MANAJEMEN LANSKAP UNTUK PENANGGULANGAN KONFLIK DENGAN MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) DI SULAWESI UTARA
BALQIS NAILUFAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian “Manajemen Lanskap untuk Penanggulangan Konflik Dengan Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Sulawesi Utara” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2015 Balqis Nailufar NIM A451120081
RINGKASAN BALQIS NAILUFAR. Manajemen Lanskap untuk Penanggulangan Konflik Dengan Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Sulawesi Utara. Dibimbing oleh SYARTINILIA dan DYAH PERWITASARI. Ancaman utama bagi kelangsungan hidup monyet hitam sulawesi (Macaca nigraDesmarest, 1822) atau masyarakat lokal menyebutnya dengan yaki di Sulawesi Utara disebabkan adanya kerusakan habitat akibat penebangan liar. Selain itu terdapatnya perburuan liar juga menjadi ancaman lain untuk kelangsungan hidup yaki. Kerusakan habitat dan perburuan liar ini, meningkatkan masalah konflik dengan masyarakat lokal. Konflik manusia dan yaki terutama pada perambahan hasil pertanian oleh yaki. Tujuan penelitian ini adalah: 1) menganalisis dampak konflik manusia dan yaki di cagar alam (CA) TangkokoBatuangus/ Duasodara; 2) membangun model probabilitas konflik manusia dan yaki di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara; 3) menganalisis penyebab terjadinya konflik manusia dan yaki di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara; dan 4) menyusun rencana manajemen konflik penanggulangan manusia dan yaki di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara. Penelitian ini dilakukan di CA TangkokoBatuangus/ Duasodara, di Kabupaten Bitung, Sulawesi Utara. Penelitian ini menggabungkan sistem informasi geografis (SIG) dan data penginderaan jauh dengan analisis regresi logistik. Analisis berdasarkan perbandingan variabel lingkungan dari titik presence dan pseudo-absence konflik dimana titik presence didapat dari wawancara semi-terstruktur dan ground-truth. Hasil analisis menunjukan bahwa dari 14 variabel lingkungan hanya 2 variabel yang mempengaruhi adanya konflik manusia dan yaki. Model probabilitas konflik manusia dan yaki ini dipengaruhi oleh variabel ketinggian 400-800 mdpl (JTE2) dan hutan primer (JTHP). Berdasarkan hasil model terlihat bahwa luas wilayah studi yang dibangun adalah 11 774.10 ha. Area yang sesuai terjadinya konflik seluas 2 008.50 ha (17.06%), kurang sesuai seluas 3 621.80 ha (30.76%), dan area yang tidak sesuai seluas 6 143.90 ha (52.18%). Penanggulangan konflik manusia dan yaki berdasarkan hasil model antara lain: pemberian batas alami, patroli, kontrol kegiatan ekowisata, pengkayaan jumlah pakan yaki, peningkatan penegakan hukum, dan peningkatan kesadaran masyarakat.
Kata kunci: Macaca nigra, perambahan hasil pertanian, regresi logistik, konflik manusia dan satwa liar, Sulawesi.
SUMMARY BALQIS NAILUFAR. Landscape Management Response to Conflict with Sulawesi Crested Black Macaques (Macaca nigra) in North Sulawesi. Supervised by SYARTINILIA and DYAH PERWITASARI. The main threat to the survival of Sulawesi Crested Black Macaques (SCBM) (Macaca nigraDesmarest, 1822) or the people call with yaki, in North Sulawesi is habitat destruction caused by illegal logging. Illegal hunting also became another threat for survival of this species. This threat has increasing the human – SCBM conflict such as crop-raiding. This study aimed to 1) analyze the impact of the conflict between humans and yaki in Tangkoko-Batuangus/ Duasodara Nature Reserve; 2) building a probability model of conflict between humans and yaki in Tangkoko-Batuangus/ Duasodara Nature Reserve; 3) analyze the causes of the conflict between humans and yaki in Tangkoko-Batuangus/ Duasodara Nature Reserve; and 4) prevention of conflict management plan between the human and yaki in Tangkoko-Batuangus/ Duasodara Nature Reserve. This study was conducted in Tangkoko-Batuangus/ Duasodara Nature Reserve, Bitung district,North Sulawesi. Main methodology was combination of primary data interviews and groundtruth check with GIS/remote sensing data using binary logistic regression. Analyses were based on the comparison features (14 environmental variables) at the presence and pseudo-absence sites of the human and yaki conflict, where the point of presence obtained from semi-structured interviews and ground-truth. The result, from 14 environmental variables, only 2 variables were detected as important variable for a conflict probability model were predominantly influenced by elevation 400-800 mdpl (DE2) and natural forest (DNF). The results showed he area of study was built for the model was 11 774.10 ha, the high, medium, and low probability conflict areas were covering 2 008.50 ha (17.05%), 3 621.70 ha (30.76%), and 6 143.90 ha (52.18%), respectively. The results of this study will be used for management response to human and yaki conflict in North Sulawesi such as giving a natural boundaries, control ecotourism activities, patrols, increase the amount of feed, increased enforcement, and increased public awareness.
Key words: crop-raiding, human-wildlife conflict, logistic regression, Macaca nigra, Sulawesi.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
MANAJEMEN LANSKAP UNTUK PENANGGULANGAN KONFLIK DENGAN MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) DI SULAWESI UTARA
BALQIS NAILUFAR Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Arsitektur Lanskap
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Entang Iskandar M.Si
JudulProposal
Nama NIM
:Manajemen Lanskap untuk Penanggulangan Konflik Dengan Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra)di Sulawesi Utara. : Balqis Nailufar. :A451120081.
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Syartinilia SP, MSi Ketua
Dr. Ir. R.R. Dyah Perwitasari, M.Sc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir.Nizar Nasrullah, M.Agr
Dr. Ir.Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 11 Juni 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga karya ilmiah berjudul “Manajemen Lanskap untuk Penanggulangan Konflik Dengan Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra)di Sulawesi Utara” dapat diselesaikan. Karya ilmiah ini dipilih karena terdorong oleh keinginan penulis untuk dapat memberikan kontribusi kepada penanggulangan konflik interaksi antara manusia dan macaca. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Syartinilia SP, MSi dan Dr. Ir. R.R. Dyah Perwitasari, M.Sc, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dalam pembuatan karya ilmiah ini. Di samping itu, penulis menyampaikan terimakasih juga kepada Dr. Ir. Entang Iskandar M.Si dan Dr. Ir. Andi Gunawan M.Sc selaku dosen penguji atas kritik dan saran dan Dr. Ir.Nizar Nasrullah, M.Agr selaku Ketua Program Arsitektur Lanskap atas semangat dan dukungannya. Penulis mengucapkan terimakasih juga kepada keluarga, rekanrekan Pascasarjana Arsitektur Lanskap 2012 (Ray, Aini, Rizki, Pram, Hani, Loly, CT, dan Sapu), macaca nigra project (MNP) (Bu Antje, Mas Gholib, Bang Meldi, Mba Susi, Novita, Mas Mentang, Kak Maria, Kak Jojo, Mba Yandi, Andre, Mas Ono, Mas iwan, Mas Ju, Bang Epen, Jamie, dan Mas Ugiek), rekan-rekan Arsitektur Lanskap Angkatan 43 (Ika, Cici, Muteb, dan Dicky), rekan-rekan zemi LFC (Bryan, Mas Anggi, Nindy, Gigih, dan Mas Mono), Kampung Batuputih, Pinangunian, Tya, Fitri, Lulun, Donny Alamsyah, Nita, Fedi Nuril, Pak Micky, Mas Ichan, Goffur, Firman, dan Jefri yang telah memberikan dorongan yang tulus baik moril maupun materil. Penelitian ini juga sudah terpublikasi dalam procedia of environmental science (Elsevier). Penulis menyadari dengan semua keterbatasan yang dimiliki penulis yang masih rendah, sehingga pembuatan karya ilmiah ini masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat,
Bogor, September 2015 Balqis Nailufar
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iv
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup
1 1 2 2 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Macaca nigra Desmarest 1822 Konflik Manusia dan Macaca sp. Prinsip Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa Liar SIG dan Regresi logistik Biner
4 4 6 7 8
3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Pangkalan Data Spasial Analisis Dampak Konflik Analisis Model Probabilitas Konflik Analisis Penyebab Konflik
10 10 10 12 17 19 21
4 KONDISI UMUM Profil Kawasan Batas Wilayah Lokasi Penelitian Kondisi Macaca nigra Kondisi Masyarakat Profil Kampung Batuputih Profil Kampung Pinangunian Aktivitas Masyarakat Aktivitas Ekowisata Aktivitas Perburuan Liar Aktivitas Perusakan Habitat
23 23 24 25 26 26 27 27 27 28 29
5. HASIL DAN PEMBAHASAN Dampak Konflik Model Probabilitas Kehadiran Konflik Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Konflik Rekomendasi Penanggulangan Konflik
30 30 31 33 34
DAFTAR ISI (lanjutan) 6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
42 42 42
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
43 46 75
DAFTAR TABEL 1. Jenis data, sumber, dan kegunaannya 2. Kelas ketinggian 3. Luas tiap kelas kemiringan 4. Luas penutupan lahan 5. Kelas penutupan lahan dan deskripsinya 6. Variabel lingkungan 7. Kerangka wawancara semi terstruktur 8. Jari-jari wilayah jelajah yaki 9. Ukuran populasi yaki 10. Gambaran umum etnis dan pekerjaan 11. Perbedaan persepsi dampak konflik antara Kampung Batuputih dan Kampung Pinangunian 12. T-test, Akurasi Hosmer-Lemeshow dan Nagelkerke (R²) dengan metode Forward Stepwise (LR) 13. Kriteria desain penghalang (barrier installation) di CA TangkokoDuasodara/ Batuangus
11 13 13 15 15 17 18 25 26 26 30 32 38
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Kerangka pikir penelitian Lokasi penelitian Bagan alur studi Bagan alur pembuatan peta ketinggian dan peta kemiringan Peta ketinggian Peta kemiringan Bagan alur pembuatan peta tutupan lahan Peta penutupan lahan Kondisi penutupan lahan (a) hutan primer (b) hutan sekunder (c) semak (d) pemukiman (e) kebun campuran, dan (f) lahan kosong Bentukan lahan lokasi wawancara (a) rumah, (b) rumah-kebun, dan (c) kebun Peta presence dan pseudo-absence Peta kampung sekitar kawasan konservasi Peta batas lokasi penelitian Model probabilitas konflik manusia dan yaki
3 10 12 12 13 14 14 15 16 19 20 24 25 33
DAFTAR GAMBAR (lanjutan) 15. 16. 17. 18.
Peta usulan buffer pada probabilitas konflik tinggi Deskripsi barrier vegetasi Deskripsi parit pembatas Deskripsi pembuatan jalan patrol
35 37 37 38
DAFTAR LAMPIRAN 1. 20 Pohon pakan teratas yaki 2. Nilai akurasi umum dan akurasi kappa 3. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke ketinggian 0-400 mdpl (JTE1) dengan resolusi 30 x 30 m 4. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke ketinggian 400-800 mdpl (JTE2) dengan resolusi 30 x 30 m 5. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke ketinggian >800 mdpl (JTE3) dengan resolusi 30 x 30 m 6. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke kemiringan 0-8 % (JTS1) dengan resolusi 30 x 30 m 7. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke kemiringan 8-15 % (JTS2) dengan resolusi 30 x 30 m 8. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke kemiringan 25-40 % (JTS4) dengan resolusi 30 x 30 m 9. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke kemiringan 25-40 % (JTS4) dengan resolusi 30 x 30 m 10. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke kemiringan 40-155 % (JTS5) dengan resolusi 30 x 30 m 11. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover semak belukar (JTSB) dengan resolusi 30 x 30 m 12. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover kebun campuran (JTKC) dengan resolusi 30 x 30 m 13. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover bangunan (JTBG) dengan resolusi 30 x 30 m 14. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover hutan primer (JTHP) dengan resolusi 30 x 30 m 15. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover hutan sekunder (JTHS) dengan resolusi 30 x 30 m 16. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover tanah lapang (JTTL) dengan resolusi 30 x 30 m 17. Titik-titik presence dan pseudo-absence 18. Korelasi antar variabel lingkungan (VIF)-Test 19. Publikasi
47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 65 68
49
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sulawesi merupakan salah satu dari lima pulau utama di Indonesia, yang memiliki luas 189.2 km2. Pulau ini merupakan habitat bagi 127 mamalia asli, 61% diantaranya endemik. Hal tersebut dapat dilihat pada genus macaca.Genus macaca yang ada di dunia terdapat 20 spesies, 8 spesies diantaranya merupakan endemik Sulawesi, salah satunya yaitu Monyet hitam sulawesi (Macaca nigra). Monyet hitam sulawesi (M. nigra) atau masyarakat lokal menyebutnya dengan yaki, memiliki daerah persebaran yang terbatas hanya di wilayah Sulawesi bagian utara dan juga di Pulau Bacan, serta Maluku sebagai jenis introduksi. Yaki dilindungi oleh pemerintah RI, dengan SK Menteri Pertanian 29 Januari 1970 No.421/Kpts/um/8/1970, SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No.301/KptsII/1991 dan Undang-undang No.5 1990. Daftar yang dikeluarkan IUCN pada tahun 2008, yaki justru digolongkan sebagai satwa dengan status genting (endangered) dan dicantumkan dalam Apendiks II CITES. Status yaki diperoleh karena tren populasi yang cenderung mengalami penurunan. Penurunan ini dikarenakan adanya perusakan habitat skala besar di beberapa bagian Pulau Sulawesi. Perusakan habitat ini disebabkan tingginya tingkat pembalakan liar. Banyaknya perburuan untuk konsumsi masyarakat dan perdagangan satwa juga menyebabkan populasi yaki menurun. Populasi rata-rata yaki pada tahun 2012 adalah 45 individu/km2, karena saat ini habitat yaki yang tersisa di Sulawesi Utara terbatas pada kawasan konservasi diantaranya adalah cagar alam (CA) Tangkoko, CA Duasodara, taman wisata alam (TWA) Batuputih, dan TWA Batuangus di Kabupaten Bitung Sulawesi Utara. Hal tersebut meningkatkan masalah konflik dengan masyarakat lokal. Konflik manusia dan yaki terutama pada perambahan hasil pertanian oleh yaki. Secara alami perilaku satwa liar lainnya tidak meresahkan masyarakat apabila mereka hidup pada habiat aslinya dan relatif tidak berdampingan dengan kehidupan masyarakat. Namun, keadaan perilaku ini akan mengalami perubahan ketika kehidupannya pindah pada kawasan lain, atau berdampingan dengan kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, dibutuhkan pemahaman tentang ekosistem yang dinamis, sehingga manusia dan primata dapat hidup berdampingan. Informasi ini menjadi sangat penting jika kita ingin memprediksi bagaimana populasi yaki dapat beradaptasi pada lingkungan yang terus berubah pada masa mendatang. Selain itu perlu juga diketahui persepsi masyarakat lokal mengenai konflik, probabilitas konflik, dan variabel penyebab konflik, sebagai informasi untuk menyusun rekomendasi manajemen lanskap dalam penanggulangan konflik. Studi ini juga menjadi penting bagi masyarakat lokal dan pengelola dalam upaya mengurangi kerusakan akibat konflik yang terjadi. Studi ini menggabungkan sistem informasi geografis (SIG) dan data penginderaan jauh dengan analisis regresi logistik.
2 Perumusan Masalah Penelitian mengenai “Manajemen Lanskap Untuk Penangggulangan Konflik dengan yaki di Sulawesi Utara” diawali dari pemikiran bahwa saat ini jumlah konflik yang terjadi antara manusia dan satwa liar, salah satunya dari jenis yaki semakin banyak. Yaki sebagai satwa liar yang tergolong mudah terhabituasi akan sangat rentan dengan terjadinya konflik. Dewasa ini, terjadi perbedaan pandangan pada yaki, pada satu sisi yaki merupakan satwa liar endemik yang berstatus genting, tetapi disisi lain beradasarkan pandangan masyarakat lokal yang hasil pertaniannya telah mengalami kerusakan menganggap yaki sebagai hama pertanian. Timbulnya konflik karena kerusakan lingkungan dan ekosistem menjadi tidak seimbang. Hal ini menjadikan terjadinya konflik, yang mengindikasikan bahwa lingkungan di tempat terjadi konflik merupakan lingkungan yang telah mengalami kerusakan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kajian dalam penanggulangan konflik yang terjadi antara satwa liar dan manusia. Berdasarkan pemikiran tersebut, aspek utama yang menjadi titik ukur dalam kajian ini adalah mengetahui lanskap tempat timbulnya konflik berdasarkan dampak dan persepsi masyarakat lokal. Lanskap tersebut dikembangkan dan digunakan untuk membangun model probabilitas konflik manusia dan yaki. Berdasarkan model probabilitas konflik, maka akan diketahui variabel yang mempengaruhi terjadinya konflik. Melalui penentuan variabel yang mempengaruhi terjadinya konflik, akan dapat disusunrekomendasi pengelolaan lanskap dalam penanggulangan konflik manusia dan yaki. Rumusan masalah terkait dasar pemikiran, sebagai berikut: 1. Bagaimanakah dampak konflik manusia dan yaki? 2. Bagaimana model probabilitas konflik manusia dan yaki? 3. Apakah variabel yang berpengaruh dalam penyebab terjadinya konflik manusia dan yaki, serta bagaimana karakteristik konflik manusia dan yaki? 4. Bagaimana penanggulangan lanskap dalam menekan terjadinya konflikmanusia dan yaki? Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah manajemen lanskap untuk penanggulangan terjadinya konflik manusia dan yaki di Sulawesi Utara. Sementara tujuan khusus penelitian, diantaranya yaitu: 1. Menganalisis dampak konflik manusia dan yaki di CA TangkokoBatuangus/ Duasodara. 2. Membangun model probabilitas konflik manusia dan yaki di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara. 3. Menganalisis penyebab terjadinya konflik manusia dan yaki dan menganalisis karakter lanskap tempat konflik manusia dan yaki di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara. 4. Menyusun rencana manajemen penanggulangan konflik manusia dan yaki di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara.
3
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat lokal dalam mengatasi konflik dengan yaki. Penelitian ini juga dapat menjadi masukan bagi balai konservasi sumber daya alam (BKSDA) Sulawesi Utara dalam menyusun rencana pengelolaan wilayah yang sangat dibutuhkan untuk mengembangkan rencana jangka panjang strategi konservasi habitat alami dari yaki. Ruang Lingkup Batasan penelitian meliputi lingkup kajian dan lingkup area wilayah kajian. Lingkup kajian penelitian ini dibatasi pada penyusunan rencana manajemen lanskap untuk penanggulangan konflik manusia dan yaki. Hal ini membuat penelitian ini dibatasi hanya pada menganalisis karakteristik dampak konflik, membuat model probabilitas, dan menganalisis penyebab terjadinya konflik Gambar 1. Monyet hitam Sulawesi atau Yaki
Endemik Pulau Sulawesi Utara
endangered
CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara
Kerusakan Habitat
Perburuan Liar KONFLIK
Lingkungan
Variabel Bebas
absence
presence
Variabel Terikat
Model Probabilitas Konflik
MANAJEMEN LANSKAP PENANGGULANGAN KONFLIK
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
4
2 TINJAUAN PUSTAKA Macaca nigra Desmarest 1822 Pulau Sulawesi merupakan habitat bagi 127 mamalia asli, 61% diantaranya endemik (Whitten el al. 2002). Yaki adalah satu monyet endemik Sulawesi (Nowak 1999). Masyarakat sering menyebut monyet hitam Sulawesi dengan nama yaki. Sering kali yaki salah dikategorikan sebagai kera walaupun jenis ini termasuk dalam kelompok monyet karena keberadaan ekor yang hampir tidak nampak. Berdasarkan Corbet dan Hill (1992) dan Collinge (1993) mengklasifikasikan yaki sebagai berikut: Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mammalia Ordo : Primata Famili : Cercophitecidae Genus : Macaca Spesies : Macaca nigra. Yaki merupakan primata dengan struktur sosial banyak jantan – banyak betina dengan perbandingan nisbah kelamin (sex ratio) 1:3.4 (Rowe 1996). Komunikasi antar individu dilakukan dengan bersuara dan beberapa mimik muka dan postur tubuh (Cawthon 2006). Menurut O’Brien dan Kinnaird (1997), terdapat lima kelas aktivitas harian yang dilakukan oleh yaki, yaitu: 1. moving: pergerakan, termasuk berjalan, berlari, memanjat, dan melompat; 2. feeding: mendekatkan, memetik, menggerakkan, mengunyah, atau menempatkan makanan di mulut; 3. foraging: bergerak perlahan dengan perhatian tertuju pada sumber pakan potensial atau menggerakkan substrat untuk mencari pakan; 4. resting: tubuh tidak bergerak, biasanya duduk atau berbaring, tidak terlibat dalam aktivitas sosial termasuk mengutu; dan 5. social: menyidisik, bermain, noncopulatory mounting, kopulasi, dan berkelahi. Pergerakan dari yaki adalah menggunakan keempat anggota geraknya atau kuadrupedal, aktif di pagi sampai sore hari (diurnal), dan lebih banyak melakukan aktivitasnya di atas tanah (terestrial) (Rowe 1996). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh O’Brien dan Kinnaird (1997) di CA Tangkoko dan Duasodara, yaki menghabiskan lebih dari 60% waktu hariannya untuk beraktivitas secara terrestrial baik untuk istirahat dan pergerakan yang menempuh jarak yang jauh. Pada perilaku seksual terlihat pada betina menampakkan pembengkakan (swellings) pada bantalan duduk (ischial callosities) dari pink menjadi merah. Betina akan mengutu pada jantan lebih sering daripada jantan yang mengutu pada betina saat mereka berada pada masa birahi (Reed et al. 1997). Pada jantan, perilaku seksual ditunjukkan dengan sistem hirarki yang ditentukan dengan perkelahian. Jantan dominan akan
5
mendapatkan sumberdaya dan akses terhadap betina lebih besar daripada jantan tidak dominan (Cawthon 2006). Yaki termasuk ke dalam frugivora atau pemakan buah-buahan. Menurut O’Brien dan Kinnaird (1997), pakan yaki terdiri lebih dari 145 jenis buah-buahan (66% dari total komsumsi), invertebrata (31.5%), tumbuhan hijau (2.5%), dan kadang-kadang vertebrata yang lebih kecil. Beberapa jenis serangga yang dimakan yaki meliputi rayap, tawon, ulat dalam gulungan daun Pongamia sp., lebah, semut, dan belalang. Adapun buah favorit yang menjadi makanan yaki pada dua Grup yaki dapat dilihat pada Lampiran 1. Secara umum genus macaca merupakan genus dengan persebaran yang paling luas saat ini. Genus macaca mempunyai kemampuan adaptasi terhadap iklim serta habitat yang paling baik dibandingkan dengan ordo primata yang lain (Bercovitch dan Huffman 1999). Di dunia terdapat 20 spesies dari genus macaca dan delapan spesies diantaranya merupakan endemik Sulawesi, salah satunya adalah yaki (Nowak 1999). Habitat yaki adalah hutan hujan tropis dengan ketinggian sedang. Yaki tersebar di semenanjung utara Pulau Sulawesi di sebelah timur Sungai Onggak Dumoga dan Gunung Padang yang berbatasan dengan persebaran M. nigrescens (Saroyo 2005). Akan tetapi, pada Sulawesi Utara sendiri yaki dapat dijumpai di CA Dua Sodara, Manembo-nembo, Kotamubagu dan Modayak. Saat ini, habitat yaki yang tersisa di Sulawesi Utara terbatas pada kawasan konservasi diantaranya adalah CA Tangkoko, CA Duasodara, TWA Batuputih, dan TWA Batuangus di Kabupaten Bitung Sulawesi Utara, dimana pada CA Tangkoko dan TWA Batuputih merupakan potensial habitat yaki yang tinggi (Indrawati, 2009). Akan tetapi, pada CA Duasodara dan TWA Batuangus merupakan potensial habitat rendah. Yaki juga telah diintroduksi ke Pulau Bacan di Maluku Utara yang populasinya lebih banyak dibandingkan dengan populasi aslinya (Supriatna dan Wahyono 2000). Kerapatan yaki di CA Gunung Sibela di Pulau Bacan mencapai 170.3 individu/km2, sedangkan di hutan yang sudah terganggu mencapai 133.4 individu/km2 (Saroyo 2005). Berikutnya populasi rata-rata yaki di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara pada tahun 2012 adalah 45 individu/ km2 (Palacious et al. 2012). Pada CA Tangkoko dan CA Duasodara, yaki dapat ditemukan di berbagai tipe habitat seperti hutan primer, hutan sekunder dan bekas terbakar, semak belukar, dan kebun warga (O'Brien dan Kinnaird, 1997). Wilayah jelajah (homerange) dari yaki adalah 114-320 ha dengan jelajah harian mencapai 6 000 meter (Rowe 1996). Luasan wilayah jelajah dan jelajah harian dapat berubah tergantung pada akses monyet terhadap hutan primer. Saat yaki mendapatkan akses terhadap hutan primer, mereka menghabiskan sedikit waktu untuk bergerak karena yaki mendapatkan kelimpahan yang tinggi dari buah-buahan sehingga tidak membutuhkan jelajah harian yang luas. Dapat disimpulkan bahwa saat musim berbuah, jelajah harian yaki tidak terlalu besar (O'Brien dan Kinnaird 2000).
6 Konflik Manusia dan Macaca sp. Berdasarkan IUCN (international union for conservation of nature) (2010), salah satu tantangan dalam konservasi satwa liar terletak pada peningkatan interaksi antara manusia dengan satwa liar, yang pada akhirnya menimbulkan konflik. Meningkatnya populasi manusia dan meluasnya pembangunan hingga merambah wilayah hutan menyebabkan konflik menjadi semakin sering terjadi. Konflik umumnya semakin luas pada kawasan sebaran alami satwa liar terutama dari jenis mamalia yaitu monyet. Hal ini karena kebanyakan populasi monyet hidup diluar kawasan lindung dan berdampingan dengan kawasan manusia. Pada yaki kehadiran manusia dapat menimbulkan dampak negatif terhadap perilaku yaki (Sari 2010). IUCN pada tahun 2008 juga menyebutkan yaki digolongkan sebagai satwa dengan status genting (endangered) dan dicantumkan dalam Apendiks II CITES. Status yaki diperoleh karena tren populasi yang cenderung mengalami penurunan (Supriatna dan Andayani 2008). Secara alami perilaku satwa liar lainnya tidak meresahkan masyarakat apabila mereka hidup pada habiat aslinya dan relatif tidak berdampingan dengan kehidupan masyarakat (Gilingham et al. 2003). Namun, keadaan perilaku ini akan mengalami perubahan ketika kehidupannya pindah pada kawasan lain (Naughton 1998), atau berdampingan dengan kehidupan masyarakat (Fuentes dan Wolfe 2002). Oleh sebab itu, masyarakat perlu memperkuat pemahaman yang komprehensif mengenai situasi konflik yang ada dan yang berpotensiakan muncul. Selanjutnya, masyarakat juga perlu melihat pengaruh baik untuk saat ini maupun pada masa mendatang. Pengintegrasian data kuantitatif dan kualitatif dari berbagai aspek perilaku dan ekologi manusia dan monyet dibutuhkan, ditambah dengan pemahaman yang baik mengenai persepsi masyarakat lokal terhadap situasi yang ada. Pengetahuan tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan strategi pengelolaan yang efektif dan sesuai dengan kondisi lokal untuk mencegah atau mengurangi konflik antara manusia dan monyet, tentunya dengan tetap menghargai tujuan konservasi dan kondisi sosio-kultural-ekonomi. Konflik manusia dan monyet umumnya terutama pada perambahan hasil pertanian oleh monyet dipengaruhi oleh jarak antara pertanian, batasbatas hutan, dan jumlah pertanian (Hill 2000). Konflik umumnya terjadi ketika habitat monyet hilang, sehingga monyet kehilangan tempat tinggal bahkan sampai kelaparan (Singleton et al. 2002).Dalam keadaan seperti itu,ini membuat monyet lebih mungkin untuk menyerang kebun rumah tangga. Kerentanan konflik antara manusia dan monyet juga berhubungan dengan umur, jenis kelamin, lokasi pertanian, etnis, aturan budaya, kumpulan tanaman, dan karakteristik perilaku dan ekologi satwa liar (Hill 2004). Luas dan intensitas kerusakan juga dapat bervariasi tergantung pada pola tanam, perilaku dan populasi satwa liar, dan ketersediaan makanan di habitat liar (Sekhar 1998). Kerugian tanaman yang disebabkan oleh satwa liar mungkin memiliki berbagai dampak terhadap rumah tangga petani.
7
Prinsip Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa Liar Konflik antara manusia dan satwa liar terjadi akibat sejumlah interaksi negatif baik langsung maupun tidak langsung antara manusia dan satwa liar. Pada kondisi tertentu konflik tersebut dapat merugikan semua pihak yang berkonflik. Konflik yang terjadi cenderung menimbulkan sikap negatif manusia terhadap satwa liar, yaitu berkurangnya apresiasi manusia terhadap satwa liar serta mengakibatkan efek-efek detrimental yaitu efek yang menyebabkan keburukan terhadap upaya konservasi. Kerugian yang umum terjadi akibat konflik diantaranya seperti rusaknya tanaman pertanian dan atau perkebunan serta pemangsaan hewan ternak oleh satwa liar, atau bahkan menimbulkan korban jiwa manusia. Kerugian yang umum terjadi akibat konflik diantaranya kerusakan tanaman pertanian dan atau perkebunan serta pemangsaan hewan ternak oleh satwa liar, atau bahkan menimbulkan korban jiwa manusia. Satwa yang keluar dari habitatnya dan membahayakan kehidupan manusia, harus digiring atau ditangkap dalam keadaan hidup untuk dikembalikan kehabitatnya. Apabila tidak memungkinkan untuk dilepaskan kembali kehabitatnya satwa dikirim ke Lembaga Konservasi untuk dipelihara (Pasal 26 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa). Dalam penanggulangan konflik manusia-satwa liar dibutuhkan proses dan upaya. Upaya dilakukan dengan mengedepankan kepentingan dan keselamatan manusia tanpa mengorbankan kepentingan dan keselamatan satwa liar. Berdasarkan Permenkehut No: P.48/MenhutII/2008, dalam pelaksanaan penanggulangan konflik antara manusia dengan satwa liar, perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1.Manusia dan satwa liar sama-sama penting. Konflik manusia dan satwa liar menempatkan kedua pihak pada situasi dirugikan. Dalam memilih opsi-opsi solusi konflik yang akan diterapkan, pertimbangan langkah untuk mengurangi resiko kerugian yang diderita oleh manusia, secara bersamaan harus didasari pertimbangan terbaik untuk kelestarian satwa liar yang terlibat konflik. 2.Site specific. Variasi karakteristik habitat, kondisi populasi, dan faktor lain seperti jenis komoditas, membuat intensitas dan solusi penanganan konflik bervariasi di masing-masing wilayah, menuntut penanganan yang berorientasikan kepada berbagai faktor yang berperan dalam sebuah konflik. Oleh sebab itu, sangat mungkin terjadinya pilihan kombinasi solusi yang beragam pula di masing-masing wilayah konflik. Solusi yang efektif disuatu lokasi, belum tentu dapat diterapkan pada situasi konflik di daerah lain, demikian pula sebaliknya. 3.Tidak ada solusi tunggal. Konflik antara manusia dan satwa liar dan tindakan penanggulangannya merupakan sesuatu yang kompleks karena menuntut rangkaian kombinasi berbagai solusi potensial yang tergabung dalam sebuah proses penanggulangan konflik yang komprehensif.
8 4.Skala lanskap. Satwa liar tertentu, termasuk gajah dan harimau, memiliki daerah jelajah yang sangat luas. Upaya penanggulangan konflik yang komprehensif harus berdasarkan penilaian yang menyeluruh dari keseluruhan daerah jelajahnya (home range based mitigation). 5.Tanggung jawab multi pihak. Selain sebagai sebuah isu konservasi, konflik juga mempengaruhi dan memiliki dampak sosial dan ekonomi di daerah. Sehingga penanggulangan konflik antara manusia dan satwa liar ini harus melibatkan berbagai pihak yang terkait termasuk dunia usaha dan para pengguna lahan skala luas untuk berbagi tanggungjawab. SIG dan Regresi logistik Biner Berdasarkan Aronoff (1991), SIG merupakan perangkat lunak komputer yang mampu memetakan dan menganalisa data geografis. SIG juga dikenal sebagai sistem komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi geografis. SIG juga merupakan sebuah sistem komputerisasi yang memungkinkan kita untuk mempelajari fenomena geografis melalui representasi komputer. Untuk tujuan ini, SIG akan memungkinkan kita untuk melakukan tiga tahapan dasar kerja, diantaranya: 1. Data entry: tahap awal yaitu data tentang fenomena dipelajari, dimasukkan ke dalam SIG, dan merepresentasikan yang akan dibuat. 2. Analisis data: tahap menengah yang di representasi dapat dimanipulasi dan dipelajari untuk mendapatkan wawasan baru. 3. Data presentasi: tahap akhir yaitu hasil analisis disajikan (dalam peta atau sebaliknya). SIG merupakan alat yang digunakan untuk menganalisis karakteristik lanskap tempat konflik secara spasial. Sistem informasi geografis merupakan seperangkat sistem komputer yang berfungsi untuk mengumpulkan, menyimpan, memanggil, menganilisis, dan menampilkan data geografis (Chang 2002). Sistem ini dipadukan dengan analisis secara statistika berupa regresi logistik biner untuk mengetahui variabel atau faktor-faktor yang memperngaruhi terjadinya konflik. Berdasarkan Mutaqin (2008), metode Regresi Logistik merupakan metode untuk mengkaji hubungan antara satu atau lebih peubah bebas dengan peubah respon. Perbedaan mendasar dengan model regresi linear yaitu pada peubah responnya. Peubah respon pada regresi logisik merupakan peubah biner atau dichotomous.Peubah bebas dapat berupa peubah kategorik maupun interval. Akan tetapi untuk regresi linear, peubah responnya minimal berskala interval. Perbedaaan lainnya tercemin pada pemilihan model parametrik dan asumsi-asumsi yang mendasari kedua model. Walaupun demikian, prinsip-prinsip pendugaan parameter yang digunakan dalam analisis model regresi logistik sama dengan analisis model regresi linear (Hosmer et al.1997). Jika data hasil pengamatan memiliki P peubah bebas yang ditunjukkan oleh vector x’ = (x1, x2, …, xp) dan peubah respon Y, dimana Y mempunyai
9
dua kemungkinan nilai yaitu 0 dan 1, dimana y=1 menyatakan respon memiliki kriteria yang ditentukan (presence) dan sebaliknya y=0 menyatakan respon tidak memiliki kriteria (absent), maka peubah respon Y akan mengikuti sebaran Bernouli dengan fungsi peluang:
P(Y y) y (1 )1 y Jika kejadian peubah respon Y berjumlah n, peluang setiap kejadian sama dan setiap kejadian saling bebas dengan yang lainnya maka peubah respon Y akan mengikuti sebaran binomial. Peluang bersyarat untuk peubah respon Y (yang memiliki kriteria ditentukan) jika x diketahui, ditunjukkan oleh P (Y=1/x)= π(x). Maka model regresi logistik dapat dituliskan sebagai berikut:
e g ( x) ( x) 1 e g ( x) Beberapa penelitian yang menggunakan regresi logistik sebagai metode analisis data antara lain: a. Penelitian elang jawa di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango oleh Syartinilia dan Tsuyuki (2008). Penelitian ini menggunakan sarang butung elang jawa sebagai variable terikat/ respon (P), sedangkan variabel bebas/ penjelas (Xji) antara lain kemiringan, ketinggian tempat, NDVI, Aspek (Sun Index), jarak ke jalan, jarak ke sungai dan jarak ke permukiman. b. Penelitian burung hantu kerdil utara di Pegunungan Rocky, Kanada oleh Piorecky dan Prescott (2006). Penelitian ini menggunakan lokasi perjumpaan dengan burung hantu kerdil utara sebagai variabel terikat/respon (Z), sedangkan variabel ebbas/penjelas (Xij) antara lain kelembaban, tutupan tajuk, komposisi vegetasi, komposisi umur vegetasi, komposisi tinggi tegakan, indeks fragmentasi, struktur alternatif, dan lain-lainnya.
10
3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di CA Tangkoko–Batuangus/ Duasodara, di Kabupaten Bitung, Sulawesi Utara (Gambar 2). Data digunakan untuk membuat pemodelan probabilitas adanya konflik yaki dengan manusia dilakukan di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara. Penelitian ini berlangsung pada bulan Oktober 2013 dan diakhiri sampai bulan Agustus 2015.
Gambar 2Lokasi penelitian Metode Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan beberapa metode mulai dari pengumpulan data (Tabel 1), metode pangkalan data spasial, analisis model probabilitas konflik, dan analisis variabel yang berpengaruh dalam penyebab terjadinya konflik dan penyusunan rencana manajemen (Gambar 3).
11
Tabel 1 Jenis data, sumber, dan kegunaannya No
Jenis Data
1. A
Aspek Fisik Citra Landsat 8 ETM+ path 111 row 059 Tahun 2014
B
ASTER DEMTahun 2014
C D
Batas Konservasi SULUT RBI
2. A
Aspek Sosial Demografi
Unit
Sumber
Cara Analisis
Kegunaan
Raster Landsat (resolusi 30x30 m2)
BIOTROP Training and Information Centre (BTIC)
ERDAS dan SIG
Raster (resolusi 30x30 m2) Vektor
(http://srtm.c si.cgiar.org/)
SIG
BKSDA Sulut BIOTROP Training and Information Centre (BTIC
SIG
1) Penutupan Lahan 2) Jarak terdekat ke Terbangun, Semak, Hutan primer dan sekunder, Kebun Campuran, dan Tanah Lapang 1) Elevasi 2) Kemiringan Lahan Peta Administratif Peta Administratif, Infrastruktur, Badan Air, Landuse
Kelurahan Kampung Batu Putih
Deskripsi 1)
Vektor
Dokumen
SIG
2)
3) 4) B
Budaya
Dokumen
Survei dan wawancara
Deskripsi
1) 2) 3) 4)
Jumlah Penduduk Umur dan Jenis Kelamin Pekerjaan Penyebaran Penduduk Etnik Adat Istiadat Kepercayaan Sampling Potensi Komoditas
12 Macaca nigra Konflik Analisis Sosial
Analisis Biofisik
Wawancara Semi-Struktur &Ground-truth
SIG &RS Data base
Dampak Konflik Random sample Hawths tools
Penutupan Lahan
Kemiringan
Ketinggian
Presence & Pseudo-absences Variabel Lingkungan UJI VIF
Variabel Terikat Variabel Tidak Terikat
Penerapan Regresi Logistik Uji Kelayakan Model & Validasi Model Probabilitas Konflik Analisi Penyebab konflik Manajemen Penanggulangan Konflik
Gambar 3 Bagan alur studi Pangkalan Data Spasial Penyusunan data spasial adalah kegiatan pembuatan peta tematik yang berupa peta ketinggian, peta kemiringan lahan, peta penutupan lahan, data presence dan pseudo-absence, serta peta variabel lingkungan. Peta tematik dibuat menggunakan perangkat lunak ArcGIS versi 9.3 dan ERDAS Imagine versi 9.1.Peta tersebut dilengkapi dengan informasi deskripsi (attribute) yang menerangkan peta tersebut. a. Peta ketinggian dan kemiringan lahan Peta ketinggian dan kemiringan lahan dihasilkan dari peta DEM (Digital Elevation Model) yang diperoleh dari ASTER GDEM melalui situs http://asterweb.jpl.nasa.gov/gdem.asp. Bagan alir perolehan peta ketinggian dan peta kemiringan lahan terdapat pada Gambar 4. Peta DEM Pemotongan sesuai area studi Proyeksi ke UTM
Analisis topografi
Peta Ketinggian
Peta Kemiringan
Gambar 4 Bagan alur pembuatan peta ketinggian dan peta kemiringan
13
Peta DEM merupakan data ketinggian suatu tempat. Pembuatan peta ketinggian pada klasifikasi ketinggian berbentuk data kontinu disesuaikan dengan distribusi data yang terbagi menjadi 3 kelas (Gambar 5 dan Tabel 2).
Gambar 5 Peta ketinggian Tabel 2 Kelas ketinggian No 1. 2. 3.
Kelas Ketinggian (mdpl) 0-400 400-800 >800
Luas (ha) 6896.63 4114.73 762.72
Pada pembuatan peta kemiringan lahan, klasifikasi kemiringan lahan terbagi menjadi 5 kelas kemiringan dari tingkatan kemiringan datar sampai sangat curam (Tabel 3 dan Gambar 6).Penetapan klasifikasi berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung dan SK Menteri Pertanian No.683/Kpts/Um/II/1981 tentang Tata Cara Penetapan Hutan Produksi. Tabel 3 Luas tiap kelas kemiringan No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kelas Kemiringan Datar Landai Agak Curam Curam Sangat Curam
Tingkat Kemiringan (%) 0–8 8–15 15–25 25–40 >40
Kemiringan (°) 0.00–6.56 6.56–12.3 12.3–20.5 20.5–32.8 > 32,8
Luas (ha) 1344.89 2268.12 3439.51 2797.55 1924.02
14
Gambar 6 Peta kemiringan b. Peta penutupan lahan Pada tahap inventarisasi dilakukan berbagai kegiatan antara lain persiapan data, pengumpulan data spasial dan non-spasial, serta survei lapang. Data satelit citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra Landsat 8 ETM+ path 111 row 059tahun 2014 yang telah dilakukan Gap fillinguntuk meminimalisir adanya tutupan lahan berupa awan. Bagan alir pembuatan peta penutupan lahan terdapat pada Gambar 7. Landsat 8 ETM+ Koreksi Geometrik Klasifikasi terbimbing Validasi (hasil ground truth check)
Tidak
Ya Peta penutupan lahan
Gambar 7 Bagan alur pembuatan peta tutupan lahan Kelas penutupan lahan dibagi ke dalam 7 kelas (Tabel 4). Peta penutupan lahan dapat dilihat pada Gambar 8. Deskripsi kelas penutupan lahan yang terdapat di kawasan penelitian terbagi menjadi tujuh penutupan lahan (Tabel 5). Analisis dilakukan menggunakan perangkat lunak ERDAS Imagine versi 9.1, dengan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification) dengan batasan parameter maximum likelihood. Klasifikasi terbimbing dilakukan berdasarkan informasi yang didapatkan dari survei
15
pada lokasi penelitian (ground truth check). Informasi tersebut digunakan sebagai training area untuk klasifikasi terbimbing dan validasi (Gambar 9).Training area diperlukan dalam setiap kelas yang akan dibuat. Training area juga harus bisa melihat secara jelas perbedaan yang tampak pada citra. Training area tidak hanya digunakan untuk proses klasifikasi, tetapi juga digunakan untuk proses validasi hasil klasifikasi. Perbandingan bobot training area sebagai sampel untuk proses klasifikasi dan validasi adalah 75%:25% dari total training area yang dibuat. Validasi penutupan lahan menggunakan akurasi Kappa dan akurasi keseluruhan (Lampiran 2). Tabel 4 Luas penutupan lahan Penutupan Lahan Awan Hutan Primer Hutan Sekunder Semak Kebun Campuran Tanah Lapang Bangunan
Luas (ha) 1094.99 4332.86 2566.75 1730.79 1707.24 259.03 82.42
Persentase (%) 9.3 36.8 21.8 14.7 14.5 2.2 0.7
Gambar 8 Peta penutupan lahan Tabel 5 Kelas penutupan lahan dan deskripsinya No 1
Kelas Penutupan Lahan Semak
2
Kebun Campuran
Deskripsi Seluruh kawasan yang terdiri dari campuran antara vegetasi tinggi dan vegetasi rendah yang tumbuh secara liar dan belum termanfaatkan. Seluruh kawasan binaan penduduk yang terdiri dari campuran antara vegetasi tinggi dan vegetasi rendah yang tumbuh secara teratur dan cukup terpola.
16 Tabel 5 Kelas penutupan lahan dan deskripsinya (Lanjutan) No 3
Kelas Penutupan Lahan Terbangun
4
Hutan Primer
5 6
Hutan Sekunder Tanah Lapang
7
Awan
Deskripsi Seluruh bangunan, baik didalamnya fasilitas wisata maupun kawasan pemukiman penduduk, serta jalan yang ada di lokasi studi. Seluruh hamparan baik kering maupun basah yang didominasi oleh pohon. Seluruh hamparan kering yang didominasi oleh vegetasi rendah. Seluruh hamparan kosong baik yang ditumbuhi rumput seperti lapangan, maupun tidak ditumbuhi vegetasi seperti lava dan berbatuan. Seluruh kawasan yang tertutup awan.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 9 Kondisi penutupan lahan(a) hutan primer (b) hutan sekunder (c) semak (d) pemukiman (e) kebun campuran, dan (f) lahan kosong
17
c. Peta variabel lingkungan Variabel Lingkungan merupakan variabel yang digunakan untuk menentukan karakteristik lanskap yang mempengaruhi terjadinya konflik (Hill 2000). Sebanyak 14 variabel lingkungan yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan kepada kebutuhan dan aktifitas harian manusia dan yaki(Tabel 6). Tabel 6 Variabel lingkungan No
1. 2. 3.
4. 5. 6. 7. 8. 9
10. 11. 12. 13. 14.
Variabel Lingkungan Jarak Terdekat ke Ketinggian 0-400 mdpl Jarak Terdekat ke Ketinggian 400-800 mdpl Jarak Terdekat ke Ketinggian> 800 mdpl
Jarak Terdekat ke Semak Belukar Jarak Terdekat ke Kebun Campuran Jarak Terdekat ke Terbangun Jarak Terdekat ke Hutan Primer Jarak Terdekat ke Hutan Sekunder Jarak Terdekat ke Tanah Lapang Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan 0-8% Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan 8-15% Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan 15-25% Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan 25-40% Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan >40%
Singkatan Slope JTE1 JTE2 JTE3
Preferensi
Moving,Feeding,For aging, Resting, Social(Perebutan Wilayah antar Grup) dan AktifitasManusia
Sumber
Ekstraksi dari ASTER DEM yang dibuat menjadi peta Jarak terdekat
Penutupan Lahan JTSB JTKC JTBG JTHP
Moving, Feeding, Foraging, Resting, Social dan Aktifitas Manusia
JTHS
Ekstraksi dari peta penutupan lahan yang dibuat menjadi peta jarak terdekat
JTTL Kemiringan JTS1 JTS2 JTS3 JTS4
Moving, Resting, Social dan Aktifitas Manusia
Ekstraksi dari ASTER DEM yang dibuat menjadi peta Jarak terdekat
JTS5
Variabel tersebut selanjutnya dibuat peta jarak (euclidean distance) (Lampiran 3-16) menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3. Euclidiaen distance difungsikan untuk memberikan informasi tentang jarak setiap sel dalam raster ke sumber terdekat (ESRI 2007). Analisis Dampak Konflik Pada analisis dampak konflik dilakukan melalui survei yaitu menggunakan wawancara semi-terstruktur dan ground-truth check untuk menyelidiki persepsi penduduk terjadinya konflik manusia dan yaki dalam pengambilan hasil pertanian dan perkebuan para penduduk.
18 Kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama ground-truth check antara lain: (1) mencatat setiap lokasi geografis perjumpaan terjadinya konflik dengan menggunakan GPS; (2) mencatat kondisi umum lokasi penelitian (analisis vegetasi, keberadaan satwa lain atau predator, sumber air, topografi, dan ketinggian); (3) mencatat perilaku perusakan yang dilakukan oleh yaki. Akan tetapi pengamatan lain melalui metode wawancara yang dilakukan dengan pengumpulan kuisioner yang berbentuk multi-respon yang dimulai dengan beberapa pertanyaan khusus dan selanjutnya sudut pandang masing-masing individu sejalan dengan penggalian lebih lanjut oleh peneliti. Kerangka wawancara diadaptasi dari Gillingham et al. (2003) (Tabel 7). Wawancara dilakukan dalam Bahasa Indonesia dengan bantuan seorang penerjemah lokal. Tabel 7 Kerangka wawancara semi terstruktur Jumlah responden, tanggal, lokasi (nama desa), jenis kelamin, dan waktu pelaksanaan wawancara pertama kali ditanyakan, kemudian direkam dan dicatat. Selanjutnya, dilanjutkan pertanyaan berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Berapa umur Anda? Apa etnik Anda? Apa agama Anda? Sudah berapa lama Anda tinggal di desa ini? Apa posisi Anda dalam rumah tangga? Berapa jauh rumah dari kebun Anda? Jenis tanaman apa yang tumbuh di kebun Anda? Apakah Anda menjual hasil panen kebun Anda, atau hanya untuk konsumsi rumah tangga? 9. Apa yang membatasi hasi kebun Anda? a. Responden menjawab “ya” untuk pertanyaan ini kemudian diminta: “manakah dari jenis masalah membatasi hasil panen di kebun Anda?”. Responden diminta untuk merangking masalah dalam urutan kepentingan. b. Jika responden mengatakan satwa liar sebagai salah satu masalah, mereka diminta menjawab pertanyaan “hewan yang merusak kebun adalah?” kemudian responden diminta untuk merangking empat spesies satwa liar yang menyebabkan kerusakan yang paling parah dalam perusakan kebun. c. Responden melaporkan primata sebagai penyebab kerusakan hasil kebun, kemudian responden kembali ditanya “Kapan terakhir kali primata menyebabkan kerusakan pada hasil kebun?” dan “spesies primata manakah yang sering Anda lihat sebagai perusak kebun Anda?” 10. Metode yang Anda gunakan untuk melindungi kebun Anda? 11. Apakah Anda pernah melihat/ mendengar seseorang menembak/ menjebak untuk menjaga hasil kebun? Responden yang menjawab “ya” kemudian ditanya kembali “apakah orang ini membunuh hewan atau melukai hewan itu?”
Sumber: Hill (2000) dengan modifikasi Wawancara dilakukan pada dua kampung yang berada di sekitar kawasan konservasi yaitu: Kampung Batuputih yang didominasi suku Sangir (28 responden) dan Kampung Pinangunian (2 responden dan 1 responden kunci) yang umumnya didominasi oleh suku Minahasa. Pemilihan responden menggunakan metode purposive sampling, yaitu responden yang memiliki kepemilikan lahan di sekitar kawasan konservasi
19
dan lahan tersebut pernah didatangi oleh yaki. Berdasarkan Hill (2000), jarak antar pertanian, batas-batas hutan dan jumlah peternakan setiap rumah tangga mempengaruhi kerentanan terhadap konflik. Sehingga pembagian bentukan lahan respondendibedakan berdasarkan tiga jenis (Gambar 10). Bentukan lahan tersebut yaitu: a. Kebun. Lahan yang ditanami oleh tanaman kelapa, singkong, palawija, buah yang ditujukan untuk diambil produktivitasnya baik untuk konsumsi sendiri maupun dijual. b. Rumah. Lahan yang digunakan untuk tempat tinggal. Umumnya terdapat pekarangan disekitarnya dan kandang . c. Kebun–Rumah. Lahan yang digunakan untuk kebun yang ditanami oleh tanaman kelapa, singkong, palawija, buah dan di dalamnya juga terdapat rumah untuk tempat tinggal.
(a) (b) (c) Gambar 10 Bentukan lahan lokasi wawancara (a) rumah, (b) rumah-kebun, dan (c) kebun Analisis Model Probabilitas Konflik a. Analisis Penyusunan Model Analisis dilakukan berdasarkan pada perbandingan variabel lingkungan yang terdapat pada lokasi perjumpaan dengan terjadinya konflik dan lokasi yang diduga tidak ditemukannya konflik berdasarkan hasil wawancara semi-terstruktur dan ground-truth check (32 titik) kemudian ditambah dengan data random sampleplug-in Hawths Tools pada software Arc GIS 9.3 dengan grid 30x30 m2 (27 titik). Analisis statistik yang dilakukan untuk membangun model menggunakan regresi logistik biner (Binary Logistic Regression). Total data yang digunakan yaitu 60 titik (Gambar 11). Sebanyak 70% (42 titik) yang digunakan untuk pembuatan model, kemudian 30% (18 titik) digunakan untuk validasi. Data presence (21 titik) adalah lokasi yaki datang dan menimbulkan konflik. Data pseudoabsence (21 titik) adalah lokasi yaki datang tetapi tidak menimbulkan konflik (Lampiran 17). Data presence dan pseudo-absence ditumpang tindih dengan euclidean distance variabel lingkungan untuk mengetahui variabel yang mempengaruhi penyebab adanya konflik manusia dan yaki. Autokolinearitas antar variabel bebas dapat diketahui denganmelakukan uji Variance Inflation Factor (VIF). Prosedur penanggulangan yang ditempuh untuk mengatasi masalah autokolinearitas
20 adalah dengan mengelimiinasi peubah-peubah lingkungan yang memiliki hubungan linear sempurna atau yang mengalami multikolinearitas. Pengembangan model regresi logistik dimulai dengan memasukkan peubahpeubah lingkungan yang tersisa setelah dilakukan eliminasi berdasarkan uji VIF. Semua analisis statistik dilakukan dengan menggunakan program SPSS 16. Peta distribusi konflik dibuat dengan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGis 9.3 dan RAMAS GIS. ArcGIs menggabungkan semua informasi yang ada (peubah-peubah lingkungan yang signifikan) ke dalam sebuah peta distribusi konflik dengan fungsi regresi logistik.
Gambar 11 Peta presence dan pseudo-absence Rumus yang digunakan untuk menggambarkan fungsi regresi logistik (LR Logistic Regression) sebagai berikut: 1 Pi k 1 exp 0 j x ji j 1 Keterangan: (Pi) Peluang titik observasi ke-i probabilitas konflik tinggi; (β0) Intersep; (k) Jumlah variabel penduga (=n); (βj) Koefisien regresi logistik biner dari variabel penduga ke-j; (xji) Variabel penduga ke-j. Tingkat terjadinya konflik ditentukan berdasarkan pada tiga kategori yaitu tidak sesuai terjadi konflik, sangat sesuai terjadi konflik, dan sesuai terjadi konflik. Penentuan ambang batas kategori mengacu pada Supranto (2000) yang menenetukan interval ambang batas suatu kategori berdasarkan persamaan sebagai berikut:
21
JarakInterval
( P max P min) JumlahKate gori
Berdasarkan persamaan tersebut, ambang batas yang digunakan untuk masing-masing kategori adalah sebagai berikut: 1. nilai P antara 0.003 sampai < 0.334 untuk kategori “probabilitas konflik rendah”; 2. nilai P antara > 0.334 sampai 0.665 untuk kategori “probabilitas konflik tinggi” dan; 3. nilai P antara > 0.665 sampai 0.996 untuk kategori “probabilitas konflik sedang”. b. Uji Kelayakan Model Uji kelayakan model menilai bagaimana sebuah model dapat menggambarkan variabel terikat.Penilaian kelayakan model berkaitan dengan penelusuran seberapa dekat nilai prediksi dari sebuah model terhadap nilai pengamatan. Untuk melakukan uji kelayakan model, maka digunakan uji Hosmer-Lemeshow (>0.05 model dinyatakan layak). Uji ini cocok untuk model yang terdiri dari beberapa variabel bebas baik yang bernilai kontinu atau kategorik (Hosmer et al. 1997). Koefisien determinasi (R2) ditentukan dengan menggunakan model Nagelkerke R2 yang analog dengan R2 pada metode kuadrat terkecil untuk fungsi regresi linear berganda (Piorecky dan Prescott, 2006).Nagelkerke R2 menunjukkan seberapa penting variabel bebas dalam memprediksi variabel terikat. c. Validasi Model Validasi model dilakukan di lokasi yang hampir sama dengan lokasi pengambilan cara untuk membangun model. Teknis pelaksanannya adalah 30% digunakan untuk keperluan validasi model. Lokasi dilaksanakan di CA Tangkoko–Batuangus/ Duasodara . Terdapat dua kesalahan (error) yang dijumpai dalam tahap validasi model yaitu omission error dan commission error. Omission error adalah model memprediksi lokasi tidak sesuai untuk terjadinya konflik, akan tetapi pada lokasi sebenarnya dijumpai terjadi konflik. Commission error adalah model memprediksi lokasi sesuai untuk terjadinya konflik, akan tetapi tidak ada laporan yang menyatakanterdapat konflik di lokasi tersebut (Syartinilia dan Tsuyuki 2008). Analisis Penyebab Konflik Hasil dari model probabilitas konflik akan diketahui faktor utama yang berpengaruh terhadap konflik. Faktor tersebut memiliki nilai signifikansi < 0.1 (taraf kesalahan = 10%) sehingga berpengaruh signifikan terhadap terjadinya konflik. Rekomendasi manajemen penanggulangan konflik manusia dan yaki Rekomendasi manajemen penanggulangan konflik manusia dan yaki disusun setelah pembuatan model probabilitas konflik. Rekomendasi dibuatuntuk membantu masyarakat lokal dalam mengatasi konflik dengan yaki dan menjadi masukan bagi balaikonservasi sumber daya alam
22 (BKSDA) Sulawesi Utara dalam menyusun rencana pengelolaan wilayah dan sangat dibutuhkan untuk mengembangkan rencana jangka panjang strategi konservasi habitat alami dari yaki.
23
4 KONDISI UMUM Profil Kawasan CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara merupakan kawasan suaka alam dengan luas wilayah 8 867 ha yang ditujukan untuk perlindungan hidrolorologis bagi wilayah Bitung Utara dan terletak 125°3’ - 125°15’ BT dan 1°30’ - 1°34’ LU. CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara mencakup kawasan TWA Batuputih, TWA Batuangus, serta CA Tangkoko dan CA Duasodara yang bersampingan. Secara geografis keempat kawasan konservasi tersebut terletak di ujung paling utara dari semenanjung utara pulau Sulawesi. Batas CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara adalah Gunung Tangkoko, Gunung Batuangus, dan Gunung Duasodara dibagian utara, barat dan selatan serta pesisir pantai dibagian timur (Hakim 2010). CA Tangkoko–Batuangus/ Duasodara merupakan kawasan konservasi yang terkenal kekayaan alamnya serta keaneragaman tumbuhan dan satwa endemik. Serta dikenal pula sebagai salah satu kawasan hutan dengan panorama yang indah dan menarik. Pada awal abad ke-20, Pemerintah Kolonial Belanda yang berkuasa atas Kepulauan Nusantara saat itu mulai menerbitan status kepemilikan lahan dan bukti-bukti administrasinya, termasuk pula penetapan dan penataan kawasan-kawasan hutan di seluruh Indonesia. Kawasan Gunung Duasodara telah ditunjuk sebagai cagar alam pada tanggal 13 November 1978 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 700/Kpts/Um/7/78 dengan luas ± 4 299 Ha. kemudianpada tanggal 20 Desember1981 sebagian kawasan CA Tangkoko berdasarkan SK Menteri Pertanian No 1049/Kpts/UM/12/1981 ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman wisata alam yaitu TWA Batuputih dengan luas 615 ha dan TWA Batuangus seluas 635 Ha, sehingga luas CA Tangkoko menjadi 3 196 ha. Penetapan TWA Batuputih dan Batuangus karena dinilai memiliki potensi wisata alam yang besar berupa panorama pantai dan perairan, maka kawasan ini dipandang perlu untuk dibina secara khusus bagi kepentingan rekreasi, pariwisata alam, pendidikan, dan kebudayaan. Terdapat berbagai jenis tumbuhan pantai, dataran rendah, dan berbagai jenis satwa di TWA Batuputih.Lokasi TWA Batuputih berbatasan langsung dengan kampung Batuputih dan CA Tangkoko.Sama halnya dengan TWA Batuputih, TWA Batuputih juga merupakan salah satu wilayah CA Tangkoko. Namun pada TWA Batuangus ditemui dataran tandus yang merupakan bekas letusan lahar gunung berapi yang warnanya hitam pekat layaknya batu yang terbakar (angus/ gosong), sehingga menyulitkan bagi pertumbuhan. Terdapat empat kampung yang terdapat di sekitar kawasan CA Tangkoko–Batuangus/ Duasodara yaitu Kampung Batuputih, Kampung Kasuari, Kampung Pinangunian, dan Kampung Dua sodara (Gambar 12). Kampung Batuputih dan Kampung Kasuari terletak dekat dengan pantai dan kawasan konservasi berupa TWA. Oleh karena itu, terdapat aktivitas ekowisata di kedua kampung tersebut. Kampung Pinangunian dan Kampung Duasodara terletak pada ketinggian sedang sampai tinggi dan berbatasan
24 langsung dengan kawasan konservasi berbentuk CA. Kampung-kampung sekitar kawasan ini, seperti pada umumnya masyarakat Sulawesi Utara memiliki budaya pesta yang cukup tinggi.Dalam pelaksanaanya, mereka membutuhkan persediaan kayu yang banyak untuk digunakan sebagai tenda atau kayu bakar. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut masyarakat seringkali mengambil kayu bakar dalam kawasan. Kayu dalam kawasan juga sering digunakan sebagai pembuatan perahu.Masyarakat juga memiliki kebiasaan mengkonsumsi daging satwa liar, seperti misalnya yaki. Kebutuhan daging satwa ini meningkat pada saat pelaksanaan pesta dan sayangnya bukan hanya untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, daging satwa liar ini juga diperdagangkan sehingga memicu tingginya tingkat perburuan.
Gambar 12 Peta kampung sekitar kawasan konservasi Batas Wilayah Lokasi Penelitian Pengklasifikasian lokasi penelitian berada di perbatasan kawasan konservasi dengan kampung sekitar. Oleh sebab itu, lokasi penelitan ditentukan berdasarkan batas terluar dari kawasan CA Tangkoko– Batuangus/ Duasodara dengan ditambah jari-jari wilayah jelajah yaki yang dianggap berbentuk lingkaran.Berdasarkan Rowe (1996), wilayah jelajah dari yaki adalah 114-320 ha. Menurut O’Brien dan Kinnaird (1997) di CA Tangkoko–Batuangus/ Duasodara terhadap tiga kelompok yaki selama 18 bulan mendapatkan hasil wilayah jelajah dari kelompok Malonda adalah 218 ha, kelompok Rambo I 406 ha dan kelompok Rambo II 156 ha. Nilai jari-jari masing-masing wilayah jelajah yaki disajikan pada Tabel 8.
25
Tabel 8 Jari-jari wilayah jelajah yaki No. Wilayah Jelajah 1. 114 m2 2. 320 m2 3. 156 m2 4. 218 m2 5. 406 m2 Rata-Rata
Sumber Rowe (1996) Rowe (1996) O’Brien dan Kinnaird (1997) O’Brien dan Kinnaird (1997) O’Brien dan Kinnaird (1997)
Jari-Jari (meter) 602.54 1009.51 704.85 833.23 1137.10 859.13
Berdasarkan tabel 8 rata-rata jari-jari wilayah jelajah yaki adalah 859.13 m, sehingga lokasi penelitian juga bertambah dengan pertambahan buffer terluar sebesar 850 m kearah darat (Gambar 13). Total lokasi penelitian adalah kawasan konservasi ditambah dengan penambahan buffer yaitu 11 774.089 ha.
Gambar 13 Peta batas lokasi penelitian Kondisi Macaca nigra Selama penelitian, dijumpai empat kelompok yaki, namun dari lima kelompok dilakukan pengamatan terhadap dua populasi yaitu Rambo I, Rambo II dan Pantai Batu. Kelompok Rambo IImerupakan kelompok yang telah terhabituasi dengan manusia, Rambo I merupakan kelompok yang belum terlalu terhabituasi dengan manusia, dan Pantai Batu merupakan kelompok yang belum terhabituasi dengan manusia. Berdasarkan Hakim (2010), populasi kelompok yang diamati dapat dilihat pada Tabel 9.
26 Tabel 9 Ukuran populasi yaki No 1 2 3
Nama Kelompok I II Pantai Batu
Dewasa ♂ ♀ 8 24 4 20 7 19
Jumlah Individu (ekor) Muda Anak Bayi ♂ ♀ 5 5 26 4 4 2 22 10 1 7 19 8
Total 72 64 61
Setiap kelompok yakiyang diamati memiliki karakteristik yang berbeda-beda.Kelompok Rambo I yang memiliki jumlah kelompok paling besar dibandingkan kelompok lainnya.Kelompok ini daerah jelajahnya secara umum adalah daerah perbatasan antar hutan yang masih jarang dilalui oleh manusia dengan hutan yang sudah sering dimanfaatkan oleh manusia. Berdasarkan informasi dari petugas serta peneliti, pada awalnya jumlah kelompok Rambo I ini mencapai 100 ekor, tetapi karena adanya persaingan dalam kelompok ini, maka beberapa ekormelepasakan diri ada yang membentuk kelompok sendiri maupun bergabung dengan Rambo II. Rambo II dalam jelajah hariannya sering dijumpai pada hutan dataran rendah sekunder yang telah banyak dimanfaatkan oleh manusia, kebun campuran, semak, dan perkampungan. Dibandingkan Rambo I, kelompok ini lebih terhabituasi dengan manusia bahkan kadang tidak lagi takut dengan kehadiran manusia. Kelompok terakhir yang diamati dikenal dengan kelompok Pantai Batu merupakan kelompok yang tidak terhabituasi dengan manusia dan menempati daerah yang sangat jarang dilalui oleh manusia. Kondisi Masyarakat Kondisi masyarakat yang berbeda akan memberikan pengaruh besar terhadap permasalahan kawasan yang berbeda pula. Kampung Batuputih dan Kampung Kasuari didominasi oleh Suku Sangir dengan manyoritas mata pencahariannya adalah nelayan, petani, dan pemandu. Kampung Pinangunian dan Kampung Duasodara umumnya didominasi Suku Minasaha yang mayoritas bermata pencaharian petani dan pemburu (Tabel 10). Tabel 10 Gambaran umum etnis dan pekerjaan No 1 2 3 4
Nama Kampung Batuputih Duasodara Pinangapian Kasuari
Etnis Sangir dan Shiau Minahasa Minahasa Sangir
Pekerjaan Nelayan, petani, danpemandu Petani, dan pemburu Petani dan pemburu Nelayan dan Pemandu
Profil Kampung Batuputih Berdasarkan Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Cagar Alam Tangkoko Tahun 2008 s/d 2032, Kampung Batuputih memiliki luas 1 932 ha. Kampung Batuputih terbagi menjadi dua yaitu, Kampung Batuputih Bawah dan Kampung Batuputih Atas dengan jumlah penduduk 1 588 penduduk pada kampung Batuputih Atas dan 1 531 penduduk pada Kampung Batuputih Bawah. Batas Kampung Batuputih sebelah utara
27
berbatasan dengan Kampung Likupang, sebelah timur perkebunan Kampung Duasodara, sebelah selatan berbatasan dengan TWA Batuputih dan CA Tangkoko, dan Sebelah barat berbatasan dengan Selat Likupang. Kampung ini terletak sangat dekat dengan TWA Batuputih dan CA Tangkoko. Jalan yang ditempuh dari Kota Bitung menuju Kampung Pinangunian cukup baik dan aman. Mata pencaharian utama yaitu nelayan, petani dan pemandu. Tanaman perkebunan yang ditanam umumnya kelapa, mangga, dan singkong. Sebagian masyarakat ada yang bekerja sebagai buruh kapal atau bangunan, wiraswasta, pegawai negeri, tukang, sopir, dan pemuka agama. Berdasarkan hasil wawancara, hasil komoditas sebagian dijual dan sebagian untuk konsumsi pribadi. Masyarakat umumnya membawa hasil pertanian di pasar besar (Pasar Girian) yang terletak di Kota Bitung. Profil Kampung Pinangunian Kampung Pinangunian memiliki luas 1 637 ha, dengan jumlah kepala keluarga 189.Jumlah penduduk 702 jiwa (laki-laki 353 jiwa dan perempuan 349 jiwa) (Dwiyahreni et al. 2001). Batas kampung sebelah utara dengan kawasan CA Tangkoko, sebelah timur perkebunan Kampung Makawidey dan Tandurusa, sebelah selatan dengan Kampung Winenet dan Kekenturan, dan Sebelah barat dengan CA Tangkoko-Duasodara (Dwiyahreni et al. 2001). Kampung ini terletak sangat dekat dengan CA Duasodara. Jalan yang ditempuh dari Kota Bitung menuju Kampung Pinangunian tidak begitu baik dan cukup berbahaya. Berdasarkan Laatung (2006) menyatakan mata pencaharian utama adalah bertani dan berkebun (134 orang). Luas perkebunan yaitu 357.25 ha. Tanaman perkebunan yang ditanam umumnya kelapa. Sebagian masyarakat ada yang bekerja sebagai buruh kapal atau bangunan, wiraswasta, pegawai negeri, tukang, dan pemburu. Hasil pertanian dan perkebunan dipasarkan di Kampung Pinangunian sendiri atau di pasar terdekat yang terletak di Kampung Winenet. Tidak sedikit masyarakat yang membawa hasil pertanian di pasar besar (Pasar Girian) yang terletak di Kota Bitung. Aktivitas Masyarakat Aktivitas Ekowisata CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara merupakan gabungan dari empat kawasan konservasi yang saling menyatu, yaitu CA Tangkoko, CA Duasudara, TWA Batuputih, dan TWA Batuangus. Kawasan tersebut awalnya diperuntukan sebagai cagar alam yaitu CA Tangkoko berdasarkan GB. NO. 6 Stbl 1919 dan CA Duasudara berdasarkan SK. Mentan No. 700/kpts/Um/11/78. Kemudian berdasarkan SK. Mentan No. 1049 /Kpts/Um/12/18 tgl 24-12-1981, pada kawasan cagar alam tersebut dibentuk kawasan taman wisata alam, yaitu TWA Batuputih dan TWA Batuangus. Perbedaan status kawasan tersebut berpengaruh pada fungsi dan pengelolaan kawasan. TWA yang merupakan kawasan pelestarian alam memiliki fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Pada TWA dapat dilakukan kegiatan untuk
28 kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan menunjang budidaya, budaya, dan ekowisata. Kampung Batuputih merupakan perkampungan yang paling dekat dengan TWA yaitu TWABatuputih. Aktivitas ekowisata mancanegara pada Kampung Batuputih mencapai puncaknya pada setiap bulan Juli-September. Terdapat organisasi masyarakat yaitu kelompok pemandu ekowisata Tangkoko. Kelompok ini bersama-sama dengan jagawana di Resort BKSDA Tangkoko-Batuangus/ Duasudara menyelenggarakan aktivitas ekowisata. Aktivitas ekowisata di Kampung Batuputih dimulai sejak tahun 1980-an. Dengan keterlibatan beberapa anggota masyarakat lokal ini sebenarnya berdampak positif, masyarakat mulai merasakan manfaat langsung keberadaan kawasan konservasi di daerah tersebut. Dengan kerjasama seperti ini, masyarakat mulai menyadari pentingnya pelestarian yaki sebagai salah satu satwa khas di TWA dan CA. Selain itu, kelompok pemandu ini juga berperan sebagai mediator penyebaran pesan-pesan konservasi kepada anggota masyarakat lain dan mereka selalu dilibatkan dalam kegiatan kegiatan patroli dan pengontrolan api jika terjadi kebakaran di kawasan konservasi. Tarif pemandu relatif mahal yakni antara Rp85 000 per orang, termasuk biaya karcis masuk dengan lama perjalanan rata-rata 3 jam. Apabila bersama bersama pemandu, biaya karcis bertambah menjadi Rp200 000 per orang., tergantung dari paket ekowisata yang diinginkan. Tingginya permintaan terhadap paket wisata di TWA Batuputih menyebabkan kaidah ekowisata yang bertanggungjawab bergeser. Ekowisata dilakukan hingga ke dalam wilayah CA karena batas antara CA dan TWA sampai sekarang tidak jelas. Hal inilah yang dalam jangka panjang dapat mengancam kelestarian yaki. Perilaku satwa yang terhabituasi dengan manusia menimbulkan sifat liar satwa jadi berkurang dan hal inilah yang mulai tampak pada kelompok Rambo II. Perubahan perilaku ini dapat menyebabkan berbagai permasalahan antara lain meningkatnya resiko zoonosis, perubahan preferensi pakan satwa dari pemakan buah menjadi pemakan segalanya (omnivora) seperti manusia. Aktivitas Perburuan Liar Perburuan yaki sebagai makanan dan hewan peliharaan merupakan penyebab penurunan populasi satwa ini (Rosenbaum et al., 1998). Hal ini sesuai dengan penelitian pasar yang dilakukan oleh Lee (1999) yang menyebutkan bahwa yakiselama tahun 1994-1997 di pasar penjualan daging jumlah penjulannnya sebesar 38.10 % dalam kategori hewan dilindungi yang diperjual belikan dan hampir semuanya diperoleh dari kawasan yang dilindungi. Daging yaki bagi sebagian orang di Sulawesi Utara merupakan makanan yang khas terutama dalam upacara hari besar keagamaan bagi umat nasrani. Tingginya permintaan terhadap daging yaki menyebabkan perburuan terhadap satwa ini terus berlangsung. Menurut informasi masyarakat setempat harga daging yaki di pasar tradisional ± Rp30 000 per kg dan daging ini disukai karena memilki lemak lebih sedikit. Pemburu biasanya menggunakan senapan api dan memasang dudeso atau jebakan yang terbuat dari tali tambang yang dapat menjerat kaki atau tangan yaki.
29
Lokasi CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara yang dekat dengan akses dan adanya transek-transek penelitian menyebabkan mudahnya perburuan terhadap yaki. Berdasarkan pengamatan, di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara dipasang dalam jumlah yang banyak pada suatu areal hutan. Lokasi pemasangan sangat ditemukan yaitu di lokasi yang cukup sulit didatangi, terjal dan di luar jalur yang telah dibuat oleh petugas cagar alam. Dudeso satu dengan yang lain dipasang dengan jarak ± 100 m. Dalam areal dengan luas 500 m x 500 m ditemukan sebanyak 35 dudeso. Selain diburu karena dagingnya, masyarakat memburu yaki karena dianggap hama pertanian. Akibat rusaknya habitat yang berpengaruh pada berkurangnya sumber pakan di hutan, yaki terutama kelompok Rambo II sering mengambil hasil kebun masyarakat seperti kelapa, singkong, dan mangga. Hal ini membuat masyarakat lokal yang memiliki kebun kesal dan memasang jebakan bahkan membunuh yaki. Berdasarkan hasil wawancara, upaya pencegahan agar kelompok yaki tidak mengambil hasil panen masyarakat sering dilakukan. Biasanya dilakukan dengan ketapel, memukul kayu, atau dengan petasan oleh polhut BKSDA dan tim pemandu wisata yang membuat satwa ini takut. Namun hal ini dirasa kurang efektif karena hanya akan menimbulkan efek sementara. Aktivitas Perusakan Habitat Masalah Perusakan habitat seperti penebangan, pembuatan shelter di dalam kawasan maupun pembakaran dengan sengaja merupakan masalah yang terus dihadapi oleh CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara. Penebangan secara liar biasanya dilakukan di daerah pantai dan dilakukan dengan mengangkut kayu hasil tebangan dengan perahu. Modus seperti ini sudah sering terjadi namun tindakan pencegahan susah dilakukan oleh BKSDA Sulawesi Utara karena tidak adanya sarana seperti perahu boat untuk melakukan patroli. Kebakaran juga merupakan kejadian yang sering terjadi, selama waktu penelitian terjadi empat kali kebakaran pada areal hutan pasca terbakar. Kebakaran biasanya disengaja oleh oknum tertentu agar mempermudah pakan bagi ternak ataupaun oknum lain yang sengaja untuk mengecoh petugas BKSDA. Penanganan kebakaran dilakukan secara manual oleh petugas pemadam kebakaran. Alat yang digunakan sangat sederhana yakni daun kelapa, dan fire shooter. Minimnya alat dalam memadamkan kebakaran menyebabkan kebakaran cepat meluas. Permasalahan di atas jika tidak diatasi dapat menyebabkan berkurangnya habitat yaki yang secara otomatis mengurangi ketersediaan pakan yaki yang pada akhirnya akan berdampak pada manusia. Saat ini selain kelompok Rambo II yang sering meresahkan, Rambo I juga mulai meresahkan masyarakat lokal karena daerah jelajah harian terkadang sudah mendekati Kampung Batuputih.
30
5. HASIL DAN PEMBAHASAN Dampak Konflik Kampung Batuputih merupakan kampung yang didominasi dengan mata pencaharian utama nelayan dan petani. Ekowisata berupa hutan pantai dan panorama air membuat penduduk Kampung Batuputih yang bermata pencaharian sebagai pemandu wisata semakin banyak. Sebaliknya Kampung Pinangunian merupakan kampung yang didominasi dengan mata pencaharian utama adalah petani dan pemburu, sehingga banyak aktivitas pembalakan liar dan perburuan liar. Hal tersebut membuat perbedaan persepsi masyarakat lokal di Kampung Batuputih dan Kampung Pinangunian mengenai konflik manusia dan yaki dalam pengambilan komoditas pertanian dan perkebunan para penduduk (Tabel 11). Tabel 11 Perbedaan persepsi dampak konflik antara Kampung Batuputih dan Kampung Pinangunian Perbedaan Bentukan Lahan
Batuputih 3 (rumah/rumahkebun/kebun)
Pinangunian 1(rumah)
Jenis Komoditas
12 (kelapa, ubi, mangga, pisang, jagung, pepaya, nanas, nangka, coklat, cabe, rempah, telur) 5 (3bulan sekali, 6 bulan sekali, 1 tahun sekali, setiap bulan, setiap minggu)
9 (kelapa, ubi, pisang, jagung, tomat, sayur, merica, cengkeh, bawang)
Panen Komoditas
Tujuan Penanaman
Terakhir yaki datang
Cara Antisipasi
Tujuan penanaman untuk dijual & konsumsi sendiri sama jumlah . 7 (kemarin, 1 minggu lalu, 1 bulan lalu, 3 bulan lalu, 1 tahun lalu, 2 tahun lalu, 3 tahun lalu) 7 (mengangkat kayu, membiarkan, ketapel, suara, anjing, melemparkan kayu, melempar batu
Pembahasan Perbedaan suku membuat perbedaan mata pencaharian & bentukan lahan Perbedaan letak geografis (pantai & dataran tinggi) membuat perbedaan komoditas sehingga kerentanan konflik berbeda
8 (3 bulan sekali, 6 bulan sekali, 3 bulan sekali, setiap bulan, setiap minggu, 3 bulan sekali, 1 tahun sekali, 2 bulan sekali) Tujuan penanaman lebih banyak untuk dijual 3 (seminggu yang lalu, 3 tahun yang lalu, 10 tahun yang lalu)
Perbedaan jenis komoditas membuat waktu panen berbeda sehingga intensitas konflik berbeda pula
3 (menggoyangkan kain, senapan angin, anjing)
Perbedaan suku membuat perbedaan perilaku yaki
Perberdaan suku membua tujuan penanaman berbedasehingga kerentanan konflik berbeda pula Perbedaan suku membuat intensitas konflik berbeda
31
Tabel 11 terlihat bahwa suku budaya akan mempengaruhi bentukan lahan, komoditas, dan mata pencaharian yang dapat memberikan perbedaan kerentanan kerusakan tanaman oleh satwa liar (Hill 2004). Hal ini didukung oleh pernyataan Sekhar (1998) yang menyatakan bahwa luas dan intensitas kerusakan dapat bervariasi tergantung pada pola tanam, kepadatan satwa liar, populasi, perilaku, dan ketersediaan makanan di habitat asli. Berdasarkan Tabel 11 juga terlihat Kampung Batuputih merupakan kampung yang lebih berdampak dibandingkan dengan Kampung Pinangunian. Oleh karena itu, bisa disimpulkan Kampung Batuputihputih lebih rawan konflik manusia dan yaki. Hasil wawancara dengan penduduk Kampung Batuputih menyebutkan juga, konflik manusia dan yaki di Kampung Batuputih telah berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih enam tahun. Pada tahun 2009-2010 merupakan puncak terjadi konflik. Pada tahun tersebut penduduk Kampung Batuputih mengalami kerugian yang besar dikarenakan hasil kebun seperti kelapa, singkong, dan mangga dirambah oleh yaki. Seiring dengan bertambahnya jumlah aktivitas pemburuan, penebangan liar, dan tidak adanya kontrol ekowisata juga menambah masalah gangguan oleh yaki terhadap perkebunan penduduk kampung di sekitar kawasan. Kondisi ini bila terjadi berlarut-larut dikhawatirkan akan menimbulkan pengaruh yang kurang baik terhadap perkembangan sosial ekonomi masyarakat di sekitar daerah konflik dan berdampak negatif bagi upaya pelestarian yaki sebagai salah satu satwa langka dan endemik di Sulawesi khususnya di Sulawesi Utara. Model Probabilitas Kehadiran Konflik Hasil uji VIF (Variance Inflantion Factor) dengan (0.7 >Pearson Correlation< 1) menunjukkan bahwa hanya 11 variabel lingkungan yang bisa dianalisis lebih lanjut karena terbebas adanya gambaran multikolinearitas antar variabel bebas (Lampiran 18). Persoalan multikolinearitas antar variabel bebas harus di tanggulangi sebelum analisis data dapat dilanjutkan. Multikolinearitas dapat ditanggulani dengan berbagai cara antara lain penggunaan informasi apriori, analisis komponen utama, analisis faktor, dan penambahan data serta prosedur mengeluarkan variabel bebas (eliminasi) yang berkolinera ganda. Prosedur multikolunearitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah prosedur eliminasi. Berdasarkan prosedur tersebut, maka ada tiga variabel yang harus dikeluarkan yaitu variabel ketinggian 0-400 mdpl (JTE1), ketinggian > 800 mdpl (JTE3), dan kemiringan lahan 0-8% (JTS1). Dengan demikian, hanya 11 variabel yang dapat dianalisis lebih lanjut untuk mendapatkan model probabilitas konflik manusia dan yaki berdasarkan persamaan logistik. Variabel tersebut adalah ketinggian 400-800 mdpl (JTE2), kemiringan lahan 8-15% (JTS2), kemiringan 15-25% (JTS3), kemiringan lahan 25-40% (JTS4), kemiringan lahan >40% (JTS5), semak (JTSM), kebun campuran (JTKC), bangunan (JTBG), hutan primer (JTHP), hutan sekunder (JTHS), dan tanah lapang (JTTL). Hasil analisis regresi logistik juga menunjukan bahwa dari 11 variabel lingkungan, hanya dua variabel yang memberikan pengaruh terjadinya
32 konflik manusia dan yaki. Hasil analisis regresi logistik terhadap 11 variabel pada taraf nyata α = 5% dengan metode Forward Stepwise yaitu sebagai berikut :
Pi
1
1 exp 0.066 (-0.001 (JTE2) 0.030 (JTHP) 1
Dilihat dari hasil regresi logistik dengan metode Forward Stepwise (LR), diketahui bahwa model probabilitas konflik manusia dan yaki dipengaruhi oleh variabel ketinggian 400-800 mdpl (JTE2) dan hutan primer (JTHP). Model tersebut layak berdasarkan uji Hosmer dan Lemeshow karena mempunyai nilai lebih dari 5% yaitu 43.40%. Nilai Negelkerke R2 hasil perhitungan sebesar 62.90%. Hal itu menunjukkan bahwa 62.90% dari probabilitas konflik manusia dan yaki dapat dijelaskan oleh variabel dalam model dan 37.10% dijelaskan oleh variabel atau faktor lain di luar model. Berikut merupakan hasil koefisien, p-value, akurasi Hosmer-Lemeshow, dan Nagelkerke (R²) dengan metode Forward Stepwise (LR) yang dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 T-test, Akurasi Hosmer-Lemeshow dan Nagelkerke (R²) dengan metode Forward Stepwise (LR) Variabel
β
p-value (sig)
Hosmer & Lemeshow
Nagelkerke R2
JTE2 JTHP Constants
-0.001 0.030 -0.066
0.000 0.013 0.941
43.4%
62.9%
Formula regresi logistik tersebut juga menghasilkan model validasi probabilitas konflik manusia dan yaki (Gambar 14). Berdasarkan ambang batas kategori mengacu pada Supranto (2000) hasil peta probabilitas konflik manusia dan yaki terbagi menjadi tiga area yaitu: probabilitas konflik tinggi seluas 2008.5 ha (17.06%), probabilitas konflik sedang 3621.7 ha (30.76%). dan probabilitas konflik rendah seluas 6143.9 ha (52.18%). Hasil validasi model terdapat omission error sebesar 33.33% dari tiga kejadian konflik manusia dan yaki yang terdapat di daerah yang tidak sesuai adanya konflik. Omission error dapat disebabkan oleh adanya nilai Negelkerke R2 yang hanya sebesar 62.90%, sehingga 37.10% dijelaskan oleh variabel atau faktor lain di luar model.
33
Gambar 14 Model probabilitas konflik manusia dan yaki Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Konflik Karakteristik lanskap probabilitas konflik manusia danyaki dipengaruhi oleh dua variabel lingkungan, yaitu ketinggian 400-800 m dan hutan primer. Variabel ini berkaitan dengan tingginya intensitas aktivitas sehari-hari manusia dan yaki. Ketinggian atau elevasi merupakan salah satu fitur fisik topografi atau bentuk lahan. Secara umum ketinggian tidak mempengaruhi yaki dalam setiap kegiatan hariannya. Hal ini dikarenakanpada setiap ketinggian terdapat grup yaki. Yaki dapat ditemukan di berbagai ketinggian sampai 2000 mdpl (Supriatna dan Wahyono 2000). O’brien dan Kinnaird (1997) juga menyatakan bahwa yaki dapat dijumpai disemua ketinggian di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara. Namun pada ketinggian 400-800 mdpl intensitas aktivitas sehari-hari yaki tergolong tinggi. Daerah ini didominasi oleh daerah pakan yaki seperti Dracontomelon dao, Canangan Odorata, Ficus sp., Terminalian catappa, Mucuna albertisii, Piper aduncum, Cocos nucifera, Arengan pinnata (66%) yang berupa hutan primer 1379.11 ha (11.71%), hutan sekunder 794.35 ha (6.75%), dan kebun campuran 543.33 ha (4.61%). Oleh karena itu, ketersediaan makanan yaki pada daerah ini berlimpah. Berdasarkan hasil wawancara semi-terstruktur dan ground-truth check (Lampiran 4) juga diketahui bahwa konflik manusia dan yaki sering terjadi di hutan primer, hutan sekunder, dan kebun campuran. Apabila terlihat dari rasio-odds dari hasil model regresi logistik terlihat bahwa setiap kenaikan satu satuan dari variabel elevasi 400-800 mdpl, maka peluang
34 untuk terjadi konflik manusia dan yaki adalah 0.957 kali daripada peluang tidak terjadinya konflik manusia dan yaki. Secara umum, yaki dapat menggunakan semua jenis tutupan lahan untuk mencari makan. Namun yaki selalu menggunakan pohon-pohon besar dan tinggi yang umumnya berada di hutan primer untuk digunakan sebagai pohon tidur. Hal ini memungkinkan penutupan lahan yang mempunyai jarak berdekatan dengan hutan primer tanpa adanya hambatan fisik akan rentan dengan terjadinya konflik, karena energi yang diperlukan oleh yaki jika berdekatan dengan pohon tidur akan semakin kecil. Berdasarkan nilai rasioodds dari hasil model regresi logistik juga terlihat bahwa setiap kenaikan satu satuan dari variabel penutupan lahan hutan primer, maka peluang untuk terjadi konflik manusia dan yaki adalah 1.030 kali daripada peluang tidak terjadinya konflik manusia dan yaki. Berdasarkan model spasial probabilitas konflik manusia dan yaki, distribusi probabilitas konflik terbagi menjadi 3 yaitu: a. Probabilitas konflik tinggi. Probabilitas konflik tinggi berada di tamanwisata alam (TWA) Batuputih dan Batuangus. Kawasan konservasi berupa TWA tersebut dekat dengan Kampung Batuputih dan Kampung Kasuari. Hal ini disebabkan tingginya intensitas aktivitas manusia berupa ekowisata. Kehadiran manusia dalam kegiatan ekowisata dapat berpengaruh negatif pada perilaku monyet (Sari 2013). Adanya wisatawan yang masih memberikan makanan untuk yaki dapat membuat mengenal makanan baru yang dapat mengubah perilaku yaki. b. Probabilitas konflik sedang. Distribusi probabilitas konflik sedang tersebar pada CA Duasodara dan CA Tangkoko dengan kondisi hutan primer masih bagus dan pakan yaki berlimpah. c. Probabilitas konflik rendah. Distribusi probabilitas konflik rendah tersebar pada perbatasan Kampung Duasodara dan Kampung Pinangunian. Keberadaan berburu dan kegiatan pembalakan liar di Kampung Duasodara dan Pinangunian juga memaksa yaki pindah daerah jelajah ke arah Kampung Batuputih dengan kondisi hutan primernya masih bagus. Hal ini sesuai dengan hasil dampak konflik yang dilakukan pada Kampung Batuputih dan Kampung Pinangunian, bahwa diketahui Kampung Batuputih lebih rentan dibandingkan dengan Kampung Pinangunian bahkan kampung lainnya. Rekomendasi Penanggulangan Konflik Konflik manusia dan yaki yang semakin meningkat di CA TangkokoBatuangus/Duasodara membuat adanya perbedaan pandangan pada yaki, pada satu sisi yaki merupakan satwa liar endemik yang berstatus genting, tetapi disisi lain berdasarkan pandangan masyarakat lokal yang hasil pertaniannya telah mengalami kerusakan menganggap yaki sebagai hama pertanian. Oleh karena itu, dibutuhkan rekomendasi dengan pemahaman tentang ekosistem yang dinamis sehingga dapatmenanggulangi konflik manusia dan yaki.
35
Berdasarkan model probabilitas konflik yang terbagi menjadi tiga kategori yaitu probabilitas konflik tinggi, probabilitas konflik sedang, dan probabilitas konflik rendah.Penyususan rekomendasi juga terbagi menjadi dua bagian berdasarkan kepentingannya, yaitu rekomendasi khusus dan rekomendasi umum. Rekomendasi khusus Rekomendasi khusus merupakan rekomendasi yang hanya dilakukan pada salah satu kategori model probabilitas konflik yaitu probabilitas konflik tinggi. Probabilitas konflik tinggi merupakan kemungkinan konflik paling tinggi yang disebabkan tingginya intensitas aktivitas manusia dan yaki. Beberapa rekomendasi khusus yang hanya pada probabilitas konflik tinggi yaitu: a. Pemberian daerah penyangga (buffer). Secara konseptual buffer zone atau wilayah penyangga berfungsi untuk menyangga wilayah utama, mencegah terjadinya kerusakan dan memberikan lapisan perlindungan tambahan. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dinyatakan bahwa daerah penyangga merupakan wilayah yang berada di luar kawasan suaka alam maupun kawasan pelestarian alam, baik sebagai kawasan hutan lain, tanah negara maupun tanah yang dibebani hak, yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Menurut Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam, Pasal 56 (2), kriteria penyangga adalah: 1. Berbatasan langsung dengan kawasan konservasi. 2. Secara ekologis masih memiliki pengaruh, baik dari dalam maupun dari dalam. 3. Mampu menangkal berbagai macam gangguan
Gambar 15 Peta usulan bufferpada probabilitas konflik tinggi
36 Buffer dilakukan antara kampung dan perkebunan dengan kawasan konservasi. Dalam konteks konflik manusia dan yaki di CA TangkokoBatuangus/ Duasodara, khusus pada probabilitas konflik tinggi diperlukan buffer yang berfungsi sebagai penghalang (barrier). Yaki memakan hasil kebun masyarakat jika mereka masih punya akses menuju perkebunan penduduk. Oleh karena itu, dibutuhkan penghalang sebagai rintangan fisik untuk mencegah yaki agar tidak dapat masuk ke perkebunan penduduk atau pemukiman penduduk, sehingga dapat menurunkan interaksi manusia dan yaki (Gambar 15). Beberapa contoh desain penghalang (barrier installation) untuk penanggulangan konflik manusia dan yaki yaitu: 1. Barriervegetasi Barrier installation berupa vegetasi adalah penggunaan lahan yang berfungsi sebagai rintangan antara kawasan konservasi dengan perkebunan yang fungsinya untuk menahan yaki agar tidak melintas. Barrier installation akan lebih efektif apabila berukuran cukup luas dikombinasikan dengan pembuatan barrier installation atau penolak lainnya. Barrier installation vegetasi bisa terdiri dari kombinasi beberapa layer berdasarkan pakan favorit yaki (Gambar 16). Pada layer pertama berisi vegetasi pakan favorit yaki. Layer pertama akan ditanam beberapa vegetasi buah-buah favorit, yang menjadi makanan yaki (Lampiran 1). Apabila ditanami vegetasi buah-buah favorit, diharapkan dalam jangka 5 tahun ke depan dapat berfungsi sebagai sumber pakan tambahan untuk yaki dan satwa lainnya. Hal ini juga dapat berfungsi untuk mengalihkan perhatian yaki terhadap perkebunan. Pada layer kedua, ditanam vegetasi yang bukan pakan favorit yaki atau tidak menghasilkan buah, melainkan yang sering ditemui adanya serangga. Hal ini sesuai dengan Lee (1999), menemukan bahwa kelompok yaki yang menempati habitat lebih tergangguakan mengkonsumsi lebih banyak serangga dibandingkan dengan di daerah-daerah yang kurang terganggu. Beberapa jenis serangga yang dimakan yaki antara laintawon, rayap, ulat dalam gulungan daun Pongamia sp., lebah, semut, dan belalang (Saroyo, 2002 dalam Saroyo, 2005). Oleh sebab itu, diharapkan ketika yaki berada pada layer kedua, yaki semakin tidak mendekati kampung/ perkebunan. Pada layer ketiga, akan ditanam vegetasi bukan pakan yaki. Layer ketiga ini dapat berupa tanah lapang terbuka atau ditanami rerumputan ataupun ilalang. Jika hanya tanah lapang atau dengan rerumputan pendek saja, ini membuat yaki malas untuk berjalan dengan keempat kakinya dengan jarak yang jauh dan secara psikiologis yaki akan juga merasa dirinya tidak aman. Berdasarkan Yuhwono et al. (2007) barrier installation vegetasi yang dibuat untuk mengurangi konflik manusia dan orang utan, mempunyai lebar antara 20-30 m. Oleh sebab itu, pada desain barrier installation vegetasi yang dibuat untuk mengurangi konflik manusia dan yaki juga akan menggunakan 20 m pada setiap layer.
37
Kawasan Konservasi
Kampung/ Perkebunan
Barrier
20 m Pakan yaki sangat berlimpah
20 m Pakan yaki kurang berlimpah
20 m Pakan yaki tidak berlimpah
Gambar 16Deskripsibarrier vegetasi 2. Barrier parit pembatas Berdasarkan (Yuwono et al. 2007) pembuatan rintangan lain yang dapat diterapkan untuk mengurangi konflik manusia dan primata yang cukup efektif adalah parit pembatas (Gambar 17). Kawasan Konservasi
Kampung/ Perkebunan
Barrier
5m 5m
10 m
Gambar 17 Deskripsi parit pembatas Secara teknis dilakukan dengan menggali parit yang lebar dengan ukuran 3-5 meter dan lumayan dalam (3-5 meter), sehingga yaki tidak bisa menyeberang. Apabila di daerah yang dekat dengan sumber air maka air, dapat di aliri ke dalam parit tersebut. Yaki tidak bisa berenang sehingga takut pada kedalaman air. Walaupun demikian tetap dibutuhkan tenaga patroli yang dapat memastikan bahwa cara ini berjalan dengan efektif. Kekurangan dari parit pembatas ini adalah harus dibebaskan dari adanya pohon, dahan, dan kayu yang panjang, karena yaki bisa menggunakan kayu sebagai alat untuk dibentangkan keseberang parit dan yaki akan menyeberang dengan mudah melintasi kayu tersebut. Oleh sebab itu, di sekitar parit diusahakan tidak ada pohon. Harus tersedianya air sepanjang musim untuk parit yang dialiri air dan akan terjadi kendala pada saat musim kering, kecuali lokasi berdekatan dengan daerah aliran sungai (DAS). Perawatannya menyangkut perawatan parit, pengaliran air, dan pembersihan sekitar
38 parit. Mungkin tidak mudah untuk menggali sebuah parit mengikuti batas yang ditetapkan secara ketat. 3. Barrier pembuatan jalan patroli Jalan ini dibuat bersih dan rata sehingga memudahkan pengawas dalam melakukan kontrol. Jalan ini sebaiknya dapat dilewati sepeda motor atau mobil untuk patroli dan pastikan tidak ada akses bagi kendaraan pembalak liar (Gambar 18). Pembuatan jalan yang bersih juga memudahkan dalam melakukan kontrol terhadap gangguan lain, misalnya hama, melakukan proses penanaman dan kegiatan perkebunan lainnya. Kawasan Konservasi
Kampung/ Perkebunan
Barrier
10 m
Gambar 18 Deskripsi pembuatan jalan patrol Berdasarkan contoh desain penghalang untuk penanggulangan konflik manusia dan yaki di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara, pemberian buffer dapat merupakan kombinasi dari ketiga desain penghalang sesuai dengan fitur fisik sekitar (ketinggian, kemiringan, penutupan lahan, jalan, dan hidrologi). Terdapat kriteria desain penghalang sesuai dengan fitur fisik yang terdapat di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara (Tabel 13). Tabel 13 Kriteria desain penghalang (barrier installation) di CA TangkokoDuasodara/ Batuangus Kriteria Desain Penghalang Ketinggian 0-400 mdpl 400-800 mdpl >800 mdp Kemiringan
Penutupan Lahan
Jalan Sungai
0-8 % (datar) 8-15 % (landai) 15-25 % (agak curam) 25-40 % (curam) >40 % (sangat curam) Semak Belukar Kebun Campuran Bangunan Hutan Primer Hutan Sekunder Tanah Lapang
Vegetasi √ √ √
Parit √ √ √
Jalan √ √ √
√ √ √ √ √ √ √
√ √
√ √
√ √
√ √ √
√
√ √
√ √ √
39
b. Pengontrolan ekowisata Aktivitas ekowisata sebenarnya sangat positif karena dapat meningkatkan pendapatan masyarakat setempat dengan menjadi pemandu. Walau demikian, disisi lain tingginya permintaan terhadap paket wisata menyebabkan kaidah ekowisata di TWA bergeser. Ekowisata dilakukan hingga ke dalam wilayah CA.Pemandu melakukan berbagai cara untuk memuaskan wisatawan yang memiliki dampak negatif jangka panjang terhadap yaki dengan berusaha sedekat mungkin dengan yaki dengan jarak kurang dari 5 m. Wisatawan juga seringkali memberikan makanan kepada yaki. Hal ini menyebabkan dalam jangka panjang perilaku yaki berubah. Perubahan perilaku ini dapat menyebabkan berbagai permasalahan antara lain yaki menjadi terbiasa dengan manusia dan berani masuk ke dalam perkebunan, perubahan preferensi pakan yaki dari pemakan buah menjadi pemakan segalanya (omnivora) seperti manusia, dan meningkatnya resiko zoonosis. Westin (2007) mengemukakan juga pada monyet merah (Alouatta seniculus) yang tinggal di daerah yang sering dikunjungi wisatawan di Suriname memiliki perubahan perilaku. Berdasarkan Sari (2013), kehadiran wisatawan lebih mempengaruhi pada gerakan harian yaki. Yaki cenderung meningkatkan pergerakan harian untuk menghindari wisatawan. Secara keseluruhan, efek kehadiran ekowisata di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara tidak benar-benar membahayakan. Walaupun demikian, jika tidak ada kontrol maka akan menjadi membahayakan. Efek ini dapat dikurangi dengan manajemen yang lebih baik di bidang pariwisata diantaranya adalah: 1. menghindari kelompok yaki terhabituasi untuk mengurangi dampak negatif terhadap perilaku yaki (Sari 2013); dan 2. pengontrolan jumlah optimum dari pengunjung menjadi lima orang, termasuk Pemandu (Kinnaird dan O'Brien 1996). c. Patroli. Cara terbaik penjagaan tanaman dari gangguan yaki, dengan berpatroli di daerah probabilitas konflik tinggi setiap pagi (dari subuh), siang, dan sore hari. Patroli bisa dilakukan dengan penghalauan secara langsung oleh petugas patroli yang dibentuk dan biaya operasionalnya atau dengan menggunakan suara-suara gaduh. Sistem pembuatan jalan yang baik sepanjang lingkar luar perkebunan sangat membantu mempermudah patroli serta penggunaan kendaraan bermotor dan suara berisik mesin mobil atau motor, serta suara klaksonnya bisa berfungsi sebagai sarana pengusir bagi yaki. Cara patroli dapat juga dibangun menara pengawas yang dilengkapi dengan alarm peringatan yang cukup keras dan dapat terdengar oleh yaki dalam jarak yang cukup jauh, sehingga tidak perlu dilakukan patroli keliling. Rekomendasi Umum Rekomendasi umum merupakan rekomendasi yang dapat ditujukan pada seluruh kawasan disemua kategori probabilitas konflik. Beberapa rekomendasi umum yaitu:
40 a. Pelestarian jumlah pakan alami Berdasarkan (Sari 2013) menunjukkan bahwa makanan yang tersedia sepanjang tahun pengumpulan data. Produktivitas pangan yang cukup seragam sepanjang periode penelitian menunjukkan bahwa tidak ada periode alami kelangkaan makanan untuk yaki. Akan tetapi, agar menjaga produktifitas pakan yaki, diperlukan pelestarian secara sengaja spesies pakan-pakan alami yaki (Rao et al. 2002). Pada daerah konservasi dapat dilakukan dengan menanam berbagai macam tanaman buah dan jenis lainnya yang merupakan spesies lokal daerah itu. Adapun buah favorit menjadi makanan yaki pada dua Grup yaki dapat dilihat pada Lampiran 1. Pengayaan habitat diharapkan dapat mencegah yaki keluar dari lokasi konservasi dan mengganggu perkebunan. Pengayaan habitat memerlukan pengawasan dan perawatan yang berkelanjutan. b. Peningkatan penegakan hukum Yaki merupakan satwa yang dilindungi berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan SK Menteri Pertanian 29 Januari 1970 No.421/Kpts/um/8/1970, SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No.301/KptsII/1991. Oleh karena itu yaki harus memperoleh perlindungan baik habitat dan populasinya serta individu yaki, dimanapun mereka berada (baik di dalam ataupun di luar kawasan konservasi, termasuk di pemukiman dan perkebunan) dan menurut undang-undang tersebut setiap orang dilarang untuk melakukan hal-hal berikut terhadap yaki maupun satwa dilindungi lainnya, yaitu: 1. Menangkap, melukai, memelihara, mentransportasikan, dan memperdagangkan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. 2. Menyimpan, memiliki, merawat, mentransportasikan, dan memperdagangkan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati. 3. Memindahkan satwa yang dilindungi dari satu tempat ke tempat yang lain, baik didalam maupun diluar wilayah Indonesia. 4. Memperdagangkan, menyimpan atau memiliki kulit, seluruh tubuh, atau bagian-bagian tubuh lainya dari satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tubuh satwa yang dilindungi, atau memindahkan bagian-bagian tubuh atau barang-barang yang telah disebutkan dari satu tempat di Indonesia ke tempat lainnya, baik didalam maupun diluar wilayah Indonesia. Apabila terjadi pelanggaran larangan tersebut di atas terhadap yaki akibat adanya aktifitas suatu kegiatan proyek/perusahaan, maka berdasarkan UU No.5 tahun 1990 para pelakunya dapat dikenakan sanksi hukuman maksimum 5 tahun dan atau denda maksimum 100 juta rupiah. c. Peningkatan kesadaran masyarakat. Konflik antara manusia dan satwa liar terjadi akibat sejumlah interaksi negatif baik langsung maupun tidak langsung antara manusia dan satwa liar. Pada kondisi tertentu konflik tersebut dapat merugikan semua pihak yang berkonflik. Konflik yang terjadi cenderung menimbulkan sikap negatif manusia terhadap satwa liar, yaitu berkurangnya apresiasi manusia terhadap satwa liar serta mengakibatkan efek-efek detrimental yaitu efek yang menyebabkan keburukan terhadap upaya konservasi (Smith et al. 2010).
41
Hal ini serupa dengan pengambilan hasil tanaman pertanian oleh yaki yang dapat mengurangi toleransi terhadap yaki sehingga masyarakat dapat berbalik memburu yaki. Secara umum, tujuan konservasi primata sering bertentangan dengan kepentingan ekonomi manusia (Southwick dan Blood 1979). Mengelola ancaman terhadap populasi primata yang berkaitan dengan konflik dengan manusia memerlukan rekonsiliasi berbeda. Oleh karena itu, dibutuhkan kerjasama dari masyarakat setempat dalam upaya melestarikan untuk mempertahankan populasi primata. Dalam hal ini, pemahaman sikap melalui pendidikan konservasi untuk mempengaruhi sikap mungkin menjadi kunci untuk melestarikan primata di daerah yang berdekatan dengan manusia. Beberapa peningkatan kesadaran masyarakat tentang yaki diantaranya Tangkoko Conservation Education dan Selamatkan Yaki. Tangkoko Conservation Education bertujuan untuk melestarikan flora-fauna termasuk yaki di Sulawesi khususnya di kawasan CA Tangkoko-Batuangus/ Duasudara. Pendidikan konservasi ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang konservasi dan lingkungan bagi anak-anak, pemuda serta masyarakat di Kampung Batuputih Atas dan Bawah, Pinangunian, Kasuari, Winenet, Sagerat, Duasudara, Danowudu, Airmadidi dan Tuminting. Berikutnya, Selamatkan Yaki adalah lembaga sosial masyarakat yang mempunyai program untuk mengkonservasi, meneliti, dan mendidik dengan fokus yaki. Melalui ini diharapkan dapat merperbaiki status yaki yang sangat terancam menjadi lebih baik.
42
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil analisis regresi logistik yang diperoleh menunjukkan bahwa dampak konflik palingbesar terdapat di Kampung Batuputih. Dampak konflik terlihat dari perbedaan bentukan lahan, jenis komoditas, waktu panen, tujuan penanaman, terakhir yaki menimbulkan konflik, dan cara antisipasi. Berdasarkan peta model probabilitas konflik, maka terbagi menjadi tiga area yaitu area probabilitas konflik tinggi, area probabilitas konflik sedang, dan area probabilitas konflik rendah. Distribusi area probabilitas konflik tinggi terdapat di Kampung Batuputih dan Kampung Kasuari. Faktor penyebab konflik adalah variabel hutan primer dan variabel ketinggian 400-800 mdpl. Berdasarkan hal tersebut, dalam penanggulangan konflik manusia dan yaki diperlukan rekomendasi. Rekomendasi terbagi menjadi dua berdasarkan kepentingannya yaitu rekomendasi khusus (pemberian daerah penyangga berupa barrier, pengontrolan ekowisata, dan patroli) dan rekomendasi umum (pelestarian jumlah pakan alami, peningkatan penegakan hukum, dan peningkatan kesadaran masyarakat.
Saran 1. Pembangunan model selanjutnya perlu analisis dengan kualitas citra lebih detail dan lebih baik dengan sedikit awan untuk mengetahui variabel penyebab terjadinya konflik dengan lebih akurat. 2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai perilaku yaki pada CA Tangkoko–Batuangus/ Duasodara yang mengakibatkan konflik dan perlilaku serupa untuk melihat faktor yang sangat mempengaruhi konflik dan lebih meningkatkan kepercayaan terhadap model yang dibangun.
43
DAFTAR PUSTAKA Aronoff S. 1989. Geographic Information System A Management Persfektive. Ottawa (CA): WDL Publications. 294p. Bercovitch F, Huffman MA. 1999. The Macaques In The Nonhuman Primates (Eds.) P. Dolhinow & A. Fuentes. Mountain View (CA): Mayfield Pr. 77-85p. Cawthon LKA. 2006. Primate Factsheets: Crested black macaque (Macaca nigra) Taxonomy, Morphology, and Ecology. [Internet]. [diunduh 2013 Oct15]. Tersedia pada: www.pin.primate.wisc.edu/ factsheets/entry/crested_black_macaque. Chang K. 2002. Introduction to Geographic Information Sistems. New York (US): McGraw-hill Companies.Ed. Ke-1. Collinge NE. 1993. Introduction to Primate Behavior. Iowa (IA): Kendall/Hunt Pub. Co. Corbet GB, Hill JE. 1992. The Mammals of the Indomalayan Region. Oxford (UK): Oxford University Pr. 488p. Dwiyahreni AA, Mondong MU, Katuuk SP, Sitrisno S. 2001. Program Pendidikan Lingkungan Hidup. Satwa Khas Sulawesi. Bogor (ID): Wildlife Conservation Society-Indonesia Program. Environmental Systems Research Institute [ESRI]. 2007. Understanding euclidean distance analysis. ArcGIS Desktop Help 9.2 Understanding Euclidean distance analysis [Internet]. [diunduh 2013 Nov 24]. Tersedia pada: http://webhelp.esri.com/arcgisdesktop/9.2/index.cfm?TopicName=U nderstanding%20Euclidean%20distance%20analysis. Fuentes A, Wolfe LD. 2002. Primates Face to Face: Conservation Implications of Human-Nonhuman Primate Interconnections. Cambridge (US): Cambridge Univ Pr. Gilingham S, Lee P. 2003. People and protected area: a study of local perceptions of wildlife crop-damage conflict in an area bordering the selous game reserve, Tanzania. Oryx. 37(3): 316-325. doi: 0.1017/ S0030605303000577. Hakim SS. 2010. Karakteristik habitat dan populasi monyet hitam sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) pada beberapa tipe habitat di Cagar Alam Tangkoko, Sulawesi Utara [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hill C. 2000. Conflict of interest between people and baboons: crop raiding in Uganda. Int. J. Primatol. 21(2): 299–315. doi: 10.1023/A:1005481605637. Hill C. 2004. Farmers’ perspectives of conflict at the wild life agriculture boundary: some lessons learned from African subsistence farmers. Hum. Dimen.Wildl. 9(4): 279–286. doi: 10.1080/10871200490505710. Hosmer DW, Hosmer T, Le Cessie S, Lemeshow S. 1997. A comparison of goodness-of-fit tests for the logistic regression model. Stat Med. 16(9): 965-980.
44 Indrawati Y. 2009. Pemodelan Spasial Habitat Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. International Union for Conservation of Nature [IUCN]. 2010. IUCN Red List of Threatened Species, Crested Macaques (Macaca nigra) [Internet]. [diunduh 2014 Juli 23]. Tersedia pada: http://www.iucnredlist.org. Kinnaird MF, O’Brien TG. 1996. Ecotourism in the Tangkoko Dua Sudara Nature Reserve: opening Pandora’ box?. Oryx. 30(1): 65-71. doi:10.1017/S0030605300021402. Laatung S. 2006. Populassi dan Habitat Yaki (Macaca nigra) di Cagar Alam Gunung Duasudara Sulawesi Utara [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lee RJ. 1999. Market Hunting Pressure in North Sulawesi, Indonesia. Tropical Biodiversity 6 (1): 145-162. Mutaqin Z. 2008. Model Regresi Logistik Biner Untuk Menganalisis Tingkat Intensitas Pembelian Majalah Tempo [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Naughton-Treves L, Treves A, Chapman C, Wrangham R. 1998. Temporal patterns of crop-raiding by primates: linking food availability in croplands and adjacent forest. J. Appl. Ecol. 35(4): 596–606. doi: 10.1046/j.1365-2664.1998.3540596.x. Nowak RM. 1999. Walker’s Primates of the World. London (UK): The John Hopkins University Pr. O’Brien TG, Kinnaird MF. 1997. Behavior, Diet and Movements of the Sulawesi Crested Black Macaque. Int. J. Primatol. 18(3): 321-351. doi: 10.1023/A:1026330332061. Palacious JFG, Engelhardt A, Agil M, Hodges JK, Bogia R, Waltert M. 2012. Status of, and conservation recommendations for, the Critically Endangered crested black macaque Macaca nigra in Tangkoko, Indonesia. Oryx 46 (2): 290-297. doi: 10.1017/S0030605311000160. Piorecky MD, Prescott DRC. 2006. Multiple spatial scale logistic and autologistic habitat selection models for northern pygmy owls, along the eastern slopes of Alberta’s Rocky Mountains. Biological Conservation. 129 (3): 360-371. doi: 10.1016/j.biocon.2005.11.003. Rao KS, Maikhuri RK, Nautiyal SK, Saxena S. 2002. Crop damage and livestock depredation by wild-life: a case study from Nanda Devi Biosphere Reserve, India. J. Environ. Manag. 66(3): 317–327. doi: 10.1006/jema.2002.0587. Reed C, O’Brien TG, Kinnaird MF. 1997. Male social behaviour and dominance in the sulawesi crested black macaque (Macaca nigra). Int. J. Primatol. 18(2): 247-260. doi: 10.1023/A:1026376720249. Rosenbaum B, O’Brien TG, Kinnaird MF, Supriyatna J. 1988. Populatiom Densities of Sulawesi Black Crested Macaque (Macaca nigra). Am. J. Primatol. 44(2): 89-106. Rowe N. 1996. The pictorial Guide to the Living Primates. New York (US): Pogonias Pr.
45
Sari IR. 2013. Anthropogenic effects on habitat use, activity budget, and energy balance in Macaca nigra at Tangkoko Nature Reserve, North Sulawesi, Indonesia. [thesis]. Göttingen (DE): Georg-August University Göttingen. Saroyo. 2005. Karakteristik dominansi monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus, Sulawesi Utara [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sekhar NU. 1998. Crop and livestock depredation caused by wild animals in protected areas: the case of Sariska Tiger Reserve, Rajasthan, India. Environ. Conserv. 25(2): 160–171. doi: 10.1017/ S0376892998000204. Singleton I, Asril W, Paembonan S, Aprianto, Sugeng. 2002. Human Orangutan Conflict. Workshop on Human and Wildlife Conflict; 2002 Sep 26-27; Pekanbaru.Sumatra (ID). Smith GC, Hubert VP. Simanjorang, Nigel LW, Matthew L. 2010. Local Attitudes and Perceptions Toward Crop-Raiding by Orangutans (Pongo abelii) and Other Nonhuman Primates in Northern Sumatra, Indonesia. Am. J. Primatol. 72 (10): 866-876. doi: 10.1002/ajp.20822. Southwick CH, Blood BD. 1979. Conservation and management of wild primate populations. Bioscience 29(4): 111-159. doi: 10.2307/1307628. Supranto J. 2000. Statistik: Terapan dan Aplikasi. Jilid 1. Edisi ke-6. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Supriatna J, Wahyono EH. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor. Supriatna J, Andayani N. 2008. Macaca nigra In: IUCN 2008. 2008 IUCN Red List of Threatened Species. [Internet]. [diunduh 2013 Okt 26]. Tersedia pada: www.iucnredlist.org. Syartinilia, Tsuyuki S. 2008. GIS based modeling of Javan Hawk-Eagle distribution using logistic and autologistic regression models. Biological Conservation 141 (3): 756-769. doi:10.1016/j.biocon.2007.12.030. Westin JL. 2007. Effects of Ecotourism on the Behavior and Health of Red Howler Monkeys (Alouatta seniculus) in Suriname [disertasi]. Michigan (AS): University of Michigan. Whitten TG, Henderson S, Mustafa M. 2002. The Ecology of Sulawesi:The Ecology of Indonesia.Singapore (SG): Periplus. Vol Ke-4. Yuwono EH, Susanto P, Saleh C, Andayani N, Prasetyo D, Atmoko SSU. 2007. Guidelines for the Better Management Practices on Avoidance, Mitigation and Management of Human-Orangutan Conflict in and around Oil Palm Plantations/ Petunjuk Teknis: Penanganan Konfllik Manusia-Orangutan di Dalam dan Sekitar Perkebunan Kelapa Sawit. Indonesia (ID): WWF.
46
LAMPIRAN
47
Lampiran 1 20 Pohon pakan teratas yaki Grup Pantaibatu 1 dan 2 Spesies Koordersiodendron pinnatum Cananga odorata Eugenia sp. Dracontomelon dao Polyalthia glauca Ficus variegata Caryota mitis Ficus spp. Morinda citrifolia Uvaria grandiflora* Morinda brachteata Dendrocnide microstigma Garcinia tetranda* Leea indica Dracontomelon mangiferum Mucuna albertisii* Palaquium amboinense* Piper sp.* Terminalia catappa Ficus microcarpa*
Grup Rambosatu frekuensi Spesies 477 Morinda citrifolia 396 Koordersiodendron pinnatum 327 Cananga odorata 237 Terminalia catappa 182 Eugenia sp. 177 Mangifera indica** 151 Dracontomelon dao 144 Cocos nucifera** 120 Dendrocnide microstigma 125 Leea indica 116 Ficus spp. 111 Ficus variegata 99 Morinda brachteata 96 Piper aduncum** 79 Arenga pinnata** 78 Polyalthia glauca 69 Caryota mitis 58 Arthocarpus dadah** 49 Macaranga mappa** 42 Vitex quinnata**
*) spesies tersebut hanya dikonsumsi oleh Grup Pantaibatu 1 dan 2 **) spesies tersebut hanya dikonsumsi oleh Grup Rambosatu
Frekuensi 609 508 441 204 172 159 145 144 142 138 137 127 126 118 95 84 83 69 60 53
48 Lampiran 2 Nilai akurasi umum dan akurasi kappa Kelas 1 2 Awan 2 0 Hutan Primer 0 5 Hutan Sekunder 0 3 Semak 0 0 Kebun Campuran 0 0 Tanah Lapang 0 0 Bangunan 0 0 Total Kolom 2 8 PA (%) 100 62.5 Overall Accuracy (%) 78.33% Kappa Accuracy (%) 75.09%
3 0 2 8 0 0 0 0 10 80
Data Acuan 4 5 0 0 0 1 1 1 9 0 0 8 0 0 0 0 10 10 90 80
6 0 1 1 0 0 8 0 10 90
7 0 0 0 0 0 3 7 10 70
Total Baris 2 9 14 9 8 11 7
UA (100%) 100.00 55.56 57.14 100.00 100.00 72.72 100.00
Ket : 1 = Awan; 2 = Hutan Primer ; 3 = Hutan Sekunder; 4 = Semak; 5 = Kebun Campuran; 6 = Tanah Lapang; 7 = Bangunan UA = User’s Accuracy; PA = Producer’s Accuracy
49
Lampiran 3 Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke ketinggian 0-400 mdpl (JTE1) dengan resolusi 30 x 30 m
50 Lampiran 4 Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke ketinggian 400-800 mdpl (JTE2) dengan resolusi 30 x 30 m
51
Lampiran 5 Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke ketinggian >800 mdpl (JTE3) dengan resolusi 30 x 30 m
52 Lampiran 6 Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke kemiringan 0-8 % (JTS1) dengan resolusi 30 x 30 m
53
Lampiran 7 Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke kemiringan 8-15 % (JTS2) dengan resolusi 30 x 30 m
54 Lampiran 8 Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke kemiringan 25-40 % (JTS4) dengan resolusi 30 x 30 m
55
Lampiran 9 Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke kemiringan 25-40 % (JTS4) dengan resolusi 30 x 30 m
56 Lampiran 10 Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke kemiringan 40-155 % (JTS5) dengan resolusi 30 x 30 m
57
Lampiran 11 Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover semak belukar (JTSB) dengan resolusi 30 x 30 m
58 Lampiran 12 Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover kebun campuran (JTKC) dengan resolusi 30 x 30 m
59
Lampiran 13 Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover bangunan (JTBG) dengan resolusi 30 x 30 m
60 Lampiran 14 Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover hutan primer (JTHP) dengan resolusi 30 x 30 m
61
Lampiran 15 Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover hutan sekunder (JTHS) dengan resolusi 30 x 30 m
62 Lampiran 16 Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover tanah lapang (JTTL) dengan resolusi 30 x 30 m
63
Lampiran 17 Titik-titik presence dan pseudo-absence
1 (molsu)
1
Ketinggian Mdpl 0-400
0-500 m
Wawancara
2
1 (rokmini)
1
0-400
8-15 %
KC
0-500 m
Wawancara
3
1 (antonius)
1
0-400
8-15 %
KC
0-500 m
Wawancara
4
1 (boby)
1
0-400
25-40 %
SM
0-500 m
Wawancara
5
1 (ambo)
1
0-400
8-15 %
TL
0-500 m
Wawancara
6
1 (pak marcus)
1
0-400
0-8 %
KC
0-500 m
Wawancara
7
1 (yopi)
1
0-400
8-15 %
HP
0-500 m
Wawancara
8
1 (jeni)
1
0-400
8-15 %
KC
0-500 m
Wawancara
9
1 (ramenpudi)
1
0-400
8-15 %
TL
0-500 m
Wawancara
10
1 (yanis)
1
0-400
0-8 %
BG
0-500 m
Wawancara
11
1 (heni)
1
0-400
8-15 %
KC
0-500 m
Wawancara
12
1 (yulin)
1
0-400
8-15 %
TL
0-500 m
Wawancara
13
1 (Gerson)
1
0-400
8-15 %
KC
0-500 m
Wawancara
14
1 (10)
1
0-400
8-15 %
SM
0-500 m
Wawancara
15
1 (ferdi)
1
0-400
0-8 %
KC
0-500 m
Wawancara
16
1(bp+ks)cb1
1
0-400
8-15 %
KC
0-500 m
Hawstools
17
1 (kebun PU)
1
400-800
25-40 %
HS
0m
Wawancara
18
1 (kasuari PU)
1
400-800
25-40 %
HP
0m
Wawancara
19
1 (x4 PU)
1
400-800
15-25 %
KC
0m
Wawancara
20
1(pu+ds)cb1
1
400-800
25-40 %
HP
0m
Hawstools
21
1(pu+ds)cb2
1
400-800
25-40 %
HP
0m
Hawstools
1
0 (andrice)
2
0-400
8-15 %
BG
0-500 m
Wawancara
2
0 (solome)
2
0-400
0-8 %
TL
0-500 m
Wawancara
3
0 (selilian)
2
0-400
0-8 %
TL
0-500 m
Wawancara
4
0(BP+KS)CB 2
2
0-400
0-8 %
TL
0-500 m
Hawstools
5
0(BP+KS)CB 1
2
0-400
0-8 %
TL
0-500 m
Hawstools
6
0(BP+KS)CB 3
2
0-400
0-8 %
TL
0-500 m
Hawstools
7
0(BP+KS)CB 5
2
0-400
0-8 %
TL
0-500 m
Hawstools
8
0(BP+KS)CB 7
2
0-400
0-8 %
TL
0-500 m
Hawstools
9
2
0-400
0-8 %
TL
0-500 m
Hawstools
10
0(BP+KS)CB 8 0(BP+KS)CB 10
11
0 (PAI PU)
2 2
0-400 400-800
0-8 % 40-155 %
TL HS
0-500 m 0m
Hawstools Wawancara
12
0 (x1PU)
2
400-800
40-155 %
HS
0m
Wawancara
13
0 (x2 PU)
2
400-800
40-155 %
HS
0m
Wawancara
14
0(PU+DS)CB1
2
400-800
40-155 %
HS
0m
Hawstools
15
0(PU+DS)CB3
2
400-800
40-155 %
HS
0m
Hawstools
16
0(PU+DS)CB2
2
400-800
40-155 %
HS
0m
Hawstools
17
0(PU+DS)CB4
2
400-800
40-155 %
HS
0m
Hawstools
18
0(PU+DS)CB6
2
400-800
40-155 %
HS
0m
Hawstools
19
0(PU+DS)CB5
2
400-800
40-155 %
HS
0m
Hawstools
No 1
Nama
Y
Kemiring an 0-8 %
Penutupan Lahan SM
Batas
Sumber
64 Lampiran 17 Titik-titik presence dan pseudo-absence (Lanjutan) No
Nama
Y
20
0(PU+DS)CB7
2
21
0(PU+DS)CB9
2
Ketinggian Mdpl
Kemiringan
Penutupan Lahan
Batas
400-800
40-155 %
HS
0m
Hawstools
400-800
40-155 %
HS
0m
Hawstools
Sumber
Ket : HP = Hutan Primer; HS = Hutan Sekunder; SM = Semak; KC = Kebun Campuran; TL = Tanah Lapang; BG = Bangunan
65
Lampiran 18 Korelasi antar variabel lingkungan (VIF)-Test Correlations
SL 08
SL 815
SL 1525
SL 2540
SL 40155
Pearson Correlation Sig. (2tailed) N Pearson Correlation Sig. (2tailed) N Pearson Correlation Sig. (2tailed) N Pearson Correlation Sig. (2tailed) N Pearson Correlation Sig. (2tailed) N
SL 0 8
SL 8 15
SL 15 25
SL 25 40
SL 40 155
EL 04 00
EL 400 800
EL 800
1
.761**
.293
-.388*
-.529**
.440**
-.647**
.000
.060
.011
.000
.004
42
42
42
42
42
.761**
1
.469**
-.285
.002
.000
LC HP
LC HS
LCSE M
LC KC
LC TL
LC BA NG
-.693**
-.417**
.154
-.059
.505**
.318*
.318*
.000
.000
.006
.332
.710
.001
.040
.040
42
42
42
42
42
42
42
42
42
-.555**
.566**
-.505**
-.572**
-.203
-.044
-.070
.362*
.520**
.183
.067
.000
.000
.001
.000
.198
.781
.659
.019
.000
.246
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
.293
.469**
1
.247
-.111
.328*
-.317*
-.262
.164
-.197
.106
.311*
.363*
.069
.060
.002
.115
.483
.034
.041
.094
.299
.211
.505
.045
.018
.663
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
-.388*
-.285
.247
1
.698**
-.346*
.347*
.438**
.428**
.055
.302
-.145
-.344*
-.345*
.011
.067
.115
.000
.025
.024
.004
.005
.727
.052
.359
.026
.025
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
-.529**
-.555**
-.111
.698**
1
-.738**
.530**
.636**
.214
.310*
.245
-.411**
-.651**
-.410**
.000
.000
.483
.000
.000
.000
.000
.174
.046
.118
.007
.000
.007
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
66 Lampiran 18 Korelasi antar variabel Lingkungan (VIF)-Test (Lanjutan) SL 0 8
SL 8 15
SL 15 25
SL 25 40
SL 40 155
EL 04 00
EL 400 800
EL 800
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.440**
.566**
.328*
-.346*
-.738**
1
-.733**
.004
.000
.034
.025
.000
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
42
42
42
42
42
-.647**
-.505**
-.317*
.347*
.000
.001
.041
42
42
-.693**
Correlations
EL 0 400 EL 400 800
EL 800
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
LC HP
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation
LC HS
Sig. (2-tailed) N
LC HP
LC HS
LCSE M
LC KC
LC TL
LC BA NG
-.790**
-.036
-.379*
-.247
.300
.623**
.336*
.000
.000
.823
.013
.115
.054
.000
.030
42
42
42
42
42
42
42
42
42
.530**
-.733**
1
.966**
.131
.109
.095
-.454**
-.460**
-.489**
.024
.000
.000
.000
.407
.493
.550
.003
.002
.001
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
-.572**
-.262
.438**
.636**
-.790**
.966**
1
.191
.150
.151
-.456**
-.512**
-.531**
.000
.000
.094
.004
.000
.000
.000
.225
.343
.339
.002
.001
.000
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
-.417**
-.203
.164
.428**
.214
-.036
.131
.191
1
-.251
-.020
-.190
-.086
-.091
.006
.198
.299
.005
.174
.823
.407
.225
.109
.899
.227
.589
.567
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
.154
-.044
-.197
.055
.310*
-.379*
.109
.150
-.251
1
.150
-.121
-.462**
-.368*
.332
.781
.211
.727
.046
.013
.493
.343
.109
.344
.445
.002
.016
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
67
Lampiran 18 Korelasi antar variabel lingkungan (VIF)-Test (Lanjutan) Correlations
LC SEM
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
LC KC
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
LC TL
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
LC BA NG
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
SL 0 8
SL 8 15
SL 15 25
SL 25 40
SL 40 155
EL 04 00
EL 400 800
EL 800
LC HP
LC HS
LCSE M
LC KC
LC TL
LC BA NG
-.059
-.070
.106
.302
.245
-.247
.095
.151
-.020
.150
1
.037
.192
-.027
.710
.659
.505
.052
.118
.115
.550
.339
.899
.344
.818
.224
.866
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
.505**
.362*
.311*
-.145
-.411**
.300
-.454**
-.456**
-.190
-.121
.037
1
.394**
.177
.001
.019
.045
.359
.007
.054
.003
.002
.227
.445
.818
.010
.263
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
.318*
.520**
.363*
-.344*
-.651**
.623**
-.460**
-.512**
-.086
-.462**
.192
.394**
1
.378*
.040
.000
.018
.026
.000
.000
.002
.001
.589
.002
.224
.010
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
.318*
.183
.069
-.345*
-.410**
.336*
-.489**
-.531**
-.091
-.368*
-.027
.177
.378*
1
.040
.246
.663
.025
.007
.030
.001
.000
.567
.016
.866
.263
.014
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
42
.014
42
68 Lampiran 19 Publikasi
69
Lampiran 19 Publikasi (Lanjutan)
70 Lampiran 19 Publikasi (Lanjutan)
71
Lampiran 19 Publikasi (Lanjutan)
72 Lampiran 19 Publikasi (Lanjutan)
73
Lampiran 19 Publikasi (Lanjutan)
74 Lampiran 19 Publikasi (Lanjutan)
75
RIWAYAT HIDUP Balqis Nailufar lahir di Tegal, 21Juli 1989. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara pasangan H. Aris Samsudin, SE. MM dan Hj. Nafisah S.Ag. Pendidikan penulis diawali dari tahun 1993. Pada tahun 2000 penulis lulus dari SDN 02 Kalikangkung. Kemudian pada tahun 2003 penulis menyelesaikan studi di SLTPN 01 Pangkah. Selanjutnya pada tahun 2000 penulis lulus SMAN 01 Slawi. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2006 melalui jalur Seleksi Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB). Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian. Penulis memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Departemen Arsitektur Lanskap dengan bidang keahlian pelengkap (minor) Manajemen Lahan di IPB pada tahun 2011. Pada tahun yang sama, penulis bekerja di PT Idealand Cipta Hijau yang bergerak dalam bidang design and buid landscape dan memegang proyek antara lain sebagai junior arsitek lanskap Botanical Garden PT Djarum Kudus, junior arsitek lanskap BOAO Garden China, arsitek lanskap Bank BCA Alam sutera, arsitek lanskap Apartemen Admiralty Fatmawati, arsitek lanskap Hotel Namaste Kuta, arsitek lanskap Hotel Luxton Cirebon, arsitek lanskap Hotel Santika Surakarta, dan arsitek lanskap Sumarecon Mall Bekasi. Pada tahun 2012 penulis meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi melalui Beasiswa Unggulan DIKTI di Institut Pertanian Bogor program studi Arsitektur Lanskap. Tahun 2013 penulis mendapat kesempatan mengikuti program TWINCLE Summer Course di Chiba University, Jepang. Pada awal tahun 2014 juga, penulis menjadi asisten peneliti di macaca nigra project (MNP) Sulawesi Utara selama 5 bulan, pada akhir tahun 2014 penulis pernah terlibat dalam projek di pusat pengkajian perencanaan dan pengembangan wilayah (P4W) yaitu penyusunan masterplan pusat pengkantoran pemerintah Kabupaten Mahakan Ulu sebagai tenaga pendukung, dan pada Mei 2015 penulis terlibat dalam projek di Kementrian Pertanian yaitu pembuatan Sistem Distribusi Jaringan Pangan 2015 sebagai tenaga ahli SIG. Karya tulis yang dihasilkan selama menjadi mahasiswa Pascasarjana IPB antara lain:(1) Landscape Modelling For Human – Sulawesi Crested Black Mazaques Confllict in North Sulawesi di Elsevier procedia environmental sciences(ELSEVIER) Volume 24, Halaman 104-110, 2015; (2) Significant Value of Senujuh Mountain in Sambas West Kalimantanyang akan diseminarkan dalam Seminar international federation landscape architecture (IFLA) 7-9 September 2015 di Lombok; (3) International Touris Preference to Increased Visitor of Bromo Mountain as Main Destination in Indonesia yang akan diseminarkan dalam Seminar international federation landscape architecture (IFLA) 7-9 September 2015 di Lombok; dan (4) Tourist Preference of Lodok Rice Field, The Spiderweb Rice Field from Manggarai Indonesia yang akan diseminarkan dalam Bali ACLA International Symposium 11-12 September 2015 di Bali.