni sebagai bentuk-bentuk sublimasi. Dengan demikian sublimasi memiliki fungsi sebagai penyaluran atas pelbagai dorongan (drive) yang secara moral dan sosial dikategorikan sebagai sebuah penyimpangan seperti halnya perversi atau neurosis sehingga pada akhirnya bisa diterima dan dihargai umum. Keterangan Freud tentang persolan sublimasi adalah sebagai berikut:
“In Freud's work, sublimation is a process in which the libido is channelled into apparently non-sexual activities such as artistic creation and intellectual work. Sublimation thus functions as a socially acceptable escape valve for excess sexual energy which would otherwise have to be discharged in socially unacceptable forms (perverse behavior) or in neurotic symptoms.”59 58
Sophie De Mijolla-Mellor, “Sublimation” dalam Alain de Mijolla (ed.).(2005), International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm. 1679-1680. 59 “Sublimation”, Nosubject.com - Encyclopedia of Lacanian Psychoanalysis, diakses pada 4 Agustus 2013.
269
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Mengikuti gagasan sebagaimana dikemukakan Freud, Lacan menekankan persoalan pengakuan sosial sebagai satu hal yang penting dari konsep sublimasi ini. Dalam kaitan ini Lacan kemudan menghubungkan persoalan sublimasi dengan masalah etika.
“He follows Freud in emphasizing the fact that the element of social recognition is central to the concept, since it is only insofar as the drives are diverted towards this dimension of shared social values that they can be said to be sublimated. It is this dimension of shared social values which allows Lacan to tie in the concept of sublimation with his discussion of ethics.”60 Contoh yang paling kerap dikutip orang untuk menjelaskan persoalan sublimasi adalah poses pengalihan dorongan agresivitas seorang yang sadis dan suka berkelahi menjadi tukang jagal (butcher).61 Akan tetapi Lacan sejatinya tidak mengikuti Freud, tetapi (seperti kebiasaan Lacan) melampauinya. Definisi Freud tentang sublimasi oleh Lacan selain dinilai terlalu moralistik juga mengesampingkan adanya dualitas pengaruh. Lacan selanjutnya menempatkan persoalan sublimasi sebagai proses tarik ulur antara hasrat dengan aturan etik (moral). Maksudnya, suatu ketika hasrat bisa masuk dalam aturan etik, sebaliknya suatu saat aturan etik bisa melahirkan hasrat. Setelah menengahkan batasan antara drive dan desire, persoalan sublimasi oleh Lacan dinyatakan sebagai proses perubahan dorongan “petaka” (doom) menjadi “seorang nyonya” (dame) sehingga bisa diterima secara etik sosial.62 Akan tetapi,
60
Ibid. Sophie De Mijolla-Mellor (2005), Loc. Cit.. Periksa juga Marc De Keller (2009), Eros and Ethics. Reading Jacques Lacan’s Seminar VIII, New York: State University of New York Press, hlm. 166.Op. cit., hlm. 165-167. 62 Marc de Kesel (2009), Op. cit., hlm. 166. 61
270
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
hal itu hanya bersifat sementara. Dengan mengasumsikan bahwa tujuan utama aturan moral adalah untuk dilanggar (the ultimate purpose of the moral law is to be trasgressed) hal yang berkebalikan, maka “dame” (Sang Nyonya, Sang Moral) pada suatu saat bisa berubah menjadi “doom” (petaka) atau bahkan menjadi “damn” atau “damnation” (bangsat!).63 Cara Lacan menjelaskan persoalan sublimasi ini sesungguhnya sama sekali bukan original, sebab ungkapan itu sejatinya diambil dari gagasan Freud saat ia merumuskan konsep death drive. Dalam hal ini Lacan mengatakan: “The commandment that was supposed to lead to life turned out to lead to death”.64 Cara Lacan memahami persoalan sublimasi
sejauh ini sejajar dengan
gagasannya tentang projek pendewasaan, sosialisasi, dan pembudayaan subjek manusia sebagaimana ia kemukakan lewat teori tahap cerminnya. Menurut Lacan proses pendewasaan subjek seseorang menjadi “mansuia yang sesungguhnya” berjalan dalam tiga struktur klinis (three clinical structures) yakni: imajiner, simbolik, dan real. Subjek seseorang dikatakan mengalami pendewasaan manakala ia bisa menggabungkan ketiga struktur atau tatanan psikis itu sebagai satu kesatuan dan bisa menghadirkannya secara bersama-sama. Dewasa seacara psikis dalam pengertian ini adalah nama lain dari “normal” atau “sehat”. Dengan demikian subjek yang mau menerima proses pendewasaan dan bisa menggabungkan ketiga tatanan tersebut bisa dikatakan bahwa seseorang itu “normal”, “sehat”, atau telah berhasil menjadi manusia seutuhnya. Sebaliknya, subjek seseorang yang tidak mau menerima proses pendewasaan, sosialisasi, kulturisasi, atau normalisasi, sehingga
63 64
Op. cit., hlm. 168. Op. cit., hlm. 163.
271
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dianggap tidak tuntas dalam menjalani setiap tahap atau struktur tersebut, kemudian dikategorikan sebagai subjek yang mengalami “kegagalan” atau “mengalami gangguan psikis”. Subjek seseorang yang menolak memasuki proses pendewasaan dan tidak bisa menggabungkan ketiga tatanan psikis tersebut akan terjatuh dalam tiga kategori, yakni: psikosis, neurosis, dan perversi. Psikosis adalah saat Sang Anak yang terlalu menempatkan figur ibu atau pengganti ibu (a’) sebagai satu-satunya sumber hasrat yang akan memberinya kenikmatan. Implikasinya hal itu membuat Sang Anak tidak mau dipisahkan dari Sang Ibu dan tinggal berlama-lama berada di struktur imajiner. Hasrat yang sangat kuat untuk bersatu dengan sumber hasrat primordialnya dan tinggal di dunia imajiner menjadikan Sang Anak tidak mau menerima atau menolak (forclosure) proses pemisahan atau separasi atau menerimam paternal function sebagaimana dilakukan Sang Ayah simbolik sebagai prasyarat untuk memasuki struktur simbolik. Subjek psikosis adalah subjek orang yang masih “menyusu” atau “ngempeng” ibunya sehingga kenikmatannya adalah ketika ia sepenuhnya menjadi maternal phallic ibunya. Dengan demikian subjek ini pun tidak bisa menetapkan identitas dirinya karena gagal mengolah ideal ich atau identitas spekularnya menjadi ich ideal atau identitas yang sesungguhnya. Dilihat dari aspek penggunaan bahasa atau simbol, subjek psikosis adalah subjek yang diduduki bahasa. Dalam hal ini ia melakukan forclosure atau penolakan terhadap salah satu elemen tatanan simbolik (symbolik order) yang dalam hal ini adalah berarti bahasa sebagai keseluruhan atau Name-of-the-Father atau paternal function. Dengan demikian baik Name-of-the-Father atau paternal function dalam subjek psikosis absen sama sekali. Fungsi separasi sebagaimana dimainkan oleh 272
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
paternal function tidak berfungsi sama sekali. Dalam hal ini subjek psikosis merasa diri telah mengalami ketercukupan lewat aksinya menempel pada pelukan atau dada ibu. Dengan demikian subjek psikosis adalah subjek yang tidak mengalami separasi dan kastrasi. Atau dengan kata lain ia memahami kata-kata atau bahasa sebagai sesuatu yang seolah-olah tidak datang dari dalam dirinya, melainkan datang dari luar dirinya (ibunya). Karenanya pada saat menggunakan bahasa, subjek psikosis sama sekali tidak pernah berfikir, malinkan hanya melakukan imitasi atau sekedar menirukan apa yang diucapkan ibunya (other). Ia berbicara tetapi apa yang ia ucapkan tidak masuk dalam logika bahasa pada umumnya. Selanjutnya adalah subjek neurosis, yakni subjek seseorang yang kemauanya mengikuti perintah dan aturan sebagaimana dibawakan oleh masyarakat pada umumnya (Name-of-the-Father). Dengan demikian subjek neurosis adalah subjek orang yang justru menemukan kegairahannya ketika bisa sesempurna mungkin menjunjung tinggi tata aturan dan moral sebagaimana berlaku dalam masyarakat atau diakui oleh banyak orang. Kecenderungan subjek semacam ini menjadikan orang menjadi perfeksionis dan sangat berhati-hati dalam membuat pertimbangan dan putusan. Subjek neurosis adalah subjek seseorang yang sangat takut melakukan suatu kesalahan, karena perbuatan itu sangat bertentangan atau menyimpang dari norma dan aturan sosial (Law of the Father) yang berlaku di tengah masyarakat. Di tangan orang neurosis tata aturan atau hukum sebagaimana berkembang dalam masyarakat menjadi acuan baku sekaligus beku. Kreativitas dan improvisasi bagi subjek neurosis justru dipahami sebagai penyimpangan itu sendiri, sehingga menjadi satu hal yang tabu untuk dilakukan oleh orang lain. Subjek orang yang mengalami neurosis justru menemukan kenyamanan 273
manakala ia bisa sepenuhnya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menempatkan dirinya sesuai dengan harapan orang banyak atau atau tata aturan sebagaimana berkembang dalam masyarakatnya.65 Untuk mendapatkan pemahaman tentang “penyimpangan” dalam kaitannya dengan proses pembentukan subjek akan dikomparasikan dua subjek yakni antara subjek perversif dan subjek sublimasi. Subjek perversif adalah subjek orang yang telah menapaki fase pasca-cermin atau tatanan simbolik, sehingga dengan demikian telah mengenal Name-of-the-Father sebagaimana direpresentasikan dalam pelbagai bentuk tata aturan atau norma (Law of the Father). Apa yang kemudian penting untuk dilihat adalah bahwa sekalipun sudah mengenal Name-of-the-Father ia menganggap keberadaan Name-of-the-Father -- atau paternal function menurut Bruce Fink -- sebagai bukan apa-apa (indifference) atau tidak memiliki pengaruh apa-apa bagi dirinya. Ia bahkan melakukan penentangan (perversion) terhadap Name-of-the-Father sebagaimana direpresetasikan oleh tata aturan atau hukum yang berkembang dalam masyarakat. Bagaimana benturan antara subjek perversi dengan Name-of-the-Father dijelaskan dalam kutipan berikut ini:
“A perverse structure remains perverse even when the acts associated with it are socially approved. Moreover, it is the neurotic subject who is in conflict with the Name-of-the-Father, in other words, with Law as such. The perverse subject, on the other hand, 'knows very well' the letter of the Law--in other words, knows what the Other desires. The perverse structure follows the Law to the letter, follows the "No" of the Father--the dictum not to enjoy. As far as the pervert is concerned, this conflict [between desire and Law] is resolved by making desire the law of his acts."66
65
Bruce Fink (1997), Op.cit., hlm. 114. Bruce Fink (1997), Loc. Cit., hlm. 165-167. Juga http://www.lacan.com/conformperf.htm diakses pada 21 Juni 2013. 66
274
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Cara subjek perversion berhubungan dengan orang lain (other) dan masyarakat (Other) tidak ia lakukan secara langsung, akan tetapi telah sedemikian rupa dijembatani atau diperantarai oleh penggunaan pelbagai bentuk objek di luar dirinya. Ia kemudian memfetishkan pelbagai objek yang menurut perhitungannya dianggap mampu memberikan kenikmatan. Dalam konteks konsumsi mode modern, lewat fetishisasi atas pelbagai objek konsumsi atau bentuk-bentuk komoditas, subjek perversif sejatinya mengalami gejala serupa sebagaimana dialami oleh subjek psikosis. Ia mengalami halusinasi atas apa yang mereka konsumsi. Ia mengacaukan antara – meminjam istilah semiotika – sr (signifier) dengan sd (signified). Karenanya, subjek perversif adalah subjek orang yang menghindar dari pertemuan dengan orang lain. Subjek perversif adalah subjek yang tidak pernah sampai pada dirinya sendiri (identitas), tetapi hanya berhenti pada fetish. Subjektivitas orang peversif tidak dialami melalui pertemuannya dengan orang lain, melainkan hanya terbatas melalui objek-objek konsumsi atau komoditas. Sebagai ilustrasi tentang subjek perversif disampaikan dalam Gambar 21 berikut.
Gambar 22 Subjek Perversif
275
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 21 di atas, tampak bahwa arah garis merah yang terdapat pada sumbu simbolik (A) tidak mengarah pada S (es), melainkan membentur sumbu imajiner atau sumbu bahasa dan kembali mengarah ke dalam struktur imajiner (a’). Seperti dijelaskan sebelumnya, bagi subjek perversif struktur imajiner atau (a’) menjadi pelabuhan terakhir bagi proses pembentukan subjek. Dalam struktur imajiner
inilah kemudian subjek perversif akan
menghentikan proses pembentukan subjektivitasnya. Pembelokan arah yang terjadi juga mengacu pada keengganannya berhubungan dengan Other (A) sebagaimana direpresentasikan dalam pelbagai aturan dan hukum sebagaimana berkembang dalam masyarakat (Law of the Father). Hubungan yang seharusnya dilakukan terhadap A tidak terjadi. Hubungan yang ada bahkan digantikan dengan pelbagai image sebagaimana dipantulkan oleh Ibu atau sumber kenikmatannya (a’). Sekalipun sudah menapaki fase simbolik subjek perversif bersikap abai dengan pelbagai aturan atau larangan dan lebih memilih untuk kembali bersatu dengan Ibu (a’) atau pelbagai objek pengganti sosok Ibu. Dengan kata lain sekalipun sudah mendapatkan tekanan dari Sang Ayah, ia masih bisa menghadirkan imajinasi tentang ibunya. Subjek perversif sebenarnya telah mengakui kehadrian Sang Ayah, hanya keberadaan ayah dinegasikan! Dilihat dari penggunaan bahasa atau penerimaan ayah simbolik, subjek perversi mengalami alienasi tetapi tidak tidak mengalami proses separasi. Subjek perversi mau menerima ancaman kastrasi sebagaimana dilakukan oleh Sang Ayah, hanya ia tidak mau sampai dengan tahap kastrasi, sehingga ia tetap melekat dalam sumber kenikmatan primordialnya (ibu). Subjek perversif beranggapan bahwa Sang Ibu seolah-olah memiliki falus, sehingga ia melakukan penyangkalan bahwa bahwa yang memiliki 276
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
falus, satu hal yang seharusnya ia tuju, adalah Sang Ayah. Dorongan yang membuat subjek seseorang berada di level perversif atau fetish karena bayangan keyakinannya (baca: halusinasi) tentang adanya kenikmatan (Joussance) yang bisa mengatasi fetish. Dengan demikian subjek adalah subjek yang sudah berjalan tetapi tidak sampai; hanya berhenti di tengah jalan. Sudah mengetahui Law of the Father, tetapi tetap tidak mau meninggalkan ibunya.67 Paralel dengan subjek perversif, subjek sublimasi adalah subjek orang yang telah menapaki fase pasca-cermin atau tahap simbolik. Apa yang kemudian membedakannya adalah, sebagaimana telah disampaikan di muka, bahwa apa yang menjadi target dari proses identifikasi dari subjek sublimasi ini adalah sesuatu yang apa adanya, sesuatu yang murni yang lokasinya ada di tataran real. Dengan demikian semangat subjek sublimasi adalah melakukan pemurnian (sublimate) atas pelbagai aturan yang merupakan hasrat ibu (pasar) dan hasrat ayah (Name-of-the-Father) sebagaimana direpresentasikan dalam pelbagai tata aturan atau hukum berpakaian pada zaman sekarang (Law of the Father). Berbeda dari subjek perversif yang mengabaikan Name-of-the-Father dan memilih jenis hubungan yang sifanya frontal atau diametral sehingga kemudian memilih melakukan fetishisasi terhadap pelbagai objek tertentu yang diimajinasikan sebagai ibunya, subjek sublimasif justru melakukan hubungan dengan Name-of-the-Father dalam arti menimbang fungsi dan kehadiran Sang Ayah simbolik, hanya kemudian bahasa ayah dan ibu ia murnikan; ia putihkan berdasarkan kemauannya. Dengan demikian kesannya (ala orang normal) ia melakukan penjungkirbalikan atas hasrat pasar mode modern dan hasrat tatanan atau aturan berpakaian dalam masyarakat modern saat ini. 67
Bruce Fink (1995), The Lacanian’s Subject, United Kingdom: Princetown University, hlm.66-67.
277
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Subjek sublimasi menempatkan hasrat masyarakat (Name-of-the-Father) -atau the Social dalam ungkapan Laclau – sebagaimana direpresentasikan dalam aturan bermode modern yang telah ditelikung atau disandera pasar sebagai sebuah tantangan yang justru harus dihadapi. Hasrat pasar dan masyarakat oleh subjek sublimasi tidak dihindari sebagaimana yang dilakukan oleh subjek perversif, tetapi dibahasakan atau dipersonalisasi menurut bahasanya sendiri. Subjek sublimasi memiliki semangat kuat untuk mengembalikan posisi hasrat pasar dan hasrat masyarakat di bidang mode dalam situasi dan kondisi yang murni atau apa adanya. Jika dilihat secara sepintas tidak ada kejutan yang dihasilkan oleh subjek sublimasi ini. Akan tetapi apabila di telisik secara lebih mendalam tampak bahwa semangat subjek sublimasi menyimpan efek yang luar biasa. Lewat sebuah aksi pemurnian tersebut hasrat konsumsi pasar dan tatanan berpakaian sebagaimana berkembang dalam masyarakat bisa kehilangan kekuatan atau maknanya. Subjek sublimasi bisa mendelegitimasi keabsahan bahasa pasar dan masyarakat! Demikian sebaliknya kita melihat bahwa di tangan subjek sublimasi tersebut pakaian bekas bisa disodorkan sebagai bentuk komoditas baru (kata-kata) dalam berpakaian di tengah-tengah pelbagai komoditas dan bentuk dan model konsumsi mode modern yang merupakan kata-kata mode zaman sekarang yang sangat menekankan pada unsur kebaruan. Demikian halnya pasar pakaian bekas bisa ditempatkan sedemikian rupa sebagai pasar mode baru (bahasa) di tengah pelbagai bentuk pasar modern yang telah berkembang secara mapan di tengah masyarakat. Subjek sublimasi dalam hal ini justru tidak begitu menaruh kepercayaan atas nilai tanda (sebagaimana direpresentasikan dalam gaya dan harga dan hal lainnya) dan disebarluaskan dalam pelbagai komoditas dan dikembangkan atau dalam model 278
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
konsumsi mode, serta telah diadopsi sedemikian rupa sebagai tata aturan, kanon, hukum berpakaian dalam masyarakat dan budaya konsumen kontemporer.
Gambar 23 Subjek Sublimasi
Sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 22 di atas, tampak bahwa subjek sublimasi berhasil meniti poros simbolik (A) melewati garis penghalang bahasa (antara a dan a’ atau poros imajiner) menuju ke S (es) atau struktur real. Dengan kata lain subjek sublimasi dalam hal ini berhasil melampaui subjek perversif yang hanya terhenti pada a’ (liyan imajiner). Subjek sublimasi dalam hal ini berhasil mengelola dorongan (drive) konsumtivismenya melampaui tatanan simbolik sebagaimana menggejala dalam masyarakat konsumen kontemporer dalam sebuah tindakan pemurnian kreatif. Subjek sublimasi dengan demikian adalah subjek yang berhasil membahasakan atau melakukan simbolisasi atas pelbagai dorongan Id mereka ke dalam pelbagai simbol atau bahasa mereka sendiri. Simbolisasi atau pembahasaan sebagaimana dilakukan oleh subjek sublimasi tidak diambil atau tidak berasal dari simbol sebagaimana dibawakan oleh pasar modern dan tata aturan mode masyarakat kontemporer, melainkan berdasarkan pada bahasa atau simbol yang mereka rangkai dan kembangkan sendiri. Demikian halnya tampak bahwa subjek 279
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sublimasif berhasil melampaui semangat dan kecenderungan sebagaimana dibawakan oleh subjek perversif yang hanya berhenti pada fetishisme atas pelbagai bentuk komoditas. Bagaimana kreativitas subjek sublimasi sebagaimana ditunjukkan oleh para konsumen atau pengguna pakaian bekas dalam menghadapi bahasa pasar dan tatanan mode (pakaian) modern yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat konsumen kontemporer, bisa diikuti dalam paparan-paparan berikut. Dalam paparan no B2. akan dikemukakan kreativitas subjek sublimasi para konsumen atau pengguna pakaian bekas dalam membawakan kenikmatannya di tengah situasi sosial dan budaya konsumen, sementara itu pada paparan B.3. akan dikemukakan bagaimana kreativitas subjek sublimasi dipertunjukkan lewat mekanisme budaya daur ulang (recycle culture) yang memiliki kekuatan sebagai alat penghancur kebaruan dan waktu modern yang oleh masayarakat masa kini banyak diasumsikan sebagai berjalan secara linear dan sejauh ini menjadi keyakinan atau ideologi dunia mode (pakaian) saat sekarang.
B.2. Kreativitas Subjek Sublimasi 1: Jouissance
Setelah menguraikan persoalan identifikasi tahap real dalam penggunaan pakaian bekas, paragraf-paragraf berikut akan mengemukakan pelbagai macam pleasure atau jouisance sebagaimana direpresentasikan oleh para pengguna pakaian bekas di dalam hubungan atau komunikasi sosial yang mereka lakukan. Untuk keperluan ini selanjutnya akan disampaikan pernyataan enam orang konsumen atau pengguna pakaian bekas yang sekaligus merupakan responden penelitian ini. 280
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sementara untuk menggagapi persoalan jenis-jenis kenikmatan sebagaimana yang dialami oleh para konsumen pakaian bekas atau responden, fokus atau titik perhatian akan diarahkan pada pelbagai respon spontan yang muncul dalam pelbagai keterangan sebagaimana mereka kemukakan dalam serangkaian wawancara. Respons responden tersebut selanjutnya ditafsirkan berdasarkan kaitannya dengan uraian yang telah diuraiakan pada bagian sebelumnya. JN, laki-laki, 22 tahun, asal Flores, mahasiswa Fakultas Farmasi, UGM menyatakan pengalamannya sebagai berikut:
“Sudah 2 tahun lebih kalau cari baju saya carinya ke kios pakaian bekas. Yang saya incar dari pakaian bekas itu tiga, Kak. Selain murah, model, motif, warna, dan motif. Saya suka baju model klasik, motif polos, dengan warna kalem. Kalau merk, di antara merk-merk kalau ada saya suka Abercrombie, DKNY, Fossil, atau New Look. Kalau beli baru di mall gambling, Kak. Sudah model sama semua dia punya warna parah! Terang-terang semua, nggak cocok sama kulit saya yang hitam. Pokoknya menderita-lah kalau ke mall!68
Dari pengalaman sebagaimana diungkapkan JN di atas diketahui bahwa apa yang ia pertahankan dari pakaian bekas merupakan perpaduan atau kombinasi antara model, motif atau corak bahan yang unik, warna yang sesuai kulit, dan merkmerk ternama seperti Abercrombie Fitch, DKNY, Fossil, atau New Look. Menarik kiranya untuk memperhatikan ungkapan yang dikemuakan JN, yakni bahwa mall baginya bukan tempat yang pas untuk dikunjungi jika harus membeli pakaian. Tempat yang oleh banyak orang, terutama anak muda, merupakan surga itu justru ia rasakan sebagai tempat yang sebaliknya. Mall bagi JN justru merupakan tempat yang melahirkan “penderitaan”, sebab di sana tidak ada kepastian. Yang dominan
68
Wawancara dengan JN pada 13 Juni 2010.
281
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
terjadi justru gambling, ketidakpastian, adu nasib. Di samping modelnya yang seragam, koleksi warna pakaian sebagaimana di mall yang sangat mencolok justru menjadi persoalan bagi konsumen seperti JN karena tidak cocok dengan warna kulinya yang hitam. Sebaliknya di gerai pakaian bekas JN justru menemukan keberhasilannya dalam membuka jalan keluar dari “penderitaan” karena warna kulit yang ia miliki. Sementara itu, RA, perempuan, 22 tahun, asal Bangka, mahasiswi Fakultas Kedokteran, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta menyatakan perasaannya sebagai berikut:
“Untuk keperluan pakaian, sejak pertama kali datang ke Yogya tahun 2007 hingga kini saya larinya ke pakaian bekas. Habisnya kalau beli pakaian di mall seringnya malah dapatnya sebel. Di mall jarang dapat pakaian yang pas dengan ukuran tubuh saya yang ... aduhai...ii... besar ... [Tertawa: pen]. Jadinya ya gitu deh, Mas. Dapetnya pakaian taman kanak-anak alias kekecilan. Pergi ke penjahit sekarang makin sulit dicari. Dulu pernah tapi hasil nggak jelas gitu, muntir-muntir gitu. Di kios pakain bekas sebaliknya. Saya nggak pusing-pusing. Jarang menemukan masalah dengan ukuran pakaian. Saya secara leluasa bisa nemuin celana atau baju dengan ukuran luar negeri yang besar gitu. Yang big size gitu. Belum lagi, kualitas bahan dan jahitan pakaiannya juga terjamin. Nyaman dan nggak gampang rusak. Meski tak jarang masih harus motong, misalnya bagian kaki untuk celana karena kepanjangan. Tapi itu jauh lebih baik daripada harus beli baru di mall yang sudah bisa dipastikan akan kekecilan dan nyiksa.”69
Apa yang dipertahankan RA dari pakaian bekas mengombinasikan harga murah, model baju dan celana dengan ukuran khusus (bigsize), kualitas bahan dan jahitan yang baik, dan presisi potongan yang akurat sehingga nyaman dikenakan. Mall rupanyan menjadi biang masalah bagi konsumen pakaian. Mall tidak ubahnya
69
Wawancara dengan RA pada 13 Juni 2010.
282
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“lubang buaya” bagi RA, sebab yang mampu ia sediakan hanya baju yang berukuran jauh lebih kecil dari ukuran tubuhnya sehingga ia pun kemudian merasa tersiksa baik fisik maupun psikis. Sementara tukang jahit yang ada di Yogyakarta pun semakin lama selain semakin sedikit jumlahnya juga makin sedikit juga kemampuannya dalam membuat pakaian yang sehingga nyaman dikenakan. Di gerai pakaian bekas RA secara leluasa bisa menemukan celana dengan ukuran yang pas atau sesuai dengan ukuran tubuhnya yang besar atau berada di atas ukuran rata-rata. Meski kadang harus melakukan modifikasi ukuran karena kepanjangan. M, laki-laki, umur 36, asal Semarang, anggota TNI Angkatan Darat berpangkat kapten, mengemukakan pengalaman singkatnya sebagai berikut:
“Mungkin karena saya ini seorang tentara, ya. Jadi kalau ke sini yang saya beli paling sering jaket atau celana doreng. Dorengnya bukan TNI tapi seperti dorengnya tentara PBB atau Amerika yang warna hijau tanah itu. Rasanya mantep dapat yang begitu. Soal merk saya nggak tahu banyak dan nggak begitu peduli. Yang penting kualitas bahannya bagus dan nyaman dipakai.”70
Meski menyatakan bahwa ia sama tidak begitu peduli dengan persoalan merk pakaian yang ia beli, dari apa yang diungkapkan kapten M di atas tampak bahwa ia masih mempertimbangkan hal lain dari pakaian bekas yang dibelinya. Apa yang dipertimbangkan dari pakaian bekas merupakan perpaduan antara harga yang murah dengan jenis pakaian berupa jenis jaket dan celana khusus (tentara), model cargo, kualitas bahan bagus, dan warna menarik, yakni warna tosca ala seragam tentara PBB atau Amerika sebagai rujukan. Tidak dengan mall atau model pertukaran mode modern lainnya, lagi-lagi gerai pakaian bekas mampu memenuhi imajinasi konsumen
70
Wawancara dengan M pada 14 Juni 2010.
283
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
seperti halnya Kapten M yang ingin memiliki jaket doreng ala tentara PBB atau Amerika yang selain memiliki kualitas bahan dan jahitan yang baik, juga memiliki warna tanah yang menarik. Sedangkan H, laki-laki, umur 36, asal Magelang, anggota polisi berpangkat Komisaris Polisi (dulu Mayor), menyatakan pengalamannya sebagai berikut:
“Yang biasa saya beli di sini jaket. Jaket panjang seperti yang dipakai Indiana Jones itu. Dulu dapat warna hitam, ini dapat lagi, tapi tinggal warna krem muda. Syukur masih dapat. Banyak yang mengingini soalnya, Pak. Saya nggak bingung-bingung dengan merk. Yang penting kualitas bahan dan jahitan baik, dan potongannya pas di badan, jadi nyaman dipakai. Yang saya beli baru bulan lalu di Carefour sudah mahal jahitannya ndak kuat, potongan lengannya muntir-muntir. Jadi males saya nganggone.Wis larang ora pokro.”
Seperti halnya pengalaman Kapten M, apa yang dipertahankan dari pakaian bekas oleh Komisaris HK adalah selain harganya yang murah juga merupakan perpaduan antara jenis jaket bahan, kualitas bahan dan jahitan bagus, presisi potongan yang cermat sehingga yang nyaman atau tidak muntir-muntir, buatan luar negeri, serta model yang okey -- model anorak ala aktor film Harrison Ford dalam “The Indiana Jones” in series –juga karna bahan yang baik. Satu hal yang bertolak sangat bertolak belakang dengan pengalamannya menggunakan jaket baru keluaran Carefour yang baru ia beli bulan yang lalu tetapi justru memiliki kualitas jahitan yang tidak baik dan tidak dan nyaman saat dikenakan. Selain itu jaket itu menurut dia meskipun memiliki harga yang menurut kekuatan ekonominya terbilang mahal, tetapi kualitasnya justru sangat jelek. Satu kondisi yang membuatnya malas untuk mengenakannya lagi.
284
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sementara itu K, laki-laki, 26 tahun, asal Pati, musisi beraliran trash-metal, FADHALIUS, menyatakan pengalamannya sebagai berikut:
“Yang biasa saya beli di rombengan kalau ndak celana ya jaket kulit. Warnanya kalau ndak hitam ya coklat. Modelnya yang lengket badan. Saya beli untuk manggung. Soal merk saya ndak mikir, ndak merk-merkan, Mas. Yang penting kualitas bahan dan jahitan bagus, dan nyaman dipakai. Kalau beli baru, selain mahal, bahannya makin jelek. Di rombengan meski sedikit harus telaten milih tapi puas karena model dan kualitasnya kebanyakan sangat baik. Rombengan luar (negeri: pen) tetap lebih baik. Saya suka ambil jaket kulit yang dari Korea. Senenge pol kalau dapat yang itu, selain awet model juga bagus”71
Dari keterangan di atas, seperti halnya H dan M, mesti menyatakan tidak memikirkan merk, K masih memertahankan pakaian bekas dari unsur lainnya. Apa yang ia dipertahankan K dari pakaian bekas merupakan mengombinasikan unsur harga yang murah, model fitted (pas badan), kualitas bahan dan jahitan baik, jenis tertentu yakni celana panjang atau jaket, kualitas dan bahan kulit yang baik, warna hitam atau coklat dengan kualitas baik, serta buatan luar negeri. Jaket kulit asli Korea yang ia temukan di gerai pakaian bekas membuatnya senang. Lagi-lagi, kalau membeli baru di mall selain mahal, ia menilai bahwa kualitas bahannya semakin hari justru semakin jelek. Sementara itu SD, perempuan, 20 tahun, asal Menado, mahasiswi Politeknik Akademi Perhotelan Indonesia, Yogyakarta, mengungkapkan pengalamannya sebagai berikut: “Saya kenal pakaian bekas setelah beberapa bulan ada Yogya. Sekarang boleh dibilang saya pelanggan tetap. Di Menado ada juga. Di sana istilahnya “Babe” -- Barang Bekas. Salah satu pusat jualnya persis di sebelah gereja biasa kita beribadat. Kebetulan sebelah 71
Wawancara dengan K pada 14 Juni 2010.
285
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
gereja ada tanah kosong. Pakaian ditaruh di bangku dari kayu atau bambu, lalu di atasnya tenda-tenda gitu, tidak seperti di sini ditata bagus di kios-kios. Dulu kalau belanja pakaian saya seringnya ke Davao atau Manila, di Filipina. Pertama kali di Yogya kalau beli baju ya ke mall. Tapi lama-lama saya berfikir, masak baju yang saya beli di Davao ada juga di Menado, ada juga di Yogya. Belum yang dijual gitu-gitu juga. Nggak merk-nya, nggak model-nya sama. Anehnya kadang baju dengan merk sama, model sama di Menado jauh lebih mahal dari yang di Davao atau Yogya. Yang disebut pakaian retail seperti D&G atau DKNY sama saja. Modelnya sekarang nggak ada beda dengan model pakaian yang dari China atau Korea. Semuanya ngikut trend mode, sih. Coba deh, Mas perhatikan. Kalau yang lagi ngetrend itu model kotak-kotak, semua mall di Indonesia pasti jual kota-kotak. Hari ini apanya, katakan modelnya. Besoknya apanya, warnanya. Besoknya apanya, potongannya. Besoknya apalagi, gituuu terus nggak putus-putus. Karenanya saya memutuskan lari ke pakaian bekas. Yang asyik kalau belanja di rombengan itu pas bongkar-bongkar itu lho. Bongkar-bongkar, lalu tarik. Seperti orang memancing itu. Jadi ada deg-degannya gitu. Kalau pas narik tapi dapat yang nggak cocok, lempar lagi. Cari lagi. Terus! Nah kalau pas dapet, hati senang sekali. Pas dapet pakaian yang cocok dengan keinginan kita. Itu asyiknya. Nyari-nyari itu yang menurutku asyiknya belanja di rombengan. Belum lagi nanti dapat potongan kalau beli dalam jumlah tertentu. Saya sukanya cari di rombengan di Sekatenan, di alun-alun. Di sana pakaian banyak yang belum ditata, hanya digeletakin di box kayu. ”72
Dari lima pengalaman sebagaimana dikemuakan oleh para konsumen atau responden di atas, tampak bahwa kenikmatan (pleasure, jousance) konsumen mengenakan pakaian bekas terletak pada kemampuan pakaian bekas yang mereka kenakan dalam melampaui realitas dan imej sebagaimana disodorkan pasar mode modern kepada mereka. Hal yang demikian itu tercermin dari spontanitas yang dimunculkan para konsumen pada saat menemukan pakaian yang mereka inginkan. Para konsumen rata-rata diliputi dengan perasaan senang yang luar biasa, seperti terungkap dalam kata seperti “seneng banget”, “seneng pol”, atau ungkapan 72
Wawancara dengan SD pada 13 Juni 2010.
286
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
relaksasif-orgasmik seperti “terbebas dari penderitaan” dan terbebas dari “siksaaan”. Sebuah pengalaman histeria dari seseorang yang berhasil menemukan sesuatu yang selama ini sangat diinginkan dan seharusnya bisa secara mudah dan jauh-jauh hari bisa didapatkan dalam model dan bentuk konsumsi mode modern, tetapi justru baru belakangan mereka dapatkan lewat pakaian bekas. Sebuah pengalaman yang muncul saat saat seseorang menemukan sesuatu yang ia rasakan “mathuk”, cocok, dengan seleranya. Apa yang perlu mendapatkan perhatian adalah bahwa histeria yang dialami oleh kelima konsumen atas invensi mereka terhadap pakaian bekas sama sekali berbeda dari histeria sebagaimana dirumuskan Lacan sebagaimana dialami seseorang pada tahap cermin. Pengalaman histeria kelima konsumen ini tidak sama dengan histeria invensif seseorang yang berada di dalam dunia imajiner. Sebuah pengalaman saat seseorang menemukan objek kenikmatan sebagaimana dipantulkan oleh objek-objek
kenikmatan dalam bentuk imej atau gambar lewat objek
kenikmatan (object a) atau liyan imajiner. Pelbagai ungkapan sebagaimana dinyatakan oleh para konsumen sendiri merepresentasikan ketidakmampuan pasar modern dalam membayangkan atau memperhitungkan kebutuhan mereka yang sebenarnya. Sangat jelas diketahui bahwa dengan mengenakan pakaian bekas para konsumen pakaian bekas tengah membawakan pleasure berupa semangat anti pasar modern. Lewat pelbagai identitas atau properties sebagaimana dibawakan oleh pakaian bekas seolah-olah para pengguna itu menjadi orang sangat ahli di bidang pakaian secara umum atau ahli di bidang bahan, potongan, model, desain, ukuran, dan hal-hal khusus lainnya. Hal seperti ini menggaribawahi bahwa pakaian bekas 287
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang mereka kenakan memberinya kenikmatan untuk mengembangkan imajinasi atau fantasi ke alam atau realitas lain. Ungkapan Kompol H yang terkesima (mesmerize) dengan jaket kulit model anorak cukup menarik. Hal itu mengingatkan pengalaman pada jas kotak-kotak (hitam putih, karena TV waktu itu masih hitam putih) sebagaimana dipakai oleh aktor Film Mannix yang diputar di TVRI era 1970an, juga rompi kulit yang mengingatkan pada Film Bonanza atau The Wild Wild West. Pointnya bukan pada bagaimana konsumen mengidentifikasikan diri dengan aktor-aktor film Hollywood, tetapi bagaimana pakaian bekas mampu melahirkan fantasi akan memori tentang hal-hal yang indah di masa silam. Lewat pakaian bekas masa silam konsumen selain bisa menjadi sangat dekat, juga bisa tampil lebih menarik untuk dihadirkan kembali dalam ingatan pada masa sekarang. Hal yang demikian ini kiranya menarik untuk dikontraskan dengan komentar
mereka
tentang
pakaian
baru
sebagaiman
dikeluarkan
atau
diperjualbelikan oleh mall-mall atau department store lainnya. Nada atau komentar sebagaimana dikemukakan oleh para konsumen sangat jelas menggarisbawahi pengalaman kekecewaan. Pakaian bekas dalam hal ini bisa ditempatkan sebagai semacam candu yang bisa menenangkan atau membahagiakan pengguna. Hal itu karena di dalamnya terkandung kekuatan untuk melahirkan fantasi. Menarik untuk diajukan pertanyaan: apakah dengan demikian mengkonsumsi pakaian bekas bisa juga menjadi fetish? Kalau benar, fetish macam apa yang lahir dari mengonsumi pakaian bekas? Pada apanya fetish itu berada? Pada kenikmatan mencari-carinya atau pada apanya? Jenis
kenikmatan
selanjutnya
barangkali
adalah
kenikmatan
akan
personalitas atau individualitas. Di tengah kuatnya dan derasnya pelbagai bentuk 288
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
penyeragaman dalam dunia mode modern, pakaian bekas menawarkan otentisitas. Otensititas ini diperlukan untuk menjamin individualitas atau ketidakyakinan yang tidak mereka dapatkan dari mode dan model konsumsi mode modern. Di tengah iklim konsumsi mode modern yang serba tidak ada bedanya, kembali orang merindukan hal yang otentik. Menjadi diri sendiri lewat pakaian bekas, berjarak dengan kesamaan dan penyeragaman dengan liyan. Menjadi berbeda di tengah penyeragaman yang diamini secara sosial dan budaya kiranya bukan menjadi suatu hal yang salah. Individualitas membawa pengguna pakaian bekas untuk memasuki kedalaman ruang yang sepi, tidak bising dan hiruk pikuk. Sejajar dengan individualitas adalah ontentisitas. Pengguna merasa dirinya otentik, dalam arti hanya satu-satunya yang berbeda di antara beribu orang yang sama karena mengenakan pakaian yang sama dan sulit dicerna karena terlalu cepat berganti. Demikian dari ungkapan SD di atas, ada jenis kenikmatan yang muncul ketika konsumen mencari-cari pakaian bekas yang masih digeletakkan begitu saja di dalam box kayu sebagaimana era-era awal 1980-an. Dari aktivitas semacam itu SD merasakan sensasi berupa pengalaman deg-degan: antara mendapatkan pakaian yang ia inginkan dengan pakaian yang tidak ia inginkan. Sejak awal sudah pasti ia sama sekali tidak memiliki pengetahuan atau bayangan tentang pakaian yang diperjualbelikan di gerai rombengan yang mangkal dalam acara sekaten. Dengan demikian seolah tanpa peta SD terus berjalan, mencari pakaian yang sesuai dengan keinginannya. Manakala mendapatkan pakaian yang tidak sesuai keinginannya, ia juga tidak pernah risau untuk melemparkannya secara asal-asalan dan untuk kemudian mencari-cari lagi. Demikian halnya ketika pada satu kesempatan ia mendapatkan pakaian sesuai dengan apa yang ia harapkan ia merasa senang. 289
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pengalaman mendapatkan sensasi lewat cara mencari-cari ini sudah bisa dipastikan tidak akan pernah ia dapatkan di mall. Di mall rata-rata pakaian selain sudah tertata, juga sudah punya nama atau sudah punya identitas sejak awal; termasuk juga harganya; serta tidak lagi bisa dinegosiasikan harganya (fixed prise). Pakaian di mall tidak lagi memiliki rahasia atau sesuatu yang tersembunyi sehingga karenanya perlu lebih dulu ditebak-tebak.. Dari ilustrasi di atas bisa disampaikan tiga temuan terkat dengan kenikmatan. Pertama, subjek konsumen pakaian bekas menemukan kenikmatannya manakala mereka tidak mau disedot atau ditarik sepenuhnya oleh bahasa pasar lewat konsumsi mode masyarakat dan budaya konsumen sebagaimana berlangsung pada zaman sekarang. Dengan kata lain kenikmatan yang dirasakan oleh subjek konsumen pakaian bekas adalah terletak pada kemampuannya dalam mengatasi atau mensiasati bahasa pasar yang sangat omnipotent sebagaimana direpresentasikan dalam pelbagai bentuk dan model konsumsi mode modern dan disebarluaskan lewat perdagangan atau situs-situs konsumsi modern.
Kedua, subjek konsumen pakaian bekas
menemukan kenikmatannya manakala mereka bisa mengakali aturan bermode sebagaimana berkembang secara sangat cair dalam masyarakat konsumen zaman sekarang. Dengan kata lain kenikmatan yang dirasakan oleh subjek konsumen pakaian bekas terletak pada kemampuannya dalam mengatasi keharusan berpakaian (Name-of-the-Father) sebagaimana berkembang luas dalam masyarakat dan direpresentasikan dalam pelbagai bentuk aturan bermode atau berpakaian. Ketiga, subjek konsumen pakaian bekas menemukan kenikmatan ketika mereka harus, mengawul-awul, menduga-duga, atau menemui hal yang belum pasti pada saat berbelanja. Kenikmatan yang masih harus ditentukan belakangan. 290
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
B.3. Kreativitas Subjek Sublimasi 2: Penghancuran Rantai Kebaruan Lewat Recycle Culture.
Sebagaimana telah disinggung dalam beberapa bagian tulisan, konsumsi mode modern menggarisbawahi nilai-nilai yang merepresentasikan kemajuan (progress) seperti: serba baru (new), cepat berganti (ephemeral), dan sesuai zaman (up to date). Pada titik ini konsep kemajuan harus dibedakan dari konsep pergerakan, pergantian, dan perubahan. Kata bergerak, berganti, dan berubah tidak berarti berpadanan makna dengan kata maju. Konsep kemajuan (progress) merupakan warisan filsafat pencerahan yang sejauh ini merupakan jantung atau paradigma kehidupan modern. Apa yang dimaksudkan dengan kemajuan adalah perubahan yang berjalan melalui sebuah skema dan dialektika kebaruan. Di dalam proses itu sebuah kebaruan pada dasarnya merupakan terminal sekaligus objek yang menunggu untuk didekonstruksi oleh kebaruan berikutnya. Hal yang demikian berjalan terus menerus tanpa mengenal titik pemberhentian, sebagaimana kredo mereka bahwa “kepuasan mereka adalah ketika tidak pernah menemukan kepuasan.” Dengan demikian sejarah modernitas yang berkembang hingga saat ini pada hakikatnya tidak lebih tidak kurang hanyalah sejarah kebaruan itu sendiri. Demikian halnya dengan kata-kata seperti “selalu baru”, “cepat berganti”, dan “sesuai zaman” dalam model konsumsi mode modern menunjuk langsung pada aspek perubahan kondisi dan kualitas hubungan orang dengan komoditas. Sebuah hubungan yang disarati dengan pelbagai pergerakan, pergantian, dan perubahan mode (dalam arti gaya) dalam satu tempo dengan skala percepatan yang semakin 291
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tingggi. Kegairahan dan keterpesonaan pada
kecepatan pada gilirannya akan
menggiring masyarakat kontemporer bergerak menuju ke satu titik di mana seolaholah tidak ada lagi titik yang memungkinkan mereka untuk kembali. Dengan demikian modernitas tidak hanya ditandai oleh dialektika kebaruan, akan tetapi juga oleh dialektika kecepatan. Dalam kehidupan masyarakat dan budaya konsumen sekarang ini aspek kebaruan dan kecepatan menjadi ukuran dan aturan yang diterima umum sebagai sebuah kepastian atau hukum. Sebagai sebuah hukum, ia memiliki legalitas untuk mengikat, mengarahkan, dan memaksa orang yang terlibat di dalamnya dalam membuat perhitungan dan keputusan saat berhubungan dengan komoditas; tidak terkecuali pakaian. Persoalan progresivitas konsumsi sebagaimana direpresentasikan oleh pakaian di tengah-tengah masyarakat dan budaya konsumen dewasa ini menjadi satu hal mendasar dan mendapatkan perhatian besar. Hubungan antara konsumen dan pakaian selanjutnya ditentukan berdasarkan unsur kebaruan sebagaimana dialami dalam rutinitas hidup, yakni: seberapa baru pakaian yang tengah digunakan konsumen, seberapa sering atau berapa kali konsumen mengganti pakaian yang digunakannya dalam sebulan, seberapa dekat pakaian yang konsumen gunakan dengan mode (dalam arti model) terbaru yang tengah berlaku dan digandrungi masyarakat secara luas. Dalam perkembanghan kemudian partisipasi orang dalam hubungan sosio-kultural saat ini tidak lagi dilihat berdasarkan pada kualitas komunikasi dan ide-ide segar yang diajukan, melainkan lebih ditentukan oleh seberapa dekat pakaian yang tengah digunakan orang yang bersangkutan merepresentasikan cita rasa kebaruan. Kebaruan sebagaimana menjadi unsur tanda oleh orang zaman sekarang telah difetishkan. Mengenakan baju baru dengan model 292
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
baru dengan merk terbaru seolah menjadi orang yang baru dari segi pemikiran dan kebijakan. Berangkat dari uraian sebagaimana dikemukakan di atas,
keberadaan
pakaian bekas dalam masyarakat Yogyakarta sebagaimana disebarluaskan lewat perdagangan merepresentasikan penghancuran rantai kebaruan yang menjerat orang zaman sekarang. Sebuah jerat yang diskemakan dalam progresivitas dan linearitas waktu modern. Sebuah skema dan cetak biru yang sampai detik ini menjadi jantung dan paradigma budaya dan masyarakat modern. Di tengah-tengah laju kecepatan dan percepatan konsumsi mode modern, keberadaan pakaian bekas menjadi poros penghalang bagi perkembangan dan pergerakan pakaian-pakaian baru sebagaimana direproduksi dan disebarluaskan oleh kapitalisme pasar. Menggunakan pakaian bekas dengan demikian berarti menghancurkan jerat rantai kebaruan yang dalam konsumsi modern merupakan sesuatu yang sangat sentral. Menggunakan pakaian bekas dengan demikian bisa ditempatkan sebagai sebuah strategi negosiasi sebagaimana dimainkan oleh para konsumen dalam mengatasi problem kebaruan yang menyerimpung banyak orang. Pakaian bekas ditempatkan sebagai wacana tanding atas model konsumsi mode modern sebagaimana direpresentasikan dalam reproduksi dan gerak perputaran pakaian baru sekaligus siklus mode sebagai blueprint-nya. Di tengah dunia konsumsi mode masyarakat yang sudah mencapai tahap neurotik dan sarat dengan hal-hal yang paradoksal, para pengguna pakaian bekas dengan demikian merepresentasikan subjektivitas para teroris. Subjektivitas orang yang sudah amat jengah terhadap para penganut, penjaga, dan penyembah modernitas yang meyakini gerak kebaruan berjalan ritmis secara clock-wise, dan 293
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ajeg seperti yang mereka kotbahkan selama ini. Kebaruan yang berjalan secara linear: detik, menit, jam, minggu, bulan, tahun. Para pengguna pakaian bekas merepresentasikan subjektivitas para pengaco dalam arti lawakan. Apa yang dilakukan sama sekali bukan dimaksudkan untuk memutar waktu yang telah terlanjur bergerak maju dan berada dalam tingkat akselerasi yang sangat cepat agar kembali ke titik awal secara counter clock-wise (berlawanan dengan arah jarum jam), tetapi sekedar untuk memain-mainkan tempo sehingga orang akan menemukan kemurnin waktu. Waktu yang tidak dilihat secara linear layaknya orang-orang modern zaman kita saat ini. Melalui kombinasi para pengguna pakaian bekas menjungkirbalikkan aspek kebaruan dalam bahasa mode baik arah maupun susunannya secara anedoktal. Pakaian paling baru baik dalam pengertian kondisi maupun modelnya sebagaimana dimiliki oleh para konsumen pakaian bekas dikombinasikan dengan pakaian yang paling lama. Demikian halnya pakaian dengan merk terbaru atau tengah ngetrend ditempelkan dengan pakaian lama yang sangat boleh jadi sudah masuk kategori out of date. Para pengguna pakaian bekas bisa diibaratkan dengan seseorang yang penuh kepercayaan diri ke sana ke mari membawa koran edisi 2000 di tahun 2013. Apa yang dilakukan oleh para konsumen atau pengguna pakaian bekas mengingatkan almarhum Basiyo pelawak (pendagel) Metaraman dalam sebuah lakon “Basiyo mBecak” dalam memandang persoalan kebaruan. Dalam hal ini Basiyo yang tukang becak, yang secara finansial kurang, hanya mengenal satu rumus dalam hal makan. Basiyo mengemukakan satu rumus: “sego anget enak banget, sega wadang enak, sega mambu rada enak”. (Nasi hari ini enak sekali, nasi kemarin enak, nasi
294
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kemarinnya agak enak). Mengikuti “ajaran” Basiyo, tidak ada pakaian yang bisa sepenuhnya menjadi lama, demikian sebaliknya. Para konsumen atau pengguna pakaian bekas dalam hal ini menegosiasikan kecenderungan cara orang zaman sekarang dalam memahami persoalan kebaruan dengan menyodorkan pelbagai kombinasi kemungkinan. Lewat pakaian bekas para konsumen atau pengguna pakaian bekas membuka celah kemungkinan konsumsi yang oleh sebagian besar orang sudah dianggap sebagai sesuatu yang tertutup, muskil, atau bahkan sama sekali tidak punya faedah untuk dikerjakan. Hanya dengan begitu persoalan tentang kebaruan bisa dibicarakan dan ditata ulang secara bersama-sama sehingga bisa menjamin humanitas tanpa terjerembab pada pusaran kebaruan ala modernisme itu sendiri. Para konsumen atau pengguna pakaian bekas dengan demikian berusaha meyakinkan kepada khalayak bahwa pakaian bekas masih memiliki sesuatu yang ketika dicecap masih menghasilkan rasa manis. Dengan demikian karenanya bagi sebagian orang pakaian bekas masih menyisakan rasa manis yang cukup Dengan demikian karenanya manisnya pakaian bekas bagi sebagian orang kiranya belum akan segera menjadi sudah!
295
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bab V PENUTUP
Yogyakarta kontemporer merupakan dunia yang mengalami perubahan wajah dan penampilan secara sangat dramatis. Sebagaimana kota-kota lain di Indonesia yang tengah bertumbuh wajah dan penampilan dunia Yogyakarta pada masa
kini
tidak
lagi
ditentukan
oleh
kreativitas
dan
nilai-nilai
yang
merepresentasikan keluhuran (adiluhung) budaya, keindahan, atau keutamaan ajaran moral sebagaimana terjadi pada beberapa waktu yang telah silam. Dalam satu dasa warsa terakhir wajah dan penampilan Yogyakarta lebih banyak dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor konsumsi sebagaimana ditandai dengan pelipatgandaan dan pergerakan objek-objek konsumsi atau bentuk-bentuk komoditas. Seiring dengan perjalanan waktu multiplikasi dan pergerakan objek-objek konsumsi atau bentuk komoditas yang hadir secara massif dan massal itu semakin meruyak dalam kehidupan masyarakat di pelbagai segi. Pelbagai objek konsumsi atau bentuk komoditas itu pun pada akhirnya secara gemilang berhasil mengubah dunia Yogyakarta masa kini sebagai sanctuaria konsumsi. Salah satu objek konsumsi atau bentuk komoditas yang ikut mengambil bagian dalam kemeriahan festival konsumsi masyarakat Yogyakarta pada masa kini adalah pakaian bekas. Di tengah pelbagai macam bentuk dan model konsumsi yang menawarkan pelbagai bentuk kemewahan dan citarasa modern (mutakhir), keberadaan pakaian bekas dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer kiranya bisa ditempatkan sebagai merepresentasikan situasi yang paradoksal. Sebagai sebuah 296
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
paradoks, keberadaan pakaian bekas itu tak pelak kemudian mengejutkan banyak kalangan. Lebih mengejutkan lagi bahwa melalui mekanisme perdagangan atau pasar, selama lebih dari satu dasawarsa sejak kemunculan awalnya pada akhir tahun 1990-an keberadaan pakaian bekas berhasil mendapatkan animo dan antusiasme publik. Bahkan ia pun mendapatkan apresiasi dan akseptabilitas sosial sebagaimana ditandai dengan tingginya hasrat sebagian besar masyarakat Yogyakarta untuk mengonsumsinya. Dengan demikian selama kurun waktu itu pakaian bekas tidak saja berhasil memantapkan diri sebagai salah satu dari sekian banyak situs konsumsi yang ada di tengah masyarakat Yogyakarta kontemporer, tetapi lebih dari itu ia telah menjadi bagian dari sejarah konsumsi atau gaya hidup (lifestyle) masyarakat Yogyakarta kontemporer. Selanjutnya dalam pengamatan yang lebih dekat, secara psikologis pakaian bekas juga merepresentasikan pengalaman traumatik sebagaimana dialami oleh sejumlah konsumen pada masa lalu. Keberadaan pakaian bekas di tengah-tengah kehidupan budaya dan masyarakat konsumen seperti halnya Yogyakarta dewasa ini merepresentasikan pengalaman negativitas sebagian masyarakat dalam usaha mereka untuk memenuhi kebutuhan akan pakaian. Dengan kata lain konsumsi pakaian bekas merepresentasikan simptom atas pengalaman negatif yang selama berkembang dalam ketidaksadaran sebagian konsumen pakaian di Yogyakarta. Pengalaman negativitas sebagian konsumen pakaian yang dimaksudkan adalah mengacu pada hilangnya kemampuan mereka dalam membuat perhitungan dan dalam menjatuhkan pilihan berkenaan dengan bentuk komoditas pakaian sebagaimana yang mereka inginkan. Sementara itu pengalaman negativitas itu sendiri secara langsung dipicu oleh pelbagai bentuk dan model konsumsi mode 297
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebagaimana berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat Yogyakarta kontemporer. Sudah sejak lama pelbagai bentuk dan model konsumsi mode (pakaian) yang ada di Yogyakarta sangat menekankan pada nilai-nilai yang sejauh ini dipandang merepresentasikan modernitas mode, seperti
serba baru (new), cepat berganti
(ephemeral), dan mutakhir (up to date). Perubahan itu semakin menemukan momentumnya ketika gerak industri ikut mendukungnya. Hal yang demikian itu berdampak serius, karena selain membuat produksi dan pergerakan pakaian yang semakin cepat, dari sisi mode (dalam arti model) perkembangan itu kemudian cenderung berjalan ke satu arah. Pelbagai jenis komoditas pakaian sebagaimana disebarluaskan lewat mekanisme perdagangan atau pasar mode modern mulai dirasakan oleh sebagian orang konsumen pakaian menjadi seragam dan menafikan pilihan atau alternatif di luar apa yang disediakan pasar. Pelbagai model dan bentuk konsumsi mode yang ada dalam masyarakat Yogyakarta saat sekarang dinilai oleh sebagian orang konsumen semakin lama semakin menghimpit perasaan. Hal itu karena pakaian yang ada sekarang semakin tidak sensitif
terhadap pelbagai
keinginan konsumen, bahkan meniadakan pilihan atau alternatif. Satu-satunya pilihan yang diberikan pasar di bidang mode sejauh ini tidak lain hanyalah keseragaman, dan alternatif yang disodorkan hanya satu, modern. Dari perspektif psikologis, persis di titik inilah permasalahan kemudian berkembang semakin mendalam. Pelbagai properties atau identitas sebagaimana direpresentasikan lewat beragam jenis pakaian baru yang disediakan pasar dirasakan oleh sebagian konsumen justru mengancam identitas dan subjektivitas mereka. Sebagian konsumen mengalami alienasi dan ambiguitas lewat pakaian yang mereka 298
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kenakan. Mereka merasakan bahwa identitas dan subjektivitas yang harus mereka bawakan melalui pakaian dalam berhubungan atau komunikasi sosial tidak sesuai dengan kenikmatan primordial yang pernah mereka kenyam pada waktu lampau, pada masa kanak-kanak mereka. Di tengah multiplikasi dan pergerakan komoditas yang semakin hari semakin cepat dan di tengah arus konsumsi masyarakat dan budaya konsumen yang telah sedemikian rupa mengalami – meminjam istilah Jean Baudrillard – “general hysteria”, para konsumen harus menerima kenyataan yang sama sekali berada di luar perkiraan mereka. Para konsumen pakaian saat ini harus menerima kenyataan yang sama sekali bertolak belakang dengan harapan mereka. Keinginan konsumen untuk mendapatkan pakaian dengan model yang sesuai dengan apa yang mereka inginkan belakangan hari menjadi sesuatu yang sangat mahal, bahkan menjadi sebuah kemustahilan. Harapan bahwa para konsumen memiliki kedaulatan dalam membuat pertimbangan dan keputusan berkaitan dengan persoalan
pakaian
menjadi
terpinggirkan
sedemikian
rupa.
Menghadapi
ketidakmungkinan dalam mempertimbangkan dan menentukan model pakaian yang dipandang sesuai keinginan mengkondisikan sejumlah besar konsumen pakaian untuk merepresi dan mengunci rapa-rapat harapan mereka ke alam bawah sadar. Akan tetapi dalam titik kisar selanjutnya, apa yang selama ini direpresi itu pun muncul ke permukaan sebagai sebuah gejala atau simptom. Dihadapkan pada performa dan arah konsumsi mode masa kini yang telah sedemikian rupa ditentukan oleh wacana modernitas, sebagian konsumen kemudian mulai membayangkan dan berusaha menemukan konsumsi alternatif sebagai jalan keluar. Sebuah bayangan dan upaya yang dalam perkembangan kemudian mereka arahkan kepada pakaian bekas. . 299
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pakaian Bekas dan Identitas
Sebagaimana disinggung di atas, pakaian bekas merepresentasikan pemenuhan kebutuhan konsumen akan identitas dan subjektivitas. Saat ini kebutuhan akan identitas dan subjektivitas itu dirasakan oleh sebagian konsumen pakaian sebagai satu hal yang mendesak untuk dipenuhi. Kebutuhan konsumen tersebut berkaitan pelbagai model dan bentuk konsumsi pakaian masyarakat zaman sekarang sudah sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan pasar.
Pasar (industri
pakaian) mengambil peran signifikan dalam menentukan peruahan baik di aras produksi maupun konsumsi masyarakat. Multiplikasi dan pergerakan komoditas pakaian sebagaimana terjadi dalam sistem pertukaran modern atau pasar telah melahirkan kelimpahruahan komoditas. Ideologi modernitas yang dicangkokkan dalam sistem produksi berhasil menghegemoni konsumen untuk mengkonsumsi pakaian sedemikian rupa sehingga mengikuti gerak dan kemauan pasar. Konsumen digiring untuk menerima pergerakan komoditas pakaian dengan model dan jenis yang serba baru, cepat berganti, dan serba mutakhir. Perubahan performa dan arah konsumsi pada gilirannya membidani lahirnya situasi yang paradoksal. Dalam situasi semacam itu konsumen kemudian mengalami goncangan yang berasal dari pengalaman alienasi dan ambiguitas. Para konsumen mulai menemui kesulitan dalam melakukan kalkulasi dan menentukan pilihan konsumsi di antara banyak pilihan yang bergerak cepat. Mereka mengalami kebingungan dalam memilih pakaian manakala dalam perkembangan kemudian pengertian memilih menjadi berhimpit pengertian dengan sama sekali tidak memilih akibat penyeragaman rasa sebagaimana direproduksi pasar. Para konsumen mulai 300
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menemui kekhawatiran manakala pilihan atas komoditas pakaian yang mereka lakukan tiba-tiba cepat sekali menjadi usang. Dari latar belakang kondisi inilah yang kemudian mendorong para konsumen untuk mencari jalan keluar dari persoalan dengan cara mengkonsumsi pakaian bekas. Lewat pakaian bekas inilah para konsumen kemudian melakukan penentuan batas-batas identitas dan subjektivitas mereka dengan cara mengidentifikasikan atau mengidealisasikan diri dengan pelbagai identitas sebagaimana dibawakan oleh pakaian bekas. Mengingat bahwa para konsumen pakaian bekas pada dasarnya telah menapaki fase pasca-cermin berikut, maka penyelesaian problem ambiguitas dan alienasi yang dialami ditempuh dengan cara melakukan identifikasi atau idealisasi dengan pelbagai penanda yang berada diluar tatanan imajiner (pasar) dan tatanan simbolik (masyarakat konsumen). Arah identifikasi kedua (secondary identification) sebagaimana ditempuh oleh para konsumen pakain tidak ditujukan pada pelbagai penanda dalam struktur imajiner atau simbolik, melainkan melampaui keduanya, yakni ke struktur real. Jika apa yang dicari dari proses identifikasi dalam tatanan imajiner adalah imej dan dalam tatanan simbolik adalah makna, maka dalam struktur real yang dicari konsumen adalah sesuatu yang bersifat apa adanya. Sesuatu yang tidak lagi diperhitungkan atau diadopsi sebagai kosakata kedua struktur psikis yang ada, tetapi mampu membangkitkan hasrat. (baca: objek a). Objek yang apa adanya tetapi bisa memantik lahirnya fantasi yang sangat diperlukan sebagai kendaraan (vehicle) bagi para konsumen untuk memproses ulang
traces, pengalaman
negativitas, atau residual energy yang selama ini direpresi dan mengendap sebagai ketidaksadaran.
301
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Di sisi lain sesuatu yang menjadi sasaran identifikasi para konsumen dari pakaian bekas adalah pelbagai penanda yang bisa dipergunakan untuk menghadapi fetishisme konsumsi yang lahir dari pelbagai bentuk dan model konsumsi modern. Sesuatu yang menurut mereka sendiri pas, sesuai, cantik, indah, dan sebagainya tetapi bagi konsumen mode mutakhir merupakan hal biasa, bahkan sudah sangat ketinggalan zaman atau tidak lagi memiliki makna. Sesuatu yang apa adanya adalah bahasa lain untuk menyebut mampu menjadi curahan keinginan dan perasaan penggunanya sendiri. Yang apa adanya adalah sesuatu yang tidak mensyarakat halhal lain, seperti halnya hirarkisasi pakaian. Yang apa adanya adalah sesuatu yang berada
di
luar
pelbagai
properties
atau
identitas
modern
sebagaimana
direpresentasikan lewat pakaian yang sangat menekankan “keunggulan” merk, mode, model, corak warna, gaya, populer, kualitas, baru, dan sebagainya. Identitas yang dicari oleh para konsumen atau pengguna pakaian bekas adalah –meminjam istilah Slavoj Žižek – identitas fantasmatik.
Pakaian Bekas dan Subjektivitas
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa konsumsi atau penggunaan pakaian bekas dalam masyarakat juga bekait berkelindan dengan peroalan konsepsi diri subjek konsumen mode zaman sekarang saat harus berhubungan dengan pakaian. Setelah menetapkan batas-batas identitasnya berupa identitas fantasmatik, subjektivitas konsumen atau pengguna pakaian bekas yang lahir karena konsumsi pakaian bekas adalah subjek sublimasi. Subjek yang lahir karena semangat pemurnian pelbagai penanda atau bahasa sebagaimana diintroduksikan pasar dan 302
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
telah diadopsi oleh masyarakat dan budaya konsumen. Subjek sublimasi adalah subjek yang memiliki kemampuan untuk mengubah dorongan-dorongan libidinal (drive) terkait dengan konsumsi terhadap pelbagai bentuk komoditas pakaian menurut kehendak mereka sendiri. Kehendak yang berada di luar bahasa pasar dan bahasa ideologi fesyen sebagaimana berkembang dalam masyarakat (Law of the Father). Di dalam masyarakat dan budaya konsumen subjek sublimasi adalah subjek yang berani melakukan pembangkangan dan perlawanan terhadap pelbagai tekanan dan ancaman yang berasal dari luar dirinya. Subjek sublimasi dalam hal ini adalah subjek yang berani berseberangan jalan dengan aturan, hukum, perintah, dogma dan sejumlah regulasi lain yang direproduksi dan diterapkan oleh masyarakat dan budaya konsumen. Perlawanan dan pembangkangan itu ditempuh dengan cara memain-mainkan atau menjungkirbalikkan pelbagai aturan, larangan, hukum, dan konvensi bermode sebagaimana berlaku dalam masyarakat. Subjek sublimasi adalah subjek yang berani menggugat kemestian bahasa mode sebagaimana berkambang dalam masyarakat secara kreatif. Subjek sublimasi adalah subjek kreatif yang bisa mentransfigurasikan diri sebagai sosok baru, sekaligus menawarkan pakaian bekas sebagai mode berpakaian zaman sekarang. Subjek sublimasi adalah subjek teroris yang berani mematahkan poros kebaruan sebagaimana telah menjadi salah kaprah tetapi sekaligus menjadi jantung dan paradigma peradaban modern. Cara subjek sublimasi menampakkan perlawanan atau pembangkangannya terhadap bahasa yang berlaku di pasar dan masyarakat dan budaya konsumen tidak dilakukan secara frontal atau diametral sebagaimana subjek perversi. Model perlawanan atau pembangkangan subjek sublimasi terhadap bahasa pasar dan 303
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
masyarakat konsumen itu ditempuh melalui teknik collage. Teknik ini menempatkan unsur-unsur penanda dalam susunan yang menyalahi konfigurasi yang telah sedemikian rupa menjadi sesuatu yang baku dalam sistem bahasa. Konfigurasi bahasa mode lewat teknik collage diubah secara menyalahi aturan bermode yang selama ini berlaku dalam masyarakat. Teknik ini juga mengkombinasikan pelbagai unsur yang menurut kaidah bahasa mode justru bertolak belakang atau saling bertentangan. Dengan demikian teknik collage dalam hal ini bisa ditempatkan sebagai menjadi rejim bahasa (master of signifier) baru di luar bahasa mode yang selama direproduksi sedemikian rupa oleh kekuatan pasar dan dibenarkan atau disyahkan oleh masyarakat dan budaya konsumen. Dari hal di atas tampak juga bahwa sejauh ini subjek sublimasi masih menggunakan pelbagai sistem penanda yang ada dalam masyarakat. Akan tetapi bahasa tersebut dijungkirbalikkan sesuai dengan keinginannya sendiri, sehingga berlawanan dengan tata bahasa, kanon bermode pada umumnya. Dengan demikian meskipun menggunakan bahasa yang telah ada dalam masyarakat, subjek sublimasi tidak pernah menaruh kepercayaan terhadap bahasa yang ada. Apa yang dilakukan oleh subjek sublimasi memiliki kaitan erat dengan kenyataan yang menandaskan kenyataan bahwa Sang Ayah, Sang Bahasa, Yang Simbolik, atau masyarakat yang dijanjikan kepadanya pada fase imajiner dan paruh awal fase simbolik bisa dipakai untuk meresolusi hasratnya akan kenikmatan (jouissance) pada akhirnya
juga
mengalami lack. Dengan kata lain ketidakpercayaan subjek sublimasi terhadap bahasa masyarakat dan budaya konsumen saat ini berpangkal pada kenyataan bahwa masyarakat dan budaya konsumen tidak bisa menjanjikan kebenaran (truth) baginya akan adanya kemungkinan untuk mendapatkan kenikmatan. Kebenaran sebagaimana 304
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang seharusnya bisa dipenuhi oleh masyarakat menempati posisi penting bagi konsumen, karena bisa dipakai untuk memberikan jaminan kemapanan atas identitas dan subjektivitas mereka sebagai manusia. Sublimasi sebagaimana dilakukan oleh subjek konsumen pada saat yang sama juga merepresentasikan hasrat subjek untuk mendapatkan kenikmatan utama yang tanpa batas (the infinite jouissance). Dengan kata lain sublimasi dalam hal ini merupakan strategi subjek untuk mewujudkan pelbagai dorongan represional atau simptomatiknya untuk mendapatkan kenikmatan utama atau paripurna. Akan tetapi oleh karena dorongan yang ada pada subjek untuk bertemu dengan the infinite jouissance (kenikmatan primordial) merupakan sesuatu yang terlarang, maka subjek harus mengalihkan dorongannya ke dalam sistem penanda atau bahasa baru yang bisa diterima masyarakat. Proses pembahasaan (signifying) kali ini menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, sebab hanya lewat cara ini subjek bisa terbebas atau tidak akan lagi mengalami ambiguitas dan alienasi atau kematian. Sebuah pengalamana yang mengingatkan pada subjek perversi yang hanya berhenti atau mengalami kematian karena terjerat dalam fetishisme penanda atau komoditas, sehingga tidak pernah sampai pada diri atau ke-akuannya.
305
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lampiran 1
DAFTAR KIOS PAKAIAN BEKAS DI YOGYAKARTA
No
Nama Kios
Lokasi
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17
Anissa Fashion Annisa Collection Batam Collection Batam Murah 1 Batam Murah 2 Bintang Import Busana Import Diva Jaket Duta Obral Fajar Baru Import Collection Mega Obral Metro Raja Kulit Murah Obral Nanda Fashion Pinta Collection Pita Bunga Import 1
18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Pita Bunga Import 2 Sandang Murah 1 Sandang Murah 2 Sandang Murah 3 Sandang Murah 4 Sandang Murah 5 Sandang Murah 6 Sandang Murah 7 Sandang Murah 8 Sandang Murah 9 Sang Fajar Fashion Sumber Berkah Talata Jogja 1 Talata Jogja 2 Tian Collection Top Obral Vina Collection Yola Collection Tanpa Nama Tanpa Nama
Jln. Wates Km. 3, No. 31 Jln. Wates Km. 3, No. 31 Jln. Suryawijayan No. 21. Jln. R.E. Martadinata No. 45. Jln. R.E. Martadinata No. 46 Jln. Sisingamangaraja No. 85. Jln. Menteri Supeno No. 56. Jln. Kledokan CT 19, No. 18A. Jln. Glagahsari No. 56. Jln. Sultan Agung No. 86. Jln. Kusumanegara No. 27. Jln. KH. Ahmad Dahlan No. 6. Jln. Menteri Supeno No. 95. Jln. Sultan Agung No. 89. Jln.Wates Km. 5, Gamping Jln. Glagahsari No. 36 Jln. KH. Wakhid Hasyim No. 91. Jln. Suryawijayan No. 6A. Jln. Kaliurang Km. 5,6, No. 58. Jln. Adisucipto No. 2 Jln. P. Diponegoro Jln. Ngasem No. 46 Jln. Ngasem No. 54 Jln. Ngasem No. 57 Jln. Ngasem No. 75 Jln. Ngasem No. 94 Jln. Sultan Agung No. 110 Jln. Godean Km 9 (Senuko) Jln. KH. Wakhid Hasyim No. 96 Jln. Taman Siswa No. 107 Jln. Suryawijayan No. 97 Jln. Godean Km 9 (Senuko) Jln. KH. Wakhid Hasyim No. 79 Jln. KH. Wakhid Hasyim No. 74 Jln. Ringroad Utara No.61. Jln. Bhayangkara No. 24 Jln. Godean Km 9 (Senuko)
Tahun Operasi 2007 2005 2003 2000 2003 2007 2007 2010 2005 2003 2000 2000 2007 2005 2007 2004 2004 2005 2005 2005 2005 2008 2000 2001 2004 2005 2008 2007 2007 2004 2005 2005 2003 2008 2007 2004 2004
Pengelola Tedy Emi Arsyad Syahril Leni Abdi Azis Irwan Wawan Anas Dani Tedy Fuad Rusdi Muhtar Anwar Masur Fitri
Fadel Vivi Ana Winda
Edi Halim Mirza Rina Bambang Vina Amrizal Latif Dodi Dedi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57
Tanpa Nama Tanpa Nama Tanpa Nama Tanpa Nama Tanpa Nama Tanpa Nama Tanpa Nama Tanpa Nama Tanpa Nama Tanpa Nama Tanpa Nama Tanpa Nama Tanpa Nama Tanpa Nama Tanpa Nama Tanpa Nama Tanpa Nama Tanpa Nama Tanpa Nama Rejeki Fajar
Jln. Godean Km 11 (Ngijon) Jln.Cebongan No. 24, Sleman Jln.Cebongan No. 32, Sleman Jln.Cebongan No. 54, Sleman Jln. Jogonegaran No. 18 Jln. Kaliurang Km 9. Jln. Karangkajen No. 45. Jln. KH. Ahmad Dahlan No.8. Jln. KH. Ahmad Dahlan No. 9A. Jln. Kolonel Soegiono No. 54. Jln. Menteri Supeno No. 36. Jln. P. Senopati No. 20. Jln. Parangtritis No. 135. Jln. Rejowinangun No.17. Jln. Palagan No. 67, Sleman Jln. Parasamya No. 28, Sleman Jln. Surya No. 420, JEC Jln. Suryawijayan No. 102 Jln. Wates Km. 5, Gamping Jln. Ngasem, 58
2004 2007 2007 2007 2004 2007 2008 2005 2006 2007 2006 2003 2004 2006 2007 2007 2010 2007 2007 2004
Yanti Fatir Listya Amar Rudi Ajib Anung Saiful Lita Syamsul Ikhsan AmrizalRa tna Novi Heru Hasan Telly S Iqbal Saleh Syamsul
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lampiran 2
DAFTAR KIOS BERDASAR LOKASI
1. Jln. Adisucipto -Sandang Murah 2 2. Jln. Bhayangkara No. 24 - (NN) 3. Jln. Cebongan No. 24, Sleman -(NN) 4. Jln. Cebongan No. 32, Sleman - (NN) 5. Jln. Cebongan No. 54, Sleman - (NN) 6. Jln. Glagahsari No 36, Pinta Collection 7. Jln. Glagahsari No 56, Duta Obral 8. Jln. Godean Km 9, Senuko -Sang Fajar Fashion 9. Jln. Godean Km 9, Senuko -(NN) 10. Jln. Godean Km 9, Senuko -Tian Collection 11. Jln. Godean Km 11, Ngijon - (NN) 12. Jln. Jogonegaran No. 18 -(NN) 13. Jln. Kaliurang Km 5,6, No. 58 - Sandang Murah 1 14. Jln. Kaliurang Km 9 - (NN) 15. Jln. Karangkajen 45 - (NN) 16. Jln. KH. Ahmad Dahlan No. 6 -Mega Obral 17. Jln. KH. Ahmad Dahlan No. 8- (NN) 18. Jln. KH. Ahmad Dahlan No. 9A- (NN) 19. Jln. KH. Wakhid Hasyim No.74 -Vina Collection 20. Jln. KH. Wakhid Hasyim No.79 -Top Obral 21. Jln. KH. Wakhid Hasyim No. 91 - Pita Bunga Import 1 22. Jln. KH. Wakhid Hasyim No. 96 -Sumber Berkah 23. Jln. Kledokan CT 19, No. 18A – Diva Jaket 24. Jln. Kol. Soegiono No. 54 - (NN) 25. Jln. Kusumanegara No. 27 – Import Collection 26. Jln. Menteri Supeno No. 36 -(NN) 27. Jln. Menteri Supeno No. 56 -Busana Import 28. Jln. Menteri Supeno No. 95 - Metro Raja Kulit 29. Jln. Ngasem No. 46 -Sandang Murah 4 30. Jln. Ngasem No. 54 -Sandang Murah 5 31. Jln. Ngasem No. 57 -Sandang Murah 6 32. Jln. Ngasem No. 75 -Sandang Murah 7 33. Jln. Ngasem No. 94 - Sandang Murah 8 34. Jln. Ngasem, No. 95 – Rejeki Fajar 35. Jln. P. Diponegoro -Sandang Murah 3 36. Jln. P. Senopati No. 20 - (NN) 37. Jln. Palagan No. 67, Rejondani, Sleman - (NN) 38. Jln. Parasamya No. 28, Sleman - (NN) 39. Jln. Parangtritis No.135 - (NN)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
40. Jln. RE. Martadinata No. 45 -Batam Murah 1 41. Jln. RE. Martadinata No.46 -Batam Murah 2 42. Jln. Rejowinangun No. 17 - (NN) 43. Jln. Ringroad Utara No. 61, CC, Sleman -Yola Collection 44. Jln. Sisingamangaraja No. 85 -Bintang Import 45. Jln. Sultan Agung No. 86 -Fajar Baru 46. Jln. Sultan Agung No. 89 -Murah Obral 47. Jln. Sultan Agung No. 110 -Sandang Murah 9 48. Jln. Surya No. 420, JEC, Banguntapan - (NN) 49. Jln. Suryawijayan No. 6A -Pita Bunga Import 2 50. Jln. Suryawijayan No. 21 -Batam Collection 51. Jln. Suryawijayan No. 97 -Talata Jogja 2 52. Jln. Suryawijayan No. 102 -(NN) 53. Jln. Taman Siswa No. 107 -Talata Jogja 1 54. Jln. Wates Km. 3, No. 31 -Anissa Fashion 55. Jln. Wates Km. 3, No. 31 - Annisa Collection 56. Jln. Wates Km 5, Gamping, Sleman -Nanda Fashion 57. Jln. Wates Km 5, Gamping, Sleman -(NN)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lampiran 3
DAFTAR NARASUMBER
A. Penjual No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Dedi Muryanti Fadel Tedy Latif Anwar Faisal Amrizal
Asal Godean Godean Riau Riau Riau Riau Riau Riau
Keterangan Pemilik gerai X Jln. Godean Pemilik gerai X Jln. Godean Pemilik gerai Sandang Murah Pemilik gerai Obral Murah Pemilik gerai Yola Collection Pemilik gerai Pinta Collection Pemilik gerai Rejeki Fajar Pemilik gerai X, Jl. Parangtritis
B. Pembeli (pengguna) 1. Mahasiswa No 1 2 3 4 5
Nama Joseph Nahak Lambertus Allen Nana Sukarna Sandi Yudha Setiawan Surung Sinaga
Asal Flores Pontianak Bandung Palembang Medan
Kampus Fak Farmasi, UGM Fak Hukum-UGM Fak Hukum-UJB (Janabadra) Fak-Psikologi, UGM Fak Kedokteran Umum, UGM
Keterangan:Kelima responden merupakan mahasiswa penghuni pondokan yang berlokasi di Jl. Ungaran, No. 1, Kotabaru, Yogyakarta.
No 1 2 3 4 5
Nama Leoni Ratu Paka Retno Kendrani Risni Ambarwati Silvia Dewi Y. Linda Novena
Asal Flores Surabaya Bangka Menado Bandung
Kampus Farmasi USD Fak Psikologi UAD Fak Kedokteran UAD Politeknik API Komunikasi UPN
Keterangan. Kelima responden merupakan mahasiswa penghuni Kost Putri Pondok Joglo 89yang berlokasi di Jl. Masjid No.89, Nglaren, Catur Tunggal, Depok, Sleman. Yogyakarta.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2. Umum No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Catharina Sihotang Dr. Hendra Kusuma Handoko Kacir Kapt. Mulyadi Kompol Hermanu Listyarini Rini Sulistyawati Shinta Purbasari Rusmiyati
Asal Medan Palembang Sleman Pati Semarang Magelang Sleman Magelang Palembang Sleman
Profesi Penyiar Radio Dokter RSUD Guru SMA II Sleman Musisi Band Fadhalus Tentara Polisi Perawat RSUD Sleman Teller Bank BNI Cab. UPN Dosen Akademi Pertanahan Pegawai PEMDA
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lampiran 4
DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA
Pengantar (1) Sasaran wawancara (intervieweers) meliputi penjual dan pembeli (pengguna) pakaian bekas. (2) Aspek yang dikonfirmasi kepada penjual: jenis pakaian yang paling laku atau digemari pembeli, latar sosial ekonomi pembeli. (3) Aspek yang perlu dikonfirmasikan kepada pembeli: alasan atau motif penggunaan pakaian bekas
A. Pertanyaan Untuk Penjual: 1. Nama gerai, 2. Pemilik, 3. Alamat 4. Jumlah gerai – Berapa banyak gerai/kios yang anda jalankan? 5. Waktu operasi – Sejak kapan anda menjalankan bisnis pakaian bekas? 6. Omzet/bln,-- Berapa omzet (keuntungan) yang anda dapatkan per bulan? 7. Harga sewa gerai/thn – Berapa harga sewa gerai/kios pertahun? 8. Manajemen 9. Dilakukan sendiri 10. Menyewa orang lokal/ memiliki pegawai 11. Bagaimana anda menjalankan bisnis anda ini? 12. Apakah dikerjakan sendiri atau melibatkan keluarga dan kerabat? 13. Apakah anda memperkerjakan tenaga lokal? 14. Bagaimana Anda mengadakan barang yang Anda jual? 15. Berapa volume etiap bal-nya? 16. Berapa harga setiap bal-nya? 17. Kapan atau frekuensi kulakan dilakukan? B. Pertanyaan Untuk Pembeli/ Pengguna 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Nama? Profesi? Sejak kapan Anda mengenal pakaian bekas? Di mana atau gerai apa Anda biasa berbelanja pakaian bekas? Seberapa sering/frekuensi belanja pakaian bekas per-bulan? Apa yang Anda cari dari pakaian bekas? Mengapa Anda memilih pakaian bekas alih-alih pakaian baru?
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lampiran 5
PETA ROMBENG YOGYAKARTA
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BIBLIOGRAFI
a. Buku-buku
Adams, Patricia. (2002). Odious Debts [Utang Najis] Obral Utang, Korupsi dan Kerusakan Lingkungan di Dunia, terj. Eddy Zainury, Jakarta: INFID. Alfano, Jennifer. (2009). The New Secrets of Style, New York: Time Inc. Appadurai, Arjun. (1999). “Disjuncture and Difference in The Global Cultural Economy” dalam Simon During, ed., The Cultural Studies Reader, London and N.Y.: Routledge. Arifah A. Riyanto, (2003). Modul Dasar Busana. Bandung: Yapemda. Arnold, Rebecca. (2009). Fashion. A Very Short Introduction, New York: Oxford University Press,. Bakker, Chris. (2008). Cultural Studies. Theory & Practice, London: SAGE Publication Ltd. Barnard, Malcolm. (2010). “Fashion Statements: Communication and Culture” dalam Ronn Scapp dan Brian Seitz, (eds.), Fashion Statement. On Style, Appearance And reality, New York: Palgrave Macmillan. Barnard, Malcolm. (2006). Fashion Sebagai Komunikasi, terj. Idi Subandy Ibrahim, Yogyakarta: Jalasutra. Barthes, Roland. (1968). Elements of Semiology, terj. Annete Lavers dan Collins Smith, New York: Hill & Wang. Baudrillard, Jean. (1998). The Consumer Society: Myths and Structure. London: Sage Publication. Baudrillard, Jean. (1981). For a Critique of the Political Economy of the Sign, terj. Charles Levin, USA: Tellos Press Ltd. Baudrillard, Jean. (1981). “Sign Function and Class Logic” dalam For a Critique of the Political Economy of the Sign, terj. Charles Levin, St. Louis: Telos Press. Baudrillard, Jean. (1981). “Sign Function and Class Logic” dalam For a Critique of the Political Economy of the Sign, terj. Charles Levin, St. Louis: Telos Press.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Baudrillard, Jean. (1988). “For a Critique of the Political Economy of the Sign,” dalam Mark Poster, ed., Jean Baudrillard: Selected Writings, California : Stanford University Press. Baudrillard, Jean. (1988). “The System of Objects” dalam Mark Poster, ed., Jean Baudrillard: Selected Writings, California : Stanford University Press. Baudrillard, Jean. (1996). The System of Objects, terj. James Benedict, LondonN.Y.: Verso. Benbow-Pfalzgraf, Taryn, ed. (2002). Contemporary Fashion, New York: St. James Press. Bourdieu, Pierre. (1995). “Doxa, orthodoxy, heterodoxy” dalam Pierre Bourdieu, Outline of A Theory of Practice, terj. Richard Nice, USA: Cambridge University Press. de Mijolla, Alain, ed., (2005). International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale. de Mijolla, Alain. (2005). “Identification” dalam Alain de Mijolla, ed., International Dictionary of Psychoanalysis, Vol. I, USA: Thomson Gale. de Mijolla-Mellor, Sophie. (2005a). “Alienation” dalam Alain de Mijolla, (ed.), International Dictionary of Psychoanalysis, Vol. I, USA: Thomson Gale de Mijolla-Mellor, Sophie. (2005b). “Sublimation” dalam Alain de Mijolla (ed.), International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm. 16791680. de Olievera, Luiz Eduardo Prado. (2005). “Paranoia” dalam Alain de Mijolla (ed.).(2005), International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale. Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat, Jakarta: PT. Gramedia Utama. Dunkley, Graham. (2004). Free Trade: Myth, Reality and Alternatives, New York: St. Martin Press. Eidelsztein, Alfredo. (2009). Graph of Desire. Using the Work of Jacques Lacan, terj. Florencia F.C. Shanahan, London: Karnac Books Ltd. Eko Endarmoko. (2008). Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Evans, Dylan. (1996). An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis. London and New York: Routledge.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Fink, Bruce. (1997). Clinical Introduction to Lacanian Psychoanalysis. Theory and Technique, London: Harvard University Press. Fink, Bruce. (1995). “Metaphor and the Precipitation of Subjectivity”, dalam Bruce Fink, The Lacanian Subject. Between Language and Jouissance, New Jersey: Princeton University Press. Fink, Bruce. (1995). The Lacanian’s Subject, United Kingdom: Princetown University. Fink, Bruce. (1997). “Perversion” dalam Bruce Fink, A Clinical Introduction To Lacanian Psychoanalysis, London: Harvard University Press. Fink, Bruce. (2004). Lacan to the Letter. Reading Ecrits Closely, London: University of Minnesota Pres. Freeman, D. & P.A. Garety. (2004). Paranoia: The Psychology of Persecutory Delusions. Hove: Psychology Press. Freud, Sigmund. (1984). Memperkenalkan Psikoanalisa Lima Ceramah, terj. K. Bertens, Jakarta: PT Gramedia. Goet Poespo. (2000). Aneka Gaun, Yogyakarta: Kanisius. Gottdiener, M. (1995). Postmodern Semiotics. Material Culture and the Forms of Posmodern Life. London: Blackwell. Hadi Sabari Yunus. (2005). Manajemen Kota: Perspektif Spasial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hill, Philip. (1997). Lacan for Beginners, London: Writers and Readers Limited. Irma Hardisurya, et al. (2011). Kamus Mode Indonesia, Jakarta: Gramedia. Johnson, Randal. (1993). “Piere Bourdieu on Art, Literature and Culture” dalam Randal Johnson, ed., Piere Bourdieu: The Field of Cultural Production. Essay on Art and Literature, United Kingdom: Polity Press. Kawanura, Yuniya. (2005). “Sociological Discourse and Empirical Studies of fashion” dalam Yuniya Kawanura, Fashion-ology. An intoduction to Fashion Studies, Oxfor-New York: Berg. Kesel, Marc De. (2009). Eros and Ethics. Reading Jacques Lacan’s Seminar VII, terj. Sigi Jőttkandt, New York: SUNY.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Koentjaraningrat. (1981). “Metode Wawancara” dalam Koentjaraningrat, Metodemetode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia. Lacan, Jacques. (1977). Tavistock Publications.
Écrits: A Selection, trans. Alan Sheridan. London:
Lacan, Jacques (1993). The Seminar. Book III. The Psychoses, 1955-56. Trans. Russell Grigg. London: Routledge. Lacan, Jacques. (1977). Tavistock Publications.
Écrits: A Selection, trans. Alan Sheridan. London:
Lacan, Jacques. (2006). “The Mirror Stage as Formative of the I Function and Revealed in Psychoanalytic Experience,” dalam Jacques Lacan Ecrits, terj. Bruce Fink, N.Y.-London: W.W. Norton & Company Inc. Lexy J. Moeloeng. (1990). Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Rosdakarya. Linne Milgram, B. (2005). “Ukay-ukay Chic: Tales of Second Hand Clothing Fashion and trade in the Philppine Cordillera” dalam Alexander Palmer dan Hazel Clark (eds.), OldClothes, New Looks: Second Hand Fashion. Oxford-New York: BERG. M. Verhaar, John. (1989). “Aku Yang Semu: Jacques Lacan”, dalam John M. Verhaar, Identitas Manusia Menurut Psikologi dan Psikiatri Abad Ke-20, Yogyakarta: Kanisius-BPK Gunung Mulia. McRobbie, Angela. (1994). “Second-Hand Dresses and The Role of the Ragmarket” dalam Angela McRobbie, Postmodernism and Popular Culture, London and New York: Routledge. McRobbie, Angela. (ed.). (1989). Zoot Suits and Second-Hand Dresses: An Anthology of Fashion and Music, Boston: Unwin Hyman. Michell, Juliet dan Jacques Roes, ed. (1982). Feminine Sexuality: Jacques Lacan and Ecole Freudienne, New York: Macmillan Press. Michell, Juliet. dan Jacques Roes, ed., (1982). Feminine Sexuality: Jacques Lacan and Ecole Freudienne, New Yor: Macmillan Press. Mikkelsen, Britha. (2003), Metode Penelitian Partisipatoris dan Pemberdayaan Masyarakat, terj. Hartati, Jakarta: Yayasan Obor. Mitchell, Juliet dan Jacques Roes, ed. (1982). Feminine Sexuality: Jacques Lacan and Ecole Freudienne, New Yor: Macmillan Press.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Nusinovici, Valentin. (2005). “Object a” dalam Alain de Mijolla, ed., International Dictionary of Psychoanalysis, Vol. I, USA: Thomson Gale Oise Brette, Franc. (2005). “Traumatic Neurosis”, dalam Alain de Mijolla (ed.).(2005), International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale. Peres, Daniel. (2008). Details Men’s Style Manual, New York: Time Inc. Pfalzgraf, Benbow. ed. (2002). Contemporary Fashion, New York: St. James Press. Rivoli, Pietra. (2009). “Where T-Shirts Go After The Salvation Army Bin” dalam Pietra Rivoli, The Travels of A T-Shirt in The Global Economy, 2nd edition, New Jersey: John Willey & Sons Inc. Sarup, Madan. (1993). An Introductory Guide to Post-Structuralism and Posmodernism, 2nd Edition, Athens: The University of Georgia Press. Shengold, Leonard. (1995). Delusions of everyday life. New Haven: Yale University Press. Sluiter, Liesbeth. (2009). “Indonesia: Jobs at a Discount” dalam Clean Shirts: A Global Movement to End Sweatshops, London: Pluto Press. St. Sunardi. (2004). Semiotika Negativa, Yogyakarta: Buku Baik. Verhaeghe, Paul. (1995).“From Impossibility to Inability”: Lacan’s Theory on The Four Discourses dalam The Letter Perspectives on Psychoanalysis, 3, Spring, 1995. Žižek, Slavoj. (1989), The Sublime Object of Ideology, London-Newyork: Verso.
b. Surat Kabar Harian
Bernas, 24 Juli 1998, “Pasien RSJ Pakem Meningkat Selama Krisis”. Bernas, 25 Juli 1998, “Akibat Krisis Terpaksa Mengemis”. Bernas, 8 Juli 1998, “Setelah Beras, Giliran Gula Pasir Naik”. Kedaulatan Rakyat, 11 Juli 1998, “Untuk Menutup Defisit APBN 1998/99 Bank Dunia Bantu 4-6 Miliar Dolar”. Kedaulatan Rakyat, 11 September 1998, “KAKANWIL Depdikbud DIY: Banyak Pelajar Jadi Pengasong”. Kedaulatan Rakyat, 25 Agustus 1998, “Akibat Krisis Jadi Polisi Palsu”.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kedaulatan Rakyat, 25 Agustus 1998, “DEPERINDAG RI: Industri Kulit PHK 18 ribu Karyawan”. Kedaulatan Rakyat, 25 Juli 1998, “Dampak Krisis, Angka Drop Out Naik”. Kedaulatan Rakyat, 7 Juli 1998, “Harga Minyak Sawit dan Daging Ayam Kembali Melambung”. Kedaulatan Rakyat, 7 Juli 1998, “Januari-Juni Yogya Inflasi 44,88 Pct: Sembako Naik Terus, Super Market Sepi”. Kedaulatan Rakyat, 12 Juli 1998, “Lagi, Injeksi Rp. 8,8 Triliun: BI Terperangkap Pasar Uang”. Kedaulatan Rakyat, 12 Januari 1999, “Pakaian Bekas Pun Laris”.
3. TV “Wimar Live”, Metro-TV, 5 Juni 2009.
4. Internet
bisnisjakarta.com, edisi 28 Juli 2004, “Perdagangan Pakaian Bekas Impor Tetap Marak di Senen”, diakses pada 20 Mei 2009. Detikhot.com, “Jual Baju Bekas, Firi Tropica Siap Rugi”, 8 Agustus 2009, diakses pada 21 Juni 2010. http://en.wikipedia.org/wiki/Category: Outdoor_clothing_brands , diakses pada 2223 Maret 2011. http://en.wikipedia.org/wiki/Category: Outdoor_clothing_brands, diakses pada 2223 Maret 2011. http://kunci.or.id/esai/nws/ 0607/ baju.htm ; diakses pada 21 Juni 2009. http://www. kemendag.go. id /publikasi _regulasi/; diakses pada 12 Mei 2010. http://www.lacan.com/conformperf.htm diakses pada 21 Juni 2013. http:www.lacan.com/conformperf.htm diakses pada 21 Juni 2013.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kompas.com , 19 Februari 2003,“API Protes Peredaran Pakaian Bekas”, diakses pada 12 Mei 2010. Kompas.com 3 April 2010. “ACFTA Diteken, Realisasi Investasi China ke Indonesia Meningkat”, diakses pada 11 April 2010. Kompas.com, “API Protes Peredaran Pakaian Bekas”, 19 Februari 2003; diakses pada 12 Mei 2010. Kompas.com, 2 April 2010, “Presiden: ACFTA Bukan Ancaman, Tapi Peluang”, diakses pada 11 April 2010. Kompas.com, 3 April 2010, “ACFTA Diteken, Realisasi Investasi China ke Indonesia Meningkat”, diakses pada 11 April 2010. Kompas.com; “Pintu Impor Melalui Pos Lintas Batas Entikong Ditutup Perdagangan Turun Drastis”, diakses pada 12 Mei 2010. Nosubject.com - Encyclopedia of Lacanian Psychoanalysis, “Sublimation”, diakses pada 4 Agustus 2013. www.deperindag.go.id; “KONCER” diakses pada 28 Oktober 2010. www.english.hawai.edu/criticalink/lacan/terms/ahha.html; “Aha Erleibnis” diakses pada 22 Novermber 2010. www.gatra.com edisi 29/10/2004 “Pedagang Pakaian Bekas Demo Marie Pangestu diakses pada 20 Mei 2009. www.gatra.com edisi 29/10/2004, “Pedagang Pakaian Bekas Demo Marie Pangestu”, diakses pada 20 Mei 2009. www.zappos.com diakes pada 22-23 Maret 2011.