MANDAT LIGA BANGSA-BANGSA : KEGAGALAN PALESTINA MENJADI NEGARA MERDEKA (1920-1948) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh: HANAFI WIBOWO (111002200002)
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
i
i
ii
DEDIKASI Didedikasikan kepada seluruh rakyat Palestina yang sedang berjuang menciptakan sebuah negara merdeka yang berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan negara lainnya
iii
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Tak lupa pula penulis mengirimkan salam dan shalawat kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat Islam dari jalan yang gelap gulita menuju jalan yang terang benderang. Skripsi yang berjudul “Mandat Liga Bangsa-Bangsa : Kegagalan Palestina Menjadi Negara Merdeka (1920-1948)” merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum). Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari partisipasi dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada : 1. Duta Besar Palestina, Bapak Fariz al Mehdawi. Sebagai narasumber utama, beliau telah menyediakan waktu untuk berbagi cerita mengenai perjuangan rakyat Palestina, membagi sumber sumber tertulis sebagai bahan rujukan utama skripsi ini, memberikan nasihat nasihat bagaimana seharusnya seorang lelaki mencapai cita citanya, dan berbaik hati mengajak penulis makan malam di kediamannya. 2. Bapak Drs. H. M. Ma'ruf Misbah MA selaku Ketua jurusan Sejarah & Kebudayaan
Islam
(SKI)
yang
telah
membantu
dalam
proses
terlaksananya skripsi ini 3. Ibu Sholikatus Sa'diyah, M.Pd selaku Sekretaris jurusan Sejarah & Kebudayaan Islam (SKI) yang telah membantu memproses skripsi ini
iv
4. Bapak Dr.Fuad Jabali,MA selaku Dosen Pembimbing I yang selalu memberikan tantangan untuk mencari sumber-sumber sejarah yang Orisinil, memotivasi untuk terus bekerja keras, mengajarkan cara membuat argument yang baik dan menginspirasi agar jangan membatas imajinasi. 5. Bapak Dr.Saiful Umam,MA selaku Dosen Pembimbing II yang telah mengoreksi halaman demi halaman skripsi ini selama dalam masa bimbingan serta mengajarkan Penulis untuk lebih teliti. 6. Bapak Prof.Dr.H.Didin Saipuddin,MA selaku Dosen Penguji I, yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk menguji Skripsi ini dengan sangat Adil dan Objektif 7. Ibu Dr.Amelia Fauzia,MA selaku Dosen Penguji II, yang telah menyisihkan waktunya guna menguji skripsi ini dengan sangat antusias, serta karena selalu mendorong penulis dan teman teman sekelas untuk menggunakan sumber-sumber online semaksimal mungkin. 8. Bapak Dr.Saidun Derani,MA selaku Dosen Pembimbing Akademik, yang telah membantu dalam proses pembuatan Proposal Skripsi. 9. Uwak tercinta, Farhan Sunyoto Mukadi, yang telah mengajarkan penulis dengan sabar, bagaimana cara membuat tulisan ilmiah yang baik dan benar 10. Uwak tercinta, Suhaenah “Enna” Hartono-Mukadi, yang selalu mendoakan penulis dan membantu pencetakan skripsi ini. 11. Mbah
tercinta,
Tubagus
Syamsuddin
Suriakusuma,
yang
selalu
memberikan kasih sayang pada penulis dan juga memberikan pengetahuan pada penulis mengenai sejarah keluarga besar.
v
12. Eyang tercinta, (Alm).Ngakan Ngurah Sutedja Gedong Artha dan Artiniati Sutedja Arba‟i yang selalu memberikan kasih sayang dan dukungannya agar penulis menjadi orang yang berguna di masyaralat 13. Ayahanda
Tercinta,
Abdul Radja Sutjahjo
Mukadi,
yang telah
menunjukkan “Jalan Keilmuwan” bagi Penulis dan merupakan Rekan Diskusi Utama bagi Penulis 14. Ibunda tercinta, Retno Sandrawati, yang telah melahirkan, membesarkan, mengasuh, menyayangi dan membentuk pribadi Penulis 15. Seluruh Keluarga Besar Raden Mas Mukadi (Cirebon) & Ratu Siti Chawa (Banten), yang namanya tak dapat saya sebutkan satu persatu namun semuanya sangat berarti bagi penulis. 16. Seluruh Kawan Kawan SKI angkatan 2010 17. Serta seluruh pihak yang ikut membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis hanya bisa berdoa, semoga Allah membalas kebaikan-kebaikan mereka dengan setimpal. Amin.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis memohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan skripsi ini. Kritik dan saran kami hargai demi penyempurnaan penulisan serupa dimasa yang akan datang. Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat bernilai positif bagi semua pihak yang membutuhkan.
vi
ABSTRAK Hanafi Wibowo Mandat Liga Bangsa-Bangsa : Kegagalan Palestina Mendirikan Negara Merdeka (1920-1948) Studi ini mengkaji Palestina pada masa Mandat Inggris melalui Metode Historis dengan Pendekatan Politik. Pasca Perang Dunia Pertama (1914-1918), Inggris mendapat mandat dari Liga Bangsa Bangsa untuk mengelola administrasi bekas wilayah wilayah Arab yang sebelumnya adalah bekas wilayah Turki Usmani. Di dalam proses pengelolaan ini, terjadi permasalahan dimana muncul dua kekuatan yang saling bertentangan yaitu Zionis Yahudi sebagai pendatang baru dan rakyat Palestina sebagai penduduk asli. Keinginan Liga Bangsa Bangsa yang menugaskan Inggris untuk memberikan masing masing kedua bangsa itu sebuah negara yang merdeka mendapat penolakan baik dari pihak Palestina maupun dari pihak Yahudi itu sendiri. Studi ini juga mempelajari dampak dari keberhasilan orang Yahudi mendirikan Israel diatas penderitaan rakyat Palestina karena rasa kehilangan dan harus menerima keadaan sebagai sebuah bangsa yang terdzalimi. Studi ini ingin menjelaskan mengapa Palestina mengalami kegagalan dalam mendirikan sebuah negara merdeka yang penulis dapatkan dari pelbagai sumber dan data-data tertulis. Menurut penelahaan penulis, era Mandat Inggris adalah akar dan awal kegagalan Palestina mendirikan negara merdeka, selain itu terdapat dua faktor penting penyebab kegagalan tersebut. Pertama, adalah faktor internal dari rakyat yang saat itu berupa adanya kesalahan strategi dari elit dan rakyat Palestina sendiri. Kedua yaitu faktor eksternal adalah campur tangan negara-negara Arab tetangga yang memecah Palestina demi kepentingannya serta keinginan pihak Zionis Yahudi yang bersikap oportunis demi menciptakan negara Yahudi di Palestina Kata Kunci: Mandat Inggris, Palestina, Nasionalisme Arab
vii
KATA PENGANTAR
Timur Tengah merupakan entitas wilayah yang secara politis merupakan tempat lahirnya peradaban. Di masa lalu, Bangsa Mesir Kuno pernah membangun Piramida yang menjulang megah, Bangsa Phoenicia memperluas Imperium Maritim, Bangsa Mesopotamia menciptakan negara negara kota yang makmur. Namun ada satu wilayah di Timur Tengah yang selalu menjadi pusat perhatian seluruh dunia hingga hari ini, yaitu Palestina. Kawasan Palestina bukan hanya subur karena terletak di ujung barat dari Daratan Bulan Sabit yang Subur (The Fertile Crescent), namun juga, memiliki posisi yang strategis karena merupakan penghubung dua benua, yaitu Asia, dan Afrika, serta menghubungkan Laut Mediterania dengan Laut Merah. Wilayah Palestina berbatasan langsung dengan Syria, Lebanon, Jordania dan Mesir; yang artinya menghubungkan negara-negara berbahasa Arab di kawasan Benua Asia dengan negara-negara berbahasa Arab di Benua Afrika. Kesuburan tanah dan letak yang strategis, menjadi daya tarik bagi berbagai suku & bangsa untuk mendiami atau menguasai daerah tersebut. Kesuburan suatu daerah, merupakan suatu aspek penting penunjang tumbuh kembangnya budaya dan ekonomi bagi manusia yang tinggal di tempat itu sekaligus juga kerugiannya akan memancing bangsa bangsa lain untuk datang selain berniaga disana juga menguasai dan menjajahnya. Terlepas dari hal di atas, studi kali ini, mengambil topik kajian salah satu periode dalam Sejarah Palestina berjudul
Mandat Liga Bangsa-Bangsa :
Kegagalan Palestina Mendirikan Negara Merdeka (1920-1948).
viii
DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... I DEDIKASI ........................................................................................................IIIII UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................. IV ABSTRAK ..................................................................................................... VIVII KATA PENGANTAR ................................................................................ VIIVIII DAFTAR ISI ..................................................................................................... IXX
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................. 1 A. B.
C. D. E.
F.
LATAR BELAKANG ......................................................................... 1 PERMASALAHAN............................................................................. 6 1.Identifikasi Masalah ................................................................... 6 2.Pembatasan Masalah .................................................................. 6 3.Rumusan Masalah ...................................................................... 7 TUJUAN & MANFAAT PENELITIAN .................................................. 7 KAJIAN PENDAHULUAN .................................................................. 9 METODE PENELITIAN & PENDEKATAN PENELITIAN ........................ 9 1.Pendekatan Penelitian ................................................................ 9 2.Metode Penelitian..................................................................... 10 SISTEMATIKA PENULISAN ............................................................. 13
BAB II NEGARA BANGSA & NASIONALISME PALESTINA ................ 15 A. B.
TEORI TERBENTUKNYA NEGARA ................................................... 15 MUNCULNYA NASIONALISME PALESTINA ..................................... 16
BAB III AWAL KEKUASAAN INGGRIS & KEBIJAKANNYA ................ 30 A. B.
LAHIRNYA MANDAT INGGRIS ........................................................ 30
KEBIJAKAN MENGENAI IMIGRASI YAHUDI (ALIYAH) ..................... 37
BAB IV RESPON PALESTINA TERHADAP KEKUASAAN INGGRIS... 44 A. B. C.
KERUSUHAN TAHUN 1929 ............................................................ 44 PEMBERONTAKAN ARAB PALESTINA 1936-1939 ........................... 53 KOLABORASI DENGAN NAZI JERMAN ............................................ 69
BAB V AKHIR KEKUASAAN INGGRIS & TATANAN DUNIA BARU.. 74 A. B. C.
PEMBAGIAN PALESTINA & BERDIRINYA ISRAEL ............................ 74
PERANG ARAB-ISRAEL 1948 ......................................................... 88 PENGAMBILALIHAN HAK-HAK PALESTINA OLEH NEGARA ARAB TETANGGA ............................................................................................. 95
ix
BAB VI
KESIMPULAN .................................................................................. 99
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 102 LAMPIRAN & GAMBAR-GAMBAR ............................................................ 115
x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak tahun 1517 hingga 1917, Palestina dikuasai oleh Turki Usmani yang menempatkan Wilayah Palestina yang Mencakup Muttasharifate Jerusalem (Kudüs-i Şerif Mutasarrıflığı) dan Kota Kota di Sekitarnya seperti Jaffa,Hebron & Betlehem ke dalam Wilayah Provinsi Syria (Vilayet Syria) 1 Saat itu kekuatan militer Turki Utsmani sangatlah lemah sehingga tidak berminat ikut serta dalam konflik militer apapun. Namun Sultan Utsmani saat itu, Mehmed V Reşad tidak lebih dari boneka menggantikan Abdülhamid II, yang digulingkan pada tahun 1908 dan digantikan dengan pemerintahan militer yang dipimpin oleh Enver Pasha dan Talat Pasha. Akhirnya, Pada tanggal 22 Juli 1914, Turki Usmani mengajukan tawaran Aliansi kepada Jerman. Wilhelm II, German Emperor & King of Prussia menerima tawaran itu pada tanggal 2 Agustus 1914. Maka Turki Usmani resmi bergabung dengan Blok Sentral.2 Salah satu strategi Inggris melawan Aliansi German-Usmani adalah mengajak Bangsa Arab untuk melawan Usmani. Mereka menemukan pembantu yang siap dan bersedia melakukan hal itu di Hijaz, yaitu Sharif Hussein bin Ali, yakni Emir dari Mekkah yang menandatangani perjanjian dengan pemerintah Inggris untuk memberontak melawan Imperium Utsmani.Pada tahun 1915 mereka
1
Dror Zeevi, An Ottoman century : the district of Jerusalem in the 1600s, (Albany: State University of New York Press, 1996), h. 121. 2 H.S.W Corrigan, “German-Turkish Relations and the Outbreak of War in 1914: ReAssessment”, Past and Present, Vol. 0, h.144-152
1
melakukan korespondensi yang membahas tentang rencana yang akan dilakukan Inggris terhadap wilayah Arab yang dulu dikuasai oleh Usmani.3 Inggris berjanji kepadanya bahwa setelah perang, dia akan diberi kerajaan Arab tersendiri yang akan mencakup seluruh Semenanjung Arab, termasuk Syria dan Irak. Surat-surat di mana kedua belah pihak menegosiasikan dan membahas pemberontakan ini dikenal sebagai Korespondensi McMahon – Hussein, saat Sharif Hussein berkomunikasi dengan Komisaris Tinggi Inggris di Mesir, Sir Henry McMahon.4 Perang Dunia Pertama pun pecah, Pada pertempuran di dekat Terusan Suez pada Tahun 1915 dan 1916, pasukan gabungan Turki-Jerman berhasil dikalahkan dalam pertempuran di Desa Romani oleh pasukan dari Divisi Infanteri daratan ke 52. Setelah kemenangan ini, Inggris semakin maju melintasi Gurun Sinai, mendorong pasukan Usmani pada Pertempuran Rafah di perbatasan Gurun Sinai dan masuk ke Palestina pada bulan januari 1917.5 Sementara itu di Semenanjung Arabia, Pemberontakan melawan Turki Usmani atau yang disebut dengan “Great Arab Revolt” dimulai pada bulan Juni 1916, dipimpin oleh Sharif Hussein dari Makah dan dibantu oleh T.E. Lawrence dari Pasukan Inggris. Pasukan Ekpedisi Mesir yang dipimpin oleh Edmund Allenby, merebut Jerusalem pada tanggal 9 Desember 1917 dan menduduki
3
Randall Baker, King Hussain & Kingdom of Hejaz. (Cambridge : Oleander Press, t.t.),h.64-65 4 Hussein-McMahon Correspondence, dari Jewish Virtual Library. 5 David Fromkin. A peace to end all peace : the fall of the ottoman empire and the creation of modern middle east, (New York : Owl Books, t.t.), h.119
2
seluruh Syria menyusul kekalahan pasukan Turki di Palestina pada Pertempuran Megiddo pada bulan September 1918.6 Sebelum Revolusi Arab dimulai dan bahkan sebelum Sharif Hussein bisa menciptakan kerajaan Arabnya, Inggris dan Perancis sudah punya rencana lain. Pada musim dingin tahun 1915-1916, dua orang diplomat, Sir Mark Sykes dari Inggris dan François Georges Pycot dari Perancis diam-diam bertemu untuk memutuskan nasib dunia Arab pasca Utsmani7. Menurut Perjanjian Sykes-Picot, Inggris dan Perancis sepakat untuk membagi dunia Arab diantara mereka berdua. Prancis mendapat wilayah Levant sedangkan Inggris memperoleh Vilayet Iraq, Transjordan dan Palestina. Perjanjian ini jelas bertentangan dengan janji Inggris yang dibuat bagi Sherif Hussein. Namun, hal ini tidak menjadi satu-satunya yang bersifat kontradiktif yang dibuat oleh Inggris.8 Inggris menyatakan bahwa semua wilayah yang akan dikembalikan tidak termasuk Palestina. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa wilayah yang bukan murni Arab (Cannot be said to be purely Arab) tidak termasuk dalam perjanjian itu. Inggris menganggap bahwa penduduk Palestina bukanlah murni Bangsa Arab. Pada tahun 1918 perang berakhir dengan kemenangan Sekutu yang segera menghancurkan Turki Usmani lewat Perjanjian Sevres, bersamaan dengan itu Wilayah Timur Tengah dibagi-bagi oleh Sekutu yaitu Prancis dan Inggris yang sejak awal sudah merencanakannya.
6
Howard Sachar . The emergence of middle east 1914-1924,(Westminstter : The Penguin Press, 1969),h.122-138 7 Sykes-Picott Agreement, Avalon Project 8 Matthew Hughes, Allenby & British Strategy in the Middle East 1917-1919,(London : Taylor & Francis,1999), h.122-124
3
Sebagai dampak langsung dari Perang Dunia I, Liga Bangsa-Bangsa (yang merupakan cikal bakal PBB) didirikan. Salah satu pekerjaannya adalah untuk memecah Provinsi-Provinsi Utsmani yang ditaklukan. Liga Bangsa-Bangsa (LBB) menyusun “mandat” bagi dunia Arab. Setiap mandat dikuasai oleh Inggris atau Perancis “sampai saat mereka mampu berdiri sendiri. ”Sesuai yang telah disepakati dalam Perjanjian Sykes-Pycott maka Inggris juga menerima wilayah Palestina. Namun, pada tahun 1917, Inggris sudah terlebih dahulu memberikan janji pada kelompok Zionis untuk mendukung berdirinya Jewish national Homeland di Palestina. Menurut Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz al Mehdawi, Inggris seperti suami yang memiliki dua isteri, di satu sisi berjanji akan memerdekakan bangsa Arab namun di sisi lain berjanji untuk mendirikan Jewish National Homeland, hal tersebut sangat kontradiktif dan sangat mungkin Inggris mendapat Mandat atas Palestina untuk mempermudah pelaksanaan janji pada kelompok Zionis9. Palestina merupakan wilayah yang amat strategis bagi kepentingan Inggris di Timur Tengah, karena bisa berperan sebagai “zona penyangga” antara koloni Inggris di Mesir dan koloni Prancis di Levant, oleh karena itu Inggris perlu menjamin berdirinya negara di wilayah itu kelak; selain itu Terusan Suez tidak akan dapat dipertahankan bila tidak menguasai Palestina, jika Terusan Suez tidak lagi dapat dipertahankan, dengan menguasai Palestina, Yordania, dan Irak, pihak Inggris tetap dapat berhubungan dengan Asia melalui Laut Tengah dan Teluk 9
Wawancara Pribadi dengan Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz al Mehdawi, Jakarta 4 Juli 2014.
4
Persia. Kelak, pipa-pipa minyak dari Irak ke Laut Tengah bisa melewati wilayah Palestina, di pelabuhan Haifa. Pada 24 April, Mandat Inggris atas Palestina dikonfirmasikan lewat Perjanjian San Remo10 dan dipimpin oleh Herbert Samuel, yang merupakan Komisaris
Besar
Inggris
untuk
Palestina
yang
pertama.
Pada
masa
kepemimpinannya, ia mengampuni Amin Al- Husayni yang dijebloskan kedalam penjara karena ikut serta dalam “Pemberontakan Festival Nabi Musa”. Setelah bebas, Al- Husayni menjadi Mufti Palestina, menggantikan Kamil Al-Husayni yang wafat. Selain itu, ia juga mendirikan Dewan Tinggi Muslim (Moslem Supreme Council) yang mengatur dan menjaga segala lembaga dan komunitas Islam di Palestina11. Herbert Samuel juga mendirikan Jewish Agency, organisasi yang serupa dengan Dewan Tinggi Muslim tapi untuk para Imigran Yahudi. Dengan keputusan tersebut maka kepentingan orang Arab Palestina maupun orang Yahudi seharusnya tercover dengan baik, namun konflik yang akan terjadi di masa mendatang di Palestina membuat Inggris gagal membentuk dua negara bagi masing masing etnis. Dari uraian di atas, ada beberapa hal yang menurut penulis menarik untuk diteliti, yaitu posisi Palestina yang strategis di Mata Inggris, namun Pemerintah Inggris masih mencoba mengikuti instruksi Liga Bangsa Bangsa untuk mempersiapkan Palestina menjadi Negara Merdeka bagi Etnis di dalamnya, yaitu rakyat Arab selaku penduduk asli dan Yahudi sebagai pendatang. Namun Akhirnya hanya Israel yang bisa berdiri sedangkan Palestina gagal.
10
Article 22, The Covenant of the League of Nations and "Mandate for Palestine," Encyclopedia Judaica, Vol. 11, hlm. 862, Keter Publishing House, Jerusalem, 1972 11 Baruch Kimmerling & Joe S Migda. The Palestinian People. (Massachusets : Harvard University Press,2003), h.86
5
Dipilihnya Palestina sebagai Objek Kajian dikarenakan Palestina nota bene sebagai tempat yang sangat penting baik secara praktis maupun simbolis. Dari zaman ke zaman, puluhan imperium memperebutkan Palestina dan kota suci di dalamnya demi tujuan indroktinasi agama maupun legitimasi Kekuasaan. Adapun dipilihnya Mandat Inggris sebagai Objek Kajian, karena Penulis memiliki akses terhadap Sumber Sumber Tertulis terutama Arsip dalam bahasa Inggris mengenai Kebijakan Inggris di Palestina dan Reaksi Perlawanan Bangsa Arab. Selain itu, dari Sumber Sumber Tertulis, penulis menelaah bahwasanya Periode Mandat Inggris merupakan awal dan akar kegagalan Palestina Menjadi Negara Merdeka yang menyebabkan konflik berkepanjangan hingga hari ini. B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Dari Penelaahan diatas, penulis menemukan bahwa kegagalan Palestina untuk mendirikan negara merdeka sesuai dengan tujuan Mandat Inggris (1920-1948) disebabkan karena kesalahan strategi Bangsa Arab Palestina, perbuatan kelompok Zionis Yahudi yang datang sebagai imigran dan campur tangan Negara Arab tetangga. Hal
tersebut masih kita temukan sampai saat ini. Jadi, Penulis
menganggap hal itu masih merupakan hal yang aktual dan menarik untuk dibahas. 2. Pembatasan Masalah Sesuai dengan tema dan studi yang dipilih, penulis merasa perlu untuk memberikan batasan kajian dan merumuskan terlebih dahulu masalah yang akan dibahas agar arah, tujuan dan sasaran yang hendak disampaikan akan lebih jelas dan terarah.Hal ini untuk menjaga agar tulisan tetap fokus pada permasalahan dan juga untuk menghindari bias pada hasil yang akan di sajikan. Dengan demikian
6
penelitian ini difokuskan pada Wilayah Palestina pada Masa kekuasaan Inggris pada tahun 1920-1948, dari awal kedatangan Inggris di Palestina hingga tahun 1948, yaitu masa berakhirnya kekuasaan Inggris dan berdirinya negara Israel serta pembagian wilayah Palestina oleh Mesir serta Jordania. Adapun dalam Objek penelitian tersebut Mencakup juga kebijakan Inggris dan respon rakyat Palestina, peran Zionis Yahudi serta Fakor Faktor yang menyebabkan Kegagalan Bangsa Arab. 3. Rumusan Masalah Masalah pokok dalam penelitian ini adalah, Mengapa Palestina gagal menjadi negara merdeka ? Adapun sub masalahnya sebagai berikut: 1. Bagaimana peran Pemerintah Inggris Inggris, Zionis Yahudi dan Bangsa Palestina dalam kegagalan tersebut ? 2. Apa saja faktor faktor yang menyebabkan kegagalan Palestina dalam mendirikan negara nerdeka ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Dengan sejumlah permasalahan di atas, tujuan skripsi ini ingin menjelaskan kenapa Palestina gagal menjadi negara merdeka lewat sumbersumber tertulis. Karena pada dasarnya, Sejarah selalu akan menyajikan manfaat atau akan memberikan pencerahan yang positif bagi pembaca sejarah pada masa kini dan pada masa mendatang, maka manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Secara edukatif, Dapat memberikan pelajaran bagi Penduduk Arab Palestina pada khususnya dan bangsa Arab diluar Palestina pada umumnya bahwa
7
Persatuan demi mencapai tujuan bersama, dan percenaaan yang matang jauh lebih penting dibanding sikap Tribal-Sentris. 2. Sebagai cermin bagi Bangsa-Bangsa lain, Bahwa untuk mencapai suatu tujuan yang mulia seperti mendirikan sebuah negara atau mempertahankan eksistensi suatu negara, perlu rasa kebersamaan yang kuat, cita cita yang telah lama berakar, dan rasa solidaritas senasib sepenanggungan. D. Kajian Pendahuluan Adapun Buku buku yang dijadikan sebagai acuan data dalam studi ini, adalah : 1. Motti Goulani, The End of the British Mandate for Palestine, 1948: The Diary of Sir Henry Gurney. Buku harian yang ditulis ulang, menceritakan mengenai Kekuasaan Inggris di Palestina pada hari-hari terakhir, dilihat dari sudut pandang Pejabat Inggris. Untuk mengetahui kenapa Palestina gagal mendirikan Negara merdeka, Buku ini merupakan sumber yang perlu diutamakan. 2. Mandated Landscape: British Imperial Rule in Palestine 1929-1948 karangan Roza el Alini, seorang Peneliti Asli dari palestina. Buku ini dipilih agar penulis tidak teralu bias berpatok pada sumber dari satu pihak saja. Buku ini sangat kaya akan Ilustrasi , Peta dan Data serta menjelaskan aspek penting bahwa mengurus Palestina dengan Baik adalah Tanggung Jawab Pemerintah Inggris. Dan bahwa orang Kulit Putih memiliki beban moral untuk memajukan bangsa yang tak mau, dengan kata lain, buku ini Pro-Inggris.
8
3. Rashid Khalidi, Iron Cage : Palestinian Struggle for Statehood. Adalah Sumber utama yang membahas mengenai Perjuangan Bangsa Palestina pada masa kekuasaan Inggris sampai perang Arab-Israel 1948. Buku ini ditulis oleh seorang Aristokrat Palestina dari Keluarga Khalidi yang menetap di Amerika pasca Peristiwa Nakba. Beliau berargumen bahwa pemerintahan Inggris melakukan kesalahan dengan hanya melakukan negosiasi dengan kalangan elit Palestina, bukannya dengan rakyat kebanyakan. Penulis memilih tak menggunakan argument ini, karena di Indonesia sekalipun, kolonialis Asing memilih bernegosiasi dengan para elit seperti Mohammad Hatta atau Sutan Sjahrir. Argument penulis yang menurut peneliti sejalan dengan kesimpulan akhir dalam studi ini adalah mengenai pemberontakan Palestina 1936-1939 yang disebut oleh Penulis merupakan tindakan yang teralu dini dan membuat hilangnya momentum yang berharga untuk memerdekakan diri. 4. Ghassan Kanafani, The 1936-1939 Revolt in Palestine. Penulis adalah seorang Pemikir Marxis asal palestina, sealiran dengan Gilbert Achcar dari Lebanon. Ia berargumen bahwa penyebab kegagalan perjuangan Palestina bukan hanya karena Pemerintah Inggris maupun Zionis Yahudi sebagai factor eksternal, namun juga karena rakyat Palestina dieksploitasi oleh elitelitnya yang berasal dari golongan borjuis.
E. Metode & Pendekatan Penelitian 1. Pendekatan Penelitian
9
Menurut Sartono Kartodirdjo penggambaran kita mengenai suatu peristiwa sangat tergantung pada pendekatan, ialah dari segi mana kita memandangnya, dimensi mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkan, dan lain sebagainya12 Mengingat penjelasan dari Sartono Kartodirdjo tersebut, maka peneliti memutuskan untuk menggunakan Pendekatan Politik dalam Studi ini. Pendekatan politik adalah sebuah pendekatan yang bertujuan untuk mengetahui bermacam-macam kegiatan dalam sebuah sistem negara maupun politik.Menurut Sartono Kartodirdjo, pendekatan politik adalah suatu pendekatan yang mengarah pada struktur kekuasaan, jenis kepemimpinan, hierarki sosial, pertentangan politik adalah pendekatan dan lain sebagainya. Pendekatan ini digunakan dalam kajian Kepemimpinan dan perpecahan Fraksi di Tubuh Palestina yang bertentangan dengan sistem Mandat yang berusaha memenuhi Tanggung Jawabnya menciptakan Negara Bagi Kedua Bangsa tersebut. 2. Metode Penelitian Metode Penelitian Sejarah yang penulis gunakan adalah metode analisis – deskriptif. Metode ini merupakan proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau yang berupa teks tertulis. Lalu, poin-poin penting yang telah dianalisa, kemudian ditulis atau dipaparkan sesuai dengan bentuk, kejadian, suasana danmasa berlangsungnya topik peneltian sejarah yang berkaitan.13
12
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), h.4. 13 Louis Gottschalk. Mengerti Sejarah. Penerjemah Nugroho Notosusanto. (Jakarta: UI Press.1983), h. 3.
10
Dalam Metode Penelitian Sejarah terdapat tahapan-tahapan yang biasanya dilakukan oleh peneliti sejarah14 dan penulis juga mengikuti prosedur yang telah ada. Adapun, tahap-tahap yang penulis gunakan untuk penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Heuristik atau teknik mencari, mengumpulkan data atau sumber (dokumen).15 Maka dalam hal ini, penulis mengumpulkan data-data sebagai bahan penulisan dan melakukan penelitian (Library Research) dengan merujuk kepada sumbersumber yang berhubungan dengan tema dalam skripsi ini,. Dalam hal ini penulis mengunjungi beberapa perpustakaan seperti Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Adab dan Humaniora, Perpustakaan Universitas Indonesia dan juga Internet sebagai sumber rujukan online. Penulis juga melakukan wawancara Pribadi dan makan malam dengan Duta Besar Indonesia untuk Palestina. 2. Tahap selanjutnya verifikasi atau kritik sumber, dimana semua sumber telah terkumpul dengan baik berupa buku, maupun Arsip, penulis melakukan kritik dan uji terhadapnya. Dimaksudkan untuk mengidentifikasi keabsahan tentang keaslian sumber (otentisitas) yang dilakukan melalui kritik ekstern, dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas) yang di telusuri melalui kritik intern. Disini, penulis memisahkan antara arsip berupa memorandum, surat dan perjanjian yang dibuat oleh elit Palestina pada masa itu yang bisa dikategorikan sebagai sumber primer, lalu arsip perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah Inggris berkaitan dengan masalah Palestina yang juga bisa
14
Saefur Rochmat, Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h. 147. Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), h.27
15
11
dikategorikan sumber primer, lalu sumber sumber yang ditulis oleh penulis Palestina dan yang ditulis oleh orang Yahudi dan orientalis barat. 3. Identifikasi atau penafsiran sejarah (analisis sejarah), yaitu mencoba menguraikan sebab dan akibat kejadian tersebut. Karena itu, data-data yang sudah terkumpul dilakukan metode kritik sumber. Biasanya masih berbedabeda dalam isinya. Oleh sebab itu, dalam teknik interpretasi ini, diharapkan penulis mampu menemukan berbagai faktor penyebab. Penulis berargumen, untuk menemukan sebab-sebab kegagalan dalam perjuangan yang dilakukan suatu masyarakat, ada baiknya apabila melihat dari sudut pandang eksternal. Karena, masyarakat di dalam suatu lingkungan memiliki kecenderungan untuk membela kepentingan dirinya dalam menghadapi tekanan dari luar. Akhirnya, penulis memutuskan menyaring argument argument di sumber-sumber Palestina yang sejalan dengan permasalahan dalam skripsi ini, sisanya menggunakan sumber-sumber Barat dan sumber-sumber Yahudi. 4. Fase terakhir dalam metode ini adalah historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan atau laporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Tahap ini adalah rangkaian dari keseluruhan dari teknik metode pembahasan. Dimana semua fakta, data dan opini dari segala sumber dituangkan dalam penulisan skripsi ini. Adapun sumber pedoman yang digunakan dalam penulisan hasil penelitian ini adalah buku Pedoman penulisan karya ilmiah Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang diterbitkan oleh UIN Press, dengan harapan bahwa penulisan ini tidak hanya baik dari segi isi, tetapi juga baik dari segi metode penulisan.16 16
Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis, dan Disertasi. (Jakarta; CeQDA, 2007)
12
F. Sistematika Penulisan Skripsi ini tersusun atas lima bab dengan sistematika sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Permasalahan 1.
Identifikasi Masalah
2.
Pembatasan Masalah
3.
Perumusan Masalah
C. Tujuan dan Manfaat Studi D. Kajian Pendahuluan E. Metodologi Penelitian F. Sistematika Penulisan BAB II Negara Bangsa dan Nasionalisme Palestina A. Teori Terbentuknya Negara B. Munculnya Nasionalisme Palestina BAB III Awal Kekuasaan Inggris dan Kebijakannya A. Pembentukan Administrasi Pemerintahan Inggris B. Kebijakan mengenai Imigran Yahudi BAB IV Respon Palestina terhadap Kekuasaan Inggris A. Kerusuhan tahun 1929 B. Pemberontakan Arab Palestina 1936-1939 C. Kolaborasi dengan Nazi Jerman BAB V Akhir Kekuasaan Inggris dan Tatanan Dunia Baru
13
A. Pembagian Palestina dan Berdirinya Negara Israel B. Perang Arab-Israel 1948 C. Pengambilalihak Hak-hak Bangsa Palestina oleh Negara Arab Tetangga BAB VI Kesimpulan
14
BAB II NATION STATE & NASIONALISME PALESTINA A. Landasan Teori Jika kita membahas mengenai status Palestina sebagai Negara Merdeka, kita harus merujuk pada definisi dasarnya, apakah Negara itu ?. Secara etimologi kata Negara diterjemahkan dari kata “Staat” dalam bahasa belanda dan jerman, “State” dalam bahasa inggris dan “Etat” dalam bahasa perancis17. Dieropa katakata ini kemudian diturunkan dari kata “status” “Statum” dalam bahasa latin. Dalam sejarahnya Kaisar Romawi Ulpianus pernah menyebutkan kata statum dalam ucapannya “Publicum ius est quad statum rei Romanae Spectat”18. Menurut Jellinek kata “statum” pada waktu itu masih berarti konstitusi. Menurut MacIver, Negara adalah
Negara adalah persembatanan
(penarikan) yang bertindak lewat hukum yang direalisasikan oleh pemerintah yang dilengkapi dengan kekuasaan untuk memaksa dalam satu kehidupan yang dibatasi secara teritorial mempertegak syarat- syarat lahir yang umum dari ketertiban sosial19. Teori yang cocok untuk meninjau status Palestina adalah Teori Kekuatan, dapat diartikan bahwa Negara terbentuk karena adanya dominasi Negara kuat,melalui penjajahan . menurut teori ini, kekuatan menjadi pembenaran (Raison d‟etre) dari terbentuknya suatu Negara. Melalui proses penaklukan dan pendudukan oleh suatu kelompok (etnis) atas kelompok tertentu dimulailah proses terbentuknya sebuah negara. Dengan kata lain, terbentuknya suatu negara karena 17
F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, 1999 ,h.90 K.C. dowdall, The World State dalam Law Quarterly Review Volume XXXIX, 1923 19 MacIver, The Web of Government, (Chicago: Free Press, 1965), hal.69. 18
15
pertarungan kekuatan dimana sang pemenang memiliki kekuatan untuk membentuk sebuah negara. Teori ini berasal dari kajian antropologis ketika perang suku bahwa suku yangg menang akan menentukan kehidupan suku yang kalah. Di zaman modern ini,diwujudkan dalam penjajahan oleh Negara barat sehingga pada awal dan pertengahan abad 20 banyak Negara yg kemerdekaannya ditentukan oleh pihak penjajah. Contohnya : Jordania, Malaysia dan Brunei Darussalam20 Teori lainnya yang bisa digunakan untuk menganalisa status Palestina adalah Teori Kontrak Sosial yang dicetuskan oleh John Locke. Teori perjanjian masyarakat. Menurut teori ini negara itu timbul karena perjanjian yang dibuat antara orang-orang yang tadinya hidup bebas merdeka, terlepas satu sama lain tanpa ikatan kenegaraan. Perjanjian ini diadakan agar kepentingan bersama dapat terpelihara dan terjamin. Dapat pula terjadi suatu perjanjian antara penjajah dan daerah jajahan, misalnya : Kemerdekaan Syria dan Jordania21 Teori diatas diperkuat oleh pernyataan Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz al Mehdawi yang menyatakan : “Masalah Palestina adalah Perjuangan melawan Kolonialisme, bukan perjuangan agama”22 Namun Permasalahannnya disini, Palestina merupakan kasus yang unik karena merupakan satu-satunya
Negara di
dunia
yang tidak berhasil
memerdekakan diri pasca dekolonisasi oleh pihak Kolonial, disinilah penulis ingin mencari dimana letak kesalahn itu.
20
A Ubaidillah dkk. Pendidikan Kewargaan : Demokrasi, Hak Azazi Manusia & Masyarakat Madani. (Jakarta : ICCE, 2010). Hlm.89 21 John Locke, Two Treatises of Government, New Edition, (London: Everyman, 1993), hal. 9. 22 Wawancara Pribadi dengan Duta Besar Palestina, Fariz al Mehdawi, Jakarta 4 Juli 2014.
16
B. Munculnya Nasionalisme Palestina Menurut
Muhammad
Muslih23,
kebangkitan
Nasionalisme
Arab
bertendensi kepada peran sentral gerakan Zionisme, yaitu adanya faktor aksi dari bangsa pendatang dan reaksi dari bangsa yang lebih dahulu tinggal disana. Hal itu juga menjadi salah satu faktor internal bangsa Arab dalam memunculkan Nasionalisme ke permukaan. Dalam kasus ini, para pemikir Nasionalis arab yang mengembangkan paham Nasionalisme baik itu yang bersifat local (Watoniyah) seperti Izzad Darwaza atau Pan Arabisme (Qowmiyah) seperti Shakib Arslan dan Abdurrahman
al-Kawakibi,
sama-sama
mengangkat
kontradiksi
antara
imperialisme Eropa dan kebangkitan bangsa Arab. Mereka selalu melihat dari sudut kebangkitan kekuatan baru di Timur wilayah Suez pasca runtuhnya Turki Usmani sebagai dampak dari perselisihan kekuatan-kekuatan asing. Disisi lain kebanyakan penulis Yahudi melihat Palestina dari sisi kewilayahan dimana politik Palestina itu berkembang24. Entitas politik yang menuntut kemerdekaan diwilayah sebelah timur Terusan Suez pasca Perang Dunia Pertama, ibarat tanaman merambat yang menyeruak diantara reruntuhan Turki Usmani. Setelah kekalahan Turki Usmani, kekuatan pusat didunia Islam digantikan oleh Dinasti-dinasti lokal. Maka dari itu Nasionalisme lokal mulai mengakar di Palestina, Syria dan Irak25. Namun untuk membedah mengenai Nasionalisme Palestina kita harus merujuk pada Sejarah Palestina yang lalu. Tanah Palestina memiliki sejarah yang
23
Muhammad Muslih adalah Dosen Jurusan Sastra & Bahasa Timur Tengah di Universitas Columbia, New York 24 Muhammad Muslih. “Arab Politics &Rise of Palestinian Nationalism”. Journal of Palestinie Studies.Vol.16, no.4 (Summer 1987). h.77-94 25 Muhammad Muslih. “Arab Politics & Rise of Palestinian Nationalism”. Journal of Palestinie Studies.Vol.16, no.4 (Summer 1987). h.77-94
17
sangat panjang. Wilayah ini merupakan tempat asal semua keturunan Ibrahim, kakek moyang ketiga agama samawi yaitu Kristen, Yahudi, dan Islam. Nama klasik yang terkenal untuk sebutan negeri ini adalah “Tanah Kanaan”, karena yang pertama kali bermukim di sini adalah Bangsa Kanaan yang termasuk rumpun Bangsa Semit26. Nama Palestina sendiri berasal dari kata „Peleset‟,pertama kali digunakan oleh Bangsa Mesir untuk menyebut Sea People, sekelompok Suku Petarung Liar yang menyerbu Mesir pada akhir Zaman Perunggu. Sebenarnya mereka adalah Keturunan Bangsa Luwian, yang termasuk Rumpun Indo-Eropa dan berasal dari Anatolia. Namun mereka bermigrasi ke wilayah-wilayah pesisir seperti Gaza dan Ashkelon, lalu berasimilasi dengan orang-orang Kanaan. Kemudian Penduduk Kanaan menamai negeri mereka dengan sebutan „Filistin‟, ejaan Kanaan dari nama Peleset.27 Tahun 1020 Sebelum Masehi, Bangsa Semit Yahudi menjadi semakit kuat dan menggeser posisi Bangsa Filistin dengan berdirinya Kerajaan Israel dibawah kepemimpinan Saul, lalu dilanjutkan oleh David dan, Solomon. Selanjutnya, Kerajaan itu pecah menjadi Kerajaan Yehuda di Selatan dengan Ibukota Jerussalem dibawah Kepemimpinan Rehabeam dan Kerajaan Israel di Utara dengan
Ibukotanya
yaitu Samaria,
dibawah kepemimpinan Jeroboam.28
Bangsa Yahudi disingkirkan setelah Neo-Assyrian Empire yang juga berasal dari rumpun Bangsa Semit menyerang Israel, pemimpin Neo-Assyrian
26
Michael Coogan, Stories from Ancient Canaan. (Philadelphia : John Knox press,1978),
h.10 27
Abraham Malamat, Egyptian Decline in Canaan & The Sea Peoples:The Period of the Judges. (New Brunswick : Rutgers University Press, 1971), h.24 28 Joanes Poloner. John Poloner‟s Description of the Holy Land.(London : Palestine Pilgrims' Text Society, 1894),h.18
18
Empire yang terkenal kejam adalah Tighlath Pletser III dan Sargon II.Pada masa kekuasaan Assyria. Bahasa Aramaik dan Assyrian menjadi bahasa percakapan sehari-hari
di wilayah ini. Nama Filistin sebagai nama wilayah digunakan
kembali oleh Penguasa Assyria dengan ejaan Palashtu atau Pilistu.29 Nama Palestina kemudian menjadi populer pada abad ke 5 Sebelum Masehi berkat Bangsa Yunani, lewat tulisan-tulisan Herdotus. Ia menyebut wilayah dari Pegunungan Yudea dan Lembah Sungai Jordan sebagai “Palaistina”30. Pada tahun 63 SM, Pompey atau yang sering disebut Pompius menaklukan Tanah Israel dan menamai Israel sebagai Roman Iudaea. Tahun 135 Masehi, Pemimpin masyarakat Yahudi yang bernama Simon Bar Kokchba melakukan pemberontakan melawan Romawi. Emperor Hadrian mengirimkan Julius Sevenus dan sejumlah besar Legiun untuk memadamkan pemberontakan serta menaklukan Jerussalem. Pada saat itu, bangsa Yahudi kalah dan dibuatlah peraturan yang melarang mereka masuk ke kota apapun alasannya31. Setelah pemberontakan, Emperor Hadrian mengubah nama Jerussalem menjadi Aelia Capitolina. Tempat peribadatan Yahudi, Haikal Solomon, diganti dengan Kuil Jupiter, lambang supremasi Roma. Mulai saat itu bangsa Yahudi tersebar ke luar Palestina. Namun, ada sebagian komunitas kecil yang tetap
29
Simo Parpola. “National & Ethnic Identity in Neo-Assyrian Empire & Assyrian identity of Post-Empire Times”.University of Helsinki.Paper for the International Symposium “Ethnicity in Ancient Mesopotamia‟”, Leiden,2002. Journal of Assyrian Academic Society, h.8 30 Pierre Henry Larcher. Larcher's Notes on Herodotus: Historical and Critical Remarks on the Nine Books of the History of Herodotus, with a Chronological Table, Volume 1. (Charleston :Nabu Press,2006), h.427 31 Peter Schäfer. Bar Kokhba War : New Perspectif of Second Jewish Revolt Against the Roman Empire. (Tübingen : Mohr Siebeck,2003),h. 153
19
bertahan di sana32. Emperor Hadrian juga menghapus nama Israel maupun Yudea, lalu diganti menjadi Provincia Syria-Palaestina; Pemilihan nama yang bersumber dari bahasa Yunani itu disebabkan karena Bangsa Romawi banyak menyerap budaya serta kearifan Yunani33. Sesudah masa itu, pengaruh agama Kristen yang berasal dari Palestina masuk ke Roma. Pada masa Emperor Constantine, agama Kristen menjadi agama Resmi Negara; kemudian agama tersebut disebarkan kembali ke daerah asalnya yaitu Palestina. Pasca pembagian Romawi tahun 395, Palestina berada dalam kekuasaan Kekaisaran Romawi Timur atau yang disebut juga Kekaisaran Byzantium, dimana Bahasa Yunani merupakan Bahasa Resmi Negara. Provinsi Syria-Palaestina dirombak kembali susunannya : 1) Provinsi Palaestina Prima, yang mencakup Ibukota Jerussalem,Tepi Barat & Laut Mati juga Jalur Gaza; 2) Provinsi Palaestina Secunda, mencakup sekitar Danau Tiberias di Utara; 3) Provinsi Palaestina Salutaris, mencakup sisi Timur Sungai Jordan & Semenanjung Sinai34 Tahun 611 M, Khoesraw II, Penguasa Kekaisaran Sassanid Persia membangun aliansi dengan rakyat Yahudi yang terusir untuk menyerang Palestina. Palestina kemudian dibentuk menjadi Persian-Jewish Commonwealth, Jerussalem berhasil direbut. Gereja Holy Sepulchre dihancurkan dan hartanya dibawa ke Persia, sedangkan para uskupnya ditahan35.Pada Tahun 628 M,
32
Fergus Millar.”Tranformation of Judaism under Greco-Roman Rule : Response to Seth Schwartz‟s „Imperialism & Jewish Society”. Oriental Institute Oxford.Journal of Jewish Studies.Vol.53, no.1 (Spring 2006). h144 33 Benjamin Isaac & Yuval Shahar. Judaea Paleastina , Babylon & Rome : Jews in Antiquity. (Tübingen : Mohr Siebeck,2012), h. 181 34 James Clarcke. Writers on Palestine. h.245 35 Ben Abrahamson & Joseph Katz.The Persian Conquest of Jerussalem, Compared with MuslimConquest,http://www.alsadiqin.org/history/The%20Persian%20conquest%20of%20Jerusal
20
Emperor Heracleus dari Byzantium menaklukan kembali teritorial tersebut. Sayangnya, Kekuasaan Byzantium di Palestina tidak berlangsung lama. Sepuluh tahun kemudian, tentara Arab Muslim berhasil
menguasai
wilayah Palestina. Mereka mengeja nama “Palaestina” sebagai “Filastin” untuk wilayah tersebut. Bahasa Yunani & Aramaik yang sebelumnya merupakan Lingua Franca (bahasa percakapan sehari-hari) di seluruh Levant (Syria Raya) digantikan oleh Bahasa Arab secara berangsur-angsur. Ketika Palestina masuk di bawah kekuasaan pemerintahan Islam pada masa kekhalifahan Bani Umayah (661–750), Provinsi Palaestina Prima dirubah menjadi Distrik Militer (jund), bernama Jund al-Filastin dan menjadi salah satu wilayah dari Provinsi Bilad ash-Sham (Syria Raya). Jundal-Filastin membentang dari Gurun Sinai hingga dataran rendah Acre, termasuk di dalamnya Kota Rafah, Caesarea, Gaza, Jaffa, Nablus dan Jericho; sedangkan Ibukota distrik ini adalah Ramalah. Provinsi Palaestina Secunda juga dirubah menjadi Distrik Militer bernama Jund al-Urdunn mencakup wilayah Utara & Timur dari Jund alFilastin, termasuk diantaranya Kota Beit She‟an and Tiberias36. Selanjutnya Palestina berkembang menjadi wilayah yang otonom pada masa kekhalifahan Abbasiyah, yaitu setelah masa pemerintahan Abu Abbas al Saffah dengan Ramalah tetap menjadi sentral pemerintahan. Seiring dengan melemahnya pemerintahan pusat Abbasiyah, Palestina dikuasai oleh sejumlah
em%20in%20614CE%20compared%20with%20Islamic%20conquest%20of%20638CE.pdf, diakses pada hari jumat tanggal 4 April 2014 36 Gudrun Krämer, A History of Palestine: From the Ottoman Conquest to the Founding of the State of Israel. (New Jersey : Princeton University Press,2008), h.15
21
dinasti lokal yang semakin menguat seperti Ikhsidiyah, Tuluniyah, dan akhirnya Palestina jatuh ke tangan Kekhalifahan Syi‟ah Fatimiyah pada tahun 96837. Pada masa Perang Salib, Palestina pernah jatuh ke tangan tentara Kristen. Mereka berkeinginan untuk kembali menguasai Palestina, terutama Kota Suci Jerusalem. Pada Konsili Clermont, Paus Urbanus II meneriakkan “Deus Veult, Deus Veult !!” (Tuhan Menghendaki). Urbanus II menjanjikan bahwa siapapun yang ikut serta dalam peperangan ini akan langsung masuk surga atau setidaknya memperpendek waktu di Api Neraka (Flame of Purgatory)38. Provokasi Paus tersebut menjadi sangat efektif pada para bangsawan Eropa yang berkeinginan untuk menebus dosa dengan berperang melawan kaum “kafir”, juga karena tergiur harta rampasan perang yang akan didapatkan. Mengikuti ajakan Paus Urbanus, pada musim panas tahun 1097 sekitar 150.000 Ksatria dari Inggris, Prancis dan Holy Roman Empire berkumpul di Konstantinopel. Pasukan ini berhasil menaklukan Palestina pada tahun 109939. Setelah Penaklukan, Godfrey de Bouillon dari Lothringen Hilir selaku Panglima Perang diangkat sebagai Pelindung Makam Suci (Advocatus Santci Sepulchri)40, lalu ia beserta para Ksatria Salib (Crusader) menciptakan 4 Kerajaan Kristen di wilayah Palestina dan Syria yakni : Kingdom of Jerussalem, County of Edessa, Principality of Antioch dan County of Tripoli. Wilayah wilayah itu
37
Moshe Gil. History of Palestine : 634-1099. (Cambridge : Cambridge University Press.1997), h.306-310 38 Ratna Rengganis. Sosok di balik Perang. (Jakarta : Raih Asa Sukses,2013), h.146 39 Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari masa Klasik hingga Modern.(Yogyakarta : Lesfi,2010), h.116 40 Tim Abdi Tandur. Lagi-Lagi tentang Keajaiban-Keajaiaban Dunia. (Jakarta : Tim Abdi Tandur,2003), h.69
22
dikenal sebagai Outremer, dari bahasa Prancis yang artinya „tanah sebrang daratan‟, sebab mereka terletak di sebrang Laut Mediterania41. Setelah Jerussalem jatuh ke tangan Salahuddin al-Ayyubi pada tahun 1187, ibukota Kingdom of Jerussalem dipindahkan ke Acre. Pada akhir abad ke 13, Outremer kehilangan sejumlah wilayah, termasuk Caesarea, Apollonia, Antioch dan Tripoli karena direbut oleh sultan sultan Dinasti Mamluk Mesir. Perlawanan terakhir Kristen adalah di Acre pada tahun 1291. Ksatria dari Orde Hospitaller, Guillaume de Clermont mempertahankan benteng kota Acre yang mulai runtuh dengan sekuat tenaga; namun ia dan pasukannya dikalahkan oleh Sultan Khalil sehingga terpaksa menyerahkan Acre beserta kota kota lainnya, seperti Beirut, Haifa dan Tyre yang menandai akhir dari Kekuasaan Outremer di Palestina42. Kekuasaan Dinasti Mamluk atas Palestine berakhir pada tahun 1517. Pada tahun 1517 ini, Turki Usmani dibawah pimpinan Sultan Selim I memperluas wilayahnya ke Timur Tengah dan mencaplok Hejaz, Irak serta Palestina. Wilayah Palestina digabungkan dengan Vilayet Syria dan nama Palestina pun tak pernah terdengar lagi sampai runtuhnya Turki Usmani pada abad ke 2043 Sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya kelompok masyarakat di dalam wilayah Palestina, serta pengalaman beratus tahun dari masyarakat disana yang harus menyaksikan tanah airnya menjadi ajang perebutan dominasi bangsabangsa asing, menginspirasi bangsa Palestina untuk lebih memiliki rasa cinta
41
Raana Bookhari & Mohammad Seddon.Ensiklopedia Islam. (Jakarta : Penerbit Erlangga,2010),h.85 42 Raana Bookhari & Mohammad Seddon.Ensiklopedia Islam. h.87 43 Hasan bin Talal. Tentang Jerussalem. (Jakarta : Incultura Foundation,1980),h.19
23
pada tanah airnya. Hal ini menjadi salah satu dasar terbentuknya nasionalisme bangsa Palestina. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, nama Palestina (Bahasa Arab : Falastin) menghilang selama 400 tahun kekuasaan Turki Usmani di Timur Tengah yang menempatkan wilayah Palestina yang mencakup Muttasharifate Jerusalem (Kudüs-i Şerif Mutasarrıflığı) dan Kota-kota di sekitarnya seperti Jaffa, Hebron & Betlehem ke dalam wilayah Provinsi Syria (Vilayet Syria)44. Penduduk Arab yang tinggal di wilayah tersebut masih mengidentifikasi dirinya sebagai orang Syria. Akibat Perang Dunia I, Syria mengalami kehancuran. Para Petani meninggalkan rumah mereka untuk menghindari pertempuran antara tentara Turki dan tentara Inggris sehingga pertanian menjadi tidak terurus. Ribuan orang membanjiri Damaskus untuk mencari pekerjaan. Secara ekonomi, Syria mengalami resesi. Perang ini menggangu export kapas, wol dan gandum. Situasi ekonomi dan Sosial yang kacau ini membuat munculnya seorang tokoh yang berencana mengambil kendali atas wilayah ini, yaitu Faisal bin Husein, putera ketiga dari Sharif
Husein bin Ali, yang pernah berperang bersama Inggris
melawan Turki Usmani45. Pada Tahun 1918, Faisal pindah ke Damaskus dimana dengan cepat ia mendulang popularitas dari wilayah tersebut. Ia bercita-cita mendirikan Negara Syria Raya yang mencakup wilayah Syria, Palestina, Lebanon,dan Yordania46.
44
Dror Zeevi. An Ottoman century : the district of Jerusalem in the 1600s, (Albany: State University of New York Press, 1996), h. 121. 45 Ernst Dawn. “The Rise of Arabism in Syria”. Middle East Journal, vol.16 no.2 (Spring 1962), h.145-168 46 Nur. Masalha, "Faisal's Pan-Arabism, 1921–33". Middle Eastern Studies .(Oct., 1991).h.679–693.
24
Ambisi Faisal tersebut mungkin dipengaruhi oleh ayahandanya yang juga berambisi mendirikan Kekhalifahan Arab di Timur Tengah. Perlu dicatat, Kelompok Nasionalis Arab di Syria memberikan dukungan bukan karena loyalitas pada sosok Faisal, melainkan karena para anggota kelompok Nasionalis ini tahu bahwa pihak Inggris mendukung keluarga Hasyimiah47 dan akan mendukung apabila Faisal yang merupakan salah satu anggota keluarga itu menjadi kepala Negara. Malangnya bagi kelompok Nasionalis Arab di Syria, wilayah tersebut berada dibawah kekuasaan dan pengaruh Perancis, sedangkan pemerintahan Perancis tidak memiliki hubungan apapun dengan keluarga Hasyimiah apalagi memperhatikan keinginan bangsa Arab untuk mendirikan suatu Negara. Tidak seperti kelompok Arab Nasionalis lainnya, Faisal tidak menentang keberadaan Bangsa-bangsa Eropa di Timur Tengah. Alasannya sederhana saja, bangsa Arab saat itu tidak memiliki kekuatan militer dan finansial yang memadai untuk dapat menentang pengaruh Inggris dan Perancis. Mayoritas Nasionalis Arab, menentang cara-cara yang digunakan Faisal untuk berkompromi dengan pihak Eropa demi mewujudkan cita-citanya mendirikan Negara Syria Raya. Kelompok Nasionalis seperti Jam‟iyyat Al Fatat al-Arabiyyah (Young Arab Society) yang didirikan oleh Izzat Darwaza, meyakini bahwa bangsa Arab bisa mengalahkan bangsa Inggris dan Perancis dalam perang. Kelompok yang lebih
47
Keluarga Hasyimiyah adalah keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW dari Bani Hasyim melalui Sayidina Hasan, putra pertama Sayidina Ali bin Abi Thalib dengan Sayidah Fatimah binti Muhammad saw. Anggota keluarga ini adalah Sharif Hussein bin Ali dari Mekkah dan kedua putranya, Faisal dan Abdullah. Dikutip dari Clifford Edmund Bosworth,. The New Islamic Dynasties. (Edinburgh : Edinburgh University Press,1996),h.53
25
ekstrim seperti Jam‟iyyat Al Ahad (The Covenant Society) juga ikut menentang Faisal. Tahun 1919 ketika Syria berada dibawah Mandat Perancis, Faisal mengadakan Konggres Nasional Syria di Damaskus. Jendral Inggris Edmund Allenby yang menaklukkan Jerusalem pada tahun 1919 mengingatkan Faisal bahwa konggres tersebut akan memancing kemarahan pihak Perancis. Walaupun sudah diberi peringatan, Faisal tetap mengadakan konggres tersebut pada bulan Juni. 1919. Tiga fraksi politik Syria yang mendominasi Konggres adalah yang pertama, Jam‟iyyat Al Fatat al-Arabiyyah (Young Arab Society) yang menentang system Mandat Liga Bangsa-Bangsa dan memandang Inggris
dan Perancis
sebagai penjajah yang ingin merampas kemerdekaan bangsa Arab; kedua, para loyalis Faisal yang menentang Mandat Perancis dan lebih menyukai Mandat Inggris; ketiga, pihak Nasionalis Arab yang menginginkan Amerika Serikat juga memiliki mandat atas Syria, karena tertarik pada konsep Presiden Woodrow Wilson mengenai “Self Determination”48. Konggres ini berakhir pada Maret 1920 dengan hasil yang
tidak
menguntungkan kubu Faisal, karena ia gagal menyatukan kelompok Nasionalis Arab yang radikal ke barisan politiknya yang lebih moderat. Kongres ini menyatakan Syria sebagai negara merdeka dengan wilayah yang juga mencakup Lebanon dan Palestina. Kongres tersebut tidak mengakui kekuasaan Mandat Liga Bangsa-Bangsa terhadap Syria, serta menentang rencana Inggris untuk mendirikan
48
James L. Gelvin. Divided Loyalties: Nationalism and Mass Politics in Syria at the Close of Empire. (Berkeley : University of California Press, 1998), h.62
26
Jewish National Homeland di Palestina, dan menuntut pasukan Perancis dan Inggris mundur dari Timur Tengah serta menyatakan Faisal sebagai Raja Syria49. Faisal menjadi korban dari rencana kaum Nasionalis di satu sisi dan korban dari kepentingan Perancis terhadap Syria di sisi lain. Pada bulan Juli 1920, pasukan Perancis dibawah Jendral Henry Gouraud mengalahkan Pasukan Syria dalam “Pertempuran Maysalun” dan berbaris memasuki Damaskus 50. Raja Faisal langsung melarikan diri dari Syria ke pelabuhan Haifa dan terus ke London. Tahun 1921, pihak Inggris mengangkatnya sebagai Raja di Irak, para pengikutnya menjadi terpecah belah di Mesir , Irak dan Palestina51. Kegagalan mendirikan Negara Syria Raya berdampak besar terhadap kelompok Nasionalis Arab di Palestina. Dalam pandangan kelompok Nasionalis dari Palestina, Negara Syria Raya yang dipimpin oleh Faisal merepresentasikan langkah penting untuk mewujudkan cita-cita mereka mendirikan Negara Arab yang merdeka dan bersatu. Menteri Luar Negeri Faisal yang bernama Said Al Hussayni menganggap bahwa pemerintahan Arab di Damaskus seharusnya dapat membantu perlawanan mereka terhadap Zionisme. Mereka menentang niat Inggris untuk mendirikan Jewish National Homeland di Palestina52. Saat itu, Liga Bangsa-Bangsa mempercayakan wilayah Palestina kepada Inggris dengan dibentuknya Mandat Inggris untuk Palestina. Inggris memberikan nama Palestina kepada wilayah tersebut, mengacu pada nama dalam Bahasa Latin
49
Ernst Dawn. “The Rise of Arabism in Syria”. Middle East Journal, vol.16 no.2 (Spring 1962), h.145-168 50
Karl Ernest Meyer & Shareen Blair Brysac. Kingmakers: The Invention of the Modern
Middle East, (New York : W. W. Norton & Company, 2008), h.359 51 Tamara Sonn. Islam : A Brief History (Second Edition). (Chichester : Wiley Blachwell,2004), h.126 52 Haim Gerber .”Palestine and Other Territorial Concepts in the 17th Century”. International Journal of Middle East Studies.Vol. 30, No. 4 (Nov., 1998),h. 563-572
27
yang diberikan Imperium Romawi53. karena Peradaban Eropa Barat sangat dipengaruhi oleh budaya, bahasa, serta teladan Romawi Kegagalan Faisal tidak menghapuskan Nasionalisme Arab di Palestina begitu saja, melainkan semakin memperuncingnya. Setelah Faisal melarikan diri dari Damaskus, kelompok Nasionalis Arab di Palestina berkonsentrasi untuk mendirikan Negara Arab Merdeka di wilayah Palestina sendiri54. Sejak saat itu, Nasionalisme Arab di Palestina bertransformasi menjadi bentuk yang unik, Ditengah situasi Politik yang memanas, seorang loyalis Faisal bernama Amin alHussayni55, muncul sebagai tokoh pemimpin dominan sejak saat itu56. Amin Al Hussayni yang juga merupakan pemimpin kelompok Nasionalis Arab diwilayah Palestina, menganggap Inggris sebagai penjajah 57. Sementara pemerintah Mandat Inggris sendiri terjebak antara tuntutan kelompok Nasionalis Arab disatu sisi dan tuntutan kelompok Nasionalis Yahudi yang ingin mewujudkan Jewish National Homeland di Palestina disisi lain. Walaupun Nasionalisme Palestina telah menemukan bentuknya, tetap sulit untuk mentransformasi ruh Nasionalisme itu menjadi sebuah Negara, karena Pemikiran mengenai Nasionalisme hanya dimiliki oleh Keluarga Elit Perkotaan (Belladin) yang memiliki akses pendidikan tinggi, seperti Hussayni, Nasashibi & Khalidi58. Sedangkan rakyat Palestina yang mayoritas bekerja sebagai petani
53
Tamara Sonn. Islam : A Brief History. (Chichester : Wiley Blachwell,2004), h.128 Muhammad Muslih. “Arab Politics & Rise of Palestinian Nationalism”. Journal of Palestinie Studies.Vol.16, no.4 (Summer 1987). h.77-94 55 Baruch Kimmerling & Joe S Migdal .The Palestinian People. (Massachusets : Harvard University Press,2003), h.90 56 Daniel Pipes. Greater Syria : The history of Ambition. (New York: Oxford University Press, 1990), h.71 57 Philip Mattar. “Mufti of Jerussalem & Politik of Palestine”.Middle East Journal. Vol.42 no.2 (Spring 1988) h.227-240 58 Muhammad Muslih. “Arab Politics & Rise of Palestinian Nationalism”. Journal of Palestinie Studies.Vol.16, no.4 (Summer 1987). h.77-94 54
28
(Fellahin) telah hidup berabad-abad dibawah Pemerintahan Turki Usmani yang kurang memperhatikan pendidikan maupun kesejahteraan bagi rakyat kecil59, akibatnya mereka terperangkap dalam Comfort Zone dimana mereka hanya tertarik untuk melindungi tanah pertanian, ternak dan keluarganya dari ancaman pendatang asing60. Kesenjangan di tingkat ideologis, pendidikan, dan pemikiran antara elit dan rakyat kebanyakan merupakan salah satu factor penting atas kegagalan kaum Nasionalis Palestina memperjuangkan negara merdeka. Dengan kata lain, Palestina adalah kasus yang unik, karena eksistensinya dibentuk oleh factor eksternal. Disinllah terjadi konflik antara Nasionalisme Bangsa Palestina melawan kekuatan Eksternal yaitu Kolonialisme yang dilakukan oleh Bangsa-bangsa lain yang berujung pada kegagalan Palestina mendirikan Negara Merdeka.
59
Fred Khouri. The Arab-Israeli dilemma. (New York: Syracuse University Press,1974),h.13 60 Stephen Hallbrook. “The Alienation of the Homeland : How Palestine Become Israel”. Journal of Libertarian Studies. Vol.5 no.4 (Autumn 1981), h.1-18
29
BAB III AWAL MANDAT INGGRIS & KEBIJAKANNYA
A. Lahirnya Mandat Inggris Di penghujung Perang Dunia Pertama, Divisi Ekpedisi Mesir yang dipimpin oleh Edmund Allenby, merebut Jerusalem dari pasukan Turki Usmani pada tanggal 9 Desember 1917. Divisi Ekpedisi Mesir kemudian menduduki seluruh Syria menyusul kekalahan pasukan Turki dalam Pertempuran Megiddo pada bulan September 191861. Pasukan Inggris dan Perancis yang ketika itu telah menguasai seluruh wilayah Turki Usmani di Timur Tengah, memutuskan untuk membuat pemerintahan militer sementara di wilayah yang mereka duduki. Pemerintahan tersebut dinamai OETA (Occupied Enemy Territory Administration)62. Dalam hal ini, Palestina masuk kedalam wilayah OETA Selatan (Southern OETA) yang mencakup Muttasharifate Jerusalem (Kudüs-i Şerif Mutasarrıflığı) dan kota-kota di Sekitarnya seperti Nablus, Acre dan Hebron. Wilayah lainnya seperti Lebanon masuk ke dalam OETA Utara (Northern OETA), sedangkan Syria & Saudi Arabia masuk ke dalam OETA Timur (Eastern OETA)63. Pada awalnya, Jendral Edmund Allenby sendiri yang mengambil tanggung jawab langsung terhadap urusan administrasi dan politik di wilayah OETA Selatan, namun kemudian ia mengalihkannya kepada pejabat dari Mesir, yang ketika itu masih merupakan koloni Inggris. Setelah berkonsultasi dengan pejabat 61
Howard Sachar . The emergence of middle east 1914-1924,(Westminstter : The Penguin Press, 1969),h.122-138 62 John McTague,Jr. “Anglo-French Negotiation over the Boundaries of Palestine 191920” Journal of Palestine Studies. Vol.11 no.2 (Winter 1982),h.100-112 63 Matthew Hughes, Allenby & British Strategy in the Middle East 1917-1919,(London : Taylor & Francis,1999), h.122-124
30
utusan Mesir tersebut, Edmund Allenby menunjuk kepala administrasi pusat untuk Palestina. Kemudian, Edmund Allenby juga membagi wilayah Palestina menjadi 9 distrik : Jerusalem, Haifa, Hebron, Jenin, Nablus, Safed, Acre, Tiberias, Galilea, Tulkarem dan Beersheba. Setiap distrik diperintah oleh seorang Gubernur Militer. Tujuan utama dari pembentukan pemerintahan militer ini adalah untuk memperbaiki kondisi sarana & prasarana di lapangan yang rusak akibat Perang, seperti kantor pos, rumah sakit, bank, dan lain lain. Setelah Edmund Allenby kembali ke Inggris, masih ada dua orang perwira tinggi yang memerintah OETA Selatan, yaitu Mayor Jendral H.D. Watson & Letnan Jendral Louis Bols64. Pada tanggal 24 April 1920, pihak sekutu sebagai pemenang Perang Dunia Pertama mengadakan pertemuan di San Remo, Italia. Liga Bangsa-Bangsa memutuskan bahwa wilayah-wilayah pendudukan belum siap untuk diberi kemerdekaan, maka harus diurus oleh administrasi sipil yang disebut „Mandat‟. Sesuai dengan yang telah disepakati sebelumnya dalam Perjanjian Sykes-Pycot tahun 1916, Inggris mendapat mandat atas wilayah Palestina dan Transjordania65. Apa perbedaan sistem Mandat Liga Bangsa Bangsa yang dijalankan oleh Inggris di Palestina dengan Koloni Inggris di Hongkong dan Singapura ?.Terbentuknya Sistem Mandat dilandasi oleh situasi international waktu itu, dimana gagasan “Self-Determination” dari Presiden Amerika, Woodrow Wilson mengemuka. Hal itu disebabkan oleh hancurnya sejumlah imperium besar yang mewakili system feudal. Golongan liberal dan humanis di Inggrislah yang berinisiatif memprakarsai terbentuknya sistem Mandat dengan tujuan sebagai
64
Robert H Eisenmann, Islamic Law in Palestine &Israel : A History of the Survival of Tanzimat and Sharia in the British Mandate & Jeiwsh State. (Leiden : Ej Brill,1978), h.11-12 65 Article 22, The Covenant of the League of Nations and "Mandate for Palestine," Encyclopedia Judaica, Vol. 11, hlm. 862, Keter Publishing House, Jerusalem, 1972
31
sarana transisi masyarakat dari statusnya sebagai penduduk koloni yang terbelakang secara politik dan dieksploitasi secara ekonomis, menjadi masyarakat yang siap untuk hidup di zaman modern66. Pengertian tersebut, ditekankan pula oleh Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz al Mehdawi, yang menyatakan bahwa Mandat adalah sebuah Supervisi. Ibaratnya, seperti anak yang kehilangan orangtuanya dan diasuh oleh orang lain sampai siap hidup mandiri. Negara pemegang Mandat, dalam hal ini Inggris bertanggung jawab pada Liga Bangsa-Bangsa untuk menyiapkan Palestina agar siap diberi kemerdekaan67 Roza el-Eini berargumen bahwa rasa superioritas bangsa Eropa juga menjadi faktor dominan dibalik alasan pembentukan sistem Mandat. Apabila dulu British Empire berperan sebagai imperialis yang mencari kekayaan dan kejayaan dengan mengumpulkan sejumlah besar koloni di seberang lautan, sekarang mereka mengulurkan tangannya, berkorban untuk “menolong” bangsa yang belum maju yang dalam hal ini adalah Palestina. Rasa simpati ini disebut “White Man Burden” (beban bangsa kulit putih)68. Mandat Inggris di Palestina dipimpin oleh seorang Komisaris Besar bernama Herbert Samuel yang pada masa kepemimpinannya, Samuel memberikan amnesti kepada Amin Al- Husayni69 yang saat itu sedang mendekam di penjara”. Setelah bebas, Al- Husayni dilantik oleh Herbert Samuel menjadi Mufti Agung 66
Susan Pedersen, “The Meaning of Mandat System : An Argumen”. Geschicte und Gesselschaft.32 Jahrige.H.4.Sozialpolitik Transnational (Oct-Des 2006). h.560-582 67 Wawancara Pribadi dengan Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz al Mehdawi, Jakarta 4 Juli 2014. 68 Roza El-Eini. Mandate Landscape : British Imperial Rule in Palestine 1929-1948.( London & New York : Routledge,2004),h.7 69 Amin al-Hussayni adalah loyalis Raja Faisal yang terusir dari Syria oleh Pemerintah Mandat Prancis. Ia adalah anggota salah satu klan Aristokrat yang cukup berpengaruh di Palestina, ia juga dikenal sebagai paman dari Yasser Arafat. Namun, ia dipenjara karena terlibat dalam “Pemberontakan Nabi Musa” tahun 1920.
32
Palestina (Mufti Filastin al-Akbar). Selain itu, Herbert Samuel mendirikan Dewan Tinggi Muslim (Supreme Moslem Council) yang bertugas mengatur dan menjaga lembaga-lembaga dan komunitas Islam di Palestina. Dalam lembaga ini, Amin alHusayni diangkat menjadi pimpinan pertamanya70. Langkah tersebut dilakukan oleh Samuel untuk mempersiapkan pemerintahan independen di Palestina.Namun para elit Arab Palestina sendiri menolak segala usaha Samuel yang mencoba menggabungkan elit Yahudi dan elit Arab dalam satu wadah institusi71. Samuel tidak bisa menerima tuduhan elit Arab Palestina yang menganggap bahwa Mandat Inggris hanya memprioritaskan rencana pembangunan “Jewish National Homeland”72. Asumsi ini muncul karena adanya konsesi jaringan listrik untuk seluruh Palestina yang diberikan kepada Pinhas Rutenberg, pengusaha Yahudi yang juga seorang filantropis73.Samuel menyanggah tuduhan tersebut dengan mengklaim bahwa elektrifikasi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di seluruh wilayah Palestina. Selain itu, Samuel menganggap akan jauh lebih baik apabila sarana perekonomian lebih banyak diberikan kepada bangsa Yahudi untuk meredam keinginan dan nafsu politik mereka yang diduga kemungkinannya akan bisa menimbulkan konflik politik yang berkepanjangan dengan orang orang Palestina. Samuel jelas bersikap kooperatif terhadap aspirasi masyarakat Arab Palestina. Hal itu menyebabkan ia mendapat kecaman dari penduduk Yahudi. Walaupun Samuel telah menetapkan bahasa Ibrani menjadi salah satu dari 3 70
Martin Kolinsky. Law,Order& Riots in Mandatory Palestine 1929-1935. (London : St Martin‟s Pres,2010), h.86 71 Neil Caplan . Palestine Jewry and the Arab Question, 1917 – 1925, (London : NJ F. Cass, 1978.),h. 148–161. 72 Sahar Huneidi, A Broken Trust: Herbert Samuel, Zionism and the Palestinians 1920– 1925, (London and New York, : I.B. Tauris,2001),h. 38. 73 Letter From Pinhas Rutenberg to Colonel Herbert Lehmen
33
bahasa resmi Palestina (kedua lainnya adalah Arab dan Inggris)74, namun penduduk Yahudi tetap saja mengecamnya karena ia menunjuk Amin al-Husayni yang tidak populer di kalangan masyarakat Yahudi. Pada tahun 1922, Pemerintahan Mandat Inggris juga mendirikan Dewan Legislatif untuk Palestina yang beranggotakan 23 orang. Masyarakat Arab Palestina memprotes pembagian kursi dewan tersebut karena mereka nilai tidak adil. Mereka mengklaim bangsa Arab merupakan 88% penduduk Palestina, sedangkan kursi yang mereka dapat hanya 43%, sehingga orang Arab memboikot pemilihan anggota Dewan.75. Pada
tanggal,
22
Agustus
1922,
Musa
Kazim
al-Hussayni76
mengumpulkan para elit Palestina di kota Nablus untuk mengadakan „Kongres Arab Palestina‟. Kongres ini menghasilkan beberapa keputusan seperti : memboikot pemilihan umum, menyatakan sikap menolak pembentukan „Jewish National Homeland‟, dan memboikot Perusahaan Listrik milik Pinhas Rutenberg77. Untuk masalah administrasi wilayah, Mandat Inggris tetap menggunakan sistem distrik seperti yang digunakan pada masa OETA, Sistim ini dipakai juga untuk menyelesaikan masalah peradilan dan keagamaan. Pemerintah Mandat Inggris tetap mempertahankan sistem Millet, yaitu urusan agama setiap kelompok keagamaan diurus oleh pemuka agamanya masing masing dan bahkan peradilan
74
Norman Bentwich. “The Legal System of Palestine under British Mandate”.Middle East Journal,Vol.2 no.1 (Jan 1948), h.33-46 75 Martin Kolinsky. Law,Order& Riots in Mandatory Palestine 1929-1935. (London : St Martin‟s Pres,2010),h.2 76 Beliau adalah Kerabat Amin al Hussayni sekaligus mantan walikota Jerussalem 77 Abdul Wahhab Said Kayyalli .Palestine. A Modern History. (London : Croom Helm,1981). h.60-63
34
agama yang dibuat oleh Turki Usmani pada masa Tanzimat tidak dihapus78. Hal ini karena karena Pemerintah Inggris ingin mempertahankan Perjanjian Berlin 13 Juli 1878 yang dibuat atas inisiatif Otto von Bismarck guna memberikan kepastian dan menjamin adanya kebebasan beragama di seluruh wilayah Turki Usmani79. Masih di tahun 1922, wilayah Mandat Inggris di sebelah timur, yaitu Transjordania mendapat serangan dari Suku Ikhwan, yaitu kelompok suku nomaden yang berasal dari Gurun Najd dan memiliki afliliasi dengan Keluarga Saud. Tujuan utama penyerangan suku Ikhwan ke Transjordania adalah untuk menyebarkan paham Wahabbi yang mereka anut. Suku Ikhwan bertindak keras dengan menghancurkan jaringan tiang telepon di sepanjang jalan, karena mereka menganggap benda itu adalah hasil karya setan. Tentara Inggris memutuskan bekerjasama dengan Abdullah bin Hussein, Putra Sharif Hussein di Mekkah yang pernah membantu Inggris melawan Turki Usmani. Akhirnya, kerjasama kedua pihak ini berhasil mengusir suku Ikhwan keluar dari Transjordania80 Sebagai imbalan, Pemerintah Mandat Inggris menyerahkan sebagian dari wilayahnya yang dinilai kurang menguntungkan karena banyak dihuni oleh suku suku Bedouwin nomaden81, yaitu wilayah Transjordania kepada Abdullah melalui kebijakan “British White Paper 1922”. Kebijakan Inggris ini sangat menyakitkan hati para elit Yahudi dan menganggapnya sebagai pengkhianatan serta
78
Robert H Eisenmann, Islamic Law in Palestine &Israel : A History of the Survival of Tanzimat and Sharia in the British Mandate & Jeiwsh State. (Leiden : Ej Brill,1978), h.13 79 Text Perjanjian Berlin, http://www.fordham.edu/halsall/mod/1878berlin.html, diakses pada 13 Mei 2014 80 Darik Ibrahim Erwan, To What Extent of Did the Alliance of Ibnu Saud & the Ikhwan during the 1920‟s Lead to the Achievment of their goals ? (Massachusets : Concorde Review.inc,1989), h.112 81 H.R.H. Prince Ghazi bin Muhammad. The Tribes of Jordan at The Beginning of 20 th Century. (Amman : Ruttab, 1999), h.9
35
pelanggaran terhadap Dokumen “British Mandate for Palestine” Artikel 15 yang menyatakan bahwa “tidak ada wilayah Palestina yang boleh diserahkan atau disewakan, atau dengan cara apapun,
ditempatkan di bawah kontrol
pemerintahan atau kekuasaan asing”82. Alasan pihak Zionis Yahudi menentang pemisahan Transjordania dari Mandat Inggris di Palestina, juga didasari oleh firman Tuhan yang tertulis dalam Kitab Taurat. Dalam (Joshua 13:24-31), Wilayah Transjordania adalah daerah yang pertama-tama didiami oleh orang Yahudi sebagai bagian dari penaklukkan Palestina sesudah peristiwa „Exodus dari Mesir‟. Dengan kata lain, kebijakan Pemerintah Mandat Inggris tersebut bertentangan dengan kehendak kelompok Zionis yang menganggap Transjordania juga merupakan bagian dari „Tanah yang dijanjikan‟83. Dalam “British White Paper 1922”, Inggris juga menyatakan tidak mendukung berdirinya sebuah negara-bangsa Yahudi yang terpisah dari wilayah Arab lainnya. Definisi Inggris mengenai Jewish National Homeland adalah pembentukan komunitas Yahudi yang mandiri di wilayah Palestina84. Selain itu, dalam salah satu alenianya, White Paper ini juga menyangkal tuduhan bangsa Arab Palestina mengenai proyek pembentukan sebuah negara Palestina Yahudi dan menyatakan bahwa pemerintah Inggris tidak berkeinginan untuk melihat Palestina sebagai “boneka Yahudi Inggris”85
82
British Mandate for Palestine, Source : The American Journal of International Law, Vol.17 no.3 , Suplement : Official Document (July 1923), h.164-171 83 The Black Paper on The Jewish Agency and The Zionist Terrorist. Arab Higher Committee Archive, 12 Maret 1948, h.5 84 Martin Kolinsky. Law,Order& Riots in Mandatory Palestine 1929-1935. (London : St Martin‟s Pres,2010), h. 11 85 British White Paper 1922, dari http://www.yale.edu/lawweb/ mideast/brwh1922.htm, diakses pada 13 Mei 2014
36
Keberadaan Mandat Inggris di wilayah Palestina sebenarnya membantu Palestina menjadi daerah otonom dengan pergerakan roda ekonomi yang jauh lebih baik dibandingkan negara Arab lainnya. Namun, timbul resistensi dari penduduk Arab Palestina sendiri yang bersikap tidak kooperatif, sehingga eksistensi pemerintahan administrasi sipil ini tidak dapat berfungsi maksimal dan jauh dari yang diharapkan ketika Liga Bangsa-Bangsa menugaskan Inggris86
B. Kebijakan mengenai imigrasi Yahudi (Aliyah) Salah satu kebijakan Pemerintah Mandat Inggris adalah memfasilitasi migrasi etnis Yahudi ke Palestina atau yang dikenal sebagai gerakan„Aliyah‟87. Aliyah ini pernah berlangsung sebelum era Mandat Inggris, yaitu sejak penindasan komunitas petani Yahudi di Russia pada tahun 1881. Namun pada masa Perang Dunia Pertama, migrasi Yahudi berhenti akibat situasi yang tidak aman.88 Didalam tubuh pemerintahan Inggris, ada faksi yang bersimpati kepada usaha masyarakat Yahudi untuk pulang ke “Tanah yang dijanjikan”, Salah satunya adalah Arthur Balfour, Menteri Luar Negeri Inggris saat itu. Pada tanggal 2 November 1917, dia mengirim surat kepada Lionel Rothschild, pemimpin gerakan Zionisme yang isinya menyatakan dukungan resmi pemerintah Inggris untuk mendirikan Jewish National Homeland di Palestina89. Janji Inggris dalam Deklarasi Balfour dan adanya Mandat Inggris di Palestina, menyebabkan Inggris 86
Ahmad Ghazali Khairi & Amin Bukhari.Air Mata Palestina, (Jakarta: Hi-Fest, 2009).
Hal. 141 87
Secara etimologis, kata Aliyah dalam Bahasa Ibrani artinya “naik”. Secara terminologis dapat diartikan sebagai imigrasi orang Yahudi ke tanah air yang dahulu dijanjikan Tuhan pada keturunan Avraham, Ishak, & Yakub 88 Abba Eban, My People: History of the Jews Volume II, (New Jersey: Berman House,1979),h.127 89 Stein Leonard The Balfour Declaration. (New York : Simon & Schuster,1961), h.470
37
harus menjamin hak-hak masyarakat Yahudi untuk membangun tanah air bagi mereka di Palestina. Inggris juga harus mendukung dan juga memudahkan migrasi Yahudi (Aliyah) ke Palestina. Setelah Perang Dunia Pertama selesai, keadaan kaum Yahudi di negaranegara baru di Eropa Timur seperti Polandia dan Rumania tidak kunjung membaik. Pemerintah Polandia mengambil alih industri-industri yang dikuasai oleh kaum Yahudi dan memecat para pekerja Yahudi. Selain itu hampir 2.800 toko sepatu yang dikelola kaum Yahudi ditutup oleh pemerintah Polandia. Hal itu mengakibatkan kaum Yahudi putus asa dan ingin meninggalkan negara tersebut. Mengetahui bahwa Amerika Serikat memberikan peraturan ketat bagi para imigran yang berasal dari Eropa Timur, maka mereka mengalihkan tujuan migrasinya ke Palestina. Dengan datangnya pionir-pionir yang mendirikan pemukiman, komunitas, dan organisasi-organisasi di Palestina, menyebabkan orang orang Yahudi di Eropa bertambah mantap dalam merealisasikan keinginan mereka untuk “pulang” ke “tanah air yang dijanjikan”90 Pada tahun 1925, saat masa jabatan Herbert Samuel sebagai Komisaris Besar berakhir, sekitar 34.000 Yahudi Polandia bermigrasi ke Palestina, untuk menyelamatkan diri dari kebijakan anti-semitisme Pemerintah disana. Berbeda dengan sebelum masa Mandat Inggris, dimana Imigran yang datang ke Palestina adalah rakyat kelas menengah kebawah yang sesampainya di Palestina memilih bekerja sebagai petani, imigran Yahudi yang datang karena difasilitasi oleh Pemerintah Mandat Inggris ini adalah masyarakat kelas menengah keatas dan beberapa enterpreneur yang sebelumnya bergerak di bidang perdagangan. Mereka 90
Abba Eban, My People: History of the Jews Volume II, (New Jersey: Berman House,1979),h.165
38
lebih memilih tinggal di daerah perkotaan, khususnya Tel Aviv, dibanding daerah pedesaan. Mereka menginvestasikan sebagian modal kecilnya di pabrik-pabrik, hotel-hotel kecil, restoran, toko-toko, dan dalam bidang konstruksi. Mereka juga mengembangkan daerah Pesisir Pantai.91 Mendekati dekade 1930an, migrasi orang Yahudi dari wilayah Eropa Barat dan Eropa Timur ke wilayah Mandat Inggris di Palestina meningkat bersamaan dengan berkuasanya Partai Nasional Sosialis di Jerman yang dipimpin oleh Adolf Hitler. Ideologi Nazisme yang diperkenalkan oleh Hitler menyatakan bahwa etnis Semit (Arab dan Yahudi) adalah ras rendahan, sedangkan ras Indo-Aryan,adalah ras paling unggul, terutama suku bangsa Jermanik adalah yang paling hebat diantara sub-ras Indo-Aryan. Pada tanggal 10 November 1938, terjadi sebuah Peristiwa yang disebut Kristallnacht (Malam Kaca Pecah). Disebut demikian karena tentara Nazi dan rakyat sipil pendukungnya menghancurkan kaca-kaca bangunan milik orang Yahudi dengan palu godam sehingga pecahan kaca bertebaran di jalanan. Di beberapa kota di Jerman, 1.668 Synagog dihancurkan dan 267 di antaranya dibakar, sekitar 8.000 toko dan ribuan rumah milik orang Yahudi juga ikut dihancurkan. Orang-orang Yahudi banyak yang menjadi korban pembunuhan oleh tentara Nazi dan sekitar 30.000 warga Yahudi dimasukkan ke kamp konsentrasi.92 Adapun orang orang Yahudi yang dikirim ke kamp konsentrasi menerima berbagai macam penyiksaan. Kekejaman tersebut berakhir pada program genosida yang dinamai “Final Solution of the Jews”. Prosedur pembunuhan massal tersebut
91
Cecil Roth,The Standard Jewish Encyclopedia. (Jerusalem: Madassah Publishing Company Ltd,1958),h.75 92 James M Deem. Kristallnacht: The Nazi Terror That Began the Holocaust.. (Berkeley : Enslow Publishers,2011), h.15-16
39
adalah sebagai berikut : orang-orang Yahudi, dibariskan ke daerah yang sepi, berbaris di depan parit-parit, kemudian diberondong dengan senapan mesin, lalu mayat-mayat tersebut didorong ke dalam lubang oleh bulldozer dan ditimbun dengan tanah. Nazi Jerman dibawah kepemimpinan Adolf Hitler bertanggung jawab atas pembunuhan tidak saja bagi jutaan bangsa Yahudi, namun juga bagi bangsa Eropa lainnya.93 Pada saat orang Yahudi Eropa yang merasa tertindas ingin melarikan diri ke Palestina, Pemerintah Mandat Inggris mengeluarkan White Paper 1939, dimana salah satu pasalnya adalah melarang adanya migrasi Yahudi ke Palestina94. Pemerintah Inggris tak ingin orang Arab Palestina menyerang Inggris dari belakang saat sedang berperang melawan Jerman di Mesir & Front lain95 Sikap Inggris itu disebabkan karena gelombang protes dari orang orang Arab seperti Jamal al-Hussayni, yang merupakan elit Arab Palestina yang paling keras menolak imigrasi Yahudi dari Eropa ke Palestina, ia berkata bahwa Imigrasi Yahudi telah melipatgandakan jumlah Etnis Yahudi di Palestina dan memicu terjadinya Tirani Minoritas96 Dalam sebuah Konferensi yang diadakan di Evian Les Bains, Prancis, pada tahun sebelumnya, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa membahas mengenai nasib komunitas Yahudi di Jerman. Golda Meyer selaku perwakilan kelompok Zionis sudah mengajukan proposal agar Palestina dijadikan tujuan
93
Max I. Dimont, Kisah Hidup Bangsa Yahudi (Jakarta : Masaseni,2002),h.331-332 Text of White Paper 1939, avalon.law.yale.edu/20th_century/brwh1939.asp, diakses pada 13 Mei 2014 95 Peter Mansfield, History of Middle East, (Pennsylvania : Pennsylvania State University press ,2004), h.218 96 Surat Jamal al Hussayni untuk Delegasi PBB, Arab Higher Comitte Archive, 24 Mai 1948 94
40
utama dari migrasi komunitas Yahudi yang berasal dari Jerman. Namun Perwakilan Inggris malah menyingkirkan usulan tersebut dari Konferensi97. Sikap Pemerintah Inggris tersebut memicu munculnya gelombang migrasi ilegal ke Palestina yang disebut “Aliyah Bet”. Bet ( )”“בialah huruf kedua dalam alphabet Ibrani, karena Aliyah ini bersifat ilegal atau tanpa persetujuan dari Pemerintah Mandat Inggris yang telah melarang adanya migrasi ke Palestina sejak tahun 1939, karena itu diberi kode huruf Bet “ב. Aliyah Bet berlangsung pada kurun waktu 1933-1948. Awalnya, Aliyah Bet dilakukan sebagai tuntutan atas hak masyarakat Yahudi untuk bermukim di Palestina. Pada tahun 1934, karena telah melihat kekerasan yang dilakukan Nazi terhadap Yahudi Jerman, gerakan Hehalutz98 menyewa Vellos, sebuah kapal dari Yunani yang untuk pertama kali dalam pelayarannya berhasil mengangkut 350 imigran Yahudi menuju Palestina. Kelompok Aliyah Bet yang mayoritas berasal dari Eropa Timur, mulai terjadi dalam skala besar pada 1939, terutama atas bantuan Haganah, yaitu organisasi paramiliter Yahudi yang bertugas menjaga pemukiman Yahudi di Palestina99 Sayangnya, Pemerintah Mandat Inggris tetap bersikeras mempertahankan kebijakan White Paper 1939 dan mengancam akan menindak secara keras imigran Yahudi yang tetap berusaha datang ke Palestina menggunakan kapal; kalau perlu mendeportasi mereka ke Koloni Inggris di Siprus100
97
“The Evian Conference on Refugees”. Bulletin of International News, Vol. 15, No. 14 (Jul. 16, 1938), h. 16-18 98 Gerakan Resistensi terhadap penindasan etnis Yahudi di Eropa selama perang dunia pertama dan Perang dunia kedua, tujuan utamanya adalah membantu orang Yahudi Eropa yang ingin melarikan diri ke Palestina 99 The Black Paper on The Jewish Agency and The Zionist Terrorist. Arab Higher Committee Archive, 12 Maret 1948. h.6 100 Walid Khalidi, “Illegal Jewish Immigration under British Mandate”, Journal of Palestinian Studies, vol.35, h. 63-69
41
Salah satu tragedi yang menimpa para imigran Yahudi adalah „Tragedi Kapal Patria‟ pada tahun 1940. Sir Harold McMichael, Komisaris Besar Mandat Inggris, menyatakan bahwa para imigran Yahudi ilegal dari Rumania yang tiba menggunakan kapal Milos dan Pasific ,yang kemudian tertangkap oleh Angkatan Laut Inggris (Royal Navy) di Pelabuhan Haifa, tak akan dideportasi kembali ke Eropa, melainkan dikirim ke Mauritius pasca Perang Dunia kedua.101 Karena Kapal Milos dan Pasific dianggap teralu kecil dan kondisi mesinnya perlu perbaikan sehingga tak mungkin berlayar sampai ke Mauritius, Inggris menyiapkan kapal baru yang bernama “Patria”. Namun musibah terjadi, pada tanggal 24 November 1940 kapal tersebut meledak dan menenggelamkan kapal bersama 202 orang imigran Yahudi di dalamnya. Pemerintah Mandat Inggris mengumumkan bahwa Pelaku pemboman adalah Haganah 102. Imigran yang selamat tetap akan dideportasi ke Mauritius. Akibat protes yang berkelanjutan dari pihak internasional, akhirnya Inggris tidak melanjutkan rencana tersebut103 Tragedi lainnya yang tak kalah mengenaskan menimpa kapal Exodus tahun 1947. Exodus tadinya adalah kapal pengangkut besi tua, namun Mossad LeAliyah Bet, cabang organisasi dalam tubuh Haganah yang bertugas mengurus imigran Yahudi, memanfaatkan kapal tersebut untuk mengangkut imigran Yahudi dari Eropa menuju Palestina104. Tanggal 18 Juli 1947, Exodus yang membawa 4554 orang pengungsi Yahudi dari Prancis, dihadang oleh skuadron Inggris yang 101
Fredd Liebreich. Britains Naval & Political Reaction to the Jewish Illegal Immigration to Israel. (London & New York : Routledge,2004), h.35 102 Menachem Begin. The Revolt: Story of the Irgun. (New York: Henry Schuman Inc,1951), h. 36. 103 Arthur Patek, Jewish on Route to Palestine 1934-1944 : History of ALiyah BetClandestine Immigration. (Krakow : Jagiellonian University,2009), h.123 104 Arthur Patek, Jewish on Route to Palestine 1934-1944 : History of ALiyah BetClandestine Immigration. (Krakow : Jagiellonian University,2009), h.65
42
terdiri atas lima kapal penghancur (destroyer) dan sebuah kapal penjelajah (cruiser). Walaupun saat itu Exodus berada di luar wilayah perairan Palestina, kapal-kapal perang Inggris tetap saja menyerang Exodus105 Sedikitnya 150 orang pengungsi terluka akibat serangan ini, namun Tentara Inggris malah menangkapi mereka lalu mendeportasi mereka kembali ke Prancis. Pemerintah Prancis yang telah berhasil terbebas dari pengaruh Nazi Jerman mengizinkan kapal Inggris yang membawa para pengungsi untuk berlabuh, namun orang orang Yahudi yang sudah lelah itu memutuskan mogok dan menuntut untuk dikembalikan saja ke Palestina. Pihak Inggris pun kehilangan kesabaran dan membawa mereka ke pelabuhan Hamburg (Bekas Wilayah Nazi Jerman) lalu memaksa mereka turun dari Kapal.106 Tragedi pengungsi Yahudi di kapal Exodus mendapat banyak simpati dari berbagai pihak. Pers melakukan blow up terhadap kasus ini sehingga memunculkan opini negatif dunia terhadap kebijakan Pemerintah Mandat Inggris yang dinilai teralu keras mengenai masalah imigrasi Yahudi ke wilayahnya, hanya karena semata mata dilandasi kepentingan untuk mengambil hati penduduk Arab Palestina107
105
Cecil Roth. The Standard Jewish Encyclopedia. (Jerusalem: Madassah Publishing Company Ltd,1958),h. 655. 106 Louis Finklestein. The Jews:Their History, Culture, and Religion. (London: Peter Owen Limited, 1961), h. 158 107 Roth, Cecil,The Standard Jewish Encyclopedia. (Jerusalem: Madassah Publishing Company Ltd,1958),h656
43
BAB IV RESPON BANGSA PALESTINA ATAS MANDAT INGGRIS
A. Kerusuhan tahun 1929 Bagi umat Yahudi, Tembok Barat, atau yang lebih dikenal dengan Tembok Ratapan, merupakan satu-satunya bagian yang tersisa dari Haikal Solomon yang dihancurkan oleh Imperium Romawi pada tahun 70 Masehi. Bangunan tersebut merupakan peninggalan Israel kuno yang sangat penting dan religius bagi umat Yahudi. Bagi umat Islam tembok tersebut merupakan batas luar kawasan Haram Al-Sharif. Kawasan tersebut merupakan kawasan suci tempat terdapatnya The Dome of the Rock (Kubat as-Sakrah) dan Masjid al-Aqsa, masjid tersuci ketiga bagi umat Islam (Thalith al-Haramain)108. Menurut Duta Besar Palestina, Fariz al Mehdawi, Masjid al-Aqsa memiliki arti yang sangat penting bagi Umat Islam, karena merupakan Kiblat Pertama Umat Islam (Ula al-Qiblatain). Yang kedua, Masjid al-Aqsa adalah bangunan kedua yang dibangun oleh Nabi Adam selain Ka‟bah setelah dirinya terusir dari Surga109. Tembok Barat dikelola oleh Yayasan Maghribi Waqf110 dan tanah tempat tembok tersebut berdiri juga merupakan bagian dari Yayasan tersebut. Seiring dengan bertambahnya penduduk Yahudi di Jerusalem sejak adanya Aliyah (Imigrasi Yahudi), semakin banyak pula Yahudi yang berdoa di tembok tersebut.
108
Trias Kuncahyono, Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan. (Jakarta : Penerbit Kompas, 2009), h.33-34 109 Wawancara Pribadi dengan Duta Besar Palestina, Fariz al Mehdawi, Jakarta 4 Juli 2014. 110 Magribi Waqf adalah Yayasan Religius yang dikelola oleh Penduduk asal Maghiribi yang tinggal di Jerussalem.
44
Mereka mulai membawa kursi-kursi ke sana untuk digunakan berdoa dengan maksud mendukung jamaah yang berusia lanjut dan lemah. Selanjutnya mereka mulai membuat sekat pembatas untuk membagi Yahudi wanita dan pria yang berdoa di sana. Rakyat Palestina khususnya para pemimpin-peminpinnya merasa tidak nyaman dengan kegiatan tersebut. Mereka menduga bahwa pihak Zionis akan merebut lokasi yang dimaksud, Padahal sudah jelas bahwa bangunan tersebut dimiliki oleh Yayasan Maghribi Waqf.111 Pada 25 September 1928, bertepatan dengan hari Yom Kippur112, Kaum Yahudi membawa sebuah sekat pembatas ke Tembok Barat guna memisahkan Yahudi wanita dan pria. Namun sekat tersebut merintangi sebuah jalan yang biasa dilewati oleh penduduk Arab setempat. Protes pun berdatangan dari pihak Arab dan mereka meminta pihak berwenang Inggris memindahkan sekat tersebut. Dewan Tinggi Muslim Palestina menyatakan bahwa kaum Yahudi telah melampaui haknya terhadap Tembok Barat113 `Pada
28
September
1928,
pihak
berwenang
Inggris
berhasil
memindahkan sekat tersebut secara paksa dari Tembok Ratapan walaupun terjadi perlawanan dari warga Yahudi. Sejak itu ketegangan antara penduduk Arab dan Yahudi semakin meningkat, terkait dengan peristiwa tersebut. Kaum Yahudi, dari dalam dan luar Palestina, mengecam tindakan Inggris tersebut. Klaim tentang kebrutalan polisi Inggris disebarluaskan oleh sebuah media Yahudi, yang membandingkan mereka dengan orang-orang Rusia yang melakukan Pogrom
111
Charles Smith. Palestine and the Arab-Israeli Conflict. (New York: St. Martin Press,1992), h.71 112 Hari Raya Umat Yahudi yang bertepatan dengan dimulainya bulan Ramadhan bagi umat Islam 113 Rufus Learsi, Israel: A History of the Jewish People, (Ohio: Meridian Books,1966), h. 640
45
(Penindasan). Semakin lama, ketegangan antara kaum Yahudi dengan Arab terkait dengan Tembok Ratapan semakin bertambah. Masing-masing pihak saling menunjukkan eksistensinya di wilayah tersebut.114 Pada
tanggal
15
Agustus,
sejumlah
anggota
Betar115dibawah
kepemimpinan Jeremia Halpern berbaris menuju Tembok Ratapan sambil mengibarkan bendera Zionis dan menyanyikan Hatikvah (Hymne Yahudi). Pada tanggal 23 Agustus 1929, huru-hara terjadi antara Yahudi dan Arab di Jerusalem dan dengan cepat menyebar ke wilayah lain. Kerusuhan ini berlangsung selama seminggu dan mengakibatkan jatuhnya banyak korban, baik dari pihak Yahudi maupun Arab. Pada hari terjadinya kerusuhan, sebuah rumor beredar di pihak Arab Palestina bahwa Mufti Amin al Hussayni meminta mereka untuk melidungi masjid di kawasan Haram Al-Sharif karena kaum Yahudi berencana menyerang tempat tersebut116. Amin al-Hussayni segera menuju ke tempat itu, dan diminta oleh Kepala Polisi bernama Allen Saunders untuk meredam kemarahan warga Arab. Namun, himbauan Amin al-Husayni kepada mereka agar pulang ke rumah dengan tenang tak teralu berpengaruh karena massa sudah lebih dulu terprovokasi oleh hasutan para provokator”117 Salah satu wilayah yang terkena imbas kerusuhan ini adalah Hebron. Kota Hebron dianggap penting dalam kepercayaan Islam dan Yahudi karena tempat ini
114
Mary Ellen Lundsten. “Wall Politics : Zionist & Palestinian Strategies in Jerussalem 1928:. Journal of Palestine Studies. Vol.8 no.1 (Autumn 1979). h. 3-27 115 Betar adalah Organisasi Pemuda Yahudi yang merupakan organisasi Underbow dari Partai Zionisme Revisionist yang diketuai oleh Zeev Jabotinsky 116 Ilan Pape. “Haj Amin & Buraq Revolt”, Jerusalem Quarterly File vol.6, no. 18 ,h.15 117 Phillip Mattar, “Mufti & Western Wall : The Role of Mufti of Jerussalem in Political Struggle over the Western Wall 1928-1929”. Middle Eastern Studies. Vol.19 no 1 (januari 1983). h.114-118
46
diyakini merupakan tempat tinggal Nabi Ibrahim di masa lalu118. Pada tahun 1929, populasi kota ini sebanyak 20 ribu jiwa, mayoritas adalah muslim Arab. Ada pula komunitas Yahudi sebanyak 700 orang yang tinggal di Hebron dengan menyewa rumah dari penduduk Arab. Komunitas Yahudi di Hebron, seperti halnya di wilayah Palestina yang lain, terbagi menjadi komunitas Yahudi Azkenazi yang merupakan Imigran dari Eropa dan komunitas Yahudi Sephardim yang telah berabad-abad tinggal di Palestina.
Kedua komunitas memiliki sekolah yang terpisah, sinagog yang
terpisah dan tidak saling menikah. Orang-orang Yahudi Sephardim berbicara bahasa Arab, berpakaian seperti orang-orang Arab dan hidup rukun bersama komunitas Arab, sedangkan Yahudi Askenazi berpakaian seperti orang-orang Eropa dan sering disalahpahami oleh orang-orang Arab sebagai orang asing yang memiliki maksud untuk menguasai tanah air mereka. Sejak dikeluarkannya Deklarasi Balfour tahun 1917, ketegangan diantara orang Arab dan Yahudi di Palestina semakin meningkat. Walaupun sebenarnya orang-orang Islam di Hebron terkenal konservatif dalam urusan ibadah tetapi hubungan antara kedua komunitas masih berjalan normal119. Meyer Greenberg menceritakan isi surat yang ditulis oleh kakek dari pihak ibunya, Aharon Reuvern Bernzweig yang merupakan saksi mata ketika kerusuhan menyebar ke kota Hebron120:
118
Edward Platt, The City of Abraham : History,myth & Memory, a Journey through Hebron, (London : Pan Macmillan, 2012), h.5 119 Jerold Auerbach. Hebron Jews: Memory and Conflict in the Land of Israel, (Maryland : Rowman & Littlefield Publisher,2009), h.60-61 120 Meyer Greenberg. The Hebron Massacre of 1929 : A Recently Letter of a Survivor. h.5-6
47
“pada tanggal 23 Agustus jumat sore, situasi semakin memburuk. kami mendengar bahwa orang orang Arab memukuli orang orang Yahudi di jalan. Selanjutnya, toko toko Yahudi mulai tutup. Kami mengunci diri di kamar dengan penuh rasa takut. Satu jam kemudian semua jendela pecah, orang orang Arab melempari jendela rumah kami dengan batu. Ketika situasi mendadak hening, kami melihat orang orang Arab berkeliaran membawa kapak,tongkat besi dan pisau; mereka semua berteriak bahwa mereka akan pergi ke Jerussalem dan membantai semua orang Yahudi” “jam 8 pagi keesokan harinya, orang orang Arab menyerbu rumahrumah dan membunuhi orang orang Yahudi, terdengar teriakan teriakan minta tolong. Kami berlindung di lantai dua rumah kami yang ditempati oleh seorang dokter. Orang orang Arab lima kali menyerbu rumah kami dengan kapak. Namun akhirnya polisi datang dan mengevakuasi kami, Untuk beberapa waktu kami tinggal di kantor polisi. Sulit dipercaya bahwa orang-orang Arab yang kami anggap sebagai teman ternyata akan menjadi orang yang mengancam nyawa kami”. Kerusuhan di kota Hebron menyebabkan 67 orang Yahudi termasuk 23 orang mahasiswa terbunuh akibat serangan orang orang Arab yang terpengaruh oleh rumor palsu bahwa orang Yahudi telah membantai orang-orang Arab di Jerusalem dan menduduki masjid Al Aqsa. Insiden ini menimbulkan kerusakan dan luka batin yang mendalam. Rumah-rumah penduduk Yahudi dijarah dan sinagog-sinagog dirusak. Sebanyak 423 org Yahudi yang selamat bersembunyi di
48
rumah penduduk lokal. Tak lama kemudian, semua Yahudi di Hebron dievakuasi oleh pemerintah Inggris121. Pada tangal 29 Agustus 1929, selain di kota Hebron, kerusuhan juga menjalar ke kota Safed dan menewaskan 18-20 orang Yahudi yang bertempat tinggal di kota tersebut. David Hacohen sebagai saksi mata menceritakan peristiwa tersebut dalam buku hariannya122: “Kami bangun pada hari Sabtu pagi dan aku tidak mempercayai penglihatanku. Aku bertemu dengan beberapa orang tua Yahudi yang melarikan diri. Kami pergi kejalan-jalan dan memasuki kota tua. Di sebuah rumah aku melihat beberapa tubuh yang dimutilasi dan terbakar dan tubuh seorang wanita yang juga terbakar yang terikat di jendela. Dari rumah kerumah aku melihat setidaknya ada 10 mayat yang tergeletak. Aku tidak habis pikir bagaimana ini bisa terjadi ?” “Orang-orang Yahudi lokal menceritakan padaku bagaimana tragedi ini bermula. Pada hari kamis tanggal 29 Agustus , orang-orang Arab di Safed dan juga dari desa tetangga membuat kerusuhan dengan membawa senjata serta galon bensin. Mereka membakar rumah-rumah, memenggal kepala penghuninya, mereka menghempaskan seorang anak ke dinding dan memotong tangannya. Seorang lelaki Yahudi bernama Yitzhak Mamon ditikam berkali-kali hingga tewas namun pihak berwajib tidak berbuat apa-apa.”
121
Noam Arnon, Hebron 4000 years and 40 : The Story of The City of Patriarch, (New York : The Hebron Fund,2009), h.22 122 David Hacohen, Time to Tell : An Israeli Life 1898-1984.(New Jersey : Asscosciate University Press,1985), h.37-38
49
Menanggapi kerusuhan ini, Ilmuwan Fisika dan Tokoh Yahudi Jerman, Albert Einstein menulis artikel opini untuk Koran Filastin yang diterbitkan pada 28 Januari 1930. Dalam artikelnya, Albert Einstein mengajak rakyat Arab dan Yahudi di Palestina untuk lebih menekankan aspek kemanusiaan dibanding Nasionalisme sempit. Editor Koran Filastin, Azmi al-Nashashibi mengatakan Artikel ini sanggup meredakan ketegangan antara Arab dan Yahudi di Palestina123 Walaupun dampak kerusakan yang dilakukan orang-orang Arab sangat parah, tapi Pemerintah Mandat Inggris menuding bahwa perbuatan kelompok Betar pada tanggal 15 Agustus merupakan pemicu utama konflik tersebut. Setelah peristiwa tersebut, Pemerintah Mandat Inggris mempublikasikan peraturan Order in Council 1929 yang menetapkan bahwa umat Islam Palestina memiliki hak tunggal atas kepemilikan Tembok Ratapan dan area sekitarnya dan kaum Yahudi dilarang membunyikan Shofar di Tembok tersebut124 Pemerintah Inggris segera melakukan investigasi atas kasus ini dengan menunjuk Sir Walter Shaw sebagai Ketua Tim Investigasi, didampingi oleh 3 Anggota Parlemen Inggris, yaitu Sir Henry Betterton (Partai Konservatif), Hopkin Morris (Partai Liberal) dan Henry Snell (Partai Buruh). Mereka berempat pergi dari pintu ke pintu dan mewawancarai para saksi mata. Sir Walter Shaw dan rekan-rekannya membuat kesimpulan setelah wawancara tersebut, yaitu : Serangan ini dimulai oleh orang Arab terhadap Komunitas Yahudi, Pengaruh rumor terhadap masyarakat Arab menengah kebawah yang kurang terdidik merupakan sebab kerusuhan ini cepat menyebar, wilayah yang paling terkena dampak kerusuhan adalah Hebron dan Safed, Kerusuhan ini bukan bertujuan 123
Artikel di Koran Filastin, 28 Januari 1930 Menachem Begin. The Revolt: Story of the Irgun. (New York: Henry Schuman,Inc., 1959) , h. 87-88 124
50
melawan Pemerintah Mandat Inggris, Mufti Amin al-Hussayni sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mendinginkan situasi125. Pemerintah Mandat Inggris juga melakukan investigasi mengenai masalah pertanahan dan Imigrasi, karena khawatir bahwa kerusuhan tersebut merupakan dampak dari kebijakannya selama ini. Sir John Hope Simpson ditunjuk sebagai Ketua Tim Investigasi. Laporan tersebut diumumkan oleh Pemerintah pada publik tanggal 20 Oktober 1930 yang menyatakan bahwa pembelian tanah dari orang orang Arab oleh Jewish Agency dengan harga tinggi 126 membuat banyak pemuda Arab Palestina yang tak menemukan lahan baru untuk bercocok tanam sehingga terjadi pengangguran yang mengakibatkan mereka mudah tersulut emosi. Selain itu, imigrasi Yahudi yang terus meningkat juga membawa kekhawatiran penduduk Palestina akan kemungkinan kolonisasi oleh pendatang Yahudi. Sir John Hope Simpson merekomendasikan agar penjualan tanah dihentikan oleh Pemerintah Mandat Inggris dan mulai diberlakukannya kuota terhadap Imigrasi Yahudi127. Akhirnya, setelah menimbang laporan dari Sir Walter Shaw & Sir John Hope Simpson, Pemerintah Inggris mengeluarkan White Paper kedua sejak White Paper pertama tahun 1922, yaitu Passfield White Paper 1930. White Paper ini sebagai keputusan resmi Pemerintah Kerajaan Inggris yang diumumkan oleh Sekretaris Urusan Kolonial, yaitu Sydney Webb yang bergelar Lord Passfield.128 Isinya antara lain : Menegaskan bahwa Pemerintah Inggris masih memegang 125
Text Shaw Comission Report, http://unispal.un.org/UNISPAL.NSF/0/B00527FEA, diakses pada tanggal 14 Mei 2014 126 Pembelian Tanah Tanah tersebut dimodali oleh Keren Kayerment (Jewish Agency) dan Keren Hayesod (Jewish National Fund), karena banyak orang Yahudi yang kekurangan uang untuk membangun rumah dan lahan bercocok tanam setelah sampai di Palestina. dalam Muhammad Raji al-Faruqi (1980). Islam & Problem of Israel. London. h.57-58 127 Text Hope Simpson Report, http://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/History/ html, diakses pada 14 mei 2014 128 Rory Miller. Britain, Palestine, and Empire: The Mandate Years. (London : Ashgate Publishing,2010), h.8
51
komitmen Deklarasi Balfour 1917, namun pembentukan Jewish National Homeland bukanlah kebijakan utama Kerajaan Inggris atas Palestina. Pemerintah Kerajaan Inggris akan memenuhi tugas dari Liga Bangsa Bangsa untuk melaksanakan kewajiban terhadap Bangsa Arab maupun Bangsa Yahudi, dan Pemerintah Kerajaan Inggris juga akan mulai memberlakukan kuota bagi imigran Yahudi yang ingin datang ke Palestina129. Bagi masyarakat Yahudi, kerusuhan tahun 1929 terutama pembantaian yang terjadi di daerah Hebron & Safed membuat komunitas Yahudi di Palestina dan juga seluruh dunia terkejut. Peristiwa ini membuat orang-orang Yahudi memutuskan untuk memperkuat organisasi Paramiliter Yahudi yang disebut Haganah, yang akan menjadi cikal bakal dari Israeli Defense Force (IDF)130. Dua tahun kemudian, Haganah juga akan terpecah menjadi organisasi paramiliter yang lebih radikal yaitu Irgun Zvai Leumi.131 Bagi Masyarakat Arab, peristiwa tahun 1929 memiliki dampak buruk bagi mereka. Peristiwa ini memberikan alasan bagi orang orang Yahudi pada umumnya dan Golongan Zionis pada khususnya, bahwa koeksistensi yang damai antara kedua komunitas mustahil diwujudkan. Sebelum ini masyarakat Arab dipandang sangat toleran dan mendukung keberadaan komunitas Yahudi Sephardim di Palestina. Setelah insiden tersebut, komunitas Yahudi Sephardim lokal merapatkan barisan ke kubu Zionis dengan membawa segala pengetahuan dan pengalaman mereka mengenai budaya dan bahasa Arab yang mereka peroleh
129
Text Passfield White Paper, https://www.jewishvirtuallibrary.org/ passfield.htm, diakses pada 14 mei 2014 130 John Bowyer Bell. Terror out of Zion. (New Jersey : Transaction Publishers, 1976), h.5 131 Yehuda Bauer. “From Cooperation to Resistance : The Haganah 1948-1936”. Middle Eastern Studies, vol.2 no.3 (April 1966), h.182-210
52
selama hidup berdampingan dengan masyarakat Arab di Palestina. Dengan kata lain, rakyat Arab Palestina “sukses” menggali kuburannya sendiri dengan memperkuat musuh yang akan mengancam masa depannya kelak132.
B. Pemberontakan Arab Palestina 1936-1939 Pemberontakan Arab Palestina 1936-1939 adalah sekumpulan kerusuhan sporadis yang dilakukan para petani dan pejuang revolusioner di Palestina. Pemberontakan ini awalnya menggunakan metode „Ketidaktaatan Sipil‟ (Civil Disobedience)133 namun berevolusi menjadi perlawanan bersenjata yang terdiri atas sekumpulan kecil pengerusakan tanpa mengincar satu target spesifik, melainkan banyak target; antara lain orang Yahudi dan Pemerintahan Mandat Inggris. Penyebab tak langsung dari pemberontakan tersebut adalah „Insiden Semen‟ yang terjadi di pelabuhan Haifa, 16 October 1935. Insiden ini dilatarbelakangi
ketika
orang-orang
Arab
yang
bekerja
sebagai
kuli
panggul sedang mengangkut kiriman 537 drum semen putih dari kapal kargo Belgia Leopold II, yang dalam surat keterangan bea cukai merupakan pesanan untuk pengusaha Yahudi bernama J. Katan di Tel Aviv134. Sebuah drum tak sengaja jatuh dan rusak, ternyata isi drum tersebut adalah beberapa pucuk senapan lengkap dengan amunisinya135. Investigasi menyeluruh oleh Pemerintah Mandat Inggris
mengungkapkan
bahwa
terdapat
132
sejumlah
besar
senjata
yang
Moshe Sakal. The real point of no return in the Jewish-Arab conflict, dari http://www.haaretz.com/weekend/week-s-end/.premium-1.566793. Diakses pada 10 Mei 2014 133 Ralph Schoenemann, Mimpi Buruk Kemanusiaan : Sisi Gelap Zionisme. (Surabaya : Pustaka Progresif,1998),h.52 134 Gudrun Krämer, A History of Palestine: From the Ottoman Conquest to the Founding of the State of Israel. (New Jersey :Princeton University Press,2008), h.263 135 Ted Swedenburg, Memories of revolt: the 1936-1939 rebellion and the Palestinian national past. (Fayetteville: University of Arkansas Press,2003),h.220
53
diselundupkan, yang terdiri atas 25 Senapan Mesin, 800 Rifle dan 400.000 butir amunisi yang dimuat dalam 359 drum semen. Tapi karena identitas sebenarnya dari pemesan senjata itu tak diketahui, maka Pemerintah Mandat Inggris memutuskan untuk tidak melakukan penangkapan136. Sejak kekerasan berdarah yang dilakukan orang orang Arab terhadap orang orang Yahudi pada tahun 1929, Haganah berusaha menyelundupkan senjata ke Palestina demi melindungi keselamatan warga Yahudi. Penemuan kiriman senjata tersebut memperkuat bukti bahwa pasukan paramiliter Yahudi di Palestina mempersenjatai diri secara besar-besaran sebagai langkah preventif137. Haganah telah mengirimkan perwakilan ke Belgia, Prancis dan Italia untuk membeli senjata dan sering diselundupkan ke Palestina dalam peti dan bagasi. Banyak kekhawatiran bahwa kaum Zionis akan berusaha mendirikan Negara di Palestina dengan menggunakan kekuatan senjata138. Kontroversi akibat masalah penyelundupan senjata tersebut dan sikap lunak Inggris terhadap Haganah, serta makin bertambahnya imigran Yahudi ke Palestina, menjadi faktor utama munculnya seorang ulama karismatik asal Syria bernama Izzudin al-Qassam yang menganjurkan sebuah solusi alternatif bagi rakyat Palestina agar melakukan konfrontasi terhadap kelompok Zionis dan Pemerintah Mandat Inggris139. Motivasi Izzudin al-Qassam menawarkan solusi alternatif yang radikal karena ia menilai Dewan Tinggi Muslim yang dipimpin 136
Ted Swedenburg, Memories of revolt: the 1936-1939 rebellion and the Palestinian national past. (Fayetteville: University of Arkansas Press,2003),h.78 137 The Black Paper on The Jewish Agency and The Zionist Terrorist. Arab Higher Committee Archive, 12 Maret 1948,h.3 138 Weldon C Matthews, Confronting an Empire, Constructing a Nation: Arab nationalists and popular politics in mandate Palestine. (London & New York : I B Tauris. 2006), h.237 139 Wawancara Pribadi dengan Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz al Mehdawi, Jakarta 4 Juli 2014.
54
Amin al-Hussayni tak serius dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Ia menyalahkan Dewan Tinggi Muslim yang lebih senang memperbaiki masjid dibanding membeli senjata140. Namun situasi demikian, disebabkan juga karena adanya fragmentasi politik di kalangan elit Palestina. Percaturan politik di kalangan elit Palestina didominasi oleh dua faksi yaitu Majlisiyun (Pendukung Amin al-Hussayni) dan Mu‟ardiun (Pihak Oposisi yang dipimpin oleh Raghib al-Nashashibi)141.
Gesekan diantara kedua kubu
semakin menajam terutama setelah Musa Kazim al-Hussayni dipecat dari jabatannya sebagai Walikota Jerussalem dan digantikan oleh Raghib alNashashibi. Rivalitas antara kedua kelompok dinilai menjadi biang kemunduran elit Palestina dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina142 Pada dekade 1930an, sejumlah partai politik baru bermunculan di Palestina. Partai-partai itu adalah Partai Kemerdekaan Arab (Hizb al-Istiqlal alArabi) yang didirikan oleh Izzat Darwaza, Partai Pertahanan Nasional (Hizb alDifa al-Watani) yang dikuasai oleh Keluarga Nasashibi, Partai Arab Palestina (Hizb al-Arabi al Filastini) yang didominasi oleh Keluarga Hussayni, Partai Reformasi (Hizb al-Islah) yang dipimpin oleh Keluarga Khalidi, dan tentunya golongan radikal dibawah komando Izzudin al-Qassam yang menyerukan perlawanan bersenjata melawan Pemerintah Mandat Inggris dan Pihak Zionis143.
140
Uri M Kupferschmidt, The Supreme Muslim Council: Islam Under the British Mandate for Palestine. (Leiden : Ej brill,1987),h.251 141 Dr.Manuel Hassasian, Palestine Factionalism in the National Movement 1919-1939. (Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,1990) h.78-79 142 Taysir Nashif. “Palestinian Arab & Jewish Leadership in Mandate Period”. Journal of Palestine Studies. Vol.6 no.4, h.113-121 143 Weldon C Matthews. Confrontong an Empire, Constructing a Nation : Arab Nationalist & Popular Politic in Mandate Palestine. (London & New York : I B Tauris. 2006), h.226-227
55
Untuk mencapai tujuannya, Izzudin al-Qassam mendirikan organisasi yang dinamai “Brigade Tangan Hitam” (al-Kaff al-Aswad). Kelompok ini memiliki sekitar 200-800 anggota yang terdiri atas sejumlah sel dan bertugas melakukan aksi sabotase serta pengerusakan terhadap fasilitas Pemerintah Inggris & pemukiman Yahudi. Pada tahun 1935, Izzudin al Qassam menghimpun 800 anggota Brigade Tangan Hitam untuk menyerang pelabuhan Haifa yang notabene adalah pusat perekonomian Inggris karena adanya jaringan pipa minyak di wilayah itu144. Pada tanggal 20 November 1935, setelah membunuh seorang opsir polisi, Izzudin al-Qassam dikepung oleh polisi Inggris di sebuah gua di dekat Kibbutz Ahrasy Yu‟bad. Izzudin al-Qassam tewas dalam baku tembak bersama dengan tiga anak buahnya. Sedangkan beberapa anggota Tangan Hitam yang masih hidup ditangkap oleh Polisi Inggris145. Kematian Izzudin al-Qassam yang dianggap tragis membuat seluruh lapisan
rakyat
Palestina
berkabung,
sehingga
penguburan
jenazahnya
diselenggarakan layaknya upacara resmi kenegaraan. Izzudin al-Qassam dianggap sebagai martir oleh rakyat Palestina. Kematiannya menjadi pemicu bagi rakyat Arab Palestina untuk memberontak melawan Pemerintah Mandat Inggris146, sekaligus mentransformasi perlawanan rakyat Palestina menjadi pemberontakan bersenjata untuk beberapa dekade selanjutnya147.
144
Ted Swedenburg. “Al-Qassam Remembered”. Journal of Comparative Poetics. No.7 (spring 1987) h.7-24 145 Rashid Khalidi. Iron Cage : Palestinian Struggle for Statehood.( Oxford : One World Publication,2007), h.90 146 Ted Swedenburg. “Al-Qassam Remembered”. Journal of Comparative Poetics. No.7 (spring 1987) h.7-24 147 Fariz al Mehdawi. Derita Palestina Air Mata Kita. Jakarta : Cendikiawan Marhaen., t.t. h.6
56
Pada tanggal 15 April 1936, salah satu murid Izzudin al-Qassam yang bernama Farkhan al-Sa‟adi, bersama anak buahnya membajak sebuah bus di kota Nablus dan menembak mati dua orang warga sipil Yahudi yang berada di dalam bus tersebut. Sore harinya, Haganah membalas dendam dengan membunuh dua orang petani Arab. Insiden ini menimbulkan ketegangan diantara kedua kelompok dan memicu bentrokan fisik yang berkelanjutan148. Akibatnya, Pemerintah Mandat Inggris langsung mengumumkan jam malam bagi warga sipil di kota Jaffa dan Tel Aviv. Bahkan selanjutnya Pemerintah Mandat Inggris memberlakukan keadaan Darurat Militer di seluruh kawasan Palestina. Pada tanggal 20 April 1936, sejumlah elit Palestina mendirikan Komite Arab Tertinggi (Al Lajnah al Arabiyah al-Uliya) di kota Nablus, yang mendeklarasikan Perlawanan rakyat Arab Palestina terhadap Pemerintah Mandat Inggris149. Komite Arab Tertinggi dipimpin oleh Amin al-Hussayni. Anggota partai politik lain juga menjadi anggota komite ini, seperti Raghib al-Nashashibi, Husayn al-Khalidi, Abdul Latif Saleh dan Awni Abdul Hadi. Komite ini menuntut agar imigrasi Yahudi dihentikan dan Pemerintah Mandat Inggris tak boleh lagi menjual tanah pada Imigran Yahudi serta dibentuknya pemeritahan sendiri bagi orang Arab Palestina yang akan bertanggung jawab pada Parlemen Inggris 150. Komisaris Besar Mandat Inggris, Sir Arthur Grenfell Wauchope, segera mengajak Amin al-Hussayni untuk berunding. Ia memohon agar Komite Arab Tertinggi tidak melakukan hal hal yang bersifat ilegal dan merugikan kepentingan
148
William Cleveland & Martin Burton . History of Modern Middle East. (Philadelphia : Westview Press, 2009),h.258 149 Taysir Nashif. “Palestinian Arab & Jewish Leadership in Mandate Period”. Journal of Palestine Studies. Vol.6 no.4, h.113-121 150 Abdel Aziz Ayyad. Palestine Nationalism & Palestinian. (Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,1999), h.155
57
kedua belah pihak151. Namun Amin al-Hussayni tetap bersikeras menjalankan rencananya, jika Pemerintah Mandat Inggris tidak mau mengabulkan tuntutan Komite Arab Tertinggi, maka kekerasan adalah satu-satunya pilihan. Pada tanggal 7 Mei 1936, Komite Arab Tertinggi menghimbau agar semua rakyat Arab Palestina yang bekerja di kantor-kantor pemerintah maupun perusahaan perusahaan di seluruh wilayah Palestina melakukan mogok kerja, serta tak perlu lagi membayar pajak kepada Pemerintah Mandat Inggris. Dengan ini, dimulailah „Pemogokan Umum di Palestina‟ (Palestine General Strike) yang menjadi tahap awal dari Pemberontakan tahun 1936.152 Kepercayaan diri Amin al-Husayni beserta rekan-rekannya dalam memulai pemberontakan dikarenakan mereka menerima suntikan dana dari Pemerintahan Fasis Italia secara berkala, padahal saat itu Inggris sedang bersengketa dengan Italia atas wilayah Ethiopia. Pemberontakan di Palestina yang dimotori oleh Amin al-Hussayni dan rekan rekannya bukan hanya menusuk Inggris dari belakang di tengah kasus sengketanya dengan Italia, namun juga membuat pengaruh Fasis Italia di wilayah tersebut semakin besar153. Selain Fasis Italia, pihak luar yang memiliki andil dalam pemberontakan ini adalah Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Mesir. Pada 24 Mei 1936, Hassan al-Bana, Pemimpin Ikhwanul Muslimin menyatakan pada para anggotanya untuk membantu „Saudara-Saudara Muslim Palestina‟, dibentuklah Komite Sentral
151
Michael J. Cohen. “Sir Arthur Wauchope, the Army, and the Rebellion in Palestine 1936”. Middle Eastern Studies, Vol. 9, No. 1 (Jan., 1973), h. 19-34 152 Ralph Schoenemann, Mimpi Buruk Kemanusiaan : Sisi Gelap Zionisme. (Surabaya : Pustaka Progresif,1998), h.52-53 153 Nir Arielli. “Italian Involvement in the Arab Revolt in Palestine : 1936-1939”. British Journal of Middle Eastern Studies. Vol.35 no.2 h.187-204
58
Bantuan untuk Palestina (Al-Lajna al-Markaziyya al-Amma li-Musa‟adat Filastin) yang diketuai oleh Hassan al-Bana sendiri154. Pemberontakan tahun 1936 mentransformasi Ikhwanul Muslimin, yang awalnya hanya sekedar organisasi pemuda menjadi organisasi politik, dari sifatnya yang hanya Misi Deklaratif (Da‟wa Qawliyya) menjadi Perjuangan Aktif (Jihad Amali). Tujuan akhir gerakan politik Ikhwanul Muslimin adalah pembentukan negara-negara Islam yang merdeka dan berlandaskan Syariat Islam. Untuk mencapai tujuan tersebut, tidak ada cara lain bagi mereka kecuali mengambil sikap non-kooperatif dan melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintahan yang sah. Pemberontakan Arab tahun 1936 merupakan momen yang tepat bagi mereka untuk melancarkan aksi teror terhadap Pemerintah Mandat Inggris dengan dalih “solidaritas sesama Muslim”155. Pada bulan Juli 1936, Fawzi al-Qawuqji, sukarelawan asal Syria yang pernah menjadi Penasehat Militer Ibnu Saud dan disebut-sebut telah “mentransformasi angkatan perang Saudi Arabia menjadi sekuat Prussia”, memasuki wilayah Palestina bersama 200 orang personil tentara bayaran yang ia sebut sebagai Jaysh. Para tentara bayaran itu digabungkan dengan kelompok pemberontak Palestina dan dibagi menjadi 4 divisi, masing masing dipimpin oleh seorang Komandan Pleton 156. Pasukan pemberontak melakukan pengrusakan dan sabotase yang diarahkan pada instalasi-instalasi strategis milik pemerintah Inggris seperti ,jaringan komunikasi, kantor polisi, pos-pos militer, rel kereta dan jalur Trans 154
Artikel di Koran Filastin, 27 Mei 1936 Israel Gershoni. “The Muslim Brotherhood & the Arab Revolt in Palestine 19361939”. Middle Eastern Studies. Vol.22 no.3 (juli 1886) ,h.367-397 156 Laila Parsons. “Soldiering for Arab Nationalism : Fawzi al-Qawuqji in Palestine”. Journal of Palestine Studies. Vol.36 no.4 (summer 2007), h.33-48 155
59
Arabian Pipeline (TAP) yang dimiliki oleh British Petroleum, kemudian berlanjut pada pengrusakan properti di pemukiman Yahudi. Pemerintah Mandat Inggris segera memberlakukan Hukum Darurat Militer. Orang orang yang dicurigai terlibat dalam pemogokan ditangkapi, Pemerintah juga mengenakan denda pada desa-desa yang warganya terlibat dalam pemogokan157. Pemerintah Mandat Inggris terus mengerahkan tentaranya ke pelosok pedesaan dan meledakkan 240 bangunan yang membuat sekitar 6000 orang Palestina kehilangan tempat tinggalnya. Banyak keluarga yang terpaksa meninggalkan rumahnya tanpa berganti pakaian atau membawa harta benda yang mereka miliki158. Pemerintah Mandat Inggris kemudian meminta bantuan para pemimpin dunia Arab untuk menyelesaikan masalah ini. Pada tanggal 10 November 1936, Raja Ghazi dari Irak, Raja Abdul Aziz dari Arab Saudi dan Emir Abdullah dari Transjordania mengeluarkan "Seruan Bersama" yang memberikan himbauan agar : "menghentikan pemogokan dan menyerahkan proses politik kepada "niat baik" Pemerintah
Inggris,
yang
berjanji
akan
melaksanakan
keadilan
dan
menghilangkan tindakan diskrimatif atas seluruh warga Palestina”159. Karena adanya “Seruan Bersama” para pemimpin Arab itu akhirnya Amin al Hussayni selaku pemimpin Komite Arab Tertinggi memutuskan untuk
157
Ralph Schoenemann, Mimpi Buruk Kemanusiaan : Sisi Gelap Zionisme. (Surabaya : Pustaka Progresif,1998), h.53 158 Artikel di Koran Filastin, 12 Juni 1936 159 Abdel Aziz Ayyad. Palestine Nationalism & Palestinian. (Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,1999), h.162
60
menghentikan pemberontakan dan menghimbau kepada seluruh anggota pemberontak untuk meletakkan senjata160. Pada tahun akhir tahun 1936, dibentuk sebuah Komisi Kerajaan yang dipimpin oleh William Peel yang bergelar 1st Earl of Peel. Tugas utama dari Komisi Peel adalah menemukan penyebab pemberontakan tahun 1936. Dalam acara dengar pendapat yang diadakan di banyak tempat, termasuk di gedung House of Lords di London dan juga di Palestina. Pemerintah Inggris mendengarkan semua opini yang diajukan, baik dari pihak Arab Palestina maupun Yahudi161. William Peel menemui Amin al-Hussayni untuk membahas mengenai solusi untuk menyelesaikan masalah antara Arab dan Yahudi. Amin al Hussayni kembali menegaskan pada William Peel bahwa etnis Yahudi yang sudah terlanjur datang, bisa diizinkan menetap di Palestina asal dibentuk Pemerintahan sendiri untuk masyarakat Arab Palestina, karena sejarah membuktikan bahwa Bangsa Arab selalu menjadi tuan rumah yang baik bagi Bangsa Yahudi, berbeda dengan Bangsa Eropa.162 Dalam laporannya kemudian, Komisi Peel menyimpulkan bahwa pemberontakan tahun 1936 disebabkan karena bangkitnya nasionalisme Palestina, ketakutan terhadap rencana pihak Yahudi mewujudkan “Jewish National Homeland”, meningkatnya imigran Yahudi dan ketidakpercayaan masyarakat Arab Palestina terhadap niat baik Pemerintah Mandat Inggris. Komisi Peel kemudian merekomendasikan agar sebaiknya wilayah Mandat Inggris di Palestina 160
Artikel di Koran Filastin, 13 November 1936 Ralph Schoenemann, Mimpi Buruk Kemanusiaan : Sisi Gelap Zionisme. (Surabaya : Pustaka Progresif,1998), h.44-46 162 Correspondence between Amin al Hussani & the Peel Commission in Palestine, December 1936, Arab Higher Committee Archive. 161
61
dibagi menjadi dua, satu bagian untuk bangsa Yahudi dan satu bagian lainnya diberikan bagi bangsa Arab. Wilayah Yahudi, meliputi kawasan pantai, Lembah Jezreel, Beit She'an, dan Galilea, sementara Negara Arab akan meliputi Transjordania, Yudea, Samaria, Lembah Sungai Jordan dan Gurun Negev163. Komite Arab Tertinggi yang dipimpin Amin al-Hussayni terang-terangan menolak rekomendasi Komisi Peel dan menganggap Komisi Peel melanggar janji. Mereka mengeluarkan memorandum yang menyatakan bahwa Palestina adalah bagian integral dari dunia Arab, karena itu usulan untuk memberikan sebagian wilayah Palestina kepada Imigran Yahudi bukanlah hal yang dapat diterima164. Perlu dicatat, penolakan tersebut juga disebabkan adanya kecurigaan bahwa rekomendasi Komisi Peel tersebut sudah direncanakan sejak awal, sebelum mereka datang ke Palestina untuk melakukan investigasi.165 Penolakan juga datang dari Emir Abdullah dari Transjordania, dalam suratnya untuk Komisi Peel, beliau menegaskan bahwa etnis Yahudi tidak memiliki hak Historis untuk menetap di Palestina karena sejak awal mereka adalah pendatang sebagaimana bangsa asing lain yang menginvasi Palestina. Sedangkan etnis Arab lebih berhak karena mereka merebut Palestina dari bansga Romawi166. Pada bulan Juni 1937, kerusuhan terulang kembali. Sejumlah milisi Arab membunuh Inspektur Polisi Inggris bernama R.G.B. Spicer. Pada bulan 163
Text Peel Comission Repot, https://www.jewishvirtuallibrary.orgHistory/peel1.html, diakses pada 14 Mei 2014 164 Abdel Aziz Ayyad. Palestine Nationalism & Palestinian. (Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,1999), h.166 165 Jad Issac, A Palestinian Perspective on the Israeli-Palestinian conflict on settlements, territory and borders, dalam Elizabeth Matthews, The Israel Palestine Conflict : Pararel Discourse, (London : Taylor & Francis,2011), h.67 166 Surat Emir Abdullah untuk Komisi Peel, Maret 1937, sumber : http://cojs.org/cojswiki/index.php/Memorandum_from_Amir_Abdullah_to_the_Royal_Commissio n_in_Palestine,_Mar._1937. Diakses pada tanggal 4 Juli 2014
62
September di tahun yang sama, Kepala Distrik Galilea, Lewis Andrews dan Pejabat Inggris bernama P.R. McEwen ditembak mati oleh sejumlah milisi Arab di luar gereja Anglikan di kota Nazareth. Pemerintah Mandat Inggris menyalahkan Komite Arab Tertinggi atas kerusuhan ini dan pembunuhan sejumlah Pejabat Pemerintah167. Komisaris Besar Mandat Inggris, Sir Arthur Grenfell Wauchope mengambil tindakan tegas dengan mengklasifikasikan Komite Arab Tertinggi sebagai Organisasi Terlarang. Amin al Husayni selaku pemimpin organisasi, melarikan diri ke Lebanon, sedangkan para pemimpin militer lainnya banyak yang ikut melarikan diri, atau terbunuh. Dengan hilangnya para Pemimpin, Gerakan Nasionalisme Palestina pun menjadi lemah karena absennya figur pemimpin168. Pada bulan November 1937, pusat aktivitas para pemberontak berpidah ke kota Damaskus, Syria dengan berdirinya Komite Sentral Jihad Nasional Palestina (Al-Lajnah al-Markaziyya lil-Jihad). Pendiri organisasi ini adalah Izzat Darwaza, yang juga pendiri Partai Kemerdekaan Arab (Hizb al-Istiqlal al-Arabi). Para pemimpin pemberontakan yang melarikan diri dari Palestina seperti Jamal al Husayni, Fawzi al-Qawuqji dan Farkhan al-Saadi juga ikut bergabung 169. Dimulailah fase kedua dalam pemberontakan Arab Palestina. Jika pemberontakan pada fase pertama Komite Arab Tertinggi mengorganisir rakyat untuk melakukan pemogokan dan aksi sabotase dibantu oleh sukarelawan dari negara tetangga dan didanai oleh negara lain, fase kedua ditandai dengan
167
Ghassan Kanafani, The 1936-1939 Revolt in Palestine. (New York : Comitee for Democratic Palestine,1972),h.47 168 Michael J. Cohen. “Sir Arthur Wauchope, the Army, and the Rebellion in Palestine 1936”. Middle Eastern Studies, Vol. 9, No. 1 (Jan., 1973), h. 19-34 169 Wendy Pearlman. Violence, Nonviolence, and the Palestinian National Movement. (Cambridge : Cambridge University Press,2011), h.49-52
63
pemberontakan yang dilakukan para petani (Fellahin) yang bergerak dalam unitunit kecil sesuai dengan desa asal mereka masing masing dan dipimpin oleh170sejumlah komandan seperti Abdul Khalik, Abdul Rahim al Hajj Mohammed, Aref Abdul Razzik dan Yusuf Said Abu Durra, yang ditunjuk oleh Komite Sentral Jihad Nasional Palestina Pada tanggal 2 Oktober 1938, 70 orang pemberontak Arab memasuki wilayah Kiryat Shmuel di kota Tiberias dan membantai 19 orang Yahudi, membakar rumah-rumah orang Yahudi beserta synagog di lingkungan tersebut. Di sebuah rumah, seorang ibu beserta kelima anaknya terbunuh, seorang Rabbi ditikam hingga tewas di dalam synagog. Pada saat terjadinya pembantaian, hanya terdapat 15 orang anggota Haganah yang bertugas sebagai penjaga untuk 2000 orang warga. Penyergapan oleh pemberontak pun terjadi dan menewaskan Mayor Isaac Zaki Alhadif dari Haganah171. Ditengah situasi yang memanas, Sir Arthur Grenfell Wauchope mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Komisaris Besar, ia digantikan oleh Sir Harold McMichael. Sebelum ditugaskan ke Palestina, McMichael adalah mantan Gubernur Tanganyika dan satu-satunya Komisaris Besar yang mengerti bahasa Arab. Di awal masa jabatannya, Pemerintah Mandat Inggris harus mengakui bahwa pembagian wilayah untuk Arab dan Yahudi tidak mungkin
170
Abdel Aziz Ayyad. Palestine Nationalism & Palestinian. (Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,1999), h.171 171 Aharon Kleva Kleiberger, Aurochtonous Text in the Arabic Dialect of the Jews in Tiberias. (Wiesbaden : Otto Harasowitz Verlag,2009),h.119
64
direalisasikan. Selain itu, kerusuhan telah menyebar hampir ke seluruh kota besar di Palestina172. McMichael
memutuskan
untuk
melakukan
perlawanan
dengan
mengirimkan 20.000 tentara ke garis depan yang terdiri atas Royal Air Force dan Royal Navy serta dibantu oleh Haganah dan Irgun. Royal Air Force melakukan pemboman dari udara terhadap desa desa yang dicurigai sebagai basis pemberontak, Royal Navy menggunakan ranjau laut dari kapal perang HMS Malaya untuk menghancurkan rumah rumah petani yang memberontak, Irgun melakukan pemboman terhadap sentra-sentra ekonomi masyarakat Arab dan Haganah melakukan patroli yang intensif untuk mempersempit ruang lingkup kelompok pemberontak173. Saingan lama dari Amin al-Hussayni yaitu Raghib al-Nashashibi juga berperan penting dalam menumpas pemberontakan masyarakat Arab Palestina. Ia mengkhianati Komite Arab Tertinggi dan mendapat subsidi sebesar 5.000 Poundsterling dari Pemerintah Mandat Inggris untuk membentuk pasukan antipemberontak. Raghib menugaskan anggota keluarganya sendiri, Fakhri alNashashibi untuk mengumpulkan pasukan yang kemudian diberi nama Peace Band (Fasail al-Salam). Divisi ini berhasil mengusir pemberontak dari kota tua Jerussalem, dan membunuh 19 orang pemberontak. Pasukan ini kemudian
172
Matthews C Weldon . Confronting an Empire, Constructing a Nation: Arab nationalists and popular politics in mandate Palestine. (London & New York : I B Tauris. 2006), h.257 173 Matthew Hughes. “From Law & Order to Pasification : Britains Supression of Arab Revolt in Palestine 1936-1939”. Journal of Palestine Studies. Vo.39 no.2 (Winter 2010) h.6-22
65
dibubarkan oleh Pemerintah pada tahun 1939, namun para anggotanya tetap setia pada Inggris untuk memerangi kelompok radikal di Palestina174 Pada Tahun 1939, pemberontakan akhirnya berhasil dipadamkan oleh Pemerintah Mandat Inggris. Namun Pemerintah Mandat Inggris malah mengeluarkan White Paper 1939, yang dianggap sangat memihak kepentingan Palestina. Adapun pasal dari White Paper ini diantaranya adalah „imigrasi Yahudi ke Palestina akan dikurangi dan kemudian ditiadakan sama sekali‟ dan „akan dibentuk Pemerintahan bersama bagi bangsa Arab dan Yahudi‟175. Pemerintah Mandat Inggris mengambil kebijakan tersebut dengan dua alasan, yang pertama karena tak ingin orang Arab Palestina menyerang Inggris dari belakang saat sedang berperang melawan Nazi Jerman di Mesir dan Front lain 176. Alasan yang kedua, karena mereka menilai bahwa pembagian tanah bagi masyarakat Arab dan Yahudi bukanlah ide yang dapat direalisasikan saat ini. Pemberontakan Arab Palestina tahun 1936-1939 adalah pemberontakan yang terbesar dalam sejarah Palestina, namun berakhir dengan kegagalan. Banyak faktor internal dalam tubuh perlawanan rakyat Palestina yang menjadi penyebab dari kegagalan ini. Pertama, Amin al-Hussayni sebagai pemimpin tidak bisa menciptakan ikatan politik dan militer yang dibutuhkan untuk memperkuat pemberontakan ini. Sebagai akibatnya perlawanan bangsa Arab semakin melemah. Pemberontakan bangsa Arab mengesankan suatu ambiguitas antara
174
Hilel Cohen, Army of Shadows : Palestinian Colaboration with Zionism 1917-1948. (Berkeley : University of California Press,2009), h. 198 175 Text of White Paper 1939, avalon.law.yale.edu/20th_century/brwh1939.as, diakses pada 14 Mei 2014 176 Peter Mansfield, History of Middle East, (Pennsylvania : Pennsylvania State University,2004), h.218
66
perlawanan petani dan perlawanan revolusioner rakyat. Kondisi yang demikian mengakibatkan perlawanan ini tidak fokus ke satu tujuan177. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Panglima Perang Kerajaan Prussia, Karl Phillip Gottlieb von Klausewits yang mengingatkan bahwa : “Setiap peperangan memiliki objektivitas politik dan niat awal adalah yang menentukan serta harus diperjuangkan sampai akhir demi mencapai tujuan”.178 Pihak yang terlibat dalam pemberontakan fase pertama dan fase kedua memiliki motivasi dan tujuan yang berbeda. Pemain utama dalam pemberontakan fase pertama yaitu para Effendi dan golongan aristokrat yang borjuis serta feodal, dimana mereka cukup mapan secara ekonomi. Golongan aristokrat berjuang demi kemerdekaan dan penguasaan wilayah dalam arti yang Parokial. Amin Al Hussayni sebagai simbol pergerakan sekaligus pemimpin keluarga aristokrat, mempolitisasi pemberontakan ini untuk kepentingan dan interpretasinya sendiri mengenai nasib rakyat Arab Palestina179. Sedangkan, para petani yang bermain aktif dalam pemberontakan fase kedua, berjuang demi tanahnya. Bagi para petani, definisi dari kemerdekaan adalah kemerdekaan bagi dirinya, tanahnya, keluarganya dan desanya. Mereka berperang bukan untuk menghadapi pihak yang disebut penjajah, tetapi melawan para penyerobot lahan180. Dimata para petani yang bergeriliya di Front Tempur, para Effendi dan golongan aristokrat tidak mengkhianati mereka, namun tidak juga banyak 177
Tom Bowden. “Politics of Arab Rebellion in Palestine 1936-1939”. Middle Eastern Studies.vo.11 no.2 (may 1975) h.147-174 178 Karl Phillip Gottlieb von Klausewits. On War. (New Jersey : Princeton University Press,1976), h.25 179 Ghassan Kanafani. The 1936-1939 Revolt in Palestine. (New York : Comitee for Democratic Palestine,1972), h.41 180 Tom Bowden. :Politics of Arab Rebellion in Palestine 1936-1939”. Middle Eastern Studies.vo.11 no.2 (may 1975) h.147-174
67
membantu. Para elit Palestina mendukung usaha perlawanan melalui orasi dan propaganda namun tidak ikut berbagi suka-duka bersama mereka yang bertempur di medan perang. Setelah pemberontakan berakhir dengan kegagalan, mereka malah melarikan diri ke luar negeri dan membiarkan para petani menjadi korban dari pembalasan Pemerintah Mandat Inggris181. Secara strategi, Komite Arab Tertinggi selaku aktor intelektual pemberontakan ini juga mengalami problematika. Mereka menjadkan ideologi nasionalisme sebagai alat untuk menyatukan banyak fraksi politik yang tadinya berseberangan. Namun aliansi tersebut sangat tidak stabil dan gagal mencapai persatuan, karena perselisihan antar keluarga juga berperan di dalamnya 182. Hal tersebut terbukti ketika keluarga Nashashibi yang merupakan rival dari keluarga Hussayni berbalik memihak Inggris dan memerangi para pemberontak183 Ditinjau dari segi taktik, pasukan petani bertarung dalam unit-unit kecil bersama dengan suku dan kabilah mereka demi memperjuangkan tanah mereka sendiri. Hal itu menunjukan sebuah ketidakmatangan politik dalam struktur inti pergerakan. Desa dan kabilah menjadi mikrokosmos dalam perlawanan ini. Para petani juga tidak homogen, dan memiliki basis masa serta memiliki perspektif sosial yang berbeda-beda tergantung wilayah masing-masing184. Segmentasi vertikal diantara para petani, rakyat kebanyakan dan Komite Sentral Jihad sebagai organisasi pergerakan serta motif politik masing-masing golongan yang berbeda-beda menyebabkan sulitnya terjadi kristalisasi dalam 181
W.F. Abboushi. “The Road to Rebellion Arab Palestine in the 1930‟s”. Journal of Palestine Studies. Vol.6 no.3 (Spring 1977),h.23-46 182 Dr.Manuel Hassasian , Palestine Factionalism in the National Movement 1919-1939. (Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,1990), h.36 183 Hilel Cohen, Army of Shadows : Palestinian Colaboration with Zionism 1917-1948. (Berkeley : University of California Press,2009), h. 198 184 Tom Bowden. “Politics of Arab Rebellion in Palestine 1936-1939”. Middle Eastern Studies.vo.11 no.2 (may 1975) h.147-174
68
pembentukan identitas kebangsaan. Pemberontakan Arab 1936-1939 mengalami kegagalan karena kurangnya disiplin diantara para petani dan kurang terorganisir secara politis. Semangat bertarung dalam diri bangsa Arab yang mengalir dalam darah mereka selama berabad-abad menjadi boomerang
bagi diri mereka
sendiri185. Seperti halnya kerusuhan tahun 1929, pemberontakan tahun 1936-1939 menghasilkan dampak yang sangat krusial bagi masyarakat Arab Palestina secara keseluruhan. Pemberontakan ini menghabiskan semua energi dan sumber daya yang sangat dibutuhkan, karena bertempur melawan musuh yang masih kuat186. Pihak Zionis mendapat keuntungan karena mempertahankan sikap kooperatif dengan Pemerintah Inggris dan akhirnya mereka dapat mengambil peluang dari momen melemahnya Inggris pada tahun 1947-1948. Sementara rakyat Arab Palestina yang masih belum pulih akibat kekalahan dalam pemberontakan ini, kehilangan
momentum
yang
berharga187.
Dapat
disimpulkan
bahwa
Pemberontakan Arab Palestina tahun 1936-1939 adalah tindakan yang terburuburu, sia-sia dan berakhir anti-klimaks.
C. Kolaborasi dengan Nazi Jerman Kolaborasi antara oknum pemimpin Palestina dengan Nazi Jerman dilakukan pada masa akhir Pemberontakan Arab. Ketika Amin al-Hussayni melarikan diri ke Lebanon, ia bertemu dengan Wilhelm Canaris, Kepala Dinas
185
Tom Bowden. “Politics of Arab Rebellion in Palestine 1936-1939”. Middle Eastern Studies.vo.11 no.2 (may 1975) h.147-174 186 W.F. Abboushi. “The Road to Rebellion Arab Palestine in the 1930‟s”. Journal of Palestine Studies. Vol.6 no.3 (Spring 1977),h.23-46 187 Rashid Khalidi. Iron Cage : Palestinian Struggle for Statehood. (Oxford : One World Publication,2007), h.123
69
Intelijen Jerman atau yang disebut Abwehr. Pihak Jerman setuju untuk menyelundupkan sejumlah senjata ke Palestina lewat Arab Saudi, sayangnya rencana tersebut dibatalkan karena sudah tercium lebih dulu oleh pihak Inggris188. Amin al-Husseini pun datang ke Jerman. Ia dipuja di depan publik dalam satu resepsi penghormatan untuknya yang diberikan oleh Institut Islam Nazi (Islamische Zentralinstitut). Ia juga menerima uang saku secara rutin yang jumlahnya setara dengan 10.000 Dolar, serta fasilitas menginap di sebuah hotel mewah di kota Berlin189. Pada 25 November 1941, Amin al-Hussayni bertemu dengan Hitler dalam sebuah rapat. Hitler menjanjikan akan menjadikan Amin al-Hussayni sebagai Fuhrer atas seluruh dunia Arab190, segera setelah Nazi menyeberangi Pegunungan Kaukasus dan melebarkan wilayah ke Timur Tengah. Hitler juga mendukung kedaulatan
negara-negara
Arab.
Bagi
Hitler,
tujuan
utamanya
adalah
memusnahkan orang Yahudi. Di mata Hitler sendiri, ideologi Islam dengan konsepsi mengenai Jihad Islamiyah dianggap sebagai Ideologi Komplementer Nazisme yang bisa digunakan untuk membebaskan dunia dari cengkraman Yahudi.191 Setelah rapat dengan Hitler, Al-Hussayni diajak ikut rapat dengan kepala SS Heinrich Himmler. Himmler menugaskan al-Husseini merekrut orang-orang Arab ke dalam unit-unit militer yang bertugas di Balkan, Rusia, Afrika Utara, dan
188
Francis Nikosia. “Arab Nationalism & National-Socialist Germany 1933-1939 : Ideological & Strategic Incompability”. International Journal of Middle East. Vol.12 no.3 (Nov 1980) h.351-372 189 David Dalin dan John Rothman. Icon of Evil: Hitler's Mufti and the Rise of Radical Islam, (New Jersey : Transaction Publishers,2009), h.47 190 Chuck Morse. Nazi Connections to Islamic Terorism : Adolf Hitler & Hajj Amin alHussayni, (New York : iUniverse,2003), h.55 191 David Patterson. A Genealogy of Evil: Anti-Semitism from Nazism to Islamic Jihad. (Cambridge : Cambridge University Press,2010), h. 97–98
70
Timur Tengah. Himmler yakin, rencana itu akan membuat SS semakin kuat. Amin al-Hussayni merealisasikan keinginan Himmler tersebut pada tahun 1942, dengan dibentuknya Arabisches Freiheitkorps yang beranggotakan para pemuda Arab Palestina untuk bergabung dengan pasukan Jerman. Divisi Arab ini bertugas memburu pasukan payung pihak sekutu dan juga akan dikirim untuk bertempur di front Russia192. Nama Amin al-Hussayni kemudian dikaitkan dengan program genosida terhadap etnis Yahudi. Pada tanggal 17 July 1942, Amin al-Hussayni bersama dengan beberapa orang staf yang mewakili Perdana Menteri Irak yang pro-Nazi, Rashid
al-Gailani,
Oranienburg.
Amin
mengunjungi al-Hussayni
Kamp
Konsentrasi
mengungkapkan
Sachsenhausen
kepuasaannya
dan
terhadap
banyaknya jumlah orang Yahudi yang menjadi budak pekerja (Slave Labour) disana. Pada tanggal 25 Juli 1944, Amin al-Hussayni mengetahui detail rencana genosida tersebut, ia mendukung agar orang orang Yahudi di Hungaria dan Rumania dicegah melarikan diri ke Palestina dan lebih baik dikirim ke Kamp Konsentrasi di Auschwitz193 Amin al-Hussayni memanfaatkan kerjasamanya dengan militer Jerman untuk menghancurkan kekuatan Inggris dan Zionis di Palestina. Dinas Intelijen Jerman (Abwehr) membuat rencana bersama Amin al-Hussayni yang disebut “Operation Atlas”. Operasi ini bertujuan untuk melakukan sabotase terhadap fasilitas Inggris dan Yahudi di Palestina, serta meracuni sumber air di Tel Aviv.
192
Rafael Medoff. "'The Mufti's Nazi Years Re-examined". The Journal of Israeli History vol.17 no.3 (Summer 1996),h. 317–333. 193 Achcar, Gilbert, Blame the Grand Mufti. Le Monde diplomatique Online, diakses pada tanggal 15 mei 2014.
71
Pada tanggal 6 Oktober 1944, Hassan Salameh194 (anggota Hizb al-Istiqlal alArabi dan Jihad al-Muqaddas195) terjun bersama 5 orang anggota Pasukan Payung Jerman dari Pesawat Heinkel HeS 3. Mereka mendarat di Wadi Qelt, Jerikho. Hassan Salameh terluka ketika mendarat, sementara tentara Jerman yang lain berhasil ditangkap. Setelah digeledah, ditemukan beberapa kapsul racun, senapan mesin, granat dan dinamit196. Pada Mei 1945, Nazi Jerman kalah perang. Amin al-Husseini mencari perlindungan ke Swiss namun ditolak. Ia kemudian ditangkap oleh pasukan Prancis dan ditahan di Constanz sebelum akhirnya dibawa ke Paris untuk ditempatkan dalam tahanan rumah. Pemerintah Inggris meminta Prancis untuk mengekstradisi Amin al-Hussayni agar bisa diadili di Mahkamah Militer Nuremberg. Namun, Pemerintah Prancis menolak permintaan Inggris karena Amin al-Hussayni dianggap sebagai tokoh yang disegani dan sanggup mendinginkan emosi umat Islam di Syria. Pihak Prancis akhirnya mengizinkan Amin al-Hussayni terbang ke Mesir197. Walaupun Amin al-Hussayni sudah tak lagi memiliki wewenang politis di Palestina sejak gagalnya pemberontakan 1936-1939, rakyat Palestina tetap menganggapnya sebagai figur pemimpin. Kolaborasi dengan Nazi Jerman
194
Hassan Salameh adalah ayah dari Ali Hassan Salameh yang terlibat dalam peristiwa Black September in Munich Summer Olympics 195 Jihad al-Muqaddas adalah sebuah gerakan yang berkarakteristik Islami dan nasional, dengan perlindungan dari al-Hajj Amin. Organisasi ini berpusat di kota Jerussalem dengan kepemimpinan Abdul Qadir al-Husaini dengan jumlah anggotanya hingga tahun 1935 sekitar 400 orang 196 Daphna Sharfmann. Palestine in the Second World War: Strategic Plans and Political Dilemmas. (Sussex : Sussex Academic Press, 2014), h.86 197 Richard Breitman. Hitler‟s Shadow : Nazi War Criminals, US Intelligence & the Cold War. (Washington : National Archive Press,2010), h.20
72
merupakan pengkhianatan kedua sejak ia menerima subsidi dari Fasis Italia198. Keterlibatan pemuda-pemuda Arab dalam Arabische Freiheitkorps dan ikut sertanya Hassan Salameh selaku anggota Jihad al-Muqaddas dalam „Operation Atlas‟, juga merupakan pengkhianatan terhadap kemurahan hati yang diberikan Pemerintah Mandat Inggris lewat White Paper 1939. Tindakan Amin al-hussayni ini jelas merupakan penikaman dari belakang ketika Inggris sedang berperang melawan Nazi Jerman. Sejak awal, Amin Al-Hussayni memang tak menyetujui White Paper 1939, dan tetap pada tuntutan semula, yaitu kemerdekaan penuh bagi rakyat Palestina. Sikapnya yang tidak kompromistis dan enggan untuk mempercayai Pemerintah Mandat Inggris membuat Inggris mulai meninjau ulang mengenai keuntungan merangkul rakyat Arab Palestina.199. Bagi pihak Zionis, keterlibatan Amin al-Hussayni dalam mendukung kegiatan Nazi mengirim orang-orang Yahudi ke camp konsentrasi dan juga perannya sebagai aktor intelektual dalam „Operation Atlas,‟ adalah kejahatan besar. Pada tahun 1948, Israel melakukan pengusiran terhadap rakyat Palestina dari rumah-rumahnya. Salah satu alasannya adalah mengkaitkan keterlibatan Palestina dengan Nazi Jerman. Hal tersebut dianggap melegalkan pembalasan atas perbuatan Nazi namun diarahkan pada “Kolaboratornya” yaitu Palestina200.
198
Nir Arielli. “Italian Involvement in the Arab Revolt in Palestine : 1936-1939”. British Journal of Middle Eastern Studies. Vol.35 no.2, h.187-204 199 Zvi Elpeleg. The Grand Mufti Hajj Amin al-Hussayni : Founder of Palestinian National Movement. (London : Routledge,2003), h.54 200 Mustafa Kabbha. “The Palestinian National Movement & its Attitude toward the Fascist & Nazi Movements 1925- 1945”. Gessischte und Gesselschaft. Vol.37 (spring 2011), h.37–450
73
BAB V AKHIR MANDAT INGGRIS & TATANAN DUNIA BARU
A. Pembagian Palestina dan Berdirinya Negara Israel Pasca perang dunia kedua, pihak Sekutu (Amerika-Inggris-Prancis-Uni Soviet) selaku pemenang perang merasa perlu membentuk Tatanan Dunia Baru (New World Order). Hal tersebut hanya bisa direalisasikan dengan membentuk organisasi persatuan dan perdamian international seperti Liga Bangsa-Bangsa201. Namun, Liga Bangsa-Bangsa bersikap lemah ketika Nazi Jerman mencaplok Cekoslovakia dan Fasis Italia mencaplok Ethiopia202. Maka Liga Bangsa-Bangsa harus dirombak menjadi organisasi yang jauh lebih kuat. Upaya pihak Sekutu itu dicetuskan dalam Konferensi Yalta, di Krimea, Russia Selatan. Pihak sekutu sepakat untuk meneruskan perundingan di San Fransisco, Amerika Serikat. Perundingan berlangsung antara 25 April 1945 sampai dengan 26 Juni 1945 dan menghasilkan Piagam Perdamaian (Charter of Peace). Setelah diratifikasi pada tanggal 24 Oktober 1945, Piagam tersebut mulai diberlakukan dan menandai lahirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)203 Perang dunia kedua juga mengakibatkan terjadinya dekolonisasi di seluruh kawasan Asia-Afrika. Aspirasi kemerdekaan nasional di hampir semua negeri yang tunduk pada kekuasaan Eropa semakin kuat. Dimulai dari Indonesia pada
201
Michael Barnett. “Bringing in the New World Order: Liberalism, Legitimacy, and the United Nations”. World Politics, Vol. 49, No. 4 (July 1997),h. 526-551 202 C. G. Fenwick,”The Failure of the League of Nations”, The American Journal of International Law, Vol. 30, No. 3 (Jul., 1936), h. 506-509 203 Robert C. Hilderbrand, Dumbarton Oaks : The Origins of the unite nations and the Search for Postwar Security (Chapell Hill : University of North Carolina Press, 2001),h.30
74
tahun 1945, efek domino dari dekolonisasi mulai menerpa negara-negara Asia lain. Angin kemerdekaan tersebut akhirnya sampai juga di Timur Tengah204. Pemerintah Mandat Prancis mulai menarik diri dari Syria pada tanggal 17 April 1946 dan dari Lebanon pada tanggal 22 Maret 1946. Sementara pada tanggal 31 Desember 1946, Inggris mengubah status Emirat Transjordania dari Protektorat menjadi Kerajaan dengan kedaulatan penuh (full sovereignity)205. Inggris juga menarik pasukannya dari Delta Sungai Nil di Mesir berdasarkan kesepakatan antara Perdana Menteri Mesir, Sidky Pasha dan Sekretaris Luar Negeri Inggris, Ernst Bevin206. Sebelum terjadinya dekolonisasi Timur Tengah, negara-negara Arab di kawasan itu sudah berencana menciptakan organisasi persatuan regional. Pada tanggal 7 Oktober 1944, perwakilan enam negara Arab yaitu Arab Saudi, Mesir, Syria, Irak, Transjordan dan Lebanon mengadakan pertemuan di Alexandria. Hasil dari pertemuan ini dikenal sebagai Protokol Alexandria dan berdasarkan Protokol Alexandria itu, mereka membentuk organisasi Arab bersama yang akan menjadi cikal bakal dari Liga Arab (al-Jami‟ah al-Arabiyyah)207. Protokol Alexandria juga memuat poin penting mengenai masalah Palestina, antara lain : Palestina adalah bagian integral dari dunia Arab, Kemerdekaan Palestina sangatlah penting untuk stabilitas dunia Arab, dibentuknya Arab National Fund untuk membantu Ekonomi rakyat Palestina dan
204
Prof.Dr.Johan Hendrik Meuleman, Dinamika Abad ke 20, dalam Ensiklopedia Islam. Dinamika Masa Kini. (Jakarta : PT.Ikhtiar Baru van Hoeve,2002), h.10 205 Pm Holt, Ann Lambton & Bernard Lewis. The Cambridge History of Islam. (Cambrdige : Cambridge University Press, t.t), h.582 206 Peter Mansfield, History of Middle East, (Pennsylvania : Pennsylvania University Press,2009), h.227-228 207 Adeed Dawisha. Arab Nationalism in the Twentieth Century from Triumph to Despair. (New Jersey : Princeton University Press,2009), h.123
75
keberadaan imigran Yahudi Eropa di Palestina merupakan pelanggarann atas Hak Rakyat Palestina208. Setahun
kemudian,
tepatnya
pada
tanggal
22
Maret
1945
ditandandatanganilah Pakta Liga Arab di Za‟faran Palace, Kairo, Mesir, oleh enam wakil negara anggota pertama, yakni Mesir, Irak, Syria, Lebanon, Transjordan dan Arab Saudi. Delegasi dari Yaman, terlambat datang ke Kairo namun ia mengirim pesan bahwa Yaman akan menandatangani dan meratifikasi pakta tersebut. Sementara delegasi Palestina, Musa al-Alami, yang hadir di Za‟faran Palace tidak ikut menandatangani pakta pendirian Liga Arab209. Para pemimpin Liga Arab (al-Jami‟ah al-Arabiyyah) mengadakan pertemuan pertama di Mesir pada bulan Mei 1946. Pertemuan ini menghasilkan kesimpulan yang menegaskan isi Protokol Alexandria antara lain bahwa wilayah Palestina memiliki “karakter Arab” (dihuni oleh orang-orang Arab dan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa sehari hari). Kesimpulan Liga Arab tersebut bertentangan dengan perjanjian Sykes-Pycott pada tahun 1916 yang menegaskan bahwa Palestina tidak murni Arab (Cannot be said to be purely Arab), ditinjau dari sisi historis210. Liga Arab juga membentuk Komite Eksekutif Arab untuk Palestina yang bertugas mewakili dan menyuarakan kepentingan Palestina di kancah internasional211. Berakhirnya Perang Dunia kedua juga mengubah sikap pihak Yahudi di Palestina. Mereka tidak puas atas sikap Pemerintah Inggris yang dianggap kurang 208
Text Protokol Alenxadria, The Alexandria Protocol, http://www.mideastweb.org/alexandria.htm, diakses pada tanggal 1 Juli 2014 209 Trias Kuncahyono. “Liga Arab : Membaca Cerita Lama”. Kompas. Minggu,30 Maret 2014 210 Peter Mansfield, History of Middle East, (Pennsylvania : Pennsylvania University Press,2009), h.234 211 Ensiclopedia Britannica. The Islamic World : Religion,History & Future. (London : Britannica, t.t), h.165
76
berpihak pada mereka, terutama setelah Sekretaris Luar Negeri Inggris, Ernst Bevin dan Perdana Menteri Inggris, Clement Atlee melobi pemerintah Amerika untuk membentuk Anglo American Comitee of Inquiry pada bulan November 1945212. Pada bulan April 1946, Komite ini merekomendasikan agar Mandat Inggris dilanjutkan, penjualan tanah milik orang Arab oleh Pemerintah Mandat Inggris kepada para imigran Yahudi dibatasi dan semua pasukan paramiliter Yahudi harus dilucuti senjatanya213. Haganah merespon dengan beraliansi bersama Irgun untuk menghantam Pemerintah Mandat Inggris di saat mereka belum pulih dari peperangan. Organisasi pecahan Irgun yang jauh lebih radikal, yaitu Lehi (Stern Gang) juga ikut bergabung. Gerakan ini disebut Jewish Resistance Movement ( תנועת המרי העברי, Tnu'at HaMeri HaIvri). Pada tanggal 16-17 Juni 1946, tentara Haganah meledakkan 8 buah jembatan di Palestina, yang kemudian dikenal dengan Night of the Bridges214. Keesokan harinya tentara Irgun menculik 5 orang pejabat pemerintah Mandat Inggris yang sedang makan siang 215. Pada hari Sabtu, tanggal 29 Juni 1946, Pemerintah Mandat Inggris melaksanakan „Operation Agatha‟ sebagai respon atas tindakan sejumlah organisasi paramiliter Yahudi tersebut. Sejumlah Polisi dan Tentara Inggris menyerbu markas Jewish Agency216 dan melakukan penangkapan terhadap 2700 orang personel Haganah, Irgun dan Lehi. Di Kibbutz Yagur, Polisi Inggris
212
Miriam Joyce Haron. “Palestine & Anglo American Connection”.Modern Judaism.Vol.2 no.2 (May 1982),h.199-211 213 Text Anglo American Comitee of Inquiry Report, http://avalon.law.yale.edu/subject_menus/angtoc.asp, diakses pada tanggal 15 Mei 2014 214 John Newsinger. British Counterinsurgency : From Palestine to Northern Ireland, (London : Palgrave,2002), h.19 215 The Black Paper on The Jewish Agency and The Zionist Terrorist. Arab Higher Committee Archive, 12 Maret 1948. h.12 216 Badan resmi yang mengurus Kepentingan penduduk Yahudi di Palestina
77
menemukan banyak senjata yang terdiri atas 300 senapan, 4000 peluru, 5000 granat dan 78 revolver. Para Pejabat yang diculik pun berhasil dibebaskan217. Biasanya, masyarakat Arablah yang selalu memberontak terhadap pemerintah Mandat Inggris dan masyarakat Yahudi cenderung bersikap loyal. Namun kali ini pihak Yahudi telah menemukan momentum untuk melakukan pergerakan. Situasi international yang telah berubah dan situasi di Palestina sendiri memberi tekanan yang terlampau besar pada Pemerintah Inggris, sehingga timbul niat untuk melepaskan Palestina yang mereka nilai sebagai wilayah yang penuh masalah218. Pada tanggal 7 Februari 1947, Sekretaris Luar Negeri Inggris, Ernst Bevin, mengumumkan di hadapan Kabinet bahwa Kerajaan Inggris tak dapat lagi meneruskan Mandat yang pernah diberikan oleh Liga Bangsa-Bangsa atas wilayah Palestina. Dengan demikian, masalah Palestina harus diserahkan kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) selaku penerus Liga Bangsa-bangsa. Pada tanggal 2 April 1947, Pemerintah Inggris mengajukan permintaan kepada Sekjen PBB, Trygvie Lie, untuk mengangkat masalah Palestina dalam acara rapat Sidang Umum PBB219. Pada tanggal 28 April 1947, diadakan rapat istimewa, Dalam acara dengar pendapat, sidang umum PBB mendengarkan semua opini yang diajukan, baik dari pihak Komite Arab Tertinggi selaku perwakilan Palestina, perwakilan dari Yahudi Palestina maupun Zionis International. Sidang Umum PBB memutuskan membentuk sebuah Pantia Khusus yang disebut United Nation Special Comitee 217
John Newsinger. British Counterinsurgency : From Palestine to Northern Ireland, (London : Palgrave,2002), h.20 218 Tamara Sonn. Islam : A Brief History, (Chichester : Wiley Blachwell,2004), h.129 219 Ritchie Ovendale. The Middle East since 1940. (London : Longman Publishing,1992),h. 40
78
On Palestine (UNSCOP) yang beranggotakan 11 orang untuk melakukan penyelidikan mengenai masalah Palestina. Pada tanggal 11 September 1937, UNSCOP mengajukan rekomendasi yaitu : Pembentukan Palestina merdeka untuk etnis Arab dan Yahudi220, dan Mandat Inggris atas Palestina harus segera diakhiri221. Pada tanggal 29 November 1947, PBB mengeluarkan Resolusi no.181. Sidang tersebut dihadiri sebanyak 56 negara. 33 negara yang menyetujui Resolusi tersebut, 13 negara menolak dan 10 negara menyatakan abstain 222. Inggris adalah salah satu negara yang abstain pada sidang tersebut, karena sudah lelah terhadap persoalan Palestina dan menyerahkan semua keputusan kepada PBB223. Sidang tersebut memutuskan bahwa wilayah Mandat Inggris di Palestina dibagi menjadi dua, satu bagian untuk bangsa Yahudi dan satu bagian lainnya diberikan bagi bangsa Arab. Wilayah Yahudi, meliputi Jaffa, sampai Galilea, daerah pelabuhan Haifa sampai selatan Jaffa dan Gurun Negev. Sementara wilayah Arab meliputi Lembah Esdraelon sampai Beersheba, wilayah barat Galilea dan Jalur Gaza sampai perbatasan Mesir. Khusus untuk Jerusalem, tidak diberikan pada Israel atau Arab karena Jerusalem merupakan kota suci untuk 3 agama (Yahudi, Kristen, Islam) jadi diberikan status Corpus Separatum224.
220
Baruch Kimmerling & Joe S Migdal.The Palestinian People. (Massachusets : Harvard University Press,2003).h.147 221 Termination of the British Mandat of Palestine.The International Law Quaterly.Vol.2 no.1 (spring 1948),h.57-60 222 The Great Betrayal in United Nation : Memorandum to United Nation delegates. Arab Higher Committee Archive, Februari 1948 . h.6 223 George Lenchzowski, The Middle East in World Affair. (New York : Cornell University Press,1952), h.334 224 Corpus Separatum adalah Bahasa Latin yang artinya „tubuh terpisah‟ . maksudnya, kota Jerussalem tak akan dikuasai oleh orang Arab maupun Yahudi, melainkan menjadi Kota International. Dikutip dari Rashid Khalidi. Iron Cage : Palestinian Struggle for Statehood. (Oxford : One World Publication,2007).h.125
79
Pembagian wilayah tersebut dinilai adil menurut perspektif PBB, karena walaupun Israel mendapat 55% dari wilayah Palestina, namun Israel juga mendapatkan gurun pasir Negev yang luas dan tidak produktif. Sementara untuk rakyat Arab, walau hanya dialokasikan 45% tapi mereka mendapatkan wilayah yang lebih strategis dan produktif, seperti wilayah pesisir Gaza yang bisa digunakan untuk pelabuhan dan Tepi Barat sungai Jordan yang subur225. Para anggota Komite Arab Tertinggi di Pengasingan, menolak Pembagian ini dan membuat Memorandum yang menyatakan bahwa Resolusi itu bertentangan dengan jiwa dari Piagam PBB226. Liga Arab, sebagai pihak yang mewakili Palestina juga terang-terangan menolak Resolusi PBB no.181, mereka menilai alokasi tanah tersebut tidak adil dan akan melakukan intervensi di Palestina227. Penolakan ini bisa dianggap wajar, karena sebelumnya pihak Arab tak pernah menyetujui solusi apapun yang ditawarkan pihak Barat. Sebenarnya, ada juga elit Palestina yang berpikiran terbuka dan rasional, seperti Fawzi Darwish al-Hussayni dan Sami Taha. Mereka berdua menilai bahwa negara Arab Palestina dan negara Yahudi dapat hidup bertetangga dengan harmonis. Fawzi membuat komitmen dengan Ihud (Faksi Zionis Liberal) dan Hashomer Hatshair (Faksi Zionis Sosialis) yang juga memiliki pemikiran serupa untuk bersama-sama mewujudkan Bi-National Solution. Sayangnya Fawzi
225
Gudrun Krämer. A History of Palestine: From the Ottoman Conquest to the Founding of the State of Israel. (New Jersey :Princeton University Press,2008), h.307 226 The Great Betrayal in United Nation : Memorandum to United Nation delegates. Arab Higher Committee Archive, Februari 1948. h.3 227 Adeed Dawisha. Arab Nationalism in the Twentieth Century from Triumph to Despair. (New Jersey : Princeton University Press,2009), h.131
80
dibunuh oleh orang-orang Arab yang menganggapnya pengkhianat. Nasib serupa kemudian juga menimpa Sami Taha228. Menanggapi Resolusi PBB no.181, orang-orang Yahudi di Palestina meluapkan kegembiraannya, di sisi lain penduduk Arab Palestina merasa tak puas. Segera saja, bentrokan pecah dimana orang orang Arab mulai menyerang wilayah Pemukiman Yahudi. Kedua belah pihak saling balas menyerang dan membunuh. Serangan yang dilancarkan oleh orang-orang Arab dibalas oleh Irgun dan Lehi secara membabi-buta229. Sementara itu, Amin al Hussayni yang ketika itu berada di Mesir, mengeluarkan Deklarasi, menyerukan kepada seluruh masyarakat Arab di Timur Tengah
untuk
menyerang
wilayah
Mandat
Inggris
di
Palestina
dan
menaklukkannya demi mencegah implementasi dari Resolusi PBB no.181230 Pada akhir Desember 1947, Pemerintah Mandat Inggris terkejut ketika Abdul Qadir al-Hussayni, keponakan Amin al-Hussayni memimpin
pasukan
Jihad al-Muqaddas231 bersama sejumlah sukarelawan dari Syria dan Lebanon berbaris memasuki batas wilayah Mandat Inggris232. Liga Arab berencana mencegah PBB untuk melaksanakan Resolusi no.181. Pada bulan JanuariFebruari tentara Arab Liberation Army (Jaysh al-Inqadh al-Arabi)233 dibawah
228
Lappin Shalom. “Israel-Palestine : Is There a Case for Bi-Nationalism ?”. Dissent. Vol.31 no.1, (Winter 2004),ProQuest Sosiology. h.13-17 229 Efraim Karsh . The Arab-Israeli Conflict.The Palestine War 1948.(Oxford : Osprey Publishing,2002), h.30 230 Deklarasi Amin al Hussayni untuk menyerang Palestina, dari Israeli defence Force Archive, file number 26/100001/1947 231 Jihad al-Muqaddas adalah sebuah gerakan yang berkarakteristik Islami dan nasional, dengan perlindungan dari al-Hajj Amin. Organisasi ini berpusat di kota Jerussalem dengan kepemimpinan Abdul Qadir al-Husaini dengan jumlah anggotanya hingga tahun 1935 sekitar 400 orang 232 Karsh, Efraim. The Arab-Israeli Conflict.The Palestine War 1948, h.26-27 233 Arab Liberation Army (Jaysh al-Inqadh al-Arabi) adalah pasukan Liga Arab yang didirikan atas prakarsa Presiden Syria, Syukri al-Quwatli.
81
pimpinan Fawzi al-Qawuqji menerobos perbatasan Palestina diikuti oleh 40005000 sukarelawan dari negara Arab yang lain234. Komisaris Besar Mandat Inggris, Sir Alan Cunningham memprotes tindakan tentara Arab tersebut, namun Letnan Jendral
Gordon Macmillan
mengatakan bahwa tindakan keras terhadap para penyusup illegal tak diperlukan karena mereka tak terkonsentrasi di tempat-tempat tertentu. Inspektur Jendral Kepolisian Palestina, Kolonel William Gray juga berjanji akan melindungi Sir Alan Cunningham dan memperketat pengamanan terhadap semua pegawai pemerintah Inggris di Palestina235. Dengan kehadiran Arab Liberation Army (Jaysh al-Inqadh al-Arabi) di Palestina untuk melakukan intervensi dan sikap organisasi paramiliter Yahudi yang bertekad mendukung Resolusi PBB no.181, menyebabkan terjadinya “Perang Sipil di Palestina” (Civil War in Palestine)236. Orang orang Arab membunuh 41 pekerja Yahudi di penyulingan minyak Haifa, tentara Haganah membalas dengan menyerang desa Balad as-Sheikh dan membunuh 61 orang Arab237 Presiden Amerika, Harry Truman segera mengambil inisiatif dengan menawarkan rencana „Perwalian untuk Palestina‟ (United States Proposal for Temporary United Nations Trusteeship for Palestine) selama 5 tahun mulai bulan Maret 1948, diakhirinya Mandat Inggris pada tanggal 15 Mei 1948, serta diberlakukannya gencatan senjata selama tiga bulan setelah melihat kenyataan 234
Motti Goulani, The End of the British Mandate for Palestine in 1948: The Diary of Sir Henry Gurney, (London : Palgrave,2009), h.27 235 Motti Goulani, The End of the British Mandate for Palestine in 1948: The Diary of Sir Henry Gurney,h.28 236 Baruch Kimmerling & Joe S Migdal.The Palestinian People. (Massachusets : Harvard University Press,2003),h.154 237 The Black Paper on Jewish Agency & Zionist Terrorism. Arab Higher Committee Archive,12 Maret 1948. h.15
82
bahwa Resolusi PBB no.181 mengakibatkan terjadinya perang sipil di Palestina238. Situasi yang tenang karena adanya gencatan senjata ditambah fakta bahwa Mandat Inggris akan segera berakhir, dimanfaatkan David ben Gurion untuk mempersiapkan kemerdekaan Israel secepat mungkin. Pemerintahan sementara pun dibentuk melalui Dewan Nasional yang merupakan penghubung antara Jewish Agency dan Komite Nasional (Ha‟Vaad Ha‟Leumi)239. Masalah lain yang berkaitan seputar pendirian Negara bagi masyarakat Yahudi adalah komposisi penduduk. Pada saat itu, jumlah penduduk Arab masih terlampau banyak, dan penduduk Yahudi masih merupakan minoritas di banyak kota di wilayah Palestina. Maka dari itu, tidaklah wajar apabila berdiri sebuah “negara Yahudi” namun etnis Yahudi justru minoritas dalam segi jumlah. Hal tersebut dikuatkan oleh pernyataan David ben Gurion240 : “Terdapat 40% penduduk non Yahudi Yahudi di daerah yang dialokasikan PBB untuk negara Yahudi, komposisi ini bukanlah menjadi fondasi yang kokoh bagi pendirian sebuah negara Yahudi. Untuk menciptakan keseimbangan demografis dan mempertahankan kedaulatan negara baru ini, maka setidaknya negara Yahudi yang kokoh dan stabil harus diisi oleh penduduk Yahudi dengan presentase sebanyak 80%” Untuk memecahkan masalah kependudukan, maka David ben Gurion mencetuskan solusi yang disebut Plan D (Rencana Dalet). Sebuah rencana perombakan komposisi penduduk yang akan dikerjakan oleh Haganah dan Irgun. 238
Edward Buehrig. “UN,US & Palestine”. Middle East Journal. Vol.33 no.4 (Autumn 1979) h.434-453 239 Elyakim Rubinstein. “The Declaration of Indepedendence as a Basic Documents of the State of Israel”. Israel Studies. Vol.3 no.1 (spring 1998), h.183 240 Ilan Pappe, The Ethnic Cleansing of Palestine. (Oxford : One World,2007), h.48
83
Tujuannya adalah untuk mengambil kendali atas wilayah negara Yahudi dan untuk membela perbatasannya dari orang-orang Arab. "Rencana Dalet" menyerukan penaklukan kota dan desa di sepanjang perbatasan daerah yang dialokasikan ke negara Yahudi yang diusulkan
sesuai dengan Resolusi PBB
no.181. Apabila ada resistensi, penduduk desa tersebut harus diusir (expell)241. Operasi pertama dari „Rencana Dalet‟ adalah „Operasi Nachshon‟, dengan tujuan untuk membuka koridor jalur Tel Aviv-Jerussalem, serta membebaskan Jerussalem dari blokade yang dilakukan oleh Abdul Qadir al-Hussayni. Pada tanggal 9 April 1948, 1500 orang dari pasukan gabungan paramiliter Yahudi dibawah pimpinan Menachem Begin menyerang desa Deir Yassin di sebelah barat Jerussalem. Menachem Begin dan pasukannya berhasil menghabisi 254 orang penduduk Arab di Deir Yassin dan juga membunuh Abdul Qadir al-Hussayni, keponakan Amin al-Hussayni sekaligus pemimpin Jihad al-Muqaddas. Operasi Nachshon sukses mencapai tujuannya, melakukan Ethnic Cleansing sekaligus membuka jalur suplai untuk penduduk Yahudi di Jerussalem242. Operasi selanjutnya bersandi „Scissors‟, bertujuan untuk membebaskan kota pelabuhan Haifa yang telah dialokasikan untuk negara Yahudi sesuai dengan Resolusi PBB no.181. Pada tanggal 22 April 1948, pasukan penembak jitu dari Haganah berhasil membunuh 300 orang penduduk Arab di pasar Haifa, dekat pintu pelabuhan243.
241
Walid Khalidi, "Plan Dalet: master plan for the conquest of Palestine", Journal of Palestine Studies vol.18 no.1, (November 1961), h. 4-33 242 John Bowyer Bell. Terror out of Zion. (New Jersey : Transaction Publishers, 1976), h.142-143 243 Walid Khalidi. “The Fall of Haifa Revisited”. Journal of Palestine Studies. Vol.37 no.3 (spring 2008), h.37
84
Walaupun „Rencana Dalet‟ yang bertujuan untuk membersihkan wilayah yang dialokasikan untuk orang orang Yahudi dari populasi Arab sering dituding sebagai pelanggaran HAM, namun Israel menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang legal. Salah satu pembenaran pihak Israel adalah keputusan Sekutu dalam Konferensi Postdam yang menyerahkan wilayah Jerman di sisi timur Sungai Oder-Neisse yaitu Pomerania, Brandenburg Timur, Prussia Timur dan Silesia kepada negara Polandia yang baru. Artikel tambahan Konferensi Postdam juga menyebutkan bahwa negara lain di Eropa Timur juga harus dibersihkan dari etnis Jerman. Konsekuensinya, 12 juta penduduk sipil dari etnis Jerman diusir dari wilayah-wilayah tersebut244. Pihak sekutu melegalkan tindakan pelanggaran HAM tersebut dengan alasan menciptakan nation state yang homogen dan stabil245, serta membalas dendam atas kejahatan Nazi246. Israel kemudian merasa berhak melakukan hal yang serupa terhadap penduduk sipil Palestina. Alasannya, karena Amin alHussayni dituding pernah terlibat mendukung kegiatan Nazi mengirim orangorang Yahudi ke camp konsentrasi, merekrut para pemuda Arab untuk bertempur di pihak Nazi, dan berperan sebagai aktor intelektual dalam „Operation Atlas‟ bersama Hassan Salameh (anggota Hizb al-Istiqlal al-Arabi). Hal tersebut mereka
244
Prauser, Steffen and Arfon Rees (eds.). The Expulsion of 'German' Communities from Eastern Europe at the end of the World War II, (EUI Working Paper HEC No. 2004/1) Florence: EUI 245 Alfred Zayas. Nemesis at Potsdam.(London : Taylor & Francis,1979), h.11 246 Chad Carl Bryant. Prague in black.. (Massachusets : Harvard University Press,2007), h.97
85
anggap sebagai Justifikasi untuk melakukan pembalasan terhadap perbuatan Nazi namun diarahkan pada “kolaboratornya” yaitu Palestina247. Sehari sebelum berakhirnya Mandat Inggris, tepatnya pada tanggal 14 Mei 1948248, Sir Alan Cunningham dan para Pejabat Pemerintahan Mandat Inggris meninggalkan Palestina dengan menaiki kapal dari Pelabuhan Haifa pada jam 8 Pagi249. David ben Gurion memanfaatkan peluang ini dengan mengundang Komite Persiapan Urusan Kemerdekaan (Minhelet Ha‟Am) untuk menandatangani naskah Deklarasi Kemerdekaan Israel, yang akan ia bacakan pada Jam 4 Sore di Museum Tel Aviv250. Setelah pembacaan Deklarasi Kemerdekaan, Chaim Weizmann dilantik sebagai Presiden Israel pertama dengan David ben Gurion sebagai Perdana Menteri. Presiden Amerika saat itu, Harry Truman langsung memberikan pengakuan de-facto kepada Negara Israel yang baru berdiri251. Deklarasi kemerdekaan negara Israel pada tanggal 14 Mei 1948 merupakan pemenuhan cita-cita bangsa Yahudi yang telah kehilangan negaranya sejak tahun 79 masehi. Bangsa Yahudi yang selama ini hidup dalam diaspora dan mengalami penyiksaan dan penindasan dari berbagai bangsa dan pada akhirnya berhasil pulang ke “kampung halamannya”. Mereka akhirnya dapat Memiliki sebuah negara yang merupakan segalanya dan bukanlah hasil dari tujuan sesaat.
247
Mustafa Kabbha. “The Palestinian National Movement & its Attitude toward the Fascist & Nazi Movements 1925- 1945”. Gessischte und Gesselschaft. Vol.37 (spring 2011), h.37– 450 248 Pemilihan Tanggal 14 Mei 1948 oleh David ben Gurion dikarenakan tanggal 15 Mei 1948 bertepatan dengan „Hari Sabbath‟. Di masa kini, apabila Hari Kemerdekaan Israel bertepatan dengan „Hari Sabbath‟, maka perayaannya akan dimajukan atau dimundurkan satu hari. 249 Motti Goulani, The End of the British Mandate for Palestine in 1948: The Diary of Sir Henry Gurney, (London : Palgrave,2009), h.20 250 Tuvia Frilling & Ilan Troen. “Proclaiming Independence : Five Days in May from David ben Gurion‟s Diary”. Israel Studies.Vol.3 no.1 (Spring 1998). h.196 251 Michael Ottolenghi, “Harry Truman‟s Recognition of Israel”. The Historical Journal. Vol.47 no.4 (Dec 2004),h.963
86
Keberhasilan ini dicapai karena masyarakat dan elit Yahudi di Palestina mampu memanfaatkan momentum dan fokus pada satu tujuan serta membuat perencanaan yang sistematis untuk mencapainya. Selain itu, bangsa Yahudi terbiasa hidup sulit telah menjadikan mereka lebih sabar dan menunggu saat yang tepat untuk melakukan pergerakan. Berbeda dengan bangsa Arab yang kehidupannya sederhana sehingga mereka kurang sabar dan terburu-buru. Bangsa Palestina pada masa kini telah menyadari hal itu, seperti yang diutarakan oleh Duta Besar Palestina, Fariz al Mehdawi : “Bangsa Indonesia Perlu 350 Tahun untuk merdeka dari Belanda, begitu halnya juga dengan India yang perlu waktu lama untuk bebas dari penjajahan Inggris, asal kita sabar dan tetap bertahan di tanah ini, pada akhirnya kita pasti bisa merdeka”252. Sebagai pemimpin, David ben Gurion sanggup berperan sebagai troubleshooter. Dengan pembagian wilayah seadanya yang dialokasikan PBB dan waktu yang sangat sempit, David ben Gurion mampu memanfaatkan peluang dan membuat berbagai persiapan untuk mewujudkan satu tujuan, yaitu Kemerdekaan Israel. Keberhasilan Israel otomatis juga merupakan kegagalan bagi rakyat Palestina, karena elit dan rakyat Palestina tidak memanfaatkan momentum dengan baik dan tidak fokus pada tujuan. Adapun elit mereka yang berpikiran rasional dan pragmatis seperti Fawzi Darwish al-Hussayni dan Sami Taha menjadi korban pembunuhan atas kehendak arus utama di Palestina yang tidak open minded.
252
Wawancara Pribadi dengan Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz al Mehdawi, Jakarta 4 Juli 2014.
87
Selain itu, dengan dibentuknya Komite Eksekutif Arab untuk Palestina, Liga Arab menjadi pihak yang mewakili suara dan kehendak Palestina253, sementara mereka kurang memahami aspirasi rakyat Palestina sesungguhnya, dan malah mendahulukan ambisi politiknya254. Rashid Khalidi berargumen, apabila rakyat Palestina mampu menyuarakan suaranya sendiri di saat akhir kekuasaan Mandat Inggris dan tidak menjadi Subaltern255, maka mereka pasti mampu mendirikan negara sendiri256. Cara Israel memerdekakan diri pada detik detik yang menentukan, mirip seperti bangsa Indonesia yang memerdekakan diri saat terjadinya kekosongan kekuasaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Bangsa Indonesia juga tidak menentang pembagian wilayah yang kurang adil dalam Perjanjian Linggarjati dan Renville, sehingga dunia internasional pun menaruh simpati atas kesabaran bangsa Indonesia, berbeda dalam kasus Palestina yang selalu menolak semua solusi dari Mandat Inggris maupun PBB sehingga pada akhirnya tidak banyak pihak yang bersimpati pada mereka257.
B. Perang Arab-Israel 1948 Pada tanggal 15 Mei 1948, tentara koalisi dari lima negara Arab yaitu Syria, Jordania, Lebanon dan Irak menyerang Israel, pecahlah Perang Arab-Israel 1948. Invasi ini dilakukan sebagai respon Liga Arab atas Proklamasi
253
Ensiclopedia Britannica. The Islamic World : Religion,History & Future. (London : Britannica, t.t.),h.165 254 Joseph Nevo. “Arabs in Palestine 1947-1948 : Millitary & Political Activity”. Middle Eastern Studies. Vol.23 no.1 (Jan 1987),h.3-38 255 Pihak yang lemah dan tak mampu menyuarakan suaranya sendiri 256 Rashid Khalidi. Iron Cage : Palestinian Struggle for Statehood. (Oxford : One World Publication,2007),h.126 257 Joseph Nevo. “Arabs in Palestine 1947-1948 : Millitary & Political Activity”. Middle Eastern Studies. Vol.23 no.1 (Jan 1987,h.3-38
88
Kemerdekaan Israel258. Perang ini terdiri atas sejumlah pertempuran di kota-kota serta pedesaan di Palestina yang berlangsung selama setahun dan bisa dianggap sebagai perang yang sangat menentukan masa depan Palestina. Israel menggunakan strategi yang digunakannya selama ini yaitu menunggu dan membiarkan lawan bertindak lebih dulu, kemudian memanfaatkannya untuk mencapai keunggulan di lapangan. Jamal al Hussayni, sebagai Perwakilan Komite Arab Tertinggi di Pengasingan mengirimkan surat kepada Perwakilan PBB bahwa Pasukan yang dikirimkan oleh para anggota Liga Arab bertujuan untuk membela Hak Rakyat Palestina sebagai Mayoritas melawan Kolonisasi dari pihak Zionis Yahudi259. Pada tanggal 22 Mei 1948, terjadi pertempuran antara Brigade Alexandroni dari Israeli Defence Force (IDF)260 dan pasukan Arab di kota Tantura, yang terletak di selatan kota Haifa. Tentara IDF menangkapi para penduduk sipil Arab dan mengumpulkan 40 orang yang terbukti terlibat dalam „Pemberontakan Tahun 1936-1939‟ berdasarkan data dari Jewish National Fund. Para tersangka dibawa kepantai dan dieksekusi oleh tentara IDF. Keesokan harinya, Tantura berhasil direbut oleh IDF dari tangan pasukan Arab.261 Pada akhir bulan Mei dan awal bulan Juni 1948, Israeli Defence Force (IDF) mencoba menghentikan laju tentara Mesir lewat „Operation Peleshet‟, pemboman dari pasukan IDF membuat tentara Mesir tercerai berai. Pada tanggal 6 Juni, dalam Pertempuran di Kibbutz Nitzhamin, dekat kota Ashkelon, divisi 258
Karsh, Efraim. The Arab-Israeli Conflict.The Palestine War 1948.(Oxford : Osprey Publishing,2002), h.51 259 Surat Jamal al Hussayni untuk Delegasi PBB, Arab Higher Comitte Archive, 24 Mai 1948 260 Sejak berdirinya negara Israel, semua organisasi paramiliter di Israel digabungkan menjadi Israeli Defence Force (IDF) 261 Muhammad Nimr al-Khatb. “The Tantura Massacre : 22 -23 May 1948”. Journal of Palestine Studies.vol.30 no.3 (Spring 2001) h.5-18
89
pasukan Mesir lainnya berhasil mendobrak pertahanan tentara IDF. Kemenangan ini membuat tentara Mesir berhasil memasuki Gaza dan Beersheba lalu bertemu dengan tentara yang bergerak Irak yang bergerak menuju kota Betlehem. Namun gabungan pasukan Arab ini tetap gagal memotong jalur pasukan IDF dari Tel Aviv ke Jerussalem262. Sementara itu, tentara Jordania menghadapi pertempuran yang cukup lama melawan pasukan IDF, dari tanggal 24 Mei sampai 18 Juli 1948. IDF berupaya merebut Benteng Latrun yang dikuasai tentara Jordania, karena penting demi mempertahankan jalur suplai ke Jerussalem. Upaya IDF tersebut tak berhasil dan mereka harus kehilangan 586 orang tentara, termasuk Jendral Mickey Marcus. Tentara Jordania menggunakan benteng Latrun untuk memotong jalur Tel AvivJerussalem sehingga tentara IDF harus memakai rute lain via “Jalur Burma”263. Kemenangan ini juga memungkinkan Jendral Glubb Pasha membawa divisi artileri untuk memasuki Jerussalem dan membombardir kota tersebut dengan meriam mortir 264. Pada tanggal 12-14 Juni, terjadi pertempuran di kota Lydda dan Ramalah. Tentara IDF yang dipimpin oleh Yigal Alon Feikovitz sebagai Komandan dan Yitzhak Rabin sebagai wakilnya menggelar „Operasi Danny‟ untuk merebut kota itu. Sekitar 1000 orang anggota milisi lokal dan 300 tentara Arab berperang melawan 8000 personil tentara IDF. Korban jiwa yang jatuh sebanyak 450 orang tentara Arab dan 9–10 orang tentara IDF. Pada hari berikutnya, kedua kota 262
Peter Mansfield, History of Middle East, (Pennsylvania : Pennsylvania State University press,2004), h.237 263 Salah satu Jalan samping menuju Jerussalem yang dibangun oleh Pasukan IDF pada saat Perang tahun 1948, adapun pemilihan nama terinspirasi dari jalan bernama sama yang menghubungkan Myanmar & Burma selama Perang Dunia Kedua 264 Karsh, Efraim. The Arab-Israeli Conflict.The Palestine War 1948. (Oxford : Osprey Publishing,2002), h.61-62
90
tersebut dikuasai pasukan IDF sedangkan Penduduk Arab di kedua kota itu terpaksa meninggalkan rumahnya265. Pada tanggal 8 Juli 1948, Tentara Lebanon menghadapi tentara IDF di Galilea Selatan yang menggelar „Operasi Dekel‟ untuk merebut kota Nazareth. Dalam perang kali ini, tentara Lebanon tak banyak membantu tentara Arab Liberation Army (Jaysh al-Inqadh al-Arabi), ditambah lagi ada masalah kekurangan ransum dan kendala persenjataan serta wabah penyakit, sehingga Fauzi al-Qawuqji mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Komandan namun dipaksa untuk kembali oleh pihak Saudi Arabia. Pada tanggal 18 Juli, pertempuran berakhir dengan kekalahan memalukan pihak Arab dan dikuasainya seluruh Galilea Selatan oleh IDF266. Pada tanggal 15 October 1948, Israeli Defence Force (IDF) melancarkan Operasi Hiram, yang bertujuan untuk menguasai Galilea Utara. Operasi ini dipimpin oleh Moshe Carmel. Wilayah Galilea yang luas memang menyulitkan pergerakan tentara IDF, ditambah pula dengan keberadaan tentara Lebanon yang menjaga wilayah tersebut. Namun setelah bertempur selama 60 jam, pasukan IDF berhasil menguasai Galilea Utara, menggiring pasukan Lebanon kembali ke negaranya, dan menyergap sebuah batalion pasukan Syria. Adapun korban jiwa yang jatuh dari pihak Arab sebanyak 400 orang267. Setelah perang yang berkepanjangan antara pasukan koalisi Arab melawan IDF, pasukan koalisi Arab ternyata kalah dalam perang tersebut. Pasukan IDF
265
Alon Kadish & Avraham Sela. “Myths & Historiography of the 1948 War Revisited : The Case of Lydda”. Middle East Journal. Vol.27 no.4 (summer 1998) h.83 266 Matthew Hughes. “Lebanon Armed and the Arab-Israeli War 1948”. Journal of Palestine Studies. Vol.34 no.2 (Winter 2005),h.24-41 267 Karsh, Efraim. Arab-Israeli Conflict : The Palestine War 1948. (Oxford : Osprey Publishing,2002), h.68
91
berhasil memukul mundur tentara koalisi Arab. Kemenangan Israel membuat mereka menguasai sebagian besar wilayah Mandat Inggris di Palestina. Perang ini diakhiri dengan deklarasi genjatan senjata dan dibuatlah batas demarkasi wilayah sementara yang disebut sebagai Garis Hijau268. Kekalahan tersebut tak bisa dihindari karena Liga Arab sangat lamban dalam membuat keputusan mengenai kasus Palestina. Sejak Liga Arab menolak Resolusi 181, mereka sama sekali tak memahami apa konsekuensi yang akan muncul dari penolakan tersebut. Liga Arab baru mengirim gabungan tentara reguler setelah Deklarasi Kemerdekaan Israel, sehingga IDF sudah terlebih dahulu mempersiapkan diri. Fauzi al-Qawuqji, yang merupakan Komandan Arab Liberation Army (Jaysh al-Inqadh al-Arabi) juga mengatakan bahwa lemahnya koordinasi antar negara membuat bingung para Komandan di lapangan269. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Ahli Strategi Militer Tiongkok, Sun Bin270 yang mengingatkan bahwa : “Raja itu ibarat pemanah, komandan ibarat busur dan prajurit ibarat Panah. Seorang pemanah tak mungkin membidik sasaran dengan tepat, apabila ia mengarahkan panahnya kearah yang salah, walaupun bagian depan anak panah itu lebih berat dari bagian belakangnya dan lengan busur itu menghasilkan daya dorong yang seimbang”.271
268
Nadim Rouhana, "The Intifada and the Palestinians of Israel: Resurrecting the Green Line", Journal of Palestine Studies, Vol. 19, No. 3 (Spring 1990), h. 58–75 269 Fawzi al-Qawuqji.Memoirs of 1948 Part 1. Journal of Palestine Studies, vol.1 no.4 (Summer 1972), h.28 270 Sun Bin adalah cucu dari Sun Tzu. Ia adalah Penasehat Militer di Negara Qi ketika Periode Negara-Negara Berperang. ia menulis Buku Strategi Militer berjudul “Sun Bin Bing Fa” yang merupakan pengembangan dari buku kakeknya yang berjudul “Sun Zi Bing Fa” 271 Wang Xuan Ming. Sun Bin‟s Art of War. (Jakarta : Elex Media Komputindo,1999), h.167
92
Kita dapat menafsirkan kata kata Sun Bin itu secara harfiah. Jika seorang pemimpin membuat keputusan yang tidak tepat, maka kemenangan tidak mungkin dapat diraih walaupun para tentara disebarkan secara tepat dan para komandan yang ada dibawahnya melakukan usaha bersama. Rakyat Arab Palestina tadinya berharap persatuan negara-negara Arab merupakan penyelamat mereka, karena ketidakmampuan untuk berjuang sendiri akibat dampak dari kekalahan tahun 1936-1939272. Kenyataanya, mereka malah harus menyaksikan pasukan koalisi Arab saling bersaing satu sama lain, saling curiga-mencurigai, bahkan menyabotase divisi lainnya dengan sengaja273. Selain itu, Perang tahun 1948 membuat kita dapat memberikan kesimpulan akhir mengenai strategi Yahudi ataupun Zionis selama ini. Seperti halnya Kerusuhan 1929 dan Pemberontakan Arab 1936-1939, mereka selalu sabar dan membiarkan pihak Arab bergerak lebih dulu. Hanya pada dekade 1940an dan proses kemerdekaan Israel, pihak Yahudi melakukan gerak cepat. Perjuangan pihak Arab yang selalu gagal dan berakhir anti-klimaks malah semakin memperkuat pihak Yahudi. Artinya, pihak Yahudi lebih matang dari pihak Arab dalam hal strategi dan lebih pandai dalam memanfaatkan peluang. Hal ini ditekankan juga oleh Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz al Mehdawi : “Kekalahan pada Perang Tahun 1948 disebabkan karena kita kurang persiapan, terburu-buru dan bersikap emosional”274.
272
W.F. Abboushi. “The Road to Rebellion Arab Palestine in the 1930‟s”. Journal of Palestine Studies. Vol.6 no.3 (Spring 1977),h.23-46 273 Adeed Dawisha. Arab Nationalism in the Twentieth Century from Triumph to Despair. (New Jersey : Princeton University Press,2009), h.130 274 Wawancara Pribadi dengan Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz al Mehdawi, Jakarta 4 Juli 2014.
93
Dampak lain dari kekalahan pasukan koalisi Arab dalam perang tahun 1948 adalah eksodus rakyat Palestina dari tempat tinggalnya, baik karena mengungsi untuk menghindari pertempuran ataupun diusir dari rumahnya oleh pasukan IDF yang sedang melaksanakan „Rencana Dalet‟. Sebanyak 750.000 orang Arab Palestina menjadi pengungsi di Syria, Lebanon dan Jordania. Peristiwa terusirnya Bangsa Palestina pada hari itu disebut Nakba (Disaster Day)275. Menurut Prof. Issa J Boulata dari Universitas McGill, dalam Peristiwa Nakba warga Palestina bukan hanya kehilangan harta benda, tanah dan properti namun juga kehilangan identitas kultural mereka. Budaya Palestina tercabik dan tanah kelahiran mereka digantikan oleh Negara Israel dan budaya Yahudi, karena masyarakat Yahudi merasa sudah lebih dulu memiliki akar di tempat itu jauh sebelum orang Arab Palestina menetap.
Hal ini menjadi membekas dalam
memori kolektif setiap individu Palestina276. Di sisi lain, Israel mengklaim Bukan hanya rakyat sipil Palestina saja yang menjadi korban pada tahun 1948, orang orang Yahudi juga banyak yang diusir secara paksa oleh penduduk Arab. Peristiwa ini mereka sebut sebagai "Jewish Nakba", mengacu kepada pengusiran etnis Yahudi oleh masyarakat Arab Palestina, Jurnalis Israel Ben Dror Yemini menulis277 : “Nakba bukan hanya mengacu pada Terusirnya orang Palestina pada tahun 1948, namun juga orang Yahudi. Pada tahun yang sama, 275
Michael R Fischbach, The Impact of the 1948 Disaster: The Ways that the Nakba has Influenced Palestinian History, Paper for the International Symposium “The Transformation of Palestine: Palestine & Palestinians 60 Years after the „Nakba‟”, Berlin, March 8 and 9, 2010 276 Issa J. Boullata. "The Palestine Nakba: Decolonizing History, Narrating the Subaltern, Reclaiming Memory." The Middle East Journal ,vol.66, no. 4 (2012),h.747-749 277 Dror Yemini, Ben ,"The Jewish Nakba: Expulsions, Massacres and Forced Conversions,” dari http://www.nrg.co.il/online/1/ART1/891/209.html, diakses pada tanggal 15 april 2014
94
sekitar 10.000 orang Yahudi terusir dan meninggalkan Rumah serta Properti miliknya begitu saja, bahkan banyak yang mati kelaparan di Perjalanan”. Memang dalam setiap peperangan, selalu rakyat sipil yang menjadi korban. Namun penduduk Palestina merasakan dampak yang lebih berat dari peristiwa Nakba dibanding penduduk Yahudi, karena etnis Yahudi sudah terbiasa hidup dalam diaspora sedangkan rakyat Palestina baru akan memulainya. Peristiwa Nakba juga menjadi turning point bagi nasionalisme Palestina, karena tanah dan properti yang selama ini menjadi alasan perjuangan rakyat Palestina melawan Pemerintah Mandat Inggris maupun Imigran Yahudi, akhirnya terlepas dari genggaman mereka.
C. Pengambilalihan Hak-hak Bangsa Palestina oleh Negara Arab Tetangga Akibat perang tahun 1948, Israel menguasai sebagian besar wilayah Palestina. Jordania kemudian menduduki wilayah yang dikenal sebagai Tepi Barat Sungai Jordan termasuk diantaranya Jerussalem Timur, dan beberapa kota seperti Jericho, Bethlehem, Hebron dan Nablus, sedangkan Jalur Gaza masih tetap berada dibawah kendali militer Mesir278. Pemerintah Mesir mengusulkan agar dibentuk Pemerintahan untuk Palestina di wilayah-wilayah yang diduduki oleh pasukan Mesir dan pasukan Jordania, namun Jordania menolak usulan tersebut. Raja Abdullah dari Jordania lebih memilih untuk menggabungkan wilayah Tepi Barat Sungai Jordan ke dalam kekuasaannya, langkah ini mengundang protes dari seluruh anggota Liga Arab. Bahkan Kerajaan Irak yang masih satu wangsa dengan Kerajaan Jordania, 278
Christopher Catherwood. A Brief History of The Middle East : From Abraham to Arafat. (New York : Carrolf & Graf Publishers,2006), h.194
95
menentang rencana tersebut. Sementara pihak Jordania mengungkapkan bahwa rencana unifikasi tersebut bisa saja dibatalkan, dengan syarat, negara Arab lainnya tak boleh mendukung berdirinya sebuah pemerintahan yang dibuat oleh rakyat Palestina279. Pada tanggal 23 September 1948, Pemerintah Mesir berinisiatif mendirikan “Pemerintah Seluruh Palestina” (al-Hukumat al-Filastini) di Jalur Gaza. Amin al-Hussayni didaulat untuk membacakan deklarasi kemerdekaan Palestina dan dilantik menjadi Presiden, Jerussalem dinyatakan sebagai ibukota negara Palestina yang baru. Walau demikian, bentuk negara ini terkesan ganjil karena mengklaim wewenang atas seluruh Palestina namun secara de-facto hanya berkuasa di Jalur Gaza. Pemerintahan ini juga tak memiliki kekuatan militer, tidak memiliki mata uang, tidak memiliki administrasi sipil, dan eksistensinya bergantung pada kebaikan hati Pemerintah Mesir280. Menanggapi tindakan Mesir itu, Raja Abdullah memilih melanjutkan rencana Unification of the Two Banks. Pada tanggal 1 Oktober 1948, Raja Abdullah mengadakan Konggres Palestina di Ibukota Amman yang dihadiri oleh perwakilan pengungsi Palestina di Yordania. Dalam Kongres tersebut, Raja Abdullah
mengusulkan
agar
wilayah
Tepi
Barat
digabungkan
dengan
Transjordania, bahkan ia melakukan kunjungan ke desa-desa di Tepi Barat untuk menggalang dukungan rakyat. Pada tanggal 1 Desember 1948, Konferesi Jericho menyatakan penggabungan Tepi Barat dengan Kerajaan Jordania atas dalih
279
Adeed Dawisha. Arab Nationalism in the Twentieth Century from Triumph to Despair. (New Jersey : Princeton University Press,2009), h.131 280 Avi Shlaim. “Rise & Fall of All Palestinian Government in Gaza”.Journal of Palestine Studies. h.38-53
96
“Melindungi sisa wilayah Palestina dari ancaman Zionisme”; Raja Abdullah juga diberikan gelar sebagai “Raja Seluruh Palestina”281. Pengakuan negara negara lain terhadap status Palestina juga berbeda-beda. Mayoritas anggota Liga Arab seperti Mesir, Syria, Lebanon, Iraq, Saudi Arabia, dan Yaman mengakui “Pemerintahan Seluruh Palestina” yang berkedudukan di Gaza dan juga mengakui Jerussalem sebagai ibukota Pemerintahan baru tersebut. Sedangkan Jordania yang menguasai Tepi Barat dan Jerussalem menolak mengakui “Pemerintahan Seluruh Palestina”, Sementara Amerika Serikat memilih mengakui aneksasi Jordania atas Tepi Barat dan Jerussalem Timur. Pada akhirnya, rakyat Palestina menemukan dirinya berada dalam situasi yang “complicated” akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi selama tahun 1948. Mandat Inggris menyerah terhadap kasus Palestina, Negara Israel berdiri dan menduduki sebagian besar wilayah Palestina, sementara Mesir dan Jordania mengambil alih wilayah Palestina yang tersisa, adapun mayoritas rakyat Palestina terpaksa berdiaspora dan menjadi pengungsi di negara lain282. Pengambilalihan hak-hak bangsa Palestina oleh negara-negara Arab tetangga merupakan sesuatu yang tak terhindarkan karena baik rakyat maupun elit Palestina membiarkan pihak lain yang berambisi untuk ikut campur dalam urusan internal bangsanya. Bagaimanapun dalam Politik tidak ada bantuan yang gratis. Apalagi beberapa negara anggota Liga Arab, baru berdiri sebagai sebuah negara merdeka, tentu mereka mengincar hegemoni untuk menjadi kekuatan politik terkuat di Timur Tengah. Kelemahan rakyat dan elit Palestina untuk
281
Mahdi Abdul Hadi. Nakba : Procces of Palestinian Dispossession. (Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,2008), h. 21 282 Rashid Khalidi. Iron Cage : Palestinian Struggle for Statehood. (Oxford : One World Publication,2007), h.124
97
memperjuangkan eksistensi negaranya dengan kekuatan sendiri serta sikap enggan mereka untuk menolak semua solusi yang ditawarkan Mandat Inggris dan PBB, dimanfaatkan oleh negara tetangga, seperti Mesir dan Jordania demi memenuhi hasrat akan supremasi. Menurut Ibnu Burdah, Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga : “Setiap jengkal diwilayah Timur Tengah adalah panggung terbuka bagi pertarungan antara para anggota Liga Arab yang ambisius. Setiap kekerasan yang terjadi, bukan tak mungkin merupakan perbuatan salah satu anggota Liga Arab dari balik layar”283. Maka dapat kita simpulkan, bahwa apa yang terjadi di Palestina ketika itu sampai saat ini pun juga tak terlepas dari perbuatan negara Arab lainnya. Namun, sekali lagi, hal itu bisa terjadi karena kelengahan rakyat dan elit Palestina yang tak menjaga dirinya dengan baik dan membiarkan pihak lain yang berambisi untuk ikut bermain di halaman mereka.
283
Ibnu Burdah. “KTT Liga Arab & Masa Depan Arab”. Kompas. Rabu,2 April 2014. h.7
98
BAB VI KESIMPULAN
Pemerintah Mandat Inggris menjanjikan kemerdekaan Palestina, namun rakyat dan elit Palestina kurang lihai memanfaatkan kesempatan tersebut dengan baik. Sebenarnya, Kerajaan Inggris tergolong peka dan cepat tanggap akan aspirasi warga di daerah jajahannya dibanding dengan kekuatan imperialis Eropa lainnya seperti Kerajaan Belanda atau Imperium Spanyol . Oleh karena itu, apabila Liga Bangsa Bangsa mempercayakan wilayah Palestina untuk diurus oleh Inggris, maka Inggris pasti akan berusaha mencarikan jalan tengah untuk menjembatani
antara
kepentingan
politik
mereka
dan
tuntutan-tuntutan
masyarakat di wilayah tersebut. Kesempatan untuk mencapai kemerdekaan juga pernah menghinggapi Indonesia.
Walaupun
Bangsa
Indonesia
mengklaim
memperjuangkan
kemerdekaan dengan usaha sendiri tanpa bantuan siapapun, tetapi nyatanya kita berkesempatan untuk merdeka berkat adanya Good will dari pihak Jepang. Bukti nyatanya adalah dengan berdirinya Dokuritsu Junbi Kosakai (BPUPKI) dan Dokuritsu Junbi Inkai (PPKI) serta perananan Laksamana Maeda pada saat penyusunan Text Proklamasi. Bangsa Arab Palestina kurang memahami upaya-upaya Pemerintah Inggris tersebut, hal ini dapat dimengerti karena orang Arab Palestina ketika itu masih tradisional dalam cara berfikir dan bertindak. Sebagai contoh, bagi mereka, orang kulit putih Inggris dan orang Yahudi dari Eropa yang datang sebagai Imigran tidak ada bedanya baik dalam perilaku, budaya, maupun gaya hidup sehari-hari.
99
Pemerintah Mandat Inggris dicap ingkar janji dan inkonsisten oleh bangsa Palestina. Di satu sisi, harus melaksanakan tugas Liga Bangsa-bangsa untuk mempersiapkan rakyat Palestina agar siap menerima kemerdekaan. Di sisi lain, Pemerintah mandat Inggris berjanji untuk tetap mengakomodir kepentingan Imigran Yahudi yang ingin menetap di Palestina. Penilaian bangsa Arab Palestina terhadap Mandat Inggris dari Liga Bangsa-Bangsa yang mengakibatkan gesekan-gesekan, dapat dibandingkan dengan pengalaman rakyat Indonesia yang menganggap pihak Sekutu bukan hanya datang untuk melucuti tentara Jepang di Indonesia namun juga untuk memfasilitasi penjajah Belanda membentuk pemerintahan sipil (NICA) di bekas wilayah Hindia Belanda. Dalam hal ini, sikap bangsa Palestina dapat dimengerti oleh bangsa Indonesia karena ada proses yang serupa yang dilalui dalam perjuangan mencapai kemerdekaan. Selain masalah diatas, ketidakpercayaan terhadap komitmen pemerintah Mandat Inggris maupun terhadap perbuatan para imigran Yahudi menciptakan sejumlah gerakan dan pergolakan. Hal ini terlihat dalam kerusuhan tahun 1929, Pemberontakan tahun 1936-1939, serta kolaborasi beberapa oknum pemimpin Palestina dengan Nazi Jerman. Ketiga peristiwa ini berakhir anti-klimaks, karena bukan hanya gagal namun juga semakin memperkuat posisi kelompok Yahudi. Hal itu terjadi karena sejak awal, perjuangan bangsa Palestina tidak terkoordinasi, tidak terencana dan tidak memiliki target yang jelas. Para elit perkotaan bergerak sendiri, baru kemudian diikuti oleh para petani dimana tujuan dan obyektivitas mereka berbeda satu sama lain. Di samping itu, di dalam proses perjuangannya sering terjadi pengkhianatan di dalam tubuh bangsa Arab Palestina
100
sendiri. Hal itu disebabkan karena kuatnya rasa kebersamaan tiap kabilah dan suku sehingga terjadi persaingan kepentingan dari tiap suku dan kabilah di Palestina saat itu. Hal itu terlihat ketika Raghib al Nasashibi mengkhianati Amin al Hussayni, dan juga ketika tentara Israel mengusir penduduk Palestina dari tanah dan rumahnya, tidak ada perlawanan berarti dari penduduk Palestina. Hal ini disebabkan bukan karena rakyat Palestina tidak homogen, melainkan karena kurangnya rasa senasib sepenanggungan diantara mereka. Kejadian ini pun pernah menimpa bangsa Indonesia, dimana para pejuang bangsa seperti Sultan Hassanudin, Imam Bonjol, Teuku Umar, Tjut Nyak Dien, dan Pangeran Diponegoro, berperang sendiri-sendiri. Malah apabila kita merujuk jauh kebelakang, pengkhianatan terdapat juga dalam sejarah kita baik dalam peperangan Untung Surapati maupun perjuangan Sultan Hasanuddin di Makasaar dan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Berbeda dengan bangsa Arab Palestina, orang orang Yahudi di Palestina saat itu bersikap lebih sabar dan bersedia menunggu datangnya momentum yang tepat. Kesabaran ini akhirnya berhasil, dimana pada saat Pemerintah Mandat Inggris pasca Perang Dunia Kedua, mulai melemah akibat peperangan, serta rakyat palestina belum pulih akibat kekalahan dalam pemberontakan tahun 1939, memberikan kesempatan bagi bangsa Yahudi bergerak mengkonsolidasikan diri untuk membentuk sebuah negara merdeka. Kelelahan pemerintah Mandat Inggris di Palestina karena sikap bangsa Arab Palestina yang selalu tidak kooperatif, ditambah adanya proses serah terima dari Mandat Inggris yang pernah diterima dari Liga Bangsa-Bangsa kepada PBB
101
yang beru terbentuk, memberikan kesempatan kepada bangsa Yahudi untuk memproklamirkan kemerdekaan Israel di tanah Palestina. Kemudahan yang dicapai oleh bangsa Yahudi untuk mendirikan Negara Israel berbanding terbalik dengan yang diperjuangkan oleh rakyat Palestina. Melihat kenyataan sejarah yang ada, kemudahan Israel itu disebabkan karena mereka memanfaatkan kesempatan ketika Inggris dalam posisi yang lemah. Disamping itu, Pemerintah Amerika menawarkan perwalian untuk Palestina, dan adanya tatanan dunia baru dengan terbentuknya PBB sebagai kelanjutan Liga Bangsa-bangsa (LBB) serta kualitas sumber daya manusia bangsa Yahudi waktu itu setara dengan orang orang Eropa dan Amerika, baik dari segi pendidikan, pengalaman, taktik-strategi dan diplomasinya. Hal ini berbeda jauh dengan bangsa Palestina saat itu, dimana masih sedikit orang orang Palestina yang terdidik baik dalam bidang militer serta pengobatan. Bangsa Yahudi lebih menguasai medan peperangan dan diplomasi serta memiliki citra yang lebih baik, karena bersikap loyal pada Pemerintah Mandat Inggris. Sementara bangsa Palestina tidak mempunyai citra yang baik karena selalu dianggap sebagai pemberontak dan selalu menolak semua solusi yang ditawarkan baik oleh Mandat Inggris maupun PBB, sehingga tidak banyak pihak yang bersimpati pada mereka. Selain itu, di Palestina tak ada figur pemimpin yang bisa menciptakan konsep negara yang bisa diterima seluruh lapisan masyarakat. Amin al-Hussayni memimpin sebuah gerakan perjuangan dalam arti yang parokial, demi kepentingan dirinya dan elitnya. Karena ketiadaan konsep yang jelas, maka perjuangan Palestina menjadi tidak padu dan tidak efektif. Selain ketiadaan
102
konseptor, perjuangan Palestina juga tak memiliki tokoh yang dapat mewujudkan konsep kenegaraan dalam tatanan real, Sehingga ketika para pemimpin Palestina diburu dan terpaksa melarikan diri, gerakan perjuangan menjadi berantakan. Berbeda dengan Indonesia, pada saat perjuangan kemerdekaannya, bangsa Indonesia memiliki kelompok masyarakat yang sadar akan pentingnya kemerdekaan, seperti Tentara Pelajar, Tentara Hizbul Wathan dari pesantren dan Sukarelawan Petani, serta Tentara terlatih eks-Peta. Di samping itu ,bangsa Indonesia telah memiliki kaum intelektual, baik yang merupakan lulusan luar negeri, seperti yang bersekolah di Belanda dan Jerman juga intelektual yang bersekolah di Jakarta, Bandung dan Surabaya. Implikasi dari ketersediaan sumber daya manusia yang cukup ini merupakan modal dalam perjuangan menuju kemerdekaan. Di saat para tentara dan rakyat bergerilya di hutan, para diplomat berjuang di meja perundingan, seperti dalam perjanjian Linggarjati, Renville dan Konferensi Meja Bundar. Dalam lingkungan elit Indonesia saat itu, bukan hanya memiliki Bung Karno sebagai seorang konseptor juga memiliki para tokoh yang mampu mewujudkan konsep itu. Sebagai contoh, ketika Ibukota Indonesia di Yogyakarta diduduki Belanda, Sjafrudin Prawiranegara meneruskan perjuangan dengan membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi dan Dr.Sudarsono mendirikan cabang dari PDRI di India sehingga perjuangan berlangsung terus. Kegagalan Perjuangan Palestina menyebabkan elit dan rakyatnya terpaksa mengharapkan bantuan dari Liga Arab, namun organisasi ini tidak banyak memberikan dukungan berarti bagi bangsa Palestina karena Negara-negara
103
anggota Liga Arab sendiri memiliki agenda yang berbeda-beda. Mereka juga tidak memiliki tentara yang terlatih dengan baik, sehingga dukungan yang mereka berikan kepada Palestina dalam peperangan berakhir dengan kegagalan. Negara-negara Liga Arab dan tentaranya ternyata lebih mementingkan hasrat politik dan keinginan menguasai daerah Palestina untuk
kepentingan
negaranya masing masing sehingga wilayah bangsa Arab Palestina semakin berkurang, sisa wilayah Palestina yang tidak direbut oleh Israel, diambil oleh negara Arab yang membantunya. Berbeda dengan perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan, kita harus bersyukur karena situasi dan kondisi negara negara tetangga sekitar Indonesia tidak memanfaatkan situasi tersebut. Bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya hanya menghadapi penjajah Belanda dan sekutunya serta tidak perlu menghadapi negara tetangga yang memiliki niat terselubung untuk menguasai wilayah Indonesia bagi mereka sendiri, di samping itu negara negara tetangga saat itu belum merdeka. Karena itu, penulis menyimpulkan penyebab kenapa Palestina gagal memerdekakan diri sedangkan Israel berhasil. Antara lain, bangsa Palestina tidak memanfaatkan kesempatan atau momentum dengan baik, tidak adanya konseptor yang mampu menciptakan konsep negara yang mampu diterima seluruh lapisan masyarakat Palestina, kesalahan dalam pemilihan strategi perjuangan, serta kurang eratnya perasaan senasib sepenanggungan diantara rakyat Palestina.
104
DAFTAR PUSTAKA Sumber Primer Wawancara : Wawancara Pribadi dengan Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz al Mehdawi, Jakarta 4 Juli 2014. Arsip Arab Palestina: The Black Paper on The Jewish Agency and The Zionist Terrorist : Memorandum to United Nation delegate. Arab Higher Committee Archive, 12 Maret 1948 The Great Betrayal in United Nation : Memorandum to United Nation delegates. Arab Higher Committee Archive, Februari 1948 Correspondence between Amin al Hussayni & the Peel Commission in Palestine, Arab Higher Committee Archive, December 1936. Surat Jamal al Hussayni untuk Delegasi PBB, Arab Higher Comitte Archive, 24 Mai 1948 Surat Emir Abdullah untuk Komisi Peel, Maret 1937, http://cojs.org/cojswiki/index.php/Memorandum_from_Amir_Abdullah_to_the_R oyal_Commission_in_Palestine,_Mar._1937 Deklarasi Amin al Hussayni untuk menyerang Palestina, dari Israeli defence Force Archive, file number 26/100001/1957 Protokol Alexadria, diakses dari http://www.mideastweb.org/alexandria.htm
Arsip Pemerintah Mandat Inggris, LBB dan PBB: Churchill White Paper of 1922 courtesy of the Avalon project dari http://www.yale.edu/lawweb/avalon/mideast/brwh1922.htm Covenant of the League of Nations article 22. Courtesy of the Avalon project dari http://www.yale.edu/lawweb/avalon/leagcov.htm
105
British Mandate for Palestine, Source : The American Journal of International Law, Vol.17 no.3 , Suplement : Official Document (July 1923), h.164-171 “The Evian Conference on Refugees”. Bulletin of International News, Vol. 15, No. 14 (Jul. 16, 1938), h. 16-18 Churchill White Paper of 1922 courtesy of the Avalon project dari http://www.yale.edu/lawweb/avalon/mideast/brwh1922.htm British White Paper of 1939, dari Http;//avalon.law.yale.edu/20th_century/brwh1939.asp The McMahon Letter, October 24, 1915. dari http://domino.un.org/UNISPAL.NSF/9a798adbf322aff38525617b006d88d7/eb39 ca1bfead52dd852570c00079484e!OpenDocument Report of the Royal Palestine Commission 1937, dari http://domino.un.org/unispal.nsf/0/08e38a718201458b052565700072b358?Open Document97 Shaw Comission Report 1929, dari http://unispal.un.org/UNISPAL.NSF/0/59A92104ED00DC468525625B00527FE A Hope Simpson Report 1930, dari http://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/History/hope.html Sykes-Picot Agreement. May 16 1916, dari http://domino.un.org/UNISPAl.NSF/3d14c9e5cdaa296d85256cbf005aa3eb/23235 8bacbeb7b55852571100078477c!OpenDocument The BritishWhite Paper of 1939, dari http://www.yale.edu/lawweb/avalon/mideast/brwh1939.htm Termination of the British Mandat of Palestine.The International Law Quaterly.Vol.2 no.1 (spring 1948),h.57-60
106
Text Perjanjian Berlin,dari http://www.fordham.edu/halsall/mod/1878berlin.html,
Buku : Aziz Ayyad, Abdel. Palestine Nationalism & Palestinian. (Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,1999) Rory Miller. Britain, Palestine, and Empire: The Mandate Years. (London : Ashgate Publishing,2010) Hacohen, David. Time to Tell : An Israeli Life 1898-1984.(New Jersey : Asscosciate University Press,1985), Hlm.37-38 Hassasian, Manuel. Palestine Factionalism in the National Movement 1919-1939. (Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,1990) El-Eini, Roza I.M. (2006).Mandated landscape: British imperial rule in Palestine, 1929–1948. London: Routledge. Khalidi, Rashid. Iron Cage : Palestinian Struggle for Statehood. (Oxford : One World Publication,2007) Motti Goulani, The End of the British Mandate for Palestine, 1948: The Diary of Sir Henry Gurney, London : Palgrave Poloner, Joanes. John Poloner‟s Description of the Holy Land.(London : Palestine Pilgrims' Text Society, 1894) Surat : Letter From Pinhas Rutenberg to Colonel Herbert Lehmen Meyer Greenberg. The Hebron Massacre of 1929 : A Recently Letter of a Survivor Artikel Koran : Artikel di Koran Filastin, 28 Januari 1930 Artikel di Koran Filastin, 27 Mei 1936 Artikel di Koran Filastin, 27 Mei 1936
107
Sumber Sekunder Buku : Abdul Hadi, Mahdi. Nakba : Procces of Palestinian Dispossession. (Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,2008) Arnon, Noam. Hebron 4000 years and 40 : The Story of The City of Patriarch, (New York : The Hebron Fund,2009) Auerbach, Jerold. Hebron Jews: Memory and Conflict in the Land of Israel, (Maryland : Rowman & Littlefield Publisher,2009)
Baker, Randall. King Hussain & Kingdom of Hejaz. (Cambridge : Oleander Press, t.t.)
Bosworth, Clifford Edmund. The New Islamic Dynasties. (Edinburgh : Edinburgh University Press,1996)
Bowyer Bell, John. Terror out of Zion. (New Jersey : Transaction Publishers, 1976 Breitman, Richard. Hitler‟s Shadow : Nazi War Criminals, US Intelligence & the Cold
War.
(Washington
:
National
Archive
Press,2010
Caplan , Neil. Palestine Jewry and the Arab Question, 1917 – 1925, (London : NJ F. Cass, 1978.)
Carl Bryant, Chad. Prague in black.. (Massachusets : Harvard University Press,2007)
108
Catherwood, Christopher. A Brief History of The Middle East : From Abraham to Arafat. (New York : Carrolf & Graf Publishers,2006) Cleveland, William & Burton, Martin . History of Modern Middle East. (Philadelphia : Westview Press, 2009),h.258 Cohen, Hilel. Army of Shadows : Palestinian Colaboration with Zionism 19171948. (Berkeley : University of California Press,2009) Coogan, Michael. Stories from Ancient Canaan. (Philadelphia : John Knox press,1978) Dawisha, Adeed. Arab Nationalism in the Twentieth Century from Triumph to Despair. (New Jersey : Princeton University Press,2009) Dalin, David dan Rothman, John. Icon of Evil: Hitler's Mufti and the Rise of Radical Islam, (New Jersey : Transaction Publishers,2009) Deem, James. Kristallnacht: The Nazi Terror That Began the Holocaust. (Berkeley : Enslow Publishers,2011) Dimont, Max. Kisah Hidup Bangsa Yahudi (Jakarta : Masaseni,2002) Finklestein, Louis. The Jews:Their History, Culture, and Religion. (London: Peter Owen Limited, 1961) Fromkin, David. A peace to end all peace : the fall of the ottoman empire and the creation of modern middle east, (New York : Owl Books, t.t.) Gelvin, James. Divided Loyalties: Nationalism and Mass Politics in Syria at the Close of Empire. (Berkeley : University of California Press, 1998) Ghazali Khairi, Ahmad & Bukhari, Amin. Air Mata Palestina. (Jakarta: Hi-Fest, 2009)
109
Gil, Moshe. History of Palestine : 634-1099. (Cambridge : Cambridge University Press.1997) Eban, Abba. My People: History of the Jews Volume II (New Jersey: Berman House,1979) Eisenmann, Robert.
Islamic Law in Palestine and Israel : A History of the
Survival of Tanzimat and Sharia in the British Mandate & Jewish State. (Leiden : Ej Brill,1978) Elpeleg, Zvi. The Grand Mufti Hajj Amin al-Hussayni : Founder of Palestinian National Movement. (London : Routledge,2003) Ernest Meyer, Karl and Blair Brysac, Shareen . Kingmakers: The Invention of the Modern Middle East, (New York : W. W. Norton & Company, 2008) H.R.H. Prince Ghazi bin Muhammad. The Tribes of Jordan at The Beginning of 20th Century. (Amman : Ruttab, 1999) Henry Larcher, Pierre. Larcher's Notes on Herodotus: Historical and Critical Remarks on the Nine Books of the History of Herodotus, with a Chronological Table. (Charleston :Nabu Press,2006), Hilderbrand, Robert. Oaks : The Origins of the united nations and the Search for Postwar Security (Chapell Hill : University of North Carolina Press, 2001) Holt, Pm dkk. The Cambridge History of Islam. (Cambrdige : Cambridge University Press, t.t) Hughes, Matthew.
Allenby & British Strategy in the Middle East 1917-
1919,(London : Taylor & Francis,1999) Huneidi, Sahar. A Broken Trust: Herbert Samuel, Zionism and the Palestinians 1920–1925, (London and New York, : I.B. Tauris,2001)
110
Ibrahim Erwan, Darik. To What Extent of Did the Alliance of Ibnu Saud & the Ikhwan during the 1920‟s Lead to the Achievment of their goals ?. (Massachusets : Concorde Review.inc,1989) Isaac, Benjamin & Shahar, Yuval. Judaea Paleastina , Babylon & Rome : Jews in Antiquity. (Tübingen : Mohr Siebeck,2012) Karsh, Efraim. Israeli Conflict : The Palestine War 1948. (Oxford : Osprey Publishing,2002) Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992) Khouri, Fred. The Arab-Israeli dilemma. (New York: Syracuse University Press,1974) Kimmerling, Baruch & Migdal, Joe. The Palestinian People. (Massachusets : Harvard University Press,2003) Kleva Kleiberger, Aharon. Aurochtonous Text in the Arabic Dialect of the Jews in Tiberias. (Wiesbaden : Otto Harasowitz Verlag,2009) Kolinsky, Martin. Law,Order& Riots in Mandatory Palestine 1929-1935. (London : St Martin‟s Pres,2010) Krämer, Gudrun. A History of Palestine: From the Ottoman Conquest to the Founding of the State of Israel. (New Jersey :Princeton University Press,2008) Kuncahyono, Trias. Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan. (Jakarta : Penerbit Kompas, 2009) Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003) Learsi, Rufus. Israel: A History of the Jewish People, (Ohio: Meridian Books,1966)
111
Lenchzowski, George. The Middle East in World Affair. (New York : Cornell University Press,1952) Leonard, Stein. The Balfour Declaration. (New York : Simon & Schuster,1961) Liebreich, Fredd. Britains Naval & Political Reaction to the Jewish Illegal Immigration to Israel. (London & New York : Routledge,2004) Malamat, Abraham. Egyptian Decline in Canaan & The Sea Peoples:The Period of the Judges. (New Bruncwick : Rutgers University Press, 1971), Mansfield, Peter. History of Middle East, (Pennsylvania : Pennsylvania State University,2004) Matthews, Elizabeth. The Israel Palestine Conflict : Pararel Discourse, (London : Taylor & Francis,2011) Matthews,
Weldon.
Confronting an Empire, Constructing a Nation: Arab
nationalists and popular politics in mandate Palestine. (London & New York : I B Tauris. 2006) Morse, Chuck. Nazi Connections to Islamic Terorism : Adolf Hitler & Hajj Amin al-Hussayni, (New York : iUniverse,2003) Newsinger, John. British Counterinsurgency : From Palestine to Northern Ireland, (London : Palgrave,2002) Ovendale, Ritchie. The Middle East since 1940. (London : Longman Publishing,1992) Pappe, Ilan. The Ethnic Cleansing of Palestine. (Oxford : One World,2007) Patek, Arthur. Jewish on Route to Palestine 1934-1944 : History of ALiyah BetClandestine Immigration. (Krakow : Jagiellonian University,2009) Patterson, David. A Genealogy of Evil: Anti-Semitism from Nazism to Islamic Jihad. (Cambridge : Cambridge University Press,2010)
112
Pearlman,Wendy. Violence,
Nonviolence,
&
the
Palestinian
National
movement.(Cambridge : Cambridge University Press,2011) Pipes, Daniel. Greater Syria : The history of Ambition. (New York: Oxford University Press, 1990) Platt, Edward. The City of Abraham : History,myth & Memory, a Journey through Hebron, (London : Pan Macmillan, 2012) Rengganis, Ratna. Sosok di balik Perang. (Jakarta : Raih Asa Sukses,2013) Sachar, Howard. The emergence of middle east 1914-1924,(Westminstter : The Penguin Press, 1969) Schäfer, Peter.
Bar Kokhba War : New Perspectif of Second Jewish Revolt
Against the Roman Empire. (Tübingen : Mohr Siebeck,2003), Schoenemann, Ralph. Mimpi Buruk Kemanusiaan : Sisi Gelap Zionisme. (Surabaya : Pustaka Progresif,1998) Sharfmann, Daphna. Palestine in the Second World War: Strategic Plans and Political Dilemmas. (Sussex : Sussex Academic Press, 2014) Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari masa Klasik hingga Modern.(Yogyakarta : Lesfi,2010) Smith, Charles. Palestine and the Arab-Israeli Conflict. (New York: St. Martin Press, 1992) Sonn, Tamara. Islam : A Brief History, (Chichester : Wiley Blachwell,2004) Swedenburg, Ted. Memories of revolt: the 1936-1939 rebellion and the Palestinian national past. (Fayetteville: University of Arkansas Press,2003) Talal, Hasan bin. Tentang Jerussalem. (Jakarta : Incultura Foundation,1980),h.19 Tim Abdi Tandur. Lagi-Lagi tentang Keajaiban-Keajaiaban Dunia. (Jakarta : Tim Abdi Tandur,2003)
113
Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis, dan Disertasi. (Jakarta; CeQDA, 2007) Von Klausewits, Karl Phillip Gottlieb. On War. (New Jersey : Princeton University Press,1976) Wahhab Said Kayyalli, Abdul. Palestine. A Modern History. London : Croom Helm,1981 Xuan Ming, Wang. Sun Bin‟s Art of War. (Jakarta : Elex Media Komputindo,1999) Zayas, Alfred. Nemesis at Potsdam.(London : Taylor & Francis,1979) Zeevi, Dror. An Ottoman century : the district of Jerusalem in the 1600s, (Albany: State University of New York Press, 1996) Ensiklopedia : Raana Bookhari & Mohammad Seddon.Ensiklopedia Islam. (Jakarta : Penerbit Erlangga,2010) Ensiklopedia Islam. Dinamika Masa Kini. (Jakarta : PT.Ikhtiar Baru van Hoeve,2002) Cecil Roth,The Standard Jewish Encyclopedia. (Jerusalem: Madassah Publishing Company Ltd,1958) Ensiclopedia Britannica. The Islamic World : Religion,History & Future. (London : Britannica, t.t)
Jurnal Online : Abboushi, W.F . “The Road to Rebellion Arab Palestine in the 1930‟s”. Journal of Palestine Studies. Vol.6 no.3 (Spring 1977),h.23-46
114
Al-Khatb, Muhammad Nimr. “The Tantura Massacre : 22 -23 May 1948”. Journal of Palestine Studies.vol.30 no.3 (Spring 2001),h.5-18 Arielli, Nir. “Italian Involvement in the Arab Revolt in Palestine : 1936-1939”. British Journal of Middle Eastern Studies. Vol.35 no.2 h.187-204 Barnett, Michael. “Bringing in the New World Order: Liberalism, Legitimacy, and the United Nations”. World Politics, Vol. 49, No. 4 (July 1997),h. 526-551 Bauer, Yehuda. “From Cooperation to Resistance : The Haganah 1936-1948”. Middle Eastern Studies, vol.2 no.3 (April 1966), h.182-210 Bentwich,
Norman.
“The
Legal
System
of
Palestine
under
British
Mandate”.Middle East Journal,Vol.2 no.1 (Jan 1948), h.33-46 Boullata, Issa J. "The Palestine Nakba: Decolonizing History, Narrating the Subaltern, Reclaiming Memory". The Middle East Journal ,vol.66, no. 4 (2012),h.747-749 Bowden, Tom. “Politics of Arab Rebellion in Palestine 1936-1939”. Middle Eastern Studies.vo.11 no.2 (may 1975) h.147-174 Buehrig, Edward. “UN,US & Palestine”. Middle East Journal. Vol.33 no.4 (Autumn 1979) h.434-453 Cohen, Michael J. “Sir Arthur Wauchope, the Army, and the Rebellion in Palestine 1936”. Middle Eastern Studies, Vol. 9, No. 1 (Jan., 1973), h. 19-34 Dawn, Ernst. “The Rise of Arabism in Syria”. Middle East Journal, vol.16 no.2 (Spring 1962), h.145-168 Fenwick, C.G .”The Failure of the League of Nations”, The American Journal of International Law, Vol. 30, No. 3 (Jul., 1936), h. 506-509
115
Frilling, Tuvia & Troen, Ilan. “Proclaiming Independence : Five Days in May from David ben Gurion‟s Diary”. Israel Studies.Vol.3 no.1 (Spring 1998). h.196 Gerber, Haim .”Palestine and Other Territorial Concepts in the 17th Century”. International Journal of Middle East Studies.Vol. 30, No. 4 (Nov., 1998),h.563572 Gershoni, Israel. “The Muslim Brotherhood & the Arab Revolt in Palestine 19361939”. Middle Eastern Studies. Vol.22 no.3 (juli 1886) ,h.367-397 Hallbrook, Stephen. “The Alienation of the Homeland : How Palestine Become Israel”. Journal of Libertarian Studies. Vol.5 no.4 (Autumn 1981), h.1-18 Haron, Miriam Joyce. “Palestine & Anglo American Connection”.Modern Judaism.Vol.2 no.2 (May 1982),h.199-211 Hughes, Matthew “Lebanon Armed and the Arab-Israeli War 1948”. Journal of Palestine Studies. Vol.34 no.2 (Winter 2005),h.24-41 Kabbha, Mustafa. “The Palestinian National Movement & its Attitude toward the Fascist & Nazi Movements 1925- 1945”. Gessischte und Gesselschaft. Vol.37 (spring 2011), h.37–450 Kadish, Alon & Sela, Avraham. “Myths & Historiography of the 1948 War Revisited : The Case of Lydda”. Middle East Journal. Vol.27 no.4 (summer 1998) h.83 Khalidi, Walid. “Illegal Jewish Immigration under British Mandate”, Journal of Palestinian Studies, vol.35, h. 63-69 Khalidi, Walid. "Plan Dalet: master plan for the conquest of Palestine", Journal of Palestine Studies vol.18 no.1, (November 1961), h. 4-33 Khalidi, Walid. “The Fall of Haifa Revisited”. Journal of Palestine Studies. Vol.37 no.3 (spring 2008), h.37
116
Lundsten, Mary Ellen. “Wall Politics : Zionist & Palestinian Strategies in Jerussalem 1928”. Journal of Palestine Studies. Vol.8 no.1 (Autumn 1979),h.3-27 Mattar, Phillip. “Mufti & Western Wall : The Role of Mufti of Jerussalem in Political Struggle over the Western Wall 1928-1929”. Middle Eastern Studies. Vol.19 no 1 (januari 1983). h.114-118 Masalha, Nur. "Faisal's Pan-Arabism, 1921–33". Middle Eastern Studies .(Oct., 1991),h.679–693. McTague.Jr, John. “Anglo-French Negotiation over the Boundaries of Palestine 1919-20” Journal of Palestine Studies. Vol.11 no.2 (Winter 1982),h.100-112 Medoff, Rafael. "'The Mufti's Nazi Years Re-examined". The Journal of Israeli History vol.17 no.3 (Summer 1996),h. 317–333. Millar, Fergus.”Tranformation of Judaism under Greco-Roman Rule : Response to Seth Schwartz‟s „Imperialism & Jewish Society”. Oriental Institute Oxford.Journal of Jewish Studies.Vol.53, no.1 (Spring 2006). h.144 Muslih, Muhammad. “Arab Politics & Rise of Palestinian Nationalism”. Journal of Palestinie Studies.Vol.16, no.4 (Summer 1987). h.77-94 Nashif, Taysir. “Palestinian Arab & Jewish Leadership in Mandate Period”. Journal of Palestine Studies. Vol.6 no.4, h.113-121 Nevo, Joseph. “Arabs in Palestine 1947-1948 : Millitary & Political Activity”. Middle Eastern Studies. Vol.23 no.1 (Jan 1987,h.3-38 Nikosia, Francis. “Arab Nationalism & National-Socialist Germany 1933-1939 : Ideological & Strategic Incompability”. International Journal of Middle East. Vol.12 no.3 (Nov 1980) h.351-372 Ottolenghi, Michael. “Harry Truman‟s Recognition of Israel”. The Historical Journal. Vol.47 no.4 (Dec 2004),h.963
117
Pape, Ilan. “Haj Amin & Buraq Revolt”, Jerusalem Quarterly File vol.6, no. 18 ,h.15 Parsons, Laila. “Soldiering for Arab Nationalism : Fawzi al-Qawuqji in Palestine”. Journal of Palestine Studies. Vol.36 no.4 (summer 2007), h.33-48 Pedersen, Susan. “The Meaning of Mandat System : An Argumen”. Geschicte und Gesselschaft. Vol.32 Jahrige, no.4. Sozialpolitik Transnational (Oct-Des 2006). h.560-582 Rouhana, Nadim. "The Intifada and the Palestinians of Israel: Resurrecting the Green Line", Journal of Palestine Studies, Vol. 19, No. 3 (Spring 1990), h. 58–75 Rubinstein, Elyakim. “The Declaration of Indepedendence as a Basic Documents of the State of Israel”. Israel Studies. Vol.3 no.1 (spring 1998), h.183 Shalom, Lappin. “Israel-Palestine : Is There a Case for Bi-Nationalism ?”. Dissent. Vol.31 no.1, (Winter 2004),ProQuest Sosiology. h.13-17 Shlaim, Avi. “Rise & Fall of All Palestinian Government in Gaza” .Journal of Palestine Studies. h.38-53 Swedenburg, Ted. “Al-Qassam Remembered”. Journal of Comparative Poetics. No.7 (spring 1987) h.7-24 Artikel Surat Kabar : Ibnu Burdah. “KTT Liga Arab & Masa Depan Arab”. Artikel Opini di Koran Kompas. Rabu,2 April 2014. h.7 Trias Kuncahyono. “Liga Arab : Membaca Cerita Lama”. Kompas. Minggu,30 Maret 2014. h.9 Makalah Seminar :
118
Simo Parpola. “National & Ethnic Identity in Neo-Assyrian Empire & Assyrian identity of Post-Empire Times”.. Paper for the International Symposium “Ethnicity in Ancient Mesopotamia‟”, University of Helsinki Michael R Fischbach, “The Impact of the 1948 Disaster: The Ways that the Nakba has Influenced Palestinian History”, Paper for the International Symposium “The Transformation of Palestine: Palestine & Palestinians 60 Years after the „Nakba‟”, Berlin, March 8 and 9, 2010
Artikel Internet: Sakal, Moshe. The real point of no return in the Jewish-Arab conflict, dari http://www.haaretz.com/weekend/week-s-end/.premium-1.566793. Diakses pada 10 Mei 2014 Dror Yemini, Ben ,The Jewish Nakba: Expulsions, Massacres and Forced Conversions, dari http://www.nrg.co.il/online/1/ART1/891/209.html, diakses pada tanggal 15 april 2014
119
Lampiran & Gambar-gambar : Hanafi Wibowo, bersama Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Fariz al Mehdawi di kedutaan Besar Palestina di Jakarta.
120
Wilayah Palestina ketika era Turki Usmani, dimana Palestina bukanlah sebuah entitas politik ketika itu, melainkan bagian dari Vilayet Syria.
Sumber : Mahdi Abdul Hadi. Nakba : Procces of Palestinian Dispossession. (Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,2008)
121
Lukisan Tembok Ratapan, Karya Gustaf Bauernfeind
Sumber : http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/e/ec/The_Wailing_Wall_ by_Bauernfeind.jpeg/320px-The_Wailing_Wall_by_Bauernfeind.jpeg
122
Sumber : www.passia.org/palestine_facts/MAPS/1923-1948-britishmandate.html
123
Peta Persebaran daerah di Palestina pada era Mandat Inggris,1931
Sumber : Fragmenting Palestine : Formulas for Partition since British Mandate, Jerussalem : Passia.
124
Para Anggota Komite Arab Tertinggi
Sumber : http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/f/f4/Arab_Higher_Committee1b. jpgPara Tokoh Perjuangan Palestina
Sumber : en.wikipedia.org ditambah editan sendiri Kedatangan Sir Herbert Samuel di Pelabuhan Jaffa pada tanggal 27 Maret 1920
125
Sumber : Fragmenting Palestine : Formulas for Partition since British Mandate, Jerussalem : Passia. Sir Herbert Samuel & Para Patriach Ortodox di Jerussalem
Sumber : en.wikipedia.org Para anggota Komisi Peel
126
Sumber : Fragmenting Palestine : Formulas for Partition since British Mandate, Jerussalem : Passia. Para Tentara & Pejabat Inggris meninggalkan Palestina pada tanggal 14 Mei 1948
Sumber : Fragmenting Palestine : Formulas for Partition since British Mandate, Jerussalem : Passia.
127
Kapal Patria tenggelam di Pelabuhan Haifa
Sumber : http://www.consciousevolution.com/metamorphosis/0303/grfx/patria.jpg
Para anggota Arab Liberaton Army
Sumber : Mahdi Abdul Hadi. Nakba : Procces of Palestinian Dispossession. (Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,2008),
128
Rencana Pembagian Palestina menurut Peel Comission
129
http://www.palestineremembered.com/Acre/Maps/Story579.htm Pengerahan pasukan Arab pada Perang tahun 1948
130
Sumber : Mahdi Abdul Hadi. Nakba : Procces of Palestinian Dispossession. (Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,2008),
131
Konfrensi Jerico pada 1 Desember 1948, Unifikasi antara Tepi Barat & Jordania. Raja Abdullah dinyatakan sebagai Raja Seluruh Palestina.
Sumber : Mahdi Abdul Hadi. Nakba : Procces of Palestinian Dispossession. (Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,2008), Amin al Hussayni membentuk Pemerintahan Seluruh Palestina di Gaza.pada 23 September 1948
Sumber : Mahdi Abdul Hadi. Nakba : Procces of Palestinian Dispossession. (Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,2008)
132
Tentara Arab yang ikut serta dalam Pemberontakan 1936-1939
Sumber : http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/d/d9/Palest_against_british.gif Para Anggota Shaw Comission
Sumber : www.upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/11/Shaw_Commission.t if/lossy-page1-800px-Shaw_Commission.tif.jpg 133
Kepemilikan Tanah di Palestina pada Era Mandat Inggris
Sumber : http://unispal.un.org/unispal.nsf/0/a73996728ba8b94785256d560060cd1a?OpenD ocument
134
Para Komisaris Besar Mandat Inggris :
Sumber : en.wikipedia.org ditambah editan sendiri Bendera Mandat Inggris di Palestina
Sumber : en.wikipedia.org
135
Segel Mandat Inggris di Palestina
Sumber : en.wikipedia.org
136
Demonstrasi Penduduk Yahudi menentang British White Paper 1939 yang dinilai memihak kepentingan masyarakat Arab Palestina
Sumber : en.wikipedia.org
Kapal Perang HMS Malaya yang digunakan Tentara Inggris untuk menghancurkan rumah rumah penduduk Palestina
Sumber : http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/5/59/HMS_Malaya.jpg
137
T.E Lawrence, Sir Herbert Samuel & Emir Abdullah, di Amman tahun 1921
Sumber : en.wikipedia.org
138
Deklarasi Amin al-Hussayni untuk menyerang Palestina
Sumber : Israeli defence Force Archive, file number 26/100001/1957
139
140