Makna Puja Mantra Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
MAKNA PUJA MANTRA SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU Hartanto Abstrak : Persoalan yang terjadi dilapangan adalah mantra yang sebagai ciri khas budaya masyarakat jawa sudah tidak lagi dilestarikan, banyak stigma negative melekat tentang mantra, padahal sejatinya mantra disamping merupakan sebagai suatu karya sastra lisan yang indah dan berseni tinggi juga berdaya guna sebagai jalan mencapai tataran spiritual yang lebih tinggi, arif dan bijak dalam menyingkapi segala fenomena yang terjadi dalam segi kehidupan. Penelitian fokus pada fenomena penganut kejawen dengan mantra dan hubungannya terhadap level spiritual dan relasi transedentalnya (makrokosmos). Untuk mendalami dan melakukan penelitian ini, dilakukan di Provinsi Yogyakarta, karena disinyalir (dengan observasi) masih banyak dari penerus kebudayaan jawa yang masih eksis secara essensi maupun eksistensi dan mempunyai beberapa paguyuban untuk integritasnya. Penelitian ini menggunakan model pendekatan fenomenologi dengan jumlah subjek 1, dan tehnik sample purposive sampling. Pendekatan fenomenologi berkarakter unik dan fenomenal, karena intinya adalah berguru terhadap orang yang mempunyai fenomena tersebut. Keyword : mantra, spiritualisme, sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu Dalam terminologi orang jawa yang sarat akan kepercayaan terhadap aliran kejawen, memandang hidup ini sebagai bagian dari kehidupan makrokosmos atau jagad gede. Sehingga manusia jawa dalam berkovalensi dengan kehidupannya selalu berdasar akan kepercayaan mereka terhadap nasib (kabegjan), leluhur mereka, maupun beragam pernak-pernik tata cara dalam menyembah Tuhan (slametan, kenduren dan laku spiritual). Dalam
kegiatan misalnya seperti akan berdagang, pada waktu akan bercocok tanam, maupun dalam melakukan aktivitas lainnya selalu mengacu pada ilmu primbon itu.
kesehar iannya hidup masyarakat jawa selalu memaknai apa yang ditunjukkan atau disimbolkan oleh alam sebagai makrokosmos, sehingga timbul sebuah tradisi mistik kuno sebagai hasil pemaknaan akan
mereka yang biasanya termaktub dalam sebuah kidung, seni sastra atau puisi.
simbol-simbol yang ditunjukkan oleh Sang Pencipta dengan perantara alam sebagai makrokosmos. Ilmu ini disebut ilmu titen atau primbon. Oleh karena itu terlepas apakah itu secara eksplisit maupun implicit, kehidupan orang jawa dalam mengawali sebuah
Sedangkan mistisme jawa tidak terlepas sampai disitu saja ada berupa ajaran leluhur yang sangat mereka hormati. Ajaran itu biasanya terangkum dalam sebuah falsafah. Falsafah itu merupakan turunan dari kata-kata bijak yang berasal dari nenek moyang
Dalam falsafah yang agung dan luhur itu biasanya terkandung sebuah tradisi lisan dan puisi lisan yang sangat berharga yaitu mantra. Mantra diperoleh dan diciptakan melalui jalan yang panjang dan dengan beragam eksperimen, berpuasa dan meditasi, menyatu dengan alam makrokosmos adalah salah satu contohnya. Sehingga mantra mempunyai sebuah
* Prodi Psikologi, Fakultas Psikologi, UNWIDHA Klaten
84
Magistra No. 97 Th. XXVIII September 2016 ISSN 0215-9511
Makna Puja Mantra Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
kekuatan mistik yang tak kasat mata. Sejatinya mantra diperoleh dengan membelenggu nafsu yang menyelimuti dalam kehidupan manusia. Dalam mengarungi hidup, penganut kejawen tidak lepas dalam mengawali semua aktivitasnya dengan mantra. Mantra sama eksistensinya dengan doa, namun bagi penganut kejawen mantra lebih familiar karena mantra juga disebut “jawabe” (penegasan terhadap segala sesuatu antara diri sendiri dengan alam semesta dan Tuhan Semesta Alam). Namun mantra tidak cuma berarah vertikal dengan Tuhan Semesta Alam, namun juga berhubungan dengan sesama secara horizontal dengan konsep ‘memayu hayuning bawono”. Mantra merupakan ibarat menggugah atau menarik picu senapan (kunci) yang bernama daya hidup. Daya hidup dalam terminology kejawen merupakan konsep jiwa putih yang mengarahkan manusia dalam berperilaku baik dan utama dalam menjalani hidup sehingga hidupnya dapat sejahtera dan terarah atau sering disebut sebagai “sukma sejati” yang dalam kaidah ilmu psikologi biasa disebut intuisi (unconscious thought) (Sinclair, 2011). Biasanya dalam meditasi kejawen disebut “alam sunyaruri” atau “awang-uwung” atau “suwung”. Ketika dalam keadaan ini akan ada bisikan dari dalam hati nurani tentang jawaban apa yang dicari dalam meditasi. Inilah yang disebut sebagai pengalaman puncak/transedental dan pengalaman spiritual (spiritual experience) dan sama sekali berbeda dengan pengalaman keagamaan (religious experience). Seorang individu yang pernah mempunyai pengalaman spiritual maka akan memiliki koneksi khusus dalam korteks otaknya, selain itu juga komposisi gray matter akan mengalami perubahan, dan membuat fungsi dalam otak itu aktif dengan
Melanjut tema diatas, dalam konsep kejawen biasanya dikenal dengan apa yang disebut sukma sejati atau jiwa yang terlepas dari angkara nafsu inilah konsep jiwa yang sesungguhnya menurut Suryomentaram (jiwa bukan Kramadangsa). Jiwa ini yang bisa membimbing olah gerak, motivasi dan kemauan seseorang yang tinggi level spiritualnya dan kemungkinan besar juga bisa mengarahkan pada tingkat kecerdasan spiritual yang tinggi pula. Istilah sukma sejati dapat pula kita samakan esensinya dengan konsep inner world (atau Popperian Being) dari Karl Popper (Gardenfors, 2006), intuition dari Carl Jung (Papadopoulos, 2006) dan B-cognition dari Abraham Maslow dalam bukunya Toward a Psychology of Being (Bellah, 2011). Misalnya individu dengan inner world oleh Karl Popper dianggap dapat menggambarkan suatu prediksi dan pembelajaran dalam mengetahui fenomena baru, sehingga kualitas dan tahapan seorang individu dalam pembelajaran akan meningkat - dengan melakukan simulasi prediksi variable dan mengkalibrasikan dengan akumulasi pengalaman - dan tidak melulu melalui trial and error dan learning by doing. Individu menjadi lebih waspada dan selalu memperoleh suatu “insight” dalam setiap usahanya dalam mencari jawaban dari setiap pertanyaan dan fenomena (ataupun noumena) yang baru dan belum terjelaskan dengan gamblang (intuition learning) (Sinclair, 2011). Melalui point of view ini dapat ditarik konsep yang sama dengan salah satu falsafah arif dari leluhur jawa, yaitu sikap untuk “ora gumunan”, “ora kagetan”
sendirinya untuk bisa menerima sinyal – sinyal spiritual
dan “ora penginan” terhadap segala sesuatu yang terjadi disekitarnya. Begitulah, individu yang mengerti kaidah mengenai sukma sejati (atau inner world) akan berperilaku tenang, stabil, berdaya guna dan selaras
lainnya (Wallach, Schmidt, & Jonas, 2011).
dengan pergerakan alam. Individu akan mencapai titik
Magistra No. 97 Th. XXVIII September 2016 ISSN 0215-9511
85
Makna Puja Mantra Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
puncak akan kejelasan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan (knowledge and wisdom). Paparan diatas akan lebih jelas jika dilakukan penalaran bottom – up processing, yaitu dalam kaidah budaya jawa dan seluk beluk mengenai pengenalan dan pemahaman akan sukma sejati, dapat dibuka jika menekuni mantra dan mengaplikasikan dalam
Bagaimanakah makna mantra terhadap kehidupan relasi transedensi bagi penganut kepercayaan kejawen. MANTRA Mantra adalah sastra lisan dan puisi lisan yang mempunyai kekuatan tertentu yang tak kasat mata (Saputra, 2007). Mantra merupakan sifat “kandel”
keseharian. Berarti dengan memahami mantra dan hakekatnya terlebih dahulu dapat mengenalkan sukma sejati dan membuka tabir yang menutupinya, setelah itu orang yang dapat menyatu dengan sukma sejatinya,
yang berwujud maya bagi kalangan penganut kepercayaan kejawen. Selain itu mantra juga mengandung kekuatan gaib dan banyak ragam jenis ,mantra dalam kaidah hidup orang jawa. Mantra
maka jiwanya siap untuk mendapat pencerahan, ilmu pengetahuan utama dan kebijaksanaan.
pengasihan, gendam (hipnotis), untuk bekerja (dalam urusannya mencari rejeki), mantra dalam perjalanan, dan mantra untuk transedensi kepada Tuhan Semesta Alam (Tandjung, 2004). Mantra yang terakhir sangat mistis dan jarang diketahui oleh kebanyakan orang yaitu bernama “sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu” yang berarti ilmu sastra lisan yang berguna untuk memperbaiki segala jenis sifat angkara murka dalam hidup manusia. Jenis mantra ini boleh dibilang sebagai mantra yang sinengker, wingit dan sangat rahasia. Hakekat sastra jendra adalah mantra yang ditujukan untuk meraih relasi transedence dengan Sang Maha Pencipta atau dalam kaidah kepercayaan kejawen disebut ‘Manunggaling Kawulo-Gusti’. Selain itu sastra jendra juga sebagai mantra sakti warisan dari para dewata yang sanggup dipelajari oleh manusia karena ketekunan manusia itu
Dalam membaca mantra penganut kepercayaan akan mengheningkan cipta dan mengatur seni pernapasan. Menyelaraskan dengan alam fisik maupun nonfisik dan memaknai bahwa dirinya (jagad alit) adalah bagian dari makrokosmos (jagad gedhe). Mantra sangatlah penting dalam kehidupan “memayu hayuning bawono” masyarakat jawa. Akhir-akhir ini penerus kearifan local semakin sedikit dan berkurang, pemahaman dan pemaknaan tentang mantra sebagai warisan budaya yang bernilai tinggi mulai terdistorsi dan tidak jarang pula mengalami pergantian makna yang salah dan negative. Inilah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti makna “puja mantra”. Tujuan penelitian ini selain untuk membuat interpretative makna mengenai mantra juga untuk menciptakan suatu tataran manusia dengan tingkat kecerdasan spiritual (peak experience) dan kesadaran spiritual (transedensi) yang lebih maju dan toleran, tidak terbelenggu oleh dogma-dogma dari luar yang cenderung membatasi keduanya. Berdasarkan hal diatas pertanyaan mendasar penelitian ini adalah
dalam menahan diri, hawa nafsu dan gejolak emosi. Sehingga manusia itu memperoleh suatu kelebihan dalam konsep relasi transedensi dengan Sang Pencipta, yang dimanifestasikan dalam perilakunya yang utama dan bijaksana. Mantra mer upakan salah satu bentuk pencapaian dalam laku spiritual yang biasanya berupa karya sastra dan syair (kidung). Walaupun menurut
86
Magistra No. 97 Th. XXVIII September 2016 ISSN 0215-9511
Makna Puja Mantra Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
sejarah, banyak para pelaku spiritual melakukan gubahan dan modifikasi namun pada intinya tetap
Menyambung tulisan sebelumnya, individu yang melakukan puja mantra melakukan afirmasi pada
sama yaitu menyatu pada episentrum terkuat dialam semesta Tuhan TME. Mantra “Sastra Jendra” berbeda dengan jenis mantra lainnya. Patut dipahami bahwa mantra umum berguna untuk mengiringi hajat seorang
dirinya sendiri dan pada alam, dimaksudkan untuk memperoleh “kerelaan” dari sukma sejati dan jagad gede atas dirinya. Mantra diyakini diperoleh dengan
individu dalam meraih tujuannya (keduniawian), sedangkan Sastra jendra adalah sastra alam yang mengakar langsung pada Tuhan YME. Hal itu dapat
jalan melakukan ritual menahan hawa nafsu, proses dalam pencapaiannya sangat berat dan panjang, namun itu sepadan dengan terbukanya tabir penutup yang menyebabkan kawulo/seorang individu tidak bisa
dilihat dari makna dan tujuannya yang artinya “Hamemayu hayuning Rat, hamemayu hayuning
manunggal dengan penciptanya. Dengan menguasai mantra sastra jendra, tabir penutup itu akan sirna dan
bawono, lan pangruwating diyu”. Menjadi satu kalimat dalam sebuah falsafah Jawa tingkat tinggi yakni
seseorang akan mendapatkan suatu pencerahan terhadap level spiritualnya, terhadap hubungannya
“Sastra jendra, hayuning Rat, pangruwating diyu” yang artinya “sastra jendra = ngelmu mengenai pemimpin, hayuningrat = kedamaian, pangruwating Diyu = merubah segala sesuatu yang buruk menjadi baik”. Konteks itu dalam penjabaran yang lebih dalam dan luas adalah suatu ajaran kebijaksanaan untuk merubah keburukan menjadi kemuliaan. Hal tersebut akhirnya berkorelasi dengan pencapaian spiritual dalam konteks kemanunggalan diri dengan alam semesta (jagad besar) (Hamemayu hayuning Bawono). Dalam rangka panembahan pribadi dimanifestasikan budi pekerti luhur (Hangawula kawulaning Gusti/ Pangruwating diyu), keduanya berpangkal dan berujung pada panembahan kepada Tuhan Yang Maha Tunggal (Hamemayu hayuning Rat). Dengan kata lain inti dari budi pekerti membangun dua dimensi jagad, yakni; jagad kecil (diri pribadi) dan jagad besar (dunia
dengan sesama, baik fisik maupun batin dan hubungan terhadap Sang Pencipta. Mantra sejatinya berperan penting sebagai jalan spiritual seorang individu dalam bertemu Sang Pencipta. Namun dalam perjalanannya mantra dapat juga beralih fungsi tergantung oleh siapa yang memakainya. Mantra “sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu” sejatinya merupakan penyatuan dan manifestasi antara mind dan behave manusia dalam kehidupan sehari – hari. Mengucapkan dan menghayatinya akan membuat seorang individu berperilaku utama/mencapai keutamaan dalam berperilaku dan berpikir (golden rule). Tepat seperti apa yang kaum Epicurenian dan Stoic paparkan dalam mahzabnya (Palmer, 2006).
dan isinya) dalam rangka menyelaraskan manembah kepada Tuhan YME. Inti dari mantra adalah penyelarasan batin dengan sang pencipta (ora ngarani lan ora milik). Mantra juga merupakan bahasa lisan dan batin terhadap alam semesta (makrokosmos) dalam hal melakukan permintaan, negosiasi (atau afirmasi).
Magistra No. 97 Th. XXVIII September 2016 ISSN 0215-9511
Mantra tidak lebih sebagai hasil local wisdom dari para leluhur, yang berarti adalah manifestasi seni literature, seni berbahasa, dan seni dalam mencapai kondisi mental sehatdan stabil yang “digodog” dengan paham empirisme dan rasionalisme melalui eksperimen dan “ngelmu titen” dari abad ke abad. Mantra menuntut keserasian antara fungsi kognitif dan fungsi emosional seseorang, dengan menyatunya kedua fungsi tersebut maka perilaku manusia menjadi
87
Makna Puja Mantra Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
lebih terkontrol dan stabil tentunya dalam kondisi emosi dan kognitif.
yaitu berinteraksi dengan sesamanya dan lingkungan
Secara spesifik mantra tidak dibakukan oleh
yang nampak, dalam kaitannya dengan kesadaran spiritual dan lingkungan yang tidak nampak misalnya
penemunya mengenai aspek dan unsur pembentuk mantra tersebut, namun jika mantra dikelompokkan
agama, kearifan local, dan kehidupan yang berdimensi lain dengan kehidupan kita (Tandjung, 2004).
kedalam literature magis hasil budaya manusia maka aspek mantra dapat dirumuskan sebagai berikut
Kecerdasan spiritual menurut Dana Zohar dan
(Easwaran, 2008): 1) Struktur bahasa, 2) Pemaknaan/ semantic, 3) Kekuatan yang terkandung Kecerdasan spiritual adalah modal memaknai hidup. Kebermaknaan hidup adalah sebuah motivasi internal yang kuat untuk melakukan kegiatan yang berguna dan mempunyai arah (Frankl, 2004). Masih menurut Frankl, hidup yang bermakna adalah hidup yang terus memberi manfaat pada diri sendiri dan orang lain, sejalan dengan hal itu makna relasi transedensi manusia jawa dimanifestasikan dalam makna “sangkan-paraning dumadi” yang maknanya adalah hidup itu hanyalah sekedar “soko” atau darimana (asal) dan “moro” atau mau kemana (tujuan) dimana waktu antara asal dan tujuan itu digunakan semaksimal mungkin untuk berguna dengan sesama sehingga “dumadi” nantinya tidak tersesat dan “lupa” jalan pulang (tujuan). Modal spiritual ini juga memberikan perasaan hidup yang komplet (wholeness). Inilah yang disebut Abraham Maslow dengan peak experience (pengalaman puncak) yaitu perasaan yang muncul karena kedekatan dengan Sang Pencipta. Lebih lanjut lagi sebuah kesadaran spiritual (transedence) hanya dapat diraih ketika seseorang mencapai pengalaman puncak dan memahami segala bentuk, jenis maupun sesuatunya itu sama dan berakhir dititik yang equivalent. Sedangkan istilah ‘memayu hayuning bawono’ lebih ke arah manusia yang memelihara dan saling menghormati lingkungan fisik
88
Ian Marshal (McGregor, 2002) adalah kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan diluar ego atau jiwa sadar, hal tersebut sejalan dengan konsep motivasi internal dari Teori Determinasi Diri. Jika dirunut lagi konsep jiwa menurut Soeryomentaram terdiri dari jiwa Kramadangsa dan Jiwa bukan Kramadangsa. Jiwa Kramadangsa adalah jiwa yang konsepnya ‘aku yang bukan aku’ atau aku yang berkeinginan (rahsa karep) sedangkan jiwa bukan Kramadangsa adalah ‘aku yang aku’ atau aku sejati tanpa rasa ingin (kareping rahsa). Soeryomentaram mengkaji kawruh jiwanya ke arah kecerdasan spiritual yang berkonsep atau bertumpu pada sesuatu yang didalam kita namun diluar jiwa sadar (kramadangsa). Berpijak dari konsep tersebut masyarakat jawa cenderung membentuk budayanya kearah spiritual kapital dimana seluruh budidaya masyarakat diarahkan kepada aspek hidup yang berhubungan dengan spiritualitas, dengan tatacara manusia jawa untuk tetap menyatu dan harmonis dengan alam.Hal ini akan menjadi menarik ketika dikaitkan dengan pandangan Erich Fromm (1942), mengenai human dilemma bahwa manusia terlahir dengan segala kelebihannya dan kesempurnaannya sebagai makhluk yang paling pandai dimuka bumi ini, dan hal itu yang membuatnya tercerai berai dari kesatuan dengan alam. Manusia dengan segala kelebihan, akal logika dan kemampuan adaptasi yang hebat dan bahkan bisa memanipulasi alam untuk kebutuhan dari manusia itu
Magistra No. 97 Th. XXVIII September 2016 ISSN 0215-9511
Makna Puja Mantra Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
sendiri, hal itu membuat manusia sombong dan lupa akan keberadaannya. Fromm menyebutkan keadaan
analisa fenomenologi yang digawangi oleh Edmund Husserl (Heideger dan Dalstrom, 1994). Teori Husserl
ini sebagai dilemma manusia (human dilemma). Manusia mengalami ini karena menyadari bahwa mereka telah terpisah dengan alam dan menyadari mereka menjadi makhluk terasing dan menyadari pula
bersifat sangat fondasional, kompleks dan susah dimengerti. Meskipun metode mengenai fenomenologi sudah dikenalkan sebelum Husserl yaitu oleh gurunya Frans Brentano dan tokoh tokoh lainnya namun
bahwa sewaktu – waktu alam bisa membinasakan semua rencana dan materi yang mereka punyai. Perasaan dan keadaan alienasi atau keterasingan ini
fenomenologi Husserl lah yang berkembang dan dijadikan tolok ukur pada metodologinya (Cohen, 2005). Penelitian Fenomenologi sering digunakan untuk menunjuk pada pengalaman subjektif dari
ada dalam setiap individu yang menyebabkan munculnya masalah dikotomi eksistensial. Berdasarkan pada uraian dan pemaparan diatas mengenai mantra dan relasi transedental maka diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut : Apakah mantra berpengaruh terhadap relasi transedental bagi para penganutnya?dan apa makna terhadap pemujaan mantra? METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif Moelong (2010) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah, dengan menggunakan metode ilmiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara ilmiah. Maka penelitian kualitatif lebih mengutamakan tentang penggalian makna dari suatu fenomena, melakukan pendekatan analisis logika induktif-deduktif dan analisa thematic atau idiografis (Moelong, 2010).Sejalan dengan itu Denzin dan Lincoln (2005), memberikan penafsiran yang tidak jauh berbeda, bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan suatu fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan melibatkan berbagai metode yang ada.
berbagai jenis dan tipe yang ditemui. Fenomenologi merupakan pandangan cara berpikir yang menekankan pada focus kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi terhadap dunia. Subyek Penelitian Penentuan responden penelitian dilakukan dengan menggunakan prosedur purposive sampling, yaitu metode yang digunakan untuk memperoleh subjek yang cocok dan kredibel, sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan untuk dikaji dan diteliti (Strauss & Corbin, 1998). Mengacu pada penjelasan diatas maka subyek dalam penelitian ini berjumlah 1 orang dengan karakteristik penganut aliran kepercayaan, dan selalu menggunakan mantra dalam hidupnya dalam meraih kehidupan transedentalnya. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini akan berlangsung dalam dua setting, yaitu dirumah dan di tempat kerja subyek penelitian. TEHNIK PENGUMPULAN DATA Pada penelitian kualitatif metode fenomenologi, teknik pengumpulan data yang utama dan paling penting adalah in-depth interviews atau wawancara yang dilakukan secara mendalam, dengan tujuan untuk
Penelitian kualitatif pun berkembang menjadi bermacam-macam metode dan termasuk metode
Magistra No. 97 Th. XXVIII September 2016 ISSN 0215-9511
menggambarkan bagaimana sejumlah individu mengartikan atau memaknai pengalaman yang telah
89
Makna Puja Mantra Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
mereka alami terkait dengan fenomena tertentu yang terjadi (Creswell, 1998).
“kulonuwun” dalam melalukan penyembahan pada Sang pencipta, tidak hanya secara vertical tetapi juga
Berdasarkan uraian di atas, maka teknik pengumpulan data yang utama dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interviews),
menghormati segala sesuatunya secara horizontal, sehingga tercipta hubungan yang harmonis dengan alam seperti konsep “memayu hayuning bawono”.
yang dilakukan secara informal, interaktif, dan menggunakan pertanyaan serta komentar yang
“gini,…mantra itu “jawabe” antara diri kita sebagai jagad alit dengan alam sebagai jagad gede,
sifatnya terbuka. Proses pengumpulan data ini berfokus untuk mengungkap bagaimana penganut
karena mantra itu juga untuk manembah kepada Sang Pencipta yang juga berguna untuk “memayu hayuning bawono”. Upaya untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan dengan alam”
kejawen memaknai mantra dengan pengalaman kehidupan transedensinya yang mereka alami dalam kehidupan sehari-harinya, dan dalam pelaksanaannya wawancara ini mungkin akan berlangsung beberapa kali pada seorang responden. Dan peneliti juga akan tinggal dalam beberapa waktu dengan reponden supaya memperoleh data yang mendalam dan detail mengenai fenomena yang terjadi. Proses pengumpulan data menurut Creswell (1998) mengikuti pola “zigzag”, yaitu peneliti ke lapangan mencari informasi, kemudian menganalisis data yang diperoleh, kembali ke lapangan lagi untuk mendapatkan lebih banyak informasi, menganalisis data, dan seterusnya.
Dan selain itu juga dijelaskan ada jenis mantra yang khusus untuk menyembah kepada Sang Pencipta, mantra sastro jendro hayuningrat pangruwating diyu. Yang berarti adalah ilmu sastra lesan yang berguna untuk memperbaiki segala macam angkara murka supaya selamat sampai tujuan dalam hidup. “pertama artine dulu y…sastro itu ya sastra utowo lisan gitu y…jendro itu ngelmu…sedangkan hayuningrat itu…ehm rahayu yang artine selamat, ningrat itu hening ing rat…artine mengheningkan
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian ini menitikberatkan pada penggalian makna mantra bagi kehidupan relasi transedensi penganut kejawen. Data diperoleh melalui wawancara dan observasi langsung pada respondent yang mengalami fenomena tersebut. Data akan dibuat kedalam bentuk transkrip, untuk pernyataan yang penting dan relevan akan digarisbawahi dan dianalisis lebih mendalam. Berikut lampiran dari wawancara terhadap subjek : Fungsi mantra Terdapat beberapa macam fungsi mantra, dan salah satu fungsi yang utama adalah untuk
90
semua panca driyo, karena rat itu panca indera artinya…eee pangruwating itu meruwat atau mempaerbaiki, diyu itu raksasa atau angkara murka. Jadi ngelmu sastra lisan yang berguna untuk memperbaiki angkara murka supaya kita selamat sampai tujuan dalam hidup”
Mantra juga berhubungan dengan tingkat spiritual seseorang yaitu tataran manunggaling kawulo lawan gusti, itu sesuai dengan kutipan wawancara dibawah ini : “iya, koyo ngono…cuma mantra ini jarang diketahui oleh orang umume dhi,karena untuk mendapatkan
Magistra No. 97 Th. XXVIII September 2016 ISSN 0215-9511
Makna Puja Mantra Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu dan memaknainya sangat susah diperlukan laku prihatin yang konsisten. Dalam critane dulu kan mantra ini kepunyaan para dewa-dewi, dan hanya
“wooo laiya tho dhi…tembang mocopat.. ada tapi
digunakan oleh mereka tapi bisa dicuri oleh bangsa
sedikit..terus tembang kidungan dhi, juga ada. Nah
manusia karena ketekunannya dalam meditasi atau
itu lumayan banyak. Selain itu juga masih ada dalam
bertapa. Makane itu orang yang bisa menguasai
kayu…daun lontar karo watu”
dan memaknainya akan menjadi manusia yang pilih
“jadi tembang mocopat kuwi tembang yang asale
tanding, kasampurnaan setara dewa dan akan bisa
soko leluhur terus digubah poro sastrawan
manunggaling kawulo lawan gusti”
keraton…seperti R.ng.Ronggowarsito..yang intinya adalah gambaran perjalanan hidup manusia. Yang
Asal mantra
dimulai dari mijil itu wijil artine keluar dhi,,,lahir gitu,
Asal – usul mantra adalah berasal dari alam, namun ada mantra yang bukan dari Sang pencipta, bukan berasal dari alam (makrokosmos) tapi dari kekuatan jin. Seperti mantra sastra jendra itu berasal dari Sang Pencipta, namun untuk jenis mantera pelet bukan berasal dari Sang pencipta dan gunanya pun sudah lain. Itu seperti dengan yang tertera dalam
terus sinom artine yang masih muda, ada kinanthi yang seorang anak itu digadang-gadang untuk jadi kebanggaan orang tua, durmo yang anak pada masa remaja itu suka marah dan berantem, sampai akhirnya pangkur artine wes mungkur terus megatruh yang artinya meninggal, dan pocung…dikebumikan dan kembali kepada Sang Pencipta. La tembang seng masih ada montrone iku ya si megatruh sama
kutipan wawancara
pocung tadi” “mantra itu kan bisa dikatakan berasal dari alam geh….”
seperti itu..karena yaa kidung itu juga diperoleh
“”iya..yang mana, pelet sama pengasihan itu sama dhi, mantra itu didapat bukan dari sang pencipta, bukan dari alam. Itu kolaborasi dengan kekuatan diluar sang pencipta kan waktu meditasi meminta itu bisa dengan siapa saja…bisa jadi kekuatan dari jin
yang
“Kidung itu mantra yang masih utuh…katakanlah
sakti….yang
bisa
nyesatin
manusia…semakin sakti semakin kuat juga mantranya yang diturunkan kepada manusia itu.
Namun ada beberapa mantra yang sudah ditulis dan dibuat karya sastra, seperti tembang mocopat dan kidungan ada juga yang ditulis di batu. Mantra itu didapat dari bertapa dan diwujudkan dalam suatu karya seni lisan. Salah satu penciptanya adalah Kanjeng Sunan dengan Kidung Rumekso ing Weng.
Magistra No. 97 Th. XXVIII September 2016 ISSN 0215-9511
waktu seseorang itu juga masih dalam keadaan bertapa. Dalam kejawen hanya Kanjeng Sunan lah yang pernah menciptakan kidung yang ampuh dan terkenal…jenenge kidung rumekso ing wengi dhi…yang ketika diucapkan pada malam hari dengan nyanyian yang lirih…alus dan tenang dengan keteguhan ati dhi…kuwi iso memberikan roso damai lan manteb….”
Proses mendapatkan mantra Dalam proses mendapatkan mantra menurut subjek T S, bisa didapat dengan bertapa dan menahan hawa nafsu. Sebenarnya dalam proses inipun manusia akan terbiasa dengan hal tersebut dan ketika memperoleh mantra atau pencerahan manusia itu bisa
91
Makna Puja Mantra Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
konsisten dalam mengendalikan laju hidupnya, itu sesuai dengan beberapa kutipan wawancara dibawah ini :
supiah, dan lubang dalam anu..geh alat kelamin…itu nafsu syahwat”
Konsep sukmo sejati
dengan proses meditasi dan bertapa, nutup
Konsep roso sejati itu didapat juga akibat orang yang bisa memahami mantra dan bisa melakukan sembah roso secara konsisten. Sehingga sang pencipta
babahan howo songo, menjauhi segala kenikmatan
memberikan fasilitas dengan bisa melihat sukma sejati
“ ya itu kan…ee waktu saya mendapat wejangan dari simbah saya dulu, mantra itu kan didapat
ragawi, ketika sudah pulunge mantra itu atau biasane
dalam diri kita.
disebut wangsit yah… (H, mengangguk)..itu akan masuk dan kita ketahui tapi bukan kepikiran kita,
“lha terus roso kuwi bisa dilatih dengan menahan
tapi masuk ke roso. (sambil menunjuk jantung)”
hawa nafsu seng mau, jadi waktu menahan hawa
“Makane itu orang yang bisa menguasai dan memaknainya akan menjadi manusia yang pilih tanding, kasampurnaan setara dewa dan akan bisa manunggaling kawulo lawan gusti” “hahaha…ehm.eee waduh ga usah aja ya dhi…hehe..harus mendapat sendiri, harus dipahami sendiri, kalau caranya kan tadi wes gamblang.”
Rintangan mendapatkan mantra Dalam melakukan meditasi untuk mendapatkan mantra, karena itu sesuatu yang sulit dan susah maka harus mengenali kelemahan tubuh masing masing karena ada 9 lubang dalam tubuh beserta 5 inderawi kita yang menjadi hambatan kita untuk mencapai tataran mantra sembah roso.
92
nafsu itu kan, dengan meditasi akan memunculkan sukmo sejati. Sukmo sejati iki yaa jiwa kita yang bersih tanpa nafsu, tanpa cacat, dan hanya eling marang gustine”, … Dadi gini dhi, waktu Nabi Adam diciptakan kan ada firman atau surat yang menyebutkan “kutiupkan sebagian rohku kepadanya, makanya sujudlah kalian,,la itu seng dimaksud kan anu ya,iblis sama malaikat toh, anu seng sujud kuwi. Lah dari kuwi mau itu kan yang kutiupkan rohku itu kan berarti manusia sebagai keturunan nabi adam, punya katakanlah pecahan atau sebagian roh sang pencipta. La itu seng dimaksud sukmo sejati. La kalau dalam kejawen ya, itu ada proses hubunganya dengan lahirnya bethoro guru toh sebagai dewa tertinggi, anak dari Shangyang Wenang. Jadi bethoro guru, bethoro
“dadi ngene dhi…untuk mencapai tataran itu,
ismoyo karo dewa laine itu dalam cerita kan punya
diperlukan usaha yang sangat berat, panjang dan
anak manusia. Akhirnya menjadi banyak dan
pastinya istiqomah dalam menahan nafsu, sisan tak
berkembang menjadi manusia jawa, yo awake dewe
jelasno yang “nutup babahan howo songo” y..ya
iki. Anu waktu pertama lahir betoro guru iki kan
itu babahan howo songo itu kan..anu simbol nafsu
ujudte kuning telur utowo manikmoyo sedangkan
dalam tubuh…artine kan menutup lubang sembilan
betoro ismoyo itu putih telur utowo tedjo moyo.
dalam tubuh yang dari situ nafsu itu masuk, seperti
Kuwi gambaran dhi nek manungso iki yo lahir batin.
kuping itu pintu masuk nafsu marah, mulut nafsu
Ora madek dewe-dewe. Gambaran dari sukmo sejati
makan, mata sebagai lubang pintu masuk nafsu
itu mirip kita, koyo kembaran wae neng dengan
Magistra No. 97 Th. XXVIII September 2016 ISSN 0215-9511
Makna Puja Mantra Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu warna putih yo…dia adalah pembimbing sejati
sadar dhi..,tapi merasa dirinya itu sadar dan benar.
dalam hidup.
Repot toh…saya punya guyonan buat itu….3,5G seng artine tu golek benere dewe, golek menange
Ritual mantra
dewe, golek butuhe dewe,….terus tambahi..golek-
Dalam melakukan r itualnya biasanya menggunakan perlengkapan seperti dupa, menyan dan bunga, sebenarnya itu bukan sesuatu yang baku,
golek mungsuh. Hahaha…Kebanyakan orang
namun alangkah baiknya jika ada, karena memahami kejawen tidak terlepas dari sebuah pandangan yang menjunjung tinggi akan hakekat. Jadi penggunaan dupa itu hanya sebagai hakekat tetenger kepada
dan merasa agamane seng iso jamin suwargo. Lihat
lingkungan dalam rangka untuk memelihara konsep “memayu hayuning bawono”. Konsep nafsu Konsep nafsu adalah dorongan, nafsu ternyata bukan sesuatu yang buruk. Nafsu ada 4 macam dan mempunyai pintu masuk kedalam tubuh kita lewat 9 lubang dan dengan bantuan 5 panca indera kita. Jika nafsu amarah, sufiah atau aluamah yang kita pelihara maka akan buruklah citra nafsu itu, sedangkan nafsu mutmainah yang kita pelihara, maka akan baiklah citra nafsu tersebut Kondisi spiritual Pandangan subjek terhadap kondisi spiritual masyarakat sekarang pada umumnya bahwa semua saling berebut masa dan berebut kekuasaan tadinya suatu agama itu adalah sesuatu yang bersih dan murni maka sekarang sudah beralih fungsi. Pandangan mencari benarnya sendiri sebaiknya dibatasi, karena kebenaran mutlak hanyalah diketahui Sang Pencipta.Jika ingin mengetahui kebenaran yang hakiki maka syaratnya harus bisa bertemu kepada Sang Pencipta. “yaa pertama saya tidak nuduh geh..nek mau jujur..sekarang ini orang udah banyak yang lupa,ga
Magistra No. 97 Th. XXVIII September 2016 ISSN 0215-9511
hanya tau kulitnya wae udah merasa paling bener, kakean tingkah merasa Gustinya yang paling beneer
orang bakar dupo langsung negatif pikirane…”
Proses pengalaman mendapatkan mantra Subjek melakukan meditasi dan karena ketekunan dalam menahan hawa nafsu akhirnya mendapatkan mantra, atau bisa juga mendapat suatu sign, atau pencerahan. Karena pada dasarnya mantra itu mengarahkan manusia untuk kearah sana. Dengan mantra itu akan lebih mendekatkan esensi roso kawulonya dengan Sang Penciptanya, sehingga diperoleh tataran manusia sempurna. Berdasarkan analisis kategorisasi dan deep interview diatas maka essensi dan pengalaman pencerahan berupa teofani dan epifani sangat jelas melingkupi atmosfer subjek yang selalu merapal mantra dalam setiap seluk beluk kehidupannya. Konsep teofani maupun epifani menurut subjek juga dialami berbeda antar individu, sehingga pemaknaan mengenai pencerahan spiritual acapkali juga berbeda. Hal ini penting mengingat konsep spiritual adalah konsep yang universal, dengan mengetahui bahwa pengalaman setiap individu berbeda, maka perdebatan mengenai pengalaman spiritual akan dinilai sebagai perilaku yang kekanak-kanakan. “Wewaler” atau pantangan dalam pengucapan mantra juga sempat disinggung oleh subjek, untuk tetap sumeleh dan tidak menginginkan apapun. Konsep ini sedemikian membingungkan bagi orang awam yang belum pernah mengalami pengalaman transedensi.
93
Makna Puja Mantra Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
Subjek memperjelas dengan ketika seorang individu melatih dan secara kontinyu merapal dan mengucapkan mantra maka dia harus selain fisik (raga) juga diminta secara hawatif (makrifat) untuk menjadi selaras, dengan tidak memiliki rasa ingin terhadap apa yang sedang di ucapkan dengan mantra. Masih menurut subjek mengucapkan mantra transedensi seperti sastra jendra harus dilandasi oleh hati putih dan bersih, sehingga sedikit rasa ingin, akan merusak essensinya.
SIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian diatas subjek mempunyai kecenderungan dalam memiliki tingkatan spiritual yang sudah “manteb”, ditandai dengan sikap yang bijaksana dan melihat segala kebenaran itu dari segala sisi. Investigasi lebih mendalam secara implicit subjek juga mencoba menjelaskan bahwa pengalaman dalam melakukan “ejowantah” terhadap mantra ini dialami dan diakusisi berbeda antar individu, tetapi tetap berujung pada satu titik yang sama. Hal ini merupakan perbedaan dalam penguasaan pencerahaan spiritual.
94
Magistra No. 97 Th. XXVIII September 2016 ISSN 0215-9511
Makna Puja Mantra Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
DAFTAR PUSTAKA Bellah, R, N. (2011). Religion in Human Evolution – From the Paleolithic to the Axial Age.Cambridge, England. Harvard University Presss.
Gardenfors, P. (2006). How Homo Become Sapien – on the evolution thinking. Sweden. Lund University, Oxford, University Press.
Cresswell, J, W. (2010).Research Design. Edisi Ketiga. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Heideger, M. Dalhstrom, D, O. (1994). Introduction to a phenomenological research.
Creswell, J, W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design. London: SagePublications.
Maslow, A. (1970). Motivation and personality.
Cohen, C, (2009). Sruktur dan Konstitusi
May, R. (1983).The Discovery of Being – Writing in Existential Psychology. New York, London. W
Epistemologis dalam Fenomenologi Transedental Edmund Husserl. Tesis.Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada (tidak diterbitkan) Denzin, N.K, Lincoln, Y.S, (2009). Handbook of Qualitative Research (terjemahan). Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Harper & Row,Publishers , Inc
W Norton & Company, Inc. Patton, M. Q. 1990. Qualitative Research and Evaluation Methods.Thousand Oaks: Sage Publication.
Emzir.(2008). Metodologi Penelitian Pendidikan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Papadopoulos, R, K. (2006). The Handbook of Jungian Psychology – Theory, Practice and Application.London & New York, Routledge Press, Taylor & Francis Group.
Endraswara, S. (2006). Mistik Kejawen :Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. PT Narasi percetakan.Yogyakarta.
Palmer, D. (2006). Looking at Philosophy – unbearable heaviness of philosophy made lighter. Fourth Edition. America, New York. The McGraw-Hill Companies.
Easwaran, E. (2008). The Mantram Handbook – A
Purwadi. 2004. Dukun Jawa..PT Media Abadi. Yogyakarta
Practical Guide to Choosing Your Mantram & Calming Your Mind. USA. Nilgiri Press. Frankl, V. (2004). On The Theory and Therapy of Mental Disorders – introduction to logotherapy and existential analysis. Great Britain, BrunnerRoutledge Inc. Fromm, E. (1942). The Fear of Freedom. First Published in Great Britain.
Magistra No. 97 Th. XXVIII September 2016 ISSN 0215-9511
Saputra, H. S. 2007. Memuja Mantra (Sabuk mangir dan Jaran goyang masyarakat Suku Using Banyuwangi). PT LKIS Pelangi Aksara. Yogyakarta Sinclair, M. (2011).Handbook of Intuition Research. UK. Cheltenham.Published by Edward Elgar Publishing Limited.
95
Makna Puja Mantra Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
Strauss, Anselm L.; Corbin, Juliet M. 1998.Basics of Qualitative Research : Techniques and Procedures for Developing Grounded Theory. SAGE Publications.Inc, Thousand Oaks, California.
____________. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial.Jakarta: Salemba Humanika Kumpulan Kitab Primbon Jawa dari daun dan kayu yang ditulis kembali
Tandjung, K. M. Soesilo. 2004. Kejawen (Philosofi dan Perilaku). Pustaka Jogja Mandiri. Yogyakarta
Kitab Atassadur Adammakna
Walach, H. Schmidt, S. & Jonas, W, B.
Kitab Bental Jemur Adammakna
(2011).Neuroscience, Consciousness and Spirituality. London, New York. Springer Science+Business Media B.V. 2011
96
Magistra No. 97 Th. XXVIII September 2016 ISSN 0215-9511