LUKA SEMLAM Hasina binti harits CREDIT TITLE Judul : Luka Semalam Penulis : Hasina binti harits Penerjemah : Mata Malaikat Kompilasi ke dalam Ebook Mata Malaikat Ebook Publisher Sukabumi, Minggu, 15 Mei 2011 http://arzellita.wordpress.com DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.................. 01. DUNIA KEDUAKU............... 02. LUKA SEMALAM................ 03. RUMAH ITU DUNIAKU......... 04. SEGALANYA UNTUKMU....... 05. SEBUAH KEPULANGAN........ 06. SUATU KEMAAFAN............ 07. EPILOG........................... ULASAN NOVEL...................... BIBLIOGRAFI.........................
DUNIA KEDUAKU "Siappp...!!!" "Terima kasih, Bu." "Sama-sama. Jangan lupa siapkan tugas yang ibu berikan tadi." pinta Bu Halimah, wali kelas tempatku menuntut ilmu. "Baik Bu!!!" sahut teman-temanku sambil memberi sebuah senyuman dan diiringi dengan tawa kecil. Barangkali mereka sudah tidak sabar untuk pulang ke rumah atau bermain ke tempat lain setelah seharian lelah memeras otak di sekolah. Kadang-kadang aku ingin menjadi seperti mereka. Hidup mereka dipenuhi dengan kegembiraan. Alangkah bahagianya jika aku mampu menjadi seperti mereka. Kalau aku dapat keluar dari situasi ini, akulah manusia yang paling bahagia. Namun rasanya semua ini tidak akan terjadi. Mungkin apa yang telah aku lalui selama ini terlalu sulit atau aku yang terlalu takut untuk menghadapi kenyataan hidup ini. Apakah aku terlalu memikirkan tentang kehidupan yang belum pasti ini? Apa yang pernah terjadi dalam hidupku ini masih tidak dapat dilupakan? Apa aku seorang yang pendendam ataukah aku terlalu belajar dari setiap
kesalahan? Terlalu berat untuk ku menghadapinya. Apalagi untuk melupakannya. Apa yang telah tersurat untukku, aku terima seadanya, andai itu bisa mengobati hati ini. Kadang-kadang aku merasa terlalu letih untuk meneruskan kehidupan ini. Aku hanya berserah kepada-Mu Ya Allah. Andai inilah ketentuan-Mu. "Haaah?!!" Aku tersentak dari lamunan. Jantungku terasa bagai tercabut dari dudukannya ketika seorang sahabatku mengagetkanku. "Ah Ana, ngagetin aja. Untung aku ngak punya penyakit jantung. Hampir aja copot jantungku." Aku mengurut dada yang berdegup kencang. "Suruh siapa juga kamu melamun. Sampai nggak melihat aku datang. Lain kali ajak, ajak-ajak aku kalau mau melamun hahaha..." sahut Ana sambil tertawa renyah. "Mikirin pacar ya?? Hm rupanya dah punya cowok ya? Teganya kamu ngak cerita ma aku huhuhu." cibir Ana lagi. "Ah kamu... Nggak ada bosennya mengejekku. Siapa yang punya cowok?? Emangnya kamu yang tiada hari tanpa cowok. Aku ngak berminat ma cowok. Buang-buang waktu aja ngak ada maknanya." cibirku pada sahabat baikku itu. "Biasa...kan Orang cantik namanya juga. Ya harus punya cowok banyak lah hahaha." balas Ana "Emangnya kamu ngak ada yang naksir. Eh bukannya Mamat naksir kamu, atau hahaha??" lanjut Ana Kelas yang sunyi seketika menjadi berisik oleh gelak tawa kami. Kini hanya tinggal kami berdua saja di dalam kelas. Temanteman yang lain semuanya sudah pulang. "Ah kalo bercanda, pasti kesitu terus.Sudahlah? males aku ngeladeninnya." ucapku sambil mengambil tas dan melangkah meninggalkan sahabatku itu. Malas aku melayani cerita dongeng sahabatku itu. Makin dilayani makin panjang pula ceritanya. Aku tertawa sendiri di dalam hati. "Alaah... Janganlah marah adik manis. Aku cuma bercanda kok!! Tunggu aku Tina..!!" Aku hanya mencebikkan bibirku ke arahnya. Itulah Suhana Suhaimi. Sahabat baikku yang selalu menemaniku ke mana saja ku pergi. Dialah satu-satunya sahabat yang sangat memahamiku. Kami sudah seperti gula dan semut. Mungkin karena kami mempunyai kisah hidup yang hampir sama, pernah dilukai oleh orang yang disayangi. Kami menangis dan tertawa bersama. "Mau shalat atau makan dulu?" "Kita makan dulu lah.. Perutku dah keroncongan nich. Setelah itu, baru kita shalat. Tapi kita ke perpustakaan dulu, nyimpen tas." jawabku. "Oke, aku ikut aja. Dah telat nich.." Kami mempercepat langkah menuju ke perpustakaan. Langit kelihatan cerah sekali dengan awan-
awan yang berarak memecah kilauan panas mentari seperti ingin melindungi bumi ini dari pancaran teriknya. Aku tersenyuman kecil. Inilah duniaku. Dunia ciptaan Tuhan yang Maha Agung. Setiap hari selepas pulang sekolah aku selalu menghabiskan waktuku di perpustakaan hingga petang. Ana dan buku-buku di perpustakaan itulah yang menjadi teman setiaku. Dan aku adalah penunggu perpustakaan yang setia?
LUKA SEMALAM Hujan turun dengan derasnya menimpa dedaunan hijau dan terus jatuh memercik ke tanah gersang. Air itu mengalir membentuk aliran kecil seolah-olah sungai yang sedang mengalir lesu membawa sebuah epilog luka yang maha dalam. Langit yang terbentang luas tanpa tiang diwarnai dengan pancaran cahaya menakutkan bak kaca yang retak menjerit memecah gendang telinga. Kesunyian dan keheningan malam tenggelam dalam amukan itu. "Aku tetap dengan keputusanku. Kamu mau setuju atau tidak, itu bukan urusanku. Aku tetap akan menikah dengan Zaharah. Toh seorang lelaki diperbolehkan untuk menikahi lebih dari seorang perempuan. Kenapa kamu sulit menerima kenyataan ini, Noriah?" Bentak ayah dengan keras. "Kenapa Abang perlakukan saya seperti ini? Saya sudah mengorbankan segala-galanya hanya untuk mengabdikan diri kepada Abang. Saya layani abang bagaikan raja." bergetar suara umi. Matanya berkaca. Pipi tergenang oleh air mata. Aku hanya bisa meperhatikan dari dalam kamar. Ada titisan jernih yang mengalir di pipiku. Pedih hati ini. Kata-kata itu cukup menusuk jiwa wanita yang amat aku sayangi itu. Aku tau perkataan ayah itu menorehkan luka yang maha dalam bagi Ummi. Setiap butir katanya menusuk jantungku, mengundang bara bagiku, menerkam setiap sudut perasaanku. "Kalau Abang tak mau mempedulikan perasaan saya, Abang fikirkanlah perasaan anak-anak kita. Saya tak ingin anak-anak kita terluka. Cukuplah abang yang mengecewakan kami selama ini. Jangan Abang tambahkan lagi kebencian anak-anak. Mereka sudah cukup kecewa dengan sikap Abang. Jangan Abang tambahkan lagi racun dalam diri mereka." luap Ummi dengan penuh kekecewaan. Ahh.... betapa besarnya kasih Ummi kepada anak-anaknya. Apakah ayah tidak mempunyai perasaan sedikitpun? Hatiku merintih pilu. Aku mengerti perasaan Ummi sekarang ini. Ummi sudah cukup terluka dengan permintaan lelaki yang amat disayanginya itu. Mana ada seorang wanita yang sanggup berbagi kasih dengan wanita lain apalagi Ummi sudah lebih lima belas tahun menghabiskan sisa hidupnya hanya untuk menjadi seorang isteri yang setia untuk suaminya. Tidak adakah permintaan lain dari ayah yang bisa membahagikan kami selain itu? Aku sebagai anaknya pun tidak bisa menerima sikap ayah itu. Tidak bisakah ayah mengerti perasaan umi sekarang ini atau ayah terlalu buta untuk menilai semua itu. "Ahh.... Aku tidak peduli. Aku adalah ayah mereka. Mereka wajib patuh pada keputusanku. Kalau
mereka menentang, aku tahu itu pasti kamu yang memprovokasi." ucap ayah. "Selama ini pun kamu yang menghasut mereka supaya membenci aku. Apa Kau kira aku tak tahu hah??!!" "Sampai hati Abang menuduh saya seperti itu." Ummi memandang sekilas ke arah ku. Ummi sadar bahwa aku telah memperhatikannya sejak tadi. Aku tahu apa yang umi fikirkan. Aku tahu siapa yang ayah maksudkan itu. Ya Tuhanku, berdosakah aku karena telah membenci seorang lelaki yang selalu saja membuat Ummi menangis? Berdosakah aku karena memusuhi lelaki itu hanya karena dalamnya sayangku kepada wanita itu? Berdosakah aku menyayangi Ummi melebihi segala-galanya? Berdosakah aku? berdosakah aku Ya Allah? "Jangan fikir kau sudah merasa baik, Noriah. Hati anak bisa kau racuni dengan kebencian terhadapku." "Kenapa abang tak menyadari kesalahan abang sendiri?? Seolah adalah manusia suci yang tak pernah berbuat salah. Selalu kami yang disalahkan." tuding Ummi dengan pipi basah dengan air mata kelukaan. "Jangan berdalih. Aku malas melayani kau dan anak-anak. Aku adalah suamimu. Kau wajib menurut pada ucapanku. Aku sudah membuat keputusan. Aku akan menikah dengan Zaharah. Muktamad!" keras suara ayah. "Abang tega memperlakukan kami seperti ini?" rayu ibu penuh harapan. Bicara umi terhenti ketika terdengar suara rengekan adikku, Hakim yang sedang tidur di hujung ranjang. Rengekan itu semakin keras dan aku segera berlari mendapatkan adik kecilku yang baru sembilan bulan mengenal dunia ciptaan Tuhan yang Maha Agung ini. Ayah bergegas bangun meninggalkan Ummi di ruang tamu yang sepi sendirian. Pintu dihempasnya dengan kuat. Braakk?! Serasa tercabut jantungku ini. "Abang? Abang?" panggil Ummi, Sayu. Lalu terdengar suara mesin mobil ayahku yang keluar dari garasi. Lama-kelamaan bunyi itu semakin menghilang ditelan kegelapan malam. Di luar hujan bertambah deras seolah turut merasakan emosi ibuku, mungkin ikut simpati dengan nasib kaluargaku ini. Biarlah ayah pergi daripada terus-terusan melukai hati wanita kesayanganku itu. Setiap kata yang tersembur dari mulutnya hanya menambahkan lagi epilog duka bagi Ummiku. "Biarkanlah lelaki itu pergi mendapatkan kebahagiaannya." gumam hati kecilku. Aku dan Ummi saling berpandangan dengan mata yang berkaca-kaca. Ummi memeluknya erat Hakim yang sedang ku gendong. Untuk sesaat, Hakim pun turut memeluk erat Ummi. Dia belum mengerti apa-apa. Malahan aku sendiri tidak mau dia mengerti apa-apa pun karena kenyataan ini teramat pedih dan pahit.
RUMAH ITU DUNIAKU "Assalamualaikum, umi" "Waalaikummussalam. Sudah pulang, apa nggak ke perpustakaan dulu?" Tanya Umi. Mungkin ia heran melihat aku pulang lebih cepat hari ini. "Lagi males. Lagipula Tina rindu pada Ummi," kataku diiringi tawa kecil.
"Halah... Beneran kangen? Jangan-jangan mau curhat karena berantem ma pacar hehehe" goda Ummi. "Ah Ummi... Kayak nggak tau watak anak sendiri aja. Hanya umi saja buah hatiku. Ngak ada yang kedua, ketiga." Balasku diiringi dengan tawa. "Umi masak apa hari ini? Hakim ngak pulang sekolah lagi ya?" Tanyaku. "Sudah.. Tapi sudah hilang lagi entah kemana. Mungkin ke rumah Mak Ida. Biasalah, adik kamu tu, main aja kerjaanya sampai lupa makan. Pergi mandi sana!! Jangan lupa shalat. Nanti kita makan sama-sama." "Baiklah, umiku sayang... Nanti selesai shalat, Tina panggil Hakim untuk m akan bersama." balasku ringkas sambil meninggalkan umi di dapur. Lalu aku memanjat anak tangga satu per satu menuju kamarku. "Alangkah baiknya jika aku dapat berbaring dan tidur dulu. Aku merasa ranjangku memanggilmanggil namaku, mungki rindu pada tuannya." cetus hati kecilku. Tapi aku harus mandi dan solat dahulu. Ummi sudah menungguku di bawah. "Aduh... Perut ini mulai keroncongan." aku mengomel sendirian. Bahagia sekali aku hari ini. Adikku, Hakim yang tidak habis-habis bercerita itu dan ini. Ada kalanya tidak masuk akal ceritanya. Ada saja yang lucunya. Jika tidak disimak nanti ia merajuk. Dialah teman setiaku di rumah ini. Umi pun asyik sibuk di dapur. Maklumlah, kakak baru saja cuti. Ada saja yang hendak dimasaknya. Kakakku sedang menolong umi di dapur. Sudah dua bulan kakak tidak pulang. Mungkin ia sibuk. "Sedang nonton film apa, Tin?" Tanya Kak Joe. Aku tidak tahu kapan kakak muncul di hadapanku. Tiba-tiba saja ia sudah berdiri di sebelahku. Di tangannya ada setoples kue pisang, kue kesukaannya. "Eh, kak Joe. duduklah. Banyak betul kue nya, kayak bakal habis sendirian aja." godaku. "Harus habis lah... Lihat dulu donk yang bikinnya, umi kesayangan kita kan? Nanti Kita makan sama-sama. Bagus gak filmnya?" "Baguslah.... Kalau ngak, buat apa Tina nak tonton." balasku diiringi tawa kecil. "Berapa hari disini Kak??" Tanyaku ringkas "Tiga hari aja dik. Hari Minggu kakak sudah harus berangkat lagi. Banyak tugas yang harus diselesaikan. Pulang kesini pun karena kangen sama umi dan kalian." "Untuk bisa masuk USM harus lulus baik ya kak?" "Makanya gigihlah berusaha wahai adiku. Sayank!" "Harus seperti apa pelajarannya, OK atau KO?" "Mesti Ok donk..!! Tina kan pelajar harapan sekolah. Ops... harapan negara." Aku dan kakak terus tertawa memecah keheningan malam. "Kalau ada masalah dalam pelajaran jangan malu-malu untuk bertanya pada kakak.Mumpung kakak ada disini." Itulah kakakku. Insan yang tidak pernah berhenti memberi dorongan dan motivasi kepadaku. Aku ingin menjadi seorang yang berhasil dalam hidupku. Aku mau membuktikan kepada lelaki itu
bahwa kami bisa hidup tanpanya, malah hidup kami lebih bahagia kini. Ummi pun sudah memiliki butik sendiri, sekarang ini. Apa yang Ummi sediakan untuk kami sudah lebih dari cukup. Aku sangat bersyukur kepada-Mu Tuhanku. Engkau telah melimpahkan rezeki-Mu kepada keluargaku. Alhamdulillah "Hakim, ayo makan kue." panggil umi. Hakim menggeleng. Aku tahu benar adikku itu tidak suka makan pisang. Apapun makanan yang dibuat dari pisang pasti ditolaknya tanpa berfikir panjang. Dia lebih suka menghabiskan waktu dengan bermain. Walau begitu, aku akan pastikan setiap PR sekolahnya sudah disiapkan terlebih dahulu. Setelah itu barulah dia boleh bermain. "Mengasyikan kalau hari seperti ini. Makan kue sambil nonton tv." tiba-tiba Kak Joe bersuara. Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata yang terbit dari mulut Kak Joe. Umi turut merajut senyuman. Kami sekeluarga terus tenggelam dengan kebahagiaan yang terasa hari ini. Alangkah bahagianya kami sekeluarga ketika ini. Aku menjadi lupa dengan kisah lalu yang amat pahit. Setelah ku telan segala lara ini, aku percaya bahwa hanya Engkaulah satu-satunya yang tidak pernah mengecewakan hamba-Mu Kebahagiaanku saat ini telah menutup sedikit kisah duka itu. Aku bahagia kini. Rumah ini adalah duniaku dan keluargaku ini adalah nyawaku.
SEGALANYA UNTUKMU Memang sulit antukku gambarkan perasaan ini Kecewa, sedih dan pilu bercampur baur sehingga aku tidak dapat berkata apa-apa saat ini. Bibirku seakan terkunci, Lidahku kelu untuk berkatakata. Aku merasa ingin selalu menangis dan menjerit sekuatnya agar semua orang tahu perasaanku saat ini. Aku ingin memuntahkan semua kelukakaan yang telah lama membara dihidupku ini. Apakah aku sedang bermimpi? Atau hanya ilusi semata? Namun, aku tau semua ini adalah kenyataan. Sebuah kenyataan yang amat pahit untuk ku telan. Keputusan umi untuk menerima lelaki itu kembali ke pangkuan kami sangat sukar untuk aku terima. Kenapa Ummi sanggup menerimanya kembali? Sedangkan lelaki itu sudah cukup mengecewakannya. Aku tidak mengerti, namun aku tahu Ummi terlalu menyayangi lelaki itu. Aku tidak ingin Ummi berkorban lagi karena sudah terlalu banyak berkorban untuk lelaki itu dan Ummi selalu terluka pada akhirnya. Kenapa ayah kembali lagi pada saat kami mulai melupakannya? Kenapa? Apa yang keluargaku lalui selama ini telah banyak memberikan pelajaran kepadaku. Sesungguhnya hanya Engkaulah yang mengetahui segala apa yang bersarang di dalam hati ini, tentang kepahitan, ketakutan, kepedihan, kesengsaraan, kerisauan, kebahagian dan tentang tawa ria.
Tuhanku, apakah aku terlalu belajar dari kesalahan atau aku terlalu berhati-hati dengan hidup ini sehingga aku merasa takut sekali untuk menghadapinya lagi?? Aku takut ini akan terulang lagi. Ya Allah, Berikanlah petunjuk-Mu. Aku masih ingat kata-kata yang keluar dari mulut Ummi siang tadi. Aku tidak tahu apakah itu berita gembira atau sebaliknya? "Ayah akan kembali kepangkuan kita, Tina. ? Wanita yang selama ini sudah cukup banyak berkorban untuk anak-anaknya itu dengan tenang menyampaikan berita itu. Aku tersentak dan tertegun. Aku merasa tidak percaya mendengar katakata tersebut. Apakah kata-kata itu hanya sebuah gurauan? Namun raut wajah Ummi tidak menggambarkan sedang bergurau. Aku mencoba waspada dari kelukaan yang mungkin akan datang lagi secara tiba-tiba. Aku tidak mengerti kenapa berita itu yang harus aku terima pada pagi ini. Apakah tidak ada berita lain yang lebih bisa membahagiakan aku ini? "Bagaimana dengan Ummi?" Aku bertanya dengan sesekali mendengus perlahan. Ummi terdiam. Mungkin mengerti dengan apa yang bersarang di dalam hatiku atau menyadari bahwa berita itu tidaklah bermakna bagiku. Aku mencoba menyembunyikan perasaanku sebab aku tidak mau umi tersingggung dengan sikapku ini. Aku menghampiri umi dan duduk disebelahnya. Suasana di ruang tamu menjadi sunyi seketika. "Apa pendapat Tina?" Umi memandangku dengan penuh tanda tanya. Aku tidak mampu untuk membalas pandangannya dan Akupun tidak mampu untuk menjawab pertanyaannya yang menurutku sangat sulit ku jawab. Hatiku sangat kecewa. "Ayah sudah banyak berubah Tina. Dia ingin menebus kesalahannya selama ini. Lagipula ayah sudah bercerai dengan wanita itu. Ayah tak bahagia dengan perkawinannya itu. Semua itu adalah kesalahan besar bagi ayah, meninggalkan kita dan menikah dengan wanita itu. Ayah ingin kembali ke pangkuan kita Tina, ? jelas umi "Jadi, Ummi mau balikan lagi?" Tanyaku. "Ummi hanya memikirkan anak-anak Ummi. Ummi tahu anak-anak Ummi menginginkan sebuah keluarga yang sempurna dan bahagia seperti orang lain. Ummi tidak ingi anak-anak Ummi hidup tanpa seorang ayah di sisinya. Umi tidak ingin kalian kehilangan kasih sayang seorang ayah. Ummi ingin anak-anak Ummi bahagia seperti orang lain. Umim....." Ummi tidak dapat meneruskan kata-katanya. Ahh aku tahu apa yang Ummi mau katakan. Ummi pasti mau menerima ayah kembali. Mataku mulai berkaca-kaca. Hatiku amat pedih sekali seperti diiris dengan pisau. Ingin menebus kesalahan dulu. Kasih sayang seorang ayah? aku lebih bahagia tanpanya. Jerit hati kecilku. "Tapi Ummi, sanggupkah Ummi menerima lelaki yang telah banyak mengecewakan kita selama
ini? Apakah umi telah lupa semua itu? Anak-anak umi lebih bahagia tanpanya sekarang. Kita dapat hidup tanpanya selama ini. Malah hidup kita sekeluarga lebih baik jika dibandingkan dengan dulu. Kenapa kita menggadaikan semua ini hanya untuk menerima ayah kembali? Kenapa umi?" Bergetar suaraku tidak dapat menahan kesedihan yang selama ini aku coba lupakan. "Kenapa dia kembali lagi setelah dia tumbuhkan benih-benih kebencian dalam diri Tina, umi. Tina ngak bisa.." Suaraku tersendat karena tidak dapat menahan kesedihan. Aku tidak dapat meneruskan kata-kataku lagi. Air mataku mengalir dengan deras. Aku tidak bisa menahan perasaanku lagi sekarang ini. Aku tidak mau umi terluka mendengar setiap butir bicaraku. Kulihat Ummi turut menangis. "Ummi faham perasaan Tina. Umi tau Tina nggak bisa memaafkan ayah tapi sampai kapan Tina mau terus begini, menyimpan dendam yang tak menguntungkan siapapun?? Malah Tina sendiri yang akan terseksa." bujuk Ummi sambil menyeka air mataku. "Tina harus belajar memaafkan ayah. Jika Ummi bisa melakukannya, kenapa Tina ngak bisa? Ummi tahu, anak umi seorang yang kuat. Ummi tahu anak Ummi bukanlah seorang yang kejam sehingga tidak bisa memaafkan orang lain. Dendam bisa memakan diri sendiri, Tina. Ummi menyayangi anak-anak Ummi. Tina harus ingat, ayah juga menyayangi anak-anaknya. Karena sayangilah ayah yang sadar akan kesalahannya dan mau berubah. Ayah perlu dukungan kita, Tina." "Tapi umi..." "Sudahlah Tina. Ummi tidak akan memaksa Tina. Umi faham perasaan Tina. Mungkin Tina perlukan waktu untuk menerima semua ini." "Ummi...." panggilku. "Ya sayang?" "Tina akan coba, jika ini dapat membahagiakan Ummi. Ummi rujuklah kembali dengan ayah. Tina akan mencoba memaafkannya. Tina akan mencoba umi." "Tina..." Sebelum sempat ummi menghabiskan kata-katanya aku telah memeluk Ummi erat-erat dengan airmata yang membanjir. "Tina hanya ingin Ummi bahagia. Tina terima apapun keputusan Ummi. Maafkan Tina kalau katakata Tina tadi melukai hati Ummi. Tina menyayangi Ummi." "Terima kasih, Tina." "Tina akan mencoba Ummi" Aku mencoba meyakinkan Ummi sekali lagi walaupun aku sendiri tidak yakin dapat melakukan itu semua. "Maafkan Tina, Ummi. Tina tidak mampu lakukan itu semua." Getus hati kecilku. Aku dan Ummi terus berpelukan melepaskan segala duka yang kami pendam selama ini. Aku
dapat merasakan kehangatan kasih sayang Ummi ketika ini, wanita yang sangat berarti dalam hidupku. Terima kasih Ummi. Terima kasih karena tidak pernah berhenti mencurahkan kasih sayang dan perhatianmu untuk anak-anakmu. Anakmu melakukan ini semua hanyalah karenamu, andai ia bisa membahagiakanmu. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga. Selama aku berpijak di bumi ini, selama itu pula aku tidak akan berhenti melakukan apa saja untuk kebahagiaannya.Segalanya adalah untukmu, umi.
SEBUAH KEPULANGAN Aku tidak tahu mengapa aku begitu gelisah hari ini. Seti ap sudut kamar tidur aku rasakan sedang mentertawakanku. Aku bingung. Dapatkah aku menerima kepulangan lelaki itu? Dapatkah aku menunaikan janjiku pada Ummi? Dapatkah aku hidup bersamanya lagi? Aku begitu resah. Ketakutan terus menyelinap masuk ke dalam setiap sudut diri ini. Takut epilog duka semalam berulang lagi. Tuhan tolong aku. Aku harus kuat demi Ummi. Aku harus menunaikannya. "Entahlah Ana. Sampai sekarang aku ngak bisa lupa. Mungkin aku takut menghadapi masa depan yang tak pasti ini." curhatku penuh perasaan pada sahabatku, Ana. "Kamu wajib mencoba memaafkan ayahmu, Tina." "Sampai kapan kamu mau menyimpan dendam? Sampai kapan juga kamu akan terus hidup begini? sehingga semua lelaki kau jadikan musuh," sahut Ana lagi. Kadangkala aku ingin menjadi dirimu, Ana. Walaupun kami punya kisah yang sama, namun dia tetap kuat. Malah, semua itu tidak mempengaruhi hidupnya. Ana pernah mengatakan kepadaku, buat apa kita perlu mengorbankan diri kita hanya karena kesalahan orang lain. Kita tidak perlu mengorbankan masa depan kita karena kesalahan mereka. Malah, kita perlu bangkit dari kekecewaan untuk menggapai masa depan yang gemilang. Aku harus berpedoman pada katakata itu. Aku harus menjadi lebih kuat. "Tina cepat turun. Ayah dan Ummi sudah sampai nich...!!" Aku tersentak dari lamunan ketika mendengar suara Kak Joe memekik memanggil namaku. Keadaan di bawah sungguh riuh. Mungkin menyambut dan merayakan kepulangan ayah. Entah kenapa kakiku terasa berat untuk melangkah. Aku mengatur langkahku menuruni anak tangga. Aku mencoba menyembunyikan perasaanku saat ini. Aku tidak mau Ummi tersinggung dengan sikapku ini. Tanpa sadar aku telah berdiri berhadapan dengan Ummi dan ayah. Hatiku menjadi gundah. Apakah yang harus aku katakan? Hatiku terus menjerit. Tuhan tolonglah hamba-Mu ini.
"Tina, salam ayah dan Ummi," Kak Joe berbisik di telingaku. Kak Joe mengerti perasaanku ketika kini. Kemudian aku menyambut tangan ayah, menyalaminya dan mencium tangan yang selama hampir tujuh tahun sudah tidak aku sentuh. Lalu aku menyambut pula tangan Ummi, memeluknya erat. Pandanganku mulai berkaca. Aku tidak dapat menahan lagi perasaanku ini. Tanpa sadar tetesan jernih sudah mulai mengalir membasahi pipiku. Aku rasakan begitu pilu sekali. Umi menguatkan lagi pelukannya untuk memberi kekuatan kepadaku. Semua pandangan terarah kepadaku. Umi mendekatkan mulutnya ke telingaku lalu berkata secara berbisik, "Kuatkan semangat, Tina. Ummi dengan ayah senantiasa menyayangi kamu semua." "Setelah itu. Mari kita makan. Semua orang sudah menunggu." tutur Bibi Ima, adik umiku yang baru saja menikah empat bulan lalu. Ummi menyeka air mataku. Ayah hanya memperhatikan sikapku dan umi. Sesekali aku memandang ke arah ayah. Aku selalu melarikan pandangan mataku jika ayahpun sedang memandangku. Ada senyuman yang terukir di bibir ayah. Sudah lama aku tidak melihat senyuman itu. "Sudahlah, mari kita makan. Tidak baik membiar orang menunggu," ayah mengatur katanya. Aku hanya mengikuti langkah Ummi menuju meja makan. Masing-masing sudah tidak sabar lagi untuk menahan selera, barangkali tidak tahan menahan lapar. Keadaan yang tadinya keheningan menjadi ramai. Masingmasing bercerita dengan ceritanya masing-masing. Mungkin gembira dengan bersatunya kembali keluargaku. Sedikit banyak perasaanku telah terobati dengan suasana kali ini. Disetiap sudut aku dapat merasakan sedang ikut merayakan kepulangan ayahku ke pangkuan keluarganya. Tanpa ku sadari sebuah senyuman terukir di bibirku. Hatiku berbunga riang melihat ibu tidak henti-henti mengukir senyuman dah tadi. Aku tahu Ummi sedang bahagia saat ini. "Tina akan mencoba Ummi. Tina takkan mengecawakan umi." bathinku.
SUATU KEMAAFAN Sudah lebih dua bulan ayah kembali ke pangkuan kami: tetapi aku masih tidak dapat menyesuaikan diri. Sukar untuk ku memulai kehidupan baru ini dan melenyapkan segala kenangan lalu yang begitu pahit dalam kehidupanku. Aku merasa begitu asing dengan kehidupan baru ini. Apakah aku terlalu belajar dari kesalahan ataukah aku seorang yang pendendam? Ayah pergi pada saat kami memerlukannya dan dia kembali lagi ketika kami telah bahagia tanpanya. Ya Allah, apakah ini satu hukuman ataukah suatu anugerah? Fikiranku sangsi.
Ahh.... Aku mengeluh panjang. Mataku sulit dipejamkan malam ini. Aku merasa gelisah, seperti ada sesuatu yang buruk akan terjadi. Jam di sebelahku sudah menunjukkan pukul 2.30 pagi. Aneka perkara bermain di fikiranku. Ketakutan, kerisauan dan lain-lain. Aku membaca surah alFatihah, Al ikhlas, Al Falaq, An nas berulang kali, namun aku masih tidak dapat memejamkankan mata ini. Malah, perasaanku semakin tak karuan. Ketakutan semakin menyelubungi hati ini. Aku tidak pernah merasa seperti ini. Kemudian aku menggapai Al-Quran dan meletaknya di sebelah bantal. Baru saja hendak melelapkan mata, aku mendengar bunyi sesuatu di arah jendela kamarku. Aku hanya memperhatikan dari dalam kamar. Aku tak berani untuk mendekati jendela, apalagi turun dari ranjang ini. Dadaku semakin bergemuruh seolah aku dapat mendengar debaran jantung ini. Apa lagi ujian dari-Mu Tuhanku? Aku mencoba mengamati apa yang ada di balik jendela itu, namun aku tidak dapat melihat apa-apapun. Keadaannya gelap sekali. "Mungkin kucing" Fikirku mencoba menenangkan diri. Aku kembali merebahkan badan dan memejam mata ini. Entah kenapa aku masih saja merasa gelisah. Kembali ku lemparkan pandanganku ke arah jendela. "Astarfirruallahalazim." Aku begitu terkejut ketika melihat daun jendela tiba-tiba saja sudah terbuka, padahal aku telah menutup dan menguncinya sebelum tidur tadi. Dadaku kembali berdebar kencang. Aku merasa takut sekali. Lidahku kelu tidak bisa berkata-kata. Aku hanya mampu berdoa saja. "Ya Allah, Engkau lindungilah hamba-Mu ini, amin." Aku melihat kelihatan seorang lelaki memasuki kamarku melalui jendela disertai bau busuk yang tercium oleh hidungku. Namun, aku begitu takut untuk bersuara atau menjerit memanggil ayahku. Aku takut lelaki itu bertindak agresif jika aku menjerit. Aku hanya memperhatikan tindak tanduknya sambil pura-pura tertidur. Lelaki itu berjalan ke arah lemari. Wajahnya tak dapat ku lihat dengan jelas karena keadaannya gelap sekali. Aku hanya memikirkan nyawaku saat ini. Aku hanya mampu berdoa meminta pertolongan pada Tuhan. Fikiranku menerawang jauh memikirkan ajalku yang mungkin akan berakhir pada hari ini. Ya Allah... jauhkanlah aku dari malapetaka ini. Jika memang sampai ajalku sudah dekat, maka ambillah nyawa ini dengan baik. Aku juga berdoa kepada Tuhan agar lelaki itu tidak menyadari kehadiranku ketika ini walau mungkin harapanku ini hanyalah khayalan semata. "Ambillah apa yang kau mau, tapi jangan kau ganggu aku," ucapku dalam hati. Tiba-tiba saja lelaki itu berjalan ke arah ranjang tempat aku berbaring. Ya Allah lindungilah hamba-Mu ini. Lelaki itu menyentuh ujung kakiku perlahan. Barangkali ingin mengetahui aku terjaga ataupun masih nyenyak tertidur. Ia pun menyentuh lenganku. Aku semakin takut. Kemarahanku meledak ketika ia terus menyentuh bagian tubuhku yang lain. Pantang bagiku seorang lelaki yang tidak memiliki ikatan apa-apa denganku, menyentuhku. "Mau apa, hah?!" jeritku. Ku lihat lelaki itu terkejut dengan teriakanku. Secepat kilat ia berlari menuju jendela dan hilang ditelan kegelapan malam. Aku berlari menuju kamar Ummi. Pintu kamarnya ku ketuk keras sekali sambil menjerit memanggil-manggil ayah.
"Ada apa Tina? Apa yang terjadi?" Tanya ayah. "Ada pencuri masuk kamar Tina." jawabku lemah. Ayah memelukku. Ketakutan yang aku rasakan sedikit demi sedikit hilang dalam pelukannya. Aku dapat merasakan kasih sayang ayah yang maha dalam ketika dalam pelukannya. Ummi memburu ke arahku. "Tina tidak apa-apa?" Ummi bertanya padaku. "Tidak apa-apa, Ummi." Suaraku bergetar menjawab pertanyaan Ummi itu. Umi masih belum puas dengan jawabanku. Sehingga beliau terus menanyaiku. Aku hanya menggelengkan kepala berulang kali. Air mataku semakin deras keluar. Ayah masih memelukku erat melihat keadaanku dan mencoba menenangkan keadaan. "Sudahlah... Tina cuma shock, Jangan kita tanyai banyak-banyak dulu." kata ayah cuba menenangkan aku dan Ummi. "Coba lihat Hakim di kamarnya, Nor." pinta ayah. Ummi melihat Hakim, takut terjadi apa-apa kepadanya. Ayah pun memeriksa keadaan rumah untuk memastikan keadaan benar-benar aman untuk kami sekeluarga. Setelah itu ayah menghubungi pihak polisi untuk mendapatkan bantuan keamanan. Tiba-tiba aku merasakan bahwa apa yang baru saja terjadi barusan adalah suatu petunjuk dari Allah s.w.t. Aku sadar kini, orang yang terlintas di fikiranku saat aku dalam ketakutan adalah ayah. Itulah nama yang keluar daripada mulutku ketika aku menjerit memanggilnya. Terima kasih Ya Allah. Engkau telah menunjukkan aku jalan untuk memberi maaf pada ayah. Aku bersyukur kepada-Mu. Keesokan harinya ayah memberitahu aku dan Ummi bahwa pihak kepolisian sudah menangkap lelaki yang masuk rumahku itu. Aku dan Ummi cukup terkejut ketika ayah yang menceritakan, bahwa pencuri itu adalah seorang residivis yang sering keluar masuk penjara karena kasus yang sama. "Betulkah Bang?" Tanya Ummi "Ya... pihak kepolisian yang menjelaskannya pada abang tadi. Kalau ngak salah lelaki itu berasal dah Sabah. Tinggal di Semenanjung baru lima bulan ini," "Oh, begitu." Aku hanya mendengarkan saja percakapan ayah dan Ummi, sebab aku tidak tahu apa yang harus aku katakan saat ini. Ayah juga telah menceritakan kejadian ini pada Kak Joe. Kak Joe sangat terkejut mendengar kabar tersebut. Hakim juga sudah tidak berani lagi bermain sendirian di luar rumah. Ummi dan ayah sangat bersyukur karena tidak terjadi sesuatu yang buruk kepadaku. Aku bersyukur kepada Tuhan karena melindungiku. Aku yakin Allah senantiasa bersama hamba-Nya. "Tumben Tina diam aja?" Tegur umi. "Mungkin Tina masih trauma. Tina jangan takut ya? Ayah dan Ummi sentiasa ada di samping Tina. Ayah bersyukur sekali tidak terjadi apa-apa pada Tina."
Aku ingin menangis ketika mendengar kata-kata yang keluar dari mulut ayah. Ada sekeping senyuman yang terukir di bibir lelaki itu. Dialah lelaki pertama yang aku kenal. Dialah lelaki pertama yang aku panggil ketika Ummi melahirkanku. Lelaki itu adalah ayahku. Air mataku mengalir tanpa diduga. "Kenapa Tina menangis? Sudah jangan takut. Penjahatnya sudah tertangkap kok.!!" bujuk ayah. Umi hanya memandangku. "Tina minta maaf ayah. Tina...." Aku tidak dapat meneruskan kata-kata karena tidak dapat menahan kesedihan. Suaraku bergetar. "Maaf atas apa? Perasaan Tina ngak berbuat salah apa-apa pada ayah." tanya ayah heran. "Tina minta maaf karena membenci ayah selama ini. Tina minta maaf ayah." Kemudian aku menggapai tangan ayah dan menciumnya. Aku merasa sangat bersalah karena telah membenci ayah selama ini. Aku sangat menyesal karena selama bertahun-tahun aku memusuhinya. Ya Allah... Ampunilah dosa-dosaku ini. "Sudahlah Tina. Tina tidak bersalah. Ayah lah yang seharusnya minta maaf pada kalian sebab ayah telah banyak melukai hati Ummi dan kalian. Selama ini ayah salah menilai mana permata, dan mana kaca. Ayah minta maaf, Tina." Aku melihat ada air mata jernih yang mengalir di pipi ayah. Akupun memeluk ayah dan Ummi. Aku tidak dapat menahan kesedihan ini. Ummi ikut menangis. Hatiku kini berbunga, mekar kuntumnya membawa sinar kebahagiaan. Aku bahagia kini.
EPILOG Sudah setahun lebih aku berada di Universitas Pendidikan Sultan Idris ini. Dulunya aku begitu sulit untuk menyesuaikan diri di sini, tetapi kini Alhamdulillah, aku tidak lagi merasa janggal, bahkan aku merasa menjadi lebih berdikari di sini. Aku sudah mulai mampu beradaptasi dengan bumi Tanjong Malim ini. Dahulu duniaku hanyalah rumah dan sekolah. Sekarang aku sadar, duniaku tidaklah sesempit itu. "Hello...Assalamualaikum Ummi." "Waalaikummussalam" Ku dengar suara Ummi di ujung telpon sana. "Bagaimana kabar Ummi ,ayah dan Hakim sehat kan?" Tanyaku ingin tahu. "Alhamdulillah, Kami semua sehat. Tina juga sehat kan?" "Sehat, Ummi," jawabku pendek. Aku dan umi kemudian berbincang tanpa arah melalui telepon. Inilah rutinitasku disetiap akhir pekan. Aku akan menghabiskan waktu malamku dengan menghubungi keluarga di kampung. Ada saja cerita yang mau aku sampaikan pada Ummi dan ayah. Tentang pelajaran, teman-teman,
dosen yang cerewet dan banyak lagi yang ingin aku bagi bersama. Kini, aku sangat bahagia dan semoga kebahagiaan ini tidak akan lagi hilang dari hidupku. Amiiin. Kebahagiaan yang ada didunia ini hanyalah bersifat sementara. Walau begitu, nikmati kebahagiaan itu selagi kita merasakannya. Sesungguhnya kebahagiaan itu tidak pernah meninggalkan kita, tetapi kita sendiri yang selalu lupa untuk menjaganya. Malah, kita yang lari meninggalkan kebahagiaan itu. Hargailah sesuatu yang kita miliki, agar kita jangan menyesal nanti. Kebahagiaan adalah anugerah dari Allah. Jagalah ia seperti menjaga nyawa kita sendiri. Kehidupan yang singkat ini sepatutnya dipenuhi dengan kebahagiaan dan keindahan, bukannya penuh dengan kekecewaan dan kepahitan. Kehidupan ini memang dipenuhi oleh kekejaman dan kesulitan. Jika kita tidak kuat, pasti kita akan menjadi pecundang di pertengahan jalan, tenggelam dalam lautan yang luas, lemas dalam alunan gelombang kehidupan ini dan kalah sebelum sempat berjuang. Oleh sebab itu, kita harus tabah menempuhnya. Biar setinggi apapun kita harus menggapainya. Biar sejauh apapun perjalanan itu, kita harus melaluinya. Biar seluas lautan kita harus merenanginya. Biarpun sukarnya sebuah perjuangan itu, kita harus menguatkan tekad, kita harus meneruskan kehidupan ini dan membuktikan bahwa semua ini bukanlah penghalang untuk menjejakkan langkah menuju masa depan yang gemilang. Kehidupan ini adalah sebuah perjuangan yang akan menuju sebuah titik akhir. Hanya mereka yang tabah saja, yang dapat membina masa depan yang indah. Tiada kemenangan tanpa perjuangan. Jangan menjadikan kesalahan orang lain sebagai penyebab kegagalan kita. Tiada guna kita mengorbankan masa depan hanya karena kesalahan orang lain. Jadikanlah kesalahan lalu sebagai dorongan dan motivasi untuk menggapai kesuksesan. -TAMAT-
ULASAN NOVEL 1.0 Kesan psikologi dan emosi korban perceraian.
1.1 Menurut kajian David Mahl, University of Texas, perceraian orangtua dapat memberi kesan pada perkembangan emosi anak-anak ketika ia dewasa. Hal ini jelas tergambar dalam diri Tina. Tina menganggap semua lelaki adalah musuhnya, terutama adalah ayahnya yang telah meninggalkan keluarganya karena menginginkan wanita lain. Di samping itu, Tina juga telah menjadikan dunianya begitu sempit. Dunianya hanyalah keluarga dan sekolahannya. Keadaan ini telah memaksa Tina menjadi seorang yang pendendam. 1.2 Tina juga mengalami kebimbangan dalam dirinya. Kebimbangan (anxiety) adalah penting dalam teori psikoanalisis Freud. Menurut Sigmund Freud, kerisauan ialah suatu situasi tegang yang memotivasi seseorang untuk bertingkah laku. Terdapat tiga jenis kebimbangan, iaitu: Kebimbangan realiti yaitu Kebimbangan yang ditimbulkan oleh ketakutan pada dunia nyata. Kebimbangan neurotik yaitu Ketakutan yang berasal dari perasaan yang tidak dapat menahan naluri untuk melakukan suatu keburukan moral. Kebimbangan moral Timbul ketika seseorang melakukan sesuatu yang melawan hati kecilnya. Dalam hal ini, Tina telah mengalami tahap kebimbangan realiti dan moral. Pada tahap kebimbangan realiti, Tina takut untuk berhadapan dengan masa depannya yang belum pasti. Dia trauma dengan peristiwa hitam dalam hidupnya akan terulang lagi, yaitu dikecewakan oleh orang yang ia sayangi. Tina juga takut untuk menerima ayahnya kembali karena ragu ayahnya itu akan meninggalkan keluarganya sekali lagi. Pada tahap kebimbangan moral pun, Tina selalu berada dalam keadaan gelisah ketika ayahnya kembali ke pangkuan keluarganya. Situasi ini terjadi karena Tina terpaksa menerima ayahnya hanya untuk membahagiakan ibunya, sedangkan dia sendiri tidak dapat menerima ayahnya kembali. Di sini, Tina telah melakukan satu tindakan yang berlawanan dengan kemauannya. Hal ini telah menyebabkan terjadinya konflik dalam diri Tina. 2.0 Mekanisme membela diri ( Self Defence Mechanism ) Dalam teori Freud, mekanisme membela diri untuk melindungi seseorang dari tekanan perasaan dan kerisauan yang dianggap sebagai reaksi normal terhadap tekanan perasaan yang dialami. Mekanisme membela diri yang digunakan oleh Tina di dalam novel ini adalah dalam situasi sublimasi (sublimation). Sublimasi ialah situasi dimana seseorang menukar suatu kekecewaan pada suatu tingkah laku yang bermoral dan dipandang tinggi oleh masyarakat. Dalam hal ini, Tina yang kecewa dan terluka dengan sikap ayahnya telah menjadikan peristiwa pahit itu sebagai rangsangan (stimulus) dan sumber inspirasi dalam pelajarannya. Tina ingin membuktikan kepada ayahnya bahwa dia sekeluarga bisa hidup tanpa kehadiran ayahnya, malah kehidupan mereka jauh lebih baik. Tina telah menjadikan luka semalam itu sebagai satu motivasi dalam hidupnya untuk meraih kesuksesan dalam hidupnya.
3.0 Hubungan kekeluargaan dalam Islam. Berapa kalipun air dibelah, ia tidak akan putus adalah perumpamaan yang sering digunakan untuk menggambarkan kekuatan ikatan silaturrahim antara ahli keluarga. Dalam al-Quran dan hadis berkali-kali disebutkan betapa pertalian dalam keluarga sangat penting. Malah, Nabi Muhammad s.a.w pernah menyatakan bahwa orang yang sengaja memutuskan ikatan silaturrahim, ia tidak termasuk umatnya. Dalam hal ini, perkara ini ada dibangkitkan dalam perhubungan Tina dan keluarganya. Dapat di lihat di sini betapa Kak Joe dan ibu Tina senantiasa memberi semangat dan kekuatan kepadanya untuk melihat masa depan dengan cobaan hidup. Selain itu, hubungan antara seorang ayah dengan anaknya juga tidak akan terputus walaupun orangtua telah berpisah. Pada mulanya, Tina tidak dapat menerima kehadiran ayahnya kembali. Namun, Tina telah mengubah sikapnya dengan memaafkan ayahnya ketika menyadari hakikat ini. Bahkan dia telah memohon maaf karena sikapnya itu. Tina merasa sangat berdosa sekali karena memusuhi ayahnya selama ini.
BIBLIOGRAFI Aina Emir (2004) Seharum Kasih. Shah Alam: Alaf 21 Sendirian Berhad. Carolyn Keene (2000). Nancy Drew: False Impressions. Great Britain: Pocket Books. Norhayati Berahim (2001). Egois. Petaling Jaya: Alaf 21 Sendirian Berhad. Norzailina Nordin (2002). Untukmu Permata Hatiku. Petaling Jaya: Alaf 21 Sendirian Berhad. Shahnon Ahmad (1998). Seluang Menodak Baung. Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors Sdn. Bhd. Suppiah Nachiappan, Ramlah Jantan & Abdul Aziz Abdul Shukor (2008). Psikologi Pendidikan. Shah Alam: Oxford Fajar Sdn. Bhd. William Shakespeare (2004). The Winter?s Tale. New Delhi: Fortune Books.