Maafkan Emak, Sri.. Karya: Shei Sri melenggang lemas menuju ruang guru tempatnya memenuhi panggilan Bu Astuti, wali kelasnya untuk diminta meluasi SPP yang sudah menunggak 6 bulan lebih. "'Sri, kalau sampai bulan depan SPPnya belum kamu lunasi, dengan sangat berat hati, Ibu tidak mengizinkanmu mengikuti Ulangan Umum." Ibu Astuti juga menampakkan raut muka penyesalan. Sri hanya tertunduk. “Uang beasiswa, Bu..” Ia teringat akan beasiswanya. “Sudah habis, Sri..untuk membayar seragam sekolah dan buku-buku” Bu Astuti menjelaskan, Sri kembali terduduk lemas. Bisa apa lagi dia, selain belajar giat untuk mendapat beasiswa prestasi yang sudah tentu supaya biaya sekolahnya lebih ringan. Tapi semua juga ada batasnya, dan inilah akhir dari beasiswa tahunan Sri, ia harus berprestasi kembali supaya bisa meraih beasiswa berikutnya. Selain dari uang tersebut, ia tentu tidak akan tahu dengan apalagi harus membayar kebutuhannya, terutama sekolah. Ibunya hanya janda miskin dengan 3 anak yang masih bersekolah. Beruntung, adiknya yang paling kecil, Asih masih balita, jadi tidak perlu pusing memikirkan biaya pendidikan. Untuk saat ini tentunya, tapi, pada akhirnya, Asih juga akan bersekolah. “Eh, Sri..mau pulang? Bareng yuk!” Ani melambai pada Sri dari dalam Honda Jazznya. Sri yang merasa minder dan malu untuk menunjukkan gubuk reotnya pada teman-temannya menolak ajakan Ani. “Enggak, mau mampir ke Bulek dulu..” ia berbohong. Padahal, ia harus berjualan koran sore yang didapat dari tetangganya, seorang agen majalah. Begitulah keseharian gadis SMA itu. “Oh, kalo gitu duluan ya!” pamit Ani sopan, meski dari kalangan berada, ia tidak sesombong kembarannya, Tasya, yang selalu memamerkan harta kepada siapapun supaya terlihat keren. *** Tentu saja, ritual harian Sri kembali dimulai, berjualan Koran untuk memenuhi kebutuhan lainnya, makan! “Koran, Mas?” ia menawarkan Koran pada seorang mahasiswa gondrong yang tampaknya sedang menunggu bus kota. “Berapa?” “Seribu rupiah…” sahut Sri semangat. “Nih..” Akhirnya, Koran Sri laku juga. Sungguh sulit mendapatkan penghasilan maksimal dengan 100 eksemplar Koran yang dijual di sore hari. Paling bayak, hanya laku 40 eksemplar saja. Tapi lumayan, setidaknya, bisa untuk makan keluarganya hari ini. *** “Assalamualaikum, Mak..” Setelah berjualan Koran, ia baru pulang kerumah. “Waaalaikumsalam..kok malam Sri?” Emaknya melirik jam dinding tua yang menempel di sudut tembok. “Iya, tadi Koran Sri laku banyak, Mak..” Ia menjelaskan.
“Alhamdulilah..ya sudah, sekarang makan dulu ya..” Emaknya menyiapkan sebakul nasi lengkap dengan ikan teri dan sambelan di cobek retak yang dihidangkan di meja makan. “Wah, Emak dapat uang banyak ya? Makannya ikan!” Sri mencoba menebak. Emaknya tersenyum “Ikan apa? Ini kan teri!” “Tapi tetap ikan, Mak…bergizi, kalsiumnya tertinggi kedua setelah susu skim loh!” kilahnya, Emaknya tertawa kecil tapi juga menyimpan kesedihan mendalam untuk putri sulungnya itu. Meski tidak menampakkan kegundahannya, Emak Sri tahu bahwa ada yang disembunyikan buah hatinya itu. Tapi, ia tidak berani menanyakannya, karena pasti hanya akan membuat sakit hati. Apalagi kalau tidak berhubungan dengan uang. “Tadi nyuci dimana saja, Mak?” “Bu Kaji Romlah, sama Pak Arfat,” jawab Mak sembari menyuapi,Asih yang juga ada dipangkuannya. Emak Sri bekerja sebagai buruh cuci, tapi kali ini merangkap jadi pembatu rumah tangga di rumah Bu kaji Romlah karena kebutuhan yang harus dipenuhi juga melonjak. “Loh, Sita mana?” Sri menanyakan adiknya yang masih duduk di bagku SD. Ia tidak melihat Sita sama sekali semenjak kepulangannya tadi. “Sita? Masih dirumah Bu Giono, ada les gratis disana,” kali ini, Emaknya membereskan meja makan lapuk itu dan membawa piring-piring kotor ke dapur. “Saya cuciin, Mak..” “Ndak usah, kamu belajar saja..” Sri menurutinya dan segera beranjak ke kamarnya, sebuah kamar kecil dengan lampu tempel yang tergantung agak jauh dari kasurnya, menghindari kebakaran. Mungkin penerangannya tidak memadai, karena Emaknya tidak bisa membayar rekening listrik sejak beberapa tahun yang lalu, maka ia harus menggunakan lampu tempel sebagai penerangan. “Uhuk..Uhuk….” Emaknya batuk-batuk, Sri yang mendengarnya terkejut. “Mak sakit?” Tanya Sri khawatir. “Sakit? Tidak, batuk biasa..” Emaknya mengelak. “Sri saja yang nyuci ya, Mak?” “Sudah selesai kok, nduk…” Mengetahui tidak ada yang perlu dikerjakan lagi, Sri pun kembali ke kamar. *** Tok..Tok.. Terdengar pintu diketuk. Sita dan Sri sudah berangkat ke sekolah, maka Emaklah yang membukakan pintu. “Permisi..” “Iya? Nyari siapa, mas?” “Ibu Temi ya? Ini saya menyampaikan SP dari Dens Real Estate yang akan mengosongkan bangunan diatas tanah ini, karena tanah ini diklaim milik keluarga Pak Ropik,” Pria berbaju coklat itu menjelaskan secara singkat isi dari Surat Peringatan tersebut. “Iya, saya Temi, anaknya Pak Ropik,” sahut Emak heran, Bapaknya memang menikah lagi dengan wanita lain setelah ibu kandungnya meninggal. Dan ternyata, ibu
tirinya itu memanipulasi warisan yang seharusnya atas nama Emak menjadi beralih padanya setelah kematian orang tua terakhirnya itu “Tapi,ini memang hak saya, Mas..Bapak mewariskan tanah ini kepada saya!” Mata Wanita paruh baya itu berkaca-kaca. Kurir yang tampak tak tahu menahu mengenai harta warissan itupun bingung. “Saya tidak tahu, Bu..saya cuma menyampaikan..” kemudian ia pamit dari hadapan Emak. “Ya Allah, cobaan apalagi ini? Kami harus tinggal dimana, Gusthi….” Emak terisak, Asih yang tidak tahu apa-apajga ikut menangis menyerap kesedihan Emaknya. *** Emak kini harus megerjakan pekerjaan yang menumpuk dirumah Bu Kaji Romlah, masih dengan perasaan tidak enak, berpikir keras bagaimana supaya ia tidak tergusur dari gubuknya. Meski kecil dan tua, tapi gubuk itu menyimpan kenangan mendalam, sejak awal pernikahannya dengan almarhum suaminya, Emak sudah menempati gubuk tersebut. “Bu, kok melamun? Gosong nanti masakannya!” hardik Bu Kaji Romlah. Emak tersadar dan meminta maaf akan kelalaiannya. “Oya, Bu, tolong buatkan teh! ada tamu,” “Nggih, Bu..” Dengan segera,Teh yang diminta telah tersedia. Emak pun mengantarkan ke ruang tamu. Secara tidak sengaja, |Emak medengarkan pembicaraan Bu Romlah dengan tamu yang merupakan dokter pribadinya itu. “Apa, Dok? Cangkok ginjal?! Ginjal siapa?” Bu Romlah tak habis pikir. Dokter juga mengernyitkan alis. “Kita cari donor ginjal, Bu..” “Siapa yang mau hidup tanpa ginjal?” Bu Romlah menyangsikan solusi dokter tadi. “Impor dari Cina, Bu..tapi..” “Tapi apa |Dok? Bagaimana nasib saya?” “Ginjalnya sedang habis stoknya, kita harus menunggu,” jelas sang dokter. “Menunggu? Menunggu sampai saya mati?” “Ibu pasang poster di internet saja, mencari pendonor, beri hadiah, Bu!” “Hadiah?” “Iya, katakanlah 200 juta!” Emak tersentak mendengar kata-kata yang terakhir tadi. Uang! Itu yang sedang ia butuhkan. Untuk biaya hidup anaknya! Untuk membeli kembali tanahnya! “Ya sudah, saya berani bayar berapapun asal ada yang mau donor, pasang saja 500 juta! Pokoknya sesegera mungkin!” perintah Bu Romlah, dokter pribadinya itu manggut-manggut setuju. “Bu, permisi, ini tehnya,” Emak menyodorkan dua cangkir teh manis ke hadapan mereka. “Oh, makasih,”
“Maaf, Bu..” “Ada apa lagi? Mau ngutang?” Bu Romlah berburuk sangka. Memang Emak sering menghutang padanya, tapi tentu bukan pada situasi seperti saat ini. “Bukan, anu..” “Anu apa?” “Donor tadi…” Bu Romlah terkesiap. “Kenapa?” “Saya bersedia, Bu..” Mereka berdua terkejut. “Bu, ini bukan main-main!” Dokter memperingatkan. “Ibu kan masih punya anak-anak, siapa yang mengurus mereka?” Bu Romlah tidak yakin akan keputusan tetangganya itu. “Bisa saya titipkan ke saudara, Bu..saya butuh uang, rumah saya mau digusur, anak-anak saya butuh biaya sekolah, tolong, Bu.” Emak terisak dihadapan keduanya. Setelah mempertimbangkan, akhirnya Emak pun diminta datang ke Rumah Sakit Harapan untuk mengetes apakah ginjal mereka berdua padu. *** “Assalamualaikum, Mak…” Sri dan Sita datang bersamaan, kebetulan, setelah Sri selesai berjualan Koran, Sita juga telah menyelesaikan PRnya di rumah Bu Giono. “Waalaikumsalam.. Ayo, makan semuanya..” “Hm, tempe penyet! Wah, enak sekali!” Sita melonjak-lonjak kegirangan. Emaknya merasa puas telah menyenangkan buah hatinya, setidaknya untuk yang terakhir kalinya, mulai besok, ia harus mengikuti teas di RS. Dan kalau memang cocok, cangkok ginjal pun segera dilaksanakan. Otomatis, nyawa pun menjadi taruhan karena tidak banyak yang bisa hidup dengan satu ginjal. “Nduk, Emak titip adik-adikmu ya..” ”Ah, Emak, kayak mau kemana saja.” Sri menganggap Emaknya sedang bercanda, dalam hatinya, Emak menangis. “Pokoknya, Emak pengin kalian rukun-rukun ya..” ‘Praaaang’ Piring Sri terjatuh. “Duh, awas Sita, Asih, jangan turun dari kursi dulu!” Ia pun mengambil sapu dan cikrak, lalu menyingkirkan serpihan kaca itu. Mungkin ini merupakan pertanda buruk. “Ya sudah, sekarang belajar dulu, Sri..Sita dan Asih tidur ya, nduk..” Emaknya menyarankan, mereka menurut. *** ‘Assalamualaikum,” Sri pulang, kali ini ia tidak berjualan Koran dikarenakan Mas Romli, pemilik agen sedang berlibur selama 2 hari. “Mak..” ia memanggil-manggil Emaknya, namun tak ada sahutan. “Permisi, Mbak..Bu Temi ada?” tiba-tiba ada seorang Pria berjas hitam dengan tulisan Dens Real Estate employee mendatanginya. “Ada apa ya?” Sri tidak mampu menebak-nebak siapa gerangan yang mencari Emaknya.
“Saya dari Dens Real Estate ingin memberitahukan bahwa rumah ini tidak jadi digusur,” “Maksudnya?” “Iya, ternyata, Bu Aini terbukti memalsukan surat wasiat Pak Ropik, kemarin Beliau ditangkap polisi atas tuduhan pemalsuan dokumen.” Pria itu menjelaskan panjang lebar, Sri sedikit paham, karena pria itu menyebutkan nama almarhum kakeknya. “Jadi, kami tidak jadi digusur?” tebak Sri, Pria itu menagngguk, menyerahkan surat konfirmasi lalu beranjak dari kediaman Sri. “Emak kok tidak bilang?” Sri berdesis, iapun berinisiatif mendatangi Emaknya kerumah Bu Kaji Romlah. “Assalamualaikum…” Sri menggedor-gedor pintu. Namun, respon sama yang didapat. Tidak ada yang membukakan pintu itu. “Emak kemana sih?” Sri heran, tak lama, Bu Deden memanggilnya. “Nduk, Emakmu sama Bu Kaji pergi ke Rumah Sakit!” “Loh, ada apa ya, Bu?” “Ndak tau, saya diceritani Si Mbok tukang sayur tadi, gosipnya sih anu…mau…apa gitu lo..apa ya..” Ia mencoba mengingat-ingat. “Apa, Bu?” Sri jadi penasaran. “Pokoknya awalnya G…apa ya?” Bu Deden masih tidak ingat. “Jeng..Ya ampun, suami saya lo bego banget! Masa kena batu ginjal! Hahaha, sukurin! Biar gak ngabisin gula!” Bu Tuti, tetangga sebelah berteriak-teriak yang kemudian disumpahi suaminya supaya terkena penyakit yang sama. Sri terkikik. Bu Deden ikutan berteriak. “Oh..Iya! Cangkok Ginjal!” “Apa, Bu?” “Iya, katanya nih, Bu Kaji mau cangkok ginjal! Nah, ginjalnya Emakmu yang dibuat donor!” Kontan Sri tersontak kaget. “Cangkok ginjal? Ya Allah..Emak mau jadi pendonornya?” Kali ini ia benar-benar panik, ia tidak ingin Sita tahu dan ikutan bersedih. Asih ternyata ikut dibawa ke Rumah Sakit oleh Emak. Sri berpamitan pada Bu Deden dan Bu Tuti, ia segera pulang ke gubuknya. Yang hanya bisa Sri lakukan hanya berdoa, semoga Emaknya tidak apa-apa. Ingin sekali ia menemui Emaknya, tapi toh percuma, ia juga tidak tahu dimana Emaknya berada. Sri jadi teringat insiden ‘piring pecah’ tempo hari. Mengapa ia sampai tidak sadar bahwa sesuatu yang buruk benar-benar akan terjadi? “Hiks..” isak tangis menemaninya selama berdiam diri dikamar. Kemungkinan terburu kyang dibayangkan Sri adalah Emaknya akan pergi meninggalkannya untuk selamanya. *** “Assalamualaikum…” “Walaikumsalam..” Sri menyahut salam, ia mengira Sita yang memberi salam, begitu pintu dibuka..
“Emak?!” Sri terkejut sekaligus senang bahwa Emaknya tidk apa-apa, pelukan erat melingkar dipinggang wanita paruh baya itu. Emak bingung. ‘Kamu kenapa, Sri?” “Emak nggak apa? Alhamdulilalah!” Emaknya jadi tersadar sesuatu. “Kamu tahu Emak ke Rumah Sakit?” Sri mengangguk, masih dengan air mata berlinang di pelupuknya. “Emak nggak pa-pa..” Sri masih mendesiskan hal yang sama. Emak mengelus lembut rambut Sri, “Emak tidak apa-apa, nduk..Asih menahan Emak untuk tidak melakukan donor ginjal. Ia menangis keras ketika Mak mau masuk ruang operasi sampai seluruh Rumah Sakit gempar!” cerita Emaknya. Sri tersenyum kecil. “Lalu, Mak berpikir, daripada Emak mati, tapi meninggalkan kalian dan harta, lebih baik Mak hidup dan bekerja keras demi kalian. Meski hidup miskin seperti ini, Mak tidak ingin meninggalkan kalian, nduk..” Tangisan haru pun terpecah, mengiringi kembalinya Emak dari Rumah Sakit maut yang hampir saja merenggut nyawanya. “Mak tidak perlu berpikir keras, rejeki datang sendiri mak..” Sri membuka suaranya yang parau akibat menangis. Ia juga memberitahukan bahwa rumah mereka tidak jadi disita. “Alhamdulilah,” Emak melakukan sujud syukur diikuti anak-anaknya. “Kamu masih punya tunggakan di sekolah kan, Sri?” Tebak Emaknya jitu. “Tidak apa-apa , Mak, yang pasti, Sri masih bersyukur Emak masih bisa menemani Sri sampai sekarang,” lanjut Sri. “Iya…” Mereka berduapun memeluk erat satu sama lain. Saling membagi kehangatan kasih ditengah penderitaan dunia. “Assalamualaikum!” Sita berlari kecil kearah Emaknya. “Waalaikumsalam, Sita kok lari-lari?” “Emak! Emak! Sita dapat hadiah! Sita menang Lomba Matematika sekotamadya!” iSta mengacung-acungkan Trophy berikut papan bertuliskan BEASISWA 3 JUTA dari Dinas Pendidikan Kota Surabaya. Emaknya tidak sanggup berkata-kata, benar kata Sri, rejeki datang sendiri. Dengan uang itu, Sri bisa melunasi SPPnya, Sita juga bisa membayar uang sekolah yang selama ini menunggak bak bukit. “Alhamdulilah, Gusthi..” Tiba-tiba, Sri teringat sesuatu. “Mak, Bu Kaji Romlah bagaimana?” “Oh, iya, beliau jadi di donor ginjal jenazah impor dari China..” “Hiiiy, sereeem!” Sri bergidik. “Hahaha, ya sudah, ayo makan semuanya…” Emak menyiapkan nasi sebakul, lengkap dengan ikan teri, seperti biasanya. “Hm, enak…” Mereka menyantap hidangan itu dengan lahap. Tapi Kali ini terasa lebih nikmat.
TAMAT