Majelis Eksaminasi Perkara Adam Damiri (Kasus Timor Timur) Fadilah Agus, SH, MH
Prof. David Cohen
Widati Wulandari, SH, L.LM
Perkara Johny Wainal Usman (Kasus Abepura) Trihoni Nalesti Dewi, SH, MH Ifdhal Kasim, SH Diajeng Wulan Christianti, SH
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
BAB I PENDAHULUAN
Pada tanggal 8 dan 9 September 2005, Pengadilan Makassar memutuskan untuk membebaskan terdakwa Brigjen (Pol) Johny Wainal, mantan Komandan Satuan BRIMOB Polda Irian Jaya / Papua di Jayapura, karena unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan yang dituduhkan kepadanya tidak terpenuhi. Keputusan ini banyak mengundang pertanyaan publik karena kesimpulan yang berbeda dengan Laporan KPP HAM dan Surat Dakwaan Jaksa Agung yang menyimpulkan bahwa peristiwa Abepura memenuhi unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan. Kesungguhan pemerintah dalam melaksanakan kewajibannya untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap rakyatnya kembali dipertanyakan. Seperti halnya Pengadilan HAM Ad Hoc untuk Timor Timur dan Tanjung Priok, Pengadilan ini semakin menambah deretan panjang kasus-kasus penyelesaian pelanggaran berat HAM yang berujung pada ketidakpuasan dan ketidakadilan khususnya bagi korban. Betapa tidak, lima tahun sejak terjadinya peristiwa Abepura hingga didirikannya Pengadilan HAM Makassar, tidak ada seorang pun anggota Kepolisian yang diadili. Kalaupun pada akhirnya dua orang diantara mereka diadili, putusan bebas terhadap kedua terdakwa tersebut juga sangat menyakiti hati korban. Akibatnya, publik semakin pesimis bahwa Pengadilan HAM sebagai mekanisme penegakkan Hukum HAM dapat memberikan keadilan dan membela hak korban. Eksaminasi sebagai salah satu mekanisme uji publik terhadap putusan-putusan Pengadilan HAM ini dirasa penting dilakukan untuk secara kritis dapat menilai putusan dan mengungkap kesalahan penerapan asas dan prinsip yang mungkin terkandung dalam putusan tersebut. Diharapkan hasil dari eksaminasi publik ini akan berdampak pada kinerja Pengadilan HAM, terutama pada proses pemeriksaan perkara dimasa mendatang, hakim yang mengadili akan lebih memperhatikan aspek teknis dan kualitas dari putusan, selain menyangkut konteks rasa keadilan umum dan juga yang sama pentingnya adalah mengenai bagaimana perlindungan terhadap
2
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
saksi dan korban. Terlebih lagi khusus mengenai Kasus Abepura dengan terdakwa Johny Wainal Usman merupakan kasus pertama yang disidangkan di Pengadilan HAM Permanen di Indonesia sejak diundangkannya Undang-Undang No.26 Tahun 2000, sehingga hasil dari pengadilan ini tentunya akan menjadi preseden untuk kasus-kasus serupa yang mungkin akan terjadi di masa datang. Hal penting lainnya yang patut kita cermati dalam kasus seperti ini adalah ketika kita menuduh operasi polisi atau militer yang bertujuan untuk menegakan hukum dan memelihara ketertiban yang kebetulan melibatkan penduduk sipil sebagai suatu ”kejahatan terhadap kemanusiaan’, hal tersebut jelas tidak selalu tepat karena sebenarnya kita menginginkan aparat penegak hukum kita dapat dikendalikan dibawah garis komando yang ketat sehingga ketika mereka melaksanakan operasi hasilnya adalah tindakan operasi yang sistematik dan terkendali, oleh sebab itu kita harus cermat ketika menuduh mereka melakukan serangan yang sistematis terhadap penduduk sipil karena mungkin tindakan tersebut merupakan penjabaran dari tugas mereka sehari-hari, 1 walaupun bukan berarti tindakan aparat dalam kasus ini sepenuhnya benar karena bisa saja dalam pelaksanaan tugas tersebut terjadi ekses yang menjadi indikasi adanya pelanggaran HAM berat. Dari hal-hal tersebut diatas maka kami berharap eksaminasi Kasus Abepura ini dapat menjadi representasi dari kompleksitas kasus-kasus yang pernah disidangkan oleh pengadilan HAM di Indonesia. Proses eksaminasi ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu tahap persiapan, pembacaan kritis, persidangan dan tahap publikasi. Proses tersebut memakan waktu kurang lebih 4 bulan. Adapun hasil dari Eksaminasi ini dapat dilihat pada bab-bab selanjutnya. Bab II akan menguraikan mengenai pertanggungjawaban atasan dalam pelanggaran HAM berat dengan mengkaji bahan-bahan dari Laporan KPP HAM, Berkas Perkara, Surat Dakwaan dan Surat Tuntutan. Adapun sistematika pengkajian, eksaminator menggunakan metode penelusuran terhadap pemenuhan unsur-unsur pelanggaran HAM berat dan unsur-unsur pertanggungjawaban atasan (komando).
1
Komentar Susana Linton, Direktur Program HAM di University of Hong Kong
3
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Bab III akan lebih mengkritisi mengenai acara pemeriksaan dalam forum pengadilan tersebut, khususnya mengenai proses pembuktian surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap terdakwa. Kemudian dalam Bab IV, Majelis Eksaminator mencoba untuk mengkaji dan mengkritisi Putusan yang dihasilkan oleh Pengadilan HAM tersebut yang sebagaimana kita ketahui bahwa Terdakwa Johny Wainal Usman akhirnya dibebaskan. Untuk memudahkan dalam menganalisa, maka Majelis eksaminator membuatnya dalam bentuk tabel yang berisi mengenai fakta-fakta hukum dan syarat-syarat pemidanaan, Dakwaan Jaksa dan pertimbangan hakim, permohonan ganti kerugian dan analisa hakim yang kesemua hal tersebut dibarengi dengan analisa majelis eksaminator pada masing-masing bagian. Dan pada akhir laporan eksaminasi ini kita juga dapat melihat proses pembuktian perkara Johny Wainal Usman di Pengadilan HAM Makassar dalam bentuk tabel agar lebih mudah dipahami.
4
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
BAB II UNSUR-UNSUR PERTANGGUNG-JAWABAN ATASAN DALAM PELANGGARAN HAM BERAT Suatu Kajian terhadap Proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam Kasus Pengadilan HAM Abepura atas Johny Wainal Usman Trihoni Nalesti Dewi
PENDAHULUAN Secara umum Laporan KPP HAM sudah cukup kuat menguraikan adanya dugaan pelanggaran ham berat dalam kasus Abepura 7 Desember 2000 dan adanya pertanggung-jawaban atasan yang dibebankan pada mantan Komandan Satuan Brimob Irian Jaya / Papua, Johny Wainal Usman, dalam peristiwa tersebut. Laporan ini memberikan alas bagi jaksa penuntut umum (JPU) untuk melakukan proses hukum selanjutnya dengan berusaha mencari serta mengumpulkan bukti-bukti terhadap pemenuhan semua unsurunsur pelanggaran ham berat dan unsur tanggung jawab atasan (komando). Dari hasil proses hukum pada tahap selanjutnya yang dilakukan oleh JPU dirumuskan dua dakwaan yang berbentuk kumulatif, yaitu tanggung jawab atasan terhadap pelanggaran ham berat atas pembunuhan dan penganiayaan. Terhadap dua peristiwa ini, JPU telah mengumpulkan sejumlah bukti dan membuat argumen yang disusun dalam berkas perkara, surat dakwaan dan surat tuntutan. Untuk membuktikan adanya tanggung jawab pidana terdakwa tersebut maka sesungguhnya JPU harus membuktikan dulu terpenuhinya unsur-unsur pelanggaran ham berat dan unsur-unsur pertanggung-jawaban atasan (komando). Unsur-unsur pelanggaran ham berat meliputi: (1) Salah satu yang disebutkan Pasal 9 UU No. 26 th 2000, dalam kasus ini adalah pembunuhan dan penganiayaan; (2) Serangan yang ditujukan pada penduduk sipil; (3) meluas dan (atau) sistematis. Sementara itu, unsur pertanggung-
5
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
jawaban atasan meliputi: (1) Hubungan atasan bawahan dengan pengendalian efektif; (2) Pengetahuan atau pengetahuan yang konstruktif yang dimiliki oleh atasan; (3) Kegagalan atasan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Unsur-unsur tersebut akan diuraikan dalam tulisan ini melalui pembahasan tahap-tahap yang dilakukan yaitu tahap penyelidikan, penyidikan , dan penuntutan.
Tahap Penyelidikan Tahap penyelidikan telah diselesaikan oleh KPP HAM pada bulan Mei 2005. Hasil penyelidikan tersebut sebenarnya telah merekomendasikan 4 pelanggaran ham berat, namun oleh JPU hanya dikemukakan dua yaitu pelanggaran ham berat dalam bentuk perbuatan pembunuhan dan penyiksaan. Unsur pertama dalam pelanggaran ham berat yaitu adanya pembunuhan telah diuraikan secara memadai oleh laporan hasil penyelidikan KPP HAM. Dalam kesimpulan penyelidikannya KPP HAM menyebutkan bahwa telah terjadi tindakan pembunuhan kilat (summary killing) di daerah Skyline yang mengakibatkan meninggalnya Elkius Suhuniap akibat ditembak oleh anggota BRIMOB. Berdasarkan hasil visum et repertum yang dikeluarkan Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura disimpulkan bahwa sebab kematian korban adalah karena mengalami luka tembak masuk pada punggung kiri dan keluar pada dada kanan. Dan korban mati akibat robekan pada jantung dan pembuluh darah besar jantung. Sementara itu, penganiayaan yang juga merupakan salah satu unsur terpenuhinya pelanggaran ham berat, terbukti dalam laporan KPP HAM ini telah dilakukan terhadap sejumlah korban. Penganiayaan yang dikemukakan oleh laporan KPP HAM dalam bentuk-bentuk sebagai berikut; pemukulan dengan menggunakan tangan, popor senjata, sekop, rotan dan balok ukuran 5 x 5 cm, balok 5 x 10 cm; penendangan dengan sepatu lars; penyundutan puntung rokok pada tangan korban; penyiraman dengan air pada tubuh yang luka; pemotongan rambut dan kemudian disuruh memakannya; disuruh minum air bercampur darah; serta menjilat darah yang menetes di lantai serta makian-makian yang merendahkan martabat.
6
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Selanjutnya, untuk memenuhi kualifikasi sebagai tindakan pelanggaran HAM berat maka tindakan pembunuhan dan penganiayaan yang dilakukan tersebut diatas harus merupakan serangan yang ditujukan pada penduduk sipil yang dilakukan secara berganda (multiciplicity commission of acts). Laporan KPP HAM menyebut secara komprehensif bagaimana tindakan yang dilakukan secara berganda itu terjadi, bahkan jauh sebelum terjadinya peristiwa 7 Desember 2000. Menurut laporan tersebut, Polda Irian Jaya menjelang Desember 2000 menyatakan Propinsi Papua berada dalam situasi siaga I. Kebijakan itu diambil berdasarkan dinamika politik yang terjadi yaitu banyaknya aksi demonstrasi dan aksi pengibaran bendera. Jika dilihat dari beberapa kebijakan keamanan di atas maka sikap dan tindakan aparat Kepolisian dalam mengejar dan menangkap orang pasca penyerangan Polsek Abepura tanggal 7 Desember 2000 bukanlah sesuatu yang terjadi tiba-tiba, melainkan suatu sikap dan tindakan terpola untuk menangani berbagai masalah di Propinsi Irian Jaya (Papua) yang presedennya bisa dilihat dari tindakan-tindakan aparat Kepolisian jauh hari sebelumnya. Jadi sikap dan tindakan Polisi terhadap siapa saja yang mereka curigai sebagai pelaku separatis (OPM atau simpatisannya) pasca penyerangan Polsek Abepura adalah merupakan satu kesatuan tindakan atau satu bagian dari keseluruhan kebijakan Kepolisian (keamanan) yang secara sistematis telah berlangsung lama di Papua. Fakta peristiwa yang menunjukan pola dari sikap dan tindakan aparat Kepolisian itu bisa dilihat dari cara-cara atau pola penanganan aksi-aksi masyarakat Papua jauh sebelum peristiwa 7 Desember 2000 terjadi khususnya menyangkut aksi pengibaran bendera Bintang Kejora. Dari beberapa fakta peristiwa yang terjadi antara tahun 1998-2000 terlihat bahwa aparat Kepolisian di Irian Jaya begitu mudah melakukan penembakan, penangkapan dan penahanan, serta penyiksaan terhadap orang-orang yang melakukan aksi protes atau orang yang dikategorikan separatis. Fakta-fakta peristiwa terpenting tersebut adalah: a) Tragedi Biak 6 Juli 1998 b) Tragedi Sorong, 5 Juli 1999 c) Tragedi Timika, 2 Desember 1999 d) Tragedi Merauke 16 Februari 2000
7
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
e) Tragedi Nabire 28 Februari – 4 Maret 2000 f) Tragedi Sorong, 27 Juli 2000 g) Tragedi Sorong, 22 Agustus 2000 h) Tragedi Wamena 6 Oktober 2000 2 Dengan mengungkap peristiwa sebelum 7 Desember 2000 tersebut maka Laporan KPP HAM ini akan sangat berguna untuk mengungkap terjadinya tindakan yang bersifat sistematis dan (atau) meluas dalam peristiwa pengejaran dan penyekatan (penangkapan) terhadap para korban. Dalam laporan KPP HAM disebutkan juga bahwa semua korban yang telah diperiksa kemudian dilepaskan. Secara implisit peristiwa pelepasan para tahanan ini menunjukkan bahwa mereka hanyalah penduduk sipil yang tidak terbukti merupakan anggota dari gerakan separatis. Dari dua unsur bahwa tindakan pembunuhan dan penganiayaan yang dilakukan tersebut diatas harus merupakan serangan yang dilakukan secara berganda (multiciplicity commission of acts) dan obyek serangan adalah penduduk sipil maka salah satu unsur pelanggaran ham berat sudah terpenuhi. Sementara itu, unsur meluas dapat dibuktikan melalui 3 (tiga) hal. Pertama, unsur meluas dibuktikan melalui pengertian jumlah korban yang cukup banyak. Hal ini dapat disebutkan dan dibuktikan dalam laporan KPP HAM. Jumlah korban pembunuhan kilat 1 orang, sedangkan korban penganiayaan sejumlah: a. Perempuan sebanyak 9 orang terdiri dari : Anak berumur 7 tahun (1 orang), 14 tahun (1 orang), 16 tahun (1 orang), 18 tahun (1 orang), 20 tahun (1 orang), 21 tahun (2 orang), 22 tahun (2 orang) b. Laki-laki sebanyak 96 orang terdiri dari :
2
Laporan KPP HAM
8
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
14 tahun (1 orang), 15 tahun (2 orang), 16 tahun (3 orang), 17 tahun (2 orang), 18 tahun (8 orang), 19 tahun keatas (80 orang). 3 Dari tindakan penyiksaan yang telah dilakukan tersebut mengakibatkan meninggalnya
dua orang korban yaitu :
a. Ory Ndronggi, laki-laki berumur 19 tahun, meninggal akibat benturan keras dengan benda tumpul pada bagian belakang kepala yang mengakibatkan retakan tulang dasar tengkorak. Korban meninggal di Mapolres Jayapura. b. Joni Karunggu, laki-laki berumur 20 tahun, meninggal akibat benturan keras dengan benda tumpul pada bagian belakang kepala yang mengakibatkan retakan tulang dasar tengkorak. Korban meninggal di Mapolres Jayapura.
Selain 2 orang korban meninggal, terdapat seorang korban penyiksaan yang mengalami cacat seumur hidup yaitu Arnol Mundu Soklayo, laki-laki berumur 32 tahun korban mengalami cacat berupa kelumpuhan pada tulang punggung bagian bawah sehingga tidak bisa berjalan hingga sekarang. Korban mengalami penyiksaan di Polsek Abepura. Selain itu terdapat satu korban akibat penembakan semena-mena bernama Agus Kabak, laki-laki berumur 19 tahun. Korban ditembak di Skyline oleh anggota Brimob mengenai rusuk bagian kanan tembus di perut yang mengakibatkan limpanya terserempet peluru dan harus diangkat sehingga sekarang korban hidup dengan tidak mempunyai limpa. 4 Kedua, pengertian meluas dibuktikan melalui pengerahan sumber daya yang cukup besar. Secara terbersit, sekalipun belum menyebut pasti berapa jumlah anggota satuan brimob serta personil polisi dari Polres Jayapura dan Polsek Abepura yang dikerahkan, telah ditunjukkan pengerahan yang dapat dikatakan cukup besar sehingga dapat membuktikan adanya unsur meluas ini. Ketiga, pengertian meluas juga dibuktikan oleh fakta hukum lain yaitu penyerangan yang terjadi diberbagai tempat dan waktu yang berbeda-beda. Peristiwa penyerangan tersebut terjadi masing-masing:
3 4
Laporan KPP HAM Laporan KPP HAM
9
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
a. Satuan Brimob melakukan pengejaran dan penangkapan di asrama Ninmin di Jalan Biak yang berjarak kurang lebih 300 m dari Mapolsek Abepura sekitar pukul 02.00 WIT dini hari dibawah komandan regu Bripka Hans Fairnap. b. Satu regu Brimob dibawah pimpinan Bripka Zawal Halim melakukan pengejaran dan penangkapan ke pemukiman warga asal Kobakma, Mamberamo dan warga Wamena Barat di Abe Pantai, sekitar pkl. 05.30 WIT, tanggal 7 Desember 2000. c. Satuan Brimob terdiri dari 15 orang dibawah pimpinan IPTU Suryo Sudarmadi sekitar pukul 05.30 WIT melakukan pengejaran dan penangkapan asrama mahasiswa Yapen Waropen di Kampung Tiba-tiba yang terletak sekitar 1 Km dari Mapolsek Abepura. d. Satu regu anggota Brimob di bawah pimpinan Iptu Suryo Sudarmadi melakukan pengejaran dan penangkapan ke kediaman masyarakat suku Lani asal Mamberamo, Wamena Barat di Jl. Baru Kotaraja,sekitar pkl. 08.00 WIT, tanggal 7 Desember 2000. Pemukiman ini berjarak sekitar 900 meter dari Mapolsek Abepura. e. Satu regu Brimob dibawah pimpinan Brigadir Polisi John Kamodi melakukan pengejaran dan penangkapan ke pemukiman masyarakat asal suku Yali, Anggruk, di daerah Skyline Kecamatan Jayapura Selatan sekitar pukul 09.30 WIT,tanggal 7 Desember 2000. f. Satu regu Brimob dibawah pimpinan Iptu Suryo Sudarmadi melakukan pengejaran dan penangkapan ke asrama IMI (Ikatan Mahasiswa Ilaga) di kompleks BTN Puskopad Kampkey, Abepura yang berjarak lebih kurang 1,5 Km dari Mapolsek Abepura, sekitar pkl. 23.00 WIT tanggal 7 Desember 2000. Sementara untuk membuktikan terpenuhinya unsur sistematis, Laporan KPP HAM sudah cukup membangun argumen bahwa terdapat hubungan antara kebijakan negara terhadap Papua dengan peristiwa pengejaran dan penyekatan pasca penyerangan Mapolsek Abepura. Kebijakan negara terhadap Papua itu tertuang dalam Rencana Operasi Pengkondisian Wilayah Dan Pengembangan Jaringan Komunikasi Dalam Menyikapi Arah Politik Irian Jaya (Papua) Untuk Merdeka dan Melepaskan Diri Dari Negara Kesatuan Republik
10
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Indonesia. Isi dokumen ini adalah rencana operasi menyeluruh dari pemerintah untuk menghadapi gerakan rakyat Papua yang dikategorikan sebagai gerakan separatis. Rencana ini disusun pada rapat gabungan tanggal 8 Juni 2000 oleh Dirjen Kesbang dan Limas Depdagri. Pihak Kepolisian Irian Jaya menterjemahkan Rencana Operasi itu dengan membuat Telaahan Staf Tentang Upaya Polda Irian Jaya Menanggulangi Separatis Papua Merdeka Dalam Rangka Supremasi Hukum pada bulan November 2000. Telaah staf ini kemudian ditindaklanjuti dengan menyusun operasi yang disebut “Operasi Tuntas Matoa 2000” yang berlangsung selama 90 hari. Operasi ini ditujukan kepada gerakan separatis OPM dan simpatisannya.Operasi Tuntas Matoa ini menunjukkan aparat Polda Irian Jaya telah memiliki dan mempersiapkan suatu rencana operasi yang sistematis dalam bertindak terhadap apa yang mereka sebut sebagai gerakan separatis.. 5 Kebijakan Kepolisian itu adalah bagian dari kebijakan negara secara keseluruhan. Dua dokumen ini menunjukan adanya unsur sistematis yakni memperlihatkan tindakan yang terorganisir dan mengikuti pola yang berulang, berdasarkan kebijakan yang melibatkan secara substansial sumber daya baik milik umum ataupun perorangan. Laporan KPP HAM juga dapat digunakan sebagai indikasi atas dugaan terpenuhinya unsur mental (mens rea), bahwa terdakwa mempunyai pengetahuan bahwa telah terjadi tindakan pelanggaran ham berat. KPP HAM menyimpulkan bahwa Johny Wainal Usman merupakan individu yang diduga melakukan tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan karena posisi dan tindakan-tindakan pada tingkat pengendali sebagai komandan Satuan Brimob Polda Irian Jaya yang membantu Kapolres Jayapura dalam mengendalikan operasi pengerahan Satuan Brimob Polda Irian Jaya. Beberapa hal/situasi yang dapat dijadikan pertimbangan tersebut adalah bahwa jumlah tindak pidana yang dilakukan adalah cukup banyak yaitu meliputi berbagai macam penganiayaan bahkan ada yang sampai menimbulkan korban meninggal. Selain itu para korban ada yang dibawa juga ke Markas Brimobda Irian Jaya dimana terdakwa berkantor. Hal ini menunjukkan adanya actual knowledge dari terdakwa.
5
Laporan KPP HAM
11
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Tahap Penyidikan Dalam berkas perkara keterangan-keterangan yang terkumpul sebagai bukti-bukti yang memperkuat dugaan adanya pembunuhan terhadap Elkius hanya keterangan-keterangan yang berasal dari berita acara pemeriksaan (BAP) para korban yang berada satu lokasi dengan Elkius yaitu Lilimus Suhuniap dan Agus Kabak. Keterangan yang dicatat dalam BAP keduanya tidak bisa mengungkap secara pasti bagaimana Elkius Suhuniap meninggal dunia karena keduanya tidak melihat peristiwa terbunuhnya Elkius. Sementara itu, keterangan-keterangan dari BAP pelaku maupun pihak-pihak lain yang mungkin dapat memperkuat dugaan laporan KPP HAM, tidak banyak mengungkap fakta yang terjadi pada saat pengejaran dan penyekatan di Skyline. Seperti contohnya BAP John Fredrik Kamodi tidak banyak membantu karena yang bersangkutan sebagai pimpinan satuan Brimob dalam pengejaran dan penyekatan lebih banyak mengatakan ‘tidak tahu’. Sehubungan dengan tidak adanya saksi mata yang dapat menguatkan dugaan terjadinya peristiwa pembunuhan atas diri Elkius maka kemudian digunakan logika hukum. Dari keterangan saksi Lilimus Suhuniap, Agus Kabak, dan dr Fredy Naiborhu serta visum et repertum yang dibuatnya dapat digunakan untuk memperkuat dugaan bahwa telah terjadi penyerangan yang mengakibatkan terbunuhnya Elkius di Skyline. Luka tembak yang masuk pada punggung kiri dan keluar pada dada kanan menunjukkan bahwa Elkius ditembak dari arah belakang, artinya korban sedang tidak melakukan perlawanan. Dan korban mati akibat robekan pada jantung dan pembuluh darah besar jantung. Sementara itu, tindak pidana penganiayaan sebelum dicarikan bukti-buktinya harus dipahami dulu pengertiannya. Penganiayaan diartikan sebagai perampasan terhadap hak-hak fundamental secara sengaja. Perampasan hak-hak fundamental yang dimaksud adalah bertentangan dengan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yaitu bahwa tidak seorangpun boleh dianiaya atau diperlakukan secara kejam, dengan tidak mengingat kemanusiaan ataupun cara perlakuan atau hukuman yang menghinakan. 6
6
Lihat Pasal 5 Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia
12
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Dalam berkas perkara, BAP semua korban menunjukkan adanya tindakan penganiayaan yang dimaksud. Pelaku tindak penganiayaan adalah aparat kepolisian untuk mengorek keterangan bahwa para korban adalah anggota gerakan separatis yang ada hubungannya dengan penyerangan Mapolsek Abepura. Sama halnya dalam peristiwa pembunuhan atas Elkius Suhuniap, tidak ada BAP dari pelaku yang dapat mengungkap bagaimana peristiwa penganiayaan itu terjadi. Namun perbedaannya adalah dalam peristiwa penganiayaan ini terdapat saksi selain korban yang melihat bagaimana penganiayaan dilakukan oleh anggota Brimob kepada para korban. Disamping itu dalam peristiwa terbunuhnya Elkius Suhuniap tidak ada keterangan yang bisa mengungkap bagaimana peristiwa terbunuhnya Elkius terjadi, sementara dalam peristiwa penganiayaan ini para korban penganiayaan masih hidup sehingga dapat memberikan kesaksian bagaimana mereka mengalami bentuk-bentuk penganiayaan atas diri mereka. Sementara BAP dari para saksi lain antara lain Kombes Daud Sihombing (mantan Kapolres Jayapura) serta bukti lain seperti laporan kronologis dan susunan foto-foto yang menguraikan terjadinya peristiwa tanggal 7 Desember 2000 dini hari serta visum et repertum menguatkan dugaan bahwa telah terjadi peristiwa penganiayaan ini kepada para korban. Pembuktian terhadap unsur adanya ‘serangan yang ditujukan pada penduduk sipil’ pada tahap penyidikan bisa terkendala karena adanya perbedaan istilah yang digunakan. Istilah yang digunakan oleh pihak kepolisian adalah pengejaran dan penyekatan (penangkapan) bukan serangan. Namun demikian, apabila memenuhi unsur-unsur tindakan yang dilakukan secara berganda yang merupakan bagian dari kebijakan negara atau organisasi yang dilakukan secara meluas atau sistematis dan obyeknya adalah penduduk sipil maka pengejaran dan penyekatan (penangkapan) tersebut memenuhi kualifikasi yang dimaksud sebagai serangan yang merupakan unsur kejahatan terhadap kemanusiaan. Tindakan dilakukan secara berganda diterjemahkan sebagai suatu rangkaian tindakan kejahatan dan dilakukan secara berulangulang pada target-target yang berbeda-beda yang berdasarkan laporan intelejen merupakan sasaran yang dicurigai sekalipun anggota kepolisian sudah mengetahui bahwa sasaran-sasaran tersebut merupakan kediaman dari penduduk sipil. Keterangan terdakwa yang mengungkap adanya pengejaran dan penangkapan ke Asrama Ninmin, pemukiman Warga asal kobakma Mamberamo, dan Wamena
13
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Barat Kab. Jayawijaya di Kampung Wamena Abe Pantai, Asrama Yapen Waropen, kediaman masyarakat suku Lani asal mamberamo dan Wamena barat, di jalan Baru, Kotaraja, pemukiman masyarakat suku Yali, Anggruk, di daerah Skyline Kecamatan Jayapura Selatan, Asrama IMI di kompleks Perumahan BTN Puskopad, Kampkey, Abepura menunjukkan adanya serangan yang dilakukan secara berganda. Selain itu, tindakan dilakukan secara berganda juga diterjemahkan sebagai suatu rangkaian tindakan kejahatan yang meliputi berbagai bentuk, dalam kasus ini yaitu dari tindakan penyerangan,penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, hingga peyiksaan dan pembunuhan. melakukan penangkapan terhadap ke-99 orang tersebut terbukti telah terjadi kekerasan dengan cara memukuli mereka dengan popor senjata dan menendang dengan sepatu lars, dan perlakuan lainnya yang tidak manusiawi sehingga para korban menderita luka-luka pada bagian kepala, muka, tangan, kaki dan badannya. Sementara itu terjadi pula pembunuhan dengan cara penembakan atas diri Elkius Suhuniap. Dalam berkas perkara sempat terungkap adanya dugaan para korban adalah anggota separatis seperti disebutkan dalam BAP S.Y. Wenas mantan Kapolda Irja yang mendapat laporan baik secara tertulis maupun lisan demikian. Bahkan dalam keterangan lainnya Drs. S.Y. Wenas juga menyebutkan bahwa atas dasar laporan Kapolres para korban termasuk Elkius adalah salah satu anggota gerakan separatis yang melakukan perlawanan sehingga memberikan alasan pada polisi berdasar protap kepolisian untuk menjadikannya sasaran tembakan. Namun ternyata tidak ada keterangan dari saksi lain yang memperkuat dugaan ini. Keterangan saksi Prasetyo Widiyono mantan Kasat Serse Polres Jayapura menyatakan bahwa saksi diperintah oleh Kapolres untuk melakukan pemeriksaan (interogasi) terhadap para korban yang ditahan, lalu saksi memerintahkan anggota serse Polres Jayapura untuk memeriksa sejumlah warga masyarakat tersebut mulai jam 08.00 WIT pagi sampai dengan jam 14.00 WIT. Setelah dilakukan interogasi oleh anggota serse saksi menerima hasil interogasi yang
menyatakan bahwa mereka tidak terbukti sebagai pelaku
penyerangan Mapolsek Abepura dan pembakaran toko-toko. Demikian juga keterangan saksi Emilianus Tikuk yang
sempat
melakukan interogasi terhadap anggota masyarakat yang ditahan menyatakan bahwa mereka semuanya tidak terlibat, sehingga
14
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
sorenya semua disuruh pulang dengan diantar oleh anggota Polisi Polres Jayapura. Bukti bahwa korban adalah penduduk sipil juga dikuatkan oleh kesaksian para korban maupun bukti laporan kronologis dan susunan foto-foto yang menguraikan terjadinya peristiwa tanggal 7 Desember 2000 dini hari di Abepura, Papua yang disusun oleh Badan Pengurus Komunitas Pelajar dan Mahasiswa Nduga Asrama Ninmin Jln. Biak Abepura 2001/2002. Selanjutnya pemahaman unsur meluas dapat dibuktikan melalui 3 (tiga) hal yaitu jumlah korban yang cukup banyak, pengerahan sumber daya yang cukup besar, dan terjadinya penyerangan diberbagai tempat dan waktu yang berbeda-beda yang mengakibatkan terjadinya tindakan penganiayaan yang luar biasa. Seperti halnya dalam penyelidikan, terhadap ketiga hal ini tahap penyidikan juga dapat dibuktikan dalam tahap penyidikan melalui berkas perkara para korban dan bukti-bukti lain yang mendukung. Dalam Berkas Perkara, unsur sistematis terungkap melalui keterangan Wakapolda Papua yang menyatakan bahwa dalam rangka mengantisipasi kegiatan masyarakat di Papua menjelang 1 Desember 2000 maka ada Kebijaksanaan Pimpinan Polri untuk mem-BKO-kan sejumlah anggota/ pasukan Brimob ke Polres Jayapura. Disamping itu keterangan terdakwa juga memperkuat dengan menyatakan bahwa penempatan anggota-anggota Brimob BKO berkaitan dengan operasi tuntas Matoa. Demikian juga keterangan Moch Kusnadi (mantan Kapuskodalops Polda Papua) yang menyatakan bahwa BKO anggota Brimob Resimen III Kelapa Dua Jakarta didasarkan pada kondisi Irian Jaya yang menunjukkan rentan terhadap gangguan kamtibmas dan berkaitan dengan Operasi Sadar / Tuntas Matoa. Bukti-bukti yang dapat dikemukakan dalam berkas perkara untuk mendukung adanya unsur sistematis adalah Surat Perintah Kapolri No. Pol. Sprin/4205/XI/2000
tertanggal 22 November 2000 tentang pelaksanaan tugas Operasi Kepolisian
Pengamanan Wilayah di Daerah Polda Irian Jaya sebagai Perkuatan Tambahan dan Surat Perintah No. Pol. SPRIN/20/I/2001 tentang Pelaksanaan BKO Polres Jayapura dan Sekitarnya dalam rangka Pengamanan dan Ketertiban Masyarakat. Namun sayangnya, tampak bahwa hubungan antara kebijakan negara dengan peristiwa pasca penyerangan Mapolsek Abepura tersebut hanya dieksplorasi melalui penempatan anggota Brimob Resimen III Kelapa Dua Jakarta yang di BKO-kan di Papua. Berkas perkara tidak mengeksplorasi lebih lanjut dengan menunjukkan kebijakan negara lain selain pem-BKO an satuan/ pasukan Brimob, seperti misalnya yang disebutkan
15
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
dalam laporan KPP HAM adanya Kebijakan negara terhadap Papua yang tertuang dalam Rencana Operasi Pengkondisian Wilayah Dan Pengembangan Jaringan Komunikasi Dalam Menyikapi Arah Politik Irian Jaya (Papua) Untuk Merdeka dan Melepaskan Diri Dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak juga diungkap mengenai dokumen yang berisi rencana operasi menyeluruh dari pemerintah untuk menghadapi gerakan rakyat Papua yang dikategorikan sebagai gerakan separatis yang disusun pada rapat gabungan tanggal 8 Juni 2000 oleh Dirjen Kesbang dan Linmas Depdagri sehingga dapat mengungkap secara lebih jelas mengenai “Operasi Tuntas Matoa 2000” Unsur pertanggungjawaban atasan khususnya berkaitan dengan adanya hubungan atasan bawahan dengan pengendalian efektif sudah cukup terungkap dalam berkas perkara. BAP terdakwa berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak punya kendali efektif atas satuan/ pasukan Brimob karena prosedur pemberian perintah kepada satuan Brimob yang di BKO-kan ada pada Kapolres atau Kapolda yang di BKO. Sedangkan Dan Sat hanya menerima laporan dan tidak berwenang mencegah perintah tersebut. Namun bagaimanapun juga terdakwa harus mengakui bahwa dalam situasi yang tidak menentu seorang Dan Sat bisa saja mempunyai kendali efektif atas personil yang ada untuk melaksanakan suatu tugas tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kasus pengejaran dan penyekatan 7 Desember 2000 terdakwa mempunyai kendali atas anggota Brimob tersebut karena pada waktu itu situasi dianggap darurat. Fakta ini juga dikuatkan oleh saksi-saksi yaitu saksi Moch Kusnadi (Kapuskodalops Polda Papua) yang menyatakan bahwa saksi tiba di Mapolsek Abepura tanggal 7 Desember 2000 dan saksi melihat Dan Sat Brimob sedang mengendalikan dan mengatur pasukannya sekaligus mengkonsolidasikan anggotanya yang ada di Polsek Abepura. Sementara itu keterangan saksi Suryo Sudarmadi menyatakan saksi membawa 10 orang anggota dan menuju sekitar pasar Abepura atas perintah terdakwa untuk melakukan patroli dan membantu pasukan Brimob dan anggota Polsek Abepura. Perintah disampaikan lewat radio HT. Sedangkan keterangan saksi Hans Fairnap menyatakan Dan Sat Brimob memberikan perintah secara lisan untuk menangkap pelaku penyerangan Mapolsek Abepura dan perintah tersebut segera dilaksanakan oleh anggota Brimob organic maupun anggota Brimob Reseimen III Jakarta. Fakta-fakta ini menunjukkan adanya kendali dari terdakwa secara de facto atas semua anggota Sat Brimob dalam peristiwa tersebut.
16
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Pembuktian unsur adanya pengetahuan atau pengetahuan yang konstruktif dari terdakwa atas tindakan yang dilakukan oleh anak buahnya berusaha disangkal oleh terdakwa. Dalam Berkas Perkara, BAP terdakwa berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak mempunyai pengetahuan akan adanya korban meninggal dan penganiayaan terhadap sejumlah besar korban. Namun demikian beberapa keterangan terdakwa tidak bisa menyangkal fakta dan mengungkap bahwa terdakwa sebenarnya mempunyai actual knowledge setidaknya karena pada tanggal 8 Desember 200 terdakwa berada di kantor seperti biasa. Pada saat itu terdakwa mengetahui bahwa Sat Brimob yang baru saja melakukan pengejaran dan penangkapan sempat singgah untuk menurunkan beberapa personil yang akan aplus tugas, setelah itu kendaraan langsung menuju Jayapura. Disamping itu anggota/ warga masyarakat yang diserahkan oleh anggota Brimob ke Mapolsek Abepura telah dikonsultasikan dan disepakati oleh terdakwa karena memang begitu aturannya. Demikian juga anggota masyarakat yang ditangkap dan diserahkan ke Mapolres Jayapura. Unsur kegagalan terdakwa untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan juga terlihat dalam proses penyidikan. Namun sayangnya, dalam berkas perkara kurang dieksplorasi upaya baik yang bersifat preventif maupun represif dari terdakwa untuk mencegah dan mengendalikan anak buahnya dari tindakan yang melanggar hukum. Apabila tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah atau mengambil langkah-langkah penindakan maka seharusnya paling tidak melaporkan pada pimpinan yang berwenang. Upaya penindakan yang terungkap dalam berkas perkara hanyalah mengeluarkan Surat Perintah kepada Kanit Provos Brimob untuk memeriksa anggota Brimob yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat. Namun keseriusan dari penindakan tersebut harus dieksplorasi lagi oleh JPU demi mendapat bukti mengenai kegagalan terdakwa dalam mengambil langkah-langkah yang diperlukan tersebut. Apabila terdakwa memang tidak mampu mencegah, menghentikan ataupun menghukum, kewajiban dari terdakwa adalah melakukan pelaporan kepada atasan dengan semestinya. JPU harus dapat lebih menggali kegagalan terdakwa ini karena menurut keterangan para saksi terdakwa tidak memberikan laporan kepada atasannya Kapolda atau Wakapolda atas pelaksanaan perintah terdakwa untuk melakukan pengejaran dan penyekatan yang telah menimbulkan indikasi adanya pelanggaran kemanusiaan.
17
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Tahap Penuntutan Dalam penjelasannya UU No. 26 tahun 2000 menyebutkan bahwa yang dimaksud sebagai pembunuhan adalah seperti apa yang dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Pasal 340 KUHP menyebut unsur-unsur dari tindak pidana pembunuhan adalah adalah adanya kesengajaan dan adanya rencana terlebih dahulu. Penggalian bukti-bukti mengenai kedua unsur tersebut perlu dikemukakan lebih lanjut dalam persidangan untuk memenuhi unsur-unsur yang dimaksud sebagai pembunuhan. Surat dakwaan hanya menyebut pengejaran dan penyekatan yang dilakukan di Skyline dan menunjukkan bukti adanya visum et repertum serta ancaman pidana terhadap tindak pidana pembunuhan berdasar Pasal 9 huruf (a). Dalam surat tuntutan, fakta persidangan melalui keterangan para saksi kurang menunjukkan elaborasi dari unsur perencanaan ini. Sementara itu dalam analisa hukumnya, pemahaman perencanaan didasarkan pada Arrest Hoge Raad tanggal 22 Maret 1909. Hal ini dirasakan kurang relevan dan akan lebih baik kalau menggunakan yurisprudensi yang berlaku dalam kasus kejahatan terhadap kemanusiaan. Apabila JPU melihat dengan seksama laporan KPP HAM maka JPU dapat mengaitkan latar belakang historis dan politis dari kejadian yang terjadi di wilayah Papua sejak lama sebelumnya dan serangan terkoordinasi yang dilakukan secara berulang-ulang sebagai suatu indikasi adanya unsur perencanaan, sebab rencana tidak harus dinyatakan secara tegas atau terang-terangan, tetapi bisa dilihat dari indikasi-indikasi tersebut diatas. Sedangkan unsur kesengajaan, fakta persidangan menunjukkan bahwa keterangan Agus Kabak yang menyebutkan dia ditembak pada jarak 10 meter secara analogi dapat digunakan untuk memperkuat dugaan adanya unsur kesengajaan dalam pembunuhan yang dilakukan terhadap Elkius Suhuniap. Namun sayangnya, fakta persidangan tidak mengeksplorasi keterangan dr. Freddy Naiborhu atas luka tembak yang diderita oleh Elkius Suhuniap. Dari luka tembak tersebut kemungkinan dapat diperkirakan bagaimana tembakan tersebut diarahkan dan dalam jarak berapa meter tembakan tersebut dilepaskan untuk membuktikan adanya unsur kesengajaan. Namun demikian, akan lebih baik lagi kalau JPU juga dapat mengemukakan bukti selongsong peluru yang tercecer dari peristiwa tersebut untuk uji balistik. Patut disayangkan sejak awal tidak terlihat upaya untuk mengemukakan bukti-bukti yang demikian sebagai bukti kuat selain dari keterangan para saksi. Dugaan unsur kesengajaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan
18
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
eksplorasi terhadap adanya dugaan pelanggaran protap seperti yang dapat disimpulkan dari keterangan terdakwa. Menurut keterangan terdakwa bahwa sebelum menggunakan peluru tajam terdapat beberapa prosedur penggunaan peluru hampa dan peluru karet terlebih dahulu. Peluru tajam akan digunakan jika sudah mengancam keselamatan petugas dan apabila keadaan sudah mendesak atau darurat. Sementara terdakwa juga mengakui bahwa keadaan pada waktu itu masih dapat dikendalikan. Artinya berdasarkan keterangan terdakwa ini dapat disimpulkan bahwa unsur kesengajaan terbukti dengan niat dari pelaku untuk menyebabkan terbunuhnya Elkius Suhuniap karena dalam keadaan yang masih terkendali pelaku melepaskan tembakan dengan peluru tajam yang secara normal dapat disadari akibat dari tembakan peluru tajam yang dilepaskan tersebut adalah terbunuhnya korban. Komentar secara umum terhadap hal tersebut diatas adalah bahwa nampaknya ketentuan yang menyatakan bahwa yang dimaksud sebagai pembunuhan seperti apa yang disebut dalam Pasal 340 KUHP, yang mensyaratkan adanya unsur perencanaan dan kesengajaan adalah tidak tepat berdasar maksud dan tujuan dari dibentuknya UU No. 26 tahun 2000 ini. Oleh karenanya JPU perlu juga mengemukakan dalam analisa hukumnya mengenai bagaimana hukum internasional,dalam hal ini Statuta Roma yang menjadi acuan UU 26 tahun 2000, mengatur masalah tersebut. JPU juga dapat mengemukakan yurisprudensi internasional mengenai unsurunsur pembunuhan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu adalah (1) korban tersebut mati; (2) kematiannya sebagai akibat tindakan melawan hukum atau tidak melakukan (omission) dari pelaku atau bawahannya; (3) ketika pembunuhan terjadi, pelaku atau bawahannya memiliki niat untuk membunuh atau menyakiti korban dimana pelaku tersebut mengetahui bahwa tindakan menyakiti korban seperti itu dapat menyebabkan kematian. 7 Selanjutnya pembuktian terhadap unsur penganiayaan mengalami penyempitan peristiwa karena tidak dicantumkannya dalam dakwaan penganiayaan yang terjadi pada saat para korban ditahan di Markas Brimobda Papua, Mapolres Jayapura dan Mapolsek Abepura. Dengan demikian maka terjadi pula penyempitan cara-cara penganiayaan yang dilakukan terhadap para korban. Surat
7
Akayesu (Trial Chamber), September 2, 1998, para.589
19
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
dakwaan juga mencantumkan Ancaman pidana dalam pasal 9 huruf (h) mengenai penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional. Kelompok yang teridentifikasi sebagai korban adalah terutama mereka yang diyakini oleh pihak Brimob sebagai anggota separatis karena sesungguhnya kepolisian sendiri dalam menetapkan situasi Siaga I dan berbagai kebijakan keamanan atau operasi jauh sebelum peristiwa 7 Desember terjadi, bertolak dari asumsi yang apriori terhadap dinamika politik rakyat Papua. Kepolisian mengkategorikan seluruh gerakan rakyat Papua sebagai gerakan separatis. Dengan asumsi yang apriori itu aparat kepolisian mengidentifikasi kelompok-kelompok rakyat Papua sebagaimana yang mereka yakini. Tetapi anehnya dalam analisa hukum surat tuntutan, justru yang mengemuka kemudian penganiayaan yang dilakukan atas dasar serangan terhadap suku etnis tertentu yaitu suku Wamena. Tidak ada dasar pembuktian sama sekali terhadap analisa hukum ini baik yang diungkapkan sebagai fakta persidangan maupun fakta hukum. Bahkan sejak dari Laporan KPP HAM maupun berkas perkara tidak dikemukakan penganiayaan yang dilakukan atas suku Wamena ini. Dan jika seandainya memang penganiayaan ditargetkan pada spesifik suku Wamena bukankah hal ini dapat dijadikan salah satu unsur pembuktian adanya kejahatan genosida? Sejak awal Laporan KPP HAM sudah menyangkal hal ini. Pembuktian unsur serangan yang ditujukan pada penduduk sipil terlihat dalam surat dakwaan melalui penyebutan bahwa pengejaran dan penyekatan tersebut dilakukan terhadap sekelompok penduduk sipil. Istilah penduduk sipil ini seringkali disebut untuk menunjuk pada para korban pengejaran dan penyekatan yang dilakukan oleh Brimob. Ketepatan terminologi penduduk sipil yang digunakan dalam surat dakwaan ini kiranya perlu dibuktikan dalam persidangan. Dalam surat tuntutan kesaksian dari Irjen Pol. Drs. Made Mangku Pastika mantan Kapolda Papua menegasikan laporan Kapolres kepada Mantan Kapolda Papua Brigjen Pol. S.Y. Wenas yang memperkirakan bahwa para korban termasuk Elkius Suhuniap adalah salah satu pelaku penyerangan Mapolsek Abepura. Dalam kesaksiannya Irjen Pol. Drs. Mangku Pastika menyatakan bahwa
20
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
dari hasil rekonstruksi yang dilakukan di Skyline tidak terbukti bahwa warga yang berdiam di tempat itu adalah kelompok separatis. Kesaksian ini senada dan diperkuat oleh kesaksian pihak kepolisian (Alex Korwa - mantan Kapolsek Abepura, Decky Hersepuny mantan Kanit Resintel Polsek Abepura, Prasetyo Widiyono - mantan Kasat Serse Polres Jayapura, Yuli Titus Kendek - anggota Resintel Polsek Abepura, I Gusti Ngurah Rai Mahaputra - mantan Kapuskodalops Polres Jayapura) yang menyatakan bahwa dari hasil interogasi para korban tidak terbukti melakukan penyerangan Polsek Abepura. Selanjutnya pembuktian terhadap unsur meluas dapat dilakukan melalui 3 (tiga) hal. Pertama, unsur meluas dibuktikan melalui pengertian jumlah korban yang cukup banyak yang dapat disebutkan dan dibuktikan dalam Surat Tuntutan. Kedua, keterangan dari terdakwa atas pengerahan sumber daya yang cukup besar yaitu 3 pleton anggota satuan brimob (lebih kurang 100 personil) serta pengerahan personil polisi dari Polres Jayapura dan Polsek Abepura juga telah dapat ditunjukkan untuk membuktikan adanya unsur meluas ini. Ketiga, fakta hukum lain yaitu penyerangan diberbagai tempat dan waktu yang berbeda-beda juga menunjukkan adanya unsur meluas. Namun sayangnya, pengertian meluas dalam analisa hukum hanya menyebut definisi saja tetapi tidak menguraikan fakta hukum yang terjadi maupun analisa yang mendukung argumen. Padahal semua proses yang dijalani dan ditempuh oleh JPU sudah memberikan dasar dan buktinya. Hal-hal tersebut diatas tidak dijadikan fakta hukum dan analisa hukum dalam surat tuntutan. Demikian juga pembuktian terhadap unsur sistematis, fakta persidangan yang disebut dalam surat tuntutan hanya sebatas pemBKO-an satuan Brimob, dan kurang melakukan eksplorasi terhadap kebijakan negara terhadap Papua secara mendasar dan menyeluruh sehingga argumen yang dibangun atas pembuktian akan adanya unsur sitematis kurang meyakinkan. Dalam analisa hukum hanya menyebut pengertian dan definisi sistematis tetapi tidak menguraikan fakta hukum yang terjadi maupun analisa yang mendukung argumen. Sebenarnya JPU dapat bersifat kritis dengan memaparkan dan menganalisa fakta-fakta kebijakan negara yang sebenarnya bersifat legal akan tetapi telah ditempuh cara-cara illegal dalam rangka melaksanakan kebijakan. Selanjutnya, dalam surat dakwaan disebutkan bahwa secara de jure terdakwa mempunyai kendali efektif atas pasukan Brimob organic berdasar Surat Keputusan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor Polisi: Skep-1343/XI/2000 tanggal 8 Nopember
21
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
2000. Sementara dalam Surat Tuntutan berdasar fakta persidangan terjadi kesulitan untuk menentukan pertanggungjawaban Dan Sat secara de jure terhadap anggota satuan Brimob yang di BKO-kan karena pertanggungjawaban secara langsung ada pada satuan dimana pasukan tersebut di BKO-kan yaitu kepada Polda atau Polres. Pertanggungjawaban Dan Sat secara de jure hanya pada anggota satuan organik. Secara de jure anggota satuan Brimob Kelapa Dua yang di BKO kan tidak berada dibawah pengendalian Dan Sat Brimob Polda Papua, namun demikian paling tidak secara de facto (karena kondisi panggilan luar biasa) serta atas dasar fakta yang terjadi di lapangan Dan Sat Brimob (terdakwa) terbukti mempunyai kendali efektif baik terhadap satuan Brimob Papua maupun anggota Brimob Kelapa Dua yang di BKO kan. Hal ini dikuatkan oleh keterangan dan pendapat baik dari petinggi Kepolisian lain maupun saksi ahli. Sementara untuk pembuktian adanya pengetahuan atau pengetahuan yang konstruktif dari terdakwa dalam fakta persidangan ditunjukkan oleh keterangan terdakwa dan keterangan beberapa saksi. Keterangan-keterangan tersebut menyatakan keberadaan terdakwa di Mapolsek Abepura dan keberadaan terdakwa di Kantor Markas Brimob Kotaraja yang mengindikasikan pengetahuan atau secara konstruktif seharusnya mempunyai pengetahuan terhadap apa yang dilakukan oleh Sat Brimob dalam melakukan pengejaran dan penyekatan. Namun sayangnya dalam analisa hukum hal ini tidak dikemukakan secara jelas. Analisa yang dilakukan justru melakukan pengulang-ulangan atas terjadinya peristiwa penangkapan dan pengejaran. Dalam analisa hukum ini JPU masih sering rancu dalam menjabarkan unsur-unsur yang ada dalam pertanggungjawaban atasan satu sama lain. Seharusnya dalam analisanya JPU bisa mengungkapkan berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti persidangan bahwa terdakwa mempunyai informasi yang jelas mengenai resiko yang signifikan bahwa bawahan telah melakukan atau akan melakukan tindak pidana. Fakta bahwa para pelaku pengejaran dan penyekatan dibekali dengan peluru tajam serta diliputi emosi dan dendam karena adanya anggota kepolisian yang menjadi korban bisa dikaitkan dengan pengetahuan terdakwa akan adanya resiko yang mungkin timbul dalam pengejaran dan penyekatan tersebut. Pembuktian kegagalan terdakwa untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan seharusnya lebih banyak ditunjukkan dalam fakta persidangan melalui penggalian bukti-bukti berkaitan dengan penelusuran kegagalan terdakwa untuk melakukan
22
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
pencegahan dan penghentian terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Sat Brimob. Pernyataan terdakwa yang menyatakan tidak pernah berkomunikasi dengan Sat Brimob yang dikirim untuk mem-back-up Mapolsek Abepura dan keterangan terdakwa yang memerintahkan petugas yang datang melapor untuk meneruskan warga masyarakat yang dibawa ke Mako Brimob Kotaraja ke Mapolres Jayapura mengindikasikan tidak adanya upaya terdakwa untuk mencegah dan menghentikan tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak buahnya. Terdakwa seolah tidak mau tahu apa yang dilakukan oleh anak buahnya. Tidak ada alasan bagi terdakwa untuk tidak mengetahui tentang adanya pengejaran dan penangkapan yang dilakukan oleh Sat Brimob. Masalah ini seharusnya lebih digali untuk mendapatkan kesimpulan yang meyakinkan. Dalam analisa hukumnya, kesimpulan yang diambil sangat lemah atas masalah kegagalan melakukan upaya pencegahan dan penghentian terhadap tindakan pelanggaran hukum, sebab fakta yang dikemukakan kurang dieksplorasi. Sementara itu upaya preventif yang harus dilakukan oleh Dan Sat Brimob adalah upaya untuk menindak dan menghukum pelaku, apabila hal ini tidak bisa dilakukan maka Dan Sat Brimob harus melaporkannya pada pimpinan diatasnya. Upaya penindakan yang terungkap dalam berkas perkara hanyalah mengeluarkan Surat Perintah kepada Kanit Provos Brimob untuk memeriksa anggota Brimob yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat. Namun demikian ternyata karena para komandan yang diperiksa tidak ada yang mengaku kepada mereka hanya dijatuhi hukuman disiplin. Seharusnya menjadi pertanyaan kemudian apakah pengakuan hanya satu-satunya alat atau cara untuk menemukan dan membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran hukum dalam pelaksanaan tugas kepolisian. Bukankah kenyataan ini cukup memberikan bukti ketidak seriusan pemeriksaan? Penelusuran selanjutnya yang perlu digali adalah apakah perintah Kapolda telah dijalankan dengan semestinya oleh Dan Sat Brimob dan apabila sudah dilakukan apakah cukup memadai dan dilakukan dengan serius bukan sekedar formalitas saja sehingga sanksi yang dijatuhkan pada pelaku pelanggaran kemanusiaan cukup memadai. Kesulitan yang muncul dalam membuktikan terpenuhinya unsur kegagalan terdakwa dalam masalah ini adalah karena pada saat proses pengusutan terhadap pelanggaran kemanusiaan ini belum selesai, terdakwa sudah dipindah tugaskan
23
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
sehingga tuntasnya penyelesaian masalah ini atau memadainya hukuman yang dijatuhkan pada pelaku pelanggaran hukum bukan menjadi tugas dari terdakwa lagi. Apabila terdakwa memang tidak mampu mencegah, menghentikan ataupun menghukum, kewajiban dari terdakwa adalah melakukan pelaporan kepada atasan dengan semestinya. Namun ternyata, menurut keterangan para saksi terdakwa tidak memberikan laporan kepada atasannya Kapolda atau Wakapolda atas pelaksanaan perintah terdakwa untuk melakukan pengejaran dan penyekatan yang telah menimbulkan indikasi adanya pelanggaran kemanusiaan. Hal ini juga menunjukkan bukti kegagalan terdakwa untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Sementara itu, analisa hukum yang mendasarkan sistem pelaporan yang efektif berdasar konteks hukum humaniter tidak relevan dan akan menyulitkan JPU sendiri, sebab jika menggunakan konteks tersebut maka JPU harus membuktikan bahwa serangan yang terjadi adalah serangan militer dan suatu serangan yang tunduk pada hukum humaniter, dimana pembuktian terpenuhinya syaratsyarat tersebut sungguh sulit dalam kasus Abepura ini. Analisa hukum yang keliru ini menunjukkan keterbatasan JPU sendiri dalam memahami dan menafsirkan aturan yang ada.
C. PENUTUP Dari kajian yang telah diuraikan tersebut diatas, maka dapat diketahui dalam serangkaian proses hukum yang dijalankan oleh JPU masih terkandung beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut dimungkinkan karena keterbatasan pengetahuan JPU untuk memahami dan menafsirkan ketentuan yang berlaku dalam pertanggungjawaban atasan atas pelanggaran ham berat. Keterbatasan pengetahuan tersebut berakibat pada kelirunya JPU dalam melakukan pembuktian, mnguraikan fakta, maupun melakukan analisa hukumnya. Beberapa kelemahan tersebut terlihat dalam 3 kategori yaitu: (1) kegagalan JPU untuk mendapatkan bukti-bukti penting yang diperlukan; (2) keterbatasan JPU dalam mengeksplorasi lebih dalam lagi dan mengembangkan beberapa bukti yang sudah sedikit
24
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
terungkap; (3) kesalahan JPU dalam menafsirkan dan mempergunakan bukti-bukti yang sudah ada dalam dakwaan dan analisa hukumnya. Disamping itu, analisa hukum JPU kurang mengeksplorasi referensi yang ada seperti putusan-putusan pengadilan internasional, karena senyatanya masalah ini bukan masalah pidana biasa dan sangat minim yurisprudensi pengadilan nasional berkaitan dengan hal tersebut, atau bahkan bisa dikatakan hampir tidak ada. Justru putusan pengadilan ham Abepura yang menjadi putusan pengadilan ham permanent pertama yang akan menjadi yurisprudensi nasional dan akan diacu oleh putusan-putusan hakim selanjutnya. Selain kurang mengeksplorasi referensi yang ada, ternyata tampak bahwa dasar teori yang digunakan JPU dalam mengemukakan argument dan membuat analisa hukum kurang kuat. Dalam analisa hukumnya JPU jarang mengemukakan dasar teori yang relevan dengan permasalahan. Jika dasar teori itu ada, ternyata juga tidak akurat.
25
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
BAB III ACARA PEMERIKSAAN
A. Pendahuluan Bab ini akan menguraikan acara pemeriksaan di pengadilan, khususnya proses pembuktian surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Johny Wainal Usman. Keseluruhan acara pemeriksaan memakan waktu kurang lebih 16 bulan, sehingga melebihi waktu yang ditetapkan undang-undang yaitu 180 hari (6 bulan ). 8 Pelanggaran batas waktu dalam kasus ini tidak hanya terjadi di tingkat persidangan, namun juga di tingkat-tingkat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Hal ini pun terjadi pada Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Timor-Timur dan Tanjung Priok. Undang-Undang sendiri tidak memberikan penjelasan lebih lanjut apakah hari yang dimaksud dalam hal ini adalah hari kalender atau hari sidang. Namun, banyak pihak menafsirkan bahwa hari yang dimaksud dalam Undang-Undang ini selayaknya hari persidangan, mengingat banyaknya kendala yang dihadapi, seperti antara lain, jauhnya jarak antara Pengadilan dengan tempat tinggal dan tempat kejadian, kesulitan menghadirkan saksi yang juga disebabkan oleh kendala pendanaan, dan keterbatasan waktu hakim untuk melaksanakan sidang. Dalam praktek ICTY yang didukung sarana dan prasarana memadai pun, umumnya waktu persidangan relatif panjang. 9 Sebagaimana halnya pada tahap penyelidikan dan penyidikan, selama proses persidangan pun, terdakwa tidak ditahan dan tidak di non-aktifkan. Tidak ada alasan apapun yang dikemukakan mengenai hal ini, padahal berdasarkan Pasal 21 KUHAP,
Pasal 31 Undang-Undang 26/2000 bahwa perkara pelanggaran berat HAM diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM dalam waktu tidak lebih dari 180 (seratus delapa puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan HAM 9 Lihat antara lain kasus Slobodan Milosevic. 8
26
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
terdakwa seharusnya ditahan karena tindak pidana yang didakwakan diancam pidana penjara lebih dari lima tahun 10 . Dalam kasus ini, mungkin yang dijadikan pertimbangan adalah
karena tidak ada kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan
menghilangkan barang bukti, mengulangi tindak pidana atau melarikan diri. Namun alasan tersebut tidak dapat dijadikan pembenar karena ada
hal-hal lain yang dapat dijadikan pertimbangan tentang perlunya penahanan
dan penon-aktifan
terdakwa. Terdakwa, dengan kekuasaan dan pengaruhnya yang ada pada dirinya dapat saja melakukan pendekatan atau penggalangan terhadap para saksi, khususnya saksi yang berada dalam institusi yang sama dengan terdakwa untuk memberikan kesaksian yang meringankan. Dan bukan tidak mungkin, dengan power yang masih dimilikinya, terdakwa dapat memberikan efek intimidasi kepada saksi korban sehingga korban tidak dapat berbicara bebas di muka persidangan.
B.
Alat Bukti
Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa hukum acara yang digunakan dalam perkara pelanggaran HAM yang berat adalah berdasarkan
UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh karena itu,
dengan sendirinya alat bukti yang digunakan dalam pengadilan HAM adalah sebagaimana yang diatur dalam KUHAP. Berdasarkan Pasal 184 KUHAP terdapat lima alat bukti yang sah yakni (1) keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) surat, (4)petunjuk dan (5) keterangan terdakwa. Berikut akan diuraikan mengenai alat-alat bukti yang dihadirkan di persidangan terdakwa Johny Wainal.
KUHAP Pasal 21 menjelaskan bahwa perintah penangkapan atau penahanan lanjutan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana keadaan yang menimbulkan kehawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Dan Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
10
27
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
1. Keterangan Saksi Pada umumnya, keterangan saksi adalah alat bukti yang utama dalam perkara pidana. Bisa dikatakan, tidak ada suatu perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hal ini disebabkan, karena seorang saksi berdasarkan pengetahuannya yang ia lihat, ia dengar dan alami sendiri dapat memberikan keterangan mengenai suatu tindak pidana, dalam hal ini kasus pelanggaran HAM yang berat. Agar saksi bisa berbicara bebas tanpa tekanan dari pihak manapun, tentunya perlu diterapkan secara efektif ketentuan tentang perlindungan saksi agar ia terbebas dari segala bentuk
ancaman, gangguan,
11
teror dan kekerasan dari pihak manapun . Dengan demikian, kehadiran saksi di persidangan untuk didengar keterangannya memberikan peran yang besar dalam mengungkapkan kebenaran. Penuntut Umum selalu mengupayakan agar saksi-saksi yang dihadirkannya adalah saksi yang bisa menguatkan surat dakwaan, bukan malah yang melemahkan dakwaannya. Demikian juga bagi saksi yang meringankan, yang diajukan terdakwa atau penasehat hukum. Selanjutnya, keseluruhan saksi perlu menikmati perlindungan yang sama. Saksi yang diajukan
Saksi yang diajukan
Penuntut Umum
Penasehat Hukum
62 (enam puluh dua) saksi,
Tiga orang saksi :
terdiri dari :
a. 2 (dua) orang saksi dari
a.
20 orang saksi korban
b.
21
orang
saksi
anggota kepolisian dari
b. 1 (satu) orang saksi dari sipil
kepolisiann c.
5 orang saksi sipil
Termasuk dari pelaku, karena pelaku dalam pelanggaran HAM yang berat yang selalu mempunyai kekuatan dan sumber daya yang luar biasa untuk melakukan upaya-upaya intimidasi dan tekanan kepada korban maupun saksi untuk tidak memberikan ataupun mengurangi kualitas kesaksiannya.. 11
28
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
d.
7 orang
saksi dari sipil
tidak hadir namun BAP nya
dibacakan
di
persidangan Komposisi saksi yang dihadirkan di persidangan menunjukan bahwa saksi yang diajukan oleh JPU lebih banyak dibandingkan dengan saksi yang dihadirkan oleh Terdakwa atau Penasehat Hukum. Jumlah saksi yang tercantum dalam Berkas Perkara sebanyak 95 orang namun yang hadir dipersidangan hanya 46 saksi (48%). Jumlah ini jelas sangat tidak memadai, walaupun kesaksian dalam berita acara tersebut dapat saja dibacakan di muka persidangan. Adapun kendala yang dihadapi JPU dalam menghadirkan saksi tersebut karena hampir semua saksi-saksi korban berasal atau berdomisili di Abepura, Jayapura. Bahkan ada yang sudah pindah ke daerah lainnya, seperti Wamena dan Biak, sehingga sulit untuk dilakukan pemanggilan. Akibatnya, JPU melakukan seleksi terhadap saksi-saksi yang akan dihadirkan ke persidangan. Seharusnya, saksi-saksi yang dipilih untuk dihadirkan di muka persidangan adalah yang paling relevan untuk memperkuat surat dakwaan. Namun pada kenyataannya, sebanyak 21 dari 46 saksi yang dihadirkan adalah anggota kepolisian yang secara langsung atau tidak langsung memiliki hubungan kedinasan dengan terdakwa, sehingga independensinya dalam memberikan keterangan dapat diragukan. Keterangan yang diberikan para saksi tersebut malah cenderung melemahkan surat dakwaan. 12 Untuk mengatasi hal tersebut, sebetulnya ada beberapa cara terobosan yang dapat ditempuh, baik atas prakarsa JPU ataupun Hakim. Pertama, menggunakan sarana teleconference sebagaimana yang pernah dipraktekan dalam Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Timor-Timur, walaupun tidak diatur KUHAP. Guna mengungkapkan kebenaran materil, seharusnya Hakim berani untuk melakukan terobosan tersebut. Kedua, dilakukan sidang pemeriksaan di tempat kejadian yang dengan sendirinya berdekatan dengan domisili para saksi. Kehadiran Hakim, Jaksa Penuntut Umum serta Penasehat Hukum di tempat kejadian, disamping dapat melihat langsung
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Preliminary Conclusive : Laporan Pemantauan Pengadilan HAM untuk Kasus Abepura atas perkara Daud Sihombing dan Johny Wainal Usman, hlm. 30 12
29
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Tempat Kejadian Perkara (TKP), diharapkan para saksi korban dapat lebih banyak yang hadir dan mungkin lebih ringan dari segi pembiayaannya. Dalam proses pemeriksaan saksi di persidangan kasus ini, terdapat tujuh orang saksi yang diajukan JPU yang tidak hadir di persidangan namun Berkas Perkaranya dibacakan. Ini juga adalah salah satu cara mengantisipasi banyaknya saksi yang berhalangan hadir. Ketujuh orang saksi tersebut tidak dapat hadir karena “berhalangan”, namun tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai “halangan” tersebut. Adapun mengenai nilai kesaksian yang dibacakan tetap dapat digolongkan sama nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di persidangan, karena pada saat pemeriksaan di tingkat penyidikan terdahulu, keterangan diberikan di bawah sumpah. (lihat Pasal 116 (1) KUHAP). 13 Namun, sementara orang masih meragukan tentang nilai kesaksian ini karena dilakukan tanpa cross examination.
2. Keterangan Ahli Dalam KUHAP tidak ada definisi dan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan “ahli”. Sebagai perbandingan, California Evidence Code menyatakan definisi seorang “ahli” adalah : seseorang yang dapat memberi keterangan sebagai ahli jika ia mempunyai pengetahuan, keahlian, pengalaman, latihan atau pedidikan khusus yang memadai untuk memenuhi syarat sebagai seorang ahli tentang hal yang berkaitan dengan keterangannya. 14 Keterangan ahli di Berkas
Keterangan Ahli di persidangan
Perkara 1 orang ahli yang merupakan
13 14
Empat orang ahli :
M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini Jakarta, 1988, hlm. 696. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, CV Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996, hlm. 282
30
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Kepala Dinas Kependudukan dan Pemukiman Propinsi Papua
a. Satu orang ahli dari kepolisian a. Tiga orang ahli hukum
Pada umumnya semua ahli adalah yang kompeten di bidangnya. Namun, untuk kedua orang ahli yakni Prof. Dr Indriyanto Senoadji, SH dan Tommy Sihotang, SH, LL.M perlu dipertimbangkan independensi akademisnya. Prof Dr. Indriyanto Senoadji,SH dan Tommy Sihotang SH,LL.M, disamping akademisi, juga merupakan
pengacara yang pernah menjadi tim
advokasi TNI ketika kasus Timor Timur. Secara etis, seharusnya Hakim menolak permohonan pembela untuk mendengarkan keterangan kedua ahli tersebut. Selanjutnya, JPU hanya mendengarkan keterangan satu orang ahli yang tercantum dalam berkas perkara, dan ahli tersebut tidak dihadirkan di persidangan, keterangannya pun tidak dibacakan di persidangan. Alasan mengapa keterangan ahli di Berkas Perkara tidak lagi digunakan di persidangan, tidak dijelaskan di putusan, namun jika dilihat keterangan ahli tersebut, sebenarnya bisa mendukung fakta bahwa lokasi operasi pengejaran dan penyekatan yang dilakukan oleh Polisi dan Brimob adalah merupakan pemukiman penduduk sipil. C.
15
Surat
Alat bukti surat diatur dalam pasal 187 KUHAP, definisi “surat” itu sendiri adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran”.
16
Lihat Perkara Atas Nama Tersangka : Brigjen Pol. Drs. Johny Wainal Usman (Mantan Komandan Satuan Brimob Papua/Irian Jaya), Jakarta 27 Januari 2003, hlm.217 16 Andi Hamzah, op.cit, hlm. 285 15
31
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Jika dibandingkan dengan alat bukti surat yang dilampirkan dalam Berkas Perkara, alat bukti surat yang dihadirkan di persidangan mengalami pengurangan. Dalam berkas perkara terdapat 37 alat bukti surat, sementara alat bukti yang diajukan Penuntut Umum berjumlah 32 buah. Diantara alat bukti yang tidak diajukan JPU dalam persidangan, namun tercantum di Berkas Perkara adalah
17
:
a. 1 (satu) berkas asli Laporan Kronologis dan Susunan Foto-foto yang menguraikan terjadinya peristiwa tanggal 7 Desember 2000 dini hari di Abepura, Papua (disusun oleh Badan Pengurus Komunitas Pelajar dan Mahasiswa Nduga Asrama Ninmin Jl.Biak, Abepura 2001/2002) b. Fotocopy visum et repertum No.353/175 tanggal 13 Desember 2000 a.n Ory Ndronggi atas permintaan Ipda. Pol Bahar Tushiba c. Fotocopy Visum et repertum No.353/172 tanggal 13 Desember 2000 a.n Jony Karunggu atas permintaan Mayor CPM Fauzy Helmi Dusun d. Fotocopy Visum et repertum No.353/171 tanggal 13 Desember 2000 a.n Ory Ndronggi atas permintaan Mayor CPM Fauzy Helmi Dusun e. Surat Keterangan Dokter tentang Visum et repertum Sementara (orang hidup) No.SV/28/IV/2002/RSAL tanggal 4 April 2002 (asli) Selain itu terdapat satu alat bukti surat yang tidak tercantum dalam Berkas Perkara namun diajukan JPU di persidangan yakni Visum et repertum No.SV/28/IV/2002/RSAL tanggal 4 April 2002 a.n Arnold Mundu Soklayo. 18
17ibid, 18
hlm. 222-224 Lihat Putusan hlm 228
32
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang mengapa sebagian alat bukti tidak dihadirkan di persidangan, padahal jika dilihat alat-alat bukti surat tersebut dapat memperkuat surat dakwaan JPU. Juga tidak terdapat keterangan lebih lanjut mengenai alasan mengapa alat bukti visum et repertum a.n Arnold Mundu Soklayo dihadirkan kemudian dalam persidangan. Selanjutnya, yang cukup mengherankan adalah tidak dilampirkannya Operasi Tuntas Matoa sebagai salah satu bukti surat dalam Berkas Perkara. Apakah mungkin bentuk Operasi semacam itu tidak dituangkan dalam bentuk tertulis seperti rencana operasi atau kebijakan tertulis lainnya? Hal ini penting karena dalam Rencana Operasi tersebut diharapkan terdapat fakta-fakta yang dapat membantu Hakim khususnya dalam mengkategorikan suatu tindakan sebagai tindakan sistematis. Selain itu, jika dalam surat tersebut terdapat rincian mengenai jumlah senjata serta pasukan yang dikerahkan maka akan mudah bagi Hakim untuk menganalisa apakah suatu tindakan tersebut termasuk tindakan eksesif atau bukan. Terdapatnya kecurigaan akan adanya beberapa alat bukti surat yang dihilangkan menjadi suatu pembenaran bahwa seharusnya terdakwa ditahan untuk menghindari resiko-resiko seperti ini. D.
Petunjuk
Alat bukti petunjuk, seperti yang diatur dalam pasal 188 (1) KUHAP adalah : “perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” Dengan definisi di atas, banyak orang yang menyimpulkan bahwa petunjuk bukanlah alat bukti, namun lebih kepada pengamatan hakim berdasarkan kekuatan alat bukti lain yang dihadirkan di persidangan. Walaupun demikian, ada beberapa barang bukti dihadirkan ke persidangan yang digunakan untuk mendukung keterangan terdakwa yang diajukan oleh pembela sehingga bisa menjadi alat bukti petunjuk. Barang-barang bukti tersebut adalah :
33
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
4 2 2 2 1 1 1
buah parang begagang kayu, disita tanggal 7 Desember 2000 di Polsek Abepura buah parang bergagang kayu disita tangga 7 Desember 2000 di Polsek Abepura buah parang bergagang kayu disita tanggal 7 Desember 2000 di Kantor Otonomi Papua buah parang tulang macan, bergambar tulang kasuari disita tanggal 7 Desember 2000 di Polsek Abepura ikat busur dan tombak disita tanggal 7 Desember 2000di sekitar Polsek Abepura ikat busur dan anak panah disita tanggal 7 Desember 2000 di kantor Otonomi ikat anak panah disita tanggal 7 Desember 2000 di sekitar Polsek Abepura
Keseluruhan barang bukti tersebut adalah untuk mendukung keterangan terdakwa yang pada akhirnya diharapkan dapat menunjukan bahwa apa yang dilakukan terdawa bersama anak buahnya tersebut adalah merupakan pembelaan diri dan membenarkan bahwa orang-orang yang mereka serang tersebut adalah merupakan anggota separatis. Yang menjadi pertanyaan dalam kasus ini, mengapa hanya dari pihak pembela yang dapat menunjukan sejumlah barang bukti yang bisa menjadi alat bukti petunjuk jika didukung oleh alat bukti lain seperti keterangan terdakwa. Padahal dalam hal ini seharusnya Penuntut Umum juga dapat menghadirkan sejumlah barang bukti yang dapat menguatkan dakwaannya tersebut. Barang bukti tersebut misalnya mobil truk polisi yang digunakan untuk mengangkut peduduk sipil, atau bahkan peluru untuk memastikan apakah senjata yang digunakan milik kepolisian atau bukan, namun hal ini sama sekali tidak dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini misalnya apakah memang terdapat kesulitan untuk menjadikan mobil-mobil tersebut sebagai barang bukti karena masih digunakan oleh institusi Polisi/Brimob. Yang jelas, dengan dapat dibuktikannya bahwa memang benar mobil truk Brimob tersebut digunakan untuk mengangkut penduduk sipil yang ditahan maka akan dapat memudahkan JPU membuktikan adanya rantai komando dalam kasus ini karena suatu mobil dinas tidak mungkin digunakan tanpa adanya persetujuan dari institusi polisi. E.
Keterangan Terdakwa
Pada intinya, tidak terdapat perbedaan antara keterangan yang terdakwa dicantumkan pada
Berkas Perkara dengan di
persidangan. Hanya saja, keterangan terdakwa di persidangan lebih ditekankan pada pembagian kewenangan masing-masing
34
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
komandan seperti Kapolda, Kapolres, Kapolsek, dan Kapus Kodalops, serta batas kewenangan terdakwa sebagai Komadan Kesatuan (Dan Sat) termasuk dalam hal kewajiban untuk menghukum bawahannya. Hal-hal tersebut tidak diuraikan secara rinci dan jelas di Berkas Perkara. Menurut hemat penulis, ada beberapa keterangan terdakwa di Berkas Perkara yang penting, namun tidak diuraikan tedakwa dalam persidangan. Hakim dan Penuntut Umum pun tidak mengajukan pertanyaan yang diperlukan untuk menggali lebih jauh lagi
keterangan tersebut. Keterangan tersebut adalah pernyataan terdakwa yang
menyatakan bahwa terdakwa tidak mengenali John F Kamodi, Hans Fairnap, Zawal Halim (yang dalam laporan KPP HAM diduga sebagai pelaku lapangan). Jika kita melihat keterangan saksi John F Kamodi serta Zawal Halim di persidangan, mereka semua menyatakan bahwa mereka mengenali terdakwa karena merupakan anak buah terdakwa, mereka juga menerima APP (Arahan Pimpinan Pasukan) dari terdakwa sebelum di back up ke Polsek.
Di sini terlihat adanya ketidaksesuaian keterangan antara
terdakwa dengan saksi-saksi yang mengaku anak buahnya, sehingga jika saja Hakim serta Penuntut Umum mau menggali dan mengelaborasi lebih jauh mengenai pernyataan terdakwa ini, maka seharusnya dapat ditemukan adanya hubungan atasan bawahan dan keterkaitan antara terdakwa sebagai Komandan dengan tindakan pelanggaran HAM yang berat yang diduga dilakukan oleh bawahannya .
C. Proses Pembuktian Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, karena dengan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang-Undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP maka terdakwa harus dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, majelis hakim harus berhati-hati, cermat dan matang menilai dan mempertimbangkan masalalah pembuktian.
35
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara meletakan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa. KUHAP menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif seperti yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa maka
19
:
a.
kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah”
b.
berdasarkan keterbuktian tersebut, hakim “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Berikut
ini akan diuraikan mengenai proses pembuktian unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan JPU dengan cara
membandingkannya dengan semua alat bukti yang dihadirkan di persidangan (perbandingan ditulis dalam bentuk TABEL yang dapat dilihat di lampiran). Selanjutnya, penulis berusaha untuk memberikan analisis mengenai terbukti atau tidaknya unsur tindak pidana dengan dukungan alat bukti yang dihadirkan. Diharapkan dengan penguraian ini dapat memberikan gambaran yang jelas sejauh mana JPU serta Hakim berusaha untuk mengungkapkan kebenaran peristiwa Abepura tanggal 7 Desember 2000 dan menghubungkannya dengan pertanggungjawaban terdakwa secara pidana. a. Pembuktian Unsur-Unsur Kejahatan terhadap Kemanusiaan Terdakwa Johny Wainal Usman, didakwa atas tindakan anak buahnya yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan dan penganiayaan. Dengan demikian, yang harus dibuktikan pertama kali adalah unsur-unsur dari kejahatan terhadap kemanusiaan yakni serangan yang meluas atau sistematis, serta unsur-unsur dari pembunuhan dan penganiayaan. Apabila dari unsur-unsur tersebut sudah terbukti, maka baru kemudian Hakim serta JPU harus membuktikan bahwa terdakwa harus bertanggungjawab secara pidana berdasarkan unsur-unsur pertanggungjawaban komando. 19
M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 801
36
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
1. Meluas (TABEL 1) 20 Semua keterangan ahli sepakat bahwa untuk memenuhi unsur meluas, serangan tersebut harus mencakup lebih dari satu lokasi, dan korbannya banyak (massive). Beberapa fakta yang terungkap dari keterangan para saksi khususnya saksi korban adalah serangan tersebut jelas ditujukan ke lima lokasi yakni Asrama Ninmim, Asrama YAWA, pemukiman warga asal Kotalima Memberamo dan Wamena Barat di Abepantai, daerah Skyline Kecamatan Jayapura Selatan dan Asrama IMI. Jumlah korban “banyak”, walaupun tidak ada definisi yang baku mengenai kata “banyak” tersebut, yang jelas berdasarkan alat bukti visum et repertum yang dihadirkan di persidangan terdapat 17 korban, yang juga tidak dapat dikatakan “sedikit”. Walaupun beberapa saksi dari anggota kepolisian menyatakan bahwa beberapa tindakan pemukulan dan penembakan yang mereka lakukan adalah karena ada perlawanan, yang didukung barang
bukti berupa senjata tajam yang dihadirkan Penasehat Hukum, namun
tindakan tersebut jelas tidak proporsional jika dibandingkan dengan jumlah korban. Hal ini cukup memberikan bukti bahwa telah terjadi tindak penggunaan kekerasan yang berlebihan (excessive), berupa penyiksaan oleh anggota kepolisian / brimob terhadap warga masyarakat. Banyak warga masyarakat yang ditahan dan di siksa kemudian dipulangkan kesesokan harinya dengan alasan mereka tidak ada hubungannya dengan gerakan separatis. Dari keterangan para saksi, khususnya saksi korban, terbukti adanya rangkaian perbuatan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan Brimob secara berulang-ulang (lebih jelasnya bisa dilihat di pembuktian unsur “penganiayaan”) di mana tindakan penyiksaan tersebut tidak hanya dilakukan pada saat penyisiran namun juga terus dilakukan hingga di tempat penahanan. Bukti-bukti
ini memenuhi unsur bahwa tindakan yang dilakuan adalah tindakan berganda dan bukan tindakan
tunggal. Berdasarkan uraian di atas, maka unsur “meluas”, sebagaimana yang disaratkan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan telah terpenuhi. 20
Keseluruhan TABEL dapat dilihat di LAMPIRAN
37
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
2. Sistematis (TABEL 2) Berdasarkan keterangan ahli pada tabel, serangan yang sistematis adalah serangan yang merupakan kelanjutan dari kebijakan negara. Tindakan tersebut biasanya terpola dan terencana, bukan tindakan yang sporadis. Tabel di atas memperlihatkan bahwa tidak ada saksi korban yang memberikan keterangan yang mendukung pembuktian unsur-unsur sistematis. Sebagian besar korban tidak mengetahui adanya rencana atau kebijakan yang melandasi tindakan pengejaran dan penyekatan yang dilakukan anggota Polisi dan Brimob, bahkan mereka tidak mengetahui adanya penyerangan ke Polsek Abepura yang juga menjadi penyebab dilakukannya pengejaran dan penyekatan. Hal ini dapat dipahami karena korban bukan bagian dari pelaku, namun seharusnya yang dapat digali dari korban adalah mengenai kebijakan scara umum misalnya dalam menjaga keutuhan NKRI di mana operasi tuntas Matoa merupakan pelaksanaannya. Sebaliknya, keterangan para saksi yang diajukan Penasehat Hukum lebih mengungkapkan keadaan Papua pada saat itu di mana seluruh warga masyarakat menginginkan merdeka terlepas dari Indonesia. Mereka juga menyatakan bahwa anggota OPM tidak selalu tinggal di hutan tetapi adakalanya mereka bergabung dengan masyarakat sipil di tempat-tempat pemukiman. Keadaan yang mencekam itulah yang menjadi latar belakang dibuatnya suatu rencana operasi yang dituangkan dalam Operasi Tuntas Matoa 2000, di mana dalam persidangan ini diperlukan pembuktian bahwa operasi ini merupakan tindakan sistematis Pemerintah yang ditujukan kepada apa yang mereka sebut sebagai gerakan separatis. Keterangan saksi di atas secara tidak langsung menjelaskan pola pikir mereka terhadap apa yang mereka sebut sebagai kelompok separatis dan membenarkan bahwa tindakan pengejaran yang dilakukan aparat kepolisian serta Brimob ke delapan lokasi penyerangan tersebut adalah karena dugaan mereka bahwa terdapat anggota gerakan separatis yang menyatu dengan penduduk sipil. Tindakan penyisiran yang mereka lakukan tidak hanya semata-mata untuk menemukan pelaku penyerangan Polsek tetapi juga sebagai bagian dari Operasi Tuntas Matoa untuk memberantas apa yang mereka sebut gerakan separatis. Walaupun Operasi Tuntas Matoa
38
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
merupakan suatu kebijakan yang sah dan tidak melawan hukum, namun dalam melaksanakan kebijakan tersebut terjadi tindakan-tindakan melanggar hukum berupa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan pengejaran dan penyekatan yang dilakukan oleh polisi dan brimob adalah kelanjutan (furtherance) dari kebijakan negara yang sah yakni Operasi Tuntas Matoa 2000 sehingga memenuhi unsur sistematis.
3. Pembunuhan (TABEL 3) Tindakan pembunuhan yang harus dibuktikan Majelis Hakim berdasarkan dakwaan JPU adalah tindakan pembunuhan yang dilakukan kepada korban Elkius Suhuniap, seorang warga suku Yali Anggruk di wilayah Skyline, Jayapura Selatan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 7 Desember 2000 sekitar pukul 09.30 pada saat Satuan Brimob Polda Irian Jaya/Papua dibawah pimpinan Brigpol. John Frederik Kamodi mengepung rumah Elkius Suhuniap, dan seorang anggota Brimob langsung menembak Elkius Suhuniap, yang mengakibatkan kematian. Kesulitan dari pembuktian tindakan pembunuhan ini adalah tidak adanya saksi mata yang melihat pembunuhan tersebut, hanya ada satu saksi yakni Agus Kabak yang pada saat terjadinya penembakan tersebut berada di lokasi. Walaupun ia menjadi salah satu korban penembakan dan mengenali pelakunya adalah Brimob dari pakaian yang dikenakannya, namun sayangnya ia tidak melihat tindakan pembunuhan tersebut. Dengan demikian, dari keterangan para saksi korban, tidak didapatkan fakta yang mendukung bahwa pelaku penembakan tersebut adalah Brimob/Polisi. Fakta-fakta yang mendukung bahwa korban dibunuh didapatkan dari keterangan saksi adik korban yang menyadari kakaknya meninggal setelah dilemparkan ke truk polisi, dan beberapa saksi lain misalnya saksi Abraham Soplanit yang menunggu kamar
39
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
jenasah dan menerima 3 jenasah dari polisi untuk buat visum et repertumnya. Keterangan saksi lainnya juga membenarkan bahwa mereka mengetahui adanya orang yang meninggal. Keterangan saksi dari kepolisian khususnya Saksi John Frederic Komodi, yang pada saat itu menjabat sebagai Dan Ton dan bertugas mengawasi daerah Skyland sangat tidak jelas. Walaupun ia mengakui bahwa ia melakukan pengawasan di daerah Skyland, namun mengelak bahwa anak buahnya melakukan tindakan pembunuhan itu. Di samping itu, terdapat perbedaan keterangan yang diberikan Saksi John Frederic Komodi di Berkas Perkara dengan di persidangan. Di berkas perkara, Saksi mengaku bahwa dirinya hanyalah petugas pengawas satwa dan tidak memiliki anak buah, tujuan saksi pergi ke daerah Skyland adalah untuk mencari jejak satwa bersama 5 orang anggota dan membawa senjata, namun saksi tidak tahu siapa yang memerintahkannya.
Sementara di persidangan saksi mengaku sebagai komandan pleton dengan anak buah 5 orang. Saksi
pergi ke daerah Skyland karena diperintahkan oleh perwira piket untuk melakukan pengawasan dan menjaga keamanan. Namun, perbedaan keterangan ini tidak dieksplorasi lebih jauh oleh Hakim, Penuntut Umum ataupun Penasehat Hukum. Seharusnya keterangan saksi digali lebih jauh lagi sampai menemukan fakta siapa yang menjadi pelaku langsung pembunuhan tersebut, dan mencari mendalami keterkaitannya dengan pertanggungjawaban terdakwa sebagai Dan Sat. 21 Kesulitan lain dalam membuktikan tindakan pembunuhan ini adalah tidak adanya keterangan ahli yang memberikan definisi tentang pembunuhan. Jika mendasarkan pada unsur-unsur pembunuhan sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan yang diatur dalam Pasal 9 (a) Undang-Undang 26/2000 di mana mensyaratkan bahwa tindakan pembunuhan tersebut harus
Jika keterangan yang diberikan saksi berbeda dengan yang terdapat dalam berkas perkara maka kewajiban Majelis Hakim adalah mengingatkan terdakwa akan perbedaan tersebut, ketika saksi bersikuku pada keterangan yang dikemukakan di muka persidangan maka hakim “meminta keterangan” mengenai perbedaan antara kedua keterangan yang dimaksud, dan dicatat dalam berita acara persidangan, M.Yahya Harahap,...op.cit, hlm. 700, jiga lihat Pasal 163 KUHAP. 21
40
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
terdapat rencana karena mendasarkan pada Pasal 340 KUHP 22 , maka tindakan pembunuhan terhadap Elkius Suhuniap sulit memenuhi unsur-unsur tersebut. Tindakan pembunuhan terhadap Elkius lebih tepat jika dikategorikan sebagai pembunuhan yang kilat (summary killing). Seperti telah dijelaskan di atas bahwa Undang-Undang 26/2000 adalah pengadopsian dari Statuta Roma, sehingga hendaknya, dalam menafsirkan unsur pembunuhan ini digunakan penafsiran teleologis, yaitu penafsiran yang mengemukakan maksud dan tujuan dari si pembuat undang-undang dalam hal ini pembentuk Statuta Roma. Element of Crimes Statuta Roma menjelaskan bahwa unsur pembunuhan adalah pelaku membunuh satu orang atau lebih 23 . Statuta Roma tidak menerangkan lebih lanjut mengenai unsur niat dalam tindakan pembunuhan ini, namun kita dapat menganalisanya dari putusan ICTR dan ICTY yang melatarbelakangi terbentuknya Statuta Roma, misalnya dalam kasus Akayesu (ICTR) pembunuhan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan adalah: “Perbuatan melawan hukum, dilakukan dengan maksud untuk membunuh manusia di mana unsur-unsurnya adalah 24 : (1) korban tersebut mati (2) kematiannya sebagai akibat tindakan melawan hukum atau tidak melakukan (ommission) dari pelaku atau bawahannya (3) ketika pembunuhan terjadi, pelaku atau bawahannya memiliki niat untuk membunuh atau menyakiti korban dimana pelaku tersebut mengetahui bahwa tindakan menyakiti korban seperti itu dapat menyebabkan kematian.”
22
Implikasi dari digunakan pasal 340 KUHP untuk menjelaskan mengenai ketentuan pasal 9 huruf a UU No. 26 tahun 2000, seluruh
keterangan saksi harus diarahkan untuk dapat menjelaskan tentang proses terjadinya pembunuhan sebagaimana yang diatur pasal 340 KUHP. Hal ini disebabkan unsur pembunuhan sebagaimana dimaksud pasal 9 huruf a ini, pembuktiannya harus menggunakan pembuktian yang biasa dilakukan dalam membuktikan pasal 340 KUHP, dimana unsur-unsur yang harus terpenuhi adalah : unsur-unsur setiap orang, dengan sengaja, dan menghilangkan nyawa orang lain.. Dalam beberapa putusan Peengadilan HAM Tim-tim, unsur-unsur ini mutlak harus ada untuk membuktikan pasal 9 huruf a UU No. 26 tahun 2000.
Roy S Lee (ed), The International Criminal Court : elements of Crimes and Rules of Procedure and Evidence, Transnational Publisher Inc, USA,2001,hlm. 80 24 Akayesu (Trial Chamber), September 2,1998,para.589 23
41
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Sedangkan dalam kasus Celebici, ICTY menyatakan definisi pembunuhan sebagai “pelanggaran berat” (grave breaches) Konvensi Jenewa dimana keduanya mencakup “niat sebagian pelaku untuk membunuh, atau mengakibatkan luka yang berat terhadap hidup seseorang”. 25 Selanjutnya, pembunuhan sebagai “eksekusi diluar proses pengadilan dan sewenang-wenang” berdasarkan Pasal 1 dari Principles on the Effective Prevention and Investigation of Extralegal, Arbitrary, and Summary Excecution (1989)
26
definisinya
adalah: ” Pencabutan nyawa tanpa proses pengadilan yang penuh, dan dengan perang serta, keterlibatan, toleransi, atau persetujuan diam-diam pemerintah atau badan-badannya. Hal ini termasuk kematian akibat penggunaan kekerasan yang berlebihan oleh polisi atau aparat keamanan.” Dari penjelasan di atas, disimpulkan bahwa tindakan pembunuhan terhadap Elkius Suhuniap akan lebih mudah dibuktikan jika mendasarkan pada Pasal 338 KUHP karena tidak perlu dibuktikan adanya perencanaan, seperti juga yang diatur dalam Element of Crimes Statuta Roma dan putusan ICTY serta ICTR. Dengan demikian, penjelasan Pasal 9 (a) Undang-Undang 26/2000 perlu ditinjau lagi agar tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan dari Statuta Roma. 4. Penganiayaan (TABEL 4) Dakwaan kedua yang harus dibuktikan di persidangan adalah dakwaan atas tindakan penganiayaan yang dilakukan anak buah terdakwa kepada masyarakat sipil di empat lokasi yakni Asrama Ninmim, Asrama YAWA, pemukiman warga asal Kotalima Memberamo dan Wamena Barat di Abepantai, dan daerah Skyline Kecamatan Jayapura Selatan. Seperti yang telah dibahas
Prosecutor vs Delalic (Celebici Judgment), November 16, 1998, para. 439 UN Principles on the Effective Prevention and Investigation of Extra Legal, Arbitrary, and Summary Executions, diadopsi oleh ECOSOC Res. 1989/65, May 24, 1989, Pasal 1. 25 26
42
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
pada bab sebelumnya, terdapat penyempitan lokasi tempat dilakukannya penganiayaan. Dalam Laporan KPP HAM, terdapat 8 lokasi tempat dilakukannya tindakan penganiayaan termasuk diantaranya Asrama IMI, Polsek Abepura, Polres Irian Jaya, dan Markas Brimob. Hal ini juga didukung dari keterangan para saksi korban yang menerangkan bahwa penganiayaan yang dilakukan aparat tidak hanya berhenti di tempat kediaman atau asrama mereka, namun juga terus berlanjut di truk, polsek abepura, polres, hingga mereka diinterogasi dan kemudian disuruh pulang keesokan harinya. Tidak ada satu saksi pun yang berasal dari kepolisan yang mengakui atau mengetahui tindakan penganiayaan tersebut dan mereka sebagian berdalih bahwa apa yang mereka lakukan sebagai bentuk pembelaan diri. Namun sulit bagi mereka untuk menghindar karena keterangan saksi korban sebagian besar didukung oleh alat bukti surat yakni surat medical record dan visum et repertum, selain itu para saksi yakin bahwa pelaku adalah brimob karena mereka bisa membedakan antara brimob dengan polisi biasa. Apa yang dilakukan oleh Polisi/Brimob tersebut jelas telah melanggar Pasal 2 Code of Conduct for Law Enforcement Officials (CCLEO) yang mengharuskan para petugas penegak hukum dalam pelaksanaan tugas mereka untuk menghormati, melindungi martabat manusia dan memelihara serta menjungjung tinggi hak asasi semua orang 27 .
Dan lagi-lagi, sepertinya Majelis Hakim dan JPU tidak berusaha untuk menggali lebih jauh dengan pertanyaan-pertanyaan kepada para saksi yang diduga sebagai pelaku lapangan yang mungkin justru dapat mengungkapkan siapa pelaku langsung dari tindakan pennganiayaan tersebut.
Kemungkinan hal ini disebabkan karena proses pemeriksaan saksi yang dilakukan
tergesa-gesa. Rata-rata setiap saksi diperiksa tidak lebih dari 45 menit. 28
Code of Conduct for Law Enforcement Official (CCLEO) diadopsi oleh Majelis Umum PBB dalam Resolusi 34/169 tanggal 17 Desember 1979.
27
28 Pada awalnya persidangan Pengadilan HAM Abepura dilaksanakan setiap hari Senin tiap minggunya. Sehingga setiap harinya dilaksanakan dua sessi persidangan. Sessi pertama persidangan biasanya memeriksa berkas perkara Johny Wainal Usman. Sedangkan sessi kedua memeriksa
43
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Sama halnya dengan definisi pembunuhan, tidak ada keterangan ahli yang memberikan definisi tentang penganiayaan, khususnya dalam hal perbedaanya dengan penyiksaan. Padahal keterangan para ahli tersebut akan sangat membantu meluruskan ketidakcermatan Penuntut Umum dalam merumuskan tindakan penyiksaan 29 sebagai tindakan penganiayaan. Seperti kita ketahui bahwa Undang-Undang 26/2000 adalah pengadopsian dari Statuta Roma, di mana kata “penganiayaan” dalam Pasal 9 (h) Undang-Undang 26/2000 yang dijadikan dasar dakwaan jaksa yang kedua adalah merupakan terjemahan dari kata “persecution” dalam teks asli Statuta Roma. Dalam hal ini jelas terdapat ketidaksesuaian pemandanan kata dengan bahasa Indonesia di mana persecution berbeda dengan penganiayaan. Penganiayaan jika kita lihat dalam KUHAP berarti dengan sengaja menimbulkan sakit atau luka (Pasal 351), sementara persecution sendiri berarti mencabut hak-hak fundamental dari satu orang atau lebih., bertentangan dengan ketentuan hukum internasional 30 . Akibatnya adalah tindakan persekusi tersebut tidak hanya harus berupa tindakan yang menimbulkan rasa sakit, tapi juga mencakup tindakan lain seperti penghinaan/caci maki, dll. Jika kita melihat dakwaan Jaksa, maka sangat jelas jika jaksa menyamakan tindakan penganiayaan berkas perkara Daud Sihombing. Sessi pertama dilaksanakan setiap jam 09.00 wita, dan sessi kedua dilaksanakan setelah break makan siang, setelah jam 13.00 wita. Selama pemantauan, tim monitoring sering menemukan bahwa proses pemeriksaan saksi dilaksanakan dengan sangat tergesa-gesa dan dalam waktu yang relatif singkat, rata-rata satu orang saksi diperiksa dan dimintai keterangannya oleh para pihak (hakim, jaksa dan penasehat hukum) selama kurang lebih 45 menit. Padahal, menurut pengamatan tim monitoring, eksplorasi para pihak terhadap saksi-saksi tersebut belum begitu memadai dan mendalam, Diambil dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Eksekutif Summary : Laporan Pemantauan Pengadilan HAM Kasus Abepura Perkara Johny Wainal Usman dan Daud Sihombing, hlm. 12 29 Lihat definisi penyiksaan dalam Pasal 1 Convention against Torture and Other Cruel Inhuman and Degrading Treatment or Punishment, 1984 yang berbunyi : ”Setiap perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa sakit atau penderitaan-penderitaan yang luar biasa (severe) terhadap jasmani atau rohani, yang dilakukan oleh atau karena hasutan, persetujuan, sepengetahuan aparat negara yang bertujuan untuk memperoleh keterangan, pengakuan atau sebagai penghukuman, atau ancaman atau alasan-alasan yang berdasarkan diskriminasi. Tidak termasuk penyiksaan apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut timbul sebagai akibat dari penghukuman yang sah” 30
Lihat Element of Crimes Statuta Roma
44
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
ini dengan tindakan penyiksaan. Dan dalam proses persidangan jelas terlihat bahwa Hakim pun tidak paham dengan perbedaan definisi tersebut, terbukti bahwa mereka tidak mempertanyakan ketidakcermatan tersebut kepada JPU pada saat mereka diberi waktu 2 minggu untuk memperlajari dakwaan, sebelum sidang digelar.
b. Pembuktian Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Komando Surat dakwaan Jaksa menyatakan bahwa terdakwa harus bertanggungjawab atas pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan anak buahnya. Terhadap masalah ini, hampir semua saksi (korban) yang dihadirkan ke persidangan menyatakan bahwa saksi mengenal atau mengetahui ciri-ciri atau identitas lainnya yang menunjukkan bahwa yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa penangkapan, penahanan, penyiksaan, penganiayaan dan pembunuhan adalah aparat kepolisian dan Brimob, yang notabene adalah anak buah atau bawahan kedua terdakwa. Namun demikian, pernyataan para saksi korban ini dibantah oleh anggota Kepolisian/Brimob Polda Papua. Mereka mengatakan bahwa tidak mengetahui ada anggota Brimob yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka berdalih bahwa pada saat penyerangan tidak ada anggota Brimob yang di-BKO-kan ke Polsek Abepura. BKO ke Mapolsek Abepura baru dilaksanakan setelah terjadinya penyerangan 7 Desember 2000. Dengan demikian, dari saksi-saksi korban yang telah dihadirkan ke persidangan31 dan bantahan yang dilakukan anggota Kepolisian/Brimob Polda Papua, maka yang harus dilakukan oleh JPU ataupun majelis hakim adalah menggali keterangan yang
Hampir semua saksi korban yang dihadirkan mengetahui atau mengenali bahwa yang melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan JPU adalah anggota kepolisian dan Brimob Polda Papua, dan bahwa mereka sempat dibawa atau ditahan di Polsek Abepura dan Mapolres Jayapura. Sebagian besar dari mereka juga mengatakan bahwa mereka mengetahui bahwa pelaku adalah anggota kepolisian dan Brimob, berasal dari identitas, ciri-ciri fisik, seragam, serta alat kelengkapan yang biasa digunakan oleh anggota kepolisian dan Brimob. 31
45
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
menunjukkan : Kesatu, tidak adanya kontrol efektif yang dilakukan terdakwa selaku atasan terhadap anak buahnya. Kedua, tidak dilakukannya upaya pencegahan terjadinya pelanggaran HAM berat yang dilakukan anak buahnya, dan ketiga, tidak ada upaya koreksi yang dilakukan oleh terdakwa selaku atasan terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi dengan menyerahkan pelakunya untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan 32 .
Berikut akan diuraikann mengenai proses pembuktian adanya pertnggungjawaban komando tersebut berdasarkan alat-alat bukti yang dihadirkan ke persidangan : 1. Atasan/Komandan dan Kekuasaan serta pengendalian yang efektif (TABEL 5) Pada TABEL 5, terlihat bahwa pada saat terjadinya peristiwa Abepura, terdakwa menjabat sebagai Komandan Satuan Brimob Polda Irian Jaya. Dan jika dihubungkan dengan keterangan para saksi khususnya saksi korban yang telah diuraikan pada tabeltabel sebelumnya, dinyatakan bahwa para saksi korban mengenal atau mengetahui ciri atau identitas lain bahwa yang melakukan pembunuhan serta penganiayaan kepada mereka adalah aparat kepolisian dan Brimob yang notabene adalah anak buah dari terdakwa 33 . Hal ini menunjukan bahwa terdapat hubungan atasan dan bawahan secara de jure antara terdakwa dengan pelaku lapangan. Bentuk hubungan atasan dan bawahan lainya juga dapat terlihat dari pengakuan beberapa saksi yang merupakan anak buah terdakwa yang menyatakan bahwa terdakwa memerintahkan pasukan brimob untuk berkumpul dan memberikan APP sebelum pasukan tersebut diperbantukan ke Polsek Abepura. Walaupun beberapa saksi mengatakan bahwa setelah pasukan Brimob tersebut di back-up ke Polsek, maka tanggungjawab untuk melaksanakan pengendalian efektif bukan lagi di tangan terdakwa melainkan di tangan Kapolres/Kapolsek, namun terdakwa masih memiliki kewenangan sebagai de facto
Hal ini dapat diketahui dengan tidak adanya anak buah atau bawahan terdakwa yang diajukan ke pengadilan pasca peristiwa Abepura 7 Desember 2000. 33 Lihat laporan monitoring kasus Abepura tanggal 16, 23 dan 24 Agustus 2004. 32
46
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
commmander, di mana para anak buah terdakwa masih patuh pada perintah terdakwa walaupun pengendalian efektif tidak lagi di tangan terdakwa. Contoh bahwa terdakwa masih memiliki kewenangan sebagai de facto commander bisa dilihat di tabel di bawah mengenai unsur
“mengetahui”, bahwa terdakwa masih memerintahkan anak buahnya (yang sudah di back up ke
Polsek) untuk tidak membawa para anggota masyarakat ke Markas Brimob melainkan ke Polsek Abepura. Terhadap fakta bahwa terdakwa masih memiliki kewenangan sebagai seorang de facto commander, maka terdakwa seharusnya masih memiliki kemampuan melakukan pengendalian efektif untuk bisa mencegah terjadinya pelanggaran tersebut. Hal lain yang juga terungkap dalam keterangan saksi ini adalah bahwa pertanggungjawaban komando seharusnya tidak hanya dibebankan kepada terdakwa saja, namun juga kepada Kasatwil dalam hal ini Kapolsek dan Kapolres sebagai de jure commander ketika terjadi ekses yang dilakukan anak buahnya. Dengan demikian, yang harus diajukan ke persidangan tidak hanya Dan Sat serta Kapolres, namun juga Kapolsek. Selain itu yang menjadi pertanyaan dalam pembuktian unsur Atasan ini, adalah terdakwa didakwa berdasarkan Pasal 42 (2) Undang-Undang 26/2000 sebagai atasan sipil. Padahal semua saksi membenarkan bahwa pada saat terjadi peristiwa Abepura, Kepolisian masih berada di bawah Tentara Nasional Indonesia dan tunduk pada hukum militer. Walaupun keterangan ahli menyatakan tidak ada perbedaan yang mendasar antara atasan sipil dan militer, namun hal ini membuktikan ketidakcermatan JPU dalam membuat surat dakwaan dann akan sangat berpengaruh pada pembuktian unsur “mengetahui”. Lebih lanjut mengenai perbedaan atasan sipil dan militer akan diuraikan pada bab selanjutnya.
2. Mengetahui/Dengan Sadar Mengabaikan Informasi (Tidak Melaksanakan Pengendalian yang Layak untuk Mencegah) (TABEL 6)
47
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Untuk menentukan bahwa seorang atasan memiliki pengetahuan dan dengan sengaja mengabaikan informasi, ada beberapa hal yang penting untuk dibangun oleh seorang atasan non-militer adalah 34 : A. adanya informasi yang jelas mengenai resiko yang signifikan bahwa bawahan telah melakukan atau akan melakukan tindak pidana Sebagai Komandan Satuan Brimob dan pengalaman yang dimilikinya, terdakwa seharusnya mengetahui mengenai resiko yang signifikan akan terjadi dalam hal tindakan operasi penyekatan dan pengejaran yang dilakukan bawahannya. Keterangan para saksi yang merupakan bawahan terdakwa membuktikan bahwa terdakwa memberikan perintah anak buahnya untuk membackup Polsek Abepura untuk membantu mencari pelaku penyerangan Polsek Abepura. Hal ini juga diperkuat dari fakta yang terungkap di pemeriksaan bahwa para para anggota Brimob yang melakukan operasi pengejaran dan penyekatan dibekali dengan peluru tajam serta diliputi oleh rasa marah mengingat sudah jatuh korban dari anggota kepolisian. Sehingga, dalam kasus ini terdakwa dianggap sudah memiliki pengetahuan akan resiko yang terjadi .
B. informasi ini sudah diketahui oleh atasan Keterangan terdakwa dalam berkas perkara menyatakan bahwa terdakwa mendapat informasi bahwa ada masyarakat yang ditangkap oleh anggota Brimob termasuk ada diantara mereka yang luka-luka dan meninggal 35 .
Selanjutnya, dalam tabel
terlihat bahwa keterangan ahli dari Kepolisian menyatakan bahwa pada saat anak buah melakukan operasi di lapangan, kewajiban komandan adalah mengetahui keadaan anggota di lapangan. Komandan dapat mengetahui keadaan anggotannya di lapangan dengan cara mengupayakan kemampuan yang dimilikinya untuk membangun sistem pelaporan efektif sehingga komandan selalu terinformasi dan tidak ada alasan komandan untuk “tidak tahu”.
34
35
Otto Triffterer (ed), Commentary on The Rome Statute of the International Criminal Court, Baden-Baden, 1999. hlm.521
Berkas Perkara…op.cit, hlm. 219
48
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Dalam kasus Bagilishema (Trial Chamber), June, 7, 2001, para. 6 dinyatakan bahwa seorang komandan / atasan dianggap memenuhi unsur adanya niat, apabila ia memiliki pengetahuan yang aktual yang dibuktikan dari adanya bukti langsung maupun bukti karena keadaan pada waktu itu (circumstantial) mengetahui bahwa bawahannya sedang atau telah melakukan kejahatan, atau ia memiliki informasi yang membuatnya ia mengetahui adanya resiko dari kejahatan tersebut. Ketiadaan pengetahuan yang merupakan kelalaian dari kewajiban komandan berarti komandan gagal untuk melaksanakan sarana yang ia miliki untuk mengetahui adanya kejahatan.
C. atasan ketika mengetahui informasi tersebut menunjuk pada kategori dari informasi tersebut Berdasarkan keterangan terdakwa, terdakwa membenarkan bahwa terdakwa mengetahui berdasarkan laporan anak buahnya bahwa terdapat
anggota masyarakat
yang dibawa ke Markas Brimob, dan terdakwa segera memerintahkan anak buahnya
untuk memindahkannya ke Polsek. Hal ini membuktikan bahwa terdakwa mengetahui (walaupun informasinya tidak jelas) bahwa terjadi penangkapan sejumlah anggota masyarakat namun terdakwa tidak berusaha untuk meminta penjelasan lebih lanjut mengenai penangkapan dan apakah terjadi ekses yang berlebihan yang dilakukan anak buahnya tersebut. Terhadap fakta tersebut, dapat dibuktikan bahwa terdakwa “mengabaikan informasi” dan gagal dalam melakukan tindakan yang layak untuk mencegah pelanggaran yang dilakukan anak buahnya.
3. Gagal untuk Menghukum (TABEL 7) Keterangan para saksi membenarkan bahwa memang telah terjadi ekses atas tindakan pengejaran dan penyekatan yang dilakukan Polisi/Brimob. Keterangan ahli dari Kepolisian menyatakan bahwa ketika terjada ekses maka komandan regu harus melaporkan pada Dan Sat kemudian Dan Sat memberikan penghukuman baik disiplin atau pidana dengan menyerahkan pelaku kepada yang berwenang. Dalam keterangannya, terdakwa menjelaskan bahwa kewenangan terdakwa sebagai seorang Ankum
49
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
hanyalah sebatas pemberian hukuman disiplin saja, sementara kewenangan untuk memberikan sanksi pidana ada di tangan Kapolda. Para saksi membenarkan bahwa ketika terjadi peristiwa Abepura, Polisi masih berada di bawah Tentara Nasional Indonesia dan tunduk pada Hukum Militer. Tindakan terdakwa memberikan penghukuman disiplin kepada anak buahnya belum dapat dikatakan sebagai tindakan yang layak yang sudah dilakukan komandan untuk menghukum anak buahnya. Seperti yang tertuang dalam Basic Principles on the Use of Force and Firearms 36 : “Para pemerintah harus menjamin bahwa penggunaan sewenang-wenang atau penyalahgunaan kekerasan dengan senjata api oleh para petugas penegak hukum dihukum sebagai pelanggaran pidana menurut hukum (Prinsip 7)” “Keadaan-keadaan luar biasa seperti ketidakstabilan internal atau keadaan darurat umum tidak boleh diajukan untuk membenarkan penyimpangan atas asas dasar ini (Prinsip 8). Penggunaan kekerasan yang berlebihan serta penyalahgunaan senjata api adalah merupakan pelanggaran hukum pidana setiap negara. Apalagi jika yang melakukannya adalah aparat penegak hukum yang kewajibannya adalah memelihara dan menjunjung hak-ahak asasi manusia. Akibat dari tindakan tersebut tidak hanya akan merusak hubungan yang rentan antara aparat penegak hukum dengan masyarakat melainkan juga dapat menimbulkan luka yang untuk memulihkannya membutuhkan waktu yang lama 37 . Namun demikian, kewajiban penghukuman tidak hanya dibebankan kepada terdakwa sebagai atasan langsung, kewajiban penghukuman juga melekat pada Kapolda yang merupakan atasan terdakwa. Terlebih berdasarkan keterangan terdakwa, sebagai Ankum terdakwa hanya memiliki kewenangan memberikan hukuman disiplin. Pemegang kewenangan untuk meneruskan perkara pidana tersebut ke Polisi Militer atau kalau memang diduga sebagai pelanggaran HAM yang berat ke Komnas HAM adalah Kapolda. Karenanya, yang seharusnya bertanggungjawab secara pidana atas tindakan anak buahnya tidak
Basic Priciples on the Use of Force and Firearms diadopsi oleh Kongres Kedelapan PBB mengenai Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan terhadap Pelanggaran Hukum pada tahun 1990
36 37
C de Rover, To Serve and to Protect : Acuan Universal Penegakan HAM, hlm. 399
50
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
hanya berhenti di tingkat Dan Sat, namun secara berjenjang juga menjangkau tingkat yang lebih tinggi yakni Kapolda, karena kegagalannya dalam melakukan tindakan yang layak untuk menghukum anak buahnya.
D. Kesimpulan
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam proses persidangan Johny Wainal Usman di Pengadilan HAM Makasar adalah : 1. Waktu acara pemeriksaan melebihi waktu yang ditetapkan oleh Undang-Undang, walaupun hingga kini belum terdapat kejelasan apakah waktu yang dimaksud dalam Undang-Undang adalah hari persidangan atau hari kalender. 2. Terdakwa tidak ditahan walaupun tindak pidana yang didakwakan kepadanya diancam hukuman lebih dari lima tahun. 3. Terdapat ketidaksesuaian jumlah alat bukti baik surat, keterangan saksi, serta keterangan terdakwa yang dicantumkan di Berkas Perkara dengan yang dihadirkan dipersidangan. Seharusnya terdakwa ditahan untuk menghindari dugaan adanya alat-alat bukti yang sengaja dihilangkan. 4. Proses pembuktian khususnya dalam pengungkapkan fakta tidak dilakukan secara optimal oleh Hakim serta Jaksa Penuntut Umum dikarenakan berbagai hal diantaranya jadwal sidang yang padat, serta kekurangpahaman para aparat penegak hukum mengenai unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan sehingga kebenaran menjadi sulit terungkap.
51
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
BAB IV PUTUSAN
A. Fakta Hukum dan Syarat—Syarat Pemidanaan Hakim Fakta Hukum Syarat-Syarat Pemidanaan Analisa 1. Bahwa benar terdakwa Brigadir 1. Bahwa berdasarkan fakta-fakta • Dalam pertimbangan untuk menentukan Jenderal Polisi Drs Johny Wainal hukum tersebut diatas, kemudian unsur kesalahan terdakwa, hakim Usman pada Bulan November 2000 setelah dihubungkan dengan pasalmenggunakan literatur dan asas hukum sampai dengan bulan Mei 2001 pasal yang didakwakan penuntut pidana, karena hakim menganggap bahwa menjabat sebagai Komandan Satuan umum Ad Hoc terhadap terdakwa perkara yang didakwakan adalah termasuk Brimob (Dan Sat Brimob) Polda Brigadir Jenderal Polisi Drs.Johny dalam kategori tindak pidana pada umumnya. Papua/Irian Jaya di Jayapura Wainal Usman, maka Majelis Hakim Namun disisi lain hakim juga mengakui berdasarkan Surat Keputusan Kepala berpendapat harus dibuktikan dan bahwa perkara tersebut merupakan perkara Kepolisian Negara RI Nomor: dipertimbangkan terlebih dahulu pelanggaran ham berat yang oleh karenanya Skep/1343/XI/2000 tanggal 8 apakah terdakwa tersebut dapat mempunyai sifat extra ordinary. Dalam Nopember 2000, dengan pangkat dinyatakan bersalah dan dijatuhi menggunakan pertimbangannya ini hakim Superintendent (Letnan Kolonel pidana atau tidak, berdasarkan pasalmenunjukkan ketidak-konsistenannya. Polisi); pasal yang didakwakan oleh Pertimbangan hakim atas unsur adanya 2. Bahwa benar pada hari Kamis, penuntut umum Ad Hoc, baik pada kesalahan yang mengakibatkan dapat tanggal 7 Desember 2000, kira-kira dakwaan kesatu maupun pada dipidananya terdakwa dengan syarat-syarat pukul 01.30 WIT, telah terjadi dakwaan kedua; pemidanaan berdasarkan pada ajaran peristiwa penyerangan Markas 2. Bahwa untuk menentukan apakah monodualisme yaitu adanya unsur feit dan
52
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Kepolisian Sektor (Mapolsek) terdakwa tersebut dapat dinyatakan Abepura dan pembakaran toko-toko bersalah dan dijatuhi pidana atau di lingkungan Abepura yang tidak, maka berkenaan dengan hal dilakukan oleh sekelompok orang tersebut Majelis Hakim perlu yang tidak dikenal; mengemukakan syarat-syarat 3. Bahwa benar dalam peristiwa pemidanaan terlebih dahulu sebagai penyerangan Mapolsek Abepura alat ukur yang dapat dipakai untuk tersebut telah menimbulkan korban menentukan dapat atau tidaknya jiwa 1(satu) orang anggota Polsek terdakwa tersebut dipersalahkan dan Abepura meninggal dunia, yaitu dijatuhi pidana berdasarkan pasalSerka PETRUS EPA, 3(tiga) orang pasal yang didakwakan oleh anggota Polsek Abepura mengalami penuntut umum Ad Hoc, dan luka-luka, yakni Serka Mezhak mengenai syarat-syarat KARENI, Sertu DARMO dan Serma pemidanaan a quo, dalam literatur YOYOK SUGIARTO, serta kaca hukum pidana dikenal adanya jendela pecah, sebagian peralatan ajaran Monoisme dan ajaran Pos Penjagaan Polsek Abepura rusak Monodualisme; dan 1(satu) pucuk senjata laras 3. Bahwa mengenai ajaran monoisme panjang dibawa lari oleh kelompok ini banyak diiukti atau dianut oleh penyerang tersebut; sarjana-sarjana Belanda dan 4. Bahwa benar setelah kejadian Indonesia, yang antara lain adalah: tersebut, serka MEZHAK KARENI Van Hamel, Simon, Van Hattem, dalam keadaan luka-luka berusaha Uttrecht, Tirtoamijoyo, Wiryono menyelamatkan diri dan melapor Prodjodikuro dan lain-lain, bahkan kepada Perwira Piket Markas diikuti pula oleh penulis-penulis baru Komando (MAKO) Satuan Brimob seperti : J.M. Van Bemmelem, Polda Papua/Irian Jaya di Kotaraja Hazewingkel Saringa, serta beberapa dan Wira Piket tersebut bernama – hakim pidana Indonesia, hal ini ABDUL RAJAK HAMID, dengan dapay dilihay dari vonis/putusannya; 38
unsur dader yang didasarkan pada KUHP. Dalam unsur feit diisyaratkan bahwa apabila seseorang mempunyai alasan pembenar dalam melakukan suatu tindak pidana maka dia dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukannya. Salah satu unsur pembenar tersebut adalah perintah jabatan yang sah. 38 Jadi dengan demikian, dalam pertimbangan hakim karena perlakuan tidak manusiawi dalam pengejaran dan penangkapan yang dilakukan oleh anggota BRIMOB sebagai anak buah terdakwa merupakan tugas rutin yang dilakukan oleh pihak keamanan, maka hal tersebut secara implisit disimpulkan oleh hakim dapat menjadi unsur pembenar perbuatan. 39 Pertimbangan ini akan tidak bersesuaian dengan rumusan Pasal 33 Statuta Roma yang menjadi acuan dari UU No. 26 tahun 2000. Menurut rumusan Statuta Roma perintah pemerintah (yang dapat diterjemahkan juga sebagai perintah jabatan) atau atasan tidak membebaskan tanggungjawab pidana seseorang kecuali kalau: (a)orang tersebut berada dalam kewajiban hukum untuk menuruti perintah dari Pemerintah atau atasan yang bersangkutan; (b)orang tersebut tidak tahu bahwa perintah tersebut melanggar
Pasal 51 ayat (1) KUHP, lihat juga hal. 242
53
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
mengatakan Bahwa: “Mapolsek 4. Bahwa namun demikian perlu Abepura diserang oleh kelompok diketahui, dalam ajaran monoisme, orang yang tidak di kenal”; tidak membedakan unsur-unsur 5. Bahwa benar berdasarkan laporan feit (actus reus) dan unsur-unsur tersebut Perwira Piket ABDUL dader (mens rea), untuk itu maka RAJAK HAMID segera ajaran monoisme ini dianggap mempersiapkan untuk mengirim mempunyai kelemahan, antara sebanyak kurang lebih 2(dua) pleton lain adalah apabila terdakwa tidak Anggota Satuan Brimob yang terdiri dipidana, maka kadang-kadang dari Anggota Brimob Polda Irian sulit untuk menentukan amar Jaya dan Pasukan Brimob BKO dari putusan, apakah terdakwa Kelapa Dua Jakarta ke Mapolsek tersebut dibebaskan (vrijspraak) Abepura untuk mengamankan TKP, atau lepas dari segala tuntutan dan selanjutnya Perwira Piket hukum (ontslag van rechts membunyikan lonceng Panggilan vervolging), begitu pula halnya Luar Biasa (PLB) untuk semua dalam donpleger, bisa jadi tidak anggota satuan Brimob Polda Irian ada orang yang dipidana dan/atau Jaya yang ada di MAKO Brimob dihukum; Kotaraja untuk berkumpul di 5. Bahwa kemudian mengenai ajaran lapangan termasuk dalam hal ini 1 monodualisme yang dipelopori oleh (satu) kompi Anggota Satuan Herman Kantrowiez dalam bukunya Brimob Resimen III Kelapa Dua Tat Und Schuld (seorang sarjana Jakarta yang telah berada di Jerman), yang kemudian ajaran ini Jayapura sejak 1 Desember 2000 diikuti oleh Hukum Acara Pidana dengan pakaian seragam lengkap, Belanda, seperti dapat dilihat pada dilengkapi dengan senjata api jenis pasal 350 dalam Hukum Acara SS 1 dan amunisi peluru hampa, Pidana Belanda tersebut, dan di peluru karet dan peluru tajam; Indonesia ajaran monodualisme ini 6. Bahwa benar sesampainya dipelopori oleh Prof.Muljatno, 39
hukum; dan (c)perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum. Rumusan Pasal 33 ini bersifat kumulatif, artinya untuk dapat digunakan sebagai alasan pembenar dalam membebaskan diri dari tanggung jawab pidana, maka ketiga-tiganya harus dipenuhi secara bersama-sama. Sifat kumulatif ini sangat ketat karena kalau satu unsur saja tidak dipenuhi maka orang yang melakukan tindak pidana tersebut tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sementara itu, selanjutnya Pasal 33 ayat (2) menegaskan bahwa perintah untuk melakukan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan jelas-jelas melawan hukum. Berdasar pertimbangan tersebut diatas, bagaimana mungkin hakim akan menyatakan bahwa peristiwa pengejaran dan penangkapan yang mengakibatkan perlakuan tidak manusiawi tersebut merupakan tugas rutin pengamanan yang harus dijalankan oleh anggota BRIMOB?
Putusan Pengadilan, hal. 272
54
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
dilingkaran Abepura pada saat Prof.Ruslan Saleh, Prof.A.Zainal sebagian anggota Brimob turun dari Abidin, Prof.Andi Hamzah dan lainbus Brimob terjadi penembakan lainnya; kearah bus brimob dari orang yang 6. Bahwa berbeda halnya dengan ajaran tidak dikenal dan kemudian monoisme, ajaran monodualisme ini mengenai 2(dua) orang anggota secara teknis terlebih dahulu Brimob yang masih berada di dalam memisahkan antara unsur feit bus Brimob masing-msing bernama : (actus reus/unsur perbuatan atau 1.Heru Sutrisno, sopir Bus Brimob, unsur obyektif) dengan unsur 2. David Indra Irwanto. Dan satu dader (mens rea/unsur orang diantaranya meninggal dunia pembuat/unsur subyektif/yang yaitu : David Indra Irwanto, dan satu melaksanakan perbuatan) tersebut orang yang bernama : Heru Sutrisno yaitu sebagai berikut: menderita luka; 1) unsur Feit yakni: 7. Bahwa benar setelah mengantar a. perbuatan terdakwa harus pasukan Brimob ke Mapolsek mencocoki rumusan delik yang Abpura, lalu Perwira Piket didakwakan; melaporkan tentang peristiwa b. bersifat melawan hukum; penyerangan tersebut kepada c. tidak ada alasan pembenar, terdakwa dan terdakwa langsung yang antara lain: memerintah Perwira Piket untuk - daya paksa absolut dan keadaan mengumpulkan anggota yang masih darurat (pasal 48 KUHP); ada di Markas Brimob Kotaraja; - pembelaan terpaksa/nodweer 8. Bahwa benar sebelum Dan Sat (pasal 49 ayat (1) KUHP) Brimob (terdakwa) memberikan - perintah jabatan yang sah (pasal APP kepada anggota satuan Brimob 51 ayat (1) KUHP); yang telah berkumpul pada saat itu, - menjalankan perintah/ketentuan terlebih dahulu menelpon undang-undang (pasal 50 KUHP); Wakapolda – Irjen 2. Unsur-unsur dalam dader, Pol.Drs.MOERSOETIDARNO yakni: MOERHADI, dan melaporkan a. kesalahan (dalam arti luas
55
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Bahwa : “Mapolsek Abepura telah meliputi sengaja dan culpa) diserang oleh sekelompok orang b. Kemampuan bertanggungjawab yang tidak dikenal dan telah c. tidak ada alasan pemaaf, yang menimbulkan korban jiwa 1(satu) meliputi: orang yang meninggal dunia dan - daya paksa relatif (pasal 48 3(tiga) orang mengalami luka parah” KUHP) yang selanjutnya Wakapolda - melampaui batas pembelaan memerintahkan terdakwa untuk (pasal 49 ayat (2), pasal 51 ayat membantu Polsek Abepura serta (2)) mengejar dan menangkap para 7. Bahwa teknik monodualisme pelaku penyerangan Mapolsek tersebut diatas mengajarkan Abepura tersebut; apabila salah satu unsur feit/unsur 9. Bahwa benar pada saat peristiwa perbuatan tidak terpenuhi, maka penyerangan Mapolsek terjadi, tidak pemidanaan, dengan amar Kapolda tidak berada ditempat tapi putusannya berbunyi : sedang berada di Sorong, sehingga “dibebaskan” (vrijspraak); terdakwa melaporkan kejadian sedangkan kalau unsur feit tersebut kepada Wakapolda; terpenuhi dan salah satu unsur 10. Bahwa benar dalam apel tersebut dader tidak terpenuhi, maka juga sesuai dengan perintah Wakapolda tidak ada pemidanaan, akan tetapi terdakwa memberikan APP dan amar putusannya menyampaikan Bahwa “Mapolsek berbunyi”dilepaskan dari Abepura baru saja diserang oleh tuntutan hukum”(onstlag van kelompok orang yang tidak dikenal, rechtsvervolging), kemudian kalau maka bantu Polsek Abepura unsur feit dan unsur dader mengejar dan menangkap mereka terpenuhi akan tetapi tidak ada yang diduga sebagai pelaku alasan pembenar ataupun alasan penyerangan Mapolsek Abepura pemaaf, maka terdakwa dijatuhi tersebut”; pidana. Oleh karena itu maka 11. Bahwa benar disamping ajaran monodualisme mempunyai penyerangan terhadap Mapolsek kelebihan dibandingkan dengan
56
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Abepura juga terjadi penyerangan ajaran Monoisme dan dalam hal terhadap Kantor Dinas Otonom ini dapat dikatakan sangat Propinsi Papua pada saat setelah membantu para hakim dalam terjadi penyerangan terhadap menangani setiap perkara pidana; Mapolsek Abepura yang dilakukan 8. Bahwa dari apa yang telah diuraikan oleh sekelompok orang yang diatas maka sekarang timbul bersenjata tajam dan membawa pertanyaan, apakah terhadap perkara busur serta membunuh seorang yang didakwakan atas diri terdakwa anggota satpam kantor tersebut yang Brigjen Pol Drs. Johny Wainal bernama: MARKUS PADAMA; Usman, dalam hal penentuan 12. Bahwa benar pada pukul 02.30 WIT, bersalah atau tidak dan dapat dijatuhi setelah terjadinya penyerangan pidana atau tidaknya terdakwa aquo Mapolsek Abepura, anggota satuan dapat menggunakan ajaran Brimob dibawah pimpinan Bripka monodualisme tersebut sebagai alat HANS FAIRNAP melakukan ukur? Dan untuk menjawab pengejaran dan penyekatan ke pertanyaan tersebut, maka menurut Asrama NINMIN dan menangkap Majelis Hakim perlu diperhatikan 27 (dua puluh tujuh) orang penghuni jenis perkara yang didakwakan atas asrama, kemudian membawa mereka diri terdakwa tersebut; ke Mapolsek Abepura dan terus 9. Bahwa perkara yang didakwakan dibawa ke Mapolres Jayapura; atas diri terdakwa aquo adalah 13. Bahwa benar terdakwa menyerahkan perkara pelanggaran HAM yang anggota Brimob sebanyak 1(satu) berat berupa Kejahatan Terhadap pleton kepada Kapolsek dalam Kemanusiaan dan itu merupakan rangka memback-up polsek salah satu dari jenis perkara pidana, Abepura, dan pada saat hanya saja yang membedakan antara menyerahkan anggota Brimob perkara pidana pada umumnya kepada Kapolsek Abepura, terdakwa dengan perkara pelanggaran HAM mengatakan:”ini anggota Brimob berat adalah Bahwa pelanggaran silahkan perintah:’ HAM berat merupakan suatu perkara 14. Bahwa benar pada kurang lebih yang bersifat extraordinary Crimes,
57
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
pukul 05.30 anggota satuan Brimob dibawah pimpinan Bripka ZAWAL HALIM melakukan pengejaran dan penangkapan kepemukiman warga Kotalima Memberamo dan Warga Wamena Barat di Abepantai dan kemudian menangkap 4(empat) orang penduduk sipil, dan kemudian membawa mereka ke Mapolres Jayapura; 15. Bahwa benar kira-kira pukul 05.30 WIT anggota satuan Brimob lainnya dibawah pimpinan Iptu SURYO SUDARMADI melakukan pengejaran dan penangkapan ke Asrama Yapen Waropen (YAWA) dan menangkap 5 (lima) orang penghuni asrama tersebut, kemudian membawa mereka ke Mapolres Jayapura; 16. Bahwa benar kira-kira pukul 09.30 WIT anggota satuan Brimob dibawah pimpinan Brigpol JOHN FREDERIK KAMODI, melakukan pengejaran dan penangkapan ke pemukiman Skylne, dan menagkap 1(satu) orang penduduk sipil; 17. Bahwa benar kira-kira pukul 08.00 WIT anggota satuan Brimob lainnya melakukan pengejaran dan penangkapan ke Pemukiman warga
dimana ia merupakan lex Specialis dari perkara-perkara pidana pada umumnya, namun perlu diketahui walaupun perkara yang didakwakan atas diri terdakwa a quo merupakan perkara pelanggaran HAM yang berat (extraordinary crimes), yang berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional, dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam KUHP pada umumnya, namun perlu diketahui Bahwa perkara yang didakwakan atas diri terdakwa aquo juga merupakan perkara pidana, maka untuk itu menurut Majelis Hakim ajaran Monodualisme tersebut dapat dipergunakan sebagai alat ukur dalam penentuan bersalah atau tidak dan dapat dipidana atau tidaknya terdakwa Brigjen Pol Drs.Johny Wainal Usman tersebut;
58
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
suku Memberamo dan Wamena Barat di Jalan baru Kotaraja dan menangkap 48 (empat puluh delapan) orang penduduk sipil, kemudian membawa mereka ke MAKO Brimob Kotaraja dan oleh terdakwa diperintah untuk membawa orang-orang tersebut ke Mapolres Jayapura; 18. Bahwa benar kira-kira pukul 23.00 WIT anggota satuan Brimob yang lain melakukan pengejaran dan penangkapan ke Asrama Ikatan Mahasiswa Ilaga (IMI) dan menangkap 14 (empat belas) orang penduduk sipil, kemudian membawa mereka ke Mapolres jayapura; 19. Bahwa benar jumlah penduduk sipil yang telah ditangkap oleh Satuan Brimob adalah sebanyak 99 (sembilan puluh sembilan) orang, dan dalam melakukan pengejaran dan penangkapan telah terjadi ekses yaitu berupa tindakan kekerasan dengan cara memukuli terhadap anggota masyarakat dengan popor senjata dan menendangnya dengan sepatu laras, serta perlakuan lainnya yang tidak manusiawi, sehingga anggota masyarakat tersebut menderita luka-luka pada bagian
59
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
kepala, punggung, muka, tangan, kaki dan badannya; 20. Bahwa benar salah seorang dari anggota masyarakat yang bernama AGUS KABAK telah ditembak oleh anggota Brimob dan Polisi dengan menggunakan peluru tajam yang mengenai dada kanan tembus ke dinding perut, dan mengakibatkan terjadi pendarahan pada rongga dada kanan, rongga perut dan juga terjadi luka robek pada hati (vide visum et repertum Nomor 353/59 tanggal 18 April 2002 atas nama AGUS KABAK) dan menembak ELKIUS SUHUNIAP dengan menggunakan peluru tajam, yang mengenai punggung sebelah kiri tembus kebagian dada sebelah kanan, jantung dan pembuluh darah besar jantung robek (vide visum et repertum nomor 353/174 tanggal 13 Desember 2000 atas nama ELKIUS SUHUNIAP); 21. Bahwa benar pada tanggal 7 Desember 2000 kira-kira pukul 03.00 s/d 06.00 WIT terdakwa berada di Mapolsek Abepura dan sekitarnya, setelah pukul 06.00 terdakwa kembali ke rumah untuk mandi dan ganti pakaian, kemudian
60
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
menuju ke Mako Brimob Kotaraja; 22. Bahwa benar pada waktu anggota satuan Brimob Polda Papua/Irian Jaya membantu anggota Polsek Abepura dan Polres Jayapura melakukan penangkapan terhadap sejumlah penduduk sipil di Asrama NINMIN, Asrama IMI, Asrama YAWA, pemukiman di Jalan Baru Kotaraja, Pemukiman di Abepantai dan Skyline, terdakwa selaku Dan Sat Brimob Polda Papua/Irian Jaya tidak pernah melakukan upaya pencegahan terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota satuan Brimob Polda Irian Jaya yang berada dibawah kekuasaan dan pengendaliannya, sehingga terjadilah peristiwa penganiayaan dan penembakan terhadap penduduk sipil tersebut; 23. Bahwa benar terhadap anggota satuan Brimob yang melakukan tindakan kekerasan itu oleh terdakwa atas perintah Kapolda telah dilakukan penyelidikan dengan cara terdakwa memerintahkan provost Brimob untuk melakukan penyelidikan terhadap anggotaanggota yang diduga telah melakukan pelanggaran HAM yang
61
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
berat in casu Kejahatan Terhadap Kemanusiaan; 24. Bahwa benar dari hasil penyelidikan terhadap anggota yang diduga telah melakukan pelanggaran HAM berat tersebut ternyata tidak ditemukan; 25. Bahwa benar terdakwa telah menjatuhkan hukuman disiplin terhadap anggota yang telah melakukan pelanggaran disiplin, masing-masing anggota tersebut adalah: 1.Drs. Yosi Muhamartha, dengan hukuman teguran, 2.Suryo Sudarmadji, dengan hukuman teguran, 3.Abdul Rajak Hamid, dengan hukuman teguran, 4. Sawalauddin, dengan hukuman teguran, 5. John Frederik Kamodi, dengan hukuman Penahanan Ringan selama 14(empat belas) hari terhitung mulai tanggal 18 Januari 2001 s/d tanggal 1 Pebruari 2001, 6.Frans Fairnap, dengan hukuman Penahanan Ringan selama 14 hari terhitung mulai tanggal 18 Januari 2001 s/d tanggal 1 Pebruari 2001; 26. Bahwa benar pada saat peristiwa penyerangan terhadap Polsek Abepura tanggal 7 Desember 2000, Korps Polisi Republik Indonesia masih berada dalam kesatuan
62
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Tentara Nasional Indonesia (TNI), oleh karena itu Polisi Republik Indonesia tunduk pada hukum militer;
B. Dakwaan Jaksa dan Pertimbangan Hakim 1.Dakwaan Jaksa dan Pertimbangan Hakim Dakwaan Jaksa 1. Melanggar ketentuan-ketentuan Pasal 42 (2) huruf (a) dan (b) jis Pasal 7 huruf (b), pasal 9 huruf (a) dan Pasal 37 Undang-Undang 26/2000
Pertimbangan Hakim Dari dakwaan pertama tersebut Majelis Hakim merincikan unsurunsur yang perlu dibuktikan yakni : 1. Unsur Atasan Polisi bertanggungjawab secara pidana 2. Unsur Pelanggaran HAM berat yang dilakukan anak buahnya 3. Unsur Atasan tidak melakukan pengendalian secara patut dan benar 4. Unsur Mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukan bahwa bawahannya sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yang berat 5. Unsur Atasan tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
63
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
2. Melanggar ketentuan-ketentuan Pasal 42 (2) huruf (a) dan (b) jis Pasal 7 huruf (b), pasal 9 huruf (h) dan Pasal 40 Undang-Undang 26/2000
6. Unsur kejahatan terhadap kemanusiaan berupa Pembunuhan Dari dakwaan kedua tersebut Majelis Hakim merincikan unsur-unsur yang perlu dibuktikan yakni : 1. Unsur Atasan Polisi bertanggungjawab secara pidana 2. Unsur Pelanggaran HAM berat yang dilakukan bawahannya 3. Unsur Atasan tidak melakukan pengendalian secara patut dan benar 4. Unsur Mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukan bahwa bawahannya sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yang berat 5. Unsur Atasan tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan 6. Unsur kejahatan terhadap kemanusiaan berupa “Penganniayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari pesamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebgai hal yang dilarang menurut hukum Internasional.”
Menimbang bahwa sebelum sampai pada pembuktian unsur-unsur di atas, terlebih dahulu diuraikan hal-hal berikut : Delik pokok yang didakwakan pada dakwaan pertama dan kedua adalah mengenai pelanggaran HAM yang berat. Pokok dari pelanggaran HAM yang berat pada dakwaan tersebut terletak pada pasal 9 UU 26/2000 yaituu pelanggaran HAM yang berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan, maka secara mutatis mutandis
64
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
mengambil alih pertimbangan Dakwaan kesatu tersebut menjadi pertimbangan dakwaan kedua sehingga Majelis Hakim berkesimpulann bahwa terhadap dakwaan kedua ini juga tidak dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Sehingga terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan kedua tersebut. 2. Rincian Setiap Unsur dan Pertimbangan Hakim Rincian unsur-unsur yang dibuat oleh Majelis Hakim dalam putusannya akan dibagi menjadi yaitu (a) rincian unsur yang berkaitan dengan tanggung jawab atasan (komando) dan (b) rincian unsur yang berkaitan dengan adanya pelanggaran ham berat yang dilakukan oleh bawahan yaitu berupa pembunuhan dan penganiayaan. Berikut kajian detil terhadap rincian unsur-unsur tersebut.
a. Unsur Atasan Polisi yang mempunyai kendali efektif atas anak buahnya, (ii) unsur mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahannya sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yang berat, (iii) unsur tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
Fakta Hukum yang Diterima Hakim Pertimbangan Hakim Analisa 1. Bahwa benar terdakwa Brigadir Yang dimaksud dengan seorang atasan polisi Jenderal Polisi Drs Johny Wainal dalam unsur ini adalah seoranng polisi karena
65
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Usman pada Bulan November 2000 sampai dengan bulan Mei 2001 menjabat sebagai Komandan Satuan Brimob (Dan Sat Brimob) Polda Papua/Irian Jaya di Jayapura berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor: Skep/1343/XI/2000 tanggal 8 Nopember 2000, dengan pangkat Superintendent (Letnan Kolonel Polisi); 2. Bahwa benar sebelum Dan Sat Brimob (terdakwa) memberikan APP kepada anggota satuan Brimob yang telah berkumpul pada saat itu, terlebih dahulu menelpon Wakapolda – Irjen Pol.Drs.MOERSOETIDARNO MOERHADI, dan melaporkan Bahwa : “Mapolsek Abepura telah diserang oleh sekelompok orang yang tidak dikenal dan telah menimbulkan korban jiwa 1(satu) orang yang meninggal dunia dan 3(tiga) orang mengalami luka parah” yang selanjutnya Wakapolda memerintahkan terdakwa untuk membantu Polsek Abepura serta 40 41
jabatan dengan Surat Keputusan Doktrin pertanggungjawaban komandan/atasan Pengangkatannya sebagai Komandan/Kepala Satuan pada salah satu unit di lingkungan ini terbagi tiga aspek 40 : POLRI, yang membawahi beberapa anggota polisi yang berada di bawahnya. 1. Aspek Fungsional : Bahwa kedudukan seorang komandan harus menimbulkan Berdasarkan alat bukti keterangan saksi serta kewajiban untuk bertindak. bukti surat yang dihadirkan ke persidangan 2. Aspek kognitif : Seorang komandan ‘harus terungkap bahwa pada saat peristiwa memiliki pengetahuan’ (must have known) penyerangan Polsek Abepura, pembakaran atau ‘seharusnya memiliki pengetahuan’ ruko, pembunuhan satpam serta pembakaran (should have known) tentang kejahatan; kantor otonomi, terdakwa menjabat sebagai 3. Aspek Operasional : Harus ada kegagalan Dan Sat Brimob Polda Irian Jaya. (failure) 41 untuk bertindak yang dilakukan komandan. Menimbang bahwa bentuk pertanggungjawaban ini tidak hanya berlaku bagi komandan militer tetapi juga non militer seperti Kepala Negara/Pemerintahan seperti Berdasarkan ketiga aspek diatas, unsur pada praktek kasus Hirota, Karadzic dan pertanggungjawaban komando yang pertama kali harus dibuktikan adalah posisi terdakwa Mladic, Akayesu serta Kambanda, Selain itu seseorang baru dapat dikenakan sebagai seorang atasan. Dengan demikian, pertanggungjawaban atas tindakan yang penentuan unsur atasan sebagai unsur pertama dilakukan orang lain apabila telah memenuhi yang harus dibuktikan oleh Majelis Hakim dua elemen yakni (1) pengetahuan, dan (2) adalah tepat. gagal untuk mencegah. Selanjutnya, alat bukti dan keterangan saksi Menimbang, di samping prinsip pertanggungjawaban komando maka dikenal
E. van Sliedregt, The Criminal Responsibility of Individuals for Violation of IHL, T.M.C Asser Press, The Hague,2003. hlm.135 Pengertian “kegagalan/Failure” hendaknya diartikan secara luas mencakup pengertian “tidak melakukan/tidak melakukan tindakan yang layak”.
66
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
mengejar dan menangkap para pelaku penyerangan Mapolsek Abepura tersebut; 3. Bahwa benar pada tanggal 7 Desember 2000 kira-kira pukul 03.00 s/d 06.00 WIT terdakwa berada di Mapolsek Abepura dan sekitarnya, setelah pukul 06.00 terdakwa kembali ke rumah untuk mandi dan ganti pakaian, kemudian menuju ke Mako Brimob Kotaraja; 4. Bahwa benar pada waktu anggota satuan Brimob Polda Papua/Irian Jaya membantu anggota Polsek Abepura dan Polres Jayapura 42
43
juga prinsip pertanggungjawaban secara individu yang mulai dikembangkan dalam praktek internasional dan diadopsi dalam Statuta Roma di mana telah mengenyampingkan beberapa Prinsip Hukum Umum yakni : (1) seorang pejabat tidak dapat dituntut sebagai individu karena kebijaksanaan yang dilakukan (2) pejabat tidak dapat dituntut terhadap tindakan yang dilakukan dalam kapasitas sebagai pejabat
juga mendukung pertimbangan hakim bahwa pada saat terjadinya penyerangan terdakwa menjabat sebagai Dan Sat di mana tugasnya adalah
membina,
melatih
anggota
dan
menyiapkan untuk dihadapkan pada tugas-tugas berintensitas tinggi, yang utamanya adalah kejahatan yang menggunakan senjata api, dan
Dengan demikian menurut Majelis Hakim terdakwa dapat bertanggungjawab terhadap
Berkas Perkara…op.cit,hlm.218
Lihat Bab 3 mengenai pembuktian unsur atasan.
Lihat Berkas Perkara…op.cit, hlm. 218. 45 Lihat Pasal 42 (1) dan (2) Undang-Undang 26/2000, dalam Pasal itu diyatakan bahwa : (1) komandan militer atau seseorang yg secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam jurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukannya pengendalian pasukan secara patut, yaitu :komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu, seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yg berat; dan B. Komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yg layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya pada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan (2) seseorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya bertangungjawab secara pidana terhadap pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni: 44
A. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yg secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yg berat; dan B. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya pada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan (huruf tebal dari penulis)
67
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
melakukan penangkapan terhadap sejumlah penduduk sipil di Asrama NINMIN, Asrama IMI, Asrama YAWA, pemukiman di Jalan Baru Kotaraja, Pemukiman di Abepantai dan Skyline, terdakwa selaku Dan Sat Brimob Polda Papua/Irian Jaya tidak pernah melakukan upaya pencegahan terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota satuan Brimob Polda Irian Jaya yang berada dibawah kekuasaan dan pengendaliannya, sehingga terjadilah peristiwa penganiayaan dan penembakan terhadap penduduk sipil tersebut; 5. Bahwa benar terhadap anggota satuan Brimob yang melakukan tindakan kekerasan itu oleh terdakwa atas perintah Kapolda telah dilakukan penyelidikan dengan cara terdakwa memerintahkan provost Brimob untuk melakukan penyelidikan terhadap anggota-anggota yang diduga telah melakukan pelanggaran HAM yang berat in casu Kejahatan Terhadap Kemanusiaan; 6. Bahwa benar dari hasil penyelidikan terhadap anggota yang
apa yang dilakukan pasukan brimob sebagai bahan peledak, pelaku-pelaku terror serta bawahannya yang ditugaskan untuk membantu POLSEK Abepura dalam upaya pelaku pemberontakan 42 . Tidak ada keraguan pengejaran dan penangkapan orang-orang yang diduga melakukan penyerangan Polsek Majelis Hakim dalam hal ini mengenai posisi Abepura atasan terdakwa dan keharusan mengendalikan Menimbang, bahwa beradasarkan uraian dan pertimbangan di atas Majelis Hakim anak buahnya walaupun beberapa keterangan menyatakan bahwa sepanjang mengenai apa yang dimaksud dengan unsur “seorang atasan saksi mengatakan bahwa setelah di BKO kan Polisi bertanggungjawab secara pidana” dapat dibuktian. kewenangan pengendalian ada di tangan komandan satuan wilayah dalam hal ini Kapolre/Kapolsek (de jure commander).
Walaupun demikian, fakta di persidangan memperlihatkan memiliki
bahwa
kewenangan
commander,
di
mana
terdakwa sebagai
masih
de
facto
perintahnya
masih
dipatuhi anak buahnya. 43 Dalam kasus Celebici
68
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
diduga telah melakukan pelanggaran HAM berat tersebut ternyata tidak ditemukan; 7. Bahwa benar terdakwa telah menjatuhkan hukuman disiplin terhadap anggota yang telah melakukan pelanggaran disiplin, masing-masing anggota tersebut adalah: 1.Drs. Yosi Muhamartha, dengan hukuman teguran, 2.Suryo Sudarmadji, dengan hukuman teguran, 3.Abdul Rajak Hamid, dengan hukuman teguran, 4. Sawalauddin, dengan hukuman teguran, 5. John Frederik Kamodi, dengan hukuman Penahanan Ringan selama 14(empat belas) hari terhitung mulai tanggal 18 Januari 2001 s/d tanggal 1 Pebruari 2001, 6.Frans Fairnap, dengan hukuman Penahanan Ringan selama 14 hari terhitung mulai tanggal 18 Januari 2001 s/d tanggal 1 Pebruari 2001;
dijelaskan bahwa: “Pengendalian yang efekif” adalah
bahwa
seorang
komandan
harus
memiliki kemampuan untuk mencegah dan menghukum anak buahnya yang melakukan tindak pidana. Pengertian “effective” dalam hal ini berarti “nyata/benar-benar” sesuai teks asli Satuta Roma yang ditulis dalam bahasa Inggris atau dengan kata lain pengendalian secara de facto.
Selanjutnya, pengkategorian terdakwa sebagai Atasan Sipil menngundang pertanyaan karena pada saat kasus terjadi Kepolisian masih berada di bawah kesatuan Tentara Nasional Indonesia. Selain itu, terdakwa adalah Komandan Satuan Brimob, di mana tugas dan tanggungjawab Brimob berbeda dengan polisi lainnya yakni terfokus pada tugas-tugas yang berintensitas tinggi, yang utamanya adalah kejahatan yang terorganisir, menggunakan senjata api dan bahan peledak, pelaku-pelaku terror dan pelaku
69
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
pemberontakan 44 . Operasi yang dilancarkan terhadap kelompok separatis, tidak berbeda dengan operasi militer selain perang, walaupun dilakukan polisi. Tentu saja dengan tugas yang berbeda tersebut berimplikasi pada perbedaan senjata yang digunakan serta Rules of Engangement (aturan perlibatan) yang berbeda dengan satuan kepolisian lain. Apakah dengan demikian Brimob masih dapat disamakan dengan atasan sipil? Pada prinsipnya, tidak ada perbedaan yang sangat mendasar antara pertanggungjawaban yang dibebankan pada atasan militer dan sipil. Perbedaannya hanyalah pada “mens rea” (unsur niat), di mana seorang atasan militer memiliki kewajiban untuk mengetahui atau kalau ia tidak tahu , ia “seharusnya mengetahui (should have known”) atas tindakan bawahannya. Jadi, komandan militer tidak bisa mengelak dari pertanggungjawaban komandan karena alasan ia tidak tahu mengenai tindakan yang sedang dilakukan bawahannya. Berbeda dengan atasan sipil, mereka akan dikenakan pertanggungjawaban atasan jika mereka “mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi”, dengan demikian mereka bisa mengelak dari pertanggungjawaban ini jika mereka tidak memiliki pengetahuan dan tidak mengabaikan informasi. 45 Hal ini dikarenakan hierarkis militer yang begitu teratur dan
70
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
kewajiban komandan untuk selalu membangun sistem pelaporan yang efektif sehingga menjadikannya selalu terinformasi atas apa yang akan,sedang dan telah dilakukan anak buahnya. Namun jika dilihat dari segi hierarkis, Satuan Kepolisian memiliki hierarkis yang kurang lebih sama dengan militer, sehingga seharusnya atasan polisi juga memiliki kewajiban untuk selalu membangun sistem pelaporan yang efektif sehingga menjadikan dirinya selalu terinformasi tentang apa yang akan, sedang atau telah dilakukan anak buahnya dan mereka tidak dapat mengelak dengan alasan “tidak memiliki pengetahuan”. Dalam hal kelengkapan untuk memperoleh informasi sebetulnya polisi tidak berbeda dengan militer, karena sama-sama memiliki sistem pelaporan berjenjang yang sma dan bahkan biasanya memiliki satuan intelejen. Oleh karena itu ”unsur pengetahuan” bagi aparat militer maupun polisi/sipil tidak lah berbeda. Pertimbangan Majelis hakim dalam mengambil kesimpulan akan adanya pertanggungjawaban pidana yang dibebankan pada terdakwa tidak jelas dan membingungkan. Majelis hakim tidak
71
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
menghubungkan antara fakta hukum yang diterimanya dengan pertimbangan hukum yang diuraikan guna mengambil kesimpulan yang mempunyai dasar argumen yang kuat. Dalam fakta hukum yang diterimanya, semua unsurunsur
pertanggungjwaban
terpenuhi,
namun
fakta-fakta
atasan
telah
hukum
ini
ditinggalkan dalam pertimbangan hukum yang dibuatnya (kecuali fakta hukum yang menunjuk bahwa terdakwa adalah sebagai atasan de jure), sekalipun akhirnya Majelis Hakim menyatakan bahwa
unsur
pertanggungjawaban
atasan
terpenuhi.
Kesimpulan :
72
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Hakim dalam mempertimbangkan unsur ”atasan yang harus bertanggungjawab secara pidana” telah sesuai dengan doktrin pertanggungjawaban komando yang dikembangkan dalam praktek internasional. Namun demikian, Hakim hanya mendasarkan pada teori bahwa terdakwa adalah de jure commander, padahal pada prakteknya, terdakwa juga berperan sebagai de facto commander. Walaupun pertanggungjawaban de jure dan de facto commander adalah sama, namun hal ini tetap penting untuk ditekankan agar supaya hal ini tidak menjadi celah bagi terdakwa untuk membebaskan diri. Selain itu, keputusan Majelis Hakim yang mengkategorikan terdakwa sebagai atasan sipil memperlihatkan bahwa Hakim tidak cermat menganalisa hasil pembuktian di persidangan. Walaupun penentuan atasan sipil ini mendasarkan pada dakwaan Penuntut Umum, namun seharusnya hakim dapat mengkritisi dakwaan tersebut dengan memutuskan bahwa terdakwa seharusnya didakwa atas pasal 42 (1) yakni sebagai atasan militer. Walaupun pada prinsipnya tidak ada perbedaan mendasar, namun hal ini akan sangat berpengaruh pada pembuktiann unsur ”mengetahui” dari seorang atasan/komandan.
b. Unsur pelanggaran HAM berat yang dilakukan bawahannya berupa pembunuhan dan penganiayaan Fakta Hukum 1. Bahwa benar pada pukul 02.30 WIT, setelah terjadinya penyerangan Mapolsek Abepura, anggota satuan Brimob dibawah pimpinan Bripka HANS FAIRNAP melakukan pengejaran dan penyekatan ke Asrama NINMIN dan menangkap 27 (dua puluh tujuh) orang penghuni asrama, kemudian membawa mereka ke Mapolsek Abepura dan terus dibawa ke Mapolres
Pertimbangan Hakim
Analisa Fakta hukum yang diterima oleh hakim dalam unsurMenimbang bahwa yang dimaksud dalam unsur ini sangat terbatas. pelanggaran HAM yang berat dalam • Pertimbangan hakim dalam memutuskan tidak dakwaan adalah kejahatan terhadap adanya pelanggaran ham yang dilakukan oleh kemanusiaan. bawahan terdakwa kurang meyakinkan. • Untuk unsur meluas dapat dibuktikan melalui Yang dimaksud bawahan dalam hal ini fakta bahwa jumlah korban cukup besar, jumlah adalah setiap orang yang memiliki atasan personil kepolisian yang dikerahkan cukup besar yang dapat mengarahkan pekerjaan juga, serangan dilakukan tidak hanya sekali tetapi dan/atau tugasnya. minimal 5 kali, diberbagai tempat yang berbedabeda dan dalam waktu yang berbeda beda pula Menimbang bahwa kejahatan terhadap serta ditujukan terhadap penduduk sipil kemanusiaan mulai dikembangkan sejak • Untuk sampai pada kesimpulan tersebut diatas, Deklarasi St. Peterburg dan pengaturannya argumentasi yang dikemukakan hakim sangat terus berkembang hingga praktek-praktek
73
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Jayapura; 2. Bahwa benar terdakwa menyerahkan anggota Brimob sebanyak 1(satu) pleton kepada Kapolsek dalam rangka memback-up polsek Abepura, dan pada saat menyerahkan anggota Brimob kepada Kapolsek Abepura, terdakwa mengatakan:”ini anggota Brimob silahkan perintah:’ 3. Bahwa benar pada kurang lebih pukul 05.30 anggota satuan Brimob dibawah pimpinan Bripka ZAWAL HALIM melakukan pengejaran dan penangkapan kepemukiman warga Kotalima Memberamo dan Warga Wamena Barat di Abepantai dan kemudian menangkap 4(empat) orang penduduk sipil, dan kemudian membawa mereka ke Mapolres Jayapura; 4. Bahwa benar kira-kira pukul 05.30 WIT anggota satuan Brimob lainnya dibawah pimpinan Iptu
ICTY, ICTR dan berujung pada terbentuknya Rome Statute on the Establishment of International Criminal Court. Upaya masyakat untuk memerangi kejahatan ini juga diintensifkan dengan diakuinya Prinsip Yurisdiksi Universal, di mana “no safe heaven” bagi pelaku kejahatan terhadap kemansiaan. Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang 26/2000, Majelis Hakim dapat merincikan unsur delik sebagai berikut : 1. Adanya serangan meluas dan sistematis 2. Serangan tersebut ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil Add 1 : Serangan yang meluas dan sistematis a. Serangan Berdasarkan Otto Trifterer (ed), Commentary on the Rome Statute of the ICC, Majelis Hakim merincikan bahwa serangan mengandung hal-hal sebagai berikut : (1) dilakukan secara berganda, (2) bukan semata-mata serangan militer tapi juga non militer, (3) ditujukan kepada
lemah dan tidak konsisten. Pertama-tama hakim menggunakan interpretasi historis yaitu penafsiran berdasarkan sejarah hukumnya. Hakim menafsirkan pemahaman kejahatan terhadap kemanusiaan dari sejak Deklarasi St Petersburg tahun 1868 sampai dengan pembentukan UU No. 26 tahun 2000. Namun demikian sampai taraf ini, hakim belum memberikan kesimpulan yang cukup berarti dan belum mampu menunjukkan apa fungsi penafsiran historis ini dalam membangun argumentasi yang diyakini. Seharusnya hakim sudah bisa menggali dinamika nilai-nilai kemanusiaan yang tumbuh dan berkembang dari penelusuran sejarah lahirnya ketentuan ini. Dari penafsiran ini hakim hanya sampai pada kesimpulan untuk menunjukkan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan yang disebutkan dalam Pasal 9 UU No. 26 tahun 2000 yang selanjutnya dijadikan titik pangkal hakim dalam melakukan penafsiran berdasar bahasa yang digunakan dalam ketentuan (interpretasi gramatikal) Selanjutnya, dari uraian pertimbangan Hakim tersebut, terlihat bahwa Majelis Hakim menyadari betul bahwa tindak pidana ini adalah sesuatu yang baru dalam sistem hukum di Indonesia. Hakim mencoba untuk menguraikan kejahatan ini secara komprehensif, sejak latar belakang sejarah hingga tercantumnya dalam Statuta Roma. Namun, uraian ini tampak berlebihan dan tidak bermakna, ketika pada
74
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
SURYO SUDARMADI melakukan pengejaran dan penangkapan ke Asrama Yapen Waropen (YAWA) dan menangkap 5 (lima) orang penghuni asrama tersebut, kemudian membawa mereka ke Mapolres Jayapura; 5. Bahwa benar kira-kira pukul 09.30 WIT anggota satuan Brimob dibawah pimpinan Brigpol JOHN FREDERIK KAMODI, melakukan pengejaran dan penangkapan ke pemukiman Skylne, dan menagkap 1(satu) orang penduduk sipil; 6. Bahwa benar kira-kira pukul 08.00 WIT anggota satuan Brimob lainnya melakukan pengejaran dan penangkapan ke Pemukiman warga suku Memberamo dan Wamena Barat di Jalan baru Kotaraja dan menangkap 48 (empat puluh delapan) orang penduduk sipil, kemudian membawa mereka ke
penduduk sipil.
akhirnya Hakim menafsirkan unsur-unsur “serangan meluas atau sistematis” hanya menyandarkan pada b. Meluas Penjelasan Pasal 9 UU 26/2000, dan tidak pada Meluas berarti menunjuk pada korban yang penguraian unsur-unsur berdasarkan putusan banyak, dilakukan berulang kali dalam pengadilan internasional (ICTY dan ICTR). jangka yang tiidak terlalu lama, dilaksanakan secara kolektif yakni tidak Berikut akan diuraikan mengenai unsur-unsur sendiri-sendiri ditempat yang berbeda dan kejahatan terhadap kemanusiaan yakni “serangan akibatnya serius (Akayesu Case). yang meluas atau sistematis yang ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil” berdasarkan doktrin c. Sistematis dan praktek pengadilan internasional yang digunakan Pengertian serangan yang sistematis Majelis Hakim. berkaitan dengan suatu kebijakan atau rencana yang melatarbelakangi terjadinya a. Serangan tindakan tersebut. Kebijakan tidak selalu Hakim menimbang bahwa untuk terjadinya tertulis namun dapat juga merupakan pelanggaran HAM berat harus memenuhi unsur tindakan yang beruang dan terus menerus delik; pertama adanya serangan yang meluas atau serta menjadi pola yang diikuti ole aparat sistematik; kedua serangan tersebut ditujukan secara negara langsung pada penduduk sipil. Hakim menjelaskan arti istilah serangan yang menunjukkan kata kerja Menimbang bahwa unsut meluas dan yang dilakukan secara fisik dengan cara mendatangi sistematis tidak harus dibuktikan sasaran yang dituju, dan dalam hal ini adalah keduanya. penduduk sipil dengan menggunakan kekuatan, baik kekuatan militer maupun non-militer untuk Menimbang bahwa setelah mengetahui menghancurkan atau membuat tidak berdayanya pengertian serangan yang meluas tau lawan atau lawan menyerah. Hakim juga sistematis tersebut dan dihubungkan menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan dengan tindakan Johny Wainal Usman serangan menurut Commentary on The Rome Statute yang mengerahkan pasukan Brimob untuk of the ICC yakni : membantu Polsek adalah tidak 1. Tindakan baik sistematis maupun meluas yang berkesusaian. Hal ini dikarenakan : dilakukan secara berganda (milticiplity
75
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
MAKO Brimob Kotaraja dan oleh terdakwa diperintah untuk membawa orang-orang tersebut ke Mapolres Jayapura; 7. Bahwa benar kira-kira pukul 23.00 WIT anggota satuan Brimob yang lain melakukan pengejaran dan penangkapan ke Asrama Ikatan Mahasiswa Ilaga (IMI) dan menangkap 14 (empat belas) orang penduduk sipil, kemudian membawa mereka ke Mapolres jayapura; 8. Bahwa benar jumlah penduduk sipil yang telah ditangkap oleh Satuan Brimob adalah sebanyak 99 (sembilan puluh sembilan) orang, dan dalam melakukan pengejaran dan penangkapan telah terjadi ekses yaitu berupa tindakan kekerasan dengan cara memukuli terhadap anggota masyarakat dengan popor senjata dan menendangnya 46
Berdasarkan penjelasan Pasal 9 UU 26/2000 serangan adalah “rangkaian perbuatan yang ditujukan kepada penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi”. : (1) Pengertian “kebijakan” sebagai roh dari serangan dipahami Majelis Hakim sebagai “policy atau ide atau gagasan yang bersifat melanggar hukum atau tercela”. (2) Pengertian “rangkaian perbuatan” dimaknai Majelis Hakim sebagai adanya perencanaan yang khusus ditujukan kepada penduduk sipil, dalam hal ini ada unsur kesengajaan, yang mempunyai arti tujuan dari pelaku. Dengan kata lain, terjadinya suatu tindakan tersebut adalah merupakan perwujudan dari maksud dan tujuan pelaku. Menimbang bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan
commision of acts) : Dalam Kasus Abepura ini terbukti terjadi rangkaian tindak kejahatan yang dilakukan oleh anggota Kepolisian/Brimob, berupa penyerangan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, peyiksaan dan pembunuhan. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan berulang-ulang pada sasaran –sasaran yang berbeda yang berdasarkan laporan intelejen merupakan sasaran yang dicurigai, namun anggota kepolisian juga sudah mengetahui bahwa sasaran operasi tersebut merupakan tempat kediaman dari penduduk sipil 46 . Hal ini membuktikan bahwa tindakan penyerangan dan penangkapan tersebut bukanlah tindakan yang berdiri sendiri, melainkan tindakan yang berganda serta memiliki hubungan kausalitas. 2. Tidak harus merupakan serangan militer seperti yang diatur dalam Hukum Humaniter Internasional. Walaupun polisi yang melakukan penyerangan itu bersenjata, namun hal tersebut bukanl serangan militer karena tidak dilakukan pada saat konflik bersenjata, melainkan serangan yang dilakukan oleh anggota Polisi dalam rangka menjaga keamanan NKRI. 3. Penduduk sipil harus merupakan objek utama dari serangan tersebut. Dalam kasus ini, sekelompok penduduk sipil yang dijadikan sasaran adalah orang-orang yang dikategorikan sebagai separatis dan simpatisannya. Dengan
Putusan, …op.cit hal. 271
76
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
dengan sepatu laras, serta tindakan tersebut dilakukann terdakwa perlakuan lainnya yang tidaklah berdasarkan perencanaan tidak manusiawi, sehingga sebagaimana yang dimaksud dalam 47
demikian semua orang yang ditangkap pada tanggal 7 Desember 2000 oleh Polisi diyakini sebagai bagian dari apa yang disebut Polisi
Mengenai keyakinan Pihak Kepolisian lihat dokumen-dokumen dari kepolsiian yaitu Laporan Polres Jayapura mengenai kasus Abepura, Dokumen Operasi Sadar Matoa dan Dokumen Telaah Staf Polda Irian Jaya, diambil dari Laporan Akhir KPP HAM Abepura, hlm. 7
48
Prosecutor v. Kayishema dan Ruzindana, 21 Mei 1999, paragraph 123 Blaskic Pengadilan Tingkat I, 3 Maret 2000 Paragraph 206; Neletilic dan Martinovic (pengadilan Tingkat I), 31 Maret 2003, paragraph 236 50 Machteld Boot, tanpa tahun, Nullum Crimen Sine Lege and the Subject Matter Jurisdiction of The International Criminal Court: Genocide, Crimes Against Humanity, War Crime, School of Human Rights Research Series, Intersentia, Antwerpen-Oxford-New York, hal. 479; lihat juga Kordic dan Cerkez, (pengadilan Tingkat Pertama), 26 Februari 2001, paragraph 179 49
51
Lihat Putusan…op.cit, hlm. 238
52
Putusan Pengadilan, hal. 265 Akayesu, Pengadilan, 2 September 1998, paragraph 580; Sementara itu ICTY dalam kasus Kunarac, Kovac dan Vokovic dalam Pengadilan Banding 12 Juni 2002 paragraph 94 menyebutkan bahwa pola kejahatan, yang merupakan pengulangan non-insidental atas tindak kejahatan yang sama dan dilakukan dengan cara yang teratur, merupakan gambaran umum atas kejadian yang disebut sistematis. 53
Advanced Training for Indonesian Human Rights Courts : “Judging International Crimes Under Law 26/2000”, Medan, Indonesia, 24-26 April 2002 Blaskic (Trial Chamber), 3 March 2000, Paragraf 204 56 Lihat dokumen Rencana Operasi “Tuntas Matoa 2000” Polda Irian Jaya. No. Pol. : R/Renops/XI/2000. 57 Lihat “Defining “Crimes Against Humanity” at the Rome Conference”, Darryl Robinson, hal.47, American Journal of International Law, Vo. 93, Issue 1 (Jjan., 1999), 43-57. 58 Tindakan tersebut khususnya yang berkaitan dengan pengibaran bendera bintang kejora seperti yang terjadi di Biak 1998, Sorong 1999, Timika 1999, Merauke,2000 , Nabire 2000, diambil dari Laporan Akhir KPP HAM (yang merupakan ringkasan kasus dari Amnesty Internasional, Indonesia : Impunitas masih berlangsung di Papua pada saat milisi tumbuh, Sep,2000),…op.cit, hlm.8 59 Tentang sikap Polisi itu bisa dilihat dalam Laporan Polisi mengenai peristiwa Abepura. Polisi berkeyakinan bahwa semua aksi politik rakyat di Papua adalah aksi separatis yang menggangu ketertiban umum di Papua. Menurut Laporan Polisi yang melakukan penyerangan ke Mapolsek Abepura adalah TPN-OPM/Satgas Koteka,/Satgas MAMTA (Mamberamo-Tami). 60 Human Rights Watch, Genoside War Crimes and Crimes Against Humanity, Topical Gigest of the Case Law of The International Criminal Tribunal for Rwanda and the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, p.70 61 Keenam anggota yang dijatuhkan hukuman disiplin oleh terdakwa adalah (1) Yosi Muhamartha berupa hukuman teguran, (2) Suryo Dudarmadi berupa hukuman teguran, (3) Abdul Rajak hamid dengan hukuman teguran, (4) Sawalauddin berupa hukuman teguran, (4) John Frederik Kamodi berupa hukuman penahanan ringan selama 14 hari, (5) Hans Fairnap berupa hukuman penahanan ringan selama 14 hari, Lihat Putusan, …op.cit, hlm. 239 54 55
77
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
anggota masyarakat tersebut menderita luka-luka pada bagian kepala, punggung, muka, tangan, kaki dan badannya; 9. Bahwa benar salah seorang dari anggota masyarakat yang bernama AGUS KABAK telah ditembak oleh anggota Brimob dan Polisi dengan menggunakan peluru tajam yang mengenai dada kanan tembus ke dinding perut, dan mengakibatkan terjadi pendarahan pada rongga dada kanan, rongga perut dan juga terjadi luka robek pada hati (vide visum et repertum Nomor 353/59 tanggal 18 April 2002 atas nama AGUS KABAK) dan menembak ELKIUS SUHUNIAP dengan menggunakan peluru tajam, yang mengenai punggung sebelah kiri tembus kebagian dada sebelah kanan, jantung dan pembuluh darah besar jantung robek (vide visum
pengertian “rangkaian perbuatan”. Tindakan pengerahan pasukan pasukan Brimob yang dilakukan terdakwa merupakan suatu tindakan reaktif sebagai anggota kepolisian yang melaksanakan tugasnya untuk menjaga ketertiban dan keamanan NKRI. Menimbang bahwa tempat-tempat yang menjadi sasaran pengejaran dan penyekatan bersumber dari laporan intelejen karena ada kecurigaan aparat keamanan bahwa tempat tersebut terlibat dalam penyerangan, namun kebetulan saja tempat tersebut merupakan kediaman penduduk sipil. Menimbang bahwa tindakan pengejaran dan penangkapan yang dilakukan Brimob dan Polisi terhadap orang –orang yang diduga melakukan penyerangan merupakan tugas rutin Polisi dan Brimob. Dan penyerangan Mapolsek Abepura merupakan hal biasa di daerah Papua. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut maka menurut hemat Majelis Hakim apa yang telah dilakukan terdakwa tidak dapat dikwalifikasian sebagai Pelanggaran HAM yang berat berupa Kejahatan terhadap
sebagai kekuatan separatis. 47 Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur ”serangan” terpenuhi. b. Meluas Selanjutnya dalam pertimbangannya hakim menafsirkan istilah meluas yang menunjuk pada jumlah korban yang besar, dilakukan berulangkali dalam jangka waktu tertentu yang tidak begitu lama, dan dilaksanakan secara kolektif tidak sendiri-sendiri di tempat yang berbeda dan berakibat serius. Pertimbangan hakim ini didasarkan pada yurisprudensi ICTR dalam kasus Akayesu. Secara meyakinkan hakim juga memberi pertimbangan atas istilah meluas ini berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh Arne Willy Dahl yang menyatakan bahwa pengertian serangan yang meluas adalah serangan yang diarahkan terhadap korban yang berjumlah besar, sehingga istilah serangan yang meluas akan sangat tergantung pada jumlah korban (massive), skala kejahatan, dan sebaran tempat. Hal ini juga ditegaskan pada beberapa yurisprudensi ICTY dan ICTR. Karakteristik meluas mengacu pada serangan yang ditujukan pada sejumlah besar korban, 48 disamping juga mengacu pada skala tindakan yang dilakukan. 49 Suatu kejahatan dapat terjadi secara meluas dengan efek kumulatif dari serangkaian tindakan tidak manusiawi atau memiliki efek tunggal dari sebuah tindakan tidak manusiawi yang memiliki besaran yang luar biasa. 50 Dalam peristiwa 7 Desember 2000, serangan dilakukan
78
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
et repertum nomor 353/174 tanggal 13 Desember 2000 atas nama ELKIUS SUHUNIAP); (menunjukkan telah terjadinya tindakan pembunuhan dan penganiayaan yang dilakukan oleh anak buah / bawahan terdakwa, menunjukkan adanya serangan yang bersifat meluas dan sistematis)
kemanusiaan dikarenakan apa yang dimaksud dengan unsur sebagai bagian “serangan yang meluas atau sistematis” tidak terpenuhi dalam perbuatan terdakwa.
berulangkali setidaknya 6 kali dalam jangka waktu tidak terlalu lama kurang dari 24 jam (pukul 02.30 WIT, 05.30 WIT, 05.30 WIT, 09.30 WIT, 08.00 WIT, 23.00 WIT), yang dilaksanakan secara kolektif dibawah koordinasi, dan dilaksanakan dibeberapa Menimbang bahwa karena salah satu unsur tempat yang berbeda (Asrama Ninmin, Abepantai, dari kejahatan terhadap kemanusiaan tidak Asrama Yapen Waropen, Pemukiman Skyline, Jalan terpenuhi dalam perbuatan terdakwa maka Baru Kotaraja, Asrama Ikatan Mahasiswa Ilaga). unsur-unsur lainnya menurut Majelis Hakim tidak perlu dipertimbangkan lebih Jika kita cermati fakta yang terungkap dipersidangan, lanjut. Hal ini dikarenakan menurut Pasal 7 terbukti bahwa jumlah penduduk yang telah ditangkap Undang-undang 26/2000 menyebutkan oleh satuan Brimob adalah sebanyak 99 (sembilan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan puluh sembilan) orang, dan dalam melakukan merupakan salah satu jenis dari pengejaran dan penangkapan telah terjadi ekses yaitu pelanggaran HAM yang berat. tindakan kekerasan berupa pemukulan terhadap anggota masyarakat dengan popor senjata dan Menimbang bahwa dengan tidak menendangnya dengan sepatu lars, perlakuan lain terbuktinya salah satu unsur dari kejahatan yang tidak manusiawi yang membuat anggota terhadap kemanusiaan tersebut maka masyarakat menderita luka-luka pada bagian kepala, terdakwa tidak dapat dipersalahkan telah punggung, muka, kaki serta badan. 51 melakukan pelanggaran Ham yang berat Walaupun tidak ada batasan jumlah korban yang berupa kejahatan terhadap kemanusiaan dikategorikan sebagai ”massive” namun tindakan sesuai dengan pasal-pasal yang pengejaran dan penangkapan tersebut jelas didakwakan Penuntut Umum Ad Hoc. mengakibatkan korban penduduk sipil yang tidak sedikit. Selain itu, tindakan yang berulang dan berskala besar juga dapat terlihat dari pola tindakan yang sama yang dilakukan terhadap target-target yang dicurigai yakni pemukulan, penendangan, serta tindakan tidak manusiawi lain. Tindakan tersebut dilakukan secara kolektif oleh anggota kepolisian dan Brimob serta berdampak sangat serius terhadap
79
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
korban terbukti dengan kematian korban serta cacat seumur hidup yang diderita beberapa korban. Dari paparan di atas, maka jelaslah bahwa unsur ”meluas” terpenuhi. Sebenarnya dengan telah terpenuhinya unsur meluas ini, unsur sistematis tidak perlu dibuktikan, sebab dalam ketentuan Pasal 9 UU No. 26 tahun 2000 rumusan keduanya tidak bersifat kumulatif tetapi bersifat alternatif dengan menggunakan kata ‘atau’. Jadi jika satu unsur saja terpenuhi maka tanpa harus membuktikan unsur kedua keseluruhan pengertian sudah dapat disimpulkan. Hal ini juga sudah diakui hakim dalam petimbangannya. 52 Namun demikian, untuk memperkuat argumen tentang telah terjadinya pelanggaran ham berat ada baiknya mengulas juga apakah unsur sistematis ini terpenuhi dalam peristiwa pengejaran dan penangkapan di Abepura tanggal 7 Desember 2000 c. Sistematis Menurut Hakim, berdasarkan Tadic Judgment, unsur sistematis berkaitan dengan latar belakang kebijakan yang melandasi tindak pidana tersebut. Selain itu, serangan sistematis adalah serangan yang diorganisasikan secara menyeluruh melalui pola tertentu yang terus menerus atas dasar kebijakan bersama yang melibatkan sumberdaya publik atau privat yang substansial. Tidak ada persyaratan bahwa kebijakan itu harus diterima secara formal sebagai kebijakan negara, namun harus ada semacam
80
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
rencana atau kebijakan yang sudah dipertimbangkan sebelumnya. 53 Untuk lebih jelasnya, unsur sistematis akan diuraikan dalam analisa di bawah ini mengenai penjelasan Pasal 9 Undang-Undang 26/2000 yang digunakan Hakim sebagai dasar pertimbangan pembuktian unsur “serangan”. Penjelasan Pasal 9 Undang-undang 26/2000 berbunyi “serangan yang ditujukann secara langsung terhadap penduduk sipil” yakni “rangkaian perbuatan yang ditujukan kepada penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi”. Definisi ini jelas bukan merupakan definisi dari unsur “serangan”, tetapi merupakan definisi dari “serangan yang sistematis”. Karena definisi “serangan” hanyalah merupakan tindakan berganda, bukan hanya merupakan serangan militer, dan ditujukan kepada penduduk sipil seperti yang dikutip Hakim dari Otto Trifterer (ed) dan praktek pengadilan internasional. Selain itu, ”Kebijakan” yang dikatakan oleh Majelis Hakim sebagai roh/jiwa dari tindakan serangan meluas atau sistematis yang ditafsirkan sebagai policy, ide, atau gagasan yang bersifat melawan hukum atau tercela adalah tidak berdasar. Karena kebijakkan yang dimaksudkan dalam serangan meluas dan sistematis disini tidak harus kebijakan yang melawan hukum, namun dapat juga sebagai kebijakan yang legal namun ditempuh dengan cara-cara yang ilegal 54 .
81
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa kebijakan pemerintah memberantas separatis yang dituangkan dalam Operasi Tuntas Matoa bukanlah merupakan kebijakan yang ilegal, namun dalam pelaksanaannya, yang merupakan kelanjutan dari kebijakan tersebut , telah menimbulkan ekses karenna ditempuh dengan cara yang melawan hukum. Selanjutnya mengenai definisi ”rangkaian perbuatan” yang ditafsirkan Majelis Hakim sebagai ”harus adanya perencanaan”, maka walaupun dalam hal ini memang tidak terbukti bahwa pelaku memiliki perencanaan atau memiliki maksud atau niat jahat dalam melaksanakan tindakannya, namun rencana tidak harus dinyatakan secara tegas atau terangterangan, hal ini bisa dilihat dari beberapa indikasi diantaranya 55 : 1. Latar belakang historis dan politik secara umum atas tindakan pidana kejahatan yang dilakukan Kebijakan negara terhadap Papua tertuang dalam Rencana Operasi Pengkondisian Wilayah Dan Pengembangan Jaringan Komunikasi Dalam Menyikapi Arah Politik Irian Jaya (Papua) Untuk Merdeka dan Melepaskan Diri Dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berisi rencana operasi menyeluruh dari pemerintah untuk menghadapi gerakan rakyat Papua yang dikategorikan sebagai gerakan separatis. Rencana Operasi itu diterjemahkan dengan membuat Telaahan Staf Tentang Upaya Polda
82
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Irian Jaya Menanggulangi Separatis Papua Merdeka Dalam Rangka Supremasi Hukum pada bulan November 2000 yang kemudian ditindaklanjuti dengan menyusun operasi yang disebut “Operasi Tuntas Matoa 2000” yang berlangsung selama 90 hari. Operasi ini ditujukan kepada gerakan separatis OPM dan simpatisannya. Operasi Tuntas Matoa ini menunjukkan aparat Polda Irian Jaya telah memiliki dan mempersiapkan suatu rencana operasi yang sistematis dalam bertindak terhadap apa yang mereka sebut sebagai gerakan separatis.56 . Kebijakan Kepolisian itu adalah bagian dari kebijakan negara secara keseluruhan. Dua dokumen ini menunjukan adanya unsur sistematis 57 yakni memperlihatkan tindakan yang terorganisir dan mengikuti pola yang berulang, berdasarkan kebijakan yang melibatkan secara substansial sumber daya baik milik umum ataupun perorangan.
2. Serangan yang terkoordinasi dan berulangulang yang dilakukan di wilayah tertentu Laporan KPP HAM, dijelaskan bahwa tindakan aparat Kepolisian dalam mengejar dan menangkap orang pasca penyerangan Polsek Abepura tanggal 7 Desember 2000 bukanlah sesuatu yang terjadi tibatiba, melainkan suatu sikap dan tindakan terpola untuk menangani berbagai masalah di Propinsi Irian Jaya (Papua) yang presedennya bisa dilihat dari tindakan-tindakan aparat Kepolisian jauh hari
83
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
sebelumnya. 58 Jadi sikap dan tindakan Polisi terhadap siapa saja yang mereka curigai sebagai pelaku separatis (OPM atau simpatisannya) pasca penyerangan Polsek Abepura adalah merupakan satu kesatuan tindakan atau satu bagian dari keseluruhan kebijakan Kepolisian (keamanan) yang secara sistematis telah berlangsung lama di Papua. 59 Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tindakan pengejaran dan penangkapan yang disertai kekerasan dalam bentuk penyiksaan yang dilakukan pada kasus Abepura merupakan suatu pola yang konsisten yang kerap dilakukan oleh Kepolisian. Hal ini juga didukung dengan berbagai ”kebijakan” politik guna memberantas aksi separatis di Papua yang memberikan peluang terjadinya kekerasan yang berlebihan tersebut. 3. Skala tindak kekerasan yang dilakukan khususnya pembunuhan, kekerasan fisik lainnya, perkosaan, penahanan secara sewenang-wenang, deportasi dan pengusiran,dll. Operasi penyekatan dan pengejaran yang dilakukan anggota polisi/Brimob disertai dengan tindakantindakan pembunuhan kilat, penyiksaan, penganiayaan, perampasan hak milik serta pencabutan kemerdekaan sewenang-wenang. Hal ini menunjukan bahwa skala tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian telah memenuhi skala kekejaman
84
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
yang disyaratkan kemanusiaan.
dalam
kejahatan
terhadap
Selain itu, berdasarkan kasus Akayesu (Trial Chamber), September 2, 1998 para 479, 489 60 dinyatakan bahwa : Komandan tidak harus memiliki pengetahuan untuk membuatnya bertanggungjawab secara pidana, tetapi cukup dengan ia ‘seharusnya mengetahui’ bahwa bawahannya sedang atau telah melakukan kejahatan, dan komandan gagal (fail) untuk mengambil tindakan yang layak atau diperlukan untuk mencegah perbuatan tersebut atau untuk menghukum pelaku. Jadi dalam hal ini, komandan harus
bertanggungjawab
karena
tindakan
pembiaran (ommission) atau karena tidak berbuat apapun. Kelalaian komandan yang berakibat sangat serius sama halnya dengan menyetujui
85
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
terjadinya kejahatan tersebut atau dapat juga disetarakan dengan adanya niat jahat.
Berdasarkan putusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur niat (mens rea) dari terdakwa dapat dilihat dari posisinya sebagai komandan yang menjadikannya
memiliki
kewenangan
untuk
melaksanakan tindakan yang layak untuk mencegah bahkan menghukum pelaku. Dalam hal ini, terdakwa hanya memberikan hukuman teguran dan penahanan ringan terhadap 6 (enam) orang bawahannya yang merupakan pelaku langsung 61 . Terdakwa seharusnya dianggap melakukan tindakan pembiaran dan itu sama halnya dengan menyetujui tindakan itu terjadi dan juga disetarakan dengan adanya niat jahat.
86
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Kesimpulan : Pertimbangan Hakim dalam pembuktian unsur pelanggaran HAM yang berat tampak sangat ”dangkal”. Banyaknya doktrin dan kasus dari pengadilan internasional (ICTY dan ICTR) yang dikutip Hakim, tetapi hanya merupakan suatu bentuk unjuk diri seolah-olah pemahaman mereka tentang tindak pidana ini sangat mendalam. Padahal, para Hakim sangat tidak memahami semua doktrin dan praktek internasional tersebut, terbukti bahwa mereka pada akhirnya hanya mendasarkan pada penjelasan Pasal 9 dalam memutuskan terbukti tidaknya suatu unsur ”serangan”. Akibatnya, semua pembuktian yang panjang dimentahkan oleh suatu pendapat hakim terhadap alas hukum yang tidak tepat, yakni penerapan penjelasan Pasal 9, tanpa mengindahkan inti dari keputusan-keputusan pengadilan internasional.
C. Permohonan Ganti Kerugian dan Analisa Hakim Rangkuman Permohonan Ganti Kerugian Permohonan ganti kerugian yang diajukan oleh para korban sipil Peristiwa Abepura diajukan dengan bentuk PENGGABUNGAN PERKARA GUGATAN GANTI KERUGIAN Pihak-pihak yang menuntut ganti kerugian adalahLilimus Suhuniap yang disebut WAKIL KELAS I. Matias Heluka, WAKIL KELAS II. Raga , WAKIL KELAS III. Yunus Kogoya , WAKIL KELAS IV.
Pertimbangan Hakim Menimbang mengenai permohonan ganti kerugian yang diajukan oleh para pemohon yang menamakan dirinya sebagai korban dalam peristiwa Abepura Desember 2000 yang disampaikan melalui Penuntut Umum Ad Hoc, sebagaimana terlampir dalam Surat Tuntutan Penuntut Umum Ad hoc,maka Majelis Hakim mempertimbangkannya sebagai berikut :
Analisa uran mengenai Kompensasi,
pemberian
Restitusi
dan
Rehabilitasi diatur dalam UndangUndang 26/2000 Pasal 35, dan diatur lebih
lanjut
dalam
Peraturan
Pemerintah No.3 tahun 2002. Dalam
87
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
PARA WAKIL KELAS (Class Representatif). mengajukan gugatan ganti kerugian dalam Perkara Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Register No : 02/PID.HAM/2004/ PN. Mks sebagaimana diatur dalam Pasal 98-101 KUHAP, Terhadap AKBP (Pol.) Drs. Daud Sihombing, S.H.
.Bahwa PARA WAKIL KELAS adalah anggota masyarakat yang mengalami kerugian akibat peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat (gross violation of human rights) yang terjadi pada tanggal 7 Desember 2000 di Abepura, Propinsi Papua Barat, yang kemudian lebih dikenal sebagai Peristiwa Abepura, 7 Desember 2000. 6.Bahwa PARA WAKIL KELAS mengajukan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ini berdasarkan ketentuan Pasal 98 -101 KUHAP dengan menggunakan mekanisme ataupun prosedur gugatan perwakilan kelas (class action) yang sudah diterima menjadi praktek peradilan perdata di Indonesia dan diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No.: 2 Tahun 2002. Bahwa PARA WAKIL KELAS dalam hal ini tidak hanya bertindak secara pribadi, melainkan juga bertindak untuk dan atas nama serta mewakili kepentingan anggota masyarakat lainnya yang jumlahnya lebih dari 100 orang dengan kesamaan
Permohonan ganti kerugian yang diajukan para pemohon adalah berupa kompensasi dan retitusi yang menurut Majelis Hakim adalah hak setiap oranng yang telah dirugikan oleh pelaku tindak pelanggaran HAM yang berat. Akan tetapi, permohonann yang ganti kerugian ini, diajukan bersamaan dengan perkara terdakwa Johny Wainal Usman, dan karena dakwaan Penuntut Umum Ad Hoc ini tidak terbukti, maka menurut Majelis Hakim, permohonan para pemohon tidak perlu dipertimbangkan lagi. Hal ini dikarenakan pengajuan ganti rugi tersebut didasari atas peristiwa pidana terdakwa, di mana terdakwa adalah pelaku tindak pidana pelanggaran HAM yang berat yang membuat permohon menderita baik moril maupun materil.
aturan
ini
dijelaskan
bahwa
Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh Negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti
rugi
yang
merupakan
tanggungjawabnya (Pasal 1 (4)). Sedangkan, restitusi dalah pemberian ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga (Pasal 1 (5)). nolakan
Majelis
Hakim
terhadap
permohonan ganti kerugian ini secara yuridis
formal
memang
dapat
dipahami, karena permohonan ganti Namun demikian, karena dakwaan Penuntut Umum tidak dapat dibuktikan kerugian ini diajukan bersamaan secara sah dan meyakinkan, maka dengan perkara terdakwa Johny permohonan ganti kerugian tersebut haruslah dinyatakan ditolak. Wainal, di mana surat dakwaan JPU menurut Majelis Hakim tidak dapat dibuktikan
secara
sah
dan
meyakinkan. Namun di sisi lain,
88
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
fakta dan dasar hukum dikarenakan sudah menjadi korban dan mengalami kerugian akibat Peristiwa Abepura, 7 Desember 2000,
Majelis membenarkan bahwa telah jatuh korban sipil sejumlah 99 orang akibat peristiwa tersebut.
Bahwakan halnya pilihan untuk menggunakan mekanisme class action, dalam hal ini lebih direncanakan hitungan jumlah korban yang cukup besar sebagaimana tersebut diatas. Sehingga, bilamana penggabungan gugatan ganti kerugian ini diajukan secara individu, maka proses peradilan dalam perkara aquo akan tidak memenuhi prinsip peradilan yang sederhana, cepat dan biaya murah sebagaimana ditentukan dalam UU RI No.: 14 Tahun 1970, Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.
asal 8 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia berbunyi: etiap orang berhak atas ganti rugi yang efektif dari pengadilan nasional yang berwenang atas pelanggaran yang
tindakan-tindakan
hak-hak
diberikan
fundamental
kepadanya
oleh
Undang-undang atau hukum.” Bahwa menyangkut keberadaan PARA WAKIL KELAS yang dalam hal ini juga bertindak untuk dan atas nama serta mewakili kepentingan korban lainnya yang dapat dianggap sebagai anggota kelas (class members), adalah sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 1 huruf a Peraturan Mahkamah Agung RI No.: 2 Tahun 2002, yang menyatakan bahwa “Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orangorang yang jumlahnya banyak , yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud”.
lanjutnya, mengenai tanggung jawab Negara, Paragraf 2 Declaration of Basic
Principles
of
Justice
for
Victims of Crime and Abuse of Power menyatakan bahwa seseorang dapat dianggap sebagai korban terlepas apakah
pelaku
kejahatan
dapat
diindentifikasi, ditahan, dituntut atau
89
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
dihukum. Terlebih, pelaku adalah Bahwa tentang kesamaan fakta dan dasar hukum, sehingga PARA WAKIL KELAS beserta anggota kelasnya layak dan pantas mengajukan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ini dengan menggunakan mekanisme class action, adalah sebagai berikut : a.
Bahwa WAKIL KELAS I adalah wakil dari keluarga korban atau anggota kelas yang menderita kerugian, khususnya material, dikarenakan sanak saudaranya meninggal dalam Peristiwa Abepura, 7 Desember 2000. b. Bahwa WAKIL KELAS II adalah wakil dari korban atau anggota kelas yang menderita kerugian, khususnya material, dikarenakan cacat fisik permanen akibat penyiksaan, ataupun tindakan tidak manusiawi lainnya saat Peristiwa Abepura, 7 Desember 2000. c. Bahwa WAKIL KELAS III adalah wakil dari korban atau anggota kelas yang menderita kerugian, khususnya material, dikarenakan menderita luka-luka berat ataupun ringan dan trauma psikologis akibat penyiksaan, ataupun tindakan tidak manusiawi lainnya saat Peristiwa Abepura, 7 Desember 2000. d. Bahwa WAKIL KELAS IV adalah wakil dari korban atau anggota kelas yang
merupakan petugas atau badan-badan umum
yang
bertindak
dalam
kapasitas resmi atau setengah resmi yang telah melanggar aturan hukum pidana, para korban harus menerima ganti rugi dari negara yang petugas atau
badan-badannya
bertanggungjawab
atas
kerugian
tersebut (Paragraf 11).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa secara yuridis formal, memang sulit memberikan ganti kerugian pada korban jika mendasarkan pada Undang-Undang 26/2000 dan peraturan pelaksananya. Namun, kenyataan bahwa korban yang jatuh dari pihak sipil cukup banyak menuntut pertanggungjawaban negara untuk memberikan ganti rugi terhadap korban. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan alternatif lain yakni dengan mekanisme hukum
90
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
menderita kerugian, khususnya material, dikarenakan kehilangan, kerusakan dan / atau kehancuran harta benda milik pribadi saat Peristiwa Abepura, & Desember 2000. Bahwa lebih jauh dalam rangka memastikan kesahihan dan keberadaan PARA WAKIL KELAS sebagai Subjek hukum dan dan sudah pula bertindak untuk dan atas nama serta mewakili kepentingan anggota kelas termaksud dalam penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ini. Maka, berdasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung RI No.: 2 Tahun 2002, nantinya hal itu akan diumumkan secara meluas dengan jenis opsi keluar (option out) kepada publik pada umumnya, selain target prioritas kepada mereka yang merupakan anggota kelas. Sedangkan untuk mekanisme ataupun cara pengumuman, dalam hal ini PARA WAKIL KELAS akan menggunakan selebaran-selebaran, siaran pers atau konferensi pers ataupun media pengumuman lainnya. Sehingga, keberadaan PARA WAKIL KELAS dan proses penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ini dapat diikuti perkembangannya dengan baik, khususnya oleh anggota kelas. Bahwa perihal penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam perkara hak asasi manusia, adalah dimungkinkan pengajuannya dengan mengacu pada ketentuan Pasal 10 UU RI No. 26/2000, Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang menyatakan
perdata melalui pengadilan negeri. Sebagai kesimpulan, pengajuan gugatan ganti kerugian yang dilakukan Korban melalui Tim Penasehat Hukumnya tersebut merupakan suatu langkah maju dalam penegakan dan perlindungan hak asasi manusia melalui mekanisme peradilan. Namun, mekanisme penegakan hukum dalam hal pemberian ganti rugi/hak reparasi bagi korban masih sangat tidak memadai. Hal ini nampak dari keterbatasan peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai hak-hak reparasi bagi korban dan prosedur pemberian hak-hak reparasi tersebut. Terbukti, hingga saat ini, belum pernah satu pun korban peristiwa pelanggaran HAM yang berat mendapatkan ganti rugi. Hal ini akan terus berlangsung selama pemberian ganti rugi masih menyandarkan pada bersalah atau tidaknya pelaku dan nuansa impunity yang masih terus berlangsung dalam proses penegakan hukum HAM di Indonesia.
91
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
bahwa : “Dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.” Bahwa dengan mengacu pada ketentuan Pasal 10 UU RI No 26/2000 tersebut diatas, jelas penggabungan perkara gugatan ganti kerugian yang diatur dalam Pasal 98-101 KUHP juga merupakan lembaga ataupun fasilitas yang dapat diterapkan dalam perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, seperti dalam perkara aquo yang sedang diperiksa dan diadili oleh Majelis Hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia Makassar. Berdasarkan dalil-dalil diatas, jelas bahwa kedudukan, kepentingan serta keberpihakan PARA WAKIL KELAS terhadap anggota kelasnya berkenaan dengan pengajuan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ini, tidak dapat diragukan lagi dan sudah berdasarkan hukum. Karenanya, sangat beralasan Majelis Hakim cq. Ketua Majelis Hakim dalam perkara aquo,menerima penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ini untuk diperiksa dan diadili menurut ketentuan hukum yang berlaku. Restitusi, Kompensasi dan Rehabilitasi 8. Bahwa akibat Peristiwa Abepura, 7 Desember 2000, jelas PARA WAKIL KELAS beserta
92
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
anggota kelasnya sudah menjadi korban pelanggaran berat hak asasi manusia dan menderita kerugian yang serius, baik itu secara material maupun immaterial. 9. Berdasarkan uraian diatas. Bahwa sudah sepantasnyalah terhadap TERGUGAT yang juga menjadi Terdakwa dalam perkara aquo. Selain dituntut pertanggung jawaban pidana selaku pihak yang memegang garis komando dan telah memberikan perintah sehingga terjadi Peristiwa Abepura, 7 Desember 2000. Terhadap TERGUGAT juga dimintakan pertanggung jawaban untuk melakukan pemulihan hak-hak daripada korban (PARA WAKIL KELAS dan anggota kelas), antara lain dengan secara tanggung renteng membayar seluruh ganti kerugian dalam penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ini, khususnya ganti kerugian secara material. 10. Bahwa tentang ganti kerugian material yang dimintakan kepada TERDAKWA dalam penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ini, jelas sudah sejalan dengan ketentuan Pasal 35 UU RI No.: 26/2000, Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Jo. Pasal 1 ayat (5) PP RI No.: 3/2002, Tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. Dimana, dalam ketentuan tersebut secara eksplisit sudah
93
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
dinyatakan bahwa ganti kerugian termaksud disini, yang diberikan dari pelaku (TERGUGAT) kepada korban (PARA WAKIL KELAS) diistilahkan sebagai “restitusi”. 11. Bahwa, adapun besaran kerugian yang diderita oleh PARA WAKIL KELAS yang dimintakan pemenuhannya kepada TERGUGAT adalah sesuai dengan perincian sebagai berikut : a. WAKIL KELAS I: Biaya penggalian kuburan Rp. 300.000 Peti Jenazah Rp. 2.000.000 Biaya Visum Rp. 1.000.000 Biaya Formalin Rp. 400.000 Biaya transportasi Rp. 2.000.000 Biaya konsumsi Rp. 500.000 Rp. 6.200.000 b. WAKIL KELAS II: Biaya pengobatan Rumah Sakit Rp. 1.700.000 Biaya kontrol medis (2001-2002) Rp. 1.500.000 Biaya kontrol medis
94
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Rp. 1.000.000 Biaya transportasi Rp. 1.000.000 Rp. 5.200.000 c. WAKIL KELAS III: Biaya pengobatan Rumah Sakit Rp. 2.000.000 Biaya kontrol medis (2001-2002) Rp. 1.000.000 Biaya transportasi Rp. 500.000 Rp. 3.500.000 d. WAKIL KELAS IV: Pintu rumah 3 buah @ Rp. 500.000 Rp. 1.500.000 Seng atap rumah 4 bh @ Rp.22.500 Rp. 90.000 Sabit Rp. 30.000 Parang Rp. 140.000 Kampak Rp. 250.000 Kalung emas 5 gram @ Rp.135.000 Rp. 675.000 Celana panjang Rp. 130.000 Sepatu
95
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Rp. 350.000 Uang dalam dompet Rp. 1.500.000 Rp. 4.665.000
12.
Bahwa besaran kerugian material yang diderita oleh PARA WAKIL KELAS tersebut juga dialami oleh anggota kelas lainnya yang jumlah keseluruhannya lebih dari 100 orang. Karenanya, sesuai dengan mekanisme gugatan class action, maka seluruh kerugian anggota kelas termaksud berkait dengan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ini, akan diperhitungkan kemudian setelah putusan Majelis Hakim dalam perkara aquo memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht).
13.
Bahwa, menyangkut operasional agar nantinya semua proses perhitungan, pembuktian dan distribusi ganti kerugian dapat berjalan serentak dan berkeadilan, khususnya bagi anggota kelas setelah putusan Majelis Hakim dalam perkara aquo memiliki kekuatan hukum yang tetap. Maka, PARA WAKIL KELAS memohon kiranya Majelis Hakim melalui penetapannya dapat membentuk “Komisi Ganti Kerugian” guna melaksanakan putusan
96
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ini, yang beranggotakan PARA WAKIL KELAS, TERGUGAT dan instansi terkait ataupun unsur independen lainnya yang dianggap perlu oleh Majelis Hakim. 14.
Bahwa selain berupa restitusi dari pelaku (TERDAKWA) seperti termaksud diatas. Guna menjamin agar pelaksaan putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap atas ganti kerugian secara material dalam penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ini dapat dijalankan sebagaimana mestinya, meski pelaku (TERDAKWA) tidak mampu. Maka, sejalan dengan ketentuan Pasal 35 UU RI No. 26/2000 Jo. Pasal 1 ayat (4), Pasal 3, dan Pasal 4 PP RI No.: 3/2002, PARA WAKIL KELAS memohon pula agar Majelis Hakim memutuskan bahwa seluruh pemenuhannya ganti kerugian dalam perkara aquo juga dibebankan menjadi bentuk “kompensasi” yang diberikan oleh Negara RI Cq. Departemen Keuangan RI Cq. Menteri Keuangan RI kepada PARA WAKIL KELAS dan anggota kelas.
15.
Bahwa pasca Peristiwa Abepura, PARA WAKIL KELAS dan anggota kelas juga sudah menerima dampak buruk yang lain. Perlakuan-perlakuan diskriminasi, ketidakpercayaan, dan stigmatisasi sebagai
97
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
separatis, diterima dalam kehidupan sosial politik mereka yang hingga kini masih dirasakan. Belum lagi akibat peristiwa itu, faktanya banyak diantara PARA WAKIL KELAS dan anggota kelas sudah kehilangan hak-haknya atas pekerjaan, pendidikan, perumahan yang layak, dan mengalami trauma psikologis yang cukup serius dan berkepanjangan. Karena itu, sudah sepatutnyalah bilamana Majelis Halim dalam putusannya juga memberikan pemulihan (rehabilitasi) pada kedudukan semula menyangkut kehormatan dan nama baik PARA WAKIL KELAS dan anggota kelasnya, berdasarkan ketentuan Pasal 35 UU RI No. 26/2000 Jo. Pasal 1 ayat (6), Pasal 3 dan Pasal 4 PP RI No.:3/2002. 16.
Bahwa jelas penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ini sudah diajukan berdasarkan hukum dan bukti-bukti yang cukup serta tidak terbantahkan. Karenanya, beralasan bilamana PARA WAKIL KELAS memohon kepada Majelis Hakim agar putusan dalam penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ini dapat dijalankan terlebih dahulu, meski ada upaya hukum (uitvoerbaar bij voerad).
IV. Tuntutan
98
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
A. Primair: 1. Menerima dan mengabulkan gugatan PARA WAKIL KELAS dalam Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian ini untuk seluruhnya; 2. Menghukum TERGUGAT secara tanggung renteng untuk membayar ganti kerugian material (restitusi) kepada PARA WAKIL KELAS, dengan perincian sebagai berikut: a. WAKIL KELAS I dan setiap anggota kelasnya, yang hingga saat pengajuan gugatan dalam Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian ini terhitung masing-masing sebesar Rp. 6.200.000,b. WAKIL KELAS II dan setiap anggota kelasnya, yang hingga saat pengajuan gugatan dalam Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian ini terhitung masing-masing sebesar Rp. 5.200.000,c. WAKIL KELAS III dan setiap anggota kelasnya, yang hingga saat pengajuan gugatan dalam Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian ini terhitung masing-masing sebesar Rp. 3.500.000,d. WAKIL KELAS IV dan setiap anggota kelasnya, yang hingga saat pengajuan gugatan
99
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
dalam Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian ini terhitung masing-masing sebesar Rp. 4.665.000,3. Membebankan kepada Negara RI Cq. Departemen Keuangan RI Cq. Menteri Keuangan RI untuk membayar ganti kerugian material (kompensasi) bilamana TERGUGAT secara tanggung renteng dinyatakan tidak mampu membayar ganti kerugian material (restitusi) kepada PARA WAKIL KELAS, dengan perincian sebagai berikut:
a. WAKIL KELAS I dan setiap anggota kelasnya, yang hingga saat pengajuan gugatan dalam Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian ini terhitung masing-masing sebesar Rp. 6.200.000,b. WAKIL KELAS II dan setiap anggota kelasnya, yang hingga saat pengajuan gugatan dalam Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian ini terhitung masing-masing sebesar Rp. 5.200.000,c. WAKIL KELAS III dan setiap anggota kelasnya, yang hingga saat pengajuan gugatan dalam Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian ini terhitung masing-masing sebesar Rp. 3.500.000,-
100
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
d. WAKIL KELAS IV dan setiap anggota kelasnya, yang hingga saat pengajuan gugatan dalam Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian ini terhitung masing-masing sebesar Rp. 4.665.000,4. Membentuk “Komisi Ganti Kerugian” guna melaksanakan putusan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ini, yang beranggotakan PARA WAKIL KELAS, TERGUGAT daninstansi terkait ataupun unsur independen lainnya yang dianggap perlu ; 5. Merehabilitasi kehormatan dan nama baik PARA WAKIL KELAS dan anggota kelasnya pada kedudukan semula; 6. Menyatakan putusan atas gugatan PARA WAKIL KELAS dalam Penggabungan Perkara Gugatan Kerugian ini dapat dijalankan terlebih dahulu meski ada upaya hukum (uitvoerbaar bij voeraad) 7. Menghukum TERGUGAT untuk membayar biaya perkara gugatan dalam Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian ini.
B. Subsidair :
101
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono)
D. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian tersebut diatas adalah bahwa dalam pemeriksaan dengan alat bukti yang sah sebenarnya kesalahan terdakwa telah dapat dibuktikan, namun demikian karena tidak didukung oleh keyakinan hakim maka kemudian terdakwa dinyatakan bebas. Keyakinan hakim yang mendasari putusan yang diambil mengandung unsur kontradiktif dan tidak konsisten dengan pertimbangan dan argumen yang dibangun. Dalam putusannya hakim menyatakan penolakannya bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat, karena tidak terpenuhinya unsur meluas atau sistematis. Tampaknya hakim kurang cermat dalam menghubungkan antara fakta hukum yang terjadi sebagai peristiwa konkrit dengan ketentuan hukum yang seharusnya berlaku. Akibat dari putusan ini adalah timbulnya preseden buruk untuk keputusan pengadilan HAM yang akan datang. Karena senyatanya hukum dan lembaga peradilan mempunyai fungsi selain untuk mencegah kemerosotan sosial juga berperan sebagai alat untuk melakukan perubahan-perubahan sosial. Salah satu kemerosotan sosial yang ingin dicegah tentunya adalah negasi atas perlindungan harkat dan martabat manusia. Melalui aturan-aturan hukum yang diterapkan oleh lembaga peradilan setiap praktek penyangkalan terhadap hak-hak asasi manusia ini akan mendapatkan sanksi pidananya. Putusan-putusan pengadilan yang menetapkan sanksi pidana atas setiap bentuk pelanggaran hak asasi manusia diharapkan kemudian akan berfungsi sebagai alat perubahanperubahan sosial kearah yang lebih baik lagi dalam menjamin perlindungan terhadap manusia dan harkat kemanusiaannya. Pertanyaan yang mengemuka kemudian, apakah fungsi hukum dan lembaga peradilan telah gagal dijalankan dalam peristiwa Abepura ini? Untuk menjawab hal tersebut diatas, perlu ditelaah kemudian fungsi hakim dalam pengejawantahan fungsi hukum dan peradilan. Hakim dalam memutus suatu perkara haruslah selalu mengkompromikan unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan
102
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
keadilan. Kepastian hukum mengandung arti bahwa hukumnya harus berlaku pada suatu peristiwa konkrit. 62 Dalam peristiwa konkrit pelanggaran HAM, hukum yang berlaku adalah UU No. 26 tahun 2000. Akan tetapi hakim tidak boleh lupa bahwa penerapan UU ini tidak terlepas dari seluruh sistem hukum yang melingkupinya. Artinya dalam penerapannya harus juga diperhatikan asas-asas yang berlaku dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan lainnya yang terkait. Seperti bila hendak memutuskan apakah telah terjadi pelanggaran hak asasi dalam proses pengejaran dan penangkapan maka selain menggunakan pertimbangan UU no 26 tahun 2000 ada baiknya hakim juga menggunakan asas praduga tak bersalah dan asas adanya larangan untuk melakukan penyiksaan yang tertuang antara lain dalam konvensi anti penyiksaan yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab dan sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Disamping itu, terlalu mengedepankan kepastian hukum tanpa memperhatikan unsur lain yaitu unsur kemanfaatan dan keadilan juga tidak akan memberikan makna pada putusan hakim itu sendiri. Dalam Kasus Abepura ini, nampaknya penolakan hakim untuk mempertimbangkan lebih lanjut tuntutan ganti rugi korban atas pelanggaran hak asasi manusia yang mereka derita merupakan satu contoh bahwa hakim hanya mendasarkan putusannya ini pada kepastian hukum tetapi sama sekali tidak memperhatikan unsur keadilan bagi para korban. Sementara unsur kemanfaatan menegaskan bahwa pelaksanaan dan penegakan hukum tersebut harus bermanfaat bagi masyarakat, jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan dalam masyarakat. 63 Dalam kasus Abepura, unsur kemanfaatan tidak nampak pada putusan hakim, sebab putusan yang diberikan oleh hakim dapat memberikan preseden buruk pada putusan pengadilan HAM serupa yang akan datang. Putusan ini semakin mengokohkan impunity pada mereka yang potensial menjadi pelaku. Bagi institusi peradilan sendiri, putusan demikian dapat mengurangi kepercayaan masyarakat atas kinerja pengadilan HAM Sedangkan unsur keadilan menegaskan bahwa putusan hakim harus memenuhi rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. 64 Artinya bahwa hakim harus selalu mengikuti dan menggali dinamika nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat akhir-akhir ini baik pada taraf nasional maupun internasional. Sungguh suatu kenyataan ironis, fakta adanya tiga orang meninggal dunia dan hampir seratus orang menderita fisik maupun mental akibat perlakuan represif aparat kepolisian tidak mampu membuat pengadilan HAM yang digelar memutuskan pertanggungjawaban pidana atas peristiwa tersebut. Lebih jauh lagi, adanya penggelaran pengadilan HAM ini juga tidak mampu memberikan sedikitpun ganti rugi, kompensasi, maupun restitusi bagi para korban.
62
Soedikno Mertokusumo, op.cit, hal. 130 ibid, hal. 131 64 ibid, hal. 131 63
103
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
LAMPIRAN
TABEL PROSES PEMBUKTIAN PERKARA JOHNY WAINAL USMAN DI PENGADILAN HAM MAKASAR TABEL I MELUAS Saksi yang diajukan Penuntut Umum (yang memberatkan) Lilimus Suhuniap : Ada penyerangan Polisi / Brimob ke asrama disertai penembakan Peneas Lokbere, Rubus Kogoya, Raga Kogoya, Amion Karunggu, Irene Karunggu (perempuan), Adrianus Gwijangge, Erias
Saksi yang diajukan Penuntut Umum (yang meringankan) Abdul Razak Hamid: 1. Saksi adalah Komandan Pleton di Markas Brimob dan kenal terdakwa. 2. Saksi mendapat laporan dari Mahzak Kareni bahwa
Saksi yang diajukan Penasehat Hukum Drs. H Salam Usman 1. Saksi tidak melihat korban, saksi mengetahu inya dari koran 2. Saksi tidak tahu ada anggota masyarakat yang
Barang Bukti yang diajukan Penasehat Hukum
Keterangan Ahli
Dr.dr.H Hadiman 1. Keahliannya 8. 4 buah adalah di parang bidang begagan kepolisian g kayu, dan pernah disita menjabat tanggal sebagai 7 Deputi Desemb Operasi er 2000 POLRI, di Polsek Direktur Abepura Samapta 9. 2 buah POLRI, dan parang
Keterangan Terdakwa
1. Sejak bulan Nopember 2000 hingga Mei 2001 bertugas sebagai Dan Sat Brimo di Polda Papua 2. Pada saat peristiwa penyerangan, terdakwa sedang tidur di rumah dinas dengan jarak
104
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Gwijangge: 1. Penyerangan Pukul 2 malam, para saksi dikagetkan dengan suara ribut di Asrama Ninmin karena ada kebakaran di lingkaran Abepura. 2. Manurut saksi Amion Karunggu, ada orang datang (Gomboh) ke asrama dan menuntut kemerdekaan dan kemudian pergi. Petugas Brimob masuk ke asrama dengan menembak langsung ka arah atap,
terjadi penyerangan. Atas inisiatif sendiri saksi memberangka tkan 25 orang Brimob menggunakan truk. 3. Saksi melapor ke terdakwa (atasannya) kemudian terdakwa memerintahka n untuk mengumpulk an anggota dan meningkatkan kewaspadaan. 4. Saksi tahu ada masyarakat yang diserahkan Brimob ke Polsek, kirakira sebanyak
ditangkap, meninggal 3. Saksi tidak mengetahu i pelaku penyerang an Polsek, hanya saksi yakin pelaku adalah orang Papua asli. Saksi tidak tahu orang asrama Ninmin terlibat atau tidak dan tidak pernah mengecek ke rumah sakit mengenai korban penangkap an.
bergaga Wakil ng kayu Komandan disita Satuan tangga 7 Brimob Desemb 2. Tindakan er 2000 yang di Polsek dilakukan Abepura anggota 10. 2 buah Brimob parang yakni bergaga pengejaran ng kayu dan disita penangkapa tanggal n adalah 7 tepat agar Desemb kerusuhan er 2000 dan korban di yang lebih Kantor besar tidak Otonomi berkembang Papua Prof Indriyanto 11. 2 buah Senoadji,SH : parang 1. Ahli adalah tulang Guru Besar macan, UI, UNPAD, bergamb Udayana dan ar tulang PT IK di kasuari bidang
kurang lebih 200m dari Markas Brimob. Berita penyerangan diperoleh dari anak buah terdakwa 3. Perwira piket (Letnan Abdul Razak) melaporkan ke terdakwa bahwa ia telah mengirimkan anggota untuk memback-up Polsek, kemudian terdakwa memerintahkan perwira piket untuk mengumpulka n kembali anggota 4. Terdakwa melaporkan
105
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
memaksa penghuni asrama keluar ke jalan Biak Jhon Jakatio Wakur, Yunus Kagoya, Piter Kogoya : 1. Para saksi tidak mengetahui kejadian penyerangan Polsek Abepura, kecuali saksi Piter Kogoya. 2. Pada saat sedang kerjabakti menyambut natal, 3 mobil truk yang berisi Brimob dan Polisi datang dan menyuruh keluar ke jalan raya lalu
22 orang tetapi saksi tidak tahu dari mana asal mereka. Emilianus Tikuk : 1. Saksi melihat ada anggota masyarakat yang ditangkap di ruang tahanan Polres dan Polsek. 2. Diantara mereka ada yang dari Kotaraja, Asrama Ninmin, Suku Wamena Doni Ruswono 1. saksi adalah Pamapta I Polres Jayapura dan kenal dengan terdakwa 2. saksi
4. Saksi tidak tahu penangkap an dilakukan oleh Brimob atau bukan dan tidak tahu mengenai anak buah terdakwa yang diproses secara hukum atas peristiwa tersebut
Drs. Made Mangku Pastika 1. Pada saat itu saksi adalah Kapolda dan
disita tanggal 7 Desemb er 2000 di Polsek Abepura 12. 1 ikat busur dan tombak disita tanggal 7 Desemb er 2000di sekitar Polsek Abepura 13. 1 ikat busur dan anak panah disita tanggal 7 Desemb
Hukum Pidana yang meliputi Hukum Pidana bidang HAM 2. pengertian “korban banyak” adalah diatas 50 orang dan tidak perlu semua dalam keadaan mati 3. pengertian “meluas” adalah tidak terbatas pada satu tempat saja, 4. pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan pasal 9 UU 26/2000 adalah
kepada Wakapolda mengenai kejadian tersebut. Wakapolda memerintahkan untuk mengirim bantuan ke Polsek Abepura 5. Terdakwa menyerahkan anggotanya kepada Kapolsek 6. Semua anggota yang diperintahkan untuk memberikan bantuan dilengkapi persenjataan
106
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
disuruh tiarap diaspal dan merayap sambil dipukuli dengan popor senjata dan ditendang sepatu lars diatara orang tersebut ada seorang pendeta. 3. Saksi tidak memperhatika n apakah Brimob atau Polisi yang memukul, namun aksi tersebut berlangsung sekitar 25 menit. 4. Sejumlah 48 orang disuruh naik ke atas truk dan
mengetahui penyerangan Polsek Abepura 3. Saksi menerima anggota masyarakat yang ditahan di Polres sebanyak 23 orang Suryo Sudarmadi 1. Saksi adalah anggota kepolisian dan kenal terdakwa 2. Dalam melaksanakan patroli saksi menangkap 8 orang dalam mobilstarwagon karena curiga dan menemukan parang dan panah Zawal Halim : 1. Saksi sebagai komandan regu dan kenal dengan terdakwa
terdakwa adalah sebagai Dan Sat Brimob 2. Saksi mengetahu i penyerang an Abepura yang mengakiba tkan 1 polisi meninggal, dan 4 polisi mendapat vonis dari peristiwa penangkap an dan pengejaran di mana pelakunya adalah Brimob. 3. Menurut
er 2000 korban yang di banyak, kantor dilakukan Otonomi secara 14. 1 ikat sistematis anak dan terpola panah serta disita ditujukan tanggal kepada 7 penduduk Desemb sipil yang er 2000 merupakan di dasar dalam sekitar penyerangan Polsek Abepura Fadillah Agus, SH,MH 1. Ahli adalah dosen pada Universitas Syiah Kuala, Universitas Trisakti, dan Universitas Padjadjaran di bidang Hukum Militer dan Internasional
107
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
dibawa ke Polsek Abepura, lalu ke Markas Brimob kemudian ke Polres dan dipukul sepanjang perjalanan. 5. Saksi tinggal di Kotaraja, dan pada saat kerja bakti menggunakan skop. Pisau, parang dan sabit. Matias Heluka, Yapam Jokosam, Japan Wambu : 1. Para saksi tidak tahu tantang kejadian penyerangan Polsek Abepura kecuali saksi
2. Saksi pernah mendapat perintah untuk pergi ke Tanah Hitam karena ada pembakaran di Kantor Kehutanan 3. Di tanah Hitam, saksi melihat bekas kebakaran dan bom molotov yang menurut Polsek Arso dilakukan oleh orang tidak dikenal 4. Ada korban 5 orang yang dievakuasi ke Jayapura Prasetyo Widiyono 1. Saksi sebagai Kasatserse Polres jayapura 2. Saksi menemukan barang bukti
saksi pengejaran harus segera dilakukan tanpa menunggu perintah karena ada orang yang melakukan tembakan. Pengejaran dilakukan sampai ke perbatasan skyline, dan disana ada anggota yang tertembak serta mengalami luka 4. Saksi tidak tahu dari kesatuan
Publik 2. Serangan meluas adalah mencakup daerah, korban yang sebetulnya tidak ada ukuran kuantitatif. Tommy Sihotang SH,LL.M: 1. Ahli adalah dosen di Fakultas Hukum Universitas Atmajayadi Bidang HAM, pengajar di Sesko TNI dan Seskoal Jakarta 2. Pelanggaran berat HAM adalah
108
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Japan Wambu. seperti bom 2. Para saksi molotov, tinggal di parang, panah, perumahan dan tombak Abepantai 3. Di Mapolres yang jaraknya Jayapura saksi 3 km dari melihat kurang Polsek lebih 100 orang Abepura. berkumpul dan 3. 3 orang Brimob diantaranya dan langsung berasal dari melepaskan asrama Ninmin, tembakan 3 IMI, Skyland, kali, petugas dan diantara memukul mereka ada kepala saksi yang luka-luka, dengan popor memar, senjata dan berdarah dan menendang sedang diobati dengan sepatu oleh dr.Widi lars, kemudian John Frederick dibawa ke Kamodi kampung 1. Saksi adalah Kotalimadi Komandan mana disitu Pleton Unit telah Brimob Polda berkumpul Papua dengan penduduk anak buah 5
mana Brimob yang melakukan pengejaran dan penangkap an dan tidak ada Brimob yang di BKO kan 5. Saksi tidak tahu apakah asrama Ninmin terlibat, Saksi hanya tahu jarak asrama dengan Polsek Abepura 150 m. Menurut saksi tidak
kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. 3. “meluas dan sistematis” mempunyai kaitan yang erat satu sama lain. “Meluas” artinya daya cakupannya luas
109
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
kurang lebih 70 orang dan orang yang kenal dengan dikelilingi terdakwa anggota 2. Saksi brimob. diperintahkan 4. Mereka di untuk bawa ke truk melakukan dan dipukuli pengejaran ke serta diinjakkantor otonomi injak sehingga di Skyland satu orang bersama 5 kawan saksi orang lumpuh total anggotanya dan dan kemudian anjing pelacak meninggal tetapi tidak tahun 2003. menemukan apa-apa Yedit Koromat, Djean Evick S Ali Sadikin Mambrassar : 1. Terdakwa 1. Saksi tinggal di adalah saksi di asrama Yapen unit Brimob Waropen yang Polda Papua semua 2. Saksi tidak penghuni melihat ada merupakan anggota suku serui masyarakat berjumlah 30 yang ke orang dan Mapolres,
ada tempat khusus kelompok separatis berkonsent rasi Michael Eluay : 1. Saksi mengetahu i asrama Ninmin, asrama Yawa, Pemukima n Abepantai, dan skyline di Papua, tetapi tidak tahu apakah mereka terlibat dalam penyerang an 2. Saksi tidak setuju jika
110
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
semua lakilaki. 2. Saksi tidak tahu kejadian penyerangan Polsek Abepura. Jam setengah 6 pagi ada tembakan di luar asrama, dan sempat mengenai salah seorang penghuni bernama Timoti Sarawi. Saksi berusaha bersembunyi di rumah Pak Haji namun disuruh keluar oleh Brimob (terlihat dari pakaiannya). Saksi dipukuli seluruh badan kemudian dibawa ke truk.
namun saksi mendengar ada anggota masyarakat yang kesana, namun saksi tidak tahu ada diantara mereka yang luka dan meninggal I Gusti Ngurah Rai Mahaputra 1. Saksi menjabat sebagai Kapuspodal ops dan kenal dengan terdakwa 2. Yang melakukan pengejaran dan penyekatan adalah anggota Polisi dan Brimob
peristiwa dikatakan sebagai pelanggara n Ham yang berat karena ini hanya peristiwa biasa yang dilakukan oleh kelompok dari generasi ke generasi. 3. Saksi tidak pernah tahu ada anggota Brimob melakukan eksesekses.
Drs. Yosi Muharmatha 1. Saksi adalah Wadan Yon A
111
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Brimob Papua dan Timunius membawahi 800 Wakerwa, Deni anggota. Saksi Degey : kenal dengan 1. Para saksi terdakwa tinggal di 2. Saksi tahu ada asrama IMI anggota yang yang melakukan berpenghuni pengejaran dan kurang lebih 30 penyisiran orang, dan terhadap orangberasal dari orang yang suku Yani diduga Jayawijaya. melakukan 2. Para saksi tidak penyerangan tahu kejadian Polsek Abepura penyerangan Polsek Ahmad Fauzan Abepura. Adiman, SH 3. Tiga orang 1. Saksi adalah Brimob tanggal anggota Polisi 8 Desember dan bertugas di masuk kamar kepolisian saksi dengan Jayapura sejak menendang 1999. saksi pintu, kenal dengan kemudian terdakwa memukul saksi
112
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
dengan popor 2. Pada saksi senjata, mengamankan menendang bundaran dengan sepatu Abepura, ada lars dan tembakan dari memukuli dari arah kawan-kawan gunung dan lain. Mereka mengenai (14 orang) anggota saksi disuruh jalan bernama David jongkok Sirdi menuju mobil 1. Saksi adalah yang jaraknya Dan Ton I 100m, dibawa Batalyon A dengan mobil Brimob Papua dan diinjakdan kenal injak. Mereka dengan diturunkan di terdakwa Markas Brimob 2. pada saat Kotaraja, peristiwa, saksi dipukuli dan berada di ditendang Markas Brimob kemudian di dan langsung bawa ke Polres berpakaian Jayapura. Saksi wana tutul mengetahui coklat dan baret pelaku biru menuju pemukulan TKP. Sampai di
113
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
adalah Brimob dari pakaiannya.
Polsek, tidak ada anggota brimob lain selain saksi dan Manase Ara : anggota 1. Saksi adalah 3. Saksi Ketua RW 03 mengendarai tempat asrama bis dan Ninmin sesampai di berada. lingkaran 2. Saksi mengenal Abepura ada ketua asrama tembakan dari Ninmin yakni gunung dan Peneas mengenai Lokbere. Saksi anggota saksi mengetahui 4. Saksi tidak kepulan asap melakukan di Pasar pengejaran ke Abepura tetapi pelaku, tidak tahu menunggu penyerangan hingga besok Polsek pagi baru Abepura. kemudian naik 3. Saksi melihat gunung. Saksi ada orang yang tidak membawa menemukan anak panah pelaku hanya (orang Papua ada anak panah, asli tetapi tidak
114
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
tahu dari suku mana) dan berlari ke asrama Ninmin dan dikejar oleh aparat. 4. Saksi mengetahui aparat tersebut adalah Brimob dari pakaiannya yang berwarna kehitaman dan berjumlah 2030 orang. 5. Saksi tidak tahu apa yang dilakukan aparat di asrama Ninmin, namun saksi melihat anaanak asrama dikumpulkan di lampu jalan Biak. Mereka
busur serta parang. Barangbarang tersebut diserahkan ke Polsek Kombes Pol. Drs. Much Kusnadi 1. Saksi sebagai Kapuskodal ops Polda Papua, dan kenal dengan terdakwa 2. Sepuluh hari sebelum peristiwa penyerangan terhadap Mapolsek, ada ancaman akan penyerangan, sehingga pihak Kepolsisian meningkatkan operasi Sadar Matoa yang anggotanya adalah
115
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
dipukuli, ditendang dan jumlahnya sekitar 20 orang termasuk anakanak dan perempuan. 6. Anak-anak dibiarkan pulang, dan yang dipukuli hanya laki-laki. Saksi mengetahui ada 2 orang penghuni asrama meninggal dari ketua asrama. Saksi tahu OPM tetapi tidak ada warganya yang anggota OPM. Drs. Ishak Tabuni, MM 1. Saksi adalah
gabungan aparat termasuk Brimob Alex Kora : 1. Saksi adalah Kapolsek Abepura dan kenal dengan terdakwa. 2. Saksi mengetahui kejadian penyerangan Polsek 3. Di Mapolsek saksi melihat terdakwa dan Kapolres. 4. Saksi mengetahui ada 20 orang anggota Brimob yang diBKO kan di Polsek tetapi bukan saksi yang meminta.
116
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
anggota DPRD 5. Saksi dan kenal mengetahui ada terdakwa anggota 2. Saksi masyarakat mengetahui diserahkan penyerangan Brimob ke Polsek Polsek tetapi 3. Saksi melihat tidak tahu dari penyisiran suku mana. yang dilakukan anggota Brimob, dimana sekelompok masyarakat dikumpulkan dan dipukul, disepak sepatu lars, serta dinaikan ke truk 4. Saksi melaporkan kejadian tersebut ke Ketua DPRD akhirnya dibentuklah
117
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
tim yang terdiri dari Ketua DPRD, Ketua Komisi B, dan Komisi HAM. Mereka turun ke asrama Ninmin, dan menemukan orang yang luka-luka, lalu dibawa ke RS Dian Harapan Drs.Paulus Yohannes Sumeno, OFS 1. Saksi mengetahui penyerangan Polsek karena ditelepon seseorang 2. Saksi didatangi orang dari asrama yaitu Ketua Asrama yang melaporkan
118
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
kejadian di Skyland dan asrama Ninmmin, dan saksi langsung melaporkan ke ketua DPRD
TABEL 2 SISTEMATIS Saksi yang diajukan Penuntut Umum
Mahzak Kareni (anggota Polisi) 1. Saksi korban penyerangan orang tidak dikenal ke Polsek Abepura 2. Kawan saksi bernama Petrus Epa meninggal dunia akibat serangan tersebut
Alat Bukti yang diajukan Penuntut Umum 1. Foto copy Surat Perintah KAPOLRI No.Pol. Sprin/4205/ XI/2000 tanggal 22 November 2000 tentang
Saksi yang diajukan Penasehat Hukum
Drs. H Salam Usman 1. Saksi berada di Papua atas perintah Mendagri, selama bertugas kurang lebih 36 tahun saksi berkesimpulan bahwa : mudah
Alat Bukti yang diajukan Penasehat Hukum Bukti Surat : 1. Surat Kapolres Jayapura No.B/109 1/XII/20 00/Kodal tanggal 16 Desembe
Keterangan ahli
Prof Indriyanto Senoadji,SH 1. Pengertian “sistematis ” lebih berkaitan pada kebijakan penguasa 2. Pengertian
Keterangan Terdakwa
1. Menurut terdakwa Operasi Matoa adalah pendekata n kasih sayang terhadap seluruh
119
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
3. Setahu saksi pelaku penyerangan adalah musuh karena sebelumnya terdapat gejolak berupa pengibaran bendera bintang kejora. 4. Saksi mengetahui dilakukannya operasi penangkapan dan penyisiran. Irjen.Pol. Drs. Moersoetidarno Moerhadi, MM 1. Saksi adalah Wakapolda Papua dan kenal dengan terdakwa 2. Saksi pernah memerintahkan terdakwa untuk membantu Polsek Abepura untuk melakukan pengejaran dan penyekatan terhadap orang yang diduga
Pelaksanaan Tugas Kepolisian Pengaman Wilayah di Daerah Polda Irian Jaya Sebagai Pasukan Perkuatan Tambahan 2. Foto copy Surat Perintah Kapolda Irian Jaya No.Pol. Sprin/20/I/ 2001 tanggal 16 Januari 2001 tentang Surat Perintah Tugas BKO Resimen 111 Yon “B” KORBRIMO B POLRI ke
dipengaruhi, berbuat hal-hal yg tidak benar serta mereka bersatu seperti keluarga. 2. Saksi mengetahui tindakan penyerangan Polsek dan penyebabnya adalah bahwa orang Papua tidak ingin daerahnya didatangi pendatang Drs. Made Mangku Pastika Selama saksi bertugas sebagai Kapolda (Februari 2000-2002) memang ada kegiatan mahasiswa di luar kampus. Keadaan pada saat itu memang tidak kondusif karena serangan yang
r 2000 2. Petunjuk Pelaksan aan No.Pol.J UKLAK/ 08/V/19 94 tanggal 27 Mei 1994
“kebijakan ” tidak sama dengan kebijakan dalam Tata Usaha Negara, dan apabila pelaksaan kebijakan itu tidak sesuai dengan tujuan yang akan dicapai maka kebijakan masuk dalam pelanggara n pidana Fadillah Agus, SH,MH Serangan adalah merupakan
masyaraka t Papua yaitu dengan pendekata n keagamaan , kekeluarga a, dll agar tidak mudah terprovoka si oleh separatis 2. Dalam keadaan biasa sulit membedak an masyaraka t biasa dengan TPM, ada kalanya mereka bersatu dengan
120
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
pelaku karena peristiwa penyerangan tersebut. 3. Saksi tidak menerima informasi mengenai pelaku penyerangan Polsek. Laporan Kapolres adalah ada anggota masyarakat yang ditangkap dan ditahan, ada yang dibawa ke rumah sakit dan ada pula yang meninggal dunia Irjen Pol. Drs Sylvanus Wenas 1. Saksi sebagai Kapolda Papusa sejak 5 Nopember 1999 dan kenal dengan terdakwa 2. Saksi baru
Polres Jayapura
dilakukan separatis sudah terencana dengan maksud memisahkan diri dari Indonesia. Michael Eluay 4. Saksi adalah anak dari Theys Eluay, dan menjabat sebagai Komandan Satgas Papua dari19982003 dan saksi kenal dengan terdakwa 5. Saksi mengetahui kondisi Papua tahun 1998-2004 yang sangat mencekam. Beberapa warga masyarakat mengingingkan kemerdekaan Papua dan kelompok tersebut bersenjata. Mahasiswa
kebijakan dari penguasa yang menyangkut luas dan efeknya. Serangan sistematis adalah serangan yang dilakukan sebagai suatu kebijakan yang diambil oleh pengambil keputusan. Kebijakan Penguasa adalah mengarah pada hal-hal yang bersifat diskriminatif, merupakan keputusan politis yang tidak harus tertulis
masyaraka t 3. Pelaku penyerang an Polsek Abepura adalah separatis, karena seperti telah dijelaskan di buku putih bahwa sebelum penyerang an separatis telah mengungsi kan keluargany a, dan telah diintruksik an oleh Panglima Perangnya
Tommy
121
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
mengetahui kemudian ada penyerangan ke asrama Ninmin yang dilakukan gabungan Polisi dan Brimob, dikarenakan ada laporan pelaku penyerangan Polsek lari ke asrama tersebut 3. Operasi Matoa adalah untuk mengantisipasi pengibaran bendera bintang kejora dan ulang tahun kemerdekaan papua
kampus juga ikut bereperan secara independen. 6. Tentang penyerangan/per istiwa 7 Desember 2000 saksi tidak tahu secara pasti. Saksi tidak tahu pelakunya, namun menurut saksi 80%imperial, dan kelompok keras tersebut sering mengadakan koordinasi dengan kelompok lain karena pada saat itu saksi menjabat sebagai satgas Tugas satgas adalah membina masyarakat supaya tidak pecah. Hubungan satgas dengan aparat sangat
Sihotang SH,LL.M: 1.Sistematis berarti terencana dan terpola atau ada metodanya dan bukan sporadis. 2. Kebijakan pasti sistematis dan ada perencanaanny a, ada dukungan logostik serta evaluasi, dll.Sehingga kebijakan tersebut dapat dikatakan sebagai keputusan pennguasa dan harus dalam bentuk tertulis
Mathias Wenda untuk melakukan persiapan dan rapat gelap.
122
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
mesra
TABEL 3 PEMBUNUHAN Saksi yang diajukan Penuntut Umum
Lilimus Suhuniap : Saksi mendengar tembakan, dan dinaikan ke atas mobil truk oleh Brimob dalam keadaan tiarap. Di mobil ia bersama Elkius (kakaknya) yang menurutnya sudah meninggal karena mata putihnya ke atas. Elkius diturunkan di suatu tempat dan saksi di bawa ke Polres. Saksi tidak tahu kapan pastinya Elkius meninggal dunia, ia hanya mendengar Elkius sudah dikubur. Saksi bisa membedakan pegawai Pemda dan Polisi. Agus Kabak : Saksi sedang merayakan natal di rumah Elkius.Setelah selesai mandi dan masuk ke rumah ia terkena pukulan dan penembakan dari Aparat Brimob. Saksi menetahui kawannya Elkius ditembak dan pelakunya adalah Brimob dari pakaiannya, tetapi saksi tidak mengenali orang tersebut. Saksi tidak mendengar adanya perintah menembak. Hubungan saksi dengan Elkius adalah satu kampung
Alat Bukti yang diajukan Penuntut Umum
Saksi yang diajukan Penasehat Hukum
Visum et Repertum Nomor : 353/174 tanggal 13 Desember 2000, a.n : ELKIUS SUHUNIAP
Drs. Made Mangku Pastika Sepengetahuan saksi ada 4 orang yang diproses secara hukum dan mereka adalah kelompok separatis. Dan terdakwa tidak melaporkan secara detail mengenai orang-orang yang luka dan meninggal dunia
Yuli Titus kendek : Saksi mendengar ada anggota masyarakat yang meninggal
123
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Emilianus Tikuk : Saksi mengetahui ada 2 orang anggota masyarakat yang meninggal dunia John Frederick Kamodi 1. Saksi adalah Komandan Pleton Unit Brimob Polda Papua dengan anak buah 5 orang dan kenal dengan terdakwa 2. Saksi diperintahkan untuk melakukan pengejaran ke kantor otonomi di Skyland bersama 5 orang anggotanya dan anjing pelacak tetapi tidak menemukan apa-apa 3. Setahu saksi, tidak ada anggota saksi yang melakuka penganiayaan karena saksi bersama anggota tidak bertemu siapasiapa di Kantor Otonomi Prasetyo Widiyoono 1. Saksi sebagai Kasatserse Polres Jayapura 2. Saksi mengetahui ada anggota masyarakat yang ditangkap luka parah dan keesokannya meninggal dunia, tapi saksi tidak tahu penyebabnya 3. Saksi mengetahui dari koran mengenai orang yang ditangkap dan meninggal dunia Abraham Soplanit 1. Saksi bekerja di kamar jenasah RSUD Dok II Jayapura, dan tidak kenal terdakwa 2. Saksi menerima 3 orang mayat, yang diserahkan polisi tanggal 7 Desember 2000 3. Saksi melihat mayat dalam keadaan memar, mukanya bengkak,
124
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
kemungkinan karena benda tumpul, dan ada juga yang seperti kena peluru 4. Mayat tersebut diotopsi dr.Fredy atas permintaan kepolisian dan dibuat visum et repertum Drs. Ishak Tabuni, MM 5. Saksi adalah anggota DPRD dan kenal terdakwa 6. Tanggal 8 Desember 2000 Saksi pergi ke RSUD Dok II dan melihat 3 orang mayat tetapi saksi tidak tahu nama-namanya dr.Freddy Naiborhu 1. Saksi adalah dokter di RSUD Dok II Jayapura sejak 2000 dan tidak kenal dengan terdakwa 2. Saksi pernah membuat visum et repertum terhadap tiga orang mayat bernama Ori Doronggi, Jhoni Karunggu, dan Elkius Suhuniap atas permintaan Polisi Militer dan KOMNAS HAM 3. Ketiga mayat tersebut dibawa oleh Polisi ke RSUD tanggal 8 Desember 2000 4. Kematian ketiga orang tersebut antara 16-38 jam yang lalu (tanggal 7 Desember 2000) TABEL 4 PENGANIAYAAN Saksi yang diajukan Penuntut Umum
Alat Bukti yang diajukan Penuntut Umum
Saksi yang diajukan Penasehat Hukum
Alat Bukti yang diajukan Penasehat Hukum
Keterangan Terdakwa
125
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Saksi Lilimus Suhuniap (pemukiman
warga asal suku Yali,Anggruk di Skyline Kecamatan Jayapura, Selatan) :
1.Tidak tahu adanya penyerangan Polsek Abepura. 3. Saksi ditendang dengan sepatu lars, dipukul popor senjata, dipaksa naik truk dan dipukuli hingga tiba di Polres. Peneas Lokbere, Rubus Kogoya, Raga Kogoya, Amion Karunggu, Irene Karunggu (perempuan), Adrianus Gwijangge, Erias Gwijangge (Asrama Ninmin): 1. Para saksi tidak tahu pembakaran Polsek Abepura dan pengrusakkan ruko, kecuali Adrianus Gwijangge. 2. Para saksi di bawa dengan cara menendang dan dipukuli dengan popor senjata baik laki-laki maupun perempuan termasuk anak usia 5 tahun. 3. Polisi menyuruh naik ke atas mobil brimob (karena ada logonya) 9 laki-laki dan 14 perempuan dan dibawa ke markas Brimob kemudian ke Polres Abepura.
1. Surat Medical Record/Resume penderita Rawat Inap (Asli) dari umah Sakit Dian Harapan Jayapura atas nama Tn. Penias Lokbere, umur 24, jenis kelamin laki-laki, agama kristen protestan, pekerjaan mahasiswa, alamat asrama Ninmin, Jalan biak 2. Visum et repertum tanggal 5 April 2002 LOKBERE (asli) 3. Surat Medical Record/Resume penderita Rawat Inap (Asli) dari umah Sakit Dian Harapan Jayapura atas nama Tn. Pesut Lokbere, umur 25 tahun, jenis kelamin laki-laki, agama kristen protestan, pekerjaan mahasiswa, alamat asrama Ninmin,Jalan
Drs.Made Mangku Pastika : Karena ada ekses dari tindakan pengejaran dan penyekatan, saksi memerintahkan Ankum untuk memberikan hukuman disiplin
1. 4 buah parang begagang kayu, disita tanggal 7 Desember 2000 di Polsek Abepura 2. 2 buah parang bergagang kayu disita tangga 7 Desember 2000 di Polsek Abepura 3. 2 buah parang bergagang kayu disita tanggal 7 Desember 2000 di Kantor Otonomi
Terdakwa mengetahui ada anggota masyarakat yang dibawa ke Markas Brimob dari laporan anggotanya, karena ia tidak berada di sana. Kemudian ia memeritahkan untuk membawa mereka ke Polres
126
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
4.
Polisi tersebut adalah gabungan Polisi biasa dengan Brimob. 5. Di mobil mereka terus dipukuli. Di Polres mereka dipisahkan antara wanita dan laki-laki kemudian dimasukan di ruang tahanan dan dipulangkan. 6. Saksi Adrianus Gwijangge mengetahui bahwa dua kawanya Ori dan Johny meninggal pad asaat ditahan. Saksi tidak simpati dengan gerakan OPM. Yedit Koromat, Djean Evick S Mambrassar (Asrama YAWA): Tidak ada pemukulan selama perjalanan menuju Polsek. Saksi bergabung dengan beberapa orang yang telah dipukuli di ruang tahanan Polsek. Selama di Polsek saksi sempat dipukuli. Para saksi tidak terlibat dalam organisasi baik di kampus maupun OPM. Andreas Waker, Atten Anom(Asrama IMI) : 1. Bebrapa Anggota Brimob datang ke asrama IMI dan langsung menangkap, memukul serta menendang penghuni asrama.
4.
5.
6.
7.
8.
Biak Visum et repertum tanggal 5 April 2002 a.n Pesut Lokbere Visum et repertum tanggal 13 April 2002 a.n Johny Karunggu Surat Medical Record/Resume penderita Rawat Inap (Asli) dari umah Sakit Dian Harapan Jayapura atas nama Tn. Erias Ubruangge umur 23 tahun, jenis kelamin laki-laki, agama kristen protestan, pekerjaan mahasiswa, alamat asrama Ninmin,Jalan Biak Visum et repertum tanggal 5 April 2002 a.n Erias Ubruangge Surat Medical Record/Resume penderita Rawat Inap (Asli) dari umah Sakit Dian Harapan Jayapura
Papua 4. 2 buah parang tulang macan, bergambar tulang kasuari disita tanggal 7 Desember 2000 di Polsek Abepura 5. 1 ikat busur dan tombak disita tanggal 7 Desember 2000di sekitar Polsek Abepura 6. 1 ikat busur dan anak panah
127
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
2. Para penghuni dikumpulkan, dan disuruh tiarap di tanah, dipukul dengan ujung senjata dan ditendang, disuruh merayap dan naik truk brimob 3. Pada saat naik ke truk, saksi terus disiksa hingga sampai di Markas Brimob Kotaraja 4. Di Markas Brimob Kotaraja saksi ditendang dan dikepung oleh anggota Brimob yang jumlahnya banyak, dan saksi diperlakukan seperti bola. 5. Penyiksaan juga terus dilakukan di Polres Jayapura. Kemudian saksi diinterogasi sambil dipukul dengan balok. 6. Saksi ditahan satu malam dan dilepaskan keesokan harinya. (saksi tidak hadir, berkas pekara dibacakan di persidangan) Arnol Mundu Soklayo (Pemukiman Warga asal Kotalima Memberamo dan Wamena Barat di Abe Pantai), : 1. Saksi bersama saudaranya bernama Yapam Yokosam disuruh keluar oleh 2 orang Brimob dengan senjata
atas nama Tn.Simson, umur 21 tahun, jenis kelamin laki-laki, agama kristen protestan, pekerjaan mahasiswa, alamat asrama Ninmin,Jalan Biak 9. Visum et repertum tanggal 5 April 2002 a.n SIMSON (asli) 10. Visum et repertum No.SV/28/IV/2002/RS AL tanggal 4 April 2002 a.n Arnold Mundu Soklayo 11. Surat Medical Record/Resume penderita Rawat Inap (Asli) dari rumah Sakit Dian Harapan Jayapura atas nama Tn.Yason Awori, umur 22 tahun, jenis kelamin laki-laki, agama kristen protestan, pekerjaan mahasiswa, alamat Jl Kesehatan
disita tanggal 7 Desember 2000 di kantor Otonomi 7. 1 ikat anak panah disita tanggal 7 Desember 2000 di sekitar Polsek Abepura
128
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
ditodongkan ke saksi menuju ke Gerea Injil Indonesia. 2. Di Gereja telah berkumpul 30 orang tersiri anak-anak dan orang dewasa yang seluruhnya penduduk sekitar rumah saksi 3. Di depan gereja saksi ditendang oleh 2 orang Brimob. 4. Saksi dinaikan ke atas truk, disuruh telungkup dan diinjakinjak oleh kurang lebih 20 Brimob 5. Di Polsek Abepura saksi disuruh duduk ditanah, dipukul dengan popor senjata dan muka ditendang berkali-kali (saksi tidak hadir, berkas pekara dibacakan di persidangan) Alex Kora : 1. Mereka diinterogasi sejak pk.10.00 hingga maghrib, ada yang luka dan saksi sempat mengobatinya kemudian memberi uang taxi untuk pulang. 2. Saksi tidak bertemu terdakwa di Polsek. 3. Saksi melihat ada anggota masyarakat sekitar 8-10 orang sedang diinterogasi tetapi tidak tahu
12. Visum et repertum tanggal 5 April 2002 a.n Yason Awori (asli) 13. Surat Medical Record/Resume penderita Rawat Inap (Asli) dari umah Sakit Dian Harapan Jayapura atas nama Tn.Dat Wonda, umur 48 tahun, jenis kelamin laki-laki, agama kristen protestan, pekerjaan mahasiswa, alamat Jalan baru Kotaraja 14. Visum et repertum tanggal 5 April 2002 a.n Dat Awonda (asli) 15. Surat Medical Record/Resume penderita Rawat Inap (Asli) dari umah Sakit Dian Harapan Jayapura atas nama Tn.Yedit Koromat, umur 18 tahun, jenis kelamin laki-laki, agama kristen protestan, pekerjaan
129
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
sejak kapan. 4. Saksi mengetahui gerakan OPM dan ketuanya adalah Mathius Wenda. 5. Saksi tidak pernah menerima surat perintah dari terdakwa untuk melakukan penyerangan, dan penyiksaan terhadap masyakat sipil dan saksi tidak pernah melihat ada anggota Brimob yang melakukan penyiksaan sebelum dan sesudah peristiwa penyerangan Abepura.
mahasiswa, alamat Jalan Kamp Key 16. Visum et repertum tanggal 5 April 2002 a.n Yedit Koromat (asli) 17. Surat Medical Record/Resume penderita Rawat Inap (Asli) dari umah Sakit Dian Harapan Jayapura atas nama Tn.Micahel Klabo, umur 37 tahun, Yuli Titus kendek : jenis kelamin laki-laki, 1. Anggota Intel Polsek Abepura dan agama kristen kenal dengan terdakwa. protestan, pekerjaan 2. Saksi diperintahkan untuk Tani, alamat Jalan kamp menginterogasi mereka untuk Key mengetahui keterlibatan mereka 18. Visum et repertum dalam peristiwa penyerangan tetapi tanggal 5 April 2002 a.n saksi hanya mampu menginterogasi 2 Michael Klabo (asli) orang dan mereka menderita luka 19. Surat Medical tidak serius. Record/Resume penderita Rawat Inap Emilianus Tikuk : (Asli) dari umah Sakit 1. saksi adalah anggota Polres dan kenal Dian Harapan Jayapura dengan terdakwa atas nama Tn.Andreas 2. Ketika interogasi, diantara mereka ada Walker, umur 22 tahun, yang luka lecet di bagian punggung dan jenis kelamin laki-laki, sudah diobati dokter..
130
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
3. Saksi tidak memperhatikan ada yang berlumuran darah 4. Saksi sempat melakukan interogasi dan semua saksi mengatakan tidak terlibat 5. Saksi mengetahui yang membawa anggota masyarakat tersebut adalah Brommob 6.Tidak ada perintah dari Kasat Serse maupun Kapolres untuk melakukan penganiayaan dan pembunuhan
agama kristen protestan, pekerjaan mahasiswa, alamat asrama IMI BTN Puskopad 20. Visum et repertum tanggal 5 April 2002 a.n Andreas Walker (asli) 21. Surat Medical Record/Resume penderita Rawat Inap (Asli) dari umah Sakit Suryo Sudarmadi Dian Harapan Jayapura 1. Saksi adalah anggota kepolisian dan atas nama Tn.Atten kenal terdakwa Mom, umur 23 tahun, 2. Pada saat penagkapan saksi mengakui jenis kelamin laki-laki, melakukan pemukulan dengan agama kristen menempeleng 2 atau 3 kali (atas insiatif protestan, pekerjaan sendiri) karena orang tersebut ingin mahasiswa, alamat melarikan diri asrama IMI 22. Visum et repertum Doni Ruswono tanggal 5 April 2002 a.n 1. saksi adalah Pamapta I Polres Atten Mom (asli) Jayapura dan kenal dengan terdakwa 23. Surat Medical 2. Diantara anggota masyarakat ada Record/Resume yang tergores, dan lecet, karena menurut penderita Rawat Inap Briimob mereka melawan (Asli) dari umah Sakit Dian Harapan Jayapura Prasetyo Widiyono
131
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
1. Saksi sebagai Kasatserse Polres jayapura 2. Saksi dan anak buahnya melakukan interogasi kepada warga masyarakat, dan mereka semua bisa bicara, dan menurut dokter mereka baik-baik saja. 3. Hasil interogasi menyebutkan sebagian anggota masyarakat tidak terlibat sehingga Kapolres memerintahkan untuk dipulangkan John Frederick Kamodi Tidak ada anggota saksi yang melakukan penyiksaan Dr.Widi Budianto 1. Saksi sebagai Kasi Kesamapta Disdokkes Polda Irian Jaya 2. Saksi diberitahu perwira piket mengenai kejadian penyerangan dan diperintahkan untuk mengecek anggota yang dirawat di RS AL Jayapura. Saksi tidak menemukan ada enggota yang meninggal dunia 3. Saksi diperintahkan untuk mengecek keadaan masyarakat yang ditangkap. Hasilnya ada orang yang mengalami luka-luka dan 2 orang disarankan ke
atas nama Tn.Tandius Kogoya, umur 23 tahun, jenis kelamin laki-laki, agama kristen protestan, pekerjaan mahasiswa, alamat asrama IMI BTN Piskopad 24. Visum et repertum tanggal 5 April 2002 a.n Tandius Kogoya (asli) 25. Surat Medical Record/Resume penderita Rawat Inap (Asli) dari umah Sakit Dian Harapan Jayapura atas nama Tn.Pentianus, umur 18 tahun, jenis kelamin laki-laki, agama kristen protestan, pekerjaan mahasiswa, alamat asrama IMI 26. Visum et repertum tanggal 5 April 2002 a.n Petianus (asli) 27. Surat Medical Record/Resume
132
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
rumah sakit karena keadaanya melemah 4. Saksi menganggap orang-orang ersebut layak diinterogasi I Gusti Ngurah Rai Mahaputra 1. Saksi menjabat sebagai Kapuspodal ops dan kenal dengan terdakwa 2. Saksi melihat anggota Brimob menurunkan orang-orang dari mobil truk di halaman Mapolres Jayapura, dan dibawa keruang tunggu, namun tidak melihat ada yang luka parah. Saksi melihat ada yang dikasih makan dan besoknya mereka dipulangkan 3. Saksi mendapat laporan dan PAMAPTA ada anggota masyarakat yang meninggal dunia, dan saksi tidak tahu ada masyarakat yang ditahan lebih dari 3 hari
penderita Rawat Inap (Asli) dari umah Sakit Dian Harapan Jayapura atas nama Tn.Agus Kabak, umur 17 tahun, jenis kelamin laki-laki, agama kristen protestan, pekerjaan pelajar, alamat Nimboran 28. Visum et repertum tanggal 5 April 2002 a.n Agus Kabak (asli)
Dr. Markus L Sinaga, Spb 1. Saksi adalah dr di RS Dok II Jayapura 2. Saksi pernah memeriksa pasien bernama Agus Kabak, Yulius Kogoya, Mathias labele, tanggal 7 Desember 2000 3. Agus kabak menderita shock, pendarahan dari luka belakang dan
133
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
depan, perut membesar. Luka tersebut diduga disebabkan peluru senjata api, 4. Yulisu Kogoya dan Mathius Labele menderita pendarahan rongga perut, diduga akibat benturan benda tumpul dan dinding perut 5. Mereka tiba di RS dalam keadaan kritis, jika tidak segera mendapat penanganan maka dapat mengakibatkan kematian Drs.Paulus Yohannes Sumeno, OFS Saksi pergi ke asrama Ninmin dan melihat 4 orang terluka dan menyuruhnya untuk ke rumah sakit. Saksi juga melihat mobil Brimob yang mengembalikan orang-orang ke asrama Ninmin, namun tidak melihat ada yang luka-luka Dr.Evi Toriki 1. Saksi bertugas di Rs.Diang Harapan dan tidak kenal terdakwa 2. Dalam peristiwa Abepura ini saksi pernah menangani 13 pasien yaitu (1) Yedit Koromat, (2) Atten Mom, (3) Andrianus Wakrewa (4) Tandias Kogoya, (5) Simson, (6) Erias
134
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
3.
4.
5.
6.
Ubruangge, (7) Peneas Lokbere, (8) Petianus, (9) Pesut Lokbere, (10) Michael Klabo, (11) Yason Awori,(12) Dat Wonda, (13) Agus Kabak Saksi merawat ketiga belas pasien tersebut tanggal 9 Desember 2000, dan yang terlama dirawat adalah Agus Kabak, tidak ada diantara mereka yang meninggal dunia Saksi membuat visum et repertum tangggal 9 April 2002 atas permintaan penyidik HAM bukan kepolisian Yang mengantar para pasien adalah anggota ELSAM, dan sebagian polisi. Pasien berasal dari asrama Ninmin, IMI,BTN Puskopad dan Abepura. Menurut pengakuan pasien mereka dipukuli dan ditendang polisi Biaya pengobatan ditanggung Gubernur Papua
Irjen Pol. Drs Sylvanus Wenas 1. Saksi sebagai Kapolda Papusa sejak 5 Nopember 1999 dan kenal dengan terdakwa 2. Saksi mengetahui adanya pemukulan dan penganiayaan dari Surat Kabar Cendrawasih Pos, dan saksi
135
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
memerintahkan Kapolres untuk melakukan pengusutan dan saksi juga memberikan hukuman disiplin terhadap anggota yang melakukan kekerasan 3. Saksi melihat anggota masyarakat yang ditahan di Polsek, dan menurut pengakuan mereka keadaan mereka baik-baik saja 4. Akibat pengejaran tersebut, ada 3 anggota masyarakat yang meninggal dunia, saksi telah memerintahkan untuk membuat visum et repertum 5. Tindakan anak buah saksi dalam penangkapan tersebut adalah membela diri karena ada perlawanan
TABEL 5 ATASAN/KOMANDAN dan KEKUASAAN dan PENGENDALIAN YANG EFEKTIF Saksi yang diajukan penuntut umum Suryo Sudarmadi 1. Saksi adalah anak buah terdakwa 2. Saksi diperintahkan Dan Sat bersama 10 orang anggota untuk pergi ke Polsek Abepura untuk membantu
Saksi yang diajukan penasehat hukum Drs. H Salam Usman 1. Saksi kenal terdakwa dan mengetahui posisi terdakwa sebagai Dan
Keterangan Ahli Fadilah Agus SH, MH : 1. Atasan dan komandan yang dimaksud pasal 28
Keterangan Terdakwa Sejak bulan Nopember 2000 hingga Mei 2001 bertugas sebagai Dan Sat Brimo di
Alat Bukti Fotocopy Surat Keputusan Kapolri Nomor.Pol: SKEP/XI/2000
136
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
dalam penangkapan terhadap pelaku dan tidak ada perintah lain. 3. Pemukulan yang saksi lakukan bukan atas perintah Dan Sat namun inisiatif saksi sendiri. John Frederick Kamodi 5. Saksi adalah Komandan Pleton Unit Brimob Polda Papua dengan anak buah 5 orang dan merupakan anak buah terdakwa 6. Saksi melihat dan mendengar terdakwa memberikan APP yang isinya antara lain memberi penjelasan kepada anggota tentang peristiwa yang terjadi dan diperintahkan untuk tugas operasionil yaitu untuk mencari pelaku penyerangan Polsek
Sat Brimob 2. Tanggung Jawab Dan Sat dan Kasatwil adalah tanggung jawab administrasi dan bukan dalam pengendalian efektif 3. Satuan Brimob yang di BKO-kan kepada satuan kewilayahan maka tanggungjawab komando ada pada satuan kewilayahan sehingga Dan Sat Brimob hanya bertanggungjawab secara teknis
Drs.Made Mangku Pastika : Drs. Yosi Muharmatha Program pada saat itu 1. Saksi adalah Wadan Yon A Brimob adalah operasi Matoa Papua dan membawahi 800 dan yang anggota. Saksi kenal dengan bertanggungjawab bila terdakwa ada ekses adalah 2. Tugas Wadan Yon adalah pimpinan masingmelaksanakan pembinaan terhadap masing yang anggota, mengerahkan kekuatan memerintahkan. Yang
ICC adalah atasan atau komandan de jure dan de facto. De jure artinya komandan diangkat secara resmi, sedangkan de facto komandan lapangan yang tidak diangkat secara resmi dengan suatu surat keputusan. Komandan adalah seseoranng yang berwenang memberikan perintah kepada bawahan 3. tidak ada perbedaan prinsipil antara tanggung jawab atasan militer dan sipil hanya atasan militer lebih ketat dibandingkan sipil. 4. Unsur pertanggungjawaban
Polda Papua
tentang Pengangkatan Tugas seorang Jonhy Winal Dansat Brimob Usman selaku adalah (1) DANSAT bertanggungjawab Brimob Bawah pada Kapolda, (2) Kendali Operasi, melatih dan untuk itu backmembina anggota up juga untuk dapat termasuk bawah diarahkan kepada kendali, yaitu ancaman kejahatan melaksanakan yang berintensitas bantuan satuan tinggi seperti kewilayahan kejahatan (BKO), untuk terorganisir, tanggungjawab kerusuhan massal BKO dan backdan separatis up adalah POLDA Irian Dalam keadaan Jaya darurat, Dansat atau wira piket dapat memberikan perintah kepada anggota untuk langsung memback up TKP, bila ada
137
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
atas perintah Komandan Satuan, sedangkan Dan Sat memberi perintah untuk mengerahkan anggota atas perintah Kapolda 3. Saksi berangkat ke TKP tanpa perintah dari Dan Sat karena situasi yang emergency, saksi bertemu Dan Sat di Polsek dan melaporkan ada anggota Brimob yang meninggal dunia 4. Tanggal 1 Desember ada anggota Brimob yang di BKO kan di Polres Jayapura, namun ditarik pada tanggal 4 Desember 2000 sehingga status Brimob di Polsek Abepura adalah diperbantukan (back up) Ahmad Fauzan Adiman, SH 1. Saksi adalah anggota Polisi dan bertugas di kepolisian Jayapura sejak 1999. saksi kenal dengan terdakwa 2. Status saksi bersama anggota Brimob lain adalah diperbantukan bukan di BKO-kan, sehingga saksi tidak tahu tanggungjawab siapa jika ada anggota yang melakukan pelanggaran saat itu. Setahu saksi komando saksi selama di Papua
bertanggung jawab secara operasional adalah Kapolsek, Kapolres, Kapolda serta Dan Sat.
komando ada 3 yakni (1) hubungan atasan dan bawahan, (2) atasan tahu atau sepatutnya mengetahui,(3) atasan gagal melakukan pencegahan. Jika terjadi insiden maka yang bertanggungjawab adalah pelaku, kemudian komando bertanggungjawab apabila ketiga unsur di atas terpenuhi 5. Pengertian “di bawah pengendalian yang efektif” adalah bagaimana hubungan atasan dan bawahan dalam hal kemampuan komandan untuk melakukan pengawasan dan pengendalian
pelanggaran dalam pelaksanaan tugas maka yang bertanggungjawab adalah ybs.
138
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
adalah Kapolda Papua 3. Saksi bersama anggota sebanyak 125 orang resmi di BKO kan di Polres Jayapura karena ada surat perintah khusus dari Polda untuk waktu 6 bulan Kombes Pol. Drs. Much Kusnadi : 1. Saksi sebagai Kapuskodal ops Polda Papua, dan kenal dengan terdakwa 2. Desember 2000 Polda Papua mendapat bantuan 125 orang Brimob dari Klapa Dua, dan yang bertanggungjawab adalah Kapolda 3. Jika ada anggota Brimob yang ditugaskan untuk bantuan keamanan, maka Kapolda memerintahkan saksi bukan Dan Sat. Pada saat itu Kapolda memerintahkan untuk menjaga keamanan dan kewaspadaan 4. Apabila ada anggota Brimob yang melakukan pelanggaran hukum, yang bertanggungjawab adalah Brimob itu sendiri
terhadap apa yang dilakukan bawahannya
Prof.Dr.Indriyanto Senoadji,SH : yang dimaksud dengan pengendalian yang efektif adalah komandan berada di lapangan dan bertindak sebagai aktor intelektual Tommy Sihotang, SH,LL.M : “Pengendalian yang efektif” adalah komandan secara faktual bisa mengendalikan bawahannya untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tersebut
Irjen.Pol. Drs. Moersoetidarno Moerhadi, MM
139
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
1. Saksi adalah Wakapolda Papua dan kenal dengan terdakwa 2. Tugas Wakapolda adalah membantu Kapolda dalam urusan pekerjaan sehari-hari 3. BKO baru dimulai Januari 2001, dan diberikan Kapolda dengan pertimbangan kondisi yang sangat mencekam 4. Dan Sat Brimob bertanggungjawab kepada Kapolda, dan anggota Brimob Klapa Dua tidak bertanggungjawab pada Dan Sat Irjen Pol. Drs Sylvanus Wenas Saksi sebagai Kapolda Papusa sejak 5 Nopember 1999 dan kenal dengan terdakwa Pada saat penyerangan terjadi saksi sedang di Sorong. Saksi mendapat laporan dari Wakapolda dan membenarkan apa yang telah dilakukan Wakapolda Kedudukan Dan Sat Brimob dalam operasi wilayah di bawah Kapolda Yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut adalah Kapolres karena memiliki kewajiban pengendalian
140
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
TABEL 6 MENGETAHUI/DENGAN SADAR MENGABAIKAN INFORMASI (TIDAK MELAKSANAKAN PENGENDALIAN YANG LAYAK UNTUK MENCEGAH)
Saksi yang diajukan Penasehat Hukum Irjen.Pol. Drs. Moersoetidarno Moerhadi, MM Setelah saksi mengeluarkan surat perintah, saksi tidak melakukan monitor terhadap pelaksanaan di lapangan karena alat komunikasi terbatas. Saksi baru mengetahui adanya ekses 5 hari kemudian Irjen Pol. Drs Sylvanus Wenas Yang bertanggungjawab terhadap pemukulan dan penendangan terhadap masyarakat adalah orang yang membawa pasukan (Danru,
Keterangan ahli
Keterangan Terdakwa
Dr,dr H.Hadiman : Pada saat anak buah melakukan operasi di lapangan, kewajiban komandan adalah mengetahui keadaan anggota di lapangan, namun jika tidak ada alat komunikasi maka menunggu laporan, dan setelah peristiwa selesai, menyelidiki laporan kasus tersebut.
Terdakwa mengetahui ada anggota masyarakat yang dibawa ke Markas Brimob dari laporan anggotanya, karena ia tidak berada di sana. Kemudian ia memeritahkan untuk membawa mereka ke Polres
Prof.Dr.Indriyanto Senoadji,SH : Syarat pertanggungjawaban komandan adalah komandan harus mengetahui atau secara sadar mengetahui perbuatan bawahannya. Kata “mengetahui” dapat diartikan “seharusnya mengetahui”atau secara sadar mengetahui
141
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Dan Ton) dan harus dilaporkan ke Dan Sat. Dan Sat tidak memberi laporan kepada saksi tentang penangkapan dan pengejaran Drs Made Mangku Pastika : Saksi mengetahui pasal pertanggungjawaban komandan yang didakwakan terhadap terdakwa dan menurut saksi terdakwa tidak bisa dikatakan melakukan pelanggaran berat Ham karena apa yang dilakukan anak buah terdakwa adalah tindakan spontan dalam keadaan darurat untuk mecegah konflik horisontal yang lebih besar.
Fadillah Agus,SH,MH : Pengertian “mengetahui” dianggap “seharusnya mengetahui” dan “mengabaikan” tidak menghilangkan keharusan untuk “mengetahui” Alat komunikasi bukan merupakan sarana satu-satunya dalam pertanggungjawaban komando. Harus ada kemampuan Tommy Sihotang,SH,LL.M : “seharusnya mengetahui” adalah komandan punya kaitan langsung dengan kejahatan tersebut
TABEL 7 GAGAL UNTUK MENGHUKUM Drs. Yosi Drs.Made Mangku Saksi yang Saksi yang Muharmath Pastika : diajukan diajukan Penasehat Saksi tidak tahu Karena ada ekses Penuntut Umum Hukum
Drs.dr H Hadiman : Keterangan Ahli Jika ternyata di lapangan terjadi
Ada perintah dari 1. Surat Keputusan Hukuman Keterangan Terdakwa Alat Bukti Kapolda untuk Disiplin No.Pol. mengusut anggota SKEP/12/I/2001/PROV tanggal
142
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
ada anggota Brimob yang diproses secara hukum sebagai tersangka Irjen.Pol. Drs. Moersoetidarno Moerhadi, MM 1. Kapolda memerintahk an kepada Kapolres dan Dan Sat untuk melakukan penyidikan terhadap anggota dan hasilnya ada anggota yang ditindak karena melanggar disiplin Kondisi pada tanggal 7 Desember 2000 adalah
dari tindakan pengejaran dan penyekatan, saksi memerintahkan Ankum untuk memberikan hukuman disiplin
ekses, maka komandan regu melapor tentang terjadinya ekses pada Dan Sat dan kewajiban Dan Sat untuk menyelidiki dan mengusut dan menentukan siapa yang bersalah dan harus menjatuhkan hukuman disiplin atau jika melakukan tindak pidana maka hukumannya pidana juga
Brimob yang diduga 18 Januari 2001 atas nama : melakukan pelanggaran Drs.Yosi Muhamarta berupa hukum dan terdakwa Hukuman Teguran langsung membuat surat 2. Surat Keputusan Hukuman perintah kepada Disiplin No.Pol. provost. Tidak ada satu SKEP/13/I/2001/PROV tanggal anggotapun yang 18 Januari 2001 atas nama : Suryo mengaku sehingga Surdarmadi berupa Hukuman akhirnya hukuman Teguran disiplin diberikan 3. Surat Keputusan Hukuman kepada para Disiplin No.Pol. Komandannya SKEP/14/I/2001/PROV tanggal 18 Januari 2001 atas nama : Abdul Instansi POLRI pada razak Hamid berupa Hukuman saat itu berada di bawah Teguran TNI namun terdakwa 4. Surat Keputusan Hukuman tidak memiliki Disiplin No.Pol. kewenangan untuk SKEP/15/I/2001/PROV tanggal melimpahkan kepada 18 Januari 2001 atas nama : Polisi Militer karena Sawaluddin berupa Hukuman merupakan kewenangan Teguran Kapolda. ANKUM 5. Surat Keputusan Hukuman hanya terbatas pada Disiplin No.Pol. pemberian hukuman SKEP/16/I/2001/PROV tanggal disiplin 18 Januari 2001 atas nama : Sawal Halim, dibebaskan 6. Surat Keputusan Hukuman Disiplin No.Pol.
143
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
sangat mendesak sehingga tanggungjaw ab berada pada perorangan bukan pimpinan
SKEP/17/I/2001/PROV tanggal 18 Januari 2001 atas nama : John Kamodi berupa Hukuman Penahanan Ringan selama 14 hari 7. Surat Keputusan Hukuman Disiplin No.Pol. SKEP/18/I/2001/PROV tanggal 18 Januari 2001 atas nama : Hans Fairnap berupa Hukuman Penahanan Ringan selama 14 hari
Irjen Pol. Drs Sylvanus Wenas Selama menjadi Kapolda, ada 5 kali penyerangan dan telah diupayakan untuk mencari pelaku, bahkan ada pimpinan yang tertangkap
Jakarta, 30 November 2007. Crowne Plaza Hotel.
144