MAKNA KONOTASI KATA AMBILAN BAHASA ARAB DALAM BUKU MAFAHIM HIZBUT TAHRIR INDONESIA
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Sastra (S.S.)
oleh:
IMAM ARIFIN NIM: 1110024000006
Jurusan Tarjamah Fakultas Adab Dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1435H / 2014M
i
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 2 Oktober 2014
Imam Arifin NIM: 1110024000006
ii
MAKNA KONOTASI KATA AMBILAN BAHASA ARAB DALAM BUKU MAFAHIM HIZBUT TAHRIR INDONESIA
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)
Oleh:
Imam Arifin
NIM: 1110024000006
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Sukron Kamil, MA
Karlina Helmanita, M.Ag.
iii
iv
TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Allah Swt yang melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Karena-Nya jugalah, skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik meski agak sedikit terlambat waktunya karena kemalasan penulis. Salawat dan salam penulis curahkan kepada Baginda Besar Nabi Muhammad Saw, keluarga, dan para sahabatnya. Semoga kita semua mendapatkan syafaatnya di hari akhir. Amin ya rabb. Selesainya skripsi bukanlah semata-mata hasil kerja keras penulis sendiri. Penulis menyadari, skripsi ini tidak akan selesai jika tidak ada dukungan dari almamater sebagai tempat penulis menimba ilmu. Tanpa terkecuali, penulis berterimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Oman Faturahman, M. Hum. sebagai Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, dan Bapak Dr.Ahmad Syaekhudin M.Ag, selaku ketua Jurusan Tarjamah pada periode 20102014, dan Dr. TB Ade Asnawi, M.Ag ketua Jurusan Tarjamah periode 2014-2017. Tidak hanya itu, penulis tentunya sangat berterima kasih kepada dosen pembimbing skripsi, Bapak Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, dan Bunda Karlina Helmanita, M.Ag. yang telah bersedia meluangkan waktu di tengah kesibukannya, untuk membimbing penulis demi selesainya skripsi ini. Selain itu, penulis berterima kasih kepada dua penguji skripsi ini: Drs. Ahmad Syatibi, M.Ag dan Dr. Moch Syarif Hidayatullah, M. Hum.
v
Penulis juga berterima kasih kepada Bapak Tatam Wijaya sebagai alumnus Tarjamah yang senantiasa memberikan motivasi yang sungguh berarti untuk penulis. Beliau juga ikut serta membantu memberikan arahan pada penulis sehingga proses penulisan skripsi ini terselesaikan. Tak lupa, penulis berterima kasih kepada seluruh dosen Jurusan Tarjamah yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu berbagai ilmu pengetahuan bahasa, budaya, dan terjemahan, khususnya Dr. Moch Syarif Hidayatullah, M. Hum, yang mengajarkan seluk beluk dunia terjemah, terima kasih. Semoga amal mereka diterima di sisi Allah Swt. Amin! Secara khusus, penulis berterima kasih kepada orang tua tercinta, Abah Ratmodan Mama Khopilah yang selalu mendoakan penulis. Penulis yakin merekalah yang membuat pengerjaan skripsi ini menjadi lebih ringan. Terima kasih penulis juga untuk Lek Juminah dan Lek Kusnanto, adik Aditia Soeman Prakoso dan adik kecil Naila Salsabila, yang sudah menjadi bagian dari hidup penulis, dan selalu memberi semangat hidup dalam sehari-hari. Terima kasih yang amat sangat kepada keluarga Alm Raidah Binti Maud dan Keluarga Alm H. Rifai Bin, yang selalu memberi semangat tiada henti. Aku cinta padamu. Serta penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kawan-kawan Jurusan Tarjamah 2010 atas kerjasama, kekompakan, dan kebersamaannya selama 4 tahun kita berada dalam satu tempat menimba ilmu. Semoga skripsi yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi semua yang membacanya, terutama bagi yang berminat dibidang penerjemahan, dan
vi
khususnya bagi penerjemahan buku-buku dan teks-teks islam yang fundamentalis. Kritik dan saran, akan penulis terima dengan lapang dada.
Jakarta, 24 September 2014
Imam Arifin
vii
DAFTAR ISI HALAMANJUDUL.................................................................................i SURAT PERNYATAAN…………………………………….....................ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING...........................................iii TERIMA KASIH……………………………………………....................iv DAFTAR ISI............................................................................................vii PEDOMAN TRANSLITERASI…………………………………………ix ABSTRAK………………………………………………………………..xii
BAB I: PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah………………………………………...................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………………..........5 1. PembatasanMasalah............…………………………………………........5 2. PerumusanMasalah……………...........…………………………..............5 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian…………....................………….........6 D. MetodologiPenelitian………………………………………….......................6 1. SumberData…………………………....………………………....................6 2. Teknik Pengumpulan Data…….....…………………………..................7 3. Teknik Analisis Data……………………………………….......................7 E. Sistematika Penulisan………………….…………………….................7
viii
BAB II: KERANGKA TEORI A. Teori Kata Ambilan…………………………………..................................10 1. Definisi Kata Ambilan………………………………………..................10 2. Perbedaan: Kata Ambilandan Kata Serapan……….....….....11 B. TeoriPenerjemahan……………………………………………....14 1. DefinisiPenerjemahan………………………………………...14 2. IdeologiPenerjemahanHizbut Tahrir ....................................17 C. Makna Konotatif………………………………………………....22 1. DefinisiKonotatif………………………………………….......22 2. PerbedaanDenotatifdanKonotatif…………………………...23 3. Sinonimi (Mutaradifat)………………………………………...33
BAB III: Profil dan Gambaran Umum Hizbut Tahrir A. Profil Singkat………………………………………………........35 1. Perkembangan dan Sejarah Munculnya Hizbut Tahrir di Indonesia……………………………………………………....35 2. Tujuan Hizbut Tahrir……………………………………….....42 3. Kegiatan Hizbut Tahrir……………………………………......43 4. StrategiDakwahisPolistis HT……………………………......44 5. Metode Dakwah Hizbut Tahrir…………………………….....46 6. Ulasan Buku Mafahim Hizbut Tahrir.....................................48
ix
BAB IV: Analisis Semantik Kata Ambilan Arab dalam Buku Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia A. Pengantar.........…………………………………………………….52 B. Analisis Makna Konotasi Kata Ambilan Bahasa Arab dalam Buku Mafahim……………………………………………........................53 1. 2. 3. 4.
Kalimat 1.............................................................................................54 Kalimat 2.............................................................................................55 Kalimat 3.............................................................................................56 Kalimat 4.............................................................................................59
BAB V :Kesimpulan………………………………………………….......63 DaftarPustaka………………………………………………………........64
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
HurufArab
Nama Alif
HurufLatin Tidakdilambangkan
Ba
B
Ta
T
Tsa
Ts
Jim
J
Ha
H
Kha
Kh
Dal
D
Dzal
Dz
Ra
R
Zai
Z
Sin
S
Syin
Sy
Shad
Sh
Dhad
Dh
Tha
Tha
Zha
Zh
‘ain
....‘....
Ghain
Gh
xi
Fa
F
Kaf
K
Lam
1
Mim
M
Nun
N
Wau
W
Ha
H
Hamzah
...`...
Ya
Y
â=aPanjang î=ipanjang û=upanjang
xii
ABSTRAK
Kajian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kata ambilan Arab berpengaruh dan digunakan dalam bahasa indonesia di kelompok islam fundamentalis. Khususnya dalam teks-teks dan buku keagamaan seperti di dalam buku mafahi hizbut tahrir ini. kata ambilan yang merupakan kata asing yang sering dipakai dalam literature/buku, tetapi jika membuka kamus KBBI, kata tersebut belum ada. Dalam literatur/buku yang menggunakan bahasa ambilan penulisannya pun masih ditulis miring dan harus ditransliterasikan terlebih dahulu untuk menunjukkan apakah bahasa tersebut asing atau tidak. Meski sudah dikenal paling tidak di kalangan tertentu yang akrab dan bagian dari wacana yang berkembang di antara mereka. Kata ambilan Arab yang dipakai dalam buku keislaman dan tindak tutur pemakainya menunjukkan pola keagamaan, baik pola kegaman fundamentalis dakwahis, politis, jihadis,maupun pola/tipologi mainstream/moderat. Selain itu, jika kata ambilan Arab yang dipakai dalam teks dianalisis lewat teori analisis semantik sintaktikal dan konotasi teks serta sosial budaya, pola keagamaan ormas/kelompok sosial keagamaan menjadi lebih tampak lagi. Bahkan, lewat cara ini juga ditemukan sejumlah akar problem yang melahirkan pola keagamaan.[]
xiii |
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kata ambilan merupakan kata pinjaman dari bahasa lain, baik daerah maupun asing. Biasanya masih dalam keadaan asli atau serupa dengan bahasa asli/sumbernya.
Ia
diungkap
dengan
ditransliterasikan
ke
bahasa
yang
terpengaruh/sasaran serta belum masuk kedalam kosakata resmi bahasa Indonesia.1 Berbeda dengan kata serapan, kata serapan adalah kata yang sudah diserap dalam bahasa Indonesia yang dibuktikan dengan masuknya kata itu ke dalam kamus besarbahasa Indonesia (KBBI).2 Kata ambilan yang merupakan kata asing yang sering dipakai dalam literature/buku. Tetapi jika membuka kamus KBBI, kata tersebut belum ada. Dalam literatur/buku yang menggunakan bahasa ambilan penulisannya pun masih ditulis miring dan harus ditransliterasikan terlebih dahulu untuk menunjukkan apakah bahasa tersebut asing atau tidak. Meski sudah dikenal paling tidak di kalangan tertentu yang akrab dan bagian dari wacana yang berkembang di antara mereka. 3 Kata ambilan Arab yang dipakai dalam buku keislaman dan tindak tutur pemakainya menunjukkan pola keagamaan, baik pola keagamaan fundamentalis, dakwahis, politis, jihadis, maupun pola/tipologi mainstream/moderat. Selain itu, jika kata ambilan Arab yang dipakai dalam teks dianalisis melalui teorianalisis 1
Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab Dalam Teks-Teks Keislaman(Jakarta: UIN Jakarta,2013), h. 6 2
Lihathttp://bahasakita.com/kata-serapan-arab-dalam-bahasa-indonesia. Sukron Kamil, dkk,Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman(Jakarta: UIN Jakarta,2013),h. 26 3
1
semantik
sintaktikal,
konotasi
teks,
sosial
budaya,
pola
keagamaan
ormas/kelompok sosial keagamaan menjadi lebih tampak lagi. Bahkan, melalui cara ini juga ditemukan sejumlah akar problem yang melahirkan pola keagamaan mereka.4 Lahirnya penggunaan kata ambilan Arab yang belum menjadi bahasa Indonesia lebih menunjukkan pola keagamaan. Salah satunya di kalangan Hizbut Tahrir Indonesia yang umumnya berasal dari kelompok dakwahis dan politis banyak menggunakan kata ambilan Arab. Misalnya kata Daulah Islâmiyah dan Khilâfah Islâmiyah yang merupakan dua istilah/ambilan Arab yang menjadi gagasan sentral HTI. Karenanya, dua istilah ini yang paling banyak digunakan oleh HTI. Daulah Islâmiyah yang berarti negara Islam dan Khilâfah Islâmiyah yang berarti kepemimpinan Islam merupakan dua istilah yang sangat melekat dengan HTI. Cita-cita dari perjuangan HTI adalah menjadikan NKRI sebagai Daulah Khilâfah Islâmiyah. Pemakaian kedua istilah tersebut tidak menggunakan padanannya dalam bahasa Indonesia, karena konsep yang terdapat dalam kedua istilah tersebut tidak akan sama ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.5 Selain kata Daulat Islamiyah yang tidak ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia, Kata mabda yang secara etimologis adalah ism makan dari kata ‘bada’a-yabda’u-mabdaan’ yang berartipermulaan. Secara terminologis mabda berartipemikiranmendasar yang dibangun di atas pemikiran-pemikiran (cabang).6 Dalam padanan bahasa Indonesia, mabda memiliki padanan dengan kata ideologi.
4
SukronKamil, dkk, PolaKeagamaandan Bahasa: StudiKontekstual Kata Serapan Arab dalamTeks-TeksKeislaman,(Jakarta: UIN, 2013), h. 6 5 Sukron Kamil, h. 6 6http://hizbut-tahrir.or.id//category///2009/03/28/islam-ideologis/
2
Walaupun mempunyai padanannya dalam bahasa Indonesia, HTI tetap menggunakan kata mabda ketika menjelaskan tentang ideologi. Pemerkayaan kosakata melalui pengambilan kata Arab atau istilah dari bahasa lain adalah suatu keniscayaan. Tidak ada bahasa modern yang steril dari kata ambilan. Bahasa Inggris yang merupakan bahasa terkemuka meminjam lebih dari sepertiga dari bahasa lain. Hal demikian juga terjadi dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia mengambil banyak sekali bahasa asing, seperti Sansakerta, Arab, Belanda, Cina dan Inggris. Pengambilan kata ini karena kebutuhan pretise. Perkembangan dan perubahan kebahasaan dapat terjadi baik dalam ranah makna, tata bahasa, maupun kosakata. Kosakata merupakan bidang yang cepat berkembang dan banyak mengalami perubahan. Hal ini dibuktikan dengan adanya sejumlah pengambilan kata baru dalam pola keagamaan di Indonesia, misalnyadalam bahasa Indonesia pada beberapa dekade terakhir, dalam kelompok salafi dakwahis dan politis HTI. kata mabda (ideologiI), akhi (saudara), thâghût (syetan), daulah (Negara), Qiyâdah (kepemimpinan), dan daulat (perjalanan untuk dakwah) (harta rampasan perang).7 Kalangan yang hampir sama seperti salafi dakwahis semisal Jama’ah Tabligh, PKS, MMI, juga melakukan hal yang sama. Dalam hal ini bahasa merupakan cerminan pola pikir dan pola rasa yang bisa diteliti lewat teori kontekstual yang tercakup di dalamnya kajian atas fenomena bahasa sintaktikal serta
wacana dan juga konteks sosial budaya yang
melingkupinya, maka kajian atas pola keagamaan lewat teks-teks kebahasaan 7
Taqiyuddin An-Nabhani, Mafahim Hizbut Tahrir, (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2001),h.10
3
dalam literatur keislaman kontemporer di Indonesia bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pola keagamaan fundamentalisme (salafi dakwahis dan politis), bahkan radikalisme (salafi jihadis) bisa diteliti lewat kajian atas fenomena kebahasaan dalam buku pedomannya atau teks-teks keislaman yang dilahirkan oleh kelompok-kelompok Islam tersebut. Dengan pemaparan di atas agar fokus dalam penelitian, maka penelitian ini akan mengkaji kata ambilan Arab yang dipakai dalam buku pedoman keislaman kontemporer Mafahim Hizbut Tahrir. hal Ini terkait dengan keunggulan bahasa Arab dalam menampung konsep-konsep keagamaan yang dalam bahasa Indonesia sering kali tidak ditemukan padananya. Berdasarkan pemikiran di atas penulis membahas skripsi ini dengan judul: Makna Konotasi Kata Ambilan Bahasa Arab dalam Buku Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.
Pembatasan Masalah. Untuk dapat menemukan sebuah pembahasan secara lebih mendalam, penulis
membatasi objek penelitiannya dengan menggunakan 16 kosakata kata ambilan Bahasa Arab dari 78 kosakata yang terdapat dalam buku Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia. Kosakata tersebut seperti pada kata mabda (ideologi), Qabih (tercela) Hasan (Terpuji), daulah (Negara), Qiyâdah (kepemimpinan), dandaulat (perjalananuntukdakwah).8 Kafir Harbi, Daulat Islamiyah, Khilafah Islamiyah, Kharaj, Daarul Kufur, Daarul Islam, kafir Mua’ahad, Inqilabi,hirjuaz-zawiyah, hizb 8
An-Nabhani, Taqiyuddin Mafahim Hizbut Tahrir, (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2001),h.10
4
. 2.
Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat diurai adalah: Bagaimana makna konotasi di balik penggunaan kata ambilan Arab dalam buku Mafahim Hizbut Tahrir Indoneisa?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Sebagaimana rumusan yang sudah diidentifikasikan oleh penulis. Maka, penelitian ini memiliki beberapa tujuan antara lain: Untuk megetahui makna konotasi di balik penggunaan kata ambilan Arab dalam Buku Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia
D. Metodologi Penelitian Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan jalan mengumpulkan data yang terkait dengan masalah yang akan diteliti berbentuk kata-kata, bukan angka-angka9 data yang penulis dapatkan dalam hal ini merujuk sumber primer dan bahan sekunder. Data yang diperoleh yaitu melalui, teori makna konotatif, teori konotatif Roland Barthes, hermeneutik, dan juga akan diperkaya teori mutaradifat. teori tersebut akan dibahas lebih dalam di (bab 2) kemudian wawancara langsung kepada salah satu tokoh Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) guna mempertajam analisa yang penulis paparkan. 9 Mahsun, Metodologi Penelitian Bahasa, (Jakarta: Grafindo, 2013), h. 79
5
1. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini diambil dari buku Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia. Sesuai judulnya, kitab Mafahim Hizbut Tahrir Di dalam buku Mafâhim Hizbut Tahrir’terdapat 78 kosakata yangditulis dalam bahasa Arab. Kosakata tersebut ditulis miring sebagai tanda bahwa kosakata tersebut adalah kosakata asing yang belum diserap ke dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, walaupun belum menjadi bagian dalam bahasa Indonesia, penulisan kosakata tersebut mengikuti bentuk kosakata bahasa Indonesia dan tidak menggunakan bentuk ejaan dalam bahasa asalnya Namun, di dalam buku ini tidak semua kosakata dan istilah Arab dipakai karena
alasan kebutuhan, yang jika tidak digunakan akan merusak cita rasa
makna yang dimaksud. Misalnya kata qabîh yang berarti buruk/jelek. Kata tersebut apabila dituliskan terjemahannya dalam bahasa Indonesia tidak akan mengurangi atau menghilangkan makna yang terkandung dalam bahasa asalnya. Demikian pula dengan katahasan (terpuji) ‘syarah’ yang berarti penjelasan. Jika tiga kata ditampilkan dalam bentuk terjemahannya dalam bahasa Indonesia sesunguhnya lebih baik.
2.
Teknik Pengumpulan Data Data berupa kosakata yang terdapat dalam buku Mafahim HTI berupa
kosakata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab dicatat pada kartu. Kemudian
catatan
itu
dianalisis
untuk
menemukan
bentuk-bentuk
pengambilannya yang tidak sesuai padananya dengan bahasa Arab.
6
3.
Teknik Analisis Data Data yang berupa kosakata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab
dianalisis dengan mengacu pada perubahan konotasi yang terjadi pada proses pengambilan. Analisis dilanjutkan dengan melihat perbedaan register dan makna yang terjadi yaitu makna konotasi yang merupakan makna yang bukan sebenarnya dan merujuk pada hal lain.Makna Konotasi tidak diketahui oleh semua orang, dalam artian hanya digunakan oleh suatu komunitas tertentu, konotatif merupakan makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut10
E. SistematikaPenulisan Dalam hal ini penulis akan memberikan penjelasan secara sistematika dengan cara pandang masalah secara objektif, agar dapat dipahami secara baik. Penulisan ini dibagi menjadi VI BAB. BAB I, Pendahuluan: terdiri dari enam subbab yaitu; Pertama, Latar belakang masalah; kedua pembatasan dan perumusan masalah; ketiga, tujuan dan kegunaan penelitian; keempat metode pembahasan; kelima manfaat penelitian dan; keenam, sistematika penulisan.
10
SalihenMoentaha,BahasadanTerjemahan; Language and Translation The New Millennium Publication,(Jakarta: Kesaint Blanc – Anggota IKAPI, 2008), h. 163
7
Pada bab selanjutnya (bab 2), peneliti menjelaskan teori kata ambilan Arab, Distingsi: kata ambilan dan serapan, teori penerjemahan, ideology penerjemahan ormas fundamentalis, teori makna konotasi, denotasi, dan teori mutaradifat. Kemudian pada bab berikutnya (bab 3) penulis akan menggambarkan profil dan Gambaran Umum Hizbut Tahrir. Selanjutnya, pada bab inti (bab 4), peneliti akan membahas analisis Bagaimana makna konotasi di balik penggunaan kata ambilan Arab dalam buku Mafahim Hizbut Tahrir Indoneisa. Pada akhirnya peneliti mengakhiri di (bab 5) penelitian ini dengan beberapa kesimpulan dari hasil penelitian mengenai kata ambilan Arab di dalam buku Mafahim HTI
8
BAB II KERANGKA TEORI
A. Kata Ambilan 1. Definisi Kata Ambilan Kata ambilan merupakan kata pinjaman dari bahasa lain, baik daerah maupun asing. Biasanya masih dalam keadaan asli atau serupa dengan bahasa asli/sumbernya.Ia
diungkap
dengan
ditransliterasikan
ke
bahasa
yang
terpengaruh/sasaran serta belum masuk kedalam kosakata resmi bahasa Indonesia.Istilah kata ambilan, ia diambil dari bahasa asing, hanya saja tidak ada padanannya di dalam bahasa Indonesia dan terjemahannya terlalu panjang.1 Kosakata bahasa asing yang dapat diambil menjadi istilah harus memenuhi syarat sebagai berikut: a.
Lebih cocok karena konotasinya; misalnya oksigen lebih cocok daripada gas asam,
b.
Lebih singkat daripada terjemahan Indonesianya,
c.
Memudahkan pengalihan antar bahasa karena corak keinternasionalannya
d.
Dapat mempermudah tercapainya kesepakatan jika istilah Indonesia terlalu banyak sinonimnya. Secara garis besar, istilah dapat dibentuk dengan cara (1) mengambil
kata/gabungan kata umum dan memberinya makna atau definisi yang tetap, (2)
1
Zuchridin Surya winata & Sugeng Hariyanto, Translation (Bahasa Teori& Penuntun Prakti sMenerjemahkan), (Yogyakarta: Kanisius, 2003) h. 134
9
mengambil istilah asing dengan cara (a) mengadopsi, (b) mengadaptasi, dan (c) menerjemahkan.2
2.
Perbedaan:Kata Serapan dan Kata Ambilan Kata serapan merupakan sebuah fenomena linguistik yang dalam kajiannya
sejajar dengan sejarah pembentukan sebuah bahasa, tidak seperti proses pembentukan kata lainnya (derivation, composition, abreviation, dan siglaison). Kontak antarbahasa dapat terjadi apabila antarbahasa serumpun, sehingga kontak tersebut menimbulkan kata serapan yang bermakna. Salah satu ciri serapan ialah serapan kata yang bermakna sama dengan kata bahasa penyerap. Bahasa Indonesia mengalami proses penyerapan dengan ciri sinonimi.3 Misalnya kata serapan temperaturbersinonim suhu.Seperti halnya katakata dalam bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Indonesia melalui berbagai macam bahasa daerah di kepulauan Indonesia, pun bahasa Jawa dan Sunda, serta dialek Melayu. Bahasa Betawi juga mengalami perubahan menjadi suatu wujud baru dalam bahasa Arab klasik yang kemudian mengalami proses re-arabisasi atau telah hilang sama sekali. Jika kata-kata tersebut dituturkan oleh pedagang Arab, maka masuk akal apabila kata serapan Arab dalam bahasa Indonesia atau Melayu paling tidak mengandung unsur-unsur kolokial yang penting, karena pedagang (seperti halnya orang awam lainnya) biasanya tidak menggunakan bahasa Arab klasik jika berkomunikasi dengan orang lain.4Bahkan mereka biasanya tidak menguasai bahasa Arab klasik dengan baik.
2
Zuchridin Suryawinata & Sugeng Hariyanto, Translation (Bahasa Teori & Penuntun Praktis Menerjemahkan), (Yogyakarta: Kanisius, 2003) h. 134 3 J.D Parera, Teori Semantik, (Jakarta:Erlangga, 2004), h. 65 4 Nikolaos van Dam, lihathttp://bahasakita.com/kata-serapan-arab-dalam-bahasa-indonesia.
10
Sebagian besar kata serapan Arab tidak mengandung jejak kolokial apapun yang bisa memberikan petunjuk daerah asal kata tersebut karena bentuknya yang klasik. Namun Kees Versteegh yang dikutip oleh Nikolaos Van Dam (Arabic Component Leksikon Indonesia) mengemukakan, ”Yang khususnya menarik adalah kata-kata serapan itu memperlihatkan bersumber dari bahasa Mesir, di mana j diucapkan sebagai g seperti dalam gamal `unta„ (Arab = jamal, Mesir = gamal) dan kata-kata dengan pelafalan g untuk q dalam bahasa Arab seperti dalam gamis `kemeja‟ (Arab = qamis), gereba (Arab = qirba).” 5Namun tidak seluruhnya dari Arab, hal ini juga dapat karena pengaruh Inggris Sehubungan dengan penjelasan di atas, kata serapan Arab dalam bahasa Indonesia dapat dibagi kedalam empat bagian yaitu: Pertama, lafal dan artinya yang masih sesuai dengan aslinya dalam bahasa Arab.Walaupun sebagian dalam penulisannya mengalami perubahan. Misalnya kata abad, adil, bakhil, bathil, barakah, musyawarah, dan munkar. Kedua, lafalnya berubah namun artinya tetapsama dengan bahasa Arab. Misalnya kataberkah, atau berkatyang merupakan asal kata barakah; lalim dari kata zhalim; makalah dari kata maqalah; dan kata resmi dari kata rasmiy. Ketiga, lafal dan arti berubah dari lafal dan arti semula dalam bahasa Arab.
Misalnya, keparat-- dalam bahasa Indonesia merupakan
sebuah kata makian (sepadan dengan kata sialan)—. Kemudian logat dalam bahasa Indonesia bermakna dialek atau aksen berasal dari kata lughahyang dalam bahasa Arab bermakna bahasa. Keempat, lafalnya sama tetapi artidalam bahasa Indonesia
berubah.
Misalnya
kata
ahli
dan
kalimat.
Dalam
bahasa
5
Nikolaos van Dam, lihathttp://bahasakita.com/kata-serapan-arab-dalam-bahasa-indonesia.
11
Indonesiakalimat bermakna rangkaian kata-kata, kemudian dalam bahasa Arab bermakna kata.6 Berbeda dengan kata ambilan Arab. merupakan kata pinjaman dari bahasa lain, baik daerah maupun asing. Biasanya masih dalam keadaan asli atau serupa dengan bahasa asli/sumbernya.Ia diungkap dengan ditransliterasikan ke bahasa yang terpengaruh/sasaran serta belum masuk kedalam kosakata resmi bahasa Indonesia. Untuk membedakan kata serapan dan kata ambilan, kita dapat menggunakan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) produk Pusat bahasa Nasional. Kata serapan merupakan kata asing yang sudah masuk kedalam entri kamus tersebut. Kata serapan adalah kata yang sudah diserap dalam bahasaIndonesia yang dibuktikan dengan masuknya kata itu ke dalam kamus. Berbeda dengan kata ambilan yang merupakan kata asing yang sering dipakai dalam literature/buku, tetapi jika membuka kamus KBBI, kata tersebut belum ada. Dalam literatur/buku yang menggunakan bahasa ambilan penulisannya pun masih ditulis miring dan harus ditransliterasikan terlebih dahulu untuk menunjukkan apakah bahasa tersebut asing atau tidak. Meski sudah dikenal paling tidak di kalangan tertentu yang akrab dan bagian dari wacana yang berkembang di antara mereka.7 Umumnya, kata ambilan Arabyang belum menjadi bahasa Indonesialebih menunjukkan pola keagamaannya yang lebih kuat. Seperti kelompok dakwahis atau ormas Islam. Menurut para penganut tersebut, upaya mempertahankan sesuatu yang asing dan tidak lazim, unik, serta kekhasan dari budaya bahasa sumber yang tetap mempertahankan gaya, cita rasa, dan cita rasa kultural bahasa sumber 6
Sukron Kamil, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman(Jakarta: UIN, 2013), h. 6 dan Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kata_serapan_dari_bahasa_Arab 7 Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman(Jakarta: UIN Jakarta,2013), h. 26
12
merupakan suatu keutamaan8. Contohnya di kalangan dakwahis Hizbut Tahrir Indonesia yang pada umumnya berasal dari kelompok tarbiyyah (salafi ormas fundamentalis Islam yang banyak menggunakan kata ambilan Arab. Misalnya kata akhi (saudara), Fikrah(konsep), Ghanimah (Harta rampasan perang), qadla (peradilan), kharaj (Pendapatan negara dari tanah/lahan di daerah taklukan), Inqilâbi (revolusioner), kulliyat (umum), harakah Ishlahiyah (gerakan reformasi).9 Kemudian kalangan yang hampir sama seperti Salafi Dakwahis adalah Jama‟ah Tabligh yang juga melakukan hal serupa. Selain itu kalangan dakwahis politis Partai Keadilan Sejahtera (PKS)juga menggunakan Kata ambilan Arab seperti thaghut (syetan), daulah(Negara), shibghah (bentuk/ajaran), qiyâdah (kepemimpinan). Hal ini jika dianalisis melalui analisis kontekstualakan menjadi lebih ilmiah lagi.10 Disamping itu, kata-kata serapan atau ambilan Arab dalam pesantren juga mempunyai peran penting, karena pesantren mengajarkan bahasa Arab dan berperan sebagai bahasa utama. Maka dari itu banyak kata-kata yang mengalami perubahan. Unsur bahasa Arab kolokial (bahasa sehari-hari) dalam berbagai dialek Melayu seperti bahasa Betawi atau lainnya, pada umumnya tidak dimasukkan ke dalam bahasa resmi Indonesia.11
8
UmiKulsum, “Doubletdalam kata serapan Arab: KajianPerbedaanMaknadan Register” Makalah Seminar NasionalPenerjemahan “RevitalisasiPeranPenerjemahan di Era Global” yang diselenggarakanoleh Program StudiTarjamahFakultasAdabdanHumaniora UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 2013, h. 278 9 Taqiyudin an-Nabhani, MafahimHizbutTahrir,(Jakarta, HizbuTahriri Indonesia, 2004), h. 10 10 SukronKamil, dkk, PolaKeagamaandan Bahasa: StudiKontekstual Kata Serapan Arab dalamTeks-TeksKeislaman (Jakarta: UIN Jakarta 2014), h. 7. 11 Nikolaos van Dam, lihathttp://bahasakita.com/kata-serapan-arab-dalam-bahasa-indonesia.
13
B. Teori Penerjemahan 1.
Definisi Penerjemahan Penerjemahan merupakan upaya mengalihkan amanat dari bahasa sumber ke
dalam bahasa target dengan cara menemukan ekuivalensi yang memiliki struktur semantik yang sepadan. Bisa dikatakan penerjemahan merupakan dwitindak komunikasi (dual act of communication) yang kompleks, maksudnya adalaha yang mensyaratkan adanya dua kode yang berbeda (bahasa sumber dan bahasa target). Ketika proses penerjemahan berlangsung, penerjemah harus terlebih dahulu memahami rentetan kegiatan mulai dari memahami makna teks sumber sampai mengungkapkan kembali makna tersebut dalam bahasa target.12 Lebih jelasnya Nida dalam M. Zaka Alfarisi, mengemukakan bahwa proses penerjemahan biasanya melewati tiga tahapan. Yaitu: Pertama, tahapan analisis sebagai upaya memahami teks sumber melalui telaah linguistik dan makna, memahami materi yang diterjemahkan, serta memahami konteks budaya. Kedua, tahapan pengalihan makna atau pesan yang termaktub dalam teks sumber. Ketiga, tahapan rekonstruksi sebagai upaya menyusun kalimat-kalimat terjemahan sampai diperoleh hasil akhir terjemahan dalam bahasa target.13 Selain itu, Moeliono dalam Syihabudin berpandangan bahwa pada hakikatnya penerjemahan itu merupakan kegiatan memproduksi amanat atau pesan bahasa sumber dengan padanan yang paling dekat dan wajar di dalam bahasa penerima, baik dari segi arti maupun gaya. Idealnya, terjemahan tidak akan dirasakan sebagai
12
M. Zaka Al farisi,PedomanPenerjemahan Arab Indonesia, (Bandung: RemajaRosdakarya, 2011), h. 23 13 SalihenMoentaha,BahasadanTerjemahan; BahasadanTerjemahan; Language and Translation The New Millennium Publication, (Jakarta: Kesaint Blanc – Anggota IKAPI, 2008), h. 9
14
terjemahan. Namun,untuk memproduksi amanat itu, mau tidak mau diperlukan adanya penyesuaian gramatikal dan leksikal14. Jelas sudah peran penerjemah sangatlah sentral dalam kegiatan penerjemahan. Sebab, ia berperan sebagai mediator yang menjadi jembatan penghubung antara penulis teks sumber dan pembaca teks target. Jembatan penghubung inilah yang menghadirkan pemikiran penulis teks sumber ke dalam teks target dalam bingkai kesepadanan. Secara teoritis, sesungguhnya mengungkapkan pemikiran orang lain dari bahasa sumber ke dalam bahasa target itu lebih sulit daripada mengungkapkan pemikiran sendiri. Kesulitan ini timbul karena penerjemah mengemban tanggung jawab besar.15Ia harus menyampaikan amanat penulis teks sumber melalui bahasa target dengan tingkat keakuratan, kejelasan, dan kewajaran yang memadai. Kesulitan penerjemah juga bertambah lantaran adanya perbedaan bahasa, budaya, dan konteks sosiologi yang dimiliki penulis teks sumber dan membaca terjemahan. Di sinilah penerjemah berupaya mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut dengan menggunakan metode teknik penerjemahan sesuai dengan kebutuhan saat berlangsungnya proses penerjemahan.16 Selain itu, Hoed dalam Zaka Al Farisi mengemukakan masalah pokok dalam penerjemahanialah sulitnya menemukan ekuivalensi atau kesepadanan. Seandainya ekuivalensi sudah ditemukan, maka setiap unsur bahasa yang dipadankan pun masih akanterbuka untuk melahirkan aneka penafsiran. Maka dari itu pengertian penerjemahan yang benar sangat bergantung pada faktor di luar teks itu sendiri. Faktor di luar teks itu antara lain pertama penulis teks yang dalam menghasilkan 14
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (TeoridanPraktek) (Bandung: Humaniora, 2005), h. 10 15 M. ZakaAlfarisi, PedomanPenerjemahan Arab-Indonesia(Bandung: RemajaRosdakarya. 2011), h. 25 16 M. ZakaAlfarisi, PedomanPenerjemahan Arab-Indonesia(Bandung: RemajaRosdakarya. 2011), h. 26
15
tulisannya tidak terlepas dari pengaruh pendidikan, lingkungan sosial, ideologi, dan hal-hal lain yang memengaruhi tulisannya.Faktor kedua ialah penerjemahan yang terikat dengan jaringan intertekstual dalam upaya mengalihkan pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa target.Faktor ketiga ialah pembaca yang boleh jadi mempunyai bermacam-macam tafsiran terhadap teks yang dibacanya.Faktor keempatialah perbedaan kaidah yang berlaku dalam bahasa sumber dan bahasa target.Faktor kelimaialah kebudayaan yang melatari bahasa target.Kemudian terakhir ialah hal yang dibicarakan dalam suatu teks yang bisa dipahami secara berbeda oleh penulis teks sumber, penerjemah, dan pembaca terjemahan.
2. Ideologi Penerjemahan Ormas Fundamentalis Pengertian Fundamentalisme Secara harfiah, fundamentalis berarti orang atau sekelompok orang yang taat dan setia pada dasar-dasar ajaran agamanya. Dalam bahasa Arab, kaum fundamentalis disebut dengan ushuli (yang berpegang pada dasar-dasar agama). Namun, pengertian fundamentalis yang secara harfiah posistif, yaitu konsisten dengan ajaran dasar agama, kemudian mengalami konotasi negatif. Dalam Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), fundamentalisme diartikan dengan paham atau gerakan keagamaan yang bersifat kolot atau reaksioner, yang selalu merasa perlu kembali pada ajaran agama yang asli seperti tersurat dalam kitab suci, yang sebagiannya cenderung memperjuangkan keyakinannya secara radikal. Kamus webster menjelaskan kata fundamentalis dengan menunjuk pada dua arti: yaitu (1) gerakan Protestanisme pada abad ke-20 yang menekankan penafsiran pada Alkitab secara literal (harfiah) sebagai sesuatu yang mendasar bagi hidup dan pengajaran
16
kristen. (2) sesuatu gerakan atau sikap yang menekankan ketelitian dan ketaatan secara harfiah terhadap sejumlah prinsip dasar.17 Olivier Roy membedakan antara fundamentalisme Islam tradisional dan modern. Fundamentalisme tradisional („ulama) dicirikan oleh kuatnya peran ulama atau oligarki klerikal (clerical oligarchy) dalam membuat penafsiran terhadap Islam, terutama Shi‟ah. Islam Shî„ah memberikan otoritas sangat besar kepada „ulama untuk menafsirkan doktrin agama. Tafsir mereka pun bersifat absolut. Akibatnya, kebebasan intelektual untuk menafsirkan teks-teks agama menjadi sangat sempit dan terbatas. Dapat dinyatakan bahwa salah satu faktor yang mendukung berkembangnya fundamentalisme (tradisional) adalah kuatnya otoritas „ulama, termasuk dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan politik. Dalam hal ini, tampak adanya kemiripan antara fundamentalisme di satu pihak dan tradisionalisme di pihak lain.18 Fundamentalisme tradisional menganggap „ulama dan penguasa politik merupakan dua entitas yang terpisah; masalah agama berada di tangan kaum klerikal, sementara negara berada di tangan figur sekular -presiden, raja. Karenanya, tidak ada teokrasi dalam Islam, kecuali dalam kasus wilâyat al-faqîh di Iran. Sedangkan fundamentalisme modern atau neo-fundamentalisme dicirikan oleh orientasi yang kuat kepada politik dengan menjadikan Islam sebagai ideologi. Islam tidak dipahami sebagai agama yang memuat doktrin tentang ritual, tetapi ditafsirkan sebagai ideologi yang diperhadapkan dengan ideologi modern seperti kapitalisme, liberalisme atau sosialisme. Roy mengidentifikasi Islamisme sebagai
17
Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, (Jakarta: PSIA UIN Jakarta),h. 164 Ahmad Nur Fuad, Interrelasi Fundamentalisme dan Orientasi Ideologi Gerakan Islam Kontemporer, (Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya), h. 19 18
17
bentuk lebih mutakhir dari neo-fundamentalisme. Fundamentalisme Islam modern tidak dipimpin oleh ulama (kecuali di Iran), tetapi oleh “intelektual sekular” yang secaraterbuka mengklaim sebagai pemikir religius.Mereka berpendapat bahwa karena semua pengetahuan itu bersifat ilahi dan religius; maka ahli kimia, teknik, insinyur, ekonomi, ahli hukum adalah ulama.12 Jadi, terdapat semacam anticlericalism
di
kalangan
fundamentalisme
Islam
modern,
meskipun
fundamentalisme dalam wajahnya yang lain juga dicirikan oleh adanya oligarki klerikal seperti disebut terdahulu. Fundamentalisme Islam adalah respons terhadap tantangan dan akibat yang ditimbulkan oleh modernisasi, dan bertujuan untuk menawarkan ideologi Islam terhadap dunia sekular- modern. Islam dijadikan sebagai alternatif pengganti ideologi modern, seperti
liberalisme, Marxisme dan nasionalisme. Karena
fundamentalisme bukanlah gerakan keagamaan per se, tetapi lebih dari itu adalah gerakan politik yang memperjuangkan suatu sistem kenegaraan yang didasarkan pada Islam (shari„>ah), dapat dipahami mengapa kebanyakan pemimpin fundamentalis adalah kaum intelektual tanpa pendidikan sistematik dalam studi Islam. Dengan ungkapan lain, mereka bukanlah teolog, tetapi pemikir sosial dan aktifis politik.19 Ini sangat tampak terutama dalam tradisi fundamentalisme Sunni. Meskipun dalam faktanya fundamentalisme Islam modern merupakan kelompok minoritas di dunia Islam, mereka menikmati dan memainkan peranan politik yang signifikan di banyak negara Muslim. Namun demikian, aktifitas mereka tidak diorganisasikan dari satu pusat, sehingga tidak jarang program, strategi dan taktik mereka berbeda dari satu negara ke negara lain. Dalam hal ini, fundamentalisme dicirikan oleh proliferasi kepemimpinan dan polycentrisme. 19
Ahmad Nur Fuad, Interrelasi Fundamentalisme dan Orientasi Ideologi Gerakan Islam Kontemporer,(Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya), h. 3-4
18
Namun, keragaman ini tidak menghilangkan adanya beberapa agenda, tema dan kebijakan bersama yang didukung oleh kaum fundamentalis Islam modern. Bagi fundamentalis Islam modern, negara Islam adalah negara ideologis yang domainnya mencakup seluruh kehidupan manusia. Negara Islam mengontrol relasi sosial, politik, ekonomi dan kultural, dan negara harus didasarkan pada hukum atau shari„at Islam (ideologi Islam). Meskipun
kaum fundamentalis
meyakini sifat
religius
mereka,
fundamentalisme sesungguhnya bukanlah sebuah pilihan untuk menjadi religius, melainkan sebagai corak pemikiran yang menyimpang dari arus utama (mainstream),
anti-modernisme,
karakter-karakter
lain
yang
anti-rasionalisme,
memiliki
konotasi
anti-intelektualisme negatif.
Dalam
dan
politik,
fundamentalisme dipandang sebagai ancaman bagi demokrasi, liberalisme dan pluralisme.20 Meski begitu, gerakan kaum fundamentalis kontemporer, termasuk di dalamnya fundamentalisme Islam, ada beberapa ciri fundamentalisme yang bisa dijadikan ukuran, yaitu: (1) cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara kaku, literalis (tekstual), absolut, dan dogmatis; (2) cenderung memonopoli kebenaran atas tafsir agama (menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas tafsir agama yang paling absah). Akibatnya, mereka menganggap dirinya sebagai orang yang benar-benar percaya terhadap agama, sementara di luarnya tidak percaya atau percaya setengah hati; agresif dalam merekrut anggota; represif, dan berupaya mengeliminir kelompok-kelompok non-Muslim; (3) meyakini kesatuan agama dan negara, di mana agama harus mengatur negara; (4) terutama di dunia Timur, memiliki pandangan yang stigmatis terhadap Barat (baik sebagai ide seperti 20
Ahmad Nur Fuad, Interrelasi Fundamentalisme danOrientasi Ideologi Gerakan Islam Kontemporer, (Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya) h. 19
19
pluralisme maupun sosial, khususnya politik), di mana Barat dipandang sebagai monster imperialis yang sewaktu-waktu mengancam akidah dan eksistensi mereka; (5) mendeklarasikan perang terhadap paham dan tindakan sekuler, yang karena itu program utamanya antara lain kontrol seksual; dan terakhir (6) sebagiannya cenderung radikal (menggunakan cara-cara kekerasan) dalam memperjuangkan nilai-nilai yang diyakininya, khususnya dalam berhadapan dengan modernitas dan sekularitas yang dinilainya menyimpang dan merusak keimanan.21 Diantara beragam
corak gerakan keagamaan (khususnya Islam) yang
berkembang di Indonesia. Di Indonesia, yang termasuk fundamentalisme Islam dakwahis adalah Jamaah Tabligh, sedangkan fundamentalisme Islam politis adalah kelompok Islam seperti
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI), Adapun yang termasuk fundamentalis jihadis di Indonesia adalah NII (Negara Islam Indonesia). Jamaah Tablig ini adalah merupakan organisasi dakwah Islam yang menitik beratkan kajiannya pada usaha menyebarkan benih-benih keislaman, sehingga ia tidak memiliki sistem organisasi yang kuat dan bagus sebagaimana organisasiorganisasi masyarakat lainnya. Dengan demikian, Jamaah Tablig bisa dijadikan sebagai salah satu model dalam berdakwah dan dapat diterapkan dalam berbagai kesempatan dan kepentingan.22 Hizbut Tahrir sebagai ormas alternatif dari ormas mainstream yang dalam riset ini dikategorikan fundamentalis/salafi politis, diantara yang membedakan HTI dengan kelompok Islam mainstream adalah dalam menafsirkan al-Qur‟an.HTI mendahulukan penafsiran secara harfiah dibandingkan penafsiran secara
21
Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, (Jakarta: PSIA UIN Jakarta),h. 166 Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman, (Jakarta: UIN Jakarta, 2013), h. 36 22
20
kontekstual. Namun, ini bukan berarti HTI mengharamkan sama penafsirkan
secara
sekali
kontekstual, karena mereka menyadari persoalan dalam
kehidupan terus berkembang. Sementara turunnya nash/teks al-Quran dan sunah sudah berhenti. Untuk dapat menjawab persoalan hidup yang terus berkembang itulah, diperlukan penafsiran secara kontekstual. NII Jihadis bagi kelompok fundamentalis seperti Darul NII, ada keyakinan bahwa agama harus menyatu dengan Negara, dimana Negara diatur atas dasardasar agama. Konsep ini didasarkan pada kepentingan kehidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
C. Makna Konotasi 1.
Definisi Konotatif Makna konotasi (evaluasi) ialah makna tambahan terhadap makna dasarnya
yang berupa nilai rasa atau gambar tertentu.Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi, tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral. Positif dan negatifnya nilai rasa sebuah kata seringkali juga terjadi sebagai akibat digunakannya referen kata itu sebagai sebuah perlambang. Jika digunakan sebagai lambang sesuatu yang positif maka akan bernilai rasa yang positif; dan jika digunakan sebagai lambang sesuatu yang negatif maka akan bernilai rasa negatif. Misalnya, burung garuda karena dijadikan lambang negara republik Indonesia maka menjadi bernilai rasa positif sedangkan makna konotasi yang bernilai rasa negatif seperti buaya yang dijadikan lambang kejahatan. Padahal binatang buaya
21
itu sendiri tidak tahu menahu kalau dunia manusia Indonesia menjadikan mereka lambang yang tidak baik.23 Makna konotasi sebuah kata dapat berbeda dari satu kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain, sesuai dengan pandangan hidup dan norma-norma penilaian kelompok masyarakat tersebut. Misalnya kata babi, di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas beragama islam, memiliki konotasi negatif karena binatang tersebut menurut hukum islam adalah haram dan najis. Sedangkan di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas bukan islam seperti di pulau Bali atau pedalama Irian Jaya, kata babi tidak berkonotasi negatif. Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti “cerewet” tetapi sekarang konotasinya positif. Sebaliknya kata perempuan dulu sebelum zaman Jepang berkonotasi netral, tetapi kini berkonotasi negatif. Contoh kata bermakna konotasi: A. Pandangan mataku melayang kearahnya, kutatap dia setajam silet B. Desir angin yang menyapa wajahku, tak dapat menyembunyikan kegelisahanku.
Konotasi dapat dibedakan atas dua macam, yaitu konotasi positif dan konotasi negatif. Konotasi positif mengandung nilai rasa lebih tinggi, baik, halus, sopan, dan menenangkan. Konotasi negatif mengandung nilai rasa rendah, jelek, kasar, kotor, dan tidak sopan
23
Chris Barker, Cultural Studies,TeoridanPraktik, (Jogjakarta: KreasiWacana, 2009), h. 94-93.
22
Contoh:Konotasi positif Konotasi negatif, suami istri laki bini, tunanetra buta, pria laki-laki. kata-kata yang bermakna konotatif biasanya digunakan dalam karya sastra.24
2.
Perbedaan Konotatif dan Denotatif Menurut Barthes, jika bahasa lebih banyak di produksi dan dipahami dalam
taraf denotasi maka karya sastra terutama puisi lebih banyak taraf konotasinya. System tanda primer atau denotasi digunakan untuk berkomunikasi, berfikir, dan menginterpretasikan segala sesuatu termasuk bahasa itu sendiri. Sedangkan system tanda sekunder atau konotasi merupakan pemanfaatan bahasa oleh sastrawan untuk merumuskan piikirannya dalam bentuk tanda bahasa secara artistic. Jika arti bahasa ditentukan oleh konvensi masyarakat, maka arti karya sastra selain ditentukan oleh konvensi masyarakat juga konvensi arti sastra itu sendiri. Dalam penciptaan sastra, sastrawan pertama kali diikat oleh arti bahasa, kemudian diolahnya menjadi sastra, sehingga acapkali tidak sama lagi dengan arti di luar karya sastra. Dalam bahasa Inggris arti bahasa disebut dengan meaning, sedang arti karya sastra disebut significance (meaning of meaning), dalam bahasa lain, makna sastra ditentukan oleh konvensi tambahan (konotasi) atau semiotika tingkat kedua, meskipun tidak lepas sama sekali dari arti bahasanya atau semiotic tingkat pertama. Dalam bahasa Winfried North, semiotika tingkat pertama disebut cortex (tingkat struktur makna permukaan) dan semiotic tingkat kedua disebut dengan nucleus (struktur makna dalam).
24
Kushartanti,PesonaBahasa, LangkahAwalMemahamiLinguistik,(Jakarta, GramediaPustakaUtama, 2004,), h. 123
23
Sebagaimana bahasa, karya sastra juga merupakan tindak komunikasi yang melibatkan berbagai komponen. Hanya saja, jika dalam tindak komunikasi bahasa, yang dominan terlibat hanya tiga: yaitu komunikator, komuniken, dan komunike, maka dalam tindak komunikasi sastra, menurut pendekatan semiotic, yang terlibat di dalamnya banyak. Paling tidak ada delapan komponen: pencipta, karya sastra, pembaca, kenyataan atau semesta, system bahasa, konvensi sastra, variasi bentuk karya sastra dan nilai keindahan25 Selain itu, Piliang,26 menjelaskan bahwa denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Makna denotasi (denotative meaning), dalam hal ini adalah makna pada apa yang tampak. Misalnya,
foto wajah
Soeharto
berarti
wajah
Soeharto
sesungguhnya.Denotasi adalah tanda yang penandaannya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi.Sedangkan konotasi adalah tingkat penandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi sebuah makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan).Ia menciptakan makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi atau keyakinan. Misalnya, tanda “bunga” mengkonotasikan “kasih sayang”.Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (conotative meaning). Selanjutnya, Chris Barker menjelaskan bahwa denotasi adalah level makna deskriptif dan literal yang secara tampak dimiliki oleh semua anggota kebudayaan.
25
Sukron Kamil, Najib Mahfuz Sastra, Islam dan Politik,(Jakarta: Dian Rakyat, 2013), h. 108-
109
26
Chris Barker, Cultural Studies,TeoridanPraktik, (Jogjakarta: KreasiWacana, 2009), h. 94-95.
24
Pada level kedua, yaitu konotasi, makna terbentuk dengan mengaitkan penanda dengan aspek-aspek kultural yang lebih luas; keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi suatu formasi sosial.Makna sebuah tanda dapat dikatakan berlipat ganda jika makna tunggal tersebut disarati dengan makna yang berlapis-lapis. Ketika konotasi dinaturalkan sebagai sesuatu yang hegemonik, artinya diterima sebagai sesuatu yang normal dan alami, maka ia bertindak sebagai mitos, yaitu konstruksi kultural dan tampak sebagai kebenaran universal yang telah ada sebelumnya dan melekat pada nalar awam.27 Konotasi yang mantap dapat berkembang menjadi mitos, yaitu makna tersembunyi yang secara sadar disepakati oleh komunitas.Mitos yang mantap dapat berkembang menjadi sebuah ideologi, yaitu sesuatu yang mendasari pemikiran sebuah komunitas sehingga secara tidak sadar pandangan mereka dipengaruhi oleh ideologi tersebut.28 Menurut Barthes, pada tingkat denotasi bahasa menghadirkan konvensi atau kode-kode sosial yang bersifat eksplisit, yakni kode-kode yang makna tandanya segera naik ke permukaan berdasarkan relasi penanda dan petandanya. Sebaliknya, pada tingkat konotasi bahasa menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bersifat implisit, yaitu sistem kode yang tandanya bermuatan makna-makna tersembunyi.Makna tersembunyi ini adalah makna yang menurut Barthes, merupakan kawasan dari ideologi atau mitologi.29Bagi Barthes, mitos merupakan sistem semiologis urutan kedua atau metabahasa. Mitos adalah bahasa kedua yang berbicara tentang bahasa tingkat pertama (penanda dan petanda) yang membentuk makna denotatif menjadi penanda pada urutan kedua pada makna mitologis konotatif.
27
Chris Barker, Cultural Studies TeoridanPraktik, (Jogjakarta: KreasiWacana, 2009), h. 74. Chris Barker, h.109 29 Chris Barker, h. 94 28
25
Kemudian Barker mengungkapkan, mitos menjadikan pandangan dunia tertentu tampak tak terbantahkan karena alamiah atau ditakdirkan Tuhan.Mitos bertugas memberikan justifikasi ilmiah kepada maksud-maksud historis, dan menjadikan berbagai peristiwa yang tak terduga tampak abadi. 30Makna dan terjemahan mempunyai hubungan yang sangat erat. Menurut Newmark dalam Suryawinata, menerjemahkan berarti memindahkan makna dari serangkaian atau satu unit linguistic dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Yang perlu dicermati adalah di dalam sebuah wacana terdapat lebih dari satu macam makna.Suryawinata mengemukakan ada lima macam makna yaitu, makna leksikal, gramatikal, tekstual, kontekstual, atau situasional, dan makna sosiokultural. Leksikal adalah butir linguistik yang terdapat di dalam kamus. Contoh kata handyang terdapat di dalam kamus longman berikut: the moveable parts at the of the arms, including the fingers.31Makna gramatikal adalah makna yang diperoleh dari bentukan, susunan atau urutan kata dalam frase atau kalimat.Lebih jelasnya makna tersebut dihasilkan oleh imbuhan atau makna yang ditimbulkan oleh susunan antara satu kata dengan kata yang lainnya yang menyusun kalimat.Perhatikan perbedaan makna dari beberapa pasang kata atau kalimat ini, menidurkan, meniduri, dan tertidur.32Sedangkan makna tekstual adalah makna suatu kata yang ditentukan oleh hubungannya dengan kata-kata lain di dalam suatu kalimat, makna kontekstual atau makna situasional adalah makna yang timbul dari situasi atau konteks di mana frasa, kalimat, atau ungkapan tersebut dipakai.33Sebuah ungkapan good morning bisa mempunyai makna yang
30
Chris Barker,Culturalh. 75 ZuchridinSuryawinata, Translation, BahasaTeoridanPenuntunPraktisMenerjemahkan, (Yogyakarta, Kanisius, 2003), h. 118 32 Kushartanti,PesonaBahasa, LangkahAwalMemahamiLinguistik,(Jakarta, GramediaPustakaUtama, 2004,), h. 124 33 J.D Parera, TeoriSemantik, (Jakarta: Erlangga, 2004,) h. 227 31
26
berbeda meskipun sama-sama diucapkan oleh seseorang atasan kepada pegawainya kalau waktunya berbeda good morning berarti sapaan yang ramah jika diucapkan oleh seorang atasan kepada seorang pegawainya yang datang lebih dahulu, mungkin sebelum pegawai-pegawai yang lain datang.Good Morning berarti sebuah teguran yang sinis bila diucapkan oleh atasan yang sama beberapa menit kemudian kepada seorang pegawai lain yang datang terlambat, dan yang terakhir adalah makna sosiokulural makna kata yang sesuai dengan faktor-faktor budaya masyarakat pemakai bahasa itu.34 Makna dan terjemahan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan proses pengambilan kata (kata ambilan) dalam menentukan bahasa sasaran. Pembahasan tentang kata ambilan harus dihubungkan dengan makna konotasi dan denotasi, konotasi mempunyai hak hidup yang sama dengan denotasi. Bahasa sebagai sarana komunikasi bermakna tidak dapat melaksanakan fungsinya secara lengkap tanpa adanya makna konotasi.Suatu studi yang lengkap tentang makna kata bukan hanya berurusan dengan makna denotasi, tetapi juga harus berurusan pula dengan makna konotasi.Bahasa yang hidup dan berkembang adalah bahasa yang memiliki makna denotasi dan makna konotasi. Komunikasi antarsesama manusia akan lebih hidup dan bermakna apabila dengan kehidupan dan penghidupan makna konotasi. Berbahasa tanpa memanfaatkan konotasi seperti berbahasa tanpa garam, kecuali berbahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.35 Hubungan antara denotasi dan konotasi terletak pada notasi atau rujukannya. Keduanya mempunyai notasi yang sama, tetapi yang satu menggunakan imbuhan de-, dan yang satu menggunakan imbuhanko-. Imbuhan de berarti tetap dan wajar
34
SugengHariyanto, Translation, BahasaTeoridanPenuntunPraktisMenerjemahkan,(Yogyakarta:Kanisius, 2004), h. 98 35 J. D. Parera,TeoriSemantik,(Jakarta, Erlangga, 2004), h. 97
27
sebagai mana adanya dan imbuhan ko- berarti “bersama dengan yang lain, ada tambahan yang lain” terhadap notasi yang bersangkutan. Jadi denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal. Umpamanya, kata babi bermakna denotatif yaitu sejenis binatang yang biasa diternakan untuk dimanfaatkan dagingnya.Kata kurus bermakna denotatif yaitu keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal. Jika makna denotatif mengacu pada makna asli atau makna sebenarnya dari sebuah kata atau leksem, maka makna konotatif merupakan makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata babi. Pada contoh diatas, orang yang beragama Islam atau didalam masyarakat Islam mempunyai konotasi negatif, ada rasa perasaan tidak enak bila mendengar kata itu.36 Berdasarkan uraian singkat di atas, kiranya makna denotasi lebih mudah dicatat dan direkam oleh para semantikus, khususnya para penyusun kamus leksikograf.Makna denotasi pula yang pertama kali dimasukkan dalam kamus bahasa.Oleh karena itu makna denotasi dapat dikatakan sebagai makna kamus atau makna yang sesuai dengan definisi dalam kamus. Harimurti dalam buku Mansoer Pateda berpendapat “aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).” Dengan kata lain, makna konotatif merupakan makna leksikal, yakni makna yang ditentukan
36
ZaenalArifin, CermatBerbahas Indonesia, Jakarta, (Jakarta: AkademikaPressindo, h. 25-27
28
oleh stilistis fungsional dan nuansa ekspresi pengungkapan bahasa.37 Misalnya, kata amplop bermakna sampul yang berfungsi sebagai tempat menyimpansurat yang akan disampaikan kepada orang lain, kantor, instansi, jabatan lain. Dalam hal ini kata amplop ini merupakan makna denotasi. Tetapi pada kalimat “Berilah ia amplop agar urusanmu segera selesai,” maka kata amplop tersebut bermakna konotatif, yakni berilah ia uang.38Sehubungan dengan contoh di atas konotasi terdapat diantara makna kata-kata yang bersinonim dan konotasi pun dapat muncul pada sebuah kata. Terdapat makna kata-kata tertentu yang berbeda konotasi antara pribadi, antarkelompok masyarakat, antaretnis, antargenerasi.Oleh karena itu, telaah tentang konotasi terdapat pada sebuah makna harus dilakukan secara historis dan deskriptif.Menelaah secara historis dan deskriptif bukanlah dua telaah yang berdiri sendiri, satu mata rantai yang bergerak dari satu ujung ke ujung lain, kadangkadang masih berdekatan dan kadang-kadang perkembangan makna itu sudah menjalani satu masa yang panjang sepanjang masa makna itu dipergunakan oleh masyarakat pemakainya.39 Dalam masa yang singkat makna kata akan tetap atau tidak berubah, akan tetapi dalam kurun waktu yang lama ada kemungkinan makna kata tersebut mengalami perubahan ataupun pergeseran maknanya. Perubahan makna adalah gejala pergantian rujukan dari simbol bunyi yang sama. Dalam perubahan makna terjadi perubahan pada rujukan yang berbeda dengan rujukan awal.Sebagai contoh
37
SalihenMoentaha, BahasadanTerjemahan; Language and Translation The New Millennium Publication,(Jakarta: KesaintBlanc – Anggota IKAPI, 2008), h. 163 38 R MansoerPateda,Semantikleksikal, (Jakarta, RinekaCipta), h. 112 39 J. D. Parera, TeoriSemantik,(Jakarta, Erlangga- Anggota IKAPI, 2008), h. 98
29
adalah kata dalam bahasa Arab khayat (kehidupan).40Kata tersebut jika dalam bahasa Indonesia menjadi hayati yang berarti hidup; kehidupan; nyawa. Secara sinkronis, makna sebuah kata atau leksem mungkin tidak akan berubah, tetapi secara diakronis ada kemungkinan berubah. Apalagi jika kata atau leksem tersebut merupakan kata serapan, yakni kata yang diserap dari bahasa lain. Perubahan itu sendiri muncul karena proses integrasi yang meliputi; (1) Percampuradukan penggunaan kata-kata asing dengan kata baru; (2) Kata lama terhapus oleh kata pinjaman; (3) Isi yang terkandung tercampur aduk antara kata lama dengan kata pinjaman untuk tujuan khusus.41Suatu bahasa menyerap kata dari bahasa lain karena didorong kebutuhan untuk mengungkapkan suatu konsep, barang, atau tempat. Di samping itu, menggunakan atau meminjam kata-kata yang sudah jadi lebih mudah daripada membuat atau menciptakan kata-kata baru.Faktor penyebab perbedaan atau perubahan makna meliputi hal-hal selain faktor kebahasaan, yakni faktor kesejarahan, faktor sosial, faktor psikologis, dan faktor ormas tertentu yang meliputi emotif, leksem tabu, dan faktor pengaruh bahasa asing, serta kebutuhan kata.42 Fenomena
linguistik
yang
benar-benar
tidak
teratur
dan
tidak
sistematis.Perubahan makna tidak terjadi pada semua kosakata, melainkan hanya terjadi pada sejumlah kata saja. Perubahan atau pergeseran makna terjadi karena berbagai sebab, antara lain karena perkembangan ilmu dan teknologi, perkembangan sosial budaya, perkembangan bidang pemakaian, dan asosiasi.43
40
J.D.Parera, TeoriSemantik, (Jakarta: Erlangga. 2004), h. 145 TadkiroatunMusfiroh, PerbedaanMakna Kata-Kata bahasa Indonesia SerapanBahasa Arab Dari MaknaSumbernya,(FBS UniversitasNegeri Yogyakarta 2004), h. 45 42 Kushartati, dkk, PesonaBahasa; langkahAwalMemahamiLinguistik,(Jakarta: PenerbitGarmediaPustakaUtama, 2005) h. 67 43 Abdul Chaer, LinguistikUmum, (Jakarta: Rineka Cipta,2007), h. 89 41
30
Missal keberadaan dua bentuk yang memiliki makna sama tetapi bentuk berbeda disebabkan adanya perbedaan pemakaian. Salah satu bentuk merupakan ragam resmi atau baku, sedangkan bentuk lain adalah ragam tidak resmi/baku atau cakupan.44 Contohnya kata jemaat dan jamaah yang berasal dari bentuk yang sama dalam bahasa Arab jama‟ah()جماعة.Dalam bahasa Indonesia kedua kata tersebut bermakna umat suatu agama. Kata jemaat digunakan oleh umat kristiani, sedangkan kata jamaah digunakan oleh umat Islam. Contoh kata tersebut tercantum dalam KBBI edisi keempat: Jamaah dan Jemaat. Kata jamaah dan jemaat berasal dari satu kosakata bahasa Arab yaitu jama‟ah. Kata tersebut diserap menjadi dua kosakata yang berbeda. Dalam KBBI, kata jamaah berarti sekolompok/sehimpunan orang. Tidak ada perbedaan antara arti jamaah dan jemaat.Dalam kata tersebut yang membedakan adalah penggunaan kedua kata.Kata jamaah digunakan dalam agama Islam, sedangkan jemaat digunakan oleh umat kristiani. Selain itu, pada pasangan kata lain yang berbeda ranah, yaitu kata Allah dan Allah.Kata pertama berada di ranah agama Islam dan kata kedua dalam agama Kristiani.Dalam ranah pertama kata Allah dilafalkan dengan konsonan /I/ rangkap yang dibaca tebal hampir berbunyi /alloh/. Dalam ranah Kristiani kata Allahdilafalkan /alah/ kedua kata tersebut berbeda dalam pelafalan, tetapi sama etimonya dan maknanya. Setiap kata asing yang masuk ke dalam bahasa asing lain selalu mengalami salah satu dari dua hal. Pertama, kata tersebut tetap dalam satu bentuk asalnya atau 44
UmiKulsum, “Doubletdalam kata serapan Arab: KajianPerbedaanMaknadan Register” Makalah Seminar NasionalPenerjemahan “RevitalisasiPeranPenerjemahan di Era Global” yang diselenggarakanoleh Program StudiTarjamahFakultasAdabdanHumaniora UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 2013, h. 304, 305
31
tidak mengalami adaptasi yang signifikan.Kedua, kata asing tersebut mengalami adaptasi atau penyesuaian bentuk sesuai dengan bahasa sasarannya. Adaptasi bentuk atau tidaknya sangat berkaitan dengan waktu pungutnya kata tertentu kedalam bahasa Indonesia pada waktu yang berbeda.45 Misalnya seperti kata fatwa dan petuah yang berasal dari bentuk yang sama, kedua kata tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia dalam waktu yang berbeda. Kata fatwa lebih awal di serap daripada petuah.Hal tersebut diketahui dari bentuk makna yang tetap namun tidak berubah.Kata yang mengungkapkan konsep agamis seperti fatwa, umumnya sangat dipelihara sehingga makna dan bentuk tidak berubah.46 Berbeda dengan petuah yang artinya adalah „nasihat‟,
„wejangan‟,
meskipun dapat juga berarti fatwa, tetapi kata petuah bentuknya berubah sesuai dengan sistem fonetik bahasa Indonesia.
3.
Sinonimi (Mutaradifat) Secara etimologi sinonim berasal dari bahasa yunani kuno, yaitu syn yang
berarti „dengan‟ dan onoma yang berarti „nama‟, maka secara harfiah kata sinonim berarti berarti „nama‟ lain untuk benda atau hal yang sama‟47 dengan kata lain sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan dengan ujaran dengan satuan ujaran yang lainnya.48 Misalnya, antara kata saya dengan kata aku, kata hamil dengan frase duduk perut.
45
UmiKulsum, “Doubletdalam kata serapan Arab: KajianPerbedaanMaknadan Register Makalah Seminar NasionalPenerjemahan “RevitalisasiPeranPenerjemahan di Era Global” yang diselenggarakanoleh Program StudiTarjamahFakultasAdabdanHumaniora UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 2013, h. 306 46 Ibid, h. 307 47 J.D Parera Teori Semantik, (Jakarta: Erlangga, 2004), h.36 48 Abdul Chaer Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rinerka Cipta, 1995). Cet, ke5 h. 82
32
Dalam bahasa Arab sinonim disebut Al-taraduf. Kata sinonim dalam bahasa Indonesia adalah kata yang yang bentuknya berbeda, tetapi megandung satu makna atau hampir sama. Oleh sebab itu, setiap pemakai bahasa harus tahu bagaimana menggunakan kata-kata sinonim itu karena ada kata sinonim yang dapat saja saling menggantikan (bersubstitusi), tetapi ada juga yang tidak. Ada yang dapat bersubstitusi dalam kalimat tertentu, namun dalam kalimat lain tidak dapat bersubstitusi. Karena ketidaktahuan pemakaian kata secara tepat.49 Kata-kata tersebut mempunyai kesamaan yang makna, namun tetap memperlihatkan perbedaan dalam hal pemakaian. Contoh kata orang dengan kata manusia i. Tumpukan pakaian itu dari jauh nampak seperti orang ii. Tumpukan pakaian itu dari jauh nampak seperti manusia Kalimat pertama dan kedua sinonim, karena orang dapat mengganti manusia. Namun kata orang dalam kalimat berikut tidak dapat digantikan dengan kata manusia, seperti pada; iii. Tuan Imam orang asing iv. Tuan Imam manusia asing Kalimat pertama tidak sama dengan kalimat kedua. Kalimat tersebut menunjukan perbedaan semestaan sehingga jelas bahwa orang asing bukan sinonim dari manusia asing.50 Dalam hal ini, untuk mendefisinikan sinonim, ada tiga batasan yang dapat dikemukakan, pertama; kata-kata dengan acuan ekstra linguistik yang sama, misalnya kata mati dan mampus, kedua; kata-kata yang mengandung makna sama, misalnya kata, memberitahukan dan kata menyampaikan, ketiga; kata-kata yang 49
J.S Badudu, Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar II, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 1994), cet. Ke-5, h. 72 50 Fatimah Djajasudarma, Semantik, Pengantar Arah Ilmu Makna 1, (Bandung: Refika Aditama, 1999), cet. Ke-2, h. 38-39
33
dapat disubtitusikan dalam konteks yang sama, misalnya “kami berusaha agar pembangunan masjid berjalan terus”51 Dalam pola keagamaan, perbedaan sudut pandang kebahasaan ini memicu perbedaan pandangan dalam memahami agama. Perbedaan yang paling menonjol adalah pola pemahaman yang dilakukan oleh kelompok Islam fundamentalis dan kelompok politis dakwahis. (kelompok yang di anggap mewakili pihak memahami Islam dari teks-teks keagamaan secara harfiah).52 Begitupun sebaliknya kelompok Islam Liberal mencoba memahami ajaran agama dari sisi lain teks untuk dapat mencapai makna kontekstual teks-teks keagamaan. Meskipun begitu kedua pemikiran tersebut memiliki keyakinan yang sama dalam kebenaran teks ayat-ayat suci Alquran.53Dalam hal ini posisi kebahasaan menunjukan pola keagamaan yang fundamentalisme atau setia dengan keagamaanya.
51
Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta; Rinerka Cipta, 2001), cet. Ke-2, h. 222-223 Mujibarahman, Menakar Fenomena Fundamentalisme Islam, Jurnal Tashwirul Afkar. Edisi no. 13,tahun 2003, (Jakarta; Lak Pes dam, 2003), h. 39 53 Moch Mansyur Kurniawan, Pedoman Bagi Penerjemah: Arab Indonesia-Indonesia Arab, (Jakarta: Moyo Segoro Agung 2002), h. 20 52
34
BAB III PROFIL HIZBUT TAHRIR DAN GAMBARAN UMUM HIZBUT TAHRIR
A. Profil Singkat 1. Perkembangan dan Sejarah Munculnya Hizbut Tahrir di Indonesia Hizbut Tahrir berdiri pada tahun 1953 di Al-Quds (Baitul Maqdis), Palestina. Gerakan yang menitik beratkan perjuangan membangkitkan umat di seluruh dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya kembali Khilafah Islamiyah ini dipelopori oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang ulama alumni Al-Azhar Mesir, dan pernah menjadi hakim di Mahkamah Syariah di Palestina. Hizbut Tahrir kini telah berkembang ke seluruh negara Arab di Timur Tengah, termasuk di Afrika seperti Mesir, Libya, Sudan dan Aljazair. Juga ke Turki, Inggris, Perancis, Jerman, Austria, Belanda, dan negara-negara Eropah lainnya hingga ke Amerika Serikat, Rusia, Uzbekistan, Tajikistan, Kirgistan, Pakistan, Malaysia, Indonesia, dan Australia.1 Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merupakan organisasi Islam yang menjadi bagian dari Hizbut Tahrir yang berkembang di sejumlah Negara Arab dan merupakan gerakan Islam yang bercorak transnasional yang berpusat di Yerussalem dan Yordania.TransmisiHizbut
Tahrir
sebagai
gerakan
ke
1
Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat (Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia), Jakarta:PSAP (Pusat Studi Agama dan Peradaban) Muhammadiyah, 2007,Cet I, h.388
35
Indonesia terjadi pertama kali pada tahun 1982-1983 melalui M.Mustofa dan Abdurrahman al Baghdadi. Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dengan merintis dakwah di kampus-kampus besar di seluruh Indonesia. Pada era 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir merambah ke masyarakat, melalui berbagai aktivitas dakwah di masjid, perkantoran, perusahaan, dan perumahan. Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang berideologi Islam. Politik merupakan kegiatannya, dan Islam adalah ideologinya. Hizbut Tahrir bergerak di tengah-tengah umat, dan bersama-sama mereka berjuang untuk menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, serta membimbing mereka untuk mendirikan kembali sistem Khilafah dan menegakkan hukum yang diturunkan Allah dalam realitas kehidupan.2 Namun karena kurikulum yang diberlakukan di sekolah-sekolah dimana ia mengajar dipengaruhi oleh pendidikan Barat, maka selanjutnya ia memutuskan untuk menjadi seorang hakim. Menurut pandangannya, bahwa sistem pengadilan Palestina masih berakar dari tradisi hukum Islam. Oleh sebab itulah, ia segera memutuskan untuk beralih profesi dari seorang guru menjadi seorang hakim. Ia diangkat menjadi seorang hakim pertama di Bissan, Taberrias dan Haifa, tempat kelahirannya. Jabatan sebagai hakim terus ia pegang sampai terjadinya pendudukan Israel atas Palestina pada 1948. Dan saat itulah ia akhirnya berpindah ke Yordania. Kemudian tahun 1951, ia mengundurkandiri dari semua jabatan
2
Lihat: http://hizbut-tahrir.or.id/category/seputar-khilafah.org
36
formal yang dipegang. Dengan perjuangannya, akhirnya tahun 1952 Hizbut Tahrir didirikan secara resmi di al Quds Palestina3 Gerakan Hizbut Tahrir di Indonesia pada tahun 2000-an secara terbuka mengumumkan keberadaannya di tengah publikSecara terbuka, munculnya organisasi ini dalam konteks Indonesia kemudian dikenal dengan nama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).4 Namun keberadaannya hanya bisa diketahui melalui juru bicaranya, terbitan-terbitan resminya5 dan lain sebagainya. Pada tanggal 5 Maret 2004, HTI meluncurkan buku Partai Politik Islam
yang disusun
oleh
HTI serta situs(www.hizbut-tahrir.or.id) bersamaan dengan Seminar Khilafah yang diselenggarakan HTI dan Majelis Taklim Dharmala.6Dan pada tahun 2007 HT mengadakan konferensi besar tentang penegakan Khilafah di Indonesia, sekitar 100.000 orang hadir.7Para aktifis
tokoh
HTI
mayoritas
berlatarbelakang
gerakan keagamaan di kampus-kampus. Terbukti, salah satu pimpinan
pusat HTI. Muhammad al Khattat adalah alumni sivitas akademika IPB Bandung. Saat ini, HTI dipimpin oleh Rokhmat Es. Labib.8 Dalam lingkup nasional, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesiatetap dipegang oleh Ismail Yusanto sedangkan untuk wilayah Jateng dipimpin oleh Abdullah HT. Hizbut Tahrir Indonesia sejak awal memang didesain sebagai organisasi politik. 3
Jamhari, Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Gerakan di Indonesia, (Jakarta:Grafindo Persada,2004,CetI,h.165. 4 Umi Sumbulah,Konfigurasi Fundamentalisme Islam,(Malang:UIN Malang Press) h. 96 5 Salah satu media resminya adalah jurnal Khilafah, majalah al-Wa’ie baik yangditulis oleh ideologimaupun para aktifis Hizbut Tahrir Indonesia maupun aktifis HTInternasional 6 Dalam majalah Al Waie,Kaleidoskop Aktivitas Politik dan Dakwah Hizbut TahrirIndonesia (HTI),oleh redaksi AlWaie 7 HizbutTahrirIndonesia,Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia (Indonesia, Khilafah, dan Penyatuan Kembali Dunia Islam),(Jakarta:HTI Press,2009), h. 72 8 HizbutTahrirIndonesia h. 72
37
Tetapi,berbeda dengan organisasi politik yang dikenal selama ini, HTI tidak mendaftarkan diri secara formal sebagai parpol yang ikut dalam pemilihan umum (pemilu). Dengan kata lain, HTI merupakanpartai politik yang bergerak di luar parlemen.9HTI
merupakan
partai
politik
meskipun
tidak
secara
resmi
mendaftarkan ke Departemen Kehakiman. HTI sebagai partai politik, memiliki tiga karakteristik10yaitu pertama; secara ideologis partai ini berdasarkan Islam yang digunakan sebagai cara pandang dalam melakukan penilaian terhadap berbagai hal. Kedua; ruang geraknya bersifat transnasional karena HTI adalah bagian dari Hizbut Tahrir Internasional yang mempunyai perwakilan di berbagai Negara, dan ketiga; aktifitas HTIbersifat ekstra parlementer.Prinsip
dakwah
HTI didasarkan padapandangan-pandangan idelogis sebagai berikut11:Pertama, HTI mengemban dakwah dalam rangka memenuhi seruan Allah. Salah satu hal penting yang merupakan seruan Allah adalah terwujudnya sistem khilafah dan diterapkannya hukum-hukum Allah di muka bumi. Kedua, HTI dalam dakwahnya selalu berpedoman pada basis hukumhukum syara‟ sebagai asas bagi keseluruhan tindakan dan aktifitasnya. Karenanya, HTI bertekad kuat untuk bersikap terus terang, berani, tegas, serta menentang setiap hal yang bertentangan dengan Islam. Lebih lanjut HTI tidak mau berkompromi dengan para penguasa yang tidak menerapkan hukum Islam.
9
Jamhari, Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Gerakan di Indonesia, (Jakarta:Grafindo Persada,2004),CetI,h. 180 10 EndangTurmudidanRizaSihbudi, Islam danRadikalisme di Indonesia, (Jakarta:LIPI Press, 2005), h. 265-267 11 Umi Sumbulah.Konfigurasi Fundamentalisme Islam.(Malang:UIN Malang Press h), 130
38
Ketiga, HTI berjuang untuk menerapkan Islam secara sempurna yang meliputi seluruh hukum syara‟.Bagi Hizbut Tahrir, pelembagaan syariat Islam dalam kehidupan Negara bahkan melekat
dengan tujuannya
yaitu “untuk
membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga urusan pemerintahan
dapat
dijalankan
sesuai
dengan
apa
yang
diturunkan
Allah.” Hizbut Tahrir merupakan organisasi kemasyarakatan, bukan organisasi kerohanian (seperti tarekat), bukan lembaga ilmiah (seperti lembaga studi agama atau badan penelitian), bukan lembaga pendidikan (akademis), dan bukan pula lembaga sosial (yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan). Ide-ide Islam menjadi jiwa, inti, dan sekaligus rahasia kelangsungan kelompoknya.12 Hizbut Tahrir didirikan dalam rangka memenuhi seruan Allah Swt :“(Dan) hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (jamaah) yang menyeru kepada kebaikan (mengajak memilih kebaikan, yaitu memeluk Islam), memerintahkan kepada yang ma‟ruf dan melarang dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)13 Ayat al Quran tersebut bukan sekedar seruan dari Allah tetapi merupakan qarinah (indikasi)14 yang bersifat kewajiban untuk amar ma‟ruf nahi munkar melalui suatu jama‟ah/kelompok yang dibentuk.Dan jamaah yang dimaksud menurut paham Hizbut Tahrir harus berbentuk partai politik dankegiatan amar
12
Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat (Reproduksi Salafiyah Ideologisdi Indonesia),(Jakarta:PSAP {Pusat Studi Agama dan Peradaban} Muhammadiyah,2007),Cet I, h 389 13 DepartemenAgamaRI,Alqur’andanTerjemahannya,(Bandung:Syaamil CiptaMedia,2005),h.63 14 Haedar Nashir, Gerakan IslamSyariat (Reproduksi Salafiyah Ideologis diIndonesia),(Jakarta:PSAP {Pusat Studi Agama dan Peradaban} Muhammadiyah), 2007,Cet I, h. 406– 407
39
ma‟ruf nahi munkar itu dalam bentuk aktifitas politik daripartai yang telah dibentuk. Hizbut Tahrir selanjutnya disebut HT, secara etimologisHizbut Tahrir berarti Partai Pembebasan. Hizbut Tahrir15 didirikan oleh Syaikh Taqiyuddin al Nabhani (1909- 1979)pada tahun 1952 di Quds, Palestina. Setelah an-Nabhani meninggal pada 20 Desember 1977 di Beirut, kepemimpinan Hizbut Tahrir digantikan oleh Syaikh Abdul Qadir Zallum. Pada saat kepemimpinannya, Hizbut Tahrir berkembang semakin pesat. Ia menyerukan kepada para anggotanya untuk menyebar ke seluruh penjuru dunia. Sepeninggal
pemimpin
keduanya
pada
tahun
2003
M/1424
H,
kepemimpinanHizbut Tahrir digantikan oleh Syaikh Atha Abu Rusythah secara internasional.16 Abu Rusythah merupakan seorang insinyur, ahli elektro. Ia merupakan salah satu aktivis Hizbut Tahrir sejak masih muda. Ia pernah menjadi juru bicara Hizbut Tahrir di Yordania. Sekarang ialah sebagai top leader dalam struktur kepemimpinan organisasi transnasional tersebut. Organisasi ini diakui oleh pendirinya dan sekaligus para aktivisnya bukan sebagai organisasi sosial keagamaan tetapi sebagai partai politik. Hizbut Tahrir dinyatakan sebagai partai politik yang berideologi Islam. Ia mengusung ide yang bertujuan mengembalikan supremasi Islam pada abadpertengahan dalam bentuk
15
Umi Sumbulah. Konfigurasi Fundamentalisme Islam.(Malang:UIN Malang Press), 2009, Cet I, h. 96. 16 Hizbut Tahrir Indonesia, Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia(Indonesia, Khilafah, dan Penyatuan Kembali Dunia Islam),(Jakarta:HTI Press,2009), h.72.
40
mendirikan pemerintahan Islam (KhilafahIslamiyah) dan penegakan syariat Islam secara internasional di seluruh dunia. Hizbut Tahrir didirikan dengan membawa tujuan untuk membebaskan umat manusia dari dominasi paham, pemikiran, sistem hukum, dan Negara kufur menjadi paham Negara Islamdengan menerapkan syariah Islam secara kaffah dan mengembandakwah ke seluruh penjuru dunia. Tujuan ini tidak lain berarti membawa umat Islam kembali pada kehidupan Islam di dalam Darul Islam, yakni Negara Islam dan masyarakat Islam, sehingga seluruh persoalan kehidupan
umat
diaturdengan
syariah
Islam
dalam
sebuah
Daulah
Khilafah.17Dalam kitab MafahimTaqiyuddin an Nabhani menjelaskan: “Hizbut Tahrirmenyerukan Islam kepada seluruh lapisan masyarakat, agar mereka terikat dan mengambil mafahim (ide-ide) dan systemIslam. HizbutTahrir memandang mereka dengan pandangan Islam, walaupun mereka terdiri dari berbagai suku dan madzhab. HizbutTahrir melakukan interaksi perjuangan bersama- sama umat untuk meraih apa yang dicitacitakannya. Hizbut Tahrir menentang penjajahan dalam segala bentuk dan istilahnya, untuk membebaskan umat dari qiyadah fikriyahpenjajah, dan mencabut akar-akarnya; baik aspek budaya, politik, militer, ekonomi, dan sebagainya dari tanah negeri kaum Muslim. Hizbut Tahrir berjuang mengubah mafahim (ide-ide) yang telah tercemari oleh penjajah, yang membatasi Islam hanya pada aspek ibadah dan akhlak semata.”18
Adapun landasan pemikiran HT adalah Kitabullah (al Qur‟an alKarim) dan Sunnah Rasulullah, serta Ijma‟ dan Qiyas dengan prinsip bahwa semua
17
HizbutTahrirIndonesia,Manifesto HizbutTahriruntuk Indonesia (Indonesia, Khilafah, danPenyatuanKembaliDunia Islam),(Jakarta:HTI Press,2009), h 67-68. 18 Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Hizbut Tahrir,(Jakarta:HizbutTahrirIndonesia,2001),h.128.
41
ide, pendapat, dan hukum hanya bersumber dari Islam dan tidak satupun berasal atau dipengaruhi oleh sesuatu yang tidak bersumber dari Islam.19 Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang amat parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan hukum-hukum kufur, serta membebaskan mereka dari cengkeraman dominasi dan pengaruh negara-negara kafir. Hizbut Tahrir bermaksud juga membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga hukum yang diturunkan Allah Swt dapat diberlakukan kembali.
2.
Tujuan Hizbut Tahrir Hizbut Tahrir bertujuan melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban
dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Tujuan ini berarti mengajak kaum muslimin kembali hidup secara Islami dalam Darul Islam dan masyarakat Islam. Di mana seluruh kegiatan kehidupannya diatur sesuai dengan hukum-hukum syara‟. Pandangan hidup yang akan menjadi pedoman adalah halal dan haram, di bawah naungan Daulah Islamiyah, yaitu Daulah Khilafah, yang dipimpin oleh seorang Khalifah yang diangkat dan dibai‟at oleh kaum muslimin untuk didengar dan ditaati agar menjalankan pemerintahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Di samping itu Hizbut Tahrir bertujuan membangkitkan kembali umat Islam dengan kebangkitan yang benar, melalui pola pikir yang 19
Taqiyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam Terjemahan Nizham alIslam,(Jakarta:HTI Press, 2007), h. 142.
42
cemerlang. Hizbut Tahrir berusaha untuk mengembalikan posisi umat ke masa kejayaan dan keemasannya seperti dulu, di mana umat akan mengambil alih kendali negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia ini. Dan negara Khilafah akan kembali menjadi negara nomor satu di dunia—sebagaimana yang terjadi pada masa silam—yakni memimpin dunia sesuai dengan hukum-hukum Islam.Hizbut Tahrir bertujuan pula untuk menyampaikan hidayah (petunjuk syari‟at) bagi umat manusia, memimpin umat Islam untuk menentang kekufuran beserta segala ide dan peraturan kufur, sehingga Islam dapat menyelimuti bumi.
3.
Kegiatan Hizbut Tahrir Kegiatan Hizbut Tahrir adalah mengemban dakwah Islam untuk mengubah
kondisi masyarakat yang rusak menjadi masyarakat Islam. Hal ini dilakukan dengan mengubah ide-ide rusak yang ada menjadi ide-ide Islam, sehingga ide-ide ini menjadi opini umum di tengah masyarakat serta menjadi persepsi bagi mereka. Selanjutnya persepsi ini akan mendorong mereka untuk merealisasikan dan menerapkannya sesuai dengan tuntutan Islam. Juga dengan mengubah perasaan yang dimiliki anggota masyarakat menjadi perasaan Islam—yakni ridla terhadap apa yang diridlai Allah, marah dan benci terhadap apa yang dimurkai dan dibenci oleh Allah—serta mengubah hubungan/interaksi yang ada dalam masyarakat menjadi hubungan/interaksi yang Islami, yang berjalan sesuai dengan hukumhukum dan pemecahan- pemecahan Islam.20
20
Lihat:http://hizbut-tahrir.or.id/category/seputar-khilafah/
43
Hizbut Tahrir telah muncul dan berkembang, kemudian menyebarluaskan aktivfitas dakwahnya di negeri-negeri Arab, maupun sebagian besar negeri-negeri Islam lainnya.
4.
Strategi Dakwahis Polistis Hizbut Tahrir Seluruh kegiatan yang dilakukan Hizbut Tahrir bersifat politik. Maksudnya
adalah bahwa Hizbut Tahrir memperhatikan urusan-urusan masyarakat sesuai dengan hukum-hukum serta pemecahannya secara syar‟i. Karena yang dimaksud politik adalah mengurus dan memelihara urusan-urusan masyarakat sesuai dengan hukum-hukum Islam dan pemecahan-pemecahannya. Kegiatan-kegiatan yang bersifat politik ini tampak jelas dalam aktifitasnya dalam mendidik dan membina umat dengan tsaqafah Islam, meleburnya dengan Islam, membebaskannya dari akidah-akidah yang rusak, pemikiran-pemikiran yang salah, serta persepsi-persepsi yang keliru, sekaligus membebaskannya dari pengaruh ide-ide dan pandangan-pandangan kufur. Kegiatan politik ini tampak juga dalam aspek pertarungan pemikiran (ash shiro‟ul fikri) dan dalam perjuangan politiknya (al kifahus siyasi). Pertarungan pemikiran terlihat dalam penentangannya terhadap ide-ide dan aturan-aturan kufur. Hal itu tampak pula dalam penentangannya terhadap ide-ide yang salah, akidah-akidah yang rusak, atau persepsi-persepsi yang keliru, dengan cara
44
menjelaskan kerusakannya, menampakkan kekeliruannya, dan menjelaskan ketentuan hukum Islam dalam masalah tersebut.21 Adapun perjuangan politiknya, terlihat dari penentangannya terhadap kaum kafir imperialis untuk memerdekakan umat dari belenggu dominasinya, membebaskan umat dari cengkeraman pengaruhnya, serta mencabut akar-akarnya yang berupa pemikiran, kebudayaan, politik, ekonomi, maupun militer dari seluruh negeri-negeri Islam. Perjuangan politik ini juga tampak jelas dalam kegiatannya menentang para penguasa, mengungkap pengkhianatan dan persekongkolan mereka terhadap umat, melancarkan kritik, kontrol, dan koreksi terhadap mereka serta berusaha menggantinya tatkala mereka mengabaikan hak-hak umat, tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, melalaikan salah satu urusan umat, atau menyalahi hukum-hukum Islam. Seluruh kegiatan politik itu dilakukan tanpa menggunakan cara-cara kekerasan (fisik/senjata) (laa madiyah) sesuai dengan jejak dakwah yang dicontohkan Rasulullah saw.Jadi kegiatan Hizbut Tahrir secara keseluruhan adalah kegiatan yang bersifat politik, baik sebelum maupun sesudah proses penerimaan pemerintahan (melalui umat). Kegiatan Hizbut Tahrir bukan di bidang pendidikan, karena ia bukanlah madrasah (sekolah). Begitu pula seruannya tidak hanya bersifat nasihat-nasihat dan petunjuk-petunjuk. Kegiatan Hizbut Tahrir bersifat politik, (yaitu) dengan
21
Lihat:http://hizbut-tahrir.or.id/category/seputar-khilafah/
45
cara mengemukakan ide-ide (konsep-konsep) Islam beserta hukum-hukumnya untuk dilaksanakan, diemban, dan diwujudkan dalam kenyataan hidup dan pemerintahan. Hizbut Tahrir mengemban dakwah Islam agar Islam dapat diterapkan dalam kehidupan dan agar Aqidah Islamiyah menjadi dasar negara, dasar konstitusi dan undang-undang. Karena Aqidah Islamiyah adalah aqidah aqliyah (aqidah yang menjadi dasar pemikiran) dan aqidah siyasiyah (aqidah yang menjadi dasar politik) yang melahirkan aturan untuk memecahkan problematika manusia secara keseluruhan, baik di bidang politik, ekonomi, budaya, sosial, dan lain-lain.
5.
Metode Dakwah Hizbut Tahrir Metode yang ditempuh Hizbut Tahrir dalam mengemban dakwah adalah
hukum-hukum syara‟, yang diambil dari thariqah (metode) dakwah Rasulullah saw, sebab thariqah itu wajib diikuti. Sebagaimana firman Allah Swt: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (dengan membaca dzikir dan mengingat Allah).” (QS. Al Ahzab : 21) “Katakanlah: „Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran : 31) “Apa saja yang dibawa Rasul untuk kalian, maka ambilah. Dan apa saja yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr : 7) Dan banyak lagi ayat lain yang menunjukkan wajibnya mengikuti perjalanan dakwah Rasulullah saw, menjadikan beliau suri teladan, dan mengambil ketentuan hukum dari beliau.
46
Berhubung kaum muslimin saat ini hidup di Darul Kufur—karena diterapkan atas mereka hukum-hukum kufur yang tidak diturunkan Allah Swt— maka keadaan negeri mereka serupa dengan Makkah ketika Rasulullah saw diutus (menyampaikan risalah Islam). Untuk itu fase Makkah wajib dijadikan sebagai tempat berpijak dalam mengemban dakwah dan meneladani Rasulullah saw.22 Dengan mendalami sirah Rasulullah saw di Makkah hingga beliau berhasil mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah, akan tampak jelas beliau menjalani dakwahnya dengan beberapa tahapan yang sangat jelas ciri-cirinya. Beliau melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang tampak dengan nyata tujuantujuannya. Dari sirah Rasulullah saw inilah Hizbut Tahrir mengambil metode dakwah
dan
tahapan-tahapannya,
beserta
kegiatan-kegiatan
yang
harus
dilakukannya pada seluruh tahapan ini, karena Hizbut Tahrir mensuriteladani kegiatan-kegiatan yang dilakukan Rasululah saw dalam seluruh tahapan perjalanan dakwahnya.
B. Ulasan Buku Mafahim Hizbut Tahrir Sesuai judulnya, kitab Mafahim Hizbut Tahrir (selanjutnya disingkat Mafahim) ini bermaksud mengenalkan dan menjelaskan berbagai pemahaman (Mafahim) keislaman yang diadopsi Hizbut Tahrir (HT). Kitab Mafahim ini pada dasarnya ingin menjawab 3 (tiga) pertanyaan strategis menyangkut Hizbut Tahrir dan ide-idenya. Pertama, apa latar belakang
22
Lihat;http://hizbut-tahrir.or.id/category/seputar-khilafah//
47
munculnya HT di tengah kancah berbagai gerakan Islam di Dunia Islam? Kedua, mengapa Hizbut Tahrir perlu mengadopsi berbagai pemahaman (mafahim) keislaman yang khas baginya? Ketiga, apa saja pemahaman-pemahaman Islam yang telah diadopsi HT guna membangkitkan umat Islam?
Latar Belakang Eksistensi HT Bagian awal kitab Mafahim (hal. 1-13) menjelaskan latar belakang lahirnya HT. HT muncul dalam realitas dimaksudkan untuk menjadi gerakan alternatif setelah gagalnya berbagai gerakan Islam untuk membangkitkan umat dari kemerosotannya.Dalam kitab Mafahim diuraikan tiga sebab utama kegagalannya (hal. 4), yaitu: Pertama, adanya ketidakjelasan fikrah (pemikiran) Islami di benak para aktivisnya. Misalnya, fikrah mereka campur aduk antara pemikiran Islami dan filsafat Yunani. Kedua, adanya ketidakjelasan thariqah (metode) Islami untuk menerapkan fikrahnya. Misalnya, ingin menegakkan syariah dalam kehidupan masyarakat tapi thariqahnya non-politis (tanpa Daulah Islamiyah) seperti mendirikan pesantren, sekolah, dan sebagainya. Ketiga, tidak adanya ikatan solid antara fikrah dan thariqahnya sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Misalnya, mengkaji hukum fikrah seperti hukum nikah, tapi melalaikan hukum thariqah untuk menerapkan hukum nikah itu, yaitu hukum-hukum Khilafah. Ingat, wali hakim dalam nikah itu seharusnya adalah khalifah atau yang mewakilinya. Karena tiga sebab utama itu, dan sebab-sebab lainnya yang memperburuk keadaan umat di abad ke-19 dan ke-20 M (hal. 6-13), gagallah upaya berbagai
48
gerakan Islam untuk membangkitkan umat Islam. Benar bahwa gerakan-gerakan tersebut telah meninggalkan pengaruh sampai batas tertentu, namun semuanya tidak berhasil membangkitkan umat atau mencegah umat agar tidak terus mengalami kemerosotan. Berdasarkan kenyataan inilah, HT lahir dari rahim umat untuk menjadi gerakan
alternatif
setelah
kegagalan
berbagai
gerakan
Islam
untuk
mmembangkitkan umat dari kemerosotannya sejak abad ke-18 M.
Hizbut Tahrir dan Mafahim Mengapa HT perlu mengadopsi berbagai pemahaman (mafahim) keislaman yang khas baginya? Sebab kemerosotan itu tiada lain terjadi karena benak umat mengalami kelemahan yang luar biasa (al-dha‟f asy-syadid) dalam memahami Islam (hal. 3). Padahal, sebagaimana sudah dimaklumi, perilaku manusia (suluk al-insan) itu dipengaruhi oleh pemahamannya. Kelemahan dalam memahami Islam, dengan sendirinya, akan membuat sikap dan perilaku umat menjadi lemah pula dalam menjalani kehidupan, yaitu merosot dari kondisinya yang seharusnya. Umat Islam akhirnya hidup terjajah oleh negara-negara penjajah yang kafir dalam sistem kehidupan sekuler. Kelemahan pemahaman itu terjadi sejak lama, yaitu sejak abad ke-2 H hingga detik ini, baik karena faktor internal maupun faktor eksternal. Faktorfaktor ini yang menonjol adalah :
49
(1) Transfer filsafat India, Persia, dan Yunani pada abad ke-2 H ke tubuh umat Islam dan adanya upaya untuk mencari titik temunya dengan Islam, padahal sebenarnya terdapat kontradiksi tajam antara Islam dan filsafat; (2) Adanya manipulasi berbagai pemikiran dan hukum Islam oleh orang-orang yang dengki terhadap Islam; (3) Adanya pengabaian bahasa Arab yang sesungguhnya mutlak perlunya untuk memahami dan mengamalkan Islam, termasuk untuk berijtihad guna mengatasi masalah-masalah baru. Ini terjadi pada abad ke-7 H. (4) Adanya invasi misionaris, kemudian invasi budaya dan politik dari negaranegara Barat yang kafir sejak abad ke-17 M (Abdul Qadim Zallum, Hizbut Tahrir, hal. 13). Dampak berbagai faktor yang mengaburkan di atas, membuat benak kaum muslimin bagaikan bejana yang penuh dengan aneka macam air yang campur aduk, antara yang suci dan najis. Dalam benak umat ada pemahaman tauhid, tapi mungkin tercampur paham tashawwuf wihdatul wujud dari Ibn Al-„Arabi (w. 638 H/1240 M), yang aslinya adalah filsafat emanasi dari Neoplatonisme Yunani. Dalam benak umat ada pemahaman iman kepada al-Qur`an, tapi mungkin mereka hanya mampu membacanya dan tak mampu mengistinbath hukum darinya karena mereka mengabaikan bahasa Arab. Dalam benak umat ada pemahaman wajibnya menerapkan syariah, tapi mungkin
itu
bercampur
aduk
dengan
paham
sekularisme,
demokrasi,
nasionalisme, dan liberalisme (kebebasan) dari Barat yang justru melemahkan
50
atau memusnahkan syariah. Atau mungkin bercampur dengan konsep yang mengatakan bolehnya perubahan hukum Islam disesuaikan waktu dan tempat. kalau pemahaman diumpamakan air, berarti benak umat telah terisi dengan campuran antara air yang suci dan menyucikan (pemahaman sahih) dengan air yang suci tapi tidak menyucikan (pemahaman lemah) dan dengan air yang terkena najis (pemahaman batil). Dengan pemahaman yang amburadul dan kacau balau seperti ini, wajar jika umat Islam mengalami kemunduran yang drastis. Maka dari itu, HT melihat adanya keharusan untuk memperbarui pemahaman umat Islam itu guna membangkitkan kembali umat dari kemerosotannya. Caranya ialah dengan mengadopsi sejumlah pemahaman Islam yang murni, yang bebas dari unsur-unsur yang mengaburkan atau mengotorinya. Pemahaman Islam yang murni ini bagaikan air yang suci lagi menyucikan. Menyifati berbagai pemahaman mengenai hukum dan pemikiran Islam yang diadopsi HT itu, Taqiyuddin an-Nabhani berkata,"Ini adalah berbagai pendapat, pemikiran, dan hukum yang Islami, bukan yang lain. Tidak ada di dalamnya sesuatu pun yang tidak Islami dan tidak terpengaruh pula oleh segala sesuatu yang tidak Islami. Sebaliknya ia adalah Islami semata, tidak bersandar kecuali kepada pokok-pokok ajaran Islam dan nash-nashnya." (Taqiyuddin AnNabhani, Mafahim, hal. 14).
Apa Saja Mafahim HT Lalu, pemahaman Islami apa saja yang diadopsi HT dalam kitab ini? Sebelum dijelaskan, perlu dipahami bahwa berbagai pemahaman HT ini benar-
51
benar bernuansa tajdid yang amat kuat. Inilah kiranya ciri khas dan keunggulan kitab Mafahim ini. Jadi selalu ada upaya korektif terhadap pemikiran kontemporer yang batil atau lemah dan pada saat yang sama ada tawaran pemikiran sahih yang lebih unggul sebagai alternatifnya. Misalnya, HT telah menjelaskan bahwa hukum Islam tidak berubah sesuai waktu dan tempat (hal. 42). Sebenarnya ini adalah koreksi terhadap pemahaman batil yang salah kaprah pada waktu, yaitu adanya "kaidah fiqih" berbunyi Laa yunkaru taghayyurul ahkaam bi-taghayyur az-zamaan wa al-makaan (Tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum sesuai perubahan waktu dan tempat). Kaidah ini termuat dalam kodifikasi undang-undang negara Khilafah Utsmaniyah bernama Majallah al-Ahkam al-„Adliyah (terbit tahun 1869). Pada saat yang sama, HT memberi tawaran pemahaman baru yang benar, bahwa yang berubah sebenarnya adalah urf (adat), bukan hukum Islamnya itu sendiri. Sedangkan perubahan urf, tidak dapat mempengaruh status hukum, sebab urf bukan dalil hukum dan bukan pula illat hukum. Bahkan urf itu sendiri benar salahnya harus kembali distandarisasi dengan hukum syara‟(hal. 42-43). Adapun pemahaman-pemahaman Islami yang dijelaskan HT dalam kitab Mafahim ini, berfokus pada 3 (tiga) pemahaman, yaitu pemahaman yang terkait dengan : (1) Aqidah Islam, (2) Syariah Islam, (3) Dakwah Islam. Berikut sekilas uraiannya masing-masing.
52
Aqidah Islam Pembahasan Aqidah Islam nampak ketika Hizbut Tahrir meletakkan Aqidah Islam sebagai jawaban terhadap Al-„Uqdatul Kubra (Masalah-Masalah Besar Manusia) yang menyangkut manusia, alam semesta, dan kehidupan. Aqidah Islam menjelaskan bahwa sebelum adanya manusia, alam semesta, dan kehidupan, telah ada lebih dulu Allh SWT sebagai al-Khaliq bagi ketiganya. Aqidah Islam juga menjelaskan bahwa setelah tiadanya manusia, alam semesta, dan kehidupan nanti, akan ada Hari Kiamat yang sekaligus juga Hari Perhitungan (Yaumul Hisab). Karena itu, manusia wajib menjalani kehidupan dunia ini sesuai perintahperintah
Allah
dan
larangan-larangan-Nya.
Sebab
Allah
sajalah
yang
menciptakannya dan memberinya sejumlah perintah Allah dan larangan; dan pada Hari Kiamat nanti manusia akan dihisab mengenai keterikatannya dengan segala perintah dan larangan Allah itu (hal. 14-15). Namun, sebagaimana kitab Nizham al-Islam, Aqidah Islam yang diterangkan HT ini lalu dikaitkan dengan pemikiran kontemporer, tidak diasingkan atau dijauhkan darinya. Maka, pembahasan Aqidah Islam ini segera saja dilanjutkan dengan pembahasan integrasi aspek material dan spiritual (mazjul maadah bi ar-ruh) (hal. 16-23). Nampak jelas HT di sini berusaha keras memerangi aqidah ideologi Kapitalisme, yakni sekularisme, atau fashlul maadah „an ar-ruh. Artinya, memisahkan aspek material (perbuatan manusia) dengan aspek spiritual (kesadaran manusia dalam beragama). Dalam realitasnya, aqidah sekularisme lalu menghasilkan pemisahan agama dari negara, seperti yang terjadi saat ini.
53
Pembahasan ini kemudian dilanjutkan dengan bahasan Qadha`-Qadar (hal. 24-26) dan bahasan sifat perbuatan manusia (konsep khair-syar dan hasan-qabih) (hal.26-30), serta bahasan nilai (qimah) perbuatan manusia sebagai tujuan perbuatan manusia yang mencakup nilai akhlaq, kemanusiaan, materi, dan spiritual (hal. 30-34). Syariah Islam Pembahasan Syariah Islam dalam kitab Mafahim ini intinya, syariah itu ada untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, bukan untuk kenikmatan berpikir seperti filsafat. Maka harus ada formalisasi syariah dalam wadah Darul Islam (hal. 35-36; 52-56). Selain itu, kitab Mafahim ini juga menjelaskan pemahaman HT seputar syariah. Misalnya bahwa hukum-hukum mengenai ibadah, makanan, minuman, dan akhlaq tidak didasarkan pada illat (alasan hukum), tapi didasarkan pada nash semata. (hal. 36 dst). Contoh lainnya adalah bahasan dalil-dalil syar‟i, ijtihad dan taqlid yang penting untuk dipahami (hal. 46-49). HT juga meluruskan banyak kesalahpahaman umat mengenai syariah. Misalnya, kesalahpahaman mengenai prinsip kelayakan syariah untuk setiap waktu dan tempat. Maknanya bukanlah syariah itu dapat berubah dan menyesuaikan diri pada segala waktu dan tempat, melainkan syariah dapat memberikan jawaban masalah manusia di setiap waktu dan tempat (hal. 43). HT juga meluruskan kesalahpahaman umat yang memisahkan hukum fikrah dan thariqah sebagaimana sudah dicontohkan di atas (hal. 52-60).
54
Dakwah Islam Pembahasan dakwah Islam di sini dimaksudkan untuk menjelaskan metode mencapai kekuasaan untuk melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. (hal. 62-68). Dijelaskan juga perbedaan dakwah kepada Islam dan dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam. Yang pertama, dijalankan oleh Daulah Islamiyah melalui penerapan Islam secara nyata, mengacu kepada dakwah Rasulullah SAW di Madinah.. Sedang yang kedua, dijalankan oleh kelompok dakwah melalui jalan dakwah mengacu kepada aktivitas Rasulullah SAW di Makkah (hal. 72-76). Pada bagian akhir (hal. 79-83) dijelaskan bahwa masyarakat di Dunia Islam sebenarnya masih terjajah oleh negara-negara kafir baik dalam aspek politik, ekonomi, budaya, maupun militer. Karena itu, HT berjuang untuk membebaskan negeri-negeri Islam dari penjajahan dalam segala bentuknya, hingga berhasil melanjutkan kehidupan Islam dengan mendirikan Khilafah yang akan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia dengan jalan jihad fi sabilillah.
55
BAB IV ANALISIS SEMANTIK KATA AMBILAN ARAB DALAM BUKU MÂFAHIM HIZBUT TAHRIR
A. Pengantar Menurut para aktivis HTI, bahasa Arab bagi seorang Muslim merupakan Din (agama). Bahasa Arab tidak bisa dipisahkan dengan Islam, karena untuk memahami Islam tidak mungkin bisa tanpa menggunakan bahasa Arab. Bahasa Arab tidak boleh dan tidak bisa dipisahkan dengan bahasa keagamaan, karena untuk memahami al-Quran dan Assunnah harus menggunakan bahasa Arab.1 Karenanya, dalam kesehariaannya, HTI cukup banyak menggunakan kata ambilan Arab, khususnya untuk istilah-istilah syar‟i yang tidak ditemukanpadanannya yang pas dalam bahasa Indonesia. Bahkan, sebagian kata ambilan Arab yang digunakan HTI adalah kata ambilan Arab yang dalam bahasa Indonesia terdapat padanannya.2 Dalam buku Mafâhim Hizbut Tahrir terdapat 78 kosakata yang ditulis dalam bahasa
Arab. Kosakata tersebut ditulis
miring
guna sebagai tanda bahwa
kosakata tersebut adalah kosakata asing yang belum diserap ke dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, walaupun belum menjadi bagian dalam bahasa Indonesia, penulisan kosakata tersebut mengikuti bentuk kosakata bahasa Indonesia dan tidak menggunakan bentuk ejaan dalam bahasa asalnya. 1
Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman,(Jakarta: UIN Jakarta, 2013), h. 70, dan hasil wawancara langsung dengan Junaidi Fahir seorang aktivis Hizbut tahrir dari Bekasi Timur. 2 Sukron Kamil, h. 70
56
B. Analisis Makna Konotasi Kata Ambilan Bahasa Arab dalam Buku Mafahim Di dalam Buku Mafahim Hizbut Tahrir ini, tidak semua kosakata dan istilah Arab dipakai karena alasan kebutuhan, yang jika tidak digunakan akan merusak cita rasa makna yang dimaksud. Misalnya kata qabîh yang berarti buruk/tercela. Kata tersebut apabila dituliskan terjemahannya dalam bahasa Indonesia tidak akan mengurangi atau menghilangkan makna yang terkandung dalam bahasa asalnya. Demikian pula dengan kata hasan (terpuji) „syarah‟ yang berarti penjelasan. Jika tiga kata ditampilkan dalam bentuk terjemahannya dalam bahasa Indonesia sesunguhnya lebih baik. Agaknya, di Hizbut Tahrir Indonesia ada semacam cara pandang bahwa menggunakan kata ambilan Arab lebih memperlihatkanIslaminya. Di sini pula problem keislaman Hizbut Tahrir
yang kurang berwawasan ke-Indoensia-an,
tidak seperti para elite Muslim periode awal di Indonesia atauIslam mainstream, Dan ini terjadi, karena pola pikir serba wahyu-nya yang diterjemahkan secara harfiah yang berorientasi pada Islam dalam segi bentuk (luar), bukan substansi, seperti terjadi juga di Jamaah Tabligh.Tentu saja harus dimaklumi dalam penggunaan kosakata yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia, seperti pada kata „kharaj‟ yang berarti pendapatan negara dari tanah/lahan daerah taklukan. Sesuai dengan kaidah pembentukan istilah asing ke dalam bahasa Indonesia, sebuah istilah asing yang akan diambil harus lebih ringkas, jika dibandingkan
dengan
terjemahan
Indonesianya. Dengan
demikian
kata
„kharaj‟ boleh ditampilkan dalam bentuk bahasa asalnya. Kosakata kharaj bisa masuk ke dalam bahasa Indonesia menjadi salah satu istilah dalam agama Islam.
57
Tentunya proses penyerapannya mengikuti kaidah yang sudah ditetapkan dalam bahasa Indonesia.3 Dalam kesehariaannya, HizbutTahrir Indonesia cukup banyak menggunakan kata ambilan Arab,yang tidak ditemukan padanannya yang sesuai dalam bahasa Indonesia. Bahkan, sebagian kata ambilan Arab yang digunakan Hizbut Tahrir Indonesia adalah kata ambilan Arab yang dalam bahasa Indonesia terdapat padanannya. Seperti contoh teks terjemahan di bawah ini yang berisi sikap manusia terhadap non muslim dan tafsir (QS, Albaqarah {2}: 216) yang diambil dari buku terjemahan Mâfahim Hizbut Tahrîr karya TaqiyuddinanNabhan:
Teks Pertama
ولرلك كان قتل المحازب.وكىوه خيسا اوشسّا اوما جاء مه وصف خازج عىه 4
.خيسا وقتل المىاطه او المعاهد اوالمستأمه شسّا
“Adanya sifat baik atau buruk pada pembunuhan, tidak lain karena terdapatnya unsur luar. Karena itu, membunuhkafir harbiadalah baik, sedangkan membunuh warga Negara (yang menjadi warganegara Daulah Islamiyah), atau yang negaranya
mengadakan
perjanjian
dengan
pemerintahan
Islam
(kafir
mu‟ahad)atau membunuh orang yang meminta perlindungan, adalah buruk.”5
3
Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman,(Jakarta: UIN Jakarta, 2013), h. 82 12 : ص،) م1002 حزب التحسيس إودوويسيا، ( جاكستا، مفاهيم حزب التحسيس، الإلمام تقي الديه الىبهاوي.4 5 Taqiyuddin an-Nabhan, Mafâhim Hizbut Tahrîr,(Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesiah, 2001), h. 42
58
Pada teks di atas, terdapat 3 kata ambilan Arab dari 43 kata yang dipakai dalam teks. Ini berarti 5% kata yang dipakai dalam teks adalah kata ambilan Arab. Teks yang berisi persoalan sosial, apalagi sosial politik, memang kata ambilan Arab-nya cenderung lebih sedikit ketimbang teks ibadah. Namun, dalam teks di atas terdapat 3 kata ambilan Arab yang takdikenal/popular di kalangan Islam mainstream, kosakata tersebut
ditulis
miring
sebagai tanda bahwa
kosakata tersebut adalah kosakata asing yang belum diserap ke dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, walaupun belum menjadi bagian dalam bahasa Indonesia, penulisan kosakata tersebut mengikuti bentuk kosakata bahasa Indonesia dan tidak menggunakan bentuk ejaan dalam bahasa asalnya, dan memiliki makna secara konotasi tersendiri, misal kafir harbi. Dalam bahasa Arab, kāfir (bahasa Arab: كافسkāfir; Jamak كفّازkuffār) secara harfiah berarti orang yang menyembunyikanatau mengingkari kebenaran. Dalam terminologi kultural kata ini digunakan dalam agama Islam untuk merujuk kepada orang-orang yang mengingkari nikmat Allah (sebagai lawan dari kata syakir, yang berarti orang yang bersyukur). Teks tersebut jika dianalisis melalui konotasi sosial (pandangan sosial keagamaaan HTI). Makna Kafir Harbi ialah semua orang kafir yang tidak masuk dalam perlindungan umat Islam, dan Daulat Islamiyah yang berarti Negara Islam. Namun, kalangan Hizbut Tahrir Daulat Islamiyah mempunyai makna kedua yaitu Khilafah Islam. Jika hizbut tahrir menerjemahkan kafir harbi secara harfiah dan daulat islamiyah, maka cita rasa terjemahan pada teks di atas akan kabur.
59
Teks Kedua
والىظسة العميقت المستىيسة ألعمال اإلوسان تسي اوها مادة فقط باعتباز ذاتها , وكىوها مادة ال تىصف بالحسه اوالقبح لراتها.مجسدة عه كل مالبساتها واعتبازاتها 6
. واعتبازاث آتيت مه غيسها,واوما تىصف برلك مه قبل مالبساث خازجت عىها
“Pandangan yang teliti, mendalam dan cemerlang terhadap perbuatan manusia menunjukkan bahwa perbuatan manusia dilihat dari sisi zatnya, tanpa dilihat lagi faktor-faktor dan pertimbangan lain adalah materi belaka. Keberadaanya sebagai materi berarti tidak terpuji (hasan) atau tercela (qabih) karena zatnya, melainkan didapat dari faktor-faktor luar atau pertimbangan-pertimbangan lain.” Tafsir menurut pandangan HTI (QS, Albaqarah {2}: 216)7
Pada teks di atas terdapat 2 kata ambilan Arab dari 49 kata yang dipakai diluar morfem terikat dan angka. Hal ini berarti ada 5 persen kata ambilan Arab secara keseluruhan teks. Dalam teks ini juga terlihat ada kata ambilan Arab yang dalam bahasa Indonesia terdapat padanannya. Misalnya kata terpuji (hasan) dan tercela (qabih). Kata hasan secara harfiah baik, dan qabih berarti jelek. Namun cara pandang Hizbut Tahrir memiliki makna konotasi tersendiri yaitu Hasan (terpuji) dan qabih (tercela). Teks berikut yang terkait dengan persoalan sosial, dalam buku Mafâhim juga memperlihatkan hal yang sama:
12 : ص،) م1002 حزب التحسيس إودوويسيا، ( جاكستا، مفاهيم حزب التحسيس، الإلمام تقي الديه الىبهاوي. Taqiyuddin an-Nabhan, h. 46
6
7
60
Teks Ketiga
8
“Padahal seharusnya, masyarakatlah yang harus diubah agar sesuai dengan Islam, bukan sebaliknya. Jadi, bukan dengan membuat interpretasi baru mengenai Islam agar sesuai dengan keadaan masyarakat. Cara pemahaman seperti ini tidak dapat dibenarkan. Alasannya, karena yang menjadi masalah adalah bahwa di sana terdapat satu masyarakat yang rusak dan hendak diperbaiki dengan suatu mabda(ideologi). Mabda ini harus diterapkan sesuai dengan apa yang dikandung oleh mabda itu sendiri, kemudian mengubah masyarakat seluruhnya secara inqilabi(revolusioner) berdasarkan mabda tersebut. Dengan kata lain, adalah suatu keharusan
bagi para aktivis
pembaharuan untuk menerapkan hukum-hukum Islam sesuai dengan makna ajaran yang sebenarnya, tanpa memperhatikan keadaan masyarakat, waktu, maupun tempat.”9
Pada teks di atas, terdapat 5 kata ambilan Arab dari 104 kata yang dipakai dalam teks. Hal ini berarti 5% kata yang dipakai dalam teks adalah kata ambilan Arab. Sebagaimana dalam ormas Islam lain, teks yang berisi persoalan sosial, 2 : ص،) م1002 حزب التحسيس إودوويسيا، ( جاكستا، مفاهيم حزب التحسيس، الإلمام تقي الديه الىبهاوي. Taqiyuddin an-Nabhan, h. 11-12
8
9
61
apalagi sosial politik, memang kata ambilan Arab-nya cenderung lebih sedikit ketimbang teks ibadah. Namun, dalam teks buku HTI ini terdapat banyak kata ambilan Arab yang tak dikenal/popular di kalangan Islam mainstream, yaitu mabda yang disebut lebih dari sekali dan kata inqilâbi. Ini menujukkan di kalangan fundamentalsi Islam, paling tidak dalam teks buku yang dirujuk terkait persoalan sosial politik, lebih banyak kata ambilan Arab.Artinya, ada hubungan antara banyaknya kata ambilan Arab dengan pola keagamaan.Paling tidak, kata ambilan Arab dalam teks sosial politik. Ini juga bisa dikatakan bahwa semakin banyak kata ambilan Arab, terutama dalam teks sosial politik di buku keislaman ormas Islam, makin cenderung fundamentalis. Paling tidak, kata ambilan Arab yang dipakai ormas Islam menunjukkan sisi fundamentalis atau tidaknya ormas Islam. Teks di atas jika dianalisis lewat analisis mutaradifat (hubungan kata ambilan Arab dalam membentuk kalimat yang sama tetapi memiliki makna yang berbeda dan hubungan antar kalimat) dan juga analisis konotasi sosial (pandangan sosial keagamaaan HTI). Makna mutaradifat dan konotasi teks di atas memperlihatkan agenda utama HTI mengenai Islamic state dengan sistem khilâfah-nya. Hal ini paling tampak pada penggalan teks di atas yang berbunyi: “Adalah suatu keharusan bagi para aktivis pembaharuan untuk menerapkan hukum-hukum Islam sesuai dengan makna ajaran yang sebenarnya, tanpa memperhatikan keadaan masyarakat, waktu, maupun tempat”.10
10
Taqiyuddin an-Nabhani, MafâhimHizbutTahrîr,h. 11-12
62
Keterbelengguan HTI oleh QS.5: 44,45,47 dan pemahaman harfiah atas praktik sejarah Islam dalam penggalan teks ini sangat terlihat.11 Mereka bersikap literal/skriptural dalam memahami kata yahkum (menghukum) dalam QS5:44 “Dan barangsiapa yang tidak menghukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang kafir” QS 5: 45“Dan barangsiapa yang tidak menghukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang zalim”12 QS 5: 47 “Dan barangsiapa yang tidak menghukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang fasik”.13 Mereka memaknai ayat ini bahwa siapa yang “memutuskan” perkara atau “memerintah” tidak dengan hukum
yang diwahyukan Allah, adalah kafir,
dalam arti keluar dari Islam. Pembacaan ini sama dengan pembacaan Sayyid Quthb.HTI tampaknya tidak mengenal/menolak penafsiran dari ulama semisal Nawawi yang memandang pengakuan terhadap hukum Islam hanya
Syeikh
dalam hati saja bisa dinilai cukup,karena misalnya ketidak mungkinan diberlakukannya dalam konteks negara Indonesia yang nation state berdasarkan Pancasila yang rakyatnya beragam. Mereka juga tampaknya terpaku
oleh
literalitas QS.16: 89 “Dan kami turunkan Kitab (Al-quran) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim). 14 yang mengungkap kesempurnaan Qur‟an telah memuat segala hal serta bacaan literal terhadap
11
Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman,(Jakarta: UIN Jakarta, 2013), h. 72 12 AlquranDepartemenAgamaRI,AlqurandanTerjemahannya, (Jakarta:Darus Sunah,2007),h. 116 13 AlquranDepartemenAgamaRI,h. 117 14 AlquranDepartemenAgamaRI,h. 278
63
QS.2:208 “wahai orang-orang yang beriman! Masuklah islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkaah setan. Sungguh.Ia musuh yang nyata bagimu”15 yang mengajak umat Islam untuk masuk ke dalam Islam secarak âffah (menyeluruh). Padahal, dalam persoalan sosial, yang dimaksud ajaran Islam telah memuat segala hal adalah memuat prinsip-prinsip saja seperti dikatakan Qamaruddin Khan. Teks selanjutkan menjelaskan tentang dakwahwahis politik HTI, yang berpegang teguh untuk mendirikan sebuah Negara Islam atau yang biasa disebut oleh Hizbut Tahrir Daulat Islamiyah.
Teks keempat
15
AlquranDepartemenAgamaRI,h. 33 64
26
Adapun dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam wajib diemban oleh kutlah, bukan individu. Dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam ditujukan kepada masyarakat yang individu-individunya mayoritas muslim, tetapi menerapkan hukum selain Islam. Masyarakat yang demikian ini digolongkan dalammasyarakat tidak Islami, sehingga layak disebut Dârul Kufur. Dakwah di tengah-tengah masyarakat seperti ini dilakukan dalam rangka mendirikan Dâulah Islam yang akan menerapkan Islam di tengah-tengah masyarakat seperti ini dilakukan dala rangka mendirikan Dâulah Islamyang akan menerapkan Islam di tengah-tengah masyarakat tersebut, serta mengemban dakwah kepada masyarakat lainnya (non-Islam). Ini dilakukan apabila tidak ada Dâulah Islam.Apabila di dunia ada Dâulah Islam yang menerapkan Islam secara sempurna, maka dakwah dilakukan untuk menggabungkan berbagai wilayah menjadi wilayahDâulah Islam, lalu diterapkan Islam di dalamnya, serta dijadikan bagian Dâulah Islamiyah yang mengemban dakwah dakwah Islam, sehingga menjadi masyarakat Islam. Dengan demikian wilayah tersebut layak disebut Dârul Islam.Hal ini karena seseorang muslim tidak diperbolehkan hidup di Dârul Kufur, bahkan wajib baginya bila negara tepmat dia tinggal yang semula Dârul Islamtelahmenjadi darul Kufur, maka wajib berjuang untuk mengubahnya menjadi Dârul Islam,17
17
27 : ص،) م1002 حزب التحسيس إودوويسيا، ( جاكستا، مفاهيم حزب التحسيس، الإلمام تقي الديه الىبهاوي. Taqiyuddin an-Nabhan, MafâhimHizbutTahrîr,h. 123
26
65
28
Mengemban dakwah Islam dan berjuang secara politik di tengah-tengah masyarakat, mengahruskan sebuah hizb menentukan wilayah gerakannya. Hizbut Tahrir menganggap bahwa masyarakat di seluruh dunia Islam adalah masyarakat yang satu. Karena masalah yang di hadapai sama, yaitu kembalinya Islam di tengahtengah umat. Masyarkat di negeri-negeri Islam sekarang berada pada keadaan politik yang paling buruk, karena negara-negara Barat, walaupin pemerintahanya tampak seakan-akan berdiri sendiri. Mereka tunduk di bawah Qiyâdah Fikriyah demokrasi kapitalis, dengan ketundukan yang membabi-buta. Sistem demokrasi diterapkan di tengah-tengah masyarakat, baik dalam aspek pemerintahan maupun politik. Dalam bidang ekonomi diterapkan ekonomi kapitalis, sedangkan di bidang militer 80-27 : ص،) م1002 حزب التحسيس إودوويسيا، ( جاكستا، مفاهيم حزب التحسيس، الإلمام تقي الديه الىبهاوي.
28
66
bergantung pada negara asing (Barat)19
Mengemban dakwah secara benar dilakukan dengan melawan bahaya kepemimpinan berfikir Barat. Karena itu dijadikan hirju az-zawiyahdalam perjuangan politik. Perjuangan politik mengharuskan tidak adanya permintaan bantuan kepada negara-negara asing maupun, dalam bentuk dan jenis apapun. Berdasarkan 2 teks di atas terdapat 15 kata ambilan Arab yang kosakatanya tersebut dicetak miring untuk menunjukan bahwa kata tersebut belum masuk ke dalam entri Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan teks di atas menunjukan HTI bersifat dakwahis politis, dan teks tersebut cenderung diterjemahkan secara kaku, literalis (tekstual), absolut, dan dogmatis, dan memiliki makna konotasi cara pandang sendiri atau yang biasa disebut Rolan Barthes, menciptakan makna lapis kedua. Teks di atas Hizbut tahrir meyakini kesatuan agama dan negara, di mana agama harus mengatur negara, sehingga memiliki pandangan yang stigmatis terhadap Barat (baik sebagai ide seperti pluralisme maupun sosial, khususnya politik), di mana Barat dipandang sebagai monster imperialis yang sewaktu-waktu mengancam akidah dan eksistensi mereka.20 Berdasarkan teks di atas karena pemahaman literal inilah HTI ingin mengubah secara damai sistem sosial politik dan budaya yang saat ini berlaku dan menolak hingga ke akarnya. Secara pemikiran, HTI bersifat radikal, dalam arti menolak hingga keakar sistem politik yang berlaku, meski tidak secara tindakan. Dalam pandangan HTI, negara Indonesia adalah negara kafir dan demokrasi adalah haram, menurut HTI, negara ini tidak harus diperangi, tetapi didakwahi. Karena Indonesia tidak menerapkan 19
Taqiyuddin an-Nabhani, MafâhimHizbutTahrîr,h. 133-134 Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, (Jakarta: PSIA UIN Jakarta),h. 166
20
67
syari‟at maka Negara ini dalam pandangan anggota HTI Negara kafir secara sistem politik. Bagi HTI, syari‟at yang dijelaskan dalam al-Qur‟an secara qath‟i (pasti, jelas, tidak samar) tidak memerlukan pendekatan akal dan tafsir lagi. Teks di atas Hizbut Tahrir menerjemahkan Kutlah, tidak diterjemahkan secara secara harfiah namun secara konotasi yang berarti (Kelompok Muslim).Dan Menurut Hizbut Tahrir jika kelompok muslim tidak menerapkan hukum selain Islam,maka yang demikian ini digolongkan dalam masyarakat tidak Islami, sehingga layak disebut Dârul Kufur. Dârul Kufur, secara harfiah yang berarti Negara kafir, Hizbut Tahrir menerjemahkan Daarul kufur secara konotasi yaitu Negara/kelompok yang tidak menerapkan hukum Islam. Teks di atas terdapat kosakata hizb yang tulis miring menandakan kata tersebut belum masuk ke entri Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut Hizbut Tahrir hizb di atas diartikan partai pembebasan.Dan Qiyâdah Fikriyah di artikan kepemimpinan berpikir.hirju az-zawiyah di artikan sudut pandang perspektif. Kosakata tersebut tidak memilikipadanan yang pas di dalam bahasa Indonesia. Namun secara konotasi, arti kosakata tersebut adalah cara pandang ia agar terlihat secara agamis. Dan hal ini menunjukan pola fikir Kelompok Hizbut Tahrir. Selain temuan atas kajian teks, temuan hasil wawancara memperlihatkan bahwa kata ambilan Arab juga banyak ditemukan dalam peristiwa tutur dan konotasi dikalangan tersebut. Seperti khilâfah islâmiyyah, harakah, mabda, manhaj, daulat islamiyah, jihad, halaqah, mabit, Iqamtul Ad-din. Manhaj,21 secara etimologi
Kata manhaj sering digunakan aktivis HTI,
khususnya dalam bahasa tulisan. Manhaj artinya jalan atau metode. Manhaj yang
21
Taqiyuddin an-Nabhan, Mafâhim Hizbut Tahrîr, h. 11
68
benar adalah jalan hidup yang lurus dan terang dalam beragama menurut pemahaman para Shahabat. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Hafiz hahullah menjelaskan perbedaan antara „aqidah dan manhaj. Menurutnya, “Manhaj lebih umum daripada „aqîdah. Manhaj diterapkan dalam „aqîdah, sulûk tasawuf), akhlak, muamalah (interaksi sosial), dan dalam semua kehidupan seorang Muslim. Setiap langkah yang dilakukan seorang Muslim dikatakan manhaj. Adapun yang dimaksud dengan „aqîdah adalah pokok iman, makna dua kalimat syahadat, dan konsekuensinya.22 Mabda, Mabda secara etimologis adalah mashdar mimi dari kata„bada‟ayabda‟u-mabdaan‟ yang berarti permulaan. Secara terminologis mabda berarti pemikiran mendasar yang dibangun di atas pemikiran-pemikiran (cabang). Dalam padanan bahasa Indonesia, mabda memiliki padanan dengan kata ideologi. Walaupun mempunyai padanannya dalam bahasa Indonesia, HTI tetap menggunakan kata mabda ketika menjelaskan tentang ideologi.23 Jihâd, Jihad adalah aktivitas memerangi pihak manapun yang berdiri menentang dakwah Islam, baik yang menyerang Islam lebih dahulu. Dengan kata lain, jihad adalah menyingkirkan segala bentuk rintangan yang menghambat dakwah Islam. Jihad juga memiliki makna seruan dan dakwah kepada Islam serta berperang demi tegaknya dakwah, yaitu jihad fî sabîlillah. Halaqah secara bahasa bermakna lingkaran. Istilah ini biasa dipakai untuk menyebut majelis-majelis kajian di Masjid Nabi. Sekarang, apa yang dilakukan di Masjid Nabi itu berusaha dihidupkan lagi. Forum-forum kajian keislaman dalam bentuk kelompok-kelompok kecilpun diadakan, dan disebut dengan 22
Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman,(Jakarta: UIN Jakarta, 2013), h. 77 23 http://hizbut-tahrir.or.id//category///2009/03/28/islam-ideologis/
69
halaqah. Disamping meniru majelis-majelis kajian di Masjid Nabi, forum-forum ini juga diilhami oleh forum pembinaan intensif yang dahulu dilakukan oleh Nabi saw di rumah sahabat Arqam bin Abil Arqam. Dengan forum intensif inilah Nabi telah berhasil mencetak para as-sabiqûnal Awwalûn (orang-orang pertama masuk Islam) yang kemudian senantiasa mendampingi Nabi dalam dakwah.24 Halaqah Kata halaqah tidak asing lagi bagi kalangan aktivis HTI. Metode ini dianggap cukup efektif, karena pembinaan langsung kepada para anggota dalam jumlah kecil. Halaqah yang berarti lingkaran, lama kelamaan mengalami pergeseran makna, menjadi pengajian dalam kelompok kecil. Daulat Islamiyah secara etimologi daulat (Negara) Islâmiyah(berasal dari islam, atau berdasarkan norma-norma islam)secara sinonimi sama dengan Daulat Islamiyah, namun dalam pandangan HTI berbeda. Terkonotasikan radikal fundamental. Dâulah Islâmiyah dan Khilâfah Islâmiyah merupakan dua istilah/ambilan Arab yang menjadi gagasan sentral HTI. Karenanya, dua istilah ini yang paling banyak digunakan oleh HTI. Daulah Islâmiyah yang berarti negara Islam dan Khilâfah Islâmiyah yang berarti kepemimpinan Islam merupakan dua istilah yang sangat melekat dengan HTI.25 Cita-cita dari perjuangan HTI adalah menjadikan NKRI sebagai Daulah Khilâfah Islâmiyah. Pemakaian kedua istilah tersebut tidak menggunakan padanannya dalam bahasa Indonesia, karena konsep yang terdapat dalam kedua istilah tersebut tidak akan sama ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
24
Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman,(Jakarta: UIN Jakarta, 2013), h. 77 25 Taqiyuddin an-Nabhan, Mafâhim Hizbut Tahrîr, h. 42
70
Kata Harakah secara etimologi bahasa Arab berarti bergerak. Istilah tersebut kemudian menjadi populer di kalangan HTI dengan arti “sekelompok orang atau suatu gerakan yang mempunyai suatu target tertentu dan mereka berusaha bergerak serta berupaya untuk mencapainya. Dikalangan aktivis HTI, harakah merupakan satu kegiatan yang rutin mereka laksanakan dalam rangka mencapai tujuan melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam keseluruh penjuru dunia. Tujuan
harakah berarti mengajak kaum Muslimin
kembali hidup secara Islami dalam Darul Islam (Negeri Islam) dan masyarakat Islam.26 Harakah Kata harakah sudah menjadi ciri khas dari aktivitas HTI. Keberterimaan kata tersebut menjadikannya tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, baik dalam percakapan lisan maupun tulisan. Ketika diterjemahkan menjadi gerakan, maka konsep konotasi harakah yang dimaksud dalam aktivitas HTI menjadi kabur.27 Dari analisis di atas, bisa disimpulkan bahwa penggunaan kata ambilan Arab dalam tindak tutur dan wacana di kalangan anggota HTI bukan saja menjadi identitas mereka, melainkan juga, karena jika digunakan penerjemahannya tidak mewakili
makna
yang
dikehendaki.
Penggunaan
istilah-istilah
tersebut
dimaksudkan supaya pesan yang terdapat di dalamnya tidak keluar dari maksud yang dikehendaki oleh HTI sebagai sebuah gerakan yang bertujuan pada tegaknya daulah khilâfah Islâmiyyah.
2014
26
Hasil wawancara dengan Ridlo, korlap, HTI di wilayah Jawa Tengah, pada 4 september
27
Hasil wawancara dengan Ridlo, aktivis HTI di wilayah Jawa Tengah, pada 4 september
2014
71
Yang lebih penting lagi, sebagaimana analisis atas teks di dalam sub HTI di atas, HTI jauh lebih banyak menggunakan kata ambilan Arab yang tidak dikenal/popular di kalangan Islam mainstream. Semua kata ambilan Arab di atas menunjukkan bahwa betapa kata atau bahasa menunjukan pola pikir, termasuk pola keagamaan.28 Mabit Secara bahasa berarti bermalam.Istilah ini sangat terkenal kita dapati pada salah satu rangkaian ibadah haji, yaitu bermalam di Mina.Dalam terminologi dakwah dan pendidikan, mabit adalah salah satu sarana pendidikan untuk membina ruhiyah, melembutkan hati, membersihkan jiwa, dan membiasakan fisik untuk beribadah (khususnya shalat tahajud, dzikir, tadabbur (merenung), dan tafakur (berfikir).
28
Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman,(Jakarta: UIN Jakarta, 2013), h. 82
72
No
Sumber
Makna
Halaman
73
1
Fikrah
Konsep
9
2
Musytarak
Ganda
38
3
Gharizah
Naluri
73
4
Tharîqah
Metode/Penerapan
9
5
Ghazwu ats-tsaqâfi
Invasi budaya
8
6
Qiyas
Analogi
70
7
Ghanîmah
Harta Rampasan Perang
10
8
Mabda
Ideologi
11
9
Inqilâbi
Revolusioner
11
10
Kulliyyat
Umum
12
11
Harakah
Pergerakan
14
12
Ishlahiyah
Reformasi
14
13
Jihad fi sabililla
Perang di jalan Allah
9
14
Tafaqquh fiddîn
Mempelajari hukum Islam
18
Kepemimpinan umat yang 15
Qiyâdah fikriyyah
didasarkan pada
25
pemikiran 16
Al-mustanîr
Cemerlang
25
17
Al-amîq
Mendalam
25
18
Al-fikrul amîq
19
Al-fikrul mustanîr
20
Yaumul hisâb
Pemikiran yang mendalam Pemeikiran yang cemerlang Hari perhitungan
25
25 27
74
21
Sirrul hayât
Rahasia Hidup//nyawa
28
22
Lughawi
Bahasa yang khusus
37
23
Qath‟i
Pasti
12
24
Nizhâmul wujûd
Sunnatullah/hukum alam
40
25
Musayyar
Dikendalikan
40
26
Mukhayyar
Diberi pilihan
40
27
Kâfir harbi
28
Kâfir mu‟âhid
29
Hasan
Terpuji
46
30
Mâfahim
Ide-ide
140
31
Azali
Tidak berawal/berakhir
27
32
Hadlârah
Peradaban
58
33
Hirju az-Zawiyah
Sudut pandang perspektif
136
34
Urf
Tradisi
72
35
Hizb
Partai
132
36
Maslahat
Manfaat
70
37
Syarah
Penjelasan
89
38
Kutlah
Kelompok
123
39
Qadla
Peradilan
49
Syakhsiyah
Kepribadian
130
50
Tafa‟ul
Berinteraksi
126
Orang yang memerangi muslim Orang yang benar-benar kafir
42
42
75
51
Dha‟if
Lemah
118
52
At-tabi‟atul
Ketentuan-ketentuan
107
53
Qabîh
Tercela
48
54
Tabanni
Adopsi
93
55
Bayyinât
Pembuktian
92
56
Huqûq
Saksi
92
57
Uqûbat
Sanksi/pidana
92
58
Aqliyah
Pola pikir
58
59
Dalalah
Penunjukan
70
60
Syarr
Buruk
42
61
Amaliyah
Praktis
126
62
Istinbath
Pengambilan
70
63
Muttabi‟
Pengikut
88
64
Khair
Baik
42
65
Muqallid
Hasil ijtihad para muqalid
87
66
Musayithirin
Menundukan
81
67
Millah
Dasar
84
68
Mafsadat
Kerugian
70
69
Syar‟i
Pembuat hukum Allah
76
70
Qimatul amal
Nilai perbuatan
51
71
Mu‟âwin
Pembantu
76
72
Hadharah
Peradaban
137
76
Naungan orang-orang
73
Dârul Islâm
74
Dârul Kufur
Tempat orang kafir
58
75
Nafsiah
Pola sikap
59
76
Syakhsiyah,
Kepribadian
59
77
Daulah Islamiyah
Negara Islam
123
78
Kharaj
Pendapatan Negara tanah
10
Islam
58
77
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Kata ambilan Bahasa Arab yang merupakan kata asing yang sering dipakai dalam literature/buku-buku Hizbut Tahrir, jika membuka kamus KBBI, kata tersebut belum ada. Dalam literatur/bukuyang menggunakan bahasa ambilan penulisannya pun masih ditulis miring dan harus ditransliterasikan terlebih dahulu untuk menunjukkan apakah bahasa tersebut asing atau tidak. Meski sudah dikenal paling tidak di kalangan tertentu yang akrab dan bagian dari wacana yang berkembang di antara mereka. Selain itu, Makna konotasi penggunaan kata ambilan bahasa Arab di dalam buku Mafahim Hizbut Tahrir ini menjadikan identitas mereka, selain itu kata ambilan Bahasa Arab juga memperlihatkan pola pikir/keagamaan kelompok sosial keagamaan Hizbut Tahrir, dan juga ideologi mereka. Dari analisis di atas, bisa disimpulkan bahwa penggunaan kata ambilan Arab dalam tindak tutur dan wacana di kalangan anggota HTI bukan saja menjadi identitas mereka, melainkan juga, karena jika digunakan penerjemahannya tidak mewakili makna yang dikehendaki. Penggunaan istilah-istilah tersebut dimaksudkan supaya pesan yang terdapat di dalamnya tidak keluar dari maksud yang dikehendaki oleh HTI sebagai sebuah gerakan yang bertujuan pada tegaknya Daulah Khilâfah Islâmiyyah.
77
Yang lebih penting lagi, sebagaimana analisis di dalam teks, HTI jauh lebih banyak menggunakan kata ambilan Arab yang tidak dikenal/popular di kalangan Islam mainstream. Semua kata ambilan Arab menunjukkan bahwa kata atau bahasa menunjukan pola pikir, termasuk pola keagamaan.
78
DAFTAR PUSTAKA Alfarisi, M. Zaka.Pedoman Penerjemahan Arab-Indonesia; Bandung: Remaja Rosdakarya. 2011 Aminuddin.Semantik, Pengantar Studi tentang makna, Sinar Baru Algensindo Arifin,Zaenal Cermat Berbahas Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 2004 an-Nabhani,Taqiyudin.Mafahim Hizbut Tahrir, Jakarta, Hizbut Tahriri Indonesia, 2001 an-Nabhani,Taqiyuddin.Peraturan Hidup dalam Islam terjemahan Nizham alIslam, Jakarta:HTI Press, 2007 Badudu, J.S. Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar IIJakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994 Binder, Leonard. Islamic Liberalism Chicago: The University of Chicago Press, 1988 Barker,Chris.Cultural Studies,Teori dan Praktik, Jogjakarta: Kreasi Wacana, 2009 Barthes,Roland Mitologi, Jogjakarta: Kreasi wacana, 2009 Chaer, Abdul.Linguistik UmumJakarta: Rineka Cipta, 2008 Departemen Agama RI.Alqur’an dan Terjemahannya Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005 Fuad, Ahmad Nur.Interrelasi Fundamentalisme Dan Orientasi Ideologi Gerakan Islam KontemporerSurabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya Fatimah Djajasudarma.Semantik: Pengantar Arah Ilmu Makna 1, Bandung: Refika Aditama, 1999 Hariyanto,Sugeng.Translation, Bahasa Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan, Yogyakarta, Kanisius, 2008 79
Hizbut Tahrir Indonesia.Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia, Khilafah, dan Penyatuan Kembali Dunia IslamJakarta:HTI Press Ismail, Ahmad Satori, Sebab-Sebab Pengkhianatan Dalam Menerjemah, Makalah Seminar Nasional Penerjemahan “Revitalisasi Peran Penerjemahan di Era Global”yang diselenggarakan oleh Program Studi Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jahroni, JamhariJajang. Gerakan Salafi Gerakan di IndonesiaJakarta:Grafindo, 2010 Kushartanti.Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami LinguistikJakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011 Kushartati, dkk. Pesona Bahasa; langkah Awal Memahami LinguistikJakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011 Kurniawan,Moch Mansyur.Pedoman Bagi Penerjemah: Arab Indonesia-Indonesia Arab, Jakarta: Moyo Segoro Agung 2002 Kamil,Sukron dkk.Pola Keagamaan Dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab Dalam Teks-Teks Keislaman,Jakarta: UIN Jakarta, 2013 Kulsum,Umi.Doubletdalam kata serapan Arab: Kajian Perbedaan Makna dan Register” Makalah Seminar Nasional Penerjemahan “Revitalisasi Peran Penerjemahan di Era Global” yang diselenggarakan oleh Program Studi Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013 Kamil,Sukron.Islam dan Politik di Indonesia Terkini, Jakarta: Psia UIN Jakarta 2010) 80
Moleong, Ley. Metodologi Penelitian KualitatifBandung: Remaja Rosda Karya, 2009 Mahsun, Metodologi Penelitian BahasaJakarta: Grafindo, 2008 Mujibarahman.Menakar Fenomena Fundamentalisme Islam, Jurnal Tashwirul Afkar. Edisi no. 13, tahun 2003, Jakarta; Lak Pes dam, 2003 Musfiroh, Tadkiroatun. “Perbedaan Makna Kata-Kata bahasa Indonesia Serapan Bahasa Arab Dari Makna Sumbernya” FBS Universitas Negeri Yogyakarta 2004. Moentaha, Salihen.Bahasa dan Terjemahan; Bahasa dan Terjemahan; Language and Translation The New Millennium Publication,Jakarta: Kesaint Blanc – Anggota IKAPI, 2008 Nashir, Haedar. GerakanIslam
Syariat
Reproduksi
Salafiyah
Ideologis
di
Indonesia, Jakarta:PSAPMuhammadiyah Parera, J.D. Teori Semantik, Jakarta:Erlangga, 2004 Pateda,R Mansoer.Semantik leksikal, Jakarta, Rineka Cipta 2004 Rahman, Fazlur.IslamSecond EditionChicago: The University of Chicago Press,1979 Rahmat, M Imdadun.Arus Baru Islam Radikal (Transmisi Revivalisme Islam Timur TengahkeIndonesia),Jakarta:Erlangga, 2001 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek); Bandung: Humaniora, 2005 Suryawinata,Zuchridin
Translation,
Bahasa
Teori
dan
Penuntun
Praktis
Menerjemahkan, Yogyakarta: Kanisius, 2001 Sumbulah, Umi. Konfigurasi Fundamentalisme Islam. Malang:UIN Malang Press, 81
2001 Turmudi, Endang, danRiza Sihbudi.Islam dan Radikalisme di Indonesia Jakarta:LIPI Press
Website http://bahasakita.com/kata-serapan-arab-dalam-bahasa-indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kata_serapan_dari_bahasa_Arab http://www.al-khilafah.org//category//seputar-khliafah.org http://hizbut-tahrir.org//category//seputar-khilafah.org http://hizbut-tahrir.or.id/category/islamideologis,com
Media Cetak Majalah Al Waie, Kaleidoskop Aktivitas Politik dan Dakwah Hizbut TahrirIndonesia (HTI),oleh redaksi AlWaie.
82