MIMI LAN MINTUNA, Trafiking Perempuan Indonesia: Tinjauan Multikulturalisme Karya Remy Sylado Oleh Turita Indah Setyani Tugas Mata Kuliah Multikultural Ibu Edwina Mimi lan mintuna adalah kata-kata khas Jawa, yaitu tansah runtung-runtung atau ora pisah-pisah1, yang berarti senantiasa bersama, ke mana dan di mana pun bersama yang tidak terpisahkan. Bila diandaikan dalam kehidupan suami–istri, hal itu dimaksudkan bahwa hubungan suami-istri selalu dalam kebersamaan yang tak terpisahkan. Atau lebih luas lagi misalnya dalam hubungan persahabatan, persaudaraan, teman seperjalanan, orang tua–anakanaknya, atasan–bawahan, bahkan hubungan manusia–alam semesta (mikrokosmos dan makrokosmos), manusia–Tuhan, dan lain-lain. Pada dasarnya hubungan apapun konsepnya adalah senantiasa adanya kebersamaan yang tak terpisahkan. Untuk menjaga kebersamaan yang tak terpisahkan itu, maka hidup selaras, serasi, seimbang pun harus dijaga, agar keharmonisan dalam kebersamaan itu dapat dicapai. Demikiankah yang terjadi dalam cerita Mimi lan Mintuna karya Remy Sylado? Bila membaca judul karya tersebut, kita berpikir bahwa kita akan dibawa ke dalam cerita yang berlatar budaya Jawa. Namun setelah membaca ceritanya, ternyata cukup banyak latar tempat yang termuat di dalam ceritanya, tidak hanya di Jawa Tengah (Semarang, Ungaran, Muntilan, dan sekitarnya) dan Jawa Barat (Jakarta, Bandung, Bogor), tetapi juga di luar Jawa (Menado dan Minahasa), bahkan di luar Indonesia (Malaysia, Singapura, Bangkok, Muang Thai, Hongkong, Tokyo), sehingga tuturan bahasa dari masing-masing tempat pun terkadang muncul dalam pembicaraan sang tokoh di dalam cerita. Dengan sendirinya berbagai peristiwa yang diceritakan pun berkaitan dengan orang-orang dari berbagai etnis dan suku bangsa yang berasal dari daerah-daerah tersebut. Selain itu, melihat subjudul yang tertera, maka kita pun telah diarahkan bahwa cerita berisi tentang trafiking perempuan, berarti termuat relasi kuasa yang memperlakukan perempuan sebagai objek. Dengan kata lain, dalam Mimi lan Mintuna, Trafiking Perempuan Indonesia terdapat berbagai identitas yang digambarkan, terutama identitas gender. Oleh karena itu, cerita tersebut menarik untuk dikaji berdasarkan tinjauan multikultural. Dari sekian banyak identitas yang digambarkan, identitas gender yang paling menonjol, sehingga dalam tulisan ini hal itulah yang akan dibahas. 1
Poerwadarminta, W.J.S. Baoesastra Djawa. Batavia: Kaetjap ing Pangetjapan J.B. Wolters‟ Iutgevers Maatschappij N.V. Groningen. 1939: 316.
1
Sebelum masuk ke dalam pembahasan tentunya perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan multikulturalisme? Awal timbulnya wacana multikulturalisme mengutamakan sarana untuk membangun toleransi atas adanya keragaman, tetapi definisi tentang multikulturalisme sendiri tampaknya
pun masih beragam, karena masih
diperdebatkan. Sebagai sebuah terminologi, multikulturalisme kadang agak membingungkan karena ia merujuk secara sekaligus pada dua hal yang berbeda: realitas dan etika atau praktik dan ajaran. Sebagai realitas atau praktik, multikulturalisme dipahami sebagai representasi yang produktif atas interaksi di antara elemen-elemen sosial yang beragam dalam sebuah tataran kehidupan kolektif yang berkelanjutan. Sebagai sebuah etika atau ajaran, multikulturalisme merujuk pada spirit, etos, dan kepercayaan tentang bagaimana keragaman atas unit-unit sosial yang berciri privat dan relatif otonom itu, seperti etnisitas dan budaya, semestinya dikelola dalam ruang-ruang publik. Dalam masyarakat-masyarakat yang memiliki kesempatan untuk berevolusi melalui perubahan sosial yang panjang dan bersifat gradual, multikulturalisme (dengan nama yang sama atau yang lain) sering merupakan hasil dari sebuah proses sosial yang terjadi. Dengan kata lain, sejarah yang panjang telah menghasilkan sebuah tatanan kolektif yang memungkinkan di satu pihak keragaman mendapatkan ruang untuk berkembang dan di pihak lain memungkinkan integrasi sosial di tingkat yang lebih tinggi dapat terpelihara2. Dalam masyarakat semacam ini, multikulturalisme sebagai sebuah ideologi adalah hasil dari sebuah logika yang dibangun dari realitas sebuah masyarakat majemuk. Yang didobrak ideologi multikulturalisme di antaranya yaitu masalah identitas, seperti isu “gender” yang justru menghadirkan kembali esensialisme perspektif gender, di mana perempuan belum sepenuhnya diterima sebagai seutuhnya seorang manusia yang memiliki kesetaraan dengan laki-laki, dalam budaya dan atau di sisi hukum misalnya. Oleh karena itu, diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas dari diskriminasi, dalam hal ini terutama terhadap perempuan. Mengapa perempuan? Dalam tatanan kehidupan perempuan menjadi bagian dari kelompok yang tidak diuntungkan, karena mereka miskin, terbelakang, berasal dari ras, etnik, dan agama minoritas3. Selain itu, relasi kuasa antara perempuan dan orang-orang di
2 3
Daniel Sparringa. Universitas Airlangga. Komunitas Indonesia untuk Demokrasi. Surabaya: Pustaka KID. Tong, 1988; Harding, 1987; Moore, 1998; Shiva & Mies, 1993; Rosaldo, 1974 (dalam kuliah Teori Kebudayaan)
2
sekitarnya, termasuk suami, kerabat (otoritas adat) sampai elite kekuasaan di pemerintahan, menghalangi perempuan mendapat akses kepada keadilan4. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, karya Remy Sylado akan dilihat bagaimana perempuan terkondisikan dalam kehidupan yang digambarkannya. Sesuai dengan judul cerita, termuat konsep kebersamaan. Tentunya dalam konsep kebersamaan terkandung makna kesetaraan. Namun sekaligus juga terdapat sisi-sisi perlakuan ketidakadilan terhadap perempuan, perempuan dijadikan sebagai objek atau barang dalam trafiking. Ada baiknya di sini dikutipkan sinopsis cerita yang dicantumkan di halaman sampul belakang untuk sekedar memberikan gambaran inti cerita. Indayati, asal Gunung Pati, Ungaran, diperdaya oleh sindikat pedagang perempuan internasional. Ia diiming-imingi main film di Bangkok. Ibu muda itu bersama beberapa gadis belia, termasuk adik sepupunya, Kalyana yang baru berusia 16 tahun, dipaksa menjadi model dan bintang film porno sekaligus pemuas nafsu lelaki hidung belang. Dia digelari Waca Waka „Wanita Cantik Wajah Kampung‟, sebutan bagi primadona bursa seks di Bangkok, Hongkong, hingga Tokyo. Petruk–panggilan ejekan buat Petrus, suami Indayati–ditembak di dada oleh pembunuh bayaran. Ia lolos dari maut, preman kampung ini bertobat dan bertekad mencari istrinya hingga ke ujung dunia untuk menebus sikapnya yang suka main pukul. Ternyata yang harus ia hadapi bukanlah penjahat kelas teri, malainkan kelompok bandit yang licin dan kejam. Sanggupkah mereka mengatasi segala rintangan itu? Dapatkan mereka bersatu kembali?
Membaca sinopsis di atas, jelaslah bahwa yang menjadi tokoh dalam cerita tersebut adalah Indayati dan Petruk, suami-istri yang telah kehilangan mimi lan mintuna-nya. Pada awal cerita indayati mengalami depresi atas kekerasan yang dilakukan oleh suaminya sendiri. Untuk melepaskan tekanan tersebut, akhirnya ia beserta anaknya meninggalkan rumah dan akhirnya ikut pamannya tinggal di Menado. Setelah selama satu bulan di Menado, ia berpikir ingin bekerja. Bertepatan dengan keinginannya, ia mendapat tawaran untuk menjadi bintang film. Sebenarnya ia tidak tertarik sama sekali dan memutuskan untuk tidak berangkat ketika segalanya sudah dipersiapkan oleh pihak sindikat. Namun karena Kalyana telah berada di hotel tempat berkumpulnya para calon bintang itu, Indayati terpaksa pergi ke sana untuk menjemputnya pulang. Kesempatan tersebut digunakan oleh para sindikat untuk menjebak Indayati. Pada saat ia sampai di hotel tersebut, ia langsung dibius dan dibawa ke bandara hingga akhirnya sampai di Bangkok. Dari sinilah dimulainya penderitaan yang dialami Indayati yang berada di dalam perangkap trafiking. 4
Sulistyowati Irianto. Kuliah Teori Kebudayaan, tanggal 19 Maret 2009.
3
Indayati dan Kalyana beserta beberapa perempuan lain yang telah berada dalam perangkap trafiking tersebut tak berdaya. Sebab sindikat pedagang perempuan internasional itu begitu profesionalnya menangani bisnis mereka, sehingga perempuan-perempuan yang sudah berada di tangan mereka tidak mungkin dapat ke luar dari sarangnya. Untuk memutus hubungan kedua saudara itu pun, Indayati dan Kalyana dipisahkan tempatnya. Selain itu, dengan berbagai cara sindikat melakukan “cuci otak” terhadap perempuan-perempuan yang telah menjadi “barang jualannya”, sehingga mereka akhirnya menjalani profesinya sebagai pemain film porno dan pemuas nafsu laki-laki. Dalam cerita tersebut, perempuan sungguh-sungguh dijadikan sebagai objek yang sangat tidak berharga. Mereka sama sekali tidak memiliki kebebasan atau kemerdekaan untuk melakukan sesuatu di luar aturan para sindikat. Bahkan mereka sama sekali tidak memiliki hak atas dirinya sendiri untuk melakukan apa pun di luar pekerjaannya. Dalam kehidupan sehari-harinya mereka senantiasa harus siap sedia diberangkatkan kepada para pemesannya. Hal itu sangatlah tidak manusiawi. Salah satu contoh tragis yang sangat tidak manusiawi itu justru dialami oleh Kalyana. Seorang lelaki bermain curang terhadap Sean PV, bos sindikat dengan menyatakan bahwa Kalyana sudah tidak perawan ketika “dipakai”, padahal ia memesan seorang perawan. Karena Kalyana merasa terdesak dan ingin melepaskan diri dari kungkungan para sindikat tersebut, meskipun ia masih perawan, ia justru mengatakan yang sebaliknya. Ia membenarkan apa yang dikatakan oleh pemesan itu, namun tidak dinyana, Kalyana langsung ditembak di kepalanya dan wafatlah. Indayati tidak mengetahui peristiwa itu. Sebagai seorang perempuan Jawa, dalam menjalani hidupnya tersebut, akhirnya ia hanya pasrah dan nrima. Perempuan seperti Indayati seakan sudah tidak berharga, meskipun pada akhirnya ia mengalami sesuatu yang membahagiakan, namun liku-liku perjalanan hidupnya penuh dengan penderitaan dan perjuangan untuk tetap berusaha melepaskan diri. Pertama, setelah ia menikah, ia harus berhenti bekerja atas larangan suaminya. Petruk memang tipe lelaki Indonesia tradisional yang mempertahankan nilai-nilai hidup „zaman dulu‟ yang sudah kadaluwarsa, bahwa perempuan adalah semata-mata konco wingking yang tempatnya di memasak dapur (ngiris-iris brambang5),
membersihkan rumah: nyulak-nyulaki6 kursi,
nyapu-nyapu7 teras, ngosek-ngosek kakus8, dan lain-lain9. Kedua, perlakuan kekerasan dari
5
Bahasa Jawa ngiris-iris brambang adalah memotong tipis-tipis bawang merah. Bahasa Jawa nyulak-nyulak adalah membersihkan perabot rumah dengan kemoceng (bulu ayam). 7 Bahasa Jawa nyapu-nyapu adalah membersihkan dengan sarana sapu. 8 Bahasa Jawa ngosek-ngosek kakus adalah membersihkan/menggosok wc dengan sikat. 6
4
Petruk ketika ia mengalami depresi karena diPHK dan menjadi pengangguran, dan sering mabuk-mabukan. Ketiga, setelah masuk dalam perangkap trafiking, Indayati dijadikan sebagai objek, barang dagangan yang dijual untuk membuaskan nafsu kebinatangan laki-laki. Ia tak berdaya, seperti ketika pertama kali ia melaksanakan tugasnya, ia merasa harkatnya sangat terhina. Bos bangkir yang memesannya bertampang seperti kunyuk „monyet‟. Dia berontak mati-matian, bukan sebab lelaki itu jelek, tetapi memang karena tidak sanggup, dan akibatnya ia disiksa, kaki dirantai, dikurung di ruang gelap, tidak dikasih makan kecuali pilpil. Dalam keadaan seperti itu, biasanya Indayati menjadi bengong, ngalamun, membayangkan masa lampau yang susah, masa kini yang sulit, dan masa depan yang tidak diketahuinya10. Keempat, Indayati semakin tak berdaya bahkan pasrah dan nrimo setelah pihak sindikat mencuci otaknya, seperti yang dikatakan oleh Sean PV di bawah ini: “Sebetulanya apa yang membuat kamu menganggap seks, koitus, bahkan fornikasi itu janggal? Apa? Justru dengan itu kamu mesti merasakan lepas dari ingatan-ingatan buruk atas hatimu pada suamimu. Suami pemabuk memang harus dihukum. Kamu tidak perlu memukul dia atau membunuh dia. Dengan kamu bersenang-senang bersama laki-laki lain yang menyukai kamu, kamu sudah membalas sakit hatimua itu” “Kamu masih kenceng. Lihat dirimu! Kamu bisa dapat uang banyak. Tubuhmy itu berharga. Artinya dipasang harga tinggi pun banyak yang mau membayar. Semua yang melihat film kamu itu begitu bergairah, ingin bercinta dengan kamu”. “nah, coba kamu bayangkan. Orang yang ingin bercinta dengan kamu itu menyediakan uang untuk kamu. Sementara dengan suami pemabuk kamu bukannya dapat uang tapi malah dapat siksaan. Pikirlah itu Indayati” (Remy Sylado, 2002: 139).
Setelah mengalami “cuci otak”, sekali pun Indayati berusaha kuat untuk membentengi akal sehatnya, namun dikalahkan oleh hatinya yang akhirnya menyerah pada keadaan. Sebab setiap kali ia berupaya untuk mengatakan tidak, maka urusannya akan “celaka”, diseret ke ruang gelap, disiksa, tidak diberi makan, kecuali secangkir teh untuk minup pil-pil yang disodorkan kepada dirinya11. Oleh karena itu, ia pun hanya pasrah dan bahkan nrimo diperdayakan sedemikian rupa, meskipun ia tidak rela dirinya diperlakukan sebagai barang12. Terutama ketika ia harus menjalani operasi plastik atas permintaan pelanggan tetapnya, Thanh-Dam kepada pihak sindikat, agar wajah dan payudaranya dimuluskan kembali dari akibat bekas luka-luka sisa perlakuan kekerasan suaminya 13. Hal itu semakin memperlihatkan bahwa perempuan sebagai objek “barang dagangan” haruslah terlihat cantik, mulus, dan
9
Sylado, Remy. Mimi lan Mintuna, Trafiking Perempuan Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2002: 9). 10 Ibid. 2002: 137. 11 Ibid. 2002: 140. 12 Ibid. 2002: 143. 13 Ibid. 2002: 147.
5
sensual. Namun justru karena ia memiliki pelanggan tetap itu, ia mendapat kesempatan dan mulai berusaha agar dapat melepaskan diri. Ia berhasil mohon pertolongan Thanh-Dam untuk mengirimkan suratnya kepada bulik dan paklik-nya di Menado. Akhirnya, setelah sindikat tersebut berhasil dibekuk oleh pihak berwajib, maka terselamatkanlah Indayati dari penderitaan yang berkepanjangan bersama perempuanperempuan lain yang bernasib sama. Dan Indayati dapat bertemu kembali dengan suami dan anaknya beserta keluarganya. Mereka dapat menerima kehidupan yang mereka alami sebagai sebuah pembelajaran. Seperti kata-kata yang diucapkan oleh ayahnya bahwa: “Kesalahan memang bisa melahirkan kejahatan. Semua bersumber pada keputusan hati sendiri. Jadi jangan menyalahkan orang lain. Sebelum menyalahkan orang lain, tilik dulu kesalahan sendiri. Untuk semua hal, yang penting adalah berpikir dan bertindak samadya-nya. Dengan memilih jalan itu, hidup manusia akan selalu laras” (Remy Sylado, 2002: 281-282).
Kata ayah mertuanya yang takkan dilupakan Indayati sepanjang hidupnya adalah: “Doa bapak-ibu dulu itu agaknya sudah dikabulkan Tuhan. Kami selalu berharap, dan tidak putus berdoa, supaya Tuhan mempertemukan kembali kalian berdua. Sebab bapak-ibu tahu, setiap manusia yang sudah dijodohkan dengan janji setia di bawah hadirat ilahi, tidak boleh dipisahkan oleh siapapun atau apapun. Manusia mesti belajar itu dari ‘mimi lan mintuna’.” “Kalian tahu ‘mimi’ itu adalah ‘unam’, sejenis siput laut, dan ‘mintuna’ itu adalah ‘belangkas’, sejenis ketam berekor. Mereka yang berbeda jenis ini bisa saling rukun „bercinta‟ dan tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Kalau mimi hilang, tertangkap manusia, atau mati, pasti mintuna mencarinya, dan kalau tidak ketemu dia akan sengaja membiarkan dirinya mati di pasir pantai.” “Lihatlah, sungguh setianya mimi terhadap mintuna, dan sebaliknya. Kesimpulannya, sedangkan hewan yang Cuma punya naluri bisa setia dalam berpasangan hidup, apalagi semestinya manusia yang memiliki akal-budi, nalar, dan hati” (Remy Sylado, 2002: 282-283).
Wejangan tersebut disampaikan oleh kedua ayahnya sebagai orang Jawa yang memiliki pegangan dan pedoman hidup seperti mimi lan mintuna. Mereka pun berharap keluarganya memiliki pemikiran yang sama, karena dengan hal itu maka kebersamaan di dalam kehidupan akan selalu dapat dijaga dengan adanya keselarasan dari masing-masing yang saling timbal balik di antara sesamanya. Tidak ada saling menyalahkan dan lain-lain. Apabila terjadi sesuatu yang tidak bersesuaian, hendaknya koreksi diri untuk dapat melihat kesalahan lebih pada diri sendiri, dan memperbaikinya demi terjaganya kebersamaan yang kuat. Berdasarkan pembahasan tentang cerita Mimi lan Mintuna, Trafiking Perempuan Indonesia ini, kita mendapatkan pengetahuan bahwa setiap manusia hendaknya dapat memperbaiki dirinya masing-masing, hingga dapat menyelaraskan diri terhadap lingkungan, agara kebersamaan yang tenang dan damai dapat tercapai. Jika tidak, maka masing-masing akan memperoleh penderitaan sesuai apa yang pernah diperbuatnya, terutama terhadap 6
perempuan, dapat mengalami sesuatu yang sangat membuat dirinya tidak berharga, seperti yang dicontohkan dengan peristiwa Indiyati sebagai objek trafiking. Peristiwa women trafficking semacam itu sangatlah merendahkan makna perempuan. Mereka tidak hanya tidak memiliki kebebasan bertindak, namun bahkan tidak memiliki hak sama sekali atas dirinya. Hal itu masih terjadi di negeri ini, yang tidak mudah dibinasakan kehidupannya, karena banyak pihak yang terkait untuk menyelesaikan masalah tersebut. Bagaimana komunitas-komunitas, gerakan-gerakan perempuan, LSM-LSM yang berjuang dalam kegiatan-kegiatan untuk melepaskan penderitaan perempuan dapat memiliki keberhasilan? Hal ini perlu penelitian lebih lanjut. Namun perlu juga dipertanyakan tentang gerakan multikultural, apakah menyentuh sampai pada persoalan semacam inikah atau tidak. Karena sepanjang pengetahuan dalam perkembangan gerakan tersebut, di Indonesia adalah masih terbatas pada persoalan-persoalan tentang toleransi terhadap keragaman di berbagai bidang, pendidikan, kelompok etnis, isu “putra daerah” misalnya. Untuk itu, masih dibutuhkan perjuangan panjang agar memperoleh keberhasilan sesuai yang dimaksud dengan konsep multikulturalisme itu sendiri.
7