MAKALAH Hadist dan Hubungannya dengan Al-Qur’an Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
ULUMUL HADIST Dosen Pembimbing: H.Muh Khoirul Rifa’I,M.Pd.I
Penyusun: 1. Ready Mufidatun Ni’mah
(2814123129)
2. Sarirotul Machfiyah
(2814123137)
3. Zulin Fu’adzatus Sofiyah
(2814123159)
PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA JURUSAN TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) TULUNGAGUNG JUNI 2013
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr.Wb. Tiada tempat untuk mengucapkan puji syukur atas kegembiraan dan kebahagiaan atas terselesaikannya penyusunan makalah yang berjudul ”HADIST DAN HUBUNGANNYA DENGAN AL-QUR’AN” untuk memenuhi tugas mata kuliah “ULUMUL HADIST” kecuali hanya kepada Allah SWT. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan penerang dan ilmu pengetahuan kepada umatnya. Tiada keberhasilan yang penyusun peroleh tanpa adanya bantuan dari pihak lain. Karena itu, pada kesempatan ini izinkan penyusun menyampaikan rasa terimakasih kepada: 1. Dr. Maftukhin M.Ag,selaku ketua STAIN Tulungagung. 2. H.Muh Khoirul Rifa’I,M.Pd.I selaku dosen mata kuliah Ulumul Hadits 3. Teman-teman yang telah berpartisipasi dalam penyelesaian makalah ini. Namun dengan keterbatasan yang ada, penyusunan makalah ini amatlah jauh dari kesempurnaan.Untuk itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca selalu penyusun harapkan. Penyusun berharap semoga amal baik yang telah diberikan oleh pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, memperoleh balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Serta semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membacanya. Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Tulungagung, Juni 2013
Penyusun
ii
DAFTAR ISI Halaman Judul ...................................................................................................... i Kata Pengantar ...................................................................................................... ii Daftar Isi ............................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN A.Latar belakang ............................................................................................. 1 B.Rumusan Masalah ....................................................................................... 1 C.Tujuan.......................................................................................................... 1 BAB II PEMBAHASAN A.Pengertian Hadits dan Al-Quran ................................................................ 2 B.Kedudukan Hadits terhadap Al-Quran ....................................................... 3 C.Fungsi Hadits terhadap Al-Quran .............................................................. 4 D.Perbandingan Hadits dengan Al-Quran ..................................................... 10 BAB III PENUTUP Kesimpulan .................................................................................................... 12 DAFTAR RUJUKAN ........................................................................................... 13
iii
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam merupakan agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW yang menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pertama dan menjadi tuntunan bagi seluruh umat. Sedangkan sumber hukum Islam yang kedua adalah Hadis. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril dan apabila seseorang membacanya maka mendapat pahala. Sedangkan Hadis adalah perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an dan Hadis merupakan dua pedoman umat muslim yang saling berhubungan satu sama lain. Al-Qur’an tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya Hadis sebagai penjelas Al-Qur’an yang masih bersifat global. Sedangkan hadits sebagai sumber hukum Islam kedua memiliki kedudukan satu tingkat di bawah Al-Qur’an. Hubungan antara Hadis dan Al-Qur’an merupakan bahasan dari Ulumul Hadis yang sangat penting, untuk itu di bawah ini akan dipaparkan penjelasan mengenai hubungan Hadis dengan Al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah 1.
Apa Pengertian Al- Qur’an dan al- Hadist?
2.
Bagaimana Kedudukan Hadist terhadap Al-Qur’an?
3.
Bagaimana Fungsi Hadist terhadap Al- Qur’an?
4.
Bagaimana Perbandingan Hadist dengan Al Qur’an?
C. Tujuan Pembahasan Masalah 1.
Mengetahui Pengertian Al- Qur’an dan Hadist
2.
Mengetahui Kedudukan Hadist terhadap Al- Qur’an
3.
Mengetahui Fungsi Hadist terhadap Al- Qur’an
4.
Mengetahui Perbandingan Hadist dengan Al- Qur’an
1
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Hadist dan Alqur’an 1. Pengertian hadist Kata "Hadits" atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru), hal ini merupakan lawan dari al-qadim (sesuatu yang lama). Adapun menurut istilah, hadits adalah sebagai berikut:
ِ ِ صلى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِم ْن قَ ْوٍل أ َْو فِ ْع ٍل أ َْوتَ ْق ِريْ ٍر َ ه َي َماصدر َع ْن َر ُس ْو ُل هللا Artinya: “Hadist ialah sesuatu yang berasal dari Rasululloh SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun penetapan pengakuan” ِAda perbedaan pendapat dikalangan para ulama mengenai pengertian hadits. Diantaranya, ada yang menyatakan bahwa definisi hadits sebagai berikut: "Segala perkataan, perbuatan, dan hal ihwal Nabi Muhammad SAW ". "Hal Ihwal" disini diterangkan sebagai segala pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya. 2. Pengertian Al- Qur’an Sedangkan menurut bahasa, Al-Quran berasal dari kata
ق ْرأَنًا-ً ق َرا َءةyang berarti “bacaan”. Sedangkan
- ًًِ قَ ْرأ- َي ْق َرأ-َ قَ َِ َرأ
menurut istilah, alqur’an adalah:
ٍ ِ لى هللاُ َع ْلي ِه َو َس ٌل ََم ِِبلْ َعَر بِيَ ِة املنقول ُمتَ َوا تًِرا املتعبد بِتِالَ َوتِه َ َكالَ ُم هللا املَنَ َزَل َعلَى ُُمَ َّمد َ ص Artinya: “Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada nabi
Muhammad SAW dalam bahasa arab yang diriwayatkan secara mutawatir dan membacanya adalah ibadah”
Definisi di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa: a.
Apa-apa yang diwahyukan Allah, kemudian dipahami dalam bahasa Rasulullah, tidak dinamai Al- Qur’an.
b.
Alih bahasa al-Qur’an kedalam bahasa selain arab, tidak disebut al-Qur’an.
2
c.
Wahyu Allah yang diwahyukan kepada selain Nabi Muhammad SAW seperti Taurat, Zabur, dan injil, tidak dinamakan Al- Qur’an.
d.
Kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak diriwayatkan secara mutawatir, tidak disebut Al-Qur’an.
B. Kedudukan Hadits terhadap Al-Quran Hadits Nabi SAW adalah sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Karena hadits nabi SAW merupakan penafsiran Al-Quran dalam praktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Hal ini dapat dilihat pada pribadi Rasulullah SAW yang merupakan perwujudan dari Al-Quran yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa Rasulullah SAW masih hidup, para sahabat mengambil hukum-hukum Islam (syariat) dari Al-Quran yang kemudian dijelaskan oleh Rasulullah. Hal ini dikarenakan para sahabat belum mampu untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an tanpa bantuan Rasulullah SAW. Misalnya saja, dalam beberapa tempat terdapat penjelasan-penjelasan yang diisyaratkan oleh ayat Al-Quran, namun hanya bersifat mujmal umum atau mutlak. Contohnya perintah tentang shalat yang diungkapkan secara mujmal, tidak menerangkan bilangan rakaatnya, tidak menerangkan cara-caranya maupun syarat rukunnya. Contoh lain, banyak hukum di dalam Al-Quran yang sulit dipahami atau dijalankan bila tidak memperoleh keterangan dari nabi SAW. Begitu pula terdapat kejadian atau peristiwa yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nash-nash Al-Quran secara terang. Karenanya, penjelasan Rasul sangat berarti dalam hal ini. Agar para sahabat bisa melaksanakan perintah Allah sebagaimana yang diharapkan dalam Al-Quran. Dengan demikian jelaslah bahwa
hadits Nabi SAW berkedudukan sebagai
sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran.
Hal ini sesuai firman-Nya dalam QS.Al-Hasyr:7
...الر ُس ْو ُل فَ ُخ ُذ ْوهُ َوَمانَ َها ُك ْم َعْنهُ فَانْتَ ُه ْوا َّ َوَمااَ َت ُك ْم... Artinya: “Apa yang diperintahkan Rasul, maka laksanakanlah, dan apa yang dilarang Rasul maka hentikanlah” (QS.Al-Hasyr:7) Dari ayat diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa, Allah memerintahkan kita untuk senantiasa menaati Rasul sebagaimana menaati Allah SWT.
3
C. Fungsi Hadits terhadap Al-Quran Al-Quran dan al-Hadits merupakan pedoman hidup serta sumber hukum dalam ajaran Islam. Sehingga tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. AlQuran sebagai sumber pertama, memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Sedangkan hadits sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi Al-Quran tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah QS.An-Nahl:44
ِ ِ وأَنْزلْناَ اِلَي... ِ ّي لِلن ...َّاس َْ َ َ َ ِِ َك ال ِذ ْكَر لتُب Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia…” (QS.An-Nahl:44) Allah SWT menurunkan Adz-Dzikr, yaitu Al-Quran sebagai peringatan bagi manusia. Agar manusia bisa lebih mudah memahami ayat Al-Quran yang diturunkan Allah, maka Dia mengutus rasulullah untuk menjelaskannya. Selanjutnya, Quran
hadits sebagai penjelas atau al-bayan. Sebagai penjelas, Al-
memiliki bermacam-macam fungsi. Hal ini dikemukakan oleh beberapa ulama,
diantaranya Imam Malik bin Anas menyebut fungsi hadits ada lima, yaitu sebagai bayan attaqrir, bayan at-tafsir, bayan at-tafsil, bayan al-bast, bayan at-tasyri’. Sementara Imam Syafi’I menyebut lima fungsi hadits, yaitu bayan at-tafsil, bayan at-takhsis, bayan at-ta’yin, bayan attasyri’, dan bayan an-nasakh. Dalam Ar-Risalah, Imam Malik menambahkan dengan bayan al-isyarah. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi, yaitu bayan at-ta’kid, bayan at-tafsir, bayan at-tasyri’ dan bayan at-takhsis. Berikut akan dibahas mengenai fungsi hadits secara garis besar: 1. Bayan at-Taqrir Bayan at-taqrir disebut juga bayan at-ta’kid atau bayan isbat. Maksudnya ialah menetapkan dan memperkuat penjelasan yang ada dalam al-Quran. Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan Al-Quran. Sebagai contoh, yaitu hadits yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar.
ِ )ص ْوُم ْو َاوإِ َذ َاراَيْتُ ُم ْوهُ فَافَطُُرْوا (روه مسلم ُ َا َذ َاراَيْ تُ ُم ْوهُ ف Artinya: “Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah” (HR.Muslim)
4
Hadits ini mentaqrir ayat dalam QS.Al-Baqarah:185
ِ ... ص ْمه ْ فم ْن َش ِه َد مْن ُك ُم الش ُ ََّهَر فَ ْلي َ ... Artinya: “Maka barangsiapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa” (QS.Al-Baqarah:185)
Contoh lain, hadits yang diriwayatkan Bukhori dari Abu Hurairah.
ِ ِ َضأ َ صالَةُ َم ْن اَ ْح َد َ ث َح ََّّت يَتَ َو َ صلَّى هللاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم الَتُ ْقبَ ُل َ قَ َال َر ُس ْو ُل هللا Artinya: “Rasulullah SAW bersabda, tidak diterima shalat seseorang yang berhadats sampai ia berwudhu” (HR.Bukhori dan Abu Hurairah)
Hadits ini mentaqrir QS.Al-Maidah:6 mengenai keharusan berwudhu ketika hendak mendirikan shalat.
ِ ِ ِ الصلَوةِ فَا ْغ ِسلُ ْوا ُو ُج ْوَه ُك ْم َوأَيْ ِد يَ ُك ْم اِ ََل الْ َمَرافِ ِِ َو ْام َس ُُ ْوا ِ ََياَيُّ َهاالَّذ يْ َن اََمنُ ْواا َذاقُ ْمتُ ْم ا ََل ِ ْ َبِرء ْو ِس ُكم واَْر ُجلَ ُكم اِ ََل الْ َك ْعب ّي ْ َ ْ ُُ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS.Al-Maidah:6)
2. Bayan at-Tafsir Bayan at-tafsir adalah memberikan perincian dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran yang masih bersifat mujmal. Selain itu, bayan ini juga memberikan taqyid (persyaratan) terhadap ayat-ayat Al-Quran yang masih mutlaq. Juga memberikan taksis (penentuan khusus) terhadap ayat-ayat Al-Quran yang masih umum. Misalnya saja, ayat yang menyatakan perintah untuk mengerjakan shalat, puasa, zakat, disyariatkannya jual-beli. Ayat ini masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, sebabsebab, syarat-syarat, maupun hal-hal yang bisa merusaknya. Oleh karena itulah, Rasulullah SAW menafsirkan dan menjelaskan ayat tersebut melalui haditsnya. Sebagaimana hadits berikut:
5
)صلِِ ْي (رواه البخارى َ ُصلُّ ْوا َك َما َرأَيْتُ ُم ْو ِِن أ َ Artinya:" Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat" (HR. Bukhori dan Muslim)
Hadits ini menerangkan tata cara menjalankan shalat, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS.Al-Baqarah:43
ِ ِ َّ االزَكوَة وارَكعوامع ّي َّ َوأَقِْي ُم ْو َ ْ الراكع َ َ ْ ُ ْ َ َّ االصلَوَة َوأَتُو Artinya:" Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan ruku’lah beserta orangorang yang ruku’" (QS.Al-Baqarah:43) Selain menafsirkan, Rasulullah juga mentaqyid (memberikan batasan-batasan atas ayat-ayat yang disebutkan secara mutlak) ayat Al-Qur’an. Sebagaimana yang terdapat dalam QS. an-Nisa’ : 7
ِ ص ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ يب ِِمَّا تَ َرَك الْ َوالِ َد ِان َواالَقْ َربُو َن ِِمَّا قَ َّل ِمْنهُ أ َْو ٌ يب ِمَّا تَ َرَك الْ َوال َدان َواالَقْ َربُو َن َوللنِ َساء نَص ٌ َل ِِلر َجال ن ِ ََكثُر ِ ن وضا ً صيبًا َم ْف ُر َ Artinya: "Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan" (QS.An-Nisa’:7) Ayat tersebut secara umum menjelaskan bahwa anak laki-laki dan perempuan adalah ahli waris dari orang tuanya yang telah meninggal dunia. Namun ayat tersebut masih bersifat mutlak (umum). Kemudian nabi memberikan qayyid (batasan), bahwa hak warisan itu tidak dapat diberikan kepada mereka yang menjadi penyebab kematian orang tuanya, seperti sabda Rasulullah:
)س لِْل َقاتِ ِل ِم َن الْ َم ْقتُ ْوِل َشْي ئًا (رواه النساء َ لَْي
6
Artinya: “Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta orang yang dibunuh sedikitpun” (HR. al-Nasa’i) Contoh lain dari hadits yang mentaqsyidkan ayat-ayat Al-Quran yang masih bersifat mutlaq adalah sebagai berikut:
ِ ِ ِ ف ِِ ص ِل الْ َك َ أَتَى بِ َسا ِرق فَ َقطَ َع يَ َدهُ م ْن م ْف Artinya: “Rasulullah SAW didatangi seseorang yang membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri tersebut dari pergelangan tangan”
Hadits ini mentaqyid QS.Al-Maidah:38
ِالسا ِرقَةُ فَاقْطَعوااَي ِد ي هما جزاء ِِبَا َكسبا نَ َكاالً ِمن هللا َّ السا ِر ُق َو َّ َو ََ َ ً ََ َ ُ َ ْ ُْ Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah” (QS.Al-Maidah:38) Selanjutnya,
Rasulullah
juga
mentakhsis
ayat-ayat
Al-Qur’an,
yaitu
mengkhususkan lafadz-lafadz dalam al-Qur’an yang masih bersifat umum. Seperti contoh firman Allah dalam QS. Al-Nisa’ : 24
ِ ِ ِ والْمُصن ِ َب هللاِ َعلَْي ُك ْم َواُ ِح َّل لَ ُك ْم َّما َوَراءَ ذَلِ ُك ْم أَ ْن تَ ْب تَ ُُوا ِِب ْ ت م َن النِ َساء إِالَّ َما َملَ َك ُ ََ ْ ُ َ َ ت أَْْيَنُ ُك ْم كتَا ِ ِ ِ ِِ ِِ ِِ اضْي تُ ْم َ ُْج ْوَرُه َّن فَ ِري َ اَ َعلَْي ُك ْم فْي َما تَ َر َ ْ ُّي َغْي َر ُم َسف َ ْ ْم َوال ُك ْم ُُّْمصن ْ ّي فَ َما ُ استَ ْمتَ ْعتُ ْم به مْن ُه َّن أ َ ََةً َوالَ ُجن ِ ِِ َ ِة إِ َّن هللاَ َكا َن َعلِْي ًما َح ِكْي ًما َ ْبِه م ْن بَ ْعد الْ َف ِري Artinya: dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapanNya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteriisteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS.An-Nisa’:24) 7
Ayat ini menjelaskan tentang keharaman menikahi wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang dimiliki. Akan tetapi kehalalan tersebut di takshshis oleh Nabi, dimana beliau mengharamkan memadu istri dengan bibi, baik dari garis ibu maupun ayah, dengan sabdanya:
ِ ّي الْ َم ْرأَةِ َو َخالَتِ َها َ ْ َّي الْ َم ْرأَة َو َع َّمتُ َها َو الَ ب َ ْ َالَ ََْي َم ُع ب Artinya: “ tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ‘ammah (saudara bapak) nya, dan seorang wanita dengan khalah (saudara ibu) nya” (HR. al-Bukhari dan muslim). 3. Bayan at-Tasyri’ Bayan at-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-Quran. Bayan ini juga disebut dengan bayan zaid ‘ala al-kitab alkarim. Dalam hal ini, hadits Rasulullah SAW berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang tidak terdapat dalam Al-Quran. Beliau berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat atau yang tidak diketahuinya, dengan memberikan bimbingan dan menjelaskan persoalannya. Sebagai contoh, hadits tentang zakat fitrah berikut:
ِ ِ ِ ِ َا َن َعلَى الن صا َ ض َزَكا ةَ الفطْ ِر م ْن َرَم َ َو َسلَّ َم فَ َر َ صا ًعا م ْن ََتٍَراَْو َ َّاس
ِ ِ صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َ ا َّن َر ُس ْو ُل هللا
ٍ ِ ِ ِ ِِ ّي َ ْ ًعام ْن َشع ٍْْي َعلَى ُك ِِل ُحٍِر اَْو َعْبد ذَ َك ٍر أ َْو أُنْثَى م َن اْملُ ْسلم Artinya: “Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, beik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan” Hadits yang termasuk bayan tasyri’ ini, wajib diamalkan sebagaimana halnya dengan hadits-hadits lainnya. Ibnu Al-Qayyim berkata, bahwa hadits-hadits Rasulullah SAW yang berupa tambahan terhadap al-Quran harus ditaati dan tidak boleh menolak atau mengingkarinya. Ini bukanlah sikap (Rasulullah SAW) mendahului al-quran, melainkan semata-mata karena perintah-Nya.
8
4. Bayan Nasakh Untuk bayan yang keempat ini, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang memasukkannya sebagai fungsi hadits, juga ada yang tidak mau memasukkannya pada fungsi hadits. Bagi yang menganggap bayan nasakh juga termasuk fungsi hadits, mereka mengatakan bahwa kata an-nasakh secara bahasa memiliki bermacam-macam arti, yaitu
al-itbal
(membatalkan)
atau
ijalah
(menghilangkan),
atau
at-tahwil
(memindahkan), atau at-taqyir (mengubah). Para ulama mengartikan bayan nasakh ini melalui pendekatan bahasa, sehingga tetap saja terdapat perbeaan pendapat diantara mereka. Namun dari pengertian diatas, jelaslah bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat menghapuskan ketentuan yang terdahulu. Dalam hal ini, ketentuan yang datang kemudian dapat menghapus ketentuan dan isi kandungan Al-Quran. Demikianlah menurut ulama yang mengangap adanya fungsi bayan nasakh. Imam Hanafi membatasi fungsi bayan ini hanya terhadap hadits-hadits yang mutawatir dan masyur. Sedangkan terhadap hadits ahad, ia menolaknya. Salah satu contoh dari bayan nasakh yaitu:
ٍ الَو ِصيَّةَ لِوا ِر ث َ َ Artinya: “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”
Hadits ini menasakh isi QS.Al-Baqarah:180
ِ ُكتِب علَي ُكم اِ َذاحَر اَح َد ُكم املوت اِ ْن تَرَك خي رالو ِصيَّةُ لِْلوالِ َد ي ِن واْأَ قْ ربِّي ِِبلْمعرو ِ َحقاا َعلَى ُْ ْ َ َ ْ َ َ ْ َ َ َ ْ َ َ ُ َْ ْ َ َ َ َ ْ ْ َ َ ِ ّي َ ْ املُتَّق Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibubapak dan karib kerabat secara ma’ruf. (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa” (QS.Al-Baqarah:180)
9
D.
Perbandingan Hadits dengan Al-Quran Sunah atau hadits merupakan sumber hukum kedua dan kedudukannya setingkat
lebih rendah daripada Al-Quran. Hadits bukanlah dari Allah, melainkan dari redaksi nabi sendiri. Sedangkan Al-Quran adalah kalamullah yang diwahyukan Allah melalui malaikat Jibril secara lengkap berupa lafadz dan sanadnya sekaligus. Dari segi kekuatan dalalah-nya, Al-Quran adalah mutawatir yang qat’i. Sedangkan hadits kebanyakannya khabar ahad yang hanya memiliki dalalah Danni, walaupun ada hadits yang mencapai martabat mutawatir. Namun jumlahnya hanya sedikit. Para sahabat mengumpulkan Al-Quran dalam mushaf dan menyampaikan kepada umat dengan keadaan aslinya, satu huruf pun tidak berubah atau hilang. Serta mushaf itu terus terpelihara kemurniannya dari masa ke masa. Sedangkan hadits tidak demikian adanya. Karena hadits qauli hanya sedikit yang mutawatir. Kebanyakan hadits yang mutawatir mengenai amal praktek sehari-hari seperti bilangan rakaat shalat dan tata caranya. Al-Quran merupakan hukum dasar yang isinya pada umumnya bersifat mujmal dan mutlak. Sedangkan hadits sebagai ketentuan-ketentuan pelaksanaan (praktisnya). Hadits juga ikut menciptakan suatu hukum baru yang belum terdapat di dalam Al-Quran, seperti:
ِ ِ ِ ّي الْ َم ْرأَةِ َو َع َّمتُ َها َ ْ َ الَ ََْي َم ُع ب: صلَّى هللاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َ قَ َال َر ُس ْو ُل هللا: َع ْن اَِِب ُهَريْ َرةَ َرض َي هللاُ َعْنهُ قَ َال ّي الْ َم ْرأَةِ َو َخالَتِ َها َ ْ ََوالَ ب
Artinya: Hadits dari Abu Hurairah r.a dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah halal mengumpulkan antara seorang perempuan dengan bibinya (saudara bapak yang perempuan) dan tidak pula antara seorang perempuan dengan bibbinya (saudara ibu yang perempuan)” (HR.Bukhori Muslim)
10
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Hadist ialah sesuatu yang berasal dari Rasululloh SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun penetapan pengakuan. Sedangkan Al- Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dalam bahasa arab yang diriwayatkan secara mutawatir dan membacanya adalah ibadah. Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Quran. Sehingga hadits memiliki berbagai fungsi, yaitu sebagai bayan taqrir, bayan tafsir, bayan tasyri’, juga bayan nasakh. Meskipun demikian, hadits dan al-Quran memiliki beberapa perbandingan. Diantaranya, al-Quran merupakan kalam Allah yang disampaikan secara mutawatir, sedangkan hadits adalah dari nabi yang tidak semuanya diriwayatkan secara mutawatir.
11
DAFTAR RUJUKAN
H.Muhammad
Ahmad,H.M.Mudzakir,Drs.Maman
Abdul
Djaliel
(ed).Ululul
Hadis.bandung:Pustaka Setia.2000 Mudasir,H.,Drs. Maman Abdul Djaliel (ed),Ilmu Hadits,Bandung:Pustaka Setia,2005
12