Mainan di Kubangan Tanda-tanda yang Berseliweran, Bersilangan, Tumpang Tindih dalam Semangkuk Sup
Perubahan yang berlangsung di praktik seni, sejak satu dasawarsa terakhir, antara lain ditandai dengan munculnya cara pandang baru di dalam “memahami seni” di kalangan seniman-seniman generasi pasca Reformasi1998. Mereka adalah generasi yang pada awal 2000 memulai studi di akademi seni dan selang 4-5 tahun kemudian menjalani karir sebagai seniman. Sebaliknya, trend kultural yang mengemuka adalah semakin terhapusnya perbedaan antara budaya tinggi dengan budaya massa. Persoalan ini bisa diartikan sebagai serangan terhadap otonomi seni. Seni tidak lagi dipandang sebagai suatu bentuk pengalaman yang lebih tinggi dari seorang jenius. Segala hal diasumsikan telah dilihat dan diciptakan seniman – yang tidak lagi mampu mencapai keunikan. Seniman seperti dihukum hanya untuk membuat pengulangan tanpa pretensi. Batasan seni dan kehidupan sehari-hari semakin kabur atau dikaburkan. Implikasinya: seni ada di mana-mana dan seni dapat berupa apa saja. Tidak ada lagi pembedaan yang valid antara seni tinggi dengan seni yang sungguh-sungguh dan seni popular massa dengan kitsch. Akan tetapi, penghapusan batas yang berkenaan dengan soal hirarki seni “tinggi-rendah” ini tidak baru-baru saja terjadi. Hampir sepanjang tiga dekade terakhir ditemukan sejumlah peristiwa, umumnya berbentuk pameran seniman muda, yang secara simultan menggugat batasan-batasan dalam praktik seni. Sementara di luar konteks pameran, dalam Dua Seni Rupa Sanento Yuliman mencatat gejala ini sebagai tawaran pemikiran bahwa seni rupa, di tangan generasi baru, sah untuk didefinisikan ulang. Lalu dalam Perspektif Baru, Sanento menggambarkan bagaimana proses penciptaan seni bisa dilakukan dengan begitu mudah – kalau perlu, sembari melakukan pemberontakan, seni bisa disikapi “sekedar untuk main-main”. Generasi ini, menurut Sanento, berbeda dengan cara generasi S. Sudjojono memahami seni. Dalam beberapa hal, semangat bermain – “seni bisa apa saja”, “terbuat dari apa saja”, “dipamerkan di mana saja” juga mencirikan semangat praktik seni di
1
milenium baru di kalangan seniman. Generasi baru ini tumbuh di tengah arena sosial yang – sejak Reformasi 1998 – juga mengalami perubahan drastis. Dari “masa tenang” (Orde Baru) yang ditandai dengan “stabilitas” karena keberhasilan rezim melakukan tekanan terhadap seni-seni kritis, praktik seni kemudian memasuki “masa euforia”. Buat sejumlah seniman, peralihan ini cukup menggoyahkan keyakinan mereka terhadap seni. Di tengah krisis ekonomi, kemiskinan sosial, kerusakan lingkungan atau kebusukan politik, peran dan manfaat seni dipertanyakan, diragukan dan disangkal. Seni yang tersangkal ini segera kehilangan sejumlah elemen dasar dalam fungsinya – atau setidaknya begitulah yang banyak dirasakan seniman. Seniman-seniman yang semula pada masa tenang menikmati “stabilitas estetik” dan “kemudahan politik” atau mereka yang pro kepada rezim, beberapa saat sebelum dan setelah Reformasi 1998 mencitrakan dirinya sebagai “seniman reformis”. Sementara dari sisi yang lain, seniman-seniman kontra rezim semakin memperparah krisis seni dengan cara melempar jauh-jauh estetika dalam proses penciptaan. Karya-karya seni akhirnya tak ubahnya sebuah pamplet – ia lebih memuat slogan serta provokasi yang vulgar.
Seni Semudah “Memecah Telur Untuk Campuran Martabak” Dalam Perspektif Baru, Sanento Yuliman mengamati gejala baru yang dia jumpai di kalangan senman muda. Menurutnya, seniman-seniman muda pada 1970-an bisa “mengambil jarak emosi antara dirinya dan proses pembuatan hasil seni bahkan pembuatannya dapat diserahkan kepada orang lain di bawah petunjuknya.” Maka dengan demikian, menurut Sanento, hasil seni bukan lagi “jiwa tampak” dalam konsepsi S. Sudjojono. Dalam konsepsi ini lukisan sebagai jiwa tampak berarti bahwa lukisan terbentuk oleh sapuan kuas, coretan dan torehan yang merupakan rekaman gerak tangan pelukis, ibarat jarum seismograf yang peka, mencatat temperamen dan “greget” (gerak emosi) pelukis. Lukisan jadi perluasan tulisan tangan dan cap jari (pada patung tanah liat), pahatan (kayu) dan gerak kontur dan bidang, buatan tangan seniman yang peka. Dalam mengamati kecenderungan seniman-seniman muda, Sanento kemudian mengatakan bahwa “pencuri-pencuri muda zaman sekarang menggunakan bermacam teknik baru dan tidak meninggalkan bekas jari.”
2
Seniman seperti Murtoyo Hartoyo, demikian Sanento, membuat seni ialah “main-main”, perbuatan biasa saja sama dengan memecah telur untuk campuran bikin martabak. Seniman ini membuat benda dari benda-benda. Yang kemudian bergeser adalah cara-cara seniman muda memperkenalkan pengalaman baru bertalian dengan “kekongkretan” atau “benda-benda sungguhan” yang terkadang bercampur dengan elemen-elemen lain yang “konvensional”. Jarak antara karya seni dan “benda sehari-hari” semakin menipis. Sanento mempertanyakan: “Apa makna urusan benda-benda ini dengan
kekongkretan?
Bukankah
syarat
bagi
terjadinya
“pengalaman
kesenian”, “pengalaman artistik” atau “pengalaman estetik” justru terciptanya jarak dari kekongkretan, terciptanya disinterestedness (Immanuel Kant), Psychical Distance (Edward Bullough)?” Sanento menengarai bahwa seniman-seniman muda ini dibasuh di iklim sosiopsikologis berbeda dengan generasi-generasi terdahulu. Itulah sebabnya, mereka menyorongkan pengalaman yang melibatkan kehadiran tubuh kita serta lingkungan fisik di mana kita dan hasil seni itu berada. Suatu pelibatan baru dalam seni – kepada kehadiran kita yang kongkret, lingkungan kita yang kongkret, kepada kekongkretan pengalaman. Situasi ini bertolak dari keinginan untuk melihat sekitar, memungut benda-benda dari lingkungan sehari-hari, membuat konstruksi. Pengamatan Sanento terhadap kecenderungan seni-seni baru dekade 1970an memperlihatkan terjadinya tegangan dalam seni modern Indonesia. Tidak terlalu terang dari mana sumber semangat itu berasal. Tetapi di Amerika, seni pada 1970-an memang tengah memfokuskan diri pada ide-ide seni minimalis dan yang mengarah pada lingkungan. Banyak jenis seni bermunculan di era ini seperti seni bumi, seni tanah, seni pop, seni kinetik hingga grafiti. Semua jenis seni ini menantang orang untuk menghubungkan pikiran-pikirannya dengan realitas dan lingkungan. Hal ini bertalian erat dengan fungsi seni dan bagaimana seniman memberikan kontribusi kepada masyarakat. Mainan Budi Dari sisi estetika, Budi Adi Nugroho adalah “seniman paska kekongkretan”. 1 1
. Dengan istilah “Pasca Kekongkretan” ini, saya sebenarnya ingin menjauhi
3
Secara sosiologis, generasinya adalah generasi yang tidak memerlukan perlawanan terhadap suatu hirarki atau hegemoni – sebagaimana yang dihasratkan generasi 1970-an – generasi Pasca Duchamp yang berkeinginan menghapus batas antara seni dengan kehidupan sehari-hari. Budi juga bukanlah wakil dari generasi yang mati-matian, yang dalam kamus Sanento: “menegakkan asas-asas seni mereka sendiri, berhak mendefinisikan seni.” Generasinya bukan lagi dalam koridor itu, tetapi lebih pada merayakan pelbagai kode-kode seni. Budi masuk Seni Rupa-ITB pada 2000. Ia lulus pada 2005. Dengan begitu, Budi sepenuhnya merasakan bagaimana perubahan-perubahan di lapangan praktik seni sudah dan masih tetap terus berlangsung, tak terkecuali di lingkungan akademik. Situasi medan yang ia jumpai adalah medan yang sudah mencair tanpa adanya tegangan-tegangan yang berarti. Sementara dari arah lain, generasi baru dosen Seni Rupa-ITB turut menunjang situasi dengan memberikan toleransi yang luas terhadap proses penciptaan. Sebagai misal, media instalasi yang pada dekade 1990-an masih sering diperdebatkan, kini leluasa dimanfaatkan mahasiswa sebagai bagian dari proyek tugas akhir mereka. Budi menemukan medan seni yang orang-orangnya sudah terbuka, orang-orang yang tidak lagi gigih mempertahankan prinsip-prinsip patung modern. Tak hanya pudarnya pamor patung abstrak (segi estetik), hal lain yang turut mencirikan
perubahan
arena
seni
patung
dari
segi
medium
adalah
menurunnya popularitas patung-patung berbahan perunggu, logam, marble, batu dan kayu di kalangan seniman muda. Sebagai gantinya bahan-bahan sintetik seperti polyester resin hingga ephemeral – seperti pasir, tanah, air dan sebagainya.
istilah “Seni / seniman Pasca Pemberontakan” sebab rujukannya hanya akan membuat kita digiring oleh keterpesonaan berlarut-larut kepada segerombolan seniman yang menamakan dirinya Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) – yang diuaruarkan sebagai “pemberontak”. Bagi saya, istilah “pasca pemberontakan” – yang kemudian mengemuka sebagai diskursus dan dipakai untuk mengartikulasikan praktik seni dekade 1990-an - tidak secara esensial membangun pemahaman tentang apa yang sesungguhnya diberontaki GSRB. Oleh karena itulah, argumen Sanento yang menerangkan ihwal “kekongkretan”, “pelibatan baru” dan soal “jarak (pengalaman) estetik” dalam esai Perspektif Baru jauh lebih relevan dan substansial dan layak dijadikan acuan untuk membangun diskursus seni.
4
Soal-soal yang berkenaan dengan kekongkretan tidak lagi sebuah kenyataan yang asing. Seniman-seniman (pematung) yang tumbuh
pada pertengahan
dekade 2000-an menemukan dirinya bahwa kode-kode tanda di dalam “kekongkretan” itu sendiri, tak semata bisa dipermainkan, tetapi berpotensi disodorkan ke dalam kode-kode yang ambigu. Sebuah kekongkretan sofa atau kursi, misalnya, tidak segera dipungut dan dihadirkan di ruang pamer. Alih-alih, justru “dicetak ulang” sebagai “sofa” atau “kursi baru”. Hasilnya: bukan lagi benda fungsional yang bisa diduduki, tetapi sebagai “benda yang terpajang sebagai seni” sehingga membangun kode-kode baru – yang membuat proses pemaknaannya jadi semakin berlapis-lapis. Maka, berbeda dengan generasi 1970-an yang masih mengandalkan kesaktian
“aura
seniman”:
membaptis
benda-benda
kongkret
secara
institusional sebagai “seni” di dalam ruang otonom seni (galeri), generasi yang lahir pada tiga dekade kemudian lebih meminjam dan memanfaatkan kode dari benda-benda tersebut, dilanjutkan dengan proses konvensional patung (kerja model, proses cetak, menetapkan kode produksi cetak/edisi) dan dinyatakan sebagai seni. Generasi baru ini menggeser pengalaman langsung akan kekongkretan, menyisipkan kembali elaborasi pengalaman “dunia dalam” – yang pernah ditinggalkan oleh generasi 1970-an. “Benda-benda baru” itu bahkan menyerupai “benda-benda rujukan” sebelumnya. Kerja seni dewasa ini seakan
mengapopriasi
mekanisme
kerja
pabrik
memproduksi
benda.
Bedanya, dalam beberapa hal, seniman secara sadar membatasi kuantitas produksi untuk merawat dan menjaga eksklusivitas benda seninya. Sejak
mahasiswa,
terutama
menjelang tingkat akhir,
karya-karya
Budi
memperlihatkan kecenderungan untuk keluar dari bingkai seni patung modern. Gejala ini juga diperlihatkan oleh mahasiswa seangkatan. Ia misalnya mengabaikan fungsi pedestal – dengan sebuah kesadaran bahwa fungsi “pedestal” bisa diganti oleh lantai – kalau perlu patung melayang di atas bukit. Ia juga pernah mengeksplorasi ihwal kekongkretan – memanfaatkan bendabenda sehari yang dirakit sedemikian rupa dan ditawarkan dengan wujud visual baru – yang berbeda dengan fungsi benda tersebut sebelumnya. Budi telah banyak menjalani pengalaman estetik. Budi diasuh oleh zaman ketika keterbukaan politik dan kebebasan ekspresi dalam seni bukan lagi sebuah kemewahan. Ia juga dibesarkan oleh fenomena
5
sosial lain yang berkembang semarak sejak Reformasi 1998. Ia mendapati kenyataan bahwa kota-kota besar telah tumbuh sebagai pusat-pusat konsumsi baru: mal atau pusat perbelanjaan tumbuh dengan cepat; cafe-cafe; akses informasi serta pengetahuan dari dunia maya/globalisasi informasi via internet, yang semakin mempersingkat jarak geografis manusia. Strategi artistik bisa berlindan dengan strategi artistik dunia periklanan dan media popular dalam budaya konsumen. Ia dibesarkan oleh pergeseran budaya di mana seni telah menjadi gaya hidup masyarakat kelas menengah di kota-kota besar – masyarakat yang berbeda dengan masyarakat dekade 1970-an. Seni di masa kini bukanlah lagi soal dia “bisa menjadi apa saja” tetapi juga berkenaan dengan bagaimana kemudahan yang ditawarkan dari apa saja itu tetap memiliki kekuatan estetik.
Semionaut Soup Karya-karya Budi dalam pameran ini ibarat semangkuk sup yang menampung persilangan tanda-tanda dan benda-benda mainan (toys) yang sudah sejak lama
akrabi. Pameran ini merupakan pengembangan dari pameran
sebelumnya yang memusatkan pada “benda-benda licin dan berkilap” – yang menurutnya sudah menjadi trend “seni patung kontemporer Indonesia” atau “seni patung yang paling dikonsumsi pasar“ terhitung sejak dua-tiga tahun terakhir. Dikerjakan dan dipamerkan pada 2010 proyek I like contemporary, but contemporary like it shiny itu merupakan “patung-patung fiber” berupa karakter-karakter dari serial animasi (seperti Astro Boy, The Simpsons) yang dieksekusi dengan permukaan mengkilap. Budi mengarahkan fokusnya pada kesan
kilap
dan
licin
yang
hendak
menyimpang
dari
kesan
kusam
sebagaimana sering kita jumpai pada patung-patung modern. Ketidakpuasan Budi terhadap fenomena demikian sampai pada pertanyaan: mengapa kesan kilap dan licin, tidak saja menjadi trend, tetapi “terkonstruksi” sebagai ciri seni patung kontemporer? Pada masa itu, Budi sesungguhnya melakukan parodi yang terfokus pada soal “kilap dan licin”, bukan pada wujud representasionalnya. Di situ, parodi berperan sebagai bentuk diskursus untuk memperalat diskursus pihak lain,
6
menghasilkan efek makna berbeda sekaligus bentuk representasi palsu. Tentu saja kontradiksi terhadap hal itu bisa terjadi. Namun, pada akhirnya kita bisa mencermati bahwa yang apa ditawarkan Budi adalah “kenikmatan tersesat di lautan tanda”. Dari
beberapa
serial
Pez
yang
dikerjakan,
terdapat
satu
seri yang
menghadirkan penggalan kepala Budi dengan latar 20 superhero dunia. Di sini dia menempatkan dirinya sebagai sasaran – orang yang “terpenjara” oleh mitos-mitos yang mengerubungi dunia seni: seniman sebagai pahlawan, seniman sebagai pusat perhatian, seniman sebagai sosok pencerah dan banyak lagi. Karya lainnya adalah benda-benda yang penuh sesak dengan kode-kode dari budaya popular seperti film dan komik Tintin yang bercampur secara semiosis dengan
kode-kode
seni
Barat:
ikan
hiu
Damien
Hirst
maupun
Anthropometries of the Blue Period Yves Klein (1960) memperlihatkan tidak saja seniman kontemporer sebagai semionaut – dalam kamus Nicolas Bourriaud, tetapi memuat potensi kritis terhadap persoalan di medan sosial seni rupa Indonesia. Bertalian dengan hal ini, Budi tidak sepenuhnya konfrontatif – menyerang “institusi seni” sekaligus peran-peran keprofesian manusia di dalamnya. Ia lebih cenderung menggiring arah “renungan” kita ke sebuah satirisme. Karya-karyanya sebelum ini cukup tajam menyoroti hal yang sama. Karya yang cukup terang-terangan “mengkritik” dunia seni rupa adalah pez berupa penggalan kepala Radi Arwinda, J. A. Pramuhendra dan Wiyoga Muhardanto – yang sekaligus adalah juniornya di strata akademik kampus ITB, tetapi adalah juga seniman yang sering dilabelkan
sebagai
“perwakilan seniman kontemporer Bandung”. Citra pez – yang tak jarang identik dengan barang souvenir - membuka tafsir bahwa penggalan ketiga seniman itu dapat berarti “oleh-oleh seni rupa kontemporer Bandung”. Dalam konteks “permen”, kode-kode karya ini menyasar pada bagaimana seniman-seniman muda itu adalah “pajangan manis” yang mempesona. Dinilai dari sudut lain – pez sebagai collection items adalah metafor bahwa karya-karya seni para seniman itu “layak dikoleksi”. Kurator Asmudjo J. Irianto – yang menurut Budi adalah kurator yang sering menyebut frase “seni rupa kontemporer” juga tidak luput dari sasaran. 7
Budi mengasosiasikan Asmudjo sebagai Inspektur Gadget - karakter yang ia pinjam dari serial animasi petualangan seorang detektif cyborg yang mengemuka pada 1980-an (silakan menerka sendiri kaitan karakter antar keduanya). Busana Inspektur Gadget sendiri disebut-sebut mengadopsi karakter fiksi Inspektur Clouseau dalam film The Pink Panther. Seperti karya lainnya, inspektur yang punya banyak perkakas bionic ini adalah karya yang merefleksikan ihwal parodi pengetahuan-pengetahuan artifisial – dicangkok dari batang induknya (Barat). Dari pameran ini, Budi memang banyak menawarkan sesuatu yang kritikal – sekalipun kode-kodenya rumit dibaca dengan hanya mengandalkan satu lapisan saja. Aminudin TH Siregar Rujukan Asikin Hasan (ed.), Dua Seni Rupa: Sepilihan Sanento Yuliman, (Jakarta; Yayasan Kalam dan Majalah Tempo, 2001)
8