Hadirkan Cinta dalam Rumah Tangga
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 45 | Juli 2017
http://www.kakishare.my
Highlight Isi
Mahalnya Ucapan Terima Kasih
Saktinya Doa Orangtua - 3 Doa orangtua kepada anak adalah satu dari sekian doa yang nyaris tidak tertolak. Apa yang orangtua ucapkan, dia akan melesat menembus Arasy untuk kemudian terpantul kembali ke bumi dalam bentuk pengijabahan.
Cara Meluruskan dan Merapatkan Shaf - 7 Ada sejumlah posisi yang wajib diketahui oleh peserta shalat berjamaah, baik makmum dan terkhusus lagi bagi imam. Dan, dalam shalat berjamaah, kita tidak akan pernah lepas dari hadirnya posisiposisi tersebut.
“Siapa telah berbuat kebaikan kepada kalian, maka hendaklah kalian membalasnya, jika kalian tidak mampu membalasnya, maka berdolah baginya, sehingga kalian tahu bahwa kalian telah bersyukur. Sebab Allah adalah Zat yang Mahatahu berterimakasih dan sangat cinta kepada orangorang yang bersyukur.” (HR Ath-Thabrani)
I
bu ini sangat baik orangnya. Walau agak cerewet, dia termasuk orang yang gampangan. Dalam arti, dia tidak pelit kalau sedang ada rezeki. Kalau lagi tajir gampang sekali dia sedekah.
Maka, saat mantu perempuannya mau lahiran, dia biayai biaya bersalinnya. Saat cucunya mau sekolah, dia pula biayai. Karena penghasilan anaknya pas-pasan (gak cukup), dia topang pula sebagian dari operasional kehidupan rumahtangga mereka. Tidak cukup sampai di sana, dia pun bikinkan rumah buat sang
anak, mantu, dan cucunya itu, lengkap dengan perabotannya. Biar bisa mikir (mandiri) katanya.
Tapi, ada satu yang “tampaknya” membuat dia nyesek .... “Belum pernah sekalipun saya mendengar ucapan terima kasih dari sang mantu!” demikian ujarnya. Dinggiiiin aja! Pemberian yang demikian banyak hanya dianggap satu kemestian saja dari orangtua kepada anak. Jadi, mengapa harus mengucapkan terima kasih segala! Mungkin, demikian yang ada dalam benak si anak dan mantunya itu. Ya Allah! ***
Memang benar, dalam Al-Quran disebutkan bahwa sebaik-baik yang memberi adalah dia yang tidak mengharapkan ucapan terima kasih dari yang diberi. “Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS Al-Insân, 76:9) Itu bagi yang memberi. Tapiiii, bagi yang diberi, di antara adabnya dia harus mengucapkan terima kasih. Kalau bisa dia bisa membalas dengan sesuatu yang lebih baik daripaya yang telah dia berikan. Bukankah di antara ciri ahli syukur adalah bersyukur (berterima kasih) kepada orang yang menjadi jalan datangnya kebaikan tersebut?
Bukankah Rasulullah saw. pernah bersabda, “Barangsiapa telah berbuat kebaikan kepada kalian, maka hendaklah kalian membalasnya, jika kalian tidak mampu membalasnya, maka berdolah baginya, sehingga kalian tahu bahwa kalian telah bersyukur. Sebab Allah adalah Zat yang Mahatahu berterimakasih dan sangat cinta kepada orangorang yang bersyukur” (HR Ath-Thabrani) Atau, dalam hadis lain disebutkan, “Tidaklah bersyukur kepada Allah, orang yang tidak tahu
2
berterima kasih kepada sesama manusia.” (HR Ahmad) Bukankah Rasulullah saw. pernah bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid ra. “Siapa yang diberikan satu perbuatan kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengatakan ‘jazâkallâhu khairan’ (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.” (HR At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Al-Bazzar? Tapi memang ... ucapan terima kasih itu sangat mahal harganya. Hanya “orang kaya” saja yang bisa memilikinya. Hanya “orang kaya” saja yang bisa banyak-banyak mengucapkannya. Kalau “orang miskin”, mana mungkin dia bisa memberi?
Maka, kita layak berintrospeksi, apakah diri kita sudah termasuk orang kaya ataukah orang miskin? Sering, pernah, atau bahkan tidak pernah mengucapkan “hatur tengkiyu” atau yang lebih afdhal jazakallâhu (jazakillâhu) khair kepada orang-orang yang pernah menjadi jalan rezeki, jalan ilmu, jalan jodoh, jalan amal saleh, dan jalanjalan kebaikan bagi kita? Maka, kalau sering mari kita pertahankan. Kalau jarang mari kita tingkatkan. Kalau belum pernah, buatnya menjadi pernah. Mengapa? Agar kita tidak termasuk orang miskin, orang kufur nikmat, dan tidak tahu terima kasih. Jika kita mampu melakukannya, bersyukurlah. Itulah karunia yang besar. “Syukur yang paling utama adalah engkau bersyukur karena engkau mampu bersyukur. Ketahuilah, kemampuan untuk bersyukur adalah taufik dari Allah bahwa engkau mampu bersyukur atas nikmatnya kesyukuran itu sendiri,” demikian ungkap Ibnul Qayyim AlJauziyah dalam Uddatush-Shâbirîn wa ZakiratusSyâkirîn. ***
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 45 | Juli 2017
TAFAKUR
Saktinya Doa Orangtua
“... Jangan kalian mendoakan kejelekan atas harta kalian. Jangan sampai kalian menepati suatu waktu yang pada waktu itu Allah diminta sesuatu lantas Dia mengabulkannya bagi kalian.” (HR Muslim, No. 3014)
D
oa orangtua kepada anak adalah satu dari sekian doa yang nyaris tidak tertolak. Apa yang orangtua ucapkan, dia akan melesat menembus Arasy untuk kemudian terpantul kembali ke bumi dalam bentuk pengijabahan. Apa yang dia panjatkan untuk anaknya, besar kemungkinan akan terjadi, baik ataupun buruk. Dikisahkan, ada seseorang yang datang kepada Abdullah bin Al-Mubarak. Dia mengeluhkan kelakuan sebagian anak-anaknya kepada beliau. Ibnul Mubarak pun balik bertanya, “Apakah kamu pernah mendoakan kejelekan atasnya?”
Jangan kalian mendoakan kejelekan atas harta kalian. Jangan sampai kalian menepati suatu waktu yang pada waktu itu Allah diminta sesuatu lantas Dia mengabulkannya bagi kalian” ... (HR Muslim, No. 3014) Teramat penting bagi orangtua, terkhusus seorang ibu, untuk menahan diri dari mengutuk, mengumpat, apalagi sampai menyumpahi sang anak, semarah dan sekesal apapun. Diam akan lebih baik, kecuali kalau dia bisa mengatakan kebaikan.
Kita dapat berkaca pada ibu yang satu ini. Suatu ketika, dia sangat marah kepada anaknya. Dia pun Beliau lalu berkata, “Engkau telah merusaknya berkata kepada anaknya itu, “Idzhab anta. Ilâ Masjidil Harâm!” Artinya kurang lebih begini, “Pergi (dengan doamu).” kamu ke Masjidil Haram. Jadilah imam di sana!” Maka, terlarang bagi orangtua untuk mendo“Umpatan” sang ibu ini ternyata diaminkan oleh akan kejelekan bagi anak-anaknya dalam kondisi apapun, senang maupun susah, taat maupun mak- yang di langit. Pada usia 24 tahun, si anak yang disiat. Ingatlah akan pesan Nabi saw., “Jangan kalian marahi ini benar-benar menjadi imam di Masjidil mendoakan kejelekan atas diri kalian. Jangan ka- Haram. Dialah Syaikh Abdurrahman As-Sudais, lian mendoakan kejelekan atas anak-anak kalian. seorang ulama yang memiliki suara amat merdu. *** Orang ini menjawab, “Ya.”
Perum Sarimukti, Jl. H. Mukti No. 19A Cibaligo Cihanjuang Parongpong Bandung Barat 40559 | Telefax: +62286615556 Mobile: 081223679144 | PIN: 2B4E2B86 email:
[email protected] Web: www.tasdiqulquran.or.id
Penanggung Jawab: H. Dudung Abdulghani. Dewan Redaksi: Teh Ninih Muthmainnah, H. Dudung Abdulghani, Dr. Tauhid Nur Azhar, Yudi Firdaus. Pemimpin Redaksi: Emsoe Abdurrahman. Redaktur/ Reporter: Inayati Ashriyah, Abie Tsuraya. Layouter/Desainer: Mang Ule. Publikasi/Dokumentasi: Fajar Fakih, Yana Saputra. Sekretaris: Nita Yuliawati. Keuangan: Astri Febrianty. Marketing/Sirkulasi: Dadi Suryadi. email:
[email protected]
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 45 | Juli 2017
3
USWAH
Dia yang Ditangisi Nabi
A
“Tiada seorang pun yang setelah Abu Thalib yang lebih baik kepadaku selain dia!”
da dua sosok Fathimah yang amat dicintai oleh Rasulullah saw. Yang pertama adalah Fathimah bint ‘Asad, sang bibi, istrinya pamanda Abu Thalib. Yang kedua, tentu saja Fathimah bint Muhammad saw. sang putri, istrinya Ali bin Abi Thalib, ibunda dari Hasan, Husain, Zainab, dan Ummi Kultsum. Fathimah bint Asad adalah seorang wanita Quraisy terhormat dari Bani Hasyim. Dari rahimnya lahir beberapa orang anak yang beberapa di antaranya kelak akan menjadi tokoh besar. Mereka adalah Thalib, ‘Aqil, Ja’far, Ali (bin Abu Thalib), Fakhitah (Ummu Hani), dan Jamanah. Itulah mengapa, Ibnu Atsir sampai mengatakan, “Fathimah bint ‘Asad adalah wanita Bani Hasyim pertama yang melahirkan bayi bani Hasyim, dan wanita bani Hasyim pertama yang melahirkan seorang khalifah. Setelahnya, ada Fathimah putri Rasulullah saw. yang melahirkan Hasan. Setelahnya ada Zubaidah istri Ar-Rasyid yang melahirkan Al-Amin. Kami tidak tahu lagi selain mereka.” *** Risalah Islam telah mengubah jalan hidupnya. Dengan sepenuh ketulusan, dia menerima ajakan keponakan sekaligus “anaknya” yang dia urus sejak kecil, yaitu Muhammad saw. Dia ikut berhijrah ke Yatsrib dan meninggal di sana. Tiada terkira kecintaan dan rasa hormat Nabi kepada sang bibi. Apapun kebaikan yang bisa beliau lakukan untuk sang bibi, pasti akan dilakukannya. Rasulullah saw. ikut bersedih manakala sang bibi bersedih. Dan, beliau pun ikut bahagia manakala sang
4
bibi mendapatkan kebahagiaan. Beliau pun memanggil Fathimah bint Asad dengan panggilan “Ibunda”. Rasulullah saw. tidak segan untuk memberi sang bibi hadiah terbaik. Ju’dah bin Hubairah ra. meriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib ra. berkata, “Rasulullah memberiku hadiah berupa kain sutra. Beliau berkata, ‘Jadikanlah untuk pakaian para Fathimah.’ Maka aku membaginya menjadi empat potong. Satu untuk Fathimah binti Rasulullah saw. Satu untuk Fathimah binti Asad. Satu untuk Fathimah binti Hamzah.” Dan dia tidak menyebutkan siapa Fathimah yang keempat.” Namun, menurut Ibnu Hajar, kemungkinan yang keempat adalah Fathimah binti Syaibah, istrinya Aqil bin Abi Thalib. (Al-Ishabah, 4:370. Usdul Ghabah, Biografi, No. 7172). wBesarnya cinta Nabi tergambar jelas ketika Fathimah bint Asad wafat. Bulir-bulir air mata jatuh tak tertahankan dari pelupuk matanya yang mulia. Dan, dari lisannya terucap rangkaian doa untuk sang bibi tercinta. Beliau serahkan gamis terbaik yang dimiliki untuk dijadikan sebagai kain kafan. Saat prosesi pemakaman dilaksanakan, beliau melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Nabi saw. berbaring di liang lahad sebelum jenazah sang bibi dimasukkan ke dalamnya. Beliau kembali memohonkan ampunan untuknya. Kala itu, semua mata sahabat memandang heran dengan apa yang dilakukan Nabi. Mereka seakan bertanya mengapa sampai sejauh itu perlakuan Nabi saw. kepada sang bibi. Nabi tanggap dengan semua itu, beliau pun bersabda, “Tiada seorang pun yang setelah Abu Thalib yang lebih baik kepadaku selain dia!” ***
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 45 | Juli 2017
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 45 | Juli 2017
5
KONSULTASI KELUARGA Teh Ninih Muthmainnah dan Tim Konsultasi RSQ
Ikhtiar Menjaga Lisan Salah satu ujian tersulit kaum wanita, adalah bagaimana menjaga lisan. Ini bukan pekerjaan mudah, apalagi saat berkumpul dengan teman atau saudara. Walau pada awalnya tidak niat berghibah atau pamer, tapi akhirnya terseret juga. Bagaimana cara mengatasi hal ini?
L
isan memiliki dua sisi. Pada satu sisi, lisan bisa menjadi jalan bagi teraihnya surga. Namun, pada sisi lain, lisan bisa menjeruskan manusia ke dalam neraka. Maka, Rasulullah saw. memberikan panduan bagi umatnya tentang bagaimana memanfaat lisan sehingga mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudharat. “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaknya dia berkata yang baik atau diam.” (HR Al-Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits ini, pilihan kita hanya dua, kalau tidak bisa berkata yang baik-baik, lebih baik kita diam. Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa menjaga lisan kala berinteraksi dengan orang lain, khususnya saudara atau teman?
Pertama, yakini bahwa menjaga lisan termasuk amal yang sangat utama lagi dicintai Allah. Dia menjadi tolok ukur keimanan seseorang, menjadi jalan bagi teraihnya aneka kebaikan, dan pengundang hadirnya ampunan Allah Ta’ala. (QS Al-Ahzab, 33:70-1)
Kedua, pahami bahwa lisan yang tidak terjaga akan membawa aneka keburukan dalam hidup: menambah dosa, menghilangkan pahala, merusak persaudaraan, menjauhkan diri dari rahmat Allah, dijauhi malaikat dan dekat dengan setan, mengkufuri nikmat waktu, lisan, dan perdengaran, dan beragam akibat buruk lainnya. Lisan yang tidak terjaga, nikmatnya
6
hanya sebentar akan tetapi bahaya panjang berkelanjutan.
Ketiga, setelah memahami keutamaan menjaga lisan dan keburukan dari lisan yang tidak terjaga, berlatihlah untuk hanya mengatakan yang baik-baik saja atau kalau tidak mampu lebih baik diam.
Hal ini tentu saja tidak mudah, terlebih saat kita berinteraksi dengan teman atau saudara. Namun, kalau tidak dimulai dari sekarang, sampai kapan pun akan sulit bagi kita untuk mendapatkan keutamaan dari Allah. Kalau kita serius dalam menjaga perkataan, orang pun lama kelamaan akan paham dan malu sendiri kalau dia mengatakan hal-hal yang tidak baik. Keempat, sambil terus berproses, ingatkan teman atau saudara dengan cara yang baik kalau saat mengobrol mulai menjerumus pada ghibah. Alihkan obrolan pada yang baik-baik saja. Kelima, mulai memilih pergaulan yang baik. Akan sangat sulit bagi kita untuk menjaga lisan kalau kita tidak memperbaiki lingkungan pergaulan. Maka, kurangi atau hindari acara kumpul-kumpul yang tidak penting atau kurang bermanfaat. Acara semacam ini sangat berpotensi menyeret kita untuk melakukan dosa-dosa terkait lisan.
Keenam, gantilah aktivitas ngobrol tidak jelas dengan memperbanyak tilawah, zikir, doa, atau hal-hal bermanfaat lainnya. Apabila kita terbiasa dengan yang baik-baik, yang burukburuk otomatis akan terjauh dari kita. Kalau sudah terbiasa dengan zikir, lisan pun akan berat kalau harus mengucapkan kata-kata yang mengandung dosa. Ketujuh, mohonlah kepada Allah agar kita diberi lisan yang lurus, lisan yang penuh zikir, dan digabungkan dengan orang-orang yang baik lagi terjaga. ***
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 45 | Juli 2017
FIKIH IBADAH
Posisi Imam dan Makmum (Bagian 1) “Mereka menyempurnakan barisanbarisan (shaf-shaf), yang pertama kemudian (shaf) yang berikutnya, dan mereka merapatkan barisan.” (HR Muslim, An-Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah)
A
da sejumlah posisi yang wajib diketahui oleh peserta shalat berjamaah, baik makmum dan terkhusus lagi bagi imam. Dan, dalam shalat berjamaah, kita tidak akan pernah lepas dari hadirnya posisi-posisi tersebut. (1) Imam bersama seorang makmum. Apabila dua orang laki-laki menunaikan shalat berjamaah, di mana yang satu imam dan satunya lagi menjadi makmum, posisi keduanya harus sejajar. Makmum berada di sebelah kanan imam. Hal ini didasarkan pada hadis dari Ibnu Abbas ra. “Aku shalat bersama Nabi saw. pada suatu malam. Aku berdiri di samping kiri beliau. Lalu, Nabi saw. memegang bagian belakang kepalaku dan menempatkan aku di sebelah kanannya.” (HR Al-Bukhari) (2) Imam bersama dua orang makmum. Apabila makmumnya hanya dua orang, hendaklah mereka berdiri di belakang imam dan membentuk satu shaf. Keduanya berdiri di sebelah kiri dan kanan imam sehingga posisi imam berada di tengah-tengah shaf dalam keadaan seimbang. Dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa dia berkata, “Nabi saw. berdiri untuk shalat Maghrib. Lalu aku datang dan berdiri di sebelah kirinya. Maka, beliau memegang tanganku dan menariknya sehingga aku berdiri di sebelah kanannya. Tiba-tiba seorang sahabatku (yaitu Jabbar bin Shakhr) datang (untuk shalat). Dia berwudhu dan berdiri di sebelah kiri Rasulullah saw. Beliau kemudian memegang tangan kami berdua dan mendorong kami sehingga membuat kami berdiri di belakang beliau.” (HR Muslim)
shaf bagian kanan lalu sebelah kiri. Dalam kondisi ini, ada posisi yang tidak diperbolehkan, yaitu makmum berdiri sendirian di belakang shaf sedangkan shaf yang ada di depannya masih bisa diisi. Jika demikian, orang yang shalat sendirian di belakang shaf, shalatnya dianggap tidak sah. Sesungguhnya, Rasulullah saw. melihat seseorang melakukan shalat sendirian di belakang shaf. Beliau kemudian memerintahkan orang ini untuk mengulangi shalatnya. (HR At-Tirmidzi, Abu Daud, Ahmad, dan Ibnu Majah) (4) Imam dengan makmum seorang wanita. Apabila seorang wanita bermakmum pada laki-laki, dia berdiri di belakang shaf laki-laki, walaupun dia sendirian. Apabila shalat sendirian bersama imam laki-laki, dia berdiri persis di belakang imam, tidak di sebelah kanan atau kirinya. Anas bin Malik ra. mengatakan, “Aku shalat bersama seorang anak yatim di rumah kami di belakang Nabi saw. dan ibuku Ummu Sulaim di belakang kami.” (HR Al-Bukhari dan Muslim) (5) Imam (wanita) dengan makmum seorang wanita. Apabila ada dua orang wanita melakukan shalat berjamaah, posisi keduanya sejajar. Hal ini sebagaimana berlaku pada dua orang laki-laki yang shalat berjamaah. Landasannya adalah keumuman dalil dari Ibnu Abbas ra. saat ikut shalat bersama Rasulullah saw. *** Sumber: Panduan Shalat Fardhu, Teh Ninih Muthmainnah dan Tim Tasdiqiya.
(3) Imam dengan makmum lebih dari dua orang. Makmum yang jumlahnya lebih dari tiga orang diwajibkan berdiri di belakang imam dalam satu shaf. Pastikan sebelah kiri dan kanan ada dalam keadaan seimbang. Artinya, imam berada di tengah-tengah sebelah depan para makmum. Dahulukan mengisi
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 45 | Juli 2017
7
Advetorial
8
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 45 | Juli 2017
Advetorial
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 45 | Juli 2017
9
Advetorial
10
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 45 | Juli 2017