Mahasiswa FK Dipercaya IFMSA Jadi Ketua Level Asia Pasifik UNAIR NEWS – Pengalaman berorganisasi ternyata membawa nilai lebih bagi Satria Nur Sya’ban. Setelah dipercaya menjadi ketua Center for Indonesian Medical Students’ Activities (CIMSA) yang merupakan organisasi mahasiswa kedokteran tingkat nasional, baru-baru ini mahasiswa yang akrab disapa Satria, dipercaya menjadi ketua regional International Federation of Medical Students’ Association (IFMSA) wilayah Asia Pasifik. Proses pemilihan ketua regional IFMSA wilayah Asia Pasifik ini berlangsung melalui musyawarah dan pengambilan suara dari berbagai negara anggota federasi yang hadir dalam acara pertemuan di kota Puebla, Mexico. Usai dilantik menjadi Direktur Regional Asia-Pacific, Satria pun mengagendakan sejumlah kegiatan yang akan diikuti sepanjang tahun 2017. “Ya kegiatan untuk tahun ini antara lain seperti acara Regional Committee for the Western Pacific, WHO Regional Committee for Southeast Asia,” terangnya. Bagi mahasiswa FK UNAIR angkatan 2012 ini, menjadi ketua IFMSA wilayah Asia Pasifik merupakan kesempatan untuk mengadvokasikan partisipasi pemuda dalam pengambilan keputusan, menyampaikan aspirasi anggota IFMSA dalam forum tingkat internasional, sekaligus membangun relasi untuk IFMSA dan beberapa negara organisasi anggotanya. “Untuk anggota IFMSA wilayah Asia Pasifik terdiri dari Indonesia, Australia, Fiji, Jepang, Singapura, Uzbekistan, Mongolia, Thailand, Filipina, India, Pakistan, Bangladesh, Kazakhstan, Nepal, Taiwan, Korea Selatan, China, dan Hong Kong,” imbuhnya. Sebagai pemegang kendali atas wilayah regional Asia Pasifik, Satria dipercaya untuk mengkoordinasikan dan memfasilitasi
aktivitas dan perkembangan dari organisasi tingkat nasional di regio Asia-Pasifik yang tergabung di dalam IFMSA. Termasuk memastikan berbagai organisasi nasional ini agar dapat memanfaatkan secara maksimal berbagai kesempatan yang disalurkan oleh IFMSA. Tak hanya itu, pria kelahiran 16 Januari ini juga menjadi focal person untuk representasi eksternal dari IFMSA dalam acara dan pertemuan yang terjadi di darah Asia-Pacific, yang jika dikonversi menjadi pembagian regional yang digunakan oleh World Health Organization (WHO), mencakup Southeast Asia dan Regio Western Pacific. Mendapat pengalaman perdana ini, Satria mengaku khawatir mengemban tanggung jawabnya hingga September 2017 mendatang. Walau begitu, baginya pengalaman adalah keuntungan utama dengan mengikuti organisasi IFMSA. Pengalaman mengunjungi belasan negara dalam satu tahun , bertemu sejawat dokter yang sudah professional, serta berkumpul bersama sejawat yang memiliki passion yang sama untuk meningkatkan kesehatan dunia. “Ada senang , ada takutnya juga.
Senang karena usaha dan
pengalaman saya akhirnya mengantarkan saya pada kesempatan yang luar biasa ini. Khawatirnya karena kemampuan saya belum mumpuni. Namun saya tetap optimis, pengalaman menjadi Presiden CIMSA
segala persiapan dan dapat membantu saya
menjalankan tugas saya sekarang,” ungkapnya. Menurutnya, tidak ada kriteria spesifik seperti apa bakal calon yang dipercaya mengemban posisinya tersebut , hanya saja diperlukan kemampuan berorganisasi, berkomunikasi dan berdiplomasi yang baik. Serta membuat sebuah rencana kerja yang jelas dan konkret untuk membawa Asia-Pasifik ke arah yang lebih baik. “Saya berharap dapat membantu mahasiswa kedokteran, baik dari Indonesia maupun luar negeri, agar memiliki basis, kemampuan, dan rasa kepedulian yang kuat terhadap berbagai isu dan
kelemahan sistem kesehatan maupun masalah-masalah kemanusiaan yang ada di sekitar kita,” ungkapnya. Penulis: Sefya Hayu Editor: Nuri Hermawan
Inilah Pertolongan Pertama pada Orang yang Mendadak Pingsan UNAIR NEWS – Keadaan gawat darurat yang mengancam nyawa bisa terjadi sewaktu-waktu, tak pandang kelompok maupun tempat. Oleh karena itu, siapapun –termasuk masyarakat awam– hendaknya mengetahui dan bisa melakukan bantuan hidup dasar (BHD) atau basic life support (BLS). BHD merupakan pertolongan pertama pada pasien dalam kondisi tidak sadar. Kondisi ini bisa menimpa pasien yang mengalami kecelakaan, serangan jantung, komplikasi penyakit, maupun keadaan lainnya yang mengakibatkan pasien kehilangan kesadaran. Menurut dokter spesialis anestesiologi dan reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Prananda Surya Airlangga, M.Kes., dr., Sp.An (K), ada dua langkah yang sebaiknya dilakukan oleh masyarakat awam untuk menyelamatkan nyawa dalam kondisi gawat darurat. Berikut langkah-langkah yang perlu diketahui oleh masyarakat awam dalam memberikan BHD kepada pasien: 1. Cek kondisi pernapasan
Untuk mengetahui apakah dia tersebut sadar atau tidak, sebaiknya cek terlebih dahulu hela pernapasan pasien. Para penolong bisa menaruh jari telunjuk di lubang hidung penderita untuk mengetahui kondisi pernapasan. 2. Cari bala pertolongan Apabila pasien memang tidak bernapas, maka si penolong disarankan mencari bala pertolongan. Si penolong bisa mengaktifkan alarm bahaya, atau sekadar berteriak minta tolong kepada orang-orang sekitar. Selain itu, segera hubungi petugas medis atau fasilitas kesehatan. “Salah satu langkah awalnya adalah minta tolong atau mengaktifkan alarm bahaya sehingga orang lain juga bisa membantu. Ketika ada orang yang tidak sadar maka kita minta tolong. Mari kita tolong orang itu bersama-sama, jadi nggak bisa sendirian,” tutur dokter Prananda. 3. Lakukan pijat jantung Bila memang pasien diketahui tidak bernapas, maka segera lakukan pijat jantung. Pijat jantung dilakukan semampunya oleh si penolong. Apabila si penolong tidak sendiri, maka pijat jantung bisa dilakukan secara bergantian dengan orang lain. “Kita bantu dia untuk menjadi sedikit lebih sadar atau sadar. Sehingga, jantung kembali berdenyut. Harapannya, mampu memompa agar paru-paru mendapatkan oksigen, dipompa ke jantung, jantung kembali berdenyut sehingga sirkulasi dalam tubuh kembali berjalan, sehingga otak dan segala macam mendapatkan aliran darah,” tutur dokter yang juga penggagas BLS Community Surabaya itu. Selain itu, bila dimungkinkan, pijat jantung terus dilakukan sampai tenaga medis datang untuk menolong korban. (*) Penulis : Defrina Sukma S. Editor : Binti Q. Masruroh
‘Oksigen Potensial HIV/AIDS
Hiperbarik’ Menjadi Terapi
UNAIR NEWS – Inovasi pengobatan penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) terus berkembang. Jika selama ini pengobatan HIV hanya mengandalkan obat antiretroviral (ARV), metode terapi penyakit tersebut kini mengarah pada perbaikan sistem imunitas. Konsumsi ARV secara terus menerus sebenarnya justru berdampak ‘toksik’ dalam tubuh penderita. Hal itu diungkapkan Retno Budiarti, dr., M.Kes dalam disertasinya berjudul Mekanisme Hambatan Replikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam Biakan Peripheral Blood Mononuclear Cells (PBMC) pada Kondisi Hiperoksia Hiperbarik. Disertasinya berhasil dipertahankan dalam ujian doktor terbuka, di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Selasa (27/12). Menurutnya, diperlukan novel therapy untuk mengatasi infeksi tersebut. Yaitu, melalui strategi pemberian terapi yang secara aman dapat menghilangkan virus residu dalam tubuh penderita melalui peningkatan respon imun terhadap HIV untuk menekan replikasi virus. Harapannya, terapi itu dapat mengurangi kebutuhan obat-obatan ARV. Seperti diketahui, HIV merupakan retrovirus penyebab AIDS yang telah menginfeksi jutaan orang di dunia. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, tahun 2013 diperkirakan 35,5 juta orang hidup dengan HIV/AIDS dan hingga tahun 2013 sebanyak 1,5 juta orang meninggal dengan penyakit yang terkait AIDS.
Sejak pandemik, infeksi HIV-1 berlangsung lebih dari 25 tahun, transmisi HIV tetap berlangsung dan sebanyak 16 ribu jiwa terinfeksi baru setiap harinya. Sementara itu, saat ini pengobatannya HIV/AIDS masih bergantung pada obat ARV untuk menekan jumlah virus dalam tubuh, mencegah penularan, serta meningkatkan harapan hidup. Dampaknya, keharusan mengonsumsi ARV seumur hidup seringkali menimbulkan efek psikologis, depresi dan seringkali bersifat toksik. Dalam penelitiannya kali ini, perempuan kelahiran Februari 1974 itu mengembangkan terapi adjuvant untuk HIV/AIDS melalui pendekatan berbasis molekuler menggunakan terapi oksigen hiperbarik. Oksigen hiperbarik merupakan suatu terapi dengan cara memberikan oksigen seratus persen dalam ruangan tertutup (isolated chamber) pada tekanan lebih dari satu atmosphere absolute (ATA). Retno terlebih dulu membuat biakan sel terinfeksi, sebelum dilakukan pemberian oksigen hiperbarik. Proses menginfeksinya sendiri dilakukan dengan melakukan co-culture biakan PBMC orang sehat dengan stok virus HIV-1/MT4 yang terdapat di laboratorium Disease.
Bio
Safety
Level-3,
Institute
of
Tropical
Salah satu sel yang menjadi target sasaran virus adalah limfosit T CD4. Sel ini berperan mengontrol respon imun saat terjadi infeksi HIV. Kenaikan HIV sendiri ditandai dengan penurunan jumlah maupun fungsi dari sel ini. Berdasarkan prinsip HIV yang sifatnya menyerang sistem imun, maka diharapkan pemberian terapi oksigen hiperbarik dapat menghambat replikasi HIV. Terapi itu berhasil. Riset ini membuktikan, pemberian oksigen seratus persen pada tekanan 2,5 ATA pada penderita HIV/AIDS menunjukkan peningkatan T CD4 dan memperbaiki kondisi fisik penderita. “Temuan baru dari penelitian ini bahwa pemberian oksigen hiperbarik yang diberikan dalam periodik tertentu secara
signifikan ungkapnya.
dapat
menurunkan
jumlah
antigen
p24
HIV-1,”
Retno mengatakan, perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan objek binatang yang memiliki reseptor terhadap HIV. Sebab, respon imun terhadap paparan oksigen hiperbarik dapat melibatkan sistem yang lebih kompleks seperti sumsum tulang belakang, maupun kelenjar getah bening. Meskipun pada kenyataannya problem HIV/AIDS begitu kompleks, namun Retno optimis ingin melanjutkan penelitiannya tersebut. “Meskipun temuan saya kali ini belum mampu menyelesaikan problem HIV, namun saya ingin ikut berperan mencarikan solusi demi kemaslahatan manusia. Jika ada kesempatan, saya akan kembali melanjutkan penelitian ini dengan mengajak kerjasama para pakar HIV, maupun pakar oksigen hiperbarik,” ungkap Retno yang melakukan penelitian selama 18 bulan. (*) Penulis: Sefya H. Istighfarica Editor: Defrina Sukma S
Beri Pelatihan Bantuan Hidup Dasar, FK UNAIR Pecahkan Rekor UNAIR NEWS – Sivitas akademika Universitas Airlangga kembali menorehkan prestasi di bidang pengabdian masyarakat. Kali ini, para dokter di Departemen Anestesiologi dan Reanimasi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, memecahkan rekor pada Lembaga Prestasi Indonesia dan Dunia (LEPRID), Minggu (25/12).
Berlokasi di Pondok Pesantren Gontor Putra 3 dan Putri 5 Kediri, kegiatan pelatihan Bantuan Hidup Dasar (BHD) diikuti oleh sekitar 1.656 santriwan dan santriwati. Sedangkan, kegiatan ini sendiri melibatkan 400 instruktur yang terdiri dari 21 dokter spesialis anestesi, 69 dokter umum, 175 mahasiswa FK UNAIR, dan 135 tenaga medis lainnya. Kegiatan pelatihan BHD yang melibatkan para instruktur dan santri itu memecahkan dua rekor. Pertama, pemecahan rekor pada pelatihan massal BHD dengan jumlah peserta terbanyak. Kedua, di pondok putri, rekor yang dipecahkan adalah pelatihan massal BHD dengan instruktur dan peserta seluruhnya perempuan terbanyak yakni 600 orang. Ketiga, di kedua tempat, pijat jantung massal tanpa berhenti selama 15 menit dengan total 198.000 kali pijatan. Sedangkan, dalam pelatihan, mereka menggunakan manekin sebagai alat bantu peraga. Penghargaan dari Lepri diberikan kepada FK UNAIR sebagai pemrakarsa kegiatan, RSUD Dr. Soetomo, RS UNAIR, RS dr. Saiful Anwar, RS dr. Soedono, dan pihak Perdati sebagai pihak pendukung kegiatan, pimpinan Ponpes Gontor 3 dan 5 sebagai tempat pelaksanaan kegiatan. “Hari ini, kita bukan hanya menciptakan rekor baru di Indonesia tetapi juga dunia,” tutur Paulus Pangka, Direktur Utama LEPRID, ketika memberikan penghargaannya kepada Dekan FK UNAIR Prof. Dr. Soetojo, dr., Sp.U. Tujuan pelaksanaan kegiatan ini adalah untuk memberikan edukasi kepada masyarakat awam, dalam hal ini santri Gontor, mengenai pentingnya BHD. Penggagas pelatihan BHD yang juga ketua panitia acara Prananda Surya Airlangga, M.Kes., dr., Sp.An (K), mengatakan pelatihan ini merupakan bentuk pengabdian terhadap masyarakat, sekaligus penelitian dan pencapaian prestasi. “Harapannya, dengan santri dibekali ilmu itu, bisa diterapkan kepada masyarakat. Nanti dia akan bisa membantu dalam kondisi-
kondisi emergency (gawat darurat) yang bisa terjadi di mana saja, kapan saja dan siapa saja,” tutur dokter Airlangga. Dalam pelaksanaan kegiatan ini, UNAIR bekerja sama dengan berbagai pihak yakni Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Soetomo, Perhimpunan Dokter Anestesi dan Intensivis Indonesia cabang Jawa Timur, RSUD dr. Saiful Anwar Malang, RSUD dr. Soedono Madiun, RS UNAIR, RS Paru Jember, dan berbagai lembaga swadaya masyarakat. Sebelumnya, para akademisi Departemen Anestesiologi dan Reanimasi FK UNAIR juga kerap menyelenggarakan acara-acara serupa yang bertempat di pusat-pusat perbelanjaan dan rumah sakit-rumah sakit. Penulis: Defrina Sukma S.
Teliti Stem Cell untuk Gangguan Rahang, Ni Putu Mira Lulus Terbaik S-3 FK UNAIR UNAIR NEWS – Terapi pengobatan penyakit dengan stem cell sudah banyak dikembangkan. Salah satu penelitian lagi dikembangkan oleh Dr. Ni Putu Mira Sumarta, drg., Sp.BM, untuk tesisnya. Dalam menggali potensi pengobatan stem cell sebagai pengobatan Temporomandibular Disorder (TMD) itu, Mira memanfaatkan jaringan tali pusat. Tesis itu pula yang menunjang Mira sebagai wisudawan terbaik S-3 Ilmu Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas AIrlangga. TMD atau gangguan sendi rahang, merupakan keluhan yang banyak ditemukan di masyarakat. Suatu penelitian memperkirakan 20
sampai 30 persen populasi orang dewasa akan mengalami TMD. Salah satu penyebabnya adalah defek pada kartilago sendi temporomandibula. Penyakit ini dapat menimbulkan keluhan nyeri dan radang kronis. Berbagai metode yang telah dikembangkan belum memberikan hasil jangka panjang yang maksimal. Mira berharap, perkembangan terapi stem cell memberi harapan dalam regenerasi kartilago sendi temporomandibula. Secara spesifik, penyebab TMD hingga kini belum ditemukan. Berdasarkan penelitian dari berbagai kasus, TMD disebabkan banyak factor; mulai dari usia, genetik, jenis kelamin, oklusi, hyperlaxity, kebiasaan parafungsional, trauma akut, bruxism, perawatan ortodonti, trauma, infeksi, kelainan imunologis, metabolik, neoplasia, kongenital atau developmental. “Pada literatur dilaporkan bahwa 30 sampai 50 persen populasi sekarang mengalami TMD, terutama pada kelompok umur 20-40 tahun,” kata Mira. TMD adalah sekelompok kelainan pada sendi rahang dan otot pengunyahan. Dalam kasusnya, TMD dibagi menjadi kategori muskular dan kartilago, dengan beberapa tanda dan gejala seperti nyeri, gangguan fungsi rahang, deviasi dan defleksi, keterbatasan rentang gerak sendi, bunyi pada sendi, rahang terkunci, sakit kepala, tinitus, hingga perubahan visual. Perempuan kelahiran Gianyar, 29 Maret 1978 ini fokus meneliti defek kartilago mandibula yang timbul karena trauma dengan implantasi HUCMSC (Human Umbilical Cord Stem Cell) pada scaffold Platelet Rich Fibrin. Keduanya diperoleh dari proses sentrifugasi darah vena autologous. Implantasi ini dilakukan pada defek kartilago mandibula tikus, dan ternyata terjadi regenerasi pada defek kartilago tersebut. Dalam disertasinya, Mira memanfaatkan stem cell yang dibiakkan dari tali pusat atau disebut HUCMSC itu. Dibandingkan dengan menggunakan sumsum tulang, menurut Mira, penggunaan HUCMSC
terbukti menunjukkan diferensiasi osteogenik, kondrogenik, dan adipogenik. Bahkan beberapa penelitian menunjukkan potensi diferensiasi kondogenik HUCMSC lebih baik dibandingkan dengan MSC yang berasal dari sumsum tulang. ”Terjadinya regenerasi kartilago sendi temporomandibula dengan menggunakan implantasi stem cell dari tali pusat (HUSMC) lebih baik dibandingkan dengan MSC yang berasal dari sumsum tulang,” katanya. (*) Penulis : Sefya Hayu Istighfaricha Editor: Deferina Sukma S.
Baru Dilantik, 84 Dokter Spesialis Siap Mengabdi UNAIR NEWS – Universitas Airlangga kembali meluluskan putra putri terbaiknya yang siap mengabdikan diri kepada masyarakat. Bertempat di Aula Fakultas Kedokteran (FK) UNAIR, sebanyak 81 mahasiswa Spesialis-I dan 3 mahasiswa Spesialis-II angkatan ke-119, dilantik menjadi dokter spesialis baru pada Rabu (21/12). Pelantikan tersebut dihadiri oleh Wakil Rektor II UNAIR Dr. Muhammad Madyan, S.E., M.Si., M.Fin., Direktur Rumah Sakit UNAIR Prof. Dr. dr. Nasronudin, Sp.PD-KPTI., Dekan FK Prof. Dr. dr. Soetojo, Sp.U., beserta jajaran pimpinan fakultas serta departemen, dan Wakil Direktur Penunjang Medik Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Dr. dr. Hendriyan Dwikoloso, SpM. Dari 16 Program Studi (Prodi) Spesialis-I, prodi Radiologi merupakan prodi penyumbang mahasiswa terbanyak yang dilantik,
tercatat ada 17 mahasiswa dari prodi tersebut. Disusul dengan prodi Patologi Klinik dan Anestesiologi dan Reanimasi, masingmasing 8 mahasiswa. Dalam prosesi pelantikan dokter spesialis, para lulusan baru mendapatkan berbagai wejangan yang disampaikan oleh jajaran pejabat yang hadir. Mewakili Direktur RSUD Soetomo, dr. Hendriyan berpesan agar lulusan dokter spesialis dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki, karena tenaga dan pelayanan kesehatan sangat dibutuhkan oleh masyarakat. “Saya ucapkan selamat atas keberhasilan anda. Ini bukan akhir, ini adalah momentum perubahan, momentum awal bagi perjuangan besar sebagai insan kesehatan,” ujarnya. Sedangkan, Prof. Soetojo dalam sambutannya mengatakan, bahwa dokter spesialis yang baru saja dilantik, diharapkan siap membantu di daerah-daerah yang masih membutuhkan dokter spesialis dengan ikhlas. “Karena anda memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni, maka, bangsa kita akan mampu mengatasi masalah kesehatan secara tuntas,” serunya. Selain itu, ia juga menghimbau pada dokter spesialis agar mempunyai Surat Izin Praktek dan Surat Tanda Registrasi. Pasalnya, hal tersebut sebagai salah satu tolak ukur standar kompetensi setiap lulusan kesehatan, dan sekaligus sebagai salah satu syarat untuk memasuki dunia kerja, penerimaan pegawai, hingga peningkatan karir. Sebagai penutup, Wakil Rektor II UNAIR juga memberikan wejangan. Seraya mengucapkan selamat kepada para lulusan baru dokter spesialis, Madyan juga berharap agar para dokter spesialis yang baru dilantik mampu mengabdi di tengah-tengah masyarakat. “Mengabdilah dengan rasa mantap, karena saudara tumbuh berkembang dari sebuah almamater yang bereputasi tinggi dan
secara teguh memegang tradisi Excellence with Morality,” pungkasnya.(*) Penulis : Dilan Salsabila Editor : Nuri Hermawan
Tekuni Kedokteran Olahraga, Septa Triyanto Lulus Terbaik S-2 FK UNAIR UNAIR NEWS – Proses melakukan adaptasi latar keilmuan dari ilmu keolahragaan ke ilmu kedokteran, bukanlah hal mudah. Inilah yang dirasakan oleh Septa Triyanto, S.Pd., M.Kes. Setelah berjuang mengatasi hal yang tidak mudah itu, Septa akhirnya berhasil menyandang sebagai wisudawan terbaik Program Studi S-2 Ilmu Kesehatan Olahraga (Ikesor) Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, dalam wisuda Desember 2016 ini. Ia meraih IPK 3,95. ”Teman sejawat dari prodi Ikesor memiliki beragam profesi di banyak bidang dan pengalaman. Jadi sejak awal saya berpikir bahwa akan sulit untuk bersaing di bidang akademik dengan teman yang lain,” ungkap pria yang tahun 2010-2013 pernah menjadi atlet Dragon Boat 1000 M ini. Namun setelah proses pendidikan dilalui, pria kelahiran 20 September 1992 ini justru semakin termotivasi untuk mempelajari lebih dalam tentang ilmu “kombinasi” tersebut. Pencapaiannya meraih nilai IPK sebesar 3,95 dalam bidang studinya itu, tak lepas dari peran para dosen. Meski awalnya dirasa sulit, namun para dosen menyampaikan materi ajar dengan metode pembelajaran yang mudah dipahami.
“Yang saya kagumi sekaligus bangga di prodi Ikesor bahwa saya pernah diajar oleh dosen-dosen yang sangat kompeten di bidang kesehatan, terutama bidang olahraga, dimana ilmu tersebut sangat dibutuhkan bagi pemerhati olahraga,” ujar laki-laki asal Bantul, DIY ini. Dalam tugas akhirnya, Septa mengambil topik tesis seputar prediksi terjadinya kelelahan otot yang disebabkan oleh deplesi kolin sebagai prekusor neurotransmitter asetilkolin (Ach). Ach berfungsi sebagai penghantar sinyal dari sel saraf menuju sel otot. Bila kadar kolin menurun, maka produksi Ach juga akan menurun dan menyebabkan kontraksi otot melemah. Penurunan Ach itu menginduksi terjadinya kelelahan otot. Laki-laki yang juga sebagai pelatih fisik pada Persatuan Olahraga Dayung Seluruh Indonesia (PODSI) Kabupaten Bantul ini, mengungkapkan bahwa banyak fenomena di kalangan atlet mengalami kelelahan otot yang disebabkan oleh jadwal latihan maupun jadwal pertandingan yang terlalu padat. ”Bila tidak ditangani dengan baik, hal demikian malah bisa menurunkan performa atlet itu sendiri, karena terjadi kelelahan baik akut maupun kronis,” kata Septa Triyanto. (*) Penulis : Sefya H. Istighfaricha Editor : Defrina Sukma Satiti
Prof. Jimly: Pilihan Sikap Generasi Muda Harus Optimis UNAIR NEWS – Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum di Indonesia, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., menyarankan kepada generasi muda hendaknya tidak putus asa
ketika melihat banyak masalah yang kita hadapi. Sebagai generasi muda, hendaknya mampu menentukan sikap sebuah pilihan daripada bersikap apatis. ”What to do, apa yang harus kalian dilakukan. Dan pilihan itu hendaknya yang optimis, bukan apatis. Dengan sikap optimis maka akan menemukan jawaban dari what to do tadi, sehingga dengan optimis maka tujuan akan tercapai,” kata Prof. Jimly. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu mengatakan dalam presentasinya pada Talkshow Super Power of Leadership, yang diselenggarakan oleh ISMKI (Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia) di Gedung Gra-BIK Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga, Minggu (27/11) akhir pekan lalu. Selain Prof. Jimly Asshiddiqie juga memberikan paparan dalam talkshow bertema “Kesehatan sebagai Bagian dari Ketahanan Nasional” itu juga Prof. Dr. Bambang Supriyanto, dr., SpA(K) Ketua Konsil Kedokteran Indonesia; Letjen. TNI. Dr. (Cand) I Wayan Midhio, M.Ph.D., Rektor Universitas Pertahanan Indonesia, dan Dr. Ario Djatmiko, dr., Sp.B(K). Onk., Dewan Pakar PB IDI. Di hadapan ratusan aktivis mahasiswa FK se-Indonesia ini, Prof. Jimly berpendapat untuk menikmati saja arah ICT (Information and Communication Technologies) dan sosial media kita yang saat ini cenderung bebas. Kendati menikmati, tetapi hendaknya pikiran diarahkan pada hal-hal yang optimis dari perspektif yang belum terlihat. Perspektif kepuasan konsumen pada layanan kesehatan misalnya, kata Prof. Jimly, itu penting untuk diperhatikan.
PROF. Jimly Asshiddiqie ketika menyampaikan paparannya, di Gra-BIK FK UNAIR. (Foto: Bambang bes) ”Jangan cuma dokter asing yang akan masuk (ke Indonesia dalam rangka MEA– red) yang harus dikontrol, tetapi ada apa penduduk kita ramai-ramai berobat ke luar negeri? Jangan-jangan dokternya sulit masuk, tetapi pasiennya malah yang keluar mencari mereka. Ada apa ini? Jadi kepuasan pasien sebagai konsumen juga perlu disurvey,” katanya. Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini, sekarang ini sudah banyak lahir pasal-pasal dalam aturan atau undang-undang yang mengkriminalisasi professi. Untuk itu kalangan professi hendaknya juga peka dan introspeksi, bahwa muara dari kriminalisasi itu karena konsumen mengharapkan layanan yang baik dari kalangan professi. ”Saya baru melihat pertama kali ini ada dokter-dokter sampai demo turun ke jalan, itu tidak lain untuk melawan kriminalisasi professi tadi. Mengapa itu semua terjadi, ini sekaligus sebagai gambaran bahwa pemerintah belum kuat dalam memperhatikan kalangan professional, dan ini masalah serius,” lanjut Prof. Jimly.
Diterangkan, kedokteran adalah professi di dunia yang paling awal (yaitu abad 19) yang sudah mengenalkan etika secara tertulis (kode etik). Kemudian diikuti professi akuntan, dan yang ketiga professi hukum. Setelah itu banyak organisasi ikut membuat kode etik. Untuk itu, sarannya, professional dokter dalam menjalankan professi melayani kesehatan masyarakat hendaknya jangan sampai meninggalkan etika atau kode etik dokter. “Sebagai calon-calon dokter atau dokter muda, hendaknya juga meningkatkan perhatian terhadap persoalan ini dan meningkatkan pelayanan sebagai tuntutan konsumen. Imtek dan Imtaq-nya harus kuat,” katanya. (*) Penulis : Bambang Bes
Diikuti Lebih 7.000 Tim, SMA Kharisma Bangsa Banten Juara Utama Medspin FK UNAIR NEWS – Kompetisi pelajar terbesar di bidang kedokteran Medical Science and Application Competition (Medspin) tahun 2016 yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga sampai di penghujung kegiatan. Minggu (20/11) di Ruang Anatomi FK UNAIR pukul 16.30 WIB, telah diumumkan pemenang lomba bidang kedokteran IPA dan kedokteran yakni tim asal sekolah menengah atas Kharisma Bangsa, Banten. Tim SMA Kharisma Bangsa berhasil menjadi juara setelah berhasil menyisihkan lawan sejak babak penyisihan hingga grand final.
Kompetisi Medspin dirintis sejak tahun 2002 dengan nama lomba IPA Kedokteran namun akhirnya berganti nama menjadi Medspin pada tahun 2004. Pada tahun 2015 lalu, Medspin diikuti 16.311 peserta. Sedangkan, pada tahun 2016, kompetisi ini diikuti oleh 7.000 tim atau 21.000 siswa SMA sederajat di 33 kota di seluruh Indonesia. Rangkaian acara dimulai sejak tanggal 6 November 2016. Dari babak penyisihan, akhirnya terjaring 150 tim yang akhirnya melaju ke babak perempat final¸semifinal, final, dan grand final kemarin. Tahun ini, tema yang diangkat dalam kompetisi Medspin adalah penyakit tropik. “Kami berharap Medspin ini tidak hanya diramaikan oleh banyaknya peserta saja, tapi dengan adanya kegiatan positif seperti ini, kami bisa mewadahi semangat kompetisi mereka,” jelas Prima Ardiansah, Ketua Pelaksana Medspin 2016. Persaingan yang melibatkan lebih dari tujuh ribu tim ini memperebutkan piala Menristekdikti, Gubernur, dan Wali Kota Surabaya. Selain tim SMA Kharisma Bangsa, juara II diraih oleh tim SMA Kesatuan Bangsa Yogyakarta, dan juara III oleh tim SMAN 4 Denpasar. Sedangkan, pada posisi juara harapan I diraih tim SMA Semesta Semarang. “Tahun lalu, tim SMA Kharisma Bangsa juga dapat juara II di Medspin, tapi saya dulu belum bergabung di tim ini. Hanya Faisal dan Fahmi (anggota tim) saja. Untuk pengalaman lomba, Faisal pernah mendapatkan emas OSN (olimpiade sains nasional) Fisika di Yogyakarta tahun 2015. Kalau saya mendapat perunggu di Olimpiade Biologi. Secara pribadi, saya memang berkeinginan untuk masuk ke FK UNAIR,” jelas Danang Dwi Prasetyo, salah satu anggota tim Kharisma Bangsa ketika ditemui usai penyerahan trofi. Selama dua hari di Surabaya, peserta yang tergabung dalam 150 tim ini tidak hanya konsentrasi menyelesaikan berbagai soal saja. Mereka juga diajak untuk mengikuti seminar bertema
hepatitis dan pencegahan dini kanker payudara. Selain itu, mereka diajak untuk mengelilingi dan mengenal lingkungan akademis serta penunjang di FK UNAIR. “Kami memperkenalkan fasilitas dan gambaran pembelajaran di FK UNAIR. Kita adakah pemeriksaan gigi gratis di Aula FK. Ada juga med on talkshow yang merupakan seminar tentang suka duka menjadi mahasiswa FK, serta wisata Kota Surabaya bagi peserta yang tidak lolos ke final dengan mengunjungi Monumen Tugu Pahlawan, Wisata Rasa dan Museum Bank Indonesia Surabaya. Mereka juga diajak mengikuti pelatihan ilmu kedokteran dan keterampilan medik dasar,” tutur Prima. Penulis: Disih Sugianti Editor: Defrina Sukma S
Alumni FK Membangun Terapung
UNAIR Bertekad Rumah Sakit
UNAIR NEWS – Potret kesehatan masyarakat Indonesia khususnya di beberapa wilayah terpencil masih memprihatinkan. Akar permasalahannya bermuara dari sistem pendistribusian tenaga kesehatan yang belum merata dan kesulitan menjangkau wilayah pedalaman. Dari sini, FK Universitas Airlangga melalui para alumnusnya berinisiatif menghadirkan sebuah kapal yang akan difungsikan sebagai rumah sakit terapung sebagaimana KRI dr. Soeharso. Bukan lagi wacana, saat ini FK UNAIR sedang memesan sebuah kapal kayu model Pinisi. Desain kapalnya memang tidak semegah kapal KRI dr. Soeharso. Namun, kapal rumah sakit terapung ini
menjadi simbol kepedulian dan keseriusan dokter FK UNAIR dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di wilayah terpencil. Berukuran panjang 27 meter dan lebar 7 meter, kapal rumah sakit terapung FK UNAIR ini diperkirakan rampung sekitar Februari 2017 mendatang. Demikian diungkapkan Ketua IKA-FK UNAIR Dr. Pudjo Hartono, dr., Sp.OG(K) dalam acara simposium bertajuk Adventure and Remote Medicine, di Aula FK UNAIR ( 15/11). Pudjo mengungkapkan, saat ini badan kapal masih dalam proses pengerjaan. Nantinya, rumah sakit terapung ini akan dilengkapi dengan ruang operasi, ‘bank’ oksigen dan berbagai perlengkapan medis lainnya. Ditaksir kapal tersebut akan menghabiskan biaya sekitar 5 miliar rupiah untuk melayani kesehatan masyarakat di kawasan daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan, serta daerah terluar. Sistem operasional rumah sakit terapung ini dipayungi sebuah organisasi bernama Yayasan Ksatria Medika Airlangga yang diketuai oleh Christriyogo Sumartono, dr., Sp., An. KAR. Pudjo berharap, yayasan ini dapat mendukung keberlangsungan kapal rumah sakit terapung ini. Dengan begitu, kapal ini nantinya dapat beroperasi dipertanggungjawabkan.
secara
profesional
dan
dapat
Sementara itu, pihaknya masih mendiskusikan tentang wilayah operasional. Pilihannya, antara di sekitar pulau Jawa atau pulau-pulau kecil di wilayah Indonesia timur. Ketika kapal ini beroperasi, Pudjo memastikan tetap akan mengikuti aturan kesehatan di setiap wilayah yang didatangi. “Bukan berarti kita akan kerja sendiri, lalu mengabaikan peran puskesmas di wilayah terpencil. Kita akan tetap mengikuti aturan dan tatanan yang ada, mengajak partisipasi tenaga kesehatan puskesmas disana, sehingga kita bergerak bersama,” ungkapnya.
Maluku Dalam simposium tersebut, Agus Hariyanto, dr., Sp.B., alumnus FK UNAIR dan pemilik gagasan rumah sakit terapung membagikan sedikit pengalamannya selama menjadi ‘dokter petualang’ di pelayanan kesehatan di daerah Maluku dan sekitarnya. Di Maluku, terdapat 1.040 pulau. Yang berpenghuni hanya 400 pulau dan hanya ada 6 pulau yang memiliki rumah sakit. Kondisi ini amat memprihatinkan. “Lebih prihatin lagi, ada satu kejadian di Pulau Lirang, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku. Akibat minimnya fasilitas kesehatan disana, seorang penderita kanker anus terpaksa harus berobat ke Timor-Leste,” ungkapnya. Di Pulau Lirang juga banyak ditemui kasus anak dengan gizi buruk, hidrosefalus hingga anak-anak berwajah pucat akibat malaria. “Ketika saya tanya ke anak-anak, siapa dari mereka yang pernah terkena malaria, semuanya angkat tangan. Sangat prihatin sekali,” ungkap pria asal Jember itu. Ia seringkali merasa miris saat membantu mengobati masyarakat di kepulauan terpencil di Maluku. Ia bahkan pernah menyewa sebuah kapal ketika untuk bisa menyisir daerah pelosok dan menyambangi masyarakat di pulau-pulau kecil di Maluku selama dua minggu. Impiannya memiliki kapal rumah sakit untuk membantu masyarakat di wilayah terpencil rupanya disambut baik para alumnus FK UNAIR lainnya. Agus bersama alumni FK UNAIR bertekad membangun rumah sakit terapung di atas kapal Pinisi yang saat ini sedang dikerjakan menyerupai kapal pesiar. Penulis: Sefya Hayu I. Editor: Defrina Sukma S