MAKALAH ISLAM Peringatan Isra' Mi'raj: Shalat Khusyu Perspektif Psikologi
30 Mai 2014
Makalah Islam
Peringatan Isra' Mi'raj: Shalat Khusyu Perspektif Psikologi
Disusun Oleh : Dr. H. Thobib Al-Asyhar, M. Si. (Pengajar Psikologi Islam PPs Universitas Indonesia)
Alkisah, ada seorang khalifah yang ingin mengangkat seorang hakim. Dipanggillah beberapa orang yang kompeten untuk dilakukan uji kompetensi. Satu persatu dipanggil untuk diuji kelayakan. Rata-rata, peserta lulus dalam pengetahuan hukumnya, termasuk penampilannya sebagai salah satu penegak hukum. Namun, dari keseluruhan uji kejujuran, hanya satu orang yang dinyatakan memenuhi syarat. Kok? Iya, uji kejujuran dimaksud terkait dengan shalat khusyu. Sang khalifah bertanya: jika anda sedang khusyu dalam menjalankan shalat, apakah anda mendengar suarasuara di sekitar anda? Konon, hampir semua yang ditanya menjawab tidak mendengar dengan alasan shalatnya sedang khusyu. Namun, jawaban itu ternyata dianggap oleh sang khalifah sebagai jawaban yang tidak jujur. Hanya seorang yang menjawab, “saya mendengar” meskipun saya sedang shalat khusyu. Apa yang bisa diambil pelajaran dari kisah tersebut? Pertama, khusyu merupakan urusan hati, dan pikiran. Tidak ada orang lain yang bisa mengukur tingkat kekhusyuan seseorang kecuali dirinya dan Tuhan. Kedua, shalat yang khusyu pasti berdampak pada perilaku sebegaimana QS: Al-Ankabut: 45. Hampir pasti, orang yang tidak baik perilakunya, shalatnya pun tidak pernah khusyu. Kualitas ibadah, khususnya shalat, akan mencapai tingkat tertinggi ketika dapat dijalankan dengan khusyu’. Dalam shalat, khusyu’ memiliki nilai paling puncak di
hadapan Tuhan. Mayoritas orang menilai sangat sulit mencapai tahapan tersebut. Karena itu, untuk mencapai tingkat khusyu, kita harus fokus pada satu tujuan. Dalam pikiran harus bisa meninggalkan segala macam bentuk beban duniawi, bahwa kita sedang berkomunikasi dengan Tuhan. Karena Tuhan ada di hati dan pikiran, maka hati dan pikiran harus ditata dan ditujukan kepada Tuhan. Ibarat paling mudah, jika kita berkomuniaksi dengan orang lain namun muka kita menengok ke arah lain, pasti orang tersebut tersinggung. Demikian juga Tuhan, jika kita sedang berkomunikasi dengan Tuhan, namun dengan hati yang berpaling, apa yang terjadi? It’s okay. Sekarang bagaimana agar khusyu itu dapat kita peroleh? Terkadang kita berprasangka bahwa Tuhan memerintahkan kita khusyu’ hanya untuk bertaqarrub kepada Tuhan, baik shalat, haji, zikir, baca Alquran maupun lainnya. Tentu saja tidak hanya itu. Dalam terminologi psikologi, khusyu’ lebih mirip dengan kondisi yang disebut dengan “meditasi”, yaitu sebuah upaya pemusatan pikiran untuk mecapai pada tingkat ketenangan. Dalam sebuah penelitian, manfaat meditasi—yang dalam istilah Islam sering disebut khusyu’— memiliki manfaat yang sangat besar, seperti meringankan rasa sakit fisik dan psikologis. Artinya, khusyu dapat membawa pada sebuah kondisi psikologis yang bisa membawa pada terapi fisik dan kejiwaan.
Khazanah Islam klasik banyak menguraikan soal ini karena begitu pentingnya khusu dalam menjalankan ibadah. Untuk mencapai itu memang bukan soal mudah. Rata-rata manusia kurang atau bahkan tida bisa mencapai tahapan itu. Jika pun mendapatkannya, secepat kilat akan sirna, apalagi di tengah belenggu kehidupan modernitas seperti saat ini. Seorang sahabat besar bernama Huzaifah ibnu Yaman menggambarkan: Pertama kali yang akan hilang dari agamamu adalah khusyuk', dan hal terakhir yang akan hilang dari agamamu adalah shalat. Betapa banyak orang shalat tetapi tiada kebaikan padanya, hampir saja engkau memasuki masjid, sementara tidak ditemukan diantara mereka orang yang khusyuk. (Madarijussalikin, Imam Ibnul Qayyim 1/521). Jika ditanyakan sebarapa khusyu shalatnya umat Islam, maka jawabannya masih jauh dari kekhusyukan. Banyak dari kita yang shalat khusyu, tetapi pikiran dan hatinya “membincang soal-soal dunia”. Bahkan hatinya ingin konsentrasi, tetapi pikiran dapat saja membayangkan amal-amal yang tidak patut hadir ketika shalat. Pikiran menerawang, hati mereka lalai, bahkan was-was juga sering muncul tatkala shalat. Dalam perspektif psikologi, shalat merupakan aktifitas jiwa (soul). Dalam wacana kilmuan masuk dalam kajian psikologitranspersonal. Yaitu sebuah kajian keilmuan yang berhubungan dengan dimensi spiritual tertinggi sebagai manifestasi wujud kemuliaan manusia.
Shalat merupakan proses perjalanan spiritual penuh makna untuk menemui Dzat Yang Maha Tinggi. Shalat yang dilakukan dengan khusyu akan dapat menjernihkan jiwa dan mengangkat tahap kesadaran tertinggi (altered states of consciousness) dan pengalaman puncak (peak experience), istilah yang snagat populer dalam psikologi transpersonal. Sehingga, shalat yang dijalankan segan khusyu memiliki kemampuan untuk mengurangi kecemasan karena mengandung limaunsur fungsi di dalamnya, yaitu:Pertama, fungsi meditatif melalui doa yang teratur, minimal lima kali sehari. Kedua, fungsi relaktatif melalui gerakan-gerakan shalat. Ketiga, hetero atau auto sugesty dalam bacaan shalat. Keempat, fungsi group-therapy dalam shalat jama'ah atau bahkan dalam shalat sendirian pun minimal ada aku dan Allah. Kelima, hydro-therapy dalam mandi junub atau wudhu' sebelum shalat. Dari penjelasan tersebut sangat jelas, bahwa khusyu posisinya lebih tinggi dari sekedar meditasi. Jika meditasi hanya berfokus pada pikiran untuk mencapai tingkat konsentrasi yang tinggi, maka shalat yang khusyu lebih dari itu. Selain kehadiran pikiran yang tertuju pada satu titik Tuhan, bersamaan dengan itu harus disertai oleh kehadiran hati yang bebas dari urusan duniawi. Jadi, mari kita shalat dengan fokus dan khusyu!