MANA AJEMEN KEUANGA K AN DAN KESEJAHT K TERAAN K KELUARG GA P PEREMPUA AN BURUH H PABRIK K DI KABU UPATEN B BOGOR
FA AUZIAH FAJRIN F
DEPARTE EMEN ILM MU KELUA ARGA DA AN KONSU UMEN FAKULTA AS EKOLO OGI MANUSIA INSTITU UT PERTA ANIAN BOG GOR 2011 1
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Manajemen Keuangan dan Kesejahteraan Keluarga Perempuan Buruh Pabrik di Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2011
Fauziah Fajrin NIM I24070055
ABSTRACT FAUZIAH FAJRIN. Financial management and families well-being of a women’s factory labor in Bogor Regency. Supervised by HERIEN PUSPITAWATI and ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI. This study aimed to analyze of financial management and families well being of a women’s factory labor. This research involved 60 samples that were selected purposive. The samples were chosen from families of factory of labor who had husband in Dramaga subdistrict. This research employs descriptive and inferential analysis. Result of the research showed that there was negative significant correlation between wife’s and husband’s age and family size with financial management. It means that the higher wife’s and husband’s age and bigger family size, then lower financial management. There was negative significant correlation between wife’s age and husband’s age with subjective well being. It means that the higher wife’s and husband’s age, then the lower level of subjective well being. There was positive significant correlation between wife’s educational level with financial management, and families outcomes with family subjective well being. It means that the higher wife’s educational level then higher financial management, and the higher families outcomes then the higher level of subjective well being. There was no correlation between financial management and family subjective well being. Keywords: family financial management, subjective well being ABSTRAK FAUZIAH FAJRIN. Manajemen keuangan dan kesejahteraan keluarga perempuan buruh pabrik di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh HERIEN PUSPITAWATI dan ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan manajemen keuangan dan kesejahteraan keluarga perempuan buruh pabrik di Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilakukan secara purposive yang terdiri dari 60 contoh. Contoh merupakan perempuan yang bekerja sebagai buruh pabrik dan telah memiliki suami di Kecamatan Dramaga. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan inferensial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif dan nyata antara umur suami dan contoh dan besar keluarga dengan manajemen keuangan. Artinya, semakin tua umur suami dan contoh serta semakin besar keluarga maka semakin rendah kemampuan manajemen keuangan keluarga. Terdapat hubungan yang negatif dan nyata antara umur contoh dan suami dengan kesejahteraan subjekif keluarga. Artinya, semakin tua usia contoh dan suami maka semakin rendah tingkat kesejahteraan keluarga subjektif. Pendidikan contoh berhubungan positif dan nyata dengan manajemen keuangan keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan contoh maka semakin baik pengelolaan keuangan keluarga. Pengeluaran keluarga juga berhubungan positif dan nyata dengan kesejahteraan keluarga subjektif. Artinya, semakin tinggi pengeluaran keluarga maka semakin tinggi pula kesejahteraan keluarga subjektif. Tidak terdapat hubungan yang nyata antara manajemen keuangan dengan kesejahteraan keluarga subjektif. Kata kunci: manajemen keuangan keluarga, kesejahteraan keluarga subjektif
RINGKASAN FAUZIAH FAJRIN. Manajemen Keuangan dan Kesejahteraan Keluarga Perempuan Buruh Pabrik di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh HERIEN PUSPITAWATI dan ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI. Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui manajemen keuangan dan kaitannya dengan kesejahteraan keluarga pada keluarga perempuan buruh pabrik di Kabupaten Bogor. Tujuan khusus penelitian ini adalah (1) Mengetahui kontribusi pendapatan buruh terhadap pendapatan keluarga (2) Mengetahui pelaksanaan manajemen keuangan keluarga (3) Mengetahui tingkat kesejahteraan keluarga (4) Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga, penerapan manajemen keuangan, dan kesejahteraan keluarga. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dengan teknik pengambilan contoh dilakukan secara purposive. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Contoh penelitian ini adalah istri yang bekerja sebagai buruh pabrik di Kecamatan Dramaga. Berdasarkan sumbernya, jenis data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung melalui wawancara mendalam kepada responden dengan menggunakan kuesioner. Sedangkan data sekunder diperoleh dari pabrik, kantor kecamatan, dan kelurahan/desa setempat. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan uji Korelasi Pearson. Karakteristik contoh menunjukkan bahwa rata-rata umur contoh tergolong dewasa muda menurut kategori Hurlock (1980) dengan rata-rata lama pendidikan contoh 9,1 tahun atau setara dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Seluruh contoh bekerja di pabrik garmen, hampir separuh contoh memiliki lama bekerja di pabrik kurang dari satu tahun, dan hampir separuhnya tidak memiliki pekerjaan sebelumnya. Lebih dari separuh contoh memiliki lama kerja setiap harinya antara 10 hingga 11 jam perhari, dengan posisi kerja sebagai penjahit. Contoh bekerja 6 hari dalam seminggu dan hari libur contoh hanya satu hari yaitu hari Minggu. Hampir seluruh contoh memiliki jam kerja normal atau tanpa shift. Hampir seluruh contoh menggunakan kendaraan umum sebagai alat transportasi menuju pabrik. Rata-rata upah kerja contoh per bulan berkisar antara Rp 1 104 038,00. Karakteristik keluarga contoh menunjukkan bahwa rata-rata umur suami contoh berada pada kategori dewasa muda, dengan besar keluarga termasuk kategori kecil. Rata-rata suami contoh mengenyam pendidikan hingga jenjang Sekolah Menengah Pertama dengan jenis pekerjaan suami contoh sebagai buruh/kuli. Rata-rata pendapatan keluarga contoh sebesar Rp 2 151 207,00 atau termasuk kategori sejahtera. Rata-rata pendapatan perkapita keluarga contoh per bulan sebesar Rp 607 445,77 atau berada di atas garis kemiskinan. Rata-rata pengeluaran keluarga per bulan Rp 1 772 817,00. Rata-rata pengeluaran untuk pangan dan nonpangan sebesar Rp 860 766,67 dan Rp 912 050,00. Artinya, pengeluaran nonpangan lebih besar dari pengeluaran pangan. Rata-rata pengeluaran per kapita contoh sebesar Rp 487 664,30 atau berada di atas garis kemiskinan. Dilihat dari kondisi keuangan keluarga contoh, sebagian besar keluarga contoh memiliki kondisi surplus atau pendapatan lebih besar dibandingkan pengeluaran. Contoh memiliki kontribusi ekonomi terhadap keluarga lebih besar daripada suami. Contoh memiliki rata-rata kontribusi ekonomi terhadap keluarga
sebesar Rp 1 104 038,00. Contoh memiliki persentase kontribusi sebesar sepertiganya (33,3%) pada selang 41 hingga 50 persen. Artinya, contoh selain sebagai pengurus rumah tangga juga berperan penting dalam mencari nafkah keluarga baik pencari nafkah utama (primary breadwinner) maupun tambahan (secondary breadwinner). Manajemen keuangan keluarga contoh berada pada kategori sedang. Artinya, contoh memiliki kemampuan manajemen keuangan keluarga cukup baik. Contoh sudah memiliki perencanaan keuangan merujuk pada rencana yang telah dibuat sebelumnya. Setelah itu, contoh melakukan monitoring agar pelaksanaan tetap berada pada rencana yang telah disusun dan dilakuan evaluasi untuk mengukur keberhasilan manajemen keuangan yang dilakukan keluarga. Adapun kerjasama gender dalam manajemen keuangan keluarga berada pada kategori sedang. Artinya, terjadi kerjasama gender yang cukup kuat antara suami dan contoh mulai dari perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi. Kerjasama yang dilakukan didominasi oleh salah satu pihak saja. Tingkat kesejahteraan keluarga subjektif contoh menunjukkan bahwa lebih dari tiga perempat contoh memiliki tingkat kesejahteraan kategori sedang. Artinya, keluarga contoh merasa cukup puas terhadap semua kesejahteraan keluarga subjektif keluarga yang dimiliki. Terbukti bahwa rata-rata skor kondisi kesejahteraan keluarga subjektif contoh tergolong cukup puas. Hasil uji Korelasi Pearson menunjukkan bahwa umur suami dan contoh berhubungan negatif dan nyata dengan manajemen keuangan keluarga. Begitu pula dengan besar keluarga yang berhubungan negatif dan nyata dengan manajemen keuangan keluarga. Usia contoh dan suami berhubungan negatif dan nyata dengan kesejahteraan keluarga subjektif. Terdapat hubungan positif dan nyata antara pendidikan contoh dengan manajemen keuangan keluarga, pengeluaran total dengan kesejahteraan subjektif keluarga. Sedangkan tidak terdapat hubungan yang nyata antara manajemen keuangan keluarga dengan kesejahteraan keluarga subjektif. Kata kunci: manajemen keuangan keluarga, kesejahteraan keluarga subjektif.
Hak Cipta milik IPB tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
MANAJEMEN KEUANGAN DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA PEREMPUAN BURUH PABRIK DI KABUPATEN BOGOR
FAUZIAH FAJRIN
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul
:
Nama
: Fauziah Fajrin
NIM
:
Manajemen Keuangan dan Kesejahteraan Keluarga pada Perempuan Buruh Pabrik di Kabupaten Bogor I24070055
Disetujui,
Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc Pembimbing I
Dr.Ir.Istiqlaliyah Muflikhati, M.Si Pembimbing II
Diketahui,
Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc. Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Tanggal lulus:
PRAKATA Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya bagi seluruh ciptaan-Nya. Skripsi ini dibuat sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Skripsi ini tidak pernah selesai tanpa bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak penghargaan dan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc dan Dr.Ir.Istiqlaliyah Muflikhati, M.Si sebagai pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, nasihat, saran yang positif dan membangun kepada penulis selama ini. 2. Dr. Ir. Diah Krisnatuti Pranadji, MS selaku dosen penguji sidang yang telah memberikan masukan, saran, dan arahan yang bermanfaat bagi perbaikan skripsi. 3. Dr. Ir. MD. Djamaludin sebagai pembimbing akademik yang telah membantu dan membimbing penulis hingga menyelesaikan studi. 4. Kedua Orangtua yaitu Bapak Abdul Munir Djalil dan Ibu Soraya atas limpahan kasih sayang, do’a, dukungan moril dan materil, persahabatan, dan motivasi yang tinggi kepada penulis. Kakak dan adik-adik tercinta (Jay Kabalmay SE, Indah Rosulva S.Pi, Ainun Fuadi, Muamar Ilham Salim, Rahmawati, dan Madiana Syifa), terima kasih atas canda dan tawanya serta kasih sayang yang tiada habis. Serta Hartantio Nugraha atas dukungan dan semangat kepada penulis. 5. Kantor Kecamatan Dramaga, Kantor Desa Ciherang dan Babakan, Kepala Humas dan SDM PT PMG, Ketua RW/RT Desa Ciherang dan Babakan atas segala bantuan dalam pengambilan data dan atas kemudahan dalam penelitian. Seluruh responden dalam penelitian ini, dan bersedia meluangkan waktunya untuk diwawancarai (Ibu Fitri, Ibu Suhati, dan lainnya). 6. Astrid, Dewanggi, Ade, Dewi, Kokom, Heni, Nining, Fitri, Alna, Yudha, dan Zainal atas bantuannya kepada penulis dalam penelitian. Serta Teh Tika dan Mba Vivi atas masukan, saran, bantuan, serta kesabarannya mendengar kelus kesah penulis. 7. Sahabat IKK 44 (Iip, Tira, Panda, Novi, Umu, Nora, Herti, Gilar, Roby, Dewanggi, Lia, Ana, Agus, Rezha, dan semua IKK 44) atas persahabatannya selama ini. 8. Terakhir, kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas semua dukungannya. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Penulis mengharapkan saran dan bantuan untuk kesempurnaan skripsi ini. Bogor, November 2011 Fauziah Fajrin
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xv
PENDAHULUAN ....................................................................................
1
Latar Belakang .................................................................................
1
Perumusan Masalah .........................................................................
3
Tujuan ..............................................................................................
5
Manfaat Penelitian ...........................................................................
6
TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
7
Definisi dan Pendekatan Teori ........................................................
7
Manajemen Keuangan Keluarga ......................................................
10
Perempuan dan Buruh Pabrik ..........................................................
14
Kesejahteraan Keluarga Subjektif ....................................................
15
Hasil Penelitian Terdahulu ..............................................................
16
KERANGKA PEMIKIRAN .....................................................................
19
METODE PENELITIAN ..........................................................................
23
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ...........................................
23
Teknik Pemilihan Contoh .................................................................
23
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ..................................................
26
Pengolahan dan Analisis Data ...........................................................
28
Definisi Operasional ........................................................................
31
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
33
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................
33
Karakteristik Contoh ........................................................................
34
Karakteristik Keluarga Contoh .........................................................
39
Aliran Pendapatan dan Pengeluaran/Cashflow (Kasus IndepthInterview) ..........................................................................................
48
Kontribusi Contoh terhadap Pendapatan Keluarga .........................
56
Manajemen Keuangan Keluarga .......................................................
57
Kerjasama Gender dalam Manajemen Keuangan Keluarga .............
63
Kesejahteraan Keluarga Subjektif ....................................................
69
Hubungan Antar Variabel .................................................................
71
Pembahasan Umum .........................................................................
75
SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
77
Simpulan ..........................................................................................
77
Saran ................................................................................................
78
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
79
LAMPIRAN ..............................................................................................
83
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................
93
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Perbedaan konsep jenis kelamin (seks) dan gender .......................
10
2.
Penelitian pendahulu terkait topik penelitian .................................
17
3.
Variabel, Data yang diteliti, Skala, Jenis data, jumlah item pertanyaan, cronbach α ...................................................................
27
4.
Sebaran contoh berdasarkan umur contoh ......................................
34
5.
Sebaran contoh berdasarkan lama pendidikan contoh ....................
34
6.
Sebaran contoh berdasarkan pengalaman kerja di pabrik .............
35
7.
Sebaran contoh berdasarkan riwayat pekerjaan contoh sebelumnya
35
8.
Sebaran contoh berdasarkan waktu bekerja contoh .......................
37
9.
Sebaran contoh berdasarkan waktu libur contoh ............................
37
10. Sebaran contoh berdasarkan posisi kerja contoh ............................
38
11. Sebaran contoh berdasarkan sarana/transportasi contoh menuju tempat kerja .....................................................................................
38
12. Sebaran contoh berdasarkan upah kerja contoh per bulan .............
39
13. Sebaran contoh berdasarkan umur suami .......................................
40
14. Sebaran contoh berdasarkan lama pendidikan suami .....................
41
15. Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga contoh .......................
41
16. Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan suami contoh .....................
42
17. Sebaran contoh berdasarkan kepemilikkan aset .............................
44
18. Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga per bulan .........
45
19. Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga per kapita ........
45
20. Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran keluarga per bulan .......
46
21. Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran pangan dan nonpangan
47
22. Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran per kapita .....................
47
23. Sebaran contoh berdasarkan kondisi keuangan keluarga ...............
48
24. Sebaran contoh berdasarkan kontribusi contoh terhadap keluarga
56
25. Sebaran contoh berdasarkan perbandingan rata-rata kontribusi ekonomi antara contoh dan suami terhadap pendapatan keluarga .
57
26. Sebaran contoh berdasarkan persentase perencanaan manajemen keuangan keluarga ..........................................................................
58
27. Sebaran contoh berdasarkan perencanaan manajemen keuangan keluarga ..........................................................................................
59
28. Sebaran contoh berdasarkan persentase pelaksanaan manajemen keuangan keluarga ..........................................................................
60
29. Sebaran contoh berdasarkan pelaksanaan manajemen keuangan keluarga ...........................................................................................
61
30. Sebaran contoh berdasarkan persentase monitoring dan evaluasi manajemen keuangan keluarga ......................................................
61
31. Sebaran contoh berdasarkan monitoring dan evaluasi manajemen keuangan keluarga ..........................................................................
62
32. Sebaran contoh berdasarkan penerapan manajemen keuangan keluarga ...........................................................................................
63
33. Sebaran contoh berdasarkan persentase perencanaan peran gender dalam manajemen keuangan keluarga ............................................
64
34. Sebaran contoh berdasarkan kategori kerjasama gender dalam perencanaan manajemen keuangan keluarga .................................
65
35. Sebaran contoh berdasarkan persentase pelaksanaan peran gender dalam manajemen keuangan keluarga ............................................
66
36. Sebaran contoh berdasarkan kategori kerjasama gender dalam pelaksanaan manajemen keuangan keluarga ..................................
67
37. Sebaran contoh berdasarkan persentase monitoring dan evaluasi peran gender dalam manajemen keuangan keluarga ......................
68
38. Sebaran contoh berdasarkan kategori kerjasama gender dalam monitoring dan evaluasi manajemen keuangan keluarga ...............
68
39. Sebaran contoh berdasarkan keseluruhan kerjasama gender dalam pelaksanaan manajemen keuangan keluarga ..................................
69
40. Sebaran contoh berdasarkan kesejahteraan keluarga subjektif .......
71
41. Sebaran koefisien Korelasi Pearson karakteristik keluarga contoh dengan manajemen keuangan keluarga ..........................................
72
42. Sebaran koefisien Korelasi Pearson karakteristik keluarga contoh, manajemen keuangan, dan kesejahteraan keluarga subjektif ..........
74
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Konsep Utama Manajemen Arus Kas/Cash-Flow ........................
12
2. Kerangka Pemikiran ........................................................................
22
3. Metode Penarikan Contoh .............................................................
25
4. Diagram alur pendapatan dan pengeluaran keluarga kasus 1 ........
49
5. Diagram alur pendapatan dan pengeluaran keluarga kasus 2 .......
50
6. Diagram alur pendapatan dan pengeluaran keluarga kasus 3 .........
51
7. Diagram alur pendapatan dan pengeluaran keluarga kasus 4 .........
52
8. Diagram alur pendapatan dan pengeluaran keluarga kasus 5 .........
54
9. Diagram alur pendapatan dan pengeluaran keluarga kasus 6 .........
55
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Uji Korelasi Pearson hubungan antar variabel penelitian ............
85
2. Skala pengkategorian/pengukuran variabel penelitian ..................
87
3. Sebaran contoh berdasarkan persentase kesejahteraan keluarga ...
91
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Berdasarkan BPS (2010), jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan sebesar 1,5 juta orang. Pada Maret 2009, jumlah penduduk miskin sebesar 32,5 juta orang, sedangkan pada Maret 2010 sebesar 31 juta orang. Jumlah penduduk miskin di Perkotaan lebih kecil dibanding Perdesaan. Jumlah penduduk miskin di Perkotaan pada Maret 2010 sebesar 11,2 juta orang. Sedangkan daerah perdesaan pada Maret 2010 mencapai 19,9 juta orang. Kemiskinan dapat tercermin dari rendahnya partisipasi penduduk yang bekerja, khususnya perempuan. Berdasarkan TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) perempuan jauh lebih rendah dibandingkan TPAK laki-laki. Meskipun demikian, dilihat dari jumlah angkatan kerja selama periode 2006-2008 peningkatan jumlah angkatan kerja perempuan jauh lebih besar dibandingkan laki-laki. Jumlah angkatan kerja perempuan pada tahun 2006 mencapai 38,6 juta orang dan meningkat hingga 42,8 juta orang pada tahun 2008, namun pada tahun yang sama angkatan kerja laki-laki hanya meningkat dari 67,7 juta orang menjadi 69,1 juta orang. Menurut data BPS (2010), persentase penduduk usia 15 Tahun ke atas yang bekerja selama seminggu yang lalu menurut lapangan pekerjaan utama di sektor industri pada Tahun 2009-2010 menunjukkan bahwa perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Namun terjadi peningkatan jumlah perempuan yang bekerja yaitu sebesar 71 478 jiwa. BPS (2011), keadaan ketenagakerjaan di Jawa Barat pada Februari 2011 ditandai dengan peningkatan jumlah penduduk yang bekerja. Pada bulan Februari 2011, jumlah angkatan kerja mencapai 20 155 494 jiwa meningkat 941 134 jiwa dibandingkan Februari 2010. Penduduk yang bekerja bertambah sebanyak 990 236 jiwa dibandingkan Februari 2011. Dalam satu tahun terakhir, peningkatan jumlah penduduk yang bekerja didominasi oleh penduduk perempuan. Penduduk perempuan yang bekerja bertambah sebanyak 574 353 jiwa, sedangkan jumlah penduduk laki-laki yang bekerja bertambah sebanyak 415 883 jiwa. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2009 tercatat sebesar 4 453 927 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebesar 2 258 789 jiwa dan jumlah
2
penduduk perempuan sebesar 2 195 138 jiwa. Sedangkan hasil Sakernas 2009 menunjukkan bahwa total penduduk usia kerja (15 tahun ke atas), sekitar dua per tiga penduduk Kabupaten Bogor termasuk angkatan kerja. Sementara itu, persentase penduduk laki-laki yang bekerja (usia 15 tahun ke atas) lebih besar dibandingkan perempuan yaitu 69,3 persen. Sedangkan persentase perempuan (usia 15 tahun ke atas) yang bekerja sebesar 30,7 persen. Bila dilihat dari lapangan usahanya, persentase laki-laki yang bekerja di sektor jasa lebih besar daripada perempuan. Perempuan lebih banyak bekerja di sektor manufaktur (BPS 2010). Pada dasarnya perempuan yang bekerja tetaplah seorang pengurus rumahtangga. Sajogyo (1981) menjelaskan bahwa peranan perempuan bersifat normatif dengan melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga sekaligus di bidang ekonomi
rumah
tangga.
Posisi/status
tersebut,
perempuan
tidak
bisa
dikesampingkan sebagai pencari nafkah (utama atau tambahan). Kebanyakan istri yang bekerja dikarenakan minimnya sumberdaya yang dimiliki oleh keluarga sehingga membutuhkan tambahan sumberdaya lain untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan keluarga yang semakin berkembang. Guhardja et al. (1992) menyatakan bahwa berkembangnya kehidupan keluarga maka berkembang pula kebutuhan dan keinginan keluarga yang semakin hari semakin tak terbatas sedangkan sumberdaya yang dimiliki setiap keluarga terbatas. Bahkan kebutuhan dan keinginan tersebut selalu berubah dan cenderung bertambah banyak. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu manajemen sumberdaya keluarga yang baik, khususnya sumberdaya keuangan keluarga. Deacon dan Firebaugh (1988) mengatakan bahwa manajemen keuangan keluarga yang optimal akan menghasilkan tingkat kesejahteraan yang maksimal. Tingkat kesejahteraan dapat diukur dari kepuasan subjektif yang dirasakan keluarga berdasarkan sumberdaya yang dimiliki keluarga. Sejalan dengan hasil penelitian terdahulu bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara manajemen keuangan dengan kesejahteraan keluarga subjektif (Firdaus 2008). Sedangkan Nurulfirdausi (2010), tidak terdapat hubungan yang nyata antara manajemen keuangan keluarga dengan tingkat kesejahteraan keluarga.
3
Perumusan Masalah Jumlah penduduk yang bekerja pada Februari 2011 mengalami kenaikan dibandingkan Februari 2010. Penduduk yang bekerja pada Februari 2011 tercatat sebanyak 18 173 043 jiwa, bertambah 990 176 jiwa dibandingkan Februari 2010 yang tercatat sebanyak 17 182 807 jiwa. Sedangkan penduduk yang bekerja sebagai buruh/karyawan mengalami kenaikan sebanyak 472 598 jiwa atau meningkat sebesar 8,47 persen dibandingkan tahun sebelumnya (BPS 2011). Data Sakernas (2011) memperlihatkan bahwa tenaga kerja perempuan di kegiatan informal sedikit lebih banyak dibandingkan laki-laki, masing-masing yaitu 63,77 persen dan 64,02 persen. Perempuan yang bekerja tersebut tidak terlepas dari berbagai tindak ketidakadilan. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh buruh/pekerja perempuan terutama di bidang industri antara lain: 1. Terdapat perbedaan upah kerja perempuan dengan laki-laki. Berdasarkan Sakernas Tahun 2000-2004 bahwa rata-rata upah kerja yang diterima perempuan adalah 50 persen dari upah yang diterima laki-laki dan 70 persen untuk pekerjaan nonpertanian. Hal ini berarti, upah kerja perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Adapun Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Kabupaten Bogor Tahun 2011 sebesar Rp 1 172 060,00 meningkat dibandingkan Tahun 2010 yaitu sebesar Rp 1 056 914,00. 2. Perempuan sangat sulit memperoleh promosi jabatan karena selalu ditempatkan di posisi yang lebih rendah dari laki-laki, yang tidak mensyaratkan
pendidikan
dan
ketrampilan
yang
tinggi.
Perempuan
ditempatkan pada pekerjaan yang hanya membutuhkan ketekunan, ketelitian, dan kerapihan, dan biasanya hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan setiap hari selama bertahun-tahun. 3. Jam kerja yang lebih panjang, dan sulit mengakses berbagai kursus dan pelatihan. 4. Sebagian besar perusahaan hampir tidak memperhatikan masalah-masalah yang spesifik yang dialami buruh perempuan formal, seperti masalah cuti haid, cuti melahirkan, tunjangan untuk kehamilan dan menyusui, dan fasilitas tempat
4
penitipan anak. Perusahaan tidak memberikan hak-hak tersebut di atas karena dianggap menganggu produktivitas kerja. Terlepas dari berbagai permasalahan yang dihadapi pekerja perempuan. Kenyataannya, hak-hak perempuan dilindungi dalam Undang-Undang. UndangUndang yang terkait dengan hak perempuan antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 terkait Ratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Partai Politik, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang lainnya. Namun perlindungan tersebut belum benar-benar dirasakan oleh perempuan yang bekerja. Pada dasarnya, perempuan yang bekerja mampu memberikan kontribusi ekonomi terhadap pendapatan keluarga baik utama (primary breadwinner) maupun tambahan (secondary breadwinner). Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan keluarga yang semakin tak terbatas. Seiring dengan kebutuhan dan keinginan keluarga yang tak terbatas membuat keluarga membutuhkan suatu manajemen yang optimal. Guhardja et al. (1992) menjelaskan konsep manajemen tidak dapat membuat sumberdaya yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan menjadi cukup, akan tetapi manajemen dapat membantu menetapkan penggunaan sumberdaya yang terbatas menjadi optimal dalam pemanfaatannya. Di lain pihak, uang merupakan suatu sumberdaya dan sekaligus alat pengukur dari sumberdaya. Besarnya uang yang dimiliki oleh keluarga menunjukkan berapa banyak sumberdaya uang yang dimiliki keluarga. Di sisi lain, keberadaan sumberdaya uang dalam keluarga relatif terbatas sedangkan kebutuhan dan keinginan keluarga relatif tak terbatas. Sehingga agar pemanfaatan sumberdaya uang yang terbatas tersebut mencapai optimum diperlukan usaha manajemen keuangan yang baik dan efektif (Guhardja et al. 1992). Manajemen keuangan keluarga yang baik dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan mengevaluasi hasil yang telah diperoleh. Hal ini
5
dilakukan demi mencapai tujuan keluarga, yaitu kesejahteraan keluarga. Kesejahteraan keluarga yang tinggi mencerminkan kepuasan yang dirasakan keluarga juga tinggi. Adapun kepuasan yang diukur berdasarkan kepuasan keuangan keluarga, fisik, dan lainnya. Berdasarkan uraian tersebut, penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai permasalahan bagaimana buruh pabrik perempuan yang pada umumnya bekerja dalam sektor publik serta domestik keluarga untuk mengelola keuangan keluarganya sehari-hari, agar tetap terpenuhi segala kebutuhan hidup maupun kebutuhan mendesak sekalipun serta langkah-langkah apa saja yang dilakukan agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengantisipasi permasalahan yang dihadapi keluarga. Mengingat keberadaan perempuan sangat penting dalam kehidupan keluarga. Maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kontribusi pendapatan buruh perempuan terhadap pendapatan keluarga? 2. Bagaimana penerapan manajemen keuangan keluarga? 3. Bagaimana tingkat kesejahteraan keluarga contoh? 4. Bagaimana hubungan antara karakteristik keluarga, manajemen keuangan, kerjasama gender dalam manajemen keuangan, serta kesejahteraan keluarga? Tujuan Penelitian Tujuan Umum: Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui manajemen keuangan dan kaitannya dengan kesejahteraan keluarga pada perempuan buruh pabrik di Kabupaten Bogor.
Tujuan Khusus: 1. Mengetahui kontribusi pendapatan contoh terhadap pendapatan keluarga. 2. Mengetahui penerapan manajemen keuangan keluarga. 3. Mengetahui kesejahteraan keluarga subjektif.
6
4. Menganalisis hubungan antara karakteristik contoh dan keluarga, manajemen keuangan keluarga, kerjasama gender dalam manajemen keuangan keluarga, dan kesejahteraan keluarga subjektif.
Manfaat Penelitian Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah: 1. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan sarana untuk mengembangkan diri dari ilmu yang telah didapatkan selama perkuliahan serta dapat memberikan tambahan pengetahuan/referensi bagi peneliti sendiri serta bagi penelitian selanjutnya terkait manajemen keuangan dan kesejahteraan keluarga. 2. Bagi para buruh perempuan dan keluarga, penelitian ini dapat memberi masukan mengenai cara pengelolaan keuangan keluarga yang efektif dan efisien sehingga tujuan keluarga dapat tercapai yaitu kesejahteraan keluarga. 3. Bagi pemerintah/pengusaha, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan suatu masukan mengenai gambaran manajemen keuangan yang dilakukan oleh keluarga perempuan buruh pabrik sehingga dapat dijadikan sebagai suatu pertimbangan dalam pengambilan kebijakan pemerintah, khususnya dibidang kesejahteraan keluarga. 4. Bagi perkembangan ilmu, penelitian ini bermanfaat untuk menambah referensi perkuliahan terkait mata ajaran di departemen ilmu keluarga dan konsumen seperti gender dan keluarga, manajemen sumberdaya keluarga, dan lainnya. 5. Bagi masyarakat khususnya keluarga, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran mengenai manajemen keuangan keluarga sehingga dapat dipilih jalan terbaik dalam mengelola keuangan keluarga yang terbatas serta
mampu
menyeimbangkan
antara
kebutuhan/keinginan
dengan
sumberdaya yang tersedia demi mencapai kesejahteraan keluarga. Selain itu, menambah pengetahuan masyarakat terkait manajemen keuangan keluarga.
7
TINJAUAN PUSTAKA Definisi dan Pendekatan Teori Keluarga Pengertian keluarga Keluarga menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya (BKKBN 1996). Gross, Crandall dan Knoll (1973) mengungkapkan bahwa keluarga merupakan suatu manajerial unit yang mampu mengelola sumberdaya keluarga yang dimiliki untuk mencapai tujuan keluarga. Berdasarkan pendekatan sistem, keluarga memiliki hubungan dengan sistem yang lebih luas, dimana keluarga menjadi bagian di sistem tersebut. Hubungan keluarga dengan lingkungannya digambarkan melalui suatu sistem yang saling berkaitan, bergantung, dan berinteraksi satu sama lainnya. Sistem-sistem ini terdiri dari subsistem yang saling mempengaruhi. Deacon dan Firebaugh (1988) menjelaskan keluarga sebagai subsistem dari sistem masyarakat. Keluarga terdiri dari subsistem personal dan manajerial. Subsistem manajerial berfungsi untuk merencanakan dan melaksanakan penggunaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan. Sedangkan subsistem personal merupakan bagian yang berhubungan dengan interaksi dinamis dari suatu jalinan hubungan sosial yang akhirnya memberi ciri pada kepribadian seseorang, yang nantinya akan mempengaruhi kemampuan manajerial. Subsistem personal terdiri dari komponen input, throughput, dan output. Teori Struktural Fungsional Teori struktural fungsional melihat keluarga, kelompok, organisasi, klub sosial, dan lain-lain sebagai sebuah sistem yang dapat diterapkan dalam berbagai situasi. Keluarga merupakan bagian subsistem dari masyarakat, yang saling berinteraksi dengan subsistem-subsitem lainnya dalam masyarakat, misalnya sistem ekonomi, politik, pendidikan, dan agama. Interaksi yang terjalin merupakan wujud fungsi keluarga untuk menjaga keseimbangan sosial dalam masyarakat atau dikenal dengan istilah equilibrium state. Selain itu, keluarga bersifat adaptif yang selalu menyesuaikan dirinya dalam menghadapi perubahan
8
lingkungan. Sesuai dengan Parson yang menyatakan bahwa keluarga selalu beradaptasi secara mulus menghadapi perubahan lingkungan. Kondisi tersebut dikatakan keseimbangan dinamis atau dynamic equilibrium (Megawangi 1999). Teori struktural fungsional juga memandang keluarga sebagai sebuah sistem terkait anggota dalam keluarga. Dalam hal ini, keluarga memiliki peran dan tugas yang harus dijalankan oleh anggota keluarga (Megawangi 1999). Dalam pandangan teori struktural fungsional, dapat dilihat dua aspek yang saling berkaitan yaitu aspek struktural dan aspek fungsional. Selanjutnya, Megawangi (1999) menjelaskan bahwa aspek struktural melihat suatu keseimbangan dalam masyarakat yang diciptakan oleh sistem sosial yang tertib. Ketertiban sosial tercipta jika keluarga memiliki struktur atau strata sehingga anggota keluarga mengetahui posisi dan patuh pada sistem yang berlaku dalam keluarga. Struktur dalam keluarga dapat menjadikan institusi dalam keluarga sebagai sistem kesatuan. Terdapat tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu status sosial, fungsi sosial, dan norma sosial. Berdasarkan status sosial, struktur pada keluarga nuklir terdiri dari tiga struktur utama yaitu bapak/suami, ibu/istri, dan anak-anak. Struktur dapat juga berupa figur-figur seperti pencari nafkah, ibu rumah tangga, anak balita, remaja, dan sebagainya. Sedangkan peran sosial merupakan gambaran peran dari status sosial yang dimiliki. Misalnya, orangtua memiliki peran instrumental yang dipegang oleh bapak/suami sebagai pencari nafkah dan peran ekspresif yang melekat pada ibu/istri dengan memberikan cinta dan kelembutan terhadap keluarga. Norma sosial merupakan peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya, misalnya dalam hal pembagian tugas dalam keluarga (Megawangi 1999) . Aspek kedua dari teori struktur fungsional yang sulit dipisahkan dengan aspek struktural adalah aspek fungsional. Aspek fungsional diartikan sebagai bagaimana subsistem dapat berhubungan dan dapat menjadi sebuah kesatuan sosial. Adapun fungsi sebuah sistem mengacu pada sebuah sistem untuk memelihara dirinya sendiri dan memberikan kontribusi pada berfungsinya subsistem dari sistem tersebut (Megawangi 1999). Seseorang dalam sistem keluarga yang memiliki status sosial tertentu memiliki peran yang harus
9
dijalankan dari status sosial tersebut. Levy dalam Megawangi (1999) mengungkapkan bahwa tanpa pembagian tugas yang jelas dari status sosial, maka fungsi keluarga akan terganggu dan akan mempengaruhi sistem yang lebih besar. Teori Gender Gender merupakan pembagian tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang telah ditetapkan masyarakat maupun budaya. Megawangi (1999) mengungkapkan bahwa peran gender merupakan peran yang diciptakan oleh masyarakat bagi laki-laki dan perempuan. Laki-laki diharapkan menjalankan peran instrumental atau sebagai pencari nafkah sedangkan perempuan menjalankan peran yang bersifat ekspresif atau berorientasi pada manusia. Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan ini bukan didasarkan pada perbedaan biologis melainkan disebabkan oleh faktor sosial budaya. Namun seiring dengan berkembangnya teknologi mengakibatkan peran perempuan tidak hanya berada dalam sektor domestik saja melainkan juga mampu bekerja di sektor-sektor yang didominasi oleh kaum laki-laki. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan, BKKBN, dan UNFAPA (2005) mendefinisikan pembagian kerja atau pembagian peran berdasarkan gender adalah sebagai kerja atau peran yang diwajibkan oleh masyarakat kepada perempuan dan laki-laki baik di dalam rumah maupun komunitas. Peran perempuan di dalam rumah seperti mencuci, mengurus anak dan suami, memasak, dan lainnya. Sedangkan peran laki-laki seperti melindungi dan mencari nafkah untuk semua anggota keluarga. Pembagian peran yang baik dan seimbang tidak akan membuat suatu masalah antara laki-laki dan perempuan, namun juga akan menguntungkan kedua belah pihak. Handayani dan Sugiarti (2008) menjelaskan konsep gender sebagai sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktorfaktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Perempuan dikenal sebagai makhluk yang lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap sebagai makhluk yang kuat, rasional, jantan dan perkasa. Sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, konsep gender dapat diartikan sebagai konsep yang membedakan peran laki-laki
10
dan perempuan. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan tidak ditentukan oleh perbedaan biologis atau kodrati (seks), namun dibedakan berdasarkan kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan (Tabel 1). Tabel 1 Perbedaan konsep jenis kelamin (sex) dan gender Seks Menyangkut perbedaan organ biologis lakilaki dan perempuan (alat reproduksi)
Gender Menyangkut perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagai hasil kesepakatan Peran reproduksi tidak dapat berubah Peran sosial dapat berubah Peran reproduksi tidak dapat dipertukarkan; Peran sosial dapat dipertukarkan. Istri dan tidak mungkin peran laki-laki melahirkan, suami bertukar peran misalnya suami perempuan membuahi mengurus rumah tangga sedangkan istri mencari nafkah Peran reproduksi kesehatan berlaku Peran sosial bergantung pada masa dan sepanjang masa keadaan Peran reproduksi kesehatan berlaku di Peran sosial bergantung budaya masingmana saja sama masing Peran reproduksi kesehatan berlaku bagi Peran sosial berbeda antara satu semua kelas/strata sosial kelas/strata sosial dengan strata lainnya Peran reproduksi kesehatan ditentukan oleh Peran sosial bukan kodrat Tuhan tetapi Tuhan atau kodrat buatan manusia
Sumber : Puspitawati (2010) Manajemen Keuangan keluarga Guhardja et al. (1992) menjelaskan bahwa uang merupakan salah satu jenis sumberdaya materi sekaligus merupakan alat pengukur sumberdaya. Uang memiliki empat fungsi, antara lain sebagai dasar perbandingan, sebagai mekanisme bagi pertukaran dan perekonomian secara umum, sebagai hak untuk kebutuhan sumberdaya masa depan, dan sebagai media dalam pertukaran dan perpindahan dengan pemerintah, instansi, kelompok personal, dan individu (Deacon dan Firebaugh 1988). Pemilikan sumberdaya uang dalam suatu keluarga tidak lagi terbatas, tetapi tergantung kepada jumlah dan kualitas orang yang berpartisipasi dalam pencarian pendapatan. Besarnya uang yang dimiliki oleh seseorang atau keluarga menunjukkan berapa banyak sumberdaya uang yang dimilikinya. Dengan kepemilikan uang, seseorang atau keluarga dapat memenuhi keinginannya. Pemanfaatan sumberdaya uang yang terbatas tersebut dapat mencapai optimum, diperlukan usaha manajemen keuangan yang baik dan efektif (Guhardja et al.
11
1992). Guhardja, Puspitawati, Hartoyo dan Saharia (1989), mengungkapkan bahwa manajemen merupakan pengelolaan terkait dunia usaha dan aspek lainnya. Deacon dan Firebaugh (1988), menjelaskan manajemen merupakan suatu bentuk yang dimulai dari perencanaan dan pelaksanaan penggunaan sumberdaya yang dimiliki untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Manajemen sebagai proses dalam mengubah input yang terdiri dari zat/bahan, energi dan informasi menjadi output. Secara umum, dikenal dengan planning (perencanaan), atau implementing (pelaksanaan) yang terkait dengan standar aktifitas spesifik, permintaan dan tidak berhubungan langsung dengan pemahaman aktifitas manajerial. Menurut Olson dan Beard, perencanaan merupakan bagian dari sistem manajerial
yang
menerima
tujuan
dan
permintaan
lainnya.
Berfungsi
mengumpulkan informasi mengenai karakteristik alternatif baik kualitatif maupun kuantitatif yang berpotensial. Dalam mewujudkan perencanaan, dibutuhkan pengambilan keputusan mengenai bagaimana merubah permintaan dan bagaimana meningkatkan sumberdaya atau menggunakannya dengan berbeda untuk menghasilkan
tujuan
aktifitas/tindakan
yang
yang
optimal.
dilakukan
dari
Sedangkan perencanaan.
pelaksanaan Dalam
adalah
mengontrol
perencanaan, dibutuhkan pelaksanaan, pengelolaan, dan pengecekkan yang pada akhirnya akan menghasilkan feedback atau hubungan timbal balik. Jadi, dapat disimpulkan bahwa manajemen merupakan suatu proses tindakan yang dapat dilakukan sendiri maupun bersama dengan menggunakan sumberdaya yang dimiliki melalui berbagai tahapan-tahapan untuk mencapai keinginan atau tujuan yang ditetapkan. Walaupun manajemen tidak bisa membuat sumberdaya yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan menjadi cukup, akan tetapi manajemen dapat membantu menetapkan penggunaan sumberdaya yang terbatas untuk item yang disetujui oleh semua anggota keluarga (Guhardja et al. 1992) Secara umum terdapat beberapa alasan perlunya seseorang atau keluarga mengelola keuangan, antara lain: adanya tujuan keuangan yang ingin dicapai; tingginya biaya hidup; naiknya biaya hidup dari tahun ke tahun/inflasi; keadaan perekonomian tidak akan selalu baik; fisik manusia yang tidak selalu sehat, kualitas hidup yang lebih baik dari generasi sebelumnya serta faktor kecelakaan;
12
banyaknya alternatif produk pangan (Rahmayani dan Hartoyo 2009). Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pengelolaan terhadap sumberdaya yang dimiliki sehingga dapat digunakan secara efektif dan efisien untuk hasil yang memuaskan. Salah satu bentuk manajemen keuangan keluarga adalah manajemen cash flow atau arus kas, yaitu aliran uang yang mengalir mulai mendapatkan uang tersebut, menyimpannya, mengembangkannya, dan mengeluarkannya dengan secara teratur, bijak dan disiplin (Rahmayani dan Hartoyo 2009). Anonimous (2007) menjelaskan bahwa terdapat dua konsep utama tentang manajemen keuangan keluarga yang wajib diketahui oleh keluarga yaitu tentang Neraca dan Rugi/Laba serta Manajemen Cashflow/Arus Kas. Pengetahuan akan cashflow wajib diketahui agar keuangan keluarga tidak akan kacau balau dan terpantau (Gambar 1). Gaji
Uang Tunai
Pengeluaran
Pendapatan ATM/Bank
Hasil Investasi
Rumah Tangga
Pekerja
Cicilan Utang
Hiburan Rekreasi
Deposito
Hasil Usaha
Premi Asuransi Keperluan Anak
Properti
Reksadana
Transportasi
Fashion
Obligasi
Zakat/Pajak
Dll
Saham
Sosial Keluarga Besar
Dll
Gambar 1 Konsep Utama Manajemen Arus Kas/Cash-Flow Sumber: www.myfamillyaccounting.wordpress.com
Pendapatan Menurut Alabi, Ogbimi dan Soyebo (2006), pendapatan merupakan sumberdaya material yang digunakan untuk membelanjakan atau mendapatkan sumberdaya lain seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan lainnya. Pendapatan sangat penting untuk dikelola dengan sebaik-baiknya. Pendapatan merupakan imbalan yang diperoleh seorang konsumen dari pekerjaan yang telah
13
dilakukannya untuk mencari nafkah. Pada umumnya, pendapatan yang diterima dalam bentuk uang. Jumlah pendapatan akan menggambarkan daya beli seseorang. Daya beli seseorang akan menggambarkan banyaknya produk dan jasa yang bisa dibeli dan dikonsumsi oleh seseorang dan seluruh anggota keluarganya. Pendapatan diukur tidak hanya yang diterima oleh seorang individu, melainkan juga semua pendapatan yang diterima oleh seluruh anggota keluarga. Hal ini berarti, daya beli rumah tangga ditentukan oleh pendapatan dari semua anggota rumah tangga yang telah memiliki penghasilan kemudian dikelola bersama dengan tujuan mewujudkan kesejahteraan keluarga. Pencatatan pendapatan dari semua anggota keluarga penting dilakukan karena biasanya sebuah rumah tangga memiliki lebih dari satu orang yang bekerja. Misalnya suami, istri, anak, dan lainnya. Adapun pengukuran pendapatan yang berprofesi sebagai pegawai, karyawan, buruh atau pegawai negeri terdiri dari gaji pokok, tunjangan, bonus, dan pendapatan lainnya (Sumarwan 2002). Faktorfaktor yang dapat mempengaruhi pendapatan antara lain: pekerjaan, pendidikan dan kecakapan, misalnya seorang pembantu rumah tangga mendapatkan penghasilan yang lebih murah dibandingkan seorang juru ketik; pengalaman dan umur seseorang; besarnya tanggung jawab keluarga; dan tempat bekerja (Sadikin 1975). Alokasi pengeluaran keluarga Survei BPS (2002) menunjukkan bahwa terjadi perubahan pola konsumsi karena adanya penurunan standar hidup secara drastis akibat meningkatnya hargaharga kebutuhan hidup setelah krisis ekonomi tahun 1997. Akibatnya, keluarga yang memiliki penghasilan rendah terpaksa memprioritaskan pengeluaran untuk pangan. Pengeluaran keluarga dikelompokkan menjadi dua bagian, antara lain pengeluaran untuk pangan dan nonpangan. Pengeluaran untuk pangan yaitu pengeluaran untuk konsumsi bahan pangan berupa padi-padian, ikan, daging, telur, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, minuman, makanan serta minuman jadi. Sedangkan pengeluaran untuk nonpangan yaitu pengeluaran untuk konsumsi perumahan, bahan bakar, penerangan, air,
14
barang dan jasa, pakaian, dan barang tahan lama lainnya. Adapun persentase pengeluaran keluarga terbesar di negara berkembang adalah pengeluaran untuk pangan yang kemudian diikuti oleh barang dan jasa (BPS 2002). Pengeluaran perkapita atau pengeluaran per orang Penduduk Indonesia dari tahun ke tahun makin meningkat cukup signifikan. Sejak masa krisis 1998, pengeluaran perkapita sebesar Rp 317 800,00 meningkat menjadi Rp 1 240 900,00 pada tahun 2007 atau meningkat hampir 300 persen selama 10 tahun (SUSENAS 2010). BPS (1994), menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi pendapatan seseorang maka semakin berkurang persentase pendapatan yang dibelanjakannya untuk makanan. Oleh karena itu, komposisi pengeluaran rumahtangga dapat dijadikan ukuran guna menilai tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk dengan asumsi bahwa penurunan persentase pengeluaran mrupakan gambaran meningkatnya perekonomian penduduk.
Perempuan dan Buruh Pabrik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menjelaskan bahwa buruh adalah orang yang bekerja dengan menerima upah dan imbalan dalam bentuk lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa semua orang yang bekerja baik di perusahaan maupun di luar perusahaan dan menerima upah dan imbalan adalah buruh. Buruh atau karyawan merupakan seseorang yang bekerja pada orang lain atau instansi baik pemerintah atau swasta dengan menerima upah atau gaji baik berupa uang maupun barang (BPS 1994). Kebanyakan perempuan yang bekerja sebagai buruh, bukanlah pekerjaan pokok tetapi bagi keluarga yang mengandalkan sektor informal, penghasilan yang didapat dapat menjadi penghasilan utama. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan keadaan ini antara lain besarnya jumlah anggota keluarga dan kegigihan para buruh untuk keluar dari lingkungan kemiskinan (Gardiner et al. 1996). Anonimous (2011) mengungkapkan beberapa alasan seorang perempuan bekerja, antara lain: (1) Kebutuhan finansial, kebutuhan keluarga yang tinggi dan kekurangan dalam mencukupi kehidupan sehari-hari mendesak perempuan
15
bekerja di luar rumah; (2) Kebutuhan sosial-relasional, perempuan yang bekerja memiliki kebutuhan akan penerimaan sosial dan adanya identitas sosial yang diperoleh melalui komunitas kerja, seperti bergaul; (3) Kebutuhan aktualisasi diri, melalui
bekerja,
perempuan
dapat
berkarya,
mengekspresikan
diri,
mengembangkan diri dan orang lain, membagikan ilmu dan pengalaman, menemukan sesuatu, menghasilkan sesuatu, serta mendapatkan penghargaan atau prestasi adalah bagian dari proses pencapaian kepuasan diri. Sebuah studi tentang kepuasan hidup wanita bekerja menunjukkan bahwa wanita yang bekerja memiliki tingkat kepuasan hidup sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja, meskipun ada beberapa faktor lain yang ikut menentukan. Kesejahteraan Keluarga Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 menyebutkan bahwa keluarga sejahtera merupakan keluarga yang dibentuk atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan materil yang layak, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan serasi, selaras, seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan menurut Undang-Undang terbaru Nomor 52 Tahun 2009 menjelaskan bahwa yang disebut sebagai ketahanan atau kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin. Schmidt dan Welsh (2010), kesejahteraan subjektif terdiri dari tiga bagian yaitu perasaan positif, perasaan negatif, dan kepuasan yang dirasakan dalam hidup yang akan stabil atau tidak berubah dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan Pichler (2006) menjelaskan kesejahteraan subjektif merupakan hasil evaluasi kehidupan seseorang. Evaluasi tersebut mencakup reaksi emosional, suasana hati yang dirasakan, dan pendapat tentang kepuasan. Guhardja et al. (1992) menjelaskan bahwa kepuasan merupakan output yang telah diperoleh akibat kegiatan suatu manajemen. Ukuran kepuasan ini dapat berbeda untuk setiap individu atau bersifat subjektif. Kesejahteraan juga merupakan suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial maupun spiritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan
16
ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan setiap warga negara berusaha dalam memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, rumah tangga serta masyarakat (Rambe 2004). Maslow (1943), menjelaskan bahwa konsep kesejahteraan keluarga berdasarkan Maslow’s Hierarchy of Needs adalah keadaan atau kondisi dimana keluarga dapat memenuhi kebutuhannya, antara lain self actualization, esteem, belongingness and love, safety, dan physiological need. Kesejahteraan subjektif diukur dari tingkat kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat sendiri bukan orang lain. Zhang (2007) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa studi yang menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif adalah umur, gender, pendidikan, dan status finansial. Penelitian Simanjuntak (2010) menjelaskan bahwa relasi gender yang semakin responsif dan tingkat stres ibu yang semakin rendah memberikan pengaruh langsung terhadap kesejahteraan keluarga subjektif, sedangkan ekonomi keluarga yang semakin baik dan strategi koping yang semakin sedikit akan memberikan pengaruh tidak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga subjektif. Chen (2010) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan lansia di China adalah perbedaan gender dan frekuensi peran. Frekuensi peran yang tinggi akan meningkatkan rata-rata kesejahteraan perempuan. Sedangkan penelitian Firdaus menunjukkan terdapat hubungan nyata antara manajemen keuangan keluarga dengan kesejahteraan keluarga. Contoh yang menerapkan manajemen keuangan dengan baik maka kesejahteraan keluarga akan lebih tinggi. Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian terkait manajemen keuangan keluarga dan kesejahteraan keluarga telah banyak dilakukan. Penelitian Firdaus (2009) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata dan positif antara pendidikan suami dengan manajemen keuangan keluarga. Semakin tinggi pendidikan suami maka semakin baik keterampilan keluarga dalam mengelola keuangan keluarga. Selain itu, kesejahteraan keluarga berkorelasi negatif dengan besar keluarga. Semakin banyak anggota keluarga yang dimiliki maka semakin rendah tingkat kesejahteraan keluarga. Terdapat hubungan antara manajemen keuangan keluarga dengan kesejahteraan keluarga. Semakin baik pengelolaan keuangan keluarga
17
maka semakin meningkat kesejahteraan suatu keluarga. Berlawanan dengan penelitian Nurulfirdausi (2010) bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara manajemen keuangan dengan tingkat kesejahteraan keluarga. Penelitian Simanjuntak (2010) menjelaskan bahwa relasi gender yang semakin responsif dan tingkat stres ibu yang semakin rendah memberikan pengaruh langsung terhadap kesejahteraan keluarga subjektif, sedangkan ekonomi keluarga yang semakin baik dan strategi koping yang semakin sedikit akan memberikan pengaruh tidak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga subjektif. Hasil penelitian terdahulu tersebut dijadikan acuan dalam penelitian ini. Adapun hasil penelitian terdahulu terlihat dalam Tabel 2. Tabel 2 Penelitian pendahulu terkait topik penelitian No.
Tahun
Penulis
1.
2003
2.
2004
Rambe A
2007
Suandi
Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga
3.
2008
Firdaus
4.
2010
Nurulfirdausi K
Hubungan Tekanan Ekonomi, Manajemen Keuangan, dan Mekanisme Koping dengan Kesejahteraan Analisis Pengaruh Kontribusi Ekonomi Perempuan dan Manajemen Keuangan Keluarga terhadap Kesejahteraan Keluarga TKW
Saleha Q
Judul MSDK: Suatu Analisis Gender dalam Kehidupan Keluarga Nelayan di Pesisir Bontang Kuala, Kaltim Alokasi Pengeluaran Rumah Tangga dan Tingkat Kesejahteraan
Hasil • Ada hubungan antara pendidikan istri dan relasi gender • Ada hubungan antara pengambilan keputusan dan kepuasan istri • Faktor determinan kesejahteraan subjektif adalah pendidikan kepala rumah tangga, umur kepala rumah tangga dan pendapatan • Manajemen keuangan dan manajemen anggota keluarga berpengaruh positif terhadap kesejahteraan ekonomi objektif keluarga • Ada hubungan antara tekanan ekonomi, manajemen keuangan, mekanisme koping dan kesejahteraan keluarga • Kontribusi ekonomi TKW tidak berpengaruh pada kesejahteraan keluarga • Kesejahteraan subjektif dipengaruhi nyata positif oleh jumlah anak
18 No.
Tahun
5.
2010
6.
2011
Penulis Irzalinda V
Rusydi L N
Judul Kontribusi Ekonomi, Peran Perempuan dan Kesejahteraan Keluarga di Kota dan Kabupaten bogor
Analisis Perbandingan Manajemen Sumberdaya dan Kesejahteraan Keluarga pada Keluarga Miskin dan Tidak Miskin
Hasil • Rata-rata kontribusi nilai ekonomi pekerjaan istri terhadap pendapatan total keluarga adalah 16,4 dan 46,2 persen pada masingmasing dua daerah lokasi penelitian • Faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga subjektif adalah permasalahan keluarga. • Manajemen waktu dan keuangan pada keluarga miskin dan tidak miskin tergolong rendah • Pada keluarga miskin, semakin tua istri dan suami maka semakin rendah manajemen keuangan keluarga. Sedangkan keluarga tidak miskin, semakin lama pendidikan istri maka semakin baik manajemen keuangan keluarga
19
KERANGKA PEMIKIRAN Deacon dan Firebaugh (1988) menjelaskan bahwa keluarga merupakan subsistem dalam sistem masyarakat yang luas dan saling berinteraksi. Pendekatan struktural fungsional memandang keluarga sebagai sebuah institusi dalam masyarakat yang memiliki prinsip-prinsip serupa yang terdapat dalam masyarakat. Salah satu aspek penting dalam pendekatan struktural fungsional melihat setiap keluarga sehat memiliki pembagian peran atau fungsi yang jelas. Fungsi tersebut terpolakan dalam struktur yang jelas dan patuh pada nilai yang berlaku. Struktural fungsional memandang bahwa suatu struktur keluarga akan membentuk kemampuannya untuk berfungsi secara efektif. Misalnya, seorang laki-laki dituntut sebagai pencari nafkah keluarga sedangkan perempuan mengurus keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Megawangi 1999). Setiap individu dalam keluarga memiliki status dan peranan. Status dan peranan masing-masing individu memiliki arti penting dalam hubungan timbal balik antar individu lainnya. Secara abstrak, status menunjukkan kedudukan dalam masyarakat sedangkan peranan merupakan suatu aspek dinamis dari status. Kedudukan dan peranan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan (Megawangi 1999). Dilihat dari kerangka status dan peranannya dalam sebuah keluarga, seorang perempuan sebagai istri pada dasarnya adalah pengurus rumahtangga dan laki-laki sebagai suami bekerja mencari nafkah keluarga. Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pergeseran peran antara laki-laki dan perempuan. Lewis, Burns dan Segner (1969) menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor yang menyebabkan perempuan mengalami perubahan peran dari sektor domestik ke sektor publik, antara lain: 1) Banyak perempuan/istri yang sudah tidak bersama dengan laki-laki/suami; 2) Terjadi perubahan dalam hukum warisan terkait hak milik di luar kontrol perempuan; 3) Kebanyakan suami berkeinginan untuk merubah gaji. Pada akhirnya, kesempatan pendidikan yang semakin tinggi bagi perempuan maka semakin luas lapangan pekerjaan yang didapatkan perempuan. Perempuan sebagai seorang ibu rumahtangga yang mengurus keluarga sehari-hari juga sebagai pencari nafkah utama atau tambahan dalam keluarga. Puspitawati (2009), kebanyakan istri bekerja di luar rumah sebagai pencari nafkah
20
tambahan keluarga (secondary breadwinner) disamping suami sebagai pencari nafkah utama (main breadwinner) untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan keluarga. Kebutuhan dan keinginan keluarga semakin hari semakin tak terbatas, namun sumberdaya yang dimiliki keluarga sangat terbatas baik dalam jumlah maupun kualitasnya (Guhardja et al., 1992). Peran perempuan sebagai pengurus rumah tangga harus mampu memiliki kemampuan dalam mengelola sumberdaya yang terbatas tersebut secara maksimal agar kebutuhan dan keinginan semua anggota keluarga dapat terpenuhi. Salah satu sumberdaya perlu dilakukan adalah pengelolaan sumberdaya keuangan keluarga atau manajemen keuangan. Deacon dan Firebaugh (1988) menjelaskan bahwa manajemen keuangan keluarga merupakan suatu bentuk yang dimulai dari perencanaan dan pelaksanaan penggunaan sumberdaya yang dimiliki untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ogbimi, Soyebo dan Alabi (2006), menjelaskan bahwa manajemen keuangan keluarga merupakan suatu proses pengorganisasian untuk mengalokasikan atau menggunakan uang agar mencapai tujuan yang spesifik terutama dalam pembelian menggunakan uang. Terdapat tiga langkah utama dalam melakukan pengelolaan keuangan keluarga, yaitu perencanaan, melaksanakan rencana yang telah dibuat, dan mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan tersebut (Lewis, Burns dan Segner 1969). Ogbimi, Soyebo dan Alabi (2006), perencanaan disusun oleh anggota keluarga bersama-sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam perencanaan terdiri dari rencana rincian keuangan tahunan yang dikenal sebagai anggaran atau rencana pengeluaran. Sedangkan pelaksanaan merupakan tindakan nyata yang dilakukan berdasarkan rencana yang telah dibuat sebelumnya (Deacon dan Firebaugh 1988). Selain itu, monitoring dan evaluasi juga memiliki peran yang penting dalam pengelolaan keuangan keluarga. Gross dan Crandall (1963), mengatakan bahwa evaluasi tidak hanya mampu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tetapi juga mengukur tingkat kepuasan dari tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam upaya mencapai tujuannya (kesejahteraan keluarga), keluarga harus mampu mengelola sumberdaya yang dimilikinya, baik sumberdaya materi
21
maupun manusia. Pengelolaan sumberdaya keluarga ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain karakteristik contoh dan keluarga contoh, sedangkan faktor eksternal terdiri dari lingkungan sekitar seperti sosial, fisik, serta peran pemerintah dalam program bantuan pembangunan fasilitas umum. Karakteristik buruh dan karakteristik keluarga diduga memiliki hubungan terhadap manajemen keuangan dan tingkat kesejahteraan keluarga. Pada buruh dengan karakteristik buruh dan keluarga yang baik cenderung memiliki pengelolaan keuangan yang baik pula sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. Dalam mengelola keuangan keluarga, dibutuhkan pembagian kerja antara anggota keluarga, khususnya peran suami dan istri dalam merencanakan, melaksanakan, memonitoring dan mengevaluasi keuangan keluarga. Peran gender dalam manajemen keuangan keluarga di duga akan mempengaruhi alokasi pengeluaran baik pangan dan nonpangan serta pendapatan keluarga. Buruh yang telah memiliki penghasilan sendiri cenderung memberikan kontribusi terhadap perekonomian keluarga. Hal tersebut, dapat dinyatakan dalam arus kas pendapatan dan pengeluaran baik dari buruh sendiri maupun keluarga. Keluarga yang memiliki kemampuan manajemen keuangan keluarga yang baik dalam memahami dan mengelola sumberdaya keluarga akan dapat memanfaatkan sumberdaya keluarga khususnya keuangan atau pendapatan keluarga dengan maksimal sehingga mampu memenuhi kebutuhan keluarga secara optimal dan tingkat kesejahteraan keluarga dapat tercapai.
22
Karakteristik contoh: - Umur - Lama pendidikan - Pengalaman kerja - Riwayat pekerjaan sebelumnya - Waktu bekerja - Waktu libur - Posisi kerja - Sarana/transportasi contoh - Upah kerja contoh/bulan
-
Pendapatan keluarga Kontribusi pendapatan buruh Alur pendapatan dan pengeluaran
Manajemen keuangan keluarga: - Perencanaan - Pelaksanaan/Implementasi - Monitoring dan Evaluasi Kesejahteraan keluarga
Karakteristik keluarga contoh: - Umur suami - Lama pendidikan suami - Besar Keluarga - Pekerjaan suami - Kepemilikkan aset - Pendapatan keluarga/bulan - Pengeluaran keluarga/bulan
Kerjasama gender dalam manajemen keuangan keluarga: - Suami/Istri saja - Suami/Istri dominan - Suami dan Istri bersama
Alokasi pengeluaran keluarga: - Pangan - Nonpangan
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Manajemen Keuangan Keluarga dan Kesejahteraan Keluarga Perempuan Buruh Pabrik di Kabupaten Bogor
23
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mempelajari objek dalam satu waktu tertentu, tidak berkesinambungan dalam jangka waktu panjang. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bogor tepatnya berlokasi di Kecamatan Dramaga. Pemilihan lokasi penelitian
dilakukan
secara
sengaja
(purposive
sampling)
berdasarkan
pertimbangan bahwa Kecamatan Dramaga merupakan salah satu kecamatan yang merupakan kawasan industri di Kabupaten Bogor dan memiliki banyak penduduk khususnya perempuan yang bekerja sebagai buruh pabrik. Adapun waktu pelaksanaan penelitian dilakukan mulai bulan Juni hingga Juli 2011.
Teknik Pemilihan Responden Populasi dalam penelitian adalah perempuan buruh pabrik di Kecamatan Dramaga. Responden dalam penelitian ini adalah perempuan yang bekerja sebagai buruh pabrik dan telah memiliki suami (keluarga lengkap) di Kecamatan Dramaga. Contoh adalah istri yang bekerja sebagai buruh pabrik dengan keluarga lengkap dan bertempat tinggal di Kecamatan Dramaga. Data terkait contoh didapatkan melalui pendekatan tempat tinggal dan pekerjaan sehingga diperoleh data dengan tahapan sebagai berikut: 1. Peneliti mendatangi Kantor Kecamatan Dramaga. Berdasarkan informasi yang didapat dari Kantor Kecamatan maka terpilih dua desa yang akan dijadikan sampel penelitian yaitu Desa Ciherang dan Desa Babakan dengan alasan perkiraan jumlah responden yang dapat ditemui dalam jumlah banyak dan lokasi kedua desa yang dekat dengan salah satu pabrik garmen. 2. Selanjutnya, peneliti mendatangi Kantor Desa Ciherang dan Babakan, kemudian peneliti diarahkan menemui beberapa ketua RW/RT di kedua desa tersebut untuk mendapatkan informasi terkait istri yang bekerja sebagai buruh pabrik. Setelah terkumpul informasi dari RW/RT tersebut, peneliti mewawancarai langsung satu per satu contoh dengan cara mendatangi rumah masing-masing. Namun, keterbatasan informasi yang
24
diperoleh dari RW/RT tersebut, belum mampu memenuhi jumlah yang diteliti, sehingga peneliti melakukan pendekatan pekerjaan untuk memperoleh data terkait perempuan buruh pabrik. 3. Berdasarkan informasi dari ketua RT 01 Desa Ciherang yang juga bekerja sebagai Satpam/Keamanan di salah satu pabrik dekat dengan daerah penelitian, akhirnya peneliti memilih mengumpulkan data terkait perempuan buruh pabrik yang bekerja di pabrik tersebut, khususnya yang tinggal di Desa Ciherang dan Babakan. 4. Peneliti menemui Kepala Humas dan SDM di pabrik tersebut, dan diperoleh data 60 buruh yang tinggal di Desa Ciherang dan Babakan. Namun hanya beberapa buruh saja yang dapat dijadikan contoh penelitian ini mengingat kriteria contoh yang sesuai dengan penelitian. Berdasarkan data yang diperoleh dari pabrik, peneliti mendatangi langsung ke setiap rumah contoh. 5. Sisanya, peneliti menunggu di depan pabrik kemudian mendatangi contoh setelah pulang kerja dan menanyakan kesediaannya untuk diwawancarai dengan melakukan perjanjian sebelumnya. Setelah terdapat kesepakatan waktu, selanjutnya peneliti mendatangi rumahnya satu per satu. Metode pemilihan contoh yang digunakan adalah menggunakan teknik non probability sampling berupa purposive sampling. Alasan digunakannya teknik pemilihan non probability sampling, yaitu karena populasi penduduk buruh pabrik perempuan di Kecamatan Dramaga belum diketahui pasti jumlahnya. Berikut adalah alasan pemilihan lokasi secara purposive yaitu: 1. Pemilihan Provinsi Jawa Barat dilakukan secara purposive berdasarkan BPS (2011) bahwa jumlah penduduk yang bekerja di Provinsi Jawa Barat pada Februari 2011 mengalami peningkatan sebanyak 990 176 jiwa dari Februari
2011.
Adapun
penduduk
yang
bekerja
dengan
status
buruh/karyawan mengalami peningkatan pula sebesar 8,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. 2. Pemilihan Kabupaten Bogor dilakukan secara purposive berdasarkan Dinas Sosial Jawa Barat terkait lapangan usaha di Kabupaten Bogor
25
bahwa industri pengolahan memiliki kontribusi paling banyak atau sebesar 45,4 persen untuk kebangkitan ekonomi Kabupaten Bogor. 3. Pemilihan Kecamatan Dramaga dilakukan secara purposive. Menurut BPS Kabupaten Bogor (2010), Kecamatan Dramaga merupakan salah satu kawasan industri yang memiliki jumlah penduduk perempuan yang bekerja di pabrik cukup banyak. 4. Berdasarkan data Kecamatan Dramaga bahwa dua desa yang memiliki mayoritas penduduk sebagai buruh pabrik adalah Desa Ciherang dan Dramaga. Kemudian didapatkan 49 orang berasal dari Desa Ciherang dan 11 orang berasal dari Desa Dramaga. Sehingga jumlah contoh yang diambil untuk penelitian ini adalah 60 orang. Metode penarikan contoh dapat di lihat pada Gambar 3. Purposive berdasarkan BPS 2011
Provinsi Jawa Barat
Purposive berdasarkan Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat
Kabupaten Bogor
Kecamatan Dramaga
Purposive berdasarkan BPS Kabupaten Bogor
Desa Ciherang
Desa Dramaga
n = 49
n = 11
n keseluruhan = 60 Gambar 3 Metode Penarikan Contoh
Purposive berdasarkan Kecamatan Dramaga, Bogor
Purposive
26
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari wawancara langsung kepada contoh yang merupakan seorang buruh pabrik perempuan yang telah memiliki keluarga lengkap di Kecamatan Dramaga dengan wawancara mendalam (indepth interview). Adapun data primer berasal dari kuesioner yang terdiri dari; 1. Karakteristik contoh, meliputi umur, lama pendidikan, pendapatan perbulan, tempat bekerja, posisi kerja, lama kerja, jam kerja, bagian jam kerja/shift, dan waktu libur 2. Karakteristik keluarga contoh, meliputi umur suami, lama pendidikan suami, pekerjaan suami, besar keluarga, pendapatan suami, pendapatan keluarga per bulan, pendapatan keluarga per kapita per bulan, alokasi pengeluaran keluarga per bulan, alokasi pengeluaran untuk pangan dan nonpangan, pengeluaran perkapita per bulan, kondisi keuangan keluarga, dan kepemilikan aset keluarga 3. Kontribusi ekonomi contoh terhadap pendapatan keluarga 4. Alur pendapatan dan pengeluaran keluarga 5. Manajemen keuangan keluarga, meliputi perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi 6. Kerjasama gender dalam manajemen keuangan keluarga, meliputi perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi 7. Kesejahteraan keluarga subjektif Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari Dinas Kecamatan Dramaga dan RT/RW Desa Ciherang dan Babakan serta PT. PMG. Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian antara lain gambaran umum lokasi penelitian, dan jumlah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Indonesia yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), serta data lainnya yang diperoleh dari Kantor Kecamatan dan Desa serta instansi terkait lainnya. Pengumpulan data dibantu menggunakan kuesioner terstruktur dengan metode wawancara langsung kepada contoh. Secara rinci jenis data, peubah, responden, skala, dan pengkategorian penelitian disajikan pada Tabel 3.
27
Tabel 3 Variabel, Data yang diteliti, Skala, Jenis data, Jumlah item pertanyaan, Cronbach α Variabel Karakteristik contoh
Data yang diteliti Umur contoh Lama pendidikan contoh Pengalaman kerja contoh Riwayat pekerjaan contoh sebelumnya Bagian jam kerja Lama kerja contoh
Karakteristik keluarga contoh
Aliran pendapatan/ cashflow Manajemen keuangan keluarga Kerjasama gender dalam manajemen keuangan keluarga Kesejahteraa n subjektif
Skala
Jenis Data
∑ pertan yaan
Cronbach α
Primer
28
-
Primer
48
-
Rasio (tahun) Nominal Rasio (tahun) Nominal Nominal Rasio (jam/hari) Nominal Nominal Nominal Nominal
Hari kerja contoh Waktu libur Posisi kerja contoh Sarana/transportasi contoh Upah kerja contoh per Rasio bulan (Rp/bulan) Umur suami contoh Rasio (tahun) Lama pendidikan suami Rasio contoh (tahun) Besar keluarga contoh Rasio (orang) Pekerjaan suami contoh Nominal Kepemilikan aset Rasio Pendapatan keluarga Rasio per bulan (Rp/bulan) Pengeluaran keluarga Rasio per bulan (Rp/bulan)
Primer
-
Ordinal (1-3)
Primer
36
0,845
Ordinal (1-5)
Primer
36
0,969
Ordinal (1-3)
Primer
37
0,889
28
Pengolahan dan Analisis Data Data yang dikumpulkan diolah melalui beberapa tahapan, seperti editing, coding, scorring, entry data dan cleaning data. Kemudian dilanjutkan dengan analysis data. Dalam penelitian ini, analisis data yang digunakan yaitu: 1. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan: a) Karakteristik contoh meliputi umur contoh, lama pendidikan contoh, pengalaman kerja contoh, riwayat pekerjaan contoh sebelumnya, waktu kerja, posisi kerja, sarana/transportasi ke tempat kerja, upah kerja/bulan. b) Karakteristik keluarga contoh meliputi umur suami, lama pendidikan suami, besar keluarga, pekerjaan suami, kepemilikan aset, pendapatan keluarga per bulan, dan pengeluaran keluarga per bulan. c) Aliran pendapatan/cashflow melalui wawancara mendalam (indepthinterview). d) Kontribusi ekonomi contoh terhadap pendapatan keluarga contoh diolah dengan menggunakan rumus: Kontribusi ekonomi (%) =
Pendapatan buruh (Rp/bulan) x 100 % Pendapatan keluarga (Rp/bulan)
e) Manajemen keuangan keluarga, terdiri atas 3 subitem level antara lain perencanaan (12 pertanyaan), pelaksanaan (19 pertanyaan), serta monitoring dan evaluasi (5 pertanyaan). Setiap butir pertanyaan disediakan tiga jawaban, yaitu jarang diberi skor 1, kadang-kadang diberi skor 2, dan sering diberi skor 3. Selanjutnya skor masing-masing subitem level dijumlahkan dan diperoleh skor total. Oleh karena ketiga subitem level memiliki jumlah pertanyaan yang tidak sama, maka masing-masing skor ditransformasikan ke dalam bentuk indeks, dengan rumus sebagai berikut: Indeks = Secara
Skor yang dicapai – skor terendah x 100 skor tertinggi – skor terendah
keseluruhan
penerapan
manajemen
keuangan
keluarga,
dikelompokkan menjadi tiga kelompok dengan perhitungan interval kelas untuk subitem level dalam penelitian ini yaitu: Interval kelas IK) =
100-0) 3
33,3
29
Oleh karena itu, cut off yang digunakan pada setiap selang kategori untuk setiap variabel penelitian yaitu: a. Rendah
: 0– 33,3
b. Sedang
: 33,4 – 66,6
c. Tinggi
: 66,7 – 100
f) Kerjasama gender dalam manajemen keuangan keluarga, terdiri atas 3 subitem level antara lain perencanaan (12 pertanyaan), pelaksanaan (19 pertanyaan), serta monitoring dan evaluasi (5 pertanyaan). Setiap butir pertanyaan disediakan 5 jawaban, yaitu suami saja diberi skor 1, suami dominan diberi skor 2, suami dan istri diberi skor 3, istri dominan diberi skor 4, dan istri saja diberi skor 5. Selanjutnya dilakukan recode skor menjadi: suami saja diberi skor 1, suami dominan diberi skor 2, suami dan istri diberi skor 3, istri dominan diberi skor 2, dan istri saja diberi skor 1. Skor masing-masing subitem level dijumlahkan dan diperoleh skor total. Oleh karena ketiga subitem level memiliki jumlah pertanyaan yang tidak sama, maka masing-masing skor ditransformasikan ke dalam bentuk indeks, dengan rumus sebagai berikut: Indeks =
skor yang dicapai – skor terendah x 100 skor tertinggi – skor terendah
Secara keseluruhan kerjasama gender dalam manajemen keuangan keluarga, dikelompokkan menjadi tiga kelompok dengan perhitungan interval kelas untuk subitem level dalam penelitian ini yaitu: Interval kelas IK) =
100-0) 3
33,3
Oleh karena itu, cut off yang digunakan pada setiap selang kategori untuk setiap variabel penelitian yaitu: a. Rendah
: 0 – 33,3
b. Sedang
: 33,4 – 66,6
c. Tinggi
: 66,7 – 100
g) Kesejahteraan keluarga subjektif, terdiri atas 37 pertanyaan. Setiap butir pertanyaan disediakan 3 jawaban terkait kepuasan, yaitu tidak puas diberi skor 1, cukup puas diberi skor 2, dan sangat puas diberi skor 3. Kemudian
30
skor dijumlahkan dan dicari persentase dan dirata-rata skor masing-masing butir pertanyaan. Kemudian dari hasil skoring dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi dengan menggunakan rumus:
Interval kelas IK) =
skor maksimum (NT – skor minimum NR ∑ kategori
Pembagian kategori sebagai berikut: 1. Rendah : skor minimum ≤ x ≤ skor minimum + IK 2. Sedang : skor minimum + IK < x ≤ skor minimum + 2 IK 3. Tinggi : skor minimum + 2 IK < x ≤ skor maksimum Secara keseluruhan kesejahteraan keluarga subjektif dikelompokkan menjadi tiga kelompok dengan perhitungan interval kelas untuk subitem level dalam penelitian ini yaitu: Interval kelas IK) =
100%-0%) 3
33,3%
Oleh karena itu, cut off yang digunakan pada setiap selang kategori untuk setiap variabel penelitian yaitu: a. Rendah : 0%– 33,3% b. Sedang : 33,4% – 66,6% c. Tinggi : 66,7% – 100% 2. Uji Korelasi Pearson untuk menganalisis hubungan karakteristik contoh dan keluarga contoh, manajemen keuangan dan kesejahteraan keluarga subjektif. Sebelum melakukan analisis data, instrumen yang telah tersusun dalam kuesioner dilakukan uji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu. Suatu instrumen yang valid menandakan bahwa alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data yang valid. Selain itu, dalam menguji alat ukur tersebut dibutuhkan suatu uji reliabilitas yang mencirikan keterandalan yang dapat dipercaya dari alat ukur yang akan digunakan.
31
Definisi Operasional Manajemen keuangan keluarga adalah kegiatan merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi keuangan yang dimiliki oleh keluarga untuk mencapai kesejahteraan keluarga dinyatakan dengan indeks. Semakin tinggi indeks maka semakin baik pengelolaan keuangan keluarga. Keluarga adalah suatu subsistem dalam sistem masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak; ayah dan ibu; ayah dan anak; maupun ibu dan anak yang saling berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan. Kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin (UndangUndang Nomor 52 Tahun 2009). Kesejahteraan subjektif adalah kesejahteraan keluarga yang diukur berdasarkan kepuasan istri terhadap pemenuhan kebutuhan hidup di dalam masyarakat, dimana semakin puas perasaan istri maka akan semakin sejahtera, dinyatakan dengan indeks yang berarti semakin tinggi indeks maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan keluarga. Pendapatan keluarga adalah sejumlah uang yang diterima anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup yang berasal dari anggota keluarga yang bekerja yang dinyatakan dalam rupiah per bulan. Upah kerja adalah sejumlah uang yang didapatkan oleh contoh yang bekerja di industri yang dinyatakan dalam rupiah per bulan. Alokasi pengeluaran keluarga adalah jumlah uang yang dikeluarkan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga baik pangan maupun nonpangan yang dinyatakan dalam rupiah per bulan. Pengeluaran pangan adalah rata-rata besarnya uang yang dikeluarkan keluarga untuk konsumsi makanan dan minuman yang dinyatakan dalam rupiah per bulan. Pengeluaran nonpangan adalah rata-rata besarnya uang yang digunakan keluarga untuk konsumsi barang-barang bukan makanan yang dinyatakan dalam rupiah per bulan.
32
Aset keluarga adalah kekayaan dan ruang milik keluarga yang berupa rumah, lahan (sawah, kebun, pekarangan, dan kolam), ternak dan barang berharga lainnya yang dapat ditukarkan dengan uang ketika dibutuhkan. Buruh perempuan adalah seorang wanita yang bekerja pada industri dengan menerima upah atau gaji berupa uang per bulannya. Gender adalah pembagian tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan ketentuan budaya dan sosial masyarakat. Konsep gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang terbentuk oleh faktor sosial dan budaya sehingga lahir peran sosial dan budaya dalam masyarakat. Peran gender adalah pembagian kerja antara suami dan istri di dalam rumah maupun dalam komunitas yang dinyatakan dalam suami saja, suami dominan, suami dan istri, istri dominan, dan istri saja. Kerjasama gender adalah kerjasama antara suami dan istri dalam mengelola sumberdaya keluarga yang dinyatakan dalam indeks, semakin tinggi indeks maka semakin kuat kerjasama yang dilakukan suami dan istri.
33
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Dramaga terletak di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kecamatan Dramaga merupakan pemekaran dari Kecamatan Ciomas. Sebelumnya Dramaga merupakan wilayah kemantren ketika masih tergabung dalam kecamatan Ciomas. Kecamatan Dramaga terletak di bagian barat dari kota, tepatnya sekitar 12 Km dari pusat Kota Bogor. Luas wilayah sebesar 2 437 636 Ha. Wilayah Kecamatan Dramaga merupakan sentra produksi manisan basah dan kering, baik itu dari buah-buahan (pala, mangga, jambu batu, kemang, pepaya, kweni, salak, kedondong, buah atep atau caruluk untuk membuat kolang-kaling) maupun dari bahan sayuran (wortel, labu siam, pare, lobak, bligo, serta ubi jalar). Sebagian besar tanah yaitu 972 Ha digunakan untuk sawah, 1 145 Ha untuk lahan kering (pemukiman, pekarangan, kebun), 49,79 lahan basah (rawa, danau, tambak, situ), 20,30 Ha lapangan olahraga dan pemakaman umum. Kecamatan Dramaga memiliki batas wilayah sebelah utara dengan Kecamatan Rancabungur, sebelah selatan dengan Kecamatan Tamansari/Ciomas, sebelah barat dengan Kecamatan Ciampea, dan sebelah timur dengan Kecamatan Bogor Barat. Kecamatan Dramaga terdiri dari 10 Desa, 24 Dusun, 72 RW, 309 RT, dan 20 371 KK (Kepala Keluarga). Adapun jumlah penduduk Kecamatan Dramaga pada Tahun 2004 berkisar 84 609 jiwa. Kecamatan Dramaga direncanakan akan memisahkan diri dari Kabupaten Bogor dan termasuk satu dari 14 kecamatan yang akan membentuk Kabupaten Bogor Barat. Adapun Kelurahan/Desa di Kecamatan Dramaga ini terdiri dari 10 Keluarahan/Desa, antara lain: Babakan, Ciherang, Cikarawang, Dramaga, Neglasari, Petir, Purwasari, Sinar Sari, Sukadamai, dan Sukawening.
34
Karakteristik Contoh Umur Contoh Umur contoh dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok umur dewasa muda (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun) dan dewasa akhir (> 60 tahun) (Hurlock 1980). Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa lebih dari tiga perempat (85,0%) umur contoh berada pada rentang usia 18-40 tahun dengan rata-rata umur contoh yaitu 33,4 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa umur contoh didominasi pada tahap dewasa muda menurut kategori Hurlock (1980). Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan umur Umur (tahun)* Dewasa muda (18-40) Dewasa madya (41-60) Dewasa akhir (>60) Rata-rata (tahun) Minimum (tahun) Maksimum (tahun) Standard deviasi (tahun)
Jumlah (n=60) 51 9 0
Persentase (%) 85,0 15,0 0,0 33,4 20 53 7,1
*Kategori menurut Hurlock (1980) Lama Pendidikan Contoh Tabel 5 menunjukkan bahwa hampir separuh (36,7%) contoh mengenyam pendidikan selama 10 hingga 12 tahun dengan rata-rata lama pendidikan yang ditempuh oleh contoh yaitu 9,1 tahun. Hal ini berarti, rata-rata contoh menyelesaikan pendidikan hingga jenjang SMP. Adapun rata-rata pabrik mensyaratkan minimum tingkat pendidikan sebagai buruh pabrik yaitu tamat SMP. Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan lama pendidikan Lama pendidikan (tahun) 1-6 (SD) 7-9 (SMP) 10-12 (SMA) 13-16 (PT) Rata-rata (tahun) Minimum (tahun) Maksimum (tahun) Standard deviasi (tahun)
Jumlah (n=60)
Persentase (%)
21 17 22 0
35,0 28,3 36,7 0,0 9,1 6 12 2.56
35
Pengalaman Kerja Contoh Seluruh contoh bekerja sebagai buruh di pabrik garmen. Dilihat dari pengalaman kerja contoh di pabrik, hampir separuh (40%) contoh baru bekerja selama kurang dari satu tahun. Akan tetapi, lebih dari seperempat (28,3%) contoh memiliki pengalaman kerja di pabrik lebih dari lima tahun. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan pengalaman kerja di pabrik Pengalaman kerja (tahun) <1 1-2 2-5 >5
Jumlah (n=60) 24 7 12 17
Persentase (%) 40,0 11,7 20,0 28,3
Riwayat Pekerjaan Contoh Istri memiliki peran yang penting dalam keluarga. Selain menjadi ibu rumah tangga yang melakukan kegiatan reproduksi, juga berperan dalam kegiatan ekonomi keluarga yakni membantu memenuhi kebutuhan keluarga baik sebagai pencari nafkah utama maupun tambahan. Sebelum bekerja di pabrik saat ini, hampir separuh (48,4%) contoh tidak memiliki pekerjaan sebelumnya atau sebagai ibu rumah tangga. Selain itu, hampir separuh (45,0%) contoh memiliki pekerjaan sebelumnya juga sebagai buruh pabrik. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan riwayat pekerjaan sebelumnya Riwayat pekerjaan sebelumnya Ibu rumah tangga Memiliki usaha Buruh Tukang cuci Penjaga counter
Jumlah (n=60) 29 2 27 1 1
Persentase (%) 48,4 3,3 45,0 1,6 1,7
Waktu Bekerja Contoh Handayani
(2008)
menungkapkan
pada
hakikatnya
seorang
istri
mempunyai tugas utama yaitu mengatur urusan rumah tangga termasuk mengawasi, mengatur dan membimbing anak-anak. Apalagi pada keluarga yang mempunyai anak yang masih kecil atau balita maka seorang istri harus pandai mengatur waktu dengan bijaksana. Istri yang harus berangkat bekerja pagi hari dan pulang pada sore hari tetap harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi,
36
bercanda, memeriksa tugas-tugas sekolahnya meskipun istri lelah setelah seharian bekerja di luar rumah. Oleh karenanya, istri yang bekerja tetap harus membagi waktu antara keluarga dengan pekerjaan. Walaupun kebanyakan istri yang bekerja terbentur pada aturan perusahaan/pabrik terkait bagian jam kerja. Pada umumnya, setiap pabrik memiliki bagian jam kerja yang berbedabeda. Beberapa pabrik menerapkan sistem shift yang terdiri dari shift pagi, siang dan malam serta sistem normal. Tabel 8 menunjukkan bahwa lebih dari tiga perempat (86,7%) contoh memiliki bagian kerja normal atau tanpa shift. Hal ini berarti, kebanyakan contoh memiliki jam kerja normal yaitu berangkat pagi sekitar pukul 07.00 hingga sore sekitar pukul 16.00. Tabel 8 juga menunjukkan lebih dari separuh (55,0%) contoh memiliki jam kerja 10 hingga 11 jam per hari, dengan rata-rata lama kerja sebesar 10,4 jam per hari. Adapun standar kerja hampir di seluruh Indonesia rata-rata adalah 8 jam. Biasanya dimulai pada pukul 08.00 hingga 17.00. Kebanyakan perusahaan menerapkan kerja lembur atau melebihi lama kerja normal, namun kelebihan waktu tersebut di bayar dengan upah lembur sesuai aturan masing-masing perusahaan/pabrik. Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja yang bekerja 6 hari dalam seminggu, jam kerjanya adalah 7 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu. Sedangkan untuk pekerja dengan 5 hari kerja dalam 1 minggu, kewajiban bekerja mereka 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu. Tabel 8 juga memperlihatkan 3,3 persen contoh atau dua orang yang memiliki lama bekerja 14 jam per hari. Artinya, contoh sudah melebihi standar kerja yang umum berlaku. Adapun posisi kerja contoh yaitu sebagai quality control dan pembuang benang. Berdasarkan penelitian pada Tabel 8, rata-rata jam kerja contoh dalam sehari sudah melebihi standar kerja rata-rata yaitu 8 jam. Sedangkan lebih dari separuh contoh (65,0%) memiliki hari kerja sebanyak 6 hari dengan rata-rata hari kerja dalam sehari sebesar 5,7 jam.
37
Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan waktu bekerja Karakteristik Bagian jam kerja Normal Shift Lama kerja (jam/hari) <8 8-9 10-11 12-13 ≥14 Rata-rata Minimal Maksimal Standard deviasi Hari kerja -5 hari -6 hari Rata-rata Minimal Maksimal Standard deviasi
Jumlah (n=60)
Persentase (%)
52 8
86,7 13,3
0 18 33 7 2 10,4 9 14 1,2
0,0 30,0 55,0 11,7 3,3
21 39 5,7 5 6 0,5
35,0 65,0
Berdasarkan Pasal 79 Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, Waktu libur wajib diberikan pabrik kepada buruhnya. Biasanya dalam satu minggu diharuskan memiliki waktu libur minimal satu kali. Tabel 9 menunjukkan bahwa lebih dari separuh (65,0%) contoh memiliki waktu libur dalam seminggu hanya satu hari saja yaitu hari Minggu. Istri yang memiliki waktu libur lebih banyak memungkinkan istri memberikan waktu yang lebih luang untuk mengurus keluarga. Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan waktu libur Waktu libur Minggu Sabtu-Minggu
Jumlah (n=60) 39 21
Persentase (%) 65,0 35,0
Posisi Kerja Contoh Sebagian besar pabrik menentukan posisi kerja buruh berdasarkan keahlian yang dimiliki masing-masing. Pekerjaan yang diharuskan memiliki keahlian khusus seperti menjahit, membuat pola, potong, dan lainnya. Sedangkan pada posisi tertentu seperti kebersihan, umum, penolong dan sebagainya tidak memerlukan keahlian tertentu. Tingkat pendidikan dan keahlian yang dimiliki menentukan posisi kerja pada pabrik. Semakin baik tingkat pendidikan dan
38
keahlian, semakin baik pula posisi kerja yang ditempati. Pada penelitian ini terlihat beragam posisi kerja contoh, antara lain umum, menjahit, penyelesaian, kontrol kontrol, supervisor, pembuang benang, penolong, pengemasan, potong, pola, kebersihan, kantin dan gudang. Lebih dari separuh (60,0%) contoh menempati posisi kerja sebagai penjahit. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan posisi kerja Posisi sebagai pekerja General (umum) Sewing (penjahit) Finishing (penyelesaian) Quality control (kontrol kualitas) Supervisor (pengawas) Streaming (buang benang) Helper (penolong) Packing (pengemasan) Cutting (Potong) Pola Kebersihan Kantin Gudang
Jumlah (n=60) 3 36 2 4 4 2 2 2 1 1 1 1 1
Persentase (%) 5,0 60,0 3,3 6,7 6,6 3,3 3,3 3,3 1,7 1,7 1,7 1,7 1,7
Sarana/Transportasi Contoh menuju Tempat Kerja Sementara itu kendaraan yang biasa dipakai contoh selama bekerja di pabrik terlihat dalam Tabel 11. Lebih dari tiga perempat (80,0%) contoh menggunakan kendaraan umum sebagai alat transportasi menuju pabrik. Selebihnya atau kurang dari seperempat contoh menggunakan motor dan berjalan kaki menuju tempat kerja/pabrik. Hal ini dimungkinkan karena tempat kerja contoh tidak terlalu jauh dengan tempat tinggal contoh sehingga dapat dijangkau dengan menggunakan angkutan umum. Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan kendaraan yang dipakai selama bekerja Kendaraan yang digunakan Milik pribadi Umum Lainnya
Jumlah (n=60) 10 48 2
Persentase (%) 16,7 80,0 3,3
Upah Kerja Contoh per Bulan Tabel 12 menunjukkan bahwa lebih dari setengah (61,7%) contoh memiliki upah kerja berkisar antara Rp 1 000 000,00 hingga Rp 1 999 999,00
39
dengan rata-rata upah kerja per bulan sebesar Rp 1 104 038,00. Hal ini berarti, sebagian besar contoh termasuk kategori kurang sejahtera atau memiliki upah kerja yang berada di bawah UMK pemerintah Kabupaten Bogor 2011. Adapun UMK pemerintah Kabupaten Bogor 2011 sebesar Rp 1 172 060,00. Upah Minimum adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan usaha atau kerjanya. Pemenuhan kebutuhan yang layak di setiap propinsi berbeda-beda, maka disebut Upah Minimum Propinsi. Pasal 89 UndangUndang Nomor 13 menyatakan bahwa penentuan upah minimum diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan kehidupan yang layak. Pemberian upah merupakan suatu imbalan/balas jasa dari perusahaan kepada tenaga kerjanya atas prestasi dan jasa yang disumbangkan dalam kegiatan produksi. Penerimaan upah kerja responden dalam penelitian ini diberikan pabrik melalui beberapa satuan waktu tertentu, antara lain mingguan, dua minggu dan setiap bulannya. Adapun cara pembayaran upah oleh pabrik dilakukan melalui dua cara pembayaran yaitu uang tunai dan pembayaran via ATM yang di transfer pihak pabrik ke rekening contoh. Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan upah kerja per bulan Upah kerja/bulan < Rp 1 000 000,00 Rp 1 000 000-1 999 999,00 Rp 2 000 000-2 999 999,00 Rata-rata (Rupiah) Minimum (Rupiah) Maksimum (Rupiah) Standar deviasi (Rupiah)
Jumlah (n=60) Persentase (%) 21 35,0 37 61,7 2 3,3 1 104 038,00 504 000,00 2 400 000,00 32 1726,30
Karakteristik Keluarga Contoh Umur Suami Contoh Umur suami contoh dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok umur dewasa muda (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun) dan dewasa akhir (> 60 tahun) (Hurlock 1980). Berdasarkan Tabel 13 menunjukkan bahwa hampir tiga perempat (68,3%) umur suami contoh berada pada rentang usia 18-40 tahun dengan rata-rata umur suami contoh yaitu 36,6 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa umur suami contoh didominasi pada tahap dewasa muda
40
menurut kategori Hurlock (1980). Salah satu tugas perkembangan dewasa muda (18-40 tahun) adalah mulai hidup dalam keluarga atau hidup berkeluarga dan mengelola rumah tangga. Sebagian besar contoh telah menyelesaikan pendidikan dan memasuki dunia pekerjaan. Secara ekonomis, artinya sudah tidak bergantung lagi pada orang tua. Sikap yang mandiri ini merupakan langkah positif karena sekaligus dijadikan sebagai persiapan untuk memasuki kehidupan rumah tangga yang baru dan belajar mengasuh anak. Tahap dewasa muda juga mulai membentuk, membina, dan mengembangkan kehidupan rumah tangga dengan sebaik-baiknya agar dapat mencapai kebahagiaan hidup. Penyesuaian diri dan bekerja sama dilakukan dengan pasangan hidup masing-masing. Selain itu. juga harus dapat melahirkan, membesarkan, mendidik, dan membina anak-anak dalam keluarga (Anonimous 2011). Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan umur suami Umur (tahun)* Dewasa muda (18-40) Dewasa madya (41-60) Dewasa akhir (>60) Rata-rata (tahun) Minimum (tahun) Maksimum (tahun) Standard deviasi (tahun)
Jumlah (n=60) 41 19 0
Persentase (%) 68,3 31,7 0,0 36,6 25,0 54,0 7,6
*Kategori menurut Hurlock (1980) Lama Pendidikan Suami Contoh Pendidikan suami contoh dilihat dari lama pendidikan formal yang ditempuh. Lama pendidikan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu pendidikan hingga jenjang Sekolah Dasar (1-6 tahun), jenjang SMP (7-9 tahun), jenjang SMA (10-12 tahun), dan jenjang Perguruan Tinggi (1316 tahun). Tabel 14 menunjukkan bahwa hampir separuh (41,7%) suami contoh mengenyam pendidikan selama 10 hingga 12 tahun dengan rata-rata lama pendidikan yang ditempuh oleh suami contoh yaitu 9,2 tahun. Hal ini berarti sebagian besar suami contoh menyelesaikan pendidikan hingga jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).
41
Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan lama pendidikan suami Lama pendidikan (tahun) 1-6 (SD) 7-9 (SMP) 10-12 (SMA) 13-16 (PT) Rata-rata (tahun) Minimum (tahun) Maksimum (tahun) Standard deviasi (tahun)
Jumlah (n=60)
Persentase (%)
24 9 25 2
40,0 15,0 41,7 3,3 9,2 6,0 15,0 2,9
Besar Keluarga Contoh Besar keluarga merupakan jumlah seluruh anggota keluarga inti dan sanak saudara yang tinggal bersama keluarga. Besar keluarga pula dapat ditentukan berdasarkan banyaknya anggota keluarga. Menurut BKKBN (1998), besar keluarga dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu kecil (≤ 4 orang), sedang (5-7 orang) dan besar (> 7 orang). Berdasarkan penelitian pada Tabel 15 bahwa hampir tiga perempat (71,7%) contoh memiliki besar keluarga berada dalam kategori kecil, yaitu kurang dari empat orang atau sebanyak 43 orang dengan rata-rata besar keluarga sebesar 3,9 orang. Besar keluarga berkaitan dengan pengeluaran keluarga, semakin besar anggota keluarga maka pengeluaran keluarga semakin bertambah. Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga Besar keluarga (orang)* Kecil (≤ 4 orang) Sedang (5-7 orang) Besar (> 7 orang) Rata-rata (orang) Minimum (orang) Maksimum (orang) Standard deviasi (orang)
Jumlah (n=60) 43 17 0
Persentase (%) 71,7 28,3 0,0 3,9 2,0 7,0 1,2
*Kategori menurut BKKBN (1998) Pekerjaan Suami Contoh Pekerjaan suami contoh merupakan salah satu faktor yang menentukan pendapatan keluarga. Tingkat pendidikan yang diperoleh suami juga ikut menentukan besarnya peluang dalam usaha memperoleh pekerjaan yang layak. Semakin tinggi tingkat pendidikan suami memungkinkan dirinya memperoleh jabatan pekerjaan yang lebih baik. Deacon dan Firebaugh (1988), jenis pekerjaan
42
yang profesional menyediakan pendapatan yang lebih tetap dibandingkan pekerjaan swasta. Namun pekerjaan sebagai swasta cenderung untuk memiliki kesempatan lebih dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Hampir separuh (31,7%) pekerjaan suami contoh bekerja sebagai buruh/kuli. Penelitian menunjukkan bahwa rata-rata lama pendidikan yang ditempuh oleh suami contoh yaitu 9,2 tahun. Pada usia tersebut, kebanyakan suami contoh telah menyelesaikan pendidikan hingga jenjang SMP. Sedangkan salah satu persyaratan yang banyak ditemui jika bekerja sebagai buruh adalah seseorang yang telah menamatkan pendidikan hingga jenjang SMA. Jenis pekerjaan suami dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan suami contoh Jenis pekerjaan suami Buruh/ kuli Pedagang Wiraswasta Supir Karyawan/pegawai Petani PNS Koki Ojek Tukang parkir Tidak bekerja
Jumlah (n=60) 19 1 5 10 13 1 3 3 1 1 3
Persentase (%) 31,7 1,7 8,3 16,7 21,7 1,7 5,0 5,0 1,7 1,7 5,0
Kepemilikan Aset Deacon dan Firebaugh (1988), material aset merupakan sumber aset keluarga yang memiliki nilai ekonomi dan dapat digunakan untuk melindungi, merubah, mengkonsumsi, atau memproduksi/investasi. Ketersediaan aset dapat memudahkan manajemen dari hal-hal yang tidak dapat diprediksikan. Salah satu aset berupa uang tunai (cash) dapat menyediakan respon untuk kebutuhan yang lebih cepat. Sedangkan sumber-sumber tangible aset seperti rumah atau asuransi hidup bernilai uang tunai dapat digunakan untuk mendapatkan kredit dalam situasi darurat. Berdasarkan kepemilikan aset pada Tabel 17, hampir separuh (40%) contoh memiliki rumah dengan status kepemilikan orangtua atau contoh masih tinggal satu atap dengan orangtua. Status kepemilikan motor, lebih dari sepertiga
43
(35,0%) contoh tidak memiliki dan hanya kurang dari sepertiga (31,7%) contoh dimiliki oleh suami contoh atau kepemilikan motor atas nama suami contoh. Kepemilikan barang elektronik, lebih dari separuh (63,3% dan 61,7%) contoh memiliki televisi dan handphone secara bersama, yaitu masing-masing memiliki handphone dan ada juga contoh yang membeli handphone dengan menggunakan uang bersama (suami dan contoh). Hampir separuh (45,0%) contoh tidak memiliki radio/tape/VCD/AC dan kurang dari sepertiga (31,7%) dimiliki secara bersama dengan menggunakan uang bersama yaitu suami dan contoh. Separuh (50,0%) contoh tidak memiliki kulkas dan lebih dari sepertiganya (35,0%) dimiliki secara bersama dengan menggunakan uang suami dan contoh. Lebih dari seperempat (83,3%) contoh juga tidak memiliki mesin cuci dan hanya kurang dari seperlimanya (13,4%) dibeli contoh dengan menggunakan uangnya sendiri. Lebih dari separuh (63,3%) contoh tidak memiliki perhiasan seperti emas, hanya seperempatnya (25,0%) perhiasan dibeli dengan menggunakan uang contoh sendiri. Hampir tiga perempat (70%) contoh tidak memiliki tabungan dan kurang dari seperenamnya (13,3%) dimiliki secara bersama-sama dengan menggunakan uang bersama (suami dan contoh). Sedangkan kepemilikan aset terhadap pertanian, perikanan dan ternak seperti sawah, ladang/kebun dan tambak diketahui bahwa hampir seluruh (90,0%, 98,3% dan 98,3%) contoh tidak memiliki aset tersebut. Sedangkan hanya 4 orang yang memiliki aset sawah dengan status kepemilikan atas nama contoh. Hanya 1 orang (1,7%) kepemilikan ladang/kebun dan tambak kepemilikan atas nama suami contoh. Status kepemilikan sofa, kurang dari separuh contoh (43,3%) dimiliki secara bersama dengan menggunakan uang suami dan contoh dan hampir separuhnya (41,7%) tidak memiliki sofa. Sedangkan hampir tiga perempat (73,3%) contoh memiliki status kepemilikan kompor gas dipunyai bersama dengan menggunakan uang bersama dan lebih dari seperdelapannya dimiliki oleh contoh.
44
Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan kepemilikan aset Jenis aset Rumah Motor TV Radio/tape Kulkas Mesin cuci Handphone Perhiasan/emas Tabungan Sawah Ladang/kebun Tambak Sofa Kompor gas
Status Kepemilikan (%)* 3 4
1
2
10,0 31,7 5,0 3,3 1,7 0.0 5,0 3,3 3,3 0,0 1,7 1,7 1,7 1,7
8.3 8,3 20,0 11,7 8,3 13,4 16,7 25,0 11,7 6,7 0,0 0,0 3,3 13,3
0,0 20,0 63,3 31,7 35,0 3,3 61,7 6,7 13,3 1,6 0,0 0,0 43,3 73,3
40,0 3,3 6,7 5,0 5,0 0,0 0,0 0,0 1,7 1,6 0,0 0,0 10,0 10,0
5 33,4 1,7 0,0 3,3 0,0 0,0 5,0 1,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Tidak memiliki aset (%) 8,3 35.0 5,0 45,0 50,0 83,3 11,7 63,3 70,0 90,0 98,3 98,3 41,7 1,7
*Keterangan: 1= Suami, 2= Contoh, 3=Bersama (suami dan contoh), 4=Orangtua, 5 = Saudara/anak Pendapatan Keluarga per Bulan Deacon dan Firebaugh (1988), sumberdaya keuangan keluarga yang utama didapatkan dari pendapatan keluarga. Pendapatan merupakan imbalan yang diterima seseorang dari pekerjaan yang telah dilakukannya untuk mencari nafkah (Sumarwan 2002). Pendapatan keluarga biasanya didapatkan dari seluruh anggota keluarga
yang
bekerja.
Pendapatan
keluarga
berkaitan
dengan
tingkat
kesejahteraan keluarga. Semakin tinggi pendapatan keluarga maka semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan keluarga. Kesejahteraan keluarga contoh dapat diukur menggunakan UMK pemerintah Kabupaten Bogor. Keluarga yang memiliki pendapatan keluarga di atas UMK Kabupaten Bogor, dapat dikatakan sejahtera. Tabel 18 menunjukkan bahwa hampir separuh contoh memiliki pendapatan keluarga per bulan sebesar Rp 2 000 000,00 hingga Rp 2 999 999,00 dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 2 151 207,00. Berdasarkan UMK Kabupaten Bogor (2011) sebesar 1 172 060,00, rata-rata keluarga contoh temasuk dalam kategori keluarga sejahtera.
45
Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga per bulan Pendapatan keluarga (Rp/bulan) < Rp 1 000 000,00 Rp 1 000 000-1 999 999,00 Rp 2 000 000-2 999 999,00 > Rp 3 000 000,00 Rata-rata (Rupiah) Minimum Maksimum Standard deviasi
Jumlah (n=60) Persentase (%) 1 1,7 23 38,3 29 48,3 7 11,7 2 151 207,00 600 000,00 4 000 000,00 620 202,20
Pendapatan per kapita merupakan indikator penting dalam pembangunan suatu negara. Pendapatan per kapita menentukan pendapatan yang layak untuk mencukupi kebutuhan minimal. Pendapatan per kapita dapat dihitung untuk mengetahui golongan keluarga miskin atau tidak. Negara yang maju memiliki pendapatan per kapita keluarga yang tinggi dengan rata-rata keluarga berada di atas garis kemiskinan. Sedangkan keluarga yang berada pada kategori miskin berarti memiliki permasalahan dalam keuangan. Tabel 19 menunjukkan bahwa hampir separuh contoh (40,0%) memiliki pendapatan keluarga per kapita per bulan berkisar antara Rp 394 639,00 hingga Rp 591 957,00 dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 607 445,77. Hal ini berarti hampir seluruh contoh berada di atas garis kemiskinan atau sejahtera dengan batas garis kemiskinan Kabupaten Bogor (2010) sebesar Rp 197 319,00. Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga per kapita Pendapatan keluarga (Rp/bulan) Jumlah (n=60) Persentase (%) ≤ Rp 197 319* 1 1,7 Rp 197 320-Rp 394 638 9 15,0 Rp 394 639-Rp 591 957 24 40,0 > Rp 591 957 26 43,3 Rata-rata (Rupiah) 607 445,77 Minimum 85 714,00 Maksimum 1 336 050,00 Standard deviasi 263905,78 *Garis Kemiskinan Kabupaten Bogor BPS 2010
46
Pengeluaran Keluarga per Bulan Pengeluaran keluarga dapat dilihat dari jumlah pengeluaran untuk pangan dan nonpangan. Pengeluaran keluarga berkaitan dengan besar keluarga. Semakin besar anggota keluarga maka semakin besar pengeluaran yang dilakukan. Tabel 20 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (63,3%) memiliki pengeluaran keluarga pada rentang Rp 1 000 000,00 hingga Rp 1 999 999,00 per bulan dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp 1 729 962,00. Sedangkan besar keluarga pada penelitian ini berada pada kategori rendah (≤ 4 orang), sehingga pengeluaran yang dilakukan keluarga contoh tidak terlalu tinggi. Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran keluarga per bulan Pengeluaran keluarga (Rp/bulan) < Rp 1 000 000,00 Rp 1 000 000-1 999 999,00 Rp 2 000 000-2 999 999,00 >Rp 3 000 000,00 Rata-rata (Rupiah) Minimum Maksimum Standard deviasi
Jumlah (n=60) 6 38 12 4 1 729 962,00 285 700,00 3 277 000,00 643 496,32
Persentase (%) 10,0 63,3 20,0 6,7
Pengeluaran keluarga terdiri dari dua kelompok, yaitu pangan dan nonpangan. Pengeluaran pangan yaitu pengeluaran yang dialokasikan untuk kebutuhan makanan sehari-hari. Sedangkan pengeluaran nonpangan dialokasikan untuk kebutuhan di luar kebutuhan pangan. Tabel 21 menunjukkan bahwa ratarata pengeluaran untuk pangan contoh sebesar 860 766,67 rupiah. Sedangkan ratarata pengeluaran keluarga untuk nonpangan sebesar 912 050,00 rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran untuk kebutuhan nonpangan lebih besar dibandingkan kebutuhan untuk pangan. Berdasarkan BPS (1994), terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin berkurang persentase pendapatan yang dibelanjakannya untuk makanan dan semakin tinggi tingkat kesejahteraan. Oleh karena itu, tingkat kesejahteraan contoh yang tinggi dapat dilihat rata-rata pendapatan contoh yang berada di atas UMR dan pengeluaran nonpangan yang lebih besar dibanding pangan.
47
Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran pangan dan nonpangan Pengeluaran keluarga Pangan Nonpangan
Rata-rata ± std (Rp) 860 766,67±363 802,53 912 050,00±486 864,06
Min-maks 300 000,00–1 800 000,00 118 000–2 599 000,00
Persentase (%) 48,6 51,4
Pengeluaran per kapita keluarga dapat diukur dengan menggunakan garis kemiskinan. Semakin pengeluaran keluarga berada di atas garis kemiskinan maka semakin sejahtera. Tabel 22 menunjukkan bahwa hampir separuh (41,7%) contoh memiliki pengeluaran keluarga per kapita sebesar Rp 394 639,00 hingga Rp 591 957,00 dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp 487 664,30. Hal ini menunjukkan bahwa hampir sebagian besar contoh berada di atas garis kemiskinan atau sejahtera. Adapun batas garis kemiskinan Kabupaten Bogor (BPS 2010) yaitu sebesar Rp 197 319,00. Penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran keluarga per kapita (Rp 487 664,30) lebih kecil dibandingkan dengan pendapatan per kapita (Rp 607 445,77). Berdasarkan teori konsumsi, semakin besar tingkat pendapatan maka semakin besar alokasi untuk konsumsi, hal ini menandakan sifat keluarga yang tidak konsumtif dalam mengelola keuangan (Anonimous 2011). Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran per kapita Pengeluaran keluarga (Rp/bulan) ≤ Rp 197 319* Rp 197 320- Rp 394 638 Rp 394 639- Rp 591 957 > Rp 591 957 Rata-rata Minimum Maksimum Standard deviasi
Jumlah (n=60) 3 20 25 12 487 664,30 145 429,00 1 538 750,00 224 975,70
Persentase (%)
5,0 33,3 41,7 20,0
*Garis Kemiskinan Kabupaten Bogor BPS 2010 Perbandingan antara Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga Dalam pengelolaan keuangan keluarga yang baik, pendapatan keluarga contoh harus lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran keluarga sehingga keluarga lebih leluasa mengelola keuangannya. Akan tetapi, terdapat tiga kondisi dalam pengelolaan keuangan keluarga. Ketiga kondisi tersebut antara lain: 1) Kondisi pada saat pendapatan keluarga lebih tinggi dibandingkan pengeluaran keluarga, disebut dengan saldo surplus atau keuangan berada pada kondisi yang aman, 2) Kondisi break even yaitu pendapatan keluarga sama dengan pengeluaran
48
keluarga atau saldo sama dengan nol. Kondisi ini aman namun perlu diwaspadai dan perlu dilakukan penghematan atau penambahan pendapatan, dan 3) Kondisi pendapatan
lebih
rendah
dibandingkan
pengeluaran
keluarga.
Hal
ini
menghasilkan saldo yang negatif atau defisit. Kondisi ini harus segera diatasi dengan cara mencari tambahan dana yang dapat berasal dari pinjaman, penjualan aset yang dimiliki, atau meminta bantuan dari pihak lain. Hasil penelitian pada Tabel 23 menunjukkan bahwa hampir tiga perempat (73,3%) contoh memiliki kondisi keuangan yang surplus. Sebagian besar contoh memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan alokasi untuk pengeluaran keluarga. Artinya, keluarga contoh sudah mampu mengelola keuangan agar tetap berada pada kondisi aman. Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan kondisi keuangan keluarga contoh Kondisi keuangan Jumlah (n=60) Persentase (%) Defisit 16 26,7 Surplus 44 73,3 Aliran Pendapatan dan Pengeluaran/Cashflow (Kasus In-Depth Interview) Kasus 1 Manajemen keuangan keluarga berupa pengelolaan keuangan keluarga mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi yang dilakukan setiap keluarga berbeda-beda. Sebagai contoh pada keluarga Ibu F yang telah bekerja sebagai buruh selama 4 tahun. Cara pengelolaan keuangan yang diakukan oleh Ibu F yaitu upah yang diterima Ibu F satu bulannya diterima dalam bentuk ATM (nontunai), kemudian dari upah tersebut Ibu F membagi menjadi dua kategori yaitu kebutuhan untuk keluarga dan tabungan yang masih disimpan di Bank. Tabungan yang disimpan oleh Ibu F akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan lebaran, sekolah anak seperti alat tulis, buku tulis dan ongkos sekolah, serta membeli perabot rumah tangga. Sedangkan kebutuhan keluarga dialokasikan untuk makan sehari-hari berupa lauk-pauk dan makanan pokok, transportasi Ibu F satu bulan ke depan untuk bekerja, sekolah anak, membayar listrik, dan membayar kredit motor dan hutang. Pendapatan suami Ibu F diterima dalam bentuk tunai setiap bulannya. Adapun pengalokasian pengeluaran digunakan untuk kebutuhan keluarga sepenuhnya seperti rokok, jajan keluarga, transportasi kerja suami sehari-hari, dan
49
tambahan makan keluarga sehari-hari. Pendapatan suami ini dikelola oleh Ibu F namun dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan, Ibu F bersama suami menentukan bersama dalam pengambilan keputusan keuangan. Secara rinci penjelasan tersebut dapat dilihat dari diagram pada Gambar 4. Kebutuhan lebaran Alat tulis Sekolah anak Tabungan di Bank atas nama contoh
Kebutuhan makan harian
Upah kerja contoh ditransfer via ATM
Ongkos sekolah
Beras Lauk pauk
Sekolah anak
Kebutuhan keluarga
Perabot rumah tangga
Buku tulis
Transportasi kerja 1 bulan contoh
Listrik
Kredit motor dan hutang
Rokok
Jajan keluarga
Pendapatan suami tunai
Kebutuhan keluarga
Transportasi kerja suami Makan seharihari
Gambar 4 Diagram Alur Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga Kasus 1 (Indepth Interview)
50
Kasus 2 Pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh Ibu A yang telah bekerja di pabrik selama kurang lebih dua tahun yaitu pendapatan yang diterima (gaji) oleh Ibu A berbentuk uang tunai dari pabrik, kemudian dari pendapatannya tersebut, Ibu A mengalokasikan untuk pengeluaran rumah tangga baik pangan seperti kebutuhan makan sehari-hari maupun nonpangan seperti kebutuhan anak sekolah/pendidikan, transportasi kerja Ibu A satu bulan kedepan, tabungan untuk kebutuhan pendidikan anak, arisan yang akan digunakan untuk kebutuhan anak dan keluarga, serta simpanan di rumah untuk kebutuhan yang tidak terduga. Selain itu, Ibu A juga mengalokasikan pendapatan hasil kerjanya sendiri untuk membeli kebutuhan pribadinya seperti kosmetik dan pakaian. Keluarga Ibu A dalam menangani pengelolaan keuangan sebagian besar ditangani oleh Ibu A. Adapun penghasilan suami juga dipegang oleh Ibu A, dari penghasilan suami tersebut kemudian digabung dengan penghasilan Ibu A. Bayar sekolah anak
Tabungan di Bank atas nama contoh
Kebutuhan keluarga
Simpanan di rumah
Kebutuhan keluarga yang tidak terduga
Arisan
Kebutuhan pribadi
Upah kerja contoh diterima tunai
Tabungan sekolah atas nama anak
Sekolah anak
Simpanan/ tabungan
Sekolah anak
Kebutuhan keluarga
Kebutuhan makan Transportasi kerja 1 bulan Kebutuhan pribadi
Gambar 5 Diagram Alur Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga Kasus 2 (Indepth Interview)
51
Kasus 3 Pada kasus Ibu R yang telah bekerja selama tiga hingga lima tahun di pabrik sebagai bagian quality control, memiliki pengelolaan yang berbeda. Upah kerja yang diterima oleh Ibu R bukan berupa uang tunai melainkan upah yang ditransfer ke rekening via ATM. Setelah satu bulan bekerja, Ibu R langsung menarik seluruh uang yang ada dan langsung dialokasikan untuk pengeluaran keluarga. Diantaranya kebutuhan untuk sekolah anak, bayar kredit/cicilan motor setiap bulannya dan belanja untuk kebutuhan pribadi ibu sendiri. Ibu R juga memiliki simpanan atas nama Ibu R berupa arisan bersama temannya setiap bulan, adapun rencana uang arisan tersebut akan digunakan untuk kebutuhan anak sekolah seperti uang pangkal, buku, atau sebagainya. Sedangkan untuk penghasilan suami digunakan Ibu R untuk kebutuhan makan sehari-hari, jajan anak, transportasi kerja, dan membayar listrik setiap bulannya. Pemisahan keuangan yang dilakukan Ibu R dikarenakan agar masing-masing suami dan istri memiliki tanggung jawab masing-masing dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Selain itu, pengeluaran kebutuhan yang dilakukan Ibu R lebih besar dibanding pengeluaran oleh suami karena pendapatan Ibu R lebih besar dibandingkan penghasilan suami. Sekolah anak
Arisan Upah contoh transfer via ATM
Kredit motor Belanja untuk kebutuhan contoh
Kebutuhan makan sehari-hari
Jajan anak
Gaji tunai milik suami
Tambahan sekolah
Bayar listrik Transportasi kerja
Gambar 6 Diagram Alur Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga Kasus 3 (Indepth Interview)
52
Kasus 4 Ibu N merupakan salah satu perempuan buruh pabrik yang memiliki lama bekerja selama 1-2 tahun. Ibu N bekerja sebagai operator jahit. Ibu N menerima upah kerjanya dalam bentuk transfer via ATM. Setiap upah yang masuk ke rekening Ibu N langsung diambil seluruhnya. Upah kerja tersebut dialokasikan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, diantaranya: membayar angsuran motor setiap bulan, membayar tagihan listrik setiap bulan, mencukupi kebutuhan makan keluarga sehari-hari, dan memenuhi kebutuhan pendidikan anak. Berbeda dengan Ibu N, suaminya menerima upah kerja setiap bulannya dalam bentuk tunai. Upah kerja tersebut dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga sehari-hari dan kebutuhan rokok suami setiap harinya. Dilihat dari pengelolaan keluangan keluarga, suami dan Ibu N secara bersama-sama melakukan pengelolaan keuangan. Berikut aliran pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan keluarga Ibu N (Gambar 7). Bayar kredit motor
Listrik Upah contoh ditransfer via ATM
Kebutuhan makan sehari-hari
Pendidikan anak
Kebutuhan makan sehari-hari Upah suami diterima tunai Rokok suami
Gambar 7 Diagram Alur Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga Kasus 4 (Indepth Interview)
53
Kasus 5 Ibu E bekerja sebagai penjahit di salah satu pabrik garmen. Ibu E baru bekerja selama kurang lebih satu tahun. Setiap harinya, Ibu E bekerja selama sembilan jam per hari yaitu mulai dari pukul 07.00 hingga 16.00 WIB. Jam kerja Ibu E per hari melebihi standar rata-rata jam kerja normal per harinya. Upah kerja Ibu E dibayar setiap bulannya secara tunai. Upah tersebut dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan seperti: kebutuhan makan sehari-hari, biaya transport kerja setiap harinya selama satu bulan mendatang, membayar hutang keluarga, dan membayar arisan. Arisan tersebut rencananya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan sekolah anak dan membayar hutang. Jika Ibu E memiliki uang berlebih dari upah kerjanya, maka dipakai untuk memenuhi keperluan dirinya sendiri seperti belanja kosmetik, pakaian, sepatu, dan sebagainya. Berbeda dengan Ibu E, suaminya bekerja sebagai sopir angkot dengan penghasilan yang diterima setiap harinya dalam bentuk tunai. Penghasilan yang diterima suami Ibu E dialokasikan untuk berbagai kebutuhan seperti: kebutuhan makan setiap hari dan kebutuhan jajan anak. Jika diakumulasikan penghasilan suami Ibu per bulan, maka jumlahnya lebih kecil dibandingkan penghasilan Ibu E per bulannya. Dalam memenuhi kebutuhan, dibutuhkan pengelolaan keuangan keluarga yang efektif dan efisien. Pengelolaan keuangan yang dilakukan Ibu E lebih didominasi oleh Ibu E dibanding suami. Mengingat budaya keluarga bahwa istrilah
yang
mengurus
keuangan
keluarga tanpa melihat siapa yang
berpenghasilan lebih besar. Gambar 8 menunjukkan aliran pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan oleh keluarga Ibu E.
54
Kebutuhan makan keluarga
Upah contoh diterima tunai setiap bulan
Biaya transport kerja suami dan istri Bayar hutang Belanja kosmetik istri
Pendidikan anak Arisan Bayar hutang
Kebutuhan makan keluarga
Upah suami diterima tunai setiap hari
Kebutuhan jajan anak
Gambar 8 Diagram Alur Pendapatan dan Pengeluaran Kasus 5 (Indepth Interview) Kasus 6 Ibu A bekerja sebagai operator jahit di salah satu pabrik garmen selama kurang lebih satu hingga dua tahun. Ibu A memiliki bagian jam kerja termasuk normal atau tanpa shift. Ibu A memiliki jam kerja setiap harinya selama 11 jam per hari. Adapun rata-rata jam kerja setiap harinya adalah normal atau 8 jam per hari ditambah dengan jam kerja lembur selama 3 jam. Pengelolaan
keuangan
yang
dilakukan
keluarga
Ibu
A
yaitu
menggabungkan penghasilan yang diterima dari Ibu A dan suaminya. Upah kerja yang dibayar oleh pabrik kepada Ibu A diterima dalam bentuk tunai setiap
55
bulannya dan penghasilan suami Ibu A diterima dalam bentuk yang sama (tunai). Setelah digabung dari penghasilan masing-masing kemudian dialokasikan untuk berbagai kebutuhan yang sudah direncanakan sebelumnya. Kebutuhan tersebut antara lain; kebutuhan untuk makan sehari-hari selama satu bulan mendatang, kebutuhan pendidikan anak, transport kerja Ibu A dan suaminya selama satu bulan, belanja kosmetik Ibu A, tabungan, simpanan di rumah untuk kebutuhan tak terduga, dan arisan. Tabungan yang dimiliki keluarga Ibu A disimpan di bank dan di sekolah anak yang nantinya akan digunakan untuk membayar kebutuhan pendidikan anak seperti SPP sekolah. Pengelolaan keuangan keluarga Ibu A dapat dilihat pada Gambar 9. Kebutuhan makan sehariUpah contoh diterima tunai
Pendidikan anak Biaya transportasi kerja suami dan istri Belanja kosmetik istri Pendapatan keluarga Tabungan
Pendidikan anak, misal SPP sekolah
Simpanan di rumah
Kebutuhan tak terduga
Arisan
Pendidikan anak, misal uang pangkal
Upah suami diterima tunai
Gambar 9 Diagram Alur Pendapatan dan Pengeluaran Kasus 6 (Indepth Interview)
56
Kontribusi Contoh terhadap Pendapatan Keluarga Contoh Berdasarkan Tabel 24 menunjukkan bahwa sepertiga (33,3%) contoh memiliki persentase kontribusi pendapatan contoh terhadap keluarga berada pada rentang 41 hingga 50 persen dengan rata-rata kontribusi yang diberikan contoh terhadap pendapatan keluarga sebesar 53,5 persen. Hal ini berarti rata-rata contoh memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarga lebih dari separuhnya untuk kebutuhan keluarga. Puspitawati (2009) mengungkapkan bahwa sistem patriarkhi menganggap suami sebagai pencari nafkah utama (main-breadwinner) dan istri berperan dalam sektor domestik yaitu mengurus rumah tangga (homemaker). Dewasa ini seorang istri dituntut untuk bekerja demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, terjadi pergeseran peran, suami tidak lagi berperan sebagai pencari nafkah utama melainkan digantikan oleh istri yang bekerja sebagai buruh (primary breadwinner). Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan kontribusi contoh terhadap keluarga Kontribusi ekonomi (%) 0-10 11-20 21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 71-80 81-90 91-100 Rata-rata (%) Minimal (%) Maksimal (%) Standar deviasi (%)
Jumlah (n=60) 0 0 0 12 20 14 9 2 0 3
Persentase (%) 0,0 0,0 0,0 20,0 33,3 23,4 15,0 3,3 0,0 5,0 53,5 31,0 100,0 15,4
Sedangkan Tabel 25 menunjukkan rata-rata kontribusi contoh terhadap pendapatan keluarga sebesar Rp 1 104 038,00 dengan persentase sebesar 51,3 persen. Sedangkan rata-rata kontribusi suami terhadap keluarga sebesar Rp 994 701,70 dengan persentase sebesar 46,2 persen. Hal ini berarti, kontribusi contoh lebih besar daripada suami. Terdapat beberapa contoh yang memiliki suami tidak bekerja karena menderita sakit yang cukup lama. Hal ini berarti, istri selain sebagai pengurus rumah tangga juga sebagai berperan penting dalam mencari
57
nafkah keluarga (secondary breadwinner) sehingga mampu memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap keluarga dibandingkan dengan suami. Tabel 25 Perbandingan rata-rata kontribusi ekonomi antara contoh dan suami terhadap pendapatan keluarga Pendapatan Istri Suami Anak Pendapatan Keluarga
Rata-rata pendapatan (Rp/bulan) 1 104 038,00 994 701,70 52 467,30 2 151 207,00
Kontribusi (%) 51,3 46,2 2,5
Manajemen Keuangan Keluarga Perencanaan Deacon dan Firebaugh (1988) menjelaskan bahwa perencanaan merupakan bagaimana (kualitas dan kuantitas) dan kapan keluarga mengalokasikan sumberdaya keuangan yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan yang disusun secara umum dan spesifik baik dalam bentuk mental atau tulisan. Perencanaan menggambarkan bagaimana keluarga mengalokasikan kebutuhan seperti makanan, namun tidak secara rinci menggambarkan kualitas dan kuantitas setiap kebutuhan, hanya berdasarkan kategori setiap periodenya. Perencanaan juga merupakan penggunaan ulang rencana dengan mengorganisasi masa depan dan membangun ingatan untuk mendukung pelaksanaan yang diantisipasi. Perencanaan dalam penelitian ini terdiri dari 12 item pertanyaan, kemudian dikategorikan dalam 3 kelompok yaitu rendah (<33,3), sedang (33,4-66,7), dan tinggi (>66,7). Tabel 26 menunjukkan bahwa hampir separuh contoh termasuk kategori sering dalam membuat perencanaan keuangan dengan disiplin setiap bulan (45,0%), menghitung perkiraan biaya hidup sehari-hari (45,0%), menetapkan standar biaya tertinggi dalam pengalokasian pengeluaran (36,6%), memiliki tujuan keuangan (38,3%), belajar mengelola keuangan dengan baik (41,6%), dan menghindari perencanaan yang tidak sesuai karena ketidakcukupan dana (45,0%). Lebih dari separuh contoh termasuk kategori tidak pernah dalam membuat anggaran tertulis setiap bulannya (66,7%), anggaran setiap minggunya atau setiap bulan (56,7%), mencatat semua pendapatan dan pengeluaran sehari-hari dengan rutin harian (61,7%), dan memiliki perencanaan warisan (81,7%). Lebih dari separuh contoh termasuk kategori sering dalam mengupayakan pembagian tugas
58
dan kerjasama yang baik antara anggota keluarga dalam pengelolaan keuangan (70,0%) dan mendahulukan kebutuhan yang paling utama dahulu terutama untuk pangan dan pendidikan anak-anak (83,4%). Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan persentase perencanaan manajemen keuangan keluarga Persentase (%) No 1
Pertanyaan
Membuat perencanaan keuangan dengan disiplin setiap bulan 2 Menghitung perkiraan biaya hidup seharihari 3 Menetapkan standar biaya tertinggi dalam pengalokasian pengeluaran 4 Memiliki tujuan keuangan (jangka pendek, menengah dan panjang) seperti belanja makanan sehari-hari, membeli perabotan/kendaraan dan naik haji 5 Memiliki anggaran tertulis setiap bulannya 6 Memiliki anggaran setiap minggunya atau setiap bulan 7 Belajar mengelola keuangan dengan baik 8 Mencatat semua pendapatan dan pengeluaran sehari-hari dengan rutin harian 9 Mengupayakan pembagian tugas dan kerjasama yang baik antara anggota keluarga dalam pengelolaan keuangan 10 Mendahulukan kebutuhan yang paling utama dahulu terutama untuk pangan dan pendidikan anak-anak 11 Menghindari perencanaan yang tidak sesuai karena ketidakcukupan dana 12 Memiliki perencanaan warisan Keterangan: 1=Jarang; 2=Kadang-kadang; 3=Sering
1
2
3
25,0
30,0
45,0
Rata-rata skor 2,2
26,7
28,3
45,0
2,2
31,7
31,7
36,6
2,0
26,7
35,0
38,3
2,1
66,7 56,7
11,7 13,3
21,6 30,0
1,5 1,7
26,7 61,7
31,7 11,7
41,6 26,7
2,1 1,6
10,0
20,0
70,0
2,6
3,3
13,3
83,4
2,8
23,3
31,7
45,0
2,2
81,7
13,3
5,0
1,2
Tabel 27 menunjukkan bahwa lebih dari separuh (61,7) contoh dengan rata-rata sebesar 52,0 berada pada kategori sedang dalam membuat perencanaan manajemen keuangan keluarga. Artinya, rata-rata keluarga contoh memiliki perencanaan keuangan yang cukup baik untuk mencapai tujuannya. Terbukti bahwa contoh kadang-kadang hingga sering melakukan perencanaan keuangan setiap periodenya, menghitung perkiraan biaya hidup sehari-hari, menetapkan standar biaya tertinggi dalam alokasi pengeluaran, memiliki tujuan keuangan, belajar mengelola keuangan yang baik, mengupayakan pembagian tugas,
59
mendahulukan kebutuhan yang utama, dan menghindari perencanaan yang tidak sesuai. Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan perencanaan manajemen keuangan keluarga Perencanaan Rendah (< 33,3) Sedang (33,4-66,7) Tinggi (>66,7) Rata-rata Minimum Maksimum Standar deviasi
Jumlah (n=60) 13 37 10
Skor 21,7 61,7 16,6 52,0 8,3 100,0 20,0
Pelaksanaan Pelaksanaan merupakan tindakan nyata yang dilakukan berdasarkan rencana yang telah dibuat sebelumnya (Deacon dan Firebaugh 1988). Pelaksanaan dalam penelitian ini terdiri dari 19 item pertanyaan, kemudian dikategorikan ke dalam tiga kelompok yaitu rendah (<33,3), sedang (33,4-66,7), dan tinggi (>66,7). Berdasarkan Tabel 28, separuh (50,0%) contoh sering mengajarkan pengelolaan keuangan kepada anak. Lebih dari separuh responden sering membeli kebutuhan yang dibutuhkan saja (76,7%), menyelesaikan masalah keuangan dengan keluarga (63,3%), melakukan penghematan keuangan (56,7%), melakukan kerjasama yang erat dan harmonis antara suami dan istri tanpa memperhatikan siapa yang memperoleh penghasilan lebih (80,0%), membayar barang sewaan/gadaian dan biaya hidup lainnya tepat waktu setiap bulannya (65,0%), dan membelanjakan uang untuk keperluan keluarga sehari-hari (88,4%). Hampir separuh contoh sering merujuk pada rencana sebelum membeli sesuatu (46,6%), memasukkan uang ke dalam amplop/tempat yang sudah dikategorikan (45,0%), berhati-hati dalam mengambil kredit/hutang (46,6%), dan mengatur keuangan dengan ketat setiap bulannya untuk menabung (35,0%). Separuh contoh (50,0%) kadang-kadang berhutang uang/barang pada orang lain/toko/warung. Kurang dari separuh (41,7% dan 58,3%) contoh kadang-kadang dalam berusaha menabung walau sedikit dan memiliki sedikit bahkan tidak sama sekali kesulitan dalam mengelola keuangan. Lebih dari separuh contoh tidak pernah menabung untuk masa depan anak (53,4%), membeli sesuatu yang sebenarnya tidak perlu (63,3%), menyimpan tabungan sendiri untuk hari tua (86,6%), dan menyimpan aset untuk masa depan (63,3%). Kurang dari separuh contoh tidak pernah menabungkan
60
segera uang sisa atau pendapatan tidak terduga/bonus (46,7%) dan mengatur keuangan dengan ketat setiap bulannya untuk menabung (40,0%). Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan persentase pelaksanaan manajemen keuangan keluarga No 1
Pertanyaan
Mengajarkan pengelolaan keuangan kepada anak 2 Membeli kebutuhan yang dibutuhkan saja 3 Merujuk pada rencana sebelum membeli sesuatu 4 Berhutang uang/barang pada orang lain/toko/warung 5 Berusaha menabung walau sedikit 6 Memasukkan uang ke dalam amplop/tempat yang sudah dikategorikan 7 Menyelesaikan masalah keuangan dengan keluarga (suami atau anak) 8 Menabung untuk masa depan anak (misalkan khusus untuk pendidikan anak) 9 Membeli sesuatu yang sebenarnya tidak perlu 10 Menyimpan tabungan sendiri untuk hari tua 11 Menyimpan asset untuk masa depan 12 Melakukan penghematan keuangan 13 Berhati-hati dalam mengambil kredit/hutang 14 Menabungkan segera uang sisa atau pendapatan tidak terduga/bonus 15 Melakukan kerjasama yang erat dan harmonis antara ayah dan ibu tanpa memperhatikan siapa yang memperoleh penghasilan lebih 16 Membayar barang sewaan/gadaian dan biaya hidup lainnya tepat waktu setiap bulannya (misal telepon) 17 Memiliki sedikit bahkan tidak sama sekali kesulitan dalam mengelola keuangan 18 Mengatur keuangan dengan ketat setiap bulannya untuk menabung 19 Membelanjakan uang untuk keperluan keluarga sehari-hari Keterangan: 1=Jarang; 2=Kadang-kadang; 3=Sering
Persentase (%) 1 2 3 30,0 20,0 50,0
Ratarata skor 2,2
5,0 31,7
18,3 21,7
76,7 46,6
2,7 2,1
20,0
50,0
30,0
1,8
25,0 45,0
41,7 10,0
33,3 45,0
2,1 2,0
15,0
21,7
63,3
2,5
53,4
23,3
23,3
1,7
63,3 86,6 63,3 10,0 16,7 46,7
30,0 6,7 13,3 28,3 36,7 33,3
6,7 6,67 23,3 56,7 46,6 20,0
1,4 1,2 1,6 2,4 2,3 1,7
5,0
15,0
80,0
2,7
11,7
23,3
65,0
2,5
15,0
58,3
26,7
2,1
40,0
25,0
35,0
1,9
3,3
8,3
88,4
2,8
Tabel 29 menunjukkan bahwa lebih dari separuh (60,0) contoh memiliki pelaksanaan manajemen keuangan keluarga pada kategori tinggi dengan rata-rata sebesar 70,1. Artinya, manajemen keuangan keluarga contoh tergolong baik. Terbukti bahwa contoh kadang-kadang bahkan sering mengajarkan manajemen keuangan kepada anak, membeli kebutuhan yang dibutuhkan saja, merujuk pada rencana sebelum membeli, berusaha menabung walau sedikit, memasukkan uang
61
ke tempat yang dikategorikan, menyelesaikan masalah keuangan dengan keluarga, melakukan penghematan keuangan, berhati-hati dalam mengambil kredit/hutang, melakukan kerjasama yang harmonis, membayar barang sewaan tepat waktu, memiliki bahkan tidak sama sekali kesulitan dalam mengelola keuangan, dan membelanjakan uang untuk kebutuhan sehari-hari. Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan pelaksanaan manajemen keuangan keluarga Pelaksanaan Rendah (< 33,3) Sedang (33,4-66,7) Tinggi (>66,7) Rata-rata Minimum Maksimum Standar deviasi
Jumlah (n=60) 0 24 36
Skor 0,0 40,0 60,0 70,1 47,4 91,2 9,2
Monitoring dan Evaluasi Gross dan Crandall (1963), evaluasi dalam menggunakan uang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan perencanaan dan pelaksanaan. Dalam tahap ini tidak hanya memutuskan keberhasilan perencanaan atau mengontrol pelaksanaan, melainkan juga mengukur kepuasan yang dirasakan untuk mencapai tujuan. Lebih dari separuh contoh termasuk kategori sering dalam membandingkan antara penerimaan dan pengeluaran (71,7%), mengecek arus cash flow/aliran kas setiap periode (53,4%), dan mengevaluasi pengelolaan keuangan (65,0%). Separuh contoh (50,0%) sering mengalami kekurangan setiap akhir bulan. Lebih dari separuh (53,4%) contoh tidak pernah membuat catatan atau mengingat kembali keuangan setiap periode (Tabel 30). Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan persentase monitoring dan evaluasi manajemen keuangan keluarga No 1
Pertanyaan
Membandingkan antara penerimaan dan pengeluaran 2 Mengalami kekurangan setiap akhir bulan 3 Mengecek arus cash flow/aliran kas setiap periode 4 Membuat catatan atau mengingat kembali keuangan setiap periode 5 Mengevaluasi pengelolaan keuangan Keterangan: 1=Jarang; 2=Kadang-kadang; 3=Sering
Persentase (%) 1 2 3 10,0 18,3 71,7
Ratarata skor 2,6
10,0 18,3
40,0 28,3
50,0 53,3
2,4 2,3
53,4
11,6
35,0
1,8
11,6
23,3
65,0
2,5
62
Tabel 31 menunjukkan bahwa tiga perempat contoh (75,0) berada pada kategori tinggi dalam melakukan monitoring dan evaluasi manajemen keuangan keluar dengan rata-rata skor sebesar 78,1. Hal ini berarti contoh memiliki kemampuan yang baik dalam melakukan monitoring dan evaluasi keuangan keluarga sehingga kepuasan yang didapat responden lebih baik dari sebelumnya. Terbukti bahwa contoh sering membandingkan antara penerimaan dan pengeluaran serta mengevaluasi pengelolaan keuangan. Kadang-kadang contoh mengalami kekurangan setiap akhir bulan, mengecek arus cashflow/aliran kas, dan membuat catatan atau mengingat kembali keuangan setiap periode. Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan monitoring dan evaluasi manajemen keuangan keluarga Monitoring dan evaluasi Rendah (< 33,3) Sedang (33,4-66,7) Tinggi (>66,7) Rata-rata Minimum Maksimum Standar deviasi
Jumlah (n=60) 1 14 45
Skor 1,7 23,3 75,0
78,1 33,3 100,0 16,5
Secara garis besar, penerapan manajemen keuangan keluarga pada Tabel 32 menunjukkan bahwa lebih dari separuh (55,0) contoh termasuk dalam kategori tinggi dengan rata-rata skor sebesar 66,8. Artinya, contoh memiliki kemampuan pengelolaan keuangan keluarga sudah baik. Contoh sering membuat perencanaan keuangan merujuk pada rencana yang telah dibuat sebelumnya. Kemudian melakukan monitoring agar pelaksanaan tetap berada pada rencana yang telah disusun dan dilakuan evaluasi untuk mengukur keberhasilan manajemen keuangan yang dilakukan keluarga. Selain itu, pendapatan keluarga contoh per bulan lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran keluarga per bulan serta hampir tiga perempat keluarga contoh memiliki kondisi keuangan yang surplus. Hal ini menandakan bahwa keluarga memiliki kemampuan mengelola keuangan keluarga dengan baik. Deacon dan Firebaugh (1988) menjelaskan bahwa semakin rendah pengeluaran keluarga maka semakin sejahtera keluarga tersebut. Oleh karenanya, keluarga dapat dikatakan tergolong sejahtera dalam penelitian ini.
63
Tabel 32 Sebaran contoh berdasarkan penerapan manajemen keuangan keluarga Manajemen keuangan keluarga Rendah (< 33,3) Sedang (33,4-66,7) Tinggi (>66,7) Rata-rata Minimum Maksimum Standar deviasi
Jumlah (n=60) 1 26 33
Skor 1,7 43,3 55,0 66,8 31,4 92,0 12,9
Kerjasama Gender dalam Manajemen Keuangan Keluarga Perencanaan Peranan suami dan istri dalam melakukan perencanaan keuangan keluarga sangat penting. Dalam perencanaan keuangan dibutuhkan informasi mengenai alternatif-alternatif terbaik yang diputuskan secara bersama oleh suami istri dan anggota keluarga. Perencanaan tersebut dibuat berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dengan memanfaatkan sumberdaya keluarga yang terbatas untuk mendapat hasil yang maksimal. Tabel 33 menunjukkan bahwa hampir separuh contoh dalam menghitung perkiraan biaya hidup sehari-hari (41,7%), menetapkan standar biaya tertinggi dalam pengalokasian pengeluaran (46,7%), memiliki anggaran
tertulis
setiap
bulannya
(48,3%),
memiliki
anggaran
setiap
minggu/bulan (45,0%), dan belajar mengelola keuangan dengan baik (43,4%) dilakukan oleh contoh saja. Lebih dari separuh contoh, hanya contoh saja yang mencatat semua pendapatan dan pengeluaran sehari-hari dengan rutin harian (53,3%). Kurang dari separuh contoh dalam membuat perencanaan keuangan dengan disiplin setiap bulan (48,3%) dan menghindari perencanaan yang tidak sesuai karena ketidakcukupan dana (40,0%) dilakukan oleh suami dan contoh. Separuh contoh suami dan contoh memiliki tujuan keuangan (50,0%). Lebih dari separuh contoh mengupayakan pembagian tugas dan kerjasama yang baik antara anggota keluarga dalam pengelolaan keuangan (65,0%), mendahulukan kebutuhan yang paling utama dahulu terutama untuk pangan dan pendidikan anak-anak (55,0%), dan memiliki perencanaan warisan (56,7%) dilakukan kerjasama suami dan contoh secara bersama-sama.
64
Tabel 33 Sebaran contoh berdasarkan persentase perencanaan peran gender manajemen keuangan keluarga No
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
Pertanyaan Membuat perencanaan keuangan dengan disiplin setiap bulan Menghitung perkiraan biaya hidup sehari-hari Menetapkan standar biaya tertinggi dalam pengalokasian pengeluaran Memiliki tujuan keuangan Memiliki anggaran tertulis setiap bulannya Memiliki anggaran setiap minggu/bulan Belajar mengelola keuangan dengan baik Mencatat semua pendapatan dan pengeluaran sehari-hari dengan rutin harian Mengupayakan pembagian tugas dan kerjasama yang baik antara anggota keluarga dalam pengelolaan keuangan Mendahulukan kebutuhan yang paling utama dahulu terutama untuk pangan dan pendidikan anak-anak Menghindari perencanaan yang tidak sesuai karena ketidakcukupan dana Memiliki perencanaan warisan
1 0,0
Persentase (%) 2 3 4 5,0 48,3 20,0
5 26,7
Rata-rata skor* 2,2
0,0
5,0
38,3
15,0
41,7
1,9
1,7
3,3
35,0
13,3
46,7
1,9
0,0 1,7
5,0 1,7
50,0 33,3
10,0 15,0
35,0 48,3
2,1 1,8
1,7
1,7
35,0
16,6
45,0
1,9
3,3
1,7
38,3
13,3
43,4
1,9
1,7
1,7
30,0
13,3
53,3
1,8
1,7
5,0
65,0
10,0
18,3
2,4
1,7
3,3
55,0
18,3
21,7
2,3
0,0
3,3
40,0
20,0
36,7
2,0
1,7 6,7 56,7 13,4 21,7 2,3 12 Keterangan: 1=Istri saja; 2=Istri dominan; 3=Suami dan istri; 4=Suami dominan; 5=Suami saja *Recode: 1=1; 2=2; 3=3; 4=2; 5=1
Tabel 34 menunjukkan bahwa hampir separuh (40,0) contoh terkait kemitraan gender yang dilakukan dalam tahap perencanaan keuangan keluarga termasuk kategori sedang dengan rata-rata skor sebesar 53,5. Artinya, rata-rata kerjasama gender yang dilakukan contoh hanya didominasi oleh salah satu pihak saja antara lain dalam hal melakukan perencanaan keuangan setiap bulan, menghitung perkiraan biaya hidup sehari-hari, menetapkan standar tertinggi dalam pengalokasian pengeluaran, memiliki tujuan keuangan, membuat anggaran tertulis, memiliki anggaran, belajar mengelola keuangan yang baik dan mencatat semua cash flow, mengupayakan pembagian tugas dan kerjasama yang baik, mendahulukan kebutuhan yang paling utama, menghindari perencanaan yang
65
tidak sesuai, dan memiliki perencanaan warisan. Adapun pihak yang paling mendominasi adalah contoh. Tabel 34 Sebaran contoh berdasarkan kategori kerjasama gender dalam perencanaan manajemen keuangan keluarga Perencanaan Rendah (< 33,3) Sedang (33,4-66,7) Tinggi (>66,7) Rata-rata Minimum Maksimum Standar deviasi
Jumlah (n=60) 18 24 18
Skor 30,0 40,0 30,0
53,5 0,0 100,0 32,1
Pelaksanaan Tabel 35 menunjukkan bahwa hampir separuh contoh membeli kebutuhan yang dibutuhkan saja (46,7%), merujuk pada rencana sebelum membeli sesuatu (46,7%), dan berhutang uang/barang pada orang (38,3%) dilakukan oleh contoh saja. Sedangkan lebih dari separuh contoh mengaku contoh paling berperan dalam membelanjakan uang untuk keperluan keluarga sehari-hari (55,0%). Hampir separuh contoh mengajarkan pengelolaan keuangan kepada anak (43,3%), berusaha menabung walau sedikit (43,3%), memasukkan uang ke dalam amplop/tempat yang sudah dikategorikan (41,7%), membeli sesuatu yang sebenarnya tidak perlu (46,7%), melakukan penghematan keuangan (45,0%), menabungkan segera uang sisa atau pendapatan tidak terduga/bonus (41,7%), membayar barang sewaan/gadaian dan biaya hidup lainnya tepat waktu setiap bulannya (45,0%), mengatur keuangan dengan ketat setiap bulannya untuk menabung (45,0%). Lebih dari separuh contoh dalam menyelesaikan masalah keuangan dengan keluarga (65,0%), menyimpan aset untuk masa depan (56,7%), berhatihati dalam mengambil kredit/hutang (53,3%), melakukan kerjasama yang erat dan harmonis antara suami dan contoh tanpa memperhatikan siapa yang memperoleh penghasilan lebih (68,3%), dan memiliki sedikit bahkan tidak sama sekali kesulitan dalam mengelola keuangan (60,0%) yang paling berperan yaitu keduanya. Sedangkan separuh (50,0%) contoh dalam menabung untuk masa depan anak dilakukan oleh suami dan contoh.
66
Tabel 35 Sebaran contoh berdasarkan peran gender dalam pelaksanaan manajemen keuangan keluarga Persentase (%) No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
16 17 18 19
Pertanyaan Mengajarkan pengelolaan keuangan kepada anak Membeli kebutuhan yang dibutuhkan saja Merujuk pada rencana sebelum membeli sesuatu Berhutang uang/barang pada orang lain/toko/warung Berusaha menabung walau sedikit Memasukkan uang ke dalam amplop/tempat yang sudah dikategorikan Menyelesaikan masalah keuangan dengan keluarga (suami atau anak) Menabung untuk masa depan anak (misalkan khusus untuk pendidikan anak) Membeli sesuatu yang sebenarnya tidak perlu Menyimpan tabungan sendiri untuk hari tua Menyimpan asset untuk masa depan Melakukan penghematan keuangan Berhati-hati dalam mengambil kredit/hutang Menabungkan segera uang sisa atau pendapatan tidak terduga/bonus Melakukan kerjasama yang erat dan harmonis antara ayah dan ibu tanpa memperhatikan siapa yang memperoleh penghasilan lebih Membayar barang sewaan/gadaian dan biaya hidup lainnya tepat waktu setiap bulannya (misal telepon) Memiliki sedikit bahkan tidak sama sekali kesulitan dalam mengelola keuangan Mengatur keuangan dengan ketat setiap bulannya untuk menabung Membelanjakan uang untuk keperluan keluarga sehari-hari
Ratarata skor*
1
2
3
4
5
1,7
6,7
43,3
15,0
33,3
2,1
0,0
3,3
35,0
15,0
46,7
1,9
0,0
5,0
30,0
18,3
46,7
1,8
5,0
1,7
36,7
18,3
38,3
1,9
1,7
5,0
43,3
13,3
36,7
2,0
1,7
3,3
41,7
15,0
38,3
2,0
0,0
3,3
65,0
18,4
13,3
2,5
3,3
1,7
50,0
18,3
26,7
2,2
1,7
0,0
46,7
11,6
40,0
2,1
1,7
1,7
50,0
16,6
30,0
2,2
1,7 3,3
3,3 3,3
56,7 45,0
15,0 15,0
23,3 33,4
2,3 2,1
0,0
3,3
53,3
15,0
28,4
2,2
1,7
6,7
41,7
16,3
33,3
2,1
0,0
3,3
68,3
16,7
11,7
2,6
8,3
3,3
45,0
13,4
30,0
2,1
3,3
3,3
60,0
11,7
21,7
2,3
5,0
1,7
45,0
15,0
33,3
2,1
1,7
3,3
25,0
15,0
55,0
1,8
Keterangan: 1=Istri saja; 2=Istri dominan; 3=Suami dan istri; 4=Suami dominan; 5=Suami saja (*Recode: 1=1; 2=2; 3=3; 4=2; 5=1) Tabel 36 menunjukkan bahwa kerjasama gender dalam pelaksanaan manajemen keuangan hampir separuhnya (41,7) termasuk dalam kategori sedang
67
dengan rata-rata skor sebesar 55,8. Artinya, rata-rata kerjasama yang dilakukan dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan ini lebih didominasi oleh salah satu pihak. Terbukti bahwa kegiatan seperti mengajarkan pengelolaan keuangan, membeli kebutuhan yang dibutuhkan saja, merujuk pada rencana, berhutang uang atau barang, berusaha menabung walau sedikit, memasukkan uang ke dalam tempat yang sudah dikategorikan, menabung untuk masa depan anak, membeli sesuatu yang tidak perlu, menyimpan tabungan hari tua, menyimpan aset masa depan, melakukan penghematan, berhati-hati dalam kredit, menabungkan uang sisa, membayar hutang, memiliki kesulitan keuangan, dan membelanjakan uang untuk keperluan sehari-hari didominasi oleh salah satu pihak. Sedangkan kegiatan yang dilakukan secara bersama antara suami dan contoh seperti menyelesaikan masalah keuangan keluarga dan melakukan kerjasama yang harmonis tanpa memperhatikan penghasilan yang lebih tinggi. Dalam hal ini, peran lebih didominasi oleh contoh. Tabel 36 Sebaran contoh berdasarkan kategori kerjasama gender dalam pelaksanaan manajemen keuangan keluarga Pelaksanaan Rendah (< 33,3) Sedang (33,4-66,7) Tinggi (>66,7) Rata-rata Minimum Maksimum Standar deviasi
Jumlah (n=60) 11 25 24
Skor 18,3 41,7 40,0
55,8 0,0 100,0 28,9
Monitoring dan evaluasi Berdasarkan Tabel 37 menunjukkan bahwa separuh (50,0%) contoh membandingkan antara penerimaan dan pengeluaran, mengecek arus cash flow/ aliran kas setiap periode, dan mengevaluasi pengelolaan keuangan yang paling berperan adalah contoh saja. Sedangkan hampir separuh (48,3%) contoh yang membuat catatan atau mengingat kembali keuangan setiap periode. Lebih dari separuh (51,7%) contoh dalam mengalami kekurangan setiap akhir bulan dirasakan oleh keduanya. Contoh memiliki peranan yang lebih banyak dibandingkan suami.
68
Tabel 37 Sebaran contoh berdasarkan kategori peran gender dalam monitoring dan evaluasi manajemen keuangan keluarga Rata-rata Persentase (%) No Pertanyaan skor* 1 2 3 4 5 Membandingkan antara 0,0 3,3 33,4 13,3 50,0 1,8 1 2 3 4 5
penerimaan dan pengeluaran Mengalami kekurangan setiap akhir bulan Mengecek arus cash flow/ aliran kas setiap periode Membuat catatan atau mengingat kembali keuangan setiap periode Mengevaluasi pengelolaan keuangan
3,3
1,7
51,7
13,3
30,0
2,2
1,7
3,3
31,7
13,3
50,0
1,8
1,7
3,3
26,7
20,0
48,3
1,7
1,7
1,7
31,6
15,0
50,0
1,8
Keterangan: 1=Istri saja; 2=Istri dominan; 3=Suami dan istri; 4=Suami dominan; 5=Suami saja *Recode: 1=1; 2=2; 3=3; 4=2; 5=1 Berdasarkan Tabel 38 bahwa hampir separuh (41,7) contoh berada pada kategori rendah dalam melakukan monitoring dan evaluasi pengelolaan keuangan dengan rata-rata skor sebesar 43,8 yang masih tergolong sedang. Hal ini berarti, rata-rata kerjasama gender hanya dilakukan oleh salah satu pihak saja. Pihak yang paling berperan adalah contoh yang melakukan monitoring dan evaluasi. Terbukti bahwa contoh saja yang aktif melakukan monitoring dan evaluasi antara lain dalam hal membandingkan antara penerimaan dan pengeluaran, mengecek arus cash flow, membuat catatan atau mengingat kembali keuangan, dan mengevaluasi pengelolaan keuangan. Tabel 38 Sebaran contoh berdasarkan kategori kerjasama gender dalam monitoring dan evaluasi manajemen keuangan keluarga Monitoring dan evaluasi Rendah (< 33,3) Sedang (33,4-66,7) Tinggi (>66,7) Rata-rata Minimum Maksimum Standar deviasi
Jumlah (n=60) 25 19 16
Skor 41,7 31,7 26,6 43,8 0,0 100,0 35,8
Secara keseluruhan, Tabel 39 menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga (38,3) contoh dengan rata-rata skor sebesar 51,1 menandakan kemitraan gender dalam manajemen keuangan keluarga tergolong kategori sedang. Artinya, terjadi kerjasama gender yang cukup kuat antara suami dan contoh mulai dari
69
perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi namun masih didominasi oleh salah satu pihak. Dalam hal ini, contoh memiliki peran yang kuat untuk mengelola keuangan keluarga. Sejalan dengan Geertz dalam Sajogyo (1983) menggambarkan bahwa pada keluarga Jawa (the nuclear family household) ditemukan adanya peranan istri yang lebih besar. Istrilah yang mengelola keuangan keluarga walaupun secara resmi (formal) suami yang memutuskan setelah berunding dengan istri. Hal ini juga didukung oleh Puspitawati (2010) yang menjelaskan bahwa pada perempuan yang bekerja dan berpendidikan memiliki posisi yang kuat dalam melakukan pengelolaan keuangan keluarga (perencanaan, penggunaan, dan pengendalian keuangan). Secara garis besar, sejalan dengan Lewis, Burns dan Segner (1969) beberapa keluarga tradisonal menganggap peran seorang laki-laki sebagai pencari nafkah utama memberikan kontrol yang kuat terhadap keluarga. Namun pada keluarga saat ini terjadi perubahan peran, suami dan istri membangun kerjasama mengefisienkan pengelolaan keuangan. Tabel 39 Sebaran contoh berdasarkan keseluruhan kerjasama gender dalam manajemen keuangan keluarga. Kerjasama gender dalam manajemen keuangan keluarga Rendah (< 33,3) Sedang (33,4-66,7) Tinggi (>66,7) Rata-rata Minimum Maksimum Standar deviasi
Jumlah (n=60)
Skor
17 23 20
28,3 38,3 33,4 51,1 0,0 100,0 29,5
Kesejahteraan Keluarga Subjektif Kesejahteraan berdasarkan pendekatan quality of life yaitu kesejahteraan yang diukur berdasarkan kepuasan atau kesenangan seseorang secara subjektif terhadap semua materi dan perilaku yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Kesejahteraan keluarga subjektif yang diteliti dalam penelitian ini yaitu keadaan keluarga yang dirasakan responden dan keuangan (financial well being). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh contoh mengaku cukup puas antara lain dalam hal keadaan keuangan (80,0%), makanan (93,3%), tempat tinggal (80%), dan pakaian keluarga (93,3%). Selain itu juga, kesehatan fisik istri
70
dan suami (81,7% dan 85%), survival strategi yang dilakukan keluarga (81,7%), manajemen pekerjaan (83,4%), kesehatan mental suami (88,3%), keadaan belanja untuk makan tanpa mengganggu anggaran belanja (83,3%), dan perasaan memiliki kontribusi keuangan yang lebih baik (80,0%). Lebih dari tiga perempat contoh mengaku cukup puas dengan keadaan kebersihan rumah (76,7%), kebutuhan seksual dengan suami (80,0%), dan kemampuan keluarga dalam menyelesaikan masalah keuangan dengan lebih baik (80,0%). Tiga perempat contoh mengaku cukup puas dengan keadaan spiritual atau mental responden (75,0%), keadaan manajemen waktu yang dilakukan contoh (75,0%), keadaan manajemen keuangan contoh (75,0%), dan keadaan penghasilan suami untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari (75,0%). Hampir tiga perempat contoh mengaku cukup puas dengan keadaan materi atau aset yang dimiliki keluarga (73,3%), keterlibatan contoh dalam aktivitas ekonomi keuangan keluarga (73,3%), keadaan dalam menangani masalah untuk membayar tagihan tepat waktu (71,7%) dan keadaan kepala keluarga yang mudah mendapatkan pekerjaan (70%). Lebih dari separuh contoh mengaku cukup puas dengan keadaan optimisme menyongsong masa depan (55,0%), keterlibatan suami dalam aktivitas ekonomi keluarga (60,0%), perilaku suami dalam membantu pekerjaan rumah tangga (68,3%), komunikasi dengan suami (61,7%), pembagian peran antara suami dan istri (66,6%), keadaan uang cash untuk pengeluaran yang tidak terduga, perasaan memiliki keuangan lebih baik lima tahun mendatang (58,3%), keadaan menjalani masa tua dengan keuangan yang lebih baik (66,7%), memenuhi kebutuhan untuk sesuatu yang spesial (65,0%), dan komunikasi antara contoh dengan orangtua/mertua (68,3%). Separuh responden mengaku cukup puas dengan keadaan anggota keluarga yang membantu pendapatan keluarga (50,0%). Sedangkan tiga perempat contoh tidak puas dengan keterlibatan dalam perkumpulan desa (75,0%), setengah contoh tidak puas dengan keadaan tabungan untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat ditunda (50,0%) dan lebih dari setengah contoh tidak puas dengan keadaan tabungan keluarga (53,3%). Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 3.
71
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari tiga perempat contoh memiliki tingkat kesejahteraan kategori sedang (86,6%) dengan rata-rata sebesar 41,4 persen. Artinya, keluarga contoh sudah merasa cukup puas terhadap semua kesejahteraan keluarga subjektif yang dimiliki. Terbukti bahwa rata-rata kondisi kesejahteraan keluarga subjektif contoh tergolong cukup puas. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 40. Tabel 40 Sebaran contoh berdasarkan kesejahteraan keluarga subjektif Kesejahteraan keluarga subjektif Rendah (0-33,3%) Sedang (33,4-66,6%) Tinggi (66,7-100%) Rata-rata (%) Minimum (%) Maksimum (%) Standar deviasi (%)
Jumlah (n=60) 7 52 1
Persentase (%) 11,7 86,6 1,7 41,4 0,0 100,0 17,8
Hubungan Antar Variabel Hubungan karakteristik keluarga dengan manajemen keuangan keluarga Hasil uji Korelasi Pearson pada Tabel 41, diketahui bahwa tedapat hubungan yang negatif dan nyata usia contoh dan suami dengan manajemen keuangan keluarga. Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi usia contoh dan suami maka manajemen keuangan keluarga semakin rendah. Sejalan dengan penelitian Nurulfirdausi (2010), umur suami dan istri berhubungan nyata dan positif terhadap manajemen keuangan keluarga. Hal ini diduga, semakin tua usia contoh dan suami maka semakin lemah kemampuan fisik yang dimiliki sehingga tidak optimal dalam melakukan manajemen keuangan keluarga. Selain itu, terdapat hubungan yang negatif dan nyata antara besar keluarga dengan manajemen keuangan keluarga. Artinya, semakin besar jumlah anggota keluarga maka semakin rendah kemampuan keluarga dalam mengelola keuangan. Hal ini sesuai dengan Lee dan Hanna (1990) dalam Iskandar (2007) yang mengungkapkan bahwa terdapat hubungan negatif dan nyata antara jumlah anggota keluarga dengan kekayaan. Jumlah rumah tangga yang besar akan mengakibatkan menurunnya kekayaan. Penurunan kekayaan ini di duga akan melemahkan pengelolaan keuangan keluarga.
72
Selanjutnya, terdapat hubungan yang positif dan nyata antara pendidikan contoh dengan manajemen keuangan keluarga. Artinya, semakin tinggi pendidikan yang ditempuh contoh maka semakin baik pula manajemen keuangan keluarga. Sejalan dengan Deacon dan Firebaugh (1988) bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan baik formal maupun nonformal, semakin baik kemampuan dalam mengelola keuangan keluarga. Pendidikan yang ditempuh oleh seseorang menyediakan kesempatan dan pilihan yang lebih banyak sehingga mampu berkontribusi secara ekonomi untuk keluarga. Selain itu, penelitian Firdaus dan Sunarti (2009) bahwa terdapat hubungan yang positif dan nyata antara pendidikan istri dengan manajemen keuangan keluarga. Semakin tinggi pendidikan istri, memungkinkan istri memiliki kemampuan pengelolaan yang lebih baik. Pendapatan total, pengeluaran total, dan kontribusi ekonomi contoh tidak memiliki hubungan yang nyata dengan manajemen keuangan keluarga. Akan tetapi memiliki arah yang positif. Artinya, semakin tinggi tingkat pendapatan, alokasi pengeluaran, dan kontribusi ekonomi yang diberikan contoh cenderung membuat pengelolaan keuangan keluarga yang semakin baik. Sejalan dengan Ogbimi, Soyebo, dan Alabi (2006) yang menjelaskan bahwa pendapatan merupakan sumberdaya utama keluarga yang akan digunakan untuk membeli berbagai kebutuhan keluarga. Semakin keluarga dapat mengelola pendapatan yang dimiliki maka akan semakin baik pula pengelola keuangan keluarga yang nantinya akan mendapatkan hasil atau output yang terbaik. Tabel 41 Sebaran koefisien Korelasi Pearson karakteristik keluarga dengan manajemen keuangan keluarga Variabel Usia contoh Lama pendidikan contoh Usia suami contoh Besar keluarga Pendapatan total Pengeluaran total Kontribusi ekonomi contoh
Manajemen keuangan -0,343** 0,264* -0,350** -0,270* 0,106 0,123 0,179
Keterangan: **berkorelasi signifikan pada 0,01 level (2-tailed) *berkorelasi signifikan pada 0.05 level (2-tailed)
73
Hubungan Karakteristik Keluarga, Kesejahteraan Subjektif, dan Kerjasama Gender dalam Manajemen Keuangan Keluarga Hasil uji Korelasi Pearson pada Tabel 42 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif dan nyata antara usia contoh dan suami contoh dengan kesejahteraan keluarga subjektif. Hal ini berarti, semakin tinggi usia contoh dan suami maka semakin rendah tingkat kesejahteraan keluarga subjektif. Dalam penelitian ini, rata-rata usia contoh dan suami berada pada kategori dewasa muda dan merupakan usia produktif. Oleh karenanya, semakin tua usia suami dan contoh maka semakin menurun produktifitas kerja keduanya. Mengingat sebagian besar pekerjaan suami dan contoh adalah buruh maka ketika usia sudah tidak lagi produktif, perusahaan tidak akan mempekerjakannya kembali. Akhirnya, pendapatan yang diterima pun berkurang dan tidak ada upah pensiun sehingga kesejahteraan keluarga subjektif pun menurun. Iskandar (2007) mengungkapkan bahwa kekayaan akan menurun di usia tua karena pendapatan yang diterima lebih rendah dari sebelumnya sehingga konsumen akan menarik aset untuk melengkapi penurunan pendapatan. Oleh karena itu akan mempengaruhi tingkat kejayaan sejalan dengan menurunnya tingkat kesejahteraan keluarga. Sedangkan terdapat hubungan yang positif dan nyata antara pengeluaran total dengan kesejahteraan subjektif keluarga atau semakin besar pengeluaran keluarga semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan subjektif keluarga. Hal ini tidak sejalan dengan Deacon dan Firebaugh (1988) yang menjelaskan bahwa semakin rendah pengeluaran keluarga maka semakin sejahtera keluarga. Hal ini dikarenakan
pengeluaran
keluarga
yang
semakin
banyak
maka
akan
menghabiskan pendapatan yang dimiliki sehingga keluarga seringkali mengalami kesulitan keuangan terutama untuk kebutuhan yang tak terduga. Akan tetapi, sejalan dengan penelitian Simanjuntak (2010) bahwa pengeluaran total yang semakin tinggi akan meningkatkan kesejahteraan keluarga subjektif. Tabel 42 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara manajemen keuangan dengan kerjasama gender dalam manajemen keuangan. Akan tetapi, manajemen keuangan cenderung negatif terhadap kerjasama gender dalam manajemen keuangan. Artinya, semakin kuat kerjasama yang dilakukan oleh suami dan contoh maka semakin lemah pengelolaan keuangan keluarga. Hal
74
ini tidak sejalan dengan Megawangi (1999) bahwa semakin keluarga memiliki pembagian peran yang jelas maka membuat keluarga mendekati seimbang. Dapat diartikan bahwa pembagian peran yang jelas antar anggota keluarga akan semakin baik pengelolaan sumberdaya yang dimiliki, terutama keuangan keluarga. Tabel 42 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara manajemen keuangan dengan kesejahteraan subjektif. Hal ini berarti penerapan manajemen keuangan keluarga yang baik tidak memiliki hubungan dengan kesejahteraan keluarga subjektif. Namun memiliki kecenderungan positif bahwa manajemen keuangan keluarga yang baik akan meningkatkan kesejahteraan keluarga subjektif. Sejalan dengan Nickell dan Dorsey (1960) bahwa pengelolaan keuangan yang baik mampu memberikan kepuasan yang lebih banyak. Dalam hal ini diperlukan suatu proses yang dimulai dari perencanaan hingga monitoring dan evaluasi. Selain itu, sejalan dengan penelitian Nurulfirdausi (2010) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara manajemen keuangan keluarga dengan kesejahteraan subjektif. Garman dan Forgue (1988) menjelaskan bahwa untuk mendapatkan kepuasan yang lebih tinggi maka individu harus mampu mengelola keuangannya, seperti merencanakan apa yang akan dibeli, berapa banyak untuk disimpan, bagaimana untuk berinvestasi, dan sebagainya. Tabel 42 Sebaran koefisien Korelasi Pearson karakteristik keluarga contoh, kesejahteraan subjektif, dan kerjasama gender dalam manajemen keuangan Variabel Usia contoh Usia suami Lama pendidikan contoh Lama pendidikan suami Pendapatan total Pengeluaran total Manajemen keuangan keluarga Kerjasama gender dalam manajemen keuanga
Kerjasama gender dalam manajemen keuangan -0,029 -0,184 -0,097 0,150 0,045 0,060 -0,061
Kesejahteraan subjektif
1
0,024
Keterangan: *berkorelasi signifikan pada 0,05 level (2-tailed)
-0,298* -0,257* 0,014 0,094 -0,061 0,261* 0,173
75
Pembahasan Umum Pendekatan struktural fungsional menganggap setiap keluarga merupakan sistem yang terdiri dari subsistem-subsistem yang saling berhubungan dan menjadi kesatuan. Pendekatan struktural fungsional ini mengakui adanya keragaman dalam kehidupan sosial yang merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan keragaman dalam fungsi sesuai dengan posisi dalam struktur sebuah sistem. Status seorang suami sebagai kepala keluarga, berperan mencari nafkah keluarga dan perempuan bekerja mengurus rumah tangga (Megawangi 1999). Seiring dengan perkembangan zaman, peran perempuan sebagai (homeworker) pengurus rumah tangga yang bekerja di sektor domestik mengalami pergeseran. Perempuan tidak hanya bekerja di sektor domestik saja tetapi juga bergerak di sektor publik baik sebagai pencari nafkah utama (primary breadwinner) maupun tambahan (secondary breadwinner) (Sajogyo 1981). Hal ini memfokuskan keluarga memenuhi fungsi ekonomi dalam masyarakat demi mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Dalam mencukupi kebutuhan keluarga, dibutuhkan suatu manajemen keluarga yang baik. Deacon dan Firebaugh (1988) mengungkapkan bahwa keluarga dengan sumberdaya yang relatif terbatas membutuhkan suatu manajemen sumberdaya yang baik. Adapun komponen dalam mengelola sumberdaya tersebut melalui tahap input berupa sumberdaya yang dimiliki, process, serta output atau keluaran yang dihasilkan dari process. Salah satu sumberdaya yang perlu dikelola dengan baik adalah sumberdaya keuangan keluarga. Keluarga yang memiliki kemampuan manajemen keuangan yang baik akan menghasilkan output berupa kesejahteraan yang optimal. Meskipun manajemen keuangan tidak dapat menjamin sumberdaya yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan menjadi cukup, akan tetapi manajemen keuangan dapat membantu penggunaan sumberdaya yang terbatas menjadi optimal digunakan (Guhardja et al. 1992). Pendekatan struktural fungsional juga melihat adanya diferensiasi peran yang melekat pada sistem sosial dalam masyarakat. Semakin keluarga memiliki pembagian peran yang jelas, membuat keluarga dapat menjalankan peran dan
76
fungsinya dalam masyarakat dan mendekati keseimbangan. Keseimbangan akan menciptakan sebuah sistem sosial yang tertib. Ketertiban tersebut akan tercipta jika keluarga memiliki struktur/strata sehingga anggota keluarga mengetahui posisi dan patuh pada sistem yang berlaku (Megawangi 1999). Pembagian peran yang jelas antar anggota keluarga akan mencerminkan tanggung jawab yang harus djalankan masing-masing keluarga. Dalam hal ini, melakukan pengelolaan sumberdaya yang dimiliki keluarga sesuai dengan tanggung jawabnya masingmasing. Semakin baik tanggung jawab itu dilakukan dan semakin baik kerjasama dalam anggota keluarga maka semakin muda tujuan keluarga terpenuhi, yaitu kesejahteraan keluarga. Kesejahteraan keluarga dalam pendekatan struktural fungsional dapat dilihat dari keseimbangan yang dicapai keluarga. Semakin baik keseimbangan yang dilakukan dalam keluarga maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan yang dirasakan keluarga. Kesimbangan keluarga dilihat dari kepuasan yang dirasakan keluarga terhadap sumberdaya yang dimiliki. Semakin tinggi kepuasan yang dirasakan keluarga maka semakin mencapai keseimbangan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pengelolaan sumberdaya yang ada khususnya sumberdaya keuangan keluarga.
77
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Contoh memiliki kontribusi terhadap pendapatan keluarga lebih besar dibanding suami dengan rata-rata kontribusi sebesar 53,5 persen, sehingga sebagian besar contoh berperan sebagai pencari nafkah utama (primary breadwinner). Manajemen keuangan keluarga berada pada kategori tinggi dengan rata-rata indeks sebesar 66,8. Kerjasama gender dalam manajemen keuangan berada pada kategori sedang. Manajemen keuangan keluarga sudah dilakukan bersama-sama tetapi contoh lebih dominan. Adapun tingkat kesejahteraan keluarga subjektif contoh termasuk dalam kategori sedang (cukup puas) dengan rata-rata sebesar 41,4 persen. Manajemen keuangan keluarga berhubungan negatif dan nyata dengan umur suami, umur contoh, dan besar keluarga. Semakin tua usia contoh dan suami serta semakin banyak jumlah anggota keluarga maka semakin rendah manajemen keuangan keluarga. Manajemen keuangan keluarga berhubungan positif dan nyata dengan lama pendidikan contoh. Semakin tinggi pendidikan yang ditempuh contoh maka semakin baik manajemen keuangan keluarga. Kerjasama gender tidak berhubungan nyata dengan manajemen keuangan namun memiliki kecenderungan yang negatif. Semakin kuat kerjasama gender cenderung semakin lemah manajemen keuangan keluarga. Kerjasama gender tidak berhubungan nyata dengan kesejahteraan keluarga subjektif namun memiliki kecenderungan yang positif. Semakin kuat kerjasama gender cenderung semakin puas tingkat kesejahteraan keluarga subjektif. Kesejahteraan keluarga subjektif berhubungan negatif dan nyata dengan usia contoh dan usia suami. Semakin tua usia suami dan usia contoh maka semakin rendah kesejahteraan keluarga subjektif. Kesejahteraan keluarga subjektif berhubungan positif dan nyata dengan pengeluaran total. Semakin tinggi pengeluaran total maka semakin tinggi pula kesejahteraan keluarga subjektif. Kesejahteraan keluarga subjektif tidak berhubungan nyata dengan manajemen keuangan namun memiliki kecenderungan yang positif. Semakin baik manajemen keuangan yang dilakukan cenderung meningkatkan kesejahteraan keluarga subjektif.
78
Saran 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan contoh berhubungan nyata dan positif dengan manajemen keuangan keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan contoh maka semakin baik pengelolaan keuangan yang dilakukan keluarga. Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan kesadaran dan pengetahuan akan pentingnya mengelola keuangan keluarga yang lebih baik, terutama perempuan. Manajemen keuangan keluarga ini mencakup: a. Perilaku dalam mengatur pengeluaran keluarga. Mengingat masih banyaknya keluarga yang sering mengkonsumsi atau membeli barangbarang kurang bermanfaat seperti rokok. b. Perilaku menabung, mengingat hampir tiga perempat contoh dalam penelitian ini tidak memiliki tabungan. Hal ini menyebabkan keluarga sering kali mengalami kesulitan keuangan bahkan ketika terdapat kebutuhan yang tidak terduga. 2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan positif antara kerjasama gender yang dilakukan dengan tingkat kesejahteraan keluarga subjektif. Semakin kuat kerjasama yang dilakukan oleh keluarga membuat tingkat kesejahteraan keluarga subjektif meningkat. Oleh karenanya, interaksi dan pembagian tugas yang jelas dalam keluarga sangat diperlukan (kesadaran dan wawasan gender). Peningkatan kesadaran dan wawasan gender ini dapat dilakukan melalui konseling keluarga (family counseling) yang biasa terdapat di posyandu, Kantor PKK, LSM, maupun perguruan tinggi. Diharapkan keberadaan posyandu, PKK, LSM, dan perguruan tinggi tetap ada bahkan di pedesaan sekalipun.
79
DAFTAR PUSTAKA [Anonym]. 2007. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan Keluarga Profesional-1. www.myfamilyaccounting. wordpress.com. [1 Februari 2011]. _______. 2009. http://www.litbang.depkes.go.id [1 Februari 2011]. ________. 2011. www.Pemantau Peradilan.com. pdf [27 Januari 2011]. ________. 2011. Menanggulangi Kemiskinan Desa. www.ekonomirakyat.org. [26 Maret 2011]. ________. 2010. Rata-rata Pengeluaran Perkapita. www. susenas.blogspot.com [29 Maret 2011]. ________. 2010. Pekerjaan yang Layak/Upah Kerja. www.gajimu.com [11 September 2011]. ________. 2011. Maslow Hierarchy of Needs. www.abraham maslow. com [25 Oktober 2011]. Alabi D.L, Ogbimi, G.E, dan Soyebo K.O. (2006). Factor Enhancing Effective Financial Management of Rural Women in Osun State. Research Journal of Social Sciences. Obafemy Awolowo University, Ile-Ife, Nigeria. [BPS] .Badan Pusat Statistika. 1994. Pengeluaran untuk konsumsi penduduk Indonesia 1993: Expenditure for Consumption of Indonesia 1993. Jakarta: CV Arief Brothers. ________. Badan Pusat Statistika. 2010. Jawa Barat dalam Angka (Jawa Barat in Figures) 2010. Bada Pusat Statistik Jawa Barat. ________. Badan Pusat Statistika. 2010. Statistik Daerah Kabupaten Bogor. ________. Badan Pusat Statistika. 2011. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. http//www.bps.go.id/brs_file/pdb_banner.pdf [1 Februari 2011]. Chen. 2010. Factor Related to Well-Being Among The Elderly In Urban China Focusing on Multiple Roles: BioScienceTrends. 4(2): 61-71. Cude B.J, Lawrence F.C, Lyons A.C, Metzger K, Lejeune E, Marks L, dan Machtmes K. 2006. College Student and Financial Literacy: What They Know and What We Need to Learn. Eastern Family Economics and Resource Management Association. Deacon R.E, Firebaugh F.M. 1988. Family Resource Management; Principle and Application (2nd Ed.). United State of America: Allyn and Bacon Inc. Dodson L, dan Dickert J. 2004. Girls Family Labor in Low-Income Household: A Decade of Qualitative Research. Journal of Marriage and Family; 66,2; Proquest Sociology. Firdaus. Hubungan antara Tekanan Ekonomi, Manajemen Keuangan, dan Mekanisme Koping dengan Kesejahteraan Keluarga Wanita Pemetik Teh.
80
Gardiner et. al. 1996. Perempuan Indonesia Dulu dan Kini. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Garman E.T, dan Forgue R.E. 1988. Personal Finance: Second Edition. New Jersey: Houghton Mifflin Company. Gross I.H, Crandall E.W. 1963. Management for Modern Families. New York: Meredith Publishing Company. Gross I.H, Crandall E.W, dan Knoll M.M. 1973. Management for Modern Families. New York: Meredith Publishing Company. Guhardja S, Puspitawati H, Hartoyo, Hastuti D. 1992. Manajemen Sumberdaya Keluarga. Diktat Kuliah Manajemen Sumber Daya Keluarga, Departemen Gizi Masyarakat Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Harun F. 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Strategi Perempuan Bekerja dan Kesejahteraan Keluarga (Studi Kasus Perempuan Karier di Makassar). [skripsi]. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Herawati.2000. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Remaja SMU tentang Peran Gender Tradisional [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hurlock EB. 1980. Psikologi Perkembangan. Edisi ke-5. Jakarta: Erlangga. Ihromi TO. 1990. Laporan Penelitian: Para Ibu yang Berperan Tunggal dan yang Berperan Ganda. Kelompok Studi wanita FISIP UI. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta Iskandar A. 2007. Analisis Praktek Manajemen Sumberdaya Keluarga dan Dampaknya terhadap Kesejahteraan Keluarga di Kabupaten Bogor. [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor Lewis D.S, Burns J.O, Segner E.F. 1969. Housing and Home Management. New York: The Macmillan Company McCubbin H.I dan Thompson A.I. 1987. Family Assesment Inventories for Research and Practice. United States of America: University of WisconsinMadison. Megawangi R. 1999. Membiarkan Berbeda, Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Jakarta: Penerbit Mizan. Muflikhati, I. 2010. Analisis dan Pengembangan Model Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia dan Kesejahteraan Keluarga di Wilayah Pesisir Provinsi Jawa Barat [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nickell P, Dorsey J.M. 1960. Management in Family Living 3rd Edition. New York: John Willey and Sons, Inc. Olson G.I dan Beard D.M. Assesing Managerial Behaviour. Journal of Family and Economic Issues.
81
Pichler F. 2006. Subjective Quality of Life of Young Europeans: Feelings Happy but Who Knows Why?. Springer, Social Indicators Research. Puspitawati H, Hastuti D, Trikoesoemaningtyas, Herawati T. 2008. Kajian Model Pemberdayaan Keluarga Berbasis Pertanian dalam Meningkatkan Ekonomi Kelaurga dan Tumbuh Kembang Anak di Kabupaten Bogor: Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. 2008. Puspitawati H & Herawati T. 2009. Sistem dan Dinamika Keluarga. Diktat Kuliah Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Puspitawati H. 2010. Diktat Mata Kuliah Gender dan Keluarga: Gender dan Keluarga; Konsep dan Realita. Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Rambe A. 2004. Aloksi Pengeluaran Rumah Tangga dan Tingkat Kesejahteraan (Kasus di Kecamatan Medan Kota, Sumatera Utara). [tesis] Bogor: Program Pascasarjana, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sadikin, RH. 1975. Tatalaksana Rumah Tangga. Lektor dalam Mata Kuliah Tatalaksana Rumah Tangga dan Perumahan. Jurusan Ilmu Kesejahteraan Keluarga. Fakultas Ilmu Pendidikan. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta. Sajogyo P. 1981. Peranan Wanita dalam Keluarga, Rumahtangga, dan Masyarakat yang Lebih Luas di Pedesaan Jawa. Jakarta: Universitas Indonesia. Samon E. 2005. Manajemen Keuangan, Alokasi Pengeluaran, dan Coping Mechanism Keluarga Nelayan dan Petani Tambak (Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, DKI Jakarta). [Skripsi]. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sarwono J. 2009. Statistik itu Mudah: Panduan Lengkap untuk Belajar Komputasi Statistik Menggunakan SPSS 16. Yogyakarta: C.V Andi Offset. Schmidt C. K, dan Welsh A.C. 2010. College Adjustment and Subjective Well Being when Coping with a Family Members Illness. Journal of Counseling and Development. Simanjuntak M. 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan Prestasi Belajar Anak pada Keluarga Penerima Program Keluarga Harapan (PKH). [tesis]. Institut Pertanian Bogor. Soepomo I. 2003. Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta: Djambatan. Sumarwan U. 2002. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Bogor: Ghalia Indonesia. Sunarti E. 2008. Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga. Diktat kuliah Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
82
Saleha Q. 2003. Manajemen Sumber Daya Keluarga: Suatu Analisis Gender dalam Kehidupan Keluarga Nelayan di Pesisir Bontang Kuala, Kalimantan Timur. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Zhang W, Liu G. 2007. Childlessness, psychological wellbeing and life satisfaction among the elderly in China. J Cross Cult Gerontol. 22:185-203.
83
LAMPIRAN
84
85
Lampiran 1 Uji korelasi Pearson hubungan antar variabel penelitian Hubungan antar variabel penelitian V. X1 X2
X1 X2 X3 X4 X5 1 1 ** .406 X3 -.133 -.171 1 X4 .058 .111 -.218 1 X5 .440** -.364** .058 -.386** 1 -.494** X6 .024 .104 -.193 .846** * * ** X7 .304 -.307 -.066 -.464 .579** X8 -.007 .097 -.035 .512** -.310* * X9 .256 .152 -.254 -.044 .254 .023 .043 .174 X10 .264* .079 * X11 .221 .326 -.149 .038 .165 X12 -.049 .020 .052 -.298* .014 X13 .105 -.177 .167 -.343** .264* X14 .106 -.004 -.016 -.029 -.097 X1 Hari libur kerja responden X2 Lama ibu kerja setiap harinya (jam) X3 Lama kerja (tahun) X4 Umur ibu (tahun) X5 Lama pendidikan ibu (tahun) X6 Umur suami (tahun) X7 Lama pendidikan suami X8 Besar keluarga
X6
1 -.508** .530** -.111 -.031 -.089 -.257* -.350** -.184
X7
X8
X9
X10
X11
X12
X13
X14
1 -.432** 1 .179 -.072 1 -.120 .180 .402** 1 .087 -.120 .609** .372** 1 .094 -.094 -.061 .261 -.017 1 .175 -.270* .106 .123 .179 .173 1 .150 -.072 .045 .060 .015 .204 -.061 1 X9 Pendapatan total X10 Pengeluaran total X11 Kontribusi ekonomi buruh X12 Kesejahteraan keluarga subjektif X13 Manajemen keuangan keluarga X14 Kerjasama gender dalam manajemen keuangan keluarga
86
87
Lampiran 2 Skala pengkategorian dan pengukuran variabel penelitian No 1
Variabel penelitian Umur contoh
2
Lama pendidikan contoh
3
Pengalaman kerja contoh di pabrik
4
Riwayat pekerjaan contoh sebelumnya
5
Waktu bekerja contoh
6
Posisi kerja contoh
7
Sarana/transportasi contoh menuju tempat kerja
8
Upah kerja contoh per Bulan
Pengkategorian/pengukuran Umur digolongkan menjadi tiga berdasarkan kategori menurut Hurlock (1980), yaitu: 1. Dewasa muda (18-40 tahun) 2. Dewasa madya (41-60 tahun) 3. Dewasa akhir (>60 tahun) Berdasarkan jenjangnya, lama pendidikan dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu: 1. 1-6 tahun (SD) 2. 7-9 tahun (SMP) 3. 10-12 tahun (SMA) 4. 13-16 tahun (PT) 1. <1 tahun 2. 1-2 tahun 3. 2-5 tahun 4. >5 tahun 1. Ibu rumah tangga 2. Memiliki usaha 3. Buruh 4. Tukang cuci 5. Penjaga counter 1. Bagian jam kerja: - Normal - Shift 2. Lama kerja (jam/hari): - <8 jam - 8-9 jam - 10-11 jam - 12-13 jam - ≥14 jam 3. Hari kerja: - 5 hari - 6 hari 4. Waktu libur: - Minggu - Sabtu-Minggu 1. General (umum) 2. Sewing (penjahit) 3. Finishing (penyelesaian) 4. Quality control (kontrol kualitas) 5. Supervisor (pengawas) 6. Streaming (pembuang benang) 7. Helper (penolong) 8. Packing (pengemasan) 1. Milik pribadi 2. Umum 3. Lainnya 1. < Rp 1 000 000,00 2. Rp 1 000 001 – Rp 1 999 999,00 3. Rp 2 000 001 – Rp 2 999 999,00
88 No 9
Variabel penelitian Umur suami contoh
10
Lama pendidikan suami contoh
11
Besar keluarga contoh
12
Pekerjaan suami contoh
13
Kepemilikkan aset
14
Pendapatan keluarga per bulan
15
Pendapatan perkapita keluarga per bulan
16
Pengeluaran keluarga per bulan
Pengkategorian/pengukuran Umur digolongkan menjadi tiga berdasarkan kategori menurut Hurlock (1980), yaitu: 1. Dewasa muda (18-40 tahun) 2. Dewasa madya (41-60 tahun) 3. Dewasa akhir (>60 tahun) Berdasarkan jenjangnya, lama pendidikan dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu: 1. 1-6 tahun (SD) 2. 7-9 tahun (SMP) 3. 10-12 tahun (SMA) 4. 13-16 tahun (PT) Besar keluarga digolongkan menjadi tiga berdasarkan kategori menurut BKKBN (1998), yaitu: 1. Kecil (≤ 4 orang) 2. Sedang (5-7 orang) 3. Besar (> 7 orang) 1. Buruh/ kuli 2. Pedagang 3. Wiraswasta 4. Supir 5. Karyawan/pegawai 6. Petani 7. PNS 8. Koki 9. Ojek 10. Tukang parkir 11. Tidak bekerja Kepemilkan aset dibedakan menjadi dua yaitu memiliki aset dan tidak memiliki aset. Keluarga yang memiliki aset dibedakan menjadi: 1= Suami 2= Contoh 3=Bersama (suami dan contoh) 4=Orangtua 5 = Saudara/anak 1. < Rp 1 000 000,00 2. Rp 1 000 001 – Rp 1 999 999,00 3. Rp 2 000 001 – Rp 2 999 999,00 4. > Rp 3 000 000,00 Pendapatan per kapita per bulan berdasarkan Garis Kemiskinan Kabupaten Bogor BPS 2010 sebesar Rp 197 319: 1. ≤ Rp 197 319 2. Rp 197 320-Rp 394 638 3. Rp 394 639-Rp 591 957 4. > Rp 591 957 1. < Rp 1 000 000,00 2. Rp 1 000 001 – Rp 1 999 999,00 3. Rp 2 000 001 – Rp 2 999 999,00 4. > Rp 3 000 000,00
89 No 17
Variabel penelitian Pengeluaran perkapita per bulan
18
Perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran Kontribusi ekonomi contoh terhadap pendapatan keluarga
20
21
Manajemen keuangan keluarga
22
Peran gender dalam manajemen keuangan keluarga Kesejahteraan keluarga subjektif
23
Pengkategorian/pengukuran Pendapatan per kapita per bulan berdasarkan Garis Kemiskinan Kabupaten Bogor BPS 2010 sebesar Rp 197 319: 1. ≤ Rp 197 319 2. Rp 197 320-Rp 394 638 3. Rp 394 639-Rp 591 957 4. > Rp 591 957 1. Defisit 2. Surplus Dihitung berdasarkan persentase pendapatan contoh terhadap pendapatan keluarga: 1. 0-10% 2. 11-20% 3. 21-30% 4. 31-40% 5. 41-50% 6. 51-60% 7. 61-70% 8. 71-80% 9. 81-90% 10. 91-100% 1. Rendah (< 33,3) 2. Sedang (33,4-66,7) 3. Tinggi (>66,7) 1. Rendah (< 33,3) 2. Sedang (33,4-66,7) 3. Tinggi (>66,7) 1. Rendah (< 33,3%) 2. Sedang (33,4-66,7%) 3. Tinggi (>66,7%)
90
91
Lampiran 3 Sebaran contoh berdasarkan persentase kesejahteraan subjektif No
Pertanyaan
1 2 3 4 5 6 7 8
Keadaan keuangan keluarga Anda Keadaan makanan keluarga Anda Keadaan tempat tinggal keluarga Anda Keadaan pakaian keluarga Anda Keadaan spiritual/ mental Anda Keadaan materi/ asset keluarga Anda Keadaan kesehatan fisik Anda Survival strategi yang dilaksanakan keluarga Gaya manajemen waktu Anda Gaya manajemen keuangan Gaya manajemen pekerjaan Hubungan/ komunikasi dengan ortu/mertua Hubungan/komunikasi dengan suami Optimisme menyongsong masa depan Pembagian peran antara suami- istri Keterlibatan anda dalam aktivitas ekonomi keuangan Keterlibatan anda dalam perkumpulan desa Keterlibatan suami anda dalam aktivitas ekonomi Perasaan anda terhadap kebersihan rumah Anda Perasaan anda terhadap kesehatan fisik suami Anda Perasaan anda terhadap penghasilan suami Anda Perasaan anda terhadap kesehatan mental suami Perasaan anda terhadap komunikasi dengan suami Perasaan anda terhadap kebutuhan sexual dengan suami Perasaan anda terhadap perilaku suami dalam membantu pekerjaan rumah tangga Keadaan tabungan untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat ditunda Keadaan uang cash untuk pengeluaran yang tidak terduga Kemampuan untuk menangani masalah keuangan Keadaan belanja untuk makan tanpa mengganggu anggaran belanja Perasaan memiliki keuangan lebih baik untuk lima tahun mendatang Keadaan kontribusi untuk keuangan yang lebih baik Keadaan menangani masalah untuk membayar tagihan tepat waktu
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Persentase kepuasan (%) 1 2 3 18,3 80,0 1,7 5,0 93,3 1,7 13,3 80,0 6,7 1,7 93,3 5,0 6,7 75,0 18,3 21,7 73,3 5,0 8,3 81,7 10,0 10,0 81,7 8,3
Ratarata skor 1,8 2,0 1,9 2,0 2,1 1,8 2,0 2,0
23,3 21,7 8,3 10,0 1,7 16,7 16,7 10,0
75,0 75,0 83,4 68,3 61,7 55,0 66,6 73,3
1,7 3,3 8,3 21,7 36,6 28,3 16,7 16,7
1,7 1,8 2,0 2,1 2,3 2,1 2,0 2,1
75,0 13,3
25,0 60,0
0,0 26,7
1,2 2,1
16,7
76,7
6,6
1,9
3,3
85,0
11,7
2,1
21,7
75,0
3,3
1,8
3,3
88,3
8,4
2,0
5,0
60,0
35,0
2,3
5,0
80,0
15,0
2,1
8,4
68,3
23,3
2,1
50,0
46,7
3,3
1,5
36,7
60,0
3,3
1,7
16,7
80,0
3,3
1,9
13,4
83,3
3,3
1,9
33,4
58,3
8,3
1,7
15,0
80,0
5,0
1,9
8,3
71,7
20,0
2,1
92
No
Pertanyaan
33
Keadaan dalam menjalani masa tua dengan keuangan yang baik Keadaan tabungan untuk sesuatu yang special Anggota keluarga membantu pendapatan keluarga Keadaan tabungan keluarga Keadaan kepala keluarga yang mudah mendapatkan pekerjaaan
34 35 36 37
Persentase kepuasan (%) 1 2 3 26,7 66,7 6,6
Ratarata skor 1,8
30,0
65,0
5,0
1,7
43,3
50,0
6,7
1,6
53,3 20,0
43,3 70,0
3,4 10,0
1,5 1,9
Keterangan: 1= Tidak puas, 2= Cukup puas, 3= Sangat puas
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 27 Desember 1988. Penulis merupakan anak kedua dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Abdul Munir Djalil dan Ibu Soraya. Tahun 2001 penulis lulus dari SD Negeri Kayumanis I Bogor, kemudian pada tahun 2004 penulis menyelesaikan studi di SMP Negeri 12 Bogor. Sejak di SMP penulis aktif sebagai bendahara umum PASKIBRAKA Kencana Muda 12. Selanjutnya penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bogor pada tahun 2007. Selama di SMA, penulis aktif sebagai anggota Komisi C OSIS/MPK, anggota Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), dan aktivis DKM (Dewan Keluarga Masjid) SMA Negeri 2 Bogor. Tahun 2007 penulis diterima di IPB melalui jalur SPMB pada Program Studi Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di berbagai kelembagaan baik intern maupun ekstern, diantaranya BEM FEMA IPB periode 2008-2009 sebagai staff ahli CEO (Credibility and Event Organizer), Bendahara Klub Familly and Child Development HIMAIKO IPB periode 2008-2009, Ketua Child Development Club HIMAIKO IPB periode 2009-2010. Selain itu penulis juga aktif sebagai anggota LSM WACANA dan Organisasi Kepemudaan Generasi Muda Kiara. Penulis juga merupakan alumnus pemuda Lembaga Ketahanan Nasional RI angkatan III 2011 yang sekarang menjabat sebagai sekretaris bidang pendidikan dan pelatihan. Penulis juga memiliki berbagai prestasi, diantaranya Juara II Cerdas Cermat Tingkat SD, Juara II Paskibraka Se-Kota Bogor Karsa Muda, Juara I Paskibraka Se-Bogor Raya Bimakarsa, Juara II Paskibraka Se-Jabodetabek SMA Kornita Bogor, Juara II Fotografi Jurnalistik Bonjour IPB, Juara I Karikatur Politik Cerdas FEMA IPB, Finalis Lomba Fotografi Index FEMA IPB, Juara I Business Plan FEMA IPB, dan Harapan I Badminton Nasional Hari Olahraga Nasional Kemenpora RI.