MANFAAT EKONOMI JASA LINGKUNGAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN WILAYAH SEKITAR TAMAN NASIONAL LORE LINDU (Studi Kasus di Desa Salua, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah)
Handian Purwawangsa
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
44
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Manfaat Ekonomi Jasa Lingkungan dan Strategi Pengelolaan Wilayah Sekitar Taman Nasional Lore Lindu : Kasus di Desa Salua, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah) adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini. Bogor, April 2008 Handian Purwawangsa
45
ABSTRACT HANDIAN PURWAWANGSA. Economic Benefit Of Evironmental Service and Management Strategy of Region Around Lore Lindu National Park (Case Study in Salua Village, Kulawi District,Central Sulawesi Province). Under the direction of DUDUNG DARUSMAN, LETI SUNDAWATI, and DODIK RIDHO NURROCHMAT Lore Lindu Nasional Park produces various environmental services, such as: water regulation, flood and erosion control, prop to spreading of disease and pest, and also conservation of biodiversity. The aim of this study is to calculate the economic benefit of environmental service from Lore Lindu Nasional Park, specially for unknown environmental, flood and erosion danger) and to formulate the management strategy of region around Lore Lindu National Park. This Study used Contingent Valuation Method and SWOT Analyse. Base on willingness to pay in from of money contribution, economic benefit of environmental service to preventive unknow environmental danger is equal to 10.917.818,18/year, in the other hand, base on labor contribution, is equal to 10.166 days working/year (1 day working equal to 8 hours working). The economic benefit for preventive from flood and erosion danger is equal to 10.166 days working/year, same with economic benefit on preventive unknow environmental danger. If labour contribution converted into money or, it is equal to 250.200.000 rupiah/year ( 1 day working = Rp. 25.000). Base on SWOT analyse, effective strategy to manage the region around Lore Lindu Nasional Park is defensif strategy, with weaknesses and thereats minimization. Key Words : Environmental services, Environmental Management Strategy,Contingent Valuation Method, SWOT Analyse.
46
RINGKASAN HANDIAN PURWAWANGSA. Manfaat Ekonomi Jasa Lingkungan dan Strategi Pengelolaan Wilayah Sekitar Taman Nasional Lore Lindu (Studi Kasus di Desa Salua, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah). Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN, LETI SUNDAWATI dan DODIK RIDHO NURROCHMAT. Desa Salua merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Desa Salua terletak di lembah Kulawi dan banyak memiliki anak sungai yang bermuara di Sungai Miu atau DAS Palu. Sudah sejak lama masyarakatnya memiliki hubungan yang erat dengan TNLL yang dapat dilihat dari banyaknya aktivitas masyarakat yang dilakukan di dalam kawasan TNLL baik untuk memperoleh sumber pendapatan seperti merotan dan mengambil kayu maupun untuk hal lain seperti keperluan obat-obatan dan mencari tambahan makanan, misalnya sayuran dan daging (Care 2002). Dalam hal pengelolaan hutan, masyarakat Desa Salua telah mempunyai aturan adat yaitu hukum adat Taolo dan hukum adat Ombo untuk menjaga agar hutan tetap lestari. Selain itu, ada juga ketentuan tentang pengelolaan hutan yang disepakati oleh pemerintah desa dan lembaga adat dengan difasilitasi oleh LSM Care. Seiring dengan perubahan waktu, terdapat faktor sosial, ekonomi dan kebudayaan yang mempengaruhi pengelolaan hutan di Desa Salua. Ketiga faktor tersebut diduga telah menyebabkan terjadinya perubahan perilaku dari masyarakat Desa Salua dalam hal pengelolaan hutan. Adanya perubahan perilaku tersebut menyebabkan terjadinya penyerobotan kawasan Taman Nasional Lore Lindu, pemanfaatan hasil hutan non kayu yang intensif, terjadinya konversi hutan menjadi penggunaan lain serta terjadinya penebangan liar. Hal tersebut menyebabkan penurunan fungsi hutan, terutama fungsi lingkungannya. Salah satu contoh penurunan fungsi hutan yang telah terjadi adalah penurunan fungsi hutan sebagai pengatur tata air. Pada tahun 2002 di Desa Salua pernah terjadi banjir besar, yang menyebabkan kerusakan pada ladang dan rumah milik masyarakat. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap kondisi lingkungan di Desa Salua dan mengetahui nilai ekonomi jasa lingkungan untuk pencegahan bahaya lingkungan, baik bahaya lingkungan yang sudah
47
diketahui maupun bahaya lingkungan yang belum diketahui, mengukur
dengan cara
kemauan membayar masyarakat Desa Salua terhadap perbaikan
lingkungan beserta peubah-peubah yang mempengaruhinya, serta merumuskan strategi pengelolaan wilayah di sekitar kawasan TNLL khususnya di Desa Salua. Metode yang digunakan adalah Continget Valuation Method dan analisis SWOT. Bahaya lingkungan yang sudah diketahui adalah bahaya lingkungan yang sudah terjadi seperti banjir dan erosi sedangkan Bahaya lingkungan yang tidak diketahui adalah bahaya lingkungan yang belum terjadi saat ini, akan tetapi diprediksi berpotensi dapat terjadi dimasa yang akan datang berdasarkan ilmu dan pengetahuan yang ada. Contoh dari bahaya lingkungan yang tidak diketahui bisa berupa bencana alam seperti gempa bumi atau kebakaran hutan, penyakit baru bagi manusia atau hama penyakit bagi tumbuhan. Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa masyarakat Desa Salua beranggapan bahwa banjir, erosi dan bahaya lingkungan yang tidak diketahui merupakan ancaman bagi masyarakat Salua. Selain itu, ancaman dari ketiga bahaya lingkungan tersebut, akan terus meningkat dimasa yang akan datang, tanpa adanya program pencegahan bahaya lingkungan. Masyarakat Salua juga berpendapat bahwa program pembangunan yang selama ini dilaksanakan belum mampu untuk mengurangi ancaman bahaya lingkungan yang mungkin terjadi, baik bahaya lingkungan yang diketahui maupun bahaya lingkungan yang tidak diketahui. Nilai ekonomi jasa lingkungan dari Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) untuk pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui dihitung berdasarkan kemauan membayar
masyarakat (WTP) dalam bentuk sumbangan uang dan
sumbangan tenaga kerja. Berdasarkan WTP dalam bentuk uang, nilai ekonomi jasa lingkungan untuk pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui adalah Rp. 10.917.818.18 pertahun. Nilai tersebut hampir sama dengan realisasi pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta realisasi penerimaan rutin dan pembangunan di Desa Salua yang berjumlah ±Rp.10.000.000. Sedangkan berdasarkan sumbangan tenaga kerja, nilai ekonominya setara dengan 10.116 HOK per tahun. Jika hari kerja tersebut dikonversi ke dalam bentuk uang, dengan asumsi 1 hari orang kerja (HOK) di Desa Salua adalah Rp.
48
25.000, maka nilainya mencapai 250.200.000/tahun. Nilai ekonomi jasa lingkungan dari TNLL untuk pencegahan bahaya banjir dan erosi mempunyai nilai yang sama dengan nilai ekonomi jasa lingkungan untuk pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui, dengan WTP dalam bentuk sumbangan tenaga kerja, yaitu 10.116 HOK. Variabel atau peubah yang berpengaruh nyata terhadap WTP masyarakat berdasarkan korelasi sederhana adalah pendapatan rata-rata masyarakat, tingkat pendidikan, pengetahuan masyarakat terhadap banjir di daerah “Dongi-dongi” serta besarnya pendapatan tambahan yang digunakan untuk program perbaikan lingkungan. Sedangkan ajaran “Katuwua” tidak berpengaruh nyata terhadap WTP masyarakat. Berdasarkan analisis regresi secara agregat variabel yang berpengaruh nyata hanyalah pendapatan rata-rata masyarakat. Model regresi yang dihasilkan adalah WTP = 1.992 +0.376 X1+0.0000255 X2 + 0.376 X3 + 0.870 X4 + 0.32 X5, dimana X1 adalah pendapatan rata-rata, X2 penggunaan pendapatan tambahan untuk program perbaikan lingkungan, X3 pengetahuan tentang “Katuwua”, X4 tingkat pendidikan dan X5 pengetahuan tentang banjir di daerah “Dongi-dongi”. Nilai R2 dari model diatas adalah 46,5%, yang berarti bahwa 46,5% keragaman WTP masyarakat desa salua untuk program pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui dapat diterangkan oleh variabel-variabel penjelas yang terdapat di dalam model, sedangkan sisanya diterangkan oleh faktor lain yang tidak terdapat di dalam model. Analisis dengan menggunakan perhitungan linear logaritma juga memberikan nilai R2 yang hampir sama, yaitu 45.7% dan memberikan pengaruh nyata dengan tingkat kepercayaan 95%. Berdasarkan analisis SWOT, strategi pengelolaan lingkungan yang paling efektif dilakukan adalah strategi defensif, karena kekuatan yang dimiliki lebih kecil dibandingkan dengan kelemahan, dan ancaman yang ada lebih besar dibandingkan dengan peluang yang dimiliki.
49
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
50
MANFAAT EKONOMI JASA LINGKUNGAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN WILAYAH SEKITAR TAMAN NASIONAL LORE LINDU (Studi Kasus di Desa Salua, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah)
Handian Purwawangsa
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
51
Judul Tesis
Nama NRP
: Manfaat Ekonomi Jasa Lingkungan dan Strategi Pengelolaan Wilayah di Sekitar Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) (Studi Kasus di Desa Salua, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah) : Handian Purwawangsa : E.051040191 Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA Ketua
Dr.Ir. Leti Sundawati, M.Sc Anggota
Dr.Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc Anggota Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Prof.Dr.Ir. Imam Wahyudi,MS
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 16 Mei 2008
Tanggal Lulus :
52
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Januari 1979 di Cianjur dari ayah yang bernama R.Sholihin SP dan Nenih Umaemah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pada tahun 1997 penulis menyelesaikan pendidikan dari SMU (plus) Muthahari, kemudian melanjutkan studi S1 di Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB, dan berhasil lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai staff pengajar di Departemen Manajemen Hutan Fakultas kehutanan IPB. Pada tahun 2006 penulis mendapat tugas sebagai komisi kemahasiswaan Departemen Manajemen hutan dan Pembinan Forest Management Study Club (FMSC). Pada tahun 2007 penulis mendapat tugas menjadi koordinator kemahasiswaan Fakultas Kehutanan IPB dan pada tahun 2008 penulis mendapat tugas sebagai staf di Direktorat Pengembangan Karir dan Hubungan Alumni Institut Pertanian Bogor.
53
KATA PENGANTAR Pertama-tama penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia yang diberikan-Nya penulis bisa menyelesaikan tesis yang berjudul “Manfaat Ekonomi Jasa Lingkungan dan Strategi Pengelolaan Wilayah di Sekitar Taman Nasional Lore Lindu Studi Kasus di Desa Salua, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyempaikan ucapapan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penulisan tesis ini. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada yang terhormat Prof.Dr. Ir. Dudung Darusman,MA selaku ketua komisi pembimbing dan Dr.Ir. Leti Sundawati, M.Sc serta Dr.Ir. Dodik Ridho Nurrochmat selaku anggota komisi pembimbing. Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ahyar Ismail,M.Agr yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada STORMA yang telah mendanai penulisan tesis ini, staf pengajar di Fakultas kehutanan IPB khususnya di Bagian Kebijakan Kehutanan yang telah memberikan dorongan kepada penulis, rekan-rekan yang telah membantu pengumpulan data Bang Sumarno, Ade, Pipin,Masnun dan Rifai. Kepala Desa Salua beserma seluruh masyarakat yang telah menerima dan membantu penulis dengan tulus dalam proses pengumpulan data. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada istri tercinta Lina Mayliana,S.Pt atas semua doa, dorongan dan pengertiannya selama proses penyelesaian tesis ini, serta pada buah hati tersayang Khaira Hashifa Purwawangsa yang senantiasa menjadi sumber inspirasi dalam menyelesaikan karya ini. Terimakasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Ayah tercinta R.Sholihin SP dan dan ibu tercinta Nenih Umaemah, serta papa Suharjo Warkidi dan mama Tri Nartuti yang senantiasa mendoakan dan membantu penulis dalam berbagai hal. Terakhir penulis menyampaikan terimakasih kepada adik tercinta Isti Aditya Purwasena dan Rizky Ali Akbar, “Sintesa” Gank, Adi Hadianto dan keluarga, M.Isbayu dan keluarga, Jumaidi Indra, Hendra Laso, Aldicka, Pringgadi Kridiarto, Dian Panjang, Khairul dan serta semua pihak yang telah membatu penulis dengan tulus ikhlas, semoga Allah SWT membalasnya dengan ganjaran yang setimpal. Bogor, April 2008 Handian Purwawangsa
54
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR
.............................................. i
DAFTAR ISI
.............................................. ii
DAFTAR TABEL
.............................................. iv
DAFTAR GAMBAR
.............................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN
.............................................. vii
PENDAHULUAN
.............................................. 1
Latar Belakang .............................................. 1 Perumusan Masalah .............................................. 6 Tujuan ..................................................................................................... 10 Manfaat Penelitian .................................................................................. 10 Alur Pikir Penelitian ............................................................................... 11 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................
12
Valuasi Ekonomi Penggunaan Sumberdaya Alam Terpulihkan ............ Teknik Pengukuran Tidak Langsung ...................................................... Teknik Pengukuran Langsung ................................................................ Konsep Pengelolaan MilikBersama........................................................ Teori Adaptasi ........................................................................................ Analisis SWOT .......................................................................................
12 17 19 26 28 29
METODE PENELITIAN ..............................................................................
32
Pendekatan Penelitian ............................................................................. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. Metode Pengambilan Sampel ................................................................. Data dan Pengukurannya ........................................................................ Langkah Kerja ........................................................................................
32 34 34 36 38
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN .............................................
43
Sejarah Singkat Taman Nasional Lore Lindu......................................... Kondisi Fisik dan Geografis TNLL ........................................................ Status Kawasan dan Status Pengelolaan ................................................. Batas Kawasan ........................................................................................ Kondisi Iklim .......................................................................................... Potensi Flora dan Fauna ........................................................................ Letak Geografis Kecamatan Kulawi....................................................... Topografi ................................................................................................ Penduduk ................................................................................................ Pendidikan .............................................................................................. Pertanian .................................................................................................
43 44 44 44 45 45 52 52 53 55 56
55
Keuangan Daerah ................................................................................... Kondisi Umum Desa Salua..................................................................... Sistem Pengelolaan Sumberdaya Alam di Desa Salua ........................... Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu di Desa Salua ........................... Perburuan Satwa Liar ............................................................................. Sumber Air Desa Salua...........................................................................
57 59 63 64 65 66
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................
74
Nilai Manfaat Jasa Lingkungan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) .. Persepsi Masyarakat Desa Salua terhadap Ancaman Banjir .................. Persepsi Masyarakat Desa Salua terhadap Ancaman Erosi .................... Persepsi Masyarakat terhadap Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui ...................................................................................... Willingness to Pay Masyarakat Desa Salua terhadap Jasa Lingkungan TNLL .......................................................................... Faktor-faktor yang Mempengaruhi WTP Masyarakat Desa Salua ......... Korelasi antara WTP Masyarakat Desa Salua dengan Pendapatan Masyarakat.............................................................................................. Korelasi antara WTP Masyarakat Desa Salua dengan Tingkat Pendidikan .............................................................................................. Korelasi antara WTP Masyarakat Desa Salua dengan Pengetahuan “Katuwua” ............................................................................................. Model Agregat WTP Masyarakat Salua ................................................. Strategi Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua ....................................
74 76 78
91 93 94
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................
115
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
117
LAMPIRAN ....................................................................................................
121
79 81 88 88 90
56
DAFTAR TABEL Halaman 1. Jarak Antara Ibu Kota Kecamatan dengan Desa-desa di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 ..............................................................................
52
2. Keadaan Tanah Menurut Persentase Bentuk Permukaan Tanah menurut Desa di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 .............................................. 53 3. Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 ........................................................................................... 54 4. Jumlah Rumah Tangga, Penduduk dan Rata-rata Penduduk per Rumah Tangga di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 .............................
54
5. Banyaknya Sekolah Menurut Tingkat Pendidikan di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 ..............................................................................
55
6. Jumlah Pelajar berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 ...........................................................................................
56
7. Luas Tanaman Bahan Makanan di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 (Ha) ..................................................................................
57
8. Realisasi Penerimaan Rutin dan Pembangunan di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 (000 Rp) ........................................................................... 58 9. Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan di Kecamatan Kulawi Tahun 2003-2005.....................................................................
58
10. Tingkat Pendidikan Masyarakat (Responden) di Desa Salua Tahun 2005 ...........................................................................................
61
11. Persentase Mata Pencaharian Utama Masyarakat (Responden) di Desa Salua ........................................................................................
62
12. Rata-rata Pendapatan / Income Masyarakat Desa Salua (Responden) Tahun 2005 ...........................................................................................
62
13. Dampak Banjir Terhadap Masyarakat Desa Salua ...............................
76
14. Dampak Banjir terhadap Lingkungan Desa Salua Tanpa Adanya Tindakan Pencegahan Banjir ................................................................
77
15. Dampak Erosi terhadap Masyarakat Desa Salua..................................
78
16. Dampak Erosi Terhadap Lingkungan Desa Salua tanpa Ada Upaya Pencegahan Erosi .................................................................................
79
17. Ancamanan Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui terhadap Masyarakat Desa Salua ........................................................................
80
18. Pendapat Masyarakat terhadap Ancaman Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui Tanpa Adanya Program Pencegahan ........................
81
19. Kemauan Membayar Masyarakat Desa Salua terhadap Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui .......................................................
84
57
20. Kemauan Membayar Masyarakat Desa Salua terhadap Bahaya Lingkungan yang Tidak diketahui dalam Bentuk Sumbangan Tenaga
85
21. Kemauan Membayar Masyarakat untuk Pencegahan Bahaya Banjir dan Erosi dalam Bentuk Sumbangan Tenaga ......................................
86
22. Penggunaan Pendapatan Tambahan oleh Masyarakat Desa Salua.......
90
23. Pengetahuan Masyarakat Desa Salua tentang Ajaran Katuwua ...........
91
24. Pengetahuan Masyarakat Desa Salua tentang Banjir di Daerah Dongi-dongi .............................................................................
92
25. Hasil Analisis Nilai WTP Masyarakat Desa Salua ..............................
93
26. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua ........................................................................................
93
27. Faktor Strategis Internal Kekuatan dalam Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua ........................................................................................ 28. Faktor –Faktor Strategis Internal Kelemahan dalam Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua.................................................................... 29. Faktor-Faktor Strategis Eksternal Ancaman dalam Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua.................................................................... 30. Faktor-Faktor Strategis Eksternal Peluang dalam Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua................................................................... 31. Matrik SWOT dalam Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua ............
95 100 104 108 113
58
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Sisa-sisa Banjir di Desa Salua pada Tahun 2002 .................................
9
2. Alur Pikir Penelitian .............................................................................
11
3. Surplus konsumen ................................................................................
16
4. Klasifikasi Valuasi Non-Market ...........................................................
17
5. Hubungan antara Nilai Properti dan Kualitas Lingkungan ..................
19
6. Proses Pengambilan Keputusan Strategis ............................................
30
7. Diagram SWOT....................................................................................
31
8. Transisi-transisi antara Fenomena dan Pengamatan Berbeda ..............
33
9. Peta Lokasi Penelitian ..........................................................................
60
10. Pengankutan Kayu dari Hutan ke TO atau Desa ..................................
64
11. Penebangan Pohon di Kawasan TNLL ................................................
64
12. Proses Pengangkutan Rotan menuju TO dan Rotan Asalan di Tempat Pengumpulan Lokal .............................................................................
65
13. Proses Perburuan Kera di Desa Salua ..................................................
66
14. Kawasan TNLL yang Telah Berubah Fungsi menjadi Kebun .............
68
15. Kawasan TNLL yang Rusak Akibat Penebangan Liar ........................
73
16. Koordinat Kartesian SWOT .................................................................
112
59
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Variabel, Indikator, dan Parameter Penelitian tentang Kemauan Membayar Masyarakat terhadap Perbaikan Lingkungan .....................
121
2. Gambar Perbedaan antara Resiko Banjir dan Erosi ............................
125
3. Gambar Keadaan tanpa Adanya Pencegahan untuk Banjir .................
125
4. Gambar Setelah Adanya Program Pencegahan Banjir .........................
126
5. Gambar Keadaan tanpa Adanya Pencegahan untuk Erosi ..................
126
6. Gambar Keadaan Setelah Adanya Program Pencegahan Erosi ...........
127
7. Gambar Lingkungan yang Sehat .........................................................
127
8. Gambar Kondisi Lingkungan tanpa Adanya Program Pencegahan Terhadap Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui .........................
128
9. Gambar Kondisi Lingkungan setelah Adanya Program Pencegahan Terhadap Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui .........................
128
10. Gambar Kartu Percobaan yang Menunjukan Berbagai Jenis Perbaikan Lingkungan dengan berbagai Tingkat Harga ......................
129
11. Gambar Kartu Percobaan untuk Mengetahui Konsentrasi ...................
130
12. Gambar Kisaran Harga yang Ditawarkan kepada Responden untuk Pencegahan Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui .....................
131
13. Gambar Kisaran Harga yang Ditawarkan kepada Responden untuk Pencegahan Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui dalam Bentuk Sumbangan Tenaga ............................................................................. 132 14. Gambar Kisaran Harga yang Ditawarkan Untuk Pencegahan Banjir dan Erosi dalam Bentuk Sumbangan Tenaga Kerja.............................
133
15. Matrik SWOT .......................................................................................
134
16. Rekapitulasi Perhitungan SWOT .........................................................
136
17. Persepsi Masyarakat terhadap Pengaruh Pembangunan Desa beserta Pihak yang Seharusnya Bertanggungjawab dalam Mengurangi Ancaman Banjir ................................................................................
139
18. Persepsi Masyarakat terhadap Pengaruh Pembangunan Desa beserta Pihak yang Seharusnya Bertanggungjawab dalam Mengurangi Ancaman Erosi .....................................................................................
140
19. Persepsi Masyarakat terhadap Pengaruh Pembangunan Desa dalam Mengurangi Ancaman Erosi ................................................................
141
20. Hasil Perhitungan Regresi Antara WTP dengan Pendapatan Masyarakat ...........................................................................................
142
60
21. Hasil Perhitungan Korelasi antara WTP dengan Pendapatan Masyarakat ...........................................................................................
143
22. Hasil Perhitungan Korelasi antara Pendapatan Masyarakat dengan Persentase Penggunaan Pendapatan Tambahan untuk Perbaikan Lingkungan yang Tidak Diketahui.......................................................
144
23. Hasil Perhitungan Korelasi antara WTP dengan Tingkat Pendidikan ..
145
24. Hasil Perhitungan Korelasi antara WTP dengan Pengetahuan “Katuwua” ............................................................................................ 25. Hasil Perhitungan Korelasi antara WTP dengan Pengetahuan tentang Banjir di Dongi-dongi ..........................................................................
146 147
26. Hasil Perhitungan antara Korelasi WTP dengan Wabah Penyakit yang Melanda daerah di Luar Desa Salua..................................................... 148 27. Uji F terhadap Model Regresi Berganda ..............................................
149
61
PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya alam hutan (SDAH) adalah faktor produksi dan konsumsi untuk kesejahteraan bangsa khususnya dan umat manusia pada umumnya. SDAH dalam memberikan manfaat kesejahteraan kepada umat manusia mempunyai lebih banyak dimensi dibandingkan dengan sumberdaya alam (SDA) lain, yakni: (1) memberi berbagai bentuk manfaat, baik manfaat-manfaat berwujud (tangible), maupun manfaat tidak berwujud (intangible); (2) bagi seluruh lapisan masyarakat, lapisan bawah sampai atas, masyarakat tradisional sampai modern; (3) bagi generasi kini dan generasi yang akan datang, serta (4) bagi keutuhan bumi sebagai tempat hidup seluruh bangsa di dunia (Darusman 2002). Dari sudut pandang sumberdaya alam sebagai aset ekonomi maupun daya dukung kehidupan, SDAH dapat digolongkan sebagai berikut : 1.
Bentang alam berupa stock atau modal alam (natural capital) seperti daerah aliran sungai (DAS), danau, kawasan lindung, yang keberadaannya tidak dibatasi wilayah administratif, dan
2.
SDA berupa komoditi seperti kayu, rotan, air, mineral, batu bara, dan sumber daya alam lainnya yang dapat diproduksi menjadi sumber/aset ekonomi Aset ekonomi maupun daya dukung kehidupan tersebut berada dalam
berbagai bentuk ekosistem. Dengan demikian, ekosistem menyediakan produk seperti makanan dan air serta jasa, seperti pengaturan dan pengendalian banjir; kekeringan dan penyakit; jasa pendukung seperti pembentukan tanah dan siklus hara; jasa kebudayaan seperti rekreasi, spiritual, keagamaan dan manfaat bukan material lain (Bappenas 1993, diacu dalam Kartodiharjo 2006). Secara umum, nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum kemauan seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa yang dimilikinya dalam rangka memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep nilai ekonomi lingkungan disebut dengan kemauan membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis dari hutan
62
bisa “diterjemahkan” ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter barang dan jasa (Fauzi 2004). Manfaat lingkungan seringkali diabaikan karena pada umumnya manfaat tersebut baru terasa manfaatnya di masa yang akan datang. Manfaat pencegahan banjir dan erosi misalnya, baru terasa jika banjir dan erosi tersebut telah terjadi. Oleh karena itu, manfaat lingkungan seringkali tidak terkuantifikasi dalam perhitungan menyeluruh terhadap perhitungan SDAH. Dalam hal ini, nilai tersebut tidak saja nilai pasar (market value) barang yang dihasilkan dari sumberdaya hutan, melainkan juga nilai jasa lingkungan yang ditimbulkan oleh sumberdaya tersebut. Menurut (Balmford et al 2002, diacu dalam Barkmann et al 2006), salah satu rintangan paling besar dalam membuat desain pengelolaan jasa lingkungan adalah kurangnya pengetahuan tentang nilai ekonomi non pasar yang ada pada ekosistem hutan dan sistem penggunaan lahan pertanian yang ada di dalamnya. Dalam konteks Indonesia, studi mengenai nilai ekonomi hutan yang ada di Indonesia masih sangat sedikit. Selain itu, riset tentang penghitungan nilai jasa lingkungan dan keanekaragaman hayati juga masih sedikit (Pattanayak & Kramer 2001, diacu dalam Barkman et al 2006). Dari segi karakteristik SDA, konservasi jasa lingkungan, misalnya berupa pengendalian banjir, longsor, dan erosi dapat diklasifikasikan ke dalam common pool resources, yang menyediakan jasa bagi kelompok masyarakat tertentu dalam suatu wilayah daerah aliran sungai (DAS) tertentu. Pemanfaatan jasa lingkungan ini pada umumnya bersifat non-excludable, artinya sangat sulit, meskipun bukan tidak mungkin mengeluarkan individu atau kelompok masyarakat tertentu untuk tidak memanfaatkan jasa lingkungan. Jasa lingkungan mempunyai sifat sebagai non-subtractable, yaitu apabila dimanfaatkan oleh satu pihak, pihak lain masih dapat menikmati (Folmer and Gabel, 2001). Selain itu, konservasi jasa lingkungan seringkali dilakukan oleh perorangan atau kelompok masyarakat, misalnya dengan melakukan penanaman hutan atau mengkonservasi sumber air. Dana untuk kegiatan tersebut bisa berasal dari berbagai sumber seperti dari pemerintah, lembaga donor, swadaya masyarakat, atau gabungan dari beberapa pihak. Apabila upaya-upaya ini gagal dilakukan
63
maka dampak negatif akan terjadi dan menjadi common pool bads (Kartodiharjo 2006). Dengan demikian, peran masyarakat cukup menentukan dalam upaya pelestarian maupun perbaikan kualitas lingkungan. Desa Salua merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Desa Salua terletak di lembah Kulawi dan banyak memiliki anak sungai yang bermuara di Sungai Miu atau DAS Palu. Sudah sejak lama masyarakatnya memiliki hubungan yang erat dengan TNLL yang dapat dilihat dari banyaknya aktivitas masyarakat yang dilakukan di dalam kawasan TNLL baik untuk memperoleh sumber pendapatan seperti merotan dan mengambil kayu maupun untuk hal lain seperti keperluan obat-obatan dan mencari tambahan makanan, misalnya sayuran dan daging (Care 2002). Mata pencaharian utama masyarakat Desa Salua adalah pertanian, khususnya tanaman coklat dan kopi, sekitar 95% masyarakat mengandalkan hasil tanaman coklat sebagai penghasilan utama. Sebagian masyarakat juga mengandalkan rotan sebagai mata pencaharian alternatif/sampingan. Di sekitar ladang dan tempat tinggal masyarakat desa Salua terdapat tiga sungai besar yang sering meluap di musim hujan. Dalam hal pengelolaan hutan, masyarakat disekitar Taman Nasional Lore Lindu telah memiliki falsafah yang disebut Katuwua, yaitu suatu ajaran tentang keselarasan antara kehidupan manusia dengan alam. Falsafah tersebut diwujudkan oleh masing-masing kelompok masyarakat dalam bentuk hukum adat. Desa Salua telah mempunyai aturan adat dalam mengelola lingkungan, yaitu hukum adat Taolo dan hukum adat Ombo. Taolo adalah aturan adat yang berisi : 1) Sumber mata air tidak boleh dirusak, 2) Hutan dengan kemiringan 70˚-90˚ tidak boleh dirusak, dan 3) Tempat-tempat yang dikeramatkan tidak boleh dirusak. Hukum adat Ombo adalah suatu kegiatan adat berupa pelarangan melakukan kegiatan yang berlebih untuk sementara waktu dalam wilayah tertentu. Ada tiga unsur penting dalam pemberlakuan hukum adat Ombo, yaitu jenis sumberdaya yang dilarang, batas wilayah dan daerah yang akan diberlakukan Ombo. Selain itu, ada juga ketentuan tentang pengelolaan hutan yang disepakati oleh pemerintah desa dan lembaga adat dengan difasilitasi oleh LSM Care. Kesepakan-kesepakatan tersebut adalah; 1) Dilarang menebang hutan secara liar
64
di wilayah DAS, 2) Dilarang berburu binatang dan hewan yang dilindungi, 3) Dilarang menebang kayu/membuka lahan baru di kemiringan 45˚ pada DAS dan jarak dari DAS 50-100 meter, 4) Dilarang melakukan penangkapan ikan dengan arus listrik dan racun pada sungai di Desa Salua. Jika ada masyarakat yang melanggar peraturan tersebut akan dikenai sanksi Hampole Hangu dengan nilai uang setara dengan Rp 600.000 (10 Dulang, 1 mbesa, 1 ekor kerbau). Seiring dengan perubahan waktu, terdapat faktor sosial, ekonomi dan kebudayaan yang mempengaruhi pengelolaan hutan di Desa Salua. Ketiga faktor tersebut diduga telah menyebabkan terjadinya perubahan perilaku dari masyarakat Desa Salua dalam hal pengelolaan hutan. Adanya perubahan perilaku tersebut menyebabkan terjadinya penyerobotan kawasan Taman Nasional Lore Lindu, pemanfaatan hasil hutan non kayu yang intensif, terjadinya konversi hutan menjadi penggunaan lain serta terjadinya penebangan liar. Luas kawasan TNLL yang telah berubah menjadi perkebunan coklat mencapai 30.000 ha. (Sinar Harapan, 2003). Hal tersebut menyebabkan penurunan fungsi hutan, terutama fungsi lingkungannya. Salah satu contoh penurunan fungsi hutan yang telah terjadi adalah penurunan fungsi hutan sebagai pengatur tata air. Pada tahun 2002 di Desa Salua pernah terjadi banjir besar, yang menyebabkan kerusakan pada ladang dan rumah milik masyarakat. Terjadinya penurunan fungsi lingkungan hutan di Desa Salua, telah menyebabkan bahaya lingkungan di Desa Salua. Secara umum, bahaya lingkungan yang mengancam Desa Salua terbagi dua, yaitu bahaya lingkungan yang sudah diketahui seperti banjir dan erosi, serta bahaya lingkungan yang belum diketahui seperti timbulnya penyakit baru bagi manusia, serangan hama penyakit serta bahaya lingkungan lain yang belum pernah terjadi sebelumnya. Untuk mencegah bahaya lingkungan, baik yang telah diketahui maupun belum diketahui di Desa Salua, diperlukan program-program perbaikan lingkungan, yang mengikutsertakan seluruh stakeholders yang terkait. Biaya untuk mendanai program perbaikan lingkungan tersebut bisa berasal dari pemerintah, swasta, bantuan asing, swadaya masyarakat, maupun gabungan dari beberapa pihak.
65
Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap kondisi lingkungan di Desa Salua dan mengetahui nilai ekonomi jasa lingkungan untuk pencegahan bahaya lingkungan dengan cara mengukur kemauan membayar masyarakat Desa Salua terhadap perbaikan lingkungan beserta peubah-peubah yang mempengaruhinya, serta merumuskan strategi pengelolaan wilayah di sekitar kawasan TNLL khususnya di Desa Salua. Metode analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantifikasi nilai ekonomi lingkungan dalam hal pencegahan banjir dan erosi serta bahaya lingkungan yang belum diketahui dengan menggunakan valuasi nonmarket dengan pengukuran secara langsung atau melalui survei (expressed willingness to pay). Metode valuasi non-market melalui survei yang akan dipakai adalah Contingent Valuation Method (CVM). Dalam praktiknya, pengukuran manfaat ekonomi jasa lingkungan dianggap masih
memiliki
kelemahan.
Kelemahan
tersebut
diantaranya
adalah
:
Kemungkinan timbulnya bias (understate dan overstate) yang disebabkan oleh strategi yang keliru atau rancangan penelitian yang kurang tepat (Fauzi 2001), kemungkinan timbulnya warm glow (menyenangkan pewawancara) dan catering bias (menyetujui apa yang disetujui oleh pewawancara) (Carson 2001), serta kemungkinan bias akibat faktor ekonomi, psikologi ekonomi dan politik serta tidak konsistennya jawaban responden akibat keterbatasan pengetahuan responden terhadap materi yang ditanyakan (Schläpfer, 2007). Meskipun demikian, ada beberapa solusi
yang bisa dilakukan untuk
mengurangi kemungkinan bias yang terjadi. Solusi yang bisa dilakukan diantaranya adalah : Membuat desain dan implementasi studi secara hati-hati (Richard 2001), harga yang ditawarkan dalam CVM sebaiknya, dekat dengan harga aktual yang berlaku bagi mayoritas responden, jika harga berupa kenaikan pajak, sebaiknya disampaikan dalam bentuk persentase serta responden harus diberikan pilihan jawaban berdasarkan informasi yang diketahui atau dimengerti secara umum oleh sebagian besar responden. Penelitian ini akan mencoba untuk membuat desain penelitian dan implementasi CVM yang dapat mengurangi hasil perhitungan yang bias, berdasarkan solusi yang telah disebutkan sebelumnya. Dengan demikian
66
diharapkan penelitian ini diharapkan dapat menghitung nilai ekonomi bahaya lingkungan di Desa Salua, secara akurat. Setelah nilai ekonomi jasa lingkungan dari TNLL diketahui, diharapkan apresiasi masyarakat Desa Salua terhadap kelestarian lingkungan bisa meningkat dan bisa dijadikan rekomendasi bagi pemerintah atau pemegang kebijakan dalam pengelolaan hutan atau lingkungan di Desa Salua. Rekomendasi tersebut akan dilengkapi dengan strategi pengelolaan lingkungan dengan menggunakan analisis SWOT. Berdasarkan hal-hal di atas, maka penulis memandang perlu untuk melakukan penelitian yang berjudul “Manfaat Ekonomi Jasa Lingkungan dan Strategi Pengelolaan Wilayah Sekitar Taman Nasional Lore Lindu (Studi Kasus di Desa Salua Kecamatan Kulawi, Kabupaten Dongggala, Provinsi Sulawesi Tengah)”. Perumusan Masalah Secara administratif, Desa Salua berada di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah. Desa Salua merupakan salah satu desa yang berada di Lembah Kulawi dan berbatasan langsung dengan Taman Nasional Lore Lindu. Secara langsung maupun tidak langsung masyarakat Desa Salua sangat bergantung dengan TNLL, dan sejak lama masyarakatnya memiliki hubungan yang erat dengan hutan di TNLL. Hal ini terlihat dengan banyaknya aktivitas masyarakat yang dilakukan dalam hutan, baik untuk memperoleh pendapatan seperti merotan dan mengolah kayu maupun untuk keperluan mencari makanan tambahan
seperti
sayuran
dan
daging,
memperoleh
obat-obatan,
serta
perlengkapan ritual. Meskipun masyarakat Desa Salua telah memiliki aturan adat yang mengatur tata cara pengelolaan hutan yang lestari yang tertuang dalam hukum adat Taolo dan hukum adat Ombo serta peraturan desa yang merupakan hasil kesepakatan antara lembaga adat dengan aparat desa, di dalam survey pendahuluan ditemukan kecenderungan perubahan perilaku masyarakat dalam mengelola hutan, akibat berbagai faktor, seperti faktor sosial, ekonomi, budaya serta penegakan hukum.
67
Faktor sosial pertama yang mempengaruhi perilaku masyarakat dalam pengelolaan hutan adalah adanya interaksi masyarakat Salua dengan pendatang, interaksi yang paling intensif terjadi dengan Suku Bugis. Interaksi tersebut menempatkan penduduk asli Salua sebagai pihak yang kalah dalam persaingan, terutama dalam hal persaingan ekonomi. Berdasarkan wawancara dengan tokoh masyarakat dan pengamatan di lapangan, penyebab utama kekalahan tersebut adalah faktor internal masyarakat Salua sendiri yang cenderung kurang ulet dan kurang rajin bekerja. Salah satu contoh adalah kebun coklat masyarakat pendatang dikelola dengan baik, sehingga hasil produksinya lebih besar dibandingkan dengan kebun coklat masyarakat lokal yang dibiarkan tidak terawat. Demikian juga dalam hal perdagangan, masyarakat pendatang cenderung lebih maju sehingga dapat menguasai perekonomian di Desa Salua dan sekitarnya. Kondisi tersebut, menyebabkan banyak aset penduduk asli yang berpindah tangan kepada masyarakat pendatang. Contoh aset yang paling banyak berpindah tangan adalah tanah/lahan. Lahan-lahan milik penduduk lokal, banyak yang dijual kepada pendatang, uang hasil penjualan tersebut biasanya digunakan untuk keperluan yang bersifat konsumtif, sehingga cepat habis. Setelah uang habis dan tidak mempunyai lahan lagi, penduduk asli merambah lahan-lahan yang berada di kawasan TNLL untuk dibuka menjadi ladang atau kebun. Perambahan tersebut telah menyebabkan konversi lahan hutan menjadi perkebunan. Faktor sosial lain yang berpengaruh adalah faktor pendidikan, tingkat pendidikan yang rendah terutama pendidikan yang berkaitan dengan lingkungan hidup menyebabkan kesadaran masyarakat untuk melestarikan hutan rendah. Masyarakat cenderung berorientasi jangka pendek dalam mengelola hutan, sehingga tidak memperhatikan akibat yang akan terjadi di masa yang akan datang. Selain itu, dengan adanya interaksi sosial antara masyarakat lokal dengan pendatang, menyebabkan masyarakat lokal meniru perilaku dari masyarakat pendatang, hal tersebut terjadi pada kasus penebangan liar. Ketika banyak masyarakat pendatang yang melakukan penebangan liar atau menjadi penadah kayu curian, masyarakat lokal terpengaruh untuk melakukan hal serupa karena tahu ada permintaan terhadap kayu. Oleh karena itu, masyarakat tidak lagi
68
menebang kayu untuk keperluan pribadi saja, tetapi juga untuk dijual. Dengan demikian, jumlah kayu yang ditebang oleh masyarakat lokal jauh lebih banyak dari sebelumnya dan mengakibatkan terjadinya penebangan liar. Hal tersebut diperparah lagi dengan lemahnya penegakan hukum dari aparat, sehingga penebangan liar tetap terjadi meskipun intensitasnya tidak terlalu besar. Selain itu, dengan adanya interaksi dengan pendatang telah menyebabkan perubahan gaya hidup masyarakat lokal menjadi lebih konsumtif. Barang-barang yang semula tidak diperlukan, dipandang menjadi kebutuhan. Perubahan pola konsumsi tersebut dengan sendirinya menuntut masyarakat untuk memperoleh uang lebih banyak. Ketika hasil dari perkebunan tidak bisa memenuhi kebutuhan tersebut, yang dilakukan oleh sebagian masyarakat adalah menjual lahannya kemudian membuka lahan lain di kawasan TNLL atau mencari pendapatan tambahan dengan menebang kayu maupun mengambil rotan di kawasan yang dilarang, atau menjual binatang yang dilindungi. Perubahan perilaku tersebut telah mengakibatkan hal-hal yang negatif terhadap kelestarian lingkungan, seperti penyerobotan kawasan TNLL, konversi lahan hutan, penebangan liar dan pemanfaatan hasil hutan non kayu yang intensif. Hal tersebut dengan sendirinya menyebabkan penurunan fungsi hutan, seperti fungsi hutan dalam mengatur tata air dan mencegah erosi. Adanya penurunan fungsi tersebut menyebabkan bahaya lingkungan bagi Desa Salua, baik bahaya lingkungan yang diketahui, maupun bahaya lingkungan yang belum diketahui. Bahaya lingkungan yang belum diketahui adalah bahaya lingkungan yang belum pernah terjadi sebelumnya, seperti wabah penyakit baru serta hama dan penyakit tumbuhan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Agar bahaya lingkungan baru tersebut tidak terjadi, maka diperlukan program untuk menjaga kesehatan lingkungan (tanah, hutan dan lahan) di Desa Salua. Sedangkan bahaya lingkungan yang diketahui adalah bahaya lingkungan yang telah terjadi di Desa Salua seperti banjir dan erosi. Salah satu bahaya lingkungan yang telah terjadi di Desa Salua adalah banjir besar yang melanda Desa Salua pada tahun 2002. Banjir tersebut menghancurkan sebagian besar lahan dan rumah milik masyarakat. Ketika penelitian ini dilaksanakan, masih terlihat sisa-sisa bencana banjir tersebut berupa kayu
69
gelondongan yang berserakan di sekitar sungai. Contoh sisa-sisa bencana banjir besar pada tahun 2002 bisa dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Sisa-sisa Banjir di Desa Salua pada Tahun 2002 Salah satu cara untuk menumbuhkan kesadaran untuk mengelola lingkungan secara lestari kepada masyarakat atau pengambil kebijakan adalah dengan cara memberikan informasi tentang manfaat ekonomi yang terkandung dalam lingkungan itu sendiri. Jika nilai ekonomi lingkungan hidup belum diketahui, dengan sendirinya apresiasi masyarakat dan pengambil kebijakan tidak akan begitu besar. Dengan demikian, penelitian ini akan difokuskan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap kondisi lingkungan di Desa Salua, menghitung nilai ekonomi jasa lingkungan dari TNLL dalam mencegah bahaya lingkungan baik bahaya lingkungan yang telah diketahui maupun bahaya lingkungan yang tidak diketahui, dengan menggunakan pendekatan willingness to pay (WTP), serta bentuk kontribusi dari masyarakat yang paling efektif. Selain itu, di dalam penelitian ini juga akan dirumuskan strategi pengelolaan lingkungan di Desa Salua. Berdasarkan penuturan di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1.
Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kondisi lingkungan di Desa Salua?
2.
Seberapa besar nilai ekonomi bahaya lingkungan yang diakibatkan oleh penurunan fungsi hutan di Desa Salua ?
3.
Faktor-faktor dominan apa saja yang mempengaruhi besarnya kemauan membayar (willingness to pay) masyarakat Desa Salua untuk melakukan perbaikan lingkungan ?
70
4.
Apa kontribusi masyarakat yang paling efektif dalam program perbaikan lingkungan ?
5.
Bagaimana strategi pengelolaan lingkungan di Desa Salua ? Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah :
1.
Mengetahui persepsi masyarakat terhadap kondisi lingkungan di Desa Salua
2.
Melakukan penilaian besarnya nilai ekonomi bahaya lingkungan di Desa Salua
3.
Mengetahui faktor-faktor dominan yang mempengaruhi besarnya kemauan membayar (willingness to pay) masyarakat Desa Salua untuk melakukan perbaikan lingkungan
4.
Mengetahui bentuk kontribusi masyarakat dalam program perbaikan lingkungan yang paling efektif
5.
Merumuskan strategi pengelolaan lingkungan di Desa Salua Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan diperoleh manfaat-manfaat sebagai berikut :
1.
Dapat diperoleh informasi tentang nilai ekonomi lingkungan di sekitar kawasan TNLL berdasarkan perhitungan willingness to pay
2.
Pengetahuan
yang
diperoleh
mengenai
faktor-faktor
dominan
yang
mempengaruhi kemauan membayar masyarakat Desa Salua dalam melakukan pelestarian lingkungan dan perumusan strategi pengelolaan lingkungan di Desa Salua diharapkan dapat menjadi masukan bagi semua pihak yang terkait dengan pengelolaan lingkungan di sekitar kawasan TNLL khususnya di Desa Salua.
71
Alur Pikir Penelitian Alur pikir penelitian, yang secara diagramatis menggambarkan hubungan antara masalah penelitian, tujuan penelitian, serta metode analisis disajikan pada Gambar 2 berikut ini : Faktor-faktor Sosial: • Ada interaksi dengan pendatang • Pendidikan yang rendah
Lemahnya penegakan hukum
Faktor-faktor Ekonomi: • Permintaan kayu dan non kayu • Konsumerisme • Orientasi ekonomi jangka pendek
Faktor-faktor Budaya: • Budaya masyarakat memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayu • Hukum adat Ombo dan Taulo
Pengelolaan Hutan Desa Salua
Perubahan perilaku dalam pengelolaan hutan
Penyerobotan Kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL)
Pemanfaatan hasil hutan non kayu yang intensif
Konversi hutan
Ilegal Logging
Penurunan fungsi hutan
Bahaya lingkungan
WTP
Penilaian ekonomi jasa lingkungan pencegahan bahaya lingkungan
Strategi pengelolaan wilayah (lingkungan hidup)
Gambar 2. Alur Pikir Penelitian
SWOT
72
TINJAUAN PUSTAKA
Valuasi Ekonomi Penggunaan Sumberdaya Alam Terpulihkan Salah satu tema sentral dalam ekonomi lingkungan adalah valuasi sumberdaya hutan. Sumberdaya tersebut diantaranya adalah udara, air permukaan dan air tanah, lahan, pemandangan yang alami dan lain sebagainya. Sumberdaya tersebut menghasilkan tiga fungsi : 1) menghasilkan pendukung sistem ekologi (ecological system support), 2) menghasilkan input negatif dalam proses produksi (misalnya air tanah terkontaminasi oleh limbah industi), 3) kenyamanan yang di konsumsi secara langsung dalam bentuk udara bersih, air untuk keperluan rumah tangga serta jasa rekreasi pada kawasan alamiah (Folmer & Gabel 2001). Menurut Vercueil (2000) beberapa alasan mengapa valuasi nilai ekonomi penting bagi pemegang kebijakan adalah : 1) Untuk menjastifikasi dan memutuskan bagaimana mengalokasikan belanja publik dalam kaitannya dengan pembangunan infrastruktur dan pelayanan sosial, konservasi serta restorasi yang berkaitan dengan kenyamanan publik 2) Mempertimbangkan nilai lingkungan milik publik dan mendorong partisipasi dan dukungan publik terhadap inisiatif perbaikan lingkungan 3) Untuk membandingkan manfaat dari beberapa proyek atau program yang berbeda 4) Untuk memprioritaskan program restorasi dan konservasi dan 5) Untuk memaksimalkan maanfaat ekonomi dari per unit uang yang dibayarkan. Dalam membuat keputusan, pemegang kebijakan akan mempertimbangkan banyak hal, termasuk kualitas lingkungan dan pengaruhnya terhadap kualitas hidup manusia. Untuk membandingkan biaya dan manfaat ekonomi dari keputusan tersebut mereka akan membutuhkan perhitungan manfaat ekonomi dari investasi yang telah dilakukan dalam bentuk terminologi moneter. Untuk beberapa keputusan seperti untuk menjaga kenyamanan alam pedesaan atau kesehatan dan keamanan publik, pertimbangan ekonomi tidak akan diutamakan. Oleh karena itu, dalam situasi tersebut, pemegang kebijakan akan membutuhkan analisis ekonomi sebagai landasan untuk membuat kebijakan tersebut. Menurut Laarman dan Sedjo (1992), jasa yang dapat dihasilkan oleh sumberdaya hutan diantaranya adalah :
73
Jasa Perlindungan 1.
Pengaturan Iklim
2.
Pengaturan komposisi atmosfir
3.
Stabilisasi lereng, streambanks, tangkapan air, dan sebagainya
4.
Shelterbelts, penahan kelembaban tanah
5.
Pengaturan aliran air, dan reduksi banjir
6.
Reklamasi lahan
7.
Penyangga terhadap penyebaran hama dan penyakit
8.
Simpanan, distribusi, dan siklus hara
9.
Habitat hidupan liar
10. Konservasi keanekaragaman hayati Jasa Pendidikan dan Kegiatan Ilmiah 1.
Penelitian ekosistem dan organisme
2.
Zona untuk memonitor perubahan ekologis
3.
Spesimen untuk museum, kebun binatang, dan kebun raya
4.
Stok untuk makanan, bahan kimia, dan agen pengendali biologis
5.
Pendidikan Lingkungan
Pengaruh Psikofisiologis 1.
Rekreasi, wisata, dan olahraga
2.
Menumbuhkan perasaaan kedamaian, harmonis dengan alam
3.
Inspirasi untuk seni, sastra, musik, myth, agama, dan filsafat
4.
Situs dan nilai sejarah
Konsumsi Tumbuhan, Hewan, dan Turunannya 1.
Kayu : kayu log, bahan pulp dan tiang
2.
Kayu bakar
3.
Makanan : ikan, buah, jamur, madu, sayuran, dan sebagainya
4.
Herba, bunga, tumbuhan obat dan bahan farmasi
5.
Getah, resin, laks, minyak, tannin dan waxes
6.
Pakan ternak (rumput, daun)
7.
Ulat sutera
8.
Bahan stuktural non-kayu : bambu, rotan
74
9.
Kulit, bulu, gigi, dan bagian fauna lainnya
10. Habitat flora dan fauna berpotensi ekonomi Sumber lahan dan ruang kehidupan 1.
Cadangan lahan untuk kegiatan pertanian dan pembangunan lainnya
2.
Tempat hidup bagi indegenous people Menurut Hufschmidt et al (1992) diacu dalam Djijono (2002), secara garis
besar metode penilaian manfaat ekonomi (biaya lingkungan) suatu sumberdaya alam dan lingkungan pada dasarnya dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu berdasarkan pendekatan yang berorientasi pasar dan pendekatan yang berorientasi survei atau penilaian hipotesis yang disajikan berikut ini : 1.
Pendekatan Orientasi Pasar a. Penilaian manfaat menggunakan harga pasar aktual barang dan jasa (actual based market methods) : i.
Perubahan dalam nilai hasil produksi (change in productivity)
ii.
Metode kehilangan penghasilan (loss of earning methods)
b. Penilaian biaya dengan menggunakan harga pasar aktual terhadap masukan berupa perlindungan lingkungan : i.
Pengeluaran pencegahan (averted defensif expenditure methods)
ii.
Biaya penggantian (replacement cost methods)
iii.
Proyek bayangan (shadow project methods)
iv.
Analisis keefektifan biaya
c. Penggunaan metode pasar pengganti (surrogate market based methods)
2.
i.
Barang yang dapat dipasarkan sebagai pengganti lingkungan
ii.
Pendekatan nilai kepemilikan
iii.
Pendekatan lain terhadap nilai tanah
iv.
Biaya perjalanan (travel cost)
v.
Pendekatan perbedaan upah (wage differential methods)
vi.
Penerimaan kompensasi/pampasan
Pendekatan Orientasi Survei a. Pertanyaan langsung terhadap kemauan membayar (willingness to pay) b. Pertanyaan langsung terhadap kemauan dibayar (willingness to accept)
75
Willingness To Pay Untuk menilai manfaat intangible secara kuantitatif, para ahli ekonomi telah berusaha mengembangkan suatu pendekatan yakni pendekatan kemauan membayar (willingness to pay) dari para konsumen yang bersangkutan. Menurut Hutchinson dan Chilton (1999) diacu dalam Syakya (2005), willingness to pay (WTP) adalah keinginan individu membayar sejumlah uang untuk peningkatan kualitas lingkungan atau terhindar dari penurunan kualitas lingkungan. Pada prinsipnya WTP sama dengan pendugaan kurva permintaan yang merupakan tempat kedudukan besarnya kemauan membayar dari sekelompok konsumen pada berbagai tingkat konsumsinya (Darusman 2002). Teknik penilaian manfaat, didasarkan pada kemauan konsumen membayar perbaikan atau kemauan menerima kompensasi dengan adanya kemunduran kualitas lingkungan dalam sistem alami serta kualitas lingkungan sekitar (Hufschmidt et al 1987 diacu dalam Fauzi 2004). Kemauan membayar atau kemauan menerima merefleksikan preferensi individu, yang merupakan ‘bahan mentah’ dalam penilaian ekonomi. Pearce dan Moran (1994) diacu dalam Djiono (2002) menyatakan kemauan membayar dari rumah tangga ke - i untuk perubahan dari kondisi lingkungan awal (Q0) menjadi kondisi lingkungan yang lebih baik (Q1) dapat disajikan dalam bentuk fungsi, yaitu : WTPi = f(Q1 – Qo, Powni, Psubi, Si Keterangan : WTPi : Kesediaan membayar dari rumah tangga ke i Powni : Harga dari penggunaan sumberdaya lingkungan Psubi : Harga subtitusi untuk penggunan sumberdaya lingkungan. Si
: Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga ke i Kemauan membayar berada di area di bawah kurva permintaan. Kurva
permintaan mengukur jumlah yang akan dibayar oleh konsumen untuk tiap unit yang dikonsumsi. Kurva permintaan merupakan jadwal kemauan konsumen untuk membayar jumlah sumberdaya yang dikonsumsi. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan pada Gambar 3 di bawah ini.
76
R P = Price Q = Quantity E
N
O
M
Q
Gambar 3. Surplus Konsumen
Total bidang di bawah kurva permintaan (OREM) menunjukan total utilitas yang diperoleh atas konsumsi suatu barang atau merupakan ukuran kemauan membayar total, karena jumlah tersebut adalah hasil penjumlahan nilai-nilai marginal Q dari O sampai M. Dengan mengurangkan biaya suatu barang bagi konsumen (ONEM), nilai surplus konsumen ditunjukan sebagai bidang segitiga NRE dan merupakan ukuran kemauan membayar di atas pengeluaran kas untuk konsumsi. Surplus konsumen merupakan perbedaan antara jumlah yang dibayarkan oleh pembeli untuk suatu produk dan kemauan untuk membayar. Surplus konsumen timbul karena konsumen menerima lebih dari yang dibayarkan dan bonus ini berakar pada hukum utilitas marginal yang semakin menurun. Sebab timbulnya surplus konsumen adalah karena konsumen membayar untuk tiap unit berdasarkan nilai unit terakhir (Sukirno 2002). Teknik Penilaian Non-Pasar Sumberdaya Alam dan Lingkungan Menurut Fauzi (2004), secara umum teknik valuasi ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan (non-market valuation) dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah teknik valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana willingness to pay (WTP) terungkap melalui model yang dikembangkan. Teknik ini sering disebut teknik yang mengandalkan revealed WTP (kemauan membayar yang terungkap). Beberapa teknik yang termasuk ke
77
dalam kelompok pertama ini diantaranya adalah : travel cost, hedonic pricing, dan teknik baru yang disebut random utility model. Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survei dimana kemauan membayar atau WTP diperoleh langsung dari responden, yang langsung diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Salah satu teknik yang popular dalam kelompok ini adalah yang disebut Contingent Valuation Method (CVM), dan Discrete Choice Method. Secara skematis, teknik valuasi non-market tersebut dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini. Valuasi Non Market
Tidak Langsung (Revealed WTP) • • •
Hedonic Pricing Travel Cost Random Utility Model
Langsung (Survei) (Expressed WTP) • Contingent Valuation • Discrete Choice
Gambar 4. Klasifikasi Valuasi Non-market Teknik Pengukuran Tidak Langsung Travel Cost Method Menurut Fauzi (2004), Travel Cost Method (TCM) dapat dikatakan sebagai metode yang tertua untuk pengukuran nilai ekonomi tidak langsung. Metode ini diturunkan dari pemikiran yang dikembangkan oleh Hotelling pada tahun 1931, yang kemudian secara formal diperkenalkan oleh Wood dan Trice (1985) serta Clawson dan Knetsch (1966). Metode ini kebanyakan digunakan untuk menganalisa permintaan terhadap rekreasi alam terbuka (outdoor recreation), seperti memancing, berburu, hiking, dan sebagainya. Metode travel cost ini dapat digunakan untuk mengukur manfaat dan biaya akibat: 1.
Perubahan biaya akses (tiket masuk) bagi suatu tempat rekreasi
2.
Penambahan tempat rekreasi baru
3.
Perubahan kualitas lingkungan tempat rekreasi
78
4.
Penutupan tempat rekreasi yang ada Secara umum ada dua teknik sederhana yang digunakan untuk menentukan
nilai ekonomi berdasarkan TCM ini. Teknik tersebut adalah : 1.
Pendekatan sederhana menurut zonasi
2.
Pendekatan individual TCM dengan menggunakan data sebagian besar dari survei Pendekatan TCM melalui zonasi adalah pendekatan yang relatif sederhana
dan murah karena data yang diperlukan relatif banyak mengandalkan data sekunder dan beberapa data sederhana dari responden pada saat survei. Dalam teknik ini, tempat rekreasi dibagi ke dalam beberapa zona kunjungan dan diperlukan data jumlah pengunjung per tahun. Dari sini kemudian diperoleh data jumlah kunjungan per 1.000 penduduk. Dengan memperoleh data ini dan data jarak, waktu perjalanan, serta biaya setiap perjalanan per satuan jarak (per km), akan diperoleh biaya perjalanan secara keseluruhan (travel cost) dan kurva permintaan untuk kunjungan ke tempat wisata. Metodologi pendekatan individual TCM secara prinsip sama dengan sistem zonasi, namun pada pendekatan ini analisis lebih didasarkan pada data primer yang diperoleh melalui survei dan teknik statistika yang relatif lebih kompleks. Kelebihan dari metode kedua ini adalah hasil yang relatif akurat daripada metode zonasi. Karena metode TCM tidak digunakan dalam penelitian ini, karena lokasi yang akan diukur nilai ekonominya bukan merupakan tempat wisata Hedonic Pricing (HP) Menurut Fauzi (2004), teknik Hedonic Pricing dikembangkan dari teori atribut (atau karakteristrik) yang dikemukakan oleh Lancaster (1966). Teknik ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Griliches (1971) dan Rosen (1974). Teknik ini pada prinsipnya adalah mengestimasi nilai implisit karakteristik atau atribut yang melekat pada suatu produk dan mengkaji hubungan antara karakteristik yang dihasilkan tersebut dengan permintaan barang dan jasa. Misalnya, permintaan rumah yang dibangun di tepi danau akan banyak ditentukan oleh karakteristik yang dihasilkan dari danau itu (keindahan, kebersihan dan sebagainya). Di sisi lain, nilai properti (perumahan) juga banyak ditentukan oleh
79
kualitas lingkungan dan diasumsikan bahwa semakin buruk kualitas lingkungan,
Nilai Properti
semakin menurun nilai properti tersebut (Gambar 5).
Kualitas lingkungan Pencemaran
Kualitas lingkungan membaik
Gambar 5. Hubungan antara nilai properti dan kualitas lingkungan Analisa HP terdiri dari dua tahap. Pertama adalah penentuan variabel kualitas lingkungan yang akan dijadikan studi (fungsi HP) dan pengkajiannya memerlukan ketersediaan data spasial dan data harga suatu objek yang akan dinilai. Metode HP kurang relevan digunakan dalam penelitian ini, karena jasa lingkungan yang akan diukur tidak berhubungan secara langsung dengan harga suatu objek, misalnya harga rumah, harga tiket masuk, atau harga sewa hotel. Teknik Pengukuran Langsung Berbeda dengan pendekatan tidak langsung, pada pendekatan pengukuran secara langsung, nilai ekonomi sumberdaya dan lingkungan dapat diperoleh langsung dengan menanyakan kepada individu atau masyarakat mengenai kesediaan mereka membayar (willingness to pay) barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Contingent Valuation Method (CVM)
80
Menurut Fauzi (2004), pendekatan CVM pertama kali diperkenalkan oleh Davis (1963) dalam penelitian mengenai perilaku perburuan (hunter) di Miami. Pendekatan ini baru populer sekitar pertengahan 1970-an ketika pemerintah Amerika Serikat mengadopsi pendekatan ini untuk studi-studi sumberdaya alam. Pendekatan ini disebut contingent (tergantung) karena pada praktiknya informasi yang diperoleh sangat tergantung pada hipotesis yang dibangun. Misalnya berapa biaya yang harus ditanggung, bagaimana pembayarannya, dan sebagainya. Metode ini digunakan dalam penelitian ini, karena dalam prakteknya, penelitian ini akan mengukur nilai ekonomi jasa lingkungan dengan cara mengukur kesediaan membayar masyarakat terhadap perbaikan lingkungan yang akan dilaksanakan. Pendekatan CVM ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan teknik eksperimental melalui simulasi dan permainan. Kedua, dengan teknik survei. Pendekatan pertama lebih banyak dilakukan melalui simulasi komputer sehingga penggunaannya di lapangan sangat sedikit. Pendekatan CVM sering digunakan untuk mengukur nilai pasif (nilai nonmanfaat) sumberdaya alam atau sering juga dikenal dengan nilai keberadaan. CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui : pertama, kemauan membayar (willingness to pay atau WTP) dari masyarakat, misalnya terhadap perbaikan kualitas lingkungan (air dan udara) dan kedua, kemauan menerima (willingness to accept atau WTA) dari masyarakat atas kerusakan suatu lingkungan. Karena teknik CVM didasarkan pada asumsi berdasarkan kepemilikan (Garrod & Willis 1999, diacu dalam Fauzi 2004), jika individu yang ditanya tidak
81
memiliki hak atas barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam, pengukuran yang relevan adalah kemauan membayar yang maksimum (maximum willingness to pay) untuk memperoleh barang dan jasa tersebut. Sebaliknya, jika individu yang ditanya memiliki hak atas sumberdaya, pengukuran yang relevan adalah kemauan untuk menerima (willingness to accept) kompensasi yang paling minimum atas hilangnya atau rusaknya sumberdaya alam yang dimilikinya. Dalam tahap operasional penerapan pendekatan CVM terdapat lima tahap kegiatan atau proses. Tahapan tersebut dapat dikatagorikan sebagai berikut : Tahap Satu : Membuat Hipotesis Pasar Pada awal proses kegiatan CVM, seorang peneliti harus terlebih dahulu membuat hipotesis pasar terhadap sumberdaya yang akan dievaluasi. Misalnya, pemerintah ingin memperbaiki lingkungan pantai yang sudah tercemar. Dalam hal ini kita dapat membuat kuisoner yang berisi informasi lengkap mengenai bagaimana kondisi lingkungan pantai yang bagus (misalnya dengan menunjukkan gambar pantai yang tercemar dan tidak tercemar), bagaimana pemerintah akan memperoleh dana (apakah dengan pajak, pembayaran langsung, dan sebagainya). Kuisioner ini bisa terlebih dahulu diuji pada kelompok kecil untuk mengetahui reaksi atas proyek yang akan dilakukan sebelum proyek tersebut betul-betul dilaksanakan. Tahap Kedua : Mendapatkan Nilai Lelang (Bids) Tahap berikutnya dalam melakukan CVM adalah memperoleh nilai lelang. Hal ini dilakukan dengan melakukan survei, baik melalui survei langsung dengan kuisioner, wawancara melalui telepon, maupun lewat surat. Dari ketiga cara
82
tersebut survei langsung akan memperoleh hasil yang lebih baik. Tujuan dari survei ini adalah untuk memperoleh nilai maksimum kemauan membayar (WTP) dari responden terhadap suatu proyek, misalnya perbaikan lingkungan. Nilai lelang ini bisa dilakukan dengan teknik : 1.
Permainan lelang (bidding game). Responden diberi pertanyaan secara berulang-ulang tentang apakah mereka bersedia membayar sejumlah tertentu. Nilai ini kemudian bisa dinaikkan atau diturunkan tergantung respon atas pertanyaan sebelumnya. Pertanyaan dihentikan sampai nilai yang tetap diperoleh
2.
Pertanyaan terbuka. Responden diberikan kebebasan untuk menyatakan nilai moneter (rupiah yang bersedia dibayarkan) untuk suatu proyek perbaikan lingkungan
3.
Payment Card. Nilai lelang dengan teknik ini diperoleh dengan cara menanyakan apakah responden mau membayar pada kisaran nilai tertentu dari nilai yang sudah ditentukan sebelumnya. Nilai ini ditunjukan kepada responden melalui kartu
4.
Model referendum atau discrete choice (dichotomous choice). Responden diberi suatu nilai rupiah, kemudian diberi pertanyaan setuju atau tidak
Tahap Ketiga : Menghitung Rataan WTP dan WTA Setelah survei dilaksanakan, tahap berikutnya adalah menghitung nilai rataan WTP setiap individu. Nilai ini dihitung berdasarkan nilai lelang (bid) yang diperoleh pada tahap kedua. Perhitungan ini biasanya didasarkan pada nilai mean (rataan) dan nilai median (tengah). Pada tahap ini harus diperhatikan kemungkinan timbulnya outliner (nilai yang sangat jauh menyimpang dari ratarata). Tahap Keempat : Memperkirakan Kurva Lelang (Bid Kurve)
83
Kurva lelang atau bid curve diperoleh misalnya dengan cara meregresikan WTP/WTA sebagai variabel tidak bebas (dependent variabel) dengan beberapa variabel bebas. Tahap Kelima : Mengagregatkan Data Tahap terakhir dari CVM adalah mengagregatkan rataan lelang yang diperoleh pada tahap ketiga. Proses ini melibatkan konversi data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengkonversi ini adalah mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga dalam populasi (N). Model Parametrik CVM Salah satu model CVM yang paling umum digunakan adalah model Dikotomous. Garod dan Willis (1999) diacu dalam Fauzi (2004) menyatakan bahwa pendekatan ini merupakan alternatif terbaik untuk menjawab defisiensi pendekatan Contingent Valuation yang didasarkan pada pertanyaan terbuka maupun bidding games. Pendekatan ini dianggap lebih mendekati teori dibandingkan model-model lain seperti open ended CVM atau bidding game CVM. Pada tahun 1980-an mulai disadari adanya kelemahan pada model open ended CVM atau bidding game CVM ini dalam hal memperkirakan nilai WTP yang tepat karena metode tersebut mengharuskan responden untuk mengkontruksi nilai maksimum WTP mereka yang sering pada akhirnya menimbulkan bias. Untuk mengembangkan model parametrik dikotomus CVM, digunakan model dasar yang disebut Random Utility Model (RUM) yang telah dikembangkan oleh McFadden (1974).
84
Model RUM dimulai dengan membangun hipotesis bahwa ada dua kondisi alternatif sumberdaya alam, yaitu kondisi i=0 yang menggambarkan kondisi status quo dan i=1, yang menggambarkan kondisi perubahan sumberdaya seperti yang ditawarkan dalam survei CVM. Misalnya Mj menggambarkan pendapatan responden j pada kondisi i, kemudian zj menggambarkan karakteristik sosial responden ke j, termasuk variasi yang terjadi pada kuisioner, dan menggambarkan preferensi yang bersifat random yang hanya diketahui oleh responden, tetapi tidak oleh peneliti. Dengan demikian fungsi-fungsi utilitas responden terhadap kondisi sumberdaya alam ditulis sebagai berikut : uij = u (Mj,zj, εij) Jika responden kemudian diminta untuk membayar sebesar p, utilitas yang diperoleh pada kondisi lingkungan yang baik setelah adanya kemauan membayar dari responden dibandingkan status quo dapat digambarkan pada persamaan berikut : u1(Mj-pj,zj, ε1j) > u0(Mj,zj, ε0j)
Namun demikian, karena peneliti tidak mengetahui preferensi responden yang bersifat acak, peneliti hanya mengetahui kemungkinan (probabilitas) menjawab “ya” atau “tidak”. Jadi jika u1>u0, kemungkinan responden menjawab adalah “ya” adalah : Pr (“ya”) = Pr {u1(Mj-pj,zj,ε1j)>u0(Mj,zj, ε0j)
85
Tahap berikutnya dalam pemodelan RUM ini adalah membuat spesifikasi fungsi utilitas yang biasanya dibuat dalam bentuk linear dan aditif berikut ini : ui(Mj-pj,zj,εij) = vi (Mj,zj)+ εij
dimana ui adalah fungsi utilitas yang tidak teramati (unobservable), sementara vi adalah fungsi utilitas yang teramati, atau sering dikenal dengan inderect utility function. Salah satu bentuk fungsi ini dapat ditulis dalam bentuk : vi = α0 +α1Zi1+α2Zi2+αmZim
dimana Zi adalah variabel sosial ekonomi. Penduga willingness to pay dalam persamaan di atas dapat ditulis dalam persamaan berikut ini : α1zj + β(Mj-WTPj)+ εij = α0zj+ βMj+ εoj
dimana α dan β adalah koefisien atau parameter yang diperoleh melalui pendugaan dengan teknik regresi atau ekonometrik. Untuk memperoleh nilai WTP yang diinginkan, persamaan di atas bisa dipecahkan menjadi persamaan di bawah ini :
WTPj =
αz j + ∈ j β
Model di atas dibangun dengan asumsi bahwa utilitas bersifat linear terhadap pendapatan. Variasi lain dari model ini adalah dengan menggunakan model ulititas yang bersifat logaritmik terhadap pendapatan. Asumsi logaritmik ini lebih realistis karena adanya sifat diminishing return pendapatan. Fungsi
86
utilitas yang menggambarkan fungsi non-linear tersebut dapat ditulis dengan persamaan berikut : vi (Mj,zj)+ εij = β ln (Mj)+ αizj+ εij Jadi apabila variabel acak (ε) diasumsikan terdistribusi secara logaritmik, peluang bagi responden untuk menjawab “ya” dapat ditulis melalui persamaan berikut :
Pr(" ya j " ) =
1 1+ e
−x jβ
Model di atas merupakan model logit dimana parameter β dapat diduga melalui regresi model logit dengan Xj = sebagai variabel independen. Meskipun CVM diakui sebagai pendekatan yang cukup baik untuk mengukur WTP, namun ada beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya. Kelemahan yang utama adalah timbulnya bias. Bias ini terjadi jika timbul nilai yang overstate secara sistematis dari nilai sebenarnya. Sumbersumber bias terutama ditimbulkan oleh dua hal yang utama : 1.
Bias yang ditimbulkan dari strategi yang keliru. Ini terjadi misalnya jika dalam melakukan wawancara atau kuisioner dinyatakan bahwa responden akan dipungut fee untuk perbaikan lingkungan sehingga akan timbul kecenderungan pada responden untuk memberi nilai understate dari nilai fee tersebut. Sebaliknya, jika dalam wawancara semata-mata hanya dinyatakan hipotesis saja, maka akan timbul kecenderungan responden untuk memberikan nilai overstate dari nilai yang sebenarnya. Penjelasan untuk perbedaan nilai antara WTP dan WTA pada suatu objek yang sama adalah :1) sangat tergantung pada elastisitas objek yang ditawarkan untuk mengganti komoditas/sumberdaya yang akan dinilai (barang pubik) dan (barang pribadi)
87
(Hanemann, 1991). Penjelasan lain untuk hal di atas berdasarkan pada teori prospek yang menyatakan bahwa
nilai kehilangan individu lebih berat
dibandingkan dengan nilai mendapatkan. Hal tersebut juga dimungkinkan individu akan terpengaruh oleh siapa yang memiliki objek yang ditanyakan (Carson, 1991) 2.
Bias yang ditimbulkan oleh rancangan penelitian (design bias). Bias ini bisa terjadi jika informasi yang diberikan pada responden mengandung hal-hal yang kontroversial. Misalnya, responden ditawari bahwa untuk melindungi kawasan wisata alam dari pencemaran limbah oleh pengunjung, tarif karcis harus dinaikkan. Tentu saja responden akan memberikan nilai WTP yang lebih rendah dari pada jika alat pembayaran dilakukan dengan cara lain, misalnya (melalui yayasan, trust fund, atau pemerintah) Selain beberapa kelemahan di atas, Carson et al (2001) diacu dalam Fauzi
(2004) menyatakan bahwa realibilitas pengukuran CVM sampai saat ini masih menjadi perdebatan, sehingga memerlukan desain yang sangat cermat. Salah satu masalah yang timbul adalah terjadinya fenomena warm glow (Becker, 1974 diacu dalam Fauzi 2004), yang sebetulnya terkait dengan altruisme. Dalam kontek CVM, warm glow bisa terjadi karena responden berusaha menyenangkan pewawancara dengan cara memberikan jawaban setuju untuk pembayaran sesuatu, meskipun pada dasarnya dia tidak setuju. Meskipun dampak ini bisa dihindarkan dengan menyediakan pewawancara yang terlatih, namun kecenderungan terjadi warm glow untuk responden di daerah pedesaan sangat mungkin terjadi. Secara sosiologis mereka ini sering menimbulkan centering bias untuk menyetujui apa yang ditanyakan pewawancara. Meskipun demikian, menurut Richard et al (2001), walaupun metode CVM memiliki beberapa kelemahan, hal tersebut bisa diatasi dengan desain dan implementasi studi yang hati-hati. Klaim bahwa CVM secara teori tidak konsisten
88
tidak sepenuhnya benar. Beberapa literatur menunjukan bahwa CVM bisa dijadikan pedoman bagi praktisi yang menggunakan pengukuran dengan CVM untuk mengukur nilai ekonomi non pasar serta user yang menggunakan hasil pengukuran tersebut. Konsep Pengelolaan Sumberdaya Alam Milik Bersama Sumberdaya alam milik bersama (common pools resources) sering diartikan secara beragam. Arnold (1998) mendefinisikan common
pools
resources (CPR) “...used to refer both to land or resources available to all and consequently not owned or managed by anyone, and also to situations where access is limited to a specific groups that holds rights in common”. Dalam penerapannya, istilah CPR sering digunakan secara bergantian untuk menjelaskan sifat sumberdaya alamnya, dan terkadang pula digunakan untuk menjelaskan sistem kolektif terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. McKean et al (1995) mendefinisikan common property resources lebih kepada situasi dimana sumberdaya alam tersebut dikelola sebagai sumberdaya milik bersama. Terdapat dua wacana penting yang saling bertentangan terkait pengelolaan common property resources. Wacana pertama berpendapat bahwa pemanfaatan sumberdaya alam secara kolektif tidak akan mampu memberikan insentif terhadap pengelolaan sumberdaya yang lestari. Pandangan yang mendasari wacana tersebut adalah munculnya anggapan bahwa peluang akses dan penguasaan sumberdaya alam secara kolektif, dengan pola pengelolaan yang terbuka, menyebabkan minimnya insentif masyarakat terhadap kelestarian lingkungan (Nemarundwe 2001). Pandangan ini mendukung teori Hardin (1968) tentang “Tragedy of the Commons”. Teori ini menegaskan bahwa jika banyak individu memanfaatkan sumberdaya terbatas secara bersama-sama, maka dapat dipastikan akan berakhir dengan kerusakan lingkungan. Dalam kondisi ini tidak ada satupun yang bertanggungjawab
atas
pengelolaan
sumberdaya
alam,
sehingga
laju
kerusakannya berlangsung cepat (Rasmussen 1995). Wacana kedua didasari oleh pandangan bahwa kegagalan untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan tidak disebabkan oleh sifat sumberdaya alamnya, namun lebih pada fokus pengelolaan yang bersifat neglectif
89
terhadap kerangka kelembagaan di lokasi pengelolaan. Hal ini lebih disebabkan oleh tidak jelasnya property right, sehingga penggunaan sumberdaya menjadi bersifat open access (Bromley 1992, diacu dalam Golar 2007). Sejalan dengan wacana pertama, kajian yang dilakukan Sitorus (2002) memberikan gambaran tentang perubahan cepat yang mendasar pada ekologi pedesaan.
Hal ini mengindikasikan telah terjadi perubahan radikal bentukan
sosial setempat, yang telah memudahkan peralihan sistem kepemilikan tanah dari jenis kolektif (common resources) menjadi jenis kepemilikan pribadi, dimana distribusi lahan tunduk pada kekuatan pasar (pasaran tanah). Situasi ini memungkinkan penduduk asli secara khusus memperoleh sumberdaya tanah dan menjualnya pada pendatang, sehingga menyebabkan perubahan mendasar pada struktur agraria lokal, dimana penduduk asli telah diturunkan tingkatannya dari “bertanah” menjadi “tak bertanah”, sementara pendatang diangkat tingkatnya dari “tak bertanah” menjadi “bertanah”. Perubahan dalam struktur agraria tersebut menandakan penurunan keterjaminan sosial ekonomi penduduk asli dan sebaliknya peningkatan keterjaminan bagi pendatang. Kondisi ini menyebabkan penduduk asli mencoba memecahkan masalah ketidakterjaminan sosial ekonomi dengan cara merambah kawasan hutan. Sementara itu, pendapat lain yang mendukung wacana kedua dikemukakan oleh Ostrom (1990); Parlee et al (2006); Murray et al (2006), menyatakan bahwa keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam milik bersama sangat ditentukan oleh keeratan hubungan antara masyarakat dan sumberdaya alamnya. Hal ini dapat terwujud bilamana kelembagaan lokal berjalan dengan baik, sehingga mampu membentuk perilaku arif manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Aturan main dan peraturan yang digunakan oleh masyarakat dapat menentukan siapa yang memiliki akses pada sumberdaya bersama, berapa ukuran penggunaan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat yang berhak, kapan dan siapa yang akan memonitor dan menegakkan aturan ini. Dengan demikian, tindakan-tindakan oportunistik dapat diredam melalui penataan kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Berfungsinya kelembagaan lokal diharapkan mampu meredam tekanan faktor internal maupun eksternal seperti: pertambahan jumlah penduduk (Wade
90
1988), heterogenitas sosial dan ekonomi (Baland & Platteu 1996), struktur penguasaan lahan (Hanna et al 1995; Ostrom 1999; Smith et al 2000), dan faktor eksternal seperti: interpensi kebijakan nasional (Wade 1988; Ostrom 1999), dan tekanan pasar dan teknologi (Wade 1988). Teori Adaptasi Bennett (1976) memandang adaptasi sebagai perilaku adaptif manusia terhadap perubahan-perubahan lingkungannya, agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Perilaku adaptif dapat dilihat sebagai inovatif, mencari perubahan, atau sebaliknya konservatif. Secara operasional, Turnbull (1992) menjelaskan bahwa faktor-faktor lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan antara lain: intervensi ekonomi pasar, tekanan penduduk, dan politik. Perubahan-perubahan tersebut direspon dalam bentuk yang beragam. Lebih jauh dijelaskan bahwa di dalam peradaban tradisional, pemenuhan kebutuhan merupakan urusan unit-unit kekerabatan (production is located in kindship units), dimana peradaban-peradaban tersebut pada umumnya tidak memerlukan sistem pasar dan penggunaan uang dalam mendorong produksi barang dan jasa. Menjaga suplai makanan, melestarikan keturunan, menyebarkan ilmu, hiburan dan sebagainya, merupakan bagian kegiatan kekerabatan tradisional. Namun demikian, pengaruh faktor eksternal seperti “intervensi pasar”, menyebabkan terjadinya perubahan sosial. Perubahan tersebut mendorong respon masyarakat untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian (adaptasi) terhadap polapola interaksi dalam sistem sosial. Perilaku tersebut menurut Bennett terkait erat dengan kebutuhan hidup, setelah sebelumnya melalui keadaan-keadaan tertentu, dan kemudian membangun suatu strategi untuk menghadapi keadaan-keadaan yang akan datang. Konsep adaptasi Bennett memiliki tiga tataran: fisik/biologis; kultural; dan pola hubungan/perilaku (behavior). Perilaku adaptif merupakan bentuk perilaku yang menyesuaikan cara-cara pada tujuan, mencapai kepuasan, melakukan pilihan-pilihan secara aktif maupun pasif. Tindakan strategis lebih khusus menunjuk pada perilaku aktif tindakan-tindakan spesifik yang dirancang untuk
91
mencapai tujuan. Sedangkan strategi adaptif menunjuk pada tindakan spesifik yang dipilih dalam proses pengambilan keputusan dengan suatu derajat keberhasilan yang dapat diperkirakan (Bennett 1976: 271-272). Analisis SWOT Analisis SWOT merupakan salah satu alat formulasi strategi dengan cara mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematik untuk merumuskan strategi suatu tujuan. Hasil analisis SWOT biasanya digunakan dalam pengambilan keputusan, dan selama ini banyak digunakan oleh perusahaan. SWOT adalah singkatan dari Strength (kekuatan), Weakness (kelemahan), Opportunity (peluang) dan Threat (ancaman). Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang. Namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Menurut Pearce II dan Robinson (1991) yang diacu dalam Wijayanto (2001), kekuatan adalah sumberdaya, keterampilan atau keunggulan lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan pasar suatu perusahaan. Kelemahan merupakan keterbatasan dalam sumberdaya, keterampilan dan kemampuan yang secara serius menghalangi kinerja suatu perusahaan. Peluang merupakan situasi yang menguntungkan, misalnya perubahan teknologi yang memberikan kemudahan. Sedangkan ancaman adalah situasi yang tidak menguntungkan, rintangan perusahaan seperti masuknya pesaing baru, perubahan teknologi dan peraturan baru atau perubahan yang direvisi. Analisis SWOT menurut Rangkuti (2005) adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematik untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika
yang
dapat
memaksimalkan
kekuatan
(Strengths)
dan
peluang
(Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakneses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan. Dengan demikian perencana strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut dengan Analisis Situasi dimana model yang paling populer untuk analisis situasi adalah Analisis SWOT. Proses
92
pengambilan keputusan strategis pada analisis SWOT dapat dilihat pada Gambar 5.
1(a)
EVALUASI KINERJA PERUBAHAN SAAT INI EVALUASI : MISI TUJUAN KEBIJAKAN
3
ANALISIS LINGKUNGAN EKSTERNAL
1(b)
2 ANALISIS BUDAYA MANAJEMEN Pimpinan Manajemen
4
ANALISIS LINGKUNGAN INTERNAL
5(a) ANALISIS FAKTOR STRATEGIS S.W.O.T. PEMILIHAN FAKTOR STRATEGIS Peluang Ancaman
EVALUASI DAN REVIEW - MISI - TUJUAN 5(b) - STRATEGI
PEMILIHAN FAKTOR STRATEGIS Kekuatan Kelemahan
FORMULASI STRATEGI (TAHAP 1-6)
6
PILIH ALTERNATIF TERBAIK
7
IMPLEMENTASI STRATEGI
IMPLEMENTASI (TAHAP 7)
8
EVALUASI DAN PENGENDALIAN
EVALUASI DAN PENGENDALIAN (TAHAP 8)
(Sumber : Rangkuti 2005)
Gambar 6. Proses Pengambilan Keputusan Strategis Selanjutnya dijelaskan bahwa kinerja suatu institusi dapat ditentukan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Untuk dapat membandingkan antara perbandingan kekuatan dan kelemahan (diwakili garis horizontal) dengan perbandingan peluang dan ancaman (diwakili garis vertikal). Pada diagram tersebut kekuatan dan peluang diberi tanda positif, sedangkan kelemahan dan
93
ancaman diberi tanda negatif. Dengan menempatkan selisih nilai S (kekuatan) – W (kelemahan) pada sumbu (x), dan menempatkan selisih nilai antara O (peluang) – T (ancaman) pada (y), maka ordinat (x,y) akan menempati salah satu sel dari diagram SWOT. Letak nilai S – W dan O – T dalam diagram SWOT akan menemukan arah strategi yang akan ditempuh oleh suatu bentuk usaha seperti hutan rakyat. Diagram tersebut disajikan pada Gambar 7. BERBAGAI PELUANG 1. Mendukung strategi turnarround
3. Mendukung strategi agresif
KELEMAHAN INTERNAL
KEKUATAN INTERNAL 2. Mendukung strategi defensif
4. Mendukung strategi diversifikasi
BERBAGAI ANCAMAN (Sumber : Rangkuti 2005)
Gambar 7. Diagram SWOT Posisi di kuadran 1 (support on agresive strategy) adalah situasi yang paling menguntungkan, dimana sistem pengelolaan mempunyai peluang dan kekuatan. Jika sistem berada pada kuadran 2 (support diversification strategy), berarti sistem menghadapi ancaman akan tetapi masih memiliki kekuatan dari segi internal, jika sistem berada pada kuadran 3 (support a turnarround oriented strategy), berarti sistem tersebut mempunyai peluang yang besar tetapi di lain pihak menghadapi beberapa kendala/kelemahan, dan apabila sistem berada pada kuadran 4 berarti sistem menghadapi situasi yang paling tidak menguntungkan karena mempunyai ancaman dan kelemahan internal. Setiap kuadran pada diagram SWOT memperlihatkan ciri yang berbeda dari suatu unit usaha, sehingga diperlukan strategi yang berbeda pula dalam penanganannya.
94
METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian analisis-kuantitatif dan deskriptifkualitatif dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Secara umum, studi kasus memberikan akses dan peluang yang luas kepada peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif, dan menyeluruh terhadap unit sosial yang diteliti. Studi kasus dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan antar-variabel, serta proses-proses yang memerlukan penjelasan dan pemahaman yang lebih luas. Selain itu, studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuantemuan yang sangat berguna sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan bagi perencanaan penelitian yang lebih besar dan mendalam, dalam rangka pengembangan ilmu (Yin 1997; Azis 2003). Black dan Champion (1992) menyebutkan beberapa keunggulan spesifik studi kasus, di antaranya: (1) bersifat luwes berkenaan dengan metode pengumpulan data yang digunakan; (2) keluwesan studi kasus menjangkau dimensi yang sesungguhnya dari topik yang diselidiki; (3) dapat dilaksanakan secara praktis di dalam banyak lingkungan sosial; (4) studi kasus menawarkan kesempatan menguji teori. Disamping keunggulan, juga terdapat sejumlah kelemahan: pertama, studi kasus kurang memberikan dasar yang kuat terhadap suatu generalisasi ilmiah; Kedua, ada kecenderungan studi kasus kurang mampu mengendalikan bias subyektivitas peneliti. Untuk mengatasi hal tersebut, empat hal penting yang perlu diperhatikan sebelum menetapkan penggunaan metode studi kasus: pertama, studi kasus harus signifikan. Artinya, kasus yang diangkat mengisyaratkan sebuah keunikan dan betul-betul khas, serta menyangkut kepentingan publik atau masyarakat umum; kedua, studi kasus harus lengkap. Kelengkapan ini dicirikan oleh tiga hal: (1) kasus yang diteliti memiliki batas-batas yang jelas (ada perbedaan yang tegas antara fenomena dengan konteksnya); (2) tersedianya bukti-bukti relevan yang meyakinkan; dan (3) mempermasalahkan ketiadaan kondisi buatan tertentu; ketiga, studi kasus mempertimbangkan alternatif perspektif; keempat, studi kasus
95
harus menampilkan bukti yang memadai dan secara bijak mendukung atas kasus yang diteliti (Yin 1997; Bungin 2003). Pendekatan studi kasus yang digunakan tidaklah kaku sifatnya, dan sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan perkembangan fakta empiris yang tengah dicermati. Hal ini tidak berarti terjadinya inkonsistensi, melainkan terhadap fenomena sosial yang menjadi unit analisis, lebih dikedepankan dan diutamakan aspek emik daripada etik-nya. Hal ini menyangkut prinsip dalam penelitian kualitatif. Sebab, fenomena dan praktik-praktik sosial, sebagai sasaran ”buruan” penelitian kualitatif tidak bersifat mekanistik, melainkan penuh dinamika dan keunikan, dan karenanya tidak bisa diciptakan dalam otak dan menurut kehendak peneliti semata (Bungin 2003; Vayda 1996 diacu dalam Golar 2007). Transisi-transisi antara fenomena dan pengamatan dapat dilihat pada Gambar 8.
emik
etik
Metode Penelitian
Gambar 8. Transisi-transisi antara fenomena dan pengamatan yang berbeda. I: Informan, R: peneliti, P: fenomena, PI: fenomena yang diinterpretasikan oleh I, PR (I) : PI yang diinterpretasikan oleh R. (diadaptasi dari Gooner 2001 diacu dalam Golar 2007).
96
Lokasi dan Waktu Penelitian Penetapan lokasi penelitian dilakukan berdasarkan penelusuran hasil-hasil penelitian terdahulu, baik yang dilakukan oleh tim STORMA, maupun penelitipeneliti perorangan, serta dosen pembimbing serta survey pendahuluan. Melalui hasil penelusuran awal tersebut ditetapkan secara purposive Desa Salua sebagai lokasi penelitian. Secara administratif Desa Salua, terletak di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah Beberapa pertimbangan yang mendasari penetapan Desa Salua sebagai lokasi penelitian, di antaranya: (1) sebagian besar wilayah Desa Salua berbatasan langsung dengan kawasan TNLL; (2) masyarakat Desa Salua sangat bergantung kepada TNLL baik secara langsung maupun tidak langsung; (3) Desa Salua memilik ancaman dari banjir dan erosi karena terletak di lembah Kulawi dan dilewati oleh tiga sungai besar (sungai Miu, Salua dan Lariang). Selain itu, beberapa pertimbangan penting lainnya adalah : pertama, desa ini belum pernah menjadi site penelitian yang dilakukan oleh STORMA (Stability of Rainforest Margins in Indonesia) yang merupakan mitra dalam penelitian ini. Site utama penelitian STORMA di Kecamatan Kulawi adalah Desa Toro. Dengan demikian, untuk memperluas wilayah penelitian STORMA dipilihlah Desa Salua sebagai lokasi penelitian. Penelitian berlangsung selama dua bulan, yang dimulai pada awal bulan Agustus 2005 dan diselesaikan pada bulan September 2005. Metode Pengambilan Sampel Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan terdiri atas: (a) wawancara individual dengan key person (key person interview); (b) pengamatan terlibat (participant observation); dan (c) wawancara dengan rumah tangga (household interview). Wawancara Individual dengan Key Person Metode ini dilakukan dengan wawancara indepth interview dan wawancara bertipe open-ended, menggunakan kuisioner. Indepth interview digunakan untuk mengumpulkan data-data menyangkut perubahan lingkungan yang terjadi dan perumusan strategi pengelolaan lingkungan di Desa Salua dengan menggunakan
97
analisis SWOT. Selain itu, ditanyakan pula sejarah pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan dalam rentang waktu tertentu. Untuk mendapatkan sumber informasi atau informan kunci yang tepat dilakukan tiga tahap, yakni: 1) pemilihan responden awal yang terkait dengan fokus penelitian; 2) pemilihan responden lanjutan guna memperluas deskripsi informasi dan melacak variasi informasi yang mungkin ada; dan 3) menghentikan pemilihan responden lanjutan bilamana dianggap sudah tidak ditemukan lagi variasi informasi. Dalam menempuh tiga tahapan tersebut digunakan metode snowball sampling. Dalam pemilihan informan kunci awal digunakan empat kriteria, sebagai berikut: 1.
Subjek yang telah cukup lama dan intensif menyatu dengan kegiatan atau medan aktivitas pengelolaan lingkungan di Desa Salua, serta menghayati secara sungguh-sungguh sebagai akibat dari keterlibatannya yang cukup lama dengan kegiatan yang bersangkutan. Hal ini ditandai oleh kemampuannya dalam memberikan informasi (hafal “di luar kepala”) tentang sesuatu yang ditanyakan
2.
Subjek memiliki jabatan pada lembaga desa atau lembaga adat
3.
Subjek yang mempunyai cukup banyak waktu atau kesempatan untuk diwawancarai
4.
Subjek yang dalam memberikan informasi tidak cenderung diolah atau dipersiapkan terlebih dahulu. Mereka ini tergolong “lugu” (apa adanya) dalam memberikan informasi, sehingga diharapkan dapat diperoleh informasi yang lebih faktual Untuk mendukung validitas data yang dikumpulkan, selain menggunakan
metode wawancara dilakukan pula studi pustaka, terutama terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu serta dokumen-dokumen terkait lainnya. Pengamatan Terlibat (participant observation) Metode ini digunakan terutama dalam mengamati secara langsung praktik pengelolaan lingkungan/hutan di Desa Salua. Pengamatan difokuskan pada sejauh mana masyarakat menerapkan prinsip-prinsip kelestarian, serta sejauh mana peran lembaga adat dalam mengatasi permasalahan-permasalahan lingkungan hidup,
98
aktivitas masyarakat dalam pengelolaan hutan, serta kondisi lingkungan aktual di Desa Salua. Beberapa perilaku terselubung (covered behavior) lainnya dicatat dan diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap penelitian yang dilakukan. Dalam metode ini ditetapkan dua orang responden kunci (key informan), yang merupakan sumber informasi utama dan juga sebagai mitra yang membantu peneliti berinteraksi dengan masyarakat Salua. Responden pertama adalah salah seorang tokoh masyarakat adat Salua, dan responden kedua adalah tokoh pemuda Salua, yang juga aktif dalam organisasi pemuda adat di Desa Salua. Melalui reponden inti, peneliti ikut menjalani aktifitas sehari-hari masyarakat desa, sehingga peneliti dapat diterima di komunitas tersebut. Salah satu pengamatan terlibat (participatory observation) yang dilakukan adalah menelusuri sungai Salua sampai ke hulu untuk mengetahui kondisi lingkungan di hulu sungai. Wawancara dengan Rumah Tangga (household interview) Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam household interview adalah Simple Random Sampling. Metode ini dipakai karena berdasarkan survei pendahuluan, karakteristik populasi relatif homogen, diantaranya dari segi pekerjaan, pendapatan dan pendidikan. Fokus dari wawancara individu ini adalah kemauan membayar masyarakat untuk program perbaikan lingkungan. Tahapan dalam pengambilan contoh adalah sebagai berikut : 1. Mencari daftar seluruh kepala keluarga yang ada di Desa Salua 2. Melakukan penomoran terhadap daftar kepala keluarga yang ada 3. Daftar kepala keluarga yang telah diberikan nomor dipilih secara acak, dengan cara diundi Jumlah responden yang diwawancarai sebanyak 204 rumah tangga atau ± 73% dari total rumah tangga yang ada di Desa Salua yang berjumlah 278. Data dan Pengukurannya
99
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui (a) wawancara individual dengan person kunci (key person interview); (b) pengamatan terlibat (participant observation); dan (c) wawancara dengan rumah tangga (household interview) dengan menggunakan kuisioner, sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelusuran data yang berasal dari literatur, potensi desa, kecamatan dan kabupaten dalam angka, serta sumber-sumber lain yang relevan. Data Primer Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah : 1.
Jumlah anggota keluarga
2.
Dampak banjir, erosi, dan bahaya lingkungan yang tidak diketahui terhadap kehidupan responden
3.
Kemungkinan terjadinya bencana banjir, erosi, dan bahaya lingkungan yang tidak diketahui di masa yang akan datang
4.
Pihak yang bertanggungjawab terhadap pencegahan banjir, erosi, dan bahaya lingkungan yang tidak diketahui
5.
Data tentang kemauan membayar (willingness to pay) masyarakat Desa Salua terhadap perbaikan lingkungan dari ancaman banjir dan erosi serta bahaya lingkungan yang tidak diketahui
6.
Pendapatan rumah tangga rata-rata per bulan
7.
Tingkat pendidikan responden
8.
Pekerjaan responden
9.
Pengetahuan responden terhadap “Katuwua” (suatu keyakinan akan keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam)
10. Data tentang kekuatan, kelemahan, ancaman dan peluang yang dimiliki oleh masyarakat Desa Salua dalam mengelola lingkungan secara lestari Data Sekunder Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah : 1.
Data sosial ekonomi
100
2.
Letak dan keadaan geografis lokasi penelitian
3.
Data tentang Taman Nasional Lore Lindu Pengukuran data menggunakan skala interval dan rasio dengan tingkat
penjenjangan. Pengukuran variabel penelitian beserta indikator dan parameter dari kemauan masyarakat membayar untuk perbaikan lingkungan akan disajikan pada Lampiran 1.
101
Langkah Kerja Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantifikasi nilai ekonomi lingkungan dalam hal pencegahan banjir dan erosi serta bahaya lingkungan yang belum diketahui dengan menggunakan valuasi nonmarket dengan pengukuran secara langsung atau melalui survei (expressed willingness to pay). Metode valuasi non-market melalui survei yang akan dipakai adalah Contingent Valuation Method (CVM). Analisis lain yang digunakan adalah analisis SWOT untuk menentukan strategi pengelolaan hutan di Desa Salua Bahaya lingkungan yang tidak diketahui adalah bahaya lingkungan yang belum terjadi saat ini, akan tetapi diprediksi berpotensi dapat terjadi dimasa yang akan datang berdasarkan ilmu dan pengetahuan yang ada. Contoh dari bahaya lingkungan yang tidak diketahui bisa berupa bencana alam seperti gempa bumi atau kebakaran hutan, penyakit baru bagi manusia atau hama penyakit bagi tumbuhan. Contingent Valuation Method (CVM) Metode CVM digunakan untuk mengetahui besarnya kemauan membayar (willingness to pay) dan mengetahui faktor-faktor dominan yang mempengaruhi besarnya kemauan membayar willingness to pay masyarakat Desa Salua untuk melakukan perbaikan lingkungan yang berhubungan dengan pencegahan banjir dan erosi. Adapun tahapan dari metode CVM adalah sebagai berikut : Tahap Satu Membuat Hipotesis Pasar Hipotesis pasar dilakukan dalam pra survei atau pengumpulan data awal dengan jumlah responden yang terbatas. Hal ini dilakukan untuk memberikan penjelasan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan, serta kisaran dan rata-rata kesediaan membayar responden, sehingga bisa dijadikan acuan dalam membuat kisaran harga pada survei sesungguhnya. Langkahlangkah yang dilaksanakan adalah :
102
1.
Menjelaskan perbedaan antara resiko banjir dan resiko erosi. Hal tersebut dijelaskan kepada responden melalui gambar. Gambar untuk menjelaskan perbedaan antara resiko banjir dan erosi bisa dilihat pada Lampiran 2
2.
Menunjukkan keadaan tanpa adanya pencegahan untuk banjir. Gambar untuk menjelaskan hal tersebut bisa dilihat pada Lampiran 3
3.
Menunjukkan keadaan setelah adanya program pencegahan banjir. Gambar untuk menjelaskan hal tersebut bisa dilihat pada Lampiran 4
4.
Menunjukkan keadaan tanpa adanya pencegahan untuk erosi tanah. Gambar untuk menjelaskan hal tersebut bisa dilihat pada Lampiran 5
5.
Menunjukkan keadaan setelah ada program pencegahan terhadap erosi . Gambar untuk menjelaskan hal tersebut bisa dilihat pada Lampiran 6
6.
Menunjukkan kondisi lingkungan yang sehat. Gambar untuk menjelaskan hal tersebut bisa dilihat pada Lampiran 7
7.
Menunjukkan kondisi lingkungan tanpa adanya program pencegahan terhadap bahaya lingkungan yang tidak diketahui. Gambar untuk menjelaskan hal tersebut bisa dilihat pada Lampiran 8
8.
Menunjukkan kondisi lingkungan setelah adanya program pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui. Gambar untuk menjelaskan hal tersebut bisa dilihat pada Lampiran 9
9.
Melakukan survei dalam skala kecil, dengan berbagai tingkat harga dan bentuk perbaikan lingkungan, untuk menentukan harga pasar (skala harga dalam kartu ditentukan berdasarkan kisaran
jumlah pajak bumi dan
bangunan yang biasa dibayar responden per tahun). Survei juga dilakukan untuk mengukur kontribusi responden terhadap program perbaikan lingkungan dalam bentuk sumbangan tenaga. Gambar kartu yang menunjukkan berbagai jenis perbaikan lingkungan dan tingkat harga yang berbeda akan disajikan pada Lampiran 10 10. Menghitung rata-rata dan kisaran biaya yang dipilih oleh responden pada survei skala kecil (survei pendahuluan), kemudian menentukan kisaran harga lelang yang akan dipergunakan dalam penelitian.
103
11. Menghitung rata-rata dan kisaran kontribusi responden dalam bentuk sumbangan tenaga untuk program pencegahan tambahan untuk erosi dan banjir 12. Melakukan pengecekan terhadap konsentrasi responden. Pengecekan ini dilakukan dengan cara memberikan dua pilihan kartu, dengan program perbaikan lingkungan yang sama, akan tetapi memiliki harga yang berbeda. Jika responden berkonsentrasi dalam menjawab maka responden akan memilih harga yang lebih murah, sedangkan jika responden memilih harga yang lebih tinggi tanpa alasan yang jelas maka tahapan di atas, akan diulangi lagi. Gambar kartu percobaannya disajikan pada Lampiran 11 Tahap Kedua : Mendapatkan Nilai Lelang (Bids) Nilai lelang diperoleh dari hasil survei sebenarnya, dengan menggunakan kuisioner. Tujuannya adalah untuk mengetahui nilai maksimum kemauan membayar (WTP) dari perbaikan lingkungan yang akan dilaksanakan. Teknik yang akan dilakukan adalah payment cards. Nilai lelang diperoleh dengan cara menanyakan apakah responden mau membayar pada kisaran tertentu yang sudah ditentukan dalam survei skala kecil. Nilai ini ditunjukkan kepada responden melalui kartu seperti pada pra survei. Ada dua macam nilai yang akan dilelang, yaitu nilai yang berbentuk nominal uang dan nilai yang berbentuk kontribusi tenaga kerja. Adapun urutan kerjanya adalah sebagai berikut : 1.
Menunjukkan kegunaan dari perbaikan lingkungan kepada responden (sama seperti pada saat pra-survei)
2.
Menunjukkan kondisi daerah yang mengalami perbaikan lingkungan dan daerah yang tidak mengalami perbaikan lingkungan (sama seperti pada saat pra-survei)
3.
Menentukan nilai kemauan responden untuk membayar program pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui. Berdasarkan perhitungan pada survei pendahuluan, kisaran harga yang ditawarkan akan disajikan dalam Lampiran 12
4.
Menentukan nilai kemauan responden untuk membayar program pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui dalam bentuk
104
sumbangan tenaga. Kisaran jumlah kontribusi tenaga yang ditawarkan akan disajikan pada Lampiran 13 5.
Menentukan nilai kemauan responden untuk membayar program pencegahan banjir dan erosi. Kisaran jumlah kontribusi tenaga yang ditawarkan akan disajikan pada Lampiran 14
Tahap Ketiga : Menghitung Rataan WTP Setelah survei dilaksanakan, tahap berikutnya adalah menghitung nilai rataan WTP setiap individu. Nilai ini dihitung berdasarkan nilai lelang yang diperoleh pada tahap kedua. Perhitungan ini didasarkan pada nilai mean (nilai rataan) dan nilai median (nilai tengah). Tahap Keempat : Memperkirakan Kurva Lelang (Bid Curve) Kurva lelang atau (bid curve) diperoleh dengan meregresikan WTP sebagai variable tidak bebas (dependent variable) dengan variabel bebas. Wi = f (I, P, K,L,D) dimana I adalah pendapatan, P adalah tingkat pendidikan, K adalah pengetahuan masyarakat terhadap ajaran “Katuwua”, L adalah besarnya pendapatan tambahan yang digunakan untuk program perbaikan lingkungan dan D adalah pengetahuan masyarakat tentang banjir di “Dongi-dongi”. Tahap Kelima : Mengagregatkan Data Tahap terakhir dalam teknik CVM adalah mengagregatkan rataan lelang yang diperoleh pada tahap tiga. Proses ini melibatkan konversi data rataan sample ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengkonversikan ini adalah mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga dalam populasi (N). Analisis SWOT Analisis SWOT digunakan sebagai dasar untuk menentukan strategi pengelolaan lingkungan di Desa Salua. Tahapan dari analisis SWOT adalah sebagai berikut : 1.
Menyusun matrik faktor-faktor strategis eksternal (EFAS = Eksternal Strategic Factors Analisys Summary), dan faktor-faktor strategis internal (IFAS = Internal Strategic Factors Analysis Summary), kemudian mengidentifikasi variabel-variabel eksternal berupa peluang dan ancaman
105
serta variabel-variabel internal berupa kekuatan dan kelemahan masyarakat Desa Salua dalam mengelola lingkungan. Matrik SWOT yang akan dipergunakan dalam penelitian ini akan disajikan pada Lampiran 15 2.
Menentukan bobot dan rating dari masing-masing variabel faktor eksternal dan internal melalui pengumpulan pendapat responden
3.
Besarnya nilai pengaruh masing-masing variabel eksternal dan internal ditentukan dengan mengalikan bobot dan rating dari masing-masing variabel tersebut Berdasarkan hasil pada poin (3) kemudian disusun diagram dan matrik
SWOT untuk menentukan strategi pengelolaan lingkungan di Desa Salua. Rekapitulasi hasil perhitungan dalam analisis SWOT bisa dilihat pada Lampiran 16.
106
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Sejarah Singkat Taman Nasional Lore Lindu Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) adalah penggabungan dari beberapa kawasan lindung, meliputi: Suaka Margasatwa Lore Kalamata (Kep. Mentan No. 522/Kpts/Um/1973); Hutan Wisata dan Hutan Lindung Danau Lindu (Kep. Mentan No. 46/Kpts/Um/1978) dan Suaka Margasatwa Lore Lindu (Kep. Mentan No.1012/Kpts/Um/1981). Deklarasi penggabungan kawasan lindung tersebut sebagai Taman Nasional pada waktu kongres Taman Nasional se-dunia di Denpasar Bali tahun 1982 dan melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982 merupakan dasar terbentuknya TNLL. Kawasan TNLL ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 593/Kpts-II/1993. Kemudian ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan melalui SK Nomor : 464/Kpts-II/1999. Luas kawasan TNLL mengalami beberapa kali perubahan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 736/Menteri/X/1992 tanggal 14 Oktober 1982 luas kawasan TNLL adalah 231.000 ha. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 593/Kpts-II/1993 luas kawasan TNLL adalah 229.000 ha. Luas TNLL kembali mengalami perubahan pada tahun 1999 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 464/Kpts-II/1999 tanggal 23 Juni 1999, TNLL dikukuhkan dengan luas kawasan 217.991,18 ha yang menjadi dasar pengelolaan TNLL saat ini. Berdasarkan informasi dari Balai Taman Nasional Lore Lindu tahun (2006), secara garis besar, penetapan TNLL adalah sebagai berikut : 1.
TNLL adalah penggabungan dari tiga kawasan lindung, meliputi: Suaka Margasatwa Lore Kalamanta (Kep. Mentan No. 522/Kpts/Um/1973); Hutan Wisata
dan
Hutan
Lindung
Danau
Lindu
(Kep.
Mentan
No.
46/Kpts/Um/1978) dan Suaka Margasatwa Lore Lindu (Kep. Mentan No.1012/Kpts/Um/1981) 2.
Dasar TNLL adalah deklarasi penggabungan kawasan lindung tersebut sebagai Taman Nasional pada waktu kongres Taman Nasional se-dunia di Denpasar Bali tahun 1982, melalui SK. Mentan No. 736/Mentan/X/1982
107
3.
Selanjutnya ditunjuk oleh Menteri Kehutanan melalui Keputusan No. 593/Kpts-II/1993 dengan luas penunjukan 229.000 ha
4.
Penunjukan tersebut dijadikan dasar untuk melakukan tata batas definitif, hingga temu gelang dan telah dikukuhkan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan melalui Keputusan No. 464/Kpts-II/1999 tanggal 23 Juni 1999 dengan luas 217.991,18 ha Kondisi Fisik dan Geografis TNLL Secara Geografis TNLL terletak pada koordinat 1º 8’ – 1º30’ LS dan 119º
58’ – 120º 61’ BT. TNLL merupakan salah satu kawasan terpenting dari konservasi flora dan fauna endemik Sulawesi Tengah,
selain dari fungsinya
sebagai kawasan resapan air tanah yang dapat mencukupi kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Kawasan TNLL tersebut terbentang pada ketinggian sekitar 200 – 2.610 mdpl yang merupakan deretan pegunungan malleugraf. Deretan pegunungan tersebut terdiri atas puncak Gunung Nokilalaki (2.355 m dpl), Gunung Moa (1.280 mdpl),
Gunung Sibaronggo (1.347 mdpl), dan Gunung
Momi (1.116 mdpl). Status Kawasan dan Status Pengelolaan Status kawasan TNLL ditetapkan pada tanggal 23 Juni 1999 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 464/Kpts-II/1999. Status Pengelolaannya, dikelola oleh Balai TNLL sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional dan Unit Taman Nasional serta SK Menhut No. 6186/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002. Batas Kawasan Batas kawasan TNLL telah ditata batas ´´temu gelang´´ oleh Sub BIPHUT Palu sepanjang 644 Km dengan batas-batas sebagai berikut : Dataran Palolo – Sebelah Utara Dataran Napu – Sebelah Timur Dataran Bada – Sebelah Selatan
108
Sungai Lariang dan hulu Sungai Palu (Lembah Kulawi) Sebelah Barat Kondisi Iklim Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Fergusson, bagian utara kawasan TNLL mempunyai tipe iklim C/D (musiman) dengan curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 855-1200 mm/tahun, bagian timur tipe iklim B (agak musiman) dengan curah hujan berkisar antara 344-1400 mm/tahun dan bagian barat memiliki tipe iklim A (lembab permanen) dengan curah hujan rata-rata tahunan antara 1200-2200 mm/tahun (Infokom Sulteng, 2004). Potensi Flora Figafeta filaris sp (Wanga) Wanga (Pigafeta filaris) merupakan jenis palma endemik Sulawesi. Jenis pohon ini tumbuh pada ketinggian 300-1.000 mdpl. Wanga dapat dibedakan dengan jenis-jenis pohon palma lainnya, dari deretan duri-durinya yang berwarna pirang keemasan di sepanjang pangkal daunnya yang telah gugur dan batang berwarna hijau tua dengan cincin-cincin berwarna abu-abu muda. Berbeda dengan berbagai jenis palma Asia Tenggara pada umumnya, tampaknya Wanga tidak biasa beradaptasi pada habitat-habitat sekunder, karena pertumbuhannya yang cepat, tidak tahan sinar matahari pada fase semai dan pole serta menghasilkan bijibiji kecil dalam jumlah yang sangat banyak. Wanga biasa ditemukan di tepi-tepi sungai, puncak-puncak bukit dengan sisi yang terjal, bekas tanah longsor, onggokan batu vulkanik dan bekas aliran lahar (Dransfield 1976 diacu dalam Balai Taman Nasional Lore Lindu 2006). Wanga memiliki banyak manfaat, batang wanga digunakan sebagai penopang pada rumah-rumah tradisional dan lumbung-lumbung Padi di Tana Toraja dan juga digunakan sebagai pipa-pipa saluran air (Sneed 1981, diacu dalam Balai Taman Nasional Lore Lindu 2006). Eucalyptus deglupta (Leda) Leda (Eucalyptus deglupta) merupakan salah satu jenis flora khas yang terdapat di TNLL. Flora ini termasuk jenis pohon yang mempunyai tempat
109
tumbuh yang spesifik, yakni di tempat yang cukup terdapat air khususnya sekitar sungai. Pada umumnya, pohon Eucalyptus deglupta berasosiasi dengan Wanga (Pigafeta filaris), Rotan (Calamus sp.), Lekatu (Duabanga moluccana), Tohiti (Dysoxylum sp), Uru (Elmerillia sp), Palih (Lithocarpus sp), dan Tohiti (Dysoxylum sp). Eucalyptus deglupta berbunga pada bulan-bulan April sampai Juli. Anggrek Alam Jenis-jenis anggrek alam di kawasan TNLL terdapat sekitar 50 jenis dan menyebar pada ketinggian 600-800 mdpl. Beberapa jenis diantaranya termasuk jenis endemik seperti Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis)
dan Anggrek
Bulan Merah (Phalaenopsis celebencis). Tanaman ini sangat menarik, bentuk daunnya yang indah berbelang-belang hijau ungu dan termasuk jenis epifit, berbunga putih, daunnya berdaging tebal, lama berbunga 3-4 bulan dengan jumlah kuntum 7-15 kuntum dalam satu tangkai. Jenis ini banyak di jumpai disekitar Gunung Nokilalaki. Potensi Fauna Mamalia Fauna yang tergolong Mamalia yang dapat ditemukan di TNLL diantaranya: Anoa (Anoa quarlesi, Anoa depressicornis), Babirusa (Babyrousa babyrusa), Babi Sulawesi (Sus celebensis), Kera (Macaca tonkeana), Phalanger ursinus, Kus-Kus Sulawesi (P. celebencis), Tarsius Sulawesi (Tarsius spectrum), Rusa (Cervus timorensis) dan Kelelawar. (Balai Taman Nasional Lore Lindu 2006) Anoa Jenis satwa yang paling dekat dengan kerbau ini berbulu lebat, warnanya coklat muda sampai coklat tua atau hitam. Anoa memiliki tanduk pendek berbentuk kerucut. Anoa pegunungan (Anoa quaresi), memiliki tinggi 75 cm diukur dari bahunya, lebih kecil dibandingkan dengan Anoa dataran rendah (Anoa ressicornis). Anoa yang merupakan satwa solitaire yang mempunyai sifat unik, karena dari lima spesies yang ada di Asia Tenggara, satwa inilah satu-satunya yang mempunyai habitat utama di hutan perawan. Makanan Anoa adalah berbagai jenis tanaman buah, daun-daun, rumput-rumput, lumut dan pakis. Oleh masyarakat lokal
110
(di dalam dan di sekitar TNLL), Anoa dikenal dengan nama Anoang, Kerbau Pendek, Dangko, Bondago Tutu, Bulu, Tutu, Sako, atau Tungka. Kondisi topografi TNLL yang berbukit, berlembah dan dataran tinggi sangat sesuai bagi Anoa pegunungan yang sudah langka. Survey yang terakhir dilaksanakan menemukan cukup banyak jenis satwa di pedalaman Taman Nasional yang berpegunungan, dimana bekas tapak kaki, bekas tempat berbaring dan kotoran satwa ini sering terlihat. Akibat sering diburu oleh pemburu bayaran sampai hampir punah, TNLL merupakan tempat suaka terakhir bagi spesies endemik Sulawesi ini. Musang (Civet) Spesimen dari Civet raksasa Sulawesi yang jarang sekali terlihat (disebut musang oleh penduduk setempat), ditangkap hidup-hidup di TNLL ini pada tahun 1999. Cives jantan muda ini ditangkap oleh penduduk desa dan dilepaskan kembali setelah didokumentasikan dan dibuat filmnya. Dengan berat badan 9 kg, musang ini panjangnya 130 cm dari kepala sampai ekor. Meskipun telah ditemukan oleh para ilmuwan lebih dari 100 tahun lalu, musang jenis ini baru beberapa kali saja terlihat. Makhluk yang pemalu ini merupakan satwa ahli memanjat, dan merupakan predator terbesar di Sulawesi setelah ular Piton. Makanan utama musang ini adalah burung-burung kecil, mamalia kecil, buah palma dan telur. Babirusa Babirusa (Babyrousa babyrusa) yang sudah langka ini merupakan kerabat jauh babi. Babirusa jantan mempunyai dua pasang taring, yang sepasang tumbuh menembus langit-langit rahang atas dan melengkung balik di atas mata. Babirusa sekarang sudah hampir punah di TNLL, karena nampaknya satwa ini lebih suka tinggal di kawasan dataran rendah di sekitar sungai dan danau, sehingga cenderung diganggu manusia. Babirusa merupakan binatang malam yang memburu buah yang jatuh dari pohon, dan membuka kayu yang lapuk untuk mencari larva kumbang. Tidak seperti babi pada umumnya, babirusa hanya melahirkan 1-2 anak,
111
yang tumbuh lambat sekali, sehingga satwa itu sangat rawan punah akibat diburu manusia. Kera (Macaca tonkeana) Kera Sulawesi sering digambarkan sebagai kera hitam, karena hampir tidak ada ekornya. Kera bukanlah jenis kera besar, tetapi monyet yang merupakan kerabat dekat Makaka berekor babi yang hidup di Kalimatan dan Sumatera. Makaka Tonkeana (Macaca tonkeana), yang hidup di dalam TNLL adalah salah satu dari tujuh jenis kera makaka yang ada di pulau ini, dan hanya dapat ditemukan di bagian Timur dan Tengah Sulawesi Tengah. Karena kera ini terancam kepunahan akibat diburu, baik untuk konsumsi lokal maupun untuk pasar daging di Manado, Sulawesi Utara. TNLL telah menjadi suaka yang penting bagi mereka. Dalam survey terbaru, Makaka seringkali terlihat di sekitar pinggir hutan, dan mencari makan di kebun-kebun hutan. Kera Makak mungkin justru lebih sering hidup di habitat-habitat ini daripada di bagian pegunungan TNLL, yang belum pernah dijamah manusia. Mereka dianggap binatang pengganggu oleh banyak penduduk lokal karena sering mengganggu tanaman kopi dan coklat milik masyarakat. Tarsius (Kera Hantu) Tarsius merupakan salah satu primata terkecil di dunia, beratnya hanya 100 gr dengan panjang badan 10 cm dari kepala dan panjang ekor 20 cm. Seperti semua primata, kera hantu ini mempunyai ciri mata yang menghadap ke depan dan kuku yang pipih. Kera hantu dewasa berhubungan secara monogamy dan tinggal dengan satu atau dua anaknya yang masih kecil. Keluarga kera ini tidur bersama dalam sarang di dalam belukar atau di dalam lubang pohon, muncul kira-kira 10-20 menit setelah matahari terbenam dan memulai perburuan serangga secara solitaire di tempat yang lebih rendah. Kera ini mempunyai wilayah kekuasaan permanen kurang dari 1 ha dan dipertahankan dari kera hantu lain dengan cara nyanyian.
112
Kelelawar Paling sedikit ada 55 jenis kelelawar yang hidup di kawasan TNLL.
Kelelawar ini sangat penting
peranannya agar hutan dapat
berfungsi, karena berperan penting dalam penyerbukan dan penyebaran biji berbagai tumbuhan tropis, seperti pisang liar dan beberapa jenis pandan atau palma berduri. Ada hubungan antara jenis tumbuhan hutan tertentu dengan jenis kelelawar yang ada, oleh karena itu berkurangnya jumlah kelelawar mempunyai potensi mempengaruhi komposisi hutan dalam jangka panjang. Survei-survei lapangan baru-baru ini menghasilkan penemuan dua jenis kelelawar buah yang diperkirakan merupakan spesies baru. Burung Sekitar 224 jenis burung ditemukan di Sulawesi, 97 diantaranya merupakan endemik. Sulawesi secara internasional dikenal sebagai suaka burung yang penting, 83 % jenis burung endemik Sulawesi terlihat di dalam TNLL. Jenis burung endemik yang ditemukan di TNLL antara lain Nuri Sulawesi (Tanygnatus sumatrana), Loriculus exilis, Trichologssus platurus, Cacatua sulphurea, Rangkong (Buceros rhinoceros dan Aceros cassidix), Pecuk ular (Anhinga rufa), Rallus plateni, Scolopax celebencis, Tyto inexspectata, Geomalia heinrichi, Macrocephalon maleo, Megapodius frecycynent. Burung Maleo Burung Maleo (Macrocephalon maleo), adalah anggota famili (rumpun) Megapodiidae yang suka membuat gundukan atau sering juga disebut burung incubator. Rumpun burung ini ditemukan dari Indonesia Timur terus sampai ke Polinesia dan Australia, tetapi burung Maleo sendiri hanya hidup di Sulawesi Utara, Tengah dan Tenggara. Burung ini mempunyai bulu hitam dan putih mencolok dengan dada merah jambu, ekor berdiri tegak dan kepala gundul seperti helm. Ukuran burung ini sebesar ayam betina (1,6 kg). Burung Maleo menetaskan telurnya dengan bantuan
sumber panas dari luar, seperti; pantai-pantai berpasir yang
dipanasi matahari, sumber-sumber air panas atau lubang-lubang gunung berapi.
113
Di dalam TNLL ditemukan
sembilan lokasi sarang, semuanya
terletak dekat sumber air panas atau di tepian sungai yang terbuka. Lokasi-lokasi sarang dikunjungi oleh burung-burung Maleo setiap pagi atau sore, dan dipakai bersama oleh beberapa pasang burung. Saat ini, burung Maleo mulai kesulitan mencari tempat untuk meletakkan telurnya. Burung ini
menggali dengan kakinya yang kuat dan cakarnya yang
sebagian dihubungkan dengan selaput, lokasi penetasan telur Maleo terletak di Desa Pakuli ± 30 Km dari Kota Palu. Enggang/Rangkong Kedua jenis Enggang Sulawesi menunjukkan contoh penggunaan kanopi pohon secara unik. Julang Sulawesi (Rhyticeros cassidix), hidup dan makan secara unik pada kanopi atas, sedangkan Kangkareng Sulawesi (Penelopides exarhatus), menempati kanopi bawah. Kedua jenis burung tersebut menunjukkan kebiasaan bertelur yang menarik. Si jantan dengan bantuan si betina, menggunakan lumpur untuk mengurung si betina dalam sarang di lubang pohon yang dipilihnya, dan hanya ditinggalkan lubang kecil untuk memberi makan kepada si betina. Si betina tetap terkurung dalam lubang pohon itu selama mengerami telurnya dan memelihara anaknya sampai mereka mampu terbang. Selama masa bertelur dari bulan Juli sampai September, si jantan mencari dan menyediakan makanan untuk keluarganya. Sumber makan utama burung ini adalah buah Ara. Burung-burung ini dapat diamati dengan cara menunggu dekat pohon Ara yang sedang berbuah. Burung Enggang pada gilirannya juga memainkan peran penting dalam penyebaran biji pohon itu. Burung enggang berbuncak, juga disebut Rangkong dalam bahasa Indonesia dan disebut Allo oleh penduduk setempat merupakan burung yang paling menarik perhatian di dalam TNLL sehingga dijadikan simbol/logo TNLL. Burung ini mempunyai suara yang keras dan parau serta kepakan sayap yang ribut, ketika terbang di atas kanopi pohon. Umumnya Allo hinggap berpasangan, atau berkelompok di pohon yang berbuah.
114
Reptil, Ikan dan Amfibi Terdapat 21 jenis cecak besar di kawasan TNLL, 68 jenis ular Sulawesi dapat ditemukan, seperti ular Piton (Phyton
reticulatus) dan King Cobra
(Ophiophagus hannah). Ular-ular yang paling sering ditemukan adalah ular Pembalap (Elaphe erythrura dan Elaphe jansen). Ular Piton yang bercorak seperti jala adalah ular terpanjang di dunia, dan banyak ditemukan di berbagai kawasan di Asia Tenggara. Ular Piton yang tercatat paling panjang, spesimen yang berukuran 9,97 m, ditemukan di Sulawesi. Kadang-kadang ular Piton ini memangsa makhluk yang besar, dan pada bulan Maret 1998 ada orang yang dimakan ular piton berukuran 5 m di Kulawi, ular ini kemudian dibunuh. Ular Piton juga seringkali diburu untuk dimanfaatkan daging dan kulitnya. Di danau Lindu terdapat dua puluh satu juta amfibi dan enam jenis ikan, termasuk spesimen endemik di danau Lindu, yaitu Xenopoeceilus sarasinorum. Belut sangat umum ditemukan di semua sungai kecil di TNLL, tetapi ikan hanya ditemukan di sungai-sungai yang lebih besar dan danau-danau. Serangga Ribuan jenis serangga yang unik dan cantik dapat dilihat di sekitar TNLL, tetapi kebanyakan sulit diidentifikasi. Seringkali yang dilihat pengunjung adalah jenis yang kecil. Meskipun jenis ini tidak umum seperti hewan yang lebih besar, tetapi banyak yang menarik, mempunyai kebiasaan unik, dan layak diamati. Serangga yang sangat menarik untuk diamati seperti kupu-kupu yang berwarna mencolok yang terbang sekeliling TNLL. Kupu-kupu tersebut biasanya sering ditemukan mengitari air atau sumber garam dan bunga-bunga. Banyak spesies kupu-kupu yang ditangkap dan dijual kepada para kolektor. Peternakan kupu-kupu pernah dianjurkan sebagai sumber alternatif mata pencaharian penduduk setempat. Kupu-kupu endemik termasuk Papilio blumei, kupu-kupu besar yang berekor seperti burung Sriti dengan sayap bergaris-garis biru-hijau menyala dan Graphium androcles, kupu-kupu besar dengan ekor panjang gemulai. Banyak kupu-kupu jantan, khususnya Graphium atau Appies sp terlihat minum di sekitar comberan untuk mendapatkan garam yodium yang sangat penting bagi siklus kehidupan mereka.
115
Letak Geografis Kecamatan Kulawi Kecamatan Kulawi terletak pada 1,6º-1,9º Lintang Selatan, 119,25º Bujur Timur dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara
: Kecamatan Gumbasa dan Dolo Selatan
Sebelah Timur
: Kabupaten Poso
Sebelah Selatan
: Kecamatan Kulawi Selatan
Sebelah Barat
: Provinsi Sulawesi Barat
Luas Wilayah Kecamatan Kulawi adalah ± 1.425,49 ha. Secara administratif terdiri dari 18 desa, dimana delapan desa diantaranya hanya bisa dilalui dengan kendaraan roda dua dan berjalan kaki. Jarak antara ibu kota kecamatan (Bolapapu) ke desa-desa dan alat transportasi yang digunakan bisa dilihat pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Jarak Antara Ibu Kota Kecamatan dengan Desa-desa di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 Desa Winatu Towulu Siwongi Banggaiba Rentewulu Lonca Boladangko Sungku Toro Mataue Bolapapu Namo Tangkulowi Salua Puroo Langko Tomado Anca
Jarak (Km) 16 53 62 76 62 9 1 3 16 1 0 1 3 17 19 20 22 23
Alat Transportasi Mobil Motor Motor Motor Motor Mobil Mobil Mobil Mobil Mobil Mobil Mobil Mobil Mobil Mobil Mobil Mobil Mobil
Sumber : Kasi Pemerintahan Kecamatan Kulawi (2005)
Topografi Berdasarkan elevasi (ketinggian dari permukaan laut), Kecamatan Kulawi pada umumnya merupakan daerah pegunungan (± 90%), dan berada sepanjang aliran sungai Lariang yang terletak pada ketinggian 500-1000 m di atas
116
permukaan laut. Kemiringan tanah cukup curam yaitu berkisar antara 60%-70% dan bahkan ada yang mencapai di atas 80%. Persentase ketinggian desa-desa yang ada di wilayah Kecamatan Kulawi adalah : Sebanyak 44,4% mempunyai ketinggian 0-500 mdpl dan sebanyak 55,6% mempunyai ketinggian 501-1.000 mdpl. Data bentuk permukaan tanah dan ketinggian dari permukaan laut desadesa di Kecamatan Kulawi pada tahun 2005 bisa dilihat pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Keadaan Tanah Menurut Persentase Bentuk Permukaan Tanah menurut Desa di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 Desa Winatu Towulu Siwongi Banggaiba Rentewulu Lonca Boladangko Sungku Toro Mataue Bolapapu Namo Tangkulowi Salua Puroo Langko Tomado Anca
Bentuk Permukaan Tanah Pegunungan Dataran (%) Perbukitan (%) (%) 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Ketinggian (dpl) 700 700 700 700 700 500 500 500 700 500 500 500 500 500 700 700 700 700
Sumber BPS Kabupaten Donggala (2005)
Penduduk Jumlah penduduk di Kecamatan Kulawi berdasarkan hasil pencatatan registrasi penduduk pada akhir tahun 2004 sebanyak 17.455 jiwa. Jumlah penduduk di Kecamatan Kulawi berkurang karena adanya pemekaran kecamatan, yaitu Kecamatan Kulawi Selatan. Luas Kecamatan Kulawi adalah 1.425,49 Km, dengan demikian kepadatan penduduk di Kecamatan Kulawi pada Tahun 2005 adalah 13 jiwa/Km2. Data luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk di Kecamatan Kulawi tahun 2005 bisa dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.
117
Tabel 3. Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 Desa Winatu Towulu Siwongi Banggaiba Rentewulu Lonca Boladangko Sungku Toro Mataue Bolapapu Namo Tangkulowi Salua Puroo Langko Tomado Anca 2005 2004 2003
Luas (Km2) 98,57 246,67 66,94 51,63 41,90 100,14 49,29 67,47 50,65 31,29 59,80 24,37 24,55 45,68 106,94 107,35 120,82 131,43 1.425,49 2.212,81 2.212,81
Jumlah Penduduk 1.173 1.177 652 355 596 463 482 954 2.057 572 2.292 1.179 307 1.138 922 893 1.718 525 17.455 25.430 24.822
Kepadatan Penduduk (Km2) 12 5 10 7 14 5 10 14 41 18 38 48 13 25 9 8 14 4 13 11 11
Sumber : Registrasi Penduduk Akhir Tahun 2005
Data jumlah rumah tangga, penduduk dan rata-rata penduduk per rumah tangga di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 bisa dilihat pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Jumlah Rumah Tangga, Penduduk dan Rata-rata Penduduk per Rumah Tangga di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 Desa Winatu Towulu Siwongi Banggaiba Rentewulu Lonca Boladangko Sungku Toro Mataue Bolapapu Namo Tangkulowi
Rumah Tangga 204 282 120 105 142 121 128 232 542 144 557 165 75
Penduduk 1.173 1.177 652 355 596 463 482 954 2.057 572 2.292 1.179 307
Rata-rata Penduduk/RT 6 4 5 3 4 4 4 4 4 4 4 7 4
118
Tabel 4. (Lanjutan) Desa Salua Puroo Langko Tomado Anca 2005 2004 2003
Rumah Tangga 278 228 221 392 128 4.064 5.956 5.908
Penduduk 1.138 922 893 1.718 525 17.455 25.430 24.822
Rata-rata Penduduk/RT 4 4 4 4 4 4 4 4
Sumber : Registrasi Penduduk Akhir Tahun 2004
Pendidikan Berdasarkan data yang terdapat dalam Kecamatan Kulawi dalam Angka Tahun 2005, fasilitas pendidikan yang terdapat di Kecamatan Kulawi didominasi oleh sekolah dasar sebanyak 31 buah sedangkan SLTP hanya tersedia 2 buah dan SMU hanya tersedia 1 buah. Berdasarkan data pada Tabel 6 terdapat pengurangan jumlah SD dan SLTP dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh adanya pemekaran Kecamatan Kulawi Selatan, sehingga SD yang awalnya secara administratif berada di di Kecamatan Kulawi, pindah ke Kecamatan Kulawi Selatan . Data jumlah sekolah menurut tingkat pendidikan di Kecamatan Kulawi bisa dilihat pada Tabel 5 di bawah ini. Tabel 5. Banyaknya Sekolah Menurut Tingkat Pendidikan di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 Tingkat Pendidikan Desa TK SD SLTP SMU/SMK Winatu 1 1 Towulu 2 Siwongi 2 Banggaiba 1 Rentewulu 2 Lonca 1 Boladangko 1 Sungku 1 2 Toro 1 2 Mataue 1 1 Bolapapu 2 4 1 1 Namo 1 2 Tangkulowi Salua 1 -
119
Tabel 5. (Lanjutan) Desa Puroo Langko Tomado Anca 2005 2004 2003 2002
TK 7 8 8 8
Tingkat Pendidikan SD SLTP 1 2 5 1 1 31 2 42 3 42 3 42 3
SMU/SMK 1 1 1
Sumber : Kantor Cabang Dinas Dikjar Kecamatan Kulawi
Berdasarkan data banyaknya murid sekolah di Kecamatan Kulawi, diketahui bahwa jumlah murid yang paling banyak adalah murid SD, dan semakin tinggi pendidikan, jumlah muridnya semakin sedikit. Hal ini mengindikasikan, tingginya murid yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Data selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6. Jumlah Pelajar berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 Status Sekolah Tingkat Jumlah Pendidikan Negeri Swasta TK 68 68 SD 1.483 459 1.952 SLTP 294 48 342 SMU 186 186 SMK PT/Universitas 2005 1.963 575 2.548 2004 2.951 892 3.843 2003 2.506 1.285 3.791 2002 2.529 1.285 3.814 Sumber : Kantor Cabang Dinas Dikjar Kecamatan Kulawi (2005)
Pertanian Sektor pertanian merupakan tumpuan kehidupan perekonomian di Kecamatan Kulawi pada umumnya. Oleh sebab itu pembangunan di sektor pertanian masih merupakan hal yang penting dalam mendukung pembangunan ekonomi pada sektor yang lain. Sektor pertanian yang berkembang di Kecamatan Kulawi adalah sub sektor Pertanian Tanaman Pangan, sub sektor Perkebunan, dan
120
sub sektor Peternakan. Luas tanaman bahan makanan di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 bisa dilihat pada Tabel 7 di bawah ini. Tabel 7. Luas Tanaman Bahan Makanan di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 (Ha) Desa Winatu Towulu Siwongi Banggaiba Rentewulu Lonca Boladangko Sungku Toro Mataue Bolapapu Namo Tangkulowi Salua Puroo Langko Tomado Anca 2005 2004 2003 2004
Padi Sawah 89 20 65 14 33 6 32 819 69 236 18 416 105 1.200 135 3.257 5.012 5.360 5.950
Padi Ladang 75 25 88 16 41 36 13 16 310 496 219 242
Jagung 90 23 30 25 16 10 10 179 165 26 16 40 7 87 12 5 18 6 765 1.053 625 858
Ubi Kayu 0,5 1 4 8,2 29
Kacang Tanah 2 1,5 1 1 2 8 22 29,45 26
Sumber : KCD PP Kecamatan Kulawi (2005)
Keuangan Daerah Berdasarkan data yang terdapat dalam Kecamatan Kulawi dalam Angka Tahun 2005, diperoleh informasi bahwa realisasi anggaran rutin dan anggaran pembangunan Kecamatan Kulawi mengalami penurunan. Hal ini kemungkinan juga disebabkan pemekaran Kecamatan Kulawi Selatan, sehingga jumlah desa yang ada di Kecamatan Kulawi berkurang. Data realisasi penerimaan rutin dan pembangunan di Kecamatan Kulawi bisa dilihat pada Tabel 8 di bawah ini.
121
Tabel 8. Realisasi Penerimaan Rutin dan Pembangunan di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 (000 Rp) Desa Winatu Towulu Siwongi Banggaiba Rentewulu Lonca Boladangko Sungku Toro Mataue Bolapapu Namo Tangkulowi Salua Puroo Langko Tomado Anca 2005 2004 2003 2002
Penerimaan Rutin Pembangunan 4.000 3.000 4.000 3.000 4.000 3.000 4.000 3.000 4.000 2.000 4.000 3.000 4.000 2.000 4.000 3.000 4.000 3.500 4.000 3.000 4.000 3.000 3.000 2.000 4.000 2.000 4.000 3.000 4.000 3.000 4.000 3.000 4.000 3.000 4.000 2.000 71.000 48.500 111.000 75.500 162.000 297.000 159.705 270.000
Jumlah 7.000 7.000 7.000 6.000 7.000 6.000 6.000 7.000 7.500 7.000 7.000 5.000 6.000 7.000 7.000 7.000 7.000 6.000 119.500 186.500 459.000 429.705
Sumber : Kasi PMD Kecamatan Kulawi (2005)
Jumlah wajib pajak bumi dan bangunan yang ada di Kecamatan Kulawi tahun 2005 berjumlah 4.555 wajib pajak, dengan jumlah wajib pajak terbanyak di Desa Toro sebanyak 625 wajib pajak dan di Desa Bolapapu sebanyak 555 wajib pajak. Realisasi penerimaan pajak di Kecamatan Kulawi pada tahun 2005 adalah sebesar
Rp. 29.463.076, sama dengan realisasi
tahun 2004 dan mengalami
peningkatan dibandingkan dengan realisasi pada tahun 2003 yang hanya sebesar Rp. 22.573.986.
Data realisasi penerimaan pajak bumi dan bangunan di
Kecamatan Kulawi secara lebih terperinci bisa dilihat pada Tabel 9 di bawah ini. Tabel 9. Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan di Kecamatan Kulawi Tahun 2003-2005 Desa Winatu Towulu Siwongi Banggaiba
2003 300.153 2.150.000 900.000 182.372
2004 1.356.686 1.598.924 500.935 300.482
2005 1.356.686 1.598.924 500.935 300.482
122
Tabel 9. (Lanjutan) Desa Rentewulu Lonca Boladangko Sungku Toro Mataue Bolapapu Namo Tangkulowi Salua Puroo Langko Tomado Anca Jumlah
2003 278.711 816.913 985.321 1.899.228 1.529.402 484.729 4.538.654 684.015 1.864.488 450.000 500.000 3.500.000 1.510.000 22.573.986
2004 360.943 757.891 751.642 1.691.078 4.066.946 475.276 3.350.756 710.187 647.381 3.025.584 2.733.800 1.324.209 3.828.219 1.982.137 29.463.076
2005 360.943 757.891 751.642 1.691.078 4.066.946 475.276 3.350.756 710.187 647.381 3.025.584 2.733.800 1.324.209 3.828.219 1.982.137 29.463.076
Sumber : KUPTD Kecamatan Kulawi (2005)
Kondisi Umum Desa Salua Desa Salua terletak di Kecamatan Kulawi Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah dan berjarak ± 89 Km dari ibu kota kabupaten dan 54 Km dari ibu kota provinsi. Desa Salua berbatasan dengan : Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Tuva Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tomado Sebelah Selatan berbatasan dengn Desa Namo Sebelah Barat berbatasan dengan TNLL dan Hutan Desa Topografi Desa Salua pada umumnya berbukit dan bergunung berada pada ketinggian 500 mdpl dan beriklim tropis. Tingkat curah hujan rata-rata di Desa Salua adalah 2600 mm/tahun dengan kelembaban 65%, termasuk ke dalam tipe iklim D1 Schmidt Ferguson. Kondisi topografi dan iklim tersebut sangat memungkinkan tumbuhnya berbagai jenis tumbuhan (flora) mulai dari jenis kayukayuan, maupun tumbuhan non kayu, serta berbagai jenis hewan (fauna) seperti burung maleo, ayam hutan dan elang hitam. Peta Desa Salua bisa dilihat Pada Gambar 9.
123
Sumber : STORMA 2005 dalam Golar 2007
Gambar 9. Peta Lokasi Penelitian
124
Berdasarkan data yang terdapat dalam Kecamatan Kulawi dalam Angka Tahun 2005, Desa Salua mempunyai luas 45,68 Km2, dengan jumlah penduduk sebanyak 1.138 terdiri dari 564 laki-laki dan
575 perempuan. Kepadatan
penduduk di Desa Salua adalah 25 orang per Km2, sedangkan Jumlah rumah tangga di Desa Salua pada Tahun 2005 adalah 278 rumah tangga. Pada umumnya penduduk Desa Salua adalah penganut agama Islam dan kristen. Etnis yang mendiami Desa Salua adalah Kulawi Moma, Kulawi Uma, Bugis, Kaili, Jawa, Menado, Gorontalo dan Cina. Berdasarkan wawancara dengan responden diketahui bahwa tingkat pendidikan di Desa Salua bervariasi mulai dari tidak pernah sekolah sampai dengan universitas. Sebagian besar masyarakat Desa Salua memiliki tingkat pendidikan SD (42,9%) dan SMP (18,7%). Masyarakat Desa Salua yang memiliki tingkat pendidikan sampai ke universitas hanya 3,4%. Hal tersebut menunjukan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Desa Salua masih rendah. Data tentang tingkat pendidikan Masyarakat Desa Salua tahun 2005 bisa dilihat pada Tabel 10 di bawah ini. Tabel 10. Tingkat Pendidikan Masyarakat (Responden) di Desa Salua Tahun 2005 Persentase No. Tingkat Pendidikan Jumlah (%) 1. Tidak Pernah Sekolah 9 4,4 2. Tidak Tamat SD 33 16,3 3. SD 87 42,9 4. SMP 38 18,7 5. SMA 29 14,3 6. Universitas (termasuk Diploma) 7 3,4 Total 203 100,0 Sumber : Data primer diolah
Mata pencaharian sebagian besar masyarakat Desa Salua adalah petani (93,6%), sedangkan sisanya adalah pedagang, wiraswasta dan pensiunan. Data mata pencaharian masyarakat Desa Salua selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 11 di bawah ini.
125
Tabel 11. Persentase Mata Pencaharian Utama Masyarakat (Responden) di Desa Salua No. 1. 2. 3. 4. 5.
Mata Pencaharian Utama Kepala Rumah Tangga Petani Pedagang Wiraswasta Pensiunan Lainnya Total
Jumlah 190 4 5 2 2 203
Persentase (%) 93,6 2,0 2,5 1,0 1,0 100,0
Sumber : Data primer diolah
Pendapatan rata-rata masyarakat Desa Salua selama satu bulan bervariasi antara < Rp. 400.000 sampai dengan > Rp.8.800.000. Rata-rata pendapatan dalam satu bulan yang paling dominan adalah 800.000-1.200.000 (17,7%) dan Rp.400.000-800.000 (13.3%). Data rata-rata pendapatan per bulan masyarakat Desa Salua Tahun 2005 bisa dilihat pada Tabel 12 di bawah ini. Tabel 12. Rata-rata Pendapatan / Income Masyarakat Desa Salua Per bulan (Responden) Tahun 2005 Rata-rata Pendapatan per Persentase No. Jumlah Bulan (%) 1. < Rp. 400.000 10 4,9 2. Rp. 400.000 - 800.000 27 13,3 3. Rp.800.000 - 1.200.000 36 17,7 4. Rp.1.200.000 - 1.600.000 27 13,3 5. Rp. 1.600.000 - 2.000.000 11 5,4 6. Rp. 2.000.000 - 2.400.000 16 7,9 7. Rp. 2.400.000 - 2.800.000 7 3,4 8. Rp. 2.800.000 - 4.000.000 18 8,9 9. Rp. 4.000.000 - 5.200.000 15 7,4 10. Rp. 5.200.000 - 6.400.000 18 8,9 11. Rp. 6.400.000 - 8.800.000 9 4,4 12. > 8.800.000 9 4,4 Total 203 100,0 Sumber : Data primer diolah
126
Sistem Pengelolaan Sumberdaya Alam di Desa Salua Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di Desa Salua Pada umumnya masyarakat Desa Salua membutuhkan kayu untuk pembangunan, baik untuk rumah maupun kebutuhan sosial lainnya seperti pembangunan rumah ibadah serta sarana umum lainnya. Adapun kayu yang sering dimanfaatkan dan diolah adalah : Cempaka, Alepa, Siuri, Tahiti, Bakangkuni Torode, Damar,Nantu, Pawa, Palapi, Birawa, Lekatu dan Lewu. Proses pengambilan kayu (bantalan) hampir sama dengan cara yang dilakukan di daerah-daerah lain, yaitu memilih pohon-pohon dengan diameter lebih dari 20 cm dan kemudian ditebang dengan mesin pemotong (chain saw). Setelah itu, dibuat balakan dengan berbagai ukuran yaitu 16-20 cm x 20-25 cm x 200, 300 dan 400 cm. Pekerjaan membuat balakan tersebut dilakukan secara berkelompok dengan jumlah 3-5 orang dalam satu kelompok. Setelah kayu dibuat balakan, kemudian diseret ke sungai terdekat, untuk memudahkan pengangkutan ketempat yang terjangkau oleh kendaraan (TO). Pada lokasi tebangan yang jauh dari sungai, maka balakan diangkut ke TO dengan menggunakan tenaga manusia. Pada umumnya kayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat diambil dari hutan desa atau hutan milik, akan tetapi ada pula masyarakat yang mengambil kayu dari kawasan TNLL. Proses penebangan dan pengangkutan kayu di Desa Salua bisa dilihat Pada Gambar 10 dan Gambar 11 di bawah ini. Upah yang diberikan kepada penarik kayu bervariasi, yaitu antara Rp. 50.000-100.000 per m3. Harga jual kayu rata-rata adalah Rp. 250.000 per m3 di tempat pembalakan dan Rp. 400.000 per m3 di TO. Sementara itu pemerintah Desa Salua (BPD dan PemDes) telah mengeluarkan aturan desa mengenai penarikan retribusi pengolahan kayu sebesar Rp. 25.000 per truk. Harga jual kayu di Kota Palu berkisar antara Rp. 650.000-800.000 per m3 (data tahun 2002).
127
Gambar 10. Pengangkutan Kayu dari Hutan ke TO atau Desa Dok : Handian (2005)
Gambar 11. Penebangan Pohon di Kawasan TNLL
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Desa Salua Selain kayu, hasil hutan yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Salua adalah rotan. Masyarakat mengambil rotan secara perorangan maupun secara berkelompok. Untuk pengambilan secara perorangan, rotan yang bisa dihasilkan sekitar 50 kg dengan waktu merotan dari pukul 07.00 - 17.00 WITA. Jumlah anggota kelompok perotan di Desa Salua berjumlah 5-20 orang. Berbeda dengan pencari rotan secara perorangan, kelompok pencari rotan pada umumnya menginap dihutan selama 1-2 minggu. Kelompok tersebut membuat pondok sebagai tempat tinggal sementara sekaligus sebagai tempat pengumpulan rotan sementara. Setelah dipandang cukup, maka rotan yang sudah dikumpulkan ditarik melalui sungai menuju desa atau TO. Rata-rata rotan yang mampu dikumpulkan oleh satu kelompok adalah 4-6 ton setiap bulan. Harga jual rotan ditingkat pengumpul rotan adalah: Rotan batang Rp. 1000/kg, rotan lambang Rp. 800/kg, tohiti Rp. 700/kg dan lewo Rp.1000/kg. Proses pengangkutan rotan dan tempat penimbangan rotan milik pengumpul lokal bisa dilihat pada Gambar 12 di bawah ini.
128
Dok : Handian (2005)
Gambar 12. Proses Pengangkutan Rotan Menuju TO atau Desa dan Gambar Rotan Asalan ditempat Pengumpul Lokal Perburuan Satwa Liar Kegiatan perburuan hewan liar di Desa Salua dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan jerat dan diburu menggunakan senjata dan anjing. Jenis hewan yang sering diburu adalah hewan-hewan yang dianggap sebagai hama seperti babi hutan dan monyet. Hewan-hewan ini dianggap merusak tanaman kacang tanah, jagung, ubi, coklat dan kopi. Jerat dibuat dari tali rotan atau tali plastik dan dipasang ditempat-tempat yang dianggap sering dilalui oleh hewan buruan. Hewan yang paling sering terjerat adalah babi hutan, sedangkan babi rusa, anoa dan rusa sangat jarang terjerat, karena jumlah hewan tersebut sangat sedikit. Jenis hewan lain yang banyak diburu adalah berbagai jenis burung. Burung di buru dengan menggunakan senapan angin dan jala. Burung yang sering diburu dengan menggunakan senapan angin adalah burung Allo, sedangkan burung maleo dan burung kuluri diburu dengan cara di jala. Salah satu contoh proses perburuan monyet di Desa Salua bisa dilihat pada Gambar 13 di bawah ini.
Dok : Handian (2005)
Gambar 13. Proses Perburuan Kera di Desa Salua Sumber Air Desa Salua Salah satu sumber mata air yang dimanfaatkan oleh masyarakat Salua yang terbesar berasal dari kawasan TNLL. Masyarakat desa menggunakan air dari
TNLL tersebut untuk berbagai keperluan, seperti : untuk minum, memasak serta MCK. Salua yang mempunyai arti anak sungai mempunyai banyak anak sungai yang bermuara di sungai MIU atau DAS Palu, baik yang ada dibagian Timur ataupun di bagian Barat. Anak sungai yang ada di bagian Timur, yang berbatasan langsung dengan dua desa yaitu Puroo dan Tomado adalah : 1.
Sungai Salua Lana
2.
Sungai Salua
3.
Sungai Salu Kono
4.
Sungai Tabaro
5.
Sungai Momibohe
6.
Sungai Momi Kodi (Jembatan 1)
7.
Sungai Saluntoribo
8.
Sungai Salu Tola
9.
Sungai yang berhulu di Gunung Potong yang bermuara di sungai Momi Anak sungai di bagian Barat yang berhulu di pegunungan Tutuwongi dan
bermuara di Sungai MIU adalah : 1.
Sungai Miope
2.
Sungai Halado
3.
Sungai Oha Kodi
4.
Sungai Oha Bohe
5.
Sungai Wara
Pembukaan Lahan di Kawasan TNLL Meskipun saat ini sistem bertani bagi sebagian besar masyarakat Salua sudah mengalami perubahan dan pergeseran dari sistem bertani tradisional “ladang berpindah” ke sistem bertani modern “menetap”, namun pengetahuan dan sistem bertani modern masih rendah. Lokasi perkebunan masyarakat Desa Salua pada umumnya terletak di bagian sebelah Barat dari pemukiman. Pembukaan lahan dalam kawasan TNLL oleh masyarakat pada umumnya dilakukan sendiri-sendiri tanpa sepengetahuan pemerintah setempat maupun pihak yang berkepentingan. Proses pembukaan lahan tersebut dimulai dengan menebang pohon-pohon yang berada dalam kawasan lindung, kegiatan ini dilakukan secara
berkelompok (5-10 orang) atau secara individu. Sampai saat ini pembukaan lahan di dalam kawasan hanya dilakukan oleh sebagian masyarakat. Hal ini karena masih tersedianya lahan di wilayah hutan produksi milik Desa yang ada di sebelah Barat desa Salua. Pada umumnya kepemilikan lahan di dalam kawasan TNLL adalah illegal karena tidak memiliki surat-surat, dan pembukaan lahan tersebut tidak memiliki izin dari pihak berwenang (pemerintah setempat maupun Balai Taman Nasional Lore Lindu) selaku pemegang hak dalam pengelolaan kawasan TNLL). Masyarakat yang memiliki lahan dalam kawasan biasanya dilatarbelakangi beberapa faktor yakni : 1) tidak memiliki lahan di tempat lain, 2) faktor ekonomi. Adapun sistem pembukaan lahan adalah dengan menebang pohon yang berukuran besar, penebangan ini biasanya memerlukan waktu selama 3 (tiga) hari dan selanjutnya dikeringkan selama 1 bulan kemudian dilakukan pembakaran. Pada umumnya kebun yang baru dibuka ditanami tanaman palawija berupa: jagung dan cabe sambil menunggu pembibitan tanaman cokelat dan kopi ataupun tanaman tahunan lainnya. Contoh kawasan TNLL yang telah berubah menjadi kebun bisa dilihat pada Gambar 14 di bawah ini.
Dok : Handian (2005)
Gambar 14. Kawasan TNLL yang telah berubah fungsi menjadi Kebun)
Pemilihan jenis tanaman disesuaikan dengan permintaan pasar, tanaman cokelat dan kopi merupakan tanaman yang banyak dipilih karena dianggap dapat memberikan penghasilan yang cukup tinggi serta tidak memerlukan perawatan intensif. Pada musim tanam berikutnya, lahan masih ditanami dengan palawija dan mulai menanam tanaman cokelat dan kopi. Setelah tanaman Kopi tersebut tinggi maka tanaman palawija tidak ditanam lagi. Pada umumnya hasil dari tanaman sayur-sayuran, cabe dan ubi masih digunakan untuk kepentingan sendiri (subsisten) Dalam pengelolaan lahan baru diawali dengan pemilihan Pemanu (ketua kelompok). Sebelum melakukan kegiatan
pembukaan lahan diselenggarakan
ritual meminta restu kepada penghuni hutan dengan menyediakan para-para dengan ukuran 50 x 50 cm dan tinggi 1 – 1,5 cm. Kemudian memilih lagi orang yang bisa melakukan cara untuk menyimpan sesajian seperti: sirih, kapur sirih, tembakau (potugi), nasi, telur yang dibagi 7 dialas dengan tave linopi (daun linopi) dan bendera putih. Semua kelengkapan tersebut diletakkan di atas parara estela.
Selanjutnya
dilakukan
mogene
membaca
mantra-mantra
yang
menggunakan bahasa daerah meminta restu dan pamit kepada para penghuni hutan agar jangan menganggu mereka saat bekerja untuk membuka lahan. Lahan yang pertama diolah adalah lahan milik pemanu mulai dari pemarasan, pembakaran, penanaman dan panen. Hasil dari perkebunan disimpan di mari (lumbung). Masyarakat Salua selalu memisahkan jenis tanaman palawija dan tanaman tahunan, khususnya tanaman palawija sayur-sayuran, lombok, jagung, ubi kayu dan sebagainya. Masyarakat menanam di kebun yang disebut “pampa”. Pembukaan lahan pampa lebih luas berkisar antara 1-2 ha. Tanaman yang berumur panjang ditanam pada lahan yang disebut “bonea” Pemanfaatan Tanaman Obat Meskipun obat-obatan modern sudah masuk ke desa-desa, tetapi masyarakat Desa Salua masih banyak yang memanfaatkan tumbuhan dan binatang liar untuk bahan ramuan obat tradisional. Bagi mereka yang sering beraktivitas di dalam hutan, keberadaan tumbuhan obat ini sangat membantu jika terluka atau terserang penyakit di dalam hutan.
Pengobatan dilakukan oleh dukun kampung dengan membaca jampi-jampi lalu ditiupkan kepada orang sakit dan menggunakan obat kampung
seperti
rumput-rumputan. Pengambilan obat dilakukan oleh dukun karena ada syaratsyarat tertentu dan harus dilakukan pada hari tertentu (Jum’at) pukul 06.00 pagi dan atau bertepatan dengan adzan di mesjid. Tumbuhan obat diperoleh masyarakat dari sekitar pekarangan, pinggir kebun, ladang sampai ke dalam hutan. Bahan ramuan obat diambil dari bagian akar, umbi, daun, batang dan buah dari berbagai rumput-rumputan (gulma), tanaman semak ataupun pohon. Ramuan tumbuhan obat yang umum dipercaya bisa mengobati berbagai penyakit, diantaranya adalah : 1.
Luka luar karena benda tajam diobati dengan : pucuk tantanga merah, umbut pisang, getah balacai, daun bube, daun paralibo dan daun ntilala.
2.
Sakit gigi diobati dengan daun sirih, akar sere, getah kamboja, akar tunjung langit, dan umbi tainco.
3.
Demam dan malaria diobati dengan kompresan daun siranindi, daun balacai, daun maumata, dan parea, daun cocor bebek dan daun kemiri.
4.
Pengobatan wanita bersalin atau membersihkan habis melahirkan, digunakan pucuk paku, seduhan hingga, kunyit, daun balacai, daun gedi dan daun kapas/kapuk.
5.
Pegal-pegal sehabis kerja berat diobati dengan rebusan batang akar kuning, daun kici biling, rebusan akar alang-alang, daun kumis dan akar ntorode.
6.
Batuk-batuk diobati perasan daun bayana, batang tuwutaba, daun valangkere, jeruk nipis, umbut kihipo dan buahnya belobo.
7.
Darah tinggi diobati dengan daun alpokat, daun pisang sepatu dan umbi tantanga.
8.
Keseleo bisa diobati dengan remasan daun takema, daun sere, dan daun balacai
9.
Sakit maag diobati dengan daun cenaduri, daun taba, dan buah pisang sepatu.
10. Gatal-gatal diobati dengan daun manure, lengkuas, dan daun silaguri, dst. Pendekatan Adat “OMBO” dalam Perlindungan Keanekaragaman Hayati Keperihatinan sebagian masyarakat terhadap banyaknya aktifitas yang dilakukan di dalam hutan khususnya pengambilan hasil hutan baik kayu maupun
non kayu (terutama rotan) yang tidak saja dilakukan oleh masyarakat Salua sendiri bahkan lebih banyak dilakukan oleh masyarakat dari luar desa Salua. Bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi beberapa waktu yang lalu dipandang oleh masyarakat sebagai dampak dari rusaknya hutan yang ada di desa yang diakibatkan ramainya orang mengambil rotan, kayu dan membuka lahan di hutan Desa Salua. Disamping itu, munculnya kesadaran dari masyarakat untuk menjaga dan mempertahankan kelestarian hutan untuk kepentingan anak cucu (generasi mendatang). Berkenaan dengan hal tersebut, Ketua Lembaga Adat Desa Salua menyampaikan upaya alternatif untuk menjaga dan mempertahankan hutan di Desa Salua dengan cara menerapkan hukum ombo dalam pengambilan hasil hutan kayu dan rotan serta beberapa jenis hewan liar. Pemberlakuan ombo haruslah ombo yang sebenarnya dengan melibatkan pemerintah (instansi terkait), para pengusaha, masyarakat yang mengolah serta masyarakat secara umum. Ini dimaksudkan agar penerapan ombo diketahui oleh semua pihak. Di samping itu pemberlakuan ombo ini adalah lebih memberikan peran dan tanggung jawab perlindungan hutan kepada masyarakat adat (melalui pendekatan adat). Ombo merupakan suatu kegiatan adat berupa pelarangan melakukan kegiatan yang berlebihan untuk sementara waktu dalam wilayah tertentu. Ombo biasanya diberlakukan untuk ungkapan duka cita dari meninggalnya seseorang atau keluarga dari golongan raja. Ombo duka cita ini melarang kepada siapa saja untuk tidak melakukan kegiatan keramaian, kegiatan yang menimbulkan suara yang keras (termasuk mengendarai kendaraan dengan cepat) dan kegiatankegiatan lainnya. Bagi yang melanggar akan dikenakan sangsi adat tergantung dari jenis ombo yang diselenggarakannya. Bila pelarangan ini (ombo) diberlakukan pada sumberdaya hutan (SDH), berarti penghentian sementara kegiatan pengambilan jenis-jenis tertentu (jenis tersebut ditentukan oleh lembaga adat) dalam wilayah tertentu serta waktu yang ditentukan. Jadi dalam ombo SDH tersebut terdapat 3 unsur penting yaitu 1) apa yang diatur oleh hukum ombo termasuk jenis-jenis yang dilarang, 2) batas wilayah atau daerah diberlakukan nya ombo, dan 3) berapa lama pemberlakuan ombo. Dari unsur tersebut dapat diketahui bahwa yang diatur oleh hukum adat ombo adalah
hasil hutan dengan jenis tertentu, misalnya rotan, kayu, serta penangkapan jenis hewan tertentu dalam wilayah kawasan TNLL yang berada dalam kawasan atau berbatasan dengan Desa Salua selama misalnya 5 (lima) tahun terhitung dari pelaksanaan upacara ombo. Pelaksanaan ombo dilakukan dalam desa dengan melakukan upacaraupacara tertentu termasuk makan bersama, dimana diyakini barang siapa yang ikut makan dalam upacara tersebut dan melakukan pelanggaran ombo nantinya akan mendapatkan bencana atau bala dan akan mendapatkan sangsi adat. Hasil denda yang diperoleh dari pemberlakuan ombo dipergunakan untuk kepentingan desa yang dikelola oleh lembaga adat dan pemerintah desa. Peran Laki-Laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di Desa Salua Pada umumnya dalam kehidupan suatu masyarakat selalu terdapat sistem pembagian peran laki-laki maupun perempuan yang sudah mengakar dan terjadi sejak dahulu kala. Hal tersebut dilakukan pada berbagai aspek, baik sosial budaya maupun dalam aspek ekonomi, termasuk pengaturan dalam akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Di desa Salua, berdasarkan hasil kajian Care (2002) dapat ditemui sejumlah informasi tentang pembagian peran laki-laki maupun perempuan dalam hal pengelolaan sumberdaya alam : 1.
Kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya hutan seperti halnya pengambilan kayu bahan bangunan, berburu, membuka lahan sebahagian besar dilakukan oleh laki-laki, sementara itu para perempuan umumnya hanya mengambil kayu bakar maupun sayur-sayuran
untuk
dikonsumsi keluarga. 2.
Kegiatan pengolahan kebun pada umumnya dilakukan bersama. Keterlibatan gender dalam pengelolaan sumberdaya alam, dalam hal ini lahan
untuk kebun adalah sebagai berikut: 1.
Pemerasan (pembersihan) lahan 50 % laki-laki dan 50 % perempuan
2.
Penebangan 80 % dilakukan laki-laki dan 20 % perempuan
3.
Pembakaran rumput dan kayu 80 % laki-laki dan 20 % perempuan
4.
Pembersihan lahan sisa-sisa pembakaran 50 % laki-laki dan 50 % perempuan
5.
Penanaman 50 % laki-laki dan 50 % perempuan
6.
Pemetikan hasil panen penebangan 10 % laki-laki dan 90 % perempuan
7.
Penjemuran hasil panen 50 % laki-laki dan 50 % perempuan
8.
Pemasaran atau penjualan hasil pertanian dan perkebunan 30 % laki-laki dan 70 % perempuan
Permasalahan Pengelolaan Sumberdaya Alam Dari hasil pengkajian Care (2002), ada beberapa isu permasalahan yang berkaitan dengan sistem pengelolaan sumberdaya alam, informasi ini merupakan hasil pengamatan dilapangan dan diskusi dengan masyarakat sehingga masih perlu untuk diperdalam dan disempurnakan. Adapun informasi yang dapat diidentifikasi antara lain: Hutan dan Kawasan TNLL Bagi masyarakat lokal yang tergolong marjinal, politik pembangunan dirasa merugikan hak-hak pengelolaan secara lokal baik di bidang ekonomi, sosial dan budaya, yang dapat merubah pola kehidupan mereka. Menurut mereka pemasangan tapal batas TNLL yang tidak disosialisasikan terlebih dahulu merupakan pemutusan hak-hak pemanfaatan hutan secara sepihak tanpa adanya kesepakatan terlebih dahulu. Sedangkan mereka masih membutuhkan hutan untuk berbagai kebutuhan obat-obatan, sandang, perkakas/alat,
anyam-anyaman,
pelengkap
adat/ritual
dan
sumber
pendapatan tunai. Desakan dan intimidasi petugas telah membingungkan mereka yang biasa mengambil hasil hutan dan tinggal berbatasan langsung dengan kawasan TNLL. Pembukaan lahan Kebun Bencana alam seperti erosi dan banjir sering terjadi di Desa Salua disebabkan pembukaan lahan yang Banyak
tanah-tanah
longsor
dalam
memperparah kerusakan kawasan. kawasan
yang
mengakibatkan
tumbangnya pohon-pohon dan mematikan satwa-satwa. Hal tersebut dapat mengakibatkan
terganggunya
keseimbangan
lingkungan
dan
fungsi
ekosistem dalam kawasan. Akhir-akhir ini, gangguan keamanan dan ancaman terhadap kawasan TNLL semakin meningkat. Konversi lahan, illegal logging, eksploitasi hasil hutan non kayu, perburuan satwa telah menyebabkan kerusakan kawasan yang pada akhirnya bermuara pada terjadinya degradasi hutan. Contoh kawasan TNLL yang rusak akibat penebangan liar bisa dilihat pada Gambar 15 di bawah ini.
Gambar 15. Kawasan TNLL yang rusak akibat Penebangan Liar Perusakan kawasan dengan cara demikian terjadi dikarenakan belum adanya tindakan tegas dari aparat penegak hukum dalam pelaksanaan tugasnya dan bahkan ada oknum aparat yang terlibat dalam perusakan hutan. Kekhawatiran masyarakat terhadap pengelolaan hutan di Desa Salua berdasarkan hasil penelitian Care (2002) adalah sebagai berikut : 1.
Alih fungsi kawasan TNLL menjadi lahan-lahan pertanian
2.
Populasi pohon kayu /rotan akan semakin berkurang akibat adanya penebangan yang tidak terkendali.
3.
Akibat dari penebangan di TNLL mulai berdampak pada masyarakat seperti banjir dan tanah longsor.
4.
Binatang/hewan seperti babi hutan, burung maleo semakin berkurang
5.
Perusakan kawasan dengan sistem penebangan dan pembukaan lahan masih terjadi.
6.
Penegakan hukum khususnya dari pihak berwenang sangat lemah
7.
Masih ada oknum masyarakat yang diduga bekerjasama dengan oknum aparat dalam pengambilan kayu.
8.
Apabila musim hujan banjir dan tanah longsor terjadi dan susah terkendali
9.
Belum ada aturan yang diberlakukan khususnya dalam sistem pengelolaan sumberdaya alam.
10. Keterlibatan masyarakat luar wilayah desa dalam PSDA. 11. Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam 12. Belum ada tindakan tegas dari aparatur pemerintah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Manfaat Jasa Lingkungan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) Masyarakat Desa Salua telah banyak memperoleh manfaat dari keberadaan TNLL, baik manfaat yang bersifat langsung (nilai guna langsung) maupun manfaat yang bersifat tidak langsung (nilai guna tidak langsung). Nilai guna langsung yang telah diperoleh oleh masyarakat Desa Salua diantaranya adalah hasil hutan kayu (bahan material dan kayu bakar) serta hasil hutan bukan kayu seperti rotan, tanaman obat, umbi-umbian serta hewan liar sebagai sumber protein hewani. Sedangkan nilai guna tidak langsung yang selama ini diperoleh oleh masyarakat Desa Salua adalah jasa lingkungan seperti manfaat hutan dalam pengaturan iklim, daerah tangkapan air, pengatur tata air dan reduksi banjir, penyangga terhadap hama dan penyakit dan lain sebagainya. Besarnya nilai manfaat tidak langsung yang dihasilkan hutan, khususnya jasa lingkungan, sampai saat ini belum diapresiasi secara baik oleh publik, bahkan kegiatan konservasi dianggap sebagai cost center. Akibat tidak dipahaminya nilai ekonomi total yang berasal dari ekosistem hutan tersebut telah menyebabkan peningkatan laju degradasi di berbagai kawasan hutan di Indonesia, termasuk di kawasan TNLL. Selain itu, salah satu alasan mengapa apresiasi publik terhadap jasa lingkungan masih rendah adalah, karena jasa lingkungan yang dihasilkan oleh hutan belum memiliki transaksi pasarnya. Hal tersebut disebabkan karena jasa-jasa lingkungan tersebut merupakan barang
publik
dan
memiliki
eksternalitas
dimana
semua
pihak
yang
memanfaatkan jasa lingkungan tersebut tidak harus melakukan pembayaran kepada pengelola hutan. Membayar atau tidak membayar, semua pihak tetap dapat memanfaatkan jasa lingkungan sebagai produk sektor kehutanan karena memang belum ada mekanisme yang mengatur pembayaran terhadap jasa lingkungan yang bersifat sebagai barang publik. Ciri barang publik ialah tidak diberlakukannya “exclusion principle” dan “rivalry in consumption” (Suparmoko dan Nurrochmat, 2005). Dampak negatif dari kurang diapresiasinya jasa lingkungan hutan adalah berkurangnya jumlah dan jenis sumberdaya alam hayati serta terjadinya degradasi
ekosistem hutan. Hal tersebut dengan sendirinya akan menyebabkan menurunnya fungsi lindung dari hutan, seperti manfaat hutan dalam pengaturan iklim, daerah tangkapan air, pengatur aliran air dan mereduksi banjir, penyangga terhadap hama dan penyakit dan lain sebagainya. Untuk kasus Desa Salua, telah terjadi apa yang disebut oleh Sitorus (2002) sebagai perubahan cepat yang mendasar pada ekologi pedesaan, sebagai akibat dari
perluasan
perkebunan
kakao
yang
berlangsung
cepat.
Hal
ini
mengindikasikan telah terjadi perubahan radikal bentukan sosial setempat, yang telah memudahkan peralihan sistem kepemilikan tanah dari jenis kolektif (common resources) menjadi jenis kepemilikan pribadi, di mana distribusi lahan tunduk pada kekuatan pasar (pasaran tanah). Situasi tersebut memungkinkan penduduk asli secara khusus memperoleh sumberdaya tanah dan menjualnya pada pendatang, sehingga menyebabkan perubahan mendasar pada struktur agraria lokal, dimana penduduk asli telah diturunkan tingkatannya dari “bertanah” menjadi “tak bertanah”, sementara pendatang diangkat tingkatnya dari “tak bertanah” menjadi “bertanah”. Perubahan dalam struktur agraria tersebut menandakan penurunan keterjaminan sosial ekonomi penduduk asli dan sebaliknya peningkatan keterjaminan bagi pendatang. Kondisi ini menyebabkan penduduk asli mencoba memecahkan masalah ketidakterjaminan sosial ekonomi dengan cara merambah kawasan hutan. Kekuatan pasar telah mengalahkan pengetahuan indigenous (hukum adat Taolo dan Ombo) yang telah dimiliki oleh masyarakat Desa Salua dalam mengelola hutan dan lingkungan di sekitarnya. Turnbull (2002) menjelaskan bahwa
adanya
pengaruh
modernisasi
terhadap
pengetahuan
indigenous
menyebabkan perubahan yang bersifat radikal. Perubahan tersebut sering dipicu oleh adanya pengaruh yang datang dari kelompok luar, baik untuk tujuan berdagang, pengembangan usaha, maupun kolonialisasi. Greiner (1998); Li (2000) diacu dalam Golar (2007), menjelaskan bahwa terancamnya pengetahuan indigenous dipengaruhi pula oleh globalisasi, yang mau tidak mau akan memaksa masyarakat indigenous untuk menjadi bagian dari masyarakat global dengan tatanan baru. Hal ini menyebabkan pengetahuan indigenous yang dimiliki menjadi tidak relevan. Di samping itu, kekuatan ekonomi dan sosial secara perlahan dan
pasti seringkali menghancurkan struktur sosial, yang mampu menciptakan pengetahuan dan praktik indigenous tersebut (terjadi perubahan perilaku) (Sunito 1999; 2004, diacu dalam Golar 2007). Salah satu upaya untuk mengurangi dampak negatif dari perubahan perilaku tersebut, adalah dengan cara meningkatkan apresiasi publik terhadap kelestarian alam, melalui penghitungan manfaat ekonomi jasa lingkungan hutan, sehingga diharapkan dapat merubah persepsi bahwa nilai jasa lingkungan tidak memiliki nilai ekonomi menjadi sebaliknya. Setelah itu, perlu juga disusun strategi pengelolaan lingkungan di tingkat desa (Desa Salua) dengan memperhatikan aspirasi dan potensi yang dimiliki oleh masyarakatnya. Persepsi Masyarakat Desa Salua terhadap Ancaman Banjir Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa sebagian besar masyarakat Desa Salua terkena dampak banjir (62,1%), sedangkan sisanya (37,9%) tidak terkena dampak
banjir. Masyarakat yang terkena dampak banjir adalah
masyarakat yang mempunyai ladang dan atau tempat tinggal di daerah yang rendah. Besar kecilnya dampak yang dirasakan sangat tergantung pada lokasi tempat tinggal atau ladang, masyarakat yang mempunyai ladang atau tempat tinggal di pinggiran sungai dan dataran rendah pada umumnya terkena dampak lebih besar. Sedangkan masyarakat yang tidak terkena dampak banjir adalah masyarakat yang mempunyai tempat tinggal atau ladang di lokasi yang relatif tinggi. Data dampak banjir terhadap masyarakat Desa Salua selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 13 di bawah ini. Tabel 13. Dampak Banjir Terhadap Masyarakat Desa Salua No. 1. 2. 3. 4. 5.
Parameter Sangat Besar Besar Sedang Kecil Tidak ada Masalah Total
Jumlah Persentase Responden (%) 19 9,4 64 31,5 23 11,3 20 9,9 77 37,9 203 100,0
Masyarakat Desa Salua juga berpendapat, bahwa dampak banjir akan semakin memburuk, jika tidak ada tindakan atau program pencegahan banjir di
Desa Salua. Hal ini disebabkan, tanpa ada program pencegahan, kondisi lingkungan di Desa Salua cenderung akan semakin buruk, sehingga dampak banjir akan semakin besar. Persepsi masyarakat tentang dampak banjir di Desa Salua tanpa adanya program pencegahan, bisa dilihat pada Tabel 14 di bawah ini. Tabel 14. Dampak Banjir terhadap Lingkungan Desa Salua Tanpa Adanya Tindakan Pencegahan Banjir No. 1. 2. 3. 4. 5.
Parameter Semakin buruk Buruk Sama saja Baik Semakin Baik Total
Jumlah 74 82 45 1 1 203
Persentase (%) 36.5 40.4 22.2 0.5 0.5 100.0
Berkenaan dengan program pembangunan yang dilaksanakan di Desa Salua selama ini, pada umumnya masyarakat berpendapat bahwa pembangunan tersebut tidak dapat mengurangi kerusakan akibat banjir (56,2%), sedangkan yang berpendapatan bahwa pembangunan yang dilaksanakan oleh desa bisa mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh banjir hanya 17,7%. Hal tersebut dikarenakan belum ada program pembangunan desa yang khusus menanggulangi ancaman banjir. Data selengkapnya bisa dilihat pada Lampiran 17. Berkenaan dengan tanggungjawab pemerintah kabupaten dalam usaha pencegahan banjir dan erosi, masyarakat Desa Salua berpendapat bahwa pemerintah seharusnya sangat bertanggungjawab terhadap pencegahan banjir dan erosi (81,3%). Selain itu, responden juga berpendapat bahwa dirinya dan keluarga juga seharusnya sangat bertanggungjawab terhadap pencegahan banjir di Desa Salua (68%). Pihak lain yang seharusnya bertanggungjawab terhadap pencegahan banjir di Desa Salua adalah seluruh masyarakat, Ornop, peneliti, masyarakat Desa Salua dan Pemerintah desa. Data tentang pihak-pihak yang seharusnya bertanggungjawab terhadap pencegahan banjir di Desa Salua bisa dilihat pada Lampiran 17.
Persepsi Masyarakat Desa Salua terhadap Ancaman Erosi Erosi merupakan bahaya lingkungan yang diketahui dan merupakan ancaman bagi masyarakat Desa Salua. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat Desa Salua, sebanyak 81,8% masyarakat terkena dampak erosi dengan besaran yang bervariasi, sedangkan 22,2% diantaranya tidak merasakan dampak dari erosi. Sama halnya dengan dampak dari banjir, besar kecilnya dampak erosi yang dirasakan oleh masyarakat sangat tergantung pada lokasi tempat tinggal atau ladang yang dimiliki oleh masyarakat. Masyarakat yang memiliki tempat tinggal dan ladang pada lokasi yang curam maka akan mendapatkan dampak erosi yang lebih besar. Masyarakat yang merasa tidak mendapatkan dampak dari erosi pada umumnya adalah masyarakat yang memiliki tempat tinggal di tempat yang landai dan tidak mempunyai ladang. Data selengkapnya tentang dampak erosi terhadap masyarakat Desa Salua bisa dilihat pada Tabel 15 di bawah ini. Tabel 15. Dampak Erosi terhadap Masyarakat Desa Salua No. 1. 2. 3. 4. 5.
Parameter Sangat besar Besar Sedang Kecil Tidak masalah Total
Jumlah Persentase Responden (%) 12 5.9 87 42.9 35 17.2 24 11.8 45 22.2 203 100,0
Masyarakat Desa Salua juga berpendapat jika di Desa Salua tidak dilakukan pencegahan terhadap bahaya erosi, maka di masa yang akan datang dampak dari erosi akan semakin buruk terhadap lingkungan Desa Salua. Hal tersebut bisa dilihat pada Tabel 16, di mana dari seluruh responden yang diwawancarai, hanya 1 orang (0,5%) yang berpendapat bahwa tanpa adanya pencegahan, maka dampak erosi terhadap lingkungan di Desa Salua akan lebih baik.
Tabel 16. Dampak Erosi Terhadap Lingkungan Desa Salua tanpa Ada Upaya Pencegahan Erosi No. 1. 2. 3. 4.
Parameter Lebih buruk Buruk Sama saja Lebih baik Total
Jumlah Responden 81 69 52 1 203
Persentase (%) 39.9 34.0 25.6 0.5 100,0
Berkenaan dengan program pembangunan yang dilaksanakan di Desa Salua, 58.1% responden berpendapat bahwa program pembangunan yang dilaksanakan tidak dapat mengurangi kerusakan akibat erosi tanah. Hal tersebut dikarenakan belum adanya program pembangunan desa yang khusus menangani bahaya erosi. Responden yang berpendapat bahwa program pembangunan di Desa Salua bisa mengurangi kerusakan akibat erosi tanah hanya 19.2%, sisanya 16.3% menjawab ragu-ragu. Data selengkapnya tentang persepsi masyarakat terhadap peran pembangunan desa dalam mengurangi bahaya erosi bisa dilihat pada Lampiran 18. Masyarakat Desa Salua berpendapat bahwa tanggungjawab dalam upaya pencegahan erosi di Desa Salua berada di tangan masyarakat dan pemerintah, karena hal tersebut merupakan tanggungjawab bersama, sehingga semua pihak harus bekerja sama dalam melaksanakan hal tersebut. Data tentang Persepsi masyarakat terhadap pihak yang seharusnya bertanggungjawab terhadap pencegahan bahaya erosi bisa dilihat pada Lampiran 18. Persepsi Masyarakat terhadap Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui Banjir dan erosi merupakan bahaya lingkungan yang telah diketahui, dengan kata lain masyarakat Desa Salua telah mengetahui dan mengalami kedua ancaman lingkungan tersebut. Selain bahaya lingkungan yang sudah diketahui, ada pula bahaya lingkungan yang belum diketahui, dengan kata lain bahaya lingkungan tersebut belum pernah terjadi di Desa Salua. Bahaya lingkungan yang belum diketahui bisa merupakan bahaya lingkungan yang benar-benar baru, atau pernah terjadi, tetapi terjadi di tempat lain.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, bahaya lingkungan yang dianggap sebagai ancaman oleh masyarakat Desa Salua adalah wabah penyakit yang telah menyerang daerah di luar Desa Salua yaitu wabah flu burung dan Sars. Informasi tentang wabah penyakit tersebut pada umumnya diperoleh masyarakat dari tanyangan TV, radio, dan koran. Bahaya lingkungan yang tidak diketahui diduga erat kaitannya dengan kesehatan lingkungan. Dengan demikian, salah satu cara untuk melindungi desa dari bahaya lingkungan yang tidak diketahui adalah dengan cara menjaga kesehatan dan kelestarian lingkungan hidup. Berdasarkan data pada Tabel 17, diketahui bahwa 53,2% masyarakat responden berpendapat bahwa bahaya lingkungan yang tidak diketahui merupakan ancaman bagi kehidupan masyarakat Desa Salua, dengan tingkat ancaman bervariasi. Tabel 17. Ancaman Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui terhadap Masyarakat Desa Salua No. 1. 2. 3. 4. 5.
Parameter Sangat besar Besar Sedang Kecil Tidak masalah Total
Jumlah Persentase Responden (%) 3 1.5 44 21.7 61 30.0 48 23.6 47 23.2 203 100,0
Selain itu, mayoritas masyarakat Desa Salua berpendapat, bahwa tanpa adanya program pencegahan, maka kondisi lingkungan (kesehatan tanah, hutan dan lahan) di masa yang akan datang akan semakin buruk. Hal tersebut bisa dilihat pada Tabel 18 yang menunjukkan bahwa 50.2% responden berpendapat bahwa kondisi lingkungan akan menjadi lebih buruk jika tidak dilakukan program pencegahan. Dengan demikian masyarakat Desa Salua berpendapat bahwa program pencegahan terhadap bahaya lingkungan yang tidak diketahui diperlukan.
Tabel 18. Persepsi Masyarakat terhadap Ancaman Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui Tanpa Adanya Program Pencegahan No.
Parameter
1. 2. 3. 4.
Bertambah buruk Buruk Sama saja Lebih baik Total
Jumlah 22 102 76 3 203
Persentase (%) 10.8 50.2 37.4 1.5 100,0
Berkaitan dengan program pembangunan yang selama ini dilaksanakan di Desa Salua, masyarakat berpendapat bahwa pembangunan di Desa Salua belum dapat mengurangi bahaya lingkungan yang tidak diketahui (57.6%). Hal tersebut dikarenakan belum ada program pembangunan di Desa Salua yang khusus berkaitan dengan perbaikan kualitas lingkungan hidup. Data tentang persepsi masyarakat terhadap peran pembangunan desa dalam mengurangi ancaman bahaya lingkungan yang tidak diketahui bisa dilihat pada Lampiran 19. Masyarakat Desa Salua berpendapat bahwa usaha untuk mengurangi acaman bahaya lingkungan yang tidak diketahui merupakan tanggungjawab semua pihak, termasuk masyarakat Desa Salua, pemerintah, Ornop, serta lembaga penelitian. Dengan demikian, program tersebut
merupakan tanggungjawab
bersama. Willingness to Pay Masyarakat Desa Salua terhadap Jasa Lingkungan TNLL Kemauan membayar masyarakat yang dihitung adalah kemauan masyarakat membayar untuk jasa lingkungan TNLL dalam pencegahan terhadap bahaya lingkungan yang telah diketahui (banjir dan erosi) dan manfaat ekonomi TNLL dalam mencegah bahaya lingkungan yang belum diketahui (pencegahan terhadap wabah penyakit bagi manusia, hama dan penyakit tumbuhan dan hewan). Metode yang dipergunakan adalah Contingent Valuation Method (CVM). Berdasarkan penelitian sebelumnya dan telah disampaikan pada bagian pendahuluan, bahwa metode CVM memiliki beberapa kelemahan yang dapat menyebabkan bias terhadap hasil penghitungan. Untuk mengurangi bias terhadap nilai yang dihasilkan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa hal, diantaranya adalah :
1. Melakukan uji coba kuisioner yang telah disusun melalui kegiatan pra survey. Hal ini dilakukan untuk mengetahui respon dari masyarakat, terhadap pertanyaan yang diberikan. Jika ternyata responden kurang memahami pertanyaan atau jawaban yang diberikan tidak konsisten, maka kuisioner akan di sempurnakan lagi. Hal tersebut dilakukan agar rancangan penelitian yang dibuat relatif lebih cermat. 2. Menjelaskan skenario kegiatan kepada masyarakat, hal ini dilakukan agar responden paham dan mengetahui dengan jelas, sejauh mana program perbaikan lingkungan akan memberikan manfaat bagi pribadi dan lingkungannya, sehingga kemauan membayar masyarakat didasarkan pada perhitungan yang rasional. Skenario yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah adanya program perbaikan lingkungan yang dapat mengurangi ancaman bahaya banjir dan erosi sebanyak 25% dan kesehatan lingkungan akan bertambah, sehingga bahaya lingkungan yang tidak diketahui akan berkurang. Diasumsikan bahwa pemerintah atau pihak lain akan melaksanakan program perbaikan lingkungan, dengan syarat masyarakat harus ikut berpartisipasi dalam bentuk sumbangan uang ataupun sumbangan tenaga. Jika masyarakat tidak mau berpartisipasi maka program perbaikan lingkungan tersebut tidak jadi dilaksanakan. Oleh karena itu, masyarakat Desa Salua harus ikut berpartisipasi dalam program perbaikan lingkungan di atas 3. Menggunakan bantuan gambar untuk memperjelas isi pertanyaan kepada responden. Hal ini dilakukan agar responden betul-betul dapat memahami topik atau pertanyaan yang diajukan dalam kuisioner 4. Melakukan hipotesis pasar sebelum menentukan nilai lelang, hal ini dilakukan agar harga yang ditawarkan dalam survei relatif tidak berbeda jauh dengan harga pasar yang berlaku 5. Menggunakan parameter lain, untuk mengukur “kewajaran” nilai WTP yang diperoleh. Dalam penelitian ini parameter yang digunakan adalah realisasi pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan dan realisasi anggaran belanja Desa Salua pada tahun yang sama dengan tahun penelitian
6. Memberikan pertayaan untuk mengetahui konsentrasi responden. Hal ini dilakukan agar responden tidak menjawab secara asal-asalan. Jika berdasarkan
jawabannya,
ternyata
responden
dianggap
tidak
berkonsentrasi, maka pertanyaan diulang atau jawaban responden tersebut diabaikan dalam penelitian ini Berdasarkan hasil survei kemauan membayar masyarakat Desa Salua terhadap jasa lingkungan TNLL dalam mencegah bahaya lingkungan yang tidak diketahui diperoleh informasi bahwa dari seluruh responden yang diwawancarai hanya ± 2% yang tidak bersedia membayar, sedangkan ± 98% responden menyatakan bersedia membayar dengan nilai yang bervariasi, antara Rp. 500 per bulan
sampai dengan Rp. 9000 per bulan. Mayoritas responden (42.42%)
bersedia membayar sebesar Rp. 3000 perbulan, sedangkan jumlah masyarakat yang bersedia membayar dengan jumlah maksimum (Rp. 9000 per bulan) berjumlah 12.12%. Jumlah total kemauan membayar masyarakat Desa Salua untuk pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui adalah Rp. 648.000 per bulan, dengan demikian rata-rata kemauan membayar masyarakat Desa Salua adalah Rp. 3.272,73 per bulan. Untuk mengetahui nilai ekonomi TNLL dalam pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui, nilai rata-rata kemauan membayar masyarakat Desa Salua dikalikan dengan seluruh rumah tangga yang ada di Desa Salua yang berjumlah 278 rumah tangga. Dengan demikian, maka nilai ekonomi jasa lingkungan TNLL untuk menjaga bahaya lingkungan yang tidak diketahui adalah Rp. 909.818 per bulan atau 10.917.818,18 per tahun. Data selengkapnya tentang kemauan membayar masyarakat dalam bentuk
iuran uang per bulan
untuk program pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui bisa dilihat pada Tabel 19 di bawah ini.
Tabel 19. Kemauan Membayar Masyarakat Desa Salua terhadap Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jumlah Kemauan Membayar (Rp/bulan) 0 500 1000 1500 2000 3000 4000 6000 9000 Total Rata-rata
Frekwensi 4 36 18 4 5 84 5 18 24 198
Jumlah 18.000 18.000 6.000 10.000 252.000 20.000 108.000 216.000 648.000 3.272,73
Persentase (%) 2,02 18,18 9,09 2,02 2,53 42,42 2,53 9,09 12,12 100
Jika nilai WTP tersebut dibandingkan dengan realisasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Desa Salua pada tahun 2005 yang berjumlah Rp. 3.025.584 dan merupakan kemauan riil masyarakat untuk membayar pajak, maka nilai realisasi PBB kurang lebih hanya berjumlah 28% dari nilai WTP. Meskipun demikian, bukan berarti nilai WTP tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kemauan masyarakat yang sesungguhnya untuk membayar atau berpartisipasi dalam perbaikan lingkungan. Hal tersebut disebabkan karena uang yang dikeluarkan untuk membayar PBB, disetorkan kepada pemerintah pusat, dan masyarakat tidak dapat secara langsung merasakan manfaatnya. Sedangkan uang yang dibayarkan untuk membayar perbaikan lingkungan di Desa Salua, bisa langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, sehingga kemauan membayar masyarakat lebih tinggi. Jika WTP masyarakat Desa Salua digabungkan dengan
realisasi
penerimaan rutin dan pembangunan di Desa Salua yang berjumlah Rp. 7.000.000, maka dana pembangunan di Desa Salua, akan bertambah menjadi ± Rp. 18.000.000/tahun. Dengan demikian sebenarnya terbuka potensi penambahan anggaran pembangunan di Desa Salua, khususnya untuk anggaran program perbaikan lingkungan secara swadaya. Sebagai pembanding, jumlah kemauan membayar masyarakat Desa Salua terhadap jasa lingkungan pencegahan banjir dan erosi dari TNLL diukur pula
dengan kemauan membayar dalam bentuk sumbangan tenaga kerja. Berdasarkan perhitungan tersebut, diketahui bahwa jumlah masyarakat yang bersedia membayar adalah 98% dan yang tidak bersedia membayar adalah 2%. Mayoritas kemauan membayar masyarakat Desa Salua adalah 4 HOK/bulan (61,1%), sedangkan rata-rata kemauan membayar masyarakat adalah 3 HOK (dengan pembulatan). Untuk mengetahui kemauan membayar dengan tenaga kerja dari masyarakat Desa Salua, maka jumlah rata-rata tersebut dikalikan dengan seluruh rumah tangga yang ada, sehingga diperoleh nilai 843 HOK/bulan. Jika sumbangan dalam bentuk tenaga kerja tersebut ditransfer ke dalam bentuk uang, dengan asumsi bahwa satu HOK di Desa Salua bernilai Rp. 25.000, maka kemauan membayar masyarakat Desa Salua adalah Rp. 20.850.000/bulan atau Rp. 250.200.000/tahun. Nilai tersebut merupakan potensi dan merupakan modal potensial yang telah ada. Dalam konteks pemerintah daerah atau lembaga lain yang akan melakukan perbaikan lingkungan di Desa Salua, telah terdapat potensi dana untuk program perbaikan lingkungan sebesar Rp. 250.200.000/tahun dalam bentuk tenaga kerja. Dengan demikian dapat diketahui bahwa masyarakat Desa Salua cenderung untuk memberikan sumbangan dalam bentuk tenaga kerja dibandingkan dalam bentuk uang. Data kemauan membayar Masyarakat Desa Salua dalam bentuk sumbangan tenaga kerja bisa dilihat dalam Tabel 20 di bawah ini. Tabel 20. Kemauan Membayar Masyarakat Desa Salua terhadap Bahaya Lingkungan yang Tidak diketahui dalam Bentuk Sumbangan Tenaga No 1 2 3 4 5 6
Jumlah Kemauan Membayar dengan Tenaga (HOK/bulan) 0 0,5 1 1.5 2 4 Jumlah Rata-rata
Kemauan Membayar 4 8 22 15 30 124 203
Jumlah
Persentase (%)
0 4 22 22.5 60 496 604.5 3
Keterangan : 0.5 HOK setara dengan 4 jam kerja, 1 HOK setara dengan 8 jam kerja
2 3.9 10.8 7.4 14.8 61.1
Agar potensi tenaga kerja tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal, maka perlu adanya pengorganisasian potensi tenaga kerja tersebut. Lembaga yang mengkoordinir pengorganisasian tersebut, bisa lembaga desa, lembaga adat, atau organisasi lain yang disepakati oleh semua elemen masyarakat. Bentuk pengorganisasian yang bisa dilakukan adalah dengan cara membuat jadwal kerja bakti untuk melakukan program perbaikan lingkungan. Format ideal pelaksanaan program perbaikan lingkungan di Desa salua adalah : Ada bantuan dana, bahan material, atau peralatan dari pihak luar kepada masyarakat
Desa
Salua,
dan
masyarakat
secara
bergotong
royong
menyumbangkan tenaga kerjanya. Apabila bantuan dari luar belum ada, sebenarnya masyarakat bisa memulai melakukan kerja bakti untuk memperbaiki lingkungan di Desa Salua, terutama difokuskan pada kegiatan yang bersifat padat karya dan tidak membutuhkan biaya yang besar, seperti bergotong royong untuk memperbaki tanggul, membersihkan sungai dari sisa-sisa kayu gelondongan serta bergotong royong dalam menjaga hutan yang masih utuh dari berbagai gangguan seperti penebangan liar dan perambahan hutan. Dalam penelitian ini dihitung pula kemauan membayar masyarakat Desa Salua dalam bentuk sumbangan tenaga kerja terhadap program pencegahan bahaya lingkungan yang sudah diketahui yaitu banjir dan erosi. Data kemauan membayar masyarakat bisa dilihat pada Tabel 21 di bawah ini Tabel 21. Kemauan Membayar Masyarakat untuk Pencegahan Bahaya Banjir dan Erosi dalam Bentuk Sumbangan Tenaga No. 1 2 3 4 5 6
Kemauan Membayar (HOK/bulan) 0 0.5 1 1.5 2 4 Total Rata-rata
Frekwensi 4 6 21 13 36 123 203
Jumlah persentase Responden 0 3 21 19.5 72 492 607.5 3
2 3 10.3 6.4 17.7 60.6 100
Keterangan 0,5 hari setara dengan 4 jam kerja, 1 hari setara dengan 8 jam kerja
Berdasarkan data pada Tabel 21 diketahui bahwa 98% masyarakat bersedia menyumbangkan tenaganya dan hanya 2% tidak bersedia. Mayoritas masyarakat
bersedia menyumbangkan tenaga untuk program pencegahan banjir dan erosi sebanyak 4 HOK per bulan yaitu sebanyak 60,6%, sedangkan jumlah kemauan membayar yang paling sedikit adalah 0.5 HOK, yaitu sebanyak 3%. Total sumbangan hari kerja yang bersedia disumbangkan adalah 607.5 HOK, dengan demikian rata-rata sumbangan tenaga kerja yang disumbangkan adalah 3 HOK per bulan (dengan pembulatan). Jika jumlah sumbangan tenaga kerja tersebut ditransfer ke dalam bentuk uang, dengan asumsi nilai satu HOK di Desa Salua adalah Rp. 25.000, maka ratarata kemauan membayar masyarakat Desa Salua adalah Rp. 75.000 per bulan. Untuk mengetahui nilai ekonomi jasa lingkungan TNLL terhadap pencegahan banjir dan erosi, maka nilai rata-rata kemauan membayar masyarakat Desa Salua dikalikan dengan jumlah seluruh rumah tangga di Desa Salua yang berjumlah 287 rumah tangga. Dengan demikian nilai ekonomi jasa lingkungan TNLL dalam mencegah bahaya banjir dan erosi adalah Rp. 20.850.000 per bulan atau Rp. 250.200.000 per tahun. Berdasarkan perhitungan-perhitungan di atas, dapat disimpulkan bahwa kemauan membayar masyarakat dalam bentuk sumbangan tenaga kerja lebih besar jika dibandingkan dengan sumbangan dalam bentuk uang. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh mayoritas masyarakat di Desa Salua adalah petani, sehingga mempunyai waktu luang relatif banyak, terutama pada saat musim tanam selesai atau ketika menunggu waktu panen. Dengan demikian, jika perintah atau pihak lain akan melakukan perbaikan lingkungan di Desa Salua, yang melibatkan peran serta masyarakat, akan lebih efektif jika sumbangan masyarakat diberikan dalam bentuk tenaga kerja, sedangkan pemerintah atau pihak lain bisa berkontribusi dalam bentuk dana, peralatan atau bahan bangunan. Selain itu, kegiatan juga dilaksanakan pada saat musim tanam sudah selesai atau sebelum waktu panen. Meskipun hasil perhitungan melalui modifikasi metode CVM telah meminimalisir kemungkinan bias dalam hasil perhitungan, dalam konteks pelaksanaan metode CVM di Indonesia, masih terdapat beberapa kendala, diantaranya adalah : 1. Adanya ketimpangan pengetahuan yang cukup jauh antara peneliti dengan responden. Oleh karena itu, nilai ekonomi jasa lingkungan yang
bisa dihitung dengan metode CVM sebaiknya nilai ekonomi jasa lingkungan yang sederhana atau berhubungan erat dengan kehidupan responden. Untuk topik-topik yang tidak familiar dengan kehidupan masyarakat relatif sulit untuk dilakukan, karena membutuhkan energi yang cukup besar untuk memberikan pemahaman terhadap topik yang akan ditanyakan. 2. Untuk aplikasi di beberapa daerah atau responden yang berasal dari daerah tertentu, fenomena warm glow (menyenangkan pewawancara) dan catering bias (menyetujui apa yang disetujui oleh pewawancara) masih sangat mungkin terjadi. Faktor-faktor yang Mempengaruhi WTP Masyarakat Desa Salua Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempunyai pengaruh nyata terhadap kemauan membayar masyarakat terhadap program pencegahan bahaya lingkungan di Desa Salua akan digunakan korelasi sederhana. Menurut Santosa dan Ashari (2005) analisis korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan suatu kejadian atau variabel dengan kejadian atau variabel lain. Analisis korelasi akan menghasilkan ukuran yang disebut dengan koefisien korelasi, sedangkan analisis regresi digunakan untuk mengetahui pengaruh suatu variabel terhadap variabel yang lain. Hasil analisis regresi berupa persamaan regresi yang merupakan fungsi prediksi suatu variabel dengan menggunakan variabel yang lain. Variabel tidak bebas (dependent variable) yang digunakan adalah WTP masyarakat terhadap bahaya lingkungan yang tidak diketahui, sedangkan variabel bebas yang digunakan adalah pendapatan, tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat terhadap ajaran “Katuwua”, serta informasi tentang bencana banjir di daerah Dongi-dongi. Korelasi antara WTP masyarakat Desa Salua dengan Pendapatan Masyarakat Berdasarkan uji korelasi sederhana dengan mengunakan program SPSS, diketahui bahwa pendapatan masyarakat Desa Salua berpengaruh nyata (pada level 0.01) terhadap besarnya kemauan membayar masyarakat Desa Salua. Berdasarkan uji korelasi tersebut diketahui bahwa semakin besar pendapatan
masyarakat, maka semakin besar pula kemauan membayar masyarakat terhadap bahaya lingkungan yang tidak diketahui. Berdasarkan analisis regresi sederhana diperoleh persamaan: Y= 2.6 + 0.51X dimana Y adalah Kemauan membayar masyarakat (WTP) untuk program pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui, sedangkan X adalah pendapatan rata-rata masyarakat. Dengan demikian, perubahan pendapatan ratarata masyarakat sebesar 1 (satu) satuan (rupiah) akan mengubah nilai WTP sebesar 0.51 satuan (rupiah), dengan kemauan membayar minimal ketika pendapatan Rp. 0 sebesar Rp. 2.6. Koefisien korelasi antara WTP dengan pendapatan rata-rata masyarakat sebesar 0.68 dengan sig sebesar 0,00 lebih kecil dari α (0.05). Dengan demikian regresi tersebut signifikan secara statistik. Hasil perhitungan regresi bisa dilihat pada Lampiran 20. Besarnya pendapatan akan berdampak terhadap alokasi penggunaan dana setiap bulan. Semakin tinggi pendapatan, maka semakin besar pula kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan primer seperti pangan, sandang dan pendidikan, sehingga masih mempunyai dana untuk membayar program pencegahan lingkungan. Hasil perhitungan korelasi antara WTP masyarakat Desa Salua terhadap program bahaya lingkungan yang tidak diketahui dengan pendapatan rata-rata masyarakat bisa dilihat pada Lampiran 21. Pada penelitian ini diukur pula besarnya pembagian uang yang akan dilakukan oleh masyarakat jika memperoleh tambahan pendapatan sebesar Rp. 25.000. Penggunaan tambahan pendapatan tersebut telah ditentukan, yaitu untuk membeli kebutuhan pokok, investasi dan membayar program pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui. Berdasarkan data pada Tabel 22 terlihat bahwa dari total pendapatan tambahan, 57% digunakan untuk membeli kebutuhan primer, 33% untuk investasi dan 9% untuk membayar program perbaikan lingkungan. Dengan demikian mayoritas masyarakat cenderung menggunakan tambahan pendapatannya untuk membeli/memenuhi kebutuhan primer.
Tabel 22. Penggunaan Pendapatan Tambahan oleh Masyarakat Desa Salua Penggunaan Pendapatan Tambahan Makanan Tambahan JU 0 1.000 2.000 5.000 10.000 11.000 12.500 15.000 20.000 22.000 23.500 25.000 Total Persentase Keterangan :
F 63 1 1 11 45 1 1 23 8 2 1 46 203
Investasi
J
JU
1.000 2.000 55.000 450.000 11.000 12.500 345.000 160.000 44.000 23.500 1.150.000 2.254.000
0 1.000 2.000 5.000 10.000 11.000 12.500 15.000 20.000 22.000 23.500 25.000
- JU -F -J
58 = Jumlah Uang = Frekwensi = Jumlah
F 113 3 20 1 15 2 1 11 1 6 1 29 203
Perbaikan lingkungan J
JU
3.000 40.000 5.000 150.000 22.000 12.500 165.000 20.000 132.000 23.500 725.000 1.298.000
0 1.000 2.000 5.000 10.000 11.000 12.500 15.000 20.000 22.000 23.500 25.000
F 170 3 1 6 5 3 7 4 1 1 1 1 203
33
J
Jumlah
3.000 2.000 30.000 50.000 33.000 87.500 60.000 20.000 22.000 23.500 25.000 356.000
3.908.000
9
Berdasarkan uji korelasi, diketahui bahwa pendapatan masyarakat berpengaruh nyata (pada level 0.01) terhadap besarnya tambahan pendapatan yang digunakan untuk program perbaikan lingkungan untuk mencegah bahaya lingkungan yang tidak diketahui. Dengan demikian, uji korelasi tersebut semakin memperlihatkan bahwa masyarakat akan lebih memperhatikan pengeluaran untuk perbaikan lingkungan, jika kebutuhan pokoknya telah terpenuhi. Perhitungan korelasi antara pendapatan masyarakat dengan penggunaan pendapatan tambahan untuk program perbaikan lingkungan bisa dilihat pada Lampiran 22. Korelasi antara WTP Masyarakat Desa Salua dengan Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan masyarakat Desa Salua berpengaruh nyata (pada level 0.01) dengan kemauan membayar masyarakat terhadap program pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui. Pendidikan yang tinggi pada umumnya berpengaruh pada pengetahuan dan pola pikir. Oleh karena itu, semakin tinggi pendidikan seseorang, maka pandangannya terhadap kelestarian lingkungan hidup cenderung lebih bijaksana. Dengan demikian, semakin tinggi pendidikan seseorang, maka kemauan membayar terhadap program pencegahan bahaya
lingkungan cenderung lebih tinggi. Oleh karena itu, salah satu cara untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup adalah dengan cara meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat. Hasil perhitungan korelasi antara WTP masyarakat Desa Salua terhadap Program bahaya lingkungan yang tidak diketahui dengan tingkat pendidikan bisa dilihat pada Lampiran 23. Korelasi antara WTP Masyarakat Salua dengan Pengetahuan “Katuwua” “Katuwua” adalah suatu keyakinan akan keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam. Lingkungan yang sehat adalah lingkungan yang serasi antara manusia dengan alam. Berdasarkan hasil wawancara pada Tabel 23, 78.7% masyarakat bisa dikatagorikan mengerti tentang “Katuwua” dan sekitar 7.4 % tidak mengerti. Meskipun demikian pengetahuan tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap kemauan membayar masyarakat Desa Salua. Dengan demikian ajaran “Katuwua” belum berpengaruh terhadap perilaku masyarakat Desa Salua dalam mengelola lingkungannya. Hasil perhitungan korelasi antara kemauan membayar masyarakat dengan pengetahuan tentang Katuwua bisa dilihat pada Lampiran 24. Tabel 23. Pengetahuan Masyarakat Desa Salua tentang Ajaran Katuwua No. 1. 2. 3. 4. 5.
Parameter Sama sekali tidak mengerti Hampir tidak mengerti Sedikit mengerti Mengerti Sangat Mengerti Total
Jumlah 15 1 7 154 26 203
Persentase (%) 7,4 0,5 3,4 75,9 12,8 100,0
Kemauan membayar masyarakat Desa Salua lebih dipengaruhi oleh informasi atau pengetahuan tentang bencana lingkungan yang telah terjadi, dalam hal ini banjir besar yang telah terjadi di daerah Dongi-dongi. Berdasarkan data pada Tabel 25, 64.5% masyarakat mengetahui tentang banjir besar yang pernah melanda Dongi-dongi. Pengetahuan tersebut berpengaruh nyata terhadap kemauan membayar masyarakat. Dengan demikian masyarakat yang mengetahui tentang bajir besar di Dongi-dongi cenderung membayar lebih besar dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mengetahuinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemauan membayar masyarakat lebih dipengaruhi oleh bencana
yang telah
terjadi dibandingkan dengan ajaran “Katuwua”. Hasil perhitungan korelasi antara kemauan membayar masyarakat dengan pengetahuan tentang banjir di Dongidongi bisa dilihat pada Lampiran 25. Tabel 24. Pengetahuan Masyarakat Desa Salua tentang Banjir Di Daerah Dongi-dongi No.
Parameter
1. Tidak tahu 2. Tahu Total
Persentase (%) 72 35.5 131 64.5 203 100,0
Jumlah
Kecenderungan bahwa kemauan membayar masyarakat dipengaruhi oleh bencana atau kejadian yang telah terjadi, diperkuat dengan uji korelasi antara kemauan membayar masyarakat dengan pengetahuan masyarakat tentang wabah penyakit yang telah melanda daerah di luar Desa Salua yang menunjukkan korelasi yang signifikan pada level (0.01). Dengan demikian semakin tinggi pengetahuan masyarakat tentang wabah penyakit yang telah terjadi di daerah lain, maka kemauan membayar untuk program pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui cenderung lebih besar. Hasil perhitungan korelasi antara kemauan membayar masyarakat dengan pengetahuan masyarakat tentang wabah penyakit yang telah melanda daerah di luar Desa Salua bisa dilihat pada Lampiran 26. Berdasarkan kondisi tersebut, maka salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan kesadaran lingkungan kepada masyarakat adalah dengan cara memberikan informasi tentang dampak buruk atau bencana lingkungan yang terjadi di daerah lain, yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan hidup.
Model Agregat WTP Masyarakat Desa Salua Data pada Tabel 25 menunjukkan hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi WTP masyarakat Desa Salua terhadap program pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai keragaman ( R2) yang diperoleh sebesar 47,8% yang berarti 47,8% keragaman WTP masyarakat Desa Salua terhadap program pencegahan banjir dan erosi dapat diterangkan oleh keragaman variabel-variabel penjelas yang terdapat di dalam model, sedangkan sisanya diterangkan oleh faktor lain yang tidak terdapat dalam model. Model yang dihasilkan dalam analisis adalah : WTP = 1.992 +0.376 X1+0.0000255 X2 + 0.376 X3 + 0.870 X4 + 0.32 X5 Tabel 25. Hasil Analisis Nilai WTP Masyarakat Desa Salua untuk Program Pencegahan Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui Ket 1 X1 X2
Variabel
Konstanta Pendapatan rata-rata per tahun Penggunaan pendapatan tambahan untuk program lingkungan X3 Pengetahuan tentang “Katuwua” X4 Tingkat Pendidikan X5 Pengetahuan tentang banjir “Dongi-dongi” S= 1.772 R-Sq = 47% Ket : * nyata pada taraf uji 95 persen
Koefisien 1.992 0.376 0.0000255 0.376 0.870 0.32
P-value 0.000 *0.000 0.569 0.374 0.479 0.276 R-Sq (adj)= 46,5%
Berdasarkan hasil analisis yang terdapat pada Tabel 25, bahwa dari lima variabel penjelas, hanya terdapat satu variabel nyata terhadap WTP pada selang kepercayaan 95%, yaitu variabel pendapatan rata-rata masyarakat, sedangkan variabel yang lain tidak berpengaruh nyata. Hasil tersebut, berbeda dengan hasil perhitungan dengan menggunakan korelasi sederhana, dimana variabel yang memberikan pengaruh nyata adalah X1, X2, X4 dan X5. Hal tersebut disebabkan karena dalam regresi berganda, koefisien regresinya merupakan pengaruh parsial, dalam arti, pengaruh suatu variabel dengan anggapan bahwa variabel tersebut konstan. Sebagai contoh, koefisien
pendidikan diperoleh dengan asumsi bahwa variabel lain dianggap tidak berubah atau memiliki level yang sama. Pendidikan pada regresi berganda menjadi tidak signifikan karena masyarakat yang mempunyai pendapatan yang sama memiliki tingkat pendidikan yang hampir sama, sehingga wajar ketika responden memiliki pendapatan yang sama, maka tingkat pendidikan tidak lagi memberikan pengaruh yang nyata. Nilai R2 yang dipakai adalah nilai R2 yang disesuaikan (R2 adj) karena model tersebut memiliki beberapa variabel. Berdasarkan data pada Tabel 25, nilai R2 adalah 46,5%, yang berarti bahwa 46,5% keragaman WTP masyarakat desa salua untuk program pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui dapat diterangkan oleh variabel-variabel penjelas yang terdapat di dalam model, sedangkan sisanya diterangkan oleh faktor lain yang tidak terdapat dalam model. Hasil uji F terhadap data menunjukkan bahwa nilai p-value kurang dari α yaitu sebesar 0.000, sehingga secara bersama-sama variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel bebasnya. Data yang digunakan juga telah di uji normalitasnya (menyebar normal) dengan uji Jarque Bera sehingga data tersebut valid untuk diolah dengan teknik regresi berganda. Model yang dihasilkan juga tidak terdapat multikolinear, karena memiliki nilai Variance Inflation Factor (VIF) kurang dari 10. Hasil analisis tersebut, bisa dilihat pada Lampiran 27. Strategi Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua Rumusan strategi pengelolaan lingkungan di Desa Salua, disusun dengan menggunakan analisis SWOT . Dalam pelaksanaannya, key person diwawancarai mengenai faktor apa saja yang menjadi kekuatan dan kelemahan utama dari masyarakat Desa Salua dalam mengelola lingkungan secara lestari, peluang yang paling mungkin dimanfaatkan dalam rangka mengelola lingkungan secara lestari, serta ancaman yang paling besar terhadap usaha pengelolaan lingkungan secara lestari di Desa Salua. Gambaran mengenai berbagai faktor internal dan eksternal dalam pengelolaan lingkungan di Desa Salua dapat dilihat pada Tabel 26 di bawah ini.
Tabel 26. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua
1. 2. 3. 4.
5. 6.
FAKTOR INTERNAL Kekuatan Kelemahan Masyarakat memiliki kesadaran 1. Masyarakat Desa Salua menebang untuk menjaga kelestarian hutan karena tuntutan ekonomi 2. Masyarakat Desa Salua merambah lingkungan Masyarakat mengetahui teknik hutan di TNLL karena lahannya dijual kepada pendatang dan teknologi untuk mencegah banjir dan erosi 3. Partisipasi masyarakat dalam program pencegahan banjir masih Teknologi atau teknik pertanian yang digunakan dapat kurang mengurangi ancaman banjir 4. Lahan pertanian memiliki kemiringan yang tinggi Teknologi atau teknik pertanian 5. Terdapat sungai besar yang sering yang digunakan dapat meluap di dekat Desa Salua mengurangi erosi Kesadaran masyarakat terhadap 6. Kelembagaan desa dalam mencegah banjir dan erosi belum berjalan bahaya banjir dan erosi tinggi 7. Belum ada koordinasi yang baik Ada tokoh lokal yang mampu dengan desa tetangga dan aparatnya menjadi pelopor dalam kegiatan dalam usaha pencegahan banjir dan pencegahan banjir dan erosi erosi 8. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap banjir dan erosi belum merata 9. Sarana dan fasilitas untuk mencegah dan menanggulangi banjir belum memadai 10. Belum ada program yang sistematis untuk mencegah banjir dan erosi FAKTOR EKSTERNAL
Peluang 1. Pemerintah, ornop dan lembaga penelitian memberikan perhatian terhadap masalah banjir dan erosi di desa
Ancaman 1. Maraknya penebangan kayu dan pengrusakan hutan di desa tetangga 2. Kondisi hutan di hulu sungai mulai rusak
Tabel 26. (Lanjutan) Peluang 2. Terdapat program pembangunan fisik dari pemerintah, ornop dan lembaga penelitian untuk mencegah banjir dan erosi 3. Terdapat program pelatihan dari pemerintah, ornop dan lembaga penelitian untuk mencegah banjir dan erosi di desa 4. Adanya transfer informasi dan teknologi dari luar desa dalam rangka pencegahan banjir dan erosi 5. Terdapat peneliti yang mengkaji dan mencari solusi masalah banjir dan erosi di desa 6. Pemerintah memberikan bantuan bibit pohon untuk menanami hutan yang rusak 7. Adanya penegakan hukum terhadap perusak hutan 8. Ada undang - undang yang melarang penebangan dan perusakan hutan 9. Ada bantuan dari luar desa untuk menjaga keamanan dan kelestarian hutan
Ancaman 3. Adanya provokasi dari orang luar desa untuk merusak hutan 4. Banyak pendatang dari luar desa yang membeli lahan petani lokal, sehingga penduduk lokal mencari pengganti lahan dengan cara merambah hutan 5. Banyak penduduk dari luar desa yang merambah hutan, sehingga warga desa ikut merambah hutan 6. Program pencegahan banjir dan erosi dari pemerintah/lembaga lain kurang tepat sasaran 7. Adanya oknum - oknum dari luar desa yang memotong dana untuk program pencegahan banjir dan erosi di desa 8. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat di desa tetangga terhadap bahaya erosi dan banjir masih kurang 9. Partisipasi masyarakat desa tetangga dalam mencegah terjadinya banjir dan erosi masih rendah 10. Semakin bertambahnya cukong cukong kayu dari luar desa
Matrik IFE (Internal Factor Evaluation) Berdasarkan identifikasi faktor-faktor strategis internal pengelolaan lingkungan di Desa Salua, maka diperoleh kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesess) yang berpengaruh terhadap pengelolaan lingkungan di Desa Salua. Faktor internal berupa kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat dalam pengelolaan lingkungan di Desa Salua berdasarkan hasil wawancara dengan key person bisa dilihat pada Tabel 27 di bawah ini.
Tabel 27. Faktor Strategis Internal Kekuatan dalam Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua Faktor Internal
Bobot
Rating
Score
Rangking
0.09
4.00
0.37
6
0.13
2.00
0.25
5
0.21
3.00
0.62
3
0.20
3.00
0.61
4
0.18
4.00
0.72
2
0.19
4.00
0.76 3.34
1
Kekuatan 1. Masyarakat Memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan 2. Masyarakat mengetahui tehnik teknologi untuk mencegah banjir dan erosi 3. Teknologi atau tehnik pertanian yang digunakan dapat mengurangi ancaman banjir 4. Teknologi atau teknik pertanian yang digunakan dapat mengurangi ancaman erosi 5. Kesadaran masyarakat terhadap bahaya banjir dan erosi tinggi 6. Ada tokoh lokal yang mampu menjadi pelopor dalam kegiatan pencegahan banjir dan erosi Jumlah
Berdasarkan hasil perhitungan matriks IFE diketahui bahwa kekuatan yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap masyarakat Desa Salua dalam hal pengelolaan lingkungan adalah adanya tokoh lokal yang mampu menjadi pelopor dalam kegiatan pencegahan banjir dan erosi skor (0,76) serta kesadaran masyarakat terhadap bahaya banjir dan erosi tinggi (skor 0,72). Sedangkan kekuatan yang mempunyai pengaruh paling kecil adalah masyarakat mengetahui teknik dan teknologi untuk mencegah banjir dan erosi skor (0.25) dan masyarakat memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian hutan (0.37). 1. Masyarakat Memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian hutan Peubah ini memiliki pengaruh relatif kecil yaitu 0.37, dikarenakan kesadaran yang dimiliki oleh masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan belum merata dan belum terimplementasi dalam bentuk perilaku positif dalam menjaga kelestarian lingkungan. Kesadaran yang dimiliki oleh masyarakat, masih kalah oleh tuntutan ekonomi, sehingga banyak masyarakat yang sadar tentang
pentingnya menjaga lingkungan, akan tetapi tetap merambah TNLL karena tuntutan ekonomi dan kebutuhan lahan. 2. Masyarakat mengetahui teknik dan teknologi untuk mencegah banjir dan erosi Peubah ini memiliki pengaruh 0.25. Pengetahuan tentang teknik dan teknologi untuk mencegah banjir dan erosi yang dimiliki oleh masyarakat Desa Salua belum merata dan berasal dari teknologi yang sederhana. Sebagai contoh, untuk mencegah banjir digunakan tanggul dari pasir yang dimasukkan ke dalam karung, dan untuk mencegah erosi digunakan sistem terasering. Meskipun demikian, teknologi sederhana tersebut belum banyak digunakan, karena keterbatasan sumberdaya, terutama dana. Oleh karena itu, peubah ini mempunyai pengaruh yang kecil (rangking 5) terhadap kekuatan Desa Salua dalam rangka pengelolaan lingkungan yang lestari. 3. Teknologi dan teknik pertanian yang digunakan dapat mengurangi ancaman banjir Untuk mengurangi ancaman banjir, sebagian kecil masyarakat Desa Salua mencampur kebun coklat yang mereka miliki dengan pohon kehutanan, terutama pada lokasi yang dekat dengan sungai. Selain itu, masyarakat juga membuat tanggul yang relatif tinggi pada ladang yang berada di pinggir sungai. Meskipun demikian, teknologi tersebut hanya efektif untuk menahan banjir dalam skala kecil dan hal tersebut hanya dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat. Oleh karena itu, peubah ini juga mempunyai pengaruh yang sedang (rangking 3), dengan pengaruh sebesar 0.62. 4. Teknologi atau teknik pertanian yang digunakan dapat mengurangi erosi Untuk mengurangi erosi, sebagian kecil masyarakat salua menanam tanaman penutup tanah berupa tanaman obat dan rempah di bawah tanaman coklat. Selain itu, ada juga masyarakat yang menggunakan sistem terasering dalam menanam coklat atau tanaman pertanian. Hal ini pun hanya dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat karena keterbatasan bibit dan pengetahuan masyarakat, sehingga hanya memiliki pengaruh yang sedang, yaitu 0.61
5. Kesadaran masyarakat terhadap bahaya banjir dan erosi Tingginya kesadaran masyarakat Desa Salua terhadap bahaya banjir dan erosi dilatarbelakangi oleh posisi Desa Salua yang berada di Lembah Kulawi yang dilalui oleh 3 sungai besar serta banjir besar yang pernah terjadi di Desa Salua sekitar tahun 2002. Dengan demikian secara alami masyarakat menyadari bahwa ancaman banjir dan erosi senantiasa mengancam desa mereka, terlebih lagi dengan kerusakan lingkungan yang terus meningkat. Dengan demikian kesadaran tersebut merupakan modal besar, bagi program pengelolaan lingkungan yang lestari di Desa Salua. Oleh karena itu, peubah ini mempunyai pengaruh yang besar yaitu 0.72. 6. Ada tokoh lokal yang mampu menjadi pelopor dalam kegiatan pencegahan banjir dan erosi Peubah ini memiliki pengaruh yang paling besar (0.76) dalam pengelolaan lingkungan di Desa Salua. Di Desa Salua terdapat tokoh lokal yang dapat menjadi pelopor dalam program pengelolaan lingkungan di Desa Salua. Tokoh lokal tersebut diharapkan bisa menjadi motivator lokal yang dapat dipercaya dan mampu menjembatani kepentingan masyarakat Desa Salua dan pihak lain diluar desa seperti pemerintah, ornop dan stakeholders lain yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan di Desa Salua. Menurut Nurrochmat (2000), motivator lokal bisa berasal dari berbagai latar belakang, yang penting bisa dipercaya dan berdiri di atas semua golongan. Pelajaran yang dapat ditarik dari program Perhutanan Sosial di Jawa Tengah, misalnya, menunjukkan bahwa sosok guru desa dapat menjadi motivator lokal yang baik dalam pengelolaan sumberdaya alam partisipatif. Dalam kasus masyarakat petani, guru desa (yang umumnya
juga bertani) acap dijadikan
panutan oleh petani lain karena kreativitas dan inovasinya dalam bertani langsung dapat dilihat dan ditiru masyarakat di sekitarnya. Di Desa Salua sendiri yang dapat menjadi motivator lokal adalah tokoh adat dan tokoh pemuda. Selain adanya motivator lokal, dalam melaksanakan program partisipasi pengelolaan lingkungan di Desa Salua diperlukan penguatan modal sosial dalam masyarakat. Menurut Putnam (1993) yang diacu dalam Nurrochmat (2005) kekuatan modal sosial berkaitan dengan kepercayaan (trust), norma, dan jaringan
sosial yang ada di masyarakat. Oleh karenanya, diperlukan upaya merevitalisasi institusi-institusi lokal untuk menjamin terlaksananya pengelolaan sumberdaya alam yang partisipatif (Satria, 2003 yang diacu dalam Nurrochmat 2005). Dalam hal ini, revitalisasi institusi lokal tidak (selalu) berarti menghidupkan kembali masyarakat hukum adat atau menghadirkan kembali nilai-nilai “kearifan” lama. Penguatan institusi lokal dapat (juga) dimulai dengan merevitalisasi berbagai kelompok sosial di masyarakat yang hadir kemudian, misalnya kelompok tani, karang taruna, kelompok pengajian atau kumpulan arisan. Dengan demikian, institusi yang bisa dijadikan ujung tombak di Desa Salua, tidak harus lembaga adat, tetapi bisa melalui kelompok-kelompok sosial yang berkembang saat ini. Faktor-faktor internal berupa kelemahan yang dimiliki oleh Desa Salua dalam pengelolaan lingkungan secara lestari bisa dilihat pada Tabel 28. Berdasarkan data pada Tabel 28, kelemahan yang memberikan pengaruh paling besar (0.46) dalam pengelolaan lingkungan di Desa Salua adalah belum adanya koordinasi yang baik dengan desa tetangga dan aparat desa dalam usaha pencegahan banjir dan erosi. Sedangkan peubah kelemahan yang memberikan pengaruh paling kecil adalah masyarakat menebang hutan karena tuntutan ekonomi dan masyarakat lokal merambah hutan di TNLL karena lahannya dijual kepada pendatang. Tabel 28. Faktor Strategis Internal Kelemahan dalam Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua Faktor Internal Bobot Rating Score Rangking Kelemahan 1. Masyarakat menebang hutan karena tuntutan ekonomi 2. Masyarakat lokal merambah hutan di taman nasional, karena lahannya dijual kepada orang di luar desa 3. Partisipasi masyarakat dalam program pencegahan banjir masih kurang 4. Lahan pertanian memiliki kemiringan lahan yang tinggi 5. Terdapat sungai besar yang sering meluap di dekat desa
0.09
4.00
0.34
8
0.11
3.00
0.34
8
0.10
4.00
0.41
3
0.11
4.00
0.42
2
0.09
4.00
0.38
5
Tabel 28. (Lanjutan) Faktor Internal 6. Kelembagaan desa dalam mencegah banjir dan erosi belum berjalan 7. Belum ada koordinasi yang baik dengan desa tetangga dan aparat desa dalam usaha pencegahan banjir dan erosi 8. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan banjir dan erosi belum merata 9. Sarana dan fasilitas untuk mencegah dan menanggulangi banjir belum memadai 10. Belum ada program yang sistematis untuk mencegah banjir dan erosi Jumlah
Bobot
Rating
Score
Rangking
0.10
4.00
0.42
2
0.11
4.00
0.46
1
0.09
4.00
0.36
7
0.10
4.00
0.39
4
0.1 1,00
4.0
0.37 3,89
6
Keterangan : Nilai rating 4 = sangat penting, 3 cukup penting, 2 penting, 1 tidak penting
1. Masyarakat menebang hutan karena tuntutan ekonomi Peubah ini memberrikan pengaruh yang relatif kecil kecil yaitu 0.34. Seiring dengan kemajuan teknologi dan derasnya pengaruh ekonomi, sosial dan budaya dari luar desa, terdapat perubahan perilaku konsumsi dari masyarakat Desa Salua menjadi lebih bersifat konsumtif. Selain itu, keperluan masyarakat desa juga berubah, jika sebelumnya masyarakat tidak merasa perlu untuk membeli barang-barang elektronik atau kendaraan bermotor, setelah adanya pengaruh dari luar, maka masyarakat merasa perlu. Dengan demikian, pendapatan yang diperoleh dari kebun atau ladang dipandang tidak lagi mencukupi. Oleh karena itu, masyarakat terdorong untuk mencari pendapatan tambahan. Pendapatan tambahan yang paling mudah diperoleh adalah menebang hutan, karena cukup mudah dilakukan dan ada penadah yang siap menampung kayu yang telah ditebang. Peubah ini memberikan pengaruh kecil, karena penebangan liar mulai berkurang, tidak sebanyak ketika awal masa reformasi pada tahun 1997-1998. 2. Masyarakat lokal merambah hutan di TNLL, karena lahannya dijual kepada orang luar desa Seperti yang telah disampaikan oleh Sitorus (2002) Di Desa Salua telah terjadi perubahan mendasar pada struktur agraria lokal, dimana penduduk asli
telah diturunkan tingkatannya dari “bertanah” menjadi “tidak bertanah” dan pendatang menjadi sebaliknya. Hal tersebut dipengaruhi oleh perilaku konsumtif yang telah dijelaskan sebelumnya, serta sebagai indikasi kekalahan penduduk asli dalam persaingan usaha dengan pendatang. Para pendatang yang didominasi oleh suku Bugis, relatif lebih ulet dan rajin dalam berusaha, termasuk bertani dan berkebun coklat, sehingga hasil panen yang diperoleh relatif lebih baik. Sementara itu, penduduk asli cenderung kurang ulet dan rajin dalam mengelola kebun atau ladang yang dimikinya, sehingga hasil yang diperoleh relatif lebih sedikit. Di sisi lain , masyarakat asli terdorong untuk memenuhi kebutuhan konsumtifnya. Hal tersebut menyebabkan banyak masyarakat asli yang menjual lahannya kepada pendatang. Peubah ini memberikan pengaruh yang relatif kecil yaitu 0,34. 3. Partisipasi masyarakat dalam program pencegahan bajir masih kurang Partisipasi masyarakat dalam program pencegahan banjir dan erosi disebabkan oleh tidak adanya program yang memungkinkan masyarakat bisa berpartisipasi dalam kegiatan pencegahan banjir. Oleh karena itu, kesadaran masyarakat terhadap bahaya banjir dan erosi, belum bisa diaplikasikan dalam bentuk partisipasi nyata. Dengan demikian peubah ini hanya memberikan pengaruh sebesar 0.41 4. Lahan pertanian masyarakat memiliki kemiringan yang tinggi Sebagian besar lahan di Desa Salua terdapat di lereng perbukitan, sehingga memiliki kelerengan yang tinggi. Dengan demikian, secara alamiah, lahan pertanian di Desa Salua memiliki ancaman yang besar dari bahaya erosi. Oleh karena itu, peubah ini memiliki pengaruh yang relatif besar yaitu 0.42 5. Terdapat sungai besar yang sering meluap Desa Salua dilintasi oleh banyak anak sungai yang bermuara di DAS Palu. Seiring dengan semakin parahnya kerusakan hutan di hulu sungai, maka ketika hujan, sungai-sungai yang melintasi Desa Salua sering meluap, sehingga secara alamiah resiko banjir di Desa Salua cukup besar. Peubah tersebut memberikan pengaruh sebesar 0.38.
6. Kelembagaan desa dalam mencegah banjir dan erosi belum berjalan Di Salua telah ada kelembagaan desa yang terdiri dari organisasi pemerintahan desa dan organisasi adat beserta perangkat peraturannya. Meskipun organisasi dan peraturan tentang pengelolaan lingkungan di Desa Salua sudah relatif lengkap, koordinasi antara pemerintah desa dan lembaga adat belum terjalin dengan baik, sehingga kelembagaan yang sudah ada belum berjalan. Dalam beberapa kasus, masing-masing organisasi berjalan sendiri dan jika terjadi masalah pengelolaan lingkungan seperti perambahan hutan, ada kecenderungan untuk saling menyalahkan. Peubah ini memberikan pengaruh yang cukup besar yaitu sebesar 0.42. 7. Belum ada koordinasi yang baik dengan desa tetangga dan aparat desa dalam usaha pencegahan banjir dan erosi. Pengelolaan lingkungan merupakan satu kesatuan ekosistem yang utuh, sehingga tidak bisa dipisah-pisahkan dalam bentuk daerah administratif. Dengan demikian, pengelolaan lingkungan di Desa Salua tidak bisa dipisahkan dengan pengelolaan lingkungan di desa sekitarnya. Saat ini masing-masing desa belum berkoordinasi dalam hal pengelolaan lingkungan. Masing-masing desa berjalan sendiri-sendiri, baik dalam membuat peraturan maupun dalam hal menindak pelaku pelangaran. Hal tersebut menyebabkan pengelolaan lingkungan yang lestari sulit dilakukan. Sebagai contoh, meskipun lingkungan di Desa Salua dikelola dengan baik, apabila penebangan di desa bagian hulu tetap marak, maka Desa Salua tetap saja akan mendapatkan ancaman bahaya lingkungan yang besar. Dengan demikian, peubah ini memberikan pengaruh yang paling besar, yaitu sebesar 0.46 8. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan bahaya banjir dan erosi belum merata Peubah ini memberikan pengaruh yang relatif kecil yaitu 0.36. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan bahaya banjir dan erosi dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang lingkungan hidup. Di Desa Salua tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat belum merata, sehingga masih ada sebagian masyarakat yang melakukan tindakan-tindakan yang merusak lingkungan seperti merambah TNLL dan melakukan penebangan liar.
9. Sarana dan fasilitas untuk mencegah dan menanggulangi banjir belum merata. Sebagai desa yang mempunyai ancaman yang tinggi terhadap bahaya banjir dan erosi, bahkan pernah dilanda banjir besar pada tahun 2002, Desa Salua belum memiliki sarana dan fasilitas untuk mencegah bahaya banjir dan erosi, seperti perangkat peringatan dini banjir ataupun tanggul yang kokoh disekitar desa. Peubah ini memberikan pengaruh yang cukup besar yaitu 0.39 10. Belum ada program yang sistematis untuk mencegah banjir dan erosi Peubah ini memberikan pengaruh sebesar 0.37. Di Desa Salua belum ada program pembangunan yang khusus di arahkan untuk penanggulangan bahaya banjir dan erosi. Meskipun ada masih bersifat parsial, seperti penanaman pohon yang bersifat sporadis. Faktor-faktor eksternal yang merupakan ancaman bagi pengelolaan lingkungan di Desa Salua bisa dilihat pada Tabel 29. Berdasarkan Tabel tersebut diketahui bahwa peubah yang memiliki pengaruh paling besar adalah semakin bertambahnya cukong kayu dari luar desa dan pertisipasi masyarakat desa tetanga dalam mencegah banjir dan erosi masih rendah, dengan pengaruh sebesar 0.42. Sedangkan peubah yang memiliki pengaruh paling kecil adalah adanya provokasi dari luar desa untuk merusak hutan dengan pengaruh sebesar 0.31. Tabel 29. Faktor-Faktor Strategis Eksternal Ancaman dalam Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua Faktor Ekstenal Ancaman 1. Maraknya penebangan kayu dan pengrusakan hutan di desa tetangga 2. Kondisi hutan di hulu sungai mulai rusak 3. Adanya provokasi dari orang luar desa untuk merusak hutan 4. Banyak pendatang dari luar desa yang membeli lahan petani lokal, sehingga penduduk lokal mencari pengganti lahan dengan cara merambah hutan Tabel 29. (Lanjutan)
Bobot
Rating
Score
Rangking
0.09
4
0.36
3
0.09
4
0.36
3
0.10
3
0.31
5
0.10
4
0.41
2
Faktor Ekstenal 5. Banyak penduduk dari luar desa yang merambah hutan, sehingga warga desa ikut merambah hutan 6. Program pencegahan banjir dan erosi dari pemerintah/lembaga lain kurang tepat sasaran 7. Adanya oknum - oknum dari luar desa yang memotong dana untuk program pencegahan banjir dan erosi di desa 8. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat di desa tetangga terhadap bahaya erosi dan banjir masih kurang 9. Partisipasi masyarakat desa tetangga dalam mencegah terjadinya banjir dan erosi masih rendah 10. Semakin bertambahnya cukong cukong kayu dari luar desa Jumlah
Bobot
Rating
Score
Rangking
0.11
3
0.32
4
0.10
4
0.41
2
0.12
3
0.36
3
0.09
4
0.36
3
0.09
4
0.42
1
0.10
4
0.42 3.67
1
1. Maraknya penebangan kayu dan pengrusakan hutan di desa tetangga Peubah ini memberikan pengaruh yang cukup besar, yaitu 0.36. Maraknya penebangan kayu dan pengrusakan hutan di desa sekitar Desa Salua terutama desa-desa yang terletak dihulu merupakan ancaman yang serius bagi Desa Salua yang lokasinya berada di lembah. Jika turun hujan deras, yang akan terkena bahaya banjir bukan desa yang berada di hulu, akan tetapi desa-desa yang berada dihilir termasuk Desa Salua. 2. Kondisi hutan di hulu sungai mulai rusak Berdasarkan pengamatan langsung melalui penyusuran sungai sampai ke hulu, kondisi hutan di hulu sungai cukup memprihatinkan, dimana banyak sisa-sisa penebangan hutan berupa kayu gelondongan yang terdapat di pinggir dan di dalam sungai. Jika terjadi banjir, maka sisa kayu gelondongan tersebut akan terbawa oleh arus sungai dan akan membahayakan Desa Salua dan desa-desa lain disekitarnya. Dengan demikian peubah ini juga memberikan pengaruh yang relatif besar yaitu 0.36 3. Ada provokasi dari orang luar desa untuk merusak hutan
Provokasi dari orang luar banyak untuk merusak hutan banyak terjadi terutama pada awal masa reformasi. Untuk saat ini masih ada, namun tidak terlalu banyak. Orang luar memprovokasi masyarakat Salua agar dapat bekerjasama dalam bisnis kayu curian. Orang luar tidak dapat menebang secara langsung kayu dari TNLL yang berbatasan dengan Desa Salua tanpa melibatkan penduduk asli, karena akan mendapatkan masalah, baik ketika menebang maupun ketika mengangkut kayu curian tersebut. Karena provokasi sudah berkurang, maka pengaruh peubah ini paling kecil yaitu 0,31. 4. Banyak pendatang dari luar desa yang membeli lahan petani lokal, sehingga petani lokal mencari pengganti lahan dengan cara merambah hutan Peubah ini memberikan pengaruh yang cukup besar, yaitu 0.41. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, karena pengaruh sosial dan ekonomi dari luar, masyarakat asli cenderung berprilaku konsumtif, disisi lain produktifitas lahan mereka rendah. Untuk memuaskan kebutuhan konsumtif tersebut banyak petani lokal yang menjual lahannya kepada pendatang. Untuk memenuhi kebutuhan lahannya, pada umumnya petani lokal mencari lahan pengganti dengan cara membuka lahan di kawasan TNLL. 5. Banyak penduduk dari luar Desa Salua yang merambah hutan, sehinga warga desa ikut merambah hutan Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat, yang pertama kali merambah hutan adalah orang luar Desa Salua, karena pada mulanya hampir semua masyarakat Salua telah memiliki lahan sendiri. Ketika lahan milik masyarakat Salua banyak yang telah terjual, maka warga Salua banyak meniru prilaku warga pendatang tersebut. Peubah ini memberikan pengaruh sebesar 0.32 6. Program pencegahan banjir dan erosi dari pemerintah/lembaga lain kurang terarah Program perbaikan lingkungan yang dilaksanakan di Desa Salua oleh pemerintah dan lembaga non pemerintah selain jarang dilakukan, jika pun ada kurang melibatkan secara aktif masyarakat, sehingga antara program yang dilaksanakan dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat kurang singkron. Sebagai contoh, ketika masyarakat membutuhkan perbaikan tanggul sungai
yang jebol, program yang datang adalah penanaman pohon. Peubah ini memberikan pengaruh yang cukup besar yaitu 0.41. 7. Ada oknum-oknum dari luar Desa Salua yang memotong dana untuk perbaikan lingkungan Berdasarkan hasil wawancara dengan aparat desa dan tokoh masyarakat, disinyalir ada pihak-pihak dari luar desa yang memotong dana yang seharusnya diperuntukan untuk perbaikan lingkungan. Pemotongan tersebut dilakukan dengan berbagai alasan, misalnya dengan alasan administrasi. Hal tersebut menyebabkan program perbaikan lingkungan di Desa Salua tidak bisa berjalan sebagaimanamestinya. Peubah ini memberikan pengaruh sebesar 0.36. 8. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat di desa tetangga terhadap pengelolaan lingkungan masih kurang. Kondisi lingkungan di desa yang berbatasan dengan Desa Salua erat hubungannya dengan kondisi lingkungan di Desa Salua. Dengan demikian, kurangnya kesadaran dan pengatahuan di desa tetangga, merupakan ancaman bagi pengelolaan lingkungan lestari di Desa Salua. Peubah ini memberikan pengaruh sebesar 0.36. 9. Partisipasi masyarakat desa tetangga dalam pengelolaan lingkungan lestari (khususnya pencegahan banjir dan erosi) masih rendah Partisipasi masyarakat desa di sekitar Desa Salua dalam pengelolaan lingkungan (khususnya usaha pencegahan banjir dan erosi)
menentukan
kondisi lingkungan di desa tersebut. Dengan demikian, jika partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan di desa tetangga kurang, merupakan ancaman bagi lingkungan di Desa Salua, karena pengelolaan lingkungan tidak bisa dipisahkan oleh batas administratif. Peubah ini memberikan pengaruh paling besar, yaitu 0.42. 10. Semakin bertambahnya cukong kayu dari luar desa Masyarakat tidak akan menebang liar di kawasan TNLL jika tidak ada oknum yang menampung kayu yang ditebang. Dengan demikian dengan semakin banyaknya cukong, maka dorongan masyarakat untuk melakukan penebangan liar akan semakin besar. Olah karena itu, dengan semakin banyaknya jumlah cukong, merupakan ancaman bagi pengelolaan lingkungan lestari di Desa
Salua. Dengan demikian, peubah ini memberikan pengaruh yang paling besar, yaitu 0.42. Peluang-peluang yang dimiliki oleh Desa Salua dalam pengelolaan lingkungan bisa dilihat pada Tabel 29. Berdasarkan data pada Tabel 30, diketahui bahwa peluang yang memiliki pengaruh paling besar (0,44) adalah pemerintah, LSM dan lembaga penelitian memberikan perhatian terhadap masalah banjir dan erosi di Desa Salua. Sedangkan peluang yang memiliki pengaruh paling kecil (0.34) adalah terdapat program pelatihan dari pemerintah, LSM dan lembaga penelitian untuk mencegah banjir dan erosi di Desa. Tabel 30. Faktor-Faktor Strategis Eksternal Peluang dalam Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua Faktor Ekstenal Peluang 1. Pemerintah, LSM dan Lembaga penelitian memberikan perhatian terhadap masalah banjir dan erosi di desa 2. Terdapat program fisik dari pemerintah, dan Ornop untuk mencegah banjir dan erosi 3. Terdapat program pelatihan dari pemerintah, LSM dan lembaga penelitian untuk mencegah banjir dan erosi di desa 4. Adanya transfer informasi dan teknologi dari luar desa dalam rangka pencegahan banjir dan erosi 5. Terdapat peneliti yang mengkaji dan 6. mencari solusi masalah banjir dan erosi di desa 7. Pemerintah memberikan bantuan bibit pohon untuk menanami hutan yang rusak
Bobot
Rating
Score
Rangking
0.11
4
0.44
1
0.11
4
0.43
2
0.11
3
0.34
6
0.13
3
0.38
4
0.11
4
0.43
2
0.12
3
0.36
6
Tabel 30. (Lanjutan) Faktor Ekstenal 8. Adanya penegakan hukum terhadap perusak hutan 9. Ada undang - undang yang melarang penebangan dan perusakan hutan 10. Ada bantuan dari luar desa untuk menjaga keamanan dan kelestarian hutan Jumlah
Bobot
Rating
Score
Rangking
0.09
4
0.37
5
0.10
4
0.39
3
0.12 1
3
0.37 3.51
5
1. Pemerintah, LSM dan lembaga penelitian memberikan perhatian terhadap masalah banjir dan erosi masyarakat Desa Salua beranggapan bahwa perhatian dari LSM, lembaga penelitian dan pemerintah merupakan peluang yang paling besar dalam rangka pengelolaan lingkungan di Desa Salua. Pandangan tersebut didasari oleh kondisi riil di Desa Salua, dimana perhatian dari pihak luar terutama
LSM
dan lembaga penelitian terhadap kondisi lingkungan di Desa Salua telah ada dalam bentuk kajian, pembangunan sarana pengelolaan air bersih dan penanaman pohon. Selain itu, dengan adanya perhatian dari pihak luar, diharapkan bisa menjadi jembatan antara masyarakat dengan pemerintah dalam rangka pengelolaan lingkungan yang lestari di Desa Salua. Dengan demikian peubah ini memberikan pengaruh yang paling besar yaitu 0.44. 2. Terdapat program fisik dari pemerintah, dan ornop untuk mencegah banjir dan erosi Berdasarkan informasi dari aparat desa dan tokoh masyarakat, pemerintah provinsi dan kabupaten mempunyai dana khusus untuk program fisik dalam rangka pencegahan banjir dan erosi dengan sumber pendanaan berasal dari APBD. Hal yang masih di usahakan adalah bagaimana Desa Salua bisa menjadi desa yang menjadi sasaran program tersebut. Masyarakat berharap, bantuan dari pihak luar desa untuk mengkomunikasihan hal tersebut kepada pemerintah daerah. Peubah ini juga memberikan pengaruh yang relatif besar yaitu 0.43 3. Terdapat program pelatihan dari pemerintah, LSM dan lembaga penelitian untuk mencegah banjir dan erosi
Sama halnya dengan program fisik, masyarakat juga berharap pihak dari luar desa bisa memfasilitasi program pelatihan tentang pengelolaan lingkungan di Desa Salua, karena sampai saat ini Desa Salua belum pernah dijadikan sasaran pelatihan tentang pengelolaan lingkungan (kususnya pencegahan banjir dan erosi). Peubah ini memberikan pengaruh sebesar 0.34 4. Adanya transfer informasi dan teknologi dari luar desa dalam rangka pencegahan banjir dan erosi Transfer informasi dan teknologi dari pihak-pihak yang peduli terhadap kondisi Desa Salua, dianggap oleh masyarakat sebagai kesempatan untuk memperbaiki kondisi lingkungan di Desa Salua, karena sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat masih relatif kurang. Peubah ini memberikan pengaruh sebesar 0.38 5. Terdapat peneliti yang mengkaji dan mencari masalah banjir dan erosi di Desa Hal tersebut dianggap sebagai sebuah peluang karena masyarakat berharap hasil penelitian yang telah dilakukan bisa di sosialisasikan atau dipublikasikan kepada pemerintah daerah atau pihak lain yang mempunyai sumberdaya untuk melakukan perbaikan lingkungan di Desa Salua. Peubah ini memberikan pengaruh sebesar 0.43 6. Pemerintah memberikan bantuan bibit pohon untuk menanami hutan yang rusak Adanya bantuan bibit dari pemerintah dianggap sebagai kesempatan, mengingat banyak kawasan di Desa Salua yang membutuhkan penanaman. Masyarakat berharap jenis pohon yang diberikan bukan hanya pohon kehutanan, akan tetapi dicampur dengan pohon buah-buahan sehingga bisa memberikan pendapatan tambahan bagi mereka. Selain itu, dalam proses penanaman dan penyediaan bibit dapat melibatkan masyarakat. Peubah ini memberikan pengaruh sebesar 0.36 7. Adanya penegakan hukum terhadap perusak hutan Adanya penegakan hukum bagi para perusak hutan juga dianggap sebagai peluang, karena dengan adanya penegakan hukum diharapkan para perusak hutan bisa ditindak tegas, sehingga masyarakat yang lain tidak meniru. Dengan
demikian pengelolaan lingkungan yang lestari lebih mudah terwujud. Peubah ini memberikan pengaruh sebesar 0.37 8. Ada undang-undang yang melarang penebangan dan pengrusakan hutan Dengan adanya undang-undang yang melarang penebangan dan pengrusakan hutan maka para penegak hukum mempunyai dasar hukum untuk menindak para pelanggar, dengan demikian diharapkan penebangan dan pengrusakan hutan bisa dikurangi. Peubah ini memberikan pengaruh sebesar 0.39 9. Ada bantuan dari luar desa untuk menjaga keamanan dan kelestarian hutan Karena keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh Desa Salua, maka masyarakat
sangat mengharapkan bantuan dari luar desa untuk menjaga
keamanan dan kelestarian hutan. Bantuan yang saat ini sudah ada adalah dari pihak kepolisian, berupa penahanan pelaku perusakan hutan. Peubah ini memberikan pengaruh sebesar 0.37. Diagram dan Matrik SWOT Berdasarkan matrik IFE dan EFE, dapat disusun diagram SWOT dengan menghitung selisih unsur internal (kekuatan dan kelemahan) dan selisih nilai pengaruh eksternal (peluang dan ancaman).
Hasil perhitungan menunjukkan
bahwa kekuatan internal yang dimiliki oleh masyarakat Desa Salua dalam pengelolaan lingkungan tidak mampu mengimbangi kelemahan-kelemahan yang dimilikinya. Selisih kekuatan – kelemahan adalah – 0.55. Demikian pula peluang-peluang yang ada tidak mampu mengimbangi ancaman-ancaman eksternalnya. Selisih peluang – ancaman adalah – 0,16 . Apabila diplotkan dalam koordinat kartesian SWOT maka akan terlihat seperti pada Gambar 16. Dengan demikian, berdasarkan nilai tersebut maka strategi yang paling efektif untuk dilakukan dalam pengelolaan lingkungan di Desa Salua adalah strategi defensif atau
meminimalkan
kelemahan
dan
menghindari
memaksimalkan kekuatan dan peluang-peluang yang ada.
ancaman,
dengan
BERBAGAI PELUANG 1.50 1.00 0.50 KELEMAHAN (1.50) INTERNAL
(1.00)
(0.50)
(0.55), (0.16)
0.50
1.00
1.50 KEKUATAN INTERNAL
(0.50) (1.00) (1.50)
BERBAGAI ANCAMAN Gambar 16. SWOT Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua
Tabel 31. Matrik SWOT Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua
FAKTOR INTERNAL
FAKTOR INTERNAL
Strengths (S) 1. Adanya kesadaran dalam menjaga lingkungan 2. Adanya kesadaran masyarakat terhadap bahaya banjir dan erosi 3. Ada tokoh lokal yang menjadi pelopor dalam kegiatan perbaikan lingkungan 4. Teknologi yang digunakan dapat mengurangi ancaman banjir 5. Kesadaran masyarakat terhadap bahaya banjir dan erosi tinggi 6. Ada tokoh lokal yang mampu menjadi pelopor dalam kegiatan pencegahan banjir
Opportunies (O) 1. Pemerintah, ornop dan lembaga penelitian memberikan perhatian terhadap masalah banjir dan erosi di desa 2. Terdapat program pembangunan fisik dari pemerintah dan Ornop untuk mencegah banjir dan erosi 3. Terdapat program pelatihan dari pemerintah dan ornop untuk mencegah banjir dan erosi 4. Ada transfer informasi dan teknologi untuk pemcegahan banjir dan erosi 5. Terdapat peneliti yang mengkaji dan mencari solusi masalah banjir dan erosi 6. Pemerintah memberikan bantuan bibit 7. Adanya penegakan hukum terhadap perusak hutan 8. Ada undang-undang yang melarang penebangan dan pengrusakan hutan 9. Ada bantuan dari luar desa untuk menjaga keamanan dan kelestarian hutan
Strategi SO 1. Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam pengelolaan lingkungan di Desa Salua (S1,O1,O2,O3,04) 2. Melakukan pelatihan dan penyuluhan tentang pengelolaan lingkungan (S1,S2,O1,O2,03) 3. Melakukan koordinasi yang intensif dengan penegak hukum dalam pengelolaan lingkungan (S1,S2,S3,O5)
Treaths (T) 1. Maraknya pengrusakan lingkungan di desa tetangga 2. Kondisi hutan di hulu sungai mulai rusak 3. Ada provokasi dari luar desa untuk merusak hutan 4. Banyak pendatang dari luar desa yang membeli lahan milik petani lokal, sehingga penduduk lokal merambah hutan 5. Banyak penduduk dari luar desa yang merambah hutan, sehingga warga desa ikut merambah hutan 6. Program pencegahan banjir dan erosi kurang tepat sasaran 7. Ada oknum yang memotong dana untuk program pencegahan banjir dan erosi 8. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat di desa tetangga terhadap bahaya banjir dan erosi masih kurang 9. Partisipasi masyarakat desa tetangga dalam mencegah banjir dan erosi masih kurang 10. Semakin bertambahnya cukong-cukong kayu dari luar desa
Strategi ST 1. Melakukan koordinasi dengan desa tetangga dalam hal pengelolaan lingkungan (S1, T1,T2,T4,T5) 2. Membuat sistem peringatan dini banjir dan erosi (S2,S3, T1,T2) 3. Meningkatkan penegakan hukum bagi perusak lingkungan (S1,S2,S3, T1,T4,T5,T6)
Weakneses (W) 1. Masyarakat menebang hutan karena tuntutan ekonomi 2. Masyarakat merambah TNLL karena lahannya telah dijual 3. Partisipasi masyarakat dalam program pencegahan banjir dan erosi masih kurang 4. Lahan pertanian memiliki kemiringan tinggi 5. Terdapat sungai yang sering meluap 6. Kelembagaan desa dalam mengelola lingkungan belum berjalan 7. Belum ada koordinasi dalam pencegahan bahaya banjir dan erosi 8. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat dalam mengelola lingkungan belum merata 9. Sarana dan fasilitas untuk mencegah dan menanggulangi banjir belum memadai 10. Belum ada program yang sistematis untuk mencegah banjir dan erosi Strategi WO 1. Menciptakan pendapatan alternatif bagi masyarakat Salua (W1,W2,O1,O3,O4) 2. Meningkatkan teknologi dan keterampilan bercocok tanam masyarakat Desa Salua (W1,W2,O3,O4) 3. Memperkuat kelembagaan dalam mengelola lingkungan (W3,W4,W5,O1,O3,O5)
Strategi WT 1. Membuat strategi dan program yang sistematis dalam pengelolaan lingkungan (W3,W4,W5,T1,T2) 2. Meningkatkan modal sosial yang di dalam masyarakat (W3,W4,W5,T1,T4,T5)
11
Matrik SWOT yang menggambarkan dengan rinci tentang kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh masyarakat Desa Salua dalam rangka pengelolaan lingkungan yang dipadukan dengan unsur peluang dan ancaman yang dimiliki bisa dilihat pada Tabel 31. Berdasarkan Tabel 31, strategi SO yang dapat dilakukan antara lain : (a) melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam pengelolaan lingkungan di Desa Salua, (b) Melakukan penyuluhan dan pelatihan tentang pengelolaan lingkungan yang lestari dan (c) Melakukan koordinasi yang intensif dengan penegak hukum dalam hal pengelolaan lingkungan yang lestari. Strategi (ST) yang bisa dilakukan antara lain : (a) Melakukan koordinasi dengan desa tetangga dalam hal pengelolaan lingkungan, (b) Membuat sistem peringatan dini ancaman banjir dan erosi dan (c) Meningkatkan penegakan hukum bagi perusak lingkungan. Strategi (WO) yang dapat dilakukan diantaranya adalah : (a) Menciptakan pendapatan alternatif bagi masyarakat Salua, (b) Meningkatkan teknologi dan keterampilan bercocok tanam masyarakat Desa Salua dan (c) Memperkuat kelembagaan dalam pengelolaan lingkungan. Sedangkan strategi (WT) yang bisa dilakukan diantaranya adalah : (a) Membuat strategi dan program yang sistematis dalam pengelolaan lingkungan di Desa Salua dan (b) Meningkatkan modal sosial yang ada di dalam masyarakat Desa Salua, misalnya dengan meningkatkan peran hukum adat yang sudah ada (Taolo dan Ombo) dalam pengelolaan lingkungan di Desa Salua.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Simpulan yang bisa diambil dalam penelitian ini adalah : 1. Nilai ekonomi jasa lingkungan TNLL untuk pencegahan bahaya lingkungan di yang tidak diketahui di Desa Salua adalah Rp. 909.818 perbulan atau 10.917.818,18 pertahun. Jika dihitung berdasarkan kesediaan membayar masyarakat dalam bentuk sumbangan tenaga kerja, maka nilainya adalah 843 HOK perbulan. Jika diasumsikan 1 HOK di Desa Salua senilai Rp. 25.000, maka nilai ekonomi jasa lingkungan TNLL untuk pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui adalah Rp. 20.850.000/bulan atau Rp. 250.200.000/tahun 2. Nilai ekonomi jasa lingkungan TNLL untuk pencegahan bahaya banjir dan erosi di Desa Salua adalah setara dengan 843 HOK
per bulan. Jika
diasumsikan 1 hari kerja di Desa Salua senilai Rp. 25.000, maka nilai ekonomi jasa lingkungan TNLL untuk pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui adalah Rp. 20.850.000/bulan atau Rp. 250.200.000/tahun 3. Kemauan membayar masyarakat untuk pencegahan bahaya lingkungan dalam bentuk uang cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan kemauan membayar masyarakat dalam bentuk sumbangan tenaga kerja 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan membayar masyarakat Desa Salua adalah faktor pendapatan masyarakat dengan persamaan regresi Y= 2.6+0.51X, tingkat pendidikan, dan pengetahuan masyarakat terhadap bahaya lingkungan yang belum diketahui 5. Strategi yang paling efektif dalam pengelolaan lingkungan di Desa Salua adalah strategi defensif yaitu meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman dengan memaksimalkan kekuatan dan peluang-peluang yang ada
Saran Saran yang bisa disampaikan dari penelitian ini adalah : 1. Nilai ekonomi jasa lingkungan dari Taman Nasional Lore Lindu perlu disosialisasikan kepada masyarakat dan para pihak yang terkait, untuk meningkatkan apresiasi semua terhadap sumberdaya hutan 2. Dalam
kegiatan
program
pencegahan
bahaya
lingkungan,
sebaiknya
sumbangan masyarakat diarahkan dalam bentuk tenaga kerja, sedangkan dana untuk membiayai program tersebut bisa berasal dari pemerintah atau lembaga donor. 3. Untuk penelitian serupa dimasa yang akan datang, dalam pembuatan model regresi berganda perlu ditentukan variabel-variabel pendukung lain yang berpengaruh nyata terhadap WTP masyarakat, agar dapat meningkatkan nilai R2.
DAFTAR PUSTAKA Arnold, JEM. 1998. Managing Forest as Common Property. Bogor: CIFOR. Azis, ASR. 2003. Memahami Fenomena Sosial Melalui Studi Kasus. Di dalam Bungin B. (editor). 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm: 18-35 Badan Pusat Statistik Kabupaten Donggala 2005. Kecamatan Kulawi dalam Angka. 2005. Badan Pusat Statistik Kabupaten Donggala. Palu Baland, JJP, Platteau. 1996. Halting degradation of natural resources: Is there a role for rural communities? Di dalam: Pagde A, Kim Y, Daugherty PJ. 2006. What Makes Community Forest Management Successful: A Meta-Study From Community Forests Throughout the World. Society and Natural Resources,19 Barkmann, J, Glenk, K, Purwawangsa, H, Sundawatai, L, Patrick, JW, Marggraf, R. 2006. Assessing economic preferences for biological diversity and ecosystem services at the Central Sulawesi rainforest margin a choice expriment approach. The Stability of Torpical Rainforest Margins. Di dalam Linking Ecological, Economic and Social Constraints of Land Use and Conservation. Environmental Science Series, Springer (Heidelberg, New York) Black, JA, Champion DJ. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Koeswara et al., penerjemah. Bandung: Eresco Bennett, JW. 1976. The Ecological Transition: Cultural Anthropology and Human Adaptation. New York: Pergamon Press Inc. Biro Infokom Sulawesi Tengah. 2004. Taman Nasional Lore Lindu. http://infokom-sulteng.go.id/ Bungin, B. 2003. Teknik-Teknik Analisis Kualitatif dalam Penelitian Sosial. Di dalam Bungin B. (ed). 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm: 83-105 Care, 2002. Data Monografi Desa Saluwa. Tidak di publikasikan Carson, R.T. 1991. Constructed markets. In J. Braden and C. Kolstad (eds.), Measuring the demand for environmental commodities, Amsterdam: North-Holland.
Darusman, D. 2002. Pembenahan Kehutanan Indonesia. Lab Politik dan Sosial Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB dan Yayasan Dani Hanafiah. Bogor. Djijono.
2002. Valuasi Ekonomi Menggunakan Metode Travel Cost Taman Wisata Hutan di Taman Wan Abdul Rachman, Propinsi Lampung. Makalah Pengantar Falsafah Saint Program Pasca Sarjana (S3) Institut Pertanian Bogor.
Fauzi, A.
1996. “Teknik Valuasi Ekosistem Mangrove” Bahan Pelatihan Management for Mangrove Forest Rehabilitation. Bogor. Oktober. 1999
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. PT. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta. Folmer, H dan Gabel L.H. 2001. Principles of Environmental and Resource Economic. Edward Elgar Publishing, Inc. 136 West Street Suite 202 Northampton Massachusetts 01060 USA. Golar. 2007. Strategi Adaptasi Masyarakat Adat Toro Kajian Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi Tengah. Disertasi Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan Hanemann, W.M. 1991. Willingness to pay and Willingness to Accept: How Much Can They Differ? American Economic Review, 81(3): 635-647. Hanna S, M. Munasinghe. 1995. Property rights and the environment: Social and ecological Issues. Washington, DC: ESD. Hardin, G. 1968. The Tagedy Of The Commons. Science Vol. 162. 13 December 1968. Hufschmidt, M. M., et al. 1987. Lingkungan Sistem Alami dan Pembangunan. Terjemahan. UGM Press Kartodiharjo, H. 2006. Bahan Ajaran Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Sekolah Pasca Sarjana IPB. Tidak dipublikasikan. Laarman, J.G., R.A.Sedjo. 1992. Global Forests : Issues for Six Billion People. Mc Graw Hill, Inc. New York. McKean, MA. 1992. Management of Traditional Common Lands (Iriaichi) in Japan. Di dalam: D.W. Bromley, editor. Making the Commons Work: Theory, Practice, and Policy. San Francisco, California: Institute for Contemporary Studies Press Munangsihe, M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank Environment Paper Number 2.
Murray, G, Neis B, Johnsen JP. 2006. Lessons Learned from Reconstructing Interactions Between Local Ecological Knowledge, Fisheries Science, and Fisheries Management in the Commercial Fisheries of Newfoundland and Labrador, Canada. Di dalam: Human Ecology. Vol 34. N0 2. hlm: 549-571. Nemarundwe, N. 2001. Kolaborasi Kelembagaan dan Share Learning untuk Pengelolaan Hutan di Distrik Chivi, Zimbabwe. LATIN, penerjemah. Bogor; Pustaka Latin. Terjemahan dari: Institutional collaboration dan share learning on Forest Management in Chivi Distric, Zimbabwe Nurrochmat, 2000. “Paradoks dalam Program Perhutanan Sosial.” Humanesia (Indonesia Community Forest Newsletter) Vol 4 (1), Juni 2002:3. Nurrochmat, 2005. Strategi Pengelolaan Hutan (Upaya Menyelamatkan Rimba Yang Tersisa). Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Ostrom, E. 1990. Governing the Common: The Evolution of Institutions for Collective Action. New York: Cambridge University Press. Ostrom, E. 1999. Neither Market nor State: Governance of Common-pool Resources in the Twenty-first Century. Washington, DC: International Food Policy Research Institute. Pearce, D. dan D. Moran. 1994. The Economics Value of Biodeversity.IUCN Pearce, D. W. dan R. K Turner. 1990. Economics of Natural Resources and The Environment. Harvester Wheatsheaf. Rangkuti, F. 2005. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Rasmussen, L N and Meinen-Dick R. 1995. Local Organizations for Natural Resource Management: Lesson from Theoretical and Empirical Literature. Http://www.ifpri.org/divs/eptd/dp/paper/eptdpll.pdf (Diakses tanggal 5 oktober 2003) Richhard, T, Carson, Nicholas E, F, Norman F, M. (2001). Contingent Valuation : Controversies and Evident. Environmental and Resourse Economic. 19 : 173-210. Kluwer Academic Publishers. Netherland. Santoso, BS dan Ashari. 2005. Analisis Statistika dengan Microsoft Excel dan SPSS. Yogyakarta. Penerbit Andi. Smith, EA, M. Wishnie. 2000. Conservation and Subsistence in Small-Scale Societies. Annual. Review. Anthropology., No. 29: 493-524, 2000. Sitorus, S. 2004 “Revolusi Coklat” Social Formation, Agrarian Structure, and Forest Margins in Upland Sulawesi, Indonesia, Di dalam: G. Gerold, M. Fremerey & E. Guhardja, Land Use, Nature Conservation and the
Stability of Rainforest Margins is Southeast Asia, Berlin, Heidelberg & New York: Springer-Verlag. Suparmoko, M. dan D.R. Nurrochmat. 2005. Urgensi Implementasi PDRB Hijau di Sektor Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta Syakya, 2005. Analisis Willingness To Pay (WTP) dan Strategi Pengembangan Objek Wisata Pantai Lampuuk Di Nanggroe Aceh Darussalam. Tesis Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Sukirno, 2002. Pengantar Teori Mikro Ekonomi Edisi ketiga. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Turnbull,
CM. 2002. The Mbuti Pygmies: Change and Adaptation. Wadworth/Thomson Learning 10 Davis Drive Belmont, CA 940023098 USA.
Wade, R. 1988. Village republics: economic conditions for collective action in South India. Di dalam: Pagde A., Kim Y., Daugherty P.J. 2006. What Makes Community Forest Management Successful: A Meta-Study From Community Forests Throughout the World. Society and Natural Resources, 19. Vercueil, J. 2000. Aplication of Contingent Valuation Method in Developing Countries. Director, Information Division, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Viale delle Terme di Caracalla, 00100 Rome, Italy. Wijayanto, N. 2001. Faktor Dominan dalam Sistem Penglolaan HKM (Studi Kasus di Repong Damar, Pesisir Krui, Lampung). Desertasi Pascasarjana. Bogor : Intitut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Yin, RK. 1997. Studi Kasus (Desain dan Metode). Rajawali Grafinfo Persada Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Variabel, Indikator, dan Parameter Penelitian tentang Kemauan Membayar Masyarakat terhadap Perbaikan Lingkungan No 1
Variabel Pengaruh bahaya lingkungan terhadap masyarakat
Indikator Kehilangan hasil panen akibat banjir Kerugian pribadi akibat banjir
Frekwensi banjir yang merugikan masyarakat dalam 10 tahun terakhir Kerusakan akibat banjir selama 10 tahun terakhir
Kemungkinan ancaman banjir di masa yang akan datang (tanpa adanya pencegahan) Peran pembangunan desa (fisik seperti penanaman pohon dan non fisik seperti pelatihan) dalam rangka mengurangi kerusakan akibat banjir Kerusakan akibat erosi tanah selama sepuluh tahun terakhir Besarnya dampak erosi
Ancaman erosi dimasa yang akan datang, tanpa adanya tindakan pencegahan Peran pembangunan desa (fisik dan non fisik) terhadap pecegahan erosi 2
Partisipasi dalam menjaga lingkungan
Lampiran 1. (Lanjutan)
Tanggung jawab pemerintah dalam upaya mencegah banjir
1. 2. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5.
Parameter Tidak Ya Sangat besar Besar Biasa Kecil Tidak masalah 0 1-3 4-6 7-9 >9 Jauh lebih besar besar Sama saja Berkurang Tidak ada Jauh lebih besar Besar Sama saja Berkurang Tidak ada Setuju sekali Setuju Ragu-ragu Tidak Setuju Sangat tidak setuju
1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5.
Jauh lebih besar Besar Sama saja Berkurang Tidak ada Sangat besar Besar Agak besar Kecil Tidak ada Sangat besar Besar Agak besar Kecil Tidak ada Setuju sekali Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju Sangat besar Besar Agak besar Kecil Tidak ada
No
Variabel
Indikator Tanggungjawab pribadi dan keluarga dalam upaya mencegah banjir Tanggungjawab pemerintah terhadap pencegahan erosi
3
Pengetahuan terhadap bahaya lingkungan yang tidak diketahui dan dampaknya terhadap responden
Informasi adanya wabah penyakit baru yang menyerang manusia Besarnya ancaman bahaya lingkungan yang tidak diketahui Kondisi kesehatan tanah, hutan dan lahan selama sepuluh tahun terakhir Kondisi kesehatan tanah, hutan dan lahan dimasa yang akan datang, tanpa ada perbaikan Kemampuan program desa terhadap pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui Tanggungjawab pemerintah dalam menjaga tanah, hutan dan lahan
4
Pengukuran WTP
Kecukupan dana yang dikumpulkan secara swadaya untuk pencegahan bahaya lingkungan Keyakinan bahwa pajak yang dibayarkan kepada pemerintah akan dipergunakan untuk pencegahan bahaya lingkungan
1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2.
1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5.
Parameter Sangat besar Besar Agak besar Kecil Tidak ada Sangat besar Besar Agak besar Kecil Tidak ada Ada, sebutkan..... Tidak ada
Sangat besar Besar Agak besar Kecil Tidak ada Jauh lebih buruk Lebih buruk Sama saja Sedikit lebih baik Semakin baik Jauh lebih buruk Lebih buruk Sama saja Sedikit lebih baik Semakin baik Sangat mampu mampu Ragu-ragu Tidak mampu Sangat tidak mampu Sangat besar Besar Agak besar Kecil Tidak ada Sangat besar Lebih dari cukup Cukup Tidak cukup Sangat tidak cukup Yakin sekali Yakin Ragu-ragu Tidak yakin Sangat tidak yakin
Lampiran 1. (Lanjutan) No
Variabel
Indikator Kemauan membayar
1.
Parameter Rp. 0
untuk pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui
Kemauan membayar untuk perbaikan lingkungan dalam bentuk tenaga Besarnya tenaga yang mau disumbangkan untuk pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui Besarnya tenaga yang mau disumbangkan untuk pencegahan bahaya lingkungan yang diketahui
5
Faktor eksternal
Informasi tentang banjir di Dongi-dongi Kemungkinan banjir di Dongi-dongi terjadi di Desa Salua Pengetahuan tentang Katuwua
Pengaruh Katuwua dalam mempengaruhi pengambilan keputusan
6
Faktor Internal
Jenis kelamin Penggunaan jika mendapatkan pendapatan tambahan
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 1. 2.
Rp. 500 Rp. 1.000 Rp. 1.500 Rp. 2.000 Rp. 3.000 Rp. 4.000 Rp. 6.000 Rp. 9.000 > 9.000 Ya, bersedia Tidak bersedia
1. Tidak mau 2. ½ hari 3. 1 hari 4. 1 ½ hari 5. 2 hari 6. > dari 2 hari 1. Tidak mau 2. ½ hari 3. 1 hari 4. 1 ½ hari 5. 2 hari 6. > dari 2 hari 1. Ya, ada 2. Tidak ada 1. Ya, mungkin 2. Tidak mungkin
1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 1. 2. 3. 4.
Tidak mengerti sama sekali Hampir tidak mengerti Sedikit mengerti Mengerti Sangat mengerti Sama sekali tidak penting Hampir tidak penting Kurang penting Penting Sangat penting Pria Wanita Makanan Keperluan pribadi Investasi Pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui
Lampiran 1. (Lanjutan) No
Variabel
Indikator Pendidikan kepala keluarga
Pekerjaan kepala keluarga
Pendapatan ratarata/tahun
Umur (tahun)
Bahaya lingkungan yang paling besar dampaknya
Parameter 1. Tidak pernah sekolah 2. Tidak lulus SD 3. SD 4. SMP 5. SMA 6. PT 1. Petani 2. Peternak 3. Pedagang 4. Wiraswasta 5. Pegawai 6. Buruh 7. Nelayan 8. Ibu rumahtangga 9. Pengangguran 10. Pensiunan 11. Lainnya, sebutkan 1. < Rp. 400.000 2. Rp. 400.000-800.000 3. Rp. 800.000-1200.000 4. Rp. 1.200.000-1600.000 5. Rp. 1.600.000-2.000.000 6. Rp. 2.000.000-2.400.000 7. Rp. 2.400.000-2.800.000 8. Rp. 2800.000-4.000.000 9. Rp. 4.000.000-5.200.000 10. Rp. 5.200.000-6.400.000 11. Rp. 6.400.000-8.800.000 12. Rp. > 8.800.000 1. 15-20 2. 21-25 3. 26-30 4. 31-35 5. 36-40 6. 41-45 7. 46-50 8. 51-55 9. 56-60 10. 61-65 11. 66-70 12. >70 1. Banjir 2. Erosi 3. Bahaya lingkungan yang tidak diketahui (wabah penyakit bagi manusia, hama penyakit bagi tumbuhan) 4. Faktor biaya
Lampiran 2. Gambar Perbedaan antara Resiko Banjir dan Erosi
Lampiran 3. Gambar Keadaan tanpa Adanya Pencegahan untuk Banjir
Lampiran 4. Gambar Setelah Adanya Program Pencegahan Banjir
Lampiran 5. Gambar Keadaan tanpa Adanya Pencegahan untuk Erosi
Lampiran 6. Gambar Keadaan Setelah Adanya Program Pencegahan Erosi
Lampiran 7. Gambar Lingkungan yang Sehat
Lampiran 8. Gambar Kondisi Lingkungan tanpa Adanya Program Pencegahan Terhadap Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui
Lampiran 9. Gambar Kondisi Lingkungan setelah Adanya Program Pencegahan Terhadap Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui
Lampiran 10. Gambar Kartu Percobaan yang Menunjukan Berbagai Jenis Perbaikan Lingkungan dengan berbagai Tingkat Harga
Lampiran 11. Gambar Kartu Percobaan untuk Mengetahui Konsentrasi Responden
Lampiran 13. Gambar Kisaran Harga yang Ditawarkan kepada Responden untuk Pencegahan Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui
Lampiran 12. Gambar Kisaran Harga yang Ditawarkan kepada Responden untuk Pencegahan Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui dalam Bentuk Sumbangan Tenaga
Lampiran 14. Gambar Kisaran Harga yang Ditawarkan Untuk Pencegahan Banjir dan Erosi dalam Bentuk Sumbangan Tenaga Kerja
Lampiran 15. Matrik SWOT Rating : Beri tanda (X) pada nilai yang dianggap sesuai Nilai 1 : Sangat Rendah Nilai 4 Nilai 2 : Rendah Nilai 5 Nilai 3 : Sedang
: Tinggi : Sangat Tinggi
Lampiran 15. (Lanjutan)
Lampiran 16. Rekapitulasi Perhitungan SWOT 1. UNSUR KEKUATAN (STRENGHTS) Peubah 1 2 3 4 5 6 Jumlah
X Bobot 0,09 0,13 0,21 0,20 0,18 0,19 1,000
X Rating 4,00 2,00 3,00 3,00 4,00 4,00 20,00
X Score 0,37 0,25 0,62 0,61 0,72 0,76 3,34
Rangking 6 5 3 4 2 1
Keterangan : 1. Masyarakat Memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian hutan 2. Masyarakat mengetahui tehnik teknologi untuk mencegah banjir dan erosi 3. Teknologi atau tehnik pertanian yang digunakan dapat mengurangi ancaman banjir 4. Teknologi atau tehnik pertanian yang digunakan dapat mengurangi ancaman erosi 5. Kesadaran masyarakat terhadap bahaya banjir dan erosi tinggi 6. Ada tokoh lokal yang mampu menjadi pelopor dalam kegiatan pencegahan banjir dan erosi 2. UNSUR KELEMAHAN (WEAKNESS) Peubah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah
X Bobot 0,09 0,11 0,10 0,11 0,09 0,10 0,11 0,09 0,10 0,1 1
X Rating 4,00 3,00 4,00 4,00 4,00 4,00 4,00 4,00 4,00 4,0
X Score 0,34 0,34 0,41 0,42 0,38 0,42 0,46 0,36 0,39 0,37 3,89
Rangking 1 1 6 7 4 7 8 2 5 3
Keterangan : 1. Masyarakat menebang hutan karena tuntutan ekonomi 2. Masyarakat lokal merambah hutan di taman nasional, karena lahannya dijual kepada orang di luar desa 3. Partisipasi masyarakat dalam program pencegahan banjir masih kurang 4. Lahan pertanian memiliki kemiringan lahan yang tinggi
5. Terdapat sungai besar yang sering meluap di dekat desa 6. Kelembagaan desa dalam mencegah banjir dan erosi belum berjalan 7. Belum ada koordinasi yang baik dengan desa tetangga dan aparat desa dalam usaha pencegahan banjir dan erosi 8. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan banjir dan erosi belum merata 9. Sarana dan fasilitas untuk mencegah dan menanggulangi banjir belum memadai 10. Belum ada program yang sistematis untuk mencegah banjir dan erosi
3. UNSUR PELUANG (OPPORTUNITIES) Peubah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jumlah
X Bobot 0,11 0,11 0,11 0,13 0,11 0,12 0,09 0,10 0,12 1
X Rating 4 4 3 3 4 3 4 4 3
X Score 0,44 0,43 0,34 0,38 0,43 0,36 0,37 0,39 0,37 3,51
Rangking 1 2 6 4 2 6 5 3 5
Keterangan : 1. Pemerintah, LSM dan Lembaga penelitian memberikan perhatian terhadap masalah banjir dan erosi di desa 2. Terdapat program pembangunan fisik dari pemerintah, LSM dan lembaga penelitian untuk mencegah banjir dan erosi 3. Terdapat program pelatihan dari pemerintah, LSM dan lembaga penelitian untuk mencegah banjir dan erosi di desa 4. Adanya transfer informasi dan teknologi dari luar desa dalam rangka pencegahan banjir dan erosi 5. Terdapat peneliti yang mengkaji dan mencari solusi masalah banjir dan erosi di desa 6. Pemerintah memberikan bantuan bibit pohon untuk menanami hutan yang rusak 7. Adanya penegakan hukum terhadap perusak hutan 8. Ada undang - undang yang melarang penebangan dan perusakan hutan 9. Ada bantuan dari luar desa untuk menjaga keamanan dan kelestarian hutan
4. UNSUR ANCAMAN (THREATS) Peubah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah
X Bobot 0,09 0,09 0,10 0,10 0,11 0,10 0,12 0,09 0,09 0,10 1
X Rating 4 4 3 4 3 3 3 4 4 4
X Score 0,36 0,36 0,31 0,41 0,32 0,41 0,36 0,36 0,42 0,42 3,67
Rangking 3 3 1 4 2 4 3 3 5 5
Keterangan : 1. Maraknya penebangan kayu dan pengrusakan hutan di desa tetangga 2. Kondisi hutan di hulu sungai mulai rusak 3. Adanya provokasi dari orang luar desa untuk merusak hutan 4. Banyak pendatang dari luar desa yang membeli lahan petani lokal, sehingga penduduk lokal mencari pengganti lahan dengan cara merambah hutan 5. Banyak penduduk dari luar desa yang merambah hutan, sehingga warga desa ikut merambah hutan 6. Program pencegahan banjir dan erosi dari pemerintah/lembaga lain kurang tepat sasaran 7. Adanya oknum - oknum dari luar desa yang memotong dana untuk program pencegahan banjir dan erosi di desa 8. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat di desa tetangga terhadap bahaya erosi dan banjir masih kurang 9. Partisipasi masyarakat desa tetangga dalam mencegah terjadinya banjir dan erosi masih rendah 10. Semakin bertambahnya cukong-cukong kayu dari luar desa
Lampiran 27 Uji F terhadap Model Regresi Berganda (agregat) ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 564,540 620,150 1184,690
df 5 197 202
Mean Square 112,908 3,148
F 35,867
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), What is the average total cash income of your family in one year?, Do you know Katawua?, Have you heard about now diseases for humans?, If your household earnings increase by 25.000 Rp. during this month how much of that would you spend on prevention against unknown environmental dangers?, Education Level b. Dependent Variable: How much money will you spend in maximum each month for card number 1: Prevention against unknown environmental dangers?
Histogram
Dependent Variable: How much money will you spend in card number 1: Prevention against unknown enviro 25
Frequency
20
15
10
5