Majalah
Juli-Desember 2011
Kegiatan Mediasi Lembaga Adat dalam Menyelesaikan Sengketa M.Hum. Oleh: Teuku Ahmad Yani, S.H., (Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala) (Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala)
M
ediasi merupakan bentuk alternatif penyelesaian sengketa. Mediasi telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan tumbuhnya keinginan manusia untuk menyelesaikan sengketa secara cepat. Manusia berusaha untuk menghindar dan keluar dari konflik, meskipun konflik atau persengketaan tidak mungkin 4 dihilangkan dari realitas kehidupan manusia. Pencarian pola penyelesaian sengketa terus pola Pencarian manusia. dilakukan penyelesaian sengketa terus dilakukan manusia, dalam rangka memenuhi keinginan fitrahnya untuk hidup damai, dalam rangka memenuhi keinginan fitrahnya untuk hidup damai, aman, adil dan sejahtera. Mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang dapat digunakan oleh para pihak di luar pengadilan. Lembaga ini memberikan kesempatan kepada para pihak di luar pengadilan. Lembaga ini memberikan kesempatan kepada para pihak untuk berperan mengambil inisiatif, guna menyelesaikan sengketa mereka yang dibantu pihak ketiga sebagai mediator. Prinsip mediasi adalah sarna-sarna menang (win-win solution), sehingga para pihak yang terlibat sengketa merasakan tidak adanya pihak yang menang dan pihak kalah. Mediasi bukan hanya mempercepat proses penyelesaian sengketa, tetapi juga menghilangkan dendam dan memperteguh hubungan silaturahmi. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai mediator, bila ia telah mendapatkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa. Kepercayaan diperoleh mediator
bila ia dianggap adil, jujur, tidak memiliki tidak dan memihak kepentingan apapun terhadap sengketa yang dialami para para pihak. Mediator hanya membantu para pihak untuk mencarikan sejumlah kemungkinan solusi bagi penyelesaian sengketa. Mediator tidak dapat menawarkan atau memaksakan para pihak untuk menerima solusi yang berasal darinya, tetapi mediator harus mendorong para pihak untuk menciptakan sendiri sejumlah solusi yang dapat mengakhiri sengketa mereka.
Dasar Hukum Kegiatan Mediasi Secara hukum mediasi tercantum dalam Pasal2 ayat (2) Perma Nomor 01 Tahun 2008 yang mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak untuk mengikuti prosedur penyelesaian perkara melalui mediasi. Dalam konteks Indonesia, praktek penyelesaian sengketa melalui mediasi ada dua cara, yaitu melaui lembaga peradilan dan di luar peradilan. Mediasi di luar peradilan ditangani oleh mediator perorangan, atau sebllah lembaga independent, sedangkan mediasi di lembaga peradilan ditangani oleh hakim atau mediator yang bersertifikat. Unsur atau ciri khusus mediasi sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah sebagai berikut: a. Mediasi sebagai sarana penyelesaian sengketa informal dipimpin oleh seorang mediator yang netral. Para pihak yang menentukan atall menunjuk orang yang menjadi mediator sesllai kesepakatan.
26 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ Jeumala I No.xXXVII Juli - Desember 2011
0
Mediator yang ditunjuk tidak terbtas pada satu orang tetapi dapat lebih dari satu orang. b. Mediator bertugas membantu para pihak untuk membuat persetujuan-persetujuan. Untuk tertib dan lancarnya proses mediasi, maka mediator terlebih dahulu dapat menentukan waktu dan menyiapkan tempat dalam rangka mengadakan pertemuan-pertemuan. c. Mediator tidak mempunyai otoritas untuk mengambil keputusan. Mediator tidak bertindak sebagai hakim karena mediator tidak mempunyai otoritas mengambil keputusan sendiri, yang menentukan keputusan adalah pihak-pihak yang bersengketa selama berlangsungnya proses mediasi. Dalam sistem hukum' adat, mediasi digunakan oleh masyarakat hukum adat sebagai cara dalam penyelesaian sengketa3 . Mediasi memiliki keterkaitan dengan pandangan hidup masyarakat hukum adat, bahwa sengketa yang terjadi antara para pihak menandakan adanya gangguan keseimbangan nilai komunal dari masyarakat hukum adat. Tokoh adat amat berperan dalam membantu para pihak yang menyelesaikan sengketa melalui mediasi. Keberadaan tokoh adat sebagai pihak ketiga (mediator) amat diperlukan, karena mereka adalah orang yang memiliki otoritas dan kewibawaan dalam menjaga dan menegakkan nilai-nilai adat.
3 keberadaan institusi h~lmm adat di Aceh sudah diterapkan sejak Kesultanan Iskandar Muda, yang bertugas menyelesaikan berbagai masalah masyarakat gampong. Lihat: http://waspada.co.id/index.php?option=com_c ontent&view=article&id=170447: lembaga hukum-adat-aceh-harus diperkuat&catid= 13 :aceh&Itemid=26,23 november 2011.
I
Jeumala No.XXXVII Juli - Desember 2011
Mediasi (oleh Gampong dan Mukim) dalam sistem hukum adat tidak hanya dibatasi pada sengketa-sengketa perdata, tetapi juga dapat dipergunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus pidana. Oleh karenanya, bila terjadi sengketa antar individu atau antar kelompok dalam masyarakat hukum adat, maka para pihak harus secepat mungkin berupaya menyelesaikannya dengan dibantu tokoh adat. Kegiatan penyelesaian sengketa dalam sistem hukum adat, selama ill! hanya dilaksanakan oleh lembaga peradilan adat. Para tokoh adat sering menjadi mediator untuk menjadi memediasi sengketa-sengketa di tengah masyarakat, karena para tokoh adat memiliki kapasitas untuk itu. Kegiatan mediasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga adat didasarkan pada adanya pengakuan keberadaan lembaga lembaga adat dalam pasal 98 Undang Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 98 ayat (2) juga menyebutkan Undang-undang ill! bahwa penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat. Lebih lanjut dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat, menyebutkan bahwa dalam menjalankan fungsinya, lembaga adat berwenang: • menjaga keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat; • membantu Pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan; • mengembangkan dan mendorong partisi pasi masyarakat; • menjaga eksistensi nilai-nilai adat dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan syari'at Islam; • menerapkan ketentuan adat; • menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan; • mendamaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat; dan • menegakkan hukum adat.
--,----
_
27
Kegiatan mediasi begitu berkembang dalam tatanan masyarakat Aceh terkait dengan ada satu adagium yang sangat melekat di jiwa masyarakat di Aceh, yakni "Hukom ngon adat han jeut cre' lagee zat ngon sipheuet". Adagium tersebut mempunyai arti bahwa hukum dan adapt adalah satu bagian yang tidak bisa dipisahkan; hukum dan adat ibarat zat dan sifatnya. Oleh sebab itu ada beberapa keuntungan yang sering muncul dalam dalam sebuah upaya penyelesaian sengketa secara adat, yaitu: sifat kesukarelaan dalam proses, prosedur yang tepat, keputusan non-yudisial, prosedur rahasia (confidentiality). Fleksibilitas dalam merancang syarat syarat penyelesaian masalah, hemat waktu, hemat biaya, pemeliharaan hubungan, tinggi kemungkinan untllk melaksanakan kesepakatan, kontrol dan kemudahan untuk memperkirakan hasil dan keputusan yang bertahan sepanjang waktu. Sejalan dengan berlakunya hukum nasional, maka lUang lingkup mediasi yang dapat dilakukan mediasi juga menjadi terbatas, hanya yang tunduk pada hllkum bersifat mengatur saja yang dapat diselesaikan, misalnya dalam bidang hukum keperdataan, sedangkan hukum yang bersifat memaksa kegiatan mediasi kerap tidak dapat dilakukan mediasi, karena untuk menyelesaikan hal tersebut, sudah menjadi kewenangan dari lembaga lembaga penegak hukum. Namun demikian, secara tegas Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat Dan Adat Istiadat, Sebagaimana diatur dalam Pasal 13 . menyebutkan bahwa Sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat yang dapat dislesaikan oleh lembaga-Iembaga meliputi:
Pilihan Dalam MenyeIesaikan Sengketa Penyelesaian perkara secara adat oleh lembaga adat dahulunya melUpakan hal yang lumrah dilakukan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Sistem penyelesaian sengketa melalui Peradilan Adat telah dipraktekkan dengan baik yang difasilitasi oleh lembaga adat. Dalam menjalankan fungsinya lembaga adat telah laksanakan oleh sejumlah pemangku adat yang disebut fungsionaris adat. Fungsionaris adat memiliki otoritas dalam menengahi berbagai persoalan kemasyarakatan termasuk penyelesaian sengketa. Bertahun-tahun lamanya sistem penyelesaian perkara melalui Peradilan Adat itu telah menjadi salah satu mobilitas yang 4 sangat berarti bagi masyarakat Aceh . Meskipun pernah hilang dengan UUPD No. 5/1979 pemberlakllan menuntaskan penaklukan atas kelompokkelompok di masyarakat adat 5 Nusantara. Pada tingkat Gampong dan Mukim, kegiatan yang dilakukan oleh para tokoh masyarakat/tokoh adat pada prinsipnya bukan mengadili sebagaimana halnya suatu peradilan formal, melainkan lebih mengupayakan perdamaian diantara para pihak yang bersengketa. Oleh karen~ itu upaya untuk menyelesaikan sengketa oleh para tokoh masyarakat tersebut adalah belUpa mediasi.
....-_
Reportase lihat: http://maa.acehprov.go.id/index.php?option=com_cont ent&view=article&id=49:duis-aute-irure dolor&catid=34:reportase, 23 November 2011. 5 R. Yando Zakaria, Abieh Tandeh: Masyaralwt Desa di Bawah Rezim Orde Baru. Jakarta: PT. Pustaka Pelajar dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/ELSAM, 2000, khsususnya Bab IV.
4
28
.
I
I
Jeumala No.XXXVI Juli - Desember 2011
t
a. perselisihan dalam rumah tangga; b. sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh; c. perselisihan antar warga; d. khalwat meusum; e. perselisihan tentang hak milik; f. pencurian dalam keluarga (pencurian ringan); g. perselisihan harta sehareukat; h. pencunan nngan; 1. pencurian ternak peliharaan; J. pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan; k. persengketaan di laut; I. persengketaan di pasar; . . m. pengamayaan nngan; n. pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat); o. pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik; p. pencemaran lingkungan (skala ringan); q. ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan r. perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat. Dengan demikian, kewenangan oleh lembaga-Iembaga adat dalam melakukan kegiatan mediasi terhadap suatu sengketa bukan hanya meliputi persoalan adat istiadat, melainkan lebih luas, yaitu juga berkaitan dengan persoalan pidana, lingkungan, demikian pula berkaitan dengan bisnis atau usaha perdagangan. Sejalan dengan berlakunya Undang Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka majelis adat Aceh juga memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa dalam masyarakat dengan pola mediasi. Namun yang menjadi pet1anyaan apakah sengketa yang dimediasi oleh Majelis adat Aceh memiliki persamaan dengan mediasi yang dilakukan oleh Gampong dan Mukim.
o Jeumala INo.XXXVI IJuli - Desember
2011
Hal itu perlu ada jawaban agar tidak adanya tumpang tindih dari kegaiatan dari masing-masing lembaga adat, meskipun para pihak yang bersengketa dapat memilih dari lembaga manapun yang ia percayai.
Kesimpulan Lembaga-Iembaga adat, demikian pula lembaga Majelis Adat Aceh memiliki kewenangan untuk menylesaikan sengketa secara damai, dalam bentuk mediasi. Kegiatan penyelesaian sengketa yang dilakukan o1eh lembaga-Iembaga adat bukanlah mengadili, melainkan lebih bersifat mendamaikan dari para pihak yang bertikai. Ruang lingkup mediasi yang dilakukan sangat luas, kecuali hal-hal yang secara tegas meruapakan hukum yang bersifat memaksa dan wajib diselesaikan oleh lembaga penegak hukum.
Daftar Pustaka R. Yando Zakaria, Abieh Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah Rezim Orde Bam. Jakarta: PT. Pustaka Pelajar dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/ELSAM, 2000. http://waspada.co.id/index.php?option=com_c ontent&view=article&id= 170447: lembaga hukum-adat-aceh-hanls diperkuat&catid= 13 :aceh<emid=26, 23 november 2011. http://maa.acehprov.go.id/index.php?option=c om content&view=article&id=49:duis-aute irure-dolor&catid=34:reportase, 23 November 2011. http://www.idlo.int/docNews/225DOC1.pdf, 23 November 2011.
_
29