Serah Terima Jabatan Kepala
LPMP Sulsel dan Pemprov Sulsel Kawal Pendidikan Muh. Nurhidayat
Dukung Kemandirian Alutsista dari Darwis Sasmedi
Membangun Budaya Sekolah
Mainan Kerajinan Mansur HR.
Komunikasi Efektif dalam Pembelajaran Meydiawati
Teaching Listening Strategy: How To Help Your Students?
Mardin Andi Marhabang
Pengelolaan Tenaga Pendidik
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 1 |
dalam Era Otonomi Daerah
TIM REDAKSI
Daftar Isi
Pembina/Penasehat : Kepala LPMP Provinsi Sulsel
Serah Terima Jabatan Kepala LPMP Sulawesi Selatan Tahun 2016............................................... 3
Pengarah : Kabag Umum, Kasubag T.U & R.T,
Sosialisasi Flexible Learning dan Massive Open Online Course ........ 5 Temu Awal Pemeriksaan Laporan Keuangan Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Tahun 2015 ................................... 7 Capacity Building Pegawai LPMP Sulawesi Selatan ........................... 9 Workshop Penyusunan Peta Manajemen Resiko LPMP Sulawesi Selatan ......................... 13
Kasubag Perencanaan dan Penganggaran, Kasi PMP.
Tim Editor : Dr. H. A. Rusdi, M.Pd, Drs. Syamsul Alam, M.Pd, Drs. Muhammad Hasri, M.Hum, Dr. Endang Asriyanti A.S., S.S., M.Hum.
Tim Admin Pemuatan : Imran S.Kom, M.T., Fahry Sahid, Miftah Ashari, S.Kom., Daud Arya Bangun S.Kom.
Tim Humas : Budhi Santoso, S.Sos, Agung Setyo B., S.Sos., M.Si
Diklat Perencanaan dan Pengembangan Karir PNS LPMP Sulawesi Selatan ......................... 14 LPMP dan Pemprov Sulawesi Selatan Kawal Pendidikan Bersama ...................................... 17
PENGANTAR REDAKSI Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas limpahan karunia‐Nyalah kami diberi kesempatan dan kemampuan untuk
Membangun Budaya Sekolah ..... 19
menerbitkan tabloid elektronik ini dengan nama
Teaching Listening Strategy: How To Help Your Students? ...... 24
eBuletin. Tabloid ini merupakan sarana publikasi
Dukung Kemandirian Alutsista, Pria ini Buat Mainan .................... 30
resmi Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Sulawesi Selatan yang di dalamanya
Komunikasi Efektif dalam Pembelajaran .............................. 33
berisi tentang informasi seputar kegiatan LPMP dan
Pengelolaan Tenaga Pendidik dalam Era Otonomi Daerah ......... 42
eBuletin ini merupakan tabloid elektronik yang
dunia pendidikan lainnya.
dapat diakses dengan membuka website resmi LPMP,
www.lpmpsulsel.net.
Pembaca
dapat
mengunduh tabloid kami tanpa dipungut biaya apapun, Pembaca juga dapat dengan bebas menyalin artikel yang ada di dalamnya tetapi dengan tetap mencantumkan asal kutipan artikel tersebut. Demikian pengantar dari kami tim redaksi, semoga eBuletin ini sangat bermanfaat untuk pembaca dan dunia pendidikan. EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 2 |
Serah Terima Jabatan Kepala LPMP Sulawesi Selatan Tahun 2016 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melalui Surat Keputusan Nomor 111/MPK/RHS/KP/2016 mengangkat Dr. H. Abdul Halim Muharram, M.Pd. sebagai Kepala LPMP Sulawesi Selatan.
S
erah terima jabatan Kepala LPMP Sulawesi Selatan dilaksanakan di Aula I LPMP Sulawesi Selatan pada Tanggal 13 Februari 2016. Serah terima jabatan dari Prof. Dr. H. M. Wasir Thalib, MS kepada Dr. H. Abdul Halim Muharram disaksikan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Hamid Muhammad,Ph.D. Dalam acara ini juga, turut dilaksanakan serah terima jabatan Kepala LPMP Sulawesi Tengah dari Dr. H. Abdul Halim Muharram kepada Muhammad Askari, SH, M.Si. Tarian tradisional bugis Makassar “Paduppa” menjadi pembuka dimulainya acara kegiatan serah terima jabatan yang dihadiri oleh seluruh pegawai dan dharmawanita LPMP Sulawesi Selatan, beberapa pegawai LPMP Sulawesi Tengah dan undangan dari unsur Perguruan Tinggi, Dinas Pendidikan, dan tokoh masyarakat. Setelah penandatangan berita acara serah terima jabatan, para pejabat lama maupun pejabat yang lama masing‐masing mendapat kesempatan untuk menyampaikan kesan dan pesan selama menjabat dan jabatan baru yang akan diemban. Sementara itu, Dirjen Dikdasmen, Dr. Hamid Muhammad dalam pengarahannya menyampaikan ucapan terima kasih kepada pejabat lama kepala LPMP yang telah mengabdikan diri di lembaga masing‐masing dan ucapan selamat kepada pejabat baru yang akan mengemban tugas sebagai Kepala LPMP yang semakin berat ke depan. Beliau juga berpesan kepada seluruh pejabat untuk mampu menjadi pemimpin yaitu menggerakkan orang lain, menjaga komunikasi yang baik antara atasan dan bawahan, selalu mendengarkan suara staf/bawahannya, tidak terlena dengan suara indahnya sendiri, sehingga akan tercipta keharmonisan di dalam lembaga itu sendiri. Dr. Hamid Muhammad kembali menegaskan peran dan fungsi LPMP antara lain pemetaan dan peningkatan mutu pendidikan sekolah dalam mencapai 8 Standar Nasional Pendidikan. Dari tugas tersebut, maka output yang diharapkan adalah rapor
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 3 |
mutu setiap sekolah di seluruh kabupaten/kota jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK, berapa persen sekolah yang telah mencapai SNP, dan berapa peningkatan index produktifitas yang mengalami peningkatan dari sekolah belum SNP menjadi SNP setiap tahun. “Tahun 2016 ini akan kita jadikan sebagai baseline pemetaan, instrumennya sudah siap” tegasnya. Di bagian lain pengarahannya, Dr. Hamid juga menegaskan hal yang harus di lakukan oleh LPMP yaitu melakukan fasilitasi dalam melatih guru melalui Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) dan melakukan pemetaan fasilitas belajar dan kondisi fisik sekolah, apakah sekolah yang digunakan itu layak atau tidak layak untuk menyele nggarakan kegiatan belajar mengajar. “Kedepan, Tugas LPMP memang akan semakin besar dan berat” ucapnya. “Sekolah harus merasakan langsung kehadiran LPMP, jangan sampai masih ada guru yang bertanya apa itu LPMP. Sebaliknya kita berharap mereka akan mengatakan untung ada LPMP, sehingga sekolah kami sekarang menjadi lebih baik berkat bimbingan dan bantuan LPMP” sambungnya. Menurut beliau, LPMP bahkan harus “melihat” apa yang terjadi di kelas, apakah siswa betul‐betul mempelajari apa yang harus dipelajari. Sekolah harus dilihat satu persatu dan tidak lagi mengandalkan penilaian berdasarkan hasil ujian nasional atau bentuk evaluasi umum lainnya. Untuk tugas berat tersebut, LPMP harus menjalin kerjasama dengan Dinas pendikan kabupaten/kota dan provinsi khususnya pengawas sekolah. “Tugas ini berat, LPMP tidak bisa mengerjakannya sendiri. LPMP harus bekerja sama dengan Dinas pendidikan, khususnya pengawas” tegasnya. Beliau juga menambahkan bahwa pendidikan di Indonesia mengalami kekurangan reading literacy dan minat menulis, kebanyakan hanya budaya bicara sedangkan pendidikan dunia sekarang mengakui kepandaian seseorang dengan melihat tulisan yang dihasilkan, hal ini yang juga merupakan tantangan LPMP untuk membangun minat baca dan menulis para guru dan anak didiknya. Selain itu, tahun 2016 ini LPMP memiliki beberapa kegiatan antara lain: implementasi kurikulum 2013, Sekolah rujukan, dan Sekolah garis depan (pelosok). (Bahtiar dan Nursaidawaty A.)
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 4 |
Sosialisasi Flexible Learning dan Massive Open Online Course
Pendidikan bukanlah sesuatu yang tanpa masalah, dan untuk menyelesaikannya pun tidak dapat oleh satu pihak saja namun harus menjadi pola pikir dari banyak pihak, tetapi bukan berarti semua pihak juga ikut memutuskan masalah pendidikan ini. Karena jika semua ikut memutuskan maka betapa kisruhnya dunia pendidikan Indonesia. Banyak hal yang harus diselesaikan dalam tubuh pendidikan itu sendiri, terutama tuntutan atas peran strategis pendidikan sebagai suatu pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk mewujudkan pencerdasan kehidupan bangsa, telah mendorong tumbuhnya berbagai inovasi dalam sistem pendidikan. Untuk itu kita harus bisa mengembangkan sistem pendidikan yang lebih terbuka, lebih luwes, dan dapat diakses oleh siapa saja yang memerlukan tanpa lokasi, kondisi sosial ekonomi, maupun pengalaman pendidikan sebelumnya. Sistem tersebut juga mampu meningkatkan mutu pendidikan secara merata. Sistem pendidikan tersebut adalah sistem pendidikan terbuka atau sistem belajar jarak jauh, yang merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Sistem belajar jarak jauh adalah suatu model pembelajaran yang tidak terikat oleh segala peraturan yang mengikat seperti pada pendidikan konvensional. Kondisi geografis negara Indonesia yang unik, serta perubahan yang besar dalam sistem pembangunan yang dipengaruhi oleh lingkungan secara global mengharuskan kita untuk mengembangkan sistem pendidikan yang lebih terbuka, luwes, dan dapat diakses oleh siapa saja yang memerlukan. Sistem yang perlu dikembangkan dalam memperluas kesempatan pendidikan, juga harus berfungsi sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan secara merata, meningkatkan relevansi pendidikan sesuai dengan kebutuhan, dan meningkatkan efisiensi dalam penyelenggraan pendidikan. Salah satu cara yang dapat digunakan dan dapat dikembangkan dalam memecahkan persoalan tersebut adalah dengan menerapkan sistem pendidikan jarak jauh, yang mana sistem tersebut merupakan salah satu subsistem dalam pendidikan nasional.
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 5 |
Kunjungan Direktur SEAMOLEC (SEAMEO Regional Open Learning Centre), Bapak Abi Sujak ke LPMP Sulawesi Selatan pada hari Rabu tanggal 3 Februari 2016 untuk mensosialisasikan program dari SEAMOLEC yaitu FLEXIBLE LEARNING & MASSIVE OPEN ONLINE COURSE (MOOC). Program ini memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk memudahkan pembelajaran jarak jauh bagi siswa maupun umum yang berada dinegara manapun. Prinsip pembelajaran ini adalah mudah diakses secara online, murah dalam biaya, masal(massive) tidak ada pembatasan peserta, minat terhadap pelatihan sangat ditentukan oleh kompetensi yang spesifik dan menjawab kebutuhan pasar serta mampu meningkatkan kompetensi keahlian sesuai kebutuhan. Sosialisasi ini dihadiri oleh pejabat struktural dan staf LPMP Sulawesi Selatan, Ketua Ikatan Guru Indonesia, Perwakilan Kanwil Depag, dan lain lain. Bapak abi mengemukakan bahwa program ini sangat mudah untuk diaplikasikan ke siswa, apalagi jika sering menggunakan aplikasi jejaring sosial seperti facebook yang memudahkan untuk mengakses dan model pembelajaran yang menganut sistem flexible learning dengan kata lain program pembelajaran ini dapat diakses dimana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Untuk awal pelatihan ini dibutuhkan 60 orang dari LPMP Sulawesi Selatan dan beberapa guru inti untuk dilatih mengaplikasikan program ini selama 3 hari oleh instruktur dari SEAMOLEC, selanjutnya diharapkan peserta yang telah dilatih akan mengimbaskan ilmunya ke guru‐ guru di sekolah, dan guru inilah yang akan mengajari siswanya untuk menggunakan program ini. Dengan adanya program ini diharapkan partisipasi dan kerjasama dari semua pihak untuk memajukan dunia pendidikan di Indonesia umumnya dan Provinsi Sulawesi Selatan pada khususnya. Besar harapan kita untuk guru dan siswa di Sulawesi Selatan dapat meningkatkan pengetahuannya dengan berbagi ilmu dengan siswa yang ada di indonesia maupun dari negara lain, sehingga tidak ada perbedaan pengetahuan diantaranya. (Nursaidawaty A.)
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 6 |
Temu Awal Pemeriksaan Laporan Keuangan Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Tahun 2015 Tujuan temu awal ini untuk menginformasikan akan dilaksanakannya pemeriksaan Laporan keuangan Kemendikbud tahun anggaran 2015 oleh BPK yang bertujuan melihat kesesuaian LK Keme ndikbud tahun 2015 dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), Kecukupan pengungkapan LKKL Kemndikbud tahun 2015 sesuai den gan pengungkapan yang diatur dalam SAP, Kepatuhan terhadap peraturan perundang‐undangan terkait dengan pelaporan keuangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern. Lingkup pemeriksaan meliputi pemeriksaan dilakukan atas LK Kemdikbud TA 2015 dan kekayaan negara lainnya yang termasuk dalam keuangan negara sebagaimana diatur dalam pasal 2 undang‐undang nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara. Sasaran pemeriksaan adalah pengujian atas akun‐akun dan saldo yang disajikan dalam nerca serta transaksi‐transaksi pada LRA dengan pertimbangan materialitas sebesar 3% dari total realisasi belanja berdasarkan LK Kemendikbud tahun 2015, dengan fokus pada seluruh akun neraca dan LRA, laporan operasional dan laporan perubahan ekuitas. Fokus pemeriksaan: a. perubahan penerapan sistem akuntansi berbasis Kas menuju akrual ke basis akrual; b. pemisahan Ditjen Dikti sejak pembentukan kabinet kerja bulan Oktober 2014 dari Kemendikbud ke Kementerian Ristek dan DIKTI beserta dampaknya terhadap laporan keuangan; c. kemendikbud mengalami perubahan struktur organisasi internal antara lain likuidasi 3 unit eselon 1 sehingga satker dibawahnya berpindah/bergabung ke satker eselon 1 yang lain beserta dampaknya terhadap laporan keuangan; d. Bansos pada kemendikbud tahun 2015 sebesar 63,53% dari total anggaran dan berdasarkan PMK no. 168 tahun 2015 tentang mekanisme pelaksanaan anggaran bantuan pemerintah bahwa belanja bansos beralih dari MAK 57 (belanja bansos) ke MAK 52 (belanja barang) beserta berdampaknya terhadap laporan keuangan. Pada hari Selasa, 9 Februari 2016 diadakan temu awal BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dengan LPMP Sulawesi Selatan, LP3TK KPTK Gowa, Balai Arkeologi, BP PAUDNI Reg. III, Balai Pelestarian Cagar Budaya, Balai Pelestarian Nilai Budaya, Balai Bahasa, dan Satker penerima Dekon. Pertemuan ini dilaksanakan di ruang Aula 1 lantai 2 LPMP Sulawesi Selatan.
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 7 |
Tujuan temu awal ini untuk menginformasikan akan dilaksanakannya pemeriksaan Laporan keuangan Kemendikbud tahun anggaran 2015 oleh BPK yang bertujuan melihat kesesuaian LK Keme ndikbud tahun 2015 dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), Kecukupan pengungkapan LKKL Kemendikbud tahun 2015 sesuai den gan pengungkapan yang diatur dalam SAP, Kepatuhan terhadap peraturan perundang‐undangan terkait dengan pelaporan keuangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern. Lingkup pemeriksaan meliputi pemeriksaan dilakukan atas LK Kemendikbud TA 2015 dan kekayaan negara lainnya yang termasuk dalam keuangan negara sebagaimana diatur dalam pasal 2 undang‐undang nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara. Sasaran pemeriksaan adalah pengujian atas akun‐akun dan saldo yang disajikan dalam neraca serta transaksi‐ transaksi pada LRA dengan pertimbangan materialitas sebesar 3% dari total realisasi belanja berdasarkan LK Kemendikbud tahun 2015, dengan fokus pada seluruh akun neraca dan LRA, laporan operasional dan laporan perubahan ekuitas. Fokus pemeriksaan: a. perubahan penerapan sistem akuntansi berbasis Kas menuju akrual ke basis akrual; b. pemisahan Ditjen Dikti sejak pembentukan kabinet kerja bulan Oktober 2014 dari Kemendikbud ke Kementerian Ristek dan DIKTI beserta dampaknya terhadap laporan keuangan; c. kemendikbud mengalami perubahan struktur organisasi internal antara lain likuidasi 3 unit eselon 1 sehingga satker dibawahnya berpindah/bergabung ke satker eselon 1 yang lain beserta dampaknya terhadap laporan keuangan; d. Bansos pada kemendikbud tahun 2015 sebesar 63,53% dari total anggaran dan berdasarkan PMK no. 168 tahun 2015 tentang mekanisme pelaksanaan anggaran bantuan pemerintah bahwa belanja bansos beralih dari MAK 57 (belanja bansos) ke MAK 52 (belanja barang) beserta berdampaknya terhadap laporan keuangan. ( Nursaidawaty A.)
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 8 |
Capacity Building Pegawai LPMP Sulawesi Selatan
D
alam rangka memenuhi kewajiban pegawai untuk menyusun sasaran kerja berdasarkan jabatan yang diampuh dimana sasaran kerja pegawai tersebut merupakan kontrak kerja antara bawahan dan atasan, maka LPMP Sulawesi Selatan mengadakan Capacity Building pada tanggal 25 s.d. 27 Februari 2016 di Hotel Wisata Pantai Galesong, Desa Sampulungan, Kec. Galesong Utara, Kab. Takalar. Dengan adanya peralihan unit utama LPMP dari BPSDMPK & PMP ke Ditjen Dikdasmen mengakibatkan perubahan pada aplikasi e‐SKP yang digunakan dari aplikasi SKP yang berasal dari BPSDMPK & PMP telah dihentikan tahun 2015 dan beralih ke aplikasi e‐SKP yang dikeluarkan oleh Biro Kepegawaian Kemendikbud. Kegiatan ini dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan berproduktivitas, motivasi dan keterampilan pegawai dalam pengembangan dan membangun kemampuanpersonal, serta meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pegawai tentang aplikasi e‐SKP Biro Kepegawaian Kemendikbud. Acara dimulai pada hari kamis (25/02/16) pukul 17.00 sore, dibuka oleh Kepala LPMP Sulawesi Selatan, Dr. H. Abdul Halim Muharram, M.Pd., dalam acara pembukaan iatan ini dilaksanakan untuk mengawali kegiatan di tahun 2016, namun sebelum memulai sebaiknya kita membangun komitmen dan semangat kerja yang tinggi agar apa yang kita kerjakan tidak menjadi sebuah beban yang sangat berat sehingga membuat kita enggan untuk melirik apalagi mengerjakannya. “LPMP Sulawesi Selatan adalah sebuah lembaga yang besar, lembaga yang besar
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 9 |
membutuhkan semangat yang besar untuk memulai sesuatu yang besar....lembaga yang besar harus dikawal dengan orang‐orang yang mempunyai komitmen yang tinggi dalam melaksanakan tugas kedinasan, baik itu PNS maupun Non PNS..., dibutuhkan saling pengertian diantara kita, untuk bersama‐sama membangun dan mengembalikan kejayaan LPMP Sulawesi Selatan seperti pada tahun 2005 sebagai LPMP yang berjaya dibidang IT dan pelan‐pelan menghapus predikat sebagai LPMP terburuk kebersihannya...” ulasan beliau dalam memotivasi seluruh pegawai LPMP Sulawesi Selatan. Keinginan beliau juga adalah menarik minat orang‐ orang diluar lingkungan LPMP Sulawesi Selatan untuk datang berkunjung ke LPMP dengan memberikan keramah‐tamahan dan keamanan kepada setiap tamu yang datang, hal ini bisa dimulai dari para security kita kemudian berlanjut ke setiap bagian. Untuk membedakan tamu dan pegawai hendaknya seluruh pegawai menggunakan id‐card. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil disampaikan Kepala Bagian Umum LPMP Sulawesi Selatan, Bapak Drs. Suardi B., M.Pd memaparkan antara lain tentang Kewajiban, Tingkat dan Jenis Hukuman Disiplin, Jenis Pelanggaran, dan segala peraturan yang mengikat PNS dalam melaksanakan tugas kedinasan. Hendaknya seluruh pegawai LPMP Sulawesi Selatan melaksanakan tugas dengan sebaik‐ baiknya sesuai dengan sumpah dan aturan yang berlaku sehingga akan meminimalisir tingkat pelanggaran dan hukuman disiplin dikalangan PNS LPMP Sulawesi Selatan. Elektronik Sasaran Kerja Pegawai Aplikasi Elektronik Sasaran Kerja Pegawai yang dising kat dengan e‐SKP digunakan untuk mencatat rencana kerja, realisasi kerja dan menghitung kinerja dari seorang pegawai dalam jabatan yang diampunya. Sesuai yang dikemukakan oleh bapak Saleh Saripuddin, S.Kom dari Biro Kepegawaian Kementerian Pendidikan dan kebudayaan bahwa Proses perhitungan realisasi SKP mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil yang Ketentuan Pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Nomor 1 Tahun 2013. Sedangkan Peraturan Pemerintah no. 107 mengatur tentang disiplin kehadiran pegawai tepat datang tepat pulang. Aplikasi SKP dapat diakses menggunakan web browser seperti internet explorer, firefox, dan crhom pada laman http://skp.sdm.kemdikbud.go.id. Atau http://118.98.234.94/skpbaru Pegawai yang dapat menggunakan aplikasi SKP adalah CPNS/PNS yang tercatat dalam database kepegawaian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk melakukan pembaruan database kepegawaian tersebut dapat dilakukan oleh user dari pengelola kepegawaian di masing‐masing unit kerja yang ditunjuk melalui laman http://data.sdm.kemdikbud.go.id.
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 10 |
Keterangan : Pegawai melakukan login pada aplikasi e‐SKP dengan menggunakan NIP dan Password (standar password adalah skp12345) kemudian mengisi Rencana SKP (Kuantitas, Kualitas, Waktu, Biaya, AK), mengisi Target Bulanan dari Rencana SKP, mencetak Rencana SKP, Hasil cetakan disampaikan kepada Atasan Langsung untuk mendapatkan persetujuan terhadap Rencana Sasaran Kerja Pegawai yang telah disusun, Persetujuan dilakukan oleh Atasan langsung dengan cara menandatangani Rencana SKP dan memberikan persetujuan secara elektronik melalui Aplikasi SKP, Setelah mendapatkan persetujuan secara elektronik pegawai tidak dapat lagi merubah SKP yang telah ditetapkan, Untuk merubah SKP yang telah disetujui, pegawai harus mengajukan perubahan kepada atasan langsung untuk dilakukan perubahan (pembatalan persetujuan) sampai pegawai mengajukan Rencana SKP yang baru, Sepanjang Rencana SKP belum disetujui oleh atasan langsung, maka pegawai tidak dapat memasukkan data laporan hasil pekerjaan pada realisasi rencana SKP. Nilai Kinerja Formulir Realisasi Sasaran Kerja Pegawai akan bertambah setelah laporan realisasi SKP disetujui oleh atasan melalui aplikasi e‐ SKP, Laporan Realisasi SKP, baik yang disetujui maupun tidak oleh atasan akan tercatat dalam laporan realisasi pegawai. Pada aplikasi e‐SKP ini tidak ada upload dan download dokumen namun pegawai tetap mengumpulkan bukti fisik dan pencatatan kinerja kemudian membuat summary (ringkasan laporan) dalam setahun. Dinamika Kelompok Selain mengikuti materi dalam kelas, terdapat materi di luar kelas yaitu Dinamika Kelompok yang diikuti oleh seluruh pegawai LPMP Sulawesi Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan secara berkelompok yang bertujuan meningkatkan nilai kerjasama kelompok, meningkatkan proses interaksi antara anggota kelompok, meningkatkan produktivitas anggota kelompok, mengembangkan kelompok ke arah yang lebih baik dan lebih maju dan meningkatkan kesejahteraan hidup anggotanya. Diharapkan dengan mengikuti kegiatan ini seluruh pegawai
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 11 |
LPMP Sulawesi Selatan dapat menjalin kerjasama yang baik dalam membangun lembaga, memikirkan bersama‐sama segala permasalahan yang dialami lembaga sehingga dapat diperoleh pemecahannya dengan cepat, efektif dan efisien.
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 12 |
Workshop Penyusunan Peta Manajemen Resiko LPMP Sulawesi Selatan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Sulawesi Selatan menyelenggarakan Workshop Penyusunan Manajemen Risiko di Hotel Singgasana, tanggal 3 s.d. 5 Maret 2016. Workshop ini diikuti oleh 80 orang peserta Pegawai Negeri Sipil (PNS), dengan sebaran perwakilan dari subbagian/seksi, yang terdiri dari Unsur Pimpinan dan staf di lingkungan LPMP Sulawesi Selatan. Tujuan Workshop Penyusunan Manajemen Resiko ini antara lain agar staf dan pimpinan dapat memahami pentingnya manajemen resiko khususnya dalam pelaksanaan program prioritas lembaga; mengidentifikasi keberadaan dan penyebab munculnya resiko dalam pelaksanaan program prioritas lembaga; melakukan penanganan dan pengendalian terhadap resiko yang muncul, serta upaya pendanaannya; dan menyusun atau membuat peta resiko dari program prioritas lembaga. Hasil yang diharapkan dari Workshop ini antara lain adalah Staf dan pimpinan memiliki pemahaman tentang manajemen resiko, mampu mengidentifikasi, dan mengendalikan resiko program prioritas lembaga dan membuat atau menyusun Peta Resiko dari program prioritas lembaga. Narasumber yang menjadi fasilitator dalam kegiatan ini sebanyak 5 orang, terdiri dari pejabat eselon (Kepala LPMP), dengan materi Kebijakan dan Program Lembaga; Narasumber Daerah dan Narasumber Pusat yang memandu peserta dalam penyusunan peta resiko. Berikut materi yang disampaikan dalam workshop tersebut: MATERI Pembukaan/Kebijakan & Program Prioritas LPMP Prov. Sulsel T. A. 2016 Analisis Resiko, Standar dan Kerangka Kerja Manajemen Resiko, dan Identifikasi Resiko Sistem Pengendalian Instansi Pemerintah (SPIP) Penyusunan Peta Resiko Program Prioritas LPMP Prov. Sulsel
NARASUMBER/FASILITATOR Kepala LPMP Prov. Sulsel (Drs. H. Abd. Halim Muharram, M.Pd.) Eko Hery Winarno, Ak, MAP, CA Dr. Sofyan Syafar, S.Sos., M.Si. Drs. Maralus Panggabean, SE, SH, M.Sc ( Bahtiar )
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 13 |
Diklat Perencanaan dan Pengembangan Karir PNS LPMP Sulawesi Selatan
Salah satu narasumber, bapak Drs. Suyadi, M.Ed Setditjen Dikdasmen mengatakan bahwa pegawai yang akan melanjutkan pendidikan hendaknya memperhatikan integritas dari Universitas yang akan dijadikan tempat belajar dan segera mengurus surat ijin belajar atau tugas belajar. Begitu pula dalam bekerja hendaknya bekerja dalam satu tim yang solid, ketika salah satu teman tidak bisa hadir dan sementara sedang mengerjakan suatu pekerjaan maka rekan satu timnya yang harus membantu menyelesaikan pekerjaan tersebut sehingga tidak ada penundaan pekerjaan dan pelayanan pun tetap berjalan dengan baik. Absensi dilengkapi dengan baik dan diberengi dengan kinerja yang baik pula, tidak hanya datang pagi dan sore saja istilahnya 704 datang pukul 7 pagi siang menghilang dan datang kembali pada pukul 4 sore untuk ceklok, namun memaksimalkan kinerja dari jam 7.30 sampai dengan 16.00 setiap hari. Para peserta diberikan pengetahuan tentang Manajemen SDM Strategik dan Manajemen Karir berdasarkan UU ASN (Aparatur Sipil Negara) dalam rangka mewujudkan sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance) serta mewujudkan pelayanan publik yang baik, efisien, efektif dan berkualitas tentunya perlu didukung adanyan Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur khususnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang profesional, bertanggungjawab, adil, jujur dan kompeten dalam bidangnya. Dengan kata lain, PNS dalam menjalankan tugas tentunya harus berdasarkan pada profesionalisme dan kompetensi sesuai kualifikasi bidang ilmu yang dimilikinya. Untuk mewujudkan SDM aparatur (PNS) yang profesional dan berkompetensi dengan pembinaan karir PNS yang dilaksanakan atas dasar perpaduan antara sistem prestasi kerja dan karir, maka pengembangan SDM aparatur berbasis kompetensi merupakan
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 14 |
suatu keharusan agar organisasi (birokrasi) dapat mewujudkan kinerja yang lebih baik dan memberikan pelayanan publik yang terbaik. Pengembangan karir yang dilaksanakan dan dikembangkan pada SDM aparatur (PNS) adalah melalui pembinaan karir dan penilaian sistem prestasi kerja. Sistem karir pada umumnya melalui kenaikan pangkat, mutasi jabatan serta promosi. Pengembangan karir bukan sekedar promosi ke jabatan yang lebih tinggi, melainkan pegawai mengalami kemajuan dalam bekerja, adanya kepuasan dalam jabatan yang dipercayakan serta meningkatnya keterampilan pegawai. Selain UU ASN para peserta juga diajak oleh Praktisi Psikologi, ibu fauziah Zulfitri untuk meningkatkan motivasi kerja dan bersemangat dalam meraih prestasi dalam bekerja. Diperlukan tiga hal untuk memotivasi diri kita yaitu kekuatan untuk memotivasi diri kita, diperlukan tujuan dalam hidup kita, dan dilakukan secara terus menerus serta pantang menyerah dalam menghadapi kegagalan. “Anda tidak akan menjadi apa yang anda inginkan, jika anda tetap menjadi seperti yang sekarang....”, kata kuncinya adalah BERUBAH. Mudah‐mudahan dengan adanya kegiatan ini peserta pegawai LPMP Sulawesi Selatan dapat menambah pengetahuannya tentang UU ASN dan dapat mengembangkan karirnya sesuai dengan pola karir PNS yang berlaku serta meningkatnya motivasi kerja pegawai LPMP Sulawesi Selatan sehingga semakin terampil dan mampu melaksanakan segala tanggungjawabnya dengan baik. LPMP Sulawesi Selatan mengadakan kegiatan Diklat Perencanaan dan Pengembangan Karir PNS untuk memberikan pengetahuan kepada pegawai tentang pengembangan karir ASN dan meningkatkan motivasi kerja pada pegawai. Sehingga diharapkan pegawai mempunyai persamaan persepsi tentang hak dan kewajiban dan syarat‐syarat dalam pengembangan karir dan akan menjadi acuan pegawai dalam rencana pengembangan karirnya sesuai dengan pola karir PNS yang berlaku. Kegiatan ini berlangsung pada tanggal 24 s.d. 26 Maret 2016 di Aula 1 LPMP Sulawesi Selatan. Pola pembelajaran yaitu pemaparan oleh narasumber yang dilengkapi dengan tanya jawab dan praktek. Materi yang diberikan pada kegiatan ini sangat menarik antara lain Manajemen Karir ASN, Motivasi Berprestasi dan Manajemen SDM Strategik. Salah satu narasumber, bapak Drs. Suyadi, M.Ed Setditjen Dikdasmen mengatakan bahwa pegawai yang akan melanjutkan pendidikan hendaknya memperhatikan integritas dari Universitas yang akan dijadikan tempat belajar dan segera mengurus surat ijin belajar atau tugas belajar. Begitu pula dalam bekerja hendaknya bekerja dalam satu tim yang solid, ketika salah satu teman tidak bisa hadir dan sementara sedang mengerjakan suatu pekerjaan maka rekan satu timnya yang harus membantu menyelesaikan pekerjaan tersebut sehingga tidak ada penundaan pekerjaan dan pelayanan pun tetap berjalan dengan baik. Absensi dilengkapi dengan baik dan diberengi dengan kinerja yang baik pula, tidak hanya datang pagi dan sore saja istilahnya 704 datang pukul 7 pagi siang menghilang dan datang kembali pada pukul 4 sore untuk ceklok, namun memaksimalkan kinerja dari jam 7.30 sampai dengan 16.00 setiap hari. EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 15 |
Para peserta diberikan pengetahuan tentang Manajemen SDM Strategik dan Manajemen Karir berdasarkan UU ASN (Aparatur Sipil Negara) dalam rangka mewujudkan sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance) serta mewujudkan pelayanan publik yang baik, efisien, efektif dan berkualitas tentunya perlu didukung adanyan Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur khususnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang profesional, bertanggungjawab, adil, jujur dan kompeten dalam bidangnya. Dengan kata lain, PNS dalam menjalankan tugas tentunya harus berdasarkan pada profesionalisme dan kompetensi sesuai kualifikasi bidang ilmu yang dimilikinya. Untuk mewujudkan SDM aparatur (PNS) yang profesional dan berkompetensi dengan pembinaan karir PNS yang dilaksanakan atas dasar perpaduan antara sistem prestasi kerja dan karir, maka pengembangan SDM aparatur berbasis kompetensi merupakan suatu keharusan agar organisasi (birokrasi) dapat mewujudkan kinerja yang lebih baik dan memberikan pelayanan publik yang terbaik.
Pengembangan karir yang dilaksanakan dan dikembangkan pada SDM aparatur (PNS) adalah melalui pembinaan karir dan penilaian sistem prestasi kerja. Sistem karir pada umumnya melalui kenaikan pangkat, mutasi jabatan serta promosi. Pengembangan karir bukan sekedar promosi ke jabatan yang lebih tinggi, melainkan pegawai mengalami kemajuan dalam bekerja, adanya kepuasan dalam jabatan yang dipercayakan serta meningkatnya keterampilan pegawai. Selain UU ASN para peserta juga diajak oleh Praktisi Psikologi, ibu fauziah Zulfitri untuk meningkatkan motivasi kerja dan bersemangat dalam meraih prestasi dalam bekerja. Diperlukan tiga hal untuk memotivasi diri kita yaitu kekuatan untuk memotivasi diri kita, diperlukan tujuan dalam hidup kita, dan dilakukan secara terus menerus serta pantang menyerah dalam menghadapi kegagalan. “Anda tidak akan menjadi apa yang anda inginkan, jika anda tetap menjadi seperti yang sekarang....”, kata kuncinya adalah berubah. (Nursaidawaty A.)
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 16 |
LPMP dan Pemprov Sulawesi Selatan Kawal Pendidikan Bersama
Pendidikan merupakan gerbang menuju kehidupan yang lebih baik. Dengan memperjuangkan hal‐hal terkecil hingga hal‐hal terbesar yang normalnya akan dilewati oleh setiap manusia. Seperti itulah yang dilontarkan Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo kepada Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Sulsel. "Masalah pendidikan itu kan kewajiban. Jadi semua pihak harus berkontribusi karena bangsa ini bisa lebih baik kalau pendidikannya itu baik. Salah satu cara memperbaiki Indonesia itu dengan menghasilkan orang pintar," Jelas Syahrul di Ruang Kerja Gubernur, Senin (28/3/2016). Dalam kunjungannya, Halim Muharram mengungkapkan kalau maksud dan tujuannya untuk bersua dengan Gubernur adalah tidak lain untuk meminta wejangan atau petunjuk dari Pemprov Sulsel sebelum mengimplementasikan program, yang kemudian akan diterjemahkan untuk mengawal mutu pendidikan. "Tujuannya, supaya LPMP dan Pemprov Sulsel berada pada satu rel. Sehingga, capaian program bisa cepat dan tepat sasaran. Saya juga akan minta saran dan masukan dari berbagai stakeholder dan satuan pendidikan, bagaimana mengawal kualitas pendidikan," ujar Halim Muharram, selaku Kepala LPMP Sulsel.
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 17 |
Pendidikan juga adalah bekal untuk mengejar semua yang menjadi target oleh seseorang dalam kehidupannya sehingga tanpa pendidikan, maka logikanya semua yang diimpikannya akan menjadi sangat sulit untuk dapat diwujudkan. "Kita harus kejar ketertinggalan kita. Maka dari itu saya titipkan, apalagi LPMP adalah label. Saya akan support dan berada dibelakang LPMP. Harapan saya besar sekali sama kita, kalau ada kendala harap sampaikan sama saya," tutur Syahrul. Syahrul juga menambahkan agar tenaga pendidik betul‐betul ditangani dengan serius, dan Syahrul siap jika diundang dalam kegiatan yang bersangkutan dengan pendidikan. "Guru‐guru kita mendapat saingan dari teknologi. Bapak harus merapat sama saya, kita masih bisa bicarakan banyak hal mengenai pendidikan. Saya siap, pertemukan saya dan undang saya," tegas Syahrul. Pendidikan merupakan gerbang menuju kehidupan yang lebih baik. Dengan memperjuangkan hal‐hal terkecil hingga hal‐hal terbesar yang normalnya akan dilewati oleh setiap manusia. Seperti itulah yang dilontarkan Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo kepada Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Sulsel. "Masalah pendidikan itu kan kewajiban. Jadi semua pihak harus berkontribusi karena bangsa ini bisa lebih baik kalau pendidikannya itu baik. Salah satu cara memperbaiki Indonesia itu dengan menghasilkan orang pintar," Jelas Syahrul di Ruang Kerja Gubernur, Senin (28/3/2016). Dalam kunjungannya, Halim Muharram mengungkapkan kalau maksud dan tujuannya untuk bersua dengan Gubernur adalah tidak lain untuk meminta wejangan atau petunjuk dari Pemprov Sulsel sebelum mengimplementasikan program, yang kemudian akan diterjemahkan untuk mengawal mutu pendidikan. "Tujuannya, supaya LPMP dan Pemprov Sulsel berada pada satu rel. Sehingga, capaian program bisa cepat dan tepat sasaran serta terukur. Saya juga akan minta saran dan masukan dari berbagai stakeholder dan satuan pendidikan, bagaimana mengawal kualitas pendidikan," ujar Halim Muharram, selaku Kepala LPMP Sulsel. Pendidikan juga adalah bekal untuk mengejar semua yang menjadi target oleh seseorang dalam kehidupannya sehingga tanpa pendidikan, maka logikanya semua yang diimpikannya akan menjadi sangat sulit untuk dapat diwujudkan. "Kita harus kejar ketertinggalan kita. Maka dari itu saya titipkan, apalagi LPMP adalah label. Saya akan support dan berada dibelakang LPMP. Harapan saya besar sekali sama kita, kalau ada kendala harap sampaikan sama saya," tutur Syahrul. Syahrul juga menambahkan agar tenaga pendidik betul‐betul ditangani dengan serius, dan Syahrul siap jika diundang dalam kegiatan yang bersangkutan dengan pendidikan. "Guru‐guru kita mendapat saingan dari teknologi. Bapak harus merapat sama saya, kita masih bisa bicarakan banyak hal mengenai pendidikan. Saya siap, pertemukan saya dan undang saya," tegas Syahrul. (Aris Apriadi Saputra)
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 18 |
Membangun Budaya Sekolah Darwis Sasmedi Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan
M
embangun budaya sekolah sangat penting dilakukan demi meningkatkan mutu pendidikan. Dalam membangun budaya sekolah tersebut, kepala sekolah bertugas mengembangkan kondisi sekolah dan kelas yang kondusif. Kondisi itu memerlukan komunikasi dan interaksi yang yang sehat antara kepala sekolah dengan siswa, guru, staf, orang tua siswa, masyarakat, dan pemerintah. Belum semua sekolah memahami pentingnya budaya sekolah. Hal ini terlihat pada fakta bahwa belum semua sekolah memiliki program pengembangannya. Kondisi ini terjadi karena sebagian kepala sekolah belum memahami dan dan terampil dalam merencanakan, melaksanakan pengembangan, dan mengukur efektivitas pengembangan budaya sekolah. Hal itu tidak berarti kepala sekolah tidak memperhatikan pengembangannya. Pada kenyataannya banyak kepala sekolah yang sangat memperhatian akan pentingnya membangun suasana sekolah, suasana kelas, membangun hubungan yang harmonis untuk menunjang terbentuknya norma, keyakinan, sikap, karakter, dan motif berprestasi sehingga tumbuh menjadi sikap berpikir warga sekolah yang positif. Hanya saja kenyataan itu sering tidak tampak pada dokumen program pengembangan budaya. Budaya sekolah sangat erat kaitanya dengan pembentukan suasana sekolah yang kondusif dan diarahkan pada elemen perubahan kurikulum 2013, antara lain: (1) pembelajaran yang berpusat pada siswa, dimana siswa berinteraksi, beragumen, berdebat, dan berkolaborasi; (2) pembelajaran interkatif, yaitu guru berusaha membuat kelas semenarik mungkin dengan menggunakan pendekatan tematik integratif, sains, kontekstual yang terencana; (3) pembelajaran dalam konteks jejaring, dimana siswa menimba ilmu dari berbagai sumber; dari siapa saja, dari mana saja, dari internet, dari perpustakaan sekolah, dari hasil praktik di luar kelas, dari praktik di dalam kelas, dari pengalaman teman‐teman, dari pengalaman orang‐orang
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 19 |
sukses; dan (4) pembelajaran siswa aktif, dimana guru memfasilitasi siswa aktif dengan cara merumuskan berbagai pertanyaan yang ingin mereka cari jawabannya. Pengertian Budaya Sekolah Kebudayaan menurut Koetjaraningkat dalam Kemdikbud (2013) merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliknya melalui belajar. Penyebaran dan perkembangannya berproses seiring dengan perkembangan kehidupan. Stolp dan Smith (1994 ) menyatakan budaya sekolah pun perkembangan bersamaan dengan sejarah sekolah. Wujudnya dalam bentuk norma, nilai‐nilai, keyakinan, tata upacara, ritual, tradisi, mitos yang dipahami oleh seluruh warga sekolah. Karena perbedaan tingkat keyakinan, norma, dan nilai‐nilai yang diyakini oleh warga sekolah telah menyebabkan sekolah miliki tradisi berbeda‐beda. Data menunjukkan meskipun terdapat beberapa sekolah yang memiliki sumber keungan yang sama besar, namun penampilan fisik dan prestasinya dapat beda. Lebih dari itu, bisa terjadi sekolah dalam satu kompleks, didukung dengan lingkungan masyarakat yang sama, latar belakang pendidikan kepala sekolah dan guru‐gurunya sama, namun karena memiliki budaya sekolah yang berbeda, iklim maupun artefak sekolah pun berbeda, maka prestasinya menjadi berbeda. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh pemahaman dan kepatuhan warga sekolah terhadap norma, nilai‐nilai, dan keyakinan yang mereka junjung. Makin kuat keyakinan dan kepatuhan warga terhadap norma dan nilai‐nilai semakin tinggi pula keterikatannya pada sekolahnya, semakin besar rasa memiliki sekolahnya, dan makin kuat motif belajarnya. Homer Dixon dalam kemdikbud (2013) menyatakan bahwa kepala sekolah
menghadapi tantangan dalam mengelola masalah yang makin kompleks. Ketidakpastian menyebabkan krisis datang tanpa aba‐aba. Daya kendalinya selalu memerlukan dukungan pemikiran yang handal. Gelombang masalah yang datang selalu berbeda. Karena itu, kepala sekolah harus selalu membaharui idenya secara inovatif untuk mendukung kebijakan dan tindakan yang efektif atau mencapai tujuan. Tantangan utama kepala sekolah dalam mengembangkan budaya sekolah adalah membangun suasana sekolah yang kondusif melalui pengembangan komunikasi dan interaksi yang sehat antara kepala sekolah dengan siswa, guru‐guru, staf, orang tua siswa, masyarakat, dan pemerintah. Komunikasi dan interaksi yang sehat memilki dua indikator yaitu tingkat keseringan dan kedalaman materi yang dibahas. Di samping itu, kepala sekolah perlu mengembangkan komunikasi multi arah untuk mengintegrasikan seluruh sumber daya secara optimal. Dalam membangun budaya sekolah, kepala sekolah bertugas mengembangkan kondisi sekolah yang kondusif dan kelas yang kondusif. Kondisi itu memerlukan komunikasi dan interaksi antara kepala sekolah dengan guru, orang tua siswa, staf dan siswa harmonis. Kerja sama yang baik semua pihak diharapkan dapat menunjang pengembangan interaksi yang positif menumbuhkan pola pikir dan pola tindak dalam bentuk terhadap norma, nilai‐nilai yang sekolah junjung. Di samping itu, diharapkan pula dengan dukungan sekolah yang kondusif para pemangku kepentingan memiliki keyakinan bahwa sekolahnya dapat mewujudkan prestasi terbaik karena ditunjang dengan motif berprestasi yang tinggi.
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 20 |
Kepala sekolah harus mampu mengelola sumber daya yang sekolah miliki secara efektif dalam menjamin terwujudnya keunggulan pemenuhan standar kompetensi lulusan pada implementasi kurikulum 2013 melalui pembangunan budaya sekolah. Kepala sekolah mempunyai tiga tugas utama dalam membangun budaya sekolah, yaitu: (1) mengembangkan keharmonisan hubungan yang direalisasikan dalam komunikasi, kolaborasi untuk meningkatkan partisipasi; (2) mengembangkan keamanan baik secara psikologis, visi, sosial, dan keamanan kultural. Sekolah menjaga agar setiap warga sekolah kerasan dalam komunitasnya; dan (3) mengembangkan lingkungan sekolah yang agamis, lingkungan fisik sekolah yang bersih, indah, dan nyaman, mengembangkan lingkungan sekolah yang kondusif secara akademik. Guru dan siswa memiliki motif berprestasi serta keyakinan yang tinggi untuk mencapai target belajar yang bernilai dengan suasana yang berdisiplin dan kompetitif. Untuk mendukung pengembangan budaya sekolah, kepala sekolah hendaknya memperhatikan kemampuan diri dalam mengendalikan kepribadian, prilaku, dan sikap kepemimpinan kepala sekolah yang mendukung sehingga semua pihak dapat menjaga harmoni kerja sama yang baik. Keterampilan lain yang diperlukan adalah membangun kreasi dalam memberikan pelayanan agar memenuhi harapan semua pihak. Hal ini merupakan bagian terpenting dalam kepemimpinan (Celtus R Bulach, 2011). Tinggi rendahnya semangat kerja sama, kepatuhan terhadap norma atau nilai‐nilai yang baik, kebiasaan baik, kayakinan yang tinggi, motif berprestasi guru dan siswa sangat bergantung pada karakter kepemimpinan kepala sekolah. Dalam menunjang pengembangan budaya sekolah,
Fullan (2001) menyatakan bahwa kepala sekolah hendaknya menegakkan lima prinsip, yaitu (1) selalu berorientasi pada pencapain tujuan; mengembangkan visi dengan jelas dan kandungannya menjadi milik bersama; (2) menerapkan kepemimpinan partisipatif dengan memperluas peran pendidik dalam pengambilan keputusan; (3) berperan sebagai kepala sekolah yang inovatif dengan meningkatkan keyakinan bahwa pendidik dapat mengembangkan prilaku yang mendukung perubahan; (4) memerankan kepemimpinan yang meyakinkan pendidik sehingga mereka berpersepsi bahwa kepala sekolahnya “benar” menunjang efektivitas mereka bekerja; (5) mengembangkan kerja sama yang baik antar pendidik dalam interaksi formal maupun informal. Bagi kepala sekolah aspek mana pun kembali ke pemikiran awal yang menyatakan bahwa seluruh unsur kebudayaan berkembang melalui proses belajar. Oleh karena itu, inti dari pengembangan budaya adalah membangun hubungan yang baik, meningkatkan keamanan sekolah secara fisik maupun psikologis, meningkatkan lingkungan yang kondusif. Untuk itu, kepala sekolah dan seluruh pemangku kepentingan perlu terus belajar karena konteks budaya sekolah terus berubah tanpa henti. Relevan dengan kondisi itu, Peter Senge menyatakan bahwa kepala sekolah perlu memerankan diri sebagai teladan yang ditunjukkan dengan indikator, yaitu: (1) menjadi personal yang bersiplin tinggi dalam memfokuskan energi dalam mewujudkan visi‐misi, bersabar, dan memahami fakta secara objektif; (2) menjadi mental model dalam mempengaruhi dan memahami keadaan sekitar dan serta dapat merespon dengan tepat; (3) mengembangkan visi‐misi
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 21 |
bersama sebagai dasar untuk mengembangkan komitmen yang berkembang secara berkelanjutan sehingga kepala sekolah tidak hanya mengembangkan kepatuhan; (4) mengembangkan tim pembelajar yang dialogis, mengembangkan kapasitas tim, mengganti asumsi dengan pemikiran bersama; dan (5) mengembangkan berpikir sistem yang mengintegrasikan dengan keempat disiplin di atas. Keberhasilan pengembangan budaya sekolah menjadi penentu keberhasilan meningkatkan lulusan yang bermutu. Karena itu, kepala sekolah penting memperhatikan berbagai prinsip utama, yaitu: (1) budaya merupakan norma, nilai, keyakinan, ritual, gagasan, tindakan, dan karya sebagai hasil belajar; (2) perubahan budaya mencakup proses pengembangan norma, nilai, keyakinan, dan tradisi sekolah yang dipahami dan dipatuhi warga sekolah yang dikembangkan melalui komunikasi dan interaksi sehingga mengukuhkan partisipasi; (3) untuk dapat mengubah budaya sekolah memerlukan pemimpin inspiratif dan inovatif dalam mengembangkan perubahan perilaku melalui proses belajar; (4) Efektivitas perubahan budaya sekolah dapat terwujud dengan mengembangkan sekolah sebagai organisasi pembelajar melalui peran kepala sekolah menjadi teladan; dan (5) mengembangkan budaya sekolah memerlukan ketekunan, keharmonisan, dan perjuangan tiada henti karena budaya di sekitar sekolah selalu berubah ke arah yang tidak selalu sesuai dengan harapan sekolah. Model Strategi Pengelolaan Budaya Sekolah Pengembangan budaya sekolah tidak lepas dari budaya masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, pengembangan budaya sebaiknya berdasarkan kebutuhan sekolah yang di dalamnya terdapat kepala sekolah, guru, dan siswa yang terintegrasi pada
budaya yang berkembang di lingkungannya. Di samping budaya sekolah merupakan bagian dari budaya lingkungan sekitarnya, sekolah harus dapat berfungsi sebagai agen pengembang budaya lingkungan. Sekolah dalam fungsinya sebagai agen perubahan budaya perlu merumuskan rencana, strategi pengembangan, dan monitoring dan evaluasi pembangunan budaya sekolah dengan menggunakan strategi pengembangan budaya sekolah di bawah ini. Langkah pertama adalah analisis Lingkungan eksternal dan internal. Pada tahap ini apabila dilihat dari model analisis lingkungan adalah mengidentifikasi peluang dan ancaman yang datang dari budaya sekitar sekolah. Di samping itu analisis lingkungan diperlukan untuk mengidentifikasi kekuatan kelemahan dari dalam. Dari analisis lingkungan akan diperoleh sejumlah masalah yang sekolah perlu selesaikan. Langkah Kedua adalah merumuskan strategi yang meliputi penetapan visi‐misi yang menjadi arah pengembangan, tujuan pengembangan, stategi pengembangan, dan penetapan kebijakan. Arah pengembangan dapat dapat dijabarkan dari visi‐dan misi menjadi indikator pada pencapaian tujuan. Contoh dalam pengembangan keyakinan akan dibuktikan dengan sejumlah target yang tinggi pada setiap indikator pencapaian. Hal ini dapat dijabarkan lebih lanjut pada model operasional penguatan nilai kerja sama dan yang kompetitif. Misalnya sekolah membagi kelompok kerja dengan semangat kebersamaan, namun antar kelompok dikondisikan agar selalu berkompetisi untuk mencapai target yang terbaik. Oleh karena itu, sekolah secara internal tidak mengembangkan model kompetisi individual karena dapat mengurangi makna pengembangan nilai kebersamaan dan kekompakan. Program
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 22 |
kerja berbasis kolaborasi pada model ini dapat dikukuhkan melalui penetapan kelompok kerja yang ditetapkan dalam surat tugas dari kepala sekolah sebagai pemangku kebijakan. Langkah ketiga adalah Implementasi strategi untuk dapat menjawab bagaimana caranya sekolah melaksanakan program. Jika pada model pertama sekolah berencana untuk mengembangkan nilai kebersamaan melalui pelaksanaan kegiatan kolaboratif dan kompetitif, maka sekolah hendaknya menyusun strategi pada kegiatan yang mana yang dapat dikolaborasikan dan dikompetisikan. Sekolah dapat memilih bidang yang akan dikolaborasikan bersifat kompetitif dari berbagai bidang kegiatan, misalnya sekolah berencana untuk mengembangkan lingkungan fisik sekolah yang nyaman. Pada kegiatan ini diperkukan nilai kebersamaan, semangat berkolaborasi, semangat berpartisipasi dari seluruh pemangku kepentingan di sekolah. Pengembangan nilai harus diwujudkan dalam kepatuhan atas kesepatan yang dituangkan dalam pengaturan. Oleh karena itu pengembangan budaya sekoah sangat erat kaitannya dengan peraturan dan kepatuhan seluruh warga sekolah pada pelaksanaan kegiatan sehari‐hari di sekolah. Pada langkah ketiga, peran kepala sekolah yang penting adalah; (1) menetapkan kebijakan atas kesepakatan bersama; (2) merealisasikan strategi; (3) melaksanakan perbaikan proses berdasarkan data yang diperoleh dari
pemantauan; (4) melakukan evaluasi kegiatan berbasis data hasil pemantauann. Langkah keempat adalah monitoring dan evaluasi. Langkah ini merupakan bagian dari sistem penjaminan mutu. Kepala sekolah melalui monitoring memenuhi kewajiban untuk memastikan bahwa proses pelaksanaan kegiatan sesuai dengan rencana. Jadwal pelaksanaan memenuhi target waktu. Tahap pelaksanaan sesuai dengan yang direncanakan. Lebih dari itu hasil yang diharapkan sesuai dengan target. Rumusan rencana, strategi pengembangan, dan monitoring dan evaluasi pembangunan budaya sekolah dengan menggunakan strategi pengembangan budaya sekolah yang telah diuraikan menjadi acuan dalam mengembangkan budaya sekolah. Dengan demikian, untuk mengembangkan budaya sekolah kepala sekolah memerlukan keterampilan untuk merancang pengembangan budaya sekolah dalam menunjang implementasi krikulum 2013, menggunakan instrumen pemantuan perkembangan dan rekomendasi perbaikan budaya sekolah dan menilai keterlaksanaan dan keberhasilan serta menyusun saran dan rencana tindak lanjut perbaikan. DAFTAR PUSTAKA Kemdikbud. 2013. Bahan Ajar: Budaya Sekolah: BPSDMPK dan PMP. Jakarta.
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 23 |
Teaching Listening Strategy: How To Help Your Students? Meydiawati, SS. M.Pd Widyaiswara LPMP Maluku Utara Abstract Some topics will elaborate through this paper. The first is the importance of listening components. Then, it discusses recents studies on listening strategy on bottom‐up and top‐down processes that combine during listening. Two different perspectives of listening as comprehension and listening as acquisition. Next, this paper identifies two kinds of strategies in listening, cognitive strategies relates to mental activities related to comprehending and storing input in working memory or long‐term memory Another strategy is metacognitive strategies: those conscious or unconscious mental activities that perform an executive function in the management of cognitive strategies, assessing the situation, monitoring and self‐evaluating. Key words: listening as comprehension, listening as acquisition, cognitive strategy, metacognitive strategy Introduction prior knowledge and schema in The teaching of listening has attracted a comprehension. Listening came to be greater level of interest in recent years seen as an interpretive process. At the than it did in the past. Earlier views of same time, the fields of discourse listening showed it as the mastery of analysis and conversational analysis discrete skills or microskills, such as revealed a great deal about the nature recognizing reduced forms of words, and organization of spoken discourse recognizing cohesive devices in texts, and led to a realization that reading and identifying key words in a text, and written texts aloud could not provide a that these skills should form the focus of suitable basis for developing the teaching. Later views of listening drew abilities needed to process real‐time on the field of cognitive psychology, authentic discourse. Hence, current which introduced the notions of views of listening emphasize the role of bottom‐up and top‐down processing the listener, who is seen as an active and brought attention to the role of participant in listening, employing EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 24 |
strategies to facilitate, monitor, and evaluate his or her listening. Recents studies on listening strategy Over the past two decades, learning strategy has been one of the most important topics in ESL listening. The literature review focused on previous research findings related to five particular areas: listening processes, differences between more and less effective listeners, listening strategy instruction, assessment of listening strategies, and students’ perceptions of strategy instruction. General findings along with critiques of individual studies in each area were presented. Bottom‐up and top‐down processes are the two cognitive processes that combine during listening. The bottom‐ up processing begins with sound elements and gradually combines increasing larger units of meaning to construct meaning. Listeners focus on linguistic features and decode each sound and word for semantic meaning (Siegel, 2011). In contrast, the top‐down processing begins with a holistic view and moves from the whole to the individual parts. In other words, listeners process the context of the listening situation by activating their prior knowledge and building up expectations of the upcoming listening text (Clement, 2007). Listening as Comprehension Listening as comprehension is the traditional way of thinking about the
nature of listening. Indeed, in most methodology manuals listening and listening comprehensionare synonymous. This view of listening is based on the assumption that the main function of listening in second language learning is to facilitate understanding of spoken discourse. We will examine this view of listening in some detail before considering a complementary view of listening – listening as acquisition. This latter view of listening considers how listening can provide input that triggers the further development of second‐language proficiency. Understanding spoken discourse: bottom‐up and top‐down processing Two different kinds of processes are involved in understanding spoken discourse. These are often referred to as bottom‐up and top‐down processing. Bottom‐up processing refers to using the incoming input as the basis for understanding the message. Comprehension begins with the received data that is analyzed as successive levels of organization – sounds, words, clauses, sentences,texts – until meaning is derived. Clark and Clark (1977:49) summarize this view of listening in the following way: [Listeners] take in raw speech and hold a phonological representation of it in working memory; They immediately attempt to organize the phonological representation into constituents, identifying their content and function; They identify each constituent and then construct underlying propositions, building continually onto a hierarchical representation of propositions; Once EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 25 |
they have identified the propositions for a constituent, they retain them in working memory and at some point purge memory of the phonological representation. In doing this, they forget the exact wording and retain the meaning. Teaching bottom‐up processing Learners need a large vocabulary and a good working knowledge of sentencestructure to process texts bottom‐up. Exercises that develop bottom‐up processing help the learner to do such things as the following: Retain input while it is being processed; Recognize word and clause divisions; Recognize key words; Recognize key transitions in a discourse; Recognize grammatical relationships between key elements in sentences; Use stress and intonation to identify word and sentence functions Many traditional classroom listening activities focus primarily on bottom‐ up processing, with exercises such as dictation, cloze listening, the use of multiple choice questions after a text, and similar activities that require close and detailed recognition, and processing of the input. They assume that everything the istener needs to understand is contained in the input. In the classroom, examples of the kinds of tasks that develop bottom up listening skills require listeners to do the following kinds of things:Identify the
referents of pronouns in an utterance; Recognize the time reference of an utterance; Distinguish between positive and negative statements; Recognize the order in which words occurred in an utteranceIdentify sequence markers; Identify key words that occurred in a spoken text; Identify which modal verbs occurred in a spoken text Top‐down processing Top‐down processing, on the other hand, refers to the use of background knowledge in understanding the meaning of a message. Whereas bottom‐ up processing goes from language to meaning, top‐down processing goes from meaning to language. The
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 26 |
background knowledge required for top‐down processing may be previous knowledge about the topic of discourse, situational or contextual knowledge, or knowledge in the form of “schemata” or “scripts” – plans about the overall structure of events and the relationships between them. Much of our knowledge of the world consists of knowledge about specific situations, the people one might expect to encounter in such situations, what their goals and purposes are, and how they typically accomplish them. Likewise, we have knowledge of thousands of topics and concepts, their associated meanings, and links to other topics and concepts. In applying this prior knowledge about things, concepts, people, and events to a particular utterance, comprehension can often proceed from the top down. The actual discourse heard is used to confirm expectations and to fill out details. Teaching top‐down processing Exercises that require top‐down processing develop the learner’s ability to do the following: Use key words to construct the schema of a discourse Infer the setting for a text Infer the role of the participants and their goals Infer causes or effects Infer unstated details of a situation Anticipate questions related to the topic or situation The following activities develop top‐ down listening skills: Students generate a set of questions they expect to hear about a topic, then listen to see if they are answered; Students generate a list of things they already know about a topic and things they would like to learn
more about, then listen and compare; Students read one speaker’s part in a conversation, predict the other speaker’s part, then listen and compare; Students read a list of key points to be covered in a talk, then listen to see which ones are mentioned; Students listen to part of a story, complete the story ending, then listen and compare endings; Students read news headlines, guess what happened, then listen to the full news items and compare. Combining bottom‐up and top‐down listening in a listening lesson In real‐world listening, both bottom‐ up and top‐down processing generally occur together. The extent to which one or the other dominates depends on the listener’s familiarity with the topic and content of a text, the density of information in a text, the text type, and the listener’s purpose in listening. A typical lesson in current teaching materials involves a three‐part sequence consisting of pre‐listening, while‐listening, and post‐listening and contains activities that link bottom‐up and top‐down listening (Field, 1998). The pre‐listening phase prepares students for both top‐down and bottom‐ up processing through activities involving activating prior knowledge, making predictions, and reviewing key vocabulary. The while‐listening phase focuses on comprehension through exercises that require selective listening, gist listening, sequencing, etc. The post‐listening phase typically involves a response to comprehension and may require students to give opinions about a topic. However, it can also include a bottom‐up focus if the teacher and the listeners examine the texts or parts of the text in detail, focusing on sections that students could not follow. This may involve a microanalysis of sections of the text to EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 27 |
enable students to recognize such features as blends, reduced words, ellipsis, and other features of spoken discourse that they were unable to process or recognize. Listening Strategies Buck (2001:104) identifies two kinds of strategies in listening: first, Cognitive strategies: Mental activities related to comprehending and storing input in working memory or long‐term memory for later retrieval, Comprehension processes: Associated with the processing of linguistic and nonlinguistic input, Storing and memory processes: Associated with the storing of linguistic and nonlinguistic input in working memory or long‐term memory, Using and retrieval processes: Associated with accessing memory, to be readied for output. Second, Metacognitive strategies: Those conscious or unconscious mental activities that perform an executive function in the management of cognitive strategies, Assessing the situation: Taking stock of conditions surrounding a language task by assessing one’s own knowledge, one’s available internal and external resources, and the constraints of the situation before engaging in a task, Monitoring: Determining the effectiveness of one’s own or another’s performance while engaged in a task, Self‐evaluating: Determining the effectiveness of one’s own or another’s performance after engaging in the activity, Self‐testing: Testing oneself to determine the effectiveness of one’s own language use.
Listening as Acquisition Our discussion so far has dealt with one perspective on listening, namely, listening as comprehension. Everything we have discussed has been based on the assumption that the
role of listening in a language program is to help develop learners’ abilities to understand things they listen to. This approach to teaching of listening is based on the following assumptions; Listening serves the goal of extracting meaning from messages; To do this, learners have to be taught how to use both bottom‐up and top‐ down processes to understand messages; The language of utterances – the precise words, syntax, and expressions – used by speakers are temporary carriers of meaning. Once meaning is identified, there is no further need to attend to the form of messages unless problems in understanding occurred; Teaching listening strategies can help make learners more effective listeners. What classroom strategies are appropriate for the listening‐as‐ acquisition phase? We propose a two‐ part cycle of teaching activities: 1.) Noticing activities. 2.) Restructuring activities. Noticing activities involve returning to the listening texts that served as the basis for comprehension activities and using them as the basis for language awareness. For example, students can listen again to a recording in order to Identify differences between what they hear and a printed version of the text, complete a cloze version of the text, complete sentences stems taken from the text and check off entries from a list of expressions that occurred in the text. Restructuring activities are oral or written tasks that involve productive use of selected items from the listening text. Such activities could include paired reading of the tape scripts in the case of conversational texts, written sentence‐ completion tasks requiring use of expressions and other linguistic items that occurred in the texts, dialog practice that incorporates items from the text, role plays in which students are
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 28 |
required to use key language from the texts Conclusion There are two different perspectives of listening. First, listening as comprehension that is the traditional way of thinking about the nature of listening. This view of listening is based on the assumption that the main function of listening in second language learning is to facilitate understanding of spoken discourse. Some strategies that could help the students are using incorrect answers to detect weaknesses, and designing activities to help, avoiding listening tasks that require memorization and helpingstudents develop a wider range of listening strategies. The other classroom strategies are appropriate for the listening are noticing activities involve returning to the listening texts that served as the basis for comprehension activities and using them as the basis for language awareness. and restructuring activities are oral or written tasks that involve productive use of selected items from the listening text. The second is listening as acquisition that based on the following assumptions: listening serves the goal of extracting meaning from messages, to do this, learners have to be taught how to use both bottom‐up and top‐down processes to understand messages,the language of utterances – the precise words, syntax, and expressions – used
by speakers are temporary carriers of meaning. Once meaning is identified, there is no further need to attend to the form of messages unless problems in understanding occurred, teaching listening strategies can help make learners more effective listeners. References: http://www.tesol.org/docs/books/bk_E LTD_Listening_004 Richards, Jack C. 2008. Teaching Listening and Speaking. From Theory to Practice. Cambridge University Press 32 Avenue of the Americas, New York, NY10013‐2473, USA https://gianfrancoconti.wordpress.com /2015/07/07/nine‐interesting‐ foreign language‐research‐ findings‐you‐may‐not‐know‐ about/ International Journal of Teaching, Education and Language Learning (IJTELL) January 2015, Vol.2, No.1, pp.32‐70
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 29 |
Dukung Kemandirian Alutsista, Pria ini Buat Mainan
Semarang Muhammad Nurhidayat
Keberhasilan bangsa muslim terbesar dunia, Indonesia dalam memproduksi sendiri beberaapa alat utama sistem persenjataan (alutsista), memperoleh banyak pujian dari berbagai lapisan masyarakat. Salah satunya adalah Muhammad Nurhidayat. Pria kelahiran Surabaya 37 tahun silam, yang kini berdomisili di Semarang ini, sejak beberapa tahun lalu hobi membuat alutsista mainan berbahan dasar karet penghapus. Mainan tersebut ia beri nama “minikar”. Minikar merupakan kependekan dari “miniatur ukir dari karet penghapus”. Ide membuat minikar berawal ketika sekitar 4 tahun lalu, sang anak minta dibelikan mainan pesawat N‐250 karya Profesor Habibie dkk.. “Saat itu anak pertama saya masih TK. Dia minta dibelikan pesawatnya Pak Habibie (N‐250). Wah, saya bingung. Selama ini yang ada di pasaran kan mainan miniatur pesawat buatan luar negeri. Belum ada pesawat buatan (negara) kita yang diperbanyak menjadi mainan. Saya katakan kepada anak saya, bahwa belum ada mainan seperti itu (miniatur N‐250),” kata Nurhidayat. Bapak 3 anak yang bekerja sebagai dosen sebuah perguruan tinggi swasta (PTS) di Gorontalo kembali bingung sewaktu sang anak juga minta dibelikan mainan berbentuk panser Anoa buatan Indonesia. “Anak saya lihat (panser) Anoa di internet. Dia bilang sangat bagus dan keren. Lalu juga minta dibelikan mainan (panser Anoa) itu,” ujar Nurhidayat. Pria yang kini kuliah di pascasarjana Universitas Diponegoro ini pun memiliki ide membuat mainan berbentuk alutsista setelah melihat maket arsitektur di sebuah kantor pemerintah daerah. “Pada maket itu kan juga terpajang miniatur mobil‐mobilnya berbahan karet penghapus. Nah, dari situ saya mendapat ide. Maka saya membeli EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 30 |
beberapa buah karet penghapus dan perlengkapan lainnya untuk membuat mainan alutsista,” cerita Nurhidayat. Nurhidayat mengukir batangan‐batangan karet penghapus dan mengecatnya hingga berbentuk menyerupai aneka alutsista seperti tank, panser, truk peluncur rudal, truk angkut tentara, rantis (kendaraan taktis), helikopter serbu, helikopter angkut tentara, hingga pesawat tempur. “Alhamdulillah meskipun tidak mirip banget dengan aslinya, tapi anak saya suka,” kata pria yang mengagumi B.J. Habibie ini. Ternyata tidak hanya anak Nurhidayat saja yang menyukai minikar buatannya, tetapi juga anak‐anak tetangga sekitar rumahnya, baik sewaktu masih di Gorontalo maupun setelah pindah ke Semarang. “Anak‐ anak tetangga, juga teman‐teman sekelas anak saya minta dibuatkan juga. Malah ada yang minta diajari cara pembuatannya. Maka saya pun membuatkan ataupun mengajari cara pembuatannya,” kenang Nurhidayat. Nurhidayat mendukung bangsa muslim terbesar dunia ini, untuk mandiri dalam hal pengadaan alutsista. “Semoga alutsista (buatan bangsa) kita banyak juga diminati bangsa lain. Agar kita suatu saat nanti kita bukan lagi sebagai pengimpor,” harap pria yang menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengahnya di Tarakan, Kalimantan Utara ini. Ayah 3 anak ini secara pribadi sangat menyayangkan Indonesia masih punya ketergantungan pengadaan alutsista dari AS dan Rusia. “AS penah menjajah Vietnam, dan kini masih mencengkeramkan pengaruh kolonialismenya di Afghanistan dan Irak. Sementara Rusia juga masih menjajah Chechnya dan Dagestan. Seharusnya (bangsa) kita tidak membeli alutsista dari negara‐negara penjajah. Sebab penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, seperti disebutkan dalam pembukaan UUD 1945,” kata Nurhidayat. Namun, Nurhidayat mengakui bahwa minikar buatannya tidak mirip dengan alutsista sungguhan yang dibuat Indonesia. “Alasan pertama, karena saya belum minta izin dari pemerintah terkait. Itu hak cipta orang lain. Kita harus menghormatinya. Alasan kedua, saya memang tidak bisa membuatnya menjadi mirip.” Kata Nurhidayat sambil tertawa. Alumni Universitas Hasanuddin itu juga berharap agar pemerintah memproduksi mainan atau miniatur berbentuk alutsista produksi dalam negeri. “Selama ini kan anak‐ anak kenalnya dengan (panser) Tarantula, padahal kita sudah punya (panser) Anoa dan Badak. Anak‐anak akrab dengan (rantis) Hummer‐nya Amerika, meskipun kita sudah produksi Komodo. Sebab selama ini alutsista kita tidak disosialisasaikan dalam bentuk EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 31 |
mainan. Jadi banyak anak‐anak tidak kenal karya bangsa sendiri. Anak saya saja bilang sendiri bahwa (rantis) Komodo bentuknya lebih keren daripada Hummer‐nya Amerika,” jelas Nurhidayat. Menurut Nurhidayat, jika ada BUMN maupun perusahaan swasta yang mau memproduksi secara massal mainan atau miniatur berbentuk alutsista Indonesia, maka anak‐anak bangsa ini akan semakin cinta dengan produksi dalam negeri. “Bahkan bisa juga diekspor ke mancanegara. Sehingga anak‐anak di seluruh dunia pun mengenal (panser) Anoa, Badak, (ranris) Komodo, dan semua kendaraan buatan Indonesia lain,” harapnya. (Daud Arya Bangun).
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 32 |
Komunikasi Efektif dalam Pembelajaran
Oleh Mansur HR Widyaiswara LPMP Sul-Sel ABSTRAK
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi merupakan kemampuan yang paling utama yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Standar Kompetensi Guru juga dinyatakan bahwa “Berkomunikasi Secara Efektif, Empatik, dan Santun dengan Peserta Didik” merupakan bagian dari kompetensi pedagogik yang harus dikuasai oleh guru sebagai pendidik profesional. Namun fakta menunjukkan bahwa proses pembelajaran di sekolah belum berjalan secara optimal, penyebabnya antara lain guru belum sepenuhnya menerapkan kaidah-kaidah komunikasi efektif dalam pembelajaran. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang bagaimana seharusnya guru berkomunikasi secara efektif dalam pembelajaran, yang meliputi pengertian komunikasi efektif, pengertian pembelajaran, serta kaidah-kaidah komunikasi efektif dalam pembelajaran yang meliputi respect (hormat), empathy (empati), audible (dapat didengar dan dipahami), clear (jelas), dan humble (rendah hati). Kata kunci: Komunikasi efektif, Pembelajaran.
Pendahuluan Dalam kehidupan sehari-hari kita menghabiskan sebagian besar waktu kita sejak bangun pagi untuk berkomunikasi. Oleh karena itu kemampuan komunikasi merupakan hal yang sangat penting untuk dikuasai karena perannya yang sangat vital dalam hubungan antar manusia. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi merupakan kemampuan yang paling utama yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Hasil penelitian dari National Association of Colleges and Employee
(NACE) tahun 2002 (dalam Elfindri,dkk, 2010:156) menunjukkan bahwa 5 (lima) dengan skor tertinggi dari 19 (sembilan belas) kemampuan yang diperlukan di pasar kerja adalah: 1) Komunikasi; 2) Kejujuran/Integritas; 3) Bekerjasama; 4) Interpersonal; dan 5) Etos kerja yang baik. Sementara hasil penelitian Farkas tahun 2010 (dalam Kemendikbud, 2015) menunjukkan bahwa dari 28 (dua puluh delapan) kompetensi yang diharapkan oleh pemberi kerja, 5 (lima) dengan skor tertinggi adalah: 1) Komunikasi; 2) Etika kerja; 3) Kemampuan memahami prosedur; 4) Kerjasama; dan 5) Menerapkan pengetahuan EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 33 |
dalam pekerjaan. Dari dua hasil penelitian tersebut, terdapat satu titik persamaan yaitu bahwa komunikasi memperoleh skor tertinggi dari sejumlah kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Ini berarti bahwa kompetensi komunikasi merupakan hal yang paling utama dalam dunia kerja. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Standar Kompetensi Guru, juga dinyatakan bahwa guru sebagai pendidik profesional wajib memiliki kompetensi yang meliputi ranah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Salah satu kompetensi dari ranah kompetensi pedagogik yang harus dikuasai guru adalah kompetensi “Berkomunikasi Secara Efektif, Empatik, dan Santun dengan Peserta Didik”. Kompetensi tersebut sangat menentukan keberhasilan guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran, sebab meskipun penguasaan materi pelajaran (kompetensi profesional) guru sangat baik, jika tidak didukung oleh kemampuan berkomunikasi yang efektif dalam menyajikan materi pelajaran maka semuanya akan menjadi sia-sia. Dari visitasi yang dilakukan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Sulawesi Selatan untuk pendampingan audit mutu internal yang dilakukan Sekolah Berbasis Standar Nasional Pendidikan (SBSNP) di 23 (dua puluh tiga) kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan tahun 2015 dan hasil evaluasi diri sekolah (EDS) diperoleh informasi bahwa pelaksanaan proses pembelajaran di sekolah belum berjalan secara optimal. Menurut pengamatan penulis hal tersebut antara lain disebabkan karena komunikasi yang dilakukan guru dalam menyajikan materi pelajaran belum secara utuh memenuhi
kaidah-kaidah komunikasi yang efektif. Faktanya antara lain: 1) dalam penyajian materi pelajaran, guru tidak memulai dengan pendahuluan yang berfungsi menyiapkan peserta didik secara fisik dan psikis untuk menerima materi pelajaran; 2) dalam menyajikan materi pelajaran, guru masih sering menggunakan kata/istilah yang sulit dipahami oleh peserta didiknya; 3) ketika peserta didik salah dalam menjawab pertanyaan atau tugas yang diberikan oleh guru, maka serta merta guru mengatakan “salah” atau “bukan itu jawabannya” atau ungkapan lain yang kurang mendidik, namun ketika peserta didik menjawab dengan benar pertanyaan atau tugas tersebut, ataupun peserta didik melakukan hal-hal yang baik dalam kegiatan pembelajaran, guru tidak memberikan penghargaan atau pujian terhadap peserta didiknya; 4) ketika peserta didik bertanya kadang-kadang guru tidak merespon dengan baik pertanyaan tersebut; 5) guru kurang terbuka dalam menerima saran atau kritik dari peserta didiknya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dipandang perlu adanya informasi tentang bagaimana seharusnya guru berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini penting karena keberhasilan guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran sangat ditentukan oleh kemampuan guru dalam melakukan komunikasi secara efektif. Kemampuan tersebut oleh penulis dirangkum dalam tulisan “Komunikasi Efektif Dalam Pembelajaran”. Komunikasi Efektif Komunikasi dianggap sebagai hal yang otomatis terjadi begitu saja, sehingga kita tidak memiliki kesadaran untuk melakukannya secara efektif. Padahal fakta menunjukkan bahwa banyak terjadi kesalah pahaman yang berakibat sangat fatal dalam EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 34 |
hubungan antar manusia atau antar kelompok karena miskomunikasi atau kekurang mampuan berkomunikasi. Demikian halnya kegagalan seseorang meniti karier dalam dunia kerja juga banyak disebabkan oleh kegagalan dalam menjalin komunikasi secara efektif di lingkungan kerjanya. Oleh karena itu komunikasi yang efektif perlu mendapatkan perhatian agar semua aktivitas yang dilakukan berjalan dengan lancar dan sukses. Komunikasi efektif terdiri dari dua kata, yakni komunikasi dan efektif. Komunikasi menurut Depdikbud (2007:6) adalah proses penyampaian pesan/informasi dari seseorang (pengirim) kepada orang lain (penerima) dengan menggunakan cara/teknik/sarana penyampaian pesan/informasi tertentu. Marpaung dan Saptoaji (2002:6) menyatakan bahwa proses komunikasi membutuhkan serangkain kegiatan timbal balik antara komunikator (pengirim) pesan dengan komunikan (penerima) pesan. Pihak pengirim menyandikan pesan komunikasi dalam bentuk kode-kode komunikasi (lisan, tulisan, gerak atau melalui media). Pesan itu selanjutnya disalurkan secara langsung atau tidak langsung (melalui media). Pesan yang disandikan ini selanjutnya diartikan oleh pihak penerima (komunikan), kemudian komunikan memberikan respon terhadap pesan yang diterima dan seterusnya secara berkesinambungan dan bergantian. Berdasarkan uraian tersebut, nampak bahwa dalam proses komunikasi terdapat 5 (lima) komponen, yaitu: 1) pengirim pesan; 2) pesan yang dikirim; 3) cara mengirimkan pesan; 4) penerima pesan; 5) balikan atau feedback. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa cara terbaik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan siapa mengatakan
apa, dengan saluran apa, kepada siapa, dengan pengaruh bagaimana (Depdiknas, 2007:6). Adapun kata “efektif” menurut kamus besar bahasa Indonesia (2003:284) berarti dapat membawa hasil, berhasil guna. Sedangkan secara etimologis menurut Lestari dan Maliki (2006:18) “efektif” sering diartikan sebagai mencapai sasaran yang diinginkan, berdampak menyenangkan, bersifat aktual dan nyata. Dengan demikian menurut Lestari dan Maliki (2006:18) komunikasi yang efektif dapat diartikan sebagai penerimaan pesan oleh komunikan (penerima) sesuai dengan pesan yang dikirim oleh komunikator (pengirim) kemudian komunikan memberikan respon yang positif sesuai dengan yang diharapkan. Jadi, komunikasi efektif itu terjadi apabila terdapat aliran informasi dua arah antara komunikator dengan komunikan dan informasi tersebut sama-sama direspon sesuai dengan harapan kedua pelaku komunikasi tersebut (komunikator dan komunikan). Sejalan dengan pendapat tersebut Hartono (2013:50) mengemukakan bahwa komunikasi itu bisa disebut efektif apabila pesan dari pihak komunikator (pengirim pesan) itu dapat ditangkap dengan mudah oleh komunikan (penerima pesan). Dari beberapa pendapat tersebut maka dapat dikatakan bahwa inti komunikasi efektif adalah kedua belah pihak yang berkomunikasi sama-sama mengerti apa pesan yang disampaikan. Menurut Mehrabian (dalam Tjiptono, 2005:38) bahwa dalam komunikasi tatap muka ada tiga dimensi yang biasa disingkat dengan 3V yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu verbal (katakata yang diucapkan), vokal (nada, tekanan dan warna suara seseorang), dan visual
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 35 |
(ekspresi wajah atau bahasa tubuh). Dari hasil penelitiannya, Mehrabian menyimpulkan bahwa verbal menyumbang 7%, vokal menyumbang 38%, dan visual menyumbang 55% untuk kesuksesan seseorang dalam berkomunikasi. Oleh karena itu untuk menciptakan komunikasi yang efektif, maka dalam menyampaikan pesan perlu dipadukan dan disesuaikan antara katakata (pesan) yang diucapkan dengan nada dan tekanan suara serta ekspresi wajah atau bahasa tubuh dalam menyampaikan pesan tersebut. Pembelajaran Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, dinyatakan bahwa Pembelajaran adalah proses interaksi antarpeserta didik dan antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dari pengertian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa inti pembelajaran adalah berkomunikasi. Oleh karena itu menurut Hartono (2013:50) proses pembelajaran juga disebut sebagai proses komunikasi antara guru yang berperan sebagai penyampai pesan (materi pelajaran) dan peserta didik sebagai orang yang menerima pesan (materi pelajaran) tersebut. Guru menjadi sumber pesan untuk menyampaikan materi pelajaran terhadap peserta didik melalui komunikasi. Untuk itulah sebaik apapun pemahaman materi pelajaran oleh guru tetapi tidak disampaikan melalui proses komunikasi yang efektif, maka peserta didik akan sulit memahami materi pelajaran tersebut. Pada dasarnya berbicara (berkomunikasi) secara efektif pada kesempatan apapun terdiri dari tiga unsur pokok, yakni pembukaan, isi atau inti
permasalahan, dan penutup (Sameto, 2004:1). Demikian halnya komunikasi antara guru dengan peserta didik dalam proses pembelajaran meliputi pembukaan atau pendahuluan, inti, dan penutup (Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014). Pendahuluan dalam proses pembelajaran merupakan kegiatan awal yang bertujuan untuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Hal-hal yang perlu dilakukan guru dalam kegiatan pendahuluan adalah mengondisikan suasana belajar yang menyenangkan, mengaitkan kompetensi yang sudah dipelajari dengan kompetensi yang akan dipelajari dan dikembangkan, menyampaikan kompetensi yang akan dicapai dan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari, menyampaikan lingkup dan teknik penilaian yang akan digunakan. Sedangkan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi, yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Sementara kegiatan penutup adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengakhiri aktivitas pembelajaran, yang meliputi pembuatan rangkuman atau kesimpulan, refleksi, penilaian, umpan balik, dan tindak lanjut. Ketiga kegiatan tersebut yakni kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup merupakan satu rangkaian kegiatan pembelajaran dalam satu pertemuan (tatap muka) yang tidak boleh terputus karena ketiga kegiatan tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lain dan
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 36 |
menentukan pencapaian tujuan pembelajaran. Mengingat bahwa proses pembelajaran adalah proses komunikasi antara guru dan peserta didik, maka untuk mengelola kegiatan pembelajaran secara efektif, diperlukan kemampuan komunikasi yang efektif bagi seorang guru. Untuk itu perlu dipahami kaidah-kaidah komunikasi efektif dalam pembelajaran.
Kaidah Komunikasi Efektif dalam Pembelajaran. Berdasarkan pengertian komunikasi efektif dan pembelajaran sebagaimana uraian di atas, maka komunikasi efektif dalam pembelajaran dapat diartikan sebagai komunikasi antara guru dengan peserta didik dalam proses pembelajaran dimana pesan atau materi pelajaran yang disampaikan oleh guru dapat dipahami dengan baik oleh peserta didik. Untuk menciptakan komunikasi yang efektif dalam pembelajaran, maka perlu dipahami kaidahkaidah komunikasi efektif. Menurut Depdiknas (2007:23) terdapat lima kaidah komunikasi efektif yang telah dikembangkan dan dirangkum dalam satu kata yang mencerminkan esensi dari komunikasi itu sendiri, yaitu REACH. Secara harfiah reach berarti menjangkau, mencapai, merengkuh, atau meraih. Jadi pada dasarnya komunikasi adalah upaya bagaimana kita meraih perhatian, kasih sayang, minat, kepedulian, simpati, tanggapan atau respon dari orang lain. REACH juga merupakan akronim dari lima kaidah komunikasi efektif yang dimaksud, yakni Respect (hormat), Empathy (empati), Audible (dapat didengar dan dipahami), Clear (jelas), dan Humble (rendah hati). Dalam konteks pembelajaran,
lima kaidah komunikasi tersebut, penulis menguraikannya sebagai berikut; Kaidah pertama, Respect (hormat). Respek atau rasa hormat dan sikap menghargai individu yang menjadi sasaran pesan yang kita sampaikan merupakan kaidah pertama dalam kita berkomunikasi dengan orang lain. Perlu diingat bahwa pada prinsipnya manusia ingin dihargai dan dianggap penting, sebagaimana dikemukakan oleh seorang ahli psikologi William James (dalam Depdiknas, 2007:24) bahwa prinsip paling dalam pada sifat dasar manusia adalah kebutuhan untuk dihargai. Sejalan dengan pendapat tersebut Abraham Lincoln pernah mengawali suratnya dengan mengatakan “Semua orang menyukai pujian”. Demikian pula mahaguru komunikasi Dale Carnegie (2010:60) mengemukakan bahwa rahasia terbesar yang merupakan salah satu prinsip dasar dalam berurusan dengan manusia adalah dengan memberikan penghargaan yang jujur dan tulus. Charles Schwabb (dalam Dale Carnegie, 2010:28) salah satu orang pertama dalam sejarah perusahaan Amerika yang mendapat gaji lebih dari satu juta dolar setahun, mengatakan bahwa aset atau modal paling besar yang dia miliki adalah kemampuannya dalam membangkitkan antusiasme pada orang lain. Dan cara untuk membangkitkan antusiasme dan mendorong orang lain melakukan hal-hal terbaik adalah dengan memberi penghargaan yang tulus. Hal tersebut sejalan dengan dalil psikologi belajar yang dikemukakan oleh Thorndike (dalam Baharuddin dan Wahyuni, 2008:65) yang menyatakan bahwa jika suatu perilaku mendapatkan akibat yang menyenangkan maka perilaku tersebut cenderung untuk diulangi, dan jika suatu perilaku
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 37 |
mendapatkan akibat yang tidak menyenangkan maka perilaku tersebut cenderung untuk ditinggalkan. Oleh karena itu dalam komunikasi pembelajaran, hal yang perlu dilakukan guru untuk membangkitkan antusiasme belajar peserta didiknya adalah memberikan penghargaan atau pujian yang jujur dan tulus atas hal-hal positif yang telah ditunjukkan oleh peserta didiknya. Penghargaan atau pujian itu bisa dalam bentuk visual atau bahasa tubuh misalnya senyum atau acungan jempol, bisa pula pujian itu dalam bentuk verbal atau kata-kata, misalnya kamu pintar, kamu hebat, kamu pasti bisa, dan sebagainya. Sebaliknya dalam berkomunikasi dengan peserta didik, guru harus menghindari penggunaan killer statement atau pernyataan yang dapat mematikan potensi dan kreativitas peserta didik, seperti ungkapan kamu bodoh, kamu malas, kamu bandel, jawaban kamu salah, dan ungkapan yang tidak mendidik lainnya. Karena ungkapan atau pernyataan semacam itu akan membuat peserta didik kehilangan kepercayaan diri, peserta didik menjadi takut bertanya, takut menjawab pertanyaan, takut mencoba, takut berbuat dan sebagainya. Keadaan yang demikian tentu akan membuat pembelajaran menjadi tidak menyenangkan. Padahal pembelajaran yang menyenangkan adalah kondisi yang harus diciptakan di kelas agar peserta didik menjadi aktif, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif sebagaimana yang menjadi tujuan kurikulum 2013. Kaidah kedua: Empathy (empati). Empati adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu prasyarat utama dalam memiliki sikap empati adalah kemampuan kita untuk
mendengarkan atau mengerti terlebih dahulu sebelum didengarkan atau dimengerti orang lain. Dengan memahami dan mendengar orang lain terlebih dahulu kita dapat membangun keterbukaan dan kepercayaan yang kita perlukan dalam membangun kerjasama dengan orang lain. Dalam kegiatan pembelajaran rasa empati guru ditunjukkan melalui penyajian materi pelajaran dengan cara dan sikap yang akan memudahkan peserta didik menerima materi pelajaran tersebut, atau mengajar sesuai dengan gaya belajarnya peserta didik. Oleh karena itu sebelum guru menyajikan materi pelajaran, terlebih dahulu harus mengenal karakteristik peserta didik yang meliputi aspek fisik, intelektual, sosialemosional, moral, dan latar belakang sosialbudaya. Dengan mengenal karakteristik peserta didik, maka guru dapat memberikan pelayanan yang tepat kepada peserta didiknya sesuai dengan karakteristik dan gaya belajar peserta didik tersebut. Bagi peserta didik yang memiliki gaya belajar auditory bisa difasilitasi dengan membiarkan mereka membaca nyaring atau sering memberi pertanyaan kepada mereka atau membuat diskusi kelas. Sedangkan bagi peserta didik yang memiliki gaya belajar visual bisa difasilitasi dengan lebih banyak menggunakan bagan-bagan, diagram, flowchart dalam menjelaskan materi pelajaran. Sementara bagi peserta didik yang memiliki gaya belajar kinestetik dapat difasilitasi dengan memperbanyak simulasi dan role playing atau memperbanyak praktek lapangan. Dengan cara demikian, maka materi pelajaran yang disampaikan guru dapat diterima tanpa ada halangan psikologi atau penolakan dari peserta didik.
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 38 |
Kaidah ketiga: Audible (dapat didengar dan dipahami). Audible mempunyai makna dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik. Jika empati berarti kita harus mendengar terlebih dahulu ataupun mampu menerima balikan dengan baik, maka audible berarti pesan atau materi pelajaran yang disampaikan guru dapat diterima oleh penerima pesan atau peserta didik. Kaidah ini mengatakan bahwa pesan (materi pelajaran) harus disampaikan melalui saluran tertentu sehingga dapat diterima dengan baik oleh peserta didik. Oleh karena itu dalam penyajian materi pelajaran hendaknya guru menggunakan bahasa yang jelas dan mudah dimengerti oleh peserta didik, penggunakan kata-kata atau istilah asing yang tidak dipahami oleh peserta didik perlu dihindari atau istilah tersebut harus dijelaskan maknanya. Demikian pula intonasi atau tekanan suara perlu diatur sesuai dengan kata atau kalimat yang diucapkan. Dan yang lebih penting lagi diperhatikan adalah ekspresi wajah atau bahasa tubuh dalam menyampaikan materi pelajaran, karena semua hal tersebut yakni verbal (kata-kata yang diucapkan), vokal (intonasi atau tekanan suara) serta visual (ekspresi wajah atau bahasa tubuh) berkontribusi terhadap keberhasilan guru dalam menyampaikan materi pelajaran. Audible atau dapat didengar dan dipahami juga berarti bahwa guru harus konsisten dan jujur terhadap apa yang dilakukan dan disampaikan kepada peserta didiknya. Jika guru menjanjikan bahwa besok diadakan ulangan, maka esok harinya guru harus benar-benar memberikan ulangan. Demikian halnya jika guru menjanjikan bahwa hasil ulangan atau tugas (pekerjaan rumah) peserta didik dibagikan minggu
depan, maka minggu depan hasil pekerjaan peserta didik tersebut sudah harus ada di tangan peserta didik. Dengan demikian maka guru itu betul-betul menjadi sosok yang dapat digugu dan ditiru. Digugu berarti didengar ucapannya dan ditiru berarti dicontoh prilakunya. Kaidah keempat: Clear (jelas). Selain pesan harus dapat dimengerti dengan baik, pesan itu sendiri juga harus memiliki kejelasan agar tidak menimbulkan tafsiran yang berlainan. Kaidah ini mengisyaratkan perlunya guru menggunakan media dalam menyampaikan pesan (materi pelajaran) kepada peserta didik. Media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. Menurut LAN (2005) penggunaan media dalam pembelajaran bertujuan untuk: 1) menghilangkan salah tafsir; 2) menghindarkan kebosanan; 3) menarik perhatian dan minat; 4) mengatasi keterbatasan obyek; 4) memberikan umpan balik. Oleh karena itu penggunaan media menjadi penting dalam menciptakan komunikasi efektif dalam kegiatan pembelajaran. Pentingnya penggunaan media diperkuat pula oleh hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa kemampuan daya serap manusia 2,5% diperoleh dari pengecapan, 3,5% dari perabaan, 1% dari penciuman, 11% dari pendengaran, dan 82% dari penglihatan (LAN, 2005). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa daya serap tertinggi manusia diperoleh dari penglihatan. Hal tersebut menunjukkan pentingnya penggunaan media dalam menyampaikan materi pelajaran kepada peseta didik. Clear atau jelas juga bisa berarti bahwa dalam penyajian materi pelajaran, materi tersebut dikaitkan dengan pengalaman EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 39 |
dan lingkungan peserta didik dengan memberikan contoh-contoh yang ada di lingkungan sekolah atau di sekitar tempat tinggal peserta didik. Dengan demikian, maka materi pelajaran tersebut menjadi jelas dan mudah dimengerti oleh peserta didik. Kaidah kelima: Humble (rendah hati). Kaidah kelima dalam membangun komunikasi yang efektif adalah sikap rendah hati. Sikap rendah hati pada intinya antara lain sikap menghargai, mau mendengar dan menerima kritik, tidak sombong, dan tidak memandang rendah orang lain, berani mengakui kesalahan, rela memaafkan, lemah lembut dan penuh pengendalian diri, serta mengutamakan kepentingan yang lebih besar. Sikap rendah hati guru dalam kegiatan pembelajaran ditunjukkan dengan senantiasa mendengar dan bersikap terbuka untuk menerima kritikan, masukan ataupun balikan apapun dengan sikap yang positif. Kritikan atau masukan dari peserta didik adalah sesuatu yang amat dibutuhkan oleh guru sebagai umpan balik untuk menyempurnakan kegiatan pembelajaran. Komunikasi satu arah dalam kegiatan pembelajaran tidak akan efektif manakala tidak ada balikan dari peserta didik sebagai penerima pesan, karena esensi dari komunikasi adalah proses dua arah. Sikap rendah hati juga ditunjukkan dengan senantiasa menggunakan tiga kata magik dalam berkomunikasi, yakni terima kasih, maaf, tolong. Misalnya ketika peserta didik hadir tepat waktu di kelas, maka sebaiknya guru menyampaikan “terima kasih karena telah hadir tepat waktu di kelas.” Demikian pula ketika peserta didik mengumpulkan tugas yang diberikan, hendaknya guru menyampaikan “terima
kasih karena telah mengerjakan tugas dengan penuh tanggung jawab.” Dalam hal peserta didik merasa tidak nyaman atau mengalami kesulitan dalam belajar, maka seyogyanya guru menyampaikan “maaf.” Misalnya ketika guru terlambat masuk kelas, hendaknya guru menyampaikan “maaf saya agak terlambat hari ini.” Demikian halnya jika pelayanan yang diberikan guru dalam pembelajaran kurang memuaskan, maka guru dapat menyampaikan “maaf jika pembelajaran hari ini kurang memuaskan” mudah-mudahan pertemuan berikutnya akan lebih baik. Adapun kata tolong, dapat digunakan guru ketika memberikan instruksi atau tugas tertentu kepada peserta didik. Misalnya “tolong dikerjakan tugas di buku siswa halaman sekian”, “tolong dirapikan tempat duduknya”, dan sebagainya. Dengan penggunaan tiga kata magik tersebut (terima kasih, maaf, dan tolong) dalam berkomunikasi maka guru akan menguasai alam pikiran dan tingkah laku peserta didiknya. Di samping itu guru juga telah mencontohkan komunikasi yang santun dan empatik kepada peserta didik sebagai bagian dari pendidikan karakter. Jika komunikasi yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran didasarkan pada lima kaidah pokok komunikasi efektif sebagaimana uraian tersebut di atas, maka guru akan menjadi seorang komunikator yang andal. Guru akan mendapatkan akseptabilitas atau tingkat keberterimaan yang tinggi di kalangan peserta didiknya. Guru akan lebih mudah mengendalikan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Jika hal tersebut sudah terbangun maka kegiatan pembelajaran akan lebih menyenangkan dan pada gilirannya peserta didik akan lebih aktif, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif.
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 40 |
Simpulan Mencermati uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa: 1) komunikasi efektif adalah aliran informasi dua arah antara komunikator (pengirim) dengan komunikan (penerima) dan informasi tersebut sama-sama direspon sesuai dengan harapan kedua pelaku komunikasi tersebut, 2) pembelajaran adalah proses komunikasi antara guru yang berperan sebagai penyampai pesan (materi pelajaran) dan peserta didik sebagai orang yang menerima pesan (materi pelajaran) tersebut, 3) komunikasi efektif dalam pembelajaran adalah komunikasi antara guru dengan peserta didik dalam proses pembelajaran dimana pesan atau materi pelajaran yang disampaikan oleh guru dapat dipahami dengan baik oleh peserta didik, 4) kaidah komunikasi efektif dalam pembelajaran meliputi respect (hormat), empathy (empati), audible (dapat didengar dan dipahami), clear (jelas), dan humble (rendah hati). Daftar Pustaka Baharuddin dan Wahyuni. 2008. Teori belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Carnegie, Dale. 2010. How to Win Friends and Influence People (Bagaimana Mencari Teman dan Mempengaruhi Orang Lain) dierjemahkan oleh Prihastuti. Jogjakarta: Cinta Buku. Departemen Pendidikan Nasional, 2007. Komunikasi Efektif (Bahan pelatihan pra jabatan pegawai negeri sipil). Elfindri, dkk. 2010. Soft Skills untuk Pendidik. Jakarta: Baduose Media. Hartono, Rudi. 2010. Ragam Model Mengajar Yang Mudah Diterima Murid. Jogjakarta: DIVA Press. Kemendikbud. 2014. Permendikbud Nomor 103 tahun 2014 tentang Pembelajaran Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Kemendikbud. 2015. Kurikulum 2013 (Bahan Pelatihan). Jakarta: Kemendikbud. Lembaga Administrasi Negara (LAN). 2005. Media Pembelajaran (Bahan Diklat Kewidyaiswaraan). Lestari, Endang dan Maliki, MA. 2006. Komunikasi Yang Efektif. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara. Marpaung, P.M dan Saptoaji, Giri. 2002. Komunikasi dan Presentasi Efektif Dalam Pengajaran. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Sameto, Hudoro. 2004. Cara Berbicara dan Presentasi dengan Audio-Visual. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Tjiptono, Fandy. 2005. Prinsip-Prinsip Total Quality Service. Yogyakarta. CV.Andi Offset Wijaya, Johanes Arifin dan Setiawan Budi. 2007. Public Speaking is Easy.Yogyakarta: CV.Andi Offset.
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 41 |
Pengelolaan Tenaga Pendidik dalam Era Otonomi Daerah
Mardin Andi Marhabang Widyaiswara LPMP Sulsel I. Pendahuluan Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan/nasib sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S. Ar‐Ra’d:11) Firman Allah di atas mengisyaratkan betapa pentingnya manusia dalam sebuah upaya memperbaiki (mengubah) suatu sistem kehidupan manusia itu sendiri di muka bumi ini, termasuk melalui suatu pendidikan yang sistemik. Undang‐undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 1 ayat 3 dengan tegas disebutkan bahwa Sistem Pendidikan Nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Salah satu komponen penting dalam pendidikan adalah manusia itu sendiri. Wajar jika ayat pada pembuka kata di atas menegaskan pentingnya megubah diri sendiri (manusia). Manusia dalam organisasi memiliki posisi yang sangat penting. Keberhasilan organisasi sangat ditentukan oleh kualitas manusia yang bekerja di dalamnya. Perubahan lingkungan yang sangat cepat dan kompleks, menuntut kemampuan manusia untuk menangkap fenomena perubahan tersebut, menganalisis dampaknya terhadap organisasi dan menyiapkan langkah‐langkah strategis guna menghadapi kondisi lingkungan eksternal organisasi yang berubah tersebut. Menyadari pentingnya manusia dalam komponen pendidikan, maka pada delapan Standar Nasional Pendidikan, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan memegang peran kunci di antara delapan standar yang ada. Hal ini karena satu‐ satunya standar yang ada adalah manusia. Sangat rasional karena standar isi, proses, kompetensi lulusan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian, keberhasilannya sangat ditentukan oleh manusia yang mengelolahnya pada setiap satuan pendidikan. Sekaitan dengan uraian di atas dapat dikemukakan secara tegas sebuah masalah yaitu; Bagaimana pengelolaan SDM aparatur khusnya pendidik, yang mencakup perencanaan, pengangkatan (rekruitmen), pengembangan, implementasi kebijakan yang tekait pengelolaan tenaga pendidik, strategi dan upaya pengelolaan, dan pengembangan profesionalsme tenaga pendidik? EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 42 |
II. Kebijakan tentang Perencanaan, Rekruitmen, Penempapatan, dan Pembinaan Profesionalsme, Tenaga Pendidik
permendiknas nomor 63 tahun 2009 tentang Sistem penjaminan mutu pendidikan III. Strategi dan Upaya Pengelolaan dan Pengembangan Profesionalisme Tenaga Pendidik
Perencanaan dan rekruitmen pegawai negeri sipil tenaga kependidikan pada prinsipnya menggunakan peraturan yang sama dengan pegawai negeri sipil non pendidik yaitu menggunakan Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 11 Tahun 2002 tentang pengadaan pegawai negeri sipil yang merupakan aturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah nomor 98 tahun 2000. Perencanaan dan pengadaan pegawai negeri sipil baik pendidik maupun non pendidik melalui tahapan sebagai beriku (1) perencanaan pengadaan pegawai negeri sipil, (2) pengumunan, (3) persyaratan, (4) pelamaran. Keputusan kepala BKN Nomor 11 tahun 2002 tersebut mengatur tentang materi ujian yang terdiri dari (1) tes kompetensi, namun tes kompetensi ini yang terdiri dari : (a) Pengetahuan umum, (b) Bahasa Indonesia, (c) Kebijakan pemerintah, (d) pengetahuan teknis, (e) pengetahuan lainnya Pengembangan profesionalisme guru pada satuan pendidikan mengacu pada permendiknas nomor 16 tahun 2007 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru, untuk kepla sekolah mengacu pada permendiknas nomor 13 tahun 2007 tentang satndar kepala sekolah, dan permendiknas nomor 28 tahun 2010 sebagai pengganti dari kepmendiknas nomor 162 tahun 2003, tentang penugasan guru sebagai kepala sekolah/madrasah, serta untuk pengawas sekolah mengacu pada permendiknas nomor 12 tahun 2007 tentang standar pengawas sekolah/madrasah Pengembangan profesionalisme tenaga kependidikan disetiap satuan pendidikan seharusnya mengacu pada
Pengelolaan dan penembangan profesionalsme tenaga pendidik sebaiknya dilaksanakan dengan mempertimbangkan kebutuhan setiap satuan pendidikan, termasuk tenaga pendidik yang berbasis evaluasi diri sekolah (EDS), sehingga program pendidikan mulai dari satuan pendidikan sapai di tingkat pusat berbasis EDS. Pengelolaan tenaga pendidik sebaiknya menggunakan aturan tersendiri. Artinya, peraturan yang mendasari pengelolaan tenaga pendidik dibuat dengan mempertimbangkan beban kerja. Sebagai contoh Ahmad seorang guru IPS di salah satu SMA, berdasarkan struktur kurikulum maka dalam satu minggu Ahmad harus mengajar dua jam pelajaran per kelas (@ 45 menit). Ini berarti Ahmad harus mengajar 12 kelas dalam satu minggu untuk memenuhi jam tatap muka 24 jam pelajaran. Akibatnya, Ahmad dalam satu minggu mengahdapi siswa sekitar 12 x 34 orang = 408 siswa. Seandainya Ahmad memberi pekerjaan rumah kepada semua siswanya, anggaplah setiap siswa diperiksa selama dua menit maka Ahmad menggunakan waktu untuk memerikasa pekerjaan siswa sebanyak 408x2 menit = 816 menit. Ini berarti waktu yang digunakan Ahmad untuk memeriksa pekerjaan siswanya 816/60 = 13,6 jam. Belum lagi pada analisisdan interpretasi hasil ujian dan pendokumentasian serta pelaporan hasil ujian, tidak pernah dihitung jumlah waktu yang digunakan. Mengacu pada penjelasan di atas maka pengembangan profesionalisme tenaga kependidikan sebaiknya mempertim‐ bangkan beban kerja guru sebagaimana rasional dalam kasus yang dikemukakan di atas. Pertimbangan beban kerja ini tentu
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 43 |
perlu kajian mendalam karena secara teoretis semakin tinggi beban kerja seseorang semakin rendah kinerjanya. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan yang rasional dengan mempertimbangkan bebean kerja tersebut. Kondisi beban kerja tenaga pendidik sesuai perundang‐undangan yang berlaku memang masih sangat berat. Namun demikian, perlu strategi efektif untuk menyaiasati kondisi tersebut dengan memperkuat pengembangan profesional‐ isme berbasis klaster sebagai berikut:: a. Sekolah Dasar : terdiri dari :(1) Kelompok kerja guru (KKG), (2) Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS), (3) Kelompok Kerja Pengawas Sekolah (KKPS), b. Sekolah Mengengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah atas (SMA), dan Sekolah Menengah kejuruan (SMK) : terdiri dari (1) Musyawah guru mata pelajaran (MGMP), (2) Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), dan (3) Musyawah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) c. Pendekatan pengembangan profesional‐ isme guru di setiap kelompok menjalin kerja sama dalam segala hal dengan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) di setiap propinsi sebagai UPT Pusat guna pendampingan terhadap kelompok kerja tersebut, ini yang menuntut kemudian agar LPMP secara konsisten melakukan pengembangan kasitas di dalam lembaga. Khusus untuk bagian a dan b di atas seharusnya menjadi wadah pengembangan profesionalisme tenaga pendidikan, namun kenyataannya kelompok tersebut berlangsung dengan baik jika mendapatkan suntikan dana baik dari pemerintah maupun pemerintah Daerah.
Program peningkatan dan pengembangan pengelolaan satuan pendidikan khususnya tenaga kependidikan dilaksanakan berbasis evaluasi diri sekolah (EDS) yang merupakan salah satu kegiatan untuk mendapatkan data yang obyektif kondisi nyata pengelolaan satuan pendidikan dalam rangkan implentasi permendiknas nomor 63 tahun 2009, agar program pengembangan satuan pendidikan berdasarkan kebutuhan setiap satuan pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa pelaksanaan EDS masih ada rekayasa data dari satuan pendidikan oleh karena masyarakat kita termasuk masyarakat pendidikan belum terbiasa mengevalusi diri secara obyektif. IV. Rekomendasi Berdasarkan penjelasan terdahulu, maka guna melakukan pengelolaan tenaga pendidik yang efektif dan efisien serta senantiasa mengembangakan profesional‐isme tenaga pendidik maka direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut: a. Program pengelolaan dan pengembangan pendidik berbasis evaluasi diri sekolah (EDS) mulai dari satuan pendidikan sampai kepada pemerintah menjadi komitmen Pemerintah dan Pemerintah Daerah b. Adanya konsistensi dan kesatupaduan antara kebijakan pusat dan kebijakan daerah dalam rangka pengelolaan tenaga pendidik c. Pembinaan kelompok kerja pendidik seharusnya mendapatkan dukungan yang optimal baik dari pemerintah, maupun pemerintah daerah d. LPMP sebagai UPT pusat di Daerah harus lebih proaktif meningkatkan kerja sama dengan pemerintah Daerah dalam rangka penjaminan Mutu Pendidikan
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 44 |
Bacaan 1. BrataKusuma D.S. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2001 2. Danim Sudarwan, Visi Baru Manajemen Sekolah. Bumi Aksara. Jakarta. 2008. 3. ............................, Inovasi Pendidikan. Pustaka setia. Bandung. 2002 4. Hasibuan Malayu. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bumi Aksara. Jakarta. 2001 5. Kaloh J. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. RINEKA Cipta. Jakarta. 2002 6. Koontz H. Manajemen Terjemahan (Hutauruk G). Erlangga. Jakarta. 1996 7. Samsuddin Sadili. Manajemen Sumber daya Manusia. Pustaka Setia. Bandung. 2006. 8. Simon Herbert. Terjemahan (Dianjung) Administrative Behavior. Bina Aksara. Jakarta 1984
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 45 |
EBuletin LPMP Sulsel – Maret 2016 | 46 |