gak biasa pake demontrasi dulu lho...hahaha....”
Mendengar omongan ngaco gelandangan kesasar itu, Prabu Kuncoro Manik semakin gemas. Ia sudah tak mampu lagi membendung amarahnya. Gelandangan yang ngaku seorang begawan ini benar-benar tidak punya sopan santun dan meremehkannya. Karena itu nampaknya harus dihajar biar sedikit punya etiket. “Hmm, jadi elu pembunuh bayaran, ya? Datang kemari cuma mau cari ribut? Oke, bilang sama Prabu Kresna, gua nggak mau turun tahta. Sana pergi! Sebelum rasa kemanusiaan gua habis...”
“Hahaha....hohoho...hehe...ngusir kucing sih gampang. Tapi jangan elu kira segampang itu ngusir macan...jangan elu kira segampang itu ngusir Begawan Joyo Lelono....hohohoho..”
“Emang cari mampus lu ya. Ciaaaatttt!!” Bersama dengan teriakan itu, Prabu Kuncoro Manik melancarkan serangannya. Bunyi pukulan itu demikian dahsyat bagai bunyi petasan sebesar paha. “Zzddueeerrrr!!”
Para prajurit Jonggring Saloka mulai berdatangan. Saat mereka mau mengeroyok rame-rame, Prabu Kuncoro Manik mencegah dengan mengangkat tangannnya. Ia memerintahkan prajuritnya buat mundur. Akhirnya mereka cuma bisa nonton di pinggir lapangan seperti orang-orang nonton adu ayam gratis.
Begawan Joyo Lelono yang nampak seperti gelandangan malas itu ternyata sosok yang lincah. Pukulan lawan ia hindarkan bagaikan kucing menghindari lemparan sandal majikannya. Lalu, dengan sigap ia pasang kuda-kudanya. Ia mulai mengeluarkan ancang-ancang untuk melancarkan serangan dari jurus andalannya: “Gembel Tangan Geledek” “Heeyaaaaatttt!! Dèèèrr!! Dheerr!! Dhheerr!!”
Ternyata jurus lawannya memang benar-benar jurus berbahaya. Hampir saja Prabu Kuncoro Manik terkena pukulan lawannya. Untung ilmu meringankan tubuhnya tinggi. Karena itu cuma sarungnya saja yang bolong terkena gebrakan lawan. Kini ia lebih berhati-hati lagi. “Hiyyaaaaaattt!!”
(Bersambung)
KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (52)
Pertempuran dua kesatria itu berlangsung seru. Ilmu silat keduanya benar-benar mengagumkan. Mirip filem-filem silat Hongkong. Bedanya, perkelahian yang satu ini bukan sekedar akting. Melainkan perkelahian sungguhan yang mematikan. Dan makin lama perkelahian itu menjadi makin seru, juga fatal.
Sementara itu di pinggir lapangan para prajurit Jonggring Saloka bersorak sorai waktu rajanya unggul dalam serangan. Sedangkan saat rajanya terdesak, mereka mulai terlihat gelisah, bahkan ada yang langsung kirim SMS ke temen-temennya mengabarkan situasi itu. Temen-temennya itu kirim SMS lagi ke temen-temen mereka sendiri hingga akhirnya khabar yang belum ketahuan juntrungannya tersebar luas dengan cepat. Situasi itu mengakibatkan harga saham jadi jatuh dan dolar jadi naik di pasaran.
Tapi itu belum seberapa. Yang lebih kurang ajar lagi, ada beberapa prajurit di barisan belakang, diam-diam bertaruh dengan sesamanya. Ada yang menjagoi rajanya, tapi ada juga yang menjagoi musuh rajanya. Rupanya judi memang sudah merebak kemana-mana. Tidak terkecuali ke khayangan sekalipun.
Jurus demi jurus telah terlalui. Namun rupanya Prabu Kuncoro Manik dan Begawan Joyo Lelono sama-sama kuat dan sakti. Biar begitu mereka ingin sekali segera mengakhiri pertempuran. Time is money. Maka seperti sama-sama di komando, masing-masing melancarkan serangan pamungkas, serangan terakhir yang mampu melumpuhkan lawan.
Dengan ekstra konsentrasi Prabu Kuncoro Manik mulai menggalang tenaga intinya, begitu pula Begawan Joyo Lelono. Tiba-tiba dua sosok itu nampak maju melesat berbarengan.
“ZZZDHUUEERRR!!” Pertemuan pukulan kedua kesatria itu menimbulkan bunyi gelegar yang dahsyat. Para penonton di pinggir lapangan rubuh terkena dampaknya. Beberapa nampak mental. Ketika mereka bangkit, mereka terheran-heran melihat dua sosok di tengah lapangan yang kini telah berubah bentuk.
Prabu Kresna yang dari tadi rupanya telah mengamati dari jauh, kini tergopohgopoh mendekat. Iapun nampak bingung melihat pemandangan yang terlihat di gelanggang. Katanya: “Hmm, jadi Prabu Kuncoro Manik itu ternyata kamu toh, Antasena.”
“Ya, paman,” kata Antasena sambil menyembah. Setelah menyembah tanda menghormat, ia pegangi lagi kepalanya yang masih terasa pening akibat adu kekuatan dengan lawannya barusan tadi.
“Aku heran. Kok wujudmu itu bisa berubah jadi Prabu Kuncoro Manik itu asal usulnya gimana?” tanya Kresna.
“Wah, ceritanya panjang, paman,” kata Antasena.
Kemudian Antasena mencoba menceritakan kisahnya. Waktu itu, diam-diam ia diperintahkan menghadap kepada Sang Hyang Bethara Guru. Sesampai di khayangan ternyata ia di culik, mirip orang-orang yang diculik di Iraq. Dan tanpa tahu apa kesalahannya, ia diceburkan ke Kawah Candradimuka, neraka jahanam. Belakangan ia baru paham bahwa perintah pembunuhan terhadap dirinya itu justru didalangi oleh Bethara Guru sendiri.
Waktu melayang jatuh ke Candradimuka, rupanya ada sebuah kekuatan misterius yang menangkapnya dan mengangkatnya keluar dari kawah itu. Begitu keluar, Antasena telah mendapati tubuhnya berganti wujud menjadi sosok yang baru. Dengan tubuh baru itu ia mulai berkelana kesana-kemari.
Rupanya dengan sosok baru itu tenaganya pun berubah menjadi berlipat ganda. Ia berangkat ke Amerika pakai visa Turis. Di negeri empat musim itu, ia kerja ilegal serampangan. Mula-mula kerja di Gas Station. Kemudian kerja di Country Club ngangkat-ngangkat meja, kursi dan juga bersih-bersih WC. Lalu, nglamar jadi supir limosin. Karena bosan terus kerja di restoran jadi tukang cuci piring. Dan terakhir di kontraktor bangunan, jadi kuli ngaduk semen. Bosan jadi kuli, ia loper koran tiap pagi-pagi buta.
Biar sudah berubah bentuk, namun ia tak pernah lupa pada jati dirinya yang lama. Dari gosip-gosip yang ia dengar, rupanya Bethara Gurulah panyebab kesengsaraan dirinya. Semua itu dilakukan oleh Bethara Guru, karena Raja Dewa itu berambisi menuruti kemauan anak kesayangannya, Dewa Serani, yang minta dikawinkan dengan Dewi Jenokowati.
“Hmm, jadi begitu cerita tentang dirimu, nak,” kata Prabu Bethara Kresna. “Lha, kalau kamu, Gatotkaca, bagaimana kamu bisa berubah menjadi Begawan Joyo Lelono?”
“Ceritanya begini, paman,” kata Gatotkaca. Ia adalah kakak Antasena, kakak dari lain ibu. “Saya merasa teramat sedih dan bingung setelah kehilangan Antasena. Apalagi banyak pihak telah memberi saya tanggung jawab sebagai pengawal langgengnya perkawinan antara Antasena dan Dewi Jenokowati. Maka saya mencoba bertanya kesana kemari tentang dimana keberadaannya. Tapi hasilnya nihil karena Antasena hilang begitu saja bagai ditelan bumi. Saya nggak tahu kalo Antasena rupanya pergi merantau ke Amrik.”
“Lalu, kenapa kamu bisa jadi seorang Begawan.”
“Ketika saya sudah merasa frustasi karena gagal mencari Antasena, iseng-iseng saya mampir ke daerah Ancol untuk menenangkan diri. Waktu ngaso di tepi pantai, ada bisikan yang menyuruh saya bertapa “Ngrame”. Dengan begitu saya akan menemukan Antasena.
Maka, tanpa berpikir dua kali saya ikuti saja instruksi itu, berhubung sudah tidak tahu lagi apa yang harus saya kerjakan. Saya menjadi petapa yang menggelandang tanpa tujuan. Hingga akhirnya kita semua bisa bertemu disini.”
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (53)
Heran akan kejadian-kejadian yang timbul dan tenggelam tanpa disangka dan diduga, Prabu Kresna, Antasena dan Gatotkaca mencoba merangkai kembali perjalanan hidup yang telah masing-masing lalui. Akhirnya muncul satu kesimpulan bersama: Semua kekusutan persoalan di dunia ini hanya bisa terjadi karena tindakan semena-mena yang telah dilakukan Sang Hyang Bethara Guru.
Bethara Guru memang pemimpin bijaksana, tapi tidak semua tindakannya mencerminkan kebijaksanaannya. Bahkan terkadang, karena merasa memiliki kekuasaan, ia suka memaksakan kehendak. Hal itu dilakukan dengan cara terang-terangan maupun tersamar. Bahwa kehendak yang dipaksakannya itu dapat diterima oleh orang lain atau tidak, ia tak pernah mau memikirkannya. Ia merasa bahwa segala apa yang dilakukannya adalah benar. Prinsipnya: The King always right.
Selain itu, tanpa disadari oleh dirinya sendiri, Bethara Guru sering memanipulasi situasi. Orang-orang selalu ia dijejali propaganda “demi setia kawan”, “demi pelayanan sesama” dan “demi kemakmuran wong cilik (rakyat kecil)”. Dengan propaganda semacam itu, rakyat menjadi berilusi dan mengikuti segala perintahnya. Rakyat berilusi bahwa segala tindakan dan kegiatan yang telah mereka lakukan adalah baik, benar, berpahala, dan berguna.
Banyak yang membenarkan, dan bahkan menutup mata terhadap segala tindakan buruk ini Mereka ini biasanya adalah orang-orang yang merasa bangga karena bisa punya kenalan dan pergaulan dengan pemimpin, maupun orang-orang yang nge-top, punya titel serta jabatan.
Rupanya makin sedikit orang yang mampu (dan mau) melihat sisi-sisi buruk tindakan penguasa. Apalagi jika tokoh yang berkuasa itu nampak selalu bijaksana, adil, dermawan, ramah, serta murah senyum dan menjadi idola dimana-mana. Belum lagi jika tokoh pejabat itu “berspiritual tinggi” dan mampu memberi “kekuatan spiritual” pada orang lain.
Emosi Antasena tiba-tiba meluap sampai ke ubun-ubun atas kesimpulannya sendiri. Ia tiba-tiba berkata: “Hmm, paman Kresna dan bang Gatot. Gua mau permisi dulu. Gua mau cari Bethara
Guru dulu. Gua percaya, dia tipe orang yang mau bertanggung jawab atas perbuatannya yang sewenang-wenang....”
Belum sampai ada jawaban, Antasena telah melesat pergi. Prabu Kresna dan Gatotkaca cuma bisa terbengong-bengong di tempat.
Lalu, keduanya segera masuk menuju Paseban Agung dengan iringan para prajurit Jonggring Saloka. Para prajurit itu bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Mereka nampak bingung dan tak tahu tindakan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Selama belum ada serah terima jabatan, mereka masih menganggap Antasena, perubahan wujud Kuncoro Manik, sebagai raja mereka.
Sesampai di Paseban Agung, terlihat Begawan Pulasara, Arjuna dan Banowati tengah menunggu.
Prabu Kresna memiliki banyak mata-mata tangguh di kerajaan Darawati. Mereka itu diantaranya adalah bekas-bekas KGB yang merasa dapet gaji kecil setelah Uni Soviet runtuh. Selain itu juga para bekas CIA yang tidak suka pada organisasinya, terutama setelah penanganan ‘Weapon of Mass Destruction’ ternyata bikin organisasi itu jelek dimata dunia. Dan terakhir James Bond ngelamar kerjaan. Ia dipecat organisasinya di Inggris gara-gara mengadukan kebiasaankebiasaan buruk Pangeran Charles.
Dari khabar mata-matanya, Prabu Kresna dapat laporan bahwa Begawan Pulasara memiliki kesaktian luar biasa “Maaf, apakah anda memang benar yang bernama Begawan Pulasara?”
“Ya, betul,” kata pendita itu sambil mesem. Wajah tenang sang pendita membuat gregetan Prabu Kresna. Tersirat dalam niatnya untuk mencoba kesaktian pendita itu. Namun belum sampai terlaksana niatnya, tiba-tiba datang angin kencang entah dari mana. Banyak yang menutup matanya untuk menghindari debu dan dedaunan yang berterbangan mengenai muka. Suasana menjadi gaduh.
Dan di tengah-tengah kegaduhan tempat itu, tiba-tiba terdengar suara: “...namun sesungguhnya aku Sang Hyang Baruna.” Setelah berkata demikian, tiba-tiba sosok Begawan Pulasara merubah.
Betapa kagetnya semua yang ada di Paseban Agung, terutama sekali Prabu Kresna. Semua tidak menyangka, jika Begawan Pulasara adalah penjelmaan Sang Hyang Baruna, Dewa Lautan. Prabu Kresna segera menghaturkan sembah, diikuti oleh yang lain. Dewa Laut ini adalah tokoh yang disegani karena kebijaksanannya. Biar
kekuasaannya hanya di lautan, tapi ia tidak ambisius.
Jaman sekarang memang banyak dewa-dewa yang pada ambisius. Terutama karena disebabkan lahan yang makin mengecil dan persaingan untuk bisa nge-top makin ketat. Tapi ambisius sih sebenarnya boleh-boleh saja karena hal itu merupakan “natural process”. Asalkan jangan sudah ambisius, terus masih ditambah otoriter, anti kritik dan pilih kasih. Dewa yang begini inilah yang dinamakan dewa keblinger.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (54)
Sang Hyang Baruna menceritakan campur tangannya terhadap perjalanan hidup Antasena. Hal itu dilakukannya karena terpaksa. Ia tidak tega melihat Antasena menjadi korban ambisi Bethara Guru. Maka supaya tidak terlalu dikenal, ia merubah sosoknya menjadi Begawan Pulasara.
“Nah, karena tugasku aku anggap sudah selesai, maka aku akan segera pulang ke rumahku,” kata Sang Hyang Baruna. Kharismanya benar-benar memancar, gilang-gemilang. “Mengenai Antasena yang saat ini sudah badar, dan sedang menuntut hak-haknya, kalian tidak usah kawatir. Karena hal itu akan melibatkan kekuasaan yang lebih besar.”
“Ya, saya mengerti paduka,” jawab Kresna.
“Oh ya, pada bahumulah Kresna, kusandarkan kejayaan anak dan cucuku, keluarga besar Pandawa. Jagalah dan bimbinglah mereka. Sebagai penasehat dan duta, engkaulah tulang punggung yang mampu membawa irama bagi langkah hidup mereka. Jangan karena posisimu dan kekuasaanmu itu lantas engkau bertindak di luar batas. Dan jangan mengharapkan sanjungan dan nama baik bagi pekerjaanmu itu.”
Mendengar permintaan itu, Prabu Kresna segera menghaturkan sembah. Ia berjanji akan membantu menyelesaikan persoalan-persoalan yang masih tercecer. Diantaranya mengembalikan Dewi Banowati kembali ke Astina.
Setelah mendengar kesanggupan Kresna, Sang Hyang Baruna segera menghilang. Sosoknya bagai lenyap terbawa angin.
Beberapa saat kemudian, dari belakang paseban terdengar bunyi gaduh. Para prajurit Jonggring Saloka rupanya telah membebaskan Bima dan rombongannya. Setelah gemuruh emosi Bima bisa diredakan, Prabu Kresna segera memberitahu duduk perkara semua persoalan.
Sang surya telah condong di cakrawala. Senja menjelang tiba. Langit di ufuk barat nampak kemerahan, dihiasi selendang-selendang awan yang menghitam. Udara sore itu cerah, namun lembab.
Demikianlah cuaca di negeri para dewata saat ini. Udara yang menyesakkan itulah yang makin membuat para dewa dan dewi, bethara dan bethari serta hapsara dan hapsari, malas untuk keluar rumah. Apalagi banyak yang sudah tahu bahwa negeri mereka sedang dilanda kerusuhan. Kebanyakan dari mereka memilih tenang-tenang berada dalam rumah yang ber-AC dan nonton CNN untuk mengetahui berita terakhir.
Kerusuhan itu khabarnya telah berubah menjadi huru-hara. Demikian kusut urusannya sehingga bahkan menurut khabar burung sempat melibatkan United Nation.
Sudah lumayan jauh juga Bethara Guru lari meninggalkan gelanggang perkelahian, ketika sadar bahwa senjata andalannya, Kiai Cundomanik, tak mempan waktu digunakan buat menghajar tubuh Ki Lurah Semar. Setelah merasa aman, ia memutuskan untuk beristirahat sebentar mengatur napas yang kelihatan kembangkempis. Ia agak menyesal juga karena sudah cukup lama tidak berolah raga. Biasanya ia rajin jogging.
Tiba-tiba dari kejauhan nampak sebuah mobil jip menuju ke arahnya. Dengan hati girang ia keluar dari persembunyiannya. Kalo diperbolehkan, ia ingin numpang. Namun betapa kaget dirinya setelah tahu bahwa pengendarannya adalah Antasena. Dan semuanya sudah terlambat. Antasena sudah melihatnya dan melambai-lambaikan tangannya melalui jendela.
“Bethara Guru! Hooiii! Guru!” teriak Antasena sambil mengeluarkan kepalanya di jendela, “gua pengen bicara ama elu! Gua cuma pengen minta pertanggung jawaban elu!”
Mendengar teriakan itu, sadarlah Bethara Guru akan datangnya bahaya baru. Ketika mobil jip itu sudah semakin dekat, tanpa memberi jawaban, ia langsung kabur tunggang langgang. Ia lari ke arah jalan setapak yang menuju ke hutan kecil. Larinya mirip seorang maling yang dikejar hansip satu kompi. Ia tahu, jika Antasena dihadapinya, nasibnya nggak bakal lebih baik daripada waktu berhadapan dengan Semar. Saat ini kesaktiannya lagi apes.
Di mobil jip-nya, Antasena cuma bisa bengong. Hatinya tambah dongkol berat. Tapi ia tidak putus asa. Biar tidak kenal daerah sekitar sini, ia yakin akan mampu menemukan Bethara Guru. Di mobilnya ada GPS (Global Positioning System). Dengan alat itu, ia nggak kawatir nyasar.
(Bersambung)
KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (55)
Ternyata Bethara Guru memutuskan lari ke luar negri, ke Amerika. Memang, sebenarnya Amerika tempat pelarian yang paling nyaman, terutama bagi oknum-oknum pejabat dari negara berkembang. Asal yang bersangkutan tidak melanggar hukum setempat, ia tidak akan diusik-usik. Selain itu, yang bersangkutan tidak dalam kategori pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat dan juga tidak pernah mendapat cap pelaku Crimes Against Humanity di negara asalnya.
Tapi ada peribahasa: hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri. Artinya: biar bagaimanapun enaknya tinggal di negara orang, masih enak tinggal di negara sendiri. Di Amrik, orang asing akan dianggap sebagai warga negara kelas dua. Demikian juga halnya dengan Bethara Guru. Karena itu ia tidak betah. Maka setelah seminggu, ia memutuskan untuk pulang ke Jonggring Saloka. Ia sudah rindu Mie Tèk-tèk, Nasi Uduk dan juga Sop Buntut, makanan-makanan kegemarannya. Ia bosan makan Hamburger Mc Donald dan Kentucky Fried Chicken melulu.
Maka dengan segala resiko sampailah kembali ia di Kahyangan Jonggring Saloka. Begitu sampai ia langsung cium tanah. Ia sudah demikian rindu pada tanah airnya. Rupanya hatinya telah memiliki ketetapan. Dan ketetapan itu adalah keinginannya untuk mengurai kekusutan persoalan yang tengah terjadi di jagat raya. Artinya, ia sudah sadar bahwa sumber semua kekusutan itu adalah dirinya, yang dengan semena-mena telah menghukum Antasena.
Hanya ada satu tempat, dimana persoalan jagat raya yang sudah mentok bisa dipecahkan. Bukan ke DPR, bukan ke DPA, dan bukan ke PBB, tapi kembali ke Rumah Kebajikan. Dan tempat ini bukanlah berbentuk gereja, masjid, pura, kuil maupun tempat ibadah berupa bangunan yang megah lainnya. Karena semua bangunan itu hanyalah sarana. Kembali ke Rumah Kebajikan artinya kembali kepada kesadaran diri sendiri.
Karena sudah berhasil kembali pada kesadaran diri, maka tindakan selanjutnya tinggal mengurai kekusutan persoalan disekelilingnya. Dan pertama-tama itu dilakukan oleh Bethara Guru dengan cara bersemadi, memohon kedatangan Sang Hyang
Wenang, pemegang kekuasaan atas semua dewa. Ia adalah dewanya para dewa yang bertugas mengatur supaya para dewa tidak jalan sendiri-sendiri dan tidak bertindak samau-maunya. Ia jugalah pemegang otoritas kehidupan dan kodrat manusia di jagat raya.
“Maafkan saya, karena telah terpaksa mohon petunjuk paduka,” demikian awal pengaduan Bethara Guru. Ia terpaksa harus jujur, karena tanpa kejujuranpun Sang Hyang Wenang sudah mengetahui segalanya.
“Hmmm, ya...ya...kebetulan aku lagi monitor persoalan Timur Tengah dan Afrika. Tiba-tiba kok ada SMS yang meminta kedatanganku. Ada apa Bethara Guru?” tanya Sang Hyang Wenang.
“Pertama, kedatangan saya adalah memohon perlindungan dari kejaran Antasena dan Kakang Semar. Adapun yang kedua, saya ingin memecahkan persoalan jagat raya yang makin hari saya rasakan semakin parah saja.”
“Nah, itulah Bethara Guru. Engkau tahu kan kalo kedua persoalan yang kau ungkapkan itu berhubungan satu dan lainnya. Semua itu awalnya dari nafsu, yaitu nafsumu. Nafsu itu sebaiknya janganlah terlalu dituruti. Nafsu itu memang tidak bisa hilang, tapi paling tidak bisa dikendalikan. Karena dari nafsu-nafsu yang paling kecil, seperti nafsu bergosip, sampai nafsu yang paling besar, yaitu nafsu berkuasa, semua itu bisa berakibat buruk.
“Akibat buruk yang paling parah dari nafsu itu adalah bobroknya sifat-sifat pribadi, seperti menjadi tamak, egois, dan mau menang sendiri. Selain itu bukan hanya diri pribadi yang terpengaruh, tapi juga keadaan di sekeliling atau lingkungan. Karena kenyamanan dan kedamaian lingkungan jadi terganggu.”
Tidak ada kata yang mampu keluar dari mulut Bethara Guru selain: “Ya, saya mengerti paduka.”
Sang Hyang Wenang melanjutkan wejangannya karena ia merasa sudah waktunya untuk mengingatkan Bethara Guru. Katanya lagi: “Nah, itu tadi masalah nafsu. Sekarang yang kedua adalah masalah ambisi. Punya ambisi sih boleh-boleh karena ambisi sudah jadi bagian dari hidup untuk mencapai kemajuan. Tapi ambisi juga harus disesuaikan dengan kemampuan. Jangan sampai gara-gara kemampuannya terbatas terus ‘njilat yang di atas dan sikut kanan-kiri. Itu ambisi gila namanya. Apalagi kalo sampai nginjek yang di bawah.
“Lebih parah lagi kalo ambisi dikombinasikan dengan sifat dan sikap yang otoriter. Ini berbahaya. Karena mereka yang otoriter biasanya tidak mau denger kata orang lain dan menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar. Ia mau berkuasa sendiri dan bertindak sewenang-wenang pada yang lain...”
Belum sampai Sang Hyang Wenang menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba terjadi kegaduhan di luar rumah. Beberapa saat kemudian masuklah Antasena dan Ki Lurah Semar. Betapa kagetnya Bethara Guru. Apalagi muka kedua orang itu sangar-sangar mirip anggota Babinsa kalah main judi. Antasena membawa pentungan di tangan kanannya.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (56/Habis) Ketika Semar dan Antasena tahu siapa yang ada di hadapan Bethara Guru, mereka segera menjatuhkan diri, menyembah. Pentungan di tangan kanan Antasena terjatuh tak disengaja. Penghormatan mereka tak dibuat-buat. Melihat ulah mereka, Sang Hyang Wenang hanya tersenyum.
“Ada apa Antasena, kok datang bawa pentungan segala seperti mau tawuran? Dan juga kamu Ismoyo, baru kali ini aku lihat wajahmu sangar kayak Pam Swakarsa nggak dapet bayaran gitu. Ada apa?” tanya Sang Hyang Wenang.
“Maapin gua, ada di rumah elu juga ada Bethara Guru
kek. Gua kesini memang nyari Bethara Guru. Menurut intel gua, dia kontrakan ini. Eh, ternyata bener juga. Tapi gua kagak tahu kalo disini,” jawab Antasena. Pandangannya kemudian dilayangkan pada dengan sengit.
“Hmm,” Ki Lurah Semar titisan Bethara Ismoyo memulai jawabannya setelah berhasil menurunkan tensinya, “saya kira kan paduka sendiri tahu apa sebabnya saya kemari. Kalo bukan lantaran para putra Pandawa asuhan saya yang lagi dibikin susah sama Bethara Guru, saya nggak bakalan sampai kemari. Di jalan tadi saya diajak sama Antasena, yang katanya telah menemukan lokasi Bethara Guru dan mau minta pertanggung jawabannya. Nah, saya ikut aja sekalian.”
Suasana di dalam rumah hening. Hanya suara-suara penduduk kampung saja yang terdengar berisik dan gaduh di luar. Mereka ingin tahu apa yang sedang terjadi dalam rumah kontrakan itu. Selain itu masih ditambah datangnya para pedagang kaki lima, yang pandai sekali membaca situasi dan memanfaatkan kerumunan umum.
“Memang Bethara Guru memintaku datang kemari,” kata Sang Hyang Wenang tiba-tiba. “Ada sesuatu yang ingin disampaikannya kepada kalian. Nah, Bethara Guru, silahkan kamu ungkapkan apa yang ada di benakmu saat ini.”
Dengan sedikit salah tingkah Bethara Guru berkata: “Begini, nak, Antasena. Aku mengaku salah telah mencelakaimu. Aku sadari itu semua karena arogansiku pada kekuasaan. Selain itu, aku berusaha menuruti
kemauan keluargaku, terutama anakku Dewa Serani, tanpa memandang patut atau tidaknya tindakanku itu. Karena itu aku sekarang minta maaf kepadamu, nak. Begitu juga aku minta maaf kepadamu Ismoyo, atas kesalahpahaman yang telah terjadi.”
Antasena tak mampu berkata-kata. Biar ia seorang pemberani dan sedang dalam keadaan emosi, toh luluh juga hatinya mendengar kata minta maaf itu. Dan nampaknya diungkapkan dengan sejujurnya oleh yang mengatakannya. Begitu juga Semar hanya mesam-mesem, namun dengan raut muka puas.
“Nah, Antasena dan Ismoyo, Bethara Guru sudah mengakui kesalahannya. Dengan demikian maafkanlah dia. Jadi tak usah ada lagi dendam. Dia telah menunjukkan kembali kebesarannya sebagai pemimpin. Yah, para pemimpin pun kalau sudah terlalu lama berkuasa akan sulit mengucapkan kata maaf. Mereka mengira bahwa tindakannya selalu baik dan disetujui semua orang. Karena kedudukan mereka sudah terlalu tinggi sehingga kuping mereka kadang sulit untuk di raih oleh rakyat yang membutuhkan pengaduan dan keluh kesah. Mata mereka selalu menengok ke atas hingga lupa bahwa mereka sedang menginjak yang di bawah...”
Mendengar nasehat-nasehat selanjutnya yang cukup tajam, Bethara Guru hanya menunduk diam. Menekuri penyesalannya sendiri. Tapi kemudian ia sempat kaget bagai disambar petir waktu terlempar ucapan Sang Hyang Wenang: “...nah, biarpun kejadian ini nantinya bukan yang terakhir kalinya, tapi mungkin baik bagimu, Bethara Guru, kalau sebelum bertindak berpikirlah dengan panjang. Dan juga sering-seringlah instrospeksi dan belajar dari pengalaman.”
“Baik, paduka,” sembah Bethara Guru sambil menangkupkan kedua tangannya di atas jidat.
“Sedangkan bagimu, Antasena,” sabda Sang Hyang Wenang selanjutnya, “karena Bethara Guru sudah meminta maaf dan mengakui kesalahannya, maka urusan ini aku anggap sudah selesai. Pulanglah kembali ke rumah. Temuilah istrimu karena kamu sudah diberi berkah kelanggengan dalam berjodohan dengan Dewi Jenokowati. Sedangkan tahta Jonggring Saloka, sekarang juga kuminta untuk kau serahkan kembali kepada Bethara Guru. Tahta itu sudah menjadi haknya. Mengenai urusan Dewa Serani biar nanti aku yang menyelesaikan.
“Dan juga kau Ismoyo, kembalilah lagi kepada para kesatria sejati asuhanmu. Bantulah mereka mengurai kekusutan yang tengah terjadi di dunia.”
Hampir bersamaan Antasena dan Bethara Ismoyo menjawab: “Baik, kek! Baik, paduka!”
Bersama dengan jawaban kesanggupan itu, lenyaplah sosok Sang Hyang Wenang. Tak ada bekas maupun aromanya yang tersisa. Lenyap bagai lebur dalam udara.
Pada akhirnya, kehidupan alam berjalan pada porosnya masing-masing lagi. Kawah Candradimuka kembali tenang tak bergejolak. Gempa dan bencana alam telah berhenti. Kekusutan dunia telah terurai. Para mahkluk hidup dengan aman, damai dan sentosa. Namun, dibalik semua itu, nafsu angkara masih mengintai dibalik tiap jiwa-jiwa. Siap melepaskan amuknya jika si empunya tak mampu mengendalikannya.
(Tamat)
Document Outline KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAK1.pdf KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAK29.pdf