KORELASI POLA ASUPAN KALSIUM, AKTIVITAS FISIK, PARITAS, INDEKS MASSA TUBUH DAN KEPADATAN TULANG PADA WANITA MENOPAUSE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SEI MENCIRIM DESA SEI MENCIRIM KECAMATAN SUNGGAL KABUPATEN DELI SERDANG
Magda Siring-ringo* *Staf Pengajar STIKes Santa Elisabeth Medan
ABSTRACT Background: Osteoporotic on menopause women are risk from bone density decrease because no adequate calcium intake, the low of physycal activity, too large parity, and the lom of Body Mass Index. The other risk factor of osteoporotic on menopause women is estrogen decrease. Goal: To explore the association of calcium consumption intake, life style (physycal activity), parity, BMI and bone density on menopausal women. Method: Thiscross sectional study was conducted in a survey method. Sample were taken by nonprobability quota. The total number of menopausal women involved in this research ware 65. Data on calcium intake were collected by interview using food frequency questionnaire, physical activity data were collected by asking daily activies questionnaire, parity data were collected by questionnaire. Data on bone density were collected by Quantitative Ultrasounds Bone Densitometry. Association between various variable: calcium consumptiom intake, physycal activity, parity, BMI and bone density, ware analyzed using Pearson Bivariate Correlation Analysis. The impact of the those variables on bone density was further analyzed by Linear Regression Method. Result :69,4 % of menopausal women has adequate physical activity with the average 717 (±122,4) nCal/day.63,9 % of menopausalwomen has normal Body Mass Index with a mean 22,3 (± 3,41)The mean calcium consumption intake was 783 (± 185,7) mg/day. The mean parity was 4 (± 2)and the Mean bone density was 0,7 (± 0.15) g/cm The study shownd that 84,7 % bone density variation can be axplained by calcium consumption intake, life style ( physycal activity), and parity. The final regression model was bone density = 0.156 + 4.7.104 (calcium intake) + 3,1.10-4 life style(physical activity) - 1,5.10-2 (parity). Conclusion:There was positif association between calcium consumption intake, life style( physycal activity, and negative questionnaire between parity and bone density on menopausal women. Key word : calcium consumption intake, physycal aktivity, parity, BMI, bone density, menopausa
PENDAHULUAN Osteoporosis merupakan penyakit kedua setelah penyakit kardiovaskular sebagai masalah global dan studi menunjukkan bahwa perempuan berusia 50 tahun memiliki risiko meninggal karena hip fracture yang sama dengan kanker payudara. Catatan pada tahun 2003 di Amerika, patah tulang belakang akibat osteoporosis setiap tahun mencapai 1.200.000 kasus. Ini jauh melebihi jumlah serangan jantung (410.000), stroke (371.000), dan kanker payudara (239.300). Dikatakan bahwa osteoporosis menimbulkan patah tulang (Tandra, 2009). Akibat/dampak yang lain adalah bahwa penderita osteoporosis berisiko mengalami fraktur yang meningkatkan beban sosioekonomi berupa biaya perawatan yang besar. Selain itu juga menyebabkan kecacatan, ketergantungan pada orang lain yang menyebabkan gangguan aktivitas hidup, fungsi sosial, dan gangguan psikologis sehingga terjadi penurunan kualitas hidup bahkan sampai menyebabkan kematian. Risiko kematian bagi pria yang menderita osteoporosis sama dengan orang yang menderita kanker prostat. Sedangkan risiko kematian bagi wanita sama dengan orang yang menderita kanker payudara, bahkan lebih tinggi dari orang yang menderita kanker Rahim (Tandra, 2009). International Osteoporosis Foundation (IOF) mencatat 20% pasien patah tulang osteoporosis meninggal dalam jangka waktu satu tahun. Sepertiga diantaranya harus terus berbaring di tempat tidur, sepertiga lainnya harus dibantu untuk dapat berdiri dan berjalan. Hanya sepertiga yang dapat sembuh dan beraktivitas optimal. Selain itu, biaya yang harus dikeluarkan berkaitan dengan osteoporosis sangat besar, seperti yang disebutkan oleh Gomez (2006), yaitu 20 miliar Dollar per tahun untuk 250 juta penduduk AS dan 940 juta Poundsterling untuk 60 juta penduduk Inggris.Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa osteoporosis memiliki akibat yang cukup
parah.Selain itu, kemungkinan pasien osteoporosis untuk menjadi normal kembali sangat minim. Sehingga, upaya yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan pencegahan terjadinya osteoporosis melalui pengenalan faktor risiko apa saja yang menyebabkan osteoporosis.Beberapa faktor risiko osteoporosis yang sudah diketahui saat ini antara lain adalah jenis kelamin perempuan, usia tua, menopause, aktivitas fisik yang kurang, kurang kalsium, merokok, konsumsi minuman keras/alkohol, dan lain-lain. Dari sekian banyak faktor risiko tersebut, ada satu faktor risiko yang saat ini mulai diperdebatkan, yakni obesitas, di mana beberapa penelitian menunjukkan bahwa obesitas protektif terhadap osteoporosis, sementara penelitian lain menunjukkan bahwa obesitas merupakan salah satu faktor risiko osteoporosis. Salah satu penelitian yang mendukung obesitas sebagai faktor protektif terhadap osteoporosis adalah penelitian yang dilakukan oleh Albala, dkk. (1996) yang dilakukan pada wanita kulit putih post menopausal yang obes (113 orang) dan tidak obes (50 orang) dengan desain casecontrol. Didapatkan hasil bahwa rata-rata BMD (Bone Mineral Density) lebih tinggi pada orang yang obes. Terdapat penurunan risiko osteopenia pada orang obes di femoral neck (Age adjusted OR = 0,36; 95% CI 0,17-0,75) dan di lumbar spine (Age adjusted OR = 0,43; 95% CI 0,200,91). Sedangkan salah satu penelitian yang mendukung obesitas sebagai faktor risiko osteoporosis adalah penelitian yang dilakukan oleh Zhao, dkk (2007) yang dilakukan pada 1988 orang etnis Cina dan 4489 orang kulit putih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara massa tulang dengan massa lemak, setelah mechanical loading effects karena berat total tubuh dikendalikan.Perdebatan akan apakah obesitas merupakan faktor protektif atau risiko terhadap osteoporosis ini tentunya
memberikan dampak yang kurang baik. Salah satunya adalah berupa kebingungan masyarakat akan bagaimana seharusnya mereka bertindak untuk mencegah osteoporosis, terutama terkait dengan kontrol berat badannya. Hal ini menjadi semakin serius mengingat prevalensi obesitas yang semakin meningkat. Di dunia, prevalensi obesitas sangat bervariasi antara negara yang satu dengan negara yang lain, dari <0,1% di Asia Selatan sampai >75% di perkotaan di Samoa. Secara keseluruhan, diperkirakan bahwa lebih dari 1 miliar orang dewasa (16%) mengalami overweight dan sedikitnya 300 juta (5%) mengalami obesitas. Peningkatan prevalensi ini telah teramati di Amerika Utara, Inggris, Eropa Timur, Timur Tengah, negara Pasifik, Australasia, dan China, tetapi beberapa peningkatan tercepat telah teramati di area perkotaan negara berkembang, di mana obesitas dan masalah gizi kurang terjadi bersamaan (nutrition transition) (Gandy dkk, 2006).Di Indonesia, prevalensi obesitas juga mengalami peningkatan. Menurut data riskesdas tahun 2007 (Depkes, 2008), prevalensi obesitas umum pada penduduk dewasa (15 tahun ke atas) secara nasional adalah 19,1% (8,8% BB lebih dan 10,3% Obese). Prevalensi ini meningkat di tahun 2010 (Kementerian Kesehatan, 2010), yakni menurut Riskesdas (2010), prevalensi obesitas umum pada penduduk dewasa (>18 tahun) adalah 21,7% (10,0% BB lebih dan 11,7% Obese). Persentase obesitas ini lebih tinggi dibandingkan dengan persentase kurus pada penduduk dewasa, yaitu 14,8% pada tahun 2007 dan 12,6% pada tahun 2010. Hal ini Dwi, dkk Hubungan antara Obesitas menunjukkan bahwa obesitas di Indonesia akan menjadi masalah baru yang perlu mendapat perhatian serius. Peningkatan prevalensi obesitas ini sangat mungkin terjadi karena adanya perubahan gaya hidup yang meningkatkan risiko obesitas.Masyarakat yang cenderung menyukai hal-hal praktis termasuk lebih menyukai makanan instan atau cepat saji yang tinggi energi daripada
harus mempersiapkan makanan dengan gizi seimbang. Selain itu, aktivitas fisik yang kurang dan gaya hidup sedentary juga merupakan beberapa faktor yang turut menyumbang tingginya angka kejadian obesitas. Dari berbagai fakta dan data di atas, dapat disimpulkan bahwa osteoporosis merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian serius dan mencegahnya merupakan salah satu cara terbaik. Namun, adanya perbedaan hasil penelitian tentang obesitas sebagai faktor protektif atau risiko, menyebabkan kebingungan masyarakat akan bagaimana harus bertindak mencegah osteoporosis, apakah dengan mengontrol berat badan atau sebaliknya. Padahal persentase penduduk yang mengalami obesitas terus mengalami peningkatan. Untuk itu diperlukan suatu penelitian untuk memastikan apakah obesitas merupakan faktor risiko osteoporosis atau bukan. Data Departemen Kesehatan tahun 1999-2002 mengungkapkan tingkat osteoporosis di Indonesia mencapai tahap yang perlu diwaspadai, yaitu sebesar19,7% dari seluruh penduduk Indonesia atau sekitar 44.035.295 jiwa (Murden, 1994). Prevalensi ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika yang menyerang 44 juta jiwa penduduk (Budisantoro, dan Pradana, 1994). Di Asia seperti dilaporkan oleh WHO (Sankaran, 2000), patah tulang yang disebabkan oleh osteoporosis akan mengalami peningkatan yaitu dari 84.000 orang pada tahun 1986 menjadi 6,26 juta orang pada tahun 2050, dan 71% patah tulang akan terjadi di negara berkembang. Tingginya kejadian osteoporosis pada wanita menyebabkan kondisi ini menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penurunan kepadatan tulang pada wanita pascamenopause terjadi karena indung telur mengalami penurunan dalam produksi hormon estrogen. Penurunan produksi hormon estrogen akan diikuti dengan meningkatnya kalsium yang terbuang dari tubuh seorang wanita (Perry and O’Hanlan, 2003). Hal ini secara berangsur akan menyebabkan penurunan
kepadatan tulang atau terjadi pengurangan dalam massa jaringan tulang per unit volum (g/cm), sehingga tulang menjadi tipis,lebih rapuh dan mengandung sedikit kalsium atau tulang semakin keropos. Poses pengeroposan tulang ini disebut osteoporosis (Murden, 1994). Penurunan kepadatan tulang dengan risiko osteoporosis pada wanita meningkat secara nyata di usia 50 tahun yaitu sekitar usia menopause (Reitz, 1993). Budisantoro dan Pradana (1994) menjelaskan bahwa penurunan kepadatan tulang pada wanita menopause selain disebabkan karena menurunnya kadar estrogen, juga dapat disebabkan oleh faktor lain yang ikut mempengaruhi kepadatan tulang yaitu aktivitas fisik, asupan kalsium, asupan vitamin D, asupan fluorida, dan asupan kalium. Begitu pula pengaruh paritas, lamanya menyusui, kebiasaan merokok, mengkonsumsi alkohol dan kafein, serta asupan fosfor (pospat), berat badan kurang dan asupan protein juga dianggap sebagai faktor yang dapat menyebabkan osteoporosis. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara asupan kalsium, aktivitas fisik, paritas, dan Indeks Massa Tubuh dengan kepadatan tulang pada wanita menopause. Penelitian ini adalah penelitian observasional yang menggunakan metode survey dengan pendekatan cross-sectional untuk mengetahui hubungan antara asupan kalsium, aktivitas fisik, paritas, dan indeks massa tubuh dengan kepadatan tulang pada wanita menopause. Asupan kalsium, aktivitas fisik, paritas, indeks massa tubuh dan kepadatan tulang diukur satu kali dalam waktu yang bersamaan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wanita menopause di Desa Sei Mencirim Dusun tiga sampai tujuh Kecamatan Sunggal. Pengambilan sampel dilakukan dengan dengan pertimbangan sampel lebih representatif untuk diamati dan dianalisis karena karakteristik sampel sudah jelas (Sastroasmoro, 2002). Sampel dalam penelitian ini sebanyak 65 orang dengan kriteria inklusi: wanita menopause
minimal 1 (satu) tahun yang berusia ≥ 44 tahun; suku bangsa yang berdomisili di Desa Sei Mencirim Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang; dan kriteria eksklusi: mengkonsumsi alkohol, mengkonsumsi kopi berlebihan, mengkonsumsi obat-obatan dari kelompok steroid, fenobarbital, fenitonin diterapi hormon estrogen; dan mengidap penyakit diabetes, diare kronis, penyakit ginjal atau hati. Pola asupan kalsium diukur dengan menggunakan kuesioner frekuensi pangan semikuantitatif yang berisi informasi mengenai bahan makanan yang mengandung kalsium dengan ukuran berat, porsi, dan frekuensi asupannya. Dengan menggunakan DKBM 2005 dihitung jumlah asupan kalsium. Data aktivitas fisik diperoleh dengan metoda wawancara menggunakan kuesioner aktivitas fisik yang berisi semua aktivitas responden selama 24 jam terakhir dalam satuan jam. Selanjutnya data dikalikan dengan kebutuhan energi untuk berbagai aktivitas. Paritas diperoleh dari jawaban kuesioner. Indeks Massa Tubuh dihitung dari pengukuran berat badan dan tinggi badan. Sedangkan kepadatan tulang dihitung dengan mengkonversikan data Bone Mineral Density (BMD) yang dihasilkan dari rata-rata tiga kali pengukuran pada tulang telapak kaki dengan menggunakan Quantitative Ultrasound Bone Densitometry pada angka kepadatan tulang dalam satuan g/cm dengan menggunakan konversi data dari Meilnikow (2005). Hasil Penelitian 1. Karateristik Responden Umur Responden Berdasarkan hasil analisis data dalam mencari distribusi frekuensi karateristik responden berdasarkan umur di peroleh hasil seperti pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi karateristik Responden berdasarkan umur wanita menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Sei Mencirim Kecamatan Sunggal tahun 2014
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Menopause Wanita di Wilayah Puskesmas Sei Mencirim Desa Sei Mencirim Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014
Umur (tahun) 44-53 54-63 64-73 74-83 >84 Total
Umur Menopause ( tahun ) 44 – 49 50 – 54 55 – 59 Total
f 20 30 9 4 2 65
% 30,8 46,1 14,0 6,1 3.0 100,0
Berdasarkan distribusi umur wanita menopause menunjukkan responden berumur antara 54-63 tahun sebanyak 46,1 % dan yang tertua berumur lebih dari 84 tahun sebanyak 2 orang sebesar 3.0%. Tabel 2. Distribusi frekuensi lama responden wanita menopause di wilayah Kerja Puskesmas Sei Mencirim Desa Sei Mencirim Kecamatan Sunggal Tahun 2014 Lama menopause ( tahun) 9 11 20 31 Total
f 9 20 32 4 65
% 13,8 17.0 49,2 13,0 100,0
Berdasarkan karakteristik frekuensi lamanya responden menopause yaitu 20 tahun sebanyak 49,2% dan telah cukup lamanya dengan kisaran 1 -31 tahun responden 4 orang ( 13,0%).
f
%
42 18 5 65
64,8 27,6 7,6 100,0
Berdasarkan frekuensi karateristik responden umur mengalami menopause 44-49 tahun (64,8%) Dilihat dari umurnya, ternyata responden banyak yang telah mengalami menopause dalam umur yang relatif masih muda, karena menurut Perry dan O” Hanlan (2003) menopause umumnya terjadi pada rentang usia 48-52 tahun. Tabel 4. Distribusi frekuensi Berat Badan, Tinggi Badan Responden Wanita Menoupause di Wilayah Puskesmas Sei Mencirim Desa Sei Mencirin Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014 Tinggi Badan Berat Badan Tinggi Badan ( cm) 144 -149 150 -154 155 -159 160 -164 Total Berat Badan ( kg) 37-43 44-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 >80 Total
f
%
5 42 8 5 65
7,6 64,6 13,2 7,6 100,0
2 4 14 35 4 3 2 1 65
3,0 6,1 21,5 53,8 6.1 4,5 3,0 1,5 100,0
Berdasarkan distribusi frekuensi berat badan wanita menopause rentangnya antara 150-154 cm (64,6%) dengan mempunyai rata-rata berat badan sebesar 55 (± 0,9) kilogram dengan kisaran 37-75 kg. Sedangkan frekuensi tinggi badan dengan rentangnya antara 150-154 cm dengan rata-rata tinggi 5dengan kisaran 1,44-1,78 meter. Dari data berat badan dan tinggi badan maka dihitung Indeks Massa Tubuh. Rata-rata Indeks Massa Tubuh responden adalah 22,3 (± 3,42) dengan kisaran 14,64-31,58. dengan menggunakan ambang batas IMT untuk Indonesia (Supariasa, Bachyar, Ibnu, 2002), 63,9 % responden tergolong normal, dan hanya 2,1 % yang obesitas. Tabel 5. Distribusi Jumlah Asupan Kalsium Responden Wanita Menopause di Wilayah Puskesmas Sei Mencirim Desa Sei Mencirim Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014 Asupan Kalsium Baik > 800 – 1000 Kurang < 800 – 1000 Total
f 39 26 65
% 60,0 40,0 100,0
Berdasarkan distribusi frekuensi asupan kalsium perhari responden wanita menopause, sebagian besar tergolong baik (60,0%), dan tergolong kurang 40.0% dengan asupan rata-rata asupan kalsium responden hanya 783 (± 185,7) mg/hari dengan asupan terendah 459,1 mg/hari dan yang tertinggi 1210,7 mg/hari. Jika merujuk pada jumlah Angka Kecukupan Kalsium untuk orang Indonesia (Muhilal, dkk 2004) yaitu 800 mg/hari maka 36% asupan kalsium responden sudah memenuhi Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan. Ratarata aktivitas fisik responden sebesar 717 (±122,4) kkal/hari dengan kisaran 449,5 kkalori – 975,5 kkal/hari.
Tabel 6. Distribusi frekuensi Gaya Hidup (Aktifitas Fisik Wanita Menopause di Wilayah Puskesmas Sei Mencirim Desa Sei Mencirim Kecamatan Sunggal Kabupaten deli serdang Tahun 2014 Gaya Hidup Fisik) Ringan Sedang Berat Total
(Aktifitas
f
%
49 9 7 65
75,4 13,8 10,8 100,0
Berdasarkan frekuensi distribusi gaya hidup dalam beraktifitas dengan menggunakan batasan menurut Muhilal dkk (1994) 75,4% responden beraktivitas ringan,13,8% beraktivitas sedang, dan sisanya beraktivitas berat 10,8%. Tabel 7. Distribusi Frekuensi Paritas Menopause di Wilayah Puskesmas Sei Mencirim Desa Sei Mencirim Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014 Paritas 1-3 4-6 7–9 Total
f 25 30 10 65
% 38,5 46,2 15,3 100,0
Distribusi frekuensi paritas wanita menopause di wilayah Puskesmas sei mencirim Desa Sei Mencirim 46,2% mengalami paritas 4-6 kali. Rata-rata paritas responden adalah 4 (±2) kali dengan rentang 0-8 kali. dibandingkan dengan anjuran pemerintah untuk memiliki anak cukup dua orang, paritas responden tergolong masih terlalu tinggi.
Tabel 8. Distribusi frekuensi Kepadatan Tulang Wanita Menopause di wilayah Kerja Puskesmas Sei Mencirim Desa Sei Mencirim Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014 Kepadatan Tulang Normal : T Score: < -2 SD Osteopenia : T Score: -1-2 SD Osteoporosis: T Score: > -2 Total
Pai, 2000). Kat (2010), merekomendasikan asupan kalsium sebesar 800-1000 mg/hari berdasarkan pada jumlah kalsium yang melalui keringat sebanyak 200 250 gram/hari pada usia 44 -74 tahun.
f 45 10 10
% 69,4 15.3 15,3
2. Korelasi Gaya Hidup (Aktifitas Fisik) dengan Kepadatan Tulang Menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Sei Mencirim Desa Sei Mencirim Kabupaten deli Serdang Tahun 2014
65
100,0
Aktifitas fisik wanita menopause tingkat ringan kurang dari 600 Mets/minggu tergolong kurang intensitas, durasinya dalam perminggu dengan presentase tergolong kurang. Untuk melihat kekuatan hubungan antara aktivitas fisik dengan kepadatan tulang dilakukan uji korelasi Product Moment dari Pearson dan hasilnya menunjukkan terdapat hubungan positif yang kuat (r = 0,757, p = 0,000) antara aktivitas fisik responden sehari-hari dengan kepadatan tulang, yang berarti semakin berat aktivitas fisik sehari-hari maka tulang responden semakin padat. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas fisik seperti berjalan kaki, berenang dan naik sepeda pada dasarnya memberikan pengaruh melindungi tulang dan menurunkan demineralisasi tulang karena pertambahan umur dan juga aktifitas fisik seperti; olahraga adalah yang melibatkan sebagian besar otot tubuh, latihan kontraksi otot yang dinamis maupun statis, latihan dengan tanpa beban yang dilakukan didalam ruangan maupun terbuka dengan tujuan cukup sinar matahari, serta latihan terbebani berat badan dan gravitasi yaitu; berjalan kaki, gerak jalan.jogging, tennis, menari, naik turun tangga (Rahayu, 2009), adapun sebagai tujuan aktifitas fisik tersebut untuk meningkatkan sirkulasi darah pada tulang, meningkatkan hormon estrogen yang penting dalam memelihara tulang, meningkatkan pengendapan serat kolagen dan mineral dalam matrik tulang sehingga menimbulkan massa
Distribusi frekuensi kepadatan tulang wanita menopause 69,4 % menunjukkan normal, 15,3 % suspek oateopenia dan osteoporosis.Rata-rata kepadatan tulang responden 0,7 (± 0.15) g/cm2 dengan rentang 0,412-0,998 g/cm2. Pada umumnya kepadatan tulang responden kurang normal, karena batas kepadatan tulang yang normal adalah 1,18 g/cm2. PEMBAHASAN 1. Kolerasi Asupan Kalsium dengan Kepadatan Tulang Wanita Menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Sei Mencirim Desa Sei Mencirim Kabupaten Deli Serdang tahun 2014 Berdasarkan hasil analisis hubungan bivariat, diketahui adanya hubungan positif yang kuat (r = 0,873) antara jumlah asupan kalsium yang dikonsumsi menopause dengan kepadatan tulang (p = 0,000) yang artinya bahwa apabila semakin banyak kalsium yang dikonsumsi responden maka absorbsi mineral kalsium semakin meningkat sehingga kepadatan tulang responden semakin besar. Kalsium dibutuhkan untuk pembentukan mineral tulang dan penting untuk pengaturan proses fisiologik dan biokimia. Kalsium diperlukan untuk memaksimalkan puncak massa tulang dan mempertahankan densitas tulang yang normal (Shroff and
pembentukan tulang. Hasil penelitian Recker et.al, membuktikan pada mahasiswa wanita aktivitas fisik berhubungan dengan penambahan kepadatan mineral tulang belakang (Groff and Groppe, 2000) dan juga penelitian Charoenphandhu (2007) menyatakan jika aktifitas fisik dengan durasi dan intensitasnya teratur akan meningkatkan mekanisme penyerapan kalsium akan sangat membantu proses metabolisme tulang. Tulang tidak hanya melayani struktur fungsi tetapi juga menyediakan sistem pertukaran kalsium untuk menyesuaikan menit ke menit tingkat kalsium dalam plasma dan ECF (1,2). Selama beraktifitas perubahan dalam metabolisme kalsium tergantung pada intensitas aktifitas fisik. Menurut Huang, dkk (2003), menyatakan bahwa pergerakan ketahanan meningkatkan kepadatan mineral tulang, kekuatan tulang dan pembentukan tulang, dengan demikian keseimbangan dan memiliki efek yang menguntungkan pada metabolisme tulang, Selain itu, kombinasi moderat dampak aktifitas fisik dan asupan kalsium yang cukup dapat meningkatkan kekuatan tulang selama kehidupan berlangsung. Dalam penelitian ini ditemukan antara korelasi asupan kalsium, aktifitas fisik, jenis bahan kalsium utama susu dan olahannya. 3. Korelasi antara Paritas dengan Kepadatan Tulang Menopause di Wilayah Kerja di Puskesmas Sei Mencirim Desa Sei Mencirim Kabupaten Deli Serdang 2014 Dengan menggunakan uji korelasi Product Moment dari Pearson diperoleh hasil mendapatkan adanya hubungan negatif yang cukup kuat (r = -0,701 ; p = 0,000) antara paritas responden dengan kepadatan tulang, yang berarti semakin sering melahirkan kepadatan tulang responden semakin rendah. Menurut Katzt (2000) bahwa kehamilan berhubungan dengan kepadatan tulang, karena kurang lebih 30 g kalsium dari ibu di ambil oleh
janin. Katz (2010) merekomendasikan bahwa asupan kalsium pada ibu hamil sebesar 1200-1500 gram/hari, dan jumlah yang diabsorbsi antara 30%-40% dan jumlah kalsium yang masuk kedalam tulang selama perkembangan sebanyak 140-500 gram/hari dan yang hilang melalui keringat sebanyak 200-250 gram/hari, wanita mengalami paritas lebih yang dianjurkan oleh pemerintah yaitu satu sampai tiga kali, oleh karena pada saat hamil dan melahirkan menimbulkan peningkatan metabolisme akan meningkatkan keringat yang sering, vulomenya meningkat akan menimbulkan kehilangan kalsium yang banyak jika tidak di kombinasikan dengan asupan kalsium pada masa kehamilan akan menurunkan pembentukan kepadatan mineral tulang sehingga terjadilah osteopania dan osteoporosis menopause. 4. Korelasi antara indeks Massa Tubuh dengan kepadatan Tulang Menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Sei Mencirim Desa Sei Mencirim Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014 Dengan menggunakan uji korelasi Product Moment dari Pearson diperoleh hasil ada hubungan positif rendah (r = 0,203) dan siginifikan (ρ=0,046) antara Indeks Massa Tubuh responden dengan kepadatan tulang, hal ini berarti semakin besar Indeks Massa Tubuh maka tulang responden semakin padat. Hal ini sesuai dengan pendapat Groff. and Gropper (2000) bahwa badan semakin kurus dan kecil, maka makin berisiko mengalami keropos tulang. Pendapat ini juga didukung oleh Shroff dan Pai (2000) bahwa berat badan kurang merupakan salah satu faktor risiko keropos tulang. Karena sebagaimana kita ketahui Indeks Massa Tubuh dihitung dengan membagi berat badan responden oleh kuadrat tinggi badan, jadi makin besar berat badan responden, Indeks Massa Tubuh semakin
besar. Baru 36 % responden yang asupan kalsiumnya memenuhi jumlah yang dianjurkan yaitu 800 mg/hari untuk wanita pasca menopause Indonesia tanpa terapi hormon. Ada hubungan positif yang kuat dan bermakna pada p < 0,01(r = 0,873 dan p = 0,008) antara asupan kalsium, 60,0% responden memiliki aktivitas fisiknya ringan, 75,4% sedang dan 13,8 % beraktivitas fisik berat 10,8 %. Ada hubungan positif yang kuat dan bermakna pada p < 0,01 (r = 0,757 dan p = 0.000) antara aktivitas fisik dengan kepadatan tulang responden. Rata-rata paritas responden cukup banyak yaitu 4 (± 2) kali dengan rentang 0-8 kali yang mengakibatkan berkurangnya kepadatan tulang. Hal ini ditunjukkan dengan adanya hubungan negatif yang kuat (r = -0,701 ; p = 0,000) 63,9 % Indeks Massa Tubuh responden normal, sedikit yang kurus 14,4 % dan obesitas 2,06 %. Ada hubungan positif antara Indeks Massa Tubuh dengan kepadatan tulang responden ( r = 0,203 ; p = 0,046). KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa ada korelasi antara pola asupan kalsium, aktivitas fisik, dan paritas terhadap kepadatan tulang cukup kuat (adjusted R2= 0,847). Asupan kalsium dan aktivitas fisik memberikan pengaruh positif terhadap kepadatan tulang sedangkan paritas memberikan pengaruh negatif. Hubungan antara pola asupan kalsium, gaya hidup (aktivitas fisik), dan paritas dapat dinyatakan dengan model regresi: Kepadatan Tulang = 0,156 + 4,7.10-4 (asupan kalsium) + 3,1.10-4 (aktivitas fisik ) - 1,5.10-2 (paritas). Model regresi ini menunjukkan kenaikan asupan kalsium sebanyak 1mg/hari maka akan menambah kepadatan tulang sebesar 4,7.10-4g/cm2; setiap kenaikan aktivitas fisik sebesar 1 kkal/hari, maka akan menambah kepadatan tulang sebesar 3,1. 10-4g/cm2; setiap kenaikan paritas sebanyak 1 kali, maka kepadatan tulang akan berkurang sebanyak 1,5.10-2g/cm2.
Dan nilai determinasi 0,847 menunjukkan 69,4 % kepadatan tulang responden dapat dipengaruhi oleh asupan kalsium, aktivitas fisik, dan paritas dan 15,3 % oleh sebab lain seperti asupan fluorida, natrium, dan protein. SARAN Berkaitan dengan hasil penelitian ini, penulis memiliki beberapa saran, yaitu; 1. Para wanita menopause Bagi wanita menopause agar lebih memperhatikan pola asupan kalsium, dan asupan gizi makanan lainnya terutama vitamin D, karena pada wanita menopause resorpsi tulang berlangsung lebih cepat karena sehari-hari; serta melaksanakan pemeriksaan kepadatan tulang hendaknya dilakukan rutin enam bulan sekali, untuk mengetahui kondisi tulang yang berisiko ospetoporosis untuk mencegah akibat yang lebih parah berupa patah tulang; 2. Bagi wanita yang masih dalam usia di bawah 35 tahun, hendaknya memperhatikan proses pembentukan tulang yang kuat dan padat dengan mengkonsumsi kalsium sesuai anjuran, beraktivitas fisik yang cukup dan yang menumpu beban seperti berjalan kaki atau bersepeda, serta memperhatikan paritas, sebagai upaya pencegahan keropos tulang karena penurunan kepadatan tulang pada pasca menopause. 3. Bagi Tenaga Kesehatan Wilayah Puskesmas Sei Mencirim Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Bagi Puskesmas Sei Mencirim agar manajemen Puskesmas menerapkan strategi meningkatkan penyuluhan pendidikan kesehatan dalam program membudayakan olahraga latihan otot dinamis dan status bagi usia lanjut menopause di posyandu lansia di setiap Desa
wilayah jangkauan Puskesmas, serta berkesinambungan dan intensif dan harus difokuskan pada penyakit osteoporosis dan pencegahannya. 4. Bagi Peneliti lebih Lanjut Agar penelitian ini dapat diteliti lagi ditempat penelitian yang lebih luas dan jumlah sampel lebih banyak serta menggunakan jenis penelitian yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA Arisma, M. 2004 Gizi Daur Kehidupan, Jakarta Penerbit Buku Kedokteran Almatsier. S.2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia, Jakarta Pustaka Utama Anderson M. JJB, 2008, Nutrition and Bone Health, in Mahan K, Escontt, Stump S, Editors, Krause,S Food, nutrition and diet therapy 12 Edition, Phidelphia Sourders. Bess, DH. Osteoporosis in, Mauresi ES. Mooshe A Chatarine R, Benjamin C , Robert JC, Editors, 2006. Modern Nutrition in health and disease,10 thn, ed Carol & Ricard Eustice,2006,High Peak Bone Density Reduces Osteoporosis Risk Laser in life. Charoenphadhu, Marathaphil,phisical activity and exersice Affect international calcium absobtion, Areserpective Review, journal of sprint science and theology.vol.no1. Depertemen Gizi dan kesehatan masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.Gizi dan
kesehatan Masyarakat ,PT. Raja Grafindo Persada Jakarta. Dewi Cakrawati Mustika N H, 2012, Bahan Pangan Gizi dan Kesahatan, Alfabeta CV, Cet, Bandung. Felicia Cosman, MD. Osteoporosis, 2012.Panduan Lengkap agar Tulang Tetap Sehat,Garamedia , ed 2, Jakarta. Groff, J L and Gropper S,S, 2000, Advanced Nutrition and Human Metabolisme United Wads Worth State, Thomsom Learning G. Maslouf, MH. Ganage. Yared.J.Ezzedine, B.Larijani, S, Badawi, Rhacheet al. 2007. Midleeast and North Africa consencus un Osteoporosis Musculoskeletal Neuronal Interact. Meilnikow, J, 2005 Healthy Bone Versus Bone Wekned by Osteoporosis, Word ide web. IFIC. Review, 2002, Physical Activity , Nutrition and Bone Health . Kalwarf H.J.J C, Khoury & B,P, Lampier, 2003, Milk intake Daring adulth bone density and osteoporosis Fracture in AS, womwn, Am J.Clinuts. Soekarno M G, Kartono D, 2007.Angka Kecukupan Gizi Mineral Kalsium danacuan Label Gizi , Proseding, Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, LIPI,Jakarta. Shrof M, and Paii B, 2000, Osteoporosis, the baatle Against Brittle Boness Jewings Magazine India.
Katz D L, 2000,Nutrition in clinical practice, New York, Lippintcont Williams and Wilkins. Puslitbang Gizi dan Makanan Kesehatan RI dan Pontera Brends Indonesia ,2005, Prevalensi Osteoporosis dan Osteopenia, Bogor. Soekatrii Moesjanti, dan Kartono, Joko,Angka Kecukupan Mineral Kalsium, fosfor, Magnesium. Proseding Widyakarya Pangan dan Gizi,2004, LIPI, Jakarta. Sudgido Sastroeswono,2002, dasar- dasar Metodelogi Penelitian Klinis, ed; 2, Jakarta CV Sagung Seto. Word, J Clarke R, dan Linden R, 2012, et,all, Glancer; Fisiologi, Erlangga Medical Series, Jakarta. Zitmann A, Sabatschus O, Jantson S, Platen P,2002 Acute Rise of Intestinal Calcium Absorbtion to, Excersice, eve, J,nurt. PERSAGI, 2005, Dasar-dasar Komposisi Bahan Makanan EGC, Jakarta. Darmojo, R. Boedhi.,dkk.1999. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Gallo, Joseph.1998. Buku Gerontologi. Jakarta: EGC
Saku
Nugroho, Wahjudi. 2000. Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC Potter & Perry.2005.Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Edisi 4. Jakarta: EGC