MANAJEMEN OBAT DI RUMAH SAKIT
Disusun oleh: Dr. Satibi, M.Si., Apt
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2014 1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan pada Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan buku yang berjudul “Manajemen Obat di Rumah Sakit sebagai salah satu upaya memberikan kontribusi bagi masyarakat khususnya rumah sakit dalam mendukung manajemen obatnya. Dalam penulisan buku
ini penulis mendapatkan bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Rektor Universitas Gadjah Mada, yang memberikan insentif dana dalam penulisan naskah buku ini
2.
Prof. Dr. Subagus Wahyuono., Apt., selaku
Dekan Fakultas
Farmasi
Universitas Gadjah Mada yang memberikan kesempatan untuk menulis buku ini 3.
Prof. Dr. Achmad Fudoli, DEA., Apt. Selaku pendamping penulisan buku ini, sehingga atas kesabaran dan ketelatenannya memberikan saran, masukan dan rekomendasi untuk pembuatan buku ini.
4.
Semua pihak dan teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, semoga kebaikan kalian dibalas oleh-Nya.
Penulis menyadari karya ini masih jauh sempurna, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan dalam penyusunan karya selanjutnya. Akhirnya, penulis berharap semoga karya ini berguna bagi penelitian selanjutnya dan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan. Yogyakarta, Oktober 2014 Penulis
Dr. Satibi, M.Si., Apt
2
DAFTAR ISI
Halaman Judul
...........................................................................................
i
Kata Pengantar
...........................................................................................
ii
Daftar Isi
..........................................................................................
iii
BAB I. RUMAH SAKIT DAN FARMASI RUMAH SAKIT ............................... 1 Klasifikasi Rumah sakit ..................................................................................... 2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit ........................................................................ 4 Visi dan Misi Rumah sakit ............................................................................... 5 Farmasi Rumah Sakit ....................................................................................... 6 Standar Pelayanan minimal IFRS .... .............................................................. 9
BAB II. PENDAHULUAN MANAJEMEN OBAT......................................
13
BAB III. SELEKSI OBAT ................................................................................
19
A. Seleksi Obat ........................................................................................
19
1. Sistem Formularium .........................................................................
24
2. Panitia Farmasi dan Terapi................................................................. 25 3. Standar Terapi...................... .............................................................
29
BAB IV. PENGADAAN OBAT DI RUMAH SAKIT....................................
34
A. Perencanaan Obat.....................................................................................
34
B. Pengadaan Obat di Rumah Sakit...............................................................
44
C. Metode Pengadaan Obat.......……………………………………………...
47
D. Persiapan Pengadaan .................................................................................. 52 BAB V. PENGENDALIAN PERSEDIAAN OBAT DI RUMAH SAKIT.............. 53 A. Manfaat Dari Proses Pengendalian Obat........................................................ 54 B. Masalah Pengendalian Persediaan ................................................................. 54
3
C. Model-Model Pengendalian Persediaan..................................................
55
Contoh Kasus Pengadaan Persediaan obat di Rumah Sakit ............................. 81 Contoh Kasus Pengendalian Persediaan di Rumah Sakit ...............................
87
BAB VI. SISITEM PENYIMPANAN DAN DISTRIBUSI OBAT......................
90
A. Sistem Penyimpanan Obat………………………………………………..
92
1. Standar Penyimpanan…………………………………………………
93
2. Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan di dalam Penyimpanan Obat ...... 96 3. Sarana Prasarana Penyimpanan ............................................................... 97 4. Cara Penenmpatan Persediaan Dalam Gudang ....................................... 99 5. Dasar Pemilihan Sistem Penyimpanan .................................................... 103 6. Pengaturan Tata Ruang dan Penyusunan Inventory ................................ 103 B. Sistem Distribusi Obat .................................................................................. 105 1. Sistem distribusi obat resep individual sentralisasi ...................................
105
2. Sistem Obat Persediaan lengkap di Ruang (Floor Stock) ...........................
107
3. Sistem Distribusi Obat Kombinasi Resep Individu dan Persediaan di Ruang 109 4. Sistem Distribusi Obat Dosis Unit (UDDS) ...............................................
110
5. Sistem Farmasi Satu Pintu ............................................................................ 121 BAB VII. PENGGUNAAN OBAT ..........................................…………….
130
Dampak Negatif Penggunaan Obat yang Tidak Rasional ........................
131
Ciri Pemakaian Obat yang Tidak Rasional .................................................
134
Indikator Penggunaan Obat ........................................................................
138
Keselamatan Pasien ......................................................................................
141
Pengertian patient safety .............................................................................
143
Tujuan Patient Safety ...................................................................................
146
Manajemen Patient Safety...........................................................................
170
BAB VIII. INDIKATOR PENGELOLAAN OBAT ......................................
172
Indikator Pengelolaan Obat Menurut DepKes .............................................
172
Indikator Pengelolaan Obat Menurut WHO .............................................
183
4
BAB IX. MANAJEMEN SUPPORT DALAM MANAJEMEN OBAT ........
186
A. Human Capital …………………………………………………………… 186 B. Information Capital………………………………………………………… 188 C. Organizational Capital... …………………………………………….
191
D. Manajemen Keuangan.. ……………………………………………….
201
DAFTAR PUSTAKA ......................……………………………………….
228
DAFTAR SINGKATAN ...............................................................................
233
5
BAB I RUMAH SAKIT DAN FARMASI RUMAH SAKIT
Kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit menurut Robert Maxwell dari WHO Hospital Advisor Group (1994) memiliki 6 dimensi, yaitu: equity, appropriateness, accesibility, acceptability, efficiency dan effectiveness, dengan penekanan pada tiga dimensi terakhir. Acceptability artinya bahwa suatu pelayanan harus berorientasi kepada pasien. Efficiency artinya bahwa rumah sakit melakukan segala sesuatu dengan benar (doing things right), menggunakan sumber daya dengan seksama dan dengan standar profesi yang jelas. Effectiveness artinya bahwa rumah sakit dalam melakukan segala sesuatunya benar (doing right things). Maxwell juga menambahkan bahwa kualitas merupakan keluaran dari suatu teknis, kualitas hubungan interpersonal antara staf rumah sakit dengan pelanggan dan kondisi lingkungan dimana pelayanan itu diberikan (Maxwell, 1994). Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan
promotif, pencegahan penyakit
preventif, penyembuhan
penyakit kuratif, dan pemulihan kesehatan rehabilitatif, yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Konsep kesatuan upaya kesehatan ini menjadi pedoman dan pegangan bagi semua fasilitas kesehatan di Indonesia termasuk rumah sakit. Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Rumah Sakit harus tetap mampu meningkatkan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dengan menyelenggarakan pelayanan kesehatan 6
perorangan secara paripurna, menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat, melakukan upaya kesehatan yang dilaksanakan secara serasi, terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan dengan tujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat (Depkes RI, 2009). Rumah sakit diselenggarakan didasarkan pada nilai kemanusiaan, etika, profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak, anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial. Hal ini bertujuan untuk mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit, sumber daya manusia di rumah sakit, meningkatkan mutu, mempertahankan standar pelayanan rumah sakit, memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan rumah sakit (Depkes RI, 2009). Rumah sakit yang merupakan salah satu dari sarana kesehatan, merupakan rujukan pelayanan kesehatan dengan fungsi utama menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan bagi pasien (DeKes RI, 2004). Pelayanan kesehatan yang diselengarakan rumah sakit meliputi: pelayanan medis, pelayanan penunjang medis, pelayanan rehabilitasi dan peningkatan kesehatan, pendidikan dan pelatihan serta pengembangan bidang kesehatan. Menurut SK Menkes RI No.983/Menkes/SK/XI/1992 tentang pedoman organisasi rumah sakit umum, rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan bersifat dasar, spesialistik dan subspesialistik, memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan (Aditama, 2010). Klasifikasi Rumah Sakit
7 10
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaannya. a.
Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, rumah sakit dikategorikan menjadi rumah sakit umum dan rumah sakit khusus, sebagai berikut : 1) Rumah Sakit Umum yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. 2) Rumah Sakit Khusus yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.
b.
Berdasarkan pengelolaannya, rumah sakit dibagi menjadi rumah sakit publik dan rumah sakit privat, sebagai berikut : 1) Rumah Sakit Publik yaitu rumah sakit yang dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Rumah sakit pemerintah dan pemerintah daerah diselenggarakan berdasarkan pengelola badan layanan umum (BLU) atau badan layanan umum daerah (BLUD) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, contoh : Rumah Sakit Departemen Kesehatan, Rumah Sakit Pemerintah Daerah Provinsi, Rumah Sakit Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Rumah Sakit TNI, Rumah Sakit Polri, dan Rumah Sakit Pertamina. 2) Rumah Sakit Privat yaitu rumah sakit yang dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk perseroan terbatas atau persero, contoh : Rumah Sakit Yayasan, Rumah Sakit Perusahaan. Menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, dalam
rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan fungsi rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit. a.
Klasifikasi Rumah Sakit Umum terdiri atas :
8
1) Rumah Sakit Umum kelas A, mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar, 5 spesialis penunjang medik, 12 spesialis lain, dan 13 subspesialis dasar. 2) Rumah Sakit Umum kelas B, mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar, 4 spesialis penunjang medik, 8 spesialis lain, dan 2 subspesialis dasar. 3) Rumah Sakit Umum kelas C, mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar, dan 4 spesialis penunjang medik. 4) Rumah Sakit Umum kelas D, mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 spesialis dasar. b.
Klasifikasi Rumah Sakit Khusus terdiri atas : 1) Rumah Sakit Khusus kelas A, mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan subspesialis sesuai kekhususan yang lengkap. 2) Rumah Sakit Khusus kelas B, mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan subspesialis sesuai kekhususan yang terbatas. 3) Rumah Sakit Khusus kelas C, mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan subspesialis sesuai kekhususan yang minimal.
Tugas dan Fungsi Rumah Sakit Berdasarkan SK Menkes RI No.1197/MENKES/SK/X/2004 tentang standar pelayanan farmasi di rumah sakit, rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Untuk menjalankan tugas tersebut, rumah sakit mempunyai fungsi : a.
Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.
9
b.
Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
c.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
d.
Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan
dalam
rangka
peningkatan
pelayanan
kesehatan
dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
Visi dan Misi Rumah Sakit Untuk berhasil dalam pelayanan secara menyeluruh, maka pimpinan rumah sakit perlu melakukan perencanaan strategi dengan mengembangkan visi, misi, menetapkan tujuan, pengembangan program, penetapan prioritas, rencana tindakan terpadu, dan penerapan. Visi rumah sakit merupakan kekuatan memandu rumah sakit. Suatu inspirasi yang cukup jelas, sangat kuat menimbulkan dan mendukung tindakan yang perlu untuk mencapai status masa depan. Visi merupakan pernyataan tetap (permanen) untuk mengkomunikasikan sifat dari keberadaan rumah sakit, berkenaan dengan maksud, lingkup usaha/kegiatan, kepemimpinan kompetitif, memberikan kerangka kerja yang mengatur hubungan antara rumah sakit dan “stakeholders” utamanya, dan menyatakan tujuan luas dari unjuk kerja rumah sakit. Fokus visi adalah eksternal untuk stakeholders (Siregar dan Amalia, 2004). Misi rumah sakit merupakan suatu pernyataan singkat dan jelas tentang alasan keberadaan rumah sakit, maksud, fungsi yang diinginkan untuk memenuhi harapan dan kepuasan konsumen. Misi sebagai metode utama untuk mencapai maksud tersebut, memformulasi berbagai jenis kegiatan tertentu dari semua upaya yang dilakukan rumah sakit dan strategi yang digunakan dalam beroperasi, menetapkan cara sumber dialokasikan oleh rumah sakit dan pola umum pertumbuhan serta arah masa depan. Fokus misi harus internal rumah sakit (Siregar dan Amalia, 2004).
10
Farmasi Rumah Sakit Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal tersebut diperjelas dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit. Disebutkan bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi pada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Tuntutan masyarakat dan pasien akan mutu pelayanan farmasi,
mengharuskan adanya
perubahan pelayanan dari drug oriented ke patient oriented dengan filosofi Pharmaceutical Care. Praktik Pelayanan Kefarmasian merupakan hal yang terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan (DepKes RI, 2004). Pharmaceutical
care
berkembang
sebagai
kelanjutan
dari
sejarah
perkembangan obat yang mengakibatkan makin banyaknya drug adverse reaction. Terlihat dari catatan sejarah bahwa di USA, tahun 1971, 140.000 kematian dan 1 juta dirawat di rumah sakit karena adanya drug adverse reaction
dari obat yang
diresepkan. Pada tahun 1987 FDA mencatat 12.000 kematian dan 15.000 dirawat di rumah sakit yang berkaitan dengan drug adverse reaction dari obat yang diresepkan. Morse mengestimasikan bahwa di USA biaya penyakit yang berkaitan dengan obat diresepkan adalah $ 7 bilion setiap tahun (Strand dkk, 1998). Dilaporkan juga oleh McDonnell (2006) bahwa kejadian medication error di rumah sakit 10-30 % akibat dari adverse drug event (ADE), dan setiap kejadian ADE biayanya mencapai 5.000 dollar amerika tiap pasien di rumah sakit. Dari kejadian tersebut sebenarnya dapat dicegah 30-50 %. Mengacu pada SK Menkes Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk 11
pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Farmasi rumah sakit bertanggung jawab terhadap semua barang farmasi yang beredar di rumah sakit tersebut. Hal ini mendorong pelayanan farmasi satu pintu harus ditegakkan dalam sistem pelayanan farmasi rumah sakit (sesuai dengan undangundang rumah sakit no 44 tahun 2009, pasal 15 ayat 3). Adapun tujuan pelayanan farmasi adalah (DepKes RI, 2004) sebagai berikut: a Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa maupun keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien maupun fasilitas yang tersedia. b Menyelenggarakan
kegiatan
pelayanan
profesional
berdasarkan
prosedur
kefarmasian dan etika profesi. c Melaksanakan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) mengenai obat, d Menjalankan pengelolan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku, e Mengevaluasi dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi pelayanan f Melakukan pengawasan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku g Mengadakan penelitian dan pengembangan dibidang farmasi dan peningkatan metode. h Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan formularium rumah sakit. Farmasi Rumah sakit, selain mempunyai tujuan umum pelayanan farmasi, juga mempunyai fungsi. Fungsi Farmasi Rumah Sakit antara lain: (DepKes RI, 2004) A.
Pengelolaan perbekalan farmasi 1)
Memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit
2)
Merencanakan kebutuhan farmasi secara optimal
3)
Mengadakan perbekalan farmasi berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku
12
4)
Memproduksi
perbekalan
farmasi
untuk
memenuhi
kebutuhan
pelayanan kesehatan di rumah sakit 5)
Menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku
6)
Menyimpan perbekalan
farmasi
sesuai dengan spesifikasi
dan
persyaratan kefarmasian 7)
Mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di rumah sakit.
B. Pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan: (DepKes RI, 2004) 1) Mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien 2) Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dan alat kesehatan 3) Mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat dan alat kesehatan 4) Memantau keefektifan dan keamanan penggunaan obat dan alat kesehatan 5) Memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pasien/keluarga 6) Memberikan konselling kepada pasien/keluarga 7) Melakukan pencampuran obat suntik 8) Melakukan penyiapan nutrisi parenteral 9) Melakukan penanganan obat kanker 10) Melakukan penentuan kadar obat dalam darah 11) Melakukan pencatatan setiap saat 12) Melaporkan setiap kegiatan. Farmasi rumah sakit mempunyai arti penting dalam Rumah Sakit. Dalam Undang-undang Rumah Sakit no. 44 tahun 2009 disebutkan bahwa salah satu persyaratan RS harus memenuhi persyaratan kefarmasian. Di bagian keenam pasal 15 tentang kefarmasian menyebutkan bahwa: (DepKes RI, 2009)
13
1) Persyaratan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat 1 harus menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bermutu, bermanfaat, aman dan terjangkau. 2) Pelayanan sediaan farmasi di Rumah Sakit harus mengikuti standar pelayanan kefarmasian 3) Pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi dan bahan habis pakai di Rumah sakit harus dilakukan oleh instalasi farmasi sistem satu pintu 4) Besaran harga perbekalan farmasi pada instalasi farmasi rumah sakit harus wajar dan berpatokan kepada harga patokan yang ditetapkan pemerintah 5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan kefarmasian sebagaiamana dimaksud dalam ayat 2) diatur dengan peraturan menteri. Standar Pelayanan Minimal IFRS Rumah Sakit harus memelihara dan mengembangkan IFRS serta fungsi pelayanannya yang dilakukan sesuai dengan praktik profesional dan etika yang dapat diterima dan semua persyaratan perundang – undangan yang berlaku. Fungsi pelayanan kefarmasian di rumah
sakit mempunyai berbagai komponen, yang
semuanya digolongkan menjadi pelayanan non klinik dan klinik. Dibawah ini diuraikan berbagai standar kegiatan atau pelayanan IFRS. Standar adalah suatu dokumen yang ditetapkan dengan konsensus dan disetujui oleh suatu badan yang diakui, yang berisi peraturan, pedoman atau karakteristik dari kegiatan atau hasil kegiatan, disediakan untuk penggunaan umum dan berulang, ditujukan untuk pencapaian derajat optimal keberaturan dalam suasana tertentu. Jadi, standar minimal kegiatan atau pelayanan IFRS adalah kegiatan minimal yang harus dilakukan IFRS secara terus menerus yang masih memberikan unjuk kerja dan hasil yang baik (Siregar dan Amalia, 2004).
14
Standar 1: manajerial dimana IFRS harus dipimpin oleh seorang Apoteker yang secara profesional kompeten dan memenuhi persyaratan hukum. Jabatan pimpinan IFRS harus berada dalam tingkat yang sama dengan jabatan pimpinan Staf Medik Fungsional (SMF) dalam struktur rumah sakit. Standar II : Fasilitas yaitu ruangan, peralatan dan perbekalan harus disediakan untuk fungsi profesional dan administratif IFRS sebagaimana dipersyaratkan. IFRS harus dilengkapi dengan ruangan, alat, bahan, pasokan untuk fungsi profesional dan administratif. Standar III : Distribusi dan Pengendalian Obat yaitu kebijakan dan prosedur terdokumentasi yang berkaitan dengan distribusi obat intra rumah sakit, harus dikembangkan oleh pimpinan IFRS bersama – sama Panitia Farmasi dan Terapi (PFT), staf medik, perawat dan dewan perwakilan disiplin lain. IFRS adalah suatu unit atau bagian yang harus bertanggung jawab dalam pengelolaan menyeluruh mulai dari perencanaan, pengadaan (pembelian, manufaktur), pengendalian mutu, penyimpanan
dan peracikan, pelayanan resep/order, distribusi sampai dengan
pengendalian semua perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan di rumah sakit termasuk pelayanan yang berkaitan dengan obat kepada penderita ambulatori. Kebijakan dan prosedur yang menguasai
sebagai fungsi tersebut harus
dikembangkan oleh apoteker dengan masukan dari PFT, staf rumah sakit yang terlibat, seperti pimpinan rumah sakit, perawat, dokter dan komite atau panitia lain (Siregar dan Amalia, 2003). Standar IV : Informasi obat yaitu IFRS bertugas dan bertanggung jawab menyediakan/memberikan informasi yang akurat dan komprehensif bagi staf medik, profesional kesehatan lain, dan penderita serta harus membuat IFRS sebagai sentra informasi obat. Standar V : jaminan terapi yang rasional yaitu terkait dengan penggunaan obat secara rasional. Penggunaan obat yang rasional mensyaratkan bahwa penderita memperoleh obat sesuai dengan kebutuhan klinik, dalam dosis yang memenuhi kebutuhan individual, untuk periode waktu yang memadai dan harga yang terendah 15
bagi mereka dan komunitas mereka. Istilah penggunaan obat yang rasional dalam lingkungan biomedik mencangkup kriteria seperti obat yang benar, indikasi yang tepat, yaitu alasan bahwa penulisannya didasarkan pada pertimbangan medik yang baik (tanpa cacat), obat yang tepat, berkaitan dengan manfaat, keamanan, kesesuaian bagi penderita yang tepat, yaitu tidak ada kontraindikasi dan kemungkinan terjadinya reaksi merugikan adalah minimal. Dispensing yang benar termasuk informasi yang tepat bagi penderita tentang obat yang ditulis dokter, dan kepatuhan penderita pada pengobatannya. Standar VI : Penelitian yaitu praktik kefarmasian didasari oleh berbagai ilmu, seperti fisikokimia, biologi, farmasetik, biomedik dan sosioekonomi. Jadi keberhasilan masa depan dan berkelanjutan serta rasa harga diri profesi tergantung pada dasar pengetahuan yang diperluas dan yang dapat dihasilkan melalui penelitian serta pengembangan ilmiah yang giat dan dinamis agar penelitian ini mempunyai arti dan produktif sesuai dengan kebutuhan IFRS dalam rumah sakit, apoteker rumah sakit harus berpatisipasi aktif. Apoteker rumah sakit harus dapat berfungsi baik dalam penelitian dengan bekerja sama dengan profesional pelayanan kesehatan lainnya. Apoteker memberikan kontribusi keahlian yang khas pada aspek yang berkaitan dengan obat pada pelayanan penderita dan memikul tanggung jawab pribadi pada hasil dari pelayanan kefarmasian yang mereka berikan pada penderita. Standar VII : pemberian/konsumsi obat dan produk biologik yang aman yaitu kebijakan dan prosedur terdokumentasi yang menguasai pemberian/konsumsi obat dan produk biologik yang aman harus dikembangkan oleh PFT bekerjasama dengan IFRS, perawat, dan jika perlu perwakilan disiplin lain. Standar VIII : Mutu dalam pelayanan perawatan penderita yang diberikan oleh IFRS yaitu sebagai bagian dari program jaminan mutu rumah sakit, mutu dan ketepatan pelayanan, perawatan dan penderita yang diberikan IFRS harus dipantau, dievaluasi dan masalah yang diidentifikasi diadakan solusinya, IFRS adalah suatu organisasi pelayanan yang merupakan suatu sistem terorganisasi dari keterampilan dan fasilitas khusus. IFRS yang merupakan pemasok pelayanan, menghendaki agar pelayanannya 16
cocok digunakan atau memuaskan konsumen, sama seperti yang dikehendaki pemasok produk industrial. Banyak kemiripan teknik jaminan mutu lembaga pelayanan dan lembaga manufaktur, tetapi pelayanan memerlukan suatu pendekatan khusus (Siregar dan Amalia, 2004).
17
BAB II PENDAHULUAN MANAJEMEN OBAT
Sistem pengelolaan obat harus dipandang sebagai bagian dari keseluruhan sistem pelayanan di rumah sakit dan diorganisasikan dengan suatu cara yang dapat memberikan pelayanan berdasarkan aspek keamanan, efektif dan ekonomis dalam penggunaan obat, sehingga dapat dicapai efektifitas dan efisiensi pengelolaan obat. Dimana keduanya merupakan konsep utama yang digunakan untuk mengukur prestasi kerja manajemen. Pengelolaan obat di rumah sakit ini dibentuk di suatu instalasi farmasi rumah sakit (Jokosusilo, 2004) Menurut Trisnantoro (2003), obat merupakan barang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang sakit. Pentingnya obat dalam pelayanan kesehatan memberikan konsekuensi yang besar pula dalam anggaran obat. Anggaran obat di rumah sakit untuk obat dan alat kesehatan yang dikelola instalasi farmasi mencapai 50-60% dari seluruh anggaran rumah sakit. Berbagai rumah sakit melaporkan bahwa keuntungan dari obat yang dijual di rumah sakit merupakan hal yang paling mudah dilakukan dibandingkan dengan keuntungan dari jasa yang lain, misalnya radiologi, pelayanan rawat inap ataupun pelayanan gizi. Dengan kondisi seperti ini, maka manajemen obat di rumah sakit sangat penting untuk dilakukan. Pengelolaan obat berhubungan erat dengan anggaran dan belanja rumah sakit. Mengenai biaya obat di rumah sakit dapat sebesar 40% dari total biaya kesehatan. Menurut Depkes RI secara nasional biaya obat sebesar 40%-50% dari jumlah operasional pelayanan kesehatan. Mengingat begitu pentingnya dana dan kedudukan obat bagi rumah sakit, maka pengelolaannya harus dilakukan secara efektif dan efisien sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pasien dan rumah sakit. Pengelolaan tersebut meliputi seleksi dan perencanaan, pengadaan, penyimpanan, distribusi dan penggunaan. Manajemen obat yang baik menjamin selalu tersedianya obat setiap saat diperlukan, dalam jumlah yang cukup dan mutu yang terjamin, untuk mendukung 18
pelayanan yang bermutu di rumah sakit. Obat yang diperlukan adalah obat-obat yang secara medis memang diperlukan sesuai dengan keadaan pola penyakit setempat, telah terbukti secara ilmiah bahwa obat tersebut bermanfaat dan aman untuk dipakai di rumah sakit yang bersangkutan. Manajemen obat menyangkut berbagai tahap dan kegiatan yang saling terkait antara satu dengan yang lain. Ketidakterkaitan antara masing-masing tahap dan kegiatan akan membawa konsekuensi tidak efisiennya sistem suplai dan penggunaan obat yang ada, mempengaruhi kinerja rumah sakit baik secara medik, ekonomi dan sosial. Dampak negatif lainnya akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap layanan rumah sakit. Manajemen obat di rumah sakit merupakan salah satu unsur penting dalam fungsi manajerial rumah sakit secara keseluruhan, karena ketidakefisienan akan memberikan dampak negatif terhadap rumah sakit baik secara medis maupun secara ekonomis. Tujuan manajemen obat di rumah sakit adalah agar obat yang diperlukan tersedia setiap saat dibutuhkan, dalam jumlah yang cukup, mutu yang terjamin dan harga yang terjangkau untuk mendukung pelayanan yang bermutu. Dalam sistem manajemen obat, masing-masing fungsi utama terbangun berdasarkan fungsi sebelumnya dan menentukan fungsi selanjutnya (Liliek, 1998). Menurut Quick, dkk (2012), siklus manajemen obat mencakup empat tahap yaitu: 1) selection (seleksi), 2) procurement (pengadaan), 3) distribution (distribusi), dan 4) use (penggunaan). Masing-masing tahap dalam siklus manajemen obat saling terkait, sehingga harus dikelola dengan baik agar masing-masing dapat dikelola secara optimal. Tahapan yang saling terkait dalam siklus manajemen obat tersebut diperlukan suatu sistem suplai yang terorganisir agar kegiatan berjalan baik dan saling mendukung, sehingga ketersediaan obat dapat terjamin yang mendukung pelayanan kesehatan, dan menjadi sumber pendapatan rumah sakit yang potensial. Siklus manajemen obat didukung oleh faktor-faktor pendukung manajemen (management support) yang meliputi organisasi, administrasi dan keuangan, Sistem Informasi Manajemen (SIM) dan Sumber Daya Manusia (SDM). Setiap tahapan siklus manajemen obat harus selalu didukung oleh keempat management support 19
tersebut sehingga pengelolaan obat dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Siklus manajemen obat dapat digambarkan pada Gambar 1
SELECTION Management Support Organization Management Human Resources Management Administration and Finance Management Management Information Sistem
USE
PROCUREMENT
DISTRIBUTION
Policy and legal framework
Gambar 1. Siklus Manajemen Obat (Quick dkk., 2012)
Salah satu fungsi pengelolaan obat adalah seleksi terhadap obat yang benarbenar diperlukan bagi sebagian besar populasi berdasarkan pola penyakit yang ada. Proses seleksi merupakan awal yang sangat menentukan dalam perencanaan obat karena melalui seleksi obat akan tercermin berapa banyak item obat yang akan dikonsumsi dimasa datang (Quick, dkk, 2012). Pada proses pemilihan obat seharusnya mengikuti pedoman seleksi obat yang disusun oleh WHO (1993) antara lain: 1) Memilih obat yang tepat dan terbukti efektif serta merupakan drug of choice; 2) Memilih seminimal mungkin obat untuk suatu jenis penyakit, mencegah duplikasi; 3) Melakukan monitoring kontra indikasi dan efek samping obat secara cermat untuk mempertimbangkan penggunaannya; 4) Biaya obat, yang secara klinik sama harus dipilih yang termurah 5) Menggunakan obat dengan nama generik. Setelah dilakukan seleksi, sebaiknya suplai obat sesuai dengan obat yang dipilih. 20
Manajemen obat di rumah sakit dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Berkaitan dengan pengelolaan obat di rumah sakit, Departemen Kesehatan RI melalui SK No. 85/Menkes/Per/1989, menetapkan bahwa untuk membantu pengelolaan obat di rumah sakit perlu adanya Panitia Farmasi dan Terapi, Formularium dan Pedoman Pengobatan. Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi, sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya (DepKes RI, 2004) Formularium dapat diartikan sebagai daftar produk obat yang digunakan untuk tata laksana suatu perawatan kesehatan tertentu. Formularium merupakan referensi yang berisi informasi yang selektif dan relevan untuk dokter penulis resep, penyedia/peracik obat dan petugas kesehatan lainnya (www.depkes.go.id). Pedoman pengobatan yaitu standar pelayanan medis yang merupakan standar pelayanan rumah sakit yang telah dibakukan bertujuan mengupayakan kesembuhan pasien
secara
optimal,
melalui
prosedur
dan
tindakan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. Pedoman pengobatan sebagai panduan tenaga medis dalam memberikan pelayanan medis, yang diharapkan pengobatan menjadi rasional.
Untuk melaksanakan pengadaan obat yang baik, sebaiknya diawali dengan dasar-dasar seleksi kebutuhan obat yang meliputi; 1) Obat dipilih berdasarkan seleksi ilmiah, medik dan statistik yang memberikan efek terapi jauh lebih baik dibandingkan risiko efek samping yang akan ditimbulkan; 2) Jumlah obat yang dipilih seminimal mungkin dengan cara menghindari duplikasi dan kesamaan jenis; 3) Jika ada obat baru harus ada bukti yang spesifik untuk efek terapi yang lebih baik;
21
4) Dihindarkan penggunaan obat kombinasi, kecuali jika obat kombinasi tersebut mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan obat tunggal; 5) Apabila jenis obat banyak, maka kita akan memilih berdasarkan drug of choice dari penyakit yang prevalensinya tinggi. Perencanaan obat merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga obat yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran untuk periode pengadaan yang akan datang. Perencanaan dipengaruhi berbagai hal seperti beban epidemiologi penyakit, keefektifan obat terhadap suatu penyakit dan dipertimbangkan pula harga obat (Budiono dkk, 1999). Dalam pengelolaan obat yang baik, perencanaan sebaiknya dilakukan dengan berdasarkan data yang diperoleh dari tahap akhir pengelolaan, yaitu penggunaan obat periode yang lalu. Gambaran penggunaan obat dapat diperoleh berdasarkan data riel konsumsi obat (metode konsumsi) atau berdasarkan data riil pola penyakit (metode morbiditas) dan gabungan dari kedua metode tersebut (Quick dkk, 1997). Pengadaan adalah suatu proses untuk mendapatkan barang atau obat yang dibutuhkan untuk menunjang pelayanan kesehatan di rumah sakit. Termasuk dalam pengadaan adalah pengambilan keputusan dan tindakan untuk menentukan jumlah obat yang spesifik, harga yang harus dibayar, kualitas obat yang diterima, pengiriman barang tepat waktu, proses berjalan lancar tidak memerlukan waktu dan tenaga berlebihan. Pemborosan waktu, tenaga dan dana akan meningkatkan biaya obat dan akan menurunkan kualitas pelayanan rumah sakit. Pengadaan merupakan faktor terbesar menyebabkan pemborosan maka perlu dilakukan efisiensi dan penghematan biaya. Agar proses pengadaan dapat berjalan lancar dan teratur diperlukan struktur komponen berupa personil yang terlatih dan menguasai permasalahan pengadaan, metode dan prosedur yang jelas, sistem informasi yang baik, serta didukung dengan dana dan fasilitas yang memadai (Budiono dkk, 1999). Penyimpanan adalah suatu kegiatan pengamanan obat dengan cara menempatkan obat-obatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman, mengatur obat agar mudah ditemukan kembali pada saat diperlukan, mengatur kondisi ruang dan penyimpanan 22
agar obat tidak mudah rusak/hilang, serta melakukan pencatatan dan pelaporan obat. Selain persyaratan fisik, penyimpanan obat juga memerlukan prasyarat yang lebih spesifik serta pengaturan yang rapi. Hal ini dikarenakan obat memerlukan perlakuan tersendiri seperti: suhu tertentu, memerlukan pengamanan yang ketat, zat yang eksplosif dan pencahayaan tertentu. Obat luar harus disimpan terpisah dari obat dalam. Obat diatur sesuai sistem FIFO (First In First Out) dan FEFO (First Expired First Out), serta obat yang hampir kadaluwarsa diberi tanda agar bisa selalu dimonitor (Quick dkk, 1997). Distribusi merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta untuk penunjang pelayanan medis. Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan antara lain: efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada, metode sentralisasi atau desentralisasi, sistem floor stock, resep individu, dispensing dosis unit atau kombinasi (DepKes RI, 2004). Penggunaan adalah suatu tahap masalah pemakaian obat yang rasional serta dampak penggunaan obat yang tidak rasional. Menurut DepKes RI (DepKes RI, 2004), pengobatan yang rasional adalah jika pengobatan dilakukan secara tepat (medically appropriate) yaitu tepat diagnosis, tepat indikasi, tepat jenis obat, tepat dosis, cara dan lama pemberian, tepat penilaian terhadap kondisi pasien, tepat penyerahan, tepat informasi, tepat tindak lanjutnya dan waspada terhadap efek samping obat. Ketidakrasionalan pemakaian obat sangat beragam, mulai dari pemakaian obat tanpa indikasi, dosis, cara, frekuensi dan lama pemberian yang tidak tepat, hingga peresepan obat-obat relatif mahal atau peresepan obat-obat yang belum terbukti secara ilmiah memberi manfaat terapi yang lebih besar dibanding risiko.
23
BAB III SELEKSI OBAT
Sistem manajemen obat merupakan serangkaian kegiatan kompleks yang merupakan suatu siklus yang saling terkait, pada dasarnya terdiri dari empat fungsi dasar yaitu seleksi, perencanaan dan pengadaan, distribusi dan penggunaan. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) merupakan satu-satunya unit di Rumah Sakit (RS) yang bertugas dan bertanggung jawab sepenuhnya untuk pengelolaan semua aspek yang berkaitan dengan obat atau perbekalan kesehatan yang digunakan dirumah sakit (Quick dkk., 1997). Siklus manajemen obat didukung oleh faktor-faktor pendukung manajemen (Management support) yang meliputi organisasi, administrasi dan keuangan, sumber daya manusia (SDM), dan sistem informasi manajemen (SIM) (Quick dkk., 2012)
A. Seleksi Obat Seleksi merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis, menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui standar obat. Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam panitia farmasi dan terapi untuk menetapkan kualitas dan efektifitas, serta jaminan purna transaksi pembelian (Depkes RI, 2004). Pemilihan obat di rumah sakit merujuk kepada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) sesuai dengan kelas rumah sakit masing-masing, formularium rumah sakit, formularium jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin, Daftar Plafon Harga Obat (DPHO) Askes dan Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek). Kriteria pemilihan kebutuhan obat yang
24
baik, meliputi : jenis obat yang dipilih seminimal mungkin dengan cara menghindari kesamaan jenis, hindari penggunaan obat kombinasi, kecuali jika obat kombinasi mempunyai efek lebih baik dibanding obat tunggal, apabila jenis obat banyak, maka kita memilih berdasarkan obat pilihan (drug of choice) dari penyakit yang prevalensinya tinggi (Depkes RI, 2008). Seleksi obat bertujuan untuk menghindari obat yang tidak mempunyai nilai terapetik, mengurangi jumlah jenis obat dan meningkatkan efisiensi obat yang tersedia (Quick dkk, 2012). Menurut Surat Keputusan Mentri Kesehatan RI no. 1197/SK/Menkes/X/2004 seleksi atau pemilihan obat merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan yang terjadi dirumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis, menentukan criteria pemilihan dengan memprioritaskan obat essensial, standarisasi sampai menjaga dan memeperbarui standar obat (DepKes, 2004). Menurut WHO, tahap-tahap seleksi obat, dimulai dengan membuat daftar masalah kesehatan umum yang dialami (list of common health problems). Setelah itu menentukan terapi standar untuk memilih obat standar yang digunakan dan terapi non obatnya.Tahap ketiga melihat daftar obat essensial yang ada untuk kemudian dibuat daftar obat yang berguna untuk menyusun formularium. Dari terapi standar yang ada dibuat suatu Guidline terapi untuk menentukan penggunaan obat yang rasional melalui pelatihan, supervise, dan monitoring. Formularium yang telah disusun digunakan sebagai sumber informasi obat yang digunakan untuk terapi di rumah sakit. Semua tahap tersebut bertujuan untuk mendapat ketersediaan dan penggunaan obat yang lebih rasional (Quick, et al., 1997). Seleksi adalah proses memilih sejumlah obat dengan rasional di rumah sakit dengan tujuan untuk menghasilkan penyediaan/pengadaan yang lebih baik, penggunaan obat yang lebih rasional, dan harga yang lebih rendah. Pedoman seleksi obat yang dikembangkan dari WHO, yaitu:
25
a. Dipilih obat yang secara ilmiah, medik, dan statistik memberikan efek terapi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan resiko efek sampingnya. b. Diusahakan jangan terlalu banyak jenis obat yang akan diseleksi (boros biaya),
khususnya obat-obat yang memang bermanfaat untuk jenis penyakit
yang banyak diderita masyarakat. Agar dihindari duplikasi dan kesamaan jenis obat yang diseleksi. c. Jika memasukan obat-obat baru , harus ada bukti yang spesifik bahwa obat baru yang akan dipilih tersebut memang memberikan terapetik yang lebih baik dibanding obat pendahulunya. d. Sediaan kombinasi hanya dipilih jika memang memberikan efek terapetik yang lebih baik daripada sediaan tunggal. e. Jika alternatif pilihan obat banyak, supaya pilih drug of choice dari penyakit yang memang relevansinya tinggi. f. Pertimbangkan administratif dan biaya yang ditimbulkan, misalnya biaya penyimpanan. g. Kontra indikasi, peringatan dan efek samping juga harus dipertimbangkan h. Dipilih obat yang standar mutunya tinggi i. Didasarkan pada nama generiknya dan disesuaikan dengan formularium Tujuan seleksi obat yaitu adanya suplai yang menjadi lebih baik, pemakaian obat lebih rasional, dilihat dari biaya pengobatan lebih terjangkau atau rendah. Dalam hal ini ada dampak dari seleksi obat yaitu tingginya kualitas perawatan (Quality of care) dan biaya pengobatan lebih efektif. Kriteria seleksi obat pada pengelolaan di rumah sakit : a. Dibutuhkan oleh sebagian besar populasi b. Berdasar pola prevalensi penyakit (10 penyakit terbesar) c. Aman dan manjur yg didukung dg bukti ilmiah d. Mempunyai manfaat yg maksimal dg risiko yg minimal termasuk mempunyai rasio manfaat-biaya yg baik e. Mutu terjamin 26
f. Sedapat mungkin sediaan tunggal Sebagai pembanding dalam seleksi obat, pemerintah melakukan seleksi obat untuk Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), dalam kriteria pemilihan obat esensial. Pemilihan obat esensial didasarkan atas kriteria berikut : (Kemenkes, 2011) 1) Mempunyai rasio manfaat-resiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan bagi pasien. 2) Kulaitas harus terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas. 3) Praktis dan mudah dalam penyimpanan dan pengangkutan. 4) Praktis dalam penggunaan dan penyerahan sesuai dengan tenaga, sarana dan fasilitas kesehatan. 5) Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penggunaan oleh pasien. 6) Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) (farmakoekonomi) yang tertinggi berdasarkan biaya langsung (direct cost) dan tidak langsung (indirect cost). 7) Apabila memiliki lebih dari satu pilihan yang mempunyai efek terapi yang serupa, maka pilihan dijatuhkan pada : a.
Obat yang sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan bukti ilmiah;
b.
Obat dengan sifat farmakokinetik yang diketahui paling menguntungkan;
c.
Obat yang memiliki stabilitas lebih baik;
d.
Mudah untuk diperoleh;
e.
Obat yang telah dikenal.
8) Obat jadi kombinasi tetap, harus memenuhi kriteria berikut : a. Obat hanya bermanfaat bagi pasien dalam bentuk kombinasi tetap; b. Kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih tinggi daripada masing-masing komponen; c. Perbandingan
dosis
komponen
kombinasi
tetap
merupakan
perbandingan yang tepat untuk sebagian besar pasien yang memerlukan kombinasi tersebut; d. Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio); 27
e. Untuk antibiotika kombinasi tetap harus dapat mencegah atau mengurangi terjadinya resistensi dan efek merugikan lainnya b. Kriteria Penambahan dan Pengurangan 1) Dalam hal penambahan obat baru perlu dipertimbangkan untuk menghapus obat dengan indikasi yang sama yang tidak lagi merupakan pilihan, kecuali ada alasan kuat untuk mempertahankannya. 2) Obat program diusulkan oleh pengelola program dan akan dinilai sesuai kriteria pemilihan obat esensial. 3) Dalam pelaksanaan revisi seluruh obat yang ada dalam DOEN edisi sebelumnya dikaji oleh Komite Nasional (KomNas) Penyusunan DOEN, hal ini memungkinkan untuk mengeluarkan obat-obat yang dianggap sudah tidak efektif lagi atau sudah ada pengganti yang lebih baik. 4) Untuk obat yang sulit diperoleh di pasaran, tetapi esensial, maka akan tetap dicantumkan dalam DOEN. Selanjutnya diupayakan Pemerintah untuk menjamin ketersediaannya. 5) Obat yang baru diusulkan harus memiliki bukti ilmiah terkini (evidence based medicine), telah jelas efikasi dan keamanan, serta keterjangkauan harganya. Dalam hal ini obat yang telah tersedia dalam nama generik menjadi prioritas pemilihan. c. Petunjuk Tingkat Pembuktian dan Rekomendasi Tingkat pembuktian dan rekomendasi diambil dari US Agency for Health Care Policy and Research, sebagai berikut : Tingkat pembuktian (statements of evidence) (Kemenkes, 2011) Ia. Fakta diperoleh dari meta analisis uji klinik acak dengan kontrol. Ib. Fakta diperoleh dari sekurang-kurangnya satu uji klinik acak dengan kontrol. IIa. Fakta diperoleh dari sekurang-kurangnya satu studi dengan kontrol, tanpa acak, yang dirancang dengan baik. IIb. Fakta diperoleh dari sekurang-kurangnya satu studi quasi-eksperimental jenis lain yang dirancang dengan baik. 28
III. Fakta diperoleh dari studi deskriptif yang dirancang dengan baik, seperti studi komparatif, studi korelasi, dan studi kasus. IV. Fakta yang diperoleh dari laporan atau opini Komite Ahli dan/atau pengalaman klinik dari pakar yang disegani.
1. SISTEM FORMULARIUM Merupakan suatu metode yang digunakan oleh staf medik rumah sakit yang bekerja melalui PFT (Panitia Farmasi dan Terapi), mengevaluasi, menilai, dan memilih dari berbagai zat aktif obat dan produk obat yang tersedia,yang dianggap paling berguna dalam perawatan pasien. Produk sistem formularium antara lain: a.
Standar Terapi
b.
Formulary List
c.
Formularium Manual
Evaluasi Formularium Formularium rumah sakit dapat dievaluasi dengan mengetahui: a. Tingkat kepatuhan terhadap formularium: Formularium dibuat untuk dipatuhi staf medik fungsional dan apoteker dalam pelayanan kesehatan. Kepatuhan terhadap formularium RS akan meningkatkan efisiensi pengelolaan obat dan mendukung pengobatan yang rasional. b. Persentase usulan kebijakan PFT yang diakomodasi direktur. Kebijakan obat merupakan usulan PFT, tetapi harus ditetapkan oleh direktur RS. c. Evaluasi penggunaan obat. Penggunaan obat di RS perlu untuk dilakukan evaluasi, khusunya dalam mendukung penggunaan obat yang rasional. d. Evaluasi formularium, dilakukan pada obat-obat yang terdapat di dalam formularium e. Penetapkan kriteria seleksi f. Standarisasi
29
Standarisasi formularium Dalam proses standarisasi formularium, dapat kita lakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menenentukan manufaktur atau suplier yang memenuhi persyaratan sesuai kriteria seleksi b. Melakukan sosialisasi tentang standarisasi obat pada SMF dan staf farmasi c. Membuat matrik manufaktur atau suplier berdasar kriteria seleksi d. menentukan cut of point e. mengambil kesimpulan f. Dihasilkan formularium rumah sakit
2. PANITIA FARMASI DAN TERAPI Panitia Farmasi dan Terapi adalah tim yang mewakili hubungan komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi, sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya. Tujuan dari PFT adalah: a) Menerbitkan kebijakan-kebijakan mengenai pemilihan obat, penggunaan obat serta evaluasinya b) Melengkapi staf profesional di bidang kesehatan dengan pengetahuan terbaru yang berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai dengan kebutuhan. Susunan kepanitiaan Panitia Farmasi dan Terapi serta kegiatan yang dilakukan bagi tiap rumah sakit dapat bervariasi sesuai dengan kondisi rumah sakit setempat : 1. Panitia Farmasi dan Terapi harus sekurang-kurangnya terdiri dari 3 Dokter, Apoteker dan Perawat. Untuk Rumah Sakit yang besar tenaga dokter bisa lebih dari 3 orang yang mewakili semua staf medis fungsional yang ada.
30
2. Ketua Panitia Farmasi dan Terapi dipilih dari dokter yang ada di dalam kepanitiaan dan jika rumah sakit tersebut mempunyai ahli farmakologi klinik, maka sebagai ketua adalah dari Farmakologi. Sekretarisnya adalah Apoteker dari instalasi farmasi atau apoteker yang ditunjuk. 3. Panitia Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya 2 bulan sekali dan untuk rumah sakit besar rapatnya diadakan sebulan sekali. Rapat Panitia Farmasi dan Terapi dapat mengundang pakar-pakar dari dalam maupun dari luar rumah sakit yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan PFT. Menurut WHO dalam suatu rumah sakit fungsi panitia farmasi dan terapi, yaitu : sebagai komite penasehat bagi staf medis, mengembangkan kebijakan obat, seleksi dan evaluasi obat-obat untuk daftar formularium, mengembangkan pedoman pengobatan standar (Standar Treatment Guidelines/STGs), menilai penggunaan obat untuk mengidentifikasi masalah, mengarahkan intervensi yang efektif pada penggunaan obat, mengelola (Adverse Drug Relation/ADR), mengelola medication error, transparansi informasi, dan menjalin kerjasama dengan panitia maupun institusi kesehatan lain yang sejenis di luar rumah sakit.
Fungsi dan ruang lingkup PFT, yaitu: a. Mengembangkan formularium di rumah sakit dan merevisinya, pemilihan obat untuk dimasukan dalam formularium harus didasarkan pada evaluasi secara subjektif terhadap efek terapi, keamanan serta harga obat dan juga harus meminimalkan duplikasi dalam tipe obat, kelompok dan produk obat yang sama. b. PFT harus mengevaluasi untuk menyetujui atau menolak produk obat baru atau dosis obat yang diusulkan oleh anggota staf medis. c. Menetapkan pengelolaan obat yang digunakan di rumah sakit dan yang termasuk dalam kategori khusus.
31
d. Membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai penggunaan obat di rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku secara lokal maupun nasional. e. Melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat di rumah sakit dengan mengkaji medical record dibandingkan dengan standar diagnosa dan terapi, tinjauan ini dimaksudkan untuk meningkatkan secara terus menerus penggunaan obat secara rasional. f. Mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping obat. g. Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat kepada staf medis dan perawat. Peran PFT adalah mengoptimalkan penggunaan obat yang rasional dengan jalan mengevaluasi penggunaan obat di klinik, mengembangkan kebijakan pengelolaan obat, dan mengelola sistem formularium. PFT bertanggung jawab untuk mempromosikan penggunaan obat yang rasional melalui pendidikan staf profesional, pasien dan keluarganya. PFT Mengembangkan kebijakan obat : a. siklus pengelolaan obat, b. penambahan obat baru, c. obat nonformularium, d. pengurangan obat, e. penelitian obat, f. substitusi generik, g. automatic stop order, h. form obat baru dan pedomannya, i. standar terapi, j. critical pathways, k. algorithma terapi, l. mengatur detailer,
32
m. penyediaan literatur.
Formularium adalah himpunan obat yang diterima/disetujui oleh panitia farmasi dan terapi sebagai pedoman untuk memberikan petunjuk kepada dokter, apoteker, perawat serta petugas administrasi di rumah sakit dalam melaksanakan pelayanan dan dapat direvisi pada setiap batas waktu yang ditentukan. Dalam proses revisi formularium, staf medis, pihak panitia farmasi dan terapi mengadakan evaluasi dan menentukan pilihan terhadap produk obat yang ada di pasaran, dengan lebih mempertimbangkan kesejahteraan pasien. Dalam menerapkan sistem formularium diperlukan kesepakatan antara staf medis dari berbagai disiplin ilmu dengan panitia farmasi dan terapi dalam menentukan kerangka mengenai tujuan, organisasi, fungsi, dan ruang lingkup. Staf medis harus mendukung sistem formularium yang diusulkan oleh panitia farmasi dan terapi, dapat menyesuaikan sistem yang berlaku dengan kebutuhan tiap-tiap institusi, menerima kebijakan-kebijakan dan prosedur yang ditulis oleh panitia farmasi dan terapi, menguasai sistem formularium yang dikembangkan oleh panitia farmasi dan terapi, membatasi jumlah produk obat yang secara rutin harus tersedia di instalasi farmasi, serta membuat prosedur yang mengatur pendistribusian obat generik yang efek terapinya sama (Depkes RI, 2004). Proses dalam pembentukan formularium mempertimbangkan beberapa hal antara lain: daftar obat esensial, epidemiologi penyakit, daftar supli obat baik dari pengadaan, anggaran, distribusi dan produksi. Disamping itu sisitem formularium diharapkan dapat mendukung penggunaan obat yang rasional termasuk didalamya adalah informasi obat. Penggunaan obat yang rasional dengan sistem formularium harus selalu dilakukan evaluasi dan monitoring. Sistem formularium secara rinci dapat dilihat digambar 2.
33
List of Common Health Problem
DTC Meeting List of Essential Drugs/ Formulary List
Drug List Drug Supply - Procurement - Donation - Distribution - Production
Treatment Guidelines
Rational Drug Use - Training - Supervision - Monitoring
Formulary Manual
Drug Information
Monitoring dan Evaluation for more Rational Drug Use
Gambar 2. Sistem formularium (Quick, et al, 1997) 3. Standar Terapi a. Merupakan standar untuk mendiagnosis dan memberi terapi yang tepat; b. Di Rumah Sakit dicari secara epidemiologi yang merupakan10 penyakit dengan prevalensi tinggi tiap spesialisasi
34
c. Berisi : Nama penyakit, Patofisiologi, Etiologi, Gejala Klinik, Diagnosis (anamnesis,
Pasien
Fisik,
Pasien
Penunjang),
Diagnosis
Banding,
Penatalaksanaan (Farmakologi, Non Farmakologi).
Formulary Manual a. Berisi Info lengkap yang dibutuhkan untuk memakai suatu obat b. Nama obat dari Formulary List c. Info dipilih yang benar-benar digunakan di lapangan d. BNF: British National Formulary Formulary List a. Daftar Obat yang direkomendasikan; b. RS: Formularium RS, DORS; c. PT.Askes: DPHO (Daftar dan Plafond Harga Obat), DO (Daftar Obat) d. PT. Jamsostek: DSO (Daftar Standar Obat) e. Nasional: DOEN Daftar Obat Essensial Nasional, Formularium Nasional Untuk BPJS Kesehatan f. Klas Terapi, Nama Generik, Nama Dagang, Pabrik, Keterangan Adapun keuntungan dari adanya formularium yang efektif adalah: a.
Menjamin keamanan dan keefektifan penggunaan obat
b.
Terapi obat yang lebih cost efective
c.
Penyediaan obat yang konsisten
Prinsip Menyusun Formularium : 1.
Memilih obat berdasar kebutuhan (penyakit dan keadaan yang sedang terjadi di wilayah setempat).
2.
Memilih ”drug of choice”
3.
Menghindari duplikasi dan gunakan nama generik
4.
Gunakan kombinasi produk hanya pada kondisi spesifik misalnya TB
5.
Kriteria pemilihan harus jelas dan mencakup : a. Efikasi dan effectiveness 35
b. Safety c. Quality d. Cost 6.
Obat konsisten dengan formularium nasional dan regional dan guidelines terapi standar.
Tidak efektif dan efisiennya manajemen obat dapat dilihat dari gejala kekurangan obat yang terlalu sering dan terjadi pada banyak jenis obat, kelebihan jenis obat tertentu, penyediaan obat tidak merata, perimbangan manfaat biaya (cost effectiveness) yang tidak baik, pengaturan anggaran obat yang tidak proporsional, cara peresepan yang tidak rasional dan tidak efektif, penyimpangan dan distorsi kebutuhan obat (Wambrauw, 2006). Pedoman Penggunaan Formularium di Indonesia menurut Kepmenkes No 1197 tahun 2004: meliputi membuat kesepakatan antara staf medis dari berbagai disiplin ilmu dengan panitia farmasi dan terapi dalam menentukan kerangka mengenai tujuan, organisasi, fungsi dan ruang lingkup. staf medis harus mendukung sistem formularium yang diusulkan oleh Panitia Farmasi dan
Terapi, staf medis harus
dapat menyesuaikan sistem yang berlaku dengan kebutuhan tiap-tiap institusi, staf medis harus menerima kebijakan-kebijakan dan prosedur yang ditulis oleh panitia farmasi dan terapi untuk menguasai sistem formularium yang dikembangkan oleh panitia farmasi dan terapi, nama obat yang tercantum dalam formularium adalah nama generik, membatasi jumlah produk obat yang secara rutin harus tersedia di instalasi farmasi, membuat prosedur yang mengatur pendistribusian obat generik yang efek terapinya sama, seperti apoteker bertanggung jawab untuk menentukan jenis obat generik yang sama untuk disalurkan kepada dokter sesuai produk asli yang diminta, dokter yang mempunyai pilihan terhadap obat paten tertentu harus didasarkan padapertimbangan farmakologi dan terapi, apoteker bertanggung jawab terhadap kualitas, kuantitas, dan sumber obat dari sediaan kimia, biologi dan sediaan farmasi yang digunakan oleh dokter untuk mendiagnosa dan mengobati pasien. 36
Kriteria obat yang lolos seleksi dalam formularium adalah obat sudah efektif dan aman, biaya yang relatif efisien, pilihan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti farmakokinetik obat atau tersedianya fasilitas pengadaan dan penyimpanan, mutu terjamin, termasuk bioavailabilitas dan stabilitas obat selama penyimpanan, sebaiknya obat memiliki komponen tunggal, bila dalam bentuk kombinasi maka perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang tepat untuk populasi yang memerlukan kombinasitersebut dan kombinasi tetap terbukti memiliki kelebihan daripada komponen tunggalnya baik dari segi efek terapi, keamanan serta kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Apabila seorang dokter bergabung menjadi staf rumah sakit, ia wajib setuju berpraktik sesuai dengan peraturan sistem formularium rumah sakit tersebut, obat yang akan ditulis, di dispensing, dan digunakan di rumah sakit harus sesuai dengan sistem formularium (Siregar dan Amalia, 2004). Secara garis besar faktor yang mempengaruhi penulisan resep dibagi dua yaitu faktor medis dan faktor nonmedis. Faktor medis adalah faktor yang berhubungan dengan status kesehatan pasien yang merupakan faktor utama yang menentukan apakah seorang pasien akan diberikan resep obat atau tidak. Faktornonmedis terbagi dua lagi yaitu faktor kondisi peresepan (conditioning factors) dan faktor individu (individual factors) yaitu semua yang berhubungan dengan individu dokter. Kekuatan dari industri obat nasional dan kekuasaan dari pihak yang berwenang mengontrol, merupakan dua faktor kondisi yang penting yang juga mempengaruhi faktor individu (Yenis, 1999., diacu dalam Wambrauw, 2006). Beberapa faktor yang mempengaruhi penulisan resep (Wambrauw, 2006) : 1. Sistem suplai kesehatan (Health Supply System) Faktor yang mempengaruhi sistem meliputi suplai obat yang tidak dapat dipercaya, jumlah obat yang terbatas/ tidak mencukupi, obat-obat yang kadaluarsa dan tersedianya obat-obat yang tidak tepat/tidak sesuai. Inefisiensi dalam sistem tersebut menimbulkan ketidakpercayaan oleh dokter dan pasien. Padahal pasien membutuhkan
37
pengobatan dan dokter harus memberikan obat apa yang sudah tersedia, walaupun obat yang tersedia tersebut tidak tepat indikasi. 2. Penulis resep / dokter (Prescriber) Faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi dokter dalam menuliskan resep. Pengetahuan dokter tentang obat dapat mempengaruhi penulisan resep obat, pengetahuan didapat dari pendidikan dasar yang membentuk sikap. Kurangnya pendidikan berkelanjutan (Continuing education), keahlian untuk mendapatkan informasi baru yang lebih banyak didapat dari sales obat bukan berdasarkan evidence based
mempengaruhi penulisan resep obat. Faktor eksternal seperti jumlah pasien
yang banyak, atau tekanan untuk menuliskan resep dari pasien atau salesmen obat/pabrik obat.
38
BAB IV PENGADAAN OBAT DI RUMAH SAKIT
Merupakan proses kegiatan manajemen obat, meliputi : perencanaan dan pengadaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan dan anggaran rumah sakit. A. Perencanaan Obat Perencanaan
menurut
Surat
Keputusan
Mentri
Kesehatan
RI
No.
1197/SK/MenKes/X/2004 merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis , jumlah dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari
kekosongan
obat
dengan
menggunakan
metode
yang
dapat
dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi konsumsi yang disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. . Pedoman perencanaan, meliputi : DOEN, formularium rumah sakit, standar terapi rumah sakit, ketentuan setempat yang berlaku, data catatan medik, anggaran yang tersedia, penetapan prioritas, siklus penyakit, sisa persediaan, data pemakaian periode yang lalu, dan rencana pengembangan (Depkes RI, 2004). Perencanaan merupakan tahap yang penting dalam pengadaan obat di instalasi farmasi rumah sakit (IFRS). Perencanaan pengadaan obat perlu mempertimbangkan jenis obat, jumlah yang diperlukan, serta efikasi obat dengan mengacu pada misi utama yang diemban oleh rumah sakit. Untuk menentukan beberapa macam obat yang harus direncanakan, fungsi kebijakan rumah sakit sangat diperlukan agar macam obat dapat dibatasi. Penetapan jumlah obat yang diperlukan dapat dilaksanakan berdasarkan polulasi yang akan dilayani, jenis pelayanan yang diberikan, atau berdasarkan data penggunaan obat yang sebelumnya (Dep Kes RI, 2002). Pedoman perencanaan menurut KepMenKes 1197/SK/MenKes/X/2004 adalah: a. DOEN, formularium rumah sakit, standar terapi rumah sakit dan ketentuan setempat yang berlaku. b. Data catatan medik
39
c. Anggaran yang tersedia d. Penetapan prioritas e. Siklus penyakit f. Sisa persediaan g. Data pemakaian periode yang lalu. h. Rencana pengembangan
Tujuan perencanaan obat: 1. Mendapatkan jenis dan jumlah obat tepat sesuai kebutuhan 2. Menghindari kekosongan obat 3. Meningkatkan penggunaan obat secara rasional 4. Meningkatkan efisiensi penggunaan obat
Perencanaan merupakan tahap awal pada pengadaan obat. Ada beberapa macam metode perencanaan yaitu: a. Metode morbiditas/epidemiologi: Metode ini diterapkan berdasarkan jumlah kebutuhan perbekalan farmasi yang digunakan untuk beban kesakitan (morbidity load), yang didasarkan pada pola penyakit, perkiraan kenaikan kunjungan dan waktu tunggu (lead time). Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam metode ini, yaitu menentukan jumlah pasien yang akan dilayani dan jumlah kunjungan kasus berdasarkan prevalensi penyakit, menyediakan formularium/ standar/ pedoman perbekalan farmasi, menghitung perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi, dan penyesuaian dengan alokasi dana yang tersedia. Persyaratan utama dalam metode ini adalah rumah sakit harus sudah memiliki standar pengobatan, sebagai dasar untuk penetapan obat yang akan digunakan berdasarkan penyakit. Langkah-langkah perhitungan metode morbiditas adalah:
40
1) Menetapkan pola morbiditas penyakit berdasarkan kelompok umur penyakit. 2) Menyiapkan data populasi penduduk. 3) Menyediakan data masing-masing penyakit/tahun untuk seluruh populasi pada kelompok umur yang ada. 4) Menghitung frekuensi kejadian masing-masing penyakit/tahun untuk seluruh populasi pada kelompok umur yang ada. 5) Menghitung jenis, jumlah, dosis, frekuensi dan lama pemberian obat menggunakan pedoman pengobatan yang ada. 6) Menghitung jumlah yang harus diadakan untuk tahun anggaran yang akan datang (Dep Kes RI, 2008). Tabel 1. Keunggulaan dan Kelemahan Metode Epidemiologi -
Keunggulan Perkiraan kebutuhan mendekati kebenaran standar pengobatan mendukung usaha memperbaiki pola penggunaan obat
-
Kelemahan membutuhkan waktu dan tenaga terampil data penyakit sulit diperoleh secara pasti perlu pencatatan dan pelaporan yang baik
b. Metode konsumsi Metode ini diterapkan berdasarkan data riel konsumsi perbekalan farmasi periode yang lalu, dengan berbagai penyesuaian dan koreksi. Hal yang harus diperhatikan dalam menghitung jumlah perbekalan farmasi yang dibutuhkan, yaitu dengan melakukan pengumpulan dan pengolahan data, analisa data untuk informasi dan evaluasi, perhitungan perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi, dan penyesuaian jumlah kebutuhan perbekalan farmasi dengan alokasi dana. Metode konsumsi ini mempersyaratkan bahwa penggunaan obat periode sebelumnya harus dipastikan rasional. Hal ini disebabkan metode konsumsi hanya
berdasarkan
pada
data
konsumsi
sebelumnya
yang
tidak
mempertimbangkan epidemiologi penyakit. Kalau penggunaan obat periode
41
sebelumnya tidak rasional, disarankan untuk tidak menggunakan metode ini, karena kalau tidak justru mendukung pengobatan yang tidak rasional di rumah sakit.
Berdasarkan pada penggunaan obat tahun sebelumnya (untuk RS yang sudah berdiri) Dasar: * analisa data * konsumsi obat tahun sebelumnya Sumber data: 1) Pencatatan dan pelaporan ( Kartu stok) 2) Pencatatan dan pelaporan beberapa fasilitas kesehatan 3) Hasil pertemuan beberapa tenaga medis Jenis data: Alokasi dana, daftar obat, stok awal, penerimaan, pengeluaran, sisa
stok,
kadaluwarsa, obat kosong, stok pengaman. Kelebihan metode konsumsi: 1) Datanya akurat metode paling mudah. 2) Tidak perlu data penyakit dan standar pengobatan 3) Kekurangan dan kelebihan obat sangat kecil Kekurangan; 1) Data konsumsi, obat dan jumlah kontak pasien sulit. 2) Tidak dapat untuk dasar penggunaan obat dan perbaikan pola peresepan 3) Kekurangan,kelebihan dan kehilangan obat sulit diandalkan 4) Tidak perlu catatan morbiditas yang baik Rumus yang digunakan adalah: A = (B+C+D) – E Ket : A = Rencana pengadaan B = Pemakaian rata-rata x 12 bulan C = Stok Pengaman 10% - 20%atau sesuai kebijakan RS D = Waktu tunggu E = Sisa stok
42
c. Metode Gabungan: Yaitu gabungan dari mordibitas dan konsumsi. Metode ini untuk menutupi kelemahan kedua metode tersebut (mordibitas dan konsumsi). Kelebihan metode gabungan: Metode gabungan ini untuk menutupi kelemahan metode mordibitas dan konsumsi (Hassan, 1986) Dalam melakukan perencanaan dapat menggunakan peramalan (forecasting) sebagai usaha untuk memprediksi kebutuhan obat dimasa yang akan datang.
Peramalan (Forecasting) Peramalan (forecating) adalah suatu usaha yang dilakukan perusahaan untuk bisa meramal, memprediksi keadaan masa datang tentang produknya dengan mencari tahu limit ketidakpastian masa depan terhadap perusahaan. Banyak faktor yang mengandung ketidakpastian, maka mustahil untuk melakukan peramalan yang sempurna, sehingga perlu untuk dicari metode forecasting yang terbaik untuk digunakan. Sifat data pada umumnya times series dan lengkap, maka data biasanya dapat diproyeksikan. Berbeda dengan data yang terbatas, maka hanya dapat diestimasikan. Jangka waktu proyeksi peramalan operasi logistik adalah satu tahun atau kurang, yang paling populer adalah satu bulan (Bowersox, 2004). Peramalan menurut jangka waktu dibagi menjadi 3 kategori (Seto, 2001), yaitu: 1.
Prediksi/peramalan jangka pendek: prediksi untuk waktu 1-3 bulan. Biasanya digunakan untuk perencanaan pembelian, penjadwalan pekerjaan dan tingkat produksi
2.
Peramalan jangka menengah: prediksi untuk jangka 3 bulan sampai dengan 3 tahun, dipakai untuk perencanaan penjualan, anggaran dan produksi.
43
3.
Peramalan jangka panjang: prediksi untuk waktu lebih dari 3 tahun. Contohnya untuk perencanaan produk baru, ekspansi pabrik, investasi modal, penelitian dan pengembangan.
Ada dua metode pengendalian, yaitu metode kualitatif (judgmental) dan metode kuantitatif. Metode kulitatif dilakukan dengan cara pengumpulan pendapat, baik pendapat ahli, survei pasar dan pengelompokan dalam metode eksploratoris dan normatif (Delphi) (Gaspersz, 2004); Yamit, 2005). Metode kualitatif ideal untuk situasi dengan data minimal (Bowersox, et al, 2002). Beberapa model peramalan yang digolongkan sebagai model kualitatif adalah: 1. Dugaan manajemen (management estimate), dimana persoalan sematamata didasarkan pada pertimbangan manajemen, umumnya oleh manajemen senior. Metode ini akan cocok dalam situasi yang sangat sensitif terhadap intiusi dari satu atau sekelompok kecil orang yang karena pengalamannya mampu memberikan opini yang kritis dan relevan. Metode ini memiliki banyak kelemahan sehingga perlu untuk dikombinasi dengan metode peramalan yang lain. 2. Riset pasar (market research) merupakan metode pengalaman berdasrkan hasil-hasil dari survei pasar yang dilakukan oleh tenagatenaga pemasar produk. Metode ini akan menjaring informasi dari pelanggan atau pelanggan potensial berkaitan dengan rencana pembelian mereka dimasa mendatang. Riset pasaar tidak hanya akan membantu untuk peramalan, tetapi juga untuk meningkatkan desain produk dan perencanaan untuk produk-produk baru, dalam hal ini adalah obat baru yang diperlukan pasien. 3. Metode kelompok terstruktur (structure Group Methods), merupakan suatu teknik peramalan berdasarkan pada proses konvergensi dari opini beberapa orang atau ahli secara interaktif tanpa menyebutkan identitasnya.
44
4. Analogi historis (historical analogy) merupakan teknik peramalan berdasarkan pola data masa lalu dari produk-produk yang dapat disamakan secara analogi. Metode kuantitatif sangat beragam dan setiap teknik memiliki sifat, ketepatan dan biaya yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan metode. Metode kuantitatif didasarkan pada prinsip statistik yang memiliki tingkat ketetpatan tinggi atau dapat meminimalkan kesalahan (error), lebih sistematis dan lebih populer dalam penggunaannya. Penggunaan metode kuantitatif harus memiliki tiga kondisi, yaitu (Yamit, 2005): a. Tersedia informasi masa lalu b. Informasi tersebut dapat dikuantifikasi dalam bentuk numerik c. Diasumsikan bahwa beberapa pola masa lalu akan terus berlanjut. Teknik kuantitatif memiliki metode kausal dan metode deret berkala (times series). Metode kausal dibuat berdasrkan analisis regresi multiple atau analisis ekonometrik lainnya. Metode ini sering dipakai oleh ahli ekonomi , tetapi penerapannya cukup mahal dan sulit. Metode times series sering kali lebih mudah diterapkan da terutama berguna bila pola dimasa depan kemungkinan besar akan dipengaruhi oleh faktor yang sama dengan yang mempengaruhi pola dimasa lalu (Indrajit dkk, 2003). Beberapa macam teknik peramalan kuantitatif antara lain (Yamit, 2005; Subagyo, 2002) yaitu: 1. Metode single moving average (rata-rata bergerak tunggal) Metode ini diperoleh dengan merata-rata permintaan berdasarkan beberapa data masa lalu yang terbaru. Tujuan utama dari penggunaan teknik ini adalah untuk mengurangi variasi acak permintaan dalam hubungannya dengan waktu. Tujuan ini dicapai dengan merata-ratakan beberapa nilai data secara bersama-sama, dan menggunakan nilai rata-rata tersebut sebagai ramalan permintaan untuk periode yang akan datang. Disebut rata-rata bergerak karena begitu setiap data aktual permintaan baru deret waktu tersebut tersedia, maka data aktual permintaan yang 45
paling terdahulu akan dikeluarkan dari perhitungan, kemudian suatu nilai rata-rata baru akan dihitung. Secara matematis, moving average akan dinyatakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut: At + At-1 + ............ + At-(N-1) MA =
N
Keterangan: MA = moving average At = permintaan aktual pada periode t N
= jumlah data permintaan yang dilibatkan dalam perhitungan MA Untuk menggunakan metode ini diperlukan data historis selam jangka waktu
tertentu. Semakin panjang jangka waktu, dihasilkan moving average yang semakin halus. Beberapa kelemahan single moving average adalah: a. Perlu data historis b. Semua data mendapat bobot sama c. Tidak bisa mengikuti perubahan yang dratis d. Tidak cocok untuk meramal data yang ada gejala trend.
2. Metode single exponential smoothing (SES) Untuk mengatasi kelemahan metode moving averages akan data-data masa lalu yang cukup banyak dapat diatasi dengan teknik ini. Model matematis teknik SES adalah: Ft = Ft-1 + α (At – Ft-1) Keterangan: Ft = peramalan permintaan pada periode t Ft-1 = peramalan permintaan pada periode t-1 α = konstanta pembobotan/eksponensial At = permintaan aktual pada periode terakhir.
46
Dari persamaan diatas maka terlihat bahwa peramalan dengan teknik SES akan didasarkan atas pembobotan data permintaan aktual terakhir dengan menggunakan nilai α yang mempunyai nilai berkisar antara 0 sampai mendekati 1. Jika nilai α mendekati 1, maka ramalan yang baru akan menyesuaikan kesalahan dengan besar pada ramalan sebelumnya. Kebalikannya bila α mendekati nol, maka ramalan yang baru akan menyesuaikan kesalahan dengan kecil. Penentuan besarnya nilai α harus dipertimbangkan dengan baik. Salah satu metode yang dapat dipakai adalah memilih nilai α berdasarkan nilai N yang dilibatkan dalam metode moving average. Metode ini hanya dapat diterapkan oleh perusahaan yang telah lama menggunakan teknik moving average dengan nilai N yang cukup memadai. Untuk menghitung nilai α dalam hubungannya dengan N adalah dengan membuat persamaan sebagai berikut: α = 2/(N+1)
3. Metode trend projection Metode peramalan trend projection adalah teknik
peramalan yang
mencocokkan garis trend pada serangkaian data masa lalu dan kemudian memproyeksikan garis pada masa datang untuk peramalan jangka menengah atau jangka panjang. Adapun persamaan untuk peramalan menggunakan teknik ini adalah: Y = a + bX Keterangan: Y = peramalan pada periode yang diinginkan a = persilangan dengan sumbu y b = kemiringan garis regresi (atau tingkat perubahan pada sumbu y untuk perubahan yang terjadi di x ) X = variabel bebas (dalam hal ini adalah waktu)
47
4. Metode dekomposisi (times series) Metode ini didasarkan pada kenyataan bahwa biasanya apa yang telah terjadi akan berulang dengan pola yang sama. Artinya yang dulu selalu naik, pada waktu yang akan datang biasanya akan naik demikian juga sebaliknya, yang biasanya berfluktuasi akan berfluktuasi, dan biasanya yang tidak teratur akan tidak teratur juga. Time series mempunyai empat komponen yaitu: trend, musim, siklus dan variasi acak. 1) Trend merupakan pergerakan data sedikit demi sedikit meningkat atau menurun. Perubahan pendapatan, populasi, penyebaran umur atau pandangan budaya dapat mempengaruhi pergerakan trend. 2) Musim adalah pola data yang berulang pada kurun waktu tertentu seperti hari, mingguan, bulanan atau kuartal. 3) Siklus adalah pola dalam data yang terjadi setiap beberapa tahun. Siklus ini biasanya terkait pada siklus bisnis dan merupakan hal penting dalam analisis dan perencanaan bisnis jangka pendek. Memprediksi siklus bisnis sulit karena bisa dipengaruhi oleh kejadian politik ataupun kerusuhan internasional. 4) Variasi acak merupakan titik khusus dalam data, yang disebabkan oleh peluang dan situasi yang tidak biasa. Variasi acak tidak mempunyai pola khusus, jadi tidak dapat diprediksi. Untuk dianalisis dan diramal sekaligus sulit, sehingga biasanya dilakukan dekomposisi (pemecahan) dalam empat komponen (pola) perubahan sebagai berikut: Trend (T), Fluktuasi musim (M), Fluktuasi siklus (S) dan Random (R). Masing-masing pola perubahan akan dipelajari dan dicari satu persatu. setelah ditemukan akan digabung lagi menjadi nilai, taksiran dan ramalan. Cara penggabungan dapat ditambahkan atau dengan dikalikan. Adapun persamaannya adalah: F=TxMxSxR
48
Perbandingan dan Seleksi Metode Peramalan. Banyaknya pilihan metode peramalan alternatif yang tersedia membutuhkan kriteria yang bisa digunakan untuk membandingkan dan menyeleksi model yang bersaing ini (Makridakis dkk, 2000). Kriteria tersebut meliputi keakuratan, pola data, jenis deret, horizon waktu biaya dan kemudahan aplikasi. Makridaksis dkk, 2000, menyatakan akurasi model dapat ditentukan dengan menggunakan beberapa ukuran kesalahan peramalan, yaitu mean absolute deviation (MAD), Mean Square error (MSE), standar deviation of regriation (Sr), mean absolute percent error (MAPE). Dua metode yang sering digunakan dalam menghitung kesalahan adalan MAD dan MSE. MAD adalah ukuran pertama kesalahan keselruhan untuk semua model. Nilai ini dihitung dengan mengambil nilai absolite dari tiap kesalahan peramalan dibagi dengan jumlah periode data (n). Adapun persamaan untuk menghitung MAD adalah: ∑ aktual – peramalan MAD = n MSE merupakan cara kedua untuk mengukur kesalahan pengukuran keseluruhan. MSE merupakan rata-rata selisih kuadrat antara nilai yang diramalkan dan yang diamati. Rumusnya adalah: ∑ (kesalahan peramalan)2 MSE = n
B. PENGADAAN OBAT DI RUMAH SAKIT
Pengadaan barang dan jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang dan jasa oleh Kementerian/ Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah/ Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh 49
kegiatan untuk memperoleh barang dan jasa (Anonim, 2012a). Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan disetujui melalui pembelian, produksi atau pembuatan sediaan farmasi, dan sumbangan atau hibah. Tujuan pengadaan adalah untuk mendapatkan perbekalan farmasi dengan harga yang layak, mutu yang baik, pengiriman barang yang terjamin tepat waktu, proses berjalan lancar dan tidak memerlukan tenaga serta waktu yang berlebihan. Secara umum pengadaan obat di rumah sakit dapat dilakukan dengan cara tahunan, triwulan, mingguan. Dalam menentukan jumlah pengadaan perlu diketahui adanya stok minimum dan maksimum, stok rata-rata, stok pengaman, reordering level, economic order quantity, waktu tunggu dan batas kadaluarsa. Beberapa jenis obat dan bahan aktif yang mempunyai kadaluarsa relatif pendek harus diperhatikan waktu pengadaannya, untuk itu harus dihindari pengadaan dalam jumlah besar (Depkes RI, 2004). Pengadaan obat merupakan suatu proses dari penentuan item obat dan jumlah tiap item berdasarkan perencanaan yang telah dibuat, pemilihan pemasok penulisan surat pesanan (SP) hingga SP diterima pemasok. Tujuannya adalah memperoleh obat yang dibutuhkan dengan harga yang layak, mutu baik, pengiriman obat terjamin tepat waktu, proses berjalan lancar, tidak memerlukan waktu dan tenaga yang berlebihan (Quick et al, 1997) Menurut WHO (1996), pengadaan obat merupakan bagian terbesar dari anggaran kesehatan. Di negara maju, biaya obat berkisar 10-15 % dari anggaran kesehatan. Sementara di negara berkembang, biaya ini lebih besar lagi antara 35-65 % sedangkan di Indonesia 39 %. Tanggung jawab pengadaan obat esensial untuk pelayanan kesehatan dasar bukan lagi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, akan tetapi menjadi tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota. Tujuan pengadaan obat yakni tersedianya obat dengan jenis jumlah yang cukup sesuai kebutuhan pelayanan kesehatan dengan mutu yang terjamin serta dapat diperoleh pada saat yang diperlukan, maka hal-hal yang perlu diperhatikan pada
50
pengadaan ini adalah kriteria obat, persyaratan pemasok, penentuan waktu pengadaan dan kedatangan obat serta penerimaan dan pemeriksaan obat (DepKes RI, 2002). 5.
Kriteria/Persyaratan Pemasok
Pemilihan
pemasok
secara
hati-hati
adalah
penting
karena
dapat
mempengaruhi baik kualitas maupun biaya obat yang dibutuhkan. Untuk pemilihan pemasok perlu diperhatikan / dibatasi dengan hal-hal sebagai berikut: 1. Memilih izin pedagang besar farmasi atau industri farmasi 2. Bagi pedagang besar farmasi (PBF) harus mendapat dukungan dari industri farmasi yang memiliki sertifikat CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) atau c-GMP. 3. Bagi industri farmasi harus yang telah memiliki sertifikat CPOB. 4. Pedagang besar farmasi atau industri farmasi sebagai supplier harus memilki reputasi yang baik dalam bidang pengadaan obat. 5. Pemilik dan atau apoteker penanggung jawab PBF, apoteker penanggung jawab produksi dan quality control industri farmasi tidak dalam proses pengadilan atau tindakan yang berkaitan dengan profesi kefarmasian.
6.
Penentuan Waktu Pengadaan dan Kedatangan Obat
Waktu pengadaan dan waktu kedatangan obat dari berbagai sumber anggaran perlu ditetapkan atau diusulkan oleh Unit Pengelola Obat (UPO)/Gudang Farmasi, berdasarkan hasil analisis data: 1. Sisa stok 2. Jumlah obat yang akan diterima sampai dengan akhir tahun anggaran. 3. Frekuensi pemakaian/indeks musiman 4. Waktu tunggu/lead time Berdasarkan data tersebut dapat dibuat: 1. Bagan pemakaian/penggunaan obat . 2. Penetapan waktu pesan dan waktu kedatangan obat
51
C. Metode Pengadaan Obat Dalam proses pengadaan ada 3 hal penting yang harus diperhatikan, yaitu : 1. Pengadaan yang dipilih, bila tidak teliti dapat menjadikan “biaya tinggi”. 2. Penyusunan dan persyaratan kontrak kerja sangat penting untuk menjaga agar pelaksanaan pengadaan terjamin mutu (misalnya persyaratan masa kadaluarsa, sertifikat analisa/ standar mutu, harus mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS) untuk bahan berbahaya, khusus untuk alat kesehatan harus mempunyai certificate of origin. 3. waktu dan kelancaran bagi semua pihak dan lain-lain. Pengadaan/pembelian perbekalan farmasi dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu : 1.
Pembelian merupakan rangkaian proses pengadaan untuk mendapatkan perbekalan farmasi. Pengadaan adalah proses penyediaan obat yang bertujuan untuk mendapatkan obat dengan harga yang wajar, mutu yang baik, pengiriman yang tepat waktu. Menurut Quick, et al., (2012), agar proses pengadaan dapat berjalan lancar dan teratur maka diperlukan struktur komponen berupa personil yang terlatih dan menguasai masalah pengadaan, metode dan prosedur yang jelas, sistim informasi yang baik serta didukung dengan dana dan fasilitas yang memadai. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengadaan adalah penentuan pemasok, penentuan jumlah item obat, jumlah barang tiap item obat dan kelengkapan surat pesanan atau kontrak, negoisasi harga, kapan dipesan dan cara pembayaran.
52
Keadaan ini harus diperhatikan karena keluaran dari tahap pengadaan akan dapat dimonitor pada tahap penyimpanan. Pengadaan persediaan sangat penting karena diharapkan dapat memperoleh manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan biaya-biaya yang ada. Pengadaan obat tahun 2009-2012 diatur dalam Perpres No. 54 tahun 2010, dimana diatur pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari anggaran BLUD. Tujuannya adalah agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai anggaran BLUD dilakukan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel . Khusus untuk pengadaan obat, diatur dengan ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa instansi pemerintahan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam tahap pengadaan antara lain sebagai berikut : a. Memilih metode pengadaan yang paling menguntungkan Ada empat metode dalam pengadaan perbekalan farmasi yaitu sebagai berikut: i.
Open Tender (tender secara terbuka) Open tender adalah suatu prosedur formal pengadaan obat yang mana dilakukan dengan cara mengundang berbagai distributor baik nasional maupun internasional. Metode ini dilakukan dalam jangka waktu tertentu misalnya 2-3 kali setahun, hal ini disebabkan karena proses tender memerlukan waktu yang lama dan harganya lebih murah. Selain itu 53
biasanya metode ini dipakai oleh pemerintah karena khusus sesuai sistemnya. Jadi untuk nominal tertentu dapat melakukan pengadaan dalam jumlah tertentu pula. ii.
Restricted tender (tender terbatas) Metode ini dilakukan pada lingkungan yang terbatas, tidak diumumkan di Koran, biasanya berdasarkan kenalan, nominalnya tidak banyak, serta sering ada yang melakukan pengaturan tender yaitu penawaran tertutup atau selektif, para penyalur yang tertarik harus menerima semua persyaratan yang diajukan, melalui suatu proses formal pre-kualifikasi yang mengacu pada good manufacturing practices (GMPS). Performa supply terdahulu, dan kekuatan financial.
iii.
Competitive Negotiation (kontrak) Pembeli membuat persetujuan dengan pihak supplier untuk mendapatkan harga khusus atau persetujuan pelayanan dan pembeli dapat membayar dengan harga termurah. Metode kontrak jauh lebih menguntungkan, karena pihak Rumah Sakit dapat melakukan negoisasi langsung dengan pabrik sehingga dapat mengurangi dana (diskon).
iv.
Direct Procurement Merupakan cara yang paling mudah dan sederhana, namun cenderung lebih mahal karena jarang memperoleh diskon. Ciri dari metode pengadaan langsung adalah pihak Rumah Sakit secara langsung
54
melakukan pengadaan perbekalan farmasi (setelah barang habis) kepada pihak PBF. b. Melakukan negoisasi atas dasar kualitas, jaminan ketersediaan, pelayanan purna jual, dan harga yang wajar. c. Membuat kontrak yang spesifik sesuai hasil negoisasi d. Memonitor surat pesanan yang dibuat e. Memastikan kesesuaian antara surat pesanan, spesifikasi barang dan dokumen pendukung yang menyertai f. Melakukan pembayaran sesuai waktu yang telah disepakati (Quick, et al., 2012) Menurut perpres No. 54 tahun 2010 Proses pengadaan dilakukan dengan beberapa cara, antara lain : a. Pelelangan Sederhana Pelelangan sederhana merupakan metode pemilihan penyedia barang/jasa untuk semua pekerjaan yang dapat diikuti oleh semua pnyedia barang/jasa yang memenuhi syarat yang bernilai antara Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). b. Pelelangan Umum Pelelangan umum adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa untuk pekerjaan yang brnilai paling tinggi Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). c. Pelelangan Terbatas 55
Pelelangan terbatas atau seleksi terbatas adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan dengan pengumuman secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi dengan mencantumkan penyedia barang/jasa yang telah diyakini mampu, guna memberi kesempatan kepada penyedia barang/jasa lainnya yang memenuhi kualifikasi. d. Penunjukan langsung Persyaratan penunjukan langsung adalah : i.
Penunjukan Langsung terhadap 1 (satu) Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dapat dilakukan dalam hal: (a)Keadaan tertentu; dan/atau (b) Pengadaan Barang khusus/Pekerjaan Konstruksi khusus/ Jasa Lainnya yang bersifat khusus.
ii.
Penunjukan Langsung dilakukan dengan mengundang 1 (satu) Penyedia Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa
Lainnya
yang
dinilai
mampu
melaksanakan pekerjaan dan/atau memenuhi kualifikasi. iii.
Penunjukan Langsung dilakukan dengan negoisasi baik teknis maupun harga sehingga diperoleh harga yang sesuai dengan harga pasar yang berlaku dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.
iv.
Kriteria keadaan tertentu yang memungkinkan dilakukan Penunjukan Langsung terhadap Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
56
(a)penanganan darurat yang tidak bisa direncanakan sebelumnya dan waktu penyelesaian pekerjaannya harus segera/tidak dapat ditunda untuk: (i) pertahanan negara; (ii) keamanan dan ketertiban masyarakat; (iii)keselamatan/perlindungan
masyarakat
yang
pelaksanaan
pekerjaannya tidak dapat ditunda/harus dilakukan segera, termasuk: 1) akibat bencana alam dan/atau bencana non alam dan/atau bencana social; 2) dalam rangka pencegahan bencana;dan/atau 3) akibat kerusakan sarana/prasarana yang dapat menghentikan kegiatan pelayanan public. (b) Pekerjaan penyelenggaraan penyiapan konferensi yang mendadak untuk menindaklanjuti komitmen internasional dan dihadiri oleh Presiden/Wakil Presiden; (c) Kegiatan menyangkut pertahanan Negara yang ditetapkan oleh Menteri Pertahanan serta kegiatan yang menyangkut keamanan dan ketertiban masyarakat yang ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
57
C1. Kegiatan bersifat rahasia untuk kepentingan intelijen dan/atau perlindungan saksi sesuai dengan tugas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; atau (d) Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang spesifik dan hanya dapat dilaksanakan oleh 1 (satu) Penyedia Barang/Jasa Lainnya karena 1 (satu) pabrikan, 1 (satu) pemegang hak paten, atau pihak yang telah mendapat izin dari pemegang hak paten, atau pihak yang menjadi pemegang pelelangan untuk mendapatkan izin dari pemerintah. v.
Kriteria Barang khusus/Pekerjaan Konstruksi khusus/Jasa Lainnya yang bersifat khusus yang memungkinkan dilakukan Penunjukan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi: (a) Barang/Jasa
Lainnya
berdasarkan
tariff
resmi
yang
ditetapkan
pemerintah; (b) Pekerjaan Konstruksi bangunan yang merupakan satu kesatuan sistem konstruksi dan satu kesatuan tanggung jawab atas risiko kegagalan bangunan
yang
secara
keseluruhan
tidak
dapat
direncanakan/diperhitungkan sebelumnya (unforeseen condition); (c) Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bersifat kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan penggunaan teknologi khusus dan hanya ada 1 (satu) Penyedia yang mampu; (d) Pekerjaan Pengadaan dan distribusi bahan obat, obat dan alat kesehatan habis pakai dalam rangka menjamin ketersediaan obat untuk pelaksanaan 58
peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat yang jenis dan harganya telah ditetapkan olh Menteri yang bertanggungjawab di bidang kesehatan; (e) Pengadaan kendaraan bermotor dengan harga khusus untuk pemerintah yang telah dipublikasikan secara luas kepada masyarakat; (f) Sewa penginapan/hotel/ruang rapat yang tarifnya terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat; (g) Lanjutan sewa gedung/kantor dan lanjutan sewa ruang terbuka atau tertutup lainnya dengan ketentuan dan tata cara pembayaran serta penyesuaian harga yang dapat dipertanggungjawabkan; atau (h) Pekerjaan pengadaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum di lingkungan perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang dilaksanakan oleh pengembang/developer yang bersangkutan. e. Pengadaan Langsung Tata cara pengadaan langsung adalah sebagai berikut : i.
Pengadaan
Langsung
dapat
dilakukan
terhadap
Pengadaan
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dengan ketentuan: (a) Kebutuhan operasional Kementrian/Lembaga/Departemen/ Instansi (K/L/D/I); (b) Teknologi sederhana; (c) Risiko kecil; dan/atau
59
(d) Dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa usaha orang-perseorangan dan/atau badan usaha kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan koperasi kecil. ii.
Pengadaan Langsung dilaksanakan berdasrkan harga yang berlaku di pasar kepada Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya.
iii.
Dihapus.
iv.
PA/KPA dilarang menggunakan metode Pengadaan Langsung sebagai alasan untuk memecah
paket Pengadaan menjadi beberapa paket
dengan maksud untuk menghindari pelelangan. f. Kontes/Sayembara Metode sayembara dapat dipilih dengan persyaratan sebagai berikut : i.
Sayembara digunakan untuk Pengadaan Jasa Lainnya yang memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) Merupakan proses dan hasil dari gagasan, kreativitas, inovasi, budaya dan metode pelaksanaan tertentu; dan (b) Tidak dapat ditetapkan berdasarkan Harga Satuan.
ii.
Kontes digunakan untuk Pengadaan Barang yang memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) Tidak mempunyai harga pasar; dan (b) Tidak dapat ditetapkan berdasarkan Harga Satuan.
60
iii.
ULP/Pejabat Pengadaan menetapkan persyaratan administrative dan tknis bagi: (a) Penyedia Barang yang akan mengikuti Kontes; (b) Penyedia Jasa Lainnya yang akan mengikuti Sayembara.
iv.
Dalam menetapkan persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ULP/Pejabat Pengadaan dapat menetapkan syarat yang lebih mudah dari persyaratan Penyedia Barang/Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
v.
Persyaratan teknis disusun oleh tim yang ahli di bidangnya.
vi.
Penyusunan metode evaluasi dan pelaksanaan evaluasi dilakukan oleh tim yang ahli di bidangnya.
g. Swakelola Metode
pengadaan
lainnya
adalah
swakelola,
adapun
ketentuannya
adalah : i.
Swakelola
merupakan
kegiatan
Pengadaan
Barang/Jasa
dimana
pekerjaannya direncanakan, dikerjakan, dan/atau diawasi sendiri oleh K/L/D/I sebagaimana penanggungjawab anggaran, instansi pemerintah lain, dan/atau kelompok masyarakat. ii.
Pekerjaan dapat dilakukan dengan Swaklola meliputi: (a) Pekerjaan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan/atau memanfaatkan kemampuan teknis sumber daya manusia, serta sesuai dengan tugas dan fungsi K/L/D/I; 61
(b) Pekerjaan operasi dan pemeliharaannya memerlukan partisipasi langsung masyarakat setempat atau dikelola oleh K/L/D/I; (c) Pekerjaan yang dilihat dari segi besaran, sifat, lokasi atau pembiayaannya tidak diminati oleh Penyedia Barang/Jasa; (d) Pekerjaan yang secara rinci/detail tidak dapat dihitung/ditentukan terlebih dahulu, sehingga apabila dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa akan menimbulkan ketidakpastian dan risiko yang besar; (e) Penyelenggaraan diklat, kursus, penataran, seminar, lokakarya atau penyuluhan; (f) Pekerjaan untuk proyek percontohan (pilot project) dan survey yang bersifat khusus untuk pengembangan teknologi/metode kerja yang belum dapat dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa; (g) Pekerjaan
survey,
pemrosesan
data,
perumusan
kebijakan
pemerintah, pengujian di laboratorium, dan pengembangan system tertentu; (h) Pekerjaan yang bersifat rahasia bagi K/L/D/I yang bersangkutan; (i) Pekerjaan Industri Kreatif, inovatif, dan budaya dalam negeri; (j) Penelitian dan pengembangan dalam negeri; dan/atau (k) Pekerjaan pengembangan industry pertahanan, industry alutsista, dan industry almatsus dalam negeri.
62
iii.
Prosedur Swakelola meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, penyerahan, pelaporan, dan pertanggungjawaban pekerjaan.
iv.
Pengadaan melalui Swakelola dapat dilakukan oleh: (a) K/L/D/I Penanggung Jawab Anggaran; (b) Instansi Pemerintah lain Pelaksana Swakelola; dan/atau (c) Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola
v.
PA/KPA
menetapkan
jenis
pekerjaan
serta
pihak
yang
akan
melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa secara Swakelola. Metode pemasukan dokumen : a. Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan menyusun dan menetapkan metode pemasukan Dokumen Penawaran. b. Metode pemasukan Dokumen Penawaran terdiri atas: i. Metode satu sampul ii. Metode dua sampul; atau iii. Metode dua tahap. c. Metode satu sampul digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa yang sederhana, dimana evaluasi teknis tidak dipengaruhi oleh harga dan memiliki karakteristik sebagai berikut: i. Pekerjaan yang bersifat sederhana dengan standar harga yang telah ditetapkan pemerintah; ii. Pengadaan Jasa Kosultansi dengan KAK yang sederhana; atau
63
iii. Pengadaan
Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa
Lainnya
yang
spesifikasi teknis atau volumenya dapat dinyatakan secara jelas dalam Dokumen Pengadaan. d. Selain Pengadaan Barang/Jasa yang memiliki karakteristik sebagaimana dimaksud pada ayat (3), metode satu sampul digunakan dalam Penunjukan Langsung/Pengadaan Langsung/Kontes/Sayembara. e. Metode dua sampul digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa dimana evaluasi teknis dipengaruhi oleh penawaran harga, dan digunakan untuk: i. Pengadaan
Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa
Lainnya
yang
menggunakan evaluasi sistem nilai atau sistem biaya selama umur ekonomis. ii. Pengadaan Jasa Konsultansi yang memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) Dibutuhkan penilaian yang terpisah antara persyaratan teknis dengan
harga
penawaran,
agar
penilaian
harga
tidak
mempengaruhi penilaian teknis; atau (b) Pekerjaan bersifat kompleks sehingga diperlukan evaluasi teknis yang lebih mendalam. f. Metode dua tahap digunakan untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang memiliki karakteristik sebagai berikut: i. Pekerjaan bersifat kompleks;
64
ii. Memenuhi criteria kinerja tertentu dari keseluruhan system, termasuk pertimbangan kemudahan atau
efisiensi
pengoperasian dan
pemeliharaan peralatannya; iii. Mempunyai beberapa alternative penggunaan system dan desain penerapan teknologi yang berbeda; iv. Membutuhkan waktu evaluasi teknis yang lama; dan/atau v. Membutuhkan penyetaraan teknis.
2. Produksi/pembuatan sediaan farmasi Produksi sediaan farmasi dirumah sakit merupakan kegiatan membuat, mengubah bentuk dan pengemasan kembali sediaan farmasi steril atau non-steril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Kriteria perbekalan farmasi yang diproduksi di rumah sakit adalah: a. Sediaan farmasi dengan formula khusus. b. Sediaan farmasi dengan mutu sesuai standar dengan harga lebih murah. c. Sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil. d. Sediaan farmasi yang tidak tersedia dipasaran. e. Sediaan farmasi untuk penelitian. f. Sediaan nutrisi parenteral. g. Rekonstruksi sediaan obat kanker. h. Sediaan farmasi yang harus selalu dibuat baru.
Perbedaan dari berbagai metode pengadaan, kelebihan dan kelemahan dari masing-masing metode pengadaan dapat dilihat pada tabel 2. 65
Tabel 2. Macam-macam Metode Pengadaan Metode Pengadaan
Deskripsi Singkat
Biaya
Lead Time
Beban Kerja
Evaluasi Supplier
Tender Terbuka
Melibatkan semua supplier yang tertarik
Umumnya rendah
Sedangpanjang
Tinggi
Tinggi
Tender Terbatas
Partisipasi supplier terbatas, yaitu yang sudah terdaftar di pemerintahan atau yang telah memenuhi syarat
Favorable
Sedang – panjang
Tinggi
Tinggi
Negosiasi Kompetitif
Pembeli melakukan pendekatan terhadap sejumlah kecil dari supplier yang potensial dan menawarkan harga yang spesifik atau penataan pelayanan
Dapat Favorable
Pendekpanjang
Sedang
Tinggi
Langsung
Dapat membeli langsung ke supplier tunggal pada quoted price
Umumnya mahal
Pendekpanjang
Rendah
Tinggi
Kondisi metode dipilih - Ketika pemasok yang berpartisipasi mempunyai reputasi baik. - Jika persyaratan yang diajukan tidak terpenuhi. - Ketika daftar pemasok yang memenuhi syarat sudah diketahui. - Ketika ada pengaturan prekualifikasi dan monitoring supplier. - Pengalaman pembelian dengan akses yang baik terhadap pasar. - Harga barang rendah, jumlah pembelian sedikit. - Saat spesifikasi yang dibutuhkan pembeli tidak tersedia secara luas. - Barang-barang emergency, item obat sedikit, dan jika tidak mungkin dilakukan negosiasi. - Pembelian sumber obat tunggal. - Barang murah atau jumlahnya sedikit.
Jenis sediaan farmasi yang diproduksi : a. Produksi steril Kegiatan sterilisasi alat kesehatan dan lainnya yang berada dibawah taggung jawab instalasi farmasi. Di bagian ini lakukan 66
sterilisasi terhadap alat kesehatan, pembuatan aquadest, NaCI 0,9 %
dengan
mengunakan
peralatan
yang
menunjang
pelaksanaannya. Untuk sterilisasi digunakan autoklaf, untuk pembuatan
aquadest
digunakan
alat
destilasi,
sedangkan
pembuatan NaCl 0,9 % dibuat dengan menggunakan larutan aquadest. Kegiatan produksi dilakukan untuk obat yang diracik atau recentus paratus (dibuat segar/ baru). Kegiatan farmasi digudang meliputi perencanaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pelaporan. Gudang juga berada di bawah instalasi farmasi yang dikepalai oleh seorang Apoteker. Persyaratan teknis untuk produksi steril: a. Ruangan aseptis b. Peralatan : contohnya LAF, autoclave, oven, alat pelindung diri c. SDM : petugas terlatih
b.
Produksi non-steril a.
Pembuatan puyer
b.
Pembuatan sirup (contoh: OBH, OBP)
c.
Pengemasan kembali (contoh: alkohol, H2O2)
d.
Pengenceran (contoh: antiseptik, desinfektan)
Persyaratan teknis produksi nonsteril: a. Ruangan khusus untuk pembuatan b. Peralatan: peracikan, pengemasan c. SDM: petugas terlatih. 4. Sumbangan/dropping/hibah Pada prinsipnya pengelolaan perbekalan farmasi dari hibah mengikuti kaidah umum pengelolaan perbekalan farmasi regular.
67
Sumbangan bisa berasal dari pemerintah atau APBN. Contoh : pada program pemberantasan penyakit HIV/AIDS dan TB Paru, terdapat beberapa obat yang di cover oleh pemerintah.
68
BAB V PENGENDALIAN PERSEDIAAN OBAT DI RUMAH SAKIT
Pelayanan farmasi disetiap rumah sakit dimaksudkan untuk memastikan penggunaan obat yang aman dan tepat. Pemenuhan tanggung jawab ini ditingkatkan melalui keterlibatan apoteker dalam semua aspek dari penggunaan obat. Keterlibatan ini juga termasuk keputusan dan tindakan yang berkaitan dengan evaluasi, pengadaan, penyimpanan, distribusi dan pemberian semua obat. Apoteker bertanggung jawab untuk pengembangan semua kebijakan pengendalian penggunaan obat dengan berkonsultasi dengan profesional lain, bagian dan interdisiplin yang sesuai dalam rumah sakit (Siregar dan Amalia, 2004). Pengawasan terhadap persediaan yang dikenal juga sebagai inventory control adalah bagaimana fungsi tersebut dapat dilaksanakan secara efektif. Hal ini dapat dicapai apabila dapat ditemukan jawaban yang benar atas tiga pertanyaan tersebut: a. Berapa banyak suatu item obat/barang akan dipesan pada suatu waktu? b. Kapan dilakukan pesanan ulang terhadp item tersebut? c. Yang mana dari item-item obat perlu dilakukan pengawasan? (Seto, 2001) Inventori adalah suatu sistem untuk menjaga agar persediaan obat selau ada untuk waktu yang telah ditentukan dan merupakan bagian yang penting dari sistem suplai obat. Dengan adanya sistem inventori obat menjamin ketika ada pasien membutuhkan obat akan memperoleh obat yang tepat dan menghindari kerugian akibat kerusakan obat (Quick et al., 1997). Tujuan inventory control adalah menciptakan keseimbangan antara persediaan dan permintaan oleh karena itu hasil stock opname harus seimbang dengan permintaan yang didasarkan atas satu kesatuan waktu tertentu ( Anief, 2001) Tanggung jawab apoteker untuk pengendalian penggunaan obat meliputi seluruh bagian /bidang /unit rumah sakit yang dilayani. Apoteker harus bertanggung jawab atas kebijakan penggunaan obat dan inspeksi rutin terhadap semua persediaan obat di 69
semua lokasi tersebut, bahkan juga di lokasi yang penguasaan dan tidak dilakukan secara langsung oleh IFRS ( Siregar dan Amalia, 2004).
A. Manfaat Dari Proses Pengendalian Obat Tujuan sistem pengendalian persediaan obat adalah menciptakan keseimbangan antara persediaan dan permintaan (Anief, 2001). Selain itu sistem pengendalian persediaan obat mempunyai beberapa tujuan yang sangat penting antara lain : a. Melindungi dari kerugian Persediaan dapat melindungi dari berbagai fluktuasi dari permintaan dan penawaran. Jika distribusi obat dari pemasok terlambat atau permintaan tiba-tiba meningkat seperti pada kasus penyakit endemik tertentu, maka sistem persediaan yang baik dapat melindungi persediaan dari stok kosong. b. Memungkinkan pembelian dalam jumlah yang besar Harga unit-unit dari obat dengan sistem manufaktur biasanya lebih rendah, dan hal tersebut dihasilkan dari sistem persediaan yang baik . c. Meminimalkan waktu tunggu untuk memperoleh obat Sistem persediaan obat dapat meningkatkan ketersediaan obat secara optimal, sehingga pelayanan kesehtan dapt ditingkatkan. d. Meningkatkan efisiensi transportasi Jika tidak ada sistem persediaan, maka akan terjadi pemesanan obat sacara berulang-ulang sehingga biaya transportasi meningkat. e. Untuk mengantisipasi fluktuasi musiman Fluktuasi akan permintaan sulit untuk diprediksi. Sistem persediaan akan mengantisipasi kenaikan permintaan yang tidak menentu (Quick et al., 1997).
B. Masalah Pengendalian Persediaan Masalah Klasik dari pengendalian persediaan adalah bagaiman cara menyeimbangkan antara pengaturan persediaan dengan biaya –biaya yang ditimbulkannya (Quick et al., 1997). 70
Dalam mengambil keputusan tentang persediaan baik jumlah maupun waktu pemesanannya harus memperhatikan dan mempertimbangkan biaya-biaya variabel sebagai berikut: 1. Biaya penyimpanan (holding cost/carrying cost) Biaya variabel yang berhubungan langsung dengan jumlah persediaan, antara lain: biaya fasilitas penyimpanan, biaya modal, biaya resiko kerusakan, biaya keuangan, biaya pajak persediaan. 2. Biaya pemesanan (order cost) Setiap kali suatu bahan/ obat dipesan, akan menanggung biaya pemesanan, antara lain: biaya telepon, biaya pemrosesan upah biaya pengepakan dan penimbangan, biaya pemeriksaan penerimaan dan biaya pengiriman ke gudang. 3. Biaya penyiapan Biaya yang harus ditanggung oleh pabrik dalm memproduksi suatu komponen apabila bahan-bahan tersebut tidak dibeli tetapi diproduksi sendiri, seperti biayabiaya mesin tiadak terpakai, persiapan tenaga kerja langsung, penjadwalan, ekspedisi. 4. Biaya kehabisan /kekurangan bahan Biaya ini terjadi apabila persediaan tidak mencukupi terhadap permintaan atas bahan tersebut, seperti adanya biaya karena pemesanan khusus, biaya kegitan administrasi, kehilangan pelanggan, dan lain-lain.
C. Model-Model Pengendalian Persediaan Terdapat 2 model dasar dalam pengendalian persediaan, yaitu: a. Sistem periodik: sistem ini dikenal juga dengan nama sistem interval pasti (fixed interval sistem), sistem T (time), atau atau juga sistem EOI (Economic Order interval). Pengendalian persediaan di dasarkan pada waktu interval pemesanan. b. Sistem Perpetual : disebut juga sebagai sistem kuantitas pasti, sistem kuantitas, atau Economic Order Quantity (EOQ). Level inventori untuk 71
masing-masing item barang dilakukan secara kontinyu dan pada saat stok turun dibawah level reorder yang telah direncanakan , maka pemensanan dimulai (Quick et al, 1997)
Ada beberapa sistem pengendalian persediaan , yaitu:
1. Model ABC (Always Better Control) Pengendalian perusahaan berhubungan dengan aktivitas pengaturan persediaan bahan agar dapat menjamin persediaan dan pelayanannya kepada pasien. Salah satu pengendalian persediaan adalah dengan metode ABC atau analisis pareto. Analisis ABC ini menekankan kepada persediaan yang mempunyai nilai penggunaan yang relatif tinggi atau mahal. Sistem analisis ABC ini berguna dalam sistem pengelolaan obat, yaitu dapat menimbulkan frekuensi pemesanan dan menentukan prioritas pemesanan berdasrkan nilai atau harga obat.
Alokasi anggaran ternyata didominasi hanya
oleh sebagian kecil atau beberapa jenis perbekalan farmasi saja. Suatu jenis perbekalan farmasi dapat memakan anggaran besar karena penggunaannya banyak, atau harganya mahal.
Dengan analisis ABC, jenis-jenis perbekalan
farmasi ini dapat diidentifikasi, untuk kemudian dilakukan evaluasi lebih lanjut. Analisis ini berguna pada setiap sistem suplai untuk menganalisis pola penggunaan dan nilai penggunaan total semua item obat. Hal itu memungkinkan untuk mengklasifikasikan item-item persediaan menjadi 3 kategori (A, B, dan C) sesuai dengan nilai penggunaannya. Pembagian 3 kategori tersebut adalah sebagai berikut : A : merupakan 10-20 % jumlah item menggunakan 75-80 % dana B : merupakan 10-20 % jumlah item menggunakan 15-20 % dana C : merupakan 60-80 % jumlah item menggunakan 5-10 % dana Langkah-langkah menentukan kelompok A, B dan C:
72
1) Hitung jumlah dana yang dibutuhkan untuk masing-masing obat dengan cara kuantum obat x harga obat. 2) Tentukan rankingnya mulai dari dana terbesar sampai terkecil. 3) Hitung persentasenya terhadap total dana yang dibutuhkan. 4) Hitung kumulasi persennya. 5) Obat kelompok A termasuk dalam kumulasi 75%. 6) Obat kelompok B termasuk dalam kumulasi > 75% s/d 95%. 7) Obat kelompok C termasuk dalam kumulasi > 95% s.d 100%.
80 75 Klas A 60 50
% Biaya Pema kaian
40 30 Klas B 20 10 Klas C 0 10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
% item persediaan
Gambar 3. Grafik analisis ABC (% biaya pemakaian vs % item persediaan)
Untuk memudahkan perhitungan analisis ABC, dapat dilihat dalam contoh latihan analisis ABC dibawah ini.
73
Tabel 3. Contoh Latihan Analisis ABC No
nama obat
jumlah obat
1 Amoxicillin OGB (Kapsul)
34560
183,3
768
9678,2
3 Asmacare (tablet 2 mg)
38400
660
4 Asmacare (tablet 4 mg)
38400
880
5 Aspilets (tablet 80 mg)
9000
195,83
960
76560
7 Aztrin (kapsul)
34560
9716,67
8 Becotide (Rotacap)
76800
825
96
78650
10 Betablok (tablet 100 mg)
4320
2035
11 Bricasma (Botol sirup)
1440
30600
12 Capoten (tablet 12,5 mg)
4980
1868,3
13 Capoten (tablet 25 mg)
3300
2996,67
14 Cardioaspirin (tablet)
3000
720
154500
1328,25
40
44000
5000
2560
231000
24,3
700
793,25
20 Digoxin OGB (tablet 0,0625 mg)
7900
78
21 Digoxin OGB (tablet 0,25 mg)
4000
89
22 Digoxin Sandos (tablet)
19800
511,5
23 Dilantin (kapsul 100 mg)
2000
2640,15
24 Dopamin HCl (ampul)
3000
9500
25 Dopamin Hcl (vial)
3000
22000
26 Eritromisin OGB (Kapsul)
69120
383,33
27 Erphatrocin (Kapsul)
13824
1375
28 Erphatrocin (Tablet)
13824
1237,5
741600
195
6000
1350
19800
200
2 Amoxil (Vial)
6 Atrovent (botol larutan inhalasi)
9 Berotec (botol larutan inhalasi)
15 Cerif (kapsul) 16 Depakene (botol sirup) 17 Depakote (tablet 250 mg) 18 Dexametason generik (tablet) 19 Diazepam (ampul)
29 Ethambutol OGB (tablet) 30 Extracaine (ampul) 31 Fargoxin (tablet 0,25 mg)
74
harga satuan (Rp)
32 Farnormin (tablet 50 mg)
6000
850
33 Farsorbid (tablet 10 mg)
12000
430
34 Farsorbid (tablet 5mg)
18000
250
35 Fenobarbital (ampul)
1000
201
36 Folic acid (tablet 1 mg)
4000
32
37 Folic acid (tablet 5 mg)
7000
31,45
38 Furosemid OGB (ampul)
1000
1032
39 Furosemid OGB (tablet)
12000
56
40 Furosix (ampul)
330
1540
41 Furosix (tablet)
4000
715
42 Glibenklamid OGB (tablet 5mg)
19800
47
43 Glumin (tablet 600 mg)
39600
460
44 Glumin (tablet 850 mg)
26400
675
45 HCT OGB (tablet)
3000
17
46 Herbesser (tablet SR 90 mg)
6000
4985,4
47 Inderal (tablet 10 mg)
20350
3103
48 Inderal (tablet 40 mg)
5500
4813
49 INH OGB (tablet)
721000
73
50 Inoxin (tablet)
216300
220
14880
125
52 Kaptopril OGB (tablet 25 mg)
9900
211,67
53 Karbamazepin (tablet 200 mg)
6000
286
54 Kutoin (kapsul 100 mg)
3000
950
55 Lantus (vial)
2800
491900
56 Lasix (ampul)
4330
8360
57 Lasix (tablet)
4000
2850
700
176
59 Medinhod (botol sirup)
18025
6520
60 Metformin HCl OGB (tablet 500 mg)
59400
111,5
61 Metformin HCl OGB (tablet 850 mg)
39600
123
9000
1000
247200
935
600
39975
247200
788
1000
49500
51 Kaptopril OGB (tablet 12,5 mg)
58 Libronil (kaplet 5 mg)
62 Monecto (tablet 20 mg) 63 Neotibi (kaplet) 64 Nitrocin (ampul) 65 Pharozinamida (tablet) 66 Phenytoin (ampul)
75
67 Phenytoin (kapsul 100 mg)
8000
600
741600
269
69 Pulmicort (turbuhaler)
192
194700
70 Renabetic (tablet 5mg)
700
385
74160
14000
453200
641
73 Salbutamol OGB (tablet 2 mg)
57600
86
74 Salbutamol OGB (tablet 4 mg)
57600
79
75 Scantensin (tablet 12,5 mg)
4980
875
76 Scantensin (tablet 25mg)
3300
1414,17
77 Symbicort (Turbulaher)
320
223950
78 Tegretol (botol suspensi)
50
43,69
79 Tegretol (tablet CR 200 mg)
750
2387
80 Tegretol (tablet kunyah 100 mg)
750
1509,5
28800
154
2000
1732,5
83 Tibigon (tablet)
164800
418
84 Tibitol (tablet)
247200
350
85 Topcillin (Kaplet)
19200
170
86 Topcillin (Kapsul)
19200
1000
5184
12000
17280
12500
68 Pirazinamid OGB (tablet)
71 Rifam (botol sirup) 72 Rifampisin OGB (kapsul)
81 Terasma (tablet) 82 Teril (tablet 200 mg)
87 Topcillin (Sirup Kering Botol) 88 Zithrax (kapsul)
Tabel 4. Setelah dilakukan dengan analisis ABC, hasilnya adalah seperti tabel dibawah ini:
No
nama obat
55 Lantus (vial)
jumlah obat
harga satuan (Rp)
nilai (Rp)
persen
% kumulatif
kelompok
2800
491.900 1.377.320.000
24,33
24,33
A
71 Rifam (botol sirup)
74160
14.000 1.038.240.000
18,34
42,67
A
7 Aztrin (kapsul) Rifampisin OGB 72 (kapsul)
34560
9.717 335.808.115
5,93
48,60
A
453200
641 290.501.200
5,13
53,73
A
63 Neotibi (kaplet) 88 Zithrax (kapsul)
247200 17280
935 231.132.000
4,08 3,82
57,82 61,63
A A
76
12.500 216.000.000 15 Cerif (kapsul) Pirazinamid OGB 68 (tablet) Pharozinamida 65 (tablet) Ethambutol OGB 29 (tablet) Medinhod (botol 59 sirup)
154500
1.328 205.214.625
3,62
65,26
A
741600
269 199.490.400
3,52
68,78
A
247200
788 194.793.600
3,44
72,22
A
741600
195 144.612.000
2,55
74,78
A
18025
6.520 117.523.000
2,08
76,85
B
84 Tibitol (tablet) Atrovent (botol 6 larutan inhalasi) Symbicort 77 (Turbulaher)
247200
350 86.520.000
1,53
78,38
B
960
76.560 73.497.600
1,30
79,68
B
320
223.950 71.664.000
1,27
80,94
B
83 Tibigon (tablet)
164800
418 68.886.400
1,22
82,16
B
25 Dopamin Hcl (vial)
3000
22.000 66.000.000
1,17
83,33
B
8 Becotide (Rotacap)
76800
825 63.360.000
1,12
84,45
B
47 Inderal (tablet 10 mg) Topcillin (Sirup 87 Kering Botol)
20350
3.103 63.146.050
1,12
85,56
B
5184
12.000 62.208.000
1,10
86,66
B
49 INH OGB (tablet)
721000
73 52.633.000
0,93
87,59
B
66 Phenytoin (ampul)
1000
49.500 49.500.000
0,87
88,46
B
216300
220 47.586.000
0,84
89,30
B
1440
30.600 44.064.000
0,78
90,08
B
192
194.700 37.382.400
0,66
90,74
B
4330
8.360 36.198.800
0,64
91,38
B
38400
880 33.792.000
0,60
91,98
B
6000
4.985 29.912.400
0,53
92,51
B
3000
9.500 28.500.000
0,50
93,01
B
50 Inoxin (tablet) Bricasma (Botol 11 sirup) Pulmicort 69 (turbuhaler) 56 Lasix (ampul) Asmacare (tablet 4 4 mg) Herbesser (tablet SR 46 90 mg) Dopamin HCl 24 (ampul)
77
Eritromisin OGB 26 (Kapsul)
69120
383 26.495.770
0,47
93,48
B
5500
4.813 26.471.500
0,47
93,95
B
38400
660 25.344.000
0,45
94,39
B
600
39.975 23.985.000
0,42
94,82
B
86 Topcillin (Kapsul)
19200
1.000 19.200.000
0,34
95,16
C
27 Erphatrocin (Kapsul) Glumin (tablet 600 43 mg) Glumin (tablet 850 44 mg)
13824
1.375 19.008.000
0,34
95,49
C
39600
460 18.216.000
0,32
95,82
C
26400
675 17.820.000
0,31
96,13
C
28 Erphatrocin (Tablet) Depakote (tablet 250 17 mg)
13824
1.238 17.107.200
0,30
96,43
C
5000
2.560 12.800.000
0,23
96,66
C
57 Lasix (tablet) Digoxin Sandos 22 (tablet) Capoten (tablet 25 13 mg) Capoten (tablet 12,5 12 mg) Monecto (tablet 20 62 mg) Betablok (tablet 100 10 mg)
4000
2.850 11.400.000
0,20
96,86
C
19800
512 10.127.700
0,18
97,04
C
48 Inderal (tablet 40 mg) Asmacare (tablet 2 3 mg) 64 Nitrocin (ampul)
3300
2.997 9.889.011
0,17
97,21
C
4980
1.868 9.304.134
0,16
97,38
C
9000
1.000 9.000.000
0,16
97,54
C
4320
2.035 8.791.200
0,16
97,69
C
30 Extracaine (ampul) Berotec (botol larutan 9 inhalasi)
6000
1.350 8.100.000
0,14
97,83
C
96
78.650 7.550.400
0,13
97,97
C
2 Amoxil (Vial) Metformin HCl OGB 60 (tablet 500 mg) Amoxicillin OGB 1 (Kapsul) Dexametason generik 18 (tablet) Dilantin (kapsul 100 23 mg)
768
9.678 7.432.858
0,13
98,10
C
59400
112 6.623.100
0,12
98,22
C
34560
183 6.334.848
0,11
98,33
C
231000
24 5.613.300
0,10
98,43
C
2000
2.640 5.280.300
0,09
98,52
C
78
Farsorbid (tablet 10 33 mg) Farnormin (tablet 50 32 mg) Salbutamol OGB 73 (tablet 2 mg) Metformin HCl OGB 61 (tablet 850 mg) Phenytoin (kapsul 67 100 mg) Scantensin (tablet 76 25mg) Salbutamol OGB 74 (tablet 4 mg) Farsorbid (tablet 34 5mg)
12000
430 5.160.000
0,09
98,61
C
6000
850 5.100.000
0,09
98,70
C
57600
86 4.953.600
0,09
98,79
C
39600
123 4.870.800
0,09
98,88
C
8000
600 4.800.000
0,08
98,96
C
3300
1.414 4.666.761
0,08
99,04
C
57600
79 4.550.400
0,08
99,12
C
18000
250 4.500.000
0,08
99,20
C
81 Terasma (tablet) Scantensin (tablet 75 12,5 mg) Fargoxin (tablet 0,25 31 mg)
28800
154 4.435.200
0,08
99,28
C
4980
875 4.357.500
0,08
99,36
C
19800
200 3.960.000
0,07
99,43
C
82 Teril (tablet 200 mg)
2000
1.733 3.465.000
0,06
99,49
C
85 Topcillin (Kaplet)
19200
170 3.264.000
0,06
99,55
C
41 Furosix (tablet) Kutoin (kapsul 100 54 mg)
4000
715 2.860.000
0,05
99,60
C
3000
950 2.850.000
0,05
99,65
C
14 Cardioaspirin (tablet) Kaptopril OGB 52 (tablet 25 mg) Kaptopril OGB 51 (tablet 12,5 mg) Tegretol (tablet CR 79 200 mg) Aspilets (tablet 80 5 mg) Depakene (botol 16 sirup) Karbamazepin (tablet 53 200 mg) Tegretol (tablet 80 kunyah 100 mg)
3000
720 2.160.000
0,04
99,69
C
9900
212 2.095.533
0,04
99,72
C
14880
125 1.860.000
0,03
99,76
C
750
2.387 1.790.250
0,03
99,79
C
9000
196 1.762.470
0,03
99,82
C
40
44.000 1.760.000
0,03
99,85
C
6000
286 1.716.000
0,03
99,88
C
750
1.510 1.132.125
0,02
99,90
C
79
Furosemid OGB 38 (ampul) Glibenklamid OGB 42 (tablet 5mg) Furosemid OGB 39 (tablet) Digoxin OGB (tablet 20 0,0625 mg)
1000
1.032 1.032.000
0,02
99,92
C
19800
47
930.600
0,02
99,93
C
12000
56
672.000
0,01
99,95
C
7900
78
616.200
0,01
99,96
C
19 Diazepam (ampul)
700
793
555.275
0,01
99,97
C
40 Furosix (ampul) Digoxin OGB (tablet 21 0,25 mg) Renabetic (tablet 70 5mg) Folic acid (tablet 5 37 mg)
330
1.540
508.200
0,01
99,98
C
4000
89
356.000
0,01
99,98
C
700
385
269.500
0,00
99,99
C
7000
31
220.150
0,00
99,99
C
35 Fenobarbital (ampul) Folic acid (tablet 1 36 mg) Libronil (kaplet 5 58 mg)
1000
201
201.000
0,00
99,99
C
4000
32
128.000
0,00
100,00
C
700
176
123.200
0,00
100,00
C
45 HCT OGB (tablet) Tegretol (botol 78 suspensi)
3000
17
51.000
0,00
100,00
C
50
44
2.185
0,00
100,00
C
Total
5.661.114.859
100
Berdasarkan analisis ABC ini, maka aktivitas pengadaan persediaan obat dapat dikendalikan dengan menentukan frekuensi pesanan, yaitu item A dipesan harus lebih hati-hati, lebih sering, dan dalam jumlah yang lebih sedikit untuk meminimalkan biaya pengadaan, persediaan pengaman rendah, item B dikendalikan dengan frekuensi dan jumlah pengadan yang optimal, dan item C usaha pengendaliannya minimum.
2.
Analisis VEN
80
Klasifikasi barang persediaan menjadi golongan VEN (Vital, Esensial dan Non esensial) ditentukan oleh faktor makro (misalnya peraturan pemerintah atau data epidemiologi wilayah) dan faktor mikro (misalnya jenis pelayanan kesehatan yang tersedia di RS yang bersangkutan). Kategori obat-obat dalam sistem VEN yaitu : 1) V (Vital) adalah obat-obat yang termasuk dalam potensial life-saving drugs. Mempunyai efek withdrawal secara signifikan atau sangat penting dalam penyediaan pelayanan kesehatan dasar 2) E (Essensial) adalah obat-obat yang efektif untuk mengurangi kesakitan, namun demikian sangat signifikan untuk bermacam-macam obat tapi tidak vital untuk penyediaan sistem kesehatan dasar 3) N (Non Essensial) adalah obat-obat yang digunakan untuk penyakit minor atau penyakit tertentu yang efikasinya masih diragukan, termasuk terhitung mempunyai biaya yang tinggi untuk memperoleh keuntungan terapeutik. Langkah-langkah menentukan VEN: menyusun kriteria menentukan VEN, menyediakan data pola penyakit, dan merujuk pada pedoman pengobatan. Tabel 5. Perbedaan kategori obat Vital, Esensial dan Non Esensial. Characteristic of drug or target condition Occurance of target condition: - Persons affected (% of population) -Person treated (number perday at average health center
Vital
Essensial
Non Esensial
0ver 5 % Over 5
1-5 %
Less than 1% Les than 1
1-5 Severity of target condition - life threatening - Disabiling Therapeutic effect of Drug - Prevent serious disease - Cures serious disease - Treats minor, self limited, simtoms and conditions - Has proven efficacy - Has unproven efficacy
3.
Yes Yes
Occasionally Occasionally
Rarely Rarely
Yes Yes No
No Yes Possibly
No No Yes
Always Never
Ussually Rarrely
May or May not May or may not
Analisis Kombinasi ABC dan VEN 81
Analisis kombinasi VEN ABC dapat dilakukan dengan analisis PUT (Prioritas, Utama dan Tambahan), obat yang masuk Prioritas: harus diadakan tanpa memperdulikan sumber anggaran. Pada analisis ABC dan VEN termasuk dalam kelompok AV, BV dan CV. Obat Utama: Dialokasikan pengadaannya dari sumber dana tertentu. Pada analisis ABC dan VEN termasuk dlm kelompok AE, BE, CE, dan obat tambahan: dialokasikan pengadaannya setelah obat prioritas dan utama terpenuhi. Pada analisis ABC-VEN dlm kelompok AN, BN dan CN. Analisa kombinasi metode ABC dan VEN yaitu dengan melakukan pendekatan mana yang paling bermanfaat dalam efisiensi atau penyesuaian dana. Jenis obat yang termasuk kategori A (dalam analisis ABC) adalah benar-benar yang diperlukan untuk menanggulangi penyakit terbanyak, dan obat tersebut statusnya harus E dan sebagian V (dari analisa VEN). Sebaliknya jenis obat dengan status N harusnya masuk dalam kategori C. Pada tabel 3, merupakan tabel yang dapat digunakan untuk menetapkan prioritas pengadaan obat dimana anggaran yang ada tidak sesuai kebutuhan, dengan metode kombinasi ABC dan VEN.
Tabel 6. Prioritas Pengadaan Obat dengan metode kombinasi ABC dan VEN A
B
C
V
VA
VB
VC
E
EA
EB
EC
N
NA
NB
NC
Metode gabungan ini digunakan untuk melakukan pengurangan obat. Mekanismenya adalah obat yang masuk kategori NA menjadi prioritas pertama untuk dikurangi atau dihilangkan dari rencana kebutuhan, jika setelah dilakukan dengan pendekatan ini dana yang tersedia masih juga kurang, lakukan langkah selanjutnya.
82
Menurut Suciati dkk, 2006 dalam penelitiannya “analisis perencanaan obat berdasarkan
abc
indeks
kritis
di
instalasi
farmasi”
menyebutkan
bahwa
pengelompokan obat dengan menggunakan nilai kritis obat dibuat berdasarkan efek terapi
atau
manfaat
terapetik
obat
terhadap
kesehatan
pasien
dengan
mempertimbangkan efisiensi penggunaan dana yang ada. Pemrosesan data dimulai dengan dilakukannya pengumpulan data yang terbagi menjadi dua, yaitu data primer yang diperoleh dari hasil pengamatan atau observasi langsung, wawancara dan pengisian kuesioner. Data tersebut dikumpulkan dan dilakukan analisis isi. Data sekunder diperoleh dari data di Instalasi Farmasi, Bagian Keuangan dan Bagian Logistik. Data yang berasal dari Instalasi Farmasi dikelompokkan berdasarkan analisis ABC Indeks Kritis. Analisis ABC Indeks Kritis digunakan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana dengan pengelompokkan obat atau perbekalan farmasi, terutama obat-obatan yang digunakan berdasarkan dampaknya terhadap kesehatan. Analisis data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Menghitung nilai pakai a. Menghitung total pemakaian obat b. Data pemakaian obat dikelompokkan berdasarkan jumlah pemakaian. c. Diurutkan dari pemakaian terbesar sampai yang terkecil d. Kelompok A dengan pemakaian 70% dari keseluruhan pemakaian obat e. Kelompok B dengan pemakaian 20% dari keseluruhan pemakaian obat f. Kelompok C dengan pemakaian 10% dari keseluruhan pemakaian obat. Dari 1007 items obat di Instalasi Farmasi RS. Karya Husada, dikelompokkan menurut besarnya jumlah pemakaian dengan sistem 70 – 20 – 10. Pengelompokkan obat berdasarkan nilai pemakaian obat dalam analisis ABC di Instalasi Farmasi RS. Karya Husada, didapatkan hasil sebagai berikut. 83
Kelompok A: 124 item (12,31%) dari total item obat di instalasi farmasi dengan jumlah pemakaian 506.214 (69,10%) dari jumlah pemakaian seluruhnya. Kelompok B: 176 item (17,48%) dari total item obat di instalasi farmasi dengan jumlah pemakaian 154.106 (21,04%) dari jumlah pemakaian seluruhnya. Kelompok C: 707 item (70,21%) dari total item obat di instalasi farmasi dengan jumlah pemakaian 72.240 (9,86%) dari jumlah pemakaian seluruhnya. Hasil pengelompokkan tersebut dapat dilihat dalam table berikut:
. 2. Menghitung nilai investasi a. Menghitung total investasi setiap jenis obat b. Dikelompokkan berdasarkan nilai investasi obat. c. Diurutkan dari nilai investasi terbesar sampai yang terkecil d. Kelompok A dengan nilai investasi 70% dari total investasi obat e. Kelompok B dengan nilai investasi 20% dari total investasi obat f. Kelompok C dengan nilai investasi 10% dari total investasi obat. Untuk pengelompokkan obat berdasarkan nilai investasi obat dalam analisis ABC, didapatkan hasil sebagai berikut :
84
Kelompok A: 76 item (7,55%) dari total item obat di instalasi farmasi dengan nilai investasi sebesar Rp2.782.736.612,00 (70,16%) dari nilai investasi seluruhnya. Kelompok B:169 item (16,78%) dari total item obat di instalasi farmasi dengan nilai investasi sebesar Rp801.463.078,00 (20,21%) dari nilai investasi seluruhnya. Kelompok C: 76 item (7,55%) dari total item obat di instalasi farmasi dengan nilai investasi sebesar Rp382.215.061,00 (9,64%) dari nilai investasi seluruhnya. Hasil pengelompokkan dapat dilihat pada Tabel 2.
3. Menentukan nilai kritis obat a. Menyusun kriteria nilai kritis obat b. Membagikan kuesioner berupa daftar obat kepada dokter untuk mendapatkan nilai kritis obat, dengan kriteria yang telah ditentukan. c. Dokter yang mengisi kuesioner tersebut adalah dokter yang berpengaruh terhadap peresepan dan pemakaian obat. Kuesioner yang berisi daftar obat dibagikan kepada dokter untuk mendapat penilaian mengenai nilai kritis. Dari kuesioner tersebut dilakukan analisis dengan langkah-langkah sebagai berikut. 1. Lakukan survei tentang kekritisan obat terhadap dokter yang sering menulis resep. 2. Buat rata-rata skor dari setiap jenis obat.
85
3. Susun tabel obat dari skor tertinggi hingga skor terrendah. 4. Cek persentase (%) kumulatif. Penggolongan pada pemisahan % kumulatif menjadi 70% untuk kelompok X, 20% kelompok Y, dan 10% kelompok Z. Kriteria nilai kritis obat adalah : a. Kelompok X atau kelompok obat vital, adalah kelompok obat yang sangat essensial atau vital untuk memperpanjang hidup, untuk mengatasi penyakit penyebab kematian ataupun untuk pelayanan pokok kesehatan. Kelompok ini tidak boleh terjadi kekosongan. b. Kelompok Y atau kelompok obat essensial adalah obat yang bekerja kausal yaitu obat yang bekerja pada sumber penyebab penyakit, logistik farmasi yang banyak digunakan dalam pengobatan penyakit terbanyak. Kekosongan obat kelompok ini dapat ditolerir kurang dari 48 jam. c. Kelompok Z atau kelompok obat nonessensial, adalah obat penunjang agar tindakan atau pengobatan menjadi lebih baik, untuk kenyamanan atau untuk mengatasi keluhan. Kekosongan obat kelompok ini dapat ditolerir lebih dari 48 jam.
4. Menentukan nilai indeks kritis obat Untuk mendapat NIK obat dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut. NIK = Nilai Pakai + Nilai Investasi + (2 x Nilai Kritis) 5. Pengelompokan obat ke dalam kelompok A, B dan C dengan kriteria : Kelompok A dengan NIK 9.5 - 12
86
Kelompok B dengan NIK 6.5 – 9.4 Kelompok C dengan NIK 4 – 6.4 Kelompok A dengan NIK tertinggi yaitu 12, mempunyai arti bahwa obat tersebut adalah obat dalam kategori kritis bagi sebagian besar pemakainya, atau bagi satu atau dua pemakai, tetapi juga mempunyai nilai investasi dan turn over yang tinggi.
Penggunaan ABC Indek Kritis secara efektif dapat membantu RS dalam membuat perencanaan obat dengan mempertimbangkan aspek pemakaian, nilai investasi, kekritisan obat dalam hal penggolongan obat vital, essensial dan nonessensial. Standar terapi merupakan aspek penting lain dalam perencanaan obat karena akan menjadi acuan dokter dalam memberikan terapinya. Bila langkah-langkah dalam analisis ABC Indek Kritis terlalu sulit dilakukan atau diperlukan atau diperlukan tindakan cepat untuk mengevaluasi daftar perencanaan, sebagai langkah awal dapat dilakukan suatu evaluasi cepat (rapid evaluation), misalnya dengan melakukan revisi daftar perencanaan perbekalan farmasi. Namun sebelumnya, perlu dikembangkan dahulu kriterianya , perbekalan farmasi atau nama dagang apa yang dapaat dikeluarkan dari daftar. Manfaatnya tidak hanya dari aspek ekonomik dan medic, tetapi juga dapat berdampak positif dari beban stok.
EOQ (Economic Order Quantity)
87
Metode ini dapat dipergunakan untuk menentukan jumlah pesanan persediaan yang menimimumkan biaya pemesanan dan biaya penyimpanan. EOQ merupakan ukuran pesanan yang memperkecil total biaya (Seto, 2001). Untuk menentukan jumlah obat yang perlu dipesan maka hitung nilai EOQ dari masing-masing item obat. Makin besar persediaan berarti resiko penyimpanan semakin besar serta besarnya fasilitas yang harus dibangun, sehingga membutuhkan biaya pemeliharaan yang lebih besar, namun dilain pihak biaya pemesanan dan biaya distribusi menjadi lebih kecil. Ini berarti perlu adanya optimalisasi agar tercapai kesetimbangan antara membangun persediaan serta biaya distribusi dan pemesanan. Secara matematis perhitungan tersebut dirumuskan dalam rumus Jumlah pesanan yang ekonomis (Economic Order Quantity / EOQ EOQ adalah jumlah pemesanan ekonomis untuk sistem berulang, jumlah order untuk tiap barang bisa dicari dengan formula sebagai berikut: EOQ=
2CoS CmV
Keterangan: Co : Cost per order (sekali pesan). Termasuk biaya telepon, fax, kertas dan biaya SDM Cm : Cost of maintenance atau biaya penyimpanan dari persediaan dalam setahun S : jumlah permintaan setahun V :Cost per unit Contoh perhitungan EOQ ringer laktat (dari kasus): Diketahui Co= Rp.5000,- S=640, Cm= 5% V = Rp.7259,- sehingga EOQ=
2 x5000 x640 132.9 botol, dibulatkan menjadi 133 botol 0.05 x7259
Sehingga dari perhitungan tersebut diketahui bahwa persediaan (untuk sekali pesan) yang harus dibangun adalah 133 botol
88
EOI (Economic Order Interval) Obat-obat yang digunakan habis waktu tertentu yang dihitung dengan pendekatan EOI:
EOI=
Co Cm.V .S 2
Keterangan: Co
= Cost per order (sekali pesan)
Cm = Cost of maintenance dari persediaan dalam setahun S
= Jumlah permintaan setahun
V
= Cost per unit
Untuk Ringer laktat, akan habis dalam waktu: EOI=
2 x5000 = 75,73 hari, dibulatkan menjadi 76 hari 0.098 x7259 x640
Sehingga diketahui bahwa obat yang dipesan akan habis dlam waktu 76 hari, sehingga interval pemesanan dilakukan setiap 76 hari sekali. Dari setiap nilai EOI masing-masing item obat dikurangi dengan lead time, sehingga ditemukan hari dimana rumah sakit harus memesan obat kembali atau re-order. Untuk mengantisipasi adanya stok out atau stok kosong di rumah sakit maka perlu adanya persediaan selama lead time atau waktu tunggu yang dinamakan safety stock. Safety stock secara umum merupakan level pengadaan ulang atau level persediaan maksimum termasuk dalam persediaan cadangan yang harus dimasukan dalam perhitungan. Safety Stock (SS) SS = (LT x CA)
Keterangan:
89
LT
: Lead time (waktu tunggu dari pesan obat sampai obat datang)
CA
: Consumption Average (rata-rata penggunaan sehari atau sebulan)
Contoh: Misalkan lead time 2 hari, penggunaan Ringer laktat per tahun 640. Maka safety stock dari Ringer laktat dapat dihitung sebagai berikut: - Menghitung rata-rata penggunaan Ringer laktat perhari: =
penggunaaan _ selama _ tahun 365 _ hari
=
640 365
=1.75 botol - Menghitung safety stock = 2x1.75 = 3.51 botol 4 botol Stok Minimal dan maksimal Formula stock minimal dan maksimal sering digunakan dalam penjadwalan pembelian dengan menentukan interval waktu pemesanan. Dengan menggunakan pendekatan tersebut, dapat didefinisikan secara teoritis stok maksimum untuk tiap item berarti menyediakan stok yang cukup tapi tidak berlebihan, stok terakhir suatu pemesanan sampai pemesanan selanjutnya seperti halnya stok minimal, dimana suatu titik untuk dilakukan pemesanan kembali atau reorder point (ROP) (Quick dkk, 2007) Dalam inventory control, dasar reorder dengan parameter: 1.Average monthly consumption (CA) 2.Suplier lead time (LT) 3.Procurement period, time until the next order will be place (PP) 4.Stock on hand in inventory (S1) 5.Stock now on order from supplier but not yet received (S0) 6.Quantity of stock back-ordered to lower levels (SB) Stok minimum
90
Stok minimum merupakan minimal persediaan yang diatur untuk mencegah persediaan habis. level persediaan minimal harus juga dikendalikan dengan dasar perhitungan stok minimal dalam upaya keberlanjutan persedianan obat. Rumus stok minimal: Smin (Stok minimum) = (LT x CA) + SS = 2 SS
Stok minimal =2x safety stock Dari kasus perhitungan diatas nilai safety stock adalah 3,51 Contoh perhitungan stok minimal = 2 x 3,51 = 7.01 botol 7 botol infuse. Stok Maksimal Rumus Stok maksimal Smax (stok maksimum) Smax = Smin + (PP x CA) Keterangan: Smax : Stok maksimum Smin : Stok minimum PP
: Procurement Period (periode pengadaan)
CA
: Consumption Average (rata-rata penggunaan sehari atau sebulan)
Contoh perhitungan stok maksimal untuk Asering 500cc, jika diketahui periode pengadaan setiap 7 hari: Stok maksimal = Smin + (PP x CA) 7 botol + (7 x 1,75) = 7 botol + 12,25 botol = 19,25 botol = 20 botol Sistem pengendalian pesediaan lainnya yang sering digunakan antara lain: 1. Model Fixed Order- Period 91
Model Fixed –order-period adalah suatu model dimana pesananpesanan dilakukan setiap periode (missal 2 minggu atau bulan). Kuantitas order bisa bervariasi, tetapi setiap periode tingkat persediaan ditinjau kembali, dan pesanan dilakukan untuk mengisi persediaan sebesar optimal (Q). Model ini banyak dipakai karena perusahaan-perusahaan membeli komponen-komponen dengan basis periodik (Seto, 2001). Pada sistem ini, ada 2 nilai yang harus ditentukan yaitu: a. Interval waktu pemesanan b. Batas maksimum inventory setiap kali dilakukan pemesanan. Oleh karena jarak atau interval waktu antara pemesanan tersebut tetap, maka pengendalian lebih mudah dilakukan, tetapi kalau terjadi ketidaktepatan dalam penentuan batas maksimum inventori maka akan mengakibatkan inventory yang berlebihan atau akan terjadi kehabisan inventori. 2. Two bin sistem (two and bag account sistem) two and bag account sistem menggunakan dua kantung (bin). Merupakan variasi dari sistem perpetual. Stok dan masing-masing item dibagi dalam dua bagian/tempat yaitu bagian stok untuk stok kerja dan bagian yang lain merupakan stok simpanan. Kantung pertama merupakan tempat persediaan yang jumlahnya sama dengan jumlah inventory pada tingkat reorder point dan berfungsi sebagai inventory cadangan (reserve inventory). Inventory selebihnya (sisanya) diletakkan pada kantung kedua. Cara penggunaannya adalah mula-mula dipakai inventory dikantong kedua samapai habis. Saat inventory dikantung kedua habis, maka pemesanan ulang harus dilakukan sebelum inventory diksntung pertama habis. Apabila obat yang dipesan untuk pengisian kantung kedua telah tiba, kantung pertama diisi kembali sesuai jumlah semula (sebagai cadangan) dan sisanya dimasukkan dalam kantung pertama (Seto, 2001) 3. One bin sistem Dengan menggunakan satu kantong persediaan. Didalam kantong persediaan ini diadakan pembagian terhadap persediaan menjadi dua bagian. 92
a. Bagian 1 : untuk memenuhi kebutuhan rutin b. Bagian 2 : untuk memenuhi kebutuhan selam periode pengisian kembali. Cara ini memberikan keuntungan karena mudah dalam pencatatan persediaan.
Syarat untuk pengendalian persediaan dengan 1 atau 2 kantong adalah: a. Apabila holding cost cukup mahal b. Apabila obat yang diminta/dipergunakan adalah tertentu dan jenisnya tidak banyak c. Apabila kepastian waktu pemesanan tidak jelas 4. Fixed Order Quantity Sistem (Sistem jumlah pesanan tetap) Fixed Order Quantity Sistem hanya digunakan untuk pemesanan obat tertentu, jumlah yang dipesan dari pemasok (suplier) adalah tetap pada titik kritis (order point = OP/reorder point = ROP). Jumlah yang dipesan adalah jumlah paling ekonomis ditinjau dari biaya-biaya yang yang harus dikeluarkan. Untuk Fixed Order Quantity Sistem, ada 2 nilai yang harus ditentukan untuk setiap jenis obat/barang (Seto, 2001): a. Berapa jumlah yang harus dipesan (Q) b. Kapan harus dilakukan pemesanan. 5. Kombinasi antara EOQ dengan analisa ABC Kombinasi ditekankan pada inventory cadangan (safety stock) dan periode pesanan/frekuensi pesanan per periode tertentu (N kali pesanan), terutama untuk kelompok A dengan inventori cadangan yang sedikit dengan periode pesanan sesering mungkin. 6. Safety stock (buffer stock) Sistem Safety stock adalah inventori tambahan yang diadakan untuk melindungi atau menjaga kemungkinan terjadi kekurangan inventory (stock out) yang disebabkan oleh penggunaan yang lebih besar dari perkiraan semula. Hal ini juga bisa terjadi karena keterlambatan barang/obat yang dipesan sampai digudang
93
penyimpanan (lead time lebih lama dari yang diperkirakan semula). Safety stock ditentukan besarnya: SS = L x d SS = safety Stock L = lead time d = rata-rata kebutuhan per hari Menurut Quick dkk, 1997, model ideal dalam pengelolaan inventori terdiri dari dua komponen, yaitu: stock kerja (working stock) dan stock pengaman (safety stock), yang disebut juga inventory cadangan (buffer-stock) (SS). Besarnya stock kerja berkisar antara 0 sampai sebesar jumlah sekali pembelian (Q) dan dimaksudkan untuk untuk melayani permintaan selama jangka waktu antara dua pembelian, sedangkan inventori cadangan berguna untuk mencegah kehabisan stock apabila pemenuhan permintaan terlambat atau permintaan di pelayanan yang meningkat luar biasa. Pada model inventori yang ideal, volume inventori akan menurun menurut garis miring sampai suatu titik yang menunjukkan harus dilakukan pembelian baru (reorder point). Jangka waktu antara pemesanan pembelian sampai datangnya pesanan disebut waktu tunggu (lead time). Pada saat pesanan datang maka volume inventori akan maksimal kembali yaitu Q + SS. 7. Card file system Sistem pencatan dengan kartu stok sederhana. Sistem kartu stok ini masih sering digunakan karena memang manual dan sangat sederhana. Kartu stok ini mencatat keluar masuhnya sedian farmasi setiap saat. 8. Material Requarement Planning (MRP) Material Requarement Planning (MRP) digunakan untuk industri/pabrik (termasuk farmasi) atau perencanaan kebutuhan distribusi (Distribution Requarement Planning (DRP) misal untuk apotek, PBF dan farmasi rumah sakit. MRP berguna bagi produk yang terdiri dari bahan/komponen yang harus dirakit, kumpulan bahan, tahapan waktu pemesanan dan kebutuhan kapasitas yang besar. 94
9. Computerized/ ICT (Information and Communication Tecnology) Merupakan cakupan segala macam teknologi yang digantikan untuk mengumpulkan, menyimpan, mendapatkan kembali, memproses, menganalisa, dan
mengirimkan
informasi.
Komputerisasi
diperlukan
terutama
dalam
menunjang salah satu fungsi manajemen yakni pengawasan (controlling). Sistem komputerisasi memungkinkan Farmasi Rumah Sakit melakukan pengendalian persediaan secara terus-menerus seperti halnya dalam kartu barang (setiap ada transaksi barang masuk dan faktur di kartu barang dan computer. Perhitungan EOQ, maksimum dan minimum level dapat diprogramkan dalam komputer, juga untuk memantau kualitas pemasok.
Teknik Teknik Pengendalian 1. Teknik manual 2. Buku kebutuhan Buku kebutuhan adalah daftar barang yang perlu dipesan apotek. Buku kebutuhan biasanya terdiri dari sebuah buku catatan yang disimpan di tempat yang mudah dijangkau. Apoteker atau asisten apoteker mencatat nama produk/obat yang sudah habis/ hampir habis/ mencapai tingkat minimum dari obat yang bersangkutan dengan melihat kartu induk/ gudang ataupun kartu obat dibagian peracikan yang dipesan di PBF mana sebagai pemasok juga dapat dilihat di kartu obat tersebut. Apoteker atau asisten apoteker yang bertanggung jawab atas persediaan obat kemudian melakukan pemesanan kapada PBF-PBF dan mencari informasi yang tercatat didalam kartu stok barang yang dimaksud. 3. Stiker harga Stiker harga dengan warna dapat digunakan untuk menunjukkan masa ketika suatu produk diterima. Lamanya waktu sebuah barang berada dalam persediaan memberikan petunjuk secara kasar mengenai jumlah barang yang dibutuhkan dan apakah barang harus dihentikan. Stiker bertanggal merupakan
95
pengembangan lebih lanjut dengan mencatat tanggal di faktur penerimaan pada stiker. 4. Tingkat maksimal minimal Dalam metode ini tingkat persediaan obat minimal dan maksimal ditentukan dengan mencatatnya pada kartu gudang ataupun kartu dibagian peracikan untuk setiap obat produk dalam persediaan. Tingkat minimal sebuah produk ditentukan pada titik pemesanan ulangnya. Tingkat maksimal sebuah produk ditentukan oleh permintaan atas produk dan tingkat perputaran yang diinginkan. 5. Kartu stok Beberapa macam kartu stok diperlukan untuk menegendalikan persediaan barang. Ada beberapa macam kartu stok: a. Kartu stok induk gudang Kartu ini untuk mencatat keluar masuknya barang di gudang. b. Kartu stok peracikan Kartu untuk mencatat keluar masuknya barang/obat di ruang peracikan dan pelayanan. c. Kartu penandaan obat bertanggal kadalu warsa Untuk barang /obat yang memiliki tanggal kadalu warsa disamping dicatat di kartu gudang, juga dicatat di kartu penandaan obat bertanggal kadalu warsanya. Untuk mengetahui obat-obat yang kadalu warsanya, misal 3 bulan lagi dari bulan ini, apoteker tinggal mengambil sebuah kartu yang kadalu warsanya seperti yang ingin dilihat tersebut, yang selanjutnya dapat melihat keadaan barang tersebut di gudang maupun di ruang peracikan dan pelayanan. d. Kartu inventaris barang = kartu aktiva tetap Adalah suatu cara untuk mengawasi semua barang inventaris apotek yang merupakan aktiva tetap 6. komputerisasi
96
Sistem komputerisasi memungkinkan apotek /farmasi rumah sakit melakukan pengendalian persediaan secara terus-menerus seperti halnya dalam sistem kartu barang (setiap ada transaksi barang masuk dan faktur pembelian dan barang keluar dan hasil penjualan selalu harus dicatat di kartu barang dank).
Indikator Efisiensi Pengendalian Dalam pengendalian persedian farmasi, parameter keberhasilannya dapat dilihat dari indikator efisiensi pengendalian, yang meliputi: a. ketepatan perencanaan: melihat dari satu item obat dalam perencanaan dengan jumlah barang dan item tersebut dalam kenyataan pemakaian . b. Kecukupan obat : jumlah bulan yang menunjukan antisipasi lamanya stok obat yang tersedia. c. Stok berlebih : stok obat yang kecukupan obatnya lebih dan 18 bulan d. Stok kosong : jumlah stok akhir adalah 0 (nol) e. Stok mati: stok obat yang dalam 3 bulan atau lebih tidak dipakai f. TOR: perputaran modal yang terjadi selama 1 tahun.
Contoh Studi Kasus
Pengadaan Persediaan Obat Di Rumah Sakit Pengelolaan obat di rumah sakit terdiri dari beberapa tahap. Siklus pengelolaan obat di rumah sakit akan dilanjutkan dengan suatu tahap pengadaan obat. Perencanaan pengadaan dapat dilakukan dengan menggunakan metode Economic Order Quantity (EOQ), Economic Order Interval (EOI), Re Order Point (ROP), dan ABC. Dengan menghitung EOQ, kita dapat mengetahui jumlah barang yang paling ekonomis. EOI untuk mengetahui interval pengadaan yang paling ekonomis dalam satu tahun, ROP untuk mendapatkan gambaran pada posisi barang tinggal berapa untuk diadakan pengadaan ulang. Metode ABC dikelompokan berdasarkan penggunaannya, yaitu menjadi kategori Always, Better, dan Control. 97
Pengadaan obat sebagai salah satu bagian dari siklus pengelolaan obat di rumah sakit diperlukan komponen-komponen, yaitu personel yang terlatih dan menguasai permasalahan, prosedur yang jelas, sistem informasi yang baik, dan didukung dengan dana dan fasilitas yang memadai. Dalam pengadaan obat diperlukan suatu rencana yang baik agar diharapkan tujuan dari pengadaan perbekalan farmasi seperti memperoleh obat dengan harga yang layak, mutu yang baik, pengiriman obat terjamin, tepat waktu, proses berjalan lancar, tidak memerlukan tenaga dan waktu yang berlebihan dan dapat tercapai. Langkah proses pengadaan: 1. Mereview daftar obat/ barang farmasi yang akan diadakan Di dalam tahap ini, dilakukan penataan ulang yang didasarkan dari perencanaan yang disusun oleh tim perencana sebelumnya. Pendataan ulang dilakukan dengan menggabungkan jenis obat yang sama, mengetahui jumlah obat yang akan diadakan, menghitung harga obat persatuan dan total harga jika semua diadakan. 2. Menyesuaikan dengan situasi keuangan Dalam rangka menyesuaikan anggaran dana pengadaan (daya beli rumah sakit) obat yang dibeli, maka idealnya metode yang digunakan metode Prioritas Utama dan Tambahan (PUT)/ gabungan metode ABC dan VEN berdasrkan profit yang akan diperoleh dan juga besar nilai barang dari total barang yang dapat diadakan. Metode gabungan dipilih karena dalam metode ini didasarkan pada profit oriented dan patient orient Pada kasus, RS A (tipe C) akan melakukan pengadaan obat untuk periode 2008. Anggaran dana yang tersedia sebesar Rp 99.070.414,- Dana ini hanya 80% dari total dana yang sebenarnya diperlukan untuk pengadaan obat. Dengan adanya keterbatasan dana, perlu dilakukan penyesuaian dalam pengadaan obat. Penyesuaian pengadaan dapat dilakukan dengan jalan: a. Mengurangi jumlah masing-masing item obat yang akan dibeli. b. Mengurangi jumlah item yang akan dibeli. 98
Dalam
kasus
ini
penyesuaian
pengadaan
dilakukan
dengan
menggunakan pengurangan jumlah item obat dan juga pengurangan jenis item obat. Dengan anggaran dana yang hanya 80% dari anggaran tahun sebelumnya, maka tidak semua jenis item diadakan. Untuk kategori prioritas, semua jenis item tetap diadakan karena untuk obat kategiri ini harus selalu dijaga ketersediaannya di rumah sakit. Kemudian untuk kategori tambahan, hanya dipilih 2 jenis item obat untuk diadakan. Sedangkan untuk kategori utama, dipilih sebanyak 138 jenis item obat. Obat yang akan dipenuhi berdasarkan data seleksi dan perencanaan obat, maka obat kategori vital harus dipenuhi sebanyak 35 item obat dengan biaya sebesar Rp .18.151.213,- . Sedangkan untuk kategori esensial dan non esensial tidak semua dipenuhi, namun disesuaikan dengan dana anggaran yang ada. Dana yang digunakan untuk nonesensial sebesar Rp.110740.736,-. 3. Menentukan jumlah masing-masing yang akan dibeli Karena dana yang tersedia hanya 80% dari total dana yang sebenarnya diperlukan , maka jumlah item obat menyesuaikan dana yang ada. Komposisi persentase nilai dan jumlah item yang akan diadakan ini tidak ada aturan bakunya, lebih cenderung fleksibel tergantung kebijakan dari pihak manajemennya. Pada kasus ini terjadi kekurangan danau ntuk obat esensial dan non esensial, pengurangan dana tersebut tidak berpengaruh terhadap pengadaan obat, dengan asusmsi bahwa masih ada sisa stok dari persediaan tahun 2007, dan masih bisa ditanggulanginya kekurangan dana dari perputaran /penjualan obat sebelumnya.
Tabel 7. Item Obat dan Anggaran Analisis
Total item obat yang akan diadakan
99
Total anggaran
Prioritas Tambahan Utama Total
35 2 138 175
Rp. 18.151.213,Rp. 705.600 Rp. 80.211.735,Rp. 99.068.548,-
4. Memilih metode pengadaan Terdapat 4 metode proses pengadaan, yaitu tender terbuka, tender terbatas, atau lelang tertutup, pembelian melalui kontrak kerja dengan negosiasi, dan pengadaan langsung. Rumah sakit ‘sehat’ ini merupakan rumah sakit swasta, maka pemilihan metode pengadaan obat tidak tergantung pemerintah dan keputusan pemilihan metode dapat dilakukan dengan cara fleksibel oleh pihak rumah sakit. Karena anggaran dana yang tersedia untuk pengadaan barang hanya sebesar Rp.99.070.414,-, maka dipilih metode tender terbatas atau lelang tertutup. Dengan metode ini , harga obat masih bisa dikendalikan, tenaga dan beban kerja lebih ringan bila dibandingkan denganlelang terbuka. 5. Memilih suplier /rekanan/pemasok Pemilihan pemasok dilakukan dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria pemasok/PBF yang baik. Cara menentukan pemasok yaitu dengan melihat pabrik-pabrik mana saja yang memproduksi obat tersebut, kemudian mencari distributor/pemasok/PBF dari pabrik obat. Masing-masing PBF yang memenuhi criteria mendapatkan undangan yang sifatnya tertutup. Kemudian dari beberapa PBF tersebut, dipilih PBF yang memenuhi persyaratan hukum yang berlaku untuk melakukan produksi dan penjualan (telah terdaftar), telah terakreditasi sesuai dengan persyaratan CPOB dan ISO, mempunyai reputasi yang baik, serta selalu mampu dan dapat memenuhi kewajibannya sebagai pemasok produk obat yang selalu tersedia dengan mutu yang tinggi dan harga yang rendah. Selainitu diutamakan PBF yang lokasinya mudah terjangkau, pengiriman tepat waktu dengan lead time yang pendek, memberikan harga khusus dengan diskon besar, jangka waktu jatuh tempo yang diberikan lama, serta memberikan kebijakan dalam pengembalian obat yang telah kadaluarsa
100
dan rusak. Penentuan supplier atau PBF yang akan memasok obat untuk rumah saki A dapat dilakukan dengan mengacu pada rumah sakit lama yang sudah ada sebelumnya sehingga dapat melihat reputasinya. 6. Membuat syarat kontrak kerja MoU (Memorandum of Understanding) Setelah penentuan PBF dan terdapat kesepakatan dengannya, dibuat suatu surat kerja sama yang ditandandatangani oleh kedua pihak. Kesepakatan itu berlaku sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Didalam kontrak kerja ini dicantumkan harga, syarat pembayaran dan standar mutu, dokumen yang dilampirkan, penamaan dan labeling, spesifikasi masing-masing barang, tanggungan finansial, tanggal pengiriman, hak paten dan pengepakan, kadaluarsa, dan lain-lain. 7. Memonitor pengiriman barang Monitor pengiriman barang dilakukan untuk memastikan bahwa barang dapat datang sesuai dengan waktu yang telah disepakati. 8. Menerima dan memeriksa barang Memeriksa kesesuaian antara pesanan dengan faktur dan barang yang diterima. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap nomor batch dan Expired datenya. 9. Melakukan pembayaran serta menyimpan, kemudian didistribusikan Pembayaran barang-barang yang telah datang dilakukan pada saat jatuh tempo dan dilakukan oleh Bagian Keuangan Rumah Sakit sesuai dengan peraturan yang berlaku dan telah disepakati. Dalam melakukan pengadaan, harus diperhitungkan pula mengenai biaya pemesanan dan penyimpanan. Biaya pemesanan meliputi biaya SDM, biaya telepon biaya penulisan SP, dan lain-lain. Dengan menggunakan rumusEOQ dan EOI, maka dapat diketahui berapa banyak dan waktu yang paling ekonomis kapan barang seharusnya dipesan. Nilai rencana pembelian tidak selalu sama dengan barang yang seharusnya dipesan (EOQ) Karena adanya faktor-faktor lain dalam pengadaan, seperti persediaan barang yang masih ada 101
pada saat pemesanan (stock Opname), safety stock, dan waktu pengadaan yang tidak sesuai dengan EOI. Misalnya, ada barang-barang tertentu yang pemesanannya manggunakan sistem First Order Period (waktu-waktu) tertentu , dan lain-lain. Tahap yang dikerjakan setelah berjalannya pengadaan obat adalah tahap evaluasi. Tahap ini dapat dilakukan tiap enam bulan, tiga bulan , satu bulan, dan mingguan. Jumlah obat yang direncanakan tetap untuk kebutuhan satu tahun, tetapi akan dievaluasi tiap tiga bulan untuk mengetahui banyaknya obat yang dikonsumsi dan jadi dasar untuk pengadaan berikutnya. Pengandalian pengadaan obat dapat dilihat dari: a. Kartu Stok Kartu stok diperlukan memantau junmlah persediaan tiap hari di gudang. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipai obat-obat yang termasuk fast moving sehingga dapat hanis sebelum waktu yang direncanakan. b. Buffer Stock/safety stock Untuk mengantisipasi pemakaian obat perhari yang lebih dari perencanaan maupun kedatangan obat yang melebihi lead time, maka perlu dihitung hjuga buffer stok yang besarnya setengah dari ROP tiap-tiap obat. c. EOQ/EOI/ROP Pengendalian persediaan obat di rumah sakit A dilakukan dengan menghitung ROP, EOQ, dan EOI. Dengan menghitung ROP, maka dapat diketahui pada titik berapa perbekalan harus diadakan kembali. EOQ untuk mengetahui jumlah barang yang paling ekonomis untuk diadakan, dan EOI untuik mendapatkan gambaran setiap hari dilakukan pengadaan ulang. Metode pengendalian EOQ dipilih berdasar asumsi yang berlaku pada EOQ, diantaranya yang tidak ada potongan harga dalam kasus ini, tidak ada stock out, lead timenya diketahui dan tetap.
102
(Ringer laktat) 133
7
hari
1
74
76
150
152
226
228
Gambar 4. Contoh Kurva pengadaan obat
`
EOQ
=133 botol
ROI/EOI
= 76 hari
Lead time
= 2 hari
ROP
= 7 botol
Reorder
= 74 hari
Contoh Studi Kasus Pengendalian Persediaan Obat Di Rumah Sakit Data yang tersedia adalah data pengadaan obat pada periode 2007 Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian barang untuk menjaga ketersediaan barang dan mencegah kerugian. Metode yang digunakan adalah Card File Sistem dengan teknik pengendaliannya menggunakan kartu stok.: 1. Mengestimasi konsumsi perhari dengan cara menghitung konsumsi tahun lalu. 2. Melihat lead time pengadaan barang 3. Menghitung ROP, ROI, stok minimum, stok maksimum, safety stock 4. Mendata tiap item barang kedalam kartu stok, berupa nama barang, dosis dan bentuk sediaan, jumlah stok maksimum dan stok minimum 5. Mencatat jumlah barang disetiap pemakaian dan penerimaan barang 6. Memantau jumlah barang yang tersedia untuk menentukan kapan dilakukan pemesanan barang. 103
7. Mereview jumlah barang pada akhir bulan sehingga dapat diketahui dan dianalisa pemakaian barang selama satu tahun. Langkah-langkah pengendalian barang kadalu warsa menggunakan kartu stok: 1. Mengelompokan barng yang mempunyai waktu kadalu warsa yang sama bulan dan tahunnya. 2. Mencatat deskripsi barang seperti nama obat, bentuk sediaan, satuan, nomor faktur, jumlah barang, tempat penyimpanan dan keterangan 3. Memantau bulan kelompok barang yang mempunyai waktu kadalu warsa 3 bulan yang akan datang. 4. Meretur kelompok barang yang akan kadalu warsa 3 bulan yang kan datang. Contoh Pengendalian barang : Ringer laktat Penggunaan 1 hari
= 1.7534
Penggunaan 1 bulan
= 43.333
Penggunaan 1 tahun
= 639.991
ROP
= 2 x SS (Quant. 1th/365) = 2 x 3,5068 = 7,0136
FOQ
= Quantity 1th/EOQ = 639,991/132,7903 = 4,8196
ROI
= 365/FOQ
`
= 365/4,8296 = 75,7324
Stok min = 2 x SS = 2 x 3,5068 = 7,0136 Stok max = SS + (ROI x Quantity per hari) + (Lead time x Quantity perhari) 104
= 2 + (75,7324 x 1,7534) + (2 x 1,7534) = 138,2958
105
BAB VI SISTEM PENYIMPANAN DAN DISTRIBUSI OBAT
Pada saat ini, tuntunan terhadap pelayanan kesehatan yang baik semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan ekonomi masyarakat Hal ini juga menyebabkan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kefarmasian. Keberhasilan seorang farmasis sebagai pemberi pelayanan pada pelayanan kefarmasian dilihat dari hasil pelayanan yang diberikan, bukan dari ketentuan ataupun persyaratan pelayanan yang disusunnya. Elemen dari program farsamasis yang penting untuk kesuksesan kinerja secara keseluruhan di rumah sakit adalah: 1. Kepemimpinan dan pengelolaan manajemen 2. Informasi obat dan pendidikan 3. Kegiatan untuk menjamin pengobatan yang rasional 4. Distribusi dan pengawasan obat 5. Sumber fasilitas, peralatan dan informasi 6. Berpartisipasi pada penelitian Hal ini seluruhnya merupakan elemen minimum pelaksanaan praktek kefarmasian sehingga seluruh instalasi farmasi harus berusaha melaksanakannya sebagai pegangan dasar. Elemen ini sangat berhungan dengan hasil, oleh karena itu kegagalan melaksanakan salah satu diantara elemen tersebut dapat mempengaruhi mutu pelayanan kefarmasian. Rumah Sakit sebagai tempat para profesional kesehatan bekerja dalam kapasitas dan profesinya, juga merupakan lembaga yang menjadi unit industri jasa, meliputi jasa medik, jasa pengguna peralatan, jasa pengguna barang, consumble farmasi, serta jasa akomodasi penderita. Indikator untuk menilai kebersilan pelayanannya adalah (Yusmainita, 1999): 1. Rasionalitas dalam diagnosis dan terapi 2. Efektivitas dan keberhasilan terapi 106
3. Efisien, kehematan biaya, cepat, dan lancar pelayanan 4. Kepuasan pasien, keluarga, dan lancar pelayanan Hampir IFRS pemerintah di Indonesia belum menerapkan pelayanan farmasi paripurna, tetapi masih pada pelayanan farmasi non klinik. Bahkan di berbagai rumah sakit, terutama milik pemerintah, IFRS belum berfungsi sebagaimana seharusnya karena beberapa swasta telah beroperasi secara penuh di hampir semua RS pemerintah. Dengan keadaan pelayanan farmasi di RS pemerintah seperti tersebut di atas maka IFRS tidak mungkin lagi mengendalikan semua obat yang beredar dan digunakan di RS tersebut. Namun keamanan, kemanfaatan, dan kerasionalan penggunaan obat di RS tetap menjadi tanggung jawab apoteker IFRS. Pimpinan RS, panitia farmasi dan terapi, serta IFRS harus menyadari kekeliruan tersebut dan wajib memperbaiki keadaan tersebut dengan mengembalikan semua kewajiban serta tanggung jawab pelayanan farmasi hanya kepada IFRS. Penyimpanan dan distribusi obat-obatan yang efektif mengandalkan pada desain sistem yang baik dan manajemen yang baik. Desain dan manajemen sistem distribusi yang baik harus: a. Menjaga persediaan obat-obatan secara konstan b. Menjaga obat-obatan dalam kondisi yang bagus melalui proses penyimpanan dan distribusi. c. Meminimalkan kerugian obat-obatan karena produk cacat/rusak dan atau kadaluwarsa d. Menjaga pencatatan inventaris yang akurat e. Menjaga stabilitas dalam penyimpanan obat-obatan dan inventori kontrol pada titik pemesanan kembali. f. Menggunakan sumber daya transportasi yang tersedia dengan seefisien mungkin. g. Mengurangi pencurian dan penipuan h. Memberikan informasi mengenai perkiraan kebutuhan obat-obatan 107
Ada empat elemen utama dalam suatu sistem distribusi, yaitu: a. Desain sistem (cakupan geografis atau populasi, jumlah level dalam sistem, sistem mendorong versus sistem menarik) b. Sistem informasi (inventory control, pencatatan dan formulir, laporan konsumsi, aliran informasi). c. Penyimpanan (pemilihan lokasi, desain bangunan, sistem penanganan bahan, pengambilan pesanan). d. Pengiriman (koleksi versus pengiriman, pemilihan transportasi, pemerolehan kendaraan, pemeliharaan kendaraan, rute dan jadwal pengiriman
1. Sistem Penyimpanan Obat Penyimpanan merupakan suatu aspek penting dari sistem pengendalian obat menyeluruh. Pengendalian lingkungan yang tepat, (yaitu : suhu, cahaya, kelembaban, kondisi sanitasi, ventilasi, dan pemisahan) harus dipelihara apabila obat-obatan dan perlengkapan lainnya disimpan di RS. Daerah peyimpanan harus aman, perlengkapan dan peralatan yang digunakan untuk penyimpanan dibuat sedemikian agar obatobatan dapat diperoleh dengan mudah oleh personel yang ditunjuk dan diberi wewenang. Personel yang demikian harus dipilih dengan teliti dan dibawah pengawasan. Keamanan juga merupakan faktor penting dan pertimbangan yang tepat harus diberikan terhadap penyimpanan yang aman untuk senyawa beracun dan mudah menyala. Obat luar harus disimpan terpisah dari obat dalam. Obat yang disimpan dalam satu lemari pendingin mengandung bahan lain selain obat harus disimpan dalam kompartemen yang terpisah (Siregar dan Amalia, 2004). Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah bagian yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan perbekalan farmasi (Dep Kes RI, 2008). Perbekalan farmasi adalah sediaan farmasi yang terdiri dari obat, bahan obat, alat kesehatan, reagensia, radio farmasi, dan gas medis. Pengelolaan perbekalan farmasi yang efektif dan efisien merupakan salah satu aspek yang menentukan untuk suksesnya program pengobatan secara rasional. Pengelolaan Perbekalan farmasi rumah sakit mempunyai arti yang 108
sangat penting karena untuk belanja perbekalan farmasi ini menghabiskan sekitar 4050% dari biaya keseluruhan rumah sakit. Salah satu pengelolaan perbekalan farmasi adalah penyimpanan. Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara menempatkan perbekalan farmasi yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian serta gangguan dari fisik yang dapat merusak mutu obat (Dep Kes RI, 2008). Penyimpanan obat/barang farmasi baik digudang farmasi, depo farmasi, apotik, ataupun diruang perawatan pelayanan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Penyimpanan perbekalan farmasi bertujuan untuk memelihara mutu sediaan farmasi, menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab, menjaga ketersediaan, dan memudahkan pencarian dan pengawasan. Menurut Kepmenkes Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi, sanitasi, temperatur sinar/cahaya, kelembaban, ventilasi, pemisahan
untuk menjamin mutu produk dan keamanan
petugas yang terdiri dari : Tabel 8. Kondisi umum dan khusus untuk ruang penyimpanan obat.
Kondisi
Umum
untuk
ruang Kondisi
Khusus
untuk
penyimpanan
penyimpanan -
Obat jadi
-
Obat termolabil
-
Obat produksi
-
Alat kesehatan dengan suhu rendah
-
Bahan baku obat
-
Obat mudah terbakar
-
Alat kesehatan dan lain-lain.
-
Obat/bahan obat berbahaya
-
Barang karantina
-
ruang
1. Standar Penyimpanan Obat Standar penyimpanan obat yang sering digunakan adalah sebagai berikut (Kemenkes, 2010). : a. Persyaratan gudang
109
1.) Luas minimal 3 x4 m2 2.) Ruang kering tidak lembab 3.) Ada ventilasi agar ada aliran udara dan tidak lembab 4.) Cahaya cukup 5.) Lantai dari tegel atau semen 6.) Dinding dibuat licin 7.) Hindari pembuatan sudut lantai atau dinding yang tajam 8.) Ada gudang penyimpanan obat 9.) Ada pintu dilengkapi kunci ganda 10.) Ada lemari khusus untuk narkotika
b. Pengaturan penyimpanan obat 1.) Menurut bentuk sediaan dan alfabetis 2.) Menerapkan sistem FIFO dan FEFO First Expire First Out adalah mekanisme penggunaan obat yang berdasarkan prioritas masa kadaluarsa obat tersebut. Semakin dekat masa kadaluarsa obat tersebut, maka semakin menjadi prioritas untuk digunakan. First in First Out mekanisme penggunaan obat yang tidak mempunyai masa kadaluarsa. Prioritas penggunaan obat berdasarkan waktu kedatangan obat. Semakin awal kedatangan obat tersebut, maka semakin menjasi prioritas untuk digunakan. 3.) Menggunakan almari, rak, dan pallet 4.) Menggunakan almari khusus untuk menyimpan narkotika dan psikotropika 5.) Menggunakan almari khusus untuk perbekalan farmasi yang memerlukan penyimpanan pada suhu tertentu 6.) Dilengkapi kartu stock obat
c.
Tata ruang
110
Untuk mendapatkan kemudahan dalam penyimpanan, penyusunan, pencarian dan pengawasan perbekalan farmasi, diperlukan pengaturan tata ruang gudang dengan baik. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam merancang bangunan gudang sebagai berikut: 1.) Kemudahan bergerak Untuk kemudahan bergerak, gudang perlu ditata sebagai berikut: a.) Gudang menggunakan sistem satu lantai, jangan menggunakan sekat-sekat karena akan membatasi pengaturan ruangan. Jika digunakan sekat, perhatikan posisi dinding dan pintu untuk mempermudah gerakan. b.) Berdasrkan arah arus penerimaan dan pengeluaran perbekalan farmasi, ruang gedung dapat ditata berdasarkan sistem arus garis lurus, arus U, atau arus L.
2.) Sirkulasi udara yang baik. Salah satu faktor penting dalam merancang bangunan gudang adalah sirkulasi udara yang cukup didalam ruangan gudang. Sirkulasi yang bhaik akan memaksimalkan umur hidup dari perbekalan farmasi sekaligus bermanfaat dalam memperpanjang dan memperbaiki kondisi kerja. Idealnya dalam gudang terdapat AC, namun biayanya akan mahal untuk ruang gudang yang luas. Alternatif lain adalah menggunakan kipas angin, apabila kipas angin belum cukup maka ventilasi melalui atap
3.) Rak dan Pallet Penempatan rak yang tepat dan menggunakan pallet akan dapat meningkatkan sirkulasi udara dan perputaran stok perbekalan farmasi. a.) Sirkulasi udara dari bawah dan perlindungan terhadap banjir b.) Peningkatan efisiensi penangan stok c.) Dapat menampung perbekalan farmasi lebih banyak d.) Pallet lebih murah daripada rak 111
4.) Kondisi penyimpanan khusus a.) Vaksin memerlukan cold chain khusus dan harus dilindungi dari kemungkinan putusnya aliran listrik b.) Narkotika dan bahan berbahaya harus disimpan dalam lemari khusus dan selalu terkunci c.) Bahan-bahan mudah terbakar seperti alkohol dan eter harus disimpan dalam ruangan khusus, sebaiknya disimpan di bagunan khusus terpisah dari gudang induk
5.) Pencegahan kebakaran Perlu dihindari adanya penumpukan bahan-bahan mudah terbakar, seperti dus, karton, dll. Alat pemadam kebakaran harus dipasang pada tempat yang mudah dijangkau dan dalam jumlah yang cukup. Tabung pemadam kebakaran agar diperiksa secara berkala, untuk memastikan masih berfungsi atau tidak.
2. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan di dalam fungsi penyimpanan dan gudang a. Masalah keamanan dan bahaya kebakaran merupakan resiko terbesar dari penyimpanan. Apalagi barang-barang farmasi sebagian adalah mudah terbakar. b. Pergunakan tenaga manusia seefektif mungkin, jangan berlebih jumlah karyawannya sehingga banyak waktu nganggur yang merupakan biaya. Demikian juga sebaliknya, kekurangan tenaga menimbulkan antrian di pusat pelayanan (apotek, pbf, dan lain-lain) yang akan merugikan kedua belah pihak. Harus dijaga komposisi, jumlah karyawan dan pembagian kerja yang pas.
112
c. Pergunakan ruang tersedia seefisien mungkin. Baik dari segi besarnya ruangan dan pembagian ruangan. d. Menciptakan suatu sistem yang lebih efektif untuk lebih memperlancar arus barang. Barang yang datang lebih dulu, harus dikeluarkan lebih dulu (metode FIFO) dan obat dengan expire date lebih dekat harus dikeluarkan lebih dulu walaupun obat tersebut datangnya belakangan.
3. Sarana Prasarana Penyimpanan Sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk penyimpanan obat ialah untuk memastikan obat berada dalam keadaan aman dan menghindari kemungkinan obat rusak. Karena itu penyimpanan harus diatur agar tercapai tujuan tersebut dengan cara: a. Mendesain struktur fisik gudang b. Terdapat organisasi pengelola gudang c. Memiliki prosedur pengeluaran obat dari gudang d. Pengaturan efisiensi kerja gudang e. Penyimpanan dan pengontrolan persediaan di unit-unit RS f. Mengetahui keperluan (jumlah dan jenis obat) untuk setiap unit g. Adanya penanganan khusus untuk obat yang stabilitasnya dipengaruhi suhu Dalam menentukan struktur fisik gudang terdapat dua hal yang harus diperhatikan yaitu jalur distribusi obat dan seleksi letak gudang dalam suatu instalasi rumah sakit. Adapun jalur distibusi yang diperhatikan ialah jumlah dan penyebaran unit, jumlah dan kapasitas fasilitas unit manajemen di tiap unit. Sedangkan untuk tata letak gudang ialah letak gudang memudahkan distribusi obat dari gudang ke unit-unit lain, jarak antara gudang dan unit-unit di RS, drainage serta ukuran ruangan yang memadai dan aman. Sarat desain gudang yang baik ialah jika pemindahan barang dapat dilakukan dengan mudah, sirkulasi udara baik, lantai mudah dibersihkan, menempatkan obat menurut kelas terapi, indikasi klinik, jenis pelayanan atau menurut abjad, obat ditempatkan pada rak (menghemat tempat dan sirkulasi udara), tempat penyimpanan 113
khusus untuk bahan mudah terbakar, dilengkapi pemadam kebakaran dan sebaiknya ada penjaga malam untuk menghindari pencurian obat. Tabel 9. Jenis-jenis Gudang Dilihat dari bentuknya gudang dibagi atas: Gudang terbuka
Dilihat dari jenisnya gudang dibagi atas: Gudang transit
Gudang semi terbuka
Gudang serbaguna
Gudang tertutup
Gudang pendingin Gudang tahan api
Daerah penyimpanan dalam gudang adalah sebagai berikut : a. Penyimpanan pada suhu kamar tak terkontrol b. Penyimpanan pada suhu kamar dgn kelembaban terkontrol c. Penyimpanan pada suhu dingin (0-8oC) d. Penyimpanan terkunci (narkotik) e. Penyimpanan utk barang mudah terbakar Ada beberapa cara untuk mengklasifikasi stock agar memudahkan pencarian obat yaitu berdasarkan a. Kategori terapetik/farmakologi b. Indikasi klinik c. Alfabetis d. Bentuk Dosis e. Random bin f. Penggunaan g. Kode komoditas
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan di dalam fungsi penyimpanan dan gudang adalah:
114
Masalah keamanan dan bahaya kebakaran merupakan resiko terbesar dari penyimpanan. Apalagi barang-barang farmasi sebagian adalah mudah terbakar, sehingga sebaiknya dilengkapi dengan pemadam kebakaran dan penjaga malam. Pergunakan tenaga manusia seefektif mungkin, jangan berlebih jumlah karyawannya sehingga banyak waktu terbuang yang merupakan biaya. Demikian juga sebaliknya, kekurangan tenaga akan menimbulkan antrian di pusat pelayanan. Pergunakan ruangan yang tersedia seefisien mungkin, baik dari segi besarnya ruangan maupun pembagian ruangan. Memelihara gedung dan peralatannya dengan sebaik mungkin, sirkulasi udaranya baik, dan lantai mudah dibersihkan. Penempatan obat menurut kelas terapi, indikasi klinik, jenis pelyanan, atau menurut abjad dan obat ditempatkan pada rak (untuk menghem,at tempat dan sirkulasi udara). Menciptakan suatu sistem yang lebih efektif untuk lebih memperlancar arus barang. Barang yang datang lebih dulu harus dikeluarkan lebih dulu (metode FIFO) dan obat dengan expired date lebih dekat harus dikeluarkan terlebih dulu walaupun obat tersebut datang terakhir. Adapun daerah penyimpanan obat dalam gudang dibagi menjadi lima yaitu penyimpanan pada suhu kamar tak terkontrol, penyimpanan pada suhu kamar dengan kelembaban terkontrol,penyimpanan pada suhu dingin (0-8 0 C), penyimpanan terkunci untuk produk narkotika dan psikotropika, dan penyimpanan untuk barang yang mudah terbakar. Untuk memudahkan petugas dalam mengambil persediaan obat digudang maka sebaiknya stok obat dalam gudang disusun berdasarkan aturan/ urutan tertentu seperti kategori terapetik, indikasi klinik, alfabetis, bentuk dosis, random bin, penggunaan, maupun berdasarkan kode komoditas (Quick, dkk.,1997).
4. Cara Penempatan Persediaan dalam Gudang Terdapat 4 sistem penyimpanan obat dalam gudang yaitu (Quick,dkk.,1997):
115
a. Fixed Location Fixed location yaitu penempatan Item obat ditempatkan pada tempat yang tetap/sama, keuntungannya ialah lokasi tidak berpindah-pindah atau tetap, cukup untuk menempatkan jumlah barang maksimal untuk setiap item, administrasi persediaan relatif mudah. Akan tetapi kerugian dari fixed location ialah tidak fleksibel jika ada perubahan jumlah order, jika ada tambahan item baru tidak ada tempat, pencurian meningkat, kemungkinan ada tempat penyimpanan yang tidak terpakai.
b. Fluid Location Penempatan persediaan di gudang yang dibagi dalam beberapa lokasi (diberi tanda). Keuntungannya ialah ruang lebih efisien, lebih kecil 20-25% dari ruangan fixed location. Diperlukan administrasi stock yang sempurna dan catatan tempat stok harus selalu up to date.
c. Semifluid location Adapun cara yang sering digunakan ialah kombinasi dari kedua sistem di atas. Terdapat empat sistem penyimpanan perbekalan farmasi di dalam gudang yaitu sebagai berikut :
d. Rak/shelves
116
Gambar 4. Contoh penyimpanan obat dalam rak/shelves e. Floor pallet
Gambar 5. Contoh penyimpanan obat dalam floor pallet 117
f. Pallet racks
Gambar 6. Contoh penyimpanan obat dalam paallet racks g. Block-stacked pallets
Gambar 8. Contoh penyimpanan obat dalam block-stacked pallets 118
5. Dasar Pemilihan Sistem Penyimpanan Untuk dasar pemilihan sistem penyimpanan ialah a. jumlah total barang yg disimpan b. volume rata-rata dari masing-masing barang c. ketinggian bangunan gudang d. peralatan mekanik yang tersedia untuk mengambil.
6. Pengaturan Tata Ruang dan Penyusunan Inventory Pengaturan tata ruang dan penyusunan inventory: a. Gudang dapat ditata dengan model garis lurus,huruf U dan huruf L b. Perhatian jenis/barang yang disimpan c. Setiap jenis/kelompok disusun sesuai abjad d. Jangan meletakkan barang langsung diatas lantai(sebaiknya diberi alas) e. Gunakan lemari khusus untuk barang narkotika dan barang kelompok A f. Susun barang dalam rak dan berikan nomor kode g. Pisahkan penyimpanan obat dalam dan obat luar h. Box/dus bekas dapat digunakan untuk menyimpan i. Barang yang voluminous dapat disimpan dalam box besar sedang yang kecil untuk menyimpan barang yang kaleng atau botol j. Keluarkan barang dari box secekupnya k. Bila satu box berisi bermacam-macam barang maka buat daftar isi box tersebut
Setelah diperoleh gudang yang dikehendaki maka seluruh barang yang disimpan harus dikelompokan dengan memperhatikan hal berikut:
Kelompok/jenis barang 1. Barang mempunyai fungsi sejenis 2. sifat fisik seperti padat atau cair
119
3. Kondisi yang diperlukan untuk menjaga kualitas barang yang memerlukan pendinginan selama penyimpanan atau yang mudah terbakar 4. Supplyer yang sama
Tiap kelompok dibedakan menjadi : 1. Ukurannya berat atau bervolume besar 2. Tingkat pemakain baru atau fast moving,moderat atau slow moving 3. Kemudian dari masing-masing kelompok baru disimpan berdasarkan abjad 4. Lebih ekonomis apabila barang fast moving, berat dan voluminous diletakkan didekat pintu.
Pengeluaran setiap barang harus memakai konsep first in first out(FIFO) atau first expire frst out (FEFO). Pada dasarnya 2 konsep dimaksudkan untuk menjaga sesuatu yang akan disalurkan dengan asumsi:
Mutu setiap barang akan menurun selama penympanan makin lama barang disimpan makin besar kemungkianan penurunan mutu
Barang yang masuk terlebih dahulu tentunya makin cepat umur penyimpanannya
Penyusunan stok perbekalan farmasi Perbekalan farmasi disusun menurut bentuk sediaan dan alfabetis. Untuk memudahkan pengendalian stok maka dilakukan langkah-langkah berikut: a.
Gunakan prinsip FEFO dan FIFO dalam penyusunan perbekalan farmasi yaitu perbekalan farmasi yaitu perbekalan farmasi yang masa kadaluwarsanya lebih awal atau yang diterima lebih awal harus digunakan lebih awal sebab umumnya perbeklan farmasi yang datang lebih awal biasanya juga diproduksi lebih awal dan umumnya relatif lebih tua dan masa kadaluarsanya mungkin lebih awal
b.
Susun perbeklan farmasi dalam kemasan besar diatas pallet secara rapi dan teratur
120
c.
Gunakan lemari khusus untuk menyimpan narkotika
d.
Simpan perbekalan farmasi yang dapat dipengaruhi oleh temperatur, udara, cahaya dan kontaminasi bakteri pada tempat yang sesuai
e.
Simpan perbekalan farmasi dalam rak dan berikan nomor kode, pisahkan perbekalan farmasi dalam denhan perbeklan farmasi untuk penggunaan luar.
f.
Cantumkan nama masing-masing perbeklan farmasi pada rak dengan rapi
g.
Apabila persediaan perbekalan farmasi cukup banyak, maka biarkan perbekalan farmasi tetap dalam boks masing-masing.
h.
Perbekalan farmasi yang mempunyai batas waktu penggunaan perlu dilakukan rotasi stok agar perbekalan farmasi tersebut tidak selalu berada dibelakang sehingga dapat dimanfaatkan sebelum masa kaduluwarsa habis.
i.
Item perbekalan farmasi yang sama ditempatktkan pada satu lokasi walaupun dari sumber anggaran yang berbeda 2. Sistem Distribusi Obat Sistem distribusi obat di rumah sakit adalah tatanan jaringan sarana, personel,
prosedur, dan jaminan mutu yang serasi, terpadu dan berorientasi penderita dalam kegiatanpenyampaian sediaan obat beserta informasinya kepada penderita. Sistem distribusi obat mencakup penghataran sediaan obat yang telah di-dispensing IFRS ke daerah tempatperawatan penderita dengan keamanan dan ketepatan obat, ketepatan penderita, ketepatan jadwal, tanggal, waktu dan metode pemberian dan ketepatan personel pemberi obat kepada penderita serta keutuhan mutu obat (Siregar, 2004).
-
Sistem Distribusi Obat Untuk Pasien Rawat Inap/Tinggal Pada dasarnya ada beberapa jenis sistem distribusi obat untuk penderita rawat
tinggal (PRT), yaitu: 1. Sistem distribusi obat resep individu sentralisasi Resep individu adalah order resep yang ditulis dokter untuk tiap penderita, sedangkan sentralisasi adalah semua order atau resep tersebut yang disiapkan dan
121
didistribusikan dari IFRS sentral sesuai dengan yang ditulis pada resep/order atas nama PRT tertentu melalui perawat ke ruang penderita tersebut (Siregar, 2004). Dalam sistem ini, semua obat yang diperlukan untuk pengobatan di-dispencing dari IFRS. Resep orisinil oleh perawat dikirim ke IFRS, kemudian order/resep tersebut di proses sesuai dengan kaidah “cara dispensingyang baik dan obat disiapkan untuk didistribusikan kepada penderita tertentu”. a. Keuntungan (Siregar, 2003) i. Semua resep/order dikaji langsung oleh apoteker, yang juga dapat memberi keterangan atau informasi kepada perawat berkaitan dengan obat penderita. ii. Memberi kesempatan interaksi professional antara apoteker-dokter-perawatpenderita. iii. Memungkinakan pengendalian yang lebih dekat atas perbekalan. iv. Mempermudah penagihan obat penderita. b. Keterbatasan (Siregar, 2003) Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai pada penderita. Jumlah kebutuhan personil di IFRS meningkat. Memerlukan jumlah perawat dan waktu yang lebih banyak untuk penyiapan obat di ruang pada waktu konsumsi obat. Terjadinya kesalahan obat karena kurangnya pemeriksaan pada waktu penyiapan konsumsi.
122
Dokter
Interpretasi oleh ARS
Dikendalikan oleh ARS
Penderita
Resep/Order
Disiapkan/diracik
Pengendalian Perawat
Ruang/ Perawat
Perawat
Penyiapan Konsumsi Kereta obat
IFRS
Konsumsi Oleh perawat
Gambar 9. Sistem Distribusi Obat Resep Individual Sentralisasi (Siregar, 2003)
2
Sistem Distribusi Obat Persediaan Lengkap di Ruang (Floor Stock) Dalam sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang, semua obat yang
dibutuhkan penderita tersedia dalam ruang tersebut, kecuali obat yang jarang digunakan otau obat yang sangat mahal. Persediaan obat di ruang dipasok oleh IFRS. Biasanya sekali seminggu personil IFRS memeriksa persediaan obat di ruang, lalu menambah menambah persediaan obat yang persediaannya sudah sampai tanda batas pengisian kembali . Obat yang di-dispensing dibawah sistem ini terdiri atas obat penggunaan umum yang biayanya dibebankan pada biaya paket perawatan menyeluruh dan order obat yang harus dibayar sebagai biaya obat. Obat penggunaan umum ini terdiri atas obat yang tertera dalam daftar yang telah ditetapkan oleh PFTdan IFRS yang tersedia di unit perawat, misalnya kapas pembersih luka, larutan
123
antiseptik, dan obat tidur. Biasanya obat ini dibayar sebagai bagian dari biaya pelayanan perawatan. Obat yang harus dibayar tersedia pada tiap unit perawat dan penderita yang menggunakannya akan membayarnya sebagai biaya obat(Siregar, 2003) Definisi dari sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang adalah tatanan kegiatan penghantaran sediaan obat sesuai dengan yang ditulis dokter pada order obat, yang disiapkan dari persdiaan di ruang oleh perawat dan dengan mengambil dosis/ unit obat dari persediaan yang langsung diberikan kepada penderita di ruang itu (Siregar, 2003). Keuntungan (Siregar, 2003 dan Anonim, 1991) : a. Obat yang diperlukan segera tersedia bagi penderita. b.Peniadaan pengembalian obat yang tidak terpakai ke IFRS. c. Pengurangan penyalinan kembali order obat. d.Pengurangan jumlah personil IFRS diperlukan. Keterbatasan (Siregar, 2003 dan Anonim, 1991): a. Kesalahan obat sangat meningkat karena order obat tidak dikaji oleh apoteker. Di samping itu, penyiapan obat dan konsumsi obat dilakukan oleh perawat sendiri, tidak ada pemeriksaan ganda. b.Persediaan obat di unit perawat meningkat dengan fasilitas ruangan yang sangat terbatas. Pengendalian persediaan dan mutu, kurang diperhatikan oleh perawat. Akibatnya penyimpanan yang tidak teratur, mutu obat cepat merosot, dan tanggal kadaluarsa kurang diperhatikan sehingga sering terjadi sediaan obat yang tak terpakai karena telah kadaluarsa. c. Pencurian obat meningkat. d.Meningkatnya bahaya karena kerusakan obat. e. Penambahan modal investasi untuk menyediakan fasilitas penyimpanan obat yang sesuai disetiap daerah perawatan penderita. f. Diperlukan waktu tambahan bagi perawat untuk menangani obat. g.Meningkatnya kerugian karena kerusakan obat. 124
Keterbatasan/kelemahan sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang sangat banyak. Oleh karena itu, sistem ini hendaknya tidak digunakan lagi. Dalam sistem ini tanggung jawab besar dibebankan pada perawat, yaitu menginterpretasi order dan penyiapan obat, yang sebetulnya adalah tanggung jawab apoteker. Sekarang telah diperkenalkan sistem distribusi obat desentralisasi yang melaksanakan sistem persediaan lengkap di ruang, tetapi dibawah pimpinan seorang apoteker. Jika sistem desentralisai ini dilakukan, maka banyak kekurangan dari sistem distribusi obat persediaan lengkap diruang akan dapt diatasi (Siregar, 2003).
Dokter Interpretasi Perawat
Resep/order
Penderita Konsumsi oleh perawat
Pengendalian oleh Perawat
Persediaan Di ruang
Persediaan IFRS
Penyiapan Perawat
Kereta obat
Dikendalikan Apoteker
Gambar 10. Sistem ditribusi obat persediaan lengkap di ruang (Siregar, 2003)
3. Sistem Distribusi Obat Kombinasi Resep Individu dan Persediaan di Ruang Rumah sakit yang menerapkan sistem ini, selain menerapkan distribusi resep/order individual sentralisasi, juga menerapkan distribusi persediaan di ruangan yang terbatas. Jenis dan jumlah obat yang tersedia di ruangan ditetapkan oleh PFT dengan masukan IFRS dan dari pelayanan keprawatan. Sistem kombinasi biasanya diadakan untuk mengurangi beban kerja IFRS. Obat yang disediakan di ruangan adalah obat yang diperlukan oleh banyak penderita, setiap hari diperlukan, dan biasanya adalah obat yang relatif murah, mencakup obat resep atau obat bebas. 125
Keuntungan (Siregar dan Amalia, 2004): a. Semua resep/order individual dikaji langsung oleh apoteker. b. Adanya kesempatan berinteraksi profesional antara apoteker – dokter – perawat – penderita. c. Obat yang diperlukan dapat segera tersedia bagi penderita. d. Beban IFRS dapat berkurang. Keterbatasan (Siregar dan Amalia, 2004): a. Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai kepada penderita (obat resep individu). b. Kesalahan obat dapat terjadi (obat dari persediaan ruang). 4.Sistem Distribusi Obat Dosis Unit (UDDS) Sistem distribusi ini menggunakan istilah dosis unit yang digunakan di rumah sakit berhubungan dengan jenis kemasan dan juga sistem untuk mendistribusikan kemasan tersebut. Obat dosis unit adalh obat yang diorder oleh dokter untuk penderita, terdiri atas satu atau beberapa jenis obat yang masing-masing dalam kemasn dosis unit tunggal dalam jumlah yang dikonsumsi saja. Sistem distribusi obat dosis unit adalh metode dispensing dan pengendalian obat yang dikoordinasi IFRS dalam rumah sakit. Akan tetapi, unsur berikut adalah dasar dari semua sistem dosis unit, yaitu obat dikandung dalam kemasan unit tunggal, di-dispensing dalam bentuk siap konsumsi, dan untuk kebanyakan obat tidak lebih dari 24 jam persediaan dosis, dihantarkan ke atau tersedia pada ruang perawatan penderita pada setiap waktu (Siregar dan Amalia, 2004). Sistem distribusi obat dosis unit dapat dioperasikan dengan salah satu dari 3 metode dibawah ini, yang pilihannya tergantung pada kebijakan dan kondisi suatu rumah sakit. Sistem tersebut yaitu (Siregar dan Amalia, 2004 dan Anonim, 1991): a. Sistem distribusi obat dosis unit dapat diselenggarakan secara sentralisasi. Sentralisasi dilakukan oleh IFRS sentral ke semua daerah perawatan penderita rawat tinggal di rumah sakit secara keseluruhan. Artinya, dirumah sakit itu
126
mungkin hanya satu IFRS tanpa adanya cabang IFRS di beberapa daerah perawatan penderita. b. Sistem disteribusi obat dosis unit desentralisasi dilakukan oleh beberapa cabang IFRS di sebuah rumah sakit. Pada dasarnya sistem distribusi obat desentralisasi ini sama dengan sistem distribusi persediaan lengkap di ruang, hanya saja sistem distribusi obat desentralisasi ini dikelola seluruhnya oleh apoteker yang sama dengan pengelola dan pengendalian oleh IFRS sentral. c. Dalam sistem distribusi obat dosis unit kombinasi sentralisasi
dan
desentralisasi, biasanya hanya dosis mula dan dosis keadaan darurat dilayani cabang IFRS sentral. Kalau sistem distribusi obat yang telah diurai sebelumnya dikenal sebagai sistem tradisional, maka sistem distribusi obat dosis unit ini termasuk sebagai sistem yang terbaru, meskipun sistem ini telah diperkenalkan lebih dari 20 tahun yang lalu. Kelemahan dari sistem distribusi ini adalah kebanyakan rumah sakit lambat menerapkannya, karena sistemini memerlukan biaya yang besar dan juga memerlukan penigkatan jumlah yang radikal daristaf apoteker, apabila dibandingkan dengan sistem tradisional (Anonim, 1991). Keuntungan (Siregar dan Amalia, 2004 dan Anonim, 1991): 1) Penderita menerima pelayanan IFRS 24 jam sehari dan penderita membayar hanya obat yang dikonsumsinya saja. 2) Semua dosis yang diperlukan pada unit perawatan telah disiapkan oleh IFRS, jadi perawat mempunyai waktu lebih banyak untuk merawat langsung penderita. 3) Adanya sistem pemeriksaan ganda dengan menginterpretasikan resep/order dokter dan membuat profil pengobatan penderita (P-3)oleh apoteker, dan perawat memeriksa obat yang disiapkan IFRS sebelum dikonsumsikan. Jadi sistem ini mengurangi kesalahan obat. 4) Peniadaan duplikasi order obat yang berlebih dan pengurangan pekerjaan menulis di unit perawat dan IFRS. 127
5) Pengurangan kerugian biaya obat yang tidak terbayar oleh penderita. 6) Penyiapan sediaan intravena dan rekonstitusi obat oleh IFRS. 7) Meningkatkan penggunaan personel profesional dan nonprofesional yang lebih efisien. 8) Mengurangi kehilangan pendapatan. 9) Menghemat ruangan di unit perawat dengan meniadakan persediaan ruah obat-obatan. 10) Meniadakan pencurian dan pemborosan obat 11) Memperluas cakupan dan pengendalian IFRS dirumah sakit secara keseluruhan. Sejak dari dokter menulis resep/order sampai penderita menerima dosis unit. 12) Kemasan dosis unit secara tersendiri-sendiri diberi etiket dengan nama obat, kekuatan, nomor kendali dan kemasan tetap utuh sampai obat siap dikonsumsi penderita. Halini mengurangi kesempatan salah obat, juga membantu dalam penelususran kembali kemasan apabila terjadi penarikan obat. 13) Sistem komunikasi pengorderan dan penghantaran obat bertambah baik. 14) Apoteker dapat dtang ke unit perawat/ruang penderita untuk melakukan konsultasi obat, membantu memberikan masukan kepada tim sebagai upaya yang diperlukan untuk perawatan penderita yang lebih baik. 15) Pengurangan biaya total kegiatan yang berkaitan denganobat. 16) Peningkatan
pengendalian
obat
dan
pemantauan
penggunaan
obat
menyeluruh. 17) Pengendalian yang lebih besar oleh apoteker atas pola beban kerja IFRS dan penjadwalan staf.
128
Dokter
IFRS: Interpretasi Apoteker Profil Pengobatan Penderita (P-3)
Apoteker + Perawat Cek
Penderita
Rersep/Order
Konsumsi Obat
Perawat
Kereta Obat
Gambar 11. Sistem Distribusi Obat Dosis Unit Sentralisasi (Siregar dan Amalia, 2004) 5. Sistem Distribusi Obat Desentralisasi Pelayanan Farmasi dessentralisasi terbukti selama ini merupakan suatu rencana pelaksanaan penting guna mencapai keamanan dan keefektifan penggunaan obat bagi penderita (Siregar dan Amalia, 2004). Keuntungan (Siregar dan Amalia,2004) 1) Obat dapat segera tersedia untuk dikonsumsikan pada pasien. 2) Pengendalian obat dan akuntabilitas semakin baik. 3) Apoteker dapat berkomunikasi langsung dengan dokter dan perawat. 4) Sistem distribusi obat berorientasi penderita sangat berpeluang diterapkan untuk penyerahan obat kepada penderita melalui perawat. 5) Apoteker dapat mengkaji kartu pengobatan dan dapat berbicara dengan penderita secara efisien. 6) Informasi obat dari apoteker segera tersedia bagi dokter da perawat.
129
7) Waktu kerja perawat dalam distribusi dan penyiapan obat untuk digunakan penderita berkurang, karena tugas itu lebih banyak dilakukan oleh personel IFRS desentralisasi. 8) Spesialisasi terapi obat bagi apoteker dalam bidang perawatan penderita dicapai lebih efektif. 9) Pelayanan klinik apoteker yang terspesialisasi dapat dikembangkan dan diberikan secara efisien. 10) Apoteker lebih mudah melakukan penelitian klinik obat dan studi assesment mutu terapi obat penderita Keterbatasan (Siregar dan Amalia, 2004) Semua apoteker pratik klinik harus cakap bekerja secara efektif dengan asisten apoteker dan teknisi. Apoteker biasanya bertanggungjawab untuk pelayanan distribusi dan pelayanan klinik. Waktu yang digunakan untuk bukan distribusi obat tergantung pada ketersediaan asisten apoteker bermutu dan berkemampuan teknisi. Pengendalian inventori obat dalam IFRS keseluruhan lebih sulit karena anggota staf berpraktik dalam lokasi fisik yang banyak. Lebih banyak alat yang diperlukan, misalnya acuan pustaka informasi obat, ” laminar air flow”, lemari pendingin, rak obat dan alat untuk meracik. Jumlah dan keakutan penderita menyebabkan beban kerja distribusi obat dapat melebihi kapasitas ruangan dan personil dalam unit IFRS desentralisasi yang kecil.
130
Dokter
IFRS sentral
IFRS: Interpretasi Apoteker Profil Pengobatan Penderita (P-3)
Apoteker + Perawat Cek
Penderita
Rersep/Order
Perawat + Apoteker
Konsumsi Obat
Kereta Obat
Satu wadah
Gambar 12. Sistem distribusi Obat untuk Penderita rawat Tinggal Persyaratan Sistem Distribusi Obat untuk penderita Rawat Tinggal Suatu sistem distribusi obat yang efisien dan efektif sangat tergantung pada desain sistem distribusi obat yang didisain dan dikelola baik harus didapat mencapai berbagai hal sebagai berikut (Siregar, 2004) : 1. Ketersediaan obat yang tetap terpelihara. 2. Mutu dan kondisi obat/tetap stabil dalam seluruh proses distribusi. 3. Kesalahan obat minimal dan memberi keamanan maksimum pada penderita. 4. Obat yang rusak dan kadaluarsa sangat minimal. 5. Efisiensi dalam penggunaan sumber, terutama personel. 6. Pencurian dan/atau hilang dapat minimal. 7. IFRS mempunyai akses dalam semua tahap proses distribusi untuk pengendalian, pemantaun dan penerapan pelayanan farmasi klinik. 8. Terjadinya interaksi profesional dokter-apoteker-perawat-penderita. 9. Pemborosan dan penyalahgunaan obat minimal. 10. Harga terkendali.
131
11. Peningkatan penggunaan obat rasional. 3.Sistem Distribusi Untuk Penderita Rawat Jalan Lingkungan fisik untuk Farmasi yang melayani pasien rawat jalan bukan merupakan faktor utama mengingat bahwa pelayanan kesehatan ini diberikan kepada pasien yang rawat jalan, dan bukan yang dirawat di RS. Pasien rawat jalan berbeda dalam banyak hal dengan pasien rawat inap, pasien yang dirawat di rumah sakit selalu dalam lingkungan yang secara rutin diawasi dimana tanda-tanda penting yang terjadi juga dicatat secara rutin, pengobatan dijadwal dan diberikan oleh tenaga medis tedidik yang profesional, dan pasien ditempatkan pada suatu tempat yang khusus; sebaliknya pasien rawat jalan biasanya berad dalam lingkungan yang tidak terkontrol sehingga tanda-tanda penting yang terjadi diaantara waktu kunjungannya ke klinik tidak dicatat, dan kadang-kadang mungkin obat yang digunakan pasien tidak teratur. Dengan demikian jelas bahwa masalah yang berkaitan dengan pengobatan yang dihadapi oleh pasien rawat inap di Rumah Sakit. Pasien rawat jalan seringkali harus bertanggung jawab terhadap kesehatannya sendiri. Di samping obat-obat yang ditulis pada resep, pasien juga mungkin menggunakan obat lain yang dibeli dari Farmasi luar atau dari para pengecer obat lain. Juga mungkin pasien menggunakan obat yang diperoleh dari anggota keluarga atau teman. Tampaknya tidak seorang petugas keshatanpun yang benar-benar mengetahui pengobatan pasien secara menyeluruh. (Anonim, 1991) Dihadapkan pada masalah demikian, disamping melayani9 resep dengan benar, Farmasis harus menyediakan pelayanan farmasi yang diperluas yaitu memberikan informasi kepada pasien agar lebih mengerti tentang obat-obat yang mereka gunakan. (Anonim, 1991). Lokasi Farmasi untuk Pasien Rawat Jalan Tidak ada aturan tertulis tetang area lokasi yang terbaik untuk Farmasi yang melayani pasien rawat jalan. Namun ada 3 pembagian area lokasi yang sesuai yaitu (Anonim, 1991): Farmasi yang tersendiri untuk pasien rawat jalan. 132
Farmasi yang melayani baik untuk pasien rawat inap dan rawat jalan yang pelayanannya dari loket yang sama. Farmasi yang melayani baik untuk pasien rawat inap dan rawat jalan yang pelayanannya dari loket terpisah.Pertimbangan paling penting adalah bahwa farmasi untuk pasien rawat jalan hendaknya berdekatan dengan klinik untuk pasien rawat jalan. Jika klinik untuk pasien rawat jalan harus dipisahkan juga dari Farmasi untuk pasien rawat inap. Ini membutuhkan perencanaan untuk transportasi obat-obatan dan pengiriman dari Farmasi pusat ke Farmasi untuk rawat jalan. Juga dibutuhkan staf tambahan dan pengawasan manajemen yang semakin luas oleh direktur/ Kepala Farmasi. Prosedur Pelayanan Meskipun pola pelayanan didalam melayani resep dan pelayanan pasien rawat jalan tampak sama dengan pelayanan di Farmasi Umum, tetapi ada beberapa perbedaan, khususnya jumlah yang besar pasien rawat jalan di Farmasi. Pada Rumah Sakit maupun Farmasi umum, resep ditulis oleh dokter, dan pasien membawanya ke farmasi/apotek dimana obat itu akan diberikan oleh farmasis. Jika harus menunggu maka apotek/farmasi harus menggunakan kartu bernomor untuk mengenali pasien dan mengerjakan resepnya. Setelah diterima oleh farmasi, resep dan label diberi nomor dengan mesin. Petunjuk dan informasi lain yang berkaitan ditulis pada label. Label tambahan, misalnya; kocok baik-baik, simpan dilemari es, dan sebagainya ditambahkan, obat yang sesuai dimasukan dlam kontainer, diadakan pemeriksaan untuk ketelitiannya dan akhirnya obat yang telah dibayar sebelumnya diberikan kepada pasien. Farmasi yang melayani banyak pasien rawat jalan harus menggunakan prosedur ban berejalan (assembly line). Seorang menerima resep dari loket penerimaan, orang lain mengetik label dan menyerahkan pada orang lain yang sedang melayani obat untuk resep tersebut dan orang lain lagi yang menyerahkan obat yang telah selesai kepad pasien melalui loket pengambilan. Meskipun prosedur ini memepercepat dalam pelayanan, kesalahan bisa terjadi jika tidak dilaksanakan 133
pemeriksaan yang benar. Penggunaan tenaga nonprofesional dapat dimasukan dalam prosedur ’ban berjalan’ ini, tetapi telah terjadi perdebatan mengenai apa tugas yang dapat dilaksanakan oleh tenaga non farmasis tersebut. Di beberapa daerah, hal ini diatur oleh badan pengatur lokal dan regional. Pada umumnya disetujui bahwa tenaga non profesional dapat mengetik label pada obat, namun dari segi keamanan pasien adalah suatu pelayanan yang baik jika Farmasis sendiri yang menerima resep dari pasien dan mendiskusikan informasi yang penting mengenai obat tersebut sebelum dimulainya prosedur ’ban berjalan’ tersebut. Demikian pula sebaiknya Farmasis yang menyerahkan obat yang telah selesai kepada pasien dan menerangkan petunjuk serta informasi peringatan lainnya (Anonim, 1991). Disamping prosedur ’ban berjalan ’ ada dua sistem lagi yang sangat mempercepat seluruh pelayanan obat untuk pasien rawat jalan dan juga mengurangi kebutuhan staf. Sistem itu adalah: Sistem pelayanan farmasi yang dengan ketat mengikuti Formularium Rumah Sakit dan sistem pelayanan farmasi program pengemasan awal yang efisien. Dengan menggunakan sistem Formularium Rumah Sakit, staf medis harus disadarkan bahwa farmasi hanya akan melayani satu merek untuk setiap obat, dan bahwa hanya akan disediakan obat-obat pokok dalam jumlah minimal untuk tiap kategori pengobatan. Setelah standarisasi formularium tercapai, maka akan berjalan bersama program pengemasan. Obat-obat tertentu dalam jumlah yang banyak akan ditulis sebagai produk yang sama dalam jumlah yang relatif kecil, dan obat-obat ini harus dikemas di farmasi. Disamping itu, jumlah obat standar yang spesifik harus ditentukan oleh Komite Farmasi dan Terapi. Contoh, mungkin ditentukan bahwa 30 kapsul dari jenis multivitamin untuk satu bulan pengobatan atau 12 kapsul dari 1 jenis antibiotika utuk satu masa pengobatan tang dibutuhkan untuk mengobati infeksi. Setelah ditentukan, maka daftar obat yang biasa digunakan dengan jumlah kemasan harus dipasang untuk setiap ruang klinik. Dokter harus menulis resep dengan jumlah tersebut dan Farmasi harus mempunyai persediaan kontainer obat-obatan tersebut yang sudah dikemas, sehingga dengan demikian meniadakan prosedur menghitung 134
dan menuang obat saat melayani resep, dan hanya perlu menempelkan label obat pada kontainernya saja. (Anonim, 1991).
Pelayanan Farmasi yang Diperlukan Selain pelayanan yang telah disebutkan sebelumnya, Farmasi yang melayani pasien rawat jalan dapat memberikan pelayanan-pelayanan berikut sesuai dengan waktu da staf yang ada (Anonim, 1991): a Penyuluhan Pasien (counselling) Ruang khusus untuk penyuluhan dapat digunakan dan disediakan bagi para pasien yang mempunyai masalah berkaitan dengan obat-obat tertentu seperti misalnya
pasien yang menggunakan banyak macam obat atau menderita
penyakit tertentu dan obat-obat dengan penggunaan khusus, misalnya inhaler, insulin dan lain-lain. b Pendidikan Pasien (Education) Karena farmasis sangat mengenal obat-obatan, maka sewajarnya jika pengetahuan tentang obat-obatan dapat diberikan pada pasien yang sangat mungkin sekali menerima pengobatan yang berbahaya karena adanya jadwal pengobatan yang kacau atau cara pemberian obat yang lain dari biasanya. Misalnya program untuk edukasi para penderita hemofili untuk menggunakan obat sendiri dirumah. c Membuat lembaran riwayat pasien dan pengobatan/catatan farmasi Seperti yang telah ditulis dalam bagian pengobatan untuk pasien, Farmasis dapat membuat catatan mengenai riwayat pengobatan untuk pasien rawat jalan. Cara ini
memungkinkan farmasis mengevaluasi seluruh langkah pengobatan pasien yang
sangat penting sekali untuk pasien rawat jalan yang secara rutin membeli obat di Farmasi tersebut. d Menyediakan Informasi obat-obatan
135
Farmasis dapat menyediakan informasi tentang obat-obatan secara umum yang akan membantu pasien untuk lebih mengerti tentang obat mereka dan bagaimana penggunaannya. e Peduli dan Merujuk/merekomendasikan Farmasis yang melayani pasien rawat jalan selalu bertatap muka dengan pasien pada waktu melayani resep, memberikan penyuluhan pada pasien atau memberikan pelayanan perawatan. Selama tatap muka dengan pasien ini mungkin diketahui bahwa pasien mengalami kondisi yang tidak terdeteksi/diketahui sebelumnya, misalnya mempunyai penyakit akut yang membutuhkan perawatan atau memerlukan bantuan dokter dengan segera. Gejala seperti diabetes, infeksi streptokokal, atau infark miokardial mungkin dapat diketahui dari keluhan-keluhan ringan yang dikemukakan pasien kepada farmasis. Farmasis yang mengetahui gejalagejala tersebut dapat segera menganjurkan pasien ke unit gawat darurat untuk pemeriksaan. Secara umum, pedoman pelayan farmasi untuk pasien rawat jalan di rumah sakit mencakup: a.
Persyaratan Manajamen, meliputi: 1) Perencanaan; pelayanan farmasi untuk pasien rawat jalan harus dipimpin oleh seorang apoteker yang berkompetensi, memiliki pengalamn dalam praktek dan
manajemen farmasi, yang bertanggung jawab menentukan sasaran
juangka panjang dan pendek, mengembangkan rencana, hingga laboran yang berkaitan
dengan pencapaian sasaran.
2) Pengelolaan staf; personil yang ditugaskan untuk pasien rawat jalan memiliki pendidikan dan pengalaman yang diperlukan untuk memenuhi tugas mereka, jumlah personel dan jadwal kerja staf diatur sedemikian rupa agar dapat memenuhi kebutuhan pasien yang dilayani rumah sakit. 3) Pengelolaan Unit Pelayanan Penderita Ambulatori (UPPA); UPPA sebagai cabang dari IFRS harus selalu dipantau pengelolaanya oleh IFRS sentral
136
mengenai pelayanan, pengelolaan keuangan, serta kepatuhan pada standar yang b.
berlaku.
Persyaratan fasilitas dan peralatan 1) Apotek RS harus memiliki lokasi yang mudah dicapai oleh pasien. Ruangan dan
peralatan dalam jumlah dan jenis yang memadai untuk melaksanakan
fungsi profesional dan administrasi. 2) Tersedia ruangan bersifat pribadi untuk konsultasi, serta ruangan dan sumber yang memadai untuk pelayanan informasi obat. 3) Sebaiknya memiliki sumber pengolahan data yang telah memadai atau berkomputerisasi untuk memudahkan dalam mengakses. 4) Harus menyediakan ruang tunggu yang nyaman bagi penderita. c.
Persyaratan pengolahan resep 1) Dispencing dilakukan oleh apoteker atau dibawah pengawasan apoteker. 2) Apoteker harus mengkaji ketepatan dari pemilihan obat, dosis, rute pemberian,
serta jumlah obat.
3) Etiket ditulis secara benar, lengkap, dan jelas. 4) Obat harus disiapkan tepat waktu dengan cara akurat. 5) Pemberian informasi atau edukasi pada pasien baik secara lisan atau tertulis. Apoteker harus memastikan pasien menerima dan mengerti semua informasi yang diperlukan untuk penggunaan obat yang tepat. d.
Pedoman operasional lain 1) Penetapan jam kerja sesuai dengan kebutuhan pasien rawat jalan. 2) Ketaatan pada formularium rumah sakit.
3. Sistem Farmasi Satu Pintu Pelayanan “Farmasi Satu Pintu” berarti tanggung jawab pelayanan kefarmasian sepenuhnya dilakukan oleh farmasi rumah sakit (RS) atau Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS). Yang dimaksud dengan sistem satu pintu menurut UU No. 44 tahun 2009 pasal 15 ayat 3 adalah bahwa rumah sakit hanya memiliki satu 137
kebijakan
kefarmasian
termasuk
pembuatan
formularium
pengadaan,
dan
pendistribusian alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai yang bertujuan untuk mengutamakan kepentingan pasien. IFRS memiliki kewenangan penuh dan bertanggung jawab terhadap obat yang beredar di RS, serta dalam pengelolaan perbekalan farmasi, berkewajiban mengelola obat secara berdaya guna dan berhasil guna, berkewajiban melaksanakan pengendalian pelayanan dan pemantauan penggunaan obat di rumah sakit. Proses pelaksanaan sistem pelayanan kefarmasian satu pintu, meliputi : 1) Pemahaman tentang tanggungjawab kepada pihak internal IFRS bahwa Instalasi Farmasi bertanggung jawab atas semua obat yang beredar di rumah sakit. 2) Commitment Building : Memberikan yang terbaik untuk pelanggan, pelayanan bebas kesalahan (Zero Defect), pelayanan bebas copy resep (terlayani semua di rumah sakit). 3) Membangun kekuatan internal RS terhadap pesaing farmasi dari luar dan mewujudkan keterikatan terhadap pelayanan farmasi RS dengan penyediaan dana gotong royong seluruh jajaran RS. 4) Pemberdayaan Panitia Farmasi dan Terapi (PFT). 5) Penerapan sistem formularium RS. 6) Penerapan satu SOP (Sistem Operasional Pelaksanaan) penulisan resep. 7) Resep wajib dikirim ke IFRS untuk dilakukan skrining dan validasi. 8) Penerapan SIM (Sistem Informasi Manajemen) farmasi. Dalam pengorganisasian IFRS (Instalasi Farmasi Rumah Sakit) sebagai salah satu revenue centre RS harus mendapatkan dukungan dan diselaraskan dengan strategi RS. Hasil penelitian yang dilakukan Satibi dkk. (2008a) di IFRS “SG” yang tidak menerapkan pelayanan farmasi satu pintu berdampak pada penurunan kinerjanya. Hasil kinerja IFRS “SG” yang tidak melaksanakan pelayanan farmasi satu
138
pintu seperti terlihat dalam Tabel 13. Kinerja IFRS “SG” yang rendah merupakan salah satu dampak dari kebijakan rumah sakit dalam melaksanakan strategi aliansi. Kebijakan ini menyebabkan banyak pihak ketiga (4 apotek diluar IFRS) masuk dalam memberikan pelayanan obat kepada pasien di RS. Kondisi ini sangat merugikan RS dan khususnya IFRS. Tabel 13. Kinerja IFRS “SG” yang tidak Menerapkan Pelayanan Farmasi Satu Pintu dalam Organisasinya. No. Indikator Nilai (%) 1. Keterjaringan pasien 9,06 2. Ketersediaan obat 30 3. Kepuasan pasien 70,9 Sumber: Satibi dkk, (2008a)
Dana merupakan masalah strategis dalam pengembangan pelayanan farmasi bermutu. Dana untuk pengadaan obat selalu menjadi alasan yang dikemukakan RS Pemerintah untuk membenarkan beroperasinya berbagai apotek swasta murni dan apotek swasta milik RS sendiri. Hampir semua apotek ini tidak dibawah kendali instalasi farmasi sehingga mutu keamanan penderita dan harga obat diluar kendali instalasi farmasi. Keadaan ini tidak kondusif untuk melakukan pelyanan farmasi yang bermutu dan berspektrum luas. Oleh karena itu, pelayanan farmasi dengan satu pintu mutlak dilaksanakan, yaitu instalasi farmasi sebagai pengelola tunggal perbekalan farmasi RS. Hal ini dikarenakan: 1.Farmasi RS bertanggung jawab atas semua barang farmasi yang beredar di RS, baik rawat jalan maupun rawat inap. 2.Farmasi RS bertanggung jawab atas pengadaan dan penyajian informasi obat siap pakai bagi semua pihak di RS, baik petugas kesehatan maupun pasien.
139
3.Farmasi RS bertanggung jawab atas pekerjaan pelayanan kefarmasian di RS (mengacu
pada
akreditasi
RS
dan
SK
Dirjen
Yanmed
no.
0428/YAPI/LED/RSKS/K/1989), yaitu Bab II Pasal 9: 1) Sebagai penanggung jawab atas pengelolaan obat-obat di RS maka instalasi farmasi RS berkewajiban dan harus mampu mengelola obat-obatan secara berdaya guna dan berhasil guna. 2) Untuk tercapainya tujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) maka pengadaan obat-obatan di RS didasarkan atas prosedur perencanaan yang baik. Dalam nenyusun rencana pengadaan dan pengelolaan obat-obatan di RS, instalasi farmasi menggunakan data pemakaian di lapangan yang berasal dari semua unit instalasi RS. 3) Untuk dapat melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelayanan obat-obatan di RS, maka pelayanan obatan-obatan yang di RS harus melalui sistem satu pintu. 4) Dengan sistem satu pintu sebagaimana di maksud pasal 9 ayat (3), maka unit distribusi instalasi farmasi RS (apotek RS) secara bertahap harus difungsikan sepenuhnya
sabagai
satu-satunya
apotek
RS
yang
berkewajiban
melaksanankan pelayanan obat-obatan di RS. Istilah satu pintu itu sendiri berarti: a. Satu kebijakan kebijakan, dimana kebijakan ini diambil oleh IFRS, maka harus mengikuti kebijakan yang ada seperti formularium RS, tata laksana obat, harga jual obat yang seragam, dan dalam penentuan distributor yang tepat. b. Satu SOP (Standart Operational Procedure), yang dibuat agar standar yang diinginkan tercapai termasuk prosedur/instruksi kerja yang meliputi pelayanan, pelaporan, monitoring, dan evaluasi. c. Satu pengawasan operasional, dimana dalam pelayanan, pengadaan, pengelolaan, dan seleksi obat dilakukan oleh suatu kontrol yaitu oleh IFRS.
140
d. Satu sistem informasi, dimana yang bertanggung jawab dalam masalah ini adalah farmasi Rumah Sakit.
Beberapa faktor yang dipertimbangkan dalam menyelenggarakan pelayanan farmasi sistem satu pintu antar lain : 1.Jumlah unit pelayanan yang ada di Rumah Sakit. Hal ini berguna untuk merencanakan jumlah dan letak outlet apotek. 2.Memperkirakan jumlah resep, baik jumlah resep per hari pada jam sibuk/jam kerja maupun reep diluar jam kerja. 3.Macam item obat yang diresepkan, untuk menentukan fast and slows moving drug agar persediaan obat itu selalu ada. Hal ini sangat erat kaitannya dengan persediaan dana. 4.Jumlah tenaga yang diperlukan untuk setiap outlet apotek, agar tercapai tepat obat dan tepat waktu. 5.Tersedia tenaga farmasi klinik.
Tujuan Pelayanan Farmasi Satu Pintu 1) Menghindari resep keluar, dengan cara memiliki outlet apotek ditiap lantai, menggunakan sistem “jemput resep”, fasilitas antar untuk jarak tertentu, bekerja sama dengan poli rawat jalan. 2) Meningkatkan pendapatan IFRS dan Rumah Sakit, sehingga meningkatkan kesejahteraan pegawai. 3) Optimalisasi cakupan pelayanan obat gawat darurat, resep rawat jalan umum, rawat jalan Askes, rawat inap umum/Askes, obat operasi dan pelayanan obat masyarakat miskin dan sistem Jaminan Kesehatan nasional (JKN) 4) Meminimalisasi
pemberian
obat
yang
tidak
tepat
waktu,
dan
meminimalisasi medication error untuk keamanan dan keselamatan pasien.
141
5) Peningkatan pelayanan farmasi sesuai dengan standar yang berlaku sehingga dapat memenuhi kebutuhan yang ditetapkan, dan memuaskan harapan konsumen. 6) Obat tersedia pada harga yang kompetitif dan memberi manfaat bagi RS. Disamping itu, dengan tujuan penerapan farmasi satu pintu lainnya adalah: 1) Memudahkan monitoring penggunaan obat. 2) Dapat mengetahui kebutuhan obat secara menyeluruh sehingga memudahkan perencaan obat. 3) Menjamin mutu obat yang tersedia sesuai persyaratan kefarmasian 4) Dapat melaksanakan pelayanan obat dengan sistem unit dose ke semua ruang rawat. 5) Dapat dilaksanakannya pelayanan informasi obat dan konseling obat baik bagi pasien rawat jalan maupun rawat inap. 6) Dapat dilaksanakan Monitoring Efek Samping obat oleh Panitia Farmasi dan Terapi. 7) Dapat melakukan pengkajian penggunaan obat di rumah sakit, baik obat generik, obat formularium, obat DPHO askes, dan lain-lain, sesuai program instalasi farmasi serta Panitia Farmasi dan Terapi. Keuntungan Pelayanan Farmasi Satu Pintu 1) Obat dan Perbekkes (perbekalan kesehatan) dikelola oleh tenaga terlatih (Apoteker dan Asisten Apoteker). 2) Obat dan Perbekkes disimpan dan dikelola Instalasi Farmasi. 3) Fasilitas penyimpanan obat dan Perbekkes dipusatkan di satu tempat. 4) Menghindari terjadinya tumpang tindih dalam pengadaan obat dan perbekalan kesehatan. 5) Dapat mengoptimalkan tim perencanaan obat terpadu. 6) Memudahkan perencanaan obat, karena mengetahui jumlah kebutuhan obat secara menyeluruh.
142
7) Pemegang program lebih fokus pada surveilence sehingga terjadi peningkatan cakupan program. 8) Pencatatan dan pelaporan dapat terlaksana dengan baik, sehingga memudahkan
perencanaan,
pelaksanaan,
pengawasan,
dan
pengendalian terhadap pelayanan perbekalan farmasi di rumah sakit. 9) Meningkatkan peran instalasi farmasi sebagai salah satu revenue center bagi rumah sakit. 10) Menjamin mutu obat yang tersedia sesuai persyaratan kefarmasian. 11) Meningkatkan pelayanan kefarmasian yang bertanggung jawab kepada pasien (perlindungan konsumen). 12) Menunjang pelayanan farmasi klinik dan asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) yang komprehensif secara langsung. 13) Membantu usaha pengontrolan peresepan dalam rangka perbaikan formularium rumah sakit, pedoman diagnosis, terapi, monitoring efek samping obat, dan pelayanan Informasi Obat dan Konseling Obat. 14) Memudahkan pelaksanaan visite/ konsultasi farmasi di bangsal secara rutin dalam rangka perlindungan pasien dari kesalahan obat. 15) Rumah sakit dapat secara langsung mengelola seluruh pemasukan rumah sakit yang berasal dari pelayanan kefarmasian untuk menutupi biaya operasional rumah sakit dan peningkatan mutu SDM. 16) Dengan melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu, berarti suatu rumah sakit telah melaksanakan persyaratan standar akreditasi rumah sakit, UU Republik Indonesia No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, dan kebijakan pemerintah. 17) Dapat dilaksanakannya pelayanan obat dengan sistem unit dose ke semua ruang rawat. 18) Dapat melakukan pengkajian penggunaan obat di RS, baik obat generik, obat formularium, obat Askes dan lain-lain sesuai dengan program IFRS serta PFT. 143
19) Penurunan risiko kesalahan terkait penggunaan perbekalan farmasi (keselamatan pasien). 20) Kemudahan akses data perbekalan farmasi yang akurat.
Adapun metode lain yangt bisa diterapkan untuk mencegah resep keluar dari IFRS selain dengan pemilihan sistem distribusi yang tepat dan sistem satu pintu adalah: a. E-pescribing (peresapan elektronik) Yaitu penggunaan komputer dan/atau personal digital assistants (PDAs) untuk menulis resep.Penerapan sistem ini di rumah sakit diyakini cukup efektif dalam upaya mencegah resep keluar dari rumah sakit yang bersangkutan. Dengan diterapkannya sistem ini maka pasien akan menebus resep hanya di apotek rumah sakit tersebut. Agar tidak mengurangi hak-hak pasien maka pasien tetap menerima resep dalam bentuk print out bersamaan dengan dispencing obat. Metode e-prescribing, selain meningkatkan keterjaringan pasien membeli obat di IFRS juga mampu menekan angka kejadian medication error sampai 60%. Menekan kejadian medication error dalam upaya meningkatkan keselamatan pasien (patient safety) menjadi hal yang paling utama dibanding pertimbangan lainnya. b. Pembayaran terpadu Yaitu biaya dokter, biaya laboratorium, radiologi dan obat serta biaya yang lainnya dijadikan satu dengan mendirikan depo farmasi dan loket pembayaran disekitar poloklinik di rumah sakit. Keuntungan dari strategi ini adalah lebih praktis dan efektif dalam mencegah resep keluar, serta biaya operasional yang dibutuhkan lebih kecil. c. Jemput resep Yaitu adanya tenaga kerja dari IFRS yang bertugas mengambil resep dari dokter praktek di poliklinik untuk dibawa ke IFRS dan dilayani disana. Dapat juga dilakukan oleh perawat masing-masing poliklinik yang mengantarkan 144
resep ke IFRS. Namun, sistem ini kurang etis karena melanggar hak pasien dalam menebus resep, selain itu juga membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak. Upaya yang dilakukan agar tidak melanggar hak pasien adalah dengan tetap menawarkan kepada pasien apakah resep yang diterima akan dibeli di farmasi rumah sakit atau di apotek yang lain. Keputusan untuk membeli obat dimanapun tetap menjadi hak sepenuhnya pasien. d. Membangun outlet farmasi setiap lantai Salah satu faktor dalam keputusan pasien membeli obat di RS adalah kemudahan akses ke apotek/instalasi farmasi. Dalam upaya mendekatkan obat dengan pasien dapat dilakukan dengan membangun outlet tiap lantai di RS. Metode ini jelas membutuhkan fasilitas dan tenaga farmasi yang lebih banyak, namun pasien lebih mudah dalam memperoleh obatnya. e. Bekerjasama dengan poliklinik (pasien rawat jalan) Instalasi Farmasi RS sebagai salah satu unit bisnis RS. Kerjasama antar unit bisnis di RS menjadi salah satu faktor kunci keberhasilannya terutama adalah dengan poliklinik dan ruangan atau bangsal. Resep yang masuk ke IFRS adalah mayoritas dari poliklinik dan ruangan, sehingga alignment/keselarasan antar unit bisnis ini sangat dibutuhkan dalam upaya meningkatkan keterjaringan resep/pasien RS.
145
BAB VII PENGGUNAAN OBAT
Salah satu faktor penentu keberhasilan pelayanan kefarmasian, dan secara umum pelayanan kesehatan, adalah penggunaan obat yang rasional. WHO memberikan definisi sebagai berikut : pasien menerima obat sesuai dengan kebutuhan kliniknya, pada dosis yang tepat secara individual, waktu pemakaian terukur, dan terjangkau harganya oleh pasien yang bersangkutan, atau masyarakat sekelilingnya (Quick et al, 1997). Secara biomedik, hal itu ditentukan oleh kriteria tepat obat, tepat indikasi, obat sesuai mengenai khasiat, aman, cocok buat pasien yang bersangkutan, murah, tepat dosis, tepat cara pakai, waktu pemakaian, tepat pasien, tepat dispensing (termasuk pemberian informasi dan konseling), dan pasien patuh dan terikat pada tindakan yang dilakukan untuk kepentingannya (Quick et al, 1997). Parameter lain dipublikasikan oleh WHO (1993) yang menyebutkan bahwa penelitian tentang penggunaan obat pada fasilitas kesehatan, penilaian baik/rasional didasarkan pada 3 macam indikator, yang salah satu indikator tersebut mempersyaratkan tentang persentase penggunaan antibiotika, penulisan obat generik, dan kesesuaian dengan formularium rumah sakit/nasional (Zai, 2002). Untuk dapat menuliskan resep yang tepat dan rasional seorang dokter harus memiliki cukup pengetahuan dasar mengenai ilmu-ilmu farmakologi yaitu tentang farmakodinamik, farmakokinetik, dan sifat-sifat fisiko kimia obat yang diberikan. Oleh karena itu dokter memainkan peranan penting dalam proses pelayanan kesehatan khususnya dalam melaksanakan pengobatan melalui pemberian obat
146
kepada pasien. Kejadian penulisan resep yang tidak rasional dilaporkan dalam suatu penelitian oleh Oviave (1989) yaitu 74,3 % disebabkan oleh penulisan resep yang tidak esensial, dalam suatu survey mengenai polifarmasi pada pasien di rumah sakit dilaporkan terjadi insiden efek samping, karena adanya kemungkinan interaksi obat. Yang dimaksud dengan interaksi obat ialah reaksi yang terjadi antara obat dengan senyawa kimia (obat lain atau makanan) di dalam tubuh maupun pada permukaan tubuh yang dapat mempengaruhi kerja obat. Dapat terjadi peningkatan kerja obat, pengurangan kerja obat atau obat sama sekali tidak menimbullkan efek. Interaksi obat yang terjadi di dalam tubuh yaitu interaksi farmakokinetik dan farmakodinamik sering kali lolos dari pengamatan dokter karena kurangnya pengetahuan dari mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat, selain itu kurangnya pengetahuan dokter mengenai farmakologi (farmakodinamik dan farmakokinetik) suatu obat dapat mengakibatkan tidak rasionalnya penulisan resep jika ditinjau dari interaksi obat yang terjadi. Mengingat bahwa masalah penulisan resep yang tidak rasional ini dapat merugikan dan berbahaya bagi pasien Penggunan obat yang tepat dan sesuai pedoman pengobatan akan dapat menunjang optimasi penggunaan dana, serta meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan. Ketepatan penggunaan obat perlu didukung dengan tersedianya jumlah obat yang tepat jenis dan jumlahnya serta dengan mutu yang baik. Terjadinya penggunaan obat yang tidak rasional antara lain disebabkan adanya pemberian pengobatan yang belum didasarakan pada pedoman terapi yang telah ditetapkan, kurangnya sarana penunjang untuk membantu penegakan diagnosa yang tepat, info yang sering bias yang berakibat peresepan obat-obat yang tidak tepat dan tidajk sesuai kebutuhan pengobatan, adanya tekanan dari pasien untuk meresepkan obatobat berdasarkan pilihan pasien sendiri, serta sistem perencanaan obat yang lemah. Pemakaian obat yang tidak rasional merupakan masalah serius dalam pelayanan kesehatan oleh karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi. Di banyak negara, pada berbagai tingkat pelayanan kesehatan, berbagai studi dan temuan telah menunjukkan bahwa pemakaian obat jauh dari keadaan optimal dan rasional. 147
Yang jelas masih banyak hal yang dapat ditingkatkan dalam pemakaian obat umumnya dan khususnya dalam peresepan obat (prescribing).
Dampak Negatif Pemakaian Obat Yang Tidak Rasional Obat adalah sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap untuk digunakan untuk mempengaruhi atau menyedilidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam
rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi. Dengan demikian obat mencakup produk biologi tidak termasuk mencakup obat. Dalam hal ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat diutamakan pada obat esensial, sedangkan dari aspek jaminan mutu diberlakukan pada semua jenis obat.
Dampak negatif pemakaian obat yang tidak rasional sangat luas dan
kompleks seperti halnya faktor-faktor pendorong atau penyebab terjadinya. Tetapi secara ringkas dampak tersebut dapat digambarkan seperti berikut. 1. Dampak terhadap mutu pengobatan dan pelayanan Beberapa kebiasaan peresepan yang tidak rasional akan mempengaruhi mutu pengobatan dan pelayanan secara langsung atau tidak langsung. Secara luas juga dampak negatifnya terhadap upaya penurunan mortalitas dan morbiditas penyakit-penyakit tertentu. Misalnya, kebiasaan untuk selalu memberi antibiotik dan anti diare terhadap kasus-kasus diare akut, tanpa disertai pemberian campuran rehidrasi oral (Oralit) yang memadai, akan berdampak negatif terhadap upaya penurunan mortalitas diare. Juga pemakaian tetrasiklin pada kasus-kasus
faringitis streptokokus (yang
disebabkan oleh kuman Streptokokus beta-hemolitikus) akan berdampak negatif terhadap upaya pencegahan demam rematik oleh karena tetrasiklin bukan obat pilihan untuk faringitis streptokokus. 2. Dampak terhadap biaya pelayanan pengobatan Pemakaian obat-obatan tanpa indikasi yang jelas, untuk kondisikondisi yang sebetulnya tidak memerlukan terapi obat merupakan pemborosan, 148
baik dari sisi pasien maupun sistem pelayanan. Dokter mungkin kurang memperhatikan dampak ekonomi ini, tetapi bagi pasien yang harus membayar atau bagi sistem pelayanan yang harus menanggung ongkos pengobatan, hal ini akan sangat terasa. Kebiasaan peresepan yang terlalu tergantung pada obat-obat dengan nama dagang (branded) yang mahal, jika ada alternatif obat generik dengan mutu dan keamanan yang sama, jelas merupakan beban dalam pembiayaan dan merupakan salah satu bentuk ketidakrasionalan. 3. Dampak terhadap kemungkinan efek samping obat Kemungkinan risiko efek samping obat dapat diperbesar oleh pemakaian obat yang tidak tepat. Ini dapat dilihat secara individual pada masing-masing pasien atau secara epidemiologik dalam populasi. Pemakaian obat yang berlebihan baik dalam jenis (multiple prescribing) maupun dosis (over prescribing) jelas akan meningkatkan risiko terjadinya efek samping. Pemakaian antibiotika secara berlebihan juga dikaitkan dengan meningkatnya resistensi kuman terhadap antibiotik yang bersangkutan dalam populasi (Levy, 1982). Ini mungkin merupakan contoh dampak efek samping yang kurang nyata pada seorang penderita tetapi jelas merupakan konsekuensi serius secara epidemiologik. 4. Dampak psikososial Pemakaian obat secara berlebihan oleh dokter seringkali akan memberikan pengaruh psikologik pada masyarakat. Masyarakat menjadi terlalu tergantung pada terapi obat walaupun intervensi obat belum tentu merupakan pilihan utama untuk kondisi tertentu. Lebih parah lagi kalau kemudian karena terlalu percaya atau tergantung pada intervensi obat, bentuk-bentuk intervensi lain untuk kondisi tertentu tersebut lalu ditinggalkan. Sebagai contoh, karena terlalu percaya bahwa pemakaian obat seperti aspirin secara terus-menerus akan dapat mencegah penyakit jantung koroner, maka profilaksi-profilaksi yang lebih penting terhadap faktor risiko yang sudah jelas misalnya, tidak merokok lantas diabaikan. Atau dalam klinik, karena terlalu percaya pada pemberian 149
profilaksi antibiotika maka tindakan-tindakan aseptik pada pembedahan lalu tidak diperhatikan secara ketat. Beberapa dampak negatif yang diutarakan tersebut mungkin jarang terperhatikan sewaktu dokter menulis resep atau memutuskan pengobatan, tetapi baru akan jelas kalau dikaji secara khusus dan luas. Mungkin masih banyak dampakdampak negatif lain yang belum tercakup, tetapi yang penting adalah bahwa kemungkinan-kemungkinan terjadinya dampak negatif tersebut bukanlah sematamata sesuatu yang teoritis saja.
Ciri Pemakaian Obat Yang Tidak Rasional Seperti diutarakan di muka, secara ringkas dikatakan pemakaian obat tidak rasional kalau manfaat yang didapat tidak sebanding dengan kemungkinan risiko yang disandang pasien atau biaya yang harus dikeluarkan. Tetapi secara lebih luas pemakaian obat yang tidak rasional akan memberikan ciri-ciri umum seperti yang diuraikan berikut, 1.
Pemakaian obat dimana sebenarnya indikasi pemakaiannya secara medik tidak ada atau samar-samar.
2.
Pemilihan obat yang keliru untuk indikasi penyakit tertentu.
3.
Cara pemberian obat, dosis, frekuensi dan lama pemberian yang tidak sesuai.
4.
Pemakaian jenis obat dengan potensi toksisitas atau efek samping lebih besar padahal obat lain yang sama kemanfaatannya (efficacy) dengan potensi efek samping lebih kecil juga ada.
5.
Pemakaian obat-obat mahal padahal alternatif yang lebih murah dengan kemanfaatan dan keamanan yang sama tersedia.
6.
Tidak memberikan pengobatan yang sudah diketahui dan diterima kemanfaatannya dan keamanannya (established efficacy and safety).
7.
Memberikan pengobatan dengan obat-obat yang kemanfaatan dan keamanannya masih diragukan. 150
8.
Pemakaian obat yang semata-mata didasarkan pada pengalaman individual tanpa mengacu kepada sumber-sumber informasi ilmiah yang layak, atau hanya didasarkan pada sumber-sumber informasi yang tidak dapat dipastikan kebenarannya.
9.
Pemakaian obat yang didasarkan pada insting dan intuisi tanpa melihat fakta dan kebenaran ilmiah yang lazim. Ini misalnya terlihat pada dokterdokter yang mengklaim
mempunyai cara-cara inkonvensional dalam
pengobatan. Masih banyak lagi ciri pemakaian obat yang tidak rasional yang tidak kesemuanya dapat diuraikan disini. Ini sedikit banyak akan tergantung pada definisi dan kriteria serta siapa yang menilai ketidakrasionalan tersebut. Masing-masing ciri yang digambarkan di atas tidak berdiri satu-satu secara sendiri-sendiri, tetapi akan saling terkait satu sama lain. Sebagai contoh, di Indonesia sebagian besar (+ 70%) dari pasien-pasien yang datang ke Puskesmas mendapatkan suntikan walau tidak jelas indikasi medik pemberian suntikan tersebut. Bila disimak lebih lanjut tingginya pemakaian suntikan tersebut, bukan hanya indikasinya saja yang secara medik tidak jelas, tetapi juga memenuhi ciri-ciri ketidakrasionalan yang lain seperti diuraikan diatas. Bentuk-bentuk ketidak-rasionalan pemakaian obat juga dapat dikelompokkan seperti berikut (Quick et al, 1997), 1. Peresepan boros (extravagant), yakni peresepan dengan obat-obat yang lebih mahal padahal ada alternatif yang lebih murah dengan manfaat dan keamanan yang sama. Termasuk di sini mestinya adalah peresepan yang terlalu berorientasi ke pengobatan simtomatik sampai mengurangi alokasi obat-obat yang lebih vital. Misalnya pemakaian obat-obat antidiare yang berlebihan dapat menurunkan alokasi untuk oralit yang notabene lebih vital untuk menurunkan mortalitas.
151
2.
Peresepan berlebihan (over prescribing), terjadi bila dosis obat, lama pemberian atau jumlah obat yang diresepkan melebihi ketentuan. Juga peresepan dengan obat-obat yang sebenarnya tidak diperlukan dapat dikategorikan dalam bentuk ketidak-rasionalan ini
3. Peresepan yang salah (incorrect prescribing), mencakup pemakaian obat untuk indikasi yang keliru, diagnosis tepat tetapi obatnya keliru, pemberian obat ke pasien salah. Juga pemakaian obat tanpa memperhitungkan kondisi lain yang diderita bersamaan. 4. Peresepan majemuk (multiple prescribing), yakni pemakaian dua atau lebih kombinasi obat padahal sebenarnya cukup hanya diberikan obat tunggal saja. Termasuk di sini adalah pengobatan terhadap semua gejala yang mungkin tanpa mengarah ke penyakit utamanya. Sebagai contoh, di Puskesmas pasien yang datang rata-rata akan menerima obat lebih dari 4 jenis per episode kunjungan. 5. Peresepan kurang (under prescribing) terjadi kalau obat yang diperlukan tidak diresepkan, dosis tidak cukup atau lama pemberian terlalu pendek. Upaya intervensi dari sisi pengelolaan (managerial) mencakup, a. Perbaikan sistim suplai, yakni dalam proses seleksi dan pengadaan obat, misalnya dengan Daftar Obat Esensial, formularium rumah sakit, penelaahan pemakaian obat (drug utilization review) sebagai umpan balik untuk para penulis resep. b. Sistim peresepan dan dispensing obat, meliputi penyediaan pedoman atau protokol pengobatan di unit pelayanan, formulir resep khusus misalnya dengan blangko R/ maksimal 2, audit terapi, dan lain-lain. Upaya perbaikan dengan pendekatan peraturan atau regulasi (regulatory strategies) kalau intervensi-intervensi tersebut diterapkan melalui aturan-aturan formal. Kelebihan pendekatan ini oleh karena sedikit banyak bersifat mengikat, sedangkan pendekatan pendidikan dan pengelolaan umumnya bersifat persuasif.
152
Sebagai contoh misalnya kebijaksanaan mengenai peresepan generik
(generic
prescribing) yang diharuskan di unit-unit pelayanan pemerintah. Upaya apapun yang diterapkan, untuk mengetahui apakah intervensiintervensi tersebut membawa hasil harus dilakukan evaluasi dengan parameterparameter yang sudah disepakati. Oleh karena sering terjadi, setiap intervensi begitu saja diberikan tanpa ditelaah apakah efektif atau tidak. Kriteria Kerasionalan Suatu pengobatan dikatakan rasional bila memenuhi beberapa kriteria tertentu. Kriteria ini mungkin akan bervariasi tergantung interpretasi masing-masing, tetapi paling tidak akan mencakup hal-hal berikut: a. ketepatan indikasi b. ketepatan pemilihan obat c. ketepatan cara pemakaian dan dosis obat d. ketepatan penilaian terhadap kondisi pasien/dan tindak lanjut efek pengobatan. e. Ketepatan harga f. Waspada terhadap efek samping obat
Indikasi pemakaian obat secara khusus adalah indikasi medik di mana intervensi dengan obat (farmakoterapi) memang diperlukan dan telah diketahui memberikan manfaat terapetik. Pada banyak keadaan, ketidakrasionalan pemakaian obat terjadi oleh karena keperluan intervensi farmakoterapi dan kemanfaatannya tidak jelas. Pertanyaan yang harus dijawab dalam kriteria indikasi ini adalah "Apakah obat diperlukan?". Kalau ya, efek klinik apa yang paling berperan terhadap manfaat terapetik. Hal ini akan menentukan evaluasi terhadap hasil terapi. Kemanfaatan dan keamanan obat sudah terbukti secara pasti. a.
Risiko dari pengobatan dipilih yang paling kecil untuk pasien dan imbang dengan manfaat yang akan diperoleh.
153
b.
Biaya obat paling sesuai untuk alternatif-alternatif obat dengan manfaat dan keamanan yang sama dan paling terjangkau oleh pasien (affordable).
c.
Jenis obat yang paling mudah didapat (available).
d.
Cara pemakaian paling cocok dan paling mudah diikuti pasien.
e.
Sedikit mungkin kombinasi obat atau jumlah jenis obat.
Banyak ketidakrasionalan bersumber pada pemilihan obat-obat dengan manfaat dan keamanan yang samar-samar atau obat-obat yang mahal pada alternatif yang sama dengan harga lebih murah juga tersedia.
Cara pemakaian obat
memerlukan pertimbangan farmakokinetika, yakni: cara pemberian, besar dosis, frekuensi pemberian dan lama pemberian, sampai ke pemilihan cara pemakaian yang paling mudah diikuti oleh pasien dan paling aman serta efektif untuk pasien. Apakah pasien benar-benar memerlukan suntikan? Oleh karena sebagian besar pemberian suntikan yang terjadi umumnya tidak ada indikasi secara jelas, sering tidak memberikan kelebihan manfaat dibandingkan alternatif pemberian lain, lebih besar dibanding per oral. Juga perlu dipertimbangkan di sini adalah kemungkinan terjadinya interaksi bila diberikan obat lebih dari satu. Ketepatan pasien serta penilaiannya mencakup pertimbangan apakah ada kontraindikasi atau adakah kondisi-kondisi khusus
yang memerlukan
penyesuaian dosis secara individual. Apakah ada keadaan yang merupakan faktor konsitusi terjadinya efek samping obat pada penderita. Jika kemudian terjadi efek samping tertentu, bagaimana menentukan dan menanganinya.
Indikator Pemakaian Obat Secara praktis untuk memantau pola penggunaan/peresepan obat secara umum, telah dikembangkan indikator oleh International Network for the Rational Use of Drugs (INRUD) dan WHO (WHO, 1993). Indikator ini dapat dipakai secara cepat untuk menilai pola penggunaan obat di unit pelayanan, membandingkan antar unit,
154
atau dipertimbangkan di sini adalah kemungkinan terjadinya interaksi bila diberikan obat lebih dari satu. menilai perubahan sesudah suatu intervensi. Indikator ini sudah diujicobakan di 12 negara berkembang dan terbukti dapat dipakai untuk tujuan pemantauan tersebut (Hogerzeil et al., 1993). Isi dari indikator dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 14. Core drug use indicators (diambil dari How to Investigate Drug Use in Health Facilities, WHO, 1993) Prescribing indicators
1. Average number of drugs per encounter 2. Percentage of encounters with an antibiotic prescribed 3. Percentage of encounters with an injection prescribed 5. Percentage of drugs prescribed from essential drugs list of formulary.
Patient care indicators
6. Average consultation time 7. Average dispensing time 8. Percentage of drugs actually dispensed 9. Percentage of drugs adequately labelled 10. Patients' knowledge of correct dosage.
Facility indicators
11. Availability of copy of essential drugs list or formulary 12. Availability of key drugs.
Indikator penggunaan dibagi menjadi 3 macam yaitu: 1) Indikator peresepan a. Jumlah rata-rata obat tiap resep.
155
Tujuannya adalah untuk mengukur derajat polifarmasi. Biasanya kombinasi obat
dihitung sebagai satu obat. Perhitungan dilakukan dengan membagi
jumlah total
produk obat yang diresepkan dengan jumlah obat yang
disurvei. b.Persentase obat generik yang diresepkan Tujuannya untuk mengukur kecenderungan peresepan obat generik. Peneliti harus mengetahui kandungan obat yang sebenarnya digunakan dalam resep, bukan hanya nama produk yang diresepkan (karena ada perbedaan antara nama obat dengan jumlah zat aktif yang dikandungnya), dan harus ada daftar obat apa
saja yang termasuk generik.
c. Persentase antibiotik yang diresepkan Indikator persentase resep dengan antibiotik digunakan untuk mengukur penggunaan antibiotik secara berlebihan karena penggunaan antibiotik secara
berlebihan merupakan salah satu bentuk ketidakrasionalan
peresepan. d. Indikator Penggunaan obat yang bertujuan untuk mengukur aspek khusus dari pasien dan penggunaan obat di rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan. Indikator akan memberikan informasi kepada pimpinan unit pelayanan kesehatan
sehingga lebih mendalami tentang penggunaan obat, pola
peresepan, dan aspek
penting lainnya yang dibutuhkan pasien. Hal
tersebut mencerminkan keadaan
karakteristik penting dari pelayanan
kesehatan e. Persentase injeksi yang diberikan ` Tujuannya untuk mengukur penggunaan injeksi yang berlebihan. Dalam hal ini,
imunisasi biasanya tidak dimasukan dalam perhitungan.
f. Persentase obat yang diresepkan dari daftar esensial atau formularium Tujuannya untuk mengukur derajat kesesuaian praktek dengan kebijakan obat nasional yang diindikasikan dengan peresepan daftar obat esensial atau 156
formularium. Sebelumnya, tiap-tiap rumah sakit harus mempunyai kopi daftar obat esensial atau formularium sehingga dapat dijadikan acuan dalam penulisan resep serta dibutuhkan suatu prosedur untuk menentukan apakah merek produk tertentu ekuivalen dengan bentuk generik yang ada pada daftar obat atau formularium.
2) Indikator pelayanan farmasi a. Rata-rata waktu konsultasi b. Rata-rata dispensing time c. Persentase obat yang diberikan d. Persentase kelengkapan label obat e. Pengetahuan pasien akan dosis yang tepat 3) Indikator fasilitas kesehatan a. Ketersediaan copy daftar obat esensial atau formularium b. Ketersediaan obat-obat kunci
Keselamatan Pasien Keselamatan pasien merupakan isu utama akhir – akhir ini baik di Indonesia maupun di luar negeri. Kepedulian praktisi klinis terhadap keselamatan pasien sangat besar, hal ini ditunjukkan dengan pengambilan kebijakan dan melaksanakan berbagai seminar,
workshop
dan
pelatihan–pelatihan
mengenai
patient
safety,
risk
management, clinical audit, patient safety indicators. Rumah sakit sebagai tempat pelayanan kesehatan modern adalah suatu organisasi yang sangat kompleks karena padat modal, padat teknologi, padat karya, padat profesi, padat sistem dan padat mutu serta padat resiko sehingga tidak mengejutkan bila kejadian tidak diinginkan (KTD = adverse event) akan sering terjadi dan akan berakibat pada terjadinya injuri atau kematian pada pasien.
157
Menurut laporan dari institute of medicine (IOM) (1999); To err is human, building a safer health system; di Amerika Serikat diproyeksikan terjadi 44.000 sampai dengan 98.000 kematian setiap tahun akibat dari medical error yang sebenarnya dapat dicegah, angka ini hampir empat kali lipat dari kematian akibat kecelakaan lalu lintas. Laporan dari IOM tersebut mengejutkan banyak kalangan dunia kesehatan, bagamana bisa terjadi? padahal sejak masa sebelum masehi, Hippocrates (bapak kedokteran modern) pernah mengungkapkan “ Primum non nocere” atau “First, do no harm” (melayani tanpa harus membahayakan). Karena itu sejak ada laporan IOM tersebut berbagai Negara mulai mengembangkan suatu gerakan yang disebut sebagai Patient Safety (Keselamatan Pasien). Lembaga kesehatan dunia (WHO) mendirikan lembaga World Alliance for Patient Safety baru pada tahun 2004 dan Indonesia mulai gerakan keselamatan pasien ini pada tahun 2005 yaitu dengan didirikannya Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) pada tanggal 1 Juni 2005 dan dicanangkannya gerakan Keselamatan Pasien secara nasional oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada tanggal 21 Agustus 2005. Banyaknya jenis obat, jenis pemeriksaan dan prosedur, serta jumlah pasien dan staf Rumah Sakit yang cukup besar, merupakan hal yang potensial bagi terjadinya kesalahan medis (medical errors). Menurut Institute of Medicine (1999), medical error didefinisikan sebagai: The failure of a planned action to be completed as intended (i.e., error of execusion) or the use of a wrong plan to achieve an aim (i.e., error of planning). Kesalahan yang terjadi dalam proses pelayanan medis ini akan mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien, bisa berupa Near Miss atau Adverse Event (Kejadian Tidak Diharapkan/KTD). Near Miss atau Nyaris Cedera (NC) merupakan suatu kejadian akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), yang dapat mencederai pasien, tetapi cedera serius tidak terjadi, karena keberuntungan (misalnya : pasien terima suatu obat kontra 158
indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat), pencegahan (suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan, tetapi staf farmasi mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan), dan peringanan (suatu obat dengan overdosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan antidotenya). Adverse Event atau Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) merupakan suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), dan bukan karena “underlying disease” atau kondisi pasien.
Gambar 13. Dampak medication error Pengertian Patient Safety Patient Safety atau keselamatan pasien adalah suatu sistem yang membuat pelayanan pasien di rumah sakit menjadi lebih aman. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Keselamatan pasien adalah reduksi dan meminimalkan tindakan yang tidak aman dalam sistem pelayanan
159
kesehatan sebisa mungkin melalui pratik yang terbaik untuk mencapai luaran klinis yang optimum. Patient Safety menurut Quality Interagency Coordination Task Force adalah Upayaupaya yang dirancang untuk mencegah “adverse outcomes sebagai akibat “clinical error” Tiga kegiatan yang saling melengkapi dalam mewujudkan keselamatan pasien, yaitu: a. Preventing errors (mencegah errors) b. Making errors visible (membuat errors mudah dilihat) c. Mitigating the effects of errors (meminimalkan akibat dari errors) Dalam kenyataannya masalah medical error dalam sistem pelayanan kesehatan mencerminkan fenomena gunung es, karena yang terdeteksi umumnya adalah adverse event yang ditemukan secara kebetulan saja. Sebagian besar yang lain cenderung tidak dilaporkan, tidak dicatat, atau justru luput dari perhatian kita semua.
Gambar 14. Reason’s Adapted Organisational Accident Causation Model
160
Kesalahan dapat terjadi dalam tahap : 1. Diagnostik a. Kesalahan atau keterlambatan diagnosa b. Tidak menerapkan pemeriksaan yang sesuai c. Menggunakan cara pemeriksaan yang sudah tidak dipakai d. Tidak bertindak atas hasil pemeriksaan atau observasi 2. Pengobatan a. Kesalahan pada prosedur pengobatan b. Kesalahan pada pelaksanaan terapi c. Kesalahan metode penggunaan obat d. Keterlambatan merespon hasil pemeriksaan e. Asuhan yang tidak layak 3. Preventive a. Tidak memberikan terapi profilaksis b. Monitor dan follow up yang tidak adekua 4. Lain-lain : a. Kegagalan berkomunikasi b. Kegagalan alat c. Kegagalan sistem lain
161
Gambar 15. Faktor penyebab terjadinya medication error Tujuan Patient Safety Tujuan “Patient safety” adalah 1.
Terciptanya budaya keselamatan pasien di RS
2.
Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat
3.
Menurunnya KTD di RS
4.
Terlaksananya
program-program
pencegahan
pengulangan KTD
162
sehingga
tidak
terjadi
Gambar 16. Human Error Types : Review
Penyebab terjadinya KTD = Adverse event (Reason, 1997): 1. Tindakan yang tidak aman (unsafe act): a.
Human error § Slips
: Error sebagai akibat kurang/ teralihnya perhatian atau salah persepsi
§ Lapses
: Error yang terkait dengan kegagalan memori lupa/tidak ingat
§ Mistakes
: Kesalahan yang terkait dengan proses mental dalam assessment informasi yang terjadi, kesalahan dalam merencanakan asuhan, kesalahan
dalam
menetapkan
tujuan,
mengambil keputusan klinis. b.
Violation (pelanggaran) .e.g aborsi tanpa indikasi medis
c.
Sabotase (Sabotase). E.g. : Mogok kerja.
163
kesalahan
dalam
2. Kondisi laten a.
Sistem yang kurang tertata yang menjadi predisposisi terjadinya error. e.g: SOP tidak jelas, tata ruang yang tidak jelas.
b.
Sumber daya yang tidak memenuhi persyaratan. (mal praktek) e.g.: Termometer yang hanya punya satu untuk banyak pasien, dokter umum melakukan Caesar/ appendektomi. Dalam patient safety ditanamkan non blaming culture. Contoh bayi tertukar, Di
Negara kita masih bertanya, siapa yang jaga kemarin? Seharusnya yang menjadi pertanyaan, mengapa hal ini bisa terjadi?. Dampak KTD terhadap pasien, ialah : a. Aspek keuangan b. Meningkatnya potensi terjadinya Medical error c. Meningkatnya hazard exposure d. Kehilangan kepercayaan Structure and hazard. Contoh: naik pesawat itu hazard. Sehingga kita punya risiko untuk jatuh. Upaya untuk menghilangkan atau meminimalkan risiko dapat dengan melakukan Risk management yaitu upaya-upaya yang dilakukan organisasi yang dirancang untuk mencegah cedera pada pasien untuk meminimalkan kehilangan financial sebagai akibat adverse outcome. Risiko adalah kemungkinan bahaya, kehilangan atau cedera dalam system pelayann kesehatan. Apa yang dilakuan, yaitu : correction (sesudah terjadi) dengan menggunakan RCA (Analisis akar penyebab Root Cause Analysis), corrective actions, preventive actions (sebelum terjadi) dengan menggunakan FMEA (Failure mode and effect analysis). Risk Management safety merupakan identifkasi
164
dari kelemahan sautu system dan memperbaiki system tersebut untuk mencegah harm, dengan tujuan safety.
Gambar 17. Risk Management Safety
Gambar 18. Tahapan Risk Management Process
165
Tahapan-tahapan risk managemen process/ adverse event management process (hunter area health service clinical governance unit, August, 2003) 1. Risk identification –audits, complaints, claims and incidents 2. Risk analysis – saverty analysis (RCA dan FMEA) 3. Risk evaluation – risk registers action plan 4. Risk treatment – eliminate or minimize risk 5. Ongoing monitoring – Review the effectiveness of investigations and actors 6. Communication – communicate risks and the outcomeof investigations Identifikaasi risiko
Analisis risiko
Evaluasi risiko
Perlakuan terhadap resiko
Monitoring berkesinambungan
Komunikasi Gambar 19. Proses manajemen KTD Terdapat bermacam-macam masalah yang dihadapi. Diperlukan saverty assessment : untuk menentukan apakah hal tersebut;
166
(1) extreme risk, (2) high risk, (3) moderate risk, (4) low risk. Tergantung dari: 1. Saverity a. ekstrim, b. Major c. moderate d. minor e. minimal 2. Probabilitas a. Frequent (setiap minggu), b. Propable, (beberapa kali dalam setahun) c. Possible, d. Uncommon e. Rare
167
Gambar 20. Kajian kegawatan dalam Medication error Tabel 15. Tingkat kegawatan dan frekuensi terjadinya medication error Kegawatan
Kemungkinan
Sangat sering Kemungkinan besar Mungkin Sepertinya tidak akan Sangat kecil
Sangat Gawat
Tidak Gawat
Sedang
Begitu Gawat
Tidak Gawat
1
1
2
2
3
1
1
2
3
3
1
2
2
3
4
1
2
3
4
4
2
3
3
4
4
1 = Extreme risk
3 = moderate risk
2 = high risk
4 = low ris
168
Analisis akar penyebab menggunakan Root Cause Analysis (RCA). Langkah-langkah yang dilakukan dalam RCA: 1.
Investigasi kejadian a.
Menentukan masalah,
b.
Mengumpulkan bukti-bukti yang nyata,
c.
Melakukan wawancara,
d.
Meneliti lingkungan kejadian,
e.
Mengenali faktor-faktor yang berkontribusi terhadap timbulnya kejadian,
f.
Menggambarkan rantai terjadinya kejadian
2. Rekonstruksi kejadian a.
Mengenali kejadian-kejadian yang mengawali terjadinya adverse event ataupun near miss,
b.
Melakukan analisis dengan menggunakan pohon masalah untuk mengetahui kegiatan atau kondisi yang menyebabkan timbul kejadian,
c.
Lanjutkan sehingga dapat dikenali sistem yang melatarbelakangi timbulnya kejadian atau sampai tidak beralasan lagi untuk melanjutkan
3. Analisis penyebab a. Mengidentifikasi akar-akar penyebab, b. merumuskan pernyataan akar masalah 4. melakukan penyusunan rencana tindakan Menetapkan strategi yang tepat untuk mengatasi penyebab yang diidentifikasi, dan dapat diterima oleh pihak yang terkait dengan kejadian. 5. Rencana tindakan disusun untuk tiap akar penyebab kejadian dan pengukuran untuk menilai efektifitas tindakan terhadap akar penyebab Dapatkan persetujuan dari kepemimpinan dalam Organisasi 6. Melakukan pencatatan dan pelaporan a. mencatat proses dan alat yang digunakan
169
b. menghitung biaya yang dibutuhkan c. membuat ringkasan kejadian d. melakukan proses investigasi dan analisis e. menghasilkan temuan/kesimpulan Tabel 16. Dua puluh satu tahap dalam RCA
Failure mode and effect analysis (FMEA); FMEA merupakan Suatu alat mutu untuk mengkaji suatu prosedur secara rinci, dan mengenali model-model adanya kegagalan/kesalahan pada suatu
prosedur,
melakukan
penilaian
terhadap
tiap
model
kesalahan/kegagalan, dengan mencari penyebab terjadinya, mengenali akibat dari kegagalan/kesalahan, dan mencari solusi dengan melakukan perubahan disain/prosedur.
170
Langkah-langkah FMEA, meliputi : a. membentuk tim FMEA: orang-orang yang terlibat dalam suatu proses b. menetapkan tujuan, keterbatasan, dan jadwal tim c. menetapkan peran dari tiap anggota tim d. menggambarkan alur proses yang ada sekarang e. mengenali Failure modes pada proses tersebut f. mengidentifikasi penyebab terjadinya failure untuk tiap model kesalahan/kegagalan g. menentukan apa akibat dari adanya failure untuk tiap model kesalahan/kegagalan h. melakukan penilaian untuk tiap model kesalahan/kegagalan: 1) Sering tidaknya terjadi (occurrence): (Occ) 0 : tidak pernah, 10 sangat sering 2) Kegawatannya (severity): (SV) 0 : tidak gawat, 10 sangat gawat 3) Kemudahan untuk terdeteksi: (DT) 0 : mudah dideteksi, 10 : sangat sulit dideteksi i. menghitung Risk Priority Number (RPN) dengan mengkalikan: Occ x SV x DT j. menentukan batasan (cut-off point) RPN yang termasuk prioritas k. menentukan kegiatan untuk mengatasi (design action/solution) l. menentukan cara memvalidasi apakah solusi tersebut berhasil m. menggambarkan alur yang baru dengan adanya solusi tersebut Langkah-Langkah Pelaksanaan Patient Safety Pelaksanaan “Patient safety” meliputi 1. Sembilan solusi keselamatan Pasien di RS (WHO Collaborating Centre for Patient Safety, 2007), yaitu:
171
1)
memperhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip (look-alike, soundalike medication names)
2)
memastikan identifikasi pasien
3)
melakukan komunikasi secara benar saat serah terima pasien
4)
memastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar
5)
Kendalikan cairan elektrolit pekat
6)
Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan
7)
Hindari salah kateter dan salah sambung slang
8)
Gunakan alat injeksi sekali pakai
9)
Tingkatkan kebersihan tangan untuk pencegahan infeksi nosokomial.
2. Tujuh Standar Keselamatan Pasien (mengacu pada “Hospital Patient Safety Standards” yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of Health Organizations, Illinois, USA, tahun 2002) ,yaitu: 1.
Hak pasien Standarnya adalah Pasien dan
keluarganya mempunyai hak untuk
mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak Diharapkan). Kriterianya adalah: 1)
Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan
2)
Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan
3)
Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan yang jelas dan benar kepada pasien dan keluarga tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya KTD
2.
Mendidik pasien dan keluarga
172
Standarnya adalah RS harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan
tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.Kriterianya
adalah: Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dgn keterlibatan pasien adalah partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di RS harus ada system dan mekanisme mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan
tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.Dengan
pendidikan tersebut diharapkan pasien dan keluarga dapat:
3.
1)
Memberikan info yg benar, jelas, lengkap dan jujur
2)
Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab
3)
Mengajukan pertanyaan untuk hal yg tdk dimengerti
4)
Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan
5)
Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan RS
6)
Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa
7)
Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati
Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan Standarnya adalah RS menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan. Kriterianya adalah: 1)
Koordinasi pelayanan secara menyeluruh
2)
Koordinasi pelayanan disesuaikan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya
4.
3)
Koordinasi pelayanan mencakup peningkatan komunikasi
4)
Komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan
Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien Standarnya adalah RS harus mendesign proses baru atau memperbaiki proses yg ada, memonitor dan
mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, 173
menganalisis secara intensif KTD, dan
melakukan perubahan untuk
meningkatkan kinerja serta Keselamatan Pasien (KP). Kriterianya adalah: 1)
Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (design) yang baik, sesuai dengan ”Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”.
2)
Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja
3)
Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif
4)
Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis
5.
Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien Standarnya adalah 1)
Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program KP melalui penerapan “7 Langkah Menuju KP RS ”.
2)
Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif identifikasi risiko KP dan program mengurangi KTD.
3)
Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang KP
4)
Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan
meningkatkan kinerja RS serta
meningkatkan KP. 5)
Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja RS dan KP.
Kriterianya adalah 1)
Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.
174
2)
Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program meminimalkan insiden,
3)
Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi
4)
Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.
5)
Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan insiden,
6) 7)
Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan antar pengelola pelayanan
8)
Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan
9)
Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien Standarnya adalah 1)
RS memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan KP secara jelas.
2)
RS menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan
memelihara kompetensi staf serta
mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien. Kriterianya adalah 1)
Memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik keselamatan pasien
175
2)
Mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan inservice training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden.
3)
Menyelenggarakan (teamwork)
guna
pelatihan mendukung
tentang
kerjasama
pendekatan
kelompok
interdisiplin
dan
kolaboratif dalam rangka melayani pasien.
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien. Standarnya adalah 1)
RS merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi KP untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal.
2)
Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.
Kriterianya adalah 1)
Disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan keselamatan pasien.
2)
Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi manajemen informasi yang ada
3. Tujuh langkah menuju keselamatan pasien RS (berdasarkan KKP-RS No.001-VIII-2005) sebagai panduan bagi staf Rumah Sakit 1.
Bangun kesadaran akan nilai keselamatan Pasien, “ciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil” Bagi Rumah sakit:
176
a.
Kebijakan: tindakan staf segera setelah insiden, langkah kumpul fakta, dukungan kepada staf, pasien, keluarga
b.
Kebijakan: peran dan akuntabilitas individual pada insiden
c.
Tumbuhkan budaya pelaporan dan belajar dari insiden
d.
Lakukan asesmen dg menggunakan survei penilaian KP Bagi Tim:
a.
Anggota mampu berbicara, peduli dan berani lapor bila ada insiden
b.
Laporan terbuka dan
terjadi proses pembelajaran serta pelaksanaan
tindakan/solusi yg tepat Pimpin dan dukung staf anda, “bangunlah komitmen dan fokus yang kuat dan
2.
jelas tentang KP di RS anda” Bagi Rumah Sakit: a.
Ada anggota Direksi yg bertanggung jawab atas KP
b.
Di bagian-bagian ada orang yg dapat menjadi “Penggerak” (champion) KP
c.
Prioritaskan KP dlm agenda rapat Direksi/Manajemen
d.
Masukkan KP dlm semua program latihan staf Bagi Tim:
a.
Ada “penggerak” dlm tim utk memimpin Gerakan KP
b.
Jelaskan relevansi dan pentingnya, serta manfaat gerakan KP
c.
Tumbuhkan sikap ksatria yg menghargai pelaporan insiden Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko, “kembangkan sistem dan
3.
proses
pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi dan asesment hal yg potensial bermasalah” Bagi Rumah Sakit: a.
Struktur dan proses manajemen risiko klinis dan non klinis, mencakup KP
b.
Kembangkan indikator kinerja bagi sistem pengelolaan risiko
177
c.
Gunakan informasi dari sistem pelaporan insiden dan asesmen risiko dan tingkatkan kepedulian terhadap pasien
Bagi Tim: a.
Diskusi isu KP dalam forum-forum, untuk umpan balik kepada manajemen terkait
b.
Penilaian risiko pada individu pasien
c.
Proses asesmen risiko teratur, tentukan akseptabilitas tiap risiko, dan langkah memperkecil risiko tersaebut.
4. Kembangkan sistem pelaporan, “pastikan staf Anda agar dengan mudah dapat melaporkan kejadian/insiden serta RS mengatur pelaporan kepada KKP-RS” Bagi Rumah sakit: Melengkapi rencana implementasi sistem pelaporan insiden, ke dalam maupun ke luar yg harus dilaporkan ke KKPRS – PERSI Bagi Tim: Dorong anggota utk melaporkan setiap insiden dan insiden yg telah dicegah tetapi tetap terjadi juga, sbg bahan pelajaran yg penting 5. Melibatkan
dan
berkomunikasi
dengan
pasien,
“kembangkan
cara-cara
komunikasi yg terbuka dengan pasien” Bagi Rumah Sakit a.
Kebijakan : komunikasi terbuka tentang insiden dengan pasien dan keluarga
b.
Pasien dan keluarga mendapat informasi bila terjadi insiden
c.
Dukungan pelatihan dan dorongan semangat kepada staf agar selalu terbuka kepada pasien dan keluarga. (dlm seluruh proses asuhan pasien
Bagi Tim: a.
Menghargai dan mendukung keterlibatan pasien dan keluarga bila telah terjadi insiden
b.
Prioritaskan pemberitahuan kepada pasien dan keluarga bila terjadi insiden
c.
Segera setelah kejadian, menunjukkan empati kepada pasien dan keluarga
178
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang Keselamatan pasien, “dorong staf anda utk melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa kejadian itu timbul” Bagi Rumah Sakit: a.
Staf terlatih mengkaji insiden secara tepat, mengidentifikasi sebab
b.
Kebijakan: kriteria pelaksanaan Analisis Akar Masalah (Root Cause Analysis/RCA) atau Failure Modes dan Effects Analysis (FMEA) atau metoda analisis lain, mencakup semua insiden dan minimum 1 x per tahun utk proses risiko tinggi
Bagi Tim: a.
Diskusikan dalam tim pengalaman dari hasil analisis insiden
b.
Identifikasi bagian lain yang mungkin terkena dampak dan bagi pengalaman tersebut
7. Cegah cedera melalui implementasi system Keselamatan pasien, “Gunakan informasi yg ada tentang kejadian / masalah utk melakukan perubahan pada sistem pelayanan” Bagi Rumah Sakit: a.
Menentukan solusi dengan informasi dari sistem pelaporan, asesmen risiko, kajian insiden, audit serta analisis
b.
Solusi mencakup penjabaran ulang sistem, penyesuaian pelatihan staf dan kegiatan klinis, penggunaan instrumen yg menjamin KP
c.
Asesmen risiko untuk setiap perubahan
d.
Sosialisasikan solusi yang dikembangkan oleh KKPRS-PERSI
e.
Umpan balik kpd staf tentang setiap tindakan yang diambil atas insiden
Bagi Tim: a.
Kembangkan asuhan pasien menjadi lebih baik dan lebih aman
b.
Telaah perubahan yang dibuat tim dan pastikan pelaksanaannya
c.
Umpan balik atas setiap tindak lanjut tentang insiden yang dilaporkan
179
LANGKAH LANGKAH KEGIATAN PELAKSANAAN PATIENT SAFETY ADALAH a. Di Rumah Sakit 1. Rumah sakit agar membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit, dengan susunan organisasi sebagai berikut: Ketua: dokter, Anggota: dokter, dokter gigi, perawat, tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan lainnya. 2. Rumah sakit agar mengembangkan sistem informasi pencatatan dan pelaporan internal tentang insiden 3. Rumah sakit agar melakukan pelaporan insiden ke Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) secara rahasia 4. Rumah Sakit agar memenuhi standar keselamatan pasien rumah sakit dan menerapkan tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit. 5. Rumah
sakit
pendidikan
mengembangkan
standar
pelayanan
medis
berdasarkan hasil dari analisis akar masalah dan sebagai tempat pelatihan standar-standar yang baru dikembangkan. b. Di Provinsi/Kabupaten/Kota 1. Melakukan advokasi program keselamatan pasien ke rumah sakit-rumah sakit di wilayahnya 2. Melakukan advokasi ke pemerintah daerah agar tersedianya dukungan anggaran terkait dengan program keselamatan pasien rumah sakit. 3. Melakukan pembinaan pelaksanaan program keselamatan pasien rumah sakit
c. Di Pusat 1.
Membentuk komite keselamatan pasien Rumah Sakit dibawah Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia
2.
Menyusun panduan nasional tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit
3.
Melakukan sosialisasi dan advokasi program keselamatan pasien ke Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota, PERSI Daerah dan rumah sakit pendidikan dengan jejaring pendidikan. 180
4.
Mengembangkan laboratorium uji coba program keselamatanpasien. Selain itu, menurut Hasting, 2006, ada delapan langkah yang bisa dilakukan
untuk mengembangkan budaya Patient safety ini
1. Put the focus back on safety Setiap staf yang bekerja di RS pasti ingin memberikan yang terbaik dan teraman untuk pasien. Tetapi supaya keselamatan pasien ini bisa dikembangkan dan semua staf merasa mendapatkan dukungan, patient safety ini harus menjadi prioritas strategis dari rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan lainnya. Empat CEO RS yang terlibat dalam safer patient initiatives di Inggris mengatakan bahwa tanggung jawab untuk keselamatan pasien tidak bisa didelegasikan dan mereka memegang peran kunci dalam membangun dan mempertahankan fokus patient safety di dalam RS.
2. Think small and make the right thing easy to do Memberikan pelayanan kesehatan yang aman bagi pasien mungkin membutuhkan langkah-langkah yang agak kompleks. Tetapi dengan memecah kompleksitas ini dan membuat langkah-langkah yang lebih mudah mungkin akan memberikan peningkatan yang lebih nyata.
3. Encourage open reporting Belajar dari pengalaman, meskipun itu sesuatu yang salah adalah pengalaman yang berharga. Koordinator patient safety dan manajer RS harus membuat budaya yang mendorong pelaporan. Mencatat tindakan-tindakan yang membahayakan pasien sama pentingnya dengan mencatat tindakan-tindakan yang menyelamatkan pasien. Diskusi terbuka mengenai insiden-insiden yang terjadi bisa menjadi pembelajaran bagi semua staf.
4. Make data capture a priority 181
Dibutuhkan sistem pencatatan data yang lebih baik untuk mempelajari dan mengikuti perkembangan kualitas dari waktu ke waktu. Misalnya saja data mortalitas. Dengan perubahan data mortalitas dari tahun ke tahun, klinisi dan manajer bisa melihat bagaimana manfaat dari penerapan patient safety.
5. Use systems-wide approaches Keselamatan pasien tidak bisa menjadi tanggung jawab individual. Pengembangan hanya bisa terjadi jika ada sistem pendukung yang adekuat. Staf juga harus dilatih dan didorong untuk melakukan peningkatan kualitas pelayanan dan keselamatan terhadap pasien. Tetapi jika pendekatan patient safety tidak diintegrasikan secara utuh kedalam sistem yang berlaku di RS, maka peningkatan yang terjadi hanya akan bersifat sementara.
6. Build implementation knowledge Staf juga membutuhkan motivasi dan dukungan untuk mengembangkan metodologi, sistem berfikir, dan implementasi program. Pemimpin sebagai pengarah jalannya program disini memegang peranan kunci. Di Inggris, pengembangan mutu pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien sudah dimasukkan ke dalam kurikulum kedokteran dan keperawatan, sehingga diharapkan sesudah lulus kedua hal ini sudah menjadi bagian dalam budaya kerja.
7. Involve patients in safety efforts Keterlibatan pasien dalam pengembangan patient safety terbukti dapat memberikan pengaruh yang positif. Perannya saat ini mungkin masih kecil, tetapi akan terus berkembang. Dimasukkannya perwakilan masyarakat umum dalam komite keselamatan pasien adalah salah satu bentuk kontribusi aktif dari masyarakat (pasien). Secara sederhana pasien bisa diarahkan untuk menjawab ketiga pertanyaan berikut: apa masalahnya? Apa yang bisa kubantu? Apa yang tidak boleh kukerjakan? 182
8. Develop top-class patient safety leaders Prioritisasi keselamatan pasien, pembangunan sistem untuk pengumpulan data-data berkualitas tinggi, mendorong budaya tidak saling menyalahkan, memotivasi staf, dan melibatkan pasien dalam lingkungan kerja bukanlah sesuatu hal yang bisa tercapai dalam semalam. Diperlukan kepemimpinan yang kuat, tim yang kompak, serta dedikasi dan komitmen yang tinggi untuk tercapainya tujuan pengembangan budaya patient safety. Seringkali RS harus bekerja dengan konsultan leadership untuk mengembangkan kerjasama tim dan keterampilan komunikasi staf. Dengan kepemimpinan yang baik, masing-masing anggota tim dengan berbagai peran yang berbeda bisa saling melengkapi dengan anggota tim lainnya melalui kolaborasi yang erat.
Aspek Hukum Terhadap Patient Safety Aspek hukum terhadap “patient safety” atau keselamatan pasien adalah sebagai berikut UU Tentang Kesehatan dan UU Tentang Rumah Sakit 1.
Keselamatan Pasien sebagai Isu Hukum
a.
Pasal 53 (3) UU No.36/2009
“Pelaksanaan Pelayanan kesehatan harus mendahulukan keselamatan nyawa pasien.” b.
Pasal 32n UU No.44/2009
“Pasien berhak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit. c.
Pasal 58 UU No.36/2009
1)
“Setiap orang berhak menuntut terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam Pelayanan kesehatan yang diterimanya.”
183
“…..tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan
2)
penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.” 2.
Tanggung jawab Hukum Rumah sakit
a.
Pasal 29b UU No.44/2009
”Memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit.” b.
Pasal 46 UU No.44/2009
“Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di RS.” c.
Pasal 45 (2) UU No.44/2009
“Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia.” 3.
Bukan tanggung jawab Rumah Sakit
Pasal 45 (1) UU No.44/2009 Tentang Rumah sakit “Rumah Sakit Tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang kompresehensif. “ 4.
Hak Pasien
a.
Pasal 32d UU No.44/2009
“Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional” b.
Pasal 32e UU No.44/2009
“Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi” c.
Pasal 32j UU No.44/2009
184
“Setiap pasien mempunyai hak tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan” d.
Pasal 32q UU No.44/2009
“Setiap pasien mempunyai hak menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana” 5.
Kebijakan yang mendukung keselamatan pasien
Pasal 43 UU No.44/2009 1)
RS wajib menerapkan standar keselamatan pasien
2)
Standar
keselamatan
pasien
dilaksanakan
melalui
pelaporan
insiden,
menganalisa, dan menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan. 3)
RS melaporkan kegiatan keselamatan pasien kepada komite yang membidangi keselamatan pasien yang ditetapkan oleh menteri
4)
Pelaporan insiden keselamatan pasien dibuat secara anonym dan ditujukan untuk mengoreksi system dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien. Pemerintah bertanggung jawab mengeluarkan kebijakan tentang keselamatan
pasien. Keselamatan pasien yang dimaksud adalah suatu system dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. System tersebut meliputi: a.
Assessment risiko
b.
Identifikasi dan pengelolaan yang terkait resiko pasien
c.
Pelaporan dan analisis insiden
d.
Kemampuan belajar dari insiden
e.
Tindak lanjut dan implementasi solusi meminimalkan resiko
Manajemen Patient Safety Pelaksanaan Patient Safety ini dilakukan dengan system Pencacatan dan Pelaporan serta Monitoring san Evaluasi. 185
Sistem Pencacatan Dan Pelaporan Pada Patient Safety a. Di Rumah Sakit 1.
Setiap unit kerja di rumah sakit mencatat semua kejadian terkait dengan keselamatan pasien (Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Diharapkan dan Kejadian Sentinel) pada formulir yang sudah disediakan oleh rumah sakit.
2.
Setiap unit kerja di rumah sakit melaporkan semua kejadian terkait dengan keselamatan pasien (Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Diharapkan dan Kejadian Sentinel) kepada Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit pada formulir yang sudah disediakan oleh rumah sakit.
3.
Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit menganalisis akar penyebab masalah semua kejadian yang dilaporkan oleh unit kerja
4.
Berdasarkan hasil analisis akar masalah maka Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit merekomendasikan solusi pemecahan dan mengirimkan hasil solusi pemecahan masalah kepada Pimpinan rumah sakit.
5.
Pimpinan rumah sakit melaporkan insiden dan hasil solusi masalah ke Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) setiap terjadinya insiden dan setelah melakukan analisis akar masalah yang bersifat rahasia.
b. Di Propinsi Dinas Kesehatan Propinsi dan PERSI Daerah menerima produk-produk dari Komite Keselamatan Rumah Sakit c. Di Pusat 1. Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) merekapitulasi laporan dari rumah sakit untuk menjaga kerahasiaannya 2. Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) melakukan analisis yang telah dilakukan oleh rumah sakit 3. Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) melakukan analisis laporan insiden bekerjasama dengan rumah sakit pendidikan dan rumah sakit yang ditunjuk sebagai laboratorium uji coba keselamatan pasien rumah sakit 186
4. Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) melakukan sosialisasi hasil analisis dan solusi masalah ke Dinas Kesehatan Propinsi dan PERSI Daerah, rumah sakit terkait dan rumah sakit lainnya.
Monitoring Dan Evaluasi a. Di Rumah sakit Pimpinan Rumah sakit melakukan monitoring dan evaluasi pada unit-unit kerja di rumah sakit, terkait dengan pelaksanaan keselamatan pasien di unit kerja b. Di propinsi Dinas Kesehatan Propinsi dan PERSI Daerah melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan Program Keselamatan Pasien Rumah Sakit di wilayah kerjanya c. Di Pusat 1.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan Keselamatan Pasien Rumah Sakit di rumah sakit-rumah sakit
2.
Monitoring dan evaluasi dilaksanakan minimal satu tahan satu kali.
187
BAB VIII INDIKATOR PENGELOLAAN OBAT
Untuk mengukur pencapaian standar yang telah ditetapkan diperlukan indikator, suatu alat/tolok ukur yang hasil menunjuk pada ukuran kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan. Makin sesuai yang diukur dengan indikatornya, makin sesuai pula hasil suatu pekerjaan dengan standarnya. Indikator dibedakan menjadi : 1) Indikator persyaratan minimal yaitu indikator yang digunakan untuk mengukur terpenuhi tidaknya standar masukan, proses, dan lingkungan. 2) Indikator penampilan minimal yaitu indikator yang ditetapkan untuk mengukur tercapai tidaknya standar penampilan minimal pelayanan yang diselenggarakan.
Indikator atau kriteria yang baik sebagai berikut : 1) Sesuai dengan tujuan 2) Informasinya mudah didapat 3) Singkat, jelas, lengkap dan tak menimbulkan berbagai interpretasi 4) Rasional (DepKes, 2004) Indikator pengelolaan obat menurut DepKes RI Menurut Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI 2008 tentang Pedoman pengelolaan perbekalan farmasi di rumah sakit, salah satu upaya untuk terus mempertahankan mutu pengelolaan perbekalan farmasi di rumah sakit adalah dengan melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi (monev). Kegiatan ini juga bermanfaat sebagai masukan guna penyusunan perencanaan dan pengambilan keputusan. Tujuan dari monev ini adalah meningkatkan produktivitas para pengelola perbekalan farmasi di RS agar dapat ditingkatkan secara optimum. Indikator yang
188
dapat digunakan dalam melakukan monev pengelolaan perbekalan farmasi antara lain: 1. Alokasi dana pengadaan Dana
pengadaan
adalah
besarnya
dana
pengadaan
obat
yang
disediakan/dialokasikan oleh pihak RS untuk memenuhi kebutuhan obat pelayanan kesehatan di RS tersebut. Data dikumpulkan dari dokumen yang ada di RS berupa total dana pengadaan obat, dan kebutuhan dana pengadaan obat yang sesuai dengan kebutuhan RS. Total dana pengadaan obat adalah seluruh anggaran pengadaan obat uang berasal dari semua sumber anggaran. Idealnya, dana pengadaan obat yang disediakan sesuai dengan kebutuhan sebenarnya. Cara menghitung :
2. Biaya obat per kunjungan kasus penyakit Adalah besaran dana yang tersedia untuk setiap kunjungann kasus. Data dikumpulkan dari dokumen yang ada di RS berupa total dna pengadaan, serta jumlah kunjungan kasus yang didapatkan dari kompilasi rekam medik. Dengan diketahuinya standar biaya obat per kunjungan kasus dapat menjadi pedoman dalam penetapan alokasi dana pengadaan obat di tahun-tahun mendatang. Idealnya,
biaya
obat
yang
dialokasikan
per
kunjungan
kasus
harus
memperhatikan parameter jumlah kunjungan kasus. Cara menghitung :
3. Biaya obat per kunjungan resep Merupakan besaran dana yang dibutuhkan untuk setiap resep (digunakan pada waktu perencaaan obat) dan besaran dana yang tersedia untuk setiap resep (digunakan setelah turunnya alokasi dana pengadaan obat). Dengan diketahuinya
189
biaya obat per resep dapat menjadikan pedoman dalam penetapan alokasi dana pengadaan obat di tahun-tahun mendatang. Idealnya, besarnya dana yang disediakan harus memasukkan parameter jumlah resep. Cara menghitung :
4. Ketepatan perencanaan Merupakan perencanaan kebutuhan nyata obat untuk RS dibagi dengan pemakaian obat per tahun. Data dikumpulkan dari dokumen yang ada di instalasi farmasi RS berupa : jumlah atau kuantum perencanaan kebutuhan obat dalam satu tahun dan pemakaian rata-rata obat per bulan di RS yang didapatkan dari laporan rekam medik. Tetapkan indikato untuk RS yang dibuat dengan pertimbangan obat yang digunakan untuk penyakit terbanyak. Idealnya, perencaaan kebutuhan adalah 100% dari kebutuhan baik jumlah dan jenis obat.
5. Persentase dan nilai obat rusak Merupakan jumlah jenis obat yang rusak dibagi dengan total jenis obat. Data dikumpulkan dari dokumen yang ada di instalasi farmasi RS berupa : jumlah jenis obat yang tersedia untuk pelayanan ksehatan selama satu tahun dan jumlah jenis obat yang rusak dan harga masing-masing obat. Idealnya, persentase nilai obat rusak dan kadaluarsa adalah 0 %.
6. Persentase penggunaan antibiotik pada ISPA
190
Merupakan jumlah resep dengan antibiotik pada kasus ISPA non pneumonia dibagi dengan jumlah seluruh kasus (lama dan baru) ISPA non pneumonia. Data dikumpulkan dari self-monitoring peresepan.
Dari penelitian lainnya menetapkan beberapa indikator efisiensi untuk pengelolaan obat di farmasi rumah sakit yang meliputi tahap perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi. Indikator-indikator tersebut adalah sebagai berikut : 1. Perencanaan Beberapa indikator yang digunakan dalam perencanaan adalah: a.
Persentase dana Data diperoleh dengan cara penelusuran data, yaitu dana yang tersedia, dan data kebutuhan dana secara keseluruhan berdasarkan metode konsumsi, dikombinasi dengan efidemiologi, kemudian dihitung persentase dana yang tersedia pada IFRS dibanding kebutuhan yang sesungguhnya. Nilai standar persentase dana yang tersedia adalah ≥ 100%.
b.
Penyimpangan perencanaan Data yang digunakan adalah macam item obat, kemudian dihitung jumlah item obat dalam perencanaan dan jumlah obat dalam kenyataan pakai. Nilai standar batas penyimpangan perencanaan adalah 20-30%.
2. Pengadaan Obat Indikator-indikator dalam pengadaan obat di rumah sakit antara lain: a. Frekuensi pengadaan tiap item obat
Frekuensi pengadaan tiap item obat setiap tahunnya dapat digolongkan menjadi 3 kategori yaitu frekuensi rendah (<12), sedang (12-24), dan tinggi (>24). Banyaknya obat dengan frekuensi sedang dan tinggi menunjukkan kemampuan IFRS dalam mersepon perubahan kebutuhan obat dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan obat saat itu. Pengadaan obat yang 191
berulang juga menunjukkan bahwa yang tersedia di IFRS merupakan obat dengan perputaran cepat (fast moving). Banyaknya obat yang masuk kedalam jenis slow moving dapat berarti kerugian bagi rumah sakit. Cara analisanya yaitu dengan mengambil secara acak sejumlah kartu stok dalam setahun, dicatat nama masing-masing obat, kemudian dilihat pada catatan pengadaan selama tahun tersebut. b. Frekwensi kesalahan faktur
Kriteria kesalahan faktur pembelian yang digunakan adalah adanya ketidakcocokan jenis obat, jumlah obat dalam suatu item, atau jenis obat dalam faktur terhadap surat pesanan yang bersesuaian. Cara analisisnya adalah dengan mengambil secara acak sejumlah faktur pembelian dalam setahun, kemudian masing-masing faktur tersebut dicocokkan dengan surat pesanan. Ketidaksesuaian faktur dengan surat pesanan dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan yaitu : 1) Tidak ada stok, atau barang habis di PBF, jadi barang yang dipesan pada distributor atau PBF sedang mengalami kekosongan. 2) Stok barang yang tidak sesuai. Barang yang dipesan pada PBF isi dalam kemasannya tidak baik atau rusak sehingga tidak digunakan. 3) Reorder
atau
frekuensi
pemesanan
terlalu
banyak,
menyebabkanpetugas bersangkutan tidak sempat untuk melakukan pembukuandengan cermat c. Frekwensi tertundanya pembayaran oleh rumah sakit terhadap waktu yang
telah disepakati. Tingkat frekuensi tertundanya pembayaran menunjukkan kurangbaiknya manajemen keuangan pihak rumah sakit. Hal ini dapat menunjukkan kepercayaan pihak pemasok kepada rumah sakit sehingga potensial menyebabkan ketidaklancaran suplai obat di kemudian hari. Besarnya frekuensi tertundanya pembayaran IFRS terhadap waktu yang telah disepakati dapat mengakibatkan : 192
1) Hubungan IFRS dengan pemasok terganggu 2) Penundaan pemesanan order oleh pemasok
3. Penyimpanan Obat a. Persentase kecocokan antrara barang dengan kartu stok Proses pencocokan harus dilakukan pada waktu yang samauntuk menghindari kekeliruan karena adanya barang yang keluar a t a u masuk (adanya transaksi). Apabila tidak dilakukan secara bersamaan maka ketidakcocokan akan meningkat. Ketidakcocokanakan menyebabkan terganggunya perencanaan pembelian barang dan pelayanan terhadap pasien b. TOR (Turn Over Ratio) TOR digunakan untuk mengetahui berapa kali perputaran modal dalam 1 tahun, selain itu dapat untuk meghitung efisiensi pengelolaan obat. Semakin tinggi TOR, semakin efisien persediaan o b a t . A p a b i l a T O R r e n d a h , bearti
masih
sehingga
banyak
stok
mengakibatkan
obat obat
yangb e l u m
terjual
menumpuk
dan
berpengaruh terhadap keuntungan. TOR adalah perbandingan antara omzet dalam 1 tahun dengan hasil stok opname pada akhir tahun. Standar umum TOR yang biasa digunakan yaitu 8-12 kali. Semakin tinggi TOR semakin efisien pengelolaan obatnya. c. Sistem penataan gudang Sistem penataan gudang bertujuan untuk menilai sistem penataan obat di gudang. d. Persentase nilai obat yang kadaluarsa atau rusak Persentase nilai obat yang kadaluarsa atau rusak masih dapat diterima jika nilainya dibawah 1%. Besarnya persentase nilai obat yang kadaluarsa atau rusak mencerminkan ketidaktepatan perencanaan dan/atau kurang baiknya pengamatan mutu dalam penyimpanan, dan /atau perubahan pola penyakit atau pola peresepan dokter. 193
e. Persentase stok mati Stok mati adalah stok obat yang tidak digunakan selama 3 bulan atau selama 3 bulan tidak terdapat transaksi. Kerugian yang disebabkan akibat stok mati adalah perputaran uang yang tidak lancar, kerusakan obat akibat terlalu lama disimpan sehingga menyebabkan obat kadaluarsa. f. Nilai stok akhir gudang Untuk mengetahui stok akhir obat yaitu : 1) Stok berlebih Adanya
stok
berlebih
akan
meningkatkan
pemborosan
dank e m u n g k i n a n o b a t m e n g a l a m i k a d a l u a r s a a t a u r u s a k dalam pen yi mpanan. Untuk men gantisipasi adan ya ob at m e l a m p a u i batas expire date, maka dilakukan distribusi berdasarkan sistem FIFO atau FEFO. Hal lain yang dapat dilakukan adalah upayapengembalian obat kepada PBF atau menukar obat yang hampir tiba waktu kadaluarsanya dengan obat baru. 2) Stok kosong Stok kosong adalah jumlah stok akhir obat sama dengan nol.Stok obat digudang mengalami kekosongan dalam persediaannyasehingga bila ada permintaan tidak bisa terpenuhi. Faktor-faktor penyebab terjadinya stok kosong antara lain: a) Tidak terdeteksinya obat yang hampir habis, hal ini terkait dengan ketelitian petugas dalam mencatat persediaan yang menipis. b) Hanya ada persediaan yang kecil untuk obat-obat tertentu (slow moving), maka ketika habis, tidak ada persediaan di gudang. c) Barang yang dipesan belum datang, hal ini terkait d e n g a n waktu tunggu (lead time) dari PBF yang berbeda beda.
194
d) PBF mengalami kekosongan. Kadang-kadang hal ini terjadi karena PBF mengalami kekosongan pengiriman dari industri farmasi, yang mengakibatkan pesanan tidak dapat terpenuhi, akibatnya persediaan di IFRS juga kosong. e) Pemesanan
ditunda
oleh
PBF,
hal
ini
terjadi
jika
pembayaran/pelunasan utang ke PBF mengalami keterlambatan. Biasanya PBF menunda pesanan IFRS sampai utang tersebut dilunasi. Penundaan ini mengakibatkan IFRS mengalami stok kosong. 4. Distribusi Indikator-indikator distribusi obat : a.
Rata-rata waktu yang digunakan untuk melayani resep sampai ke tangan pasien, bertujuan untuk mengetahui tingkat kecepatan pelayanan apotek rumah sakit
b.
Persentase obat yang diserahkan bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan IFRS menyediakan obat yang diresepkan.
c.
Persentase obat yang dibeli dengan benar, bertujuan untuk mengetahui penguasaan peracik (dispenser) tentang informasi pokok yang harus ditulis dalam etiket.
d.
Persentase resep yang tidak bisa dilayani, bertujuan untuk mengetahui cakupan pelayanan farmasi rumah sakit.
Sedangkan untuk pengelolaan obat pada tahap penggunaan sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan oleh WHO. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Beberapa macam indikator efisiensi dan efektifitas pengelolaan obat sebagai berikut : Tabel 16. Indikator efisiensi dan efektifitas pengelolaan obat pada tahap seleksi Indikator Kesesuaian item obat yang tersedia
Tujuan
Cara menghitung
Standar
Untuk mengetahui tingkat kepatuhan terhadap pemakaian
Hitung jumlah item obat (x) dan jumlah item obat yang tersedia (y).
76%
195
dengan DOEN. (*)
obat esensial.
Persentase : x z = — x 100% y
Tabel 17. Indikator efisiensi dan efektifitas pengelolaan obat pada tahap pengadaan Indikator a. Persentase modal/dana yang tersedia dengan keseluruhan dana yang dibutuhkan. (***)
Tujuan
Cara menghitung
a. Untuk mengetahui seberapa jauh persediaan dana rumah sakit memberikan dana kepada farmasi.
a. Hitung dana yang tersedia (x) kebutuhan dana yang sesungguhnya (y) Persentase :
b. Untuk mengetahui seberapa jauh dana yang diberikan kepada farmasi dibandingkan dengan seluruh anggaran rumah sakit.
b. Hitung total dana pengadaan obat (x) dan total anggaran rumah sakit (y). Persentase :
c. Untuk mengetahui c. Persentase seberapa besar kesesuaian ketepatan pengadaan pemilihan obat dengan kenyataan dalam pengadaan pakai untuk masing-masing item obat. (***)
c. Hitung jumlah item obat yang ada dalam perencanaan (x) dan jumlah item obat yang ada dalam kenyataan pakai (y). Persentase : x z = — x 100% y
b. Persentase alokasi dana pengadaan obat. (*)
Standar 100%
x z = — x 100% y
30%-40%
x z = — x 100% y 100%
d. Frekuensi pengadaan tiap item obat. (***)
d. Untuk mengetahui berapa kali obatobat tersebut dipesan setiap tahunnya.
d. Ambil kartu stock obat secara acak kemudian diamati berapa kali obat dipesan tiap tahunnya.
e. Faktur kesalahan faktur. (***)
e. Untuk mengetahui berapa kali terjadinya kesalahan faktur.
e. Hitung jumlah faktur yang salah (x) dan jumlah seluruh faktur yang diterima (y).
Rendah <12x/tahun Sedang 1224x/tahun Tinggi >24x/tahun 0%
196
Persentase : x z = — x 100% y f. Frekuensi tertundanya pembayaran oleh rumah sakit terhadap waktu yang telah ditetapkan. (***)
f. Untuk mengetahui kualitas pembayaran rumah sakit.
0%
f. Amati daftar hutang dan cocokkan dengan daftar pembayaran (x hari).
Keterangan : (*) Indikator Depkes RI (2008) (***) indikator Pudjaningsih (1996) Tabel 18. Indikator efisiensi dan efektifitas pengelolaan obat pada tahap distribusi Indikator a. Kecocokan antara obat dengan kartu stock. (***)
Tujuan a. Untuk mengetahui ketelitian petugas gudang.
Cara menghitung a Ambil 10% sampel kartu stock obat, cocokkan dengan barang yang ada. Hitung jumlah item obat yang sesuai dengan kartu stock (x) dan jumlah kartu stock yang diambil (y).
Standar
100%
Persentase : 8-12 kali x z = — x 100% y b. Turn over ratio. (***)
b. Untuk mengetahui berapa kali perputaran modal dalam 1 tahun.
b Hitung omzet 1 tahun dalam HPP (x) rata-rata nilai persediaan obat.
12-18 bulan
Persentase :
c. Tingkat ketersediaan obat. (**)
c. Untuk mengetahui kisaran kecukupan obat.
x TOR = — Y c Hitung jumlah stock obat (x) ditambahkan pemakaian obat selama 1 tahun (y) kemudian dibagi dengan rata-rata pemakaian obat perbulan (z) dikali 1 bulan.
197
0%
d. Persentase nilai obat yang kadaluwarsa dan rusak. (***)
Perhitungan : x+y q = —— x 1 bulan z d Dari catatan obat yang kadaluwarsa dalam 1 tahun, hitung nilai (x) dan nilai stock opname (y).
d. Untuk mengetahui besarnya kerugian rumah sakit.
Persentase :
e. Persentase stock mati. (*)
x z = — x 100% y e. Untuk mengetahui item obat selama 3 bulan yang tidak terpakai
e Hitung jumlah item obat selama 3 bulan tidak terpakai (x) dan jumlah item obat yang ada stocknya (y).
0%
Persentase : x z = — x 100% y
Keterangan : (*) indikator Depkes RI (2008) (**) indikator WHO (1993) (***) indikator Pudjaningsih (1996) Tabel 19. Indikator efisiensi dan efektifitas pengelolaan obat pada tahap penggunaan Indikator
Tujuan
Cara menghitung
a. Jumlah item obat tiap lembar resep. (**)
a. Untuk menggukur derajat polifarmasi.
a. Ambil 10% sampel, Hitung jumlah total item obat yang ditulis pada resep (x) dan jumlah lembar resep. Persentase x rata-rata : — y
b. Persentase resep dengan obat generik. (**)
b. Untuk mengukur kecenderunga n meresepkan obat generik.
b. Dari laporan penulisan obat generik, hitung jumlah item obat dengan nama generik (x) dan jumlah item obat yang diresepkan (y). Persentase : x
198
Standar 1,8 - 2,2 item obat /lembar resep
82-94%
z = — x 100% y c. Rata-rata waktu yang digunakan untuk melayani resep sampai ke tangan pasien. (*)
d. Persentase obat yang diberi label dengan benar. (**)
c. Untuk c. Catat waktu resep masuk ke apotek (x) mengetahui dan catat waktu selesai diterima pasien tingkat (y). Data dibedakan antara obat racikan kecepatan dan obat jadi. pelayanan z=∑ farmasi rumah y–x sakit. jumlah resep yang masuk
≤ 60 menit untuk obat racikan. ≤ 30 menit untuk obat nonracikan .
d. Hitung jumlah item obat dengan etiket yang berisi nama pasien dan aturan pakai (x) dan jumlah item obat yang diberikan kepada pasien (y). Persentase :
d. Untuk mengetahui penguasaan pengawasan tentang informasi pokok yang harus ditulis pada etiket.
100%
x z = — x 100% y
Keterangan : (*) indikator Depkes RI (2008) (**) Indikator WHO (1993)
Indikator pengelolaan obat menurut who Menurut WHO, untuk mengukur situasi pengelolaan pada tahap penggunaan digunakan beberapa indikator, yaitu : 1. Jumlah rata-rata obat tiap resep
Tujuannya untuk mengukur derajat polifarmasi. Biasanya kombinasiobat dihitung
sebagai
1
obat.
Perhitungan
dilakukan
dengan
membagi jumlah total produk obat yang diresepkan dengan jumlah resep yangdisurvei 2. Persentase obat generik yang diresepkan
Tujuannya untuk mengukur kecenderungan peresepan obat generik. 199
3. Persentase antibiotik yang diresepkan
Indikator peresepan resep dengan antibiotik digunakan untuk mengukur penggunaan antibiotik secara berlebihan karena penggunaan antibiotik secara berlebihan merupakan salah satu bentuk ketidakrasionalan peresepan. Rata-rata persentase penulisan resep dengan antibiotik di Indonesia adalah sebesar 43 %. 4. Persentase injeksi yang diresepkan
Tujuannya
untuk
mengukur
penggunaan
inj eksi
yang
berlebihan.Dalam hal ini, imunisasi biasanya tidak dimasukkan dalam perhitungan. 5. Persentase obat yang diresepkan dari daftar obat esensial atau formularium
Tuj uannya
untuk
mengukur
derajat
kesesuaian
praktek
d e n g a n kebijaksanaan obat nasional yang diindikasikan dengan peresepan daridaftar obat esensial atau formularium. Sebelumnya rumah sakit harus mempunyai copy daftar obat esensial nasional atau formularium sehingga dapat dijadikan acuan dalam penulisan resep. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 20 dibawah ini Tabel 20. Indikator penggunaan obat Indikator dan standar
Cara menghitung
Jumlah rata-rata obat tiap resep (C)
Kombinasi obat dihitung sebagai 1 obat. Jumlah total produk obat yang diresepkan
Standar 1,8 – 2,2
(B), jumlah resep yang disurvey (A).
Indonesia 3,3
C = B/A
Persentase obat generik yang
Total item obat generik yang diresepkan
diresepkan (E)
(D), total item obat yang diresepkan (B).
Standar 82%-94%
E = (D/B) x 100 %
200
Indonesia 59 % Persentase antibiotik yang diresepkan
Total pasien yang menerima satu atau lebih
(G)
antibiotik (F), total jumlah obat (A)
Standar 27%-63 %
G = (F/A)x100%
Indonesia 43 % Persentase obat injeksi yang diresepkan
Total pasien yang menerima satu atau lebih
(I)
injeksi (H), total jumlah obat (A).
Standar 0,2%-48%
I = (H/A) x 100%
Indonesia 17% Persentase obat yang diresepkan
Jumlah item obat yang diresepkan
berdasarkan daftar obat esensial atau
berdasarkan daftar obat esensial atau
formularium (K)
formularium (J), total item obat yang diresepkan (B)
Standar 86%-88% K = (J/B) x 100 %
201
BAB IX MANAJEMEN SUPPORT DALAM MANAJEMEN OBAT
1. Human Capital Saat sistem keuangan tidak dapat memberikan perangkat pengukuran yang tepat,
yang dibutuhkan profesional SDM, maka profesional SDM harus
mengembangkan cara mereka sendiri untuk menunjukkan peran mereka dalam membentuk kinerja perusahaan. Langkah awalnya dengan mengesampingkan anggapan bahwa SDM adalah pusat biaya utama. Para investor mengakui bahwa kesempatan yang dimiliki oleh para manajer SDM adalah sebuah aset intangible, dan mempunyai peran sebagai partner strategik (Becker dkk, 2001). Disamping itu, persaingan global yang semakin intensif, deregulasi, dan kemajuan teknik mencetuskan suatu ide-ide perubahan, yang telah membuat banyak perusahaan tidak bisa bertahan hidup. Fenomena tersebut mengimplikasikan bahwa praktik dan kebijakan manajemen SDM dapat memainkan suatu peranan penting dalam mendorong kesetiaan karyawan tersebut dan membuat perusahaan mampu menanggapi perubahan-perubahan secara lebih baik. Dessler (2000) menyatakan bahwa dalam organisasi modern, SDM mempunyai peran baru, diantaranya: (1) Pendorong produktivitas; (2) Membuat perusahaan menjadi lebih tanggap terhadap inovasi produk dan perubahan teknologi; (3) Menghasilkan jasa pelanggan yang unggul; (4) Membangun komitmen karyawan; dan (5) Semakin pentingnya SDM dalam mengembangkan dan mengimplementasikan strategi. Penekanan tentang pentingnya SDM dalam organisasi merefleksikan pandangan bahwa market value kurang tergantung pada aset wujud (tangible assets) tetapi lebih tergantung pada aset nirwujud khususnya sumber daya manusia. Selain merekrut dan mempertahankan karyawan yang baik, organisasi harus meningkatkan skill dan kapabilitas karyawan dengan mendukung pembelajaran individual maupun organisasional
dan
menciptakan
lingkungan
yang
mendukung
(supportive
environment) dimana knowledge dapat diciptakan, dibagikan/ditukarkan (shared) dan 202
diaplikaskan (Sampurno, 2007a). Menurut Kaplan dan Norton, (2004) kerja tim, pengetahuan dan kemampuan staf merupakan hal yang potensial dalam mendukung strategi. Becker dkk, (2001) menambahkan bahwa SDM merupakan asset yang strategis, dimana pondasi dari aturan strategik SDM meliputi 3 dimensi rantai nilai yang disebut pola bangun SDM perusahaan yaitu fungsi, sistem dan perilaku karyawan. Dalam dunia global dan persaingan ketat dewasa ini, menciptakan keunggulan bersaing dilakukan dengan kepemilikan SDM yang kompeten dan loyal. Keunggulan bersaing dapat didefinisikan sebagai faktor apa saja yang dapat memungkinkan organisasi untuk mendeferensiasikan produk atau jasanya dari produk atau jasa pesaing guna meningkatkan market share. Ada pengakuan yang besar bahwa kompetensi yang khas diperoleh melalui ketrampilan SDM yang benar-benar dikembangkan, budaya organisasi yang khas, proses manajemen dan sistem (Dessler, 2000). Kompetensi
SDM merupakan kunci
keberhasilan dalam organisasi.
Kompetensi SDM ini meliputi pengetahuan, kemampuan, ketrampilan dan pengalaman dari karyawan dan manajer dalam melaksanakan tugasnya. Untuk memperoleh SDM yang kompeten dapat dilakukan dengan identifikasi kebutuhan SDM, proses seleksi yang tepat, memberikan pelatihan, motivasi, adanya komunikasi yang baik, pembuatan kelompok kerja yang terkait dengan struktur organisasi, adanya peran kepemimpinan dan perubahan organisasi yang relevan (Smith 1991). Investasi SDM dalam bentuk pelatihan dan pengembangan mempunyai pengaruh signifikan terhadap kinerja SDM (Esteves dan Caesano, 2010). Pelatihan yang dilakukan kepada karyawan baru atau yang ada sekarang tentang ketrampilan yang mereka butuhkan untuk melaksanaan pekerjaan mereka. Pelatihan dilakukan terfokus pada ketrampilan yang dibutuhkan untuk menjalankan pekerjaan SDM sekarang. Pengembangan SDM dan manajemen merupakan pelatihan yang bersifat jangka panjang, arahnya adalah mengembangkan karyawan sekarang dan mendatang
203
untuk tugas-tugas masa depan dengan organisasi atau memecahkan masalah organisasi (Dessler, 2000). Peningkatan kapablitas human capital tidak hanya pada aspek explicit knowledge tetapi yang lebih utama adalah tacid knowledge. Hal ini penting untuk diperhatikan karena keunggulan kompetitif yang bersumber dari tacid knowledge akan berkelanjutan (sustainable) dan sangat sulit untuk ditiru oleh pesaing (causal ambiguity dan kompleksitas history (Sampurno, 2007) Proses pengukuran kesiapan sumber daya manusia dimulai dengan mengidentifikasi kompetensi yang dikehendaki dari setiap individu dalam melakukan proses internal yang sangat berpengaruh dalam strategi map organisasi. Profil kompetensi digambarkan dengan syarat kerja yang sangat terperinci. Perbedaan diantara persyaratan dan kapabilitas yang ditunjukan sekarang adalah gap kompetensi yang didefinisikan pada ketersediaan sumber daya manusia dalam organisasi. Organisasi memasukan program pengembangan sumber daya
manusia untuk
mengeliminasi gap (Kaplan dan Norton, 2004)
Sumber Daya Manusia IFRS Mengacu pada standar pelayanan farmasi rumah sakit, KepMenKes no. 56 th 2014, Instalasi Farmasi harus memiliki Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran dan tujuan Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Ketersediaan jumlah tenaga Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian di Rumah Sakit dipenuhi
sesuai dengan ketentuan
klasifikasi dan perizinan Rumah Sakit yang ditetapkan oleh Menteri. Uraian tugas tertulis dari masing-masing staf Instalasi Farmasi harus ada dan sebaiknya dilakukan peninjauan kembali paling sedikit setiap tiga tahun sesuai kebijakan dan prosedur di Instalasi Farmasi Rumah Sakit (KepMenKes, 2014). 204
1. Kualifikasi Sumber Daya Manusia (SDM) Berdasarkan pekerjaan yang dilakukan, kualifikasi SDM
Instalasi Farmasi
diklasifikasikan sebagai berikut: a. Untuk pekerjaan kefarmasian terdiri dari: 1) Apoteker 2) Tenaga Teknis Kefarmasian b. Untuk pekerjaan penunjang terdiri dari: 1) Operator Komputer/Teknisi yang memahami kefarmasian 2) Tenaga Administrasi 3) Pekarya/Pembantu pelaksana Untuk menghasilkan mutu pelayanan yang baik dan aman, maka dalam penentuan kebutuhan tenaga harus mempertimbangkan kompetensi yang disesuaikan dengan jenis pelayanan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawabnya. 2. Persyaratan SDM Pelayanan Kefarmasian harus dilakukan oleh Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian. Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan Pelayanan Kefarmasian harus di bawah supervisi Apoteker. Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian harus memenuhi persyaratan administrasi seperti yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan terkait jabatan fungsional di Instalasi Farmasi Rumah Sakit diatur menurut dengan ketentuan yang berlaku.
205
kebutuhan organisasi dan sesuai
Instalasi Farmasi
Rumah Sakit
harus
dikepalai oleh seorang Apoteker
yang
merupakan Apoteker penanggung jawab seluruh Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit diutamakan telah memiliki pengalaman bekerja di Instalasi Farmasi Rumah Sakit minimal 3 (tiga) tahun. 3. Beban Kerja dan Kebutuhan a. Beban Kerja Dalam perhitungan beban kerja perlu diperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh pada kegiatan yang dilakukan, yaitu: 1) kapasitas tempat tidur dan Bed Occupancy Rate (BOR); 2)
jumlah
dan jenis kegiatan farmasi yang dilakukan (manajemen, klinik dan
produksi); 3) jumlah Resep atau formulir permintaan Obat (floor stock) per hari; dan 4) volume Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. b. Penghitungan Beban Kerja Penghitungan kebutuhan Kefarmasian
Apoteker
berdasarkan beban kerja pada
Pelayanan
di rawat inap yang meliputi pelayanan farmasi manajerial dan
pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas pengkajian resep, penelusuran riwayat penggunaan Obat, rekonsiliasi Obat, pemantauan terapi Obat, pemberian informasi Obat, konseling, edukasi dan visite, idealnya dibutuhkan tenaga Apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 30 pasien. Penghitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan beban kerja pada Pelayanan Kefarmasian di rawat jalan yang meliputi pelayanan farmasi menajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas pengkajian Resep, 206
penyerahan Obat, Pencatatan Penggunaan Obat (PPP) dan konseling, idealnya dibutuhkan tenaga Apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 50 pasien. Selain kebutuhan Apoteker untuk Pelayanan Kefarmasian rawat inap dan rawat jalan, maka kebutuhan tenaga Apoteker juga diperlukan untuk pelayanan farmasi yang lain seperti di unit logistik medik/distribusi, unit produksi steril/aseptic dispensing, unit pelayanan informasi Obat dan lain-lain tergantung pada jenis aktivitas dan tingkat cakupan pelayanan yang dilakukan oleh Instalasi Farmasi. Selain kebutuhan Apoteker untuk Pelayanan Kefarmasian di rawat inap dan rawat jalan, diperlukan juga masing-masing 1 (satu) orang Apoteker untuk kegiatan Pelayanan Kefarmasian di ruang tertentu, yaitu: 1. Unit Gawat Darurat; 2.
Intensive Care Unit
(ICU)/Intensive Cardiac Care Unit (ICCU)/Neonatus
Intensive Care Unit (NICU)/Pediatric Intensive Care Unit (PICU); 3. Pelayanan Informasi Obat; Mengingat kekhususan Pelayanan Kefarmasian pada unit rawat intensif dan unit gawat darurat, maka diperlukan pedoman teknis mengenai Pelayanan Kefarmasian pada unit rawat intensif dan unit rawat darurat yang akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
2. Information Capital Sistem informasi adalah rangkaian orang, prosedur dan sumber daya yang mengumpulkan, mengubah dan menyebarkan informasi dalam sebuah organisasi dan sebuah sistem yang menerima sumber daya sebagai input dan memprosesnya ke 207
dalam produk informasi sebagai output-nya (O’Brien, 2005). Sistem Informasi Manajemen (SIM) adalah sistem informasi yang sudah terkomputerisasi yang bekerja karena adanya interaksi antara manusia dan komputer (Kendall dan Kendall, 2006). Definisi lain tentang SIM: Sistem informasi manajemen (SIM) dapat didefinisikan sebagai sistem berbasis komputer yang menyediakan informasi bagi para pengguna yang memiliki kebutuhan yang sama (Mc Leod dan Schell, 2004). SIM merupa sistem manusia atau mesin yang menyediakan informasi untuk mendukung operasi, manajemen dan fungsi pengambilan keputusan dari suatu organisasi. SIM merupakan kumpulan sistem-sistem informasi, antara lain: sistem informasi akuntansi, menyediakan informasi dari transaksi keuangan; sistem informasi pemasaran, menyediakan informasi penjualan, promosi penjualan kegiatan-kegiatan pemasaran, kegiatan-kegiatan penelitian pasar dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pemasaran; sistem manajemen persediaan; sistem informasi personalia; sistem informasi distribusi; sistem informasi pembelian; sistem informasi kekayaan; sistem informasi analisis kredit; sistem informasi penelitian dan pengembangan serta sistem informasi teknik (Jogiyanto, 2005). Sistem informasi berbasis komputer memiliki kelebihan dalam hal kecepatan dan ketepatan. Ketepatan karena komputer dapat menyimpan serta mengelola data dalam kapasitas yang besar, juga minimnya kesalahan yang dapat terjadi. Kecepatan dapat dilihat dari otomatisasi yang mampu dilakukan oleh computer dengan dukungan sistem yang tepat dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat. Sistem informasi berbasis komputer juga berguna bagi peningkatan kinerja user dalam hal membantu mereka untuk mempermudah dan mempercepat pekerjaan mereka. Karakteristik SIM menurut Kadir (2003) adalah: a. Beroperasi pada tugas-tugas yang terstruktur, yakni pada lingkungan yang mendefinisikan
(prosedur operasi, aturan pengambilan keputusan dan
arus informasi) dengan tegas dan jelas. b. Meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya
208
c. Menyediakan laporan dan kemudahan akses yang berguna untuk pengambilan
keputusan
tetapi
tidak
secara
langsung
(manajer
menggunakan laporan dan informasi serta membuat kesimpulankesimpulan tersendiri untuk melakukan pengambilan keputusan). Menurut Alter, (1992), teknologi informasi mencakup perangkat keras dan perangkat lunak untuk melaksanakan satu atau sejumlah tugas pemrosesan data seperti menangkap, mentransmisikan, menyimpan, mengambil, memanipulasi atau menampilkan data. Menurut Indrajit (2000) teknologi informasi adalah suatu teknologi yang berhubungan dengan pengolahan data menjadi informasi dan proses penyaluran data/informasi dalam batas-batas ruang dan waktu. Penggunaan teknologi informasi akan mempermudah kerja atau penyelesaian kerja yang dibebankan. Dengan demikian, teknologi informasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem informasi. Portofolio modal informasi yang mendukung proses customer management umumnya dimulai pada level transaksional dengan sistem customer relationship management (CRM). Aplikasi level analitik menyediakan pengukuran kemampuan menghasilkan profit dari pelanggan dan membantu dalam segmentasi pelanggan. Aplikasi transformasi dapat berupa call center pendukung penjualan (Kaplan dan Norton, 2006). Aplikasi modal informasi hanya dapat berfungsi jika didukung oleh infrastruktur teknologi yang umumnya terbagi lewat multi aplikasi. Physical infrastructure terdiri atas (Kaplan dan Norton, 2004) : 1) Aplikasi infrastruktur (seperti email, internet, mobile computing) 2) Manajemen komunikasi (jaringan broadband, intranet) 3) Manajemen data 4) Keamanan dan risiko 5) Manajemen channel (website, call center) 6) Manajemen fasilitas Management infrastructure terdiri atas (Kaplan dan Norton, 2004):
209
1) Manajemen information technology (IT) (perencanaan information sistem (IS), persetujuan level layanan, negosiasi supplier) 2) Architecture dan standar-standar (untuk data, komunikasi, teknologi) 3) Edukasi IT (training, manajemen edukasi) 4) IT Research and Development (emerging technology) Menurut Oetomo (2002), dalam pengembangan sistem informasi perlu diperhatikan: a. efisiensi dan keefektifan, pola aliran data atau informasi harus skematis dan sederhana, lengkap dan akurat. Sistem kontrol pada prosedur pemasukan data harus diperketat agar tidak terjadi kesalahan dalam pemasukan data. b. Prosedur pemasukan data sesingkat mungkin, hal ini perlu diperhatikan agar sistem yang dihasilkan tidak menjemukan pada saat memasukkan data yang diolah. Seorang perancang sistem harus memiliki wawasan luas agar dapat menentukan solusi dalam bentuk prosedur pemrograman. c. Sistem harus dapat mengoptimalkan Sumber Daya Manusia. d. Sistem yang dibangun diharapkan dapat beradaptasi dengan perkembangan ilmu teknologi dan dirancang secara dinamis sehingga bisa memberikan fasilitas yang lengkap dan dapat beradaptasi dengan kebutuhan dimasa depan. e. Efisiensi pembiayaan, pembangunan sistem didasarkan pada perencanaan dan perancangan yang matang akan menghemat biaya. f. Integritas dan keamanan data, sistem baru harus memenuhi standar integritas dan keamanan data. Penggunaan password bertingkat, pengacakan data, pemampatan dan berbagai metode pengamanan data dalam sistem. g. Interaktif, sistem yang baik harus dapat berinteraksi dengan user dan mudah dipahami. Perancangan sistem perlu memikirkan aliran informasi,, pemodelan interface
yang
interaktif.
Kesulitan
utama
adalah
mengidentifikasi,
menyeleksi dan menyusun komponen sistem yang sesuai dengan user. Para analis harus dapat menentukan titik temu untuk menentukan simbol , formulir dan sebagainya. 210
3. Organizational Capital Pengorganisasian sumber daya, tipenya dibuat berdasarkan 4 komponen (Kaplan dan Norton, 2004): a. Budaya Budaya merupakan kesadaran dan internalisasi visi, misi, dan nilai untuk melaksanakan strategi. Budaya mencerminkan sikap dan perilaku pradominan yang mengkarakterisasikan fungsi dari grup atau organisasi. Pembentukan budaya adalah prioritas penting dalam pembelajaran dan pertumbuhan bagian dari data base BSC. Pemimpin umumnya mempercayai bahwa (Kaplan dan Norton, 2004) : 1) Strategi membutuhkan perubahan dasar dalam cara melaksanakan bisnis. 2) Strategi harus dilaksanakan melalui individu pada semua level dari organisasi. 3) Sikap dan perilaku yang baru dibutuhkan melalui tenaga kerja sebagai prasyarat perubahan ini. Teknologi baru, proses baru dan kemampuan baru memang dibutuhkan tetapi juga dipengaruhi perubahan budaya. Pengertian lain dari budaya organisasi diartikan sebagai nilai-nilai, prinsipprinsip, tradisi dan cara-cara bekerja yang dianut bersama oleh para anggota organisasi dan mempengaruhi cara mereka bertindak. Dalam kebanyakan organisasi, nilai-nilai dan praktik-praktik yang dianut bersama ini telah berkembang pesat seiring dengan perkembangan jaman dan benar-benar sangat mempengaruhi bagaimana sebuah organisasi dilalankan (Robbins dan Coulter, 2010). Definisi budaya ini menyiratkan 3 hal. Pertama, budaya adalah sebuah persepsi, bukan sesuatu yang dapat disentuh atau dilihat secara fisik, namun SDM menerima dan memahaminya melalui apa yang mereka alami dalam organisasi. Kedua, budaya organisasi bersifat diskriptif, yaitu berkenaan dengan bagaimana para anggota menerima dan mengartikan budaya tersebut, terlepas dari apakah mereka menyukai atau tidak. Ketiga, meskipun para individu didalam organisasi memiliki latar belakang yang berbeda dan bekerja dalam jenjang organisasi yang berbeda, mereka cenderung mengartikan dan mengutarakan budaya organisasi dengan cara 211
yang sama. Ini merupakan aspek penerimaan bersama dalam budaya organisasi (Robbins dan Coulter, 2010). Robbins dan Coulter (2010) menambahkan bahwa ada tujuh dimensi yang menjabarkan budaya organisasi. Masing-masing dari ketujuh dimensi tersebut memiliki kisaran mulai dari yang rendah hingga tinggi. Ketujuh dimensi tersebut adalah: 1) Orientasi
manusia,
seberapa
jauh
organisasi
bersedia
mempertimbangkan faktor manusia (karyawan) didalam pengambilan keputusan manajemen. 2) Orientasi tim. Seberapa besar organisasi menekankan pada kerja kelompok (tim), daripada kerja individu, dalam menyelesaikan tugastugas. 3) Agresivitas, seberapa besar organisasi mendorong para karyawannya untuk saling bersaing, daripada saling bekerjasama. 4) Stabilitas, seberapa besar organisasi menekankan pada pemeliharaan status quo didalam pengambilan berbagai keputusan dan tindakan. 5) Inovasi dan pengembangan risiko, seberapa besar organisasi mendorong para karyawannya untuk bersikap inovatif dan berani mengambil risiko. 6) Perhatian pada detail, seberapa dalam ketelitian, analisis, dan perhatian pada detail yang dituntut oleh organisasi dari para karyawannya. 7) Orientasi
hasil,
seberapa
besar
organisasi
menekankan
pada
pencapaian sasaran (hasil), daripada cara mencapai sasaran (proses). Fokus pada pelanggan adalah yang paling sering diidentifikasi perubahannya, khususnya pada perusahaan jasa. Budaya pengurangan biaya yang berkesinambungan akan lebih tepat untuk perusahaan yang berkompetensi pada biaya yang rendah khususnya pada produk yang tidak terpisah-pisah. Perusahaan yang mengedepankan produk kepemimpinan membutuhkan budaya kualitas dan inovasi produk (Kaplan dan Norton, 2006). 212
Perusahaan perlu menggali nilai-nilai budaya kerja yang baik, dan menggalakkannya menjadi suatu Corporate Culture, yang akan memberikan suatu: 1) Performance culture, 2) Sales Culture dan 3) Risk Culture. Corporate Culture akan membantu perusahaan agar para karyawannya mempunyai nilai-nilai dalam sikap dan perilaku yang bertujuan meningkatkan kualitas kinerja, menyadari bahwa perusahaan harus mempunyai nilai jual dalam arti produk atau jasa perusahaan tadi dapat dijual serta mampu bersaing di pasar. Hal yang tak boleh dilupakan adalah risk culture, dimana setiap karyawan didorong untuk menyadari dan dapat memitigasi risiko atas setiap langkah yang dikerjakannya (Dessler, 2010). Budaya inti manajemen meliputi penetapan dan pemeliharaan nilai-nilai yang sesuai. Bagaimanapun tanggung jawab ini sering dipertimbangkan pada tingkat organisasi secara keseluruhan, hal yang sama dapat dilakukan oleh setiap manajer dalam unit kerjanya. Seperti organisasi secara menyeluruh, unit kerja mempunyai suatu budaya. Seberapa baik budaya ini melayani tujuan unit kerja kunci akan tergantung pada pengaruh dari pengarahan nilai-nilai. Pada nilai-nilai seperti ini, paling tidak terdapat tiga kriteria dari dampak kinerja yang tinggi: 1) relevan, nilai inti mendukung tujuan organisasi kunci; 2) peresapan (pervasiveness), nilai-nilai inti yang diketahui semua anggota organisasi dan 3) kekuatan, nilai-nilai inti yang diterima seluruh anggota organisasi (Schermerhorn, 1996). Menurut Robbins dan Coulter (2010), fungsi budaya organisasi antara lain adalah sebagai berikut: a.
Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.
b.
Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
c.
Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang.
d.
Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan.
e.
Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan 213
Budaya organisasi merupakan faktor yang sangat penting dan selalu meningkat perannya dalam keberhasilan dan efektifitas bisnis di lingkungan global dan bersaing pada abad 21 (Kyriakidou dan Gore, 2005). Montes dkk, (2004), Bliss (1999), Juecher dkk (1998), Schein (2004), dan Denison (1990), semua menyampaikan tentang pentingnya budaya dalam mendukung keberhasilan organisasi. Pendapat yang sama juga disampaikan Ritchie (2000), bahwa budaya organisasi berdampak pada hasil seperti: produktifitas, kinerja dan komitmen. Holmes dan Masden (1996), juga menyampaikan bahwa budaya organisasi berdampak secara signifikan pada organisasi, perilaku dan motivasi karyawan dan pada akhirnya berpengaruh pada kinerja keuangan organisasi. Semua organisasi memiliki budaya, namun tidak semua budaya organisasi sama kuatnya dalam mempengaruhi perilaku dan tindakan para karyawan. Budaya yang kuat, adalah budaya yang menanamkan nilai-nilai utama secara kokoh dan diterima secara luas dikalangan karyawan, memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap perilaku karyawan dibandingkan budaya yang lemah. Semakin tinggi tingkat penerimaan karyawan terhadap nilai-nilai pokok organisasi dan semakin besar komitmen mereka pada nilai-nilai tersebut, semakin kuat budaya organisasi. Budaya yang kuat berpengaruh pada kesetiaan karyawan yang lebih besar dibanding budaya yang lemah. Banyak penelitan yang menyebutkan bahwa budaya organisasi yang kuat cenderung memperlihatkan hubungan dengan kinerja organisasi yang baik (Robbins dan Coulter, 2010). Diketahui bahwa organizational capital juga merupakan tacit organizational routines yang berkaitan dengan aspek informal organisasi yang dikenal dengan dimensi kultural organisasi (Swart, 2005). Dimensi kultural ini mempunyai peran penting dalam intelectual cultural, meski perlu ditegaskan bahwa hanya kapital budaya tertentu yang kondusif untuk inovasi, pembelajran dan memiliki esensi yang dapat mengonversikan human capital menjadi intelectual capital. Organisasi dengan organisational capital yang kuat akan memiliki kultur pendukung yang memperbolehkan karyawan secara individual untuk melakukan berbagai percobaan, 214
kegagalan, belajar dan mencoba lagi (Bontis, 1998). organisational capital yang kuat akan mendukung eksplorasi pembelajaran yang memberikan advokasi kepada eksperimentasi, riset, pengembangan dan inovasi (Swart, 2005). b. Kepemimpinan Kepemimpinan adalah suatu aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar supaya mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa jika seseorang telah mulai berkeinginan untuk mempengaruhi perilaku orang lain, maka kegiatan kepemimpinan itu telah dimulai. Pengaruh dan kekuasaan seorang pemimpin mulai nampak relevansinya (Thoha, 2004). Kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi pikiran, perasaan, sikap dan perilaku orang lain agar melakukan kegiatan/pekerjaan untuk mencapai tujuan yang dicapai
seorang
pemimpin.
Kepemimpinan
dapat
diartikan
sebagai
kemampuan/kecerdasan mendorong sejumlah orang (dua atau lebih) agar kerjasama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terarah pada tujuan bersama (Nawawi dan Hadari, 2004). Robbins (2003) berpendapat bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok kearah tercapainya tujuan. Pendapat tersebut memandang semua anggota kelompok/organisasi sebagai satu kesatuan, sehingga kepemimpinan diberi makna sebagai kemampuan mempengaruhi semua anggota kelompok /organisasi agar bersedia melakukan kegiatan/bekerja untuk mencapai tujuan kelompok. Tersedianya pemimpin yang berkualitas pada tingkatan untuk menggerakkan organisasi pada strateginya. Kepemimpinan terutama untuk mengatur perubahan dan transformasional adalah sebuah inti yang dibutuhkan untuk menjadi organisasi yang fokus pada strategi. Ada 2 pendekatan untuk mendefinisikan peran kepemimpinan: proses untuk mengembangkan pemimpin dan model kompetensi kepemimpinan, yang mendefinisikan karakteristik pemimpin. Pendekatan kedua model kompetensi kepemimpinan fokus pada hasrat spesifik kompetensi dari pemimpin. Hal ini mengidentifikasi ciri bahwa pemimpin harus menunjukkan untuk menyumbangkan 215
penampilan yang lebih tinggi. Kita dapat mengklasifikasikan hasrat kompetensi dalam 3 kategori umum: (Kaplan dan Norton, 2004) 1) Menciptakan nilai: pemimpin menyampaikan garis besar hasil 2) Melaksanakan strategi: pemimpin memobilisasi dan memandu proses perubahan. 3) Mengembangkan SDM: pemimpin membangun kompetensi dan meletakkan standar tinggi untuk organisasi. Dalam kenyataannya, pemimpin yang lebih berorientasi pada karyawan dalam beberapa hal akan memberikan hasil-hasil yang lebih efektif. Ini tidak berarti pemimpin tersebut mengabaikan kebutuhan-kebutuhan produksi atau tugas dalam departemennya. Kepemimpinan yang berhasil menghendaki suatu pengertian yang mendalam terhadap bawahan. Oleh karena itu, menurut Robbins (2003), pemimpin sangat perlu mengembangkan beberapa kecakapan: 1. Obyektivitas
terhadap
hubungan-hubungan
serta
perilaku
manusia.
Maksudnya pemimpin harus memandang bawahan serta perilaku mereka secara obyektif, tanpa berprasangka dan tanpa emosi. 2. Cakap berkomunikasi di dalam perusahaan maupun masyarakat. Maksudnya pemimpin harus mampu berbicara dan menulis secara terus terang serta menyimpulkan dengan teliti pernyataan-pernyataan dari orang lain. Pemimpin harus mudah didekati, mengenal kelompok-kelompok dan pemimpin informalnya, menyeluruh memberitahukan tujuan dan berusaha untuk bekerja sama dengan orang lain. 3. Ketegasan. Maksudnya kemampuan untuk memproyeksikan diri secara mental dan emosional ke dalam posisi seorang pengikut. Kemampuan ini menolong pemimpin untuk memahami pandangan, keyakinan dan tindakan bawahannya.
216
4. Sadar akan diri sendiri. Maksudnya pemimpin perlu mengetahui kesan apa yang dibuatnya pada orang lain. Pemimpin harus berusaha untuk memenuhi peran yang diharapkan oleh para pengikut. 5. Mengajarkan. Maksudnya pemimpin harus mampu untuk menggunakan kecakapan untuk pedoman, dan pembetulan dalam pemberian petunjuk dengan contoh-contoh. Selanjutnya pemimpin diharapkan mampu mengidentifikasi anggota tim dengan melihat : 1. Competency : Memiliki kualifikasi, tepat dan cepat dalam menyelesaikan tugas, the right man in the right pleace. Soft atau generic competencies menurut Dessler (2000) terdiri dari enam kelompok kompetensi, yaitu sebagai berikut : 1) Kemampuan merencanakan dan mengimplementasikan (motivasi untuk berprestasi, perhatian terhadap kejelasan tugas, ketelitian, dan kualitas kerja, proaktif, dan kemampuan mencari dan menggunakan informasi). 2) Kemampuan melayani (empati, berorientasi pada pelanggan). 3) Kemampuan memimpin (kemampuan mempengaruhi, kesadaran berorganisasi, kemampuan membangun hubungan). 4) Kemampuan mengelola (kemampuan mengembangkan orang lain, kemampuan
mengarahkan,
kemampuan
bekerja
sama
dengan
kelompok). 5) Kemampuan berpikir (berpikir analitis, berpikir konseptual, keahlian teknis atau profesional atau manajerial). 6) Kemampuan bersikap dewasa (kemampuan mengendalikan diri, fleksibilitas, komitmen terhadap organisasi).
217
2. Commitment : bekerja keras, motivasi tinggi, tepat waktu dan loyal. 3. Teamwork : Saling menghormati dan saling mengakui kompetensi, komunikasi antar anggota, dapat berbagi sumberdaya, sifat saling memiliki, transparan, dan kemampuan untuk meredam konflik. c. Penyelarasan Individu, tim, dan tujuan-tujuan setiap departemen merangsang hubungan untuk mendapatkan sasaran yang strategis. komunikasi terbuka serta dapat bekerja sebagai team. Penyelarasan adalah kondisi yang diperlukan sebelum memberi kuasa, individu akan menguatkan seluruh tim. Penyelarasan pada organisasi mendorong peningkatan kemampuan pekerja, inovasi dan pengambilan resiko karena tindakan individual diarahkan pada pencapaian sasaran yang lebih tinggi. Penyelarasan umumnya membutuhkan 2 langkah yang berurutan yaitu menciptakan kesadaran dan membuat insentif. Oleh karena itu, pemimpin harus mengkomunikasikan sasaran strategis yang tinggi yang dapat dipahami semua pekerja kemudian pemimpin harus menyakinkan bahwa individu dan tim mempunyai sasaran lokal dan menghargai pencapaian target sasaran yang lebih tinggi. Adapun beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu melakukan kerjasama team dan membagi pengetahuan. Semua ide merupakan aset yang mempunyai potensi lebih untuk suatu organisasi. Saat ini perusahaan menggunakan sistem manajemen pengetahuan formal untuk membangkitkan, mengorganisir, mengembangkan dan mendistribusikan pengetahuan pada seluruh organisasi (Kaplan dan Norton, 2004). 1) Membangkitkan pengetahuan, meliputi identifikasi isi yang relevan pada orang lain di organisasi dan mendapatkan orang untuk mengumpulkan material yang relevan untuk data elektronik. Kebanyakan organisasi melalui perubahan budaya untuk berubah dari penimbunan pengetahuan pada pembagian ide. 2) Mengorganisir pengetahuan. 3) Mengembangkan pengetahuan
218
4) Menyalurkan pengetahuan. Sistem manajemen pengetahuan harus mudah diakses oleh pengguna untuk pengetahuan dasar. Sistem manajemen pengetahuan secara umum terdiri dari : a) data base dan sistem manajemen data base b) komunikasi dan sistem pesan yang menarik dan menyalurkan materi pengetahuan, independen dimana pengetahuan berasal. c) Penelusuaran yang aman dimana pekerja bisa mencari data base yang jauh meskipun dari akses fasilitas umum. Pelaksanaan managemen masing-masing kelompok kemudian diklasifikasikan berdasarkan 5 kunci proses manajemen yang penting dalam implementasi strategi, yaitu : 1. Mobilization : bagaimana mengarahkan perubahan melalui kepemimpinan eksekutif 2. Translation strategy : menetapkan peta strategi, unit bisnis, unit pendukung, partner eksternal, dan arena dengan strategi 3. Organization alignment: menyelaraskan korporat, unit bisnis, unit pendukung dan arena dengan strategi 4. Employee motivation : menyediakan pendidikan, komunikasi, penentuan sasaran, kompensasi insentif, dan training staff 5. Governance : integrasi strategi ke perencanaan, pendanaan, pelaporan, dan review manajemen. Hasilnya menunjukkan bahwa organisasi yang mempraktekkan ke 5 hal tersebut lebih baik akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar pula. Gap yang paling signifikan antara organisasi Hall of Fame dengan 2 kelompok lainnya adalah penyelarasan yaitu bagaimana mensinkronkan tingkatan korporat, unit bisnis dan unit pendukung. Hasil dari penyelarasan ini adalah keuntungan yang sangat signifikan (Kaplan dan Norton, 2006) d. Kerja tim
219
Kerja tim, pengetahuan dan kemampuan staf merupakan hal yang potensial dalam mendukung strategi. Suatu organisasi seharusnya tidak tertumpu pada masingmasing operasional individual dalam pengembangan biaya dalam proses, kualitas, waktu dan servis. Tahapan kritis dalam pembelajaran dan pertumbuhan adalah untuk mengidentifikasi inovasi dan praktek terbaik yang terjadi dalam organisasi dan untuk mensosialisasikan praktik terbaik pada setiap unit organisasi. Sistem manejemen pengetahuan seharusnya menjadi kunci yang merupakan praktik terbaik dalam organisasi (Kaplan dan Norton, 2004) Kemampuan membangun tim kerja yang efektif diperlukan dengan memanfaatkan kombinasi ketrampilan dan kepribadian perorangan di kalangan karyawan untuk dilibatkan dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi. Hal ini karena manajer memahami kondisi yang dibutuhkan untuk membangun tim kerja yang efektif (Robins dan Coulter, 2010) Karyawan atau siapapun manajer akan mencapai sesuatu yang bermanfaat jika manajer bekerja bersama dalam satu tim daripada bekerja sendiri-sendiri. Para karyawan akan merasa lebih peduli dan komit bekerja dalam satu tim karena dengan cara itu terjadi interaksi antarkaryawan yang positif. Juga terjadi saling mengisi dan saling memperkuat karena terjadi fenomena berbagi informasi, pengalaman, dan berbagi bakat dan keahlian sekaligus memperkecil kelemahan yang dimiliki masingmasing karyawan. Apakah model kerja dalam satu tim selalu dicirikan oleh hal-hal tadi? Tidak juga karena bisa saja terjadi ada tim kerja tetapi karyawan bekerja sendiri-sendiri dan tidak terkendali akibat tidak adanya kepemimpinan efektif. Sehubungan dengan itu agar suatu tim berhasil dengan efektif dibutuhkan beberapa hal yaitu: (1) Walau ada keragaman keanggotaan tim namun dengan suatu tujuan bersama, (2) Tujuan yang berorientasi pada tantangan, (3) Keterlibatan aktif para anggota tim, (4) Uraian peran dan koordinasi anggota tim yang jelas, (5) Komunikasi yang baik, dan (6) Kepemimpinan tim yang handal (Dessler, 2000)
220
D. Manajemen Keuangan Manajemen : suatu proses kegiatan yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan dengan memadukan penggunaan ilmu dan seni untuk mencapai tujuan organisasi. Agar tujuan organisasi dapat tercapai diperlukan unsur atau sarana (The Tool of Management), yang meliputi unsur 5 M, yaitu: 1. Men: Sumber Daya Manusia 2. Money : Uang yang dibutuhkan 3. Methods: Metode yang digunakan 4. Materials: Bahan yang digunakan 5. Machines: Mesin yang digunakan Keuangan terdiri dari 3 bidang yang saling terkait, yaitu: a. Pasar uang dan Pasar Modal b. Investasi c. Manajemen keuangan Pengukuran kinerja keuangan mengindikasikan apakah strategi
RS,
penerapannya, dan pelaksanaannya memberikan kontribusi pada peningkatan yang mendasar (Sofian, 2004).Tujuan finansial berperan sebagai fokus bagi tujuan-tujuan strategis dan ukuran-ukuran semua perspektif dalam balanced scorecard. Setiap ukuran yang dipilih seyogianya menjadi bagian dari suatu keterkaitan hubungan sebab-akibat yang memuncak pada peningkatan kinerja finansial. Di dalam manajemen perusahaan sangat membantu untuk mengetahui biaya sesungguhnya dan biaya seharusnya, sehingga diperlukan suatu sistem biaya yang tepat dan erat hubungannya dengan cost accounting (Anief, 2001). Beberapa indikator kinerja dari perspektif keuangan antara lain : 221
a. Tingkat kembalian investasi (Return on Investment- ROI) ROI merupakan pembagian antara keuntungan bersih dan asset (aktiva/harta) total, dinyatakan dalam persentase. Salah satu indikator ini mengukur efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan seluruh sumber dayanya. ROI disebut juga sebagai tingkat kembalian asset (Return on Asset/ROA). Nilai persentase ROI yang semakin tinggi menunjukkan bahwa kinerja perusahaan semakin baik (Gaspersz, 2003). ROI =
Laba bersih 100 Total aktiva
%
ROE (Return on Equity) dan ROI biasanya dianggap sebagai pengukuran terbaik atas penampilan menyeluruh dari apotek, karena ROE dan ROI tidak hanya mempertimbangkan laba apotek tetapi juga jumlah investasi yang diperlukan untuk menghasilkan laba tersebut (Seto, 2001). b. Growth Ratio on Sales Indikator ini menghitung seberapa jauh perusahaan menempakan diri dalam sistem ekonomi secara keseluruhan untuk industri yang sama (Machfoedz, 1996).
nilai penjualan terakhir 1/jumlah tahun growth ratio = nilai penjualan dasar c.Net profit margin
Indikator ini merupakan keuntungan bersih dibagi pejualan bersih (net sales), dan dinyatakan dalam persentase. Rasio laba bersih terhadap penjualan adalah yang paling penting, karena mampu menggambarkan kesuksesan dari suatu 222
operasi perusahaan, dan rasio ini biasa digunakan untuk memperkirakan atau memproyeksikan profitabilitas dalam suatu rencana bisnis. Semakin tingginya nilai persentase keuntungan bersih dibandingkan penjualan bersih, menunjukkan bahwa kinerja perusahaan semakin baik (Gaspersz, 2003).
Net profit margin =
Laba bersih 100 Penjualan
%
d. Rasio aktivitas (Activity ratio)
Indikator ini mengukur efektivitas manajemen perusahaan dari semua sumber daya yang ada di perusahaan. Salah satu indikatornya yaitu tingkat perputaran inventori (inventory turn over ratio atau TOR). Indikator ini dihitung dengan membagi harga pokok penjualan (cost of goods sold) dengan persediaan rata-rata. Perputaran persediaan (inventory turnover) menunjukkan berapa kali persediaan barang dijual dan diadakan kembali selama satu periode akutansi (Jumingan, 2006). Semakin tinggi nilai tingkat perputaran inventori, kinerja perusahaan semakin baik, karena akan memenuhi kebutuhan aliran kas dan modal kerja (Gaspersz, 2003).
TOR =
harga pokok penjualan (x) rata- rata persediaan
223
Contoh aplikasi keuangan dalam mengetahui kineja IFRS, penelitian dilakukan oleh Satibi dkk, 2008: Evaluasi kinerja dari perspektif keuangan dilakukan dengan menganalisis rasio-rasio keuangan. Rasio keuangan dari Instalasi Farmasi Rumah Sakit X dihitung berdasarkan dokumentasi laporan keuangan dan neraca IFRS dari tahun 2004-2006. Untuk pencatatan keuangan Instalasi Farmasi X hanya melakukan pencatatan yang lengkap untuk laporan rugi-laba, sehingga semua indikator keuangan yang diukur merupakan gambaran dari profitabilitas IFRS. Analisis rasio keuangan merupakan alat utama dalam analisis keuangan, karena analisis ini dapat digunakan untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang berbagai kejadian perusahaan. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengidentifikasi setiap kelemahan dari keadaan keuangan yang dapat menimbulkan masalah di masa depan, dan menentukan setiap kekuatan yang dapat dipergunakan (Muslich, 1997). Penggunaan rasio ekonomi bertujuan untuk mengetahui apakah rasio keuangan apotek pada tingkat tertentu sudah beroperasi dengan baik serta apakah pengelolaan sumber daya keuangan sudah berjalan secara efektif (Liza, 2001). Rasio keuangan yang dihitung dalam penelitian ini yaitu, Growth ratio on sales, Persentase Laba Kotor (PLK), TOR (Turn Over Ratio), average age of inventory (waktu rata-rata persediaan obat dan bahan farmasi), dan persentase kontribusi Instalasi Farmasi terhadap Rumah Sakit. Hasil perhitungan rasio keuangan Instalasi Farmasi Rumah sakit X, disajikan dalam tabel IX. Tabel 21. Rasio Keuangan Instalasi Farmasi Rumah Sakit X tahun 2004-2006
224
Tahun Rasio 2004
2005
2006
Growth ratio on sales
0,25
0,35
0,56
PLK (%)
36,03
37,54
42,88
TOR (kali)
10,15
5,21
6,86
36
70
53,2
41,85
43,11
47,03
Average age of inventory (hari) Kontribusi IFRS terhadap RS (%) Sumber : data sekunder yang diolah
Secara lebih rinci pembahasan untuk masing-masing rasio keuangan yang dihitung dari data penelitian adalah sebagai berikut :
1. Growth Ratio on Sales Growth ratio on sales menunjukkan seberapa besar tingkat pertumbuhan penjualan selama periode waktu tertentu. Dari data keuangan nilai growth ratio on sales Instalasi Farmasi Rumah sakit X disajikan dalam gambar 21.
– 225
Gambar 21. Grafik Growth Ratio on Sales IFRS Tahun 2004-2006
Dari gambar 21 diatas, terlihat bahwa nilai tingkat pertumbuhan penjualan (Growth Ratio on Sales) Instalasi Farmasi Rumah sakit X terus mengalami peningkatan dari tahun 2004 sampai 2006 yaitu sebesar 0,25 pada tahun 2004, tahun 2005 sebesar 0,35, dan tahun 2006 sebesar 0,56. Peningkatan ini menunjukkan bahwa dari segi penjualan, IFRS X mengalami pertumbuhan yang baik. Naiknya tingkat pertumbuhan penjualan Instalasi Farmasi Rumah sakit X ini disebabkan oleh tingginya nilai penjualan obat, baik dari penjualan obat rawat jalan umum dan penjualan obat ASKES/ASKESKIN/JAMSOSTEK.
2. Persentase Laba Kotor (PLK) Persentase laba kotor (PLK) adalah pengukuran daya laba apotek sebelum beban usaha diperhitungkan. PLK menunjukkan persentase penjualan yang terjadi untuk menutup ongkos dan labanya (Seto, 2001). Hasil perolehan laba kotor Instalasi Farmasi Rumah sakit X selama tahun 2004 sampai 2006 adalah sebagai berikut :
226
– Gambar 22. Grafik perolehan PLK IFRS X Tahun 2004-2006 Dari gambar 22 diatas terlihat bahwa nilai PLK Instalasi Farmasi Rumah sakit X terus mengalami peningkatan dari tahun 2004 sampai 2006 yaitu pada tahun 2004 sebesar 36,03%, tahun 2005 meningkat menjadi 37,54%, sedangkan tahun 2006 sebesar 42,88%. Peningkatan hasil perolehan PLK ini menunjukkan bahwa IFRS X mengelola keuangan dengan baik. Peningkatan hasil perolehan PLK ini disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah penjualan pada setiap tahunnya selama periode tahun 2004-2006. Faktor lain yang menyebabkan peningkatan PLK adalah rendahnya harga pokok penjualan dibandingkan jumlah penjualan pada setiap tahunnya.
3. Turn Over Ratio (TOR) Turn Over Ratio (perputaran persediaan) mengukur/menunjukkan seberapa cepat persediaan obat dibeli, dijual dan digantikan. Persediaan pada RS minimal 8 – 12 kali perputaran. Walaupun rata-rata induetri nilai TOR 7-9 kali. Namun semakin
227
tinggi nilai TOR pengelolaan obat semakin efisien. Hasil pengukuran TOR Instalasi Farmasi Rumah sakit X disajikan dalam gambar 23 di bawah ini.
Gambar 23. Grafik Turn Over Ratio IFRS Tahun 2004-2006 Dari gambar 23 di atas, kinerja keuangan IFRS X dari indikator nisbah perpuataran persediaan (TOR) menunjukkan bahwa tingkat perputaran persediaan IFRS X tahun 2004 sebesar 10,15 kali, dimana melebihi angka rata-rata apotek sebesar minimal 4 kali, artinya perputaran persediaan Instalasi Farmasi sudah berjalan dengan baik. Penurunan terjadi pada tahun 2005 yaitu menjadi 5,21 kali dan meningkat kembali mencapai angka 6,86 kali pada tahun 2006. Turn Over Ratio sebesar 10,15 kali artinya bahwa kemampuan dana yang tertanam dalam persediaan untuk berputar dalam tahun 2004 itu adalah 10,15 kali. Perputaran persediaan 10,15 kali adalah baik, hal ini menunjukkan bahwa Instalasi Farmasi memiliki persediaan yang cukup dan tidak terlalu besar jumlah persediaannya untuk tingkat penjualan atau sejumlah kecil persediaan terdiri dari
228
produk yang tidak dapat dijual. Tahun 2005 telah terjadi penurunan nilai TOR dari tahun sebelumnya yaitu menjadi 5,21 kali. Kondisi ini menunjukkan bahwa Instalasi Farmasi Rumah sakit X masih memiliki persediaan yang besar untuk tingkat penjualannya. Masalah penurunan nilai TOR ini dikarenakan adanya peningkatan persediaan yang signifikan di tiap tahunnya. Tahun 2006 telah mengalami peningkatan kembali terhadap nilai TOR sebesar 6,86 kali. Kondisi ini menunjukkan bahwa selama periode waktu 2005-2006 perputaran persediaan di IFRS adalah baik meskipun tidak ada peningkatan perputaran yang menonjol. Semakin tinggi perputaran obat semakin disukai sebab hal itu menunjukkan IFRS dijalankan dengan investasi atas persediaan yang minimal, sehingga hal ini sangat penting untuk dipertimbangkan karena persediaan obat merupakan harta IFRS yang paling besar. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pihak manajemen IFRS untuk meningkatkan nilai perputaran persediaan, yaitu dengan menaikkan penjualan tanpa
menaikkan
persediaan,
atau
dengan
menurunkan
persediaan
dan
mempertahankan tingkat penjualan yang sama. Dari nilai perputaran persediaan dapat dihitung waktu rata-rata dari persediaan tertahan di gudang dihitung dengan menggunakan average age of inventory untuk tahun 2004-2006. Rata-rata obat disimpan sebelum dijual pada tahun 2004 adalah selama 36 hari, pada tahun 2005 adalah selama 70 hari, dan pada tahun 2006 adalah selama 53 hari. Semakin kecil angka tersebut, maka semakin baik karena resiko persediaan perbekalan farmasi akan semakin kecil pula.
229
Waktu rata-rata dari persediaan tertahan di gudang pada tahun 2005 adalah waktu rata-rata tertinggi dibandingkan tahun sebelum dan sesudahnya. Hasil ini diikuti pula dengan rendahnya nilai TOR pada tahun 2005 yaitu 5,21 kali yang merupakan nilai TOR terendah, sehingga apabila semakin kecil angka perputaran persediaan di IFRS maka semakin lama juga waktu rata-rata persediaan yang tertahan di gudang.
4. Kontribusi Instalasi Farmasi terhadap Rumah sakit X Kontribusi IFRS terhadap rumah sakit ini menunjukkan seberapa besar peran Instalasi Farmasi dalam meningkatkan profitabilitas Rumah Sakit secara keseluruhan dari berbagai aspek pelayanan farmasi. Nilai persentase ini diperoleh dengan membagi data keuangan berupa data pendapatan IFRS dengan pendapatan Rumah Sakit dari tahun 2004-2006. Dari data keuangan nilai persentase kontribusi Instalasi Farmasi terhadap RS disajikan dalam gambar 24.
Gambar 24. Grafik Persentase Kontribusi Instalasi Farmasi terhadap RS periode Tahun 2004-2006 230
Dari gambar 24 di atas, terlihat bahwa persentase kontribusi Instalasi Farmasi terhadap rumah sakit begitu besar. Tahun 2004, nilai kontribusi IFRS adalah sebesar 41,85%. Diikuti peningkatan pada tahun berikutnya 2005, yaitu sebesar 43,11%. Pada satu tahun periode ini (tahun 2004-2005) besarnya peningkatan adalah 1,26%. Kenaikan ini telah memberikan keuntungan yang berarti bagi rumah sakit. Untuk tahun 2006 telah terjadi peningkatan yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan pada periode sebelumnya yaitu peningkatan sebesar 3,92%. Dimana besarnya kontribusi IFRS pada tahun 2006 adalah 47,03%. Semakin besar nilai persentase laba kotor (PLK) IFRS, maka semakin besar pula nilai persentase kontribusi yang diberikan Instalasi Farmasi Rumah sakit X terhadap rumah sakit. Dalam penelitian ini, pengukuran kinerja keuangan Instalasi Farmasi Rumah sakit X agak sulit dilakukan sehingga tidak semua rasio keuangan yang menjadi indikator keuangan dapat dihitung, khususnya ROI (Return on Investment) dan net profit margin, dikarenakan pencatatan keuangan yang selama ini masih dilakukan secara manual, tidak adanya pencatatan keuangan secara khusus dan sistematik dari pihak IFRS terutama laporan neraca. Kebanyakan data diperoleh dalam bentuk data keuangan
rumah
sakit
secara
keseluruhan
sehingga
kesulitan
dalam
menspesifikasikannya, selain itu juga karena tidak tercatatnya semua komponen keuangan aktiva dan pasiva secara berimbang. Perhitungan terhadap aktiva IFRS yang berupa aktiva tetap dimana komponen di dalamnya adalah berupa data inventaris dan bangunan tidak pernah dilakukan pencatatan. 231
Rasio-rasio yang mengukur penampilan menyeluruh, solvabilitas, atau likuiditas tidak dapat diterapkan pada farmasi rumah sakit. Faktor penyebabnya adalah karena rumah sakit tidak secara khusus bertanggung jawab atas jumlah hutang atau laba yang dihasilkan oleh farmasi rumah sakit, namun rumah sakit bertanggung jawab atas harta yang digunakan oleh farmasi rumah sakit dan tingkat kegiatan farmasi (misalnya pelayanan permintaan obat-obatan). Untuk itu tes efisiensi dapat digunakan untuk memperkirakan hasil kerja farmasi rumah sakit (Seto, 2001). Dari berbagai permasalahan yang ada di Instalasi Farmasi dapat dijadikan bahan evaluasi secara internal bagi pihak manajemen IFRS. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penjualan adalah mempersembahkan pelayanan terbaik sehingga customer
merasa sangat puas dengan demikian akan tercipta
loyalitas dan terjadi kenaikan penjualan. Apabila dilihat dari hasil penjualan tiap tahunnya yang mengalami peningkatan, hal ini menunjukkan bahwa untuk usaha meningkatkan penjualan sudah dilakukan dengan baik oleh IFRS, meskipun tanpa mengesampingkan langkah-langkah program kerja yang telah, sedang dan akan dilakukan. Harga pokok penjualan (HPP) dari tahun 2004 sampai 2006 berturut-turut adalah sebesar 63,97%, 62,46%, dan 57,11% dari nilai penjualan. Menurunnya nilai HPP menunjukkan bahwa manajemen persediaan Instalasi Farmasi RS X cukup baik dimana masih berada diatas rata-rata standar perputaran persediaan yang berkisar antara 5%-7%. Penurunan rasio HPP pada tahun 2005 memberikan keuntungan, karena dengan penurunan HPP terhadap penjualan, menunjukkan adanya peningkatan 232
terhadap persentase laba kotor. Kondisi tersebut juga tercermin dalam persentase laba kotor pada periode yang sama, yaitu 36,03%, 37,54%, 42,88% dari nilai penjualan. Nilai tersebut menunjukkan bahwa peningkatan penjualan yang signifikan disertai dengan penurunan nilai persentase HPP memberikan banyak keuntungan. Hubungan yang diperoleh dari hasil evaluasi kinerja Instalasi Farmasi Rumah sakit X yaitu bahwa kinerja keuangan yang relatif baik sangat erat kaitannya dengan kepuasan customer yang merasa puas. Peningkatan kinerja keuangan akan tercapai bila manajemen IFRS membuat customer merasa sangat puas dengan memenuhi harapannya. Kinerja keuangan yang berkesinambungan tidak dapat dihasilkan melalui usaha-usaha yang semu (artificial) (Mulyadi, 2005).
233
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, TY., 2010, Manajemen Administrasi Rumah Sakit, Edisi Kedua, Universitas Indonesia, Jakarta. Anief. M., 2001, Manajemen Farmasi, Gadjah Mada Press, Yogyakarta Anonim, 1994, Practice Standards of ASHP 1994-1995, American Society of Hospital Pharmacists, hal 31, USA Anonim, 1999, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit dan Apotek, Jakarta Anonim, 2003, Farmasi Klinik, PT Elek Media Komputindo, Kelompok Garmedia, Jakarta Anonim, 2005, Kebijakan Obat Nasional, 10-12, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Becker, B.E., Huselid, M.A., dan Ulrich, D., 2001, The HR Scorecard: Linking People Strategy, and Performance, Harvard Business School Press, Boston, Massachusetts
Budiono, S., Suryawati, S., Sulanto, S.D.,1999, Manajemen Obat Rumah Sakit, Magister Manajemen Rumah Sakit, Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta Dep Kes RI, 2002, Pedoman Supervisi dan Evaluasi Obat Publik dan Perbekalan Farmasi, DepKes RI, Jakarta Dep Kes RI, 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang Standar Pelayanan Farmasi Di Rumah Sakit dan Apotek, Jakarta. Dep Kes RI., 2008, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesi Nomor : 129/MENKES/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimum Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Dep Kes RI, 2009, Undang Undang no 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
234
Dessler, G., 2000., Human Resource Management, ed 9., Prentice Hall, Inc., New Jersey. Frankel, A., Gandhi, T.K., Bates, D.W., 2003, Improving patient safety across a large integrated health care delivery system. International Journal for Quality in Health care.; 15 suppl. I : i31 – i40 Hasan, W.E., 1986, Hospital Pharmacy, Fifth ed, Lea and Febiger, Philadelphia Hogerzeil, H.V., Bimo, D., Ross-Degnan, R.O., Laing, D. Ofori -Adjei, B., Santoso, A.K., Azad, C. A.M., Das, K.K., Kafle, A.F.B., Mabadeje, Massele, A.Y., 1993, Field test for rationaldrug use in twelve developing countries. The Lancet, pp:1408-1410. Indrajit, R.E., 2000, Pengantar Konsep Dasar: Manajemen Sistem Informasi dan Teknology Informasi, Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Jogiyanto, 2005., Analisis dan Desain Sistem Informasi. Pendekatan Terstruktur Teori dan Praktek Aplikasi Bisnis, penerbit Andi, Yogyakarta Jumingan, 2006, Analisa Laporan Keuangan, PT Bumi Aksara, Jakarta. Kaplan, R.S., Norton D.V., 2004, Strategy Maps: Converting Intangible Assets Inti Tangible Outcome. Kaplan, R.S., Norton D.V., Kaplan, R.S., Norton D.V., 2006, Alignment : Using the Balanced Scorecard to Create Corporate Synergies. Harvard Business School Press Boston. Kendall dan Kendall, 2002, Analisis dan Perencanaan system, 5th edition, Pearson Education, Inc., Upper Saddle River, New Jersey. Diterjemahkan oleh Yulianto, H, 2006, PT Indeks, Jakarta. Levy, B.S., 1982, Microbial resistance to antibiotics. An evolving and persistent problem. In: Anonymous (ed). Good Antimicrobial Prescribing. A Lancet review, pp 4-19. Lancet Ltd., London Liliek, S., 1998, Evaluasi Manajemen Obat di Rumah Sakit Umum daerah Wangaya Kotamadya Dati II Denpasar, Tesis, Magister Manajemen Rumah Sakit, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Makridakis, S., Wheelwright, S., Megee, V., 2000, Metode dan Aplikasi Peramalan, edisi kedua, jilid dua, Interaksara.
235
Maxwell, R., 1994, A Review of Determinant of Hospital Performance, A Report of WHO Hospital Advisory Group Meeting, WHO. McDonnel, 2006, Overview of Medication Error in Pharmacy Practice, pharmacy Time, hal 1 McLeod, R., Schell, G., Stonehill, A.I., Moffet, M.H., 2001, Management Information System 8th edition, diterjemahkan oleh Hendra Teguh, Prentice-Hall, New Jersey, hal 187 Mulyadi, 2005, Sistem Manajemen Strategik Berbasis Balanced Scorecard, 1, 3, 10, 11, 24, 100, 103, 319, 369, 378, UPP AMP YKPN, Yogyakarta. O’Brien, J.A., 2005, Introduction to Information System, 11th ed., New York, McGraw-Hill Compony PerMenKes, 2014, Standar pelayanan Farmasi Rumah Sakit, KepMenKes no 58 th 2014, Jakarta. Pudjaningsih, D., 1996, Pengembangan Indikator Efisiensi Pengelolaan Obat di Farmasi Rumah Sakit, Tesis, : Magister Manajemen Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Quick, J.P., Rankin, J.R., Laing, R.O., O’Cornor, R.W., 1997, Managing Drug Supply, the selection, procurement, distribution and use of pharmaceutical, second edition, Kumarin Press, Conecticus, USA Quick, J.P., Rankin, J.R., Laing, R.O., O’Cornor, R.W., 2012, Managing Drug Supply, the selection, procurement, distribution and use of pharmaceutical, third edition, Kumarin Press, Conecticus, USA Reason, J., 2000, Human error : models and management, BMJ. 2000; 320 : 768 – 770. Robbins, S.P. dan Coulter, M., 2010, Management, 10th edition, Pearson Education, Inc, Publishing as Prentice Hall Sampurno, 2007, Peran Aset Nirwujud Pada Kinerja Perusahaan: Studi Industri
236
Farmasi Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Satibi, Noviatun, E., dan Kusnanto, H., 2008, Pemetaan Strategi Dan evaluasi Kinerja Farmasi Rumah Sakit SG dengan Pendekatan Balanced Scorecard, Proseding Kongres Ilmiah ISFI, Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta Satibi., Rosita, F., Kharisma, Ayu, D., dan Santika, M., 2008, Evaluasi Kinerja dan Perencanaan Strategic Map Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Pendekatan Balanced Scorecard, Hasil penelitian hibah UGM, LPPM, UGM, Yogyakarta Schein, E.H.Ed, 2004, The role of founder in the creation of the orgaisational cultur. Organisational Culture, Beverly Hills, CA:Sage Schermerhorn, J.R., 1996, Management, 5th, John Willey and Sons,New York Siregar, Ch.J.P., 2003, Farmasi Rumah Sakit, Teori dan Terapan, Penerbit buku kedokteran ECG, Jakarta. Siregar Ch.J.P., Amalia, L., 2004 “Teori & Penerapan Farmasi Rumah Sakit”, Penerbit Buku Kedokteran, EGC
Seto, 2001, Manajemen Apoteker, Universitas Airlangga, Surabaya Strand, L.M., Cipolle, R.J., Morley, P.C., 1998, Pharmaceutical Care Practice, The Mc Graw-Hill Companies Inc. Subagyo, P., 2002, Forecasting Konsep dan Aplikasi, edisi ketiga, Cetakan keduabelas, Badan Pengembangan Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta Suciati, S. Adisasmito, W.B.B., 2006, Analisis Perencanaan Obat Berdasarkan ABC Indeks Kritis di Instalasi Farmasi, Jurnal Manajemen PelayananKesehatan. 2006; 09 : 19-26. diambil dari http://www.jmpkonline.net/files/03-suci.pdf. tanggal 25 November 2012. Swart, J., 2005, Identifying the sub-components of intelectual capital: a literarur review and development of measure: University of Bath.
237
DAFTAR SINGKATAN
BSC
: Balanced Scorecard
BOR
: Bed Occupancy Rate
CR
: Construct Reliability
DRP
: Drug Related Problem
DIY
: Daerah Istimewa Yogyakarta
HC
: Human Capital
IC
: Information Capital
ICT
: Information, Communication and Technology
IT
: Information Technology
IFRS : Instalasi Farmasi Rumah Sakit OC
: Organizational Capital
PBI
: Proses Bisnis Internal
RI
: Republik Indonesia
ROI
: Return Of Investment
RS
: Rumah Sakit
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah SDM : Sumber Daya Manusia SI
: Sistem Informasi
SOP
: Standard Operating Prosedur
SIM
: Sistem Informasi Manajemen
TOR
: Turn Over Ratio
UU
: Undang-Undang
238