MAKALAH SEMINAR UMUM NITRAT REDUKTASE DAN KATEKIN SEBAGAI KRITERIA SELEKSI UNTUK PRODUKSI DAN MUTU TEH (Camellia sinensis (L.) Kuntze)
Disusun oleh : Ani Puspitasari 09/283622/PN/11703 Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Suyadi Mw., M. Sc.
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012 i
MAKALAH SEMINAR UMUM NITRAT REDUKTASE DAN KATEKIN SEBAGAI KRITERIA SELEKSI UNTUK PRODUKSI DAN MUTU TEH (Camellia sinensis (L.) Kuntze)
OLEH Ani Puspitasari 09/283622/PN/11703
Disetujui untuk disahkan
Tanda Tangal
Tanggal
.....................
...............
.....................
................
......................
...............
Pembimbing
Dr. Ir. Suyadi Mw., M. Sc. NIP. 195305251981031001
Komisi Seminar Umum
Dr. Rudi Harimurti S.P., M.P. NIP. 19700104199412001
Mengetahui, Ketua Jurusan Budidaya Pertanian
Dr. Ir. Taryono, M.Sc. NIP. 196012221986031002
i
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I.
LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................
i
DAFTAR ISI .........................................................................................
ii
INTISARI ................................................................................................
iii
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................
1
B. Tujuan Penelitian .............................................................................
3
C. Kegunaan .........................................................................................
3
BAB II. NITRAT REDUKTASE DAN KATEKIN SEBAGAI KRITERIA SELEKSI UNTUK PRODUKSI DAN MUTU TEH (Camelia sinensis) A. Nitrat Reduktase ..............................................................................
4
1.
Nitrat Reduktase sebagai Kriteria Seleksi Tanaman ...............
4
2.
Klon Kaitannya dengan Nitrat Reduktase ...............................
5
3.
Pengaruh Petikan terhadap Produksi Tanaman Teh ................
7
B. Katekin .........................................................................................
8
1.
Kandungan Kimia dalam Teh dan Mutu Teh ..........................
8
2.
Pengolahan Teh Kaitannya dengan Kandungan Katekin .........
10
3.
Klon Kaitannya dengan Kandungan Katekin ..........................
12
4.
Pengaruh Petikan terhadap Mutu Daun Teh ............................
12
A. Kesimpulan ....................................................................................
14
B. Saran ...............................................................................................
14
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
15
LAMPIRAN ..........................................................................................
17
BAB III. PENUTUP
ii
INTISARI NITRAT REDUKTASE DAN KATEKIN SEBAGAI KRITERIA SELEKSI UNTUK PRODUKSI DAN MUTU TEH (Camellia sinensis (L.) Kuntze) Ani Puspitasari 09/283622/PN/11703 Teh merupakan komoditas ekspor yang penting bagi perekonomian Indonesia dalam menambah devisa negara. Industri teh Indonesia pada tahun 1999 diperkirakan menyerap sekitar 300.000 pekerja dan menghidupi sekitar 1,2 juta jiwa. Produksi teh kering di Indonesia tahun 2010 sekitar 1,2 ton/ha, sedang produksi teh kering dibawah 0,9 ton/ha/tahun dianggap rendah dan diatas 2,1 ton/ha/tahun dianggap sangat tinggi. Dewasa ini seleksi klonklon unggul pada tanaman teh untuk daya hasil dan mutu yang tinggi masih diperlukan. Usaha untuk mempermudah seleksi telah dianjurkan dengan menentukan komponen hasil dan mutu yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi. Aktivitas nitrat reduktase dapat digunakan sebagai penduga hasil atau produksi dari tanaman teh karena memiliki korelasi yang positif dengan produksi. Dari hasil penelitian, klon PS 125, CIN 148, TRI 2025 dan TRI 2024 memberikan aktivitas nitrat reduktase yang tinggi. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa klon-klon tertentu memperlihatkan aktivitas nitrat reduktase yang berbeda di ketinggian yang tidak sama. Untuk mutu pucuk teh, disamping pengaruh jumlah atau banyaknya pucuk peko, perlu adanya analisis kandungan senyawa tertentu dalam daun teh. Komponen senyawa utama dalam daun teh adalah flavanoids, kafein, theanin, dan asam amino. Sebagian besar flavanoid di daun teh terdiri atas katekin yang terdiri atas epicatechin (EC), epigallocatechin (EGC), epicatechin gallate (ECG) dan epigallocachin gallate (EGCG). Kandungan katekin sangat tergantung pada klon teh, ketinggian tempat dimana pucuk dihasilkan, musim dan umur daun. Penurunan kandungan katekin terjadi selama proses pengolahan (teh hitam), hal ini disebabkan oleh terjadinya reaksi oksidasi senyawa katekin yang dikatalisa oleh enzim polifenol oksidase yang menghasilkan theaflavins dan thearubigins. Theaflavins dan thearubigins berpengeruh terhadap warna, aroma, kenampakan dan rasa pahit pada teh setelah diseduh. Kata kunci : Camelia sinensis, produksi, mutu, kriteria seleksi.
iii
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman teh merupakan tumbuhan berdaun hijau yang termasuk dalam keluarga Camellia yang berasal dari Cina, Tibet dan India bagian Utara. Ada dua varietas utama tanaman teh. Varietas berdaun kecil, dikenal sebagai Camellia sinensis var. sinensis, yang tumbuh dengan baik di daerah pegunungan tinggi berhawa dingin di Cina tengah dan Jepang. Varietas berdaun lebar, dikenal sebagai Camellia sinensis var. assamica, yang tumbuh paling baik di daerah beriklim tropis yang lembab, di India bagian utara,Szechuan dan propinsi Yunnan di Cina. Teh merupakan salah satu komoditi perkebunan yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian Indonesia. Industri teh Indonesia pada tahun 1999 diperkirakan menyerap sekitar 300.000 pekerja dan menghidupi sekitar 1,2 juta jiwa. Selain itu, secara nasional industri teh menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 1,2 trilliun rupiah (0,3 persen dari total PDB nonmigas) dan menyumbang devisa bersih sekitar 110 juta dollar AS per tahun. Pada tahun 2002 total produksi teh Indonesia mencapai 172.790 ton atau 5,7 persen dari total produksi teh Indonesia mencapai 3.062.632 ton (Suprihatini, 2005 cit Mitrowihardjo, 2012). Potensi yang dimiliki teh cukup besar, namun komoditi teh di Indonesia juga menghadapi persoalan klasik. Berbagai permasalahan, seperti penurunan volume, nilai, pangsa pasar ekspor dan rendahnya harga teh Indonesia memberikan dampak buruk pada perkembangan industri teh nasional. Kepala Kantor Pemasaran Bersama Teh (KPB) Chakra, Rachmat Badruddin mengatakan bahwa tren tenggelamnya industri teh Indonesia ditandai dengan adanya tren kenaikan produksi teh yang naik 3% per tahun di tingkat dunia, namun kebalikannya terjadi di Indonesia. Hingga kini harga teh Indonesia US$ 1,2, Srilanka US$ 3,4, dan ditargetkan bisa mencapai US$ 2,0 (Suhendra, 2008). Dari data FAO juga menunjukkan adanya penurunan produktivitas teh di Indonesia. Tabel 1. Produktivitas teh/tahun di Indonesia tahun 2003-2010
Tahun
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Produksi (ton/ha) 1,4614 1,4383 1,1710 1,3224 1,1263 1,2056 1,2704 1,2069 Sumber : Food and Agriculture Organization of the United Nation (FAO) tahun 2012.
Banyak faktor yang membuat produktivitas teh menurun, salah satunya adalah tanaman teh di Indonesia rata-rata sudah tua. Menurut data Asosiasi Teh Indonesia (ATI) 1
sekarang ini 50% tanaman teh yang masih ada adalah peninggalan zaman Belanda. Luas perkebunan teh di dalam negeri saat ini sekitar 127.441 ha dengan rincian perkebunan rakyat 44%, PT Perkebunan Nusantara 31%, dan perkebunan swasta 25%. Dengan demikian kualitas
teh di Indonesia juga mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya. Bila dilihat kebelakang, sekitar tahun 1990 misalnya teh dari Indoensia lebih baik dan lebih tinggi harganya dibandingkan teh Srilangka maupun Kenya. Tapi setelah tahun 1992, harga teh Indonesia terus menurun, bahkan harga teh Indonesia kini setingkat dengan harga teh dari Bangladesh dan Ruwanda. Produsen teh Indonesia kini hanya menempati posisi keenam setelah India, Cina, Sri Lanka, Kenya, dan Vietnam (Anonim, 2011). Di Indonesia, hampir di semua perkebunan teh, tanamannya merupakan tanaman tua dan sebagian besar berasal dari biji sehingga sangat heterogen. Bahkan dalam suatu hamparan bila bahan pertanamannya berasal dari biji akan tampak perbedaan antara perdu satu dengan lainnya. Hal ini adalah wajar karena tanaman teh termasuk golongan tanaman penyerbuk silang bahkan dapat dikelompokkan sebagai “highly cross-pollineted crops”. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu adanya usaha untuk mendapatkan bahan tanaman yang lebih unggul ( Mangoendidjojo, 1993). Penggunaan macam klon yang unggul menjadi dasar utama dalam perencanaan peningkatan produksi jangka panjang. Dewasa ini seleksi-seleksi klon-klon unggul pada tanaman teh untuk daya hasil tinggi masih membutuhkan jangka waktu yang panjang serta biaya yang tinggi karena masa juvenil panjang. Salah satu usaha untuk memperpendek siklus seleksi yaitu dengan menggunakan parameter kegiatan nitrat reduktase daun sebagai kriteria daya hasil. Kemampuan pendugaan (kemampuan prediktif) parameter kegiatan reduktase dalam memilih klon unggul adalah sekitar 90,19% pada pengukuran kegiatan nitrat reduktase tanaman teh yang sedang berproduksi (Kurdi et al., 1987). Selain hasil pucuk beberapa klon teh yang bervariasi, cita rasa teh juga bervariasi di tiap negara bahkan ditiap daerah. Cita rasa ditiap perusahaanpun berbeda, mereka menginginkan karakteristik tersendiri untuk memenuhi konsumsi pasar. Kualitas teh dipengaruhi oleh variasi lingkungan dan faktor agronomi. Yang termasuk faktor lingkungan yaitu suhu, curah hujan dan radiasi matahari. Faktor agronomi yang berpengaruh yaitu pemupukan, rumus petik dan daur petik (Ellis and Nyirendra, 1995). Mutu organoleptik (aroma, rasa dan warna) teh sangat ditentukan oleh kandungan katekin. Kadar katekin bervariasi tergantung pada varietas tanaman tehnya (Syah, 2006). Informasi lain
2
mengindikasikan bahwa tingginya kandungan total katekin dapat digunakan sebagai petunjuk tingginya kualitas daun teh (Obanda and Owuor cit. Magoma et al., 2000). B. Tujuan Mengetahui kriteria seleksi untuk produksi tanaman teh dan mutu pucuk yang dihasilkan. C. Kegunaan Dapat menambah pengetahuan tentang kriteria seleksi tanaman teh terutama nitrat reduktase dan katekin untuk menduga produksi dan kualitas teh.
3
II. Nitrat Reduktase dan Katekin sebagai Kriteria Seleksi untuk Produksi dan Mutu Teh (Camelia Sinensis) A. Nitrat Reduktase Nitrat reduktase merupakan enzim pertama dalam jalur reduksi nitrat menjadi ammonia/ ammonium pada jaringan tanaman : NAD (P) H+H+ NAD (P) *
NADPH+H+ NADP
NO --------------- NO2 ------------- NH3 / NH4+ Nitrat Reduktase
Nitrit Reduktase
Dalam kelanjutan rangkaian reaksi metabolik, ammonia/ammonium akan bereaksi dengan asam 2-oxo-glutarat atau asam glutarat atau asam glutamat membentuk asam glutamine melalui reaksi aminasi atau transminasi. Reaksi yang kedua lebih banyak kemungkinan berlangsung dalam jaringan tumbuhan. Glutamin kemudian akan memberikan gugus amino ke senyawa – senyawa keto untuk biosintesis asam-asam amino dan protein, asam nukleat dan senyawa nitrogen organik lainnya untuk pertumbuhan vegetatif maupun generatif. Oleh karena itu banyak dibahas tentang hubungan kegiatan nitrat reduktase dengan daya hasil tanaman produksi (Kurdi dan Hartiko, 2008). 1.
Nitrat Reduktase sebagai Kriteria Seleksi Tanaman Usaha baru untuk seleksi tanaman unggul dengan tujuan mendapatkan daya hasil
tinggi telah dirintis yaitu dengan menggunakan parameter kegiatan nitrat reduktase daun sebagai keriteria daya hasil antara lain pada anggur (BarAktiva, 1967), gandum (Blackwood dan Hallam, 1979; Johnson et al., 1976), tebu (Setyowati, 1995), sorgum (Eck et al., 1975) dan kelapa (Hartiko, 1983). Parameter yang diteliti yaitu berat kering tanaman, jumlah butir biji, kadar nitrogen biji dan kandungan protein daun yang dihubungkan dengan aktivitas nitrat reduktase (ANR). Oleh karena itu telah diusulkan penggunaan parameter nitrat reduktase sebagai kriteria daya hasil tanaman setidak-tidaknya pada tanaman semusim (Johnson et al., 1976). Data dari penelitian-penelitian tersebut di atas memberikan harapan baru dalam mengembangkan metode baru dalam seleksi tanaman produksi (Kurdi dan Hartiko, 2008). Menurut Venkatesan dan Ganapathy (2004), aktivitas nitrat reduktase tertinggi di daun pertama kemudian daun ketiga. Peningkatan aktifitas nitrat reduktase seharusnya juga diikuti dengan peningkatan pemupukan N dan K. Ada korelasi postif antara hasil daun muda 4
dan aktifitas nitrat reduktase yang tercatat pada panen pertama dan kedua setelah pemupukan. Seperti dalam penelitian Wickremasinghe et al. (1980), menunjukan bahwa aktivitas nitrat reduktase pucuk jauh lebih tinggi daripada daun yang pertama, kedua atau ketiga, dan ada penurunan progresif aktivitas nitrat reduktase daun yang tua. Beberapa kultivar tipe assam memiliki aktifitas nitrat reduktase yang tinggi. Penemuan ini menyatakan bahwa aktifitas nitrat reduktase dapat digunakan sebagai alat biokimia untuk memprediksi potensial produksi di fase awal pertumbuhan pada program pemuliaan tanaman. Aktifitas tertinggi terdapat pada bagian tanaman yang masih muda (Venkatesan, 2004). Aktivitas sejumlah enzim dari berbagai jalur metabolisme tanaman diatur oleh cahaya. Nitrat reduktase adalah enzim pengatur asimilasi nitrogen pada tanaman, yang diatur oleh perubahan terang/gelap. Meskipun respon aktivitas nitrat reduktase terhadap terang/gelap dapat bervariasi pada setiap spesies, pada umumnya aktivitasnya lebih tinggi pada kondisi terang daripada gelap. Cahaya meningkatkan aktivitas nitrat reduktase dengan cara mempercepat pengambilan nitrat (Puranik and Srivastava 1985). 2.
Klon Kaitannya dengan Nitrat Reduktase Penyingkatan daur seleksi dilakukan dengan menggunakan analisis homogenitas
regresi antara aktivitas nitrat reduktase dengan hasil pada tanaman yang berumur tiga, enam, dan 12 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa regresi antara aktivitas nitrat reduktase dengan hasil pada tanaman yang berumur tiga dan enam tahun sama dengan tanaman yang berumur 12 tahun. Dengan menggunakan kriteria aktivitas nitrat redukt ase, potensi hasil suatu klon dapat diidentifikasi sejak tanaman berumur tiga tahun, sehingga daur seleksi klon teh yang perpotensi hasil tinggi dapat dipersingkat menjadi tiga tahun (Sriyadi et al., 1996). Dari hasil penelitian Mitrowihardjo (2012), menyatakan bahwa aktivitas reduktase yang tinggi pada klon TRI 2025, PS1 dan GMB 9 pada lokasi 1300 mdpl dan ini memperlihatkan dukungannya pada hasil pucuk peko dan burung per petak. Hal serupa juga terjadi pada aktivitas nitrat reduktase PGL 15 dan PGL 10 di lokasi 800 mdpl yang cukup tinggi. Aktivitas nitrat reduktase berkorelasi sangat nyata dengan berat pucuk peko dan burung per petak, berat pucuk burung per petak dan berkorelasi nyata dengan total katekin. Penelitian sebelumnya oleh Kurdi dan Hartiko (2008) menunjukkan dari 22 klon percobaannya, klon PS 125, CIN 148, TRI 2025 dan TRI 2024 memberikan kegiatan nitrat reduktase tertinggi dan klon SDR 2, CIN 149, SDR 28 dan CIN 81 memberikan kegiatan
5
nitrat reduktase terendah. Terdapat penyimpangan aktivitas nitrat reduktase yang diperlihatkan oleh klon CIN 148 (terlalu rendah) dan TRI 2024 (terlalu tinggi). Pola besaran kegiatan nitrat reduktase ini dipertahankan baik pada kegiatan nitrat reduktase satu jam, tiga jam maupun 5 jam. Perbedaan koefisien korelasi bila digunakan 22 klon atau 20 klon disebabkan oleh adanya penyimpangan aktivitas nitrat reduktase. Tabel 2. Kegiatan nitrat reduktase dan daya hasil tanaman teh
Kegiatan nitrat reduktase (mol NO/
Daya hasil
gram daun/ jam)
tanaman
Nama Klon 1 jam
3 jam
5 jam
(kg/plot*/th)
PS 125
1,73
1,67
2,23
42,44
CIN 148
1,57
1,57
1,94
30,21
TRI 2025
1,29
1,46
1,85
66.04
TRI 2024
1,19
1,24
1,52
46,84
MAL 2
1,14
1,19
1,49
38,47
CIN 130
1,04
1,15
1,42
36,99
PS 1
0,98
1,12
1,29
40,86
CIN 56
0,97
1,11
1,35
35,91
CIN 143
0,96
1,07
1,25
35,96
PAM 5
0,96
1,03
1,13
35,10
KIARA 8
0,94
0,60
0,58
25,61
BIJI
0,92
0,89
1,06
32,40
CIN 54
0,87
0,87
0,98
31,00
SA 65
0,80
0,82
0,93
33,42
SKM 118
0,74
0,94
1,07
36,19
SA 40
0,72
0,80
0,91
29,23
CIN 51
0,70
0,72
0,86
30,07
CIN 18
0,65
0,66
0,80
30,43
SDR 2
0,61
0,64
0,70
29,49
CIN 149
0,61
0,60
0,66
24,77
SDR 8
0,55
0,72
0,90
30,32
CIN 81
0,48
0,66
0,68
29,31
*
) 1 pot = 32,4 m2, 20 tanaman.,Sumber : Kurdi dan Hartiko (2008)
6
Tabel 3. Koefisien korelasi antara kegiatan nitrat reduktase dengan daya hasil tanaman teh Jumlah Klon
Kegiatan nitrat reduktase 3 Jam
5 Jam
0,68**
0,68**
20 0,75** 0,88** Sumber : Kurdi dan Hartiko (2008).
0,88**
22
1 Jam 0,54*
Gambar 1. Hubungan antara aktivitas nitrat reduktase dengan produktivitas pucuk Plot = 20 perdu/32,4 m2, n = jumlah klon, (Kurdi dan Hartiko, 2008).
3.
Pengaruh petikan terhadap produksi tanaman teh. Jenis pemetikan produksi ada tiga yaitu petikan halus, petikan medium serta petikan
kasar. Dalam rangka menghasilkan mutu teh perlu dilakukan pemetikan halus, yaitu pucuk yang dihasilkan terdiri dari pucuk peko (p) dengan satu daun (p+1), atau pucuk burung (b) dengan satu daun yang muda (m) dengan rumus b+1m. Petikan medium yaitu petikan halus dan ditambah satu daun dibawahnya atau pucuk yang dihasilkannya terdiri dari pucuk peko dengan dua daun (p+2) serta pucuk burung dengan dua atau tiga muda (b+2m, b+3m). Pemetikan mempunyai aturan agar produksi tetap tinggi dan tanaman tidak rusak. Komposisi pucuk minimal 70% pucuk medium, maksimal 10% pucuk halus, dan 20% pucuk kasar (PPTK Gambung, 1992). Petikan kasar akan memberikan produksi yang lebih tinggi, sedangkan petikan halus akan memberikan produksi lebih rendah. Aktivitas nitrat reduktase berkorelasi sangat nyata dengan berat pucuk peko dan burung per petak; dan berat pucuk burung/petak (Mitrowihardjo, 2012).
7
B. Katekin Polifenol dalam teh atau sering disebut dengan katekin merupakan zat yang unik karena berbeda dengan katekin yang terdapat pada tanaman lain. Katekin dalam teh tidak bersifat menyamak dan tidak berpengaruh buruk terhadap pencernaan makanan. Katekin teh bersifat antimikrobia (bakteri dan virus), antioksidan, antiradiasi, memperkuat pembuluh darah, melancarkan sekresi air seni dan menghambat pertumbuhan sel kanker. Katekin merupakan salah satu senyawa utama dari substansi teh hijau dan paling berpengaruh terhadap mutu daun teh. Dalam pengolahannya, senyawa tidak berwarna ini, baik langsung maupun tidak langsung selalu dihubungkan dengan semua sifat produk teh yaitu rasa, warna dan aroma. Katekin merupakan kelompok terbesar dari komponen daun teh, terutama kelompok katekin flavanol. Katekin tersintesis dalam daun teh melalui empat jalur yaitu isoprene pathway, polyketide pathway, shikimate pathway, dan amino acid pathway.
Gambar 2. Empat jalur utama biosintesis metabolit sekunder (Bentley, 1999 cit. Mitrowihardjo, 2012)
1. Kandungan kimia dalam teh dan mutu teh Analisis kimia merupakan metode yang terpercaya dalam memprediksi kualitas dari teh. Hubungan antara kualitas dan komponen kimia di dalam teh sudah diteliti dan memperlihatkan bahwa asam amino bebas, katekin, kafein, theanin dan asam askorbik, menurut segi mutu merupakan komponen yang penting. Diantara asam amino bebas, tanin
8
merupakan asam amino utama dalam daun teh dan grade teh tinggi apabila mengandung komponen tersebut dalam jumlah yang tinggi (Horic dan Katsunori, 1998). Sebagian besar flavanoins/polyphenol di daun teh terdiri atas katekin seperti epicatechin (EC), epigallocatechin (EGC), epicatechin gallate (ECG) dan epigallocachin gallate (EGCG). Epicatechin (EC) dan epigallocatechin (EGC) memunculkan rasa sedikit sepet (pahit) dengan sedikit manis setelah diminum, sedangkan bentuk gallatenya (EGC dan EGCG) memunculkan rasa sepet yang kuat (Yamanishi, 1991 cit Mitrowihardjo, 2012). Senyawa-senyawa katekin tersebut mempunyai manfaat karena sifatnya dalam meniadakan bau, wataknya sebagai antioxidant berkemampuan untuk menghambat pertumbuhan jamur, tumor dan virus. Kafein merupakan senyawa purin alkaloid, juga merupakan komponen penting dalam menentukan citarasa teh terutama rasa pahit/sepetnya. Tetapi karena sifat pharmatologi dari kafein yang merangsang sistem syaraf sentral, kafein yang tinggi pada daun teh kurang diinginkan (Takeda, 1994 cit Mitrowihardjo, 2012). Kandungan katekin mencapai 30% dari berat kering, sedangkan kandungan kafein hanya 5 % dari berat kering (Graham, 1992). Dalam pembuatan teh hitam daun harus dipecah menjadi bagian-bagian kecil. Hal ini memungkinkan sitoplasmik polifenol oksidase untuk mengoksidasi flavan-3-ols di vakuola. Akibat utama dari proses enzim oksidasi ini, secara resmi dikenal sebagai proses fermentasi, adalah polimerisasi dari monomer flavan-3-ol untuk bentuk thearubigins (TRs) dan theaflavins (TFs). Zat kimia yang terkandung dalam TRs belum diketahui dan sulit untuk dianalisis (Whitehead and Temple, 1992). Sedangkan TFs sangat berkorelasi dengan kualitas teh. Seperti dijelaskan oleh Owour dan Obanda 1995, bahwa theaflavins digallat sangat penting untuk memprediksi kualitas teh hitam di Kenya. Konsentrasi katekin sangat tergantung umur daun. Pucuk dan daun pertama paling kaya katekin galat. Kadar katekin bervariasi tergantung pada varietas tanaman tehnya (Syah, 2006).
9
Gambar 3.Struktur Epicatechin (EC), Epicatechin gallate (ECG), Epigallocatechin (EGC) dan Epigallocatechin gallate (EGCG) (Vuong et al., 2011).
2.
Pengolahan Teh kaitannya dengan Kandungan Katekin Oksidasi enzimatis daun teh segar menginduksi terjadinya enzymatic oxidation
flavan-3-ol (katekin) menghasilkan dua pigmen utama dalam teh hitam yaitu theaflavin (TF) dan thearubigin (TR). Theaflavin terdiri atas empat jenis yaitu nongallated theaflavin (TF), monogallated theaflavin (TF-3g dan TF-3’g), dan digallated theaflavin (TF-3,3’dg) (Menet et al., 2004 cit Mitrowihardjo, 2012). Keberadaan theaflavin dalam teh hitam akan ditentukan oleh komposisi flavan-3-ol (katekin) pada pucuk daun teh yang diolah (Wright et al., 2002 cit Mitrowihardjo, 2012). Perubahan dari flavan-3-ol (katekin) menjadi theaflavin (TF) bisa dilihat ditabel berikut.
10
Tabel 4. Komponen utama theaflavin
Sumber : Hilal and Engelhardt (2007).
Theaflavin banyak dikaitkan dengan kualitas karena pengaruhnya pada astringency, brightness dan briskness, sedang thearubigin terkait dengan kualitas karena kontribusinya pada warna, kekuatan (strength), dan rasa di mulut (mouthfell) (Sud and Asha, 2000 cit Mitrowihardjo, 2012). Mutu (grade) teh hitam di Indonesia ditentukan berdasarkan pengujian mutu dengan SP-SMO 370-1986/ Revisi September 1989, teh orthodox dibedakan berdasarkan ukuran partikel sebagai teh daun (leafy grades), teh bubuk (briken grades), teh halus (small grades), dan teh campuran orthodox (mixed orthodox), sedang teh CTC (crushing, tearing, curling) dibedakan menjadi BP 1 (Broken peoke I), BMC (Broken mixed CTC), PF I (Peoke fanning I). Fann (fanning CTC), PD (peoke dust), D I (dust I), D II (dust II), D III (dust III), PW dust (powdery dust) dan teh campuran CTC (mixed CTC). Disamping hal tersebut di atas, mutu (grade) teh hitam juga diuji karakteristik kenampakannya (appearance), warna, rasa dan bau air seduhan (liquor), serta kenampakan ampas seduhan (infusion) (Arifin et al., 1994 cit Mitrowihardjo, 2012). Penurunan kandungan katekin selama proses pengolahan teh hitam disebabkan oleh terjadinya reaksi oksidasi senyawa katekin yang dikatalisa oleh enzim polifenol oksidase. Proses oksidasi senyawa katekin sangat mudah terjadi karena enzim polifenol oksidase tersimpan dalam sitoplasma, sedangkan katekin ada dalam vakuola. Pemisah vakuola dan sitoplasma adalah sebuah membran yang disebut tonoplas. Membran tonoplas ini mampu mencegah pergerakan bebas substansi antara kedua bagian sel tersebut. Oksidasi senyawa katekin tidak terjadi dalam sel daun teh sampai enzim polifenol oksidase dan katekinnya terbawa masuk dan bertemu dengan percampuran isi sel tersebut. Sekali katekin bertemu dengan enzim polifenol oksidase, keduanya akan cepat teroksidasi oleh oksigen dari atmosfer. Teknologi proses pengolahan teh hijau yang ada saat ini belum didesain untuk menghasilkan teh hijau dengan kandungan katekin tinggi. Hasil kajian terhadap teknologi pengolahan teh hijau Indonesia yang ada bisa disimpulkan bahwa untuk
11
menghasilkan teh hijau berkatekin tinggi perlu dilakukan adalah menginaktivasi enzim polifenol oksidase. Meskipun berbagai hasil penelitian telah mengidentifikasi persoalan oksidasi enzimatis yang harus dihindari, langkah untuk mengurangi atau meniadakan oksidasi enzimatis tersebut sebelum pernah ditindaklanjuti. Oksidasi ini dapat dihambat atau ditiadakan apabila enzim polifenol oksidase dapat diinaktifkan secara efektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan jumlah katekin terbesar selama pengolahan teh hijau terjadi pada tahap pelayuan (7,40%) serta penggilingan (6,70%) dan terkecil pada pengeringan akhir (1,60%)(Syah, 2006). 3.
Klon kaitannya dengan kandungan katekin Teh hijau dari klon berdaun sempit (C. sinensis var. sinensis) menunjukkan
epigallocatechin gallate (EGCG) dan epigallocatechin (EGC) yang tinggi, sedang teh hijau dari klon berdaun lebar (C. sinensis var assamica) menunjukkan epicatechin gallate (ECG) dan epicatechin (EC) yang tinggi (Zhonghua et al., 1995 cit Mitrowihardjo, 2012). Hal yang berbeda dilaporkan oleh Nakagawa (1970) cit Mitrowihardjo (2012) bahwa klon yang biasa digunakan untuk memproduksi teh hitam (klon berdaun lebar) kaya akan kandungan katekin terutama ECG dan EGCG (bentuk gallatenya). Kandungan dengan flavanoid yang tinggi dan kafein redah sangat diperlukan dalam pemuliaan tanaman teh. Kultivar teh dengan flavanoid tinggi banyak ditemukan dari C. sinensis var assamica yang umumnya ditanam di India, namun sayangnya kafein juga tinggi. Kultivar dari Jepang yang umumnya merupakan hibrid dari C. sinensis var assamica dan C. sinensis var. sinensis menunjukkan kandungan kafein yang rendah, tetapi kandungan flavanoidnyanya juga rendah (Takeda, 1994 cit Mitrowihardjo, 2012). Pada kebun Pagilaran, beberapa klon telah diuji kandungan katekinnya guna menduga mutu dari klon teh tersebut. Total katekin klon GMB 9, PGL 10, TRI 2025 lebih tinggi dibanding dengan klon yang lain di lokasi dengan ketinggian 1346 mdpl, sedangkan klon PGL 15, GMB 9 lebih tinggi dibanding dengan klon yang lain di lokasi dengan ketinggian 889-925 mdpl. Mutu teh berkorelasi sangat nyata dengan berat peko per petak, jumlah peko per tanaman, berat pucuk peko dan burung per petak dan berkorelasi nyata dengan rasa (Mitrowihardjo, 2012). 4. Pengaruh Petikan terhadap mutu daun teh Kustamiyati (1976) menyatakan jenis pucuk sangat berpengaruh terhadap hasil teh. Semakin muda pucuk yang dipetik semakin tinggi kualitasnya. Menurut Kartawijaya (1987) 12
pertumbuhan pucuk serta kandungan zat penentu mutu teh dipengaruhi oleh kondisi tanaman teh, kesuburan tanah, musim, umur tanaman teh setelah pangkas dan ketinggian tempat. Subarna (1990) menyatakan bahwa petikan kasar akan memberikan produksi lebih tinggi dengan mutu pucuk rendah, sedangkan petikan halus memberikan produksi lebih rendah dengan mutu pucuk tinggi. Oleh karena itu petikan halus, medium dan kasar memberikan pengaruh terhadap mutu pucuk (persentase pucuk muda). Menurut Mitrowihardjo (2012), mutu berkorelasi nyata dengan rasa. Sekitar 50-60% mutu teh daun dipengaruhi oleh penampilan atau kenampakan teh setelah diolah dan kenampakan sangat dipengaruhi jumlah atau bobot peko yang ada.
13
III.
PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Nitrat reduktase yang berkorelasi positif dengan produksi tanaman teh dan katekin merupakan komponen dari daun teh yang dapat digunakan untuk menduga mutu teh sehingga dapat digunakan sebagai kriteria seleksi. 2. Nitrat reduktase sangat dipengaruhi oleh pupuk N yang diberikan serta intensitas cahaya dan lengas yang cukup. 3. Katekin berubah menjadi theaflavin dan thearubigin ketika mengalami proses pengolahan (teh hitam ) sehingga kadar katekin mengalami penurunan. 4. Katekin dipengaruhi oleh musim, ketinggian tempat, pemupukan N, dan umur daun. B. Saran Perlu adanya penelitian lanjutan untuk mengetahui keinginan konsumen terhadap teh yang dikorelasikan dengan mutu teh (dilihat dari kandungan teaflavins dan thearubigin pada teh yang dikonsumsi).
14
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. Kinerja ekspor teh berpotensi meningkat.
. Diakses 5 November 2012. Bar-Aktiva; Shaked, A. And J. Sagid. 1967. The use of nitrate reductase activity for the appraisal of nitrogen status and productivity of grape fruit and orchard trees. Hort.Sci. 2 : 51-53. Blackwood, G.C. and R. Hallam. 1979. Nitrate reductase activity in wheat (Triticum aestivum L.) II. The correlation with yield. New phytol 82 : 417-425. Eck, H.V.; Wilson G C and T Martinez. 1975. Nitrate reductase activity of grain Shorgum leaves as related to yield of grain, dry metter and nitrogen. Crop.Sci 15 : 557-561. Ellis R and Nyirenda H E. 1995. A successful plant improvement programme on tea (Camellia sinensis). Experimental Agriculture 31 : 307-323. FAO. 2012. Yield (hg/ha). . Diakses tanggal 26 November 2012. Graham, H. N. 1992. Green tea composition, consumption, and polyphenol chemistry. Preventive Medicine 21: 334-350. Hartiko, h. 1983. Leaf and root in vivo nitrate reductase activities of coconut (Cocos nucifera L.) cultivar and hybrid. PhD desertation, University of the phillippines at Los Banos, Laguna Philipines Hilal Y and U. Engelhardt. 2007. Characterisation of white tea-comparison to green tea and black tea. J. verbr. Lebensm 2 : 414-421. Horic H and K kohata. 1998. Aplication of capillary electrophoresis to tea quality estimation. Journal of Chromatography. 802 : 219-233. Johnson, C B; Whittington M J and G C Blackwood.1976. Nitrate reductase as a Possible teset of crop yield. Nature 262 :133-134. Kartawijaya, W. S. 1987. Pengaruh rumus petik dan bagian yang ditinggalkan terhadap daur petik dan hasil pucuk teh klon TRI 2024. Warta Balai Penelitian Teh dan Kina, Gambung, 1 : 1-8. Kurdi M dan Hari H. 2008. Kemungkinan penggunaan kegiatan enzim nitrat reduktase sebagai parameter penduga daya hasil pada tanaman teh dalam Hatono S (Eds). Kiprah PT Pagilaran Pengembangan Klon-Klon Unggul Teh dan Kakao. Direksi PT Pagilaran. Kurdi, M., H. Hartiko, dan W. Mangoendidjojo. 1987. Analisis Kegiatan Nitrat Reduktase Daun Teh (Camellia sinensis L.) sebagai Salah Satu Parameter Seleksi Jenis Unggul. Makalah Pertemuan Tentang Penggunaan Klon Unggul Teh di Kebun Pagilaran. Kustamiyati. 1976. Pendugaan potensi kualitas dalam teh hitam melalui daun segarnya. Warta Balai Penelitian Teh dan Kina, Gambung, 2 : 115-122.
15
Magoma G. N., F.N. Wachira, M. Obanda, M. Ibuga and S. G. Agong. 2000. The use of catechins as biochemical markers in diversity studies of tea (Camelia sinensis). Genetic Resources and Crop Evolution 47 : 107-114. Mangoendidjojo. 1993. Evaluasi pendahuluan beberapa nomor klon teh harapan di kebun Pagilaran. FPKT-DIKTI. Unibraw, Malang. Mitrowihardjo S. 2012. Kandungan katekin dan hasil pucuk beberapa klon teh (Camelia sinensis (L.) O. Kuntze) unggulan pada ketinggian yang berbeda di kebun Pagilaran. Disertasi Program Studi Pemuliaan Tanaman. Fakultas Pertanian UGM.Yogyakarta. Owour PO and Obanda M. 1995. Clonal variation individual theaflavin levels and their impact on astringency and sensory evaluations. Food Chemistry 54 : 273-277. Puranik RM, Srivastava HS. 1985. Increase in nitrate reductase activity in bean leaves by light involves a regulator protein. Agric Biol Chem 49 : 2099-2104. Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung. 1992. Petunjuk Kultur Teknis Tanaman Teh. APPP I – Puslitbang Gambung. Bandung. Sriyadi B; Baihaki A; Setiamihardja R. 1996. Peningkatan daur seleksi klon dengan menggunakan kriterium aktivitas nitrat reduktase pada tanaman teh (Camellia sinensis L.). Buletin Penelitian Teh dan Kina 7 : 1-10. Setyowati F M. 1995. Hubungan antara aktivitas nitrat reduktase daun dari 10 kultivar tebu pada umur bibit dan daya hasil tebu. Naskah poster kongres biologi Nasional ke XI. Subarna, N. 1990. Analisis ekonomi pengaruh petikan halus, medium, dan kasar pada petikan rata terhadap produktivitas pemetik dan tanaman teh. Prosiding Simposium Teh V Bandung :469-479 Suhendra. 2008. Industri Teh RI Terkendala Masalah Klasik. . Diakses 5 November 2012. Syah A N A. 2006. Takhlukan penyakit dengan teh hijau. Agromedia Pustaka, Jakarta. Vankatesan S. 2004. Differences in tea caffeine and tannin contents between tea cultivars and aplication to tea breeding. Japan Agricultural research. Quaterly 28 : 117-123. Vankatesan S. dan M N K Ganapathy. 2004. Nitrate reductae Activity in tea as influenced by various levels of nitrogen and potassium fertilizer. Soil science and Plant Analysis35: 1283-1291. Vuong, Q.V.,Nguyen, V., Golding, J.B. and Roach, P.D. 2011. The content of bioactive constituents as a quality index for Vietnamese teas. International Food Research Journal 18: 329-336. Whitehead, D. L., & Temple, C. M. (1992). Rapid method for measuring thearubigins and theaflavins in black tea using C18 absorbent cartridges. Journal of the Science and Food Agriculture, 58:149–152. Wickremasinghe R L, V. Fernando and A. Ekanayake. 1980. Nitrate reductase of tea as an indicator of yield and of effect of mulching material. Plant and Soil 55 : 3-7. 16
LAMPIRAN Pengukuran aktivitas nitrat reduktase. Daun ketiga dari pucuk tanaman sebanyak 500 mg diiris kecil-kecil, dan dimasukkan ke dalam tabung film gelap yang telah diisi 5 mL larutan buffer fosfat pH 7,5. Setelah 24 jam perendaman diganti 5 mL larutan buffer baru dan ditambahkan 0,1 mL KNO3 sebagai substrat, kemudian diinkubasikan selama 2 jam. Reagen pewarna terdiri dari 0,2 mL 1% sulphanilamide dalam 3N HCl dan 0,2 mL 0,02% Nnaphtylethylene diamine disiapkan dalam tabung reaksi. Setelah inkubasi selama 2 jam, 0,1 mL filtrat diambil dari tabung film gelap dan dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi reagen pewarna, lalu ditunggu sampai terjadi warna merah muda sebagai tanda terjadi reduksi nitrat menjadi nitrit oleh enzim nitrat reduktase. Satu tabung reaksi tidak diberi filtrat dan digunakan sebagai blangko. Setelah terjadi perubahan warna ditambahkan 2,5 mL akuades, dan dipindahkan dalam kuvet spektrofotometer, dan diamati absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm. Cara menghitung aktivitas reduktase adalah sebagai berikut: Absorbansi sampel X 1000 X 1 X Absorbansi standar
BB
WI
50 1000
Keterangan : Absorbansi standar = 0,0142 BB
= berat basah sampel (g)
WI
= waktu inkubasi (jam)
Satuan: µmol NO2-/g/jam .
17