eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (2): 543-554 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2013
MANAJEMEN KONFLIK JEPANG-CHINA DALAM MENGATASI SENGKETA KEPULAUAN SENKAKU HESTI KARISMAYA1 0902045161
Abstract: Senkaku Islands conflict between Japan and China has reached the crisis stage, which both countries seek to maintain claims on the disputed Senkaku Islands since the 19th century. Conflict management efforts undertaken by the two countries at this stage of the crisis is through negotiations agreed in 2007 through the basic framework of "Sea of Peace, Cooperation and Friendship". As advanced in the basic framework of the two countries met again in 2008 and reached an agreement to resolve the conflict through the Senkaku Islands Joint Development Agreement is implemented in the field of natural gas Shirakaba (Chunxiao). But in its development efforts Senkaku Islands conflict management experience many difficulties caused by several factors. Both countries have yet to reach an agreement on contingent shelf boundary and EEZ around China Sea Joint Development Timur. in other hand, Joint Agreement development that has been agreed by both parties came to a halt due to the Chinese government's efforts to petition the Partial Submission to the Convention on the Law of the Sea (CLCS) in which China applying the contingent off line until the Okinawa trough, causing deadlock agreement. Keywords : Senkaku Island, Japan, China , International Conflict Management
Pendahuluan Jepang dan China merupakan dua negara berkekuatan besar secara ekonomi ataupun militer di kawasan Asia Pasifik. Namun, hubungan bilateral antara Jepang dan China sering mengalami ketegangan yang salah satunya disebabkan oleh konflik teritorial yang berada di Laut China Timur dan disebut dengan Kepulauan Senkaku oleh Jepang, atau Kepulauan Diaoyu oleh China. Secara geografis, Kepulauan Senkaku berada di perairan Laut China Timur yang terletak sekitar 120 mil dari Taiwan, 120 mil dari dataran China dan 200 mil dari kpta Naha,Okinawa Jepang Kepulauan ini terdiri dari kumpulan pulau kecil dan batu
1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 543-554
karang disekitarnya.(http://digitalcommons.law.umaryland.edu, diakses pada 02 Oktober 2012). Sengketa Kepulauan Senkaku antara Jepang dan China mengalami fase krisis yang mengakibatkan munculnya ketegangan antara kedua negara. Salah satunya ialah aktivis nasionalis China yang melakukan demonstrasi anti Jepang dan merusak beberapa fasilitas bisnis milik warga Jepang di China. selain itu, hubungan kedua negara semakin mengalami ketegangan setelah adanya respon Pemerintah Jepang pada tahun 2005 mengenai ijin eksplorasi gas alam oleh Japan Petroleum Exploration Co dan Teikoku Oil Co disekitar Laut China Timur. Hal ini mengakibatkan reaksi protes Pemerintah China dan menganggap bahwa pemerintah Jepang telah mengambil langkah provokasi dan memaksakan secara sepihak atas Kepulauan tersebut. (globalsecurity.org, diakses pada 20 November 2012). Ketegangan kembali terjadi ketika Japan's Maritime Safety Agency menempatkan kapal patroli dan mengawasi pulau tersebut dengan helikopter dengan tujuan untuk melindungi wilayah teritorialnya terhadap kapal-kapal patroli China yang berada disekitar Kepulauan Senkaku pada Januari 2009. Pada September 2010 Jepang menangkap kapten kapal nelayan China yang beroperasi disekitar perairan Senkaku/Diaoyu. Penangkapan tersebut mendapatkan reaksi dari Pemerintah China yang kembali melayangkan nota protes terhadap Pemerintah Jepang dan menuntut agar Jepang segera melepaskan kapten kapal nelayan China tanpa syarat. Namun Pemerintah Jepang menyatakan bahwa penangkapan kapal nelayan China tersebut berdasarkan hukum nasional Jepang dan secara resmi dibawah Perfektur Okinawa. Hal ini berlanjut pada pembatalan sepihak yang diumumkan oleh Pemerintah China terkait keberangkatan 1000 pelajar Jepang yang ingin melakukan kunjungan di EXPO Shanghai, China. (http://www.mofa.go.jp/ diakses pada 02 Oktober 2012). Sengketa Pulau Senkaku memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hubungan bilateral antara Jepang dengan China, baik dari segi politik, ekonomi maupun militer. Tidak hanya bagi Jepang dan China, tetapi sengketa ini dikhawatirkan akan berdampak pada stabilitas keamanan kawasan Asia Pasifik secara keseluruhan. Hal inilah yang membuat penulis mengangkat masalah bagaimana manajemen konflik Jepang dan China dalam mengatasi sengketa pulau Senkaku. Kerangka Dasar Konsep 1. Teori Konflik Secara umum konflik dapat dipahami sebagai suatu kondisi sosial yang muncul saat satu atau lebih aktor mengejar kepentingan tertentu secara bersamaan. Dubrin, A.J mengartikan konflik mengacu pada pertentangan antar individu atau kelompok yang dapat meningkatkan ketegangan sebagai akibat saling menghalangi dalam pencapaian tujuan. Pertentangan atau konflik adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan/atau
544
Manajemen Konflik Jepang-China Dalam Sengketa Pulau Senkaku (Hesti Karismaya)
kekerasan. Menurut Holsti, konflik juga merupakan akibat pertentangan antara tuntutan yang dimiliki negara A dengan kepentingan negara B atau negara lainnya (T May Rudy, 2002 : 65). Sementara itu sumber konflik yang menyebabkan terjadinya konflik internasional antara dua aktor atau lebih dibagi menjadi enam tipe utama, yaitu (K.J Holsti, 1988 : 174) : a) Konflik wilayah terbatas, dimana terdapat pandangan yang tidak cocok dengan acuan pada pemilikan suatu bagian khusus wilayah atau pada hak-hak yang dinikmati oleh satu negara di atau dekat wilayah negara lain. b) Konflik yang berkaitan dengan komposisi pemerintah, yang biasanya berhubungan dengan ideologi yang kuat; atau menjatuhkan suatu rejim dan sebagai gantinya mendirikan suatu pemerintahan yang cenderung lebih menguntungkan pihak yang melakukan intervensi. c) Konflik kehormatan nasional, dimana pemerintah mengancam atau bertindak untuk membersihkan pelanggaran tertentu yang telah diduga. d) Imperialisme regional, dimana suatu pemerintah berusaha menghancurkan kemerdekaan negara lain , biasanya untuk mencapai suatu kombinasi tujuan ideologis, keamanan, dan perdagangan. e) Konflik pembebasan, atau perang revolusioner yang dilakukan oleh suatu negara untuk membebaskan “rakyat” negara lain, biasanya karena alasan etnis atau ideologis. f) Konflik yang timbul dari tujuan pemerintah untuk mempersatukan suatu wilayah negara yang terpecah. Disisi lain, untuk membantu menganalisis dinamika dan kejadian-kejadian yang berkaitan dengan tahapan konflik maka dapat menggunakan alat bantu analisis tahapan konflik yang terdiri dari lima tahap, yaitu pra konflik, yang merupakan suatu kondisi atau adanya ketidaksesuaian tujuan atau sasaran masing-masing pihak yang berkonflik sehingga menjadi akar timbulnya suatu konflik, hal ini menyebabkan suatu konflik ke tahapan selanjutnya yaitu konfrontasi. Dalam tahapan konfrontasi kedua belah pihak mulai memperlihatkan pertikaian atau konflik terbuka. Tahapan yang ketiga ialah krisis, disertai dengan adanya tindakan atau reaksi yang menimbulkan ketegangan dan kekerasan yang terjadi sangat intensif antara pihak yang berkonflik sehingga menuju ke tahapan selanjutnya yaitu akibat konflik yaitu tahapan yang meinumbulkan akibat dari tahapan krisis. Tahapan terakhir ialah pasca konflik dimana segala tahapan konflik seperti ketegangan atau konfrontasi dibawa kearah yang dapat meminimalisir suatu konflik.
545
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 543-554
2. Konsep Manajemen Konflik Manajemen Konflik dapat dilihat sebagai bagian dari proses yang memastikan bahwa manusia hidup secara damai dalam kehidupan yang teratur. Manajemen konflik merupakan salah satu jalan untuk mendamaikan pihak yang berkonflik, sebelum, selama atau setelah suatu konflik terjadi dan sebagai upaya mengontrol sumber-sumber konflik agar tidak menjadi konflik yang terbuka. Tujuan manajemen konflik ialah memelihara agar konflik tetap fungsional dan meminimalkan akibat konflik yang merugikan. Selanjutnya, manajemen konflik berguna dalam mencapai tujuan yang diperjuangkan dan menjaga hubungan pihak-pihak yang terlibat konflik tetap baik. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk menganalisa suatu konflik dapat digambarkan dengan kurva lonceng yang disebut dengan The Life Cycle Of International Conflict Management / skema dalam manajemen konflik internasional. (Chester A. Crocker at all, 2001: xxvii) Gambar 1.1. The Life Cycle of International Conflict Manajement
Sumber : Adaptasi dari Figure 1 dalam Chester A. Crocker, Osler Hampson, dan Pamela Aall, Turbulent Peace: The Challenges of Managing International Conflict (Washington, D.C.: United States Institute of Peace Press, 2001), xxviii
Dalam gambar kurva lonceng merepresentasikan bentuk ideal dari pola suatu konflik yang menunjukkan bagaimana suatu konflik meningkat hingga mencapai dampak kekerasan dan kemudian mengalami penurunan ketegangan hingga
546
Manajemen Konflik Jepang-China Dalam Sengketa Pulau Senkaku (Hesti Karismaya)
mencapai pendekatan kembali dan rekonsiliasi. Kurva tersebut juga mengidentifikasi tipe-tipe dalam teknik manajemen konflik yang mungkin efektif pada titik tertentu dalam tahapan konflik. Lebih jauh lagi pada bagian bawah kurva, sebelum adanya kekerasan dan kekuatan militer digunakan atau setelah perjanjian dicapai, pendekatan-pendekatan yang menekankan pada peningkatan kapasitas untuk menangani sengketa secara damai, pembentukan lembaga, pemerintahan yang baik, transparansi, penegakan hukum, penemuana fakta-fakta, pendidikan, pelatihan pelaksana dan bantuan pembangunan- mungkin tidak hanya sesuai tetapi penting sebagai bentuk pencegahan konflik atau konsolidasi perdamaian. Pada titik yang paling tinggi di kurva, terjadi kekerasan atau penggunaan kekuatan militer, pihak yang bersengketa cenderung akan menggunakan pendekatan atau respon yang memiliki pengaruh kuat seperti mediasi, sanksi politik dan ekonomi serta pendekatan militer dalam upaya perdamaian (Ibid). Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptis analitik, yaitu menjelaskan dan menganalisa upaya menajamen konflik yang dilakukan Jepang-China dalam mengatasi sengketa Kepulauan Senkaku. Data yang disajikan merupakan data sekunder yang diperoleh melalui telaah pustaka, yakni dengan mengumpulkan data-data yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dari literature seperti buku, jurnal dan juga situs-situs dari internet. Tekhnik analisa data yang digunakan adalah data kualitatif.
Pembahasan Kepulauan Senkaku merupakan kepulauan yang berada di Laut China Timur yang terdiri dari lima pulau kecil dan tiga batu karang, masing-masing dari pulau tersebut mempunyai nama baik dalam bahasa Jepang ataupun bahasa China. Kepulauan Senkaku memiliki nilai yang strategis baik secara geografi, politik ataupun ekonomi. Nilai strategis Kepulauan Senkaku dapat dilihat dari letak kepulauan tersebut yang menghubungan negara Asia Pasifik dengan Asia Tenggara. Letak yang strategis tersebut juga dapat menjadikan Kepulauan Senkaku sebagai basis militer negara yang memilikinya. Secara politik, Kepulauan Senkaku dapat digunakan untuk memperluas pengaruh China diwilayah Asia Tenggara dan Laut China Selatan dan dapat memperkuat legitimasi atas Taiwan. Sedangkan secara ekonomi, Kepulauan Senkaku memiliki kandungan sumber daya alam yang sangat besar berupa minyak dan gas bumi yang diperkirakan mencapai 175-210 triliyun kubik. Kedua negara berupaya untuk mempertahankan klaim terhadap Kepulauan Senkaku, dimana China memperkuat klaimnya berdasarkan pada aspek sejarah dengan mengumpulkan arsip-arsip kerajaan pada masa Dinasti Ming (1368-1644) yang menyebutkan bahwa Kepulauan Senkaku digunakan sebagai tempat persinggahan militer utusan kaisar dan tempat memancing bagi nelayan China
547
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 543-554
(http://shitokai.com/ryukyu.php diakses pada tanggal 19 Maret 2013). Sementara itu Jepang, memperkuat klaim terhadap Kepulauan Senkaku berdasarkan pada aspek Hukum Internasional. Jepang menyebutkan Kepulauan Senkaku sebagai wilayah yang Terra nullius (tanah yang tidak berpenghuni) dan menjadikan Kepulauan Senkaku dalam wilayah yudiksinya pada tahun 1895. Konflik Kepulauan Senkaku antara Jepang dan China merupakan salah satu konflik yang bersumber pada konflik teritoial terbatas dan telah sampai pada tahap krisis karena kedua negara berusaha untuk mempertahankan klaim masingmasing dan meningkatn aktivitas baik secara militer atau pembangunan pipa gas di sekitar kepulauan tersebut. Upaya manajemen konflik Kepulaan Senkaku yang dilakukan Jepang dan China dapat meminimalisir konflik Kepulauan Senkaku menuju ke tahap gencatan senjata atau perang. Konflik ini dapat diredam melalui upaya : 1.
Manajemen Konflik Pada Tahap Stabil Peace
Manajemen konflik Jepang – China dalam mengatasi sengketa Kepulauan Senkaku pada tahap Stabil Peace atau keadaan stabil dilakukan melalui pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan persahabatan dan meredam konflik. Hal ini berdasarkan pada kesepakatan dimana kedua negara sepakat mengadakan pertukaran pelajar/mahasiswa sebagai bagian dari peringatan normalisasi hubungan diplomatik yang dimulai pada tahun 1972 yang dilakukan melalui “Japan-East Asia Network of Exchange for Students and Youths” dan “Japan-China Exchange Year of Culture and Sports”. Manajemen konflik Jepang-China yang dilakukan melalui pendidikan merupakan salah satu langkah kedua negara untuk mengurangi tingkat permusuhan yang terjadi akibat adanya konflik Kepulauan Senkaku. Selain itu dalam rangka melaksanakan Practitional Training atau pelaksanaan kedisiplin, maka kedua negara mengadakan pertemuan pada bulan September 2005. Dalam pertemuan tersebut pemerintah Jepang menyatakan protes terhadap pembangunan pipa gas oleh China disekitar kepulauan Senkaku dan menyerukan agar China memberikan informasi yang relevan mengenai pembangunan pipa gas di sekitar kepulauan tersebut. Dalam pertemuan ini China menolak permohonan pemerintah Jepang mengenai penangguhan pembangunan pipa gas oleh China disekitar kepulauan Senkaku, China menyatakan akan terus melanjutkan pembangunan tersebut. Upaya Jepang tersebut merupakan suatu bentuk pelaksanaan kedisplinan dimana seharusnya China tidak melakukan aktivitas disekitar wilayah yang disengketakan sehingga tidak menimbulkan ketegangan atau keadaan tidak stabil dalam hubungan kedua Negara (http://www.mofa.go.jp/region/asiapaci/china/joint0610.html diakses pada tanggal 27 Mei 2013).
548
Manajemen Konflik Jepang-China Dalam Sengketa Pulau Senkaku (Hesti Karismaya)
2.
Manajemen Konflik Pada Tahap Unstable Peace
Dalam keadaan ini, pihak yang berkonflik mulai merasakan adanya intensitas konflik yang mulai meningkat. Hal ini disebabkan karena China menolak untuk menangguhkan kegiatan pembangunan pipa gas di sekitar lapangan gas Chunxiao pada tahun 2005, sehingga kedua negara mulai memperlihatkan pertikaian dan kemungkinan dinamika konflik sampai pada konflik terbuka. Manajemen konflik yang ditawarkan dalam kurva lonceng ialah melalui pencegahan konflik atau Conflict Prevention. Manajemen konflik melalui pencegahan konflik dilakukan melalui Confidence Building Measure, pengumpulan bukti-bukti atau fakta yang berhubungan dengan konflik. Manajemen konflik Jepang-China dalam sengketa Kepulauan Senkaku yang dilakukan melalui Confidence Building Measure dilakukan melalui berbagai upaya seperti mengadakan dialog strategis Jepang – China. Dialog ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa saling percaya baik dalam segi pemerintah ataupun masyarakat. Dialog ini diadakan rutin setiap peringatan normalisasi hubungan diplomatik Jepang-China. Selain itu, tujuan dari dialog ini ialah sebagai langkah Jepang untuk mendesak agar China dapat mempublikasikan anggaran militernya secara transparan. Selain melalui Confidence Building Measure, kedua negara juga berupaya untuk melakukan manajemen konflik Kepulauan Senkaku melalui Fact Finding. Upaya tersebut dilakukan oleh China dengan mengumpulkan bukti-bukti yang membuktikan Kepulauan Senkaku merupakan bagian dari wilayah mereka berdasarkan pada aspek sejarah, dimana Pemerintah China mengumpulkan buktibukti dari kerajaan China pada abad ke 14. Dalam pengumpulan fakta tersebut pengumpulan fakta-fakta yang dikumpulkan oleh pemerintah China menuju pada bukti dimana kepualaun Senkaku/Diaoyu merupakan kepulauan yang dilewati oleh para wakil kaisar menuju ke kerajaan Ryukyu. Hal tersebut dapat ditemukan dalam buku The Voyage yang diterbitkan pada tahun 1403 karya Shun Feng Xiang Song, catatan utusan Chen Khan, buku yang berjudul An Illustrated Compendium on Maritime Security (Chou Hai Tu Bian) tahun 1561 dan bukti lainnya. Bukti yang memperkuat klaim China terhadap Kepulauan Senkaku ialah berdasarkan pada Perjanjian Shimonesheki, dimana menurut China, Jepang mengambil paksa Kepulauan Senkaku akibat dari kelalahan perang China atas Jepang. Berbeda dengan China, Jepang mengumpulkan fakta-fakta dengan menggunakan pendekatan hukum internasional, dimana Jepang menyatakan bahwa kepulauan Senkaku merupakan wilayah yang terra nullius dan tidak ada bukti yang menjelaskan bahwa kepulauan Senkaku dibawah kontrol China. Hal tersebut yang menjadi dasar Pemerintah Jepang memasukkan Kepulauan Senkaku dalam wilayah administrasinya dan diresmikan dalam keputusan kabinet pada 14 Januari 1895. Namun upaya tersebut mengalami kegagalan karena adanya perbedaan pendapat mengenai Perjanjian Internasional yang berhubungan dengan konflik Kepulauan Senkaku.
549
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 543-554
Upaya dalam penemuan fakta-fakta yang dilakukan oleh kedua negara menimbulkan perbedaan pandangan mengenai Perjanjian-Perjanjian Internasional yang berkaitan dengan Kepulauan Senkaku sehingga eskalasi konflik meningkat menuju ke konflik terbuka dan memperkuat klaim mereka terhadap Kepulauan Senkaku. Faktor yang juga mempengaruhi konflik Kepulauan Senkaku menuju ke konflik terbuka atau tahap krisis dikarenakan ketakutan Jepang atas aktivitas militer China di sekitar Kepulauan Senkaku. 3.
Manajemen Konflik Pada Tahap Krisis
Manajemen konflik yang dilakukan kedua negara pada tahap krisis dilakukan melalui tahapan negosiasi dengan melakukan Joint Agreement Developement yang disepakati pada tahun 2008. Upaya ini dilakukan secara bertahap melalui berbagai kesepakatan diantara Japan – China Joint Press Statement pada bulan April 2007, kerangka dasar “Sea of Peace. Cooperation and Friendship” pada Desember 2007, yang merupakan komitmen untuk menjadikan Laut China Timur dalam kerangka damai, kerjasama dan persahabatan dan “Priciple Concensus” yang merupakan kesepakatan bahwa pelaksanaan negosiasi tersebut dilaksanakan atas dasar prinsip saling menguntungkan atau mutual benefit pada tahun 2008. Joint Press Statement tersebut merupakan pengumuman resmi yang dibuat oleh kedua negara untuk mengurangi ketegangan yang diakibatkan oleh Kepulauan Senkaku. Selain itu kedua negara juga menenkankan adanya keinginan kedua negara untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan sejarah, seperti diketahui bahwasannya Jepang dan China memiliki sejarah yang saling berhubungan. Dalam tragedi Manchuria terdapat lebih dari 200.00 masyarakat sipil dan tahanan perang yang dieksekusi oleh Jepang. Hal tersebut merupakan salah satu faktor dalam akar konflik yang terjadi dalam sengketa kepulauan Senkaku. Kedua negara juga membentuk kesepakatan bersama dalam menangani isu atau sengketa kepulauan Senkaku yang tertak di Laut China Timur dengan membentuk “Sea of Peace. Cooperation and Friendship”. Kerangka dasar tersebut menjadi dasar upaya kedua negara untuk mengadakan perjanjian pengelolan bersama (Joint Development), sampai kedua negara dapat menetapkan kesepakatan delimitasi akhir berdasarkan pada prinsip-prinsip saling menguntungkan atau mutual benefit principles. Proses awal negosiasi dalam Joint Development Jepang – China, ialah dengan membentuk dan mengadakan penelitian letak stategis titiktitik pengelolaan bersama yang dapat di capai oleh kedua belah pihak. Selain itu, kedua negara juga berupaya untuk mempercepat proses konsultasi dan data yang konkrit nantinya akan menjadi asas atau prinsip dalam kerjasama pengelolaan bersama Joint Development. Padangan dasar dalam “Sea of Peace. Cooperation and Friendship” menjadi acuan dalam kesepakatan yang dibuat pada bulan Desember 2007, dimana kedua belah pihak sepakat akan mengadakan konsultasi dan kerjasama tanpa merugikan posisi hukum masing-masing negara. Sebagai langkah awal dalam perjanjian
550
Manajemen Konflik Jepang-China Dalam Sengketa Pulau Senkaku (Hesti Karismaya)
pengelolaan bersama di Laut China Timur, kedua belah pihak mencapai kesepakatan pembangunan blok pengelolaan bersama di daerah yang mencapai garis lurus antara batas delimitasi Jepang dan China dalam 7 garis koordinat yaitu: 1) 29 ° 31 Lintang Utara, 125 ° 53'30' Bujur Timur, 2) 29 ° 49 Lintang Utara, 125 ° 53'30 Bujur Timur, 3) 30 ° 04 Lintang Utara, 126 ° 03'45 Bujur Timur, 4) 30 ° 00 Lintang Utara, 126 ° 10'2 Bujur Timur, 5) 30 ° 00 Lintang Utara, 126 ° 20'00 Bujur Timur, 5) 29 ° 55 Lintang Utara, 126 ° 26'00' Bujur Timur dan 6) 29 ° 31 Lintang Utara, 126 ° 26'00' Bujur Timur. Upaya dalam manajemen konflik konflik Kepulauan Senkaku antara Jepang dan China kembali dibahas dalam kunjungan Presiden China- Hu Jianto dengan Perdana Menteri Jepang Yasuo Fukuda pada tanggal 7 Mei 2008 dan disebut dengan “Priciple Concensus”, dimana kedua negara menyepakati beberapa hal. Pertama, China dan Jepang sepakat untuk menyelesaikan perselisihan teritorial dan menyelesaikan perbedaan mengenai eksploitasi ladanag gas alam di Laut China Timur. Jepang menyatakan bahwa ladang gas tersebut seharusnya dikelola bersama tidak hanya China yang memanfaatkannya. Seperti diketahui bahwa China telah mengoperasikan dan membangun beberapa ladang gas di Laut China Timur. China mulai mengembangkan aktivitas disekitar sumur minyak Chunxiao dan Tianwaitian pada tahun 2004 serta memiliki platform produksi gas kurang dari satu mil barat dari Kepulauan Senkaku/Diaoyu. Dalam pertemuan tersebut Jepang mengharapkan penyelesaikan konflik dapat dilakukan dengan upaya melakukan kerjasama perjanjian pengembangan bersama atau Joint Agreement. Kedua, Jepang dan China sepakat untuk mengadakan pertemuan puncak tahunan untuk meredakan ketegangan antara China dan Jepang yang telah berlangsung lama dan sebagai akibat dari konflik Kepulauan Senkaku. Hal ini merupakan suatu bentuk upaya positif yang dilakukan kedua negara, karena dengan diadakannya pertemuan rutin kedua negara dapat memperat hubungan diplomatic dan meredakan meningkatkan rasa persahabatan tidak hanya dari segi Pemerintah tetapi juga masyarakat kedua negara. Ketiga, China dan Jepang juga menyepakati untuk melihat hubungan kedua negara lebih positif dengan tidak melihat masing-masing pihak sebagai ancaman. Hal ini penting dilakukan oleh kedua negara karena dengan upaya tersebut kedua belah pihak dapat mengurangi tingkat permusuhan yang telah berlangsung dan dapat meletakkan dasar-dasar hubungan bilateral antara kedua negara. Selain itu, dengan mempertahankan hubungan baik antara kedua negara, tidak hanya merupakan kepentingan antara Jepang dan China tetapi juga kepentingan kawasan, dimana Jepang dan China merupakan salah satu negara yang mempunyai Power baik secara ekonomi ataupun politik di kawasan Asia (Aa Kustia Sukarnapwawira, 2009 : 216) Sebagai rangkaian dari upaya untuk menyelesaikan permasalahan di Laut China Timur maka pada tanggal 18 Juni 2008 Jepang dan China mencapai suatu kedepakatan. Kesepakatan yang dicapai ialah perjanjian blok pengelolaan bersama yang akan dilakukan di atas ladang minyak dan gas Shirakaba
551
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 543-554
(Chunxiao). Lapangan gas tersebut merupakan salah satu lapangan gas yang telah dikelola oleh perusahan China, dalam kesepatan tersebut Perusahaan China menyambut baik pastisipasi Badan Hukum Jepang dalam pengembangan lapangan migas tersebut. Kerjasama tersebut diwakili oleh perusahaan minyak terbesar di China yaitu Petro China dan perusahaan Jepang, Jepang National Oil Corporation (JNOC). Prosedur dan asas-asas yang berlaku dalam pengembangan pengelolaan bersama di lapangan gas Shirakaba (Chunxiao) berdasarkan pada Undang-undang China tentang kerjasama dengan perusahaan asing dalam eksploitasi dan eksplorasi sumber daya minyak bumi di lepas pantai (http://www.virginia.edu diakses pada tanggal 24 Mei 2012) . Namun dalam perkembangannya, tidak ada kemajuan signifikan yang telah dicapai kedua negara dalam perjanjian pengelolaan bersama tersebut. Hal tersebut dikarenakan banyak hal, salah satunya disebabkan karena permohonan Submission Partial China kepada CLCS. Pada tanggal 11 Mei 2009 China mengajukan Submission Partial atau permohonan penetapan garis batas landas kontingen dikepulauan Diaoyu / Senkaku ke CLCS, namun upaya tersebut mendapatkan protes dari Jepang dan menganggap bahwa upaya China tersebut telah melanggar kesepakatan kesepakatan yang dibentuk dalam kerangka “Sea of Peace. Cooperation and Friendship” Laut China Timur. Dalam permohonannya China mengajukan empat perluasan garis batas kontingen dam mencakup enam poin posisi, dimana posisi tersbut memperpanjang garis batas China menuju ke laut China Timur dan menegaskan bahwa batas luat China di Laut China Timur terletak di sepanjang Palung Okinawa. Namun pada 23 Juli 2009, Jepang mengajukan protes terhadap permohonan China dan menegaskan bahwasannya penentuan landas batas luar kontingen di luar 200 mil didaerah yang kurang dari 400 mil tidak dapat dicapai hanya berdasarkan pada hasil kesepakatan UNCLOS tetapi juga harus berdasarkan kesepakatan negara-negara yang bersangkutan. Hal tersebut tentunya mempengaruhi upaya manajemen konflik kedua negara, karena pada dasarnya lapangan gas yang telah disetujui dalam perjanjian pengelolan bersama sebelum adanya perjanjian tersebut telah dikelola oleh perusahaan China maka secara langsung ataupun tidak langsung Pemerintah China dapat melakukan eksploitasi dilapangan gas tersebut secara sepihak, meskipun eksploitasi sepihak tersebut nantinya tidak dapat dimaksimalkan secara ekonomis dan produktif. Disisi lain secara nasional politik dimana kedua negara masih berupaya untuk mempertahankan dasar klaim masing-masing terhadap kepulauan Senkaku sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap hubungan bilateral kedua negara. Manajemen konflik Jepang – China dalam mengatasi sengketa Kepulauan Senkaku pada dasarnya dapat mencegah konflik ini menuju pada tahap perang atau gencatan senjata. Meskipun upaya manajemen konflik yang dilakukan kedua negara melalui berbagai upaya seperti Fact Finding atau pencarian fakta-fakta yang berhubungan dengan konflik, Confidence Building Measure melalui pembentukan dialog strategis yang membahas keamanan dan konflik yang terjadi di kedua negara dan Joint Agreement Development mengalami kebuntuan dan
552
Manajemen Konflik Jepang-China Dalam Sengketa Pulau Senkaku (Hesti Karismaya)
tidak belum dapat berjalan, namun sengketa Kepulauan Senkaku dapat diredam dan tidak menuju tahap perang dan gencatan senjata. Kesimpulan Konflik kepulauan Senkaku antara Jepang dan China merupakan konflik yang bersumber pada konflik wilayah terbatas, dimana kedua negara berusaha untuk mempertahankan klaim masing-masing terhadap kepulauan yang terletak di Laut China Timur tersebut. Upaya manajemen konflik yang dilakukan oleh kedua negara dicapai melalui upaya Fact Finding, negosiasi melalui Perjanjian Pengelolaan bersama atau Joint Agreement yang disepakati pada tahun 2008. Namun dalam perkembangannya upaya manajemen konflik Kepulauan Senkaku mengalami kendala yang disebabkan oleh beberapa faktor. Kedua negara belum mencapai kesepakatan mengenai batas landas kontingen dan ZEE disekitar Laut China Timur. Selain itu Joint Development yang telah disepakati oleh kedua belah pihak mengalami kebuntuan dikarenakan upaya pemerintah China terhadap permohonan Partial Submission kepada Convention on the Law of the Sea (CLCS) dimana China mengajukan permohonan mengenai garis landas kontingen sampai pada palung Okinawa, menyebabkan perjanjian mengalami kebuntuan. Referensi Buku Crocker, Chester A at all. 2001. Turbulent Peace: The Challenges of Managing International Conflict. Washington, DC. United States Institute of Peace. Hagstrom, Linus. 2005. Japan’s China Policy: A Relational Power Analysis. New York. Roudledge Rudy, T May. 2001. Studi Strategis Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin. Bandung : Refika Aditama. Sukarnaprawira, Aa Kustia. 2009. China, Peluang atau Ancaman. Jakarta : Restu Agung Holsti, KJ. 1988. Politik Internasional Kerangka Untuk Analisis Jilid I. Jakarta : Erlangga. Sumber lain: Early History of the Ryukyu Kingdom and it’s Relationship with China and Japan dapat dilihat pada http://shitokai.com/ryukyu.php Japan-China Joint Press Statement dapat dilihat http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/china/joint0610.html
pada
553
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 543-554
Recent Developments in Japan-China Relations: Basic Facts on the Senkaku Islands and the Recent Incident terdapat dalam http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/senkaku/senkaku.html Senkaku/ Diayotai island terdapat dalam globalsecurity.org/military/world/war/senkaku.htm The Diaoyui/Senkaku Island Dispute: Its History And An Analysis Of The Ownership Claims Of The P.R.C., R.O.C., And Japan terdalapat dalam http://digitalcommons.law.umaryland.edu/cgi/viewcontent.
554