KARYA ILMIAH
REVITALISASI ALAS FILOSOFIS TUJUAN PEMIDANAAN DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Oleh,
MAHMUD MULYADI NIP 132 299 900 STAFF PENGAJAR FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM MEDAN 2006
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini bisa diciptakan yang berjudul " REVITALISASI
ALAS
FILOSOFIS
TUJUAN
PEMIDANAAN
DALAM
PENEGAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA.” Selama ini, pemahaman terhadap hukum pidana dan pemidanaan terjebak pada pemikiran yang positivis sebagaimana yang terdapat dalam KUHP. Karya ilmiah ini mencoba melihat kembali alas filosofis pemidanaan dengan menawarkan konsep pemidanaan ke-Indonesiaan yang berakar dari local wisdom bangsa Indoensia. Pembaca akan dibawa pada perbandingan konsep pemidaanaan selama ini di negara-negara modern dengan konsep pemidanaan di beberapa undangundang masa silam di Indonesia. Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana di Indoensia. Tentu saja, diharapkan karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca semua. Trimakasih.
Medan, Agustus 2006 Hormat Penulis
Mahmud Mulyadi
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang ………………………………………………………………...…
1
B. Dialektika Filsafat Tujuan Pemidanaan ……………………....……………
4
C. Kearifan Lokal Falsafah Pemidanaan Indonesia ………………………...
17
D. Internalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemidanaan dalam Criminal Justice System ………………………………………………………………..…
21
E. Penutup …………………………………….………………..………..……………
25
Daftar Pustaka …………………………………………………………………………... 26
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
REVITALISASI ALAS FILOSOFIS TUJUAN PEMIDANAAN DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA
A. Latar Belakang Perkembangan dunia hukum di Indonesia masih menjadi sorotan tajam bagi seluruh lapisan masyarakat, baik di dalam maupun luar negeri. Setelah sempat mengalami kenaikan apresiasi, kondisi hukum di Indonesia kembali mengalami kegamangan. Berbagai cara telah dilakukan, misalnya dengan mengandalkan institusi penegakan hukum yang sudah ada, bahkan pembentukan berbagai komisi hukum dan penempatan berbagai individu yang professional dan berkualitas serta bebas dari kepentingan, namun upayaupaya ini belum mampu mendongkrak citra hukum di negeri kita. Dari sekian banyak bidang hukum, maka dapat dikatakan bahwa bidang hukum pidana (termasuk system dan proses peradilan pidananya) menempati urutan pertama yang tidak hanya mendapat sorotan, tetapi juga mendapat celaan yang luar biasa dibandingkan dengan bidang hukum lainnya. Pertanyaan yang muncul atas fenomena ini adalah, apakah ini berarti juga bahwa hukum pidana dan system peradilan pidananya telah mencapai titik nadir? 1 Proses peradilan pidana yang berawal dari tahap penyelidikan oleh kepolisian, akan berpucak pada penjatuhan pidana dan dieksekusinya pelaku ke lembaga pemasyarakatan. Penjatuhan pidana kepada pelaku oleh pengadilan merupakan upaya yang sah terhadap pelaku kejahatan. Pidana sendiri merupakan suatu pranata social yang dapat mencerminkan nilai dan struktur masyarakat, sehingga merupakan kesepakatan 1
Harkristuti Harkrisnowo (2003). Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia. Orasi pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Depok: hal. 2.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
yang dibuat sebagai reaksi terhadap pelanggran “hati nurani bersama.” Oleh karena itulah hukum pidana yang merupakan sarana kontrol social dan sebagai produk politik, sepantasnya merupakan sublimasi dari semua nilai masyarakat yang dirangkum dan dirumuskan oleh para legislator dan diterapkan oleh aparat dalam Sistem Peradilan Pidana. Persoalannya
adalah,
apakah
para
legislator
telah
melakukan
tugasnya
merumuskan ketentuan pidana sesuai dengan hati nurani masyarakat dengan menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat? Apakah aparatpenegak hukum yang tergabungdalam CJS (polisi, jaksa, hakim, pengacara, LP) telah berbicara selaras dengan nurani kolektivitas masyarakat dalam menegakan hukum dan keadilan? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab dengan fakta hari ini bahwa masih menunjukan terjadinya anomali (kekacauan) dalam penegakan hukum dan keadilan. Dilaporkan oleh Harian Kompas bahwa pada awalnya dukungan pemerintah untuk mengungkap beberapa tindak pidana korupsi menjadikan dunia penegakan hukum semakin bergairah. Apalagi dengan prestasi KPK dalam mengungkap kasus korup di KPU membuat citra penegakan hukum bersinar sehingga pemerintahan SBY menuai pujian dari masyarakat karena 63,6% hasil jajak pendapat menyatakan puas terhadap kinerja tim SBY dalam sembilan bulan pelaksanaannya. 2 Sinar penegakan hukum ini kembali buram ketika mulai terlihat adanya indikasi suap dan korupsi di tubuh lembaga legislative dan di Mahkamah Agung. Ini merupakan sesuatu yang ironis karena lembaga-lembaga yang seharusnya memberikan dorongan bagi penegakan hukum, ternyata tak luput dari kejahatan. Terungkapnya percaloan di
2
Kompas, Hukum di Atas Pilar yang Gamang, Senin,10 Oktober 2005, hal. 5.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
DPR menyadarkan kita bahwa lembaga penting yang bergerak di hulu dengan menghasilkan produk perundang-undangan, ternyata tidak bisa bebas dari KKN. Sementara di wilayah hilir penegakan hukum, juga semerbak dengan aroma KKN. Terungkapnya kasus kejanggalan rekening beberapa petinggi Polri dan dugaan penyuapan terhadap MA menjadikan keterkejutan masyarakat Indonesia bahwa betapa rapuh dan gamangnya pilar-pilar penegakan hukum di negeri ini. Kondisi ini menyebabkan kekecewaan di tengah publik dan 57,2% responden jajak pendapat Kompas menyatakan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia masih buruk. Penilaian negati publik ini tidak hanya terpaku pada kinerja lembaga-lembaga hukum secara umum, tetapi juga mengarah kepada aparat hukum yang berperan besar dalam proses menentukan hukum yang berkeadilan dalam masyarakat, termasuk institusi kejaksaan dan pengacara, juga tidak terlepas dari citra negatif ini. 3 Fakta di atas menunjukan masih gamangnya penegakan hukum pidana di Indonesia. Kurangnya pemahaman terhadap konsep philosofis tujuan pemidanaan di aparat penegak hukum, menjadikan kinerja tanpa arah dan pencapaian visi yang tidak jelas. Akhirnya penegakan hukum berjalan tercerabut dari akar nilai-nilai pilosofis konsep pemidanaan yang hidup di tengah masyarakat.
B. Dialektika Filsafat Tujuan Pemidanaan Diskursus mengenai tujuan pemidanaan telah menjadi pembicaraan dari zamankezaman dan menjadi issu sentral dalam hukum pidana karena pidana atau hukuman selalu berkenaan dengan tindakan-tindakan yang apabila bukan dilakukan oleh negara
3
Ibid.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
dengan berlandaskan hukum,maka akan menjadi tindakan yang bertentangan dengan moral. Oleh karena itulah falsafah pemidanaan berusaha mencari pembenaran terhadap tindakan negara ini. Perkembangan pemikiran tentang hakikat tujuan pemidanaan. akan diuraikan beberapa teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu retributif atau teori absolut, teori relatif (deterrence), teori penggabungan (integratif), treatment dan perlindungan sosial (social
defence). Teori Retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang imoral dan asusila 4 di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan. 5 Menurut Remmelink, 6 teori retributif atau teori absolut dapat dikatakan sama tuanya dengan awal pemikiran tentang pidana. Syarat pembenaran penjatuhan pidana tercakup dalam kejahatan itu sendiri. Pemikiran ini beranjak dari pandangan yang absolut terhadap pidana. Dalam konteks ajaran ini, pidana merupakan res absoluta ab affectu
4
Aleksandar Fatic (1995). Punishment and Restorative Crime – Handling. USA: Avebury Ashagate Publishing Limited, hal. 9. Teori retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “morally Justifed” (pembenaran secara moral) karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan sadar dan hal ini merupakan bentuk dari tanggung jawab moral dan kesalahan hukum si pelaku. 5 J.M. van Bemmelen (1997). Hukum Pidana 1. Bandung: Bina Cipta, Cetakan Kedua, hal. 25. 6 Jan Remmelink (1993). Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 600.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
futuro (suatu keniscayaan yang terlepas dari dampaknya di masa depan). Dilakukannya kejahatan, maka membawa konsekuensi dijatuhkannya pemidanaan. 7 Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori retributif ini, menurut Romli Atmasasmita mempunya sandaran pembenaran sebagai berikut: 8 1. Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya, maupun keluarganya.Perasaan ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe aliran retributif ini disebut vindicative; 2. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima ganjarannya. Tipe aliran retributif ini disebut fairness; 3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran retributif ini disebut
proportionality.
7 Lihat juga Andrew Ashworth (1994). Sentencing, dalam The Oxford Handbook of Criminology. Mike Maguire et.all (Ed.). New York: Oxford University Press, hal. 819. Menurut Andrew Ashworth, teori retributif mempunyai sejarah yang panjang, termasuk di dalamnya tulisan dari Kant dan Hegel. Teori retributif ini muncul kembali dalam era modern pada tahun 1970-an, yang didorong oleh kegagalan secara luas pelaksanaan ide rehabilitasi. Pemidanaan dibenarkan sebagai suatu respon yang pantas atau cocok untuk kejahatan, suatu tuntutan yang fundamental dari intuisi manusia dan pemidanaan ini harus proporsional dengan tingkat kesalahan. Dalam hal ini, adanya justifikasi dari institusi pemidanaan juga unsur yang harus ada sebagai konsekuensi untuk penanggulangan kejahatan. Institusi pemidanaan ini sangat penting sekali karena tanpanya akan memungkinkan terjadinya anarki. Tindakan pembalasan setimpal ini dilandaskan pada pemikiran bahwa setiap individu bertanggung jawab dan mempunyai kebebasan penuh secara rasional dalam mengambil keputusan. Sedangkan dasar pemikiran secara politik disandarkan bahwa setiap individu berhak atas penghargaan dan harga diri yang sama. Seorang pelaku kejahatan dalam kondisi ini tidak kehilangan haknya atas penghukuman tersebut, dan mempunyai hak untuk tidak dihukum secara tidak proporsional terhadap kejahatan yang dilakukannya. Proporsional merupakam kunci dari konsep teori pembalasan setimpal. Ukuran yang utama dari proporsionalitas ini adalah semua ukuran dari tingkatan pemidanaan ini tidak boleh melewati batas secara kesesuaian dengan keseriusan suatu perbuatan. 8 Romli Atmasasmita (1995). Kapita Selekta Hukum Pidana dan Krimonologi. Bandung: Mandar Maju, hal. 83-84.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
Sedangkan teori relatif memandang bahwa pemidanaan mempunyai tujuan lain yang lebih berarti dari tujuan pembalasan, yaitu perlindungan masyarakat dan pencegahan
kejahatan,
pemidanaan
untuk
baik
prevensi
prevensi umum 9
umum
maupun
diharapkan
prevensi
memberikan
khusus.
Tujuan
peringatan
kepada
masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum ini menurut van Veen mempunyai tiga fungsi, yaitu menegakkan wibawah pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma. Prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali. Sedangkan fungsi perlindungan kepada masyarakat memungkinkan bahwa dengan pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu, maka masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang mungkin dilakukan oleh pelaku. 10 Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif (reductivism) karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan (… the justification for penalizing offences is that this
reduces their frequency). Penganut reductivism meyakini bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini: 11
9
T. Mathiesen (1995). General Prevention as Communication dalam A Reader on Punishment. R.A. Duff and David Garland (Ed.). New York: Oxford University Press, Inc., hal. 221. General prevention menurut T. Mathiesen merupakan sebagai sarana komunikasi yang berupa pesan dari negara sebagai pemegang otoritas untuk menjatuhkan pemidanaan kepada masyarakat. Pesan in terdiri dari: “(1) Punishment is a
massage which intends to say that crime does not pay (deterrence);(2) It is a massage which intends to say that you should avoid certain act because they are morally improper or incorrect (moral education); (3) It is a massage which intends to say that you should get into habit of avoiding certain acts (habit formation).Tugas
untuk menyampaikan pesan negara ini, terutama menjadi tanggung jawab dari komponen-komponen sistem peradilan pidana. 10 J.M. van Bemmelen, Op. Cit., hal. 28 11 Negel Walker (1995). Reductivism and deterrence. dalam A Reader on Punishment. R.A. Duff and David Garland (Ed.). New York: Oxford University Press, hal. 212.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offender), yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan; 2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring potential imitators), dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya; 3. Perbaikan si pelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki tingkah laku sipelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dar ancaman pidana; 4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan; 5. Melindungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana penjara yang cukup lama.
Teori Gabungan berusaha meretas jalan dan menemukan benang merah antara kedua teori di atas. Teori gabungan mengakui bahwa pembalasan (retributive) merupakan dasar dan pembenaran dijatuhkannya pidana, namun seharusnya perlu diperhatikan bahwa penjatuhan pidana ini harus membawa manfaat untuk mencapai tujuan lain, misalnya kesejahteraan masyarakat (social welfare). Tokoh teori gabungan ini adalah Pallegrino Rossi (1787-1848), dalam bukunya yang berjudul “Traite de Droit Penal” menyatakan bahwa pembenaran pidana terletak pada pembalasan dan hanya orang yang bersalah yang boleh dipidana. Pidana yang dijatuhkan harus sesuai dengan kejahatan
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
yang dilakukan, sehingga beratnya pidana harus sesuai dengan beratnya kejahatan yang dilakukan. 12 Teori gabungan ini coba menyatukan tujuan pemidanaan sebagai pembalasan dan juga untuk pencegahan. Kedua tujuan ini merupakan gabungan antara teori retributif dan teori relatif di atas. Ketiga teori ini masih mengakui peranan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan, tinggal menempatkan tujuan pidana ini secara proporsional.
Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). 13
12
Ibid., hal. 29. C. Ray Jeffery (1977). Crime Prevention Through Environmental Design. Beverly Hills-London: SAGE Publication, Inc., hal. 18. Aliran positif lahir pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Casare Lombroso (1835-1909), Enrico Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofalo (1852-1934). Mereka menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji kejahatan dengan mengkaji karakter pelaku dari sudut pandang ilmu biologi, psikologi dan sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan kejahatannya. Aliran positif berkembang pada abad ke-19 yang dihasilkan oleh perkembangan filsafat empirisme di Inggris sebagaimana yang ditemukan dalam ajaran Locke dan Hume, teori Darwin tentang “biological determinisme”, teori sociological positivism dari Comte dan teori ekonomi Karl Marx. Akhirnya perkembangan filsafat di atas membawa pengaruh bagi lahirnya paham behaviorism, experimental psychology, psychological psychology dan 13
objectivity.
Lihat juga Rudolp J. Gerber and Patrick D. McAnany (1970). Philosophy of Punishment, dalam The Sociology of Punishment & Correction. Gerber dan McAnany menyatakan bahwa munculnya paham
rehabilitasionis dalam ilmu pemidanaan sejalan dengan gerakan reformasi penjara. Melalui pendekatan kemanusiaan, maka paham ini melihat bahwa sistem pemidanaan pada masa lampau menyebabkan tidak adanya kepastian nasib seseorang. Berdasarkan pendekatan keilmuan, maka aliran rehabilitasi berusaha membuat jelas dan melahirkan suatu dorongan untuk memperbaiki pelaku kejahatan sebagai tema sentral mengenyampingkan semua tujuan lain dari pemidanaan. Jadi gerakan rehabilitionist merupakan paham yang menentang sistem pemidanaan pada masa lalu, baik untuk tujuan retributif, maupun tujuan deterrence. Lihat juga Lloy Ohlin (1970). Modification of the Criminal Value system dalam The Sociology of Punishment & Correction. Dalam Leonard Savitz dan Marvin E. Wolfgang (Ed.). New York: John Wiley & Sons, Inc., hal. 499. Ohlin menyatakan bahwa “In a number of prison system recent humanitarian reform design to
alleviate the punitive aspects of prison life have become improperly edentified as rehabilitation programs. Such humanitarian reforms appear desirable, for they set the frame work within which succesfully treatment
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
Aliran positif 14 melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya dengan terjadinya kejahatan. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor lingkungan. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan (treatment) untuk re-sosialisasi dan perbaikan sipelaku. 15
Social Defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah PD II dengan tokoh terkenalnya adalah Fillipo Gramatica, yang pada tahun 1945 mendirikan Pusat Studi Perlindungan Masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan social defence
programs may be instituted. This reform in themselves, however, do not create changes in criminal value system. In that such reform give evidence of good intention and desire of the prison authorities to interest themselves in the inmate’s welfare, they create the possibility of establishing relatinship of trust, rapport, and loyalty between the administration and certain conventionally motivated inmates.” 14 Freda Adler et. al. (1995). Criminology. USA: McGraw-Hill, Second Edition, hal. 59-61. Aliran Positif
dipelopori oleh Cassare Lombroso (1835-1909), Enrico Ferri (1856-1929) dan Rafaele Garofalo (1852-1934). Menjelang akhir abad ke-18, perkembangan yang penting dari ilmu alam dan ilmu sosial mempengaruhi pemikiran tentang kejahatan. August Comte (1798-1857) seorang sosiolog berkebangsaan Perancis, menerapkan pendekatan metode ilmu pengetahuan alam kepada ilmu-ilmu sosial melalui bukunya yang berjudul “Cours de Philosophie Positive” atau “Course in Positive Philosophy”, diterbitkan antara tahun 1830 dan 1842. Comte menyatakan bahwa “There could be no real knowledge of social phenomena unless it was based on a positivist (scientific) approach”. Perkembangan ilmu pengetahuan saat itu juga dipengaruhi oleh Charles Darwin (1809-1892) dengan teori evolusinya. Lombroso menyatukan pemikiran Comte dan Darwin untu menjelaskan hubungan antara kejahatan dengan bentuk tubuh manusia. Lombroso menerbitkan bukunya yang berjudul “L’uomo Delinquente” atau “The Criminal Man” pada tahun 1876, yang menandai bahwa terjadinya transformasi kajian mengenai kejahatan dari tataran yang abstrak (philosopis) ke ranah yang lebih konkrit melalui pendekatan metode ilmiah. Lombroso dengan teorinya born criminal menyatakan bahwa ada suatu kekhasan tertentu yang disebutnya Atavistic Stigmata yang membedakan manusia kriminal dengan yang bukan kriminal, yang dapat dilihat dari bentuk fisik seseorang. 15 Lihat juga J. Robert Lilly et, al. (1995). Criminological Theory, Context and Consequences. LondonNew Delhi: SAGE Publications, Second Edition, hal. 22-25. Ketiga tokoh aliran posif ini menolak doktrin free will dan menggantinya dengan konsep determinisme. Ferri (1856-1929) melihat akar terjadinya kejahatan dari berbagai faktor, yaitu faktor sosial, ekonomi dan politik. Garofalo melihat kejahatan dari aspek Psychological Equivalent yang disebutnya sebagai moral anomalies. Berdasarkan faktor-faktor penyebab di atas, mereka sepakat bahwa pelaku kejahatan tidak bisa diminta pertanggungjawabannya karena mereka tidak dapat memilih untuk melakukan kejahatan, melainkan faktor-faktor di ataslah yang mendorong mereka untuk berbuat kejahatan. Mereka sepakat juga bahwa masyarakat harus diberikan perlindungan dari akibat yang muncul dari kejahatan ini dan oleh karenanya tujuan hukum pidana dan kebijakan hukum pidana harus menyediakan sarana untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
ini (Setelah Kongres Ke-2 Tahun 1949) terpecah menjadi dua aliran, yaitu aliran yang radikal (ekstrim) dan aliran yang moderat (reformis). Pandangan yang radikal 16 dipelopori dan dipertahankan oleh F. Gramatica, yang salah satu tulisannya berjudul “The fight against punishment” (La Lotta Contra La Pena). Gramatika berpendapat bahwa: “Hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya.” Pandangan Moderat 17 dipertahankan oleh Marc Ancel (Perancis) yang menamakan alirannya sebagai “Defence Sociale Nouvelle” atau “New Social Defence” atau “Perlindungan Sosial Baru”. Menurut Marc Ancel, tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan
16
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, hal. 35. Lihat Romli Atmasasmita (1996). Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme. Bandung: Bina Cipta, hal. 97. Gerakan yang dipelopori oleh Gramatica ini melahirkan gerakan yang menghendaki penghapusan hukum pidana (abilisionisme). Penggunaan hukum pidana sebagai salah satau sarana penanggulangan kejahatan ditentang secara radikal oleh kaum abolisionisme. Hukum pidana dalam perspektif kaum abolisionisme dirasakan sebagai sesuatu yang kurang manusiawi, oleh karena itu pemidanaan tidak perlu dan harus dihapuskan, serta diganti dengan hukum kerja sosial. Paham Abolisionisme mulai dikembangkan oleh Louk Hulsman dari Belanda ketika ia menjadi ketua Hukum Pidana dan Kriminologi Universitas Erasmus, Rotterdam pada tahun 1964. Arah pemikiran Hulsman yang secara eksplisit memiliki perspektif abolisionis tampak nyata dalam sebuah pidato wisudanya yang berjudul Handhaving van Recht (The Maintenance of Justice). Dalam pidatonya ini ia sangat memperhatikan aspek kemanusiaan yang dipandangnya dapat luntur oleh keadilan yang dicapai melalui pelaksanaan hukum pidana.Paham Abolisionisme mulai dikembangkan oleh Louk Hulsman dari Belanda ketika ia menjadi ketua Hukum Pidana dan Kriminologi Universitas Erasmus, Rotterdam pada tahun 1964. Arah pemikiran Hulsman yang secara eksplisit memiliki perspektif abolisionis tampak nyata dalam sebuah pidato wisudanya yang berjudul Handhaving van Recht (The Maintenance of Justice). Dalam pidatonya ini ia sangat memperhatikan aspek kemanusiaan yang dipandangnya dapat luntur oleh keadilan yang dicapai melalui pelaksanaan hukum pidana. 17 Marc Ancel (1965). Social Defence, Modern Approach to the Criminal Problem. London: Roatledge & Paul Keagen, hal. 74.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Beberapa konsep pandangan moderat: 18 1.
Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana.
2.
Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan masyarakat itu sendiri;
3.
Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksifiksi dan tekniks-tekniks yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Ini merupakan reaksi terhadap legisme dari aliran klasik. Aliran moderat ini juga lahir sebagai jawaban terhadap kegagalan aliran positif
dengan paham rehabilisionisnya. Gerber dan McAnany menyatakan bahwa munculnya paham rehabilitasionis dalam ilmu pemidanaan sejalan dengan gerakan reformasi penjara. Melalui pendekatan kemanusiaan, maka paham ini melihat bahwa sistem pemidanaan pada masa lampau menyebabkan tidak adanya kepastian nasib seseorang. Berdasarkan pendekatan keilmuan, maka aliran rehabilitasi berusaha membuat jelas dan melahirkan suatu dorongan untuk memperbaiki pelaku kejahatan sebagai tema sentral mengenyampingkan semua tujuan lain dari pemidanaan. 19 Jadi gerakan rehabilitionist
18 19
Ibid, hal. 35.
Rudolp J. Gerber and Patrick D. McAnany (1970). Philosophy of Punishment, dalam The Sociology of Punishment & Correction. Leonard Savitz dan Marvin E. Wolfgang (Ed.). New York: John Wiley & Sons, Inc., hal. 352. Lihat juga Lloy Ohlin (1970). Modification of the Criminal Value system dalam The Sociology of Punishment & Correction. Leonard Savitz dan Marvin E. Wolfgang (Ed.). New York: John Wiley & Sons, Inc., hal. 499. Ohlin menyatakan bahwa “In a number of prison system recent humanitarian reform design to alleviate the punitive aspects of prison life have become improperly edentified as rehabilitation programs. Such humanitarian reforms appear desirable, for they set the frame work within which succesfully treatment programs may be instituted. This reform in themselves, however, do not create changes in criminal value system. In that such reform give evidence of good intention and desire of the prison authorities to interest
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
merupakan paham yang menentang sistem pemidanaan pada masa lalu, baik untuk tujuan retributif, maupun tujuan deterrence. Paham rehabilitasi sebagai tujuan pemidanaan dalam perjalanannya tidak semulus yang diperkirakan karena paham ini juga banyak menuai kritikan. Kritikan pertama ditujukan pada kenyataannya bahwa hanya sedikit negara yang mempunyai fasilitas untuk menerapkan program rehabilitasi pada tingkat dan kebijakan yang menekankan penggunaan tindakan untuk memperbaiki (treatment) atas nama penahanan. 20 Kritikan kedua, adanya tuduhan yang serius bahwa pendekatan yang digunakan oleh paham rehabilitasi adalah pendekatan yang mengundang tirani individu dan penolakan hak asasi manusia. Misalnya dalam hal proses pelaksanaan rehabilitasi ini tidak seseorang pun yang dapat memprediksi berapa lama pengobatan akan berlangsung ketika seorang tahanan segera diserahkan kepada dokter untuk disembuhkan atau diobati sebelum tahanan itu dibebaskan. Dalam hal ini juga sulit untuk mengontrol otonomi keputusan dokter. Menurut Lewis sebagaimana yang dikemukakan oleh Gerber McAnany bahwa sebagian besar metode treatment yang dilakukan dengan penuh kebaikan dan atas nama kemanusiaan, namun akhirnya tidak terkontrol. Lebih lanjut dijelaskan: 21 “It is not Lewis’s point, nor any other of its critics, that rehabilitation is not a valid goal of society, but they all insist that some other more fundamental justification must be present to provide support for what must be conceived as only ancillary to the essential nature of punishment. Not only must we seek justification for punishment elsewhere, but a clear limit must be placed on what criminals can be forced to undergo for their own benefit.” Berdasarkan uraian di atas, maka Lewis dan pengkritik lainnya menyatakan bahwa rehabilitasi bukanlah tujuan yang valid dari masyarakat, namun adanya penegasan bahwa themselves in the inmate’s welfare, they create the possibility of establishing relatinship of trust, rapport, and loyalty between the administration and certain conventionally motivated inmates.” 20 Ibid, hal. 354. 21 Ibid.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
harus ada suatu pembenaran (justifikasi) lain yang sifatnya lebih fundamental untuk memberi dukungan dan pemahaman mengenai apa yang disebut pemidanaan. Pencarian mengenai justifikasi pemidanaan ini juga harus disertai dengan adanya pembatasan yang jelas, mana pelaku-pelaku kejahatan yang dapat dipaksakan dan mana yang tidak bisa menjalani pemidanaan tersebut demi kebaikan mereka. Jadi pembatasan ini dimaksudkan untuk melakukan pemilahan terhadap pelaku kejahatan dalam suatu klasifikasi tertentu sehingga pemidanaan yang dijalankan sesuai untuk kebaikan pelaku tersebut. Pembatasan ini juga dimaksudkan supaya program yang dijalankan bukanlah program uji coba, sebagaimana yang dikemukakan oleh Silving bahwa orang-orang jahat bukanlah kelinci percobaan (even ‘bad people’ are not by the same token experimental
rabbits). Suatu usaha memformulasi prinsip pembatas ini dikemukakan oleh Morris yaitu Penguasaan atas kehidupan pelaku kejahatan tidak diperlakukan berlebihan, bilamana perbaikan pelaku tersebut tidak menjadi pertimbangan dan tujuan dari pemidanaan. 22 Akhirnya, program rehabilitasi dihadapkan pada kritikan bahwa semua ilmu pengetahuan di dunia ini, pada kenyataannya tidak dapat merehabilitasi seseorang yang mempunyai sikap anti sosial. Beberapa tujuan dari pemidanaan seperti yang telah diuraikan di atas telah menjadi suatu dilema dalam hal pemidanaan. Tujuan pidana dalam pandangan retributi dianggap terlalu kejam dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan tujuan pemidanaan sebagai deterrence dianggap telah gagal dengan fakta semakin meningkatnya jumlah pelaku yang menjadi residivis. Sementara tujuan pemidanaan
22
Ibid.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
rehabilitasi telah kehilangan arahnya. Jeffery menguraikan kegagalan sistem pemidanaan ini sebagai berikut: 23 “The failure of prison system and treatment ideology has suddenly been discovered by politician and the lay public. A research project by Martinson and his associates reveals, for example, that therapeutic programs, with few exceptions, are total failures at rehabilitating criminal... A critical look at rehabilitation was provided in an article by Francia A. Allen in 1959. Allen, a law professor and former dean of the law school of the University of Michigan, argue that the “rehabilitative ideal” had dominated the criminal justice system with its social welfare programs in place of penal measures. Such a rehabilative philoshopy corrupted the criminal justice system and left the criminal at the mercy of the therapist. Justice was replaced with compulsory theraupeutic, and the criminal was left without protection.” Kenyataan di atas menyebabkan adanya usaha-usaha untuk melihat kembali pada posisi hukum pidana klasik dan berpidah dari program treatment. Pada tahun 1940, Cohen mengusulkan untuk mengkaji kembali penolakan terhadap paham retributif dengan alasan bahwa secara alami terdapat kecenderungan pada manusia untuk melakukan pembalasan terhadap orang yang telah menderitaknnya dan hal ini seharusnya mendapat dukungan untuk diekspresikan dalam hukum pidana secara resmi. Kemudian Jerome Hall melakukan pembelaan paham retributif dari serangan paham rehabilitatif yang dinyatakan dalam bukunya berjudul The General Principles of Criminal Law. Tesisnya dipusatkan pada kualitas moral dari perbuatan pidana, yaitu maksud (intent) pelaku untuk menyerang atau melukai orang lain. 24 Seorang filosof hukum berkebangsaan Inggris, yaitu Hart, telah mengajukan suatu konsep pemidanaan yang didasarkan pada retributif atau penerapan penderitaan kepada pelaku kejahatan yang secara moral bersalah. Konsepnya tentang pemidanaan ini meliputi
mens rea, free will, moral blameworthiness dan individual responsibility. 25 Hart
23 24 25
C. Ray Jeffery, Op. Cit., hal. 23.
Ibid. hal. 358.
C. Ray Jeffery, Op. Cit., hal. 18.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
menyatakan bahwa retributif merefleksikan tingkat beratnya secara moral dari suatu kejahatan, misalnya pembunuhan lebih serius dari pencurian dan Hart menyimpulkan bahwa pemidanaan diperlukan kembali, bahkan jika terlalu penting untuk mencegah pengulangan terjadinya kembali tindak pidana. 26 Pendapat yang utama dari Hart adalah bahwa seseorang boleh dikenakan pemidanaan jika seseorang tersebut telah melakukan perbuatan yang secara moral bersalah. Pemidanaan yang dijatuhkan ini harus sesuai dengan tingkat kejahatan dari perbuatan tersebut. Pembenaran pemidanaan disandarkan pada argumen bahwa pembalasan penderitaan kepada moral seseorang yang jahat dilakukan secara sukarela, yang pada dasarnya pelaku tersebut mempunyai moral yang baik. 27 Prinsip yang digunakan
Hart adalah prinsip proporsionalitas yang tidak lagi
menekankan tujuan pidana pada lex talionis (pembalasan) dengan adagium an eye for an
eye, a tooth for a tooth, tetapi justru menggarisb awahi pentingnya pidana yang proporsional, yaitu sesuai dengan tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukan. Pada intinya proporsionalitas ini mensyaratkan skala nilai untuk menimbang dan menilai berat ringannya pidana dikaitkan dengantindak pidananya. Oleh karena itu, nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat serta budaya cenderung menjadi faktor penentu dalam menentukan peringkat sanksi yang dipandang patut dan tepat dalam konteks histories tertentu. 28 Berdasarkan uraian di atas, maka dialektika teori tentang pemidanaan di dunia, menunjukkan terjadinya pergeseran paradigma yang menghasilkan pula paradigma yang lama dengan format baru. Paradigma ini juga menunjukan bahwa hakikat pemidanaan 26 27 28
Ibid. Ibid.
Harkristuti Harkrisnowo, Op. Cit., hal. 12.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
tidak bisa terlepas dari konteks kehidupan sosial dan kebijakan pemidanaan harus memperhatikan hukum yang hidup di tengah masyarakat.
C. Kearifan Lokal Falsafah Pemidanaan Indonesia Sampai saat ini, Indonesia belum mentukan paradigma apa yang dipakai dalam falsafah pemidanaannya. Sangat disayangkan sekali bahwa telah 60 tahun kita merdeka, tetapi belum nampak criminal policy dari pengurus negara ini untuk melihat konsep kearifan local falsafah pemidanaan Indonesia. Kita lebih cenderung menoleh kepada falsafah pemidanaan dari Barat seperti di atas, ditambah oleh minimnya kemauan dari para teoritisi, praktisi dan pihak legislasi untuk menggali falsafah pemidanaan kita. Menurut Harkristuti Harkrisnowo, sebenarnya system pidana dan pemidanaan di wilayah Indonesia sejak zaman dahulu telah mengenal falsafah pemidanaan. Hal ini terlihat dari berbagai kitab hukum kuno dan hukum adat dari berbagai daerah telah menyiratkan tujuan dari respon masyarakat terhadap terjadinya pelanggaran ketertuban hidup. Sejumlah kitab kuno ini antara lain: 1. Kitab Ciwasasana atau Purwadhigama pada masa Raja Dharmawangsa (abad ke-10); 2. Kitab Gajahmada (abadke-14); 3. Kitab Simbur Cahaya, di Palembang (abad ke-17); 4. Kitab Kuntara Raja Niti, di Lampung (abad ke-16); 5. kitab Lontara’ ade’, di Sulawesi Selatan (abad ke-19), dll. Dari
berbagai
kitab
tersebut
telah
mengenal
asas
legalitas
dan
asas
proporsionalitas yang menjadi pilar dari hukum pidana modern. Misalnya Pasal 65 Kitab Perundang Majapahit tentang penjatuhan denda berbunyi: “…ingatlah, djangan sekali-kali
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
radja yang berkuasa mendjatuhkan denda lebih besar dari pada seketi enam laksa…” Asas proporsionalitas terlihat dalam Pasal 93, “…keslahan besar dendanya besar, kesalahan
kecil dendanya kecil…” Tujuan pemidanaan sebagai retributive ditemukan dalam Lontara Suku Wajo di Sulawesi Selatan yang berbunyi: “…mereka tidak boleh dibunuh, kecuali perbuatan buruk mereka yang membunuh mereka…” Tujuan pemidanaan sebagai deterrence, terlihat dalam undang-undang Majapahit:
“…maksud radja mengenakan denda ialah untuk mengendalikan nafsu orang,supaya djangan tersesat budinya, djangan menerjang djalan yang benar…” Falsafah rehabilitasi yang umumnya direalisasikan dalam pidana perampasan kemerdekaan untuk dilakukan pembinaan (treatment) pada pelaku, memiliki bentuk yang berbeda dalam kitab-kitab tersebut. Konsep rehabilitasi terlihat pada berbagai upacara untuk memulihkan keseimbangan yang rusak karena dilakukannya kejahatan, sehingga lebih berupa rehabilitasi societal dari pada individual. Selain tujuan-tujuan pemidanaan dalam kitab-kitab kuno di atas yang sepadan dengan falsafah barat, juga mengenal tujuan pemidanaan yang tidak dimiliki di Barat, yaitu tujuan pemidanaan berupa “pengembalian keseimbangan dalam masyarakat atau pemulihan keadaan” Konsep ini lebih bernilai secara komunal yang menekankan rasa kebersamaan dalam masyarakat. Misalnya di dalam UU Simbur Cahaya yang berlaku di Palembang, untuk delik perzinahan maka pelaku dikenakan hukuman adat berupa “pembasuh dusun atau tepung dusun.” Hukuman ini berupa membebankan kewajiban untuk menyembeli seekor kerbau atau seekor kambing yang bertujuan untuk menghapuskan kehinaan atau “sial” di dalam
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
masyarakat akibat terjadinya kejahatan. Pada reaksi adat hal ini berfungsi untuk memperkuat masyarakat secara magis karena untuk menyeimbangkan lingkungan alam yang telah ternoda sehingga tidak membawa malapetaka bagi masyarakat lainnya. 29 Dalam masyarakat adat, delik bukan hanya dipandang hanya kerugian secara individual, tetapi perbuatan itu telah menggangu keseimbangan alam sehingga keseluruhan masyarakat yang berada dalam wilayah alam tersebut bisa kena “sial” akibat kemarahan alam. Tujuan pemidanaan dalam UU Simbur Cahaya, misalnya dalam kasus perzinahan juga menganut prinsip yang sama, yaitu terganggunya keseimbangan. Hukuman adat (reaksi adat) merupakanwahana untuk memulihkan kembali keseimbangan alam yang rusak akibat perbuatan zinah tersebut. Masih banyak lagikearifan local yang mengandung nilai-nilai positif untuk menjadi acuan proses legislasi di Indonesia. Dalam R-KUHP telah diadopsi tentang tujuan pemidanaan yang digali dari nilainilai filosopis bangsa Indonesia. Pasal 50 R-KUHP merumuskan tujuan pemidanaan sebagai: (a) pencegahan; (b) pemasyarakatan terpidana; (c) penyelesaian konflik dan pemulihan keseimbangan; (d) pembebasan rasa bersalah terpidana. Hal ini menunjukan perumus R-KUHP sudah mulai menoleh ke arifan local yang berajkar
dari budaya
Indonesia, selain konsep pemidanaan Barat. Hal ini ter pada tujuan pemidanaan pada butir c, yaitu “menyelesaikan konflik dan mengembalikan keseimbangan”.
D. Internalisasi alas filosofis tujuan pemidanaan dalam System
Criminal Justice
29
Lublink Weddik, Disertasi Tanpa Tahun, Hukum Delik Adat dalam Kerapatan Marga Palembang, Diterjemahkan oleh M. Ali Amin, Hal. 15
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
Berdasarkan uraian tujuan pemidanaan di atas maka harus menjadi renungan bagi perbaikan penegakan hukum diIndonesia dengan menggali hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia sehingga bisa menjadi acuan oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu, dalam kondisi ini diharapkan aparat penegak hukum yang tergabung dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) 30 harus mampu menginternalisasikan alas philosofis tujuan pemidanaan ini sehingga tidak kehilangan arah dalam penegakan hukum. Aparat penegak hukum harus terintegrasi dalam sistem peradilan pidana dan mampu bekerjasama dalam suatu integrated administration of criminal justice system, sehingga terjadi koordinasi yang baik. 31 Keterpaduan ini juga diharapkan dapat mencapai tujuan Sistem Peradilan Pidana, yaitu: 32
30
Romli Atmasasmita (1996). Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme. Bandung: Bina Cipta.hal. 7-8. Sistem Peradilan Pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam “Criminal Justice Science” di Amerika Serikat, sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegakan hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dari meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Pada masa itu pendekatan yang digunakan dalam penegakan hukum adalah “law and order approach” dan penegakan hukum dalam konteks ini dikenal dengan istilah law enforcement. Istilah ini menunjukkan bahwa aspek hukum dalam penanggulangan kejahatan dikedepankan dengan lembaga kepolisian sebagai pendukung utama, sehingga keberhasilan penanggulangan kejahatan pada waktu itu sangat tergantung dengan kerja lembaga kepolisian. Dalam prakteknya, lembaga kepolisian mempunyai keterbatasan dan kendala-kendala dalam penegakan hukum dan upaya penanggulangan kejahatan, baik yang bersifat operasional maupun prosedural-legal. Keterbatasan dan kendala ini tidak berhasil secara optimal untuk menekan naiknya angka kejahatan. Berdasarkan latar belakang ini, maka mulai dipikirkan untuk melakukan pendekatan yang sistemik dalam penanggulangan kejahatan melalui keterpaduan lembaga-lembaga penegak hukum. Menurut Remington dan Ohlin, Sistem Peradilan Pidana dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme penyelenggaraan peradilan pidana. Peradilan pidana sendiri sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem sendiri mengandung implikasi sebagai suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara yang efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya 31 Norval Morris (1982) Introduction. dalam Criminal Justice in Asia, The Quest for An Integrated Approach. Tokyo: Seminar UNAFEI, hal. 5. Morris melihat bahwa Sistem Peradilan Pidana adalah sistem yang berusaha untuk menanggulangi kejahatan. Secara rinci Morris menyatakan “The criminal justice system is best
seen as a crime containment system, one of the method that society uses to keep crime at whatever level each particular culture is willing no accept… the criminal justice system is also involved in the secondary prevention of crime, that is to say, in trying to reduce criminality among those who have been convicted of crimes and trying by deterrent processes of detection, conviction, and punishment to reduce the commission of crime by those who are so minded and so a acculturated”. 32 Philip P. Purpura (1997). Criminal Justice an Introduction. Boston: Butterworth-Heinemann, hal. 5.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
1. Melindungi masyarakat (Protect Society); 2. Memelihara ketertiban dan stabilitas (Maintain order and stability); 3. Mengendalikan kejahatan (control crime); 4. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan serta melakukan penahanan terhadap pelakunya (investigate crimes and arrest offenders); 5. Memberikan batasan tentang bersalah atau tidak kepada pengadilan (provide for
judicial determination of quilt or innoncence); 6. Menetapkan hukuman yang pantas dan sesuai bagi yang bersalah (set an appropriate
sentence for the quilty); 7. Melindungi hak-hak hukum terdakwa melalui proses peradilan pidana (protect the
constitutional rights of defendents throughout the criminal justice process). Sistem Peradilan Pidana ini mempunyai empat komponen, sebagaimana yang lazim dikenal dalam ilmu kebijakan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Keempat komponen ini biasa disebut sebagai aparat penegak hukum. Perkembangan terakhir dengan diundangkannya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka advokat telah mempunyai legitimasi sebagai aparat penegak hukum, seperti yang ditegaskan dalam Pasal 5 Ayat (1). Status advokat disejajarkan dengan aparat penegak hukum lainnya dalam proses peradilan. Dengan demikian advokat dapat dikatakan sebagai salah satu unsur aparat penegak hukum dan dapat dimasukkan sebagai salah satu komponen Sistem Peradilan Pidana. 33 Kadish sebagaimana yang dikemukakan oleh Ramli Atmasasmita menyatakan bahwa sistem peradilan pidana dapat dikaji melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan
33
Lihat Pasal 5 Ayat (1) dan Penjelasnya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
normatif, pendekatan administrasi, dan pendekatan sosial. 34 Pendekatan normatif memandang komponen-komponen aparatur penegak hukum dalam sistem peradilan pidana merupakan institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga komponen-komponen ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum. Pendekatan administratif memandang komponen-komponen aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi managemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal, maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang digunakan adalah sistem administrasi. Pendekatan sosial memandang komponen-komponen aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial. Hal ini berarti masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau tidaknya pelaksanaan tugas dari komponen-komponen aparatur penegak hukum tersebut. Sistem yang digunakan adalah sistem sosial. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat tempat bagi keterlibatan masyarakat dalam upaya penegakan hukum. Dalam konteks ini dapat dimunculkan pertanyaanpertanyaan yang menarik untuk dikemukakan. Pertanyaan ini berkisar pada, mengapa masyarakat harus dilibatkan dalam penegakan hukum?, dan dimana posisi masyarakat dalam Sistem Peradilan Pidana. Pertanyaan ini muncul karena menurut Adam Crawford bahwa selama ini istilah penegakan hukum sering diterjemahkan secara sempit dan hanya merupakan tanggung jawab dari aparat penegak hukum semata, padahal penegakan hukum harus melibatkan keseluruhan komponen masyarakat, yang dalam bahasa Crawford dipergunakan istilah
34
Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal. 17.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
“community safety” sebagai makna yang lebih luas bagi keikutsertaan masyarakat dalam penegakan hukum. 35 Berkenaan dengan konsep “community safety” di atas, Lunden sebagaimana yang dikemukakan oleh Robert L. O’Block 36 menyatakan bahwa ada empat komponen besar yang harus terlibat dalam upaya penegakan hukum, yaitu; (1) Politisi (Politician); (2) Aparat Penegak Hukum (Law Enforcement Practitioners); (3) Masyarakat (Public); dan (4) Para Ahli (scholars). Lunden menempatkan masing-masing komponen pada posisi yang sama dengan peranan masing-masing dan tetap berkoordinasi dalam upaya penanggulangan kejahatan. Selanjutnya menurut Lunden, 37 selama ini masing-masing komponen di atas mempunyai pandangan yang parsial dan terbatas mengenai penegakan hukum. Pandangan para politisi, secara umum terbatas kepada aspek finansial dan aspek politis semata. Sedangkan
aparat
penegak
hukum
(law
enforcement practitioners) kebanyakan
menggunakan pendekatan case by case dalam menghadapi persoalan kejahatan. Persepsi yang terbentuk dalam opini masyarakat terhadap penegakan hukum selalu dikaburkan oleh rasa ketakutan sehingga menyebabkan salah persepsi dan akhirnya menimbulkan prasangka. Sementara pemikiran para ahli dengan kemampuan keilmuan yang dimilikinya, melangkah terlalu jauh dari realitas, sehingga menjadi tidak efektif. Untuk menjawab persoalan di atas, ada baiknya kita simak pernyataan Chamelin yaitu: 38 bahwa keberhasilan penanggulangan kejahatan secara efektif hanya dapat dilakukan atas munculnya kesadaran dari semua lapisan masyarakat. Kesadaran ini tidak
35
Adam Crawford (1998). Crime Prevention and Community Safety, Politic, Policies, and Practices. London: Addition Weley Longman Limited, hal. 10. 36 Robert L. O’Block (1981). Security and Crime Prevention. London: Mosby Company, hal. 4. 37 38
Ibid.
Neil C. Chamelin, Et. al. (1979). Introduction to Criminal Justice. New Jersey: Prentice-Hall, Inc., Englewod Cliffs, Second Edition, hal. 189.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
hanya abstrak dalam pikiran masyarakat semata, tetapi kesadaran ini harus membumi melalui komitmen yang tinggi pada seluruh komponen masyarakat untuk menyumbangkan tenaga, waktu dan pikiran mereka dalam rangka pencapaian tujuan di atas.
E. Penutup Pentingnya dasar pilosofis tujuan pemidanaan sebagai kerangka operasional bagi penegakan hukum di Indonesia sehingga jelas arah yang hendak dicapai dalam pemidanaan itu sendiri. Penggalian nilai-nilai keraifan local dalam khazanah pemidanaan akan menjadikan konsep pemidanaan Indonesia kaya dan bernilai tinggi bagi penegakan hukum keadilan. Tentu saja semua ini harus didukung oleh kemauan politik pihak legislative, pemerintah dan aparat penegak hukum sehingga mampu mengembalikan citra positif penegakan hukum Indonesia.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
DAFTAR PUSTAKA Andrew Ashworth (1994). Sentencing, dalam The Oxford Handbook of Criminology. Mike Maguire et.all (Ed.). New York: Oxford University Press. Adam Crawford (1998). Crime Prevention and Community Safety, Politic, Policies, and Practices. London: Addition Weley Longman Limited. Aleksandar Fatic (1995). Punishment and Restorative Crime – Handling. USA: Avebury Ashagate Publishing Limited. C. Ray Jeffery (1977). Crime Prevention Through Environmental Design. Beverly HillsLondon: SAGE Publication, Inc. Freda Adler et. al. (1995). Criminology. USA: McGraw-Hill, Second Edition. Harkristuti Harkrisnowo (2003). Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia. Orasi pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Depok. J.M. van Bemmelen (1997). Hukum Pidana 1. Bandung: Bina Cipta, Cetakan Kedua. Jan Remmelink (1993). Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. J. Robert Lilly et, al. (1995). Criminological Theory, Context and Consequences. LondonNew Delhi: SAGE Publications, Second Edition. Kompas, Hukum di Atas Pilar yang Gamang, Senin,10 Oktober 2005. Lloy Ohlin (1970). Modification of the Criminal Value system dalam The Sociology of Punishment & Correction. Leonard Savitz dan Marvin E. Wolfgang (Ed.). New York: John Wiley & Sons, Inc. Lublink Weddik, Disertasi Tanpa Tahun, Hukum Delik Adat dalam Kerapatan Marga Palembang, Diterjemahkan oleh M. Ali Amin. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni Marc Ancel (1965). Social Defence, Modern Approach to the Criminal Problem. London: Roatledge & Paul Keagen Negel Walker (1995). Reductivism and deterrence. dalam A Reader on Punishment. R.A. Duff and David Garland (Ed.). New York: Oxford University Press.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
Norval Morris (1982) Introduction. dalam Criminal Justice in Asia, The Quest for An Integrated Approach. Tokyo: Seminar UNAFEI. Neil C. Chamelin, Et. al. (1979). Introduction to Criminal Justice. New Jersey: PrenticeHall, Inc., Englewod Cliffs, Second Edition. Philip P. Purpura (1997). Criminal Justice an Introduction. Boston: ButterworthHeinemann. Romli Atmasasmita (1995). Kapita Selekta Hukum Pidana dan Krimonologi. Bandung: Mandar Maju. Romli Atmasasmita (1996). Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme. Bandung: Bina Cipta. Rudolp J. Gerber and Patrick D. McAnany (1970). Philosophy of Punishment, dalam The Sociology of Punishment & Correction. Leonard Savitz dan Marvin E. Wolfgang (Ed.). New York: John Wiley & Sons, Inc. Robert L. O’Block (1981). Security and Crime Prevention. London: Mosby Company. T. Mathiesen (1995). General Prevention as Communication dalam A Reader on Punishment. R.A. Duff and David Garland (Ed.). New York: Oxford University Press, Inc. UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006